Pencarian

Geger Di Bukit Seribu 2

Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu Bagian 2


Mana mungkin engkau tak punya tunangan...."
"Betul! Mana ada orang yang mau pada gembel
sepertiku ini."
Gadis itu palingkan wajah sambil memperhatikan
wajah Buang Sengketa untuk beberapa saat. Diperha-
tikan sedemikian rupa, murid si Bangkotan Koreng Se-
ribu itu jadi salah tingkah sendiri.
"Ada yang aneh pada mukaku?"
Si gadis malah tersenyum kecil. "Aku melihat ro-
na kejujuran di wajahmu, dan... aku.... aku suka seka-
li pada laki-laki yang jujur," kata si gadis melanjutkan dan kembali palingkan
wajah sambil tersipu-sipu setelah berkata begitu. "Tapi... melihat keadaanku
seperti ini, tentu aku tak punya harga sama sekali di hadapanmu...."
Buang Sengketa mengerti apa yang dirasakan ga-
dis itu. Meski dengan jari-jari yang gemetaran, dia
paksakan diri untuk mencekal pergelangan gadis itu
sambil berkata pelan. Suaranya pun terdengar ga-
mang. "Aku... aku bahkan yang merasa tak berharga...."
Si gadis kembali menoleh, dan meremas jemari
pemuda itu. Wajahnya lekat menatapnya. Ada nuansa
haru yang tersirat lewat tatapannya, dan membuat
murid si Bangkotan Koreng Seribu itu menjadi rikuh.
"Buang.... eh, boleh aku memanggilmu begitu?"
Setelah si pemuda mengangguk pelan, dia kembali
meneruskan kata-katanya. "Aku... aku tak pernah merasa suka pada laki-laki lain
seperti aku suka pada-
mu...." Dia tak meneruskan kata-katanya untuk beberapa saat, melainkan menatap
si pemuda lekat-lekat
seakan mencari sesuatu di wajah pemuda tampan itu.
"Ng... apakah engkau pun suka padaku...?"
"Ya, aku suka sekali padamu...." sahut si pemuda masih dengan suara yang
bergetar. Tiba-tiba dia merasa kelabakan ketika dengan tiba-tiba si gadis
memeluk tubuhnya erat-erat dan memberi ciuman di bibirnya.
Pemuda itu jadi salah tingkah untuk beberapa saat
dan tak tahu harus berbuat apa. Dia baru tersadar ke-
tika gadis itu mengejeknya pelan.
"Kini aku percaya bahwa engkau belum pernah
kenal perempuan...." katanya sambil tersenyum penuh arti. "Mulanya kupikir
engkau pasti seorang laki-laki mata keranjang yang selalu punya kekasih di mana-
mana, ternyata dugaanku salah. Dalam ilmu silat eng-
kau boleh merasa hebat, tapi menghadapi perempuan
engkau tolol sekali!" Gadis itu tertawa ngikik pelan.
Seolah-olah takut suaranya terdengar oleh Jaka Sum-
bawa yang sedang terlelap tak jauh dari mereka.
"Aku memang tolol, tapi bukan berarti aku tak
bisa berdekatan dengan seorang perempuan. Kalau
engkau ingin bukti, ini!" kata Buang Sengketa cepat menarik lengan gadis itu
hingga wajahnya persis berhadap-hadapan. Kemudian dengan tiba-tiba mencium
gadis itu, lamaaaaaa sekali! Seolah-olah keheningan
malam larut bersama mereka dan api unggun yang jadi
saksi atas kemesraan itu.
"Uh, nakal!" jerit si gadis pelan begitu lepas dari cengkeraman si pemuda. Dia
bersungut-sungut sendiri, namun tersenyum ketika melihat si pemuda cen-
gengesan. Lalu dengan suara pelan, dia berkata:
"Engkau tentu akan segera meninggalkanku begi-
tu selesai dengan tugas ini, bukan?"
"Tidak. Aku akan mengajakmu serta ke mana sa-
ja aku pergi."
"Sungguh"!"
Si pemuda mengangguk pasti. Gadis itu baru saja
akan melampiaskan kegembiraan-nya dengan meme-
luk pemuda itu, namun reflek telinganya yang tajam
mendengar sesuatu. Buang Sengketa pun merasakan
hal itu. Dengan cepat dia berguling ke arah Jaka Sum-
bawa untuk membangunkannya. Tapi hal itu ternyata
tak perlu, sebab pemuda itu telah mengetahui anca-
man yang akan segera datang.
"Uap racun! Tutup jalan nafas kalian!" perintah Buang Sengketa ketika naluri
hewannya merasakan
sesuatu yang selama ini begitu akrab dengannya, bah-
kan melindunginya dari hal yang sejenis.
Kedua orang itu segera mengerjakan apa yang
disuruh oleh pemuda berkuncir itu. Tiba-tiba mereka
melihat selarik gelombang Ultra Violet yang dilancar-
kan pemuda itu ke segala arah. Malam yang dingin di-
pecahkan oleh suara menggelegar pohon-pohon yang
tumbang dihantam sinar itu. Barangkali mereka tak
tahu di mana posisi lawan saat ini. Gelapnya malam
dan banyaknya pepohonan di sekitar situ membantu
pihak lawan untuk bersembunyi dari penglihatan me-
reka. Jaka Sumbawa segera bertindak dengan cepat
mematikan api unggun agar mereka tak menjadi sasa-
ran empuk lawan. Tapi begitu dia selesai memadam-
kan api, tiba-tiba terdengar jerit tertahan beberapa
orang yang disusul jatuhnya orang-orang berjubah hi-
tam dari pepohonan. Tapi kekagetan itu hanya ber-
langsung beberapa saat, karena sedetik kemudian,
terdengar teriak berkepanjangan dari segala pen-juru
mengepung tempat itu dan langsung menyerang mere-
ka. Mau tak mau ketiganya terpaksa mengadakan per-
lawanan dalam keadaan gelap begitu rupa.
Dari beberapa orang yang dirontokkan si pemuda
berambut dikuncir itu tahulah mereka bahwa penye-
rang-penyerang ini adalah anggota Persekutuan Iblis
Hitam. Itulah yang menyebabkan mereka tak lagi
sungkan-sungkan untuk mengeluarkan senjatanya
dan langsung membabat ke segala arah. Beda dengan
Buang Sengketa. Buatnya mengeluarkan senjata itu
adalah dalam posisi yang sangat terjepit sekali. Dia tak akan sembarangan
mengeluarkan dua senjata pusakanya.
Dalam pada itu si gadis yang bernama Puji Lesta-
ri dan Jaka Sumbawa dibuat ka-get. Pikiran mereka
pastilah anggota-anggota Persekutuan Iblis Hitam ini
adalah anggota biasa yang kebetulan menemukan me-
reka sedang bermalam di hutan ini. Jadi dengan satu
sabetan dan hunuskan senjata, mereka dengan gam-
pang akan dibinasakan. Tapi dugaan itu keliru. Lawan
yang mereka hadapi ternyata punya kepandaian yang
tak jauh di bawah mereka. Bahkan beberapa orang be-
rada di atas ilmu silat mereka. Melihat keadaan itu, betapa mereka jadi bingung.
Belum lagi ditambah dengan
sua-sana yang gelap gulita. Jelas mereka lebih banyak
mengandalkan pendengarannya ketimbang pengliha-
tan semata. Puluhan jurus telah berlangsung. Nam-pak si
pemuda berkuncir itu agak kerepotan ketika lima
orang berkepandaian tinggi mengepungnya dari sege-
nap penjuru. Kalaupun di antara mereka ada yang
pernah dikenalnya, paling-paling si Iblis Ular Hijau.
Tapi keempat orang lagi bukanlah orang sembarangan.
Satu orang yang bersenjata sebuah lingkaran baja
yang ujung-ujungnya terdapat jarum-jarum sebesar
kelingking, dikenai sebagai si Gelang-gelang Terbang.
Dia adalah salah seorang pentolan tokoh golongan hi-
tam. Kemudian tiga orang laki-laki berkepala botak
dengan senjata gada berduri di tangannya lebih dike-
nai sebagai Setan Lembah Neraka.
Sambil kertakkan rahang menahan geram, tu-
buhnya berkelebat ke sana sini dengan menggunakan
jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra,
menghindari kejaran sepasang gelang berduri milik si
Gelang-gelang Terbang yang seolah bermata mengejar-
nya ke mana saja menghindar.
Sekali-sekali dia juga lancarkan pukulan Empat
Anasir Kehidupan ke arah mereka. Dan selarik gelom-
bang Ultra Violet segera menghajar kelima orang-orang
itu. Tapi mereka bukanlah orang sembarangan. Nama
kelima tokoh itu telah dikenal sebagai tokoh golongan
sesat yang selain ganas dan telengas terhadap musuh-
musuhnya, mereka juga berkepandaian cukup tinggi.
Buang Sengketa juga merasakan hal itu. Lebih-lebih
mereka kini berlima mengeroyoknya dengan menggu-
nakan jurus jurus yang mematikan. Sebentar saja ter-
lihat bahwa dia terdesak cukup hebat. Bahkan dalam
suatu kesempatan, bahunya kena keserempet gelang
berduri itu setelah menghantamnya.
"Bocah! Kematianmu telah berada di ambang pin-
tu!" ejek si Gelang-gelang Terbang. "Sebentar lagi tentu engkau akan menyusul
ibumu, dan mengadu padanya
di akhirat!"
"Ah, ternyata aku salah duga." sambung si Iblis Ular Hijau. "Kukira engkau ada
sangkut pautnya dengan si Bangkotan Koreng Seribu, ternyata cuma seekor
tikus yang tak patut hidup lebih lama. Seekor tikus
yang hendak mengaum pada sekumpulan harimau la-
par!" Orangtua dengan wajah berlipat-lipat itu tertawa ngakak.
Mendengar ejekan itu, bukan main marahnya si
pemuda dari Negeri Bunian itu. Dia segera berdiri te-
gak dan kembali mainkan satu jurus ampuhnya yaitu
si Jadah Terbuang untuk menghadapi mereka. Sekali-
sekali dari telapak tangannya keluar selarik gelombang pukulan berwarna merah
menyala. Itulah pukulan Si
Hina Kelana Merana yang sangat dahsyat. Jangankan
tubuh manusia yang terkena, seekor banteng liar yang
sangat tangguh dan kuat pun akan hangus terbakar
bila terkena pukulan itu. Tapi si pemuda tak cukup
berhenti sampai di situ. Begitu lawan mulai terkocar
kacir menghindari serangan dan jurus-jurusnya, dia
mulai menghantam mereka dengan salah satu jurus
ampuhnya yaitu si Gila Mengamuk.
"Buk....! Buk...! Buk...! Buk...!"
Setan Lembah Neraka beserta si Gelang-gelang
Terbang segera terjengkang sambil keluarkan darah
segar dari mulutnya yang terkena hantaman si pemu-
da. Sedangkan si Iblis Ular Hijau masih beruntung bi-
sa menghindar sambil ayunkan tongkat ularnya menu-
suk ke jantung Buang Sengketa. Terpaksa pemuda itu
menarik kepalan tangannya dan jumpalitan menghin-
dari sambaran ujung tongkat yang berbalik menyam-
bar-nyambarnya. Dalam keadaan seperti itu, dia pen-
tangkan tangan, dan selarik gelombang merah menyala
segera melesat ke arah Iblis Ular Hijau. Orangtua itu
segera memapagnya dengan suatu pukulan jarak
jauhnya. "Blaaar...!"
Suatu benturan dahsyat terjadi antara sinar me-
rah menyala yang keluar dari tangan si pemuda, den-
gan pukulan Ular Hijau berwarna hijau keputih-
putihan yang dikeluarkan si Iblis Ular Hijau. Pemuda
itu mental satu tombak, namun cepat kembali tegak di
atas kakinya sambil mengatur jalan nafasnya yang ter-
kacau akibat benturan itu. Dari mulutnya keluar da-
rah segar. 8 Keadaan si Iblis Ular Hijau ternyata lebih parah
lagi. Setelah berguling-guling beberapa tombak, dari
mulutnya muntah darah yang berwarna merah kehi-
tam-hitaman. Dia segera bersila untuk atur jalan nafas ketika Buang Sengketa
telah bersiap lancarkan satu
pukulan kembali. Masih untung nyawanya bisa terse-
lamatkan saat si Gelang-gelang Terbang dan Setan
Lembah Neraka memapak serangan si pemuda. Pemu-
da itu kembali terpental beberapa tombak. Dadanya te-
rasa sesak, dan seluruh peredaran darahnya terasa
kacau. Darah meleleh dari bibir serta kedua lobang hi-
dungnya. Agaknya gabungan tenaga dalam si Gelang-
gelang Terbang beserta tiga orang botak yang terga-
bung dalam Setan Lembah Neraka sangat dahsyat.
Bukan saja si pemuda tak sempat untuk bangkit, un-
tuk bergerak pun rasanya sudah kepayahan. Untuk
beberapa saat pikirannya ngawang entah ke mana
sampai dia mendengar sesuatu yang sangat dikenal-
nya. "Tidak! Tidaaaaaak...!"
"Sudah cepat bawa!" teriak seseorang.
"Dia masih melawan!" sahut yang lain.
"Totok saja! Cepaaaaaaat! Goblok!"
"Ya, ya...."
Lalu beberapa saat kemudian sepi, tapi dia sadar.
Ada sesuatu yang tak beres dengan gadis itu. Berpikir
sampai di situ Buang Sengketa menyadari bahaya yang
sedang mengancam. Bukan saja untuk dirinya, tapi
juga untuk kedua orang kawannya. Perlahan-lahan
tangannya bergerak mencabut pusaka Golok Buntung
di pinggangnya. Begitu senjata itu tergenggam di tan-
gannya, terasa aliran darahnya perlahan-lahan kemba-
li normal, dan dadanya pun terasa lapang meski rasa
nyeri masih terasa. Perlahan-lahan dia bangkit dan
bersila untuk menghimpun tenaga murni. Ketika pan-
dangannya mengarah pada lawan, terlihat kelima
orang itu pun telah bersiap-siap akan menempurnya.
Tapi mereka seakan terperanjat kaget dengan senjata
yang dikeluarkan si pemuda. Terasa hawa dingin yang
menusuk hingga ke sum-sum tulang. Belum lagi sinar
merah menyala yang menyelubungi senjata itu seakan
mengandung hawa kematian yang dahsyat.
Kelima orang itu baru tersentak ketika si pemuda
berkelebat dengan cepat sambil mengeluarkan suara
mendesis-desis dari mulutnya seperti seekor ular yang
sedang marah, dan senjata di tangannya pun menge-
luarkan suara menakutkan bagai puluhan harimau
terluka. Belum sempat mereka menduga-duga seran-
gan lawan, suatu bayangan melintas dengan cepat ke
arah pangkal leher.
"Cras...! Cras...! Cras...! Cras...! Trak...!"
Kepala si Gelang-gelang Terbang dan tiga orang
Setan Lembah Neraka segera menggelinding. Iblis Ular
Hijau dengan kepandaian dan geraknya yang cepat
masih sempat menghindar dari serangan si pemuda


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menghantamkan tongkat ular di tangannya. Tapi
benda itu terbabat kutung dihantam pusaka Golok
Buntung di tangan si pemuda.
Iblis Ular Hijau tersentak kaget melihat senja-
tanya kutung menjadi dua bagian. Belum lagi habis
rasa terkejutnya, selarik gelombang pukulan berwarna
merah menyala yang dilepaskan si pemuda menghan-
tamnya bertubi-tubi. Terpaksa si orangtua berwajah
buruk itu jumpalitan menghindarkan diri. Namun saat
itu juga melesatlah kilatan cahaya merah menyala me-
nyambar pangkal lehernya, dan.....
"Cras...!"
Iblis Ular Hijau tak sempat lagi berteriak ketika
kepalanya menggelinding dari tubuhnya terbabat pu-
saka Golok Buntung di tangan Buang Sengketa. Pe-
muda itu palingkan mata ke sekeliling tempat. Tak ada
siapa-siapa lagi di situ. Beberapa orang mayat berju-
bah hitam nampak tergeletak di situ, dan yang mem-
buatnya merasa iba justru mayat si pemuda berpa-
kaian putih itu pun ikut tergeletak di sana. Teringatlah dia akan cita-cita si
pemuda yang akan membunuh
Singalodra dengan kedua belah tangannya sendiri. Ta-
pi bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi jika meng-
hadapi anak buah Persekutuan Iblis Hitam pun dia tak
mampu bahkan harus menemui ajal. Perlahan dia ber-
jongkok sambil pandangi wajah pemuda itu dan ber-
gumam "Sobat, biarlah nanti aku balaskan dendammu
pada Singalodra. Mudah-mudahan aku mampu mele-
nyapkan iblis sesat itu. Tenangkanlah dirimu di akhi-
rat sana..."
Tiba-tiba matanya mencari sesuatu. Ke mana ga-
dis itu" Apakah dia pun tewas" Mengingat itu Buang
Sengketa segera mencari-cari ke sekeliling tempat itu, namun setelah berputar-
putar beberapa kali, tak juga
ditemukannya si gadis. Dia mulai mengingat-ingat ke-
jadian tadi saat dirinya dalam keadaan kritis dan men-
dengar suara-suara yang membangkitkan semangat-
nya. Teringat itu dia sudah bisa menduga-duga bahwa
gadis itu pasti telah dilarikan oleh beberapa orang anggota Persekutuan Iblis
Hitam. Darahnya mulai mendi-
dih dan menjalar hingga ke ubun-ubun ketika teringat
bahwa Singalodra dan orang-orang sesat di Perseku-
tuan Iblis Hitam adalah sekumpulan manusia-manusia
cabul. Bagaimana dengan nasib Puji Lestari"
Buang Sengketa segera genjot tubuhnya dengan
menggunakan ajian Sepi Angin.
Sebentar saja dia telah lenyap dari pandangan,
dan tujuannya saat ini hanya satu tempat, Bukit Seri-
bu! Singalodra menyeringai buas melihat tubuh mo-
lek tak berdaya di tempat tidurnya. Matanya hendak
melotot ke luar ketika satu persatu tangannya melucu-
ti pakaian gadis itu dan melihat keindahan tubuhnya.
"Bangsat cabul! Lepaskan aku...! Keparat! Akan
kubunuh engkau! Lepaskan aku dari totokan ini biar
kita bertempur hingga seribu jurus! Bangsat pengecut!
Lepaskaaaaaan...!"
Tapi mana mau Singalodra melepaskan begitu sa-
ja buruan yang telah didapatnya dengan susah payah.
"Jangan harap aku akan melepaskanmu begitu saja.
Harga mu terlalu mahal, dan aku harus menebusnya
dengan beberapa orang terbaikku yang binasa. Mana
mungkin aku melepaskanmu," katanya tersenyum
puas. "Iblis pengecut! Singalodra, engkau tak akan lepas dari tanganku!" ancam
si gadis. Mendengar itu Singalodra hanya tersenyum kecil sambil julurkan dua
jarinya. "Tuk!"
Sebentar saja si gadis tak mampu berteriak-teriak
karena urat suaranya telah tertotok. Dia hanya bisa
melotot garang ketika melihat Singalodra tersenyum
buas sambil melepaskan pakaiannya satu persatu.
Kemudian perlahan-lahan menggerayangi tubuhnya.
Gadis itu tak mampu berbuat sesuatu untuk memper-
tahankan kehormatannya. Dari matanya hanya mele-
leh air mata hangat yang membasahi pipinya perlahan-
lahan. Dadanya penuh dengan dendam sedalam lautan
pada orang di hadapannya itu. Tapi apalah dayanya
saat ini. Jangankan untuk menempur ketua Perseku-
tuan Iblis Hitam itu, untuk menggerakkan tubuhnya
pun dia tak mampu.
"Percuma engkau berontak, Manis. Engkau tak
akan mampu melepaskan diri dari totokanku. Aku ma-
sih memerlukanmu untuk beberapa hari lagi sebelum
engkau ku-berikan pada anak buahku!" kata Singalodra sambil tertawa terbahak-
bahak. "Paling tidak kalau engkau cukup punya tenaga dalam yang hebat engkau
akan terlepas dari totokan itu dalam tempo yang cu-
kup lama. Tapi saat itu pula engkau harus kembali
melayaniku." Kembali Singalodra tertawa panjang
hingga gemanya berputar-putar di ruangan itu. Gadis
itu dapat merasakan telinganya sakit luar biasa men-
dengar tawa Singalodra yang diiringi tenaga dalam
yang hebat. Matanya hanya mampu melotot parang ke
arah orang itu.
"Percuma engkau marah-marah. Lebih baik eng-
kau menurut saja apa yang kukatakan, tentu engkau
tak akan menderita seperti ini. Tapi aku terpaksa ber-
buat begini karena tindakanmu juga. Kalau engkau
mau bersikap baik, paling tidak aku akan mele-
paskanmu dari totokan."
Tapi mana mau gadis itu menurut begitu saja
pada apa yang dikatakan Singalodra setelah barusan
apa yang dilakukan manusia itu terhadapnya. Saat ini
dalam benaknya hanya ada satu kata, yaitu membu-
nuh manusia keparat itu dengan tangannya sendiri.
Kembali matanya melotot garang pada manusia di ha-
dapannya itu. Singalodra melihat itu bukannya malah takut, te-
tapi kembali bangkit nafsu setannya. Apalagi sejak tadi dia membiarkan perempuan
itu tergolek tanpa sehelai
benang pun melekat di tubuhnya. Berkali-kali matanya
menatap nyalang pada bagian-bagian tertentu di tubuh
gadis itu sembari menyeringai buas bagai hewan buas
kelaparan melihat santapan di depannya. Dan ketika
mata gadis itu melotot garang, dia tak dapat mengen-
dalikan nafsu setannya. Dan untuk kedua kalinya ter-
paksa gadis itu melayani kebuasan ketua Persekutuan
Iblis Hitam itu tanpa mampu memberi perlawanan se-
dikit pun. Dia hanya bisa mengeluarkan air mata dan
menjerit-jerit pilu di relung hatinya.
Setelah puas melampiaskan nafsu setannya, Sin-
galodra segera keluar dari kamarnya sambil tertawa-
tawa puas. Gadis itu masih terisak-isak pilu menyesali na-
sibnya yang buruk. Namun tak satu pun suaranya ter-
dengar ke luar. Hanya air mata dan wajahnya yang
kuyu mengisyaratkan penderitaan batinnya. Betapa
buruk nasibnya. Sudahlah orangtuanya binasa di tan-
gan iblis keparat itu, kemudian guru serta saudara-
saudara seperguruannya yang juga tewas di tangan
mereka, kemudian dia harus menanggung beban malu
yang berkepanjangan di tangan iblis cabul itu. Teringat ke situ rasanya dia tak
layak untuk hidup lebih lama
lagi. Ah, Puji Lestari kembali mengeluh pendek di ha-
tinya. Tiba-tiba dia teringat pada Buang Sengketa. Oh, bagaimanakah nasib pemuda
itu" Apakah dia bisa meloloskan diri dari keroyokan musuh-musuhnya yang
berilmu tinggi itu" Seandainya saja dia bisa mengalah-
kan mereka, kemudian datang ke sini untuk membe-
baskannya, alangkah bahagia hatinya saat ini. Tapi...
apakah aku masih punya muka berhadapan dengan-
nya" Oh, tidak! Diriku saat ini sangat kotor berhada-
pan dengannya. Gadis itu kembali membatin sesali di-
ri. Dia tentu tak mau menerima keadaanku seperti ini.
Hina dan ternoda. Aku betul-betul tak pantas berha-
dapan dengannya. Jangan lagi berharap dia akan
membalas perasaan sukanya yang besar di lubuk hati,
mungkin untuk melihat keadaannya yang terhina se-
perti ini pun pemuda itu tak akan sudi. Dia kembali
menyesali nasibnya.
Berpikir seperti itu timbullah nekad di hati gadis
itu. Diam-diam dia merasa bahwa hidupnya tak ber-
guna lagi saat ini. Tapi walaupun dia harus mati, hen-
daklah hal itu membawa kepuasan dalam jiwanya. Pal-
ing tidak ada sesuatu yang harus dibawanya serta ke
akhirat. Dan untuk itu dia harus bebas terlebih dahulu dari pengaruh totokan
ini, keluhnya pelan sambil bersiap-siap menghimpun segenap tenaga dalamnya un-
tuk membebaskan diri dari totokan.
*** 9 Pemuda itu masih terus berlari dengan kecepatan
penuh. Batinnya penuh sesak dengan bayangan keji
Singalodra terhadap gadis itu. Bukan, bukan hanya
itu. Tapi kalau Singalodra dibiarkan terus hidup, kejahatan akan terus
merajalela. Dia merasa berkewajiban
membasmi manusia seperti itu, dan merasa tanggung
jawab itu berada di pundaknya. Siapa lagi yang akan
diharapkan setelah Persekutuan Iblis Hitam membas-
mi satu persatu perguruan-perguruan dan tokoh-tokoh
golongan putih yang menentangnya. Dan selama ini,
tak seorang pun yang mampu menghentikan semua
aksinya. Seolah-olah dunia mengakui keperkasaannya
sebagai raja diraja dunia persilatan dan tak seorang
pun yang mampu menandingi ilmu silatnya. Manusia
itu akan menjadi besar kepala kalau hal ini terus di-
biarkan. Namun perjalanan Buang Sengketa menuju tem-
pat kediaman Singalodra bukanlah hal yang gampang.
Sebab selain medannya yang sulit, satu-satunya jalan
menuju tempat itu dijaga ketat oleh barisan orang-
orang berjubah hitam secara berlapis-lapis. Singalodra ternyata bukan hanya ahli
dalam ilmu silat, dia juga
ahli dalam strategi pertahanan. Begitu Buang Sengketa
tiba di kaki bukit, puluhan orang telah mengurung
tempat itu. "Biarkan aku berlalu dan bertemu dengan Singa-
lodra keparat itu!" bentaknya sengit pada orang-orang yang berada di situ. "Aku
tak mau ada lagi pertumpa-han darah yang lebih banyak!"
Tapi bukan mereka takut mendengar ancaman
itu, sebaliknya malah tersenyum sinis. Sebagian malah
ada yang terbahak-bahak.
"Bocah! Engkau telah berada di kawasan Perse-
kutuan Iblis Hitam dan tak ada seorang pun yang bisa
keluar hidup-hidup dari tempat ini. Kalau pun engkau
baru mengetahuinya saat ini, itu sudah terlambat. Se-
tiap orang yang datang ke sini harus mati!" sahut salah seorang dengan wajah
bengis. "Sialan! Aku tak perduli dengan sekumpulan ma-
nusia-manusia bejad seperti kalian!" bentak Buang Sengketa mulai kesal. "Cepat
kalian panggil Singalodra ke sini dan suruh potong lehernya untuk mempertang-
gungjawabkan perbuatan-perbuatannya. Lalu setelah
itu kalian boleh mengikuti jejaknya, atau kalau berun-
tung, kalian bisa mendapat ampunanku dan kembali
ke jalan yang benar."
"Hak... hak... hak...!"
Seketika tempat itu penuh dengan gelak tawa.
Buat mereka hal itu sangat menggelikan. Selama ini
Persekutuan Iblis Hitam adalah sebuah nama yang
paling ditakuti oleh siapa pun dalam kalangan dunia
persilatan. Dan tiba-tiba saat ini ada seorang pemuda
dengan baju gembel serta dandanan aneh berkaok-
kaok menantang ketua mereka Singalodra. Tentulah
orang ini tak waras, pikir mereka.
"Bocah! Lebih baik engkau cepat-cepat minggat
dari sini. Kami akan mengampuni nyawamu yang tak
berguna itu. Cepat! Sebelum kami merubah pendirian!
Jarang ada kami membiarkan orang lewat dengan
nyawa masih melekat di tubuhnya. Karena engkau
orang tak waras, nah, pergilah cepat!" kata orang tadi.
"Bangsat!" maki pendekar dari Negeri Bunian itu dengan emosi yang meluap.
Sungguh kurang ajar betul
orang-orang ini, pikirnya. Mengingat itu, dia merasa
tak ada gunanya lagi debat omong dengan mereka.
Maka sambil pentangkan sebelah lengan, keluarlah se-
larik gelombang berwarna Ultra Violet yang menghan-
tam ke segala penjuru. Sebentar saja pukulan Empat
Anasir Kehidupan pemuda itu mendapatkan korban.
Beberapa orang yang lengah dan betul-betul mengang-
gap si pemuda sebagai orang tak waras, tentu saja tak
menyangka hal demikian. Mereka segera memekik
panjang sambil menggelepar-gelepar kesakitan. Seben-
tar saja terlihat beberapa orang yang tewas di tempat
itu. "Kurang ajar!" maki orang-orang itu setelah hilang dari keterkejutannya.
Mereka segera mengurung
si pemuda rapat-rapat, seolah tak ada celah untuk me-
loloskan diri sedikit saja bagi si pemuda itu melarikan diri dari tempat itu.
Untuk Buang Sengketa hal itu
memang kebetulan sekali. Tujuannya ke sini bukan
untuk melarikan diri, justru ingin mendaki lereng bu-
kit ini dan menemui Singalodra di sarangnya. Dike-
pung sedemikian rupa berarti lebih mempercepat ke-
matian buat orang-orang itu. Pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang dilancarkannya berkali-kali telah me-
minta beberapa orang korban lagi bagi mereka.
Sebenarnya para penyerang itu bukan-lah orang-
orang yang berkepandaian rendah. Rata-rata mereka
berasal dari perguruan-perguruan silat yang terkenal,
lalu bergabung dengan Singalodra dalam Persekutuan
Iblis Hitam. Yang membuat mereka kelihatan mudah
dihantam si pemuda adalah karena mereka telah kepa-
lang menganggap bahwa si pemuda adalah orang tak
waras dan tentu saja hal itu tak membawa bahaya be-


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sar buat mereka. Dan kesalahan itu telah ditebus den-
gan banyaknya korban di antara mereka.
Namun setelah beberapa jurus di depan, nampak
mereka mulai berhati-hati. Terlebih-lebih untuk meng-
hindari gelombang pukulan yang dikeluarkan si pemu-
da. Namun meski mereka berhati-hati bagaimana pun,
korban kembali berjatuhan. Hal itu tak aneh, sebab
dalam kemarahannya si pemuda mengeluarkan jurus-
jurus andalannya secara berganti-ganti dan sulit dite-
bak oleh penyerang-penyerangnya itu. Sebentar dia
berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh
kasat mata dengan mempergunakan jurus Memben-
dung Gelombang Menimba Samudra untuk menghin-
dar dari serangan lawan-lawannya, kemudian dengan
tiba-tiba menghantam lawan dengan jurus Si Jadah
Terbuang. Lalu ketika lawan kembali mengepung, dia
mainkan jurus Si Gila Mengamuk. Belum lagi pukulan
Empat Anasir Kehidupan yang sekali-sekali menghan-
tam dengan ganas ke arah lawan.
Maka tak heran ketika baru belasan jurus, lawan
dibuat porak poranda, darah manusia mulai memban-
jiri tempat itu. Meski jumlah mereka kini tinggal beberapa orang saja, namun
nampaknya mereka tak ber-
niat untuk kabur, sebaliknya malah menyerang sema-
kin ganas. Malah si pemuda sendiri yang akhirnya me-
narik nafas kesal dan serba salah.
"Lebih baik kalian biarkan aku ke puncak bukit
dengan aman. Aku tak ingin menambah korban lebih
banyak lagi, membuatku bertambah marah," kata pe-
muda itu menasehati. Tapi bukanlah wajah-wajah
memelas dan ketakutan yang didapatinya, melainkan
sikap-sikap yang rela mati untuk menjalankan tugas-
nya. "Puih! Persekutuan Iblis Hitam pantang dihina begitu rupa!" sahut salah
seorang, "Kami lebih baik mati daripada tak bisa menjalankan perintah
Singalodra. Engkau tak akan bisa menghalang-halangi kami,
Bocah! Langkahi dulu mayat-mayat kami, baru engkau
bisa menemui ketua!"
"Bangsat! Kalian memang patut mendapat ganja-
ran yang setimpal atas perbuatan kalian!" bentak murid si Bangkotan Koreng
Seribu sambil kertakkan ra-
hang menahan geram. Tangannya kembali terpentang
sambil mencelat ke arah mereka. Selarik gelombang
berwarna Ultra Violet kembali menghantam orang-
orang itu. Bagusnya mereka telah bersiap-siap dengan
serangan itu, hingga mampu menghindarinya. Namun
pada saat itu justru serangan si pemuda cepat meng-
hantam beberapa orang.
"Buk....! Buk...! Buk...!" Tiga orang kembali terjengkang dan langsung muntah
darah dihantam puku-
lan si pemuda yang dialiri tenaga dalam tinggi.
Untuk sesaat mereka menggelepar-gelepar bagai
ayam dipotong, kemudian muntah darah dan tak ban-
gun-bangun lagi. Kini hanya tinggal dua orang lagi di
hadapan pemuda itu. Namun tetap saja mereka tak
merasa gentar sedikit pun. Dengan teriakan menggun-
tur keduanya langsung menyerang si pemuda. Tapi
apalah artinya kedua orang itu menghadapi murid si
Bangkotan Koreng Seribu. Sedang dalam jumlah mere-
ka yang banyak saja bisa dibuat kocar kacir, apalagi
saat ini. Si pemuda segera menyambut mereka dengan se-
tengah hati. Dia mencelat beberapa tombak ke depan,
dan pentangkan tangan ke depan. Kali ini dengan se-
kali gaplok kedua orang itu pasti akan kojor. Maka ke-
tika keduanya sabetkan senjata golok di tangan mas-
ing-masing ke arah tubuh si pemuda, pendekar dari
Negeri Bunian itu cukup berkelit dengan mudah, dan
sebelah tangannya melayang ke tengkuk mereka den-
gan menggunakan jurus Si Hina Mengusir Lalat.
"Plak...! Plak...!"
Keduanya segera menjerit setinggi langit ketika
tangan si pemuda mendarat. Seolah-olah leher menjadi
patah hingga mereka tak mampu menggerak-gerakkan
kepala. Namun meski demikian, keduanya masih tetap
penasaran. Sambil kesakitan memegangi kepala, sebe-
lah lengan yang lain segera hantamkan golok ke leher
si pemuda dengan gerakan yang sama. Si pemuda ge-
lengkan kepala sambil mendecah kesal melihat keban-
delan mereka. Dibiarkannya mereka merasa dengan
mudah akan memenggal lehernya, namun setengah
jengkal lagi senjata itu akan menyentuh pangkal le-
hernya, dia segera tundukkan kepala.
"Cras! Cras!"
Senjata makan tuan! Kedua kepala itu terpisah
dari tubuhnya dan tak ada suara teriakan yang ter-
dengar ketika senjata menghantam leher kawan.
"Hadiah yang setimpal atas kebandelan kalian,
dan setimpal pula untuk kejahatan yang kalian laku-
kan selama ini," kata Buang Sengketa pelan sambil bersiap hendak lanjutkan
perjalanan mendaki bukit.
Tapi baru saja dia palingkan wajah, telah berdiri
empat orang bertubuh jangkung dengan bulu rambut
dan kumis lebat berwarna putih menjela-jela hingga ke
leher. Wajah mereka tidak kelihatan seram, namun
bukan berarti bisa disebut tampan. Apalagi dengan
senjata toya berwarna hitam yang sama dengan warna
pakaian mereka. Mereka terlihat biasa saja. Kalaupun
ada yang bisa disebut luar biasa adalah, keempat
orangtua itu berwajah mirip satu sama lain.
Dalam dunia persilatan keempat tokoh ini dike-
nai sebagai Empat Setan Kembar. Barangkali mereka
kelihatan biasa dan kurang garang, namun sesung-
guhnya mereka termasuk dalam jajaran pentolan da-
tuk golongan hitam. Dan nama mereka tak bisa dika-
takan di bawah si Iblis Merah Darah atau Iblis Ular Hijau. Tiap orang dari
mereka saja berilmu sangat tinggi, apalagi bila mereka menempur lawan secara
bersa-maan. Bisa dibayangkan lawan tak mungkin luput dari
serangan mereka.
"Kalau kalian tak ada sangkut paut dengan uru-
san ini, sebaiknya menyingkirlah dari hadapanku!"
bentak Buang Sengketa kesal melihat tingkah mereka
yang seperti orang bego. Dikatakan senyum, mereka
tokh tidak sedang girang melihat pembantaian di de-
pan matanya. Tapi bila disebut sinis atau amarah, tak
terlihat emosi itu terpancar lewat raut wajahnya. Ek-
spresi mereka biasa dan wajar. Apalagi ketika mereka
pada akhirnya sibuk berbicara satu sama lain dengan
kawan-kawannya.
"Oh, jadi ini yang namanya menggetar-kan dunia
persilatan akhir-akhir ini?" tanya salah seorang.
"Pendekar dari Barat yang punya gelar si Hina
Kelana?" tanya yang lain seperti meyakinkan.
"Murid si Bangkotan Koreng Seribu"!"
"Wah, wah! Kebetulan sekali! Pucuk di cinta ulam
tiba!" sambung yang lain. "Apa kalian tak hendak bela-jar kenal dengannya?"
"Oh, tentu! Tentu!" sahut yang pertama. "Akan ki-ta apakan dia" Kita sate,
dendeng, atau kita buat seluruh tubuhnya penuh luka hingga seperti gurunya yang
penuh dengan koreng menjijikkan itu"!"
"Bagaimana kalau nanti saya minta kuncirnya
untuk jimat penangkal maling?" ledek yang kedua.
"Saya kepengin periuk besarnya itu saja," timpal yang ketiga. "Maklum. Kalau
sedang masak di rumah suka kerepotan men-cari periuk yang besar seperti pu-
nyanya itu."
"Aduh! Aduh! Coba lihat!" seru yang keempat.
"Dia punya cambuk. Tapi mana kambingnya" Apakah
bocah ini suka menggembalakan kambing punya
orang"!"
Diperlakukan begitu, amarah Buang Sengketa
seakan hendak tumpah. Dia kembali membentak den-
gan suara mengguntur.
10 "Orangtua celaka! Menyingkirlah lekas dari de-
panku. Kalau tidak, aku akan terpaksa pelintir kumis-
kumis kalian yang rusak seperti tikus got itu!"
"Ladalah! Celaka! Kiamat! Kiamat!" teriak mereka berempat sambil menutup kuping
dengan jari telunjuk
dan berputar-putar di tempatnya. "Suara apakah barusan itu?"
"Barangkali suara tikus kejepit?" sahut orang pertama.
"Atau barangkali suara periuk besarnya yang pe-
cah?" kata orang kedua sambil meneliti dengan bola matanya ke periuk besar di
punggung si pemuda.
"Bukan! Itu suara tangisnya minta susu pada
emaknya?" tukas orang ketiga.
"Bukan!" timpal orang keempat. "Saya sendiri tidak tahu. Mungkin suara orang
menjerit minta mati."
"Bangsat! Orangtua celaka tak mau mampus?"
maki si pemuda kesal di permainkan begitu. Tak sedi-
kit pun ucapan-ucapan itu dikeluarkan dengan nada
amarah. Malah lebih tepat dengan mengejek dan mem-
permainkannya seperti anak kecil. Barangkali keem-
patnya adalah orang gila yang kesasar, pikir si pemu-
da. Mengingat itu dia segera tak mengacuhkan mereka
dan mulai melangkah untuk melewatinya saja tanpa
ambil pusing. Namun begitu dia mulai bergerak,
keempat orang itu pun bergerak menghalangi jalannya
pada jarak lima tombak dan masih dengan wajah bego
yang tak perduli sama sekali dengan kehadiran si pe-
muda di situ. "Orang tua! Menepilah segera! Aku masih ada
urusan lain yang lebih penting daripada mengurusi
orang-orang tak waras seperti kalian!"
"Apakah engkau tak waras?" tanya orang pertama pada kawannya.
"Lucu! Tadi engkau yang mengatakan aku tak
waras, sekarang malah aku yang mengatakan engkau
tak waras," sahut orang kedua dengan ucapan ngawur tak karuan.
"Barangkali kita sekumpulan orang-orang tak wa-
ras?" menimpali orang ketiga.
"Ya, ya. Kita pasti orang-orang tak waras yang tidak gila!" sahut orang keempat
tak kalah ngawur ucapannya.
Melihat keempat orang itu yang ternyata sengaja
menghalangi jalannya, tampak kedua bibir pemuda itu
terkatup rapat dengan rahang bergemeletukan mena-
han amarah. Dia segera pentangkan lengan dan selarik
gelombang Ultra Violet segera menghajar keempat
orangtua aneh itu. Dalam pikirannya, tentu mereka ini
tokoh-tokoh dunia persilatan kalau bukan orang gila.
Dan kalau itu terbukti, tentu mereka dengan gampang
akan menghindari pukulan-nya itu. Atau kalau ternya-
ta betul mereka orang gila betulan, dia tak mau ambil
pusing melihat kematian orang-orang itu. Tapi kalau
mereka orang-orang persilatan, tentu mereka berilmu
tinggi. Bukankah orang-orang yang berilmu tinggi suka
bertingkah yang aneh-aneh" Kalau benar, tentu dia
akan mendapat halangan yang lebih berat ketimbang
para penyerangnya tadi.
"Pras!"
Pukulan itu menghantam semak-semak di sekitar
tempat itu, sebab dengan tubuh ringan, keempat orang
itu seolah terbang menghindar dengan gerakan serem-
pak. Toya di tangan mereka berputar-putar di atas ke-
pala bagai kitiran. Kemudian kembali mendarat den-
gan empuk. "Ah, kalau tak salah itulah yang disebut pukulan
Empat Anasir Kehidupan," celoteh orang pertama.
"Dia masih punya satu pukulan handal. Kalau
tak salah, Si Hina Kelana Merana!" timpal orang kedua. "Wah, hebat betul kalian!
Dari mana bisa tahu?"
tanya orang ketiga.
"Makanya jadi orang jangan tidur terus!" sahut orang keempat. "Sekali-sekali
buka mata dan telinga lebar-lebar agar bisa melihat perkembangan dunia
luar." Pendekar Hina Kelana bukan main geregetannya mendengar celoteh mereka.
Dari mana mereka tahu
pukulannya" Barangkali pun mereka mengetahui se-
mua jurus-jurus yang dimilikinya. Dan kalau sampai
hal itu terjadi, bisa jadi kali ini dia akan menghadapi lawan tangguh yang sulit
untuk ditaklukkan. Berpikir
begitu, Pendekar Hina Kelana tarik nafas dalam-dalam.
Barangkali tak ada gunanya dia cari permusuhan den-
gan orang-orang ini, dan alangkah baiknya dia mencari
persahabatan saja. Siapa tahu mereka adalah sahabat-
sahabat gurunya. Dia segera menjura hormat.
"Orang tua, maafkanlah atas kelancangan uca-
pan dan sikapku. Tapi sudilah engkau memberi jalan,
sebab saat ini aku ada urusan penting yang harus dis-
elesaikan selekasnya," kata Pendekar Hina Kelana.
"Hak... hak... hak...!" Keempat orang itu malah tertawa. Dan salah seorang
berkata pada si Pendekar
Hina Kelana dengan suara datar.
"Tak sangka! Tak sangka! Ternyata murid si
Bangkotan Koreng Seribu masih punya peradatan se-
gala. Sini! Biar kuterima segala hormatmu!"
Melihat gelagat yang kelihatan bersahabat itu,
Buang Sengketa segera hampiri orang itu. Tapi kira-
kira tinggal dua tombak lagi jarak mereka, salah seo-
rang segera mengayunkan toya ke kepala si pemuda.
Tentu saja Buang Sengketa kaget setengah mati meli-
hat itu. Dia menghindar dengan cepat, namun toya
yang lain segera mengejarnya. Disusul dengan kedua
orang yang menyusul secara beruntun hendak meng-
hajar batok kepalanya. Si pemuda yang tak menyangka
hal itu, menghindar sejadi-jadinya. Namun karena di-
rinya tak siap menghadapi serangan itu, tak urung
pundaknya terkena hajaran toya salah seorang di an-
tara mereka. "Buk!"
Si pemuda merasakan sakit luar biasa akibat
hantaman tadi. Belum lagi dia sempat atur nafas guna
membuka jurus baru, keempat orangtua aneh itu
kembali meluruk ke arahnya dengan kecepatan tinggi
yang sulit diikuti kasat mata. Dia terpaksa berguling-


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

guling menghindarkan diri, tapi periuk di punggung-
nya itu terasa menghalangi gerakannya. Terpaksa dia
melompat-lompat bagai kodok. Tapi itu pun tak mem-
bantu. Keempat toya lawan siap menghancurkan batok
kepalanya ketika dia terjerembab, saat kakinya terkait akar. "Mampuslah engkau,
Bocah!" bentak orang pertama. "Walau kami tak bisa membalaskan den-dam ke-sumat
pada gurumu, muridnya pun jadilah!" timpal orang kedua.
Rasanya jalan untuk meloloskan diri dari seran-
gan itu sangat tipis sekali. Tak ada jalan lain, pikir Pendekar Hina Kelana. Dia
segera keluarkan Pusaka
Golok Buntung dari pinggang. Pada saat itu juga rasa
sakit di pundaknya perlahan-lahan sirna, dan lawan
merasakan hawa dingin luar biasa setelah si pemuda
mengeluarkan golok yang berwarna merah menyala.
"Trak! Trak! Trak! Trak!"
Toya di tangan keempat orangtua itu terbelah
masing-masing menjadi dua bagian. Namun ketika go-
lok itu terus meluruk ke pangkal leher keempatnya,
mereka ternyata telah mencelat ke belakang dengan
gerakan ringan dan cepat. Luputlah mereka dari kema-
tian. "Hebat! Hebat!" puji orang pertama sambil tersenyum getir.
Pendekar Hina Kelana segera bangkit sambil
acungkan goloknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia
terus mencelat ke arah mereka. Kelebatan pusaka Go-
lok Buntung di tangannya mengeluarkan suara pulu-
han harimau terluka yang mengaum yang menggiris
hati para lawannya. Agaknya kemarahan Buang Seng-
keta telah sampai pada batas-nya. Nyawanya hampir
saja melayang oleh akal licik keempat orang itu. Tapi
kali ini dia tak mau lagi tertipu. Mereka harus me-
nanggung akibatnya.
Tapi keempat orang itu bukanlah orang semba-
rangan. Nama Empat Setan Kembar sangat dikenal da-
lam dunia persilatan mereka adalah orang-orang yang
senang mengembara ke lain tempat dan membuat he-
boh dengan segala aksinya. Bisa jadi mereka cukup
mengenal si Bangkotan Koreng Seribu dalam salah sa-
tu pengembaraannya dan kemudian terjadi bentrokan
dengan tokoh kosen itu, lalu dapat dikalahkan. Karena
merasa bahwa selama ini ilmu silatnya tak ada yang
menandingi, mereka jadi penasaran dan berniat untuk
balas dendam. Tapi siapa pun akan tahu, mereka yang
berani menantang si Bangkotan Koreng Seribu adalah
mereka yang punya kepandaian yang tak bisa dipan-
dang sebelah mata.
Meski toya di tangan telah kutung menjadi dua
bagian, namun senjata itu tak kalah hebat di tangan
mereka. Bagai dua pentungan yang siap menghancur-
kan batok kepala lawan. Begitulah keadaan yang di-
alami Pendekar Hina Kelana. Seakan empat pasang
tangan-tangan baja selalu mengintai titik kelemahan-
nya dan siap menghajar bila sedikit saja lengah. Bah-
kan keempat lawan seperti tak terpengaruh dengan
hawa dingin yang keluar dari golok di tangan si pemu-
da. Melihat keadaan begitu, amarah Pendekar Hina
Kelana rasanya tak dapat dibendung lagi. Dengan Pu-
saka Golok Buntung di tangan kanan, dia pentangkan
tangan kirinya dan sebentar saja pukulan si Hina Ke-
lana Merana yang berwarna merah menyala telah
menghantam keempat lawan. Masih bagus mereka bisa
cepat menghindar karena telah menduga hal itu sebe-
lumnya. Namun ketika Pendekar Hina Kelana mainkan
jurus si Gila Mengamuk, barulah keempat lawannya
mulai kerepotan.
Empat Setan Kembar mulai kewalahan menerima
serangan itu. Satu saat mereka harus menghindari sa-
betan golok di tangan Pendekar Hina Kelana yang
mengeluarkan hawa dingin yang membuat kaku otot-
otot tubuh, dan di lain saat mereka harus pon-tang
panting mengelak dari pukulan yang berwarna merah
menyala. Belum lagi mereka menduga-duga ke mana
gerakan si pemuda selanjutnya, tiba-tiba saja nyawa
mereka hampir di ujung tanduk. Barangkali kalau
orang biasa yang ilmu silatnya tak setinggi mereka,
akan tewas sejak tadi menghadapi serangan beruntun
yang dahsyat dan cepat itu. Untung saja yang dihadapi
si pemuda kali ini adalah Empat Setan Kembar, salah
satu nama datuk golongan sesat yang memiliki ilmu
tak kepalang tinggi. Tapi meski begitu, tokh mereka
tak bisa terus-terusan menghindar tanpa mampu
membalas sedikit pun. Dan pada jurus yang ke empat
puluh dua, dengan tiba-tiba.
"Cras! Cras!"
Dua dari Empat Setan Kembar tak lagi sempat
menjerit ketika kepala mereka terpisah dari tubuh di-
hantam Pusaka Golok Buntung karena mereka terpi-
sah dari dua kawannya. Hal itu telah diketahui Pende-
kar Hina Kelana. Mereka selalu bergerak dengan arah
yang sama, dan agak sulit untuk menghantam keem-
patnya sekaligus sebab yang satu segera akan melin-
dungi yang lain ketika serangan akan menghantam-
nya. Satu-satunya jalan adalah dengan membuat gera-
kan mereka kacau balau. Untuk itulah dia menggebrak
mereka dengan pukulan si Hina Kelana Merana, dan
ketika dua orang terpisah dari gerakan yang semes-
tinya saat itu pula golok di tangan Pendekar Hina Ke-
lana menghantam mereka.
Kedua kawannya kaget melihat hal itu. Mereka
tak menyangka bahwa pemuda itu mampu melakukan
hal seperti itu. Dengan marah keduanya segera
menyerang si pemuda secara bertubi-tubi. Tapi dalam
kemarahannya itu ternyata keuntunganlah yang dida-
pat si pemuda. Dia mulai melihat bahwa gerakan me-
reka mulai kacau dan tak terarah seperti tadi. Maka
dengan mudah dia menghalaunya, kemudian balas
menyerang. Sebelah tangannya menghantam pukulan
si Hina Kelana Merana, dan sebelah lagi mengayunkan
Pusaka Golok Buntung.
"Blar...! Craas...!"
Keduanya terjengkang dan tewas seketika. Seo-
rang terhantam pukulan, dan seorang lagi terbabat pu-
tus lehernya. Pendekar Hina Kelana tak perdulikan
mereka lagi. Dia segera genjot tubuh ke atas bukit.
Dan tiba di dataran yang agak luas dilihatnya suatu
bangunan yang terbuat dari batu-batu kapur namun
disusun secara rapi. Batinnya yakin bahwa di sinilah
tempat bersarangnya Singalodra, ketua Persekutuan
Iblis Hitam itu.
"Singalodra! Keluarlah engkau!!" teriak Buang Sengketa dengan mengerahkan tenaga
dalamnya yang tinggi. Bisa saja dia langsung masuk ke dalam, tapi
siapa tahu lawan telah menyediakan jebakan. Bisa-
bisa dia mati konyol tanpa bisa menempur manusia
durjana itu. Namun setelah ditunggu beberapa saat, tak keli-
hatan tanda-tanda jawaban dari dalam. Pemuda itu
baru akan kembali berteriak ketika sesuatu berkelebat
dari arah belakang. Reflek dia menoleh.
11 "Hak... hak... hak... hak...! Jadi engkaukah pen-
dekar muda yang sangat ditakuti itu"! Hebat! Hebat!
Pantas si Iblis Ular Hijau dan Empat Setan Kembar
merasa jerih berhadapan denganmu, dan terpaksa
menemui ajal di tangan bocah sepertimu!" ucap Singalodra yang telah berdiri pada
jarak sepuluh tombak di
belakangnya. Buang Sengketa meneliti wajah ketua Perseku-
tuan Iblis Hitam ini. Tidak jelek, malah tampan, ka-
tanya dalam hati. Tapi siapa nyana manusia seperti dia menyimpan iblis dalam
hatinya. "Jadi engkaukah yang bernama Singalodra?"
tanya Pendekar Hina Kelana meyakinkan.
"Tidak salah, Bocah! Akulah Singalodra, raja di
raja dalam dunia persilatan!" Kembali ketua Persekutuan Iblis Hitam itu tertawa
terbahak-bahak. Buang
Sengketa terkesiap. Telinganya tergetar dengan hebat.
Dia cepat menyadari bahwa suara tawa Singalodra di-
aliri tenaga dalam yang sangat kuat dan menusuk-
nusuk jantungnya.
"Bangsat!" umpatnya dalam hati. "Sudah menye-butku bocah, seperti dia orang tua
renta saja, kini
hendak pamer kekuatan segala." Murid si Bangkotan Koreng Seribu itu cepat
kerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh tekanan lawan. Setelah dirasa te-
kanan lawan tak lagi mempengaruhinya, pemuda itu
segera meningkahi dengan suara lengkingan nyaring
dari ilmu Lengkingan Pemenggal Roh dengan pengera-
han setengah bagian kekuatannya.
"Heiiiiggggkkhh...!"
Singalodra terperanjat. Tawanya seketika terhen-
ti, dan ganti dia yang segera tutup kuping.
"Bocah kurang ajar! Engkau hendak pamer kebi-
saan di depan Singalodra"!"
Buang Sengketa hentikan suara lengkingan itu,
dan nyengir sambil garuk-garuk rambut di kepalanya
yang tak gatal.
"Orangtua sialan!" balasnya mengejek. "Aku bukan hendak pamer kebisaan di
hadapanmu, tapi di be-
lakangmu pun telah kulakukan. Apakah ada lagi yang
hendak engkau keluarkan untuk menghadapiku" Atau
jiwa pengecutmu telah kabur jauh-jauh"!"
Diejek demikian rupa, Singalodra ma-rah bukan
main. Selama ini tak seorang-pun menyebutnya penge-
cut. Tapi pemuda gembel dengan rambut dikuncir dan
periuk di punggungnya itu telah kurang ajar berkata
demikian. Kalau dia tak miliki nyali macan, bisa jadi
dia orang gila kesasar. Tapi tak mungkin kalau orang
gila mampu membabat orang-orangnya hingga tuntas
semua. "Bocah! Selamanya Singalodra tak pernah dihina
begitu rupa. Ada sangkut paut apa hingga dengan tiba-
tiba engkau mengacak-acak tempat kediamanku ini"!
Jawab! Kalau engkau tak beri jawaban yang memua-
skan, jangan harap engkau bisa keluar dari tempat ini
dengan nyawa masih me-lekat di tubuh!" Wajah Singalodra nampak merah padam
menahan amarah. Tapi
melihat itu Buang Sengketa malah ganda tertawa.
"Orangtua! Aku tak punya sangkutan serius pa-
damu, tapi jelas engkau membuat aku mau tak mau
harus terpaut dengan segala tingkahmu yang selama
ini engkau lakukan," sahut Pendekar Hina Kelana tenang. "Jadi jelasnya,
kedatanganku ke sini cuma ingin pinjam sebentar nyawamu untuk ku tukarkan dengan
nyawa seekor anjing, engkau memang patut menda-
patkannya."
"Bangsat...!!" Singalodra tak lagi bisa menahan amarah. "Bocah! Engkau harus
terima akibatnya!" teriaknya sambil pentangkan kedua belah tangan mem-
bentuk paruh burung. Kemudian dengan cepat melesat
ke arah si pemuda. Kedua belah tangannya menghan-
tam ke sana sini dengan kecepatan yang sulit diikuti
kasat mata. Ke mana lawan menghindar, secepat itu
kedua tangannya susul menyusul menghajar. Itulah
kehebatan jurus Rajawali Mencakar Bukit yang pernah
dipelajarinya dari si Rajawali Bukit Seribu.
Untuk beberapa saat Pendekar Hina Kelana
hanya menghindar untuk mengetahui sifat serangan
lawan. Setelah mengetahui titik-titik kelemahannya,
dia segera kebutkan lengan ke bagian-bagian tertentu
di tubuh lawan sambil bergerak menghindari serangan.
Jurus Si Hina Mengusir Lalat ini memang tidak bera-
kibat yang terlalu parah untuk lawan, namun sebagai
tandingan dari jurus lawan rasanya masih sepadan.
Akibatnya bisa ditebak, bahwa dalam belasan jurus
yang telah berlalu keadaan mereka masih seimbang.
Namun memasuki jurus keduapuluh, Singalodra sege-
ra ubah serangan. Mula-mula dia menyerang Pendekar
Hina Kelana dengan menggunakan jurus Rajawali
Mengamuk dan membuat lawan kerepotan. Kemudian
secepat kilat dia kembali merubah jurusnya dengan
Meniup Badai Selatan. Suatu jurus ampuh yang dipe-
lajarinya dari Malaikat Gunung Selatan.
Buang Sengketa agak kerepotan juga menghadapi
serangan lawan yang berubah-ubah tak menentu. Ka-
dang Singalodra hantamkan sebelah kaki, namun ter-
nyata yang diutamakan adalah pukulan tangan. Begitu
pun sebaliknya. Dan tak jarang kadang-kadang bertiup
angin kencang ketika sebelah telapak tangannya ter-
pentang ke depan. Lalu dengan cepat tubuhnya bagai
bergulung-gulung mendekati pendekar dari Negeri Bu-
nian itu. "Splaaak...!"
Masih untung Buang Sengketa bisa dengan cepat
memapak serangan lawan, kalau tidak tentu pukulan
Singalodra yang di-iringi tenaga dalam tinggi itu akan menghantam dadanya. Namun
tak urung tangannya
terasa hendak lepas dari pergelangan. Begitu hebat
dan tingginya tenaga dalam lawan, pikirnya dalam ha-
ti. Belum lagi dadanya yang terasa dilanda gempa bu-
mi dahsyat terasa sakit dengan denyutan kencang. Dia
merasa ada sesuatu yang menetes lewat pipi. Ketika
ujung telunjuknya menyentuh, terlihat darah segar
yang keluar dari sela-sela mulutnya.
Singalodra pun bukan tak merasakan hal itu.
Dadanya seakan mau remuk di-iringi sakit yang luar
biasa. Untung saja dia cepat menelan sebutir pel ber-
warna merah dari saku jubah, kalau tidak, mungkin
dari mulutnya akan tersembur darah segar bagai air
memancur. Untuk beberapa saat ia mengatur jalan na-
fas sambil duduk bersila setelah menyeka lelehan da-
rah di pipi. "Singalodra, kalau engkau mau kembali ke jalan


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lurus, kemudian sangkutan-nya denganku, eng-
kau mau membebaskan gadis yang engkau culik, ba-
rangkali kita tak perlu meneruskan pertarungan ini,"
kata Buang Sengketa menyarankan sebuah usul. Tak
biasanya Pendekar Hina Kelana berkata demikian. Bisa
jadi ini karena pengaruh dari jurus-jurus Koreng Seri-
bu yang membuatnya lebih sabar dalam menghadapi
musuh-musuhnya. Apa salahnya menyudahi perta-
rungan bila lawan bisa dikalahkan dengan jalan men-
ginsyafkannya lewat kata-kata"
Tapi Singalodra bukanlah jenis manusia seperti
itu. Barangkali wajahnya bisa tampan dan lembut se-
perti wajah bayi tanpa dosa, namun hatinya tak seperti itu. Dia akan kokoh
setegar batu karang yang tak
mampu digoyahkan apa pun. Malah terkekeh-kekeh
mendengar ocehan Pendekar Hina Kelana itu.
"Bocah! Apakah engkau takut untuk me-
lanjutkan pertarungan ini"!" katanya mengejek. "Kalau engkau takut, sudah
terlambat untuk melarikan diri.
Aku tak akan pernah mengampuni musuh-musuhku
hidup-hidup. Lagipula, apa yang tadi engkau minta"
Ingin gadismu itu dikembalikan?" Singalodra ketawa pajang sambil bangkit dari
duduknya. "Sungguh cantik dia. Tak menyesal aku telah kehilangan banyak anak
buahku. Sungguh sepadan dengan kenikmatan yang
diberikannya. Hak... hak... hak...!"
Mendengar itu, terkesiaplah wajah Buang Seng-
keta. Tubuhnya menggigil menahan amarah.
"Singalodra! Apa maksudmu"!" bentak-nya den-
gan garang. "Apa maksudku" Sederhana, Bocah. Gadismu itu
telah memberikan kenikmatan pa-daku secara cuma-
cuma." "Tidak mungkin!"
"Lho! Lho! Kenapa engkau malah ma-rah-marah
tak karuan"! Mungkin dia tidak suka padamu!" ejek Singalodra lagi.
"Bangsat cabul! Engkau pasti telah memperko-
sanya!" Meledaklah tawa Singalodra kembali melihat si
pemuda mencak-mencak menahan amarah. Namun
dia kaget ketika dengan tiba-tiba lawan lancarkan satu pukulan. Selarik
gelombang Ultra Violet segera menghajarnya. Untung Singalodra cepat berkelit
sambil ter- tawa-tawa panjang. Terasa oleh Buang Sengketa bagai
iblis yang sedang melampiaskan dan puas melihat
korbannya celaka dan sengsara. Hatinya panas bukan
main. Gejolak darahnya seolah, mendidih hingga ke
ubun-ubun. Apalagi terbayang di benaknya gambar
seorang gadis yang sedang meronta-ronta melawan
cengkraman menjijikkan manusia di hadapannya ini.
Barangkali dia tak akan bakal mengampuni manusia
yang satu ini. Bahkan kematiannya pun tak akan se-
timpal dengan apa yang dilakukannya.
"Hei! Apakah engkau sedang main kembang
api"!" ejek Singalodra masih dengan tawanya yang terkekeh-kekeh.
"Bangsat cabul! Tertawalah sepuasmu setelah di
neraka nanti!" sahut Pendekar Hina Kelana. Singalodra terpaksa pontang panting
menghindarkan diri ketika
pukulan lawan terasa semakin gencar menghantam-
nya. "Kurang ajar!" teriak Singalodra ketika selarik gelombang pukulan berwarna
Ultra Violet yang dile-
paskan Buang Sengketa hampir menyerempet batok
kepalanya. Masih untung hanya ujung rambutnya
yang terpapas sebagian hingga ikat kepalanya seketika
itu juga lepas. Rambutnya yang panjang hingga ke
punggung, kini tergerai-gerai ditiup angin. Ada bau
sangit yang seketika menebar. Barangkali yang dira-
sanya hanya itu, tapi kejengkelannya terasa meluap-
luap. Dia yang merasa paling hebat dengan segala ilmu
silatnya, ternyata masih bisa dihantam lawan meski
hanya terserempet. Sambil kertakkan geraham tanda
emosinya mulai bangkit, tangannya terpentang. Sesaat
kemudian sebuah pukulan yang bergelombang warna
merah bagai darah menghantam Pendekar Hina Kela-
na. Buang Sengketa saat melihat angin yang mende-
ru-deru dengan hebatnya mengiringi gelombang puku-
lan, tak mau setengah-setengah memapagnya. Dia se-
gera keluarkan pukulan Si Hina Kelana Merana.
"Blaaam...!"
Kedua pukulan itu beradu. Bumi terasa bergon-
cang, dan suara yang memekakkan telinga terasa me-
nusuk-nusuk telinga mereka akibat dari pukulan itu.
Keduanya sama-sama terpental beberapa tombak
sambil muntahkan darah segar. Tapi pada saat itu
Singalodra cepat bangkit sambil keluarkan pedang
yang sejak tadi berada di punggungnya setelah mene-
lan sebutir pel warna merah.
"Srang!"
Pedang Iblis di tangan Singalodra yang berwarna
hitam berkilat-kilat, menebar bau busuk yang menu-
suk penciuman di sekitar tempat itu. Seolah-olah men-
cekik segala makhluk yang berada di dekatnya dan
menghisap darah yang berada di tubuhnya.
Buang Sengketa terkejut untuk beberapa saat ke-
tika merasakan hawa yang dikeluarkan pedang lawan.
Dengan cepat dia keluarkan Pusaka Golok Buntung,
dan seketika itu juga selarik sinar merah menyala yang dibarengi hawa dingin
yang menyengat hingga ke tulang sum-sum menghantam bau busuk yang dikelua-
rkan pedang Singalodra. Badannya terasa segar, meski
sakit yang dirasanya masih belum sembuh betul. Den-
gan satu teriakan dahsyat dia bangkit untuk memapak
serangan lawan. Suaranya bagai puluhan harimau ter-
luka yang mengaum seakan memberi satu dorongan
semangat yang hebat padanya.
"Trang...!"
Pendekar Hina Kelana terkejut melihat benturan
senjata itu. Bukan oleh bunga api yang ditimbulkan-
nya, tapi pada keampuhan pedang lawannya kali ini.
Selama malang melintang di dunia persilatan, jarang
dia menemukan senjata lawan yang mampu mengha-
dapi Pusaka Golok Buntung. Rata-rata senjata lawan
akan terbabat kutung, tapi pedang di tangan Singalo-
dra betul-betul hebat. Bukan hanya tangannya yang
terasa kesemutan, namun dia juga merasakan satu
daya tolak yang ditimbulkan akibat benturan kedua
senjata tadi yang seakan berasal dari senjata lawan.
Apakah ini berarti dia akan ketemu batunya kali ini"
12 Akan halnya dengan Singalodra pun merasakan
hal yang sama dengan apa yang dirasakan lawannya.
Selama ini pedangnya akan membabat apa saja yang
menahannya. Tapi menghadapi golok di tangan pemu-
da berkuncir itu, seakan tak ada apa-apanya. Bahkan
dia berpikir, apakah pedang pusakanya ini telah hilang keampuhannya"
Sebenarnya masing-masing mereka tak menyada-
ri akan apa yang terjadi. Kedua senjata itu bukan hi-
lang keampuhannya, melainkan karena mereka berte-
mu dengan senjata lawan yang mempunyai keampu-
han hampir sama. Seperti Pedang Iblis di tangan Sin-
galodra yang punya daya hisap yang keji pada darah
lawan yang dilukai. Padahal dalam jarak beberapa
jengkal pun daya sedot itu masih terasa seakan menu-
suk-nusuk kulit lawan. Begitu juga halnya dengan Pu-
saka Golok Buntung di tangan Buang Sengketa. Meski
tak sekeji senjata lawan, namun bila telah keluar dari sarungnya, dia akan
bergerak mengejar lawan dan
menghabisinya dengan segera. Di samping keampu-
hannya yang lain menyedot tenaga inti lawan. Itulah
sebab, ketika kedua senjata itu bertemu, ada saling tolak menolak antara
keduanya yang pada akhirnya
menghantam pemiliknya sendiri.
Ketika mereka kembali melakukan hal yang sa-
ma, kejadian itu terulang. Hingga beberapa kali. Ak-
hirnya sadarlah mereka bahwa dalam hal adu senjata
tak akan banyak berguna. Selain menyiksa mereka
sendiri akibat tenaga dalam yang menghantam diri
sendiri, juga membuang-buang waktu secara percuma.
Padahal masing-masing punya dendam yang harus di-
lampiaskan secepatnya.
Mengingat itu Singalodra segera ubah jurus-
jurusnya dengan ilmu silat warisan dari Iblis Merah
Darah. Sebentar saja Buang Sengketa merasakan te-
kanan yang hebat dari gerakan lawan. Dia mencelat ke
sana ke mari menghindari diri dengan jurus Memben-
dung Gelombang Menimba Samudra. Tubuhnya seolah
terbungkus oleh gerakan-gerakannya sendiri. Melihat
lawan yang mampu menghindari jurus-jurus pembu-
kanya, Singalodra segera tingkatkan jurus-jurusnya.
Kedua tangannya membentuk cakar dan mengelua-
rkan asap secara perlahan-lahan. Kemudian berubah
menjadi merah bagai bara. Lalu dengan satu teriakan
panjang, dia mencelat ke arah si Pendekar Hina Kela-
na. Buang Sengketa yang melihat lawan telah kemba-
li menyarungkan pedang, dia pun ingin bersikap adil
dengan menyelipkan kembali Pusaka Golok Buntung-
nya dan melayani lawan dengan jurus-jurus tangan
kosong. Tapi alangkah kagetnya ketika tangan lawan
yang berbentuk cakar itu menghantam sebongkah ba-
tu besar di belakangnya dengan melewati beberapa
senti dari lehernya. Batu itu hancur berkeping-keping, dan lehernya sendiri
seperti terbakar api. Terasa kering dan panas. Namun belum lagi sempat dia untuk
meyakinkan bahwa tak terjadi sesuatu pada lehernya, seko-
nyong-konyong pukulan lawan kembali mengejarnya
bertubi-tubi. Terpaksa dengan pontang-panting Buang
Sengketa menghindarinya, namun jari-jari lawan yang
berbentuk cakar itu, terus mengejarnya seakan tak
memberi peluang untuk barang sekejap mengatur na-
fas bagi lawan.
Begitu hebatnya jurus Cakar Iblis Merah yang di-
keluarkan Singalodra, membuat Pendekar Hina Kelana
semakin terdesak tanpa bisa melakukan serangan ba-
lasan. Dan pada satu kesempatan.
"Buk!"
Buang Sengketa terjengkang sejauh beberapa
tombak. Darah segar muncrat dari mulutnya akibat
pukulan Singalodra yang menghantam dadanya. Bu-
kan hanya remuk yang dirasakannya, tapi juga sakit
luar biasa, membuat tubuhnya sulit untuk digerakkan.
Kalau saja tadi tubuhnya tidak dilindungi dengan te-
naga dalam penuh, bisa jadi akan hancur seperti batu
yang dihantam ketua Persekutuan Iblis itu.
"Mampuslah engkau, Bocah!" teriak Singalodra sambil mencelat ke arah Pendekar
Hina Kelana dan
pentangkan kedua tangannya dengan jari-jari yang
masih merah seperti bara. Buang Sengketa yang mera-
sakan ancaman mematikan dari lawan, diam-diam
bergidik juga hatinya. Perlahan-lahan dicabutnya Pu-
saka Golok Buntung dan sesaat kemudian terasa hawa
hangat menjalar di seluruh tubuhnya menghilang-kan
rasa sakit yang menusuk-nusuk dan me-lancarkan ali-
ran darahnya yang tadi sempat kacau. Tepat pada saat
kedua jari-jari Singalodra yang membentuk cakar itu
hendak menghantam batok kepalanya, dia segera sa-
betkan Pusaka Golok Buntung itu.
Singalodra yang melihat lawan hendak sabetkan
senjatanya secepat itu menarik mundur tangannya
dan berjumpalitan beberapa kali di udara untuk
menghindarkan diri dari sabetan-sabetan lawan beri-
kutnya. Tapi kali ini Pendekar Hina Kelana tak mau
dipecundangi untuk kedua kalinya. Dia segera main-
kan jurus Si Jadah Terbuang untuk menghadapi aksi
lawan. Dengan jurus itu dia bisa menghindarkan dan
cepat mengirim pukulan balasan pada lawan. Hingga
untuk beberapa saat, sulit ditebak, siapa yang lebih
unggul dalam pertempuran itu.
Tapi Singalodra nampaknya tak lagi mau buang-
buang waktu. Ketika dalam satu kesempatan, dia
mencelat mundur dan hinggap di kedua kakinya den-
gan ringan. Se-belah tangannya segera merapat ke da-
da dengan jari-jari terbuka lurus. Sementara sebelah
tangannya yang lain melintang di depan yang pertama
tadi. Lalu dengan gerakan yang tak perduli pada la-
wan, tubuhnya segera bergeser perlahan-lahan mem-
bentuk putaran-putaran yang berjalan mendekati si
pendekar dari Negeri Bunian itu. Lama kelamaan puta-
ran-putaran itu semakin cepat dan akhirnya sulit di-
ikuti oleh kasat mata, menghantam ke arah Buang
Sengketa berada. Pemuda itu cepat menghindar den-
gan meloncat, namun putaran itu bagai angin puting
beliung, terus mengikuti ke mana saja tubuhnya ber-
gerak dan menghindar. Inilah salah satu jurus andalan
Singalodra yang diberi nama Iblis Menggoda Iman. Ke-
lihatannya remeh dan sepele, namun sesungguhnya
bila lawan tersentuh oleh putaran tubuhnya, bukan
hanya satu pukulan yang terkena namun dari kedua
kaki dan tangan serta tubuh akan menghantam lawan
secara bertubi-tubi. Lalu kesadisan yang lain dari ju-
rus ini justru terletak pada hawa pukulan yang dilan-
carkannya. Dialiri tenaga dalam yang penuh dan kuat
serta mematikan.
Buang Sengketa keluarkan jurus Si Gila Menga-
muk untuk menghindarinya. Tubuhnya berkelebat ke
sana sini menghindari sapuan lawan. Lalu sekali-sekali lontarkan pukulan si Hina
Kelana Merana. Namun bagai bermata, tubuh Singalodra yang bergulung-gulung
itu meliuk-liuk menghindari selarik gelombang ber-
warna merah menyala itu dengan lincahnya. Sampai
beberapa kali Pendekar Hina Kelana melancarkan pu-
kulan si Hina Kelana Merana, namun tak ada satu pun
yang berhasil menyentuh lawan. Batu-batu serta pe-
pohonan di tempat itu telah porak poranda dilanda
pukulan-pukulan Buang Sengketa.


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singalodra yang melihat bahwa serangannya kali
ini belum juga berhasil menghajar pemuda itu, segera
merubah taktik. Dalam keadaan tubuhnya yang masih
berputar, dia keluarkan pedangnya dan kerahkan te-
naga dalam penuh pada sebelah lengannya yang lain.
Tujuannya sudah jelas, akan menghantam Pendekar
Hina Kelana dengan kekuatan penuh.
Murid si Bangkotan Koreng Seribu bukannya tak
menyadari hal itu. Dia dapat merasakan hawa samba-
ran tubuh lawan yang masih berputar seperti gasing
itu terasa kuat dan ganas. Tubuhnya terasa ditarik-
tarik oleh sesuatu benda yang dipegang ketua Perseku-
tuan Iblis Hitam itu.
Sadarlah dia bahwa lawan kali ini telah menge-
rahkan seluruh ilmu yang dimilikinya untuk segera
membuatnya binasa. Dia pun dengan nekad telah ber-
niat memapak serangan lawan sambil kembali menca-
but Pusaka Golok Buntung dan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimiliki. Kemudian dalam satu ke-
sempatan. "Blaaaaaaar...!"
Suatu benturan dahsyat terjadi. Bukit itu terasa
bergoncang-goncang seperti dilanda gempa yang hebat.
Istana Singalodra terlihat mulai retak-retak di sana si-ni diikuti oleh
runtuhnya atap serta beberapa batu
tembok bagian atas. Pepohonan yang berada dalam ra-
dius sepuluh tombak dari pertempuran itu pada ber-
tumbangan. Kedua tubuh mereka terpental kira-kira
sepuluh tombak sambil muntah darah berkali-kali. Da-
ri hidung dan telinga keduanya mengalir darah segar.
Ini adalah pertarungan tinggi yang sama-sama dialami
oleh mereka. Keduanya cepat bersila mengatur jalan
nafas dan peredaran darahnya. Barulah mereka sadari
bahwa senjata yang tergenggam telah terpental entah
ke mana. Yang paling merasakan parahnya adalah
Pendekar Hina Kelana. Tanpa Pusaka Golok Buntung
di tangannya, luka yang dideritanya akan semakin pa-
rah. Sebaliknya setelah menelan beberapa pel warna
merah Singalodra merasa tubuhnya agak lebih mem-
baik meski belum bisa dikatakan sembuh total. Meli-
hat lawan masih duduk bersila menandakan bahwa ja-
lan darahnya masih kacau, dia tak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Sambil mencelat tinggi, dia keluarkan
suara bersuitan yang panjang dan menusuk telinga.
Siapa pun yang mendengar pasti akan berakibat buruk
padanya. Batu-batu di sekitar tempat itu kembali han-
cur menjadi beberapa kepingan kecil, pohon-pohon
terbelah bagai dicabik-cabik oleh suatu tangan yang
tak terlihat, dan tanah tempat mereka berpijak tiba-
tiba mulai retak satu persatu. Bisa dibayangkan bila
ada manusia yang berada di tempat itu, bisa dipasti-
kan binasa seketika.
Buang Sengketa menyadari bahaya yang men-
gancam keselamatan jiwanya. Satu-satunya harapan
saat ini yang mampu diandalkannya adalah mengelua-
rkan jurus-jurus Koreng Seribu. Namun tak mungkin
dimainkannya sambil berdiri, sebab untuk menggerak-
kan tubuh saja terasa sakit luar biasa. Mau tak mau
dia hanya bisa memainkannya sambil duduk bersila.
Matanya mulai terpejam seiring pikirannya yang mulai
berkonsentrasi menghalau suara yang dikeluarkan la-
wan. Pelan-pelan pengaruh itu mulai menghilang dari
telinga dan seluruh permukaan tubuhnya. Bahkan kini
telinganya menangkap suara-suara yang lebih aneh
seperti teriakan-teriakan Singalodra menahan kesaki-
tan. "Lepaskan jahanam! Lepaskaaaaan...!
Aaaaaaaakh...!"
Teriakan melolong setinggi langit mengiringi tu-
buh Singalodra ambruk ke tanah dan tewas seketika.
Setelah tak terdengar lagi suara-suara yang mencuri-
gakan, barulah Pendekar Hina Kelana buka matanya
dan memperhatikan ke sekeliling sambil bangkit dan
berjalan tertatih-tatih. Pertama-tama yang dilihatnya adalah tubuh Singalodra
yang pucat pasi seakan seluruh darahnya hilang entah ke mana. Buang Sengketa
menghela nafas pendek sambil gelengkan kepala. Dia
tak sangka keampuhan jurus-jurus Koreng Seribu
sampai sedemikian hebat menyedot seluruh tenaga da-
lam lawan hingga dia tewas dengan tubuh lemas tak
berdaya. Makin tinggi tenaga dalam yang dikeluarkan
lawan, makin cepat tubuhnya yang sedang mengerah-
kan jurus-jurus Koreng Seribu menyedotnya. Lawan
yang tak mengerti dan panik melihat keadaan itu, akan
semakin marah dan terus mengerahkan tenaga dalam-
nya hingga semaksimal mungkin. Seperti halnya yang
dilakukan oleh Singalodra tadi.
Kemudian Buang Sengketa memutar pan-dang ke
sekeliling tempat. Batu-batu yang hancur, pohon-
pohon tumbang, dan terakhir istana Singalodra yang
telah runtuh. Tiba-tiba matanya yang tajam menatap
sosok tubuh berpakaian biru di depan istana Singalo-
dra yang runtuh. Darahnya segera terkesiap. Dia sege-
ra menghampiri, dan melihat tubuh seorang wanita
yang tewas dengan darah yang mengalir lewat seluruh
tubuhnya. Dan pada jarak tiga jengkal dari tangannya
yang menjulur, tergeletak Pusaka Golok Buntung yang
terpental tadi. Tentu gadis itu tadi berusaha untuk
menggapainya, pikir si pemuda. Tapi yang membuat-
nya lebih terperanjat adalah ketika mengetahui siapa
gadis itu sebenarnya.
"Puji Lestari...?" bisik Pendekar Hina Kelana pelan dan tertegun untuk beberapa
saat lamanya. Ada
sesuatu yang hilang dalam hatinya. Entah apa, namun
sangat terasa menyesak. Pelan-pelan dia tundukkan
kepala dalam larut penyesalan.
"Kalau saja aku lebih cepat datang, tentu nasib-
mu tak akan begini. Tapi kenapa engkau malah keluar
mendekati" Seharusnya engkau tahu bahwa tenaga
dalammu tak akan cukup untuk menyaksikan perta-
rungan kami dari jarak yang dekat. Kenapa engkau ke-
luar juga?" ucap pendekar berambut kuncir itu berkata seorang diri bagai orang
gila sambil menatap pada
mayat gadis itu. Dia berusaha menggoncang-
goncangkan tubuh si gadis sambil memanggil-manggil
namanya berkali-kali.
Tiba-tiba pada saat demikian matanya tertumbuk
pada tulisan yang tertera di tanah. Berwarna merah
karena bercampur dengan darah.
Untuk Buang Sengketa, atau siapa pun namamu.
Aku sangat mencintaimu, tapi sekarang merasa
sangat tak berharga sebab Singalodra keparat telah
menodai ku berkali-kali. Barangkali kematianku akan lebih baik, tapi sebelum itu
aku ingin agar kematianku bisa ber...
Tulisan itu terputus. Buang Sengketa menyadari,
pasti gadis itu tak mampu meneruskan kalimatnya ka-
rena pengaruh ilmu yang dikeluarkan Singalodra tadi
yang membuatnya tak berdaya. Dari sikap tangannya
yang hendak meraih Pusaka Golok Buntungnya yang
terpental di dekatnya, mengertilah Pendekar Hina Ke-
lana bahwa gadis itu berniat meraihnya dan bermak-
sud menyerang Singalodra dengan senjata itu. Tapi se-
belum dia mampu mendapatkannya, dia telah tewas
tak berdaya. Pendekar Hina Kelana tak mampu berkata sepa-
tah pun melihat kenyataan itu. Hatinya luka dan ada
satu yang terlepas. Mungkin dengan pengembaraan-
pengembaraan berikutnya dia akan bisa melupakan
semua kenangan ini. Ada yang menyenangkan, namun
juga ada yang menyakitkan. Barangkali itulah hidup!
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Rahasia Istana Terlarang 15 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Kereta Berdarah 1
^