Pencarian

Empat Bidadari Lembah Neraka 1

Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka Bagian 1


EMPAT BIDADARI LEMBAH NERAKA Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Empat Bidadari Lembah Neraka
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Empat sosok bayangan berlari di tengah
semak-semak penuh onak dan duri. Mereka melesat
begitu cepat ke arah barat. Ketika sampai di sebuah
jalan tanah selebar dua tombak yang membelah
hamparan semak, keempatnya berhenti. Mereka
ternyata para wanita cantik yang mengenakan
pakaian serba merah.
Matahari hampir tenggelam di kaki langit
sebelah barat. Cahayanya yang kemerahan membias
di wajah-wajah cantik keempat dara itu. Di
pundaknya mereka tersampir pedang. Angin
berhembus mempermainkan rambut keempat dara
cantik yang panjang tergerai. Mereka sedang ragu
untuk mengambil arah utara atau selatan. Sesaat
kemudian, wanita yang mengenakan ikat pinggang
berwarna hijau memberi isyarat dengan tangannya
agar melanjutkan perjalanan ke selatan.
Ketiga kawannya segera mengikuti. Keempatnya berlari ke selatan menyusuri jalan
tanah yang membelah semak.
Melihat gerakan mereka yang begitu ringan,
jelas keempat dara cantik itu memiliki ilmu tinggi.
Setidak-tidaknya dalam ilmu meringankan tubuh.
Hanya dalam waktu singkat mereka telah mencapai
ujung selatan hamparan semak belukar.
Tanpa sepengetahuan mereka, tiga sosok
bayangan lain berlari jauh di belakang. Sesekali
ketiga sosok yang adalah tiga lelaki berpakaian
coklat, berhenti. Tampaknya, mereka ingin mengatur
jarak agar tidak terlalu dekat dengan keempat dara
itu. Ketika sampai di persimpangan jalan, ketiga
lelaki bersenjata golok itu menghentikan larinya.
Mereka pun ragu ketika harus memilih jalan ke
utara atau ke selatan.
"Hm. Ke mana mereka?" tanya lelaki
berambut panjang yang diikat dengan kain hitam.
Kedua kawannya tengah meneliti tanah. Barangkali
ada petunjuk dari jejak kaki keempat dara cantik
itu. "Untuk apa mencari jejak mereka, Jan?"
Lelaki berambut panjang menggeleng-gelengkan
kepala. "Kalau mereka menuju ke perguruan kita,
berarti berlari ke selatan. Ayo kita kejar mereka!"
Kedua lelaki berpakaian coklat segera
menyusul kawannya yang sudah berlari ke selatan.
Baru beberapa tombak mereka melangkah, tibatiba....
"Haaai...! Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras dari arah belakang.
Ketiga lelaki itu tersentak kaget dan menghentikan
larinya. Empat sosok bayangan merah berlompatan
turun dari sebatang pohon besar tak jauh dari
persimpangan jalan.
"He he he he.... Ternyata kalian masih di sini,"
sambut lelaki berambut panjang. Matanya memandangi keempat dara cantik dengan liar.
"Kenapa kalian membuntuti kami?" tanya
dara cantik yang mengenakan ikat pinggang hijau.
Wajahnya merah menatap lelaki di depannya.
"He he he.... Mestinya aku yang bertanya.
Kalian telah memasuki wilayah ini tanpa seizin
kami...," sahut lelaki lain yang berkumis tebal. "Tapi
tidak apa. Yang datang gadis-gadis cantik seperti
kalian. Kebetulan sudah lama aku tak menikmati
pelukan wanita. Betul tidak, Kakang Sadran?"
Ketiga lelaki berpakaian coklat kemudian
tertawa terbahak-bahak. Lelaki berambut panjang
yang dipanggil Sadran melangkah mendekati dara
berpakaian merah.
"Ayolah, Cah Ayu!" Sadran mengulurkan
tangan hendak mencolek dagu dara berikat pinggang
hijau. Plakkk! Betapa terkejutnya Sadran, dengan cepat
dara cantik itu memukul tangannya. Lebih
mengejutkan lagi, tangkisan gadis itu membuat
tubuhnya sempoyongan. Sadran merasakan sekujur
lengannya sakit.
"Jangan sembarangan kalian terhadap Empat
Bidadari Lembah Neraka! Hiaaa...!"
Sring! Sring! Sring!
Dara cantik itu melompat sambil meloloskan
pedang di pundaknya. Ketiga kawannya melakukan
hal yang sama. Dara-dara cantik itu merangsek
maju menyerang ketiga lelaki berpakaian coklat,
Sadran yang belum sempat berdiri tegak jadi
gelagapan menghadapi serangan itu. Begitu pula
dengan kedua kawannya. Mereka tak menduga sama
sekali keempat dara cantik itu akan menyerang.
Maka.... Cras! Sadran terpekik kaget. Pedang lawan
membabat dadanya hingga robek. Darah segar
mengalir dari tubuhnya yang terjungkal ke tanah.
Lelaki berambut panjang itu kelojotan sebentar. Tak
ampun lagi, dara cantik berikat pinggang hijau
menghujamkan pedangnya ke perut Sadran.
Seketika darah menyembur keluar bersama ususnya
yang terburai. Lelaki berambut panjang ini tewas
dengan tubuh berlumur darah.
Kedua kawan Sadran yang sempat mencabut
golok berhasil menangkis serangan kilat ketiga gadis
berpakaian merah. Terjadilah pertarungan sengit
dua melawan tiga.
Dara-dara cantik itu tak ingin memberi
kesempatan pada lawan. Mereka terus memburu
dengan babatan dan tusukan pedang. Wajah mereka
yang cantik kini berubah bengis dan menggiriskan.
Hawa nafsu membunuh tersirat jelas di mata
ketiganya. Tampaknya, kemampuan kedua lelaki berpakaian coklat jauh di bawah lawan-lawannya.
Dalam sebentar saja mereka telah terdesak hebat.
Kedua lelaki itu terus melangkah mundur
menghindari serangan dahsyat. Sedikit pun kedua
kawan Sadran itu tak mampu melancarkan
serangan. Yang dapat mereka lakukan hanya
memapaki atau melompat untuk mengelakkan
serangan. Serangan gencar ketiga dara berpakaian
merah berakhir dengan pekikan kedua kawan
Sadran. Kedua lelaki berpakaian coklat itu tewas
dengan dada dan perut tertembus pedang lawan.
"Hhh.... Ini baru permulaan dari tugas kita,"
ujar dara berikat pinggang hitam seraya memasukkan pedang.
"Ratri, Laksmi, Kinanti, ayo kita teruskan...!"
ajak dara berikat pinggang hijau.
"Ke mana kita ambil arah, Isyana?" tanya
Laksmi. "Mereka telah memberi petunjuk kepada kita
harus pergi ke selatan," sahut Ratri yang
mengenakan ikat pinggang kuning.
"Ayo. Hups!"
"Hups!"
Keempat dara berpakaian merah itu melesat
ke arah selatan. Dalam sekejap mereka telah berada
jauh dari persimpangan jalan.
*** Empat orang murid Perguruan Tapak Bumi
terkejut melihat empat sosok dara cantik berpakaian
merah memasuki pintu gerbang perguruan. Keempat
lelaki muda bertubuh gagah yang mengenakan
pakaian coklat itu terkesima begitu menyaksikan
kecantikan para tamunya. Wajah keempat dara
berambut panjang tergerai itu benar-benar cantik
jelita. Kulit mereka yang kuning langsat begitu
serasi dipadu dengan warna merah pakaian yang
membalut tubuh-tubuh langsing itu. Belum lagi
hidung yang bangir dan sepasang mata bening yang
terhias alis lentik. Bibir tipis dan ranum berwarna
merah delima, menggairahkan setiap lelaki yang
memandangnya. Siapa lagi mereka kalau bukan Empat
Bidadari Lembah Neraka. Empat dara cantik yang
baru saja membantai tiga orang murid Perguruan
Tapak Bumi di tengah perjalanan mereka ke sini.
Isyana yang mengenakan ikat pinggang hijau
tersenyum. "Kalau boleh aku tahu, Nona sekalian mencari
siapa?" tanya salah satu dari keempat murid
Perguruan Tapak Bumi.
"Sampaikan kepada guru kalian, Empat
Bidadari Lembah Neraka ingin bertemu. Cepat!"
Tersentak keempat murid Perguruan Tapak
Bumi mendengar ucapan Isyana. Ucapan itu lebih
mirip bentakan ketimbang permintaan. Tentu saja
keempat lelaki berpakaian coklat tersinggung.
Tamu-tamu mereka ternyata kasar dan tak mengerti
tata krama. "Nona, tidak bisakah Nona bersikap sopan
sedikit?" tanya lelaki berpakaian coklat yang
bertubuh tinggi. Nada suaranya tetap lembut,
msekipun dalam hati merasa jengkel. "Kapan saja Ki
Aji Darmagati bersedia menerima tamu. Tengah
malam sekalipun. Tapi tidak untuk orang-orang tak
tahu sopan seperti Nona-nona ini."
"Cuih! Kami akan menemui langsung kalau
kalian tak bersedia memanggilnya!" dengus Laksmi
yang memang berwatak kurang sabaran. Matanya
menatap tajam keempat lelaki di depannya.
"Hanya orang yang bermaksud tidak baik
mempunyai sikap seperti ini. Huh. Hadapi dulu
kami!" Serentak keempat lelaki berpakaian coklat
mencabut golok masing-masing. Namun, keempat
dara cantik telah lebih dulu meloloskan pedang.
Hampir bersamaan Empat Bidadari Lembah
Neraka memutar pedang di tangannya. Bunyi angin
berkesiutan terdengar dari putaran pedang yang
bagaikan sebuah titiran.
Semakin tercengang keempat murid Perguruan Tapak Bumi. Saat itu pula mereka
menyadari kalau yang dihadapi bukanlah wanitawanita sembarangan. Ilmu mereka
jelas tinggi dan
tak dapat dianggap remeh.
Sementara keempat dara cantik itu tertawa
mengejek. "Hiaaa...!"
Tiba-tiba, Laksmi melesat dan membabatkan
pedangnya. Serangan itu membuat keempat murid
Perguruan Tapak Bumi terpencar. Tiga dara cantik
yang lain segera menerjang dengan serangan cepat
dan menggiriskan. Pertarungan pun tak terelakkan.
Dentingan golok dan pedang yang saling berbenturan memecah keheningan malam.
Suara pertempuran tentu saja terdengar oleh
para murid yang lain. Mereka berlarian dari pondokpondok menuju tempat
pertarungan.

Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa mereka?"
"Hei! Gadis-gadis cantik, Mat!"
"Tapi lihat permainan pedang mereka. Gila,
mengharukan sekali!"
Belum sempat para murid Perguruan Tapak
Bumi menegaskan siapa keempat dara cantik yang
tengah bertarung dengan kawan-kawan mereka,
tiba-tiba.... Jrabs! Cras! Pekikan kematian berkumandang. Dua orang
murid perguruan terbabat dan tertusuk pedang.
Kedua lelaki berpakaian coklat itu tergelimpang
dengan tubuh berlumur darah. Setelah berkelojotan
sebentar, keduanya tewas dengan menyedihkan.
Beberapa saat kemudian kembali terdengar
berturut-turut lengking kesakitan. Tidak berbeda
dengan yang pertama, kedua lelaki itu pun tewas
dengan tubuh bermandikan darah.
*** 2 "Serbu...!"
"Serang...!"
Pekikan-pekikan
penuh kemarahan dikumandangkan. Murid-murid Perguruan Tapak
Bumi mengepung Empat Bidadari Lembah Neraka.
Namun, keempat dara cantik berpakaian merah itu
sedikit pun tidak menampakkan kegentaran. Mereka
terus memainkan pedang dengan gerakan yang
indah dan cepat
Pertempuran yang lebih seru segera berlangsung. Murid-murid Perguruan Tapak Bumi
yang marah melihat empat kawan mereka tewas
langsung melancarkan serangan secara keroyokan.
Meskipun menghadapi belasan lawan, Empat
Bidadari Lembah Neraka tetap gesit dan cekatan.
Mereka melompat dan melenting ke sana kemari
menghindarkan serangan lawan. Murid-murid
perguruan itu tampaknya tak mampu mengimbangi
kekompakan permainan pedang Empat Bidadari
Lembah Neraka. Dalam waktu yang begitu singkat
tiga orang lelaki berpakaian coklat telah berjatuhan
terbabat pedang.
Jeritan kematian yang susul-menyusul mengiringi jatuhnya tubuh-tubuh lelaki berpakaian
coklat. Darah berceceran membasahi halaman
perguruan. "Berhenti...!"
Tiba-tiba, bentakan keras menggelegar terdengar dari pintu bangunan induk. Sesosok
tubuh lelaki tua yang berjenggot putih dan
mengenakan jubah coklat berdiri di serambi rumah.
Pandangannya nanar menatap ke arah tempat
pertempuran. Delapan mayat tergeletak tewas
berlumuran darah.
"Siapa kalian...?" suara lelaki tua itu bergetar,
menyiratkan kemarahan yang ditahan.
"Orang Tua, kaukah Aji Darmagati, pendekar
yang memiliki Ilmu Pukulan Tapak Bumi...?" Isyana
balik bertanya. Tak dihiraukannya pertanyaan lelaki
berjubah coklat yang memang Ki Aji Darmagati.
Seorang yang pada zamannya terkenal dengan
julukan Pukulan Tapak Bumi.
"Aku tanya, siapa kalian?" Ki Aji Darmagati
mengulang pertanyaannya dengan wajah memerah.
"Kami Empat Bidadari Lembah Neraka,
datang untuk meminta Kitab Candra Catur Pamukti
yang kini berada di tanganmu!" ujar Isyana dengan
mata menentang pandang tatapan lelaki berjenggot
putih. Tangan kanannya masih menggenggam
pedang yang ternoda darah.
"Huh. Mimpi apa kalian" Kitab kuno itu
sudah lama musnah dari muka bumi," ujar Ki Aji
Darmagati dengan tersenyum sinis.
"Berarti kau tak sayang dengan nyawamu,
Darmagati! Juga, puluhan muridmu akan mampus
di ujung pedang Bidadari Lembah neraka!" Setelah
mengucapkan kata-kata itu Isyana memberi isyarat
kepada ketiga kawannya agar memulai pembantaian. Seketika, keempat dara cantik berpakaian
merah bergerak melancarkan serangan mendahului
murid-murid Perguruan Tapak Bumi. Meskipun
beberapa murid-murid sempat menghindar, namun
kawan-kawannya mengerang kesakitan tertusuk
pedang Empat Bidadari Lembah Neraka.
Pertempuran yang tadi sempat terhenti kini
berlangsung kembali. Jeritan kematian meningkahi
suara pedang dan golok yang saling berbenturan.
Keempat dara cantik bersenjata pedang itu
menunjukkan kelebihan mereka. Dalam kepungan
rapat murid-murid Perguruan Tapak Bumi, mereka
mampu bergerak cepat seraya melancarkan
serangan mematikan.
Melihat para muridnya berjatuhan, Ki Aji
Darmagati tak bisa berdiam din lagi. Dia sadar
keempat dara cantik itu bukan wanita sembarangan.
Kemampuan murid-muridnya berada jauh di bawah
mereka. Kalau dibiarkan, bukan tak mungkin
mereka akan tewas semua.
Dengan mengeluarkan bentakan keras, Ki Aji
Darmagati melesat menuju kancah pertempuran.
"Haits!"
Blukkk! Plakkk!
Dalam sekali gebrakan saja dua buah
serangan lelaki tua itu mendarat di tubuh dua dara
cantik. Kedua wanita berpakaian merah itu meringis
menahan rasa sakit di dada dan punggung mereka.
Namun, keduanya segera bangkit berdiri dan
melancarkan serangan kepada Ki Aji Darmagati.
Sementara Isyana dan Laksmi masih terus
membantai lawan-lawan mereka yang berjumlah dua
belas orang. Serangan kedua gadis itu yang bagai
binatang buas terluka tak mampu diatasi muridmurid Ki Aji Darmagati. Dalam
beberapa gebrakan
saja mereka telah berjatuhan.
Ki Aji Darmagati yang menghadapi keroyokan
Ratri dan Kinanti pun menghadapi keadaan yang
sama. Lelaki berjubah coklat itu pontang-panting
menghadapi serangan gencar pedang lawan. Susulmenyusul mereka membabat dan
mengibaskan pedang. Sedikit pun tak ada kesempatan bagi Ki Aji
Darmagati untuk melancarkan serangan.
Dalam suatu kesempatan, ketika Ki Aji
Darmagati melenting tinggi, Ratri memburu ke atas.
Cras! Ki Aji Darmagati terpekik ngeri. Babatan
pedang Ratri menggores pangkal pahanya. Darah
mengucur membasahi jubah pada paha sebelah kiri.
Begitu mendarat di tanah lelaki tua
berjenggot putih itu nampak sempoyongan. Belum
sempat ia mengatur keseimbangan tubuhnya
Kinanti telah melesat seraya membabatkan pedang.
Ki Aji Darmagati melihat bahaya maut
mengancam jiwanya. Cepat tubuhnya dilempar ke
samping kanan, lalu bergulingan mengelakkan
tusukan pedang lawan yang terus memburunya.
Bagai makhluk haus darah, Kinanti dan Ratri
terus mengejar tubuh Ki Aji Darmagati. Mereka
dengan bengis menusukkan pedang ke arah tubuh
lawan yang kini berjumpalitan ke belakang dengan
bertumpu pada kedua lengannya. Rupanya,
meskipun usianya sudah lanjut, Ki Aji Darmagati
masih gesit. Ketika mendapat satu kesempatan,
lelaki tua itu segera melesat untuk mengambil jarak.
Kini Ki Aji Darmagati dengan kedua lawannya
terpaut sekitar tiga tombak. Lelaki tua itu bergegas
meletakkan kedua tangannya ke bumi. Sebentar
kemudian, diangkat dan dihentakkan seraya
mengeluarkan bentakan keras menggelegar.
Wuuus! Brakkk! Serangkum angin kencang melesat sangat
cepat. Namun karena Kinanti dan Ratri sempat
melihat apa yang dilakukannya, mereka telah
melompat menghindar. Serangan dahsyat itu pun
tak mengenai sasaran. Pintu rumah Ki Aji Darmagati
yang terkena serangan langsung ambruk.
"Hiaaa...!"
Bagai telah disepakati sebelumnya, Ratri dan
Kinanti melesat bersamaan, Pedang mereka tertuju
lurus ke tubuh lawan
Jrabs! Meskipun Ki Aji Darmagati sempat melompat,
namun serangan Kinanti berhasil mendarat di
punggungnya. Pekikan keras pun dikeluarkan mulut
lelaki tua itu. Tubuhnya terjungkal ke tanah. Setelah
berkelojotan sebentar, kemudian diam tak bergerak
lagi. Isyana dan Laksmi pun baru saja menyelesaikan pertarungan. Dua belas mayat
bergeletakan tak karuan.
"Cepat geledah rumahnya!" ajak Laksmi.
Keempat dara berpakaian merah itu menggeledah
seisi rumah Ki Aji Darmagati. Namun sebentar
kemudian, mereka keluar tanpa membawa hasil.
Keempat dara itu segera melesat meninggalkan
Perguruan Tapak Bumi. Bau anyir darah dan
suasana kematian menyelimuti perguruan itu. Bulan
pucat pasi di langit yang berawan menjadi saksi
kebengisan keempat dara cantik berpakaian
merah..... *** 3 Kabut menyelimuti sekitar perbukitan Gunung Pring yang ditumbuhi pepohonan bambu
yang sangat lebat. Sang surya mestinya sudah
sepenggalah tingginya. Namun karena mendung
tebal menutup langit di atasnya, cahaya matahari
tidak sampai ke bumi. Gerimis turun menyiram
lembah dan perbukitan yang hijau subur itu.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar teriakan orang seperti tengah berlatih silat. Agaknya
mereka lebih dari sepuluh orang. Sesekali terdengar
satu orang memberi aba-aba, kemudian disusul
suara bentakan keras beramai-ramai.
Memang benar. Di lembah yang merupakan
hamparan rumput dan perdu berdiri sebuah rumah
cukup besar. Halamannya yang luas dipagari
bambu-bambu yang tersusun rapi. Inilah tempat
kediaman Ki Dungkut Marta, seorang tokoh tua
dunia persilatan yang kini mendidik tak kurang dari
empat puluh muridnya.
Hampir tiga dasa warsa ini Ki Dungkut Marta
mengundurkan diri dari dunia persilatan. Hariharinya disibukkan untuk
mengajarkan ilmu silat
kepada murid-muridnya. Perguruan Bambu Wulung,
begitulah nama perguruan yang dipimpinnya.
Bambu Wulung dulu adalah nama senjata andalan
Ki Dungkut Marta. Sebuah bambu hitam sepanjang
tombak yang selalu dibawa ke mana Ki Dungkut
Marta pergi. Konon, kekuatan Bambu Wulung tak
kalah dengan pedang atau keris yang terbuat dari
besi baja. Pagi itu di rumahnya yang dipagari bambu
hitam Ki Dungkut Marta sedang kedatangan tamu.
Seorang sahabat lama yang sudah lima belas tahun
tidak pernah berjumpa.
"Sebenarnya
aku belum berminat mengunjungi perguruanmu ini, Dungkut," ujar tamu


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Dungkut Marta, seorang lelaki berusia tujuh
puluhan yang mengenakan jubah kuning. Di
pundak kakek berambut putih itu tersampir sebilah
pedang yang disarungkan dalam warangka berwarna
hitam. "Hhh.... Aku maklum, Langgengpura. Beberapa muridku yang pernah kuutus ke
perguruanmu beberapa tahun lalu telah menceritakan semuanya. Kau sama sepertiku, sibuk
mengurus murid-muridmu...."
"Ya. Habis, apa yang mesti dilakukan orangorang tua seperti kita ini, kecuali
mengajarkan ilmu
yang pernah kita miliki. Bukan begitu, Dungkut?"
kakek bernama Ki Langgengpura itu tersenyum
melihat Ki Dungkut Marta mengangguk.
"Aku merasa lebih tenang setelah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan
mendidik murid-murid. Kini banyak pendekar
berilmu tinggi yang telah menggantikan kita. Ilmu
mereka tidak kalah hebat dibandingkan kita-kita
yang sudah tua ini. Langgeng."
"Itulah yang membuatku sampai mengunjungi
tempatmu itu, Dungkut" Senyum Ki Langgengpura
tiba-tiba lenyap, berganti dengan rasa khawatir yang
tergambar jelas di wajahnya yang telah keriput
Ki Dungkut Marta mengernyitkan kening. Ia
tak tahu apa yang dimaksud kawannya.
"Aku tak mengerti apa maksudmu, Langgeng...?"
"Apa kau belum mendengar kabar buruk yang
menimpa dua perguruan di wilayah selatan?" tanya
Ki Langgengpura sambil menuang air minum dari
poci kecil di depannya. "Salah satunya Perguruan
Banyu Putih milik Ki Ragil."
Ki Dungkut Marta terbelalak kaget. Kepalanya
digeleng-gelengkan tak percaya mendengar kabar
itu. "Apa yang telah terjadi dengan perguruan
mereka?" "Tak satu pun murid Ki Ragil yang hidup.
Semua tewas dibantai secara keji. Bahkan, Ki Ragil
sendiri mati dengan keadaan mengerikan...."
"Siapa yang melakukan kebiadaban itu,
Langgeng?" Ki Dungkut Marta kelihatan penasaran.
"Beberapa murid Perguruan Tapak Bumi yang
sempat melarikan diri mengatakan, empat wanita
muda berpakaian merah telah membantai guru dan
kawan-kawan mereka."
"Empat wanita muda...?" gumam Ki Dungkut
Marta. "Empat Bidadari Lembah Neraka. Begitu
julukan yang disebutkan keempat dara berpakaian
merah itu!" jelas Ki Langgengpura.
"Hhh.... aku belum pernah mengenal julukan
itu," ujar Ki Dungkut Marta dengan kening berkerut
"Orang-orang muda di dunia persilatan pun
tak ada yang mengenal julukan itu. Apalagi tokoh
tua seperti kita, Dungkut. Tapi jelas mereka
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kalau tidak, mana
mungkin mampu membantai murid-murid perguruan yang berjumlah sekian banyak. Ki Ragil
pun yang dulu kita anggap sangat tinggi ilmunya,
tak berdaya menghadapi mereka."
"Apa yang mereka inginkan dengan menghancurkan kedua perguruan itu?"
"Kabarnya mereka mencari Kitab 'Candra
Catur Pamukti'. Bukankah kitab kuno itu sudah
lama lenyap?"
"Ya. Mungkin sudah satu abad lebih kitab itu
hilang dari dunia persilatan. Sebenarnya, agak aneh
kalau orang-orang persilatan memperebutkan kitab
itu. Peristiwa beberapa puluh tahun lalu, ketika
banyak tokoh persilatan memperebutkan Kitab
'Candra Catur Pamukti', sebenarnya hanya pekerjaan sia-sia," tutur Ki Dungkut Marta.
Ketua Perguruan Bambu wulung itu teringat
peristiwa beberapa puluh tahun silam. Ketika itu ia
masih muda belia. Di kalangan dunia persilatan
tersebar kabar bahwa Kitab Canda Catur Pamukti
telah dicuri dari seorang pertapa yang bertugas
menjaganya. Tak satu pun di antara tokoh-tokoh
persilatan waktu itu yang berhasil mendapatkannya.
"Kenapa kau bisa mengatakan peristiwa itu
sebagai pekerjaan sia-sia, Dungkut?" tanya Ki
Langgengpura. "Aneh memang," gumam Ki Dungkut Marta.
"Mereka tidak tahu isi kitab kuno itu. Kalau saja
mereka mengetahuinya, mungkin tak akan terjadi
saling memperebutkan benda yang sebenarnya tak
berarti banyak bagi dunia persilatan itu. Mereka
tentu mengira kitab yang sesungguhnya merupakan
peninggalan sebuah kerajaan kuno itu berisi
pelajaran ilmu silat...."
"Jadi, apa sebenarnya isi Kitab Candra Catur
Pamukti itu, Dungkut?"
Lama Ki Dungkut Marta terdiam, seakanakan merasa enggan untuk membuka rahasia
kitab kuno itu. Namun kemudian, karena Ki Langgengpura adalah kawan akrabnya sejak masih
muda, Ki Dungkut Marta pun bercerita.
"Kau pun tentu mengira kitab itu merupakan
lembaran-lembaran daun lontar atau kulit binatang.
Lalu, di dalamnya berisi tulisan yang berupa
pelajaran suatu ilmu seperti kitab-kitab yang kita
kenal selama ini. Padahal bukan, Langgeng. Kitab
Candra Catur Pamukti hanya terdiri dari satu helai
daun lontar. Itu pun sudah tak karuan bentuknya
karena saking tuanya...."
"Isi kitab itu sendiri mengenai apa, Dungkut?"
Ki Langgengpura sudah tak sabaran.
"Kitab itu hanya berisi petunjuk untuk
mencapai suatu tempat yang digunakan untuk
menyimpan harta kekayaan sebuah kerajaan yang
aku lupa namanya," jawab Ki Dungkut Marta.
"Nama kitab itu sendiri mengandung arti Bulan
Empat Kemuliaan. Aku kurang paham maksud
ketiga kata itu."
Ki Langgengpura mengangguk-angguk
mendengar cerita kawannya. "Dari mana kau
mengetahui banyak tentang kitab kuno itu,
Dungkut?" "Guruku pernah menceritakan tentang hal ini
kepadaku. Mungkin maksudnya agar aku tidak
perlu ikut memperebutkan kitab itu."
"Tapi, sekarang muncul kembali orang-orang
yang menginginkan kitab kuno itu..."
"Aku yakin mereka bukan orang-orang
golongan putih, Langgeng. Para pendekar dari
golongan putih tak layak mempunyai maksud
seperti itu. Tapi jika benar, kitab itu hanya berisi
petunjuk tentang harta benda kerajaan," ujar Ki
Dungkut Marta dengan menggeleng-gelengkan
kepala. "Hm. Bagaimanapun aku mempunyai alasan
untuk bersikap waspada, Dungkut. Aku khawatir
mereka akan membabi buta dalam usahanya
mencari keterangan tentang kitab itu. Kita harus
berhati-hati, Dungkut. Jangan-jangan mereka
datang kemari dalam waktu dekat ini. Kabar yang
kudengar, mereka telah membunuh beberapa tokoh
putih yang berupaya mencegah tindakan keji Empat
Bidadari Lembah Neraka itu."
Ki Dungkut Marta membisu mendengar
ucapan kawannya. Ki Langgengpura pun tidak
meneruskan kata-katanya. Suasana berubah menjadi hening. Terdengar teriakan-teriakan para
murid Perguruan Bambu Wulung yang berlatih silat
di bawah siraman gerimis pagi.
"Aku tidak bermalam di sini, Dungkut. Pagi
ini juga aku akan kembali. Dalam keadaan seperti
ini aku harus berada di antara murid-muridku."
"Biar hujan reda dulu. Mestinya aku
melarangmu kembali sekarang, Langgeng. Aku ingin
kau bermalam di pondokku. Lama kita tak
berjumpa. Rasa kangenku belum habis hanya
dengan perjumpaan sekejap ini," ujar Ki Dungkut
Marta seraya tersenyum. Ki Langgengpura pun ikut
tersenyum. "Mungkin lain waktu kita bisa berjumpa lagi.
Mudah-mudahan Hyang Widi memberi umur
panjang kepada kita, Dungkut. Aku mohon diri
sekarang juga...."
"Baiklah. Hati-hati!"
Ki Dungkut Marta mengantarkan tamunya
sampai di pintu gerbang perguruan. Murid-murid
Perguruan Bambu Wulung memberi hormat dengan
menghentikan latihan mereka ketika melihat kedua
orang tua itu berjalan di halaman rumah.
Ki Langgengpura yang mengenakan jubah
kuning segera naik ke punggung kuda. Di bawah
gerimis yang masih turun lelaki berambut putih itu
menggebah kudanya meninggalkan lembah tempat
Perguruan Bambu Wulung.
*** 4 Kabar tentang pembantaian dua perguruan di
wilayah selatan segera tersebar ke berbagai pelosok.
Orang-orang persilatan mulai menghubunghubungkan peristiwa itu dengan berita tentang
penculikan yang sering terjadi akhir-akhir ini. Di
wilayah timur dan tengah telah terjadi penculikan
terhadap beberapa pemuda tanggung yang tak
diketahui pelakunya. Dengan terjadinya peristiwa
pembantaian itu mereka mulai menaruh curiga,
bahwa pelaku penculikan mungkin Empat Bidadari
Lembah Neraka. Dunia persilatan mulai gempar. Bukan hanya
karena berita tentang pembantaian dan penculikan,
melainkan karena Empat Bidadari Lembah Neraka
merupakan tokoh-tokoh yang belum mereka kenal
sama sekali. Orang-orang awam pun tak ketinggalan ramai
membicarakan hal itu. Mereka yang mempunyai
anak perjaka mulai dilanda keresahan. Kian hari
peristiwa penculikan itu kian merajalela.
"Yang semakin membingungkan kita, antara
penculikan dan pembantaian murid-murid Perguruan Tapak Bumi tidak ada hubungannya
sama sekali, Kakang Brasta," kata seorang lelaki
muda berpakaian putih kepada kawannya. Mereka
tengah duduk di sebuah kedai makan.
Seperti kedua lelaki muda ini, para
pengunjung kedai pun membicarakan hal itu. Siang
ini kebetulan kedai makan Ki Durga yang terletak di
ujung selatan Desa Nariban ramai dikunjungi orang.
Letaknya yang strategis, di tepi persimpangan jalan
yang menghubungkan beberapa desa, membuat
kedai selalu ramai. Mereka yang sengaja datang
maupun yang kebetulan tengah berada dalam


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan menuju kota kerajaan. Di samping itu,
tak jauh dari Desa Nariban terdapat sebuah pasar
yang cukup besar.
"Iya. Aku juga tak habis pikir," sahut lelaki
muda berambut sebahu yang tadi dipanggil Kakang
Brasta. "Untuk apa mereka menculik para pemuda
tanggung?"
Dilihat dari pakaian dan pedang yang
disandang kedua lelaki muda berwajah tampan itu,
jelas mereka orang-orang persilatan.
"Jangan-jangan mereka penganut aliran sesat
yang memerlukan para pemuda untuk tumbal
memperdalam ilmu mereka, Gan," lanjut Brasta.
Belum sempat kedua lelaki muda itu
melanjutkan pembicaraan, mereka menoleh ke arah
pintu kedai. Begitu pula para pengunjung yang lain.
Pandangan mereka segera tertuju kepada seorang
pemuda berwajah tampan yang mengenakan
pakaian rompi kulit ular. Pemuda itu berjalan santai
memasuki kedai.
Pemuda berambut panjang ikal itu tertawatawa sendirian sambil seraya menggeleng-
gelengkan kepala. Sebentar kemudian, mulutnya cengengesan
sambil matanya memandang ke sana kemari. Tentu
saja kelakuannya yang seperti orang kurang waras
membuat para pengunjung kedai tersenyum geli.
Ada pula yang sinis memandangnya.
Ki Durga, pemilik kedai, berdiri terpaku di
depan pintu belakang. Ada rasa khawatir terhadap
pemuda gila itu. Kemudian, kakinya melangkah
menghampiri pemuda berpakaian rompi kulit ular
dengan perasaan bimbang.
"Aha. Aku minta disediakan ayam panggang
yang masih hangat, Ki...," pinta pemuda itu dengan
cengengesan. "Siapa namamu, Ki?"
"Sa... saya, Durga," sahut lelaki tua agak
bongkok itu. Melihat Ki Durga tampak ragu-ragu, pemuda
berpakaian rompi kulit ular segera mengeluarkan
beberapa keping uang logam. Diserahkannya uang
itu pada pemilik kedai.
"Ba... baik. Akan saya sediakan pesananmu...." Ki Durga bergegas melangkah
menuju dapur. Pemuda bertingkah seperti orang gila itu
menempati kursi di tengah ruangan. Orang-orang
tetap memandanginya. Baru ketika pemuda itu
sudah diantarkan makanan mereka melanjutkan
kesibukan masing-masing. Terdengar lagi obrolan
seputar masalah penculikan dan pembunuhan yang
dilakukan Empat Bidadari Lembah Neraka.
"Gandra, aku pernah mendengar nama
pendekar kesohor yang ciri-cirinya mirip pemuda
ini...," bisik Brasta. Gandra yang mendengar bisikan
Brasta mengerutkan kening sambil menganggukangguk kecil. "Kau lihat suling emas
di pinggangnya" Itu senjata yang dimiliki Pendekar
Gila." Gandra menoleh dan memandangi suling
yang terselip di pinggang pemuda berpakaian rompi
kulit ular. "Jangan-jangan dialah orangnya, Kakang
Brasta, " bisik Gandra lirih. Dia takut suaranya
terdengar orang yang tengah mereka bicarakan.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular terus
sibuk menikmati ayam panggangnya. Namun
kemudian ia berhenti. Keningnya dikerutkan.
Pemuda itu mendengar ada orang yang membicarakannya.
Tapi hanya sebentar ia tercenung, lalu kembali melanjutkan makannya.
Setelah selesai, pemuda berambut ikal dan
berompi kulit ular itu bangkit berdiri. Dia
melangkah mendekati Ki Durga yang tengah
memberesi sisa makan di meja lain.
"Ki Durga, aku ingin bertanya kepadamu.
Tahukah kau ke mana aku harus pergi untuk
sampai ke Perguruan Bambu Wulung?" tanya
pemuda itu. Orang-orang menoleh mendengar pertanyaan
pemuda itu. Tiga orang lelaki setengah baya yang
berpakaian ungu dan duduk di pojok ruangan
langsung membelalakkan mata. Ada rasa curiga
tersirat di wajah mereka.
"A... aku tidak mengetahui di mana
perguruan itu, Anak Muda...," jawab Ki Durga
tergagap. Lalu, wajahnya menoleh ke arah ketiga
lelaki berpakaian ungu di pojok ruangan.
"Hi hi hi.... Baiklah, kalau kau tak
mengetahuinya. Terima kasih atas pelayananmu."
Pemuda berpakaian rompi kulit ular lalu melangkah
pergi meninggalkan kedai.
Baru saja kakinya selangkah keluar dari
ambang pintu, seseorang menegurnya.
"Hei, Anak Muda! Untuk apa kau hendak
pergi ke Perguruan Bambu Wulung"!" Pertanyaan itu
berasal dari salah seorang lelaki berpakaian ungu.
Dua orang lainnya telah melangkah menghampiri
pemuda berpakaian rompi kulit ular.
"Ah ah ah.... Galak nian kau," sahut pemuda
itu sambil cengengesan. Tangannya menggarukgaruk kepala.
"Dalam suasana seperti sekarang ini semua
orang dituntut untuk selalu waspada. Janganjangan kaulah orang yang telah
membuat keonaran.
Akui saja kalau kau termasuk orang-orang yang
membantai Perguruan Tapak Bumi!"
"Hi hi hi.... Bagaimana aku harus membantah
tuduhanmu, Kawan. Kedatanganku kemari justru
karena mendengar kabar buruk itu...."
"Ah, banyak alasan! Kakang Busro, tangkap
saja pemuda itu!" sergah lelaki berpakaian ungu
yang berkumis tebal. Sebilah golok terselip di
pinggangnya. Lelaki yang dipanggil Busro langsung
melangkah mendekati pemuda berpakaian rompi
kulit ular. "Ah ah ah.... Jangan-jangan kalianlah
begundal-begundal
Empat Bidadari Lembah Neraka...," ujar pemuda berpakaian rompi kulit ular.
Ia kelihatan tidak gentar sedikit pun. Bahkan
bibirnya terus tersenyum.
"Kurang ajar! Ketahuilah, kami orang-orang
dari Perguruan Bambu Wulung. Murid Ki Dungkut
Marta! Heaaa...!"
Selesai mengucapkan kata-kata itu, Busro
segera merangsek maju mengirimkan serangan.
Pemuda berompi kulit ular hanya meliukkan
badannya perlahan. Serangan Busro pun lewat.
Melihat Busro tak berhasil, kedua kawannya
berlompatan memberikan serangan susulan. Dua
buah tendangan keras hampir saja mengenai kepala
dan dada pemuda berpakaian rompi kulit ular.
Namun sambil cengengesan dia melentingkan
tubuh, hingga tak satu pun serangan itu yang
mengenai sasaran. Kedua lelaki berpakaian ungu
semakin geram. Lawannya begitu mudah mengelakkan serangan mereka. Keduanya segera
mencabut golok.
Di depan kedai para pengunjung telah keluar.
Mereka ingin menyaksikan pertarungan yang tak
disangka-sangka akan terjadi. Gerimis saat itu
turun membasahi bumi.
Para pengunjung kedai dan prang-orang yang
lemah menggeleng-gelengkan
kepala melihat jalannya pertarungan. Ada yang berdecak kagum
menyaksikan kelincahan pemuda berpakaian rompi
kulit ular. Yang mengherankan, pemuda berambut
ikal itu hanya meliuk-liukkan tubuh perlahan untuk
menghindari serangan lawan. Dengan gerakan
seperti itu dia berhasil mengelakkan semua
serangan. Babatan dan tusukan golok tidak satu
pun yang mendarat di tubuhnya.
"Tak salah lagi dugaan kita, Brasta," bisik
Gandra yang berdiri di depan pintu kedai. "Dia pasti
Pendekar Gila."
Sementara itu, pemuda berpakaian rompi
kulit ular yang memang Pendekar Gila terus
berusaha mengelakkan serangan ketiga lawannya.
Tampaknya dia tak ingin balas menyerang. Dia tahu
ketiga lelaki berpakaian ungu ini bukan orang-orang
dari golongan hitam. Meskipun sikap mereka tadi
begitu kasar dan menuduhnya tanpa alasan. Sena
Manggala memakluminya. Keadaan yang terjadi di
daerah ini memang menuntut setiap orang untuk
bersikap waspada.
Ketiga lelaki berpakaian ungu yang mengaku
murid Perguruan Bambu Wulung, mendadak
melakukan serangan secara serentak. Tiga batang
golok membabat cepat mengancam keselamatan jiwa
Sena. Melihat keberingasan lawan-lawannya, Sena
bergegas meliukkan tubuh mengelakkan serangan
maut itu. Kemudian, langsung melancarkan
serangan balasan dengan kedua telapak tangan
terbuka. Gerakannya lentur sekali dan seperti tak
mengandung tenaga. Namun....
Plakkk! Bukkk! Dua orang berpakaian ungu terlontar dua
tombak ke belakang. Keduanya menjerit kaget dan
kesakitan. Mereka tak menduga serangan lawan
akan membuat tubuh mereka terlontar.
Busro yang masih berdiri tegap di depan Sena
pun membelalakkan mata penuh keheranan. "Ilmu
apa itu...?" gumamnya sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Namun karena kemarahannya telah memuncak, dia segera melesat kembali melancarkan
serangan dengan goloknya. Babatan golok itu
terarah ke dada Sena yang masih cengengesan.
Wuuut! Trap! Busro terkejut bukan main. Goloknya berhasil
ditangkap lawan. Busro mencoba menghentakkan
goloknya, tapi tak berhasil menariknya dari tangan
Sena. "Hi hi hi.... Kalian terlalu gegabah, Kawan.
Seharusnya jangan seperti ini jika kalian memang
murid-murid Ki Dungkut. Seberapa pun kecurigaan
kalian, harus bersikap baik terhadap orang yang
belum kalian ketahui pasti...."
"Huh. Siapa kau sebenarnya" Untuk apa
hendak datang ke perguruan kami?"
Belum sempat Sena menjawab pertanyaan
itu, terdengar sahutan dari orang lain.
"Dia Pendekar Gila, Kawan. Kalian salah
besar telah menuduhnya sebagai anak buah Empat
Bidadari Lembah Neraka...."
Brasta yang menyambuti pertanyaan Busro.
Pemuda berpakaian putih itu melangkah mendekati
Busro dan Sena Manggala.
"Heh" Ampunkan kami, Tuan Pendekar.
Ampunkan kami yang bodoh ini..."
"Aha. Sudahlah. Jangan kalian ulangi lagi
sikap seperti tadi. Selidiki dulu semuanya baru kita
menentukan sikap. Dan, jangan panggil aku seperti
itu. Namaku Sena Manggala. Panggil saja Sena," ujar
Sena dengan mulut cengengesan lucu.
"Selamat datang di daerah kami, Sena. Kami
memang pernah mendengar namamu. Tapi, Ki
Dungkut tidak banyak memberi penjelasan tentang
dirimu." "Kalau begitu, bisakah kalian antarkan aku
ke Perguruan Bambu Wulung" Aku mempunyai
keperluan dengan Ki Dungkut Marta."
"Tentu saja bersedia. Mari kami antar!"


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga lelaki berpakaian ungu itu kemudian
melangkah mengantarkan Pendekar Gila. Sementara
kedua pemuda berpakaian putih, Brasta dan
Gandra, mengikuti.
"Kami juga sedang dalam perjalanan menuju
Perguruan Bambu Wulung," ujar Brasta ketika Sena
menoleh kepadanya.
"Berapa jauh Perguruan Bambu Wulung dari
sini, Kawan?" tanya Gandra kepada salah seorang
murid Ki Dungkut Marta.
"Kalau kita terus, tanpa bermalam di sebuah
desa, lewat tengah malam nanti kita baru sampai di
perguruan kami," jawab Busro menjelaskan.
"Ya. Kita bisa bermalam di rumah Kepala
Desa Tuksanga. Di sanalah kami selalu bermalam.
Ki Marjan pun bekas murid Bambu Wulung,"
tambah kawan Busro yang berjalan paling depan.
Mereka lalu melesat ke arah utara meninggalkan kedai makan. Orang-orang di depan
kedai menggelengkan kepala menyaksikan kepergian
mereka. *** 5 Di sebuah lembah terjal dan berbatu-batu
tampak sesosok bayangan kuning melesat menuruni
jalan setapak. Meskipun jalanan yang dilewati
sempit dan sangat licin, sosok bayangan kuning
bergerak sangat cepat. Tampaknya ia sudah terbiasa
melalui jalan itu.
Sampai di bawah tebing cadas yang cukup
tinggi, sosok bayangan yang ternyata seorang lelaki
tua berhenti berlari. Disekanya keringat di kening
dengan lengan tangannya. Dia mengedarkan
pandangan berkeliling. Setelah yakin tidak ada
orang yang melihatnya, lelaki tua berpakaian kuning
itu melenting ke atas. Sekali hentak saja tubuhnya
telah hinggap pada sebongkah batu cadas setinggi
sepuluh tombak,
Gerakannya sangat ringan dan cepat. Lelaki
berambut putih itu agaknya memiliki ilmu cukup
tinggi. Terutama dalam ilmu meringankan tubuh.
Dari bongkahan batu cadas kakinya melangkah beberapa tindak. Tampaklah seutas tali
dari kulit kayu yang dililit-lilit. Tali yang basah dan
berwarna kehitaman itu menjulur dari atas tebing
cadas yang sangat tinggi.
Dengan menggunakan tali itu lelaki berpakaian kuning memanjat tebing cadas. Bagi
orang yang belum terbiasa tentu akan menemui
kesulitan memanjat tebing yang tegak lurus.
Terlebih dinding tebing berlumut dan mengandung
air yang mengalir dari atas. Namun lelaki berusia
tujuh puluhan itu tidak menemui kesulitan sama
sekali. Kedua kakinya bergerak cepat mencari
bagian dinding yang berlobang. Sekali saja kedua
tangannya terlepas memegang tali yang sangat licin
itu, akan melayanglah tubuhnya ke bawah. Dan,
terhempas di atas bebatuan cadas yang runcing
bagai gigi-gigi raksasa.
Kakek berpakaian kuning terus merambat ke
atas setapak demi setapak. Hingga akhirnya dia
sampai pada sebongkah batu cadas berbentuk segi
empat, mirip sebuah meja yang menempel pada
dinding tebing. Ternyata, di balik batu cadas itu
terdapat dinding tebing yang menjorok ke dalam.
Sebuah lobang besar setinggi dua tombak
menganga. Air dari atas menetes melewati mulut
gua. Kakek berpakaian kuning kini berdiri di atas
batu cadas persegi. Diusapnya keningnya. Lalu,
sekujur wajahnya yang basah kuyup. Rambutnya
yang putih juga basah. Begitu pula pakaiannya.
Bahkan, kotor oleh lumut bercampur lumpur.
Setelah menghela napas dalam-dalam dia
melangkah memasuki mulut gua yang gelap.
Kakinya terus melangkah ke dalam melewati lorong
berdinding batu cadas. Setelah melalui tikungan
tampaklah seberkas sinar dari dalam gua. Kakek itu
melangkah mendekati cahaya. Ternyata sinar terang
itu berasal dari beberapa obor yang terpancang di
sebuah ruangan cukup besar.
Baru dua langkah kakek itu menuruni tangga
berundak untuk masuk ke ruangan, terdengar
sebuah suara menegurnya,
"Bagaimana
hasil yang kau peroleh, Langgengpura...?" suara seorang wanita tua. Belum
terlihat di mana wanita itu berada.
"Ada kabar baru, Nyai," jawab kakek
berpakaian kuning yang ternyata Ki Langgengpura.
Kakinya melangkah mendekati ruangan yang
tertutup pintu dari batu besar.
Ketika Ki Langgengpura sampai di depannya,
pintu itu terbuka perlahan-lahan. Dia terus
melangkah ke dalam. Ruangan itu terang benderang.
Beberapa obor terpancang di dinding-dinding
ruangan. Di satu sudut duduk seorang wanita tua
berambut putih. Ia mengenakan pakaian longgar
berwarna merah. Wajahnya yang terkena bias
cahaya obor terlihat sangat buruk. Kasar dan
kehitaman. Raut wajah kasar itu menunjukkan
kebengisan yang dimiliki wanita berusia delapan
puluh tahun ini.
"Kabar apa itu, Langgeng?" Nenek itu
menggoyangkan kepalanya yang berambut putih.
"Sungguh tak kusangka, Nyai Cangkring
Abang. Sahabatku yang kini memimpin Perguruan
Bambu Wulung ternyata banyak mengetahui tentang
Kitab Candra Catur Pamukti. Kemarin aku
mengunjunginya. Banyak kudapat keterangan
penting tentang kitab kuno itu. Sayang, dia tidak
menjelaskan di mana kitab itu kini berada..."
Ki Langgengpura kemudian menceritakan apa
yang didengarnya dari Ki Dungkut Marta.
Mendengar penuturan Ki Langgengpura, nenek
berpakaian merah terkekeh-kekeh,
"Heh he he he,..! Kau ternyata lebih bodoh,
Langgeng! Kalau Dungkut tahu banyak tentang
kitab itu, tentu dia pun tahu di mana kitab itu kini
berada. Biar Empat Bidadari nanti yang akan
mengoreknya."
"Tidak bisa, Nyai."
"Apa yang tidak bisa?"
"Dungkut sudah tahu kabar pembantaian
yang dilakukan Laksmi dan adik-adiknya. Sebaiknya
aku saja yang mendatangi Dungkut. Dia belum
menaruh curiga kepadaku," sahut Ki Langgengpura.
"Terserah.
Atur bagaimana baiknya, Langgeng. Yang penting, aku harus tahu di mana
kitab itu berada," Nyai Cangkring Abang lalu bangkit
dari duduknya. "Pergilah sekarang!"
Ki Langgengpura hanya memandangi ketika
Nyai Cangkring Abang memasuki ruangan lain yang
dipisahkan dinding batu cadas. Di dalam ruangan
itu tampak beberapa pemuda berwajah tampan dan
bertubuh gagah tengah berbaring di lantai. Tubuhtubuh gagah yang tak mengenakan
pakaian secuil pun itu bangkit berdiri ketika Nyai Cangkring Abang
memasuki ruangan.
Nenek berwajah kasar dan bengis itu
tersenyum, tapi terus melangkah menuju ruangan
lain, ia memasuki ruangan yang tidak seberapa luas
dan remang-remang. Di atas meja batu terdapat
bejana besar mirip penggorengan. Nyai Cangkring
Abang melepaskan pakaiannya satu-persatu. Kini
tubuh perempuan tua berambut panjang itu tak
tertutup sehelai benang pun. Tubuhnya yang renta
sudah keriput. Buah dadanya kendor dan
menggantung lemas.
Nyai Cangkring Abang mendekati bejana
besar yang berisi cairan merah mirip darah.
Matanya terpejam dengan mulut berkomat-kamit
merapal mantera. Tak lama kemudian, kedua
tangannya dijulurkan ke dalam bejana. Dicelupkan
ke cairan merah. Lalu, nenek itu membasuh wajah
dan sekujur badannya dengan kedua telapak tangan
yang sudah basah oleh cairan merah. Sekujur badan
yang telah keriput dan kendor itu kini berwarna
merah tak beraturan. Namun, apa yang terjadi
kemudian sungguh mengejutkan. Tubuh tua renta
itu menjelma menjadi sesosok tubuh sintal, mulus,
dan muda. Masih dalam keadaan tanpa sehelai pakaian
pun Nyai Cangkring Abang melangkah keluar ke
tempat para pemuda tampan. Begitu cahaya obor
menerangi tampaklah sesosok wanita cantik jelita
bertubuh sintal dan mulus. Rambutnya yang hitam
panjang tergerai. Senyum Nyai Cangkring Abang
benar-benar mengagumkan. Nenek yang menjelma
menjadi wanita cantik itu menjulurkan kedua belah
tangan menyambut para pemuda tampan yang
berebut hendak memeluknya.
Mereka saling berebut mencium dan memeluk
tubuh wanita cantik itu. Ada yang menjilati dada,
perut, bahkan kakinya. Para pemuda itu mendesahdesah dalam pelukan dan belaian
Nyai Cangkring Abang. Rintihan kemesraan memenuhi ruangan yang
terang-benderang. Keempat pemuda itu kemudian
mengangkat Nyai Cangkring Abang, lalu dibawa ke
sebuah tempat tidur dari batu halus dan licin sekali.
Mereka menciumi dan menjilati sekujur tubuh sintal
Nyai Cangkring Abang.
Ki Langgengpura yang belum juga beranjak
dari tempatnya semula memejamkan mata rapatrapat. Ia tak tahan mendengar
desahan-desahan
penuh kenikmatan dari mulut Nyai Cangkring Abang
di antara dengusan nafas para pemuda piaraannya.
Tak lama kemudian, kakek berpakaian kuning itu
melangkah keluar dan melesat turun melalui tali.
Hari telah menjelang malam ketika Ki
Langgengpura meninggalkan lembah terjal berbatubatu. Suasana gelap dan hujan
gerimis tak dihiraukannya. Ia terus berlari meninggalkan
lembah yang sunyi dan sepi itu.
*** 6 Pagi baru saja mengantarkan cahaya sang
surya menerangi bumi. Seekor kuda melesat menuju
Lembah Gunung Pring. Kakek berpakaian kuning itu
terus menggebahnya. Sampai di depan pintu
gerbang Perguruan Bambu Wulung, kakek yang tak
lain Ki Langgengpura melompat turun.
Beberapa murid Perguruan Bambu Wulung
segera menyambutnya dengan ramah. Mereka tahu
Ki Langgengpura sahabat Ki Dungkut Marta.
Dengan langkah tergesa-gesa, Ki Langgengpura menuju rumah Ki Dungkut Marta.
Seorang murid perguruan Bambu Wulung berlari
untuk memberitahu Ki Dungkut Marta. Tak lama
kemudian, Ki Dungkut Marta keluar dari bangunan
induk yang dijadikan tempat tinggalnya. Lelaki tua
berpakaian ungu itu mengerutkan kening menyaksikan kedatangan kawannya yang begitu
tergesa-gesa. "Apa yang telah terjadi, Langgeng?" tanya Ki
Dungkut Marta dengan suara parau.
Ki Langgengpura tidak segera menjawab.
Kakinya terus melangkah tergesa-gesa menaiki anak
tangga serambi rumah. Sementara, Ki Dungkut
Marta terus memandangi dengan berbagai perasaan
aneh di hatinya.
"Masuklah! Kita bicara di dalam...," ajak Ki


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dungkut Marta. Kedua lelaki tua itu segera masuk. Sampai di
dalam keduanya duduk seperti beberapa hari lalu,
ketika membicarakan tentang sepak terjang Empat
Bidadari Lembah Neraka.
"Ada kabar buruk, Dungkut. Semua muridku
kudapati tewas bergelimpangan di pelataran
rumahku. Ini pasti perbuatan Empat Bidadari
Lembah Neraka...," lapor Ki Langgengpura dengan
napas terengah-engah. Wajahnya dibuat sedih dan
tegang. Kegelisahan melanda hati Ki Dungkut Marta.
Wajah lelaki berpakaian ungu itu tampak muram.
Kesedihan tergambar jelas di matanya yang tajam
dan terhias alis tebal berwarna putih.
"Hhh..... Cepat atau lambat mereka pasti
akan kemari juga," ujar Ki Dungkut Marta setelah
menghela napas berat, seolah hendak membuang
perasaan sedihnya.
"Beruntung aku tidak ada di rumah,
Dungkut. Tapi, aku tak tega melihat nasib muridmuridku. Tubuh mereka habis
dicincang! Aku pun
tak yakin dapat menghadapi Empat Bidadari
Lembah Neraka. Mulai sekarang kau harus berhatihati, Dungkut! Mungkin hari ini
mereka menuju kemari." Ki Langgengpura menatap wajah Ki
Dungkut Marta dalam-dalam. "Satu-satunya pilihan
bagi kita hanya mengatakan di mana kitab itu
berada. Kecuali kalau kita ingin mati konyol di
tangan mereka."
Tercengang Ki Dungkut Marta mendengar
kata-kata kawannya. Hatinya menaruh rasa curiga
pada Ki Langgengpura. Ucapan Ki Langgengpura
dirasakan sebagai desakan agar ia mengatakan di
mana kitab kuno itu.
"Hm. Apa kau juga menginginkan kitab itu,
Langgeng?" tanya Ki Dungkut Marta, datar.
"Jangan salah sangka, Dungkut. Aku hanya
menginginkan keselamatanmu...."
"Keselamatan dengan menjual harga diri,
Langgeng?" sahut Ki Dungkut Marta lagi. Ia mulai
merasa kesal. "Katakan di mana Kitab Candra Catur
Pamukti berada, Dungkut! Jangan sampai aku
harus bertarung denganmu...!"
Terkejut bukan main Ki Dungkut Marta
mendengar tantangan Ki Langgengpura. Sungguh
tak disangka sahabatnya itu akan bertindak
demikian. Rasa curiga yang ada sejak kedatangan Ki
Langgengpura tadi kini semakin jelas terasa.
Namun, lelaki tua berambut panjang digelung
ini tetap tenang duduk bersila di lantai. Sementara
Ki Langgengpura telah bangkit berdiri di depannya.
"Terpaksa kugunakan kekerasan kalau kau
tak bersedia menunjukkan di mana kitab itu,
Dungkut!" Mata Ki Langgengpura berkilat menatap
Ki Dungkut Marta.
Ki Dungkut Marta tetap duduk bersila.
Matanya yang tajam menentang pandang tatapan Ki
Langgengpura. Sekarang jelas terlihat di mata Ki
Langgengpura sinar kejahatan. Lelaki tua berjubah
ungu itu baru menyadari Ki Langgengpura bukanlah
sahabatnya yang dikenal dulu. Ki Langgengpura
yang ada di depannya kini telah menjadi seorang
kakek yang hatinya diliputi keangkaramurkaan.
Sebagai tokoh tua yang telah kenyang makan
asam garam kehidupan dunia persilatan, Ki
Dungkut Marta dapat membaca sinar mata berkilat
milik Ki Langgengpura.
"Dungkut, tak ada waktu untuk berlama-lama
di sini. Cepat katakan, di mana kitab itu berada!
Atau, katakan siapa orang yang mengetahuinya.
Cepat...!"
Melihat Ki Dungkut Marta tetap membisu,
habislah kesabaran Ki Langgengpura. Dicabutnya
pedang yang tersampir di pundak. Lalu, dengan
cepat dan tanpa ragu-ragu dibabatkan ke kepala Ki
Dungkut Marta yang masih duduk di depannya.
Siut! Braaakkk! Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Ki
Dungkut Marta menggulingkan tubuh ke belakang.
Pedang Ki Langgengpura pun membabat lantai yang
terbuat dari kayu. Melihat lawan berhasil mengelak,
Ki Langgengpura langsung melompat memburunya.
Tetapi Ki Dungkut Marta yang telah melompat ke
belakang setelah berdiri dari bergulingan berhasil
merenggut senjata andalannya. Sebatang tongkat
dari bambu hitam yang tadi tergantung di dinding.
Trakkk! Babatan pedang Ki Langgengpura berhasil
dipapaki dengan tongkat bambu hitam. Anehnya,
sedikit pun tak ada bekas yang terlihat pada tongkat
bambu. Hanya tubuh Ki Dungkut Marta yang
tergetar ketika terjadi benturan dengan pedang
lawan. Ki Langgengpura pun demikian. Tubuhnya
terdorong mundur dua langkah. Namun kemudian,
dengan penuh nafsu kakek berpakaian kuning itu
merangsek maju. Pertarungan sengit terjadi di dalam
ruangan utama rumah besar itu.
Teriakan dan benturan kedua senjata
didengar oleh murid-murid Perguruan Bambu
Wulung yang berada di luar rumah. Mereka
berlarian masuk ke rumah. Ketika melihat guru
mereka tengah bertarung dengan kawannya, muridmurid itu tampak ragu untuk
bertindak. "Menyingkirlah kalian! Ini bukan urusan
kalian...!" seru Ki Dungkut Marta kepada muridmuridnya. Itu semakin membuat
murid-murid Bambu Wulung tak berani bertindak.
Perhatian kepada murid-muridnya membuat
Ki Dungkut Marta lengah. Satu babatan secepat
kilat yang dilancarkan Ki Langgengpura tak mampu
dielakkan. Tangannya dengan cepat mengangkat
tongkat Bambu Wulung untuk menangkisnya.
Benturan keras pun terjadi. Tubuh Ki
Dungkut Marta terdorong hingga membentur
dinding. Sementara Ki Langgengpura yang hanya
tergetar sedikit segera melancarkan serangan
susulan berupa tusukan ke arah perut.
Tusukan itu pun tidak mengenai sasaran,
melainkan menghujam bilik bambu. Ki Dungkut
Marta telah lebih dulu menggeser tubuhnya ke
samping kanan. Lalu, dengan tak kalah cepat pula
lelaki tua berjubah ungu itu menghantamkan
tongkat Bambu Wulung-nya ke punggung lawan.
Blukkk! Ki Langgengpura terpekik kaget. Tubuhnya
tersungkur ke depan dan membentur dinding
rumah. Ki Dungkut Marta sengaja tidak menusukkan tongkatnya. Padahal kalau mau, dia
mampu menghabisi nyawa sahabatnya dengan
ujung tongkat Bambu Wulung yang runcing. Namun
pertimbangan lain telah membuatnya hanya
menggebuk punggung Ki Langgengpura.
"Langgeng, untuk apa kau mencari kitab itu?"
tanya Ki Dungkut Marta. Ia tidak melanjutkan
serangannya. Ki Langgengpura bangkit berdiri dan membalas tatapan Ki Dungkut Marta. "Aku hanya
ingin menyelamatkan dunia persilatan dan mengamankan keresahan orang banyak. Dengan
menyerahkan kitab itu kepada Empat Bidadari
Lembah Neraka mungkin keadaan akan berubah.
Sebelum korban jatuh lebih banyak lagi, Dungkut.
Kuminta, serahkan kitab itu padaku sekarang!"
ujarnya bernada memaksa.
"Sudah kukatakan, kitab itu telah lenyap dari
muka bumi ini. Ke mana pun akan kau cari takkan
ketemu, Langgeng."
"Kau sejak dulu memang keras kepala.
Dungkut!" Wuuuttt! Belum habis ucapan Ki Langgengpura
pedangnya telah berkelebat membabat tubuh Ki
Dungkut Marta. Namun, Ki Dungkut Marta dapat
mengelakkannya dengan melompat ke belakang.
Lelaki tua berjubah ungu itu melanjutkan
lompatannya untuk keluar dari rumah lewat pintu
belakang. Melihat lawannya melesat keluar, Ki Langgengpura pun memburunya. Terjadilah pertarungan di halaman belakang.
Saat itulah tiga sosok bayangan hijau melesat
memasuki pintu gerbang Perguruan Bambu wulung.
Murid-murid Ki Dungkut Marta segera menyambut
ketiga lelaki berpakaian hijau itu. Di pundak mereka
tersampir pedang panjang dengan sarung berwarna
hitam legam. Ketiganya memiliki rambut panjang
dan ikal. "Benarkah ini Perguruan Bambu Wulung?"
tanya lelaki yang berwajah bersih tanpa kumis dan
cambang. "Benar. Siapakah Saudara sekalian?" Seorang
murid Perguruan Bambu Wulung balik bertanya.
"Kami ingin menemui Ki Dungkut Marta.
Kami bertiga diutus oleh guru kami untuk
menyampaikan surat ini...." Lelaki berpakaian hijau
itu menunjukkan segulungan lembaran kulit.
Tiba-tiba, terdengar pekik menyayat hati dari
arah belakang rumah. Suara itu tentu saja
mengejutkan ketiga lelaki berpakaian hijau. Mereka
tidak mengetahui apa yang tengah terjadi.
Mendadak sesosok bayangan kuning melayang di atas atap rumah. Lalu, mendarat di
depan mereka. "Ha ha ha.... Guru kalian telah tewas! Siapa di
antara kalian yang mengetahui di mana Kitab
Candra Catur Pamukti berada?" tanya kakek
berpakaian kuning yang tak lain Ki Langgengpura.
Mendengar pertanyaan Ki Langgengpura,
ketiga lelaki muda berpakaian hijau membelalakkan
mata. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan
saat itu. Tujuan mereka datang kemari adalah
hendak menemui Ki Dungkut Marta. Ternyata beliau
baru saja tewas di tangan kakek yang berdiri gagah
di depan mereka ini.
"Hei, siapa kalian"!" bentak Ki Langgengpura
kepada ketiga lelaki berpakaian hijau.
"Seraaang...!"
"Serbuuu...!"
*** Beberapa murid Perguruan Bambu Wulung
langsung berlompatan menerjang Ki Langgengpura.
Pedang dan golok di tangan mereka berkelebatan
tertuju ke tubuh kakek berpakaian kuning itu.
Ki Langgengpura bergegas melenting menjauhi murid-murid Ki Dungkut Marta. Tapi,
mereka terus memburu dengan kemarahan yang
meluap-luap mendengar guru mereka tewas di
tangan Ki Langgengpura.
Begitu mendarat beberapa tombak dari ketiga
lelaki berpakaian hijau, Ki Langgengpura memutar
pedangnya memapaki semua serangan murid Ki
Dungkut Marta. Bentakan penuh kemarahan pun
meningkahi suara pedang dan golok yang saling
beradu. Tak lama kemudian, dua orang murid
Perguruan Bambu Wulung terjungkal dengan dada
tergores pedang Ki Langgengpura.
Melihat kedua kawan mereka tewas, muridmurid yang lain serentak merangsek maju
ke arah Ki Langgengpura. Mereka

Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan berani membabatkan golok dan pedangnya. Dengan cepat
Ki Langgengpura melenting dan melompat ke sana
kemari seraya mengibaskan pedangnya memapaki
serangan lawan. Kakek berambut panjang ini masih
tangguh dalam usianya yang telah lebih dari tujuh
puluh tahun. Tak satu pun serangan murid-murid
Ki Dungkut Marta yang berhasil melukai tubuhnya.
Bahkan, sekali Ki Langgengpura memperoleh
kesempatan pedangnya berputar dan membabat
tubuh mereka. Jeritan kesakitan pun berkumandang susul-menyusul dari murid-murid
Perguruan Bambu Wulung.
Sungguh tak ada yang mampu menandingi
ilmu meringankan tubuh kakek itu. Meskipun
belasan murid Ki Dungkut Marta mengeroyoknya, Ki
Langgengpura dengan mudah mengelak dan
menangkis setiap serangan.
Suatu ketika, salah seorang murid Perguruan
Bambu Wulung berhasil menyarangkan goloknya di
punggung Ki Langgengpura. Golok itu mendarat
telak. Namun keterkejutan segera terjadi. Golok itu
membalik kembali bagai membabat benda kenyal
yang tak mempan dengan benda tajam.
"Ilmu setan...,"
gumam ketiga lelaki berpakaian hijau.
"Ha ha ha ha...! Jangan terlalu gegabah
menghadapiku! Kalau kalian sayang dengan nyawa,
katakan di mana kitab kuno itu berada...?"
Namun, tak satu pun di antara murid-murid
Ki Dungkut Marta yang memberikan jawaban.
"Hei, Orang tua! Siapa kau sebenarnya?" seru
salah seorang lelaki berpakaian hijau sambil
menatap Ki Langgengpura.
"Untuk apa kau tanyakan namaku, Anak
Muda" Aku Ki Langgengpura...," jawab Ki
Langgengpura. "Heh" Kakang Panji dialah orang yang
disebutkan Ki Hajar dalam surat ini!" gumam lelaki
berpakaian hijau kepada kawannya.
Rupanya, gumaman itu didengar Ki Langgengpura. Tubuh kakek berpakaian kuning itu
melesat menghampiri ketiga lelaki berpakaian hijau.
"Rupanya kalian murid-murid Hajar Barada.
Surat apa yang kalian
bawa?" tanya Ki
Langgengpura. Sementara murid-murid Perguruan
Bambu Wulung telah bergerak mendekati kakek itu.
Mendapati dirinya telah terkepung, Ki
Langgengpura melesat cepat. Tangan kirinya
menyambar surat yang dipegang lelaki berpakaian
hijau. Namun dengan cepat lelaki berwajah bersih
itu menariknya ke belakang, hingga Ki Langgengpura tak berhasil merebut surat itu.
Kedua kawannya telah menyebar ke kanan
dan kiri sambil meloloskan pedang. Ki Langgengpura
yang melihat ketiga lelaki berpakaian hijau telah
menghunus pedang segera memutar tubuh. Lalu,
melenting ke atas keluar dari kepungan.
"Heaaa...!"
Murid-murid Perguruan Bambu Wulung yang
berjumlah lima belas orang merangsek maju ke arah
Ki Langgengpura. Dua orang murid berpakaian ungu
itu melompat melancarkan serangan dengan
tendangan kaki. Namun Ki Langgengpura telah
membabatkan pedang ke belakang.
Crakkk! Pekik kesakitan pun berkumandang. Salah
satu murid Ki Dungkut Marta terjungkal dengan
kaki kanan buntung terbabat pedang Ki Langgengpura. Satu orang lagi yang juga tak
berhasil menyarangkan serangan mendapat pukulan
tangan kiri. Keduanya terjungkal ke tanah.
Setelah berhasil menjatuhkan kedua lawannya, Ki Langgengpura bergerak cepat.
Tubuhnya diputar gasing. Sementara pedang yang
ikut berputar menyambar ke sana kemari memburu
mangsa. Wut! Wut! Wut! Cras! Cras! Dari serangan kilat itu tiga orang murid
Perguruan Bambu Wulung berjatuhan dengan tubuh
terbabat pedang. Tanpa mempedulikan ketiga
korbannya, Ki Langgengpura terus mengirimkan
serangan gencar. Bagai sebuah kitiran pedangnya
hanya menampakkan cahaya keperakan yang
berputar. Deru angin putarannya terdengar
berkesiutan. Sekejap kemudian, dua orang lelaki
berpakaian ungu kembali terjungkal dengan
punggung robek.
Tiga lelaki berpakaian hijau yang tadi hanya
menonton dan membawa surat untuk Ki Dungkut
Marta kini melesat melakukan serangan. Dengan
bersenjata pedang mereka menerjang Ki Langgengpura. Namun, kakek berpakaian kuning itu
mengetahui serangan mereka.
"Heaaa...!"
Trang! Trang! Dua benturan keras terdengar ketika Ki
Langgengpura berhasil menangkis serangan ketiga
lelaki berpakaian hijau. Ki Langgengpura maupun
ketiga murid Ki Hajar Barada tergetar mundur.
Tampaknya, Ki Langgengpura mengerahkan kekuatan tenaga dalam ketika melakukan tangkisan. Kakek berjubah kuning ini lebih dulu berhasil
menguasai keadaan. Ketika ketiga lawannya tengah
merasakan getaran di tangan mereka, Ki Langgengpura sudah melompat menerjang. Pedangnya berkelebat cepat menyambar tubuh
lawan. Craaas! Pekik kesakitan mengiringi terhuyunghuyungnya tubuh salah seorang murid Ki Hajar
Barada. Sambaran pedang Ki Langgengpura mendarat
di pundak kanannya. Darah mengucur deras dari
pundak lelaki berpakaian hijau itu. Namun, dia
mampu bertahan untuk berdiri. Kini pedangnya
digenggam dengan kedua tangan, siap menghadapi
Ki Langgengpura.
Kedua kawannya yang sempat menghindar
dari sambaran pedang Ki Langgengpura cepat
berlompatan memberikan serangan dari kanan dan
kiri. Serangan yang tak diperhitungkan sama
sekali itu membuat Ki Langgengpura kelabakan.
Tangan kanannya mengibaskan pedang untuk
menangkis. Trang! Bekkk! Ketiga lelaki berpakaian hijau tersentak kaget.
Tusukan pedang Panji yang mendarat telak di
pinggang Ki Langgengpura terpental balik. Bagai
menusuk benda kenyal pedang itu tak mampu
menembusnya. Mereka baru menyadari kalau lawan yang
dihadapinya bukan tokoh sembarangan. Ilmu kebal
tubuhnya tak mampu ditembus pedang.
Ki Langgengpura sejak muda memang telah
memiliki ilmu yang mampu membuat kebal
tubuhnya. Dia yang dulu dikenal sebagai Pendekar
Seribu Pedang sangat kesohor di dunia persilatan. Ia
bersahabat dengan Ki Dungkut Marta yang menjadi
murid Ki Hajar Barada. Kakek itu kini masih hidup
dan berdiam di kaki Gunung Sumbing.
Namun, siapa yang menyangka sekarang
pendekar yang mampu memainkan pedang secepat
kilat itu menggabungkan diri dengan tokoh sesat
bernama Nyai Cungkring Abang.
"He he he he.... Mana mungkin kalian muridmurid Ki Hajar mampu mengalahkanku."
"Ki Langgeng, ketahuilah! Kedatangan kami
kemari memang untuk menyelidiki sepak terjangmu.
Ki Hajar Barada telah mencium kegiatanmu. Kami
menduga kau telah bersekongkol dengan Empat
Bidadari Lembah Neraka...!"
"Huh. Kepalang tanggung bagiku untuk menyembunyikan diri. Aku memang bekerja
sama dengan mereka," ujar Ki Langgengpura mengakui.
"Bosan aku malang melintang di rimba persilatan.
Aku ingin menghabiskan masa tua untuk menikmati
kebahagiaan hidup di dunia. Maka ketika aku
dikalahkan Nyai Cangkring Abang beberapa bulan
yang lalu, aku memutuskan untuk bergabung
dengan mereka. Aku tahu Dungkut banyak
mengetahui tentang Kitab Candra Catur Pamukti.
Terpaksa aku menghabisi nyawanya karena dia
bertahan tak mau menerangkan di mana kitab itu
berada. Lalu, apa yang kalian inginkan sekarang...?"
tanyanya sambil terus menggenggam pedang dengan
kedua tangan. Matanya yang mencorong tajam
menatap Panji dan kedua kawannya.
'Terpaksa kami pun akan menggunakan
kekerasan kalau kau tak bersedia kembali ke jalan
lurus. Maafkan sebelumnya jika kami terpaksa
menantangmu, Ki Langgeng."
"He he he.... Sungguh berani mati kalian
menantang Pendekar Pedang Seribu!" Ki Langgengpura terus mengawasi ketiga murid Ki
Hajar Barada yang telah bergerak menyebar.
Ketiganya mengepung kakek berpakaian kuning itu
dari tiga penjuru. Sementara murid-murid Perguruan Bambu Wulung hanya menyaksikan.
Mereka tahu ketiga lelaki berpakaian hijau itu
bukan orang-orang sembarangan. Ki Hajar Barada
telah mempercayakan mereka, tentu karena
ketiganya merupakan murid-murid andalan.
"Pedang Seribu Membelah Badai. Heaaah...!"
teriakan keras mengguntur dikeluarkan salah seorang lelaki berpakaian hijau.
Tampaknya, mereka
memiliki ilmu yang hampir sama dengan Ki
Langgengpura. Melihat ketiga lawannya telah melesat
melancarkan serangan, Ki Langgengpura segera


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempersiapkan kuda-kuda. Begitu kedua tangannya menggenggam pedang terangkat ke atas,
tubuhnya segera berputar bagai gasing. Pedangnya
ikut berputar cepat. Bentuk pedang panjang itu
lenyap. Yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya
keperakan yang berputar cepat. Deru angin
mengiringi putaran pedang Ki Langgengpura.
Ketiga murid Ki Barada telah merangsek
dalam jarak dekat. Benturan pedang yang bergerak
cepat memperdengarkan suara rentetan keras bagai
ratusan pedang yang saling beradu.
Demikian cepat gerakan yang mereka lakukan
hingga sulit diikuti mata biasa. Mereka saling
berputar dan berkelebatan dalam jarak dekat. Tibatiba,
terdengar pekik kesakitan mengiringi terlontarnya salah seorang lelaki berpakaian hijau.
Darah segar muncrat dari bagian lehernya
yang tersayat ujung pedang Ki Langgengpura.
"Brata...!" Panji terpekik kaget melihat
kawannya terjungkal dengan leher hampir putus.
Lelaki berpakaian hijau itu berkelojotan sebentar
kemudian diam tak bergerak-gerak.
Murid-murid Perguruan Bambu Wulung yang
menyaksikan pertarungan pun terkejut. Mereka tak
melihat apa yang dilakukan Ki Langgengpura.
Tubuh Brata telah terlontar beberapa tombak dari
kancah pertarungan.
Tewasnya Brata membuat kekuatan ketiga
murid Ki Hajar Barada mulai tak seimbang. Namun,
mereka tanpa kehilangan semangat terus bertahan
dan memburu Ki Langgengpura. Bentakan dan
pekikan penuh kegeraman terdengar dari mulut
kedua lelaki berpakaian hijau. Sementara Ki
Langgengpura sedikit pun tidak mengeluarkan
suara, kecuali bunyi berkesiutan pedang di
tangannya. Dalam satu kesempatan yang baik, Panji dan
kawannya berhasil menggempur pertahanan lawan.
Kakek berpakaian kuning itu bergerak mundur,
meskipun pedang di tangannya tidak berhenti
berputar. Sebuah bentakan keras dari mulut Panji
mengiringi serangan maut pedangnya. Babatan yang
dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi
berhasil membabat bawah pundak Ki Langgengpura.
Akibatnya, Ki Langgengpura terdorong ke
belakang beberapa langkah. Namun tak sedikit pun
luka pada pundaknya. Ilmu kekebalan tubuhnya tak
mampu ditembus 'Pedang Seribu Membelah Badai'
murid Ki Hajar Barada.
Melihat lawan sempoyongan dan kehilangan
keseimbangan, Panji langsung memburu dengan
serangan susulan. Namun...
"Hiiih...!"
Jrabs! Pekikan menyayat mengiringi terjungkalnya
tubuh pemuda berpakaian hijau itu. Darah segar
muncrat dari dadanya yang tertusuk pedang Ki
Langgengpura. "He he he.... Sudah kubilang, kalian tak akan
mampu menghadapi Pendekar Pedang Seribu! Boleh
juga ilmu kalian. Sayang, kalian terlalu gegabah....!"
Nampaknya Ki Langgengpura tadi hanya
berpura-pura untuk memberi kesempatan lawan
menyerangnya. Ternyata benar. Ketika dengan
penuh nafsu Panji mengirimkan serangan, pedang Ki
Langgengpura bergerak cepat menusuknya.
Kini tinggal satu lawan yang harus dihadapi
Pendekar Pedang Seribu. Lelaki muda berpakaian
hijau itu meskipun tinggal sendirian tak sedikit pun
menampakkan kegentaran. Ditatapnya wajah kakek
di depannya seraya menarik kedua tangannya yang
menggenggam pedang sampai di depan dada.
Kemudian, tubuhnya melesat cepat sambil
membabatkan pedang ke tubuh Ki Langgengpura.
Namun hanya dengan sedikit menarik tubuh ke
samping kanan, kakek itu berhasil mengelakkan
serangan. Lalu, pedangnya cepat dikibaskan
memotong pedang lelaki berpakaian hijau.
Mendapat tebasan pedang Ki Langgengpura,
lelaki berpakaian hijau hampir tersuruk jatuh.
Namun secepatnya ia mengatur keseimbangan
tubuh. Bahkan dengan gerakan yang manis dia
bersalto ke belakang.
Bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki
lelaki muda itu babatan pedang Ki Langgengpura
meluncur ke arahnya!
Cepat ditangkisnya pedang lawan hingga
memperdengarkan bunyi berdentang. Tetapi Ki
Langgengpura hanya ingin mengecohnya. Setelah
terjadi benturan, kaki kanannya melayang dan
mendarat di atas pinggang lawan.
Bluk! Lelaki muda berpakaian hijau itu terpental
dua langkah ke samping kiri. Ketika tubuhnya
terhuyung-huyung, Ki Langgengpura melanjutkan
serangan dengan babatan pedang. Hingga....
Crasss! Murid Ki Hajar Barada menjerit kesakitan.
Pedang Ki Langgengpura membabat punggungnya.
Tanpa ampun lagi tubuh pemuda berpakaian hijau
terjungkal. Ki Langgengpura segera memburunya
dengan serangan susulan.
Namun pemuda itu mengetahuinya. Tubuhnya yang tergeletak di tanah dengan cepat
digulingkan ke kanan. Maka, sambaran pedang
lawan hanya mengenai tanah. Pemuda berpakaian
hijau terus bergulingan menjauh, mengelakkan
tusukan pedang lawan yang terus memburu. Darah
yang keluar dari punggungnya berceceran membasahi tanah.
Tiba-tiba, pemuda itu menghentikan gulingannya. Lawan tak lagi mengejarnya. Dengan
cepat dia bangkit berdiri. Ki Langgengpura telah
melompat ke arah tubuh Panji yang tergeletak
berlumuran darah. Kakek itu menyambar gulungan
surat yang berada di tangan Panji. Kemudian, cepat
melesat meninggalkan tempat pertarungan.
"Pengecut, jangan lari...!" Lelaki berpakaian
hijau hendak mengejar. Namun, dalam sekejap saja
sosok Ki Langgengpura telah berada jauh. Mengingat
tubuhnya yang mengalami luka parah, pemuda itu
mengurungkan niatnya.
Enam orang murid Perguruan Bambu Wulung
segera memberikan pertolongan. Mereka sebagian
mengangkat tubuh Panji dan kawannya serta
kawan-kawan mereka yang tewas. Yang lain
mengajak pemuda berpakaian hijau yang terluka
masuk ke dalam rumah untuk diberikan pengobatan. *** 7 Murid-murid Perguruan Bambu Wulung
masih sibuk menguburkan kawan-kawan mereka
yang tewas ketika enam orang pemuda memasuki
pintu gerbang perguruan. Keenam pemuda itu tidak
lain Busro dan kedua kawannya yang mengantarkan
Pendekar Gila serta dua pendekar lain yaitu Brasta
dan Gandra. Ketiga murid Perguruan Bambu Wulung yang
baru datang itu terkejut bukan main melihat
pemandangan di depan rumah Ki Dungkut Marta.
Mayat-mayat berlumuran darah bergelimpangan di
sana-sini. Perasaan serupa pun menyelimuti hati
Brasta dan Gandra. Sementara Pendekar Gila justru
tertawa-tawa sendirian.
"Apa yang terjadi...?" tanya Busro kepada
salah seorang kawannya yang hendak mengangkat
mayat lelaki berpakaian hijau.
"Ki Langgeng telah membunuh guru kita,
Kang Busro," jawab murid itu dengan wajah
murung. "Heh"! Di mana...?"
"Mayat Ki Dungkut masih di belakang."
Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, Busro
dan kedua kawannya bergegas berlari ke belakang
rumah. Pendekar Gila, Brasta, serta Gandra segera
mengikuti. Sampai di belakang rumah mereka melihat
dua orang murid Ki Dungkut Marta tengah
mengangkat lelaki tua itu untuk dibawa masuk ke
rumah. Tampaknya Ki Dungkut Marta masih hidup.
Busro dan yang lainnya bergegas mengikuti masuk
ke rumah. Tubuh lelaki tua berpakaian ungu itu
diletakkan di atas balai-balai bambu. Pakaiannya
penuh bersimbah darah. Namun, wajahnya tampak
bersinar-sinar, seolah semangat hidup masih
bertahan di sana.
Pendekar Gila segera mendekati Ki Dungkut
Marta. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
berdiri di samping balai-balai bambu. Ditatapnya
wajah lelaki tua berjenggot putih itu yang juga
tengah menatapnya. Bibir Ki Dungkut Marta
tersenyum. Ia hendak mengucapkan kata-kata, tapi
tak mampu. Dari wajahnya terbaca keinginan untuk
bangkit duduk ketika melihat Pendekar Gila ada di
hadapannya. Namun, luka-luka di dada dan
perutnya menghalangi hasratnya yang besar itu.
Sebagai seorang pendekar yang memiliki
ketajaman naluri perasaan Sena Manggala mampu
membaca keinginan Ki Dungkut Marta. Kini dia
berjongkok di samping tempat pembaringan.
Telinganya didekatkan. Barangkali lelaki tua itu
ingin mengucapkan sesuatu. Ternyata benar.
Ucapan itu lirih sekali. Tak seorang pun yang ada di
situ dapat mendengarnya kecuali Sena sendiri.
"Aku tahu, kau murid Singo Edan...," bisik Ki
Dungkut Marta setelah menarik napas dalam-dalam.
"Hanya kau yang mampu mengatasi kekacauan ini,
Pendekar Gila..."
Sena tersenyum. Ki Ageng Mantingan
memang banyak bercerita tentang dirinya kepada Ki
Dungkut Marta. Maka ketika Ki Ageng Mantingan
memintanya untuk mengunjungi Perguruan Bambu
Wulung ini, beliau mengatakan Ki Dungkut Marta
pasti sudah mengenalnya, meskipun belum pernah
berjumpa dengan Sena.
Sebenarnya sudah lama Ki Ageng Mantingan
menyuruh Sena agar memenuhi undangan Ki
Dungkut Marta. Namun Sena tampaknya tak
banyak memiliki waktu untuk perjalanan yang
cukup jauh. Selama perjalanan saja pasti ada
persoalan yang harus dihadapi. Ketika terbetik
kabar adanya kekacauan yang dilakukan Empat
Bidadari Lembah Neraka, Sena segera memutuskan
untuk berangkat menemui Ki Dungkut Marta.
Kini setelah sampai di Perguruan Bambu
Wulung ternyata yang ditemui sungguh di luar
dugaan. Orang yang akan ditemuinya tengah sekarat
akibat pertarungan dengan sahabatnya sendiri.
"Akulah murid singo Edan, Ki. Sudah lama
aku ingin berkunjung ke sini. Tapi, baru kali ini niat
itu terpenuhi. Ternyata malapetaka telah menimpamu," ujar Sena dengan suara batin.
Pembicaraan itu hanya dapat didengar Ki Dungkut
Marta yang menggunakan pendengaran batinnya.
Cara itu dilakukan karena Ki Dungkut Marta
tampaknya sudah tidak mampu membuka mulut.
Entah ilmu apa yang digunakan Ki Langgengpura
hingga Ki Dungkut Marta tak mampu membuka
mulutnya. "Seorang sahabat lamaku telah bekerja sama
dengan Empat Bidadari Lembah Neraka. Dialah yang
membuatku seperti ini. Aku bertahan untuk
merahasiakan di mana kitab itu berada. Pendekar


Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gila..., kau harus menyelamatkan Kitab Candra
Catur Pamukti. Ki Hajar Barada, guruku, adalah
pewaris yang berhak atas kitab kuno itu. Dia
sebenarnya seorang kerabat kerajaan yang mengasingkan diri karena tak ingin hidup di
lingkungan istana," tutur Ki Dungkut Marta dengan
suara batinnya. Kemudian, lelaki tua yang sudah
payah itu menceritakan tentang Kitab Candra Catur
Pamukti kepada Sena.
Di situlah Sena baru dapat mengetahui secara
jelas mengenai Kitab Candra Catur Pamukti. Kitab
kuno yang hanya berisi sehelai kulit binatang itu
ternyata merupakan sebuah petunjuk. Di dalam
kitab itu disebutkan bahwa untuk mencapai suatu
kemuliaan seperti yang disebutkan dalam kitab
orang harus bisa mencapai suatu tempat tertentu
yang telah ditetapkan. Ada empat kunci utama agar
dapat mencapai tempat rahasia itu. Diterangkan
bahwa di suatu tempat orang akan menemukan
empat buah batu hitam berbentuk bulan. Jadi,
sesuai dengan nama kitab itu: Canda Catur
Pamukti, berarti empat bulan untuk mencapai
tujuan kemuliaan.
Sayang, Ki Dungkut Marta sendiri tidak
mengetahui di mana keempat batu hitam itu
disimpan. Yang mengetahui tentang hal itu hanya Ki
Hajar Barada. Belum tuntas memberikan keterangan mengenai kitab itu, Ki Dungkut Marta sudah tak
kuat lagi. Lelaki tua itu menghembuskan napas
terakhir dengan wajah menggambarkan kepuasan.
Mungkin karena pada saat-saat terakhir hidupnya
dia dapat menemui pendekar yang telah banyak
menggemparkan dunia persilatan.
Sena bangkit berdiri setelah menghela napas
berat. Rasa haru menyelimuti hatinya. Namun rasa
gembira juga timbul. Sedikit banyak ia telah
mengetahui rahasia kitab kuno yang bertahuntahun menjadi rebutan banyak tokoh
persilatan. Sena menatap berkeliling, kemudian bertanya, "Siapa di antara kalian yang mengetahui
tempat kediaman Ki Hajar Barada?"
Keenam murid Perguruan Bambu Wulung
yang berada di ruang itu tak ada yang menjawab.
Mereka hanya saling berpandangan. Selama ini
mereka memang tidak pernah mendengar di mana
tempat kediaman guru Ki Dungkut Marta itu.
Belum sempat Sena melanjutkan pertanyaannya, seorang lelaki berpakaian hijau
masuk. Dialah salah seorang pembawa surat Ki
Hajar Barada yang selamat. Rupanya tadi dia
mendengar pertanyaan Pendekar Gila. Matanya
menatap tajam pada Sena Manggala yang hanya
tersenyum-senyum lucu. Keningnya lalu berkerut,
seolah tengah mengingat-ingat sesuatu. "Benarkah
Tuan yang berjuluk Pendekar Gila...?" tanyanya
ragu-ragu. "Begitulah orang menjuluki diriku, Kawan,"
sahut Sena masih dengan tersenyum.
"Aku murid Ki Hajar Barada. Kami bertiga
diutus Guru untuk mengantarkan surat kepada Ki
Dungkut Marta. Kami juga ditugaskan untuk
menyelidiki Ki Langgengpura, sahabat Ki Dungkut
Marta. Ki Hajar Barada telah mencium kabar kalau
Ki Langgengpura bergabung dengan Empat Bidadari
Lembah Neraka," tutur lelaki berpakaian hijau.
"Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak. Kedua kawanku tewas di tangan Ki
Langgengpura. Surat itu pun berhasil direbutnya...."
"Surat apa sebenarnya yang kalian bawa...?"
tanya Sena. "Kami kurang tahu pasti. Yang jelas,
menyinggung tentang Ki Langgengpura. Aku
khawatir jangan-jangan surat itu menyebutkan
tentang tempat rahasia. Soalnya, aku tahu Ki Hajar
Barada mempercayakan kepada Ki Dungkut Marta
untuk mengamankan Kitab Candra Catur Pamukti.
Ki Dungkut Marta adalah murid utama Ki Hajar
Barada...."
"Kalau begitu, aku harus secepatnya menemui Ki Hajar," ujar Pendekar Gila. "Kuharap
kau dapat menunjukkan tempat kediaman beliau."
"Apa tak sebaiknya aku mengantarkan Tuan
Pendekar ke sana?"
"Hm. Keadaanmu tidak memungkinkan.
Kurasa lebih baik kau beristirahat dulu di sini.
Jelaskan saja di mana tempat tinggal gurumu."
"Perguruan kami terletak di kaki timur
Gunung Sumbing. Dua hari dua malam kalau kita
melakukan perjalanan biasa. Tapi, aku yakin kau
dapat menempuhnya lebih cepat. Tanyakan kepada
penduduk di sekitar kaki Gunung Sumbing. Mereka
banyak mengetahui tentang perguruan Ki Hajar
Barada." Setelah mendapat penjelasan dari murid Ki
Hajar Barada, Sena Manggala segera meninggalkan
Perguruan Bambu Wulung. Ia tak ingin membuangbuang waktu. Sena mengerahkan ilmu
lari 'Sapta Bayu'-nya. Sementara itu, murid-murid Perguruan
Bambu Wulung menguburkan mayat Ki Dungkut
Marta. Suasana berkabung menyelimuti perguruan
yang terletak di lembah Gunung Pring itu.
*** 8 Ki Langgengpura berhenti dari berlarinya
sebelum mencapai jalan menuju lembah tempat
kediaman pimpinannya. Semula ia bermaksud
menemui Nyai Cangkring Abang yang berada di
Jodoh Rajawali 6 Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Jago Kelana 13
^