Pencarian

Geger Di Bukit Seribu 1

Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
GEGER DI BUKIT SERIBU
Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D.Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Geger Di Bukit Seribu
1 Bukit Seribu berdiri gagah, seolah menantang
sang surya di pagi hari. Barisan bukit-bukit yang me-
lingkar bagai belanga berwarna hijau, ditutupi dedau-
nan pohon-pohon lebat. Sementara di sana sini men-
ganga jurang yang lebar, dan tebing-tebing runcing
yang memancing kematian bagi mereka yang coba-
coba mendakinya.
Di dataran yang agak luas di atas bukit, Ki
Mangsapati duduk bersila di atas bale-bale. Beliau
adalah tokoh tua dunia persilatan yang telah lama
mengasingkan diri dari keramaian umum. Pada masa
mudanya terkenal dengan julukan Rajawali Bukit Seri-
bu, yang banyak membuat geger dunia persilatan den-
gan aksinya membantai penjahat-penjahat tengik, mal-
ing-maling coro, dan kaum persilatan golongan hitam.
Dalam pada itu, keheningan yang tercipta, teru-
sik oleh sesosok tubuh yang meloncat-loncat dengan
ringannya, mendekati si orangtua yang masih tetap
bersila. Wajahnya tampan, dan mengenakan jubah hi-
tam pada seluruh pakaiannya. Si orangtua itu terkejut
sesaat, namun cepat tersenyum sambil angguk-
anggukkan kepala ketika si pemuda menjura hormat.
"Ampun guru, aku terlambat datang hari ini..."
kata si pemuda.
"Tidak apa, tidak apa...." sahut orangtua itu masih tersenyum. "Bagaimana
keadaan orangtua mu di desa" Baik" Mudah-mudahan begitu. Tapi kenapa
engkau mengenakan pakaian hitam-hitam seperti ini"
Apakah engkau sedang berkabung?"
Si pemuda seketika berubah murung. Lama dia
tertunduk ketika akhirnya berkata lirih:
"Benar apa yang engkau katakan, guru. Saat ini
aku sedang berkabung karena begitu aku tiba di ru-
mah, keadaan desa telah hancur porak poranda.
Orangtua ku pun terbunuh dalam kekacauan itu...!"
Si orangtua kerutkan alis dengan wajah terkejut.
"Siapa pelaku kerusuhan itu"!"
"Menurut orang-orang yang masih hidup, mereka
dari Persekutuan Iblis Hitam...."
"Persekutuan Iblis Hitam..."!" gumam si orangtua sambil kertakkan rahang menahan
amarah. "Persekutuan orang-orang sesat yang dipimpin si Singalodra itu memang
sangat meresahkan dunia persilatan saat ini.
Mereka banyak membuat kekacauan di mana-mana,
dan membunuh banyak tokoh-tokoh persilatan golon-
gan putih yang coba-coba menentangnya. Sudah saat-
nya engkau bertindak saat ini, mewakili ku untuk ber-
gabung dengan tokoh-tokoh golongan putih gua mem-
basmi mereka, Pranajaya!"
"Apa... apakah aku sanggup melawan mereka
dengan ilmu yang kupelajari selama ini padamu,
guru?" Si pemuda ragu-ragu bertanya. Hatinya bim-
bang karena mengetahui bahwa sesungguhnya musuh
berilmu sangat tinggi.
"Prana, engkau tak usah menjadi takut menden-
gar kehebatan lawan. Aku meski tak terlalu hebat, tapi nama Rajawali Bukit
Seribu bukanlah nama kosong
belaka. Dan saat ini seluruh ilmu yang kumiliki telah
aku turunkan padamu. Lagipula engkau harus ingat,
bahwa tugas untuk melenyapkan kebatilan tidak
hanya terletak pada pundakmu. Engkau harus berga-
bung dengan pendekar-pendekar aliran putih lainnya
untuk saling bahu-membahu menumpas mereka.
Engkau ingat apa yang pernah kukatakan beberapa
tahun yang lalu?"
"Aku ingat, guru. Engkau bersama-sama dengan
Malaikat Gunung Selatan dan si Cangkul Maut me-
numpas si Iblis Merah Darah yang sesat itu!"
"Nah, sepatutnya engkau begitu. Menggalang per-
satuan dengan sesama golongan. Karena bersama-
sama itu lebih kuat dibanding engkau menumpasnya
seorang diri. Menurut apa yang kudengar pula, si Sin-
galodra itu berilmu tinggi dari ganas sekali. Aku pun
turut sedih mendengar berita bahwa si Malaikat Gu-
nung Selatan dan si Cangkul Maut telah tewas di tan-
gannya. Apalagi saat ini, ketika mendengar berita ten-
tang kematian orangtua mu...." Orangtua itu perli-hatkan wajah berduka sambil
gelengkan kepala pelan
dan tarik nafas panjang sesaat.
"Guru...." panggil si pemuda dengan suara datar,
"Tahukah engkau kenapa si Singalodra membunuh
kedua sahabatmu itu?"
"Entahlah... tapi menurut berita yang
kudengar, Singalodra adalah anak si Iblis Merah Darah
yang hendak menuntut balas atas kematian orangtua-
nya, dan melanjut-kan cita-cita untuk menjagoi dunia
persilatan dengan menghalalkan segala cara...."
"Apakah menurut guru ilmu silatku da-pat dian-
dalkan untuk mengalahkan si Singalodra?"
Si orangtua terdiam sejenak. Kembali dia meng-
hela nafas panjang sebelum menjawab lirih:
"Kalau benar si Singalodra itu anak si Iblis Merah Darah dan mewarisi seluruh
ilmunya, ini adalah ancaman serius...."
"Kenapa, guru"!"
"Ilmunya sangat tinggi, Prana. Kami bertiga dulu
dengan susah payah baru berhasil mengalahkan-
nya...." Demi mendengar jawaban itu si pemuda terse-
nyum tipis sambil mengeluarkan sesuatu dari balik ju-
bahnya. Sebilah pedang dengan sarung dan gagangnya
yang hitam bagai arang. Ki Mangsapati terperanjat ka-
get ketika melihat benda di tangan si pemuda. Dia se-
gera berdiri dan undur beberapa tindak ke belakang. Si pemuda sebaliknya dengan
tenang berdiri tegak sambil
memandang si orangtua dengan senyum sinis.
"Prana, apa-apaan engkau ini"! Dari mana eng-
kau peroleh Pedang Iblis itu"!" bentak si orangtua heran bercampur was-was.
Sebaliknya mendengar bentakan itu si pemuda
tertawa terbahak-bahak.
"Ha... ha... ha... ha...! Bagus, engkau masih men-genali benda ini. Kau pikir
siapa yang berhak mewa-
riskannya kalau bukan putranya sendiri?"
"Jadi... jadi... engkau anaknya si Iblis Merah Darah"!" tanya si orangtua kecut.
Wajahnya sedikit pucat. Dia tahu betul bagaimana kehebatan senjata di
tangan si pemuda. Bila dimainkan dengan jurus-jurus
ilmu pedangnya, benda itu akan bergerak bagai setan
menguber mangsa tanpa henti, sebelum lawan binasa
dengan darah kering tersedot ke dalamnya.
"Ki Mangsapati, tunjukkanlah kehebatan sebagai
tokoh kosen yang pernah menggetarkan dunia persila-
tan, bukan orangtua pikun yang bertahun-tahun ku-
bodohi dengan mengaku sebagai anak desa biasa di
kaki bukit ini, dan tak pernah mau menetap di tem-
patmu yang bau apek. Jangan menampakkan wajah
pucat ketakutan seperti itu. Mana kegaranganmu se-
bagai Rajawali Bukit Seribu"!" ejek si pemuda sinis.
"Bocah keparat! Murid murtad celaka! Jadi benar
bahwa engkau ini Singalodra anak si Iblis Merah Da-
rah yang beberapa tahun yang lewat memohon-mohon
padaku agar diangkat jadi murid"!"
"Bukan hanya engkau saja yang berhasil kubo-
dohi, tapi juga si Malaikat Gunung Selatan dan si
Cangkul Maut. Kini kedua kembratmu itu telah kuki-
rim ke neraka setelah aku berhasil menguasai il-
munya. Tapi untukmu kuberi kehormatan memenggal
kepalamu sendiri!" sahut si pemuda tak perduli dengan kemarahan orangtua itu.
Dia tertawa pelan sambil
memandang sinis penuh kebencian.
"Bertahun-tahun aku memendam dendam, ki-
ranya hari ini akan terbalas kecurangan dengan kelici-
kan pula," lanjut si pemuda telah bersiap-siap mencabut pedang ketika dilihatnya
si orangtua mulai ber-
siap-siap dengan satu serangan. Agaknya Ki Mangsa-
pati menyadari, bila si pemuda telah berhasil meme-
gang pedang itu berarti betul dia telah menguasai ilmu Iblis Merah Darah. Sebab
untuk memegang pedang itu
diperlukan tenaga dalam yang kuat dan tinggi untuk
mengendalikannya. Maka dia pun tak bisa memandang
enteng pada si pemuda dengan mengeluarkan jurus-
jurus permulaan. Namun hal itu tentu saja diketahui
oleh si pemuda.
"Bagus orangtua, engkau keluarkanlah jurus-
jurusmu yang paling mematikan untuk menerima ke-
matianmu di tanganku, kalau engkau tak mau me-
menggal kepalamu sendiri. Dengan begitu aku pun bi-
sa mendapat kehormatan meladeninya!"
"Haaaaaaaaait...!"
Ki Mangsapati membuka kedua belah lengannya
lebar-lebar membentuk paruh bu-rung pada jari-
jarinya. Sebelah kakinya terangkat. Dengan satu lonca-
tan tinggi, dia mencelat sambil mengeluarkan suara
bentakan bagai seekor rajawali yang sedang marah.
Jurus ini sangat ganas dan mematikan, yang dikenal si
pemuda dengan nama Rajawali Mencakar Bukit. Apa-
lagi saat ini dikeluarkan dengan kemarahan serta ke-
jengkelan yang dirasa si orangtua. Dengan gerakan-
gerakan cepat yang sulit diikuti kasat mata, dia men-
cecar bagian-bagian mematikan dari tubuh si pemuda.
Seolah-olah ke mana pun gerakan si pemuda meng-
hindar, kedua tangan yang membentuk paruh itu siap
menghantamnya. Tapi tak percuma si pemuda telah menguasai
seluruh ilmu orangtua itu kalau tak mampu menghin-
darinya. Apalagi saat ini dia betul-betul telah menguasai ilmu silat si Iblis
Merah Darah yang beberapa pu-
luh tahun lalu menggemparkan dunia persilatan den-
gan sepak terjangnya yang sadis pada musuh-
musuhnya dan disegani oleh tokoh-tokoh golongan hi-
tam maupun putih karena ketinggian ilmu silatnya.
Maka setelah menunggu beberapa belasan jurus untuk
memberi kesempatan pada orangtua itu melampiaskan
kemarahannya, dia pun mulai membalas. Pedangnya
berputar-putar bagai kitiran yang menyambar-
nyambar tubuh si orangtua dari segala penjuru. Terke-
jutlah si orang tua melihatnya. Jurus itu pernah dike-
nalnya dan telah pernah pula dihadapi ketika melawan
Iblis Merah Darah. Jangankan tergores kulit tubuh,
terkena sambaran anginnya pun terasa perih bagai di-
iris-iris dan seolah pedang itu menyedot aliran darah
lawan. Itulah keganasan dari jurus Pedang Iblis Neraka yang dimainkan si pemuda
saat ini. Merasa dicecar dari segala penjuru dan lawan
terlihat tak memberi kesempatan untuk bernafas, si
orangtua segera melentik ke belakang untuk membu-
ka jurus baru. Namun si pemuda nampaknya tak memberi ke-
sempatan orangtua itu untuk berbuat ma-cam-macam.
Ujung pedangnya segera menyambar dengan kecepa-
tan tinggi seolah menarik-narik tubuhnya guna mengi-
ris-iris kulit keriput si orangtua.
Ki Mangsapati terkejut bukan main. Baru saja dia
menjejakkan kaki, mata pedang itu telah menyambar
tenggorokannya. Agaknya hanya pengalaman dan ke-
matangan ilmu silatnya saja yang menyelamatkan
nyawa orangtua itu. Sambil tundukkan kepala ke be-
lakang, ujung pedang itu lewat beberapa mili di atas
wajahnya. Si orangtua langsung bersalto ke belakang
dengan menggunakan jurus Rajawali Mengamuk yang
merupakan puncak dari ilmu silatnya, guna menghan-
tam pergelangan tangan si pemuda. Namun betapa ka-
getnya Ki Mangsapati ketika pedang di tangan si pe-
muda dengan cepat berputar ke kanan membentuk
lingkaran, membabat pinggangnya dengan mengelua-
rkan suara mendengung. Kemudian dengan kecepatan
yang sulit diikuti kasat mata, kembali pedang itu ber-
gerak dari bawah ke atas.
"Cras...! Cras...!"
"Prok...! Prol...!"
Ki Mangsapati tak sempat lagi berteriak. Tubuh-
nya kutung menjadi empat bagian dengan kulit tubuh
yang pucat pasi bagai mayat. Tak setetes darah yang
terlihat. Seolah-olah pedang di tangan si pemuda yang
berwarna hitam, semakin legam setelah menghirup da-
rah orangtua yang malang itu. Ada seringai sinis dan
rona kepuasan berbayang di wajah si pemuda yang se-
betulnya tampan. Dengan satu gerakan ringan, diten-
dangnya keempat potongan tubuh orangtua itu ke ju-
rang setelah menyarungkan kembali pedangnya.
Beberapa saat terdengar tawa panjang yang
menggema di seluruh tebing-tebing. Mengagetkan bu-
rung-burung yang hinggap dan sedang melintas!
2 Dukuh Kembang Asem adalah sebuah desa yang


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makmur dan ramai dikunjungi orang, sebab desa itu
merupakan persinggahan antara satu daerah dan dae-
rah yang lain yang tak kalah ramainya. Selama ini
penduduk desa itu hidup dengan damai dan aman.
Namun di pagi ini, seluruh penghuni kampung dike-
jutkan dengan kedatangan serombongan orang-orang
berjubah hitam yang mereka kenal sebagai Perseku-
tuan Iblis Hitam. Mereka merampok harta penduduk,
menculik anak-anak perawan yang cantik, bahkan
janda dan istri orang pun mereka jarah juga. Beberapa
orang di antaranya bahkan sangat brutal dengan
memperkosa perempuan-perempuan malang itu.
Banyak di antara penduduk itu yang tewas ter-
bunuh karena coba-coba melawan untuk memperta-
hankan miliknya.
Seperti di sebuah rumah sebelah pinggir kam-
pung itu. Seorang laki-laki setengah baya berusaha
mati-matian mempertahankan harta benda serta istri
dan seorang anak perempuannya yang cantik. Namun
dengan kesadisan yang tak berperikemanusiaan, em-
pat orang berjubah hitam dengan mudah melempar-
kannya ke luar halaman. Laki-laki itu langsung ter-
sungkur mencium tanah. Dari sela-sela bibir dan hi-
dungnya keluar cairan kental berwarna merah. Dia be-
rusaha bangkit, namun sekujur tubuhnya terasa sakit
luar biasa. Agaknya beberapa tulang rusuknya ada
yang patah, karena sebelum mereka melemparnya ke
luar, keempat orang itu telah menghajarnya habis-
habisan. "Bapaaaaaaak...!" teriak anak perempuannya cemas dan ketakutan. Namun dua di
antaranya lang-
sung menarik tubuhnya ke kamar sambil mempreteli
seluruh pakaian-nya. Gadis itu meronta-ronta untuk
melepaskan diri, tapi apalah artinya tenaga seorang
perempuan lemah dibanding dengan dua orang laki-
laki bertubuh besar dengan tenaga yang kuat. Meski
dia berteriak setinggi langit, tak nanti bisa melepaskan diri dari cengkeraman
kedua laki-laki kasar itu.
Belum lagi pemandangan yang dilihat laki-laki
tua itu lewat matanya yang sayu namun mengandung
kemarahan yang amat sangat, ketika melihat istrinya
pun mendapat perlakuan yang sama oleh kedua kawan
orang berjubah hitam itu. Dia hanya bisa memaki-
maki sambil berusaha mendekati mereka dengan me-
rangkak-rangkak.
"Persekutuan Iblis Hitam keparat! Ku-bunuh ka-
lian! Kubunuh kalian!!" teriaknya sengit dengan sekuat tenaga. Tapi belum lagi
dia jauh merangkak, tiba-tiba
keluarlah cairan kental berwarna merah dari mulut-
nya. Kali ini lebih banyak dari yang pertama, disertai dengan batuk keras yang
membuat nafasnya terasa
perih dan sesak.
Namun laki-laki itu seolah tak memperdulikan
keadaannya. Dia kembali berteriak-teriak seperti orang kesetanan.
"Bajingan laknat! Lepaskaaaan anakku! Le-
paskaaaan istriku...!! Keparat! Kuhajar kalian...!!"
Dan teriakannya semakin keras ketika telinganya
mendengar jeritan kedua perempuan itu. Penuh den-
gan ketakutan, tak berdaya, dalam mempertahankan
kehormatan diri.
Tapi mana mau keempat orang itu per-duli dan
meninggalkan keasyikan mereka. Laki-laki itu merasa
putus asa dalam ketidak berdayaannya, dan tanpa sa-
dar dia menangis kecil sambil bergumam pelan:
"Mudah-mudahan dewata melaknat perbuatan
kalian...!"
Entah doanya dikabulkan atau hanya karena ke-
betulan, dalam pada itu melesat-lah sosok bayangan
berwarna biru ke hadapannya. Laki-laki itu tertegun
sejenak. Seorang gadis cantik berpakaian biru dan
menyandang pedang di pundaknya mengangguk ra-
mah. Lalu berujar pelan:
"Apakah yang terjadi di desa ini, Pak?"
"Oh... oh... siapakah engkau" Apakah engkau sa-
lah satu dari Persekutuan Iblis Hitam keparat itu" Ka-
lau betul, lebih baik engkau cabut pedangmu, dan bu-
nuhlah aku saat ini, daripada menanggung malu tak
mampu membela keluargaku sendiri...."
"Tenanglah, Pak. Saya bukan dari orang yang ba-
pak maksudkan...." Belum lagi selesai bicara, telinga gadis itu yang tajam dan
menandakan dia berasal dari
dunia persilatan, segera mendengar teriakan dua pe-
rempuan dari dalam rumah. Meski terdengar pelan,
namun dia tahu apa yang sedang terjadi pada kedua-
nya. Dengan satu loncatan ringan gadis itu melesat ke
dalam. Laki-laki itu tak tahu apa yang sedang terjadi di
dalam. Namun untuk beberapa saat dia melihat dua
orang berjubah hitam tadi, terlempar ke luar dalam
keadaan yang mengerikan. Nyawa mereka langsung
meregang dengan luka-luka sabetan pedang di perut
dan punggungnya. Sedang kedua orang lagi lebih mu-
jur, hanya terluka-luka kecil dan cepat selamatkan diri dengan meloncat ke luar
lewat atap rumah. Namun tak
urung wajah keduanya terlihat pucat dan ketakutan
melihat sepak terjang si gadis berbaju biru. Apalagi ketika melihat kedua
kawannya telah tewas, sementara si
gadis itu telah berdiri gagah mendekati dengan ujung
pedangnya masih berlumur darah.
"Persekutuan Iblis Keparat!" makinya sinis. "Beruntung hari ini aku menemukan
kalian di sini, jadi
tak bersusah payah mencari kalian ke mana-mana!"
"Nona...." berkata seseorang di antaranya, "Kita tak bermusuhan dan tak punya
sangkut paut apa-apa.
Kenapa nona begitu telengas membunuh kedua kawan
kami?" Huh! Telengas katamu" Apa yang kalian lakukan
pada kedua perempuan itu" Dan apa yang kalian la-
kukan pada laki-laki itu" Lalu apa yang telah kalian
lakukan pada yang lain-lain" Apakah engkau kira se-
banding dengan perbuatanku tadi" Kalian sepatutnya
menerima ganjaran setimpal atas kelakuan anjing ka-
lian!" Meski hati kecut, namun dimaki-maki begitu, mau tak mau panas juga hati
mereka. Kawannya segera menyela dengan garang sambil hunuskan goloknya.
"Nona, Persekutuan Iblis Hitam tak bisa dihina
begitu. Hari ini biarlah aku mewakili ketua untuk me-
mancung kepala dan mulutmu yang ceriwis itu!"
"Haiiiiit...!"
Selesai berkata begitu, dia bersalto dua kali ke
depan dan menyabet si gadis dengan jurus Ular Mema-
tuk Mangsa. Gerakannya gesit dan kuat dibarengi te-
naga dalam penuh. Sesungguhnya orang ini bukanlah
anggota sembarangan Persekutuan Iblis Hitam, yang
bisa dikalahkan dengan begitu mudah. Dalam dunia
persilatan mereka dikenal dengan sebutan Empat Iblis
Utara. Dan kalaupun kedua kawannya berhasil dija-
tuhkan gadis itu hingga tewas, bisa jadi karena kelen-
gahan mereka yang sedang diamuk nafsu birahi, se-
hingga tak menyadari bahaya yang mengancam.
Tapi si gadis pun ternyata bukan orang semba-
rangan pula. Dari serangannya yang khas, akan men-
gingatkan, bahwa dia sebenarnya berasal dari Pergu-
ruan Walet Biru. Suatu perguruan yang pernah dio-
brak-abrik Persekutuan Iblis Hitam beberapa bulan
yang lalu. Ki Pandaran, ketua perguruan itu meski be-
rilmu tinggi dan disegani dalam dunia persilatan, ak-
hirnya harus menemui ajal di tangan Singalodra. Bisa
jadi hal ini yang membuat gadis itu dendam bukan
main pada gerombolan ini.
Dalam pada itu melihat kawannya telah mencelat
lebih dulu, dia pun segera mencabut goloknya dan ikut
menyerang gadis itu. Barulah si gadis dapat merasa-
kan tekanan berat dari serangan mereka berdua. Ju-
rus-jurus Ular Mematuk Mangsa yang dimainkan den-
gan senjata golok, seolah hendak mematuk-matuk se-
luruh permukaan kulitnya jadi beberapa bagian. Tapi
tak percuma si gadis berguru belasan tahun pada Ki
Pandaran yang pernah kesohor sebagai tokoh kosen
golongan putih puluhan tahun yang lalu, kalau dia
merasa jeri melihat serangan mereka. Sambil kertak-
kan rahang menahan amarah, dia putar pedangnya
sedemikian rupa ke sana sini bagai dua kepak sayap
burung walet. Inilah jurus yang dinamakan Walet Ter-
bang Sore Hari. Seolah-olah lawan melihat dua buah
pedang yang berkelebat di tangan si gadis menyambar-
nyambar sekujur tubuhnya dengan cepat dari berbagai
arah. Sebentar saja terlihat bahwa si gadis sedang be-
rada di atas angin, dan lawan dibuat tak sempat balas
menyerang. Tiba-tiba dalam satu kesempatan.
"Cras...!"
"Cras...!"
Kedua orang itu menjerit panjang ketika dengan
kecepatan yang sulit diikuti kasat mata, si gadis mem-
babat kutung masing-masing sebelah lengan mereka
dengan jurus Pulang Ke Sarang. Suatu jurus yang ba-
nyak mengandalkan ilmu mengentengkan badan den-
gan loncatan-loncatan satu arah, namun tajam dan
pasti ke tujuan.
Si gadis tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia
kembali melentik ke arah mereka dengan jurus Walet
Tertidur. Suatu jurus pamungkas yang dilakukan den-
gan mata terpejam dan hanya mengandalkan penden-
garan belaka. Pedang di tangannya bergerak pada ba-
gian-bagian yang mematikan di tubuh lawan seolah
bermata, tapi ke mana pun lawan menghindar, pedang
itu akan terus mengejarnya lewat pendengaran si gadis
yang tajam. Rasanya kedua orang itu telah pasrah menerima
nasib di ujung pedang si gadis. Bahkan salah seorang
telah memejamkan mata. Namun beberapa senti sebe-
lum pedang itu mengoyak-ngoyak tubuh mereka, tiba-
tiba... "Trang...!"
Si gadis terkejut setengah mati hingga kelopak
matanya terbuka. Tangannya terasa kesemutan, tapi
masih untung pedang itu tak terlepas dari gengga-
mannya. Padahal benturan yang dirasanya tadi sangat
keras. Belum lagi habis terkejutnya, telinganya yang
tajam segera merasakan sambaran angin dingin ber-
bau racun mengarah ke tenggorokannya.
Buru-buru dia putar pedang menangkis.
"Traaaang...!"
Untuk kedua kali tangannya terasa kesemutan.
Tapi kali ini benturan itu lebih kuat dan berat. Hampir saja pedang di tangannya
terlepas dari genggaman.
Melihat lawan bergerak sangat cepat dan sepertinya
tak memberi kesempatan padanya, tubuh gadis itu ti-
ba-tiba melentik ke udara sambil bersalto beberapa
putaran. Pedangnya berputar-putar ke sana sini mem-
bentuk perisai, menjaga serangan lawan dari berbagai
arah. Inilah yang disebut jurus Menguak Kerumunan
Badai Pasir, suatu jurus pertahanan yang sangat am-
puh, sebab bila sekali serangan lawan tertangkis, ma-
ka selanjutnya akan diikuti dengan serangan balasan
yang mematikan.
Tapi lawan ternyata tak tertipu dengan pancingan
itu, dan tak ada serangan yang kembali menyusul be-
berapa saat kemudian. Si gadis segera menjejakkan
kaki dengan ringan setelah dirasanya tak ada lagi an-
caman. Pertama kali yang terlihat olehnya adalah seo-
rang laki-laki kurus jangkung dengan punggung agak
bungkuk. Rambutnya hitam kusut menjela-jela hingga
ke dada. Wajahnya berlipat-lipat bagai kulit kayu yang telah tua, dengan sorot
mata tajam dan bibir yang me-nyungging senyum sinis di bawah kumisnya yang
tumbuh jarang. Di tangannya terlihat sebatang tongkat
berkepala ular berwarna hijau muda. Tongkat itu keli-
hatan alot karena terbuat dari kayu besi. Si gadis
menduga-duga, pastilah tongkat itu yang tadi mem-
bentur pedangnya
"Segala bocah bau kencur mau jual lagak di ha-
dapan Persekutuan Iblis Hitam!" oceh laki-laki itu yang dalam dunia persilatan
dikenal dengan julukan Iblis
Ular Hijau. Konon dia adalah kembratnya si Iblis Me-
rah Darah ketika tokoh itu masih hidup, dan menghi-
lang entah ke mana selama puluhan tahun. Baru hari
ini kembali terlihat kemunculannya. Si gadis pun tahu
kehebatan tokoh ini lewat cerita almarhum gurunya,
namun kini mengetahui bahwa tokoh kosen golongan
hitam itu ada di depannya. Benaknya hanya tahu
bahwa orang-orang Persekutuan Iblis Hitam harus di-
basmi! Berpikir sampai di situ, dia mendengus sinis
sambil memandang enteng pada orang itu.
"Huh, segala setan, dari neraka kiranya hendak
coba-coba menakut-nakuti aku! Engkau boleh coba
pada tikus-tikus got tak berguna, tapi jangan padaku!"
3 Demi mendengar kata-kata si gadis, meledaklah
tawa Iblis Ular Hijau.
"Ha... ha... ha... ha...! Baru sekali ini kudengar seorang bocah pentil
memandang rendah pada si Iblis
Ular Hijau yang selama malang melintang di dunia
persilatan tak pernah dihina sedemikian rupa. Bagus
bocah! Aku senang dengan semangatmu. Engkau tentu
juga akan lebih bersemangat jika telah berada dalam
pelukanku. Ha... ha... ha...!"
Selesai tawanya, tiba-tiba wajahnya berubah si-
nis dan garang. Lalu memandang nyalang pada kedua
orang berjubah hitam yang telah kutung sebelah len-
gannya itu sambil berkata:
"Kalian urus yang lainnya, dan setelah itu bakar


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh rumah-rumah di kampung ini. Urusan dengan
gadis cantik ini biar aku yang akan menyelesaikannya.
Katakan pada Singalodra, aku membawa gadis cantik
luar biasa untuknya!"
Kedua orang itu menjura hormat, dan cepat ber-
kelebat menyambar kedua perempuan tadi, yang ma-
sih berada di situ sambil menangisi laki-laki malang
yang kelihatan terbujur kaku tak bergerak.
Dalam pada itu si gadis terkejut bukan main ke-
tika lawan menyebutkan namanya. Diam-diam dia
mengeluh sendiri. Melulu menghadapi anak buah Per-
sekutuan Iblis Hitam telah begitu berat, bagaimana
mungkin dia bisa kalahkan si Singalodra guna memba-
las sakit hati ini. Dia baru tersentak kaget ketika mendengar jerit kedua
perempuan yang sedang meronta-
ronta dalam bopongan sebelah lengan kedua laki-laki
berjubah hitam itu.
"Iblis cabul keparat! Lepaskan mereka!" maki si gadis sambil melompat ke arah
mereka dengan pedang
terhunus. Tapi tentu saja dia tak melupakan si orang-
tua berwajah buruk, itulah sebabnya dia tak mau
menggunakan jurus sembarangan. Dengan jurus
Membagi Arah Angin, dia telah mempersiapkan diri
seandainya lawan membokong dari belakang. Tapi Iblis
Ular Hijau bukanlah tokoh picisan yang mau berbuat
begitu. Dengan satu teriakan nyaring, dia melesat
sambil menyodorkan tongkat di tangannya memapak
pedang di tangan si gadis dari arah depan. Serangan
lewat tongkat yang melesat ke sana sini sedemikian
rupa disebut Lecutan Ekor Naga. Sesuai dengan na-
manya, dia menusuk ujung tongkatnya yang runcing
ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan bagai
pecut mencari sasaran.
Mau tak mau terpaksa si gadis urungkan niat
untuk meneruskan serangannya pada kedua orang
berjubah hitam itu, yang dengan cepat kabur. Dia
membalik cepat dengan jurus kedua Membagi Arah
Angin untuk menghadapi gebukan tongkat lawan. In-
ilah keuntungan jurus itu. Dia tak berusaha memapak
senjata lawan, melainkan dengan ilmu mengentengkan
tubuh yang lumayan, badannya yang ramping seakan
mengapung di udara secara mendatar dengan kedua
tangan terentang bagai sayap seekor walet, untuk
menghindari serangan lawan. Lalu dengan kecepatan
tinggi menyabetkan mata pedang pada jantung lawan
secara tiba-tiba.
"Kampret...!" maki si Iblis Ular Hijau sambil mi-ringkan badan jungkir balik ke
kanan. Nyaris dadanya
tertusuk ujung pedang si gadis kalau dia tak cepat
mengelak. Tak urung terkejut nyalinya sesaat melihat
kecepatan gadis itu bergerak. Tapi bukanlah Iblis Ular Hijau kalau masih bisa
dipecundangi anak kemarin
sore, pikirnya. Sambil kertakkan rahang menahan ge-
ram, dia buka jurus Ganti Kulit Di Sarang Naga. Kehe-
batan jurus ini terletak dari berkelebatnya seluruh
anggota badan ke segala penjuru yang sama berba-
hayanya dengan permainan tongkat di tangannya. Se-
bentar saja terlihat si gadis mulai terdesak. Baru saja dia berusaha menghindari
kejaran tongkat itu, tangan
Iblis Ular Hijau telah menyusul, diikuti oleh sebelah
lengannya yang lain, dan kedua kaki yang siap mener-
jang. Meski si gadis telah mengeluarkan jurus Walet
Tertidur pada bagian yang tertinggi, tak nanti dia bisa melepaskan diri dari
serangan-serangan Iblis Ular Hijau itu.
* * * Kita tinggalkan sejenak pertarungan itu untuk
melihat ke suatu tempat yang tak Begitu jauh dari
kampung itu. Seorang pemuda berwajah tampan den-
gan pakaian ku-mal berwarna merah, sedang asyik
menyan-tap makanan sambil bersandar pada sebuah
batang pohon. Dengan rambut dikuncir pada bagian
belakang dan periuk besar di bagian belakang tubuh-
nya, sepintas dia terlihat seperti gembel yang kelapa-
ran. Sebentar-sebentar tatap matanya jauh meman-
dang ke depan dengan kosong. Seolah ada sesuatu
yang sedang dipikirkannya. Siapakah pemuda ini"
Siapa lagi kalau bukan pendekar kita, si Hina Kelana
alias Buang Sengketa, murid si Bangkotan Koreng Se-
ribu yang kesohor itu.
Dalam pada itu tiba-tiba matanya melihat asap
hitam mengepul dari kejauhan. Firasatnya mengata-
kan, pasti ada sesuatu yang tak beres di sana. Cepat
dia berdiri dan melesat ke arah itu sambil mengerah-
kan ajian Sepi Angin yang membuat tubuhnya berke-
lebat dengan cepat dan sulit diikuti kasat mata. Sebentar saja terlihat sebuah
Perkampungan yang diamuk
kobaran api yang menyala-nyala. Beberapa rumah ha-
bis terbakar dan sisanya porak poranda. Jerit ketaku-
tan dan teriakan cuma terdengar dari beberapa orang
penduduk yang masih tersisa. Pemandangan pertama
yang dilihatnya ketika mendekati tempat itu adalah,
pertarungan seru antara seseorang yang berwajah bu-
ruk dengan tongkat ular di tangannya dengan seorang
gadis cantik jelita berpakaian biru bersenjata sebilah pedang. Meski pertarungan
itu sulit diikuti mata orang biasa, tapi bagi si pemuda yang berilmu tinggi itu,
sebentar saja dia bisa melihat bahwa si buruk rupa itu
berada di atas angin.
Melihat pertarungan yang tak seimbang itu, tentu
saja si pemuda tak bisa mendiamkan begitu saja. Apa-
lagi ketika dilihatnya si buruk rupa mulai mengelua-
rkan uap racun lewat mulut ular di tongkatnya. Seben-
tar saja terlihat si gadis terbatuk-batuk dengan tubuh limbung ketika uap racun
itu menyelimuti wajahnya.
"Ha... ha... ha...! Segala anak kemarin sore sudah merasa giginya bertaring
bagai harimau di hadapan
Persekutuan Iblis Hitam!"
Iblis Ular Hijau tertawa terbahak-bahak sambil
pandangi tubuh si gadis yang menggeletak tak berdaya
terkena uap beracun di tongkatnya. Baru saja dia hen-
dak menyambar tubuh itu ketika mendengar suara ta-
wa mengejek. "Ha... ha... ha...! Segala Persekutuan Iblis Hitam hanya berani melawan
perempuan tak berdaya. Dasar
iblis cabul, ternyata hanya berisi orang-orang sundal
dan bangsat rendah!"
Dimaki demikian rupa bukan main pa-nas dan
jengkelnya Iblis Ular Hijau. Yang dilihatnya hanya ada seorang pemuda dengan
pakaian gembel warna merah
dengan rambut dikuncir dan periuk besar di pung-
gungnya, tertawa nyengir sambil garuk-garuk kepa-
lanya yang tak gatal. Amarahnya meluap seketika.
"He, Bocah sialan! Apakah engkau ingin digebuk
karena mencampuri urusan Iblis Ular Hijau" Pergilah
segera! Aku tak bernafsu untuk membunuh orang hari
ini." "Segala iblis bau busuk, untuk apa aku musti ta-
kut pada kau" Aku datang dan pergi sesukaku, dan
melakukan apa pun yang ku suka. Kalau aku tak mau
pergi dan berniat mencampuri urusanmu, engkau bisa
berbuat apa?"
Diejek terus-terusan seperti itu, semakin meluap
amarah orang buruk rupa itu.
Sambil kertakkan rahang, dia mengayunkan
tongkat hendak menggeprak batok kepala si pemuda
dari Negeri Bunian itu dengan pukulan Ular Hijau. Su-
atu pukulan yang mengandung racun yang mematikan
dan bengis sekali, sebab walau hanya mencium ua-
pnya saja dalam beberapa saat lawan akan tewas den-
gan seluruh tubuh kejang membiru. Gerakan pukulan
itu lambat, namun seperti ular mematuk, dia akan
bergerak bagai kilat begitu mendekati lawan.
"Bocah kurang ajar! Biar bapak moyangmu sekali
pun tak akan berani berkata begitu di hadapanku. Kini
mampuslah engkau!" teriak Iblis Ular Hijau yakin bahwa dengan sekali pukul,
hancurlah batok ke-pala pe-
muda itu. Tapi tak percuma Buang Sengketa sebagai ketu-
runan si Piton Utara, raja dari Negeri Bunian yang be-
rujud seekor piton raksasa, kalau menghadapi uap ra-
cun yang dikeluarkan si buruk rupa itu saja menjadi
keder. Sebab seperti kita ketahui, pemuda itu kebal
terhadap racun apa pun. Dan lagi pula, meski seran-
gan itu bengis dan sadis karena bermaksud menghabi-
si lawan seketika, tapi kekurangannya adalah tak me-
mikirkan bahwa lawan bisa menghindar dan kemudian
mengirim serangan balasan. Seperti apa yang dilaku-
kan si pemuda. Dengan menggunakan jurus Membendung Ge-
lombang Menimba Samudra, tubuh Buang Sengketa
berkelebat sedemikian cepat menghindari serangan la-
wan, dan dengan tiba-tiba tangannya terpentang hen-
dak menggaplok wajah lawan dengan jurus Si Hina
Mengusir Lalat. Iblis Ular Hijau kaget bukan main, dan tidak menyangka gerakan
lawan bisa secepat itu. Lagi
pula tak terpengaruh dengan uap racun yang di kelua-
rkannya. Malah kalau dia tak cepat-cepat berkelit, bi-
sa-bisa wajahnya yang berlipat-lipat itu akan kena
tamparan si pemuda.
"Haram jadah!" makinya kesal dan penasaran.
"Hak... hak.. hak...!" Buang Sengketa tertawa ganda. "Itulah upah orang yang
suka memandang rendah. Engkau pikir nama Iblis Ular Hijau mampu me-
nakut-nakutiku" Huh, segala manusia tak karuan cu-
ma punya nama kosong!"
Meledaklah amarah Iblis Ular Hijau diejek demi-
kian. Tapi saat ini dia betul-betul tak punya waktu ketika mendengar suitan
panjang. Sambil kertakkan ra-
hang menahan geram, dia kirim serangan kilat lewat
ujung tongkat yang menyambar-nyambar bagai lemba-
ran kipas baja ke tenggorokan si pemuda. Jurus yang
dinamakan Ular Hijau Berbulan Madu ini hanyalah
suatu jurus tipuan yang sangat berbahaya, sebab bila
lawan sedikit lengah, maka sambaran ujung tongkat
yang runcing akan mengiris-ngiris kulit tubuh, namun
begitu lawan kerepotan berkelit ke sana sini, dengan
tiba-tiba dari mulut ular di tongkat itu menyemburlah
uap beracun berwarna hijau.
Buang Sengketa memang kebal racun, namun
menghadapi sambaran ujung tongkat lawan yang ber-
gerak sedemikian rupa, agak repot juga. Belum bagi
kabut tebal dari uap beracun yang menghalangi pan-
dangan. Melihat lawan menggunakan jurus curang be-
gitu, bangkitlah kemarahan pemuda dari Negeri Bu-
nian itu. Selarik gelombang Sinar Ultra Violet dari Pukulan Empat Anasir
Kehidupan segera menyambar ke
berbagai arah menembus uap beracun itu.
"Blar...! Blaar...!"
Buang Sengketa segera mencelat ke atas sambil
bersalto beberapa kali ke belakang.
Namun ketika menjejakkan kaki ke tanah, ter-
nyata lawan sudah tak ada lagi. Hanya lapat-lapat ter-
dengar suara yang dikerahkan lewat tenaga dalam
yang tinggi ke telinganya.
"Bocah sialan! Aku belum merasa kalah dengan-
mu. Kalau engkau masih penasaran denganku, engkau
boleh menyambangiku di Bukit Seribu. Siapa tahu di
sana aku akan sempat menggali liang kubur untukmu.
Hak... hak... hak...!"
Buang Sengketa kesal bukan main. Jengkel dan
marah melihat lawan kabur di depan hidungnya sendi-
ri, dia menghantam sebuah pohon dengan pukulan
Empat Anasir Kehidupan.
"Blaaaar...!"
"Kraaaaaak...!"
Pohon besar itu tumbang dan jatuh berdebum.
Tokh belum redakan amarahnya. Namun tiba-tiba
pandangannya tertumbuk pada gadis berpakaian biru
yang masih tergeletak pingsan. Sepintas saja dia dapat melihat bahwa gadis itu
terkena racun si Iblis Ular Hijau. Pemuda itu segera memberi pertolongan
padanya. Barangkali hanya begitu yang bisa diberikannya. Se-
mentara pada saat itu Dukuh Kembang Asem telah
musnah terbakar, dan nama Persekutuan Iblis Hitam
adalah biang keladi kekacauan yang mulai melekat di
benaknya. 4 Singalodra duduk di singgasananya yang terbuat
dari batu pualam hitam. Beberapa orang kepercayaan-
nya sedang memberi laporan tentang hasil kerja mere-
ka selama ini. Sementara di samping kanannya terlihat
seorang laki-laki dengan wajah terlipat-lipat bagai kulit kayu yang sudah tua.
Memegang sebuah tongkat berkepala ular. Siapa lagi kalau bukan Iblis Ular Hijau
adanya! "Sanggalangit telah kami musnakan, dan ketua-
nya yang bernama Cakrabuana tewas," kata salah seorang yang melapor. Singalodra
manggut-manggut
sambil tersenyum kecil.
"Sayang, sungguh sayang. Padahal kalau mereka
mau bergabung baik-baik dengan kita tak akan begitu
jadinya. Tapi orang keras kepala seperti itu memang
harus dilenyapkan!" sahut Singalodra. "Bagaimana dengan kalian, Setan Lembah
Neraka?" lanjutnya bertanya pada tiga orang laki-laki botak dengan wajah se-
ram menakutkan. Di tangan mereka masing-masing
terdapat senjata gada berduri.
Salah seorang menyahut, "Si Gelang-gelang Ter-
bang bersedia bergabung dengan kita, dan beberapa
hari lagi dia akan ke sini."
"Bagus! Bagus! Ternyata beliau masih menghor-
mati nama besar ayahanda Iblis Merah Darah. Usaha-
kan kalian terus membujuk para tokoh-tokoh golongan
hitam lain agar mau bergabung dengan kita. Perseku-
tuan Iblis Hitam akan terus berdiri dan merajai dunia


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan, dan tak seorang pun boleh untuk mengha-
lang-halanginya!" Wajah Singalodra terlihat semangat, dan hawa dendam mewarnai
cita-citanya untuk menjadi raja diraja dunia persilatan seperti cita-cita ba-
paknya dahulu. Beberapa saat kemudian Singalodra menyuruh
mereka untuk keluar dari ruangan, sementara dia
sendiri hendak beranjak ke kamarnya setelah seseo-
rang membisikkan sesuatu ke telinganya. Wajahnya
kelihatan berseri dengan ketawa kecil menghiasi wa-
jahnya yang tampan.
"Paman boleh bersenang-senang mencari perem-
puan-perempuan yang paman sukai," katanya pada Iblis Ular Hijau. Agaknya
orangtua itu telah mengerti apa yang hendak dikerjakan ketua Persekutuan Iblis
Hitam itu. Dia cuma mengangguk kecil dan kemudian berka-
ta pelan. "Singalodra, barangkali kita akan sedikit menda-
pat hambatan...." Dia tak meneruskan kata-katanya, melainkan berpikir sesaat.
Singalodra jadi penasaran
dibuatnya. Dia segera kembali duduk dan memandang
orang itu dengan serius.
"Hambatan apa, Paman?"
"Ada beberapa tokoh-tokoh muda berilmu tinggi
yang bisa jadi ancaman buat kita nantinya. Seperti
yang paman ceritakan ketika kami membumihan-
guskan Dukuh Kembang Asem itu...."
"Paman...." Berkata Singalodra sambil tersenyum meremehkan, "Ilmu silat Iblis
Merah Darah tiada ter-tandingi. Paman sendiri mengakui hal itu. Kenapa se-
gala anak kemarin sore harus kita khawatirkan?"
Iblis Ular Hijau terdiam untuk beberapa saat tak
menjawab. Sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu
tentang pemuda yang dihadapinya di Dukuh Kembang
Asem itu, yang membuatnya penasaran setengah mati.
Pasalnya dia teringat pada seorang tokoh legendaris
puluhan tahun lalu yang sangat menjagoi dunia persi-
latan. Tokoh yang seluruh tubuhnya penuh dengan
bercak-bercak koreng, yang tak seorang pernah men-
galahkannya. Tidak untuk si Iblis Merah Darah yang
pernah berduel dengannya, dan hanya keberuntungan
bisa melarikan diri yang menyelamatkannya. Pada per-
tarungan itu pun dia ikut menempur tokoh kosen ter-
sebut. Yang justru membuatnya khawatir adalah, ju-
rus-jurus si pemuda sangat mirip dengan tokoh itu!
Tapi Singalodra telah berpaling ke kamarnya, dan
sebentar saja terdengar tawanya yang berkepanjangan
diikuti dengan teriak ketakutan dari seorang perem-
puan; yang diculiknya dari sebuah perguruan silat
yang ditaklukkannya beberapa hari yang lalu.
* * * Puji Lestari berjalan pelan-pelan. Sebentar-
sebentar matanya melirik pemuda yang berjalan tak
acuh di sampingnya. Hatinya tak henti bertanya-tanya.
Pemuda itu sangat tampan, tapi pakaiannya aneh be-
tul. Dengan jubah lusuh dan dekil, lalu rambut dikun-
cir dan periuk besar di punggungnya, dia betul-betul
persis gembel. Tapi acuhnya itu yang membuatnya
gregetan. Seolah dia tak perduli dengan kehadirannya
di sini. Padahal gadis itu tak terlalu jelek. Cantik malah iya. Barangkali juga
dia seorang pemalu, pikirnya.
Teringat ke situ dia mencari-cari bahan omongan.
"Namamu aneh...?"
Pemuda itu hanya nyengir sebelum men-jawab.
"Nama itu penuh dengan riwayat yang berkepanjan-
gan. Aku bagai orang terbuang yang lahir seperti tak
diharapkan, tapi justru kelahiranku membuat banyak
persengketaan. Itulah sebab aku dinamakan Buang
Sengketa."
"Barangkali kita tak jauh beda. Kedua orangtua
ku pun telah tiada. Ki Pandaran memungut ku sejak
kecil. Tapi orangtua itu telah tewas pada saat aku tak berada di tempat. Aku tak
sempat membalas budinya.
Barangkali hanya dengan jalan menumpas orang-
orang Persekutuan Iblis keparat itulah bisa membuat
batin ku sedikit tenang..."
"Jadi kenapa kita musti menuju ke Perguruan Ki-
lat Buana dahulu" Bukankah lebih baik langsung me-
nuju ke Bukit Seribu menumpas manusia-manusia
laknat itu?" tanya si pemuda yang tak lain Buang
Sengketa adanya, dengan wajah bingung.
"Beliau meninggalkan pesan agar aku bergabung
dengan perguruan itu, dan bersama-sama menumpas
gerombolan iblis itu."
"Jauh lagi perjalanan ke sana?"
Gadis itu tertawa renyah. "Kalau kita terus ber-
santai begini, mungkin tiga hari lagi baru tiba di sana."
"Kalau begitu tunggu apa lagi"!" kata si pemuda sambil mengeluarkan ajian Sepi
Angin dan melesat cepat. Si gadis terkejut setengah mati. Tiba-tiba saja si
pemuda telah lenyap dari sampingnya. Tahulah dia,
bahwa selain memiliki kepandaian yang hebat waktu
menolongnya memunahkan racun di tubuhnya akibat
bertarung dengan Iblis Ular Hijau, pemuda itu pun
ternyata hebat ilmu larinya. Belum lagi hatinya yang
bertanya-tanya sampai sejauh mana kehebatan ilmu
silat pemuda itu.
Berpikir begitu malu benar hatinya sebab ilmu
larinya tak ada seujung kuku dibanding si pemuda.
Padahal dia telah mengerahkan seluruh kebisaannya.
Buang Sengketa melihat gadis itu terengah-engah
dari kejauhan, segera perlambat larinya hingga kemba-
li bersama-sama.
"Gila! Engkau berlari seperti angin saja," puji si gadis. "Barangkali engkau ini
anak jin!" lanjut si gadis bercanda.
Tawanya renyah diselingi nafasnya yang teren-
gah-engah. Buang Sengketa justru tersenyum kecil pe-
nuh arti. Kalau saja si gadis tahu bahwa apa yang di-
tebaknya itu benar, entah apa jadinya, pikir Pendekar
Hina Kelana itu. Barangkali juga dia akan ketakutan
atau malah terkejut kegirangan!
"Kenapa Singalodra membunuh gurumu?" tanya
Buang Sengketa setelah reda senyumnya.
"Mereka mengajaknya untuk bergabung ke dalam
Persekutuan Iblis Hitam. Tapi Ki Pandaran tak mau.
Beliau lebih baik me-milih mati daripada harus beker-
jasama dengan mereka."
Pendekar dari Negeri Bunian itu angguk-
anggukkan kepala. "Apakah banyak dari tokoh-tokoh golongan putih yang bergabung
dengan Persekutuan
Iblis Hitam?"
"Menurut guruku banyak juga. Rata-rata mereka
dibujuk dengan harta keduniaan, dan sebagian kecil
karena ditaklukkan. Mereka yang takut mati lebih baik
memilih bergabung...." Wajah gadis itu tiba-tiba mendengus sinis. "Mereka itu
pengecut dan lebih pantas mati!" lanjutnya.
Buang Sengketa menyadari bahwa gadis ini se-
dang diamuk dendam. Dia hanya men-diamkan saja,
dan tak banyak bicara lagi. Sampai akhirnya mereka
tiba di suatu desa, gadis itu perlambat larinya dan berjalan seperti biasa.
Buang Sengketa pun mengikutinya.
"Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Tapi me-
nurut almarhum guruku, Perguruan Kilat Buana di
desa ini," kata gadis itu sambil memandang ke sekeliling. "Desa ini aneh!"
Berkata Buang Sengketa setelah matanya memperhatikan orang-orang di sekitar itu.
"Mereka kelihatan takut akan kedatangan kita. Ada apa gerangan?"
Gadis itu pun merasakannya. Wajah-wajah pen-
duduk yang menatap mereka seolah curiga. Kemudian
cepat-cepat menutup pintu rumah mereka. Atau yang
sedang duduk di depan rumah, buru-buru menghin-
dar. Bahkan yang berselisih jalan dengan mereka, bu-
ru-buru kembali surut.
"Ada apa?" tanya gadis dalam hatinya. Dia bermaksud mendekati salah seorang.
Namun orang itu
buru-buru kabur seperti ketakutan.
"Aneh...!" desis si pemuda. "Coba kita tanya orang-orang di warung sana.
Barangkali kita akan
mendapat penjelasan." Gadis itu menyetujui. Namun ketika mereka baru saja
mendekati pintu, orang-orang
yang berada di sana buru-buru keluar dengan wajah
ketakutan. Begitu pun halnya dengan si pemilik wa-
rung. Dia buru-buru masuk ke dalam. Namun si gadis
yang sudah kepalang penasaran dan kesal karena tak
menemukan jawab atas sikap mereka, segera membu-
runya dan menangkap pergelangan laki-laki setengah
baya berperut buncit itu.
"Tunggu, Pak! Ada apa sebenarnya di desa ini"
Kenapa setiap orang yang kami jumpai seolah-olah ke-
takutan?" Laki-laki itu menampakkan wajah gelisah. Bebe-
rapa kali matanya melirik ke arah pintu, dan mereka
berdua secara bergantian. Tiada kata yang keluar se-
lain dari hentakan tangannya yang ingin melepaskan
diri dari cengkeraman gadis itu. Tapi mana mau si ga-
dis melepaskannya sebelum dia dapat penjelasan.
"Kedatangan kami ke sini bermaksud baik, Pak.
Bapak tak perlu takut!" kata si gadis berusaha ramah sambil tersenyum. "Coba
bapak jelaskan, ada apa sebenarnya di desa ini?"
Dia kembali menatap pintu depan dan kedua
orang itu bergantian. Kali ini tangannya tak berontak
lagi. Hanya wajahnya yang memelas menatap pada me-
reka. Kemudian katanya lirih: "Aduh, Nona.... lebih baik tinggalkan desa ini
secepatnya, Kalau tidak, kami bisa celaka! Tolonglah... cepat tinggalkan desa
ini secepatnya...."
"Ada apa, Pak" Apa yang terjadi dengan desa ini?"
tanya si pemuda ikut penasaran. Laki-laki itu sejenak
memperhatikan si pemuda. Hatinya hendak tertawa
lucu melihat dandanan si pemuda. Barangkali juga
bertanya-tanya, mengapa seorang gadis cantik jelita ini mau berjalan bersama
pemuda gembel yang aneh ini"
Tapi apa perlunya dia bertanya kalau hal itu berarti
mengundang kematiannya"
"Sa... saya tak bisa menjelaskannya. Lebih baik
kalian pergi secepatnya dari tempat ini...!"
Buang Sengketa garuk-garuk rambut di kepa-
lanya yang tak gatal. Meski jengkel, tapi apakah harus dilampiaskan dengan
menghajar orang ini" Dia sudah
ketakutan begitu, pasti ada sesuatu yang membuatnya
demikian. Pemuda itu hanya angkat bahu ketika si ga-
dis meliriknya. Tapi Puji Lestari bukanlah gadis yang
terlalu sabar menghadapi persoalan seperti ini. Ke-
jengkelannya bisa memuncak menjadi amarah. Dengan
satu sentakan, ditariknya pemilik warung itu ke atas
dengan sebelah tangan. Laki-laki setengah baya berpe-
rut buncit itu seketika berwajah pucat. Kedua muda
mudi ini berilmu tinggi, pikirnya. Dia seolah berada dalam dua pilihan yang sama
tak enak. "Katakan! Ada apa sebenarnya di balik semua
ini" Atau tubuhmu akan kulempar ke seluruh ruangan
ini hingga porak poranda!" ancam si gadis sambil mulai memutar-mutar tubuh orang
itu. Makin ketakutan-
lah si pemilik warung. Dengan suara cemas, dia berte-
riak-teriak ketakutan.
5 "Baiklah! Baiklah! Tapi turunkan dulu, dan ka-
lian berjanji akan melindungiku!"
Si gadis segera hentikan perbuatannya sambil
anggukkan kepala. Orang itu menarik nafas sesaat.
Kemudian katanya,
"Beberapa hari yang lewat orang-orang Perseku-
tuan Iblis Hitam menyerbu ke sini. Mereka merampok
dan menculik semua perempuan-perempuan cantik di
desa ini. Tujuan mereka sebenarnya memancing pihak
Perguruan Kilat Buana yang bermarkas di ujung desa
itu untuk keluar membela para penduduk, di samping
tujuan-tujuan pribadi. Kilat Buana tadinya tak ter-
pancing kalau tindakan mereka tak melampaui batas
seperti itu. Tapi.... Persekutuan Iblis Hitam terlalu
tangguh buat mereka. Seluruh murid-murid Kilat Bu-
ana dibunuh habis semuanya, dan... dan desa ini di-
kuasai oleh mereka. Kami... kami, dilarang berhubun-
gan dengan orang-orang asing yang bukan termasuk
anggota Persekutuan Iblis Hitam. Bahkan untuk berbi-
cara...." Belum lagi selesai ucapan laki-laki itu, tiba-tiba
dia menjerit kesakitan dan langsung roboh.
"Awas!" Buang Sengketa memperingatkan si gadis sambil berjumpalitan ketika
beberapa buah benda melesat ke arah mereka. Si gadis pun ternyata bukan
orang sembarangan. Tak percuma dia menjadi murid
Perguruan Walet Biru yang kesohor dengan ilmu pen-
dengarannya yang baik kalau tak mampu merasakan
sesuatu yang berdesir ke arah mereka. Sambil melom-
pat tinggi ke atas, dia mengikuti gerakan si pemuda
menerobos lewat atap warung dan turun dengan sem-
purna. Baru saja mereka menjejakkan kaki ke tanah,
kembali berdesir sesuatu ke arah mereka. Kali ini tera-sa lebih berat seolah-
olah radius satu tombak dari me-
reka berada dipenuhi oleh sesuatu yang tak terlihat
namun terasa hawa dingin yang menusuk pernafasan
mereka. Pemuda dari Negeri Bunian itu jadi jengkel di-
buatnya. Begitu dilihatnya si gadis telah membabatkan
pedang ke sana ke mari, dia pun segera menjulurkan
sebelah lengannya. Selarik gelombang Ultra Violet se-
gera menyebar ke segala penjuru dan menabrak segala
sesuatu yang menghalanginya. Pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang dikeluarkan Buang Sengketa ternyata
membawa hasil. Paling tidak badai serangan gelap itu
menjadi sirna untuk sementara. Barulah mereka dapat
melihat dengan jelas, siapa adanya si penyerang itu.
Seorang laki-laki tinggi kurus bermuka lonjong
dengan kulit hitam, tersenyum sinis pada mereka. Di
belakangnya beberapa orang berseragam jubah hitam


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampaknya mengurung rapat-rapat tempat itu. Seo-
lah-olah tiada jalan keluar sedikit pun untuk mereka
bisa kabur. Melihat hal itu Buang Sengketa malah ke-
tawa ganda. "Pucuk dicinta ulam tiba! Jauh-jauh dicari ter-
nyata malah datang sendiri mencari mati. Hak... hak...
hak...!" kata si pemuda. Pikirnya, tentulah mereka ini orang-orang dari
Persekutuan Iblis Hitam, sebab menurut si gadis, gerombolan itu selalu
berseragam jubah hitam pada tiap anggotanya, seperti apa yang dilihatnya saat
ini. "Bocah, kematianmu telah di ujung mata, terta-
walah sepuas hati sebelum kami mencabut selembar
nyawamu yang tak berguna!" balas si muka lonjong sinis. Dia segera mengeluarkan
sepasang trisula dari
pinggangnya. Agaknya orang ini tak suka berbasa basi
dan berdarah dingin, sebab tanpa penjelasan apa-apa
dia telah menyerang mereka berdua dengan jurus-
jurus yang mematikan.
Buang Sengketa tentu saja telah men-duga hal
itu, dan menyiapkan jurus tangkisan. Tapi tak terduga
sama sekali bahwa manusia bermuka lonjong itu lang-
sung mengeluarkan ilmu silat kelas tinggi untuk
menghajarnya. Tentu saja si pemuda yang tak me-
nyangka demikian jadi kelabakan sendiri. Pikirnya,
pastilah lawannya saat ini anggota biasa dari gerombo-
lan itu, mengingat pakaiannya yang biasa saja dan
senjata di tangannya yang terlihat tidak luar biasa.
Akibatnya sungguh tak terduga buatnya. Dada si pe-
muda terkena goresan senjata lawan setelah dia beru-
saha menghindar dari satu pukulan yang dibarengi
dengan sapuan kaki.
Murid si Bangkotan Koreng Seribu itu terhuyung-
huyung kesakitan, dan darah segar mulai menetes dari
dadanya. Melihat itu si muka lonjong tertawa keras.
"Bocah! Engkau telah terkena Racun Kelabang
Hitam yang mematikan. Sebentar lagi tubuhmu akan
membiru dan kejang-kejang, dan setelah itu engkau
boleh menemui bapak moyangmu. Ha... ha... ha...!"
Tapi tak percuma Buang Sengketa sebagai ketu-
runan raja dari Negeri Bunian yang kebal terhadap ra-
cun apa pun. Yang membuatnya kesal hanya rasa pe-
nasaran dan jengkel akibat memandang rendah pada
lawan. Sambil kertakkan rahang menahan geram, ha-
wa kesadisan menyatu dalam jiwanya melihat kepada
manusia telengas itu. Dengan satu teriakan nyaring,
dia melesat ke arah lawan dengan mempergunakan
Jurus Si Jadah Terbuang. Suatu jurus handal yang ja-
rang dikeluarkan kalau tidak pada kejengkelan yang
memuncak. Tubuhnya berkelebat ke sana sini dengan
kecepatan yang sulit diikuti kasat mata.
Si muka lonjong yang dalam dunia persilatan di-
kenal sebagai si Kelabang Hitam, tokoh sesat yang pal-
ing ditakuti dalam dunia persilatan. Baik tokoh golon-
gan hitam maupun putih. Senjata trisulanya kelihatan
biasa tapi sebetulnya mengandung racun mematikan
yang tak terlihat dan tak berbau. Lawan yang tak men-
getahui hal itu pasti akan menganggapnya remeh, dan
di situlah keberuntungan si Kelabang Hitam. Seperti
yang terjadi pada Buang Sengketa tadi. Tapi dia tak bi-sa langsung bergirang,
sebab setelah beberapa saat
berlalu, tak terlihat tanda-tanda bahwa si pemuda ter-
kena pengaruh racunnya. Malah serangannya semakin
hebat dan membuat si Kelabang Hitam jadi kerepotan
sendiri dibuatnya.
"Oh, jadi engkau yang bergelar si Kelabang Hitam
bermuka jelek itu?" ejek si pemuda sambil terkekeh mempermainkan lawan. "Racun
kelabangmu betul-betul obat yang paling mujarab. Sebentar saja tubuhku
yang tadi pegal-pegal kini terasa segar untuk mengge-
buk mukamu yang jelek itu!" Ucapan si pemuda ter-
bukti ketika dalam satu kesempatan berhasil mengha-
jar lawan. Kelabang Hitam merasakan punggungnya sakit
luar biasa terkena pukulan si pemuda. Untung saja
murid si Bangkotan Koreng Seribu itu tak mengerah-
kan pukulan yang mematikan, kalau tidak, niscaya
nama Kelabang Hitam akan sirna saat itu juga.
Tapi manusia satu ini kedot luar biasa. Dalam
satu kesempatan dia merangkapkan kedua telapak
tangan setelah tadi trisulanya terpental dengan ten-
dangan susulan yang dilancarkan si pemuda. Meski di-
rasanya tenaga lawan sangat kuat, terbukti tangannya
masih kesemutan terkena hajaran si pemuda, tapi tak
nanti pemuda itu bisa melepaskan diri dari Pukulan
Arang Beracunnya, pikir si muka lonjong itu.
Segulungan uap hitam perlahan-lahan keluar da-
ri telapak tangannya. Untuk se-saat Buang Sengketa
terperanjat kaget. Naluri silumannya segera mengin-
gatkan akan bahaya yang mengancam keselamatan-
nya. Apalagi ketika perlahan-lahan uap itu membentuk
suatu sinar hitam yang melesat cepat ke arahnya. Bu-
ru-buru pemuda itu berjumpalitan menghindari diri.
Terlihat olehnya batang pohon di samping warung
yang terkena pukulan itu tiba-tiba seluruh daun-
daunnya menjadi layu dan perlahan-lahan meranggas.
Pemuda itu bergidik sendiri membayangkan bila tu-
buhnya yang terkena pukulan itu.
Sementara itu si gadis sedang kerepotan meng-
hadapi kerubutan beberapa orang berjubah hitam. Pe-
dangnya berkelebat ke sana sini dengan kecepatan pe-
nuh. Namun tak seorang pun dari mereka yang terke-
na. Gadis ini jadi penasaran sendiri dibuatnya. Bah-
kan beberapa kali dia kena didesak dan kerepotan un-
tuk menangkis serangan-serangan balasan. Hatinya
panas bukan main melihat keadaan itu, dan bertanya-
tanya, bila saja anak buahnya sudah begini hebat, ba-
gaimana dengan Singalodra sendiri" Berpikir begitu
timbul rasa putus asa dalam dirinya.
Sebenarnya si gadis tidak mengetahui bahwa
yang dihadapinya saat ini adalah sebagian pasukan in-
ti Persekutuan Iblis Hitam yang ditugaskan menjaga
desa ini dari kedatangan orang-orang asing yang dicu-
rigai seperti mereka. Sebagai pasukan inti, tentu saja kepandaian mereka tak
sembarangan. Rata-rata ilmu
silat mereka seimbang dengan kepandaian si gadis.
Maka tak heran kalau sebentar saja si gadis sudah
terdesak hebat, bahkan beberapa kali senjata lawan
hampir melukai tubuhnya.
"Jangan!" teriak salah seorang di antara mereka ketika kawannya hendak membabat
kutung sebelah lengan gadis yang sudah terpojok tak berdaya ketika
sebelah kakinya kena dihantam lawan dan tubuhnya
jatuh berdebum ke tanah. "Gadis ini sangat cantik. Sebaiknya kita persembahkan
saja pada ketua!" lanjutnya. "Beliau pasti senang sekali dengan persembahan
kali ini. Sebaiknya ditotok saja agar gampang memba-
wanya." Salah seorang segera bergerak hendak. menotok
gadis itu. Namun pada saat itu berkelebatlah selarik
gelombang sinar berwarna merah menghantam dua
orang di antara mereka, dan jerit kesakitan segera
mengiring kematiannya. Kawan-kawannya terkejut se-
tengah mati melihat itu. Reflek mereka segera menoleh
ke arah datangnya pukulan itu, dan terlihat pemuda
berkuncir yang sedang bertempur dengan si Kelabang
Hitam sedang terkekeh-kekeh.
"Iblis-iblis keparat! Apa kalian pikir bisa berbuat seenaknya di hadapanku" Huh,
jangan coba-coba untuk berbuat kurang ajar pada gadis itu. Kalau tidak,
kalian rasakan sendiri akibatnya!" gertak si pemuda sambil kiblatkan tangan dan
kemudian selarik gelombang merah menyala melesat cepat ke arah si Kelabang
Hitam. Masih bagus si muka lonjong itu bisa menghin-
darinya dan melancarkan serangan balasan dengan
pukulan Arang Beracunnya.
"Blaaar...!"
Dua pukulan beradu menimbulkan suara hebat.
Si Kelabang Hitam terhuyung-huyung beberapa tindak.
Dari sela-sela bibirnya keluar darah merah kehitam-
hitaman. Dia cepat bersila di tanah melancarkan jalan
darah dan atur pernafasan. Sementara si pemuda
hanya bergetar tubuhnya, namun tak urung jalan da-
rahnya terasa berdenyut kencang tak beraturan.
Dalam pada itu si gadis kembali mengamuk men-
gayunkan pedangnya ke sana sini dengan sebat. Seo-
lah semangatnya kembali bangkit ketika mengetahui
bahwa pemuda aneh yang sejak tadi berjalan bersa-
manya ternyata berilmu tinggi. Tapi walaupun kedua
kawannya telah tewas, tetap saja dia tak mampu un-
tuk mendesak orang-orang berjubah hitam itu. Kini
kembali mereka mendesaknya habis-habisan. Namun
pada saat itu, muncullah seseorang yang langsung
menghajar dua orang berjubah hitam itu hingga ter-
huyung-huyung sambil men-dekap dada. Si gadis se-
gera melirik pada orang yang baru muncul itu. Seorang
pemuda yang berwajah tampan, berambut pen-dek
dengan ikat kepala warna hitam serta berpakaian ser-
ba putih. Di pinggangnya terselip sebilah golok yang
agak panjang. Sesaat dia melirik pada gadis itu, dan
kembali menempur orang-orang berjubah hitam sete-
lah anggukkan kepala sambil tersenyum.
Sementara itu pertarungan antara Buang Seng-
keta dan si Kelabang Hitam telah mencapai persoalan
hidup atau mati. Si pemuda telah mencabut pusaka
Golok Buntung sambil mengeluarkan suara mendesis
laksana Ular Piton mengamuk. Dalam pada itu si Kela-
bang Hitam sangat terkejut melihat aksi si pemuda.
Apalagi ketika melihat senjata di tangannya yang men-
geluarkan sinar merah menyala, dibarengi dengan ha-
wa dingin yang menusuk hingga ke tulang sum-sum
dan suara berisik bagai auman puluhan harimau ter-
luka. Dia takjub untuk beberapa saat, namun kelen-
gahannya harus dibayar mahal karena senjata di tan-
gan si pemuda berkelebat dengan cepat ke pangkal le-
hernya. "Craaas...!"
Si Kelabang Hitam tak sempat berteriak saat ke-
palanya menggelinding ke tanah. Beberapa orang ber-
jubah hitam yang melihat si Kelabang Hitam tewas,
ada yang coba-coba melarikan diri. Tapi kedua lawan-
nya tentu saja tak bisa membiarkannya begitu saja.
Lebih-lebih si gadis yang merasa sangat penasaran tak
mampu melukai lawan sedikit pun.
"Jangan harap kalian bisa pergi dengan bernya-
wa!" teriak si gadis sambil ayunkan pedang. Tapi hal
itu sia-sia, sebab sambil melompat menghindarkan di-
ri, orang itu lemparkan suatu bungkusan yang begitu
jatuh ke tanah, langsung menimbulkan asap tebal
yang menghalangi penglihatan. Begitu asap sirna,
orang-orang berjubah hitam itu tak terlihat lagi.
6 Singalodra segera berdiri dari kursi dengan mata
melotot garang pada mereka. Kedua alisnya terangkat
tinggi-tinggi, dengan gerakan yang sangat cepat, tiba-
tiba tangannya telah menggenggam sebilah pedang
yang seluruh permukaannya berwarna hitam mengki-
lat. Pucatlah wajah orang-orang berjubah hitam di ha-
dapannya yang sejak tadi menundukkan kepala den-
gan wajah ketakutan.
"Buat Persekutuan Iblis Hitam, tak ada cerita un-
tuk melarikan diri dari pertempuran. Kalian telah me-
langgar hal itu dan membuat malu nama Persekutuan
Iblis Hitam. Kematian lebih pantas untuk kalian!" ucap Singalodra dingin.
"Aaaa... ampun, Tuanku Singalodra. Ka...
kami berlima bukan bermaksud lari dari pertempuran.
Ta... tapi, siapa yang akan memberitahukan hal ini ke-
pada Tuanku kalau kami binasa semua...."
"Craaaaaas...!"
Kelima orang berjubah hitam itu segera melolong
setinggi langit ketika pedang di tangan Singalodra berkelebat dengan cepat dan
sulit diikuti kasat mata. Tu-
buh mereka segera ambruk dengan satu sabetan pan-
jang pada bagian dada. Namun tak satu pun di anta-
ranya yang mengeluarkan darah. Tubuh-tubuh mereka
pucat dan kering bagai mayat yang telah tergeletak
berhari-hari. Beberapa orang yang berada di situ ber-
gidik bulu kuduknya menyaksikan hal itu. Dengan ta-
kut-takut beberapa orang yang membawa mayat-mayat
itu keluar. "Peringatan buat kalian yang lain untuk jujur
mengikuti segala perintahku!" kata Singalodra sambil putar pandangan ke seluruh
ruangan. "Kalau kataku harus pertahankan sesuatu, maka nyawa kalian taru-hannya
dan jangan kembali dengan nyawa melekat di
tubuh walau untuk alasan apa pun. Beda kalau kupe-
rintahkan kalian untuk merampok atau menculik pe-
rempuan-perempuan cantik. Kalian wajib menyela-
matkan selembar nyawa kalian bila musuh terlalu
tangguh untuk dihadapi. Ingat baik-baik hal itu!"
Setelah orang-orang yang berada di situ angguk-
anggukkan kepala, Singalodra segera menyuruh mere-
ka untuk keluar. Kecuali si Iblis Ular Hijau yang selalu berada di sampingnya.
"Apakah mereka itu yang paman maksudkan
tempo hari?" tanya Singalodra pada si Iblis Ular Hijau dengan wajah serius.
"Apakah sekarang paman mera-gukan bahwa ilmu silat Iblis Merah Darah yang diwa-
riskan ayahanda padaku adalah ilmu silat yang sulit
dicari tandingannya?"
Iblis Ular Hijau hela nafas panjang sebelum men-
jawab pelan. "Ilmu silat ayahandamu memang hebat
dan sulit dicari tandingannya. Si Rajawali Bukit Seribu beserta dua kembratnya
itu tak mungkin mampu mengalahkan ayahandamu kalau beliau tak terluka parah
akibat pertarungan dengan salah seorang tokoh kosen
yang sulit dicari tandingannya...."
"Siapa" Siapa tokoh yang paman maksudkan
itu"!" Singalodra nampak penasaran sekali. Pasalnya dia yakin sekali bahwa ilmu


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Seribu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silat yang dimilikinya saat ini, tak ada yang menandingi.
"Tokoh itu berasal dari Barat dan malang melin-
tang di tanah ini, dan banyak menaklukkan tokoh-
tokoh sesat golongan hitam. Salah satu di antaranya
adalah kami berdua pada saat itu. Seluruh tubuhnya
penuh dengan bercak-bercak koreng, itulah sebabnya
dia mendapat julukan si Bangkotan Koreng Seribu.
Senjata andalannya adalah sebuah pecut yang apabila
dilecutkan akan menimbulkan awan gelap dan petir
yang menggelegar bagaikan badai alam yang dahsyat.
Hanya karena kekuatan ilmu tenaga dalam ayahan-
damu sajalah yang menyebabkan dia tidak langsung
tewas ketika pecut itu menghantam tubuhnya. Tapi dia
terluka parah dan tak seorang pun bisa menyembuh-
kannya. Barangkali pun kematiannya hanya tinggal
waktu saja. Itulah sebabnya dia masih sempat menulis
kitab ilmu silatnya yang kelak akan diwariskan pada-
mu. Jadi sebenarnya tidak benar bahwa ayahandamu
mati di tangan Rajawali Bukit Seribu beserta dua kem-
bratnya itu. Meski mereka bertiga punya ilmu yang tak
bisa dipandang enteng, namun untuk melawan Iblis
Merah Darah, mereka tak akan ungkulan. Dengan lu-
ka berat yang dideritanya, mereka bertiga hanya mem-
percepat kematiannya saja...."
"Tapi apa hubungan cerita paman itu dengan me-
reka"!" tanya Singalodra tak sabar.
"Ada," sahut Iblis Ular Hijau tenang. "Aku pernah bertempur dengan si pemuda
berkuncir yang dicerita-kan orang-orangmu yang telah engkau bunuh tadi.
Ada beberapa gerakan ilmu silatnya yang kukenal san-
gat mirip dengan ilmu silatnya tokoh itu. Kalau benar
dia muridnya, pastilah hal ini akan mengancam Perse-
kutuan Iblis Hitam!"
"Paman, jangan coba-coba untuk melemahkan
semangatku. Ilmu silat Iblis Merah Darah tak ada tan-
dingannya, dan aku sendiri telah membuktikan hal itu.
Sejauh ini tak ada seorang pun yang mampu menahan
ajian Kidung Neraka!" sahut Singalodra tersenyum sinis. "Singalodra, paman pun
mengakui hal itu, tapi tugas paman saat ini hanya sebagai penasehat. Kalau-kalau
hal itu memang benar, tapi syukur kalau hal itu
cuma omong kosong belaka. Namun walau bagaimana
pun kita patut waspada...."
"Aku tidak gentar, Paman!" potong Singalodra cepat. "Dan kuharap pun paman bukan
hanya mencari- cari alasan karena takut menghadapi pemuda itu sete-
lah merasakan ilmu silatnya."
Iblis Ular Hijau segera terkekeh panjang. Lalu
berkata pelan namun terasa bahwa ia tersinggung
dengan ucapan ketua Persekutuan Iblis Hitam tadi.
"Iblis Ular Hijau selamanya tak pernah takut
menghadapi siapa pun asal orang itu bukan si Bangko-
tan Koreng Seribu!"
"Nah, sekarang paman bawa beberapa orang pili-
han untuk meringkus mereka dan tunjukkan padaku
bahwa paman adalah tokoh golongan hitam yang tak
takut menghadapi siapa pun!"
"Maksudmu engkau ingin agar kami meringkus
mereka" Kenapa tak sekalian membunuhnya saja?"
"Begitu lebih baik. Tapi ingat, jangan ciderai gadis itu!" Singalodra tersenyum
penuh arti. "Paman ta-hu maksudku bukan?"
Iblis Ular Hijau kembali terkekeh panjang sebe-
lum berlalu dari ruangan itu.
*** Sore telah berganti malam ketika ketiganya telah
beranjak dari desa itu. Mereka terpaksa menginap di
dalam sebuah hutan yang lumayan lebat. Tapi untung,
agaknya laki-laki itu telah terbiasa dengan kehidupan
demikian, sebab tak berapa lama kemudian dia berha-
sil menangkap dua ekor kelinci untuk santap malam
mereka. "Tidak terlalu gemuk, tapi lumayan untuk peng-
ganjal perut!" katanya tersenyum sambil menyalakan api dari batu pemantiknya.
Sebentar kemudian setum-puk api unggun mulai menerangi wajah ketiganya.
Pemuda itu mulai memanggang hasil buruannya. Se-
mentara dua orang kawannya sebentar-sebentar mem-
bantu membolak baliknya.
"Jadi engkau satu-satunya murid Kilat Buana
yang berhasil meloloskan diri?" tanya si gadis sambil mencicipi sekerat daging.
"Ya. Aku terpaksa kabur ketika kulihat semua
kawan-kawan yang lain dibantai mereka dengan san-
gat keji. Tapi tak jauh dari desa itu. Aku mencari-cari kesempatan untuk
menghancurkan mereka secara
perlahan-lahan, sambil menunggu pendekar-pendekar
golongan putih yang singgah ke sini dan bergabung
bersama-sama menghancurkan Persekutuan Iblis Hi-
tam itu." "Memang keterlaluan mereka!" cetus pemuda
dengan rambut dikuncir. Dia hanya menolak ketika
daging kelinci itu sudah matang dan si gadis menyo-
dorkan sekerat untuknya, sebab di tangannya sendiri
masih tersisa beberapa potong dendeng lumba-lumba
yang selalu tersedia cukup dalam periuk besar yang
selalu dibawa-bawanya. Barangkali mereka berdua be-
lum terbiasa, hingga menolak saat ditawarkannya tadi.
Mungkin juga karena si pemuda berbaju putih itu me-
rasa bahwa soal makanan tak terlalu merepotkannya.
Buktinya dia dengan gampang mendapatkan dua ekor
kelinci itu. "Barangkali kalian hanya tahu bahwa apa yang
mereka lakukan cuma sekedar me-rampok dan mem-
buat onar di mana-mana...." Pemuda itu menghentikan ucapannya untuk beberapa
saat. "Tapi lebih dari itu,"
katanya melanjutkan, "Mereka adalah sekumpulan iblis cabul tukang memperkosa
anak bini orang, dan sa-
lah satu korban mereka adalah...." Pemuda itu tak meneruskan kata-katanya. Dia
menundukkan kepala
dengan wajah gundah. Dari cahaya api unggun yang
menjilat wajahnya, terlihat bahwa pemuda itu sangat
berduka. "Kenapa, Saudara Jaka Sumbawa?" tanya pemu-
da berkuncir itu heran.
"Tunanganku pun yang tinggal di desa itu turut
menjadi korban mereka. Aku tak tahu bagaimana na-
sibnya saat ini, tapi apa pun yang terjadi dengannya,
aku bersumpah akan membunuh Singalodra dengan
tanganku!" katanya dengan wajah beringas. Tangannya terkepal dengan kuat hingga
terlihat otot-otot di buku-buku jarinya menegang. Kemudian dia berpaling pada
pemuda berkuncir itu. Lalu katanya pelan. "Saudara Buang Sengketa, bila
perjalanan kita telah tiba di sa-na, aku minta agar Singalodra bagianku!"
"Kalau saja anak buahnya sedemikian hebat, ten-
tulah Singalodra berilmu tinggi. Barangkali dia bukan
tandinganmu, Saudara Jaka Sumbawa. Biarlah aku
yang mewakili engkau untuk menempurnya...."
"Tidak!" sahut pemuda itu sengit. "Dia harus mati di tanganku agar dendamku
terbalas impas! Di depan
mataku mereka membunuh guru yang telah menga-
suhku sejak kecil dan telah kuanggap sebagai orang-
tua ku sendiri, kemudian membunuh saudara-saudara
seperguruanku, dan terakhir di depan mataku sendiri
menculik tunanganku tanpa aku bisa berbuat apa-
apa!" Pemuda berkuncir yang tak lain adalah Buang Sengketa, putra raja dari
Negeri Bunian dan murid dari
si Bangkotan Koreng Seribu itu tundukkan kepala un-
tuk beberapa saat. Dia dapat memahami apa yang di-
rasakan si pemuda, tapi kalau untuk berlaku nekad
seperti itu, sama halnya dia dengan mengantarkan
nyawa dengan per-cuma. Kalau saja melawan anak
buah Singalodra yang memporak porandakan pergu-
ruannya dan menculik tunangannya di depan mata
sendiri dia tak mampu untuk melawan, apalagi meng-
hadapi Singalodra sendiri seperti tekadnya tadi. Buang Sengketa hela nafas
pendek. Seperti kita tahu, ternyata pemuda itu adalah
orang yang mereka temui di desa yang tak begitu jauh
dari Perguruan Kilat Buana, yang ikut membantu si
gadis ketika dikerubuti orang-orang Persekutuan Iblis
Hitam. Setelah tak menemui siapa-siapa lagi di sana,
mereka akhirnya bertekad untuk menyambangi Singa-
lodra di tempat kediamannya di Bukit Seribu. Apalagi
setelah mereka mengetahui ternyata si pemuda beril-
mu cukup tinggi, semangat mereka tambah menyala
untuk menghadapi ketua Persekutuan Iblis Hitam itu
beserta anak buahnya.
Dalam pada itu malam semakin kelam. Jaka
Sumbawa telah tertidur lelap bersama angan-
angannya untuk membebaskan tunangannya dan
membunuh Singalodra di sarangnya sendiri. Sementa-
ra Buang Sengketa sendiri masih tidur-tidur ayam tak
jauh dari tempat pemuda itu. Matanya akhirnya terbu-
ka lebar menengadah ke langit hitam di angkasa sete-
lah sekian lama terpejam tak juga mau terlelap. Ba-
nyak hal yang dipikirkannya selama ini, dan hal itu
akan kembali melintas pada saat-saat sepi seperti saat ini. Kenangan ketika
bersama gurunya si Bangkotan
Koreng Seribu ketika mereka masih bersama-sama di
pantai karang Tanjung Api, kemudian ayahandanya
yang bertapa entah di mana dalam ujud seekor ular
raksasa. Semua hal itu membuat batinnya seakan teri-
ris-iris mengingat hidupnya yang seorang diri tanpa
sanak saudara. Tiba-tiba reflek dia bergerak ketika merasakan
sesuatu yang mendekat secara perlahan ke arahnya.
Hela nafasnya lega ketika mengetahui siapa bayangan
itu. Ternyata si gadis yang berjalan mendekatinya dan
tersipu malu ketika pemuda itu mengetahuinya. Dia
menundukkan kepala sambil duduk di depan api un-
ggun mengais-ngais beberapa potong kayu yang
ujungnya membara.
"Ada apa?" tanya si pemuda pelan. Si gadis itu masih tetap menunduk tak
menjawab. Buang Sengketa
segera bangkit mendekatinya dan duduk di sebelah
gadis itu sambil mengangsurkan kedua telapak tan-
gannya di atas api unggun. Kemudian menggosok-
gosokkannya. 7 "Malam ini terasa dingin, ya?" lanjut si pemuda itu mencari-cari bahan omongan.
Gadis itu melirik se-kilas padanya sambil tersenyum. Murid si Bangkotan
Koreng Seribu itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan
untuk membalas senyumnya.
"Kenapa tidak tidur?"
"Karena tidak mengantuk," sahut si pemuda bercanda.
"Engkau tentu sangat lelah sekali, ya?" Gadis itu tak menggubris.
"Tidak! Aku telah terbiasa hidup seperti ini...."
"Engkau tidak merasa kesepian...?"
"Kadang-kadang."
"Saat ini aku merasa hidup sendiri tanpa sanak
saudara. Keluargaku dibantai dengan keji oleh orang-
orang Persekutuan Iblis Hitam, begitu pun dengan
guru serta saudara-saudara seperguruanku. Masih un-
tung saat itu aku tak berada di tempat, kalau tidak,
entah apa yang terjadi denganku." Si gadis menghela nafas pendek untuk beberapa
saat sebelum melanjutkan ucapannya. "Menghadapi anak buah Singalodra saja aku
sudah merasa kerepotan, apalagi coba-coba
untuk membalas dendam dengan iblis keparat itu. Ra-
sanya sampai kiamat pun aku tak akan mampu...."
"Engkau tak boleh berkata begitu. Di atas langit
masih ada langit, begitu pun dengan ilmu silat. Biar
Singalodra malang melintang tak terkalahkan selama
ini, belum tentu tak ada orang yang bisa mengalah-
kannya." "Oh, engkau mau membalaskan sakit hati ku pa-
danya?" seru si gadis girang. Wajahnya penuh harap menatap si pemuda berkuncir
itu. Tanpa sadar jari-jarinya mencekal lengan si pemuda. Dia baru tersadar
ketika Buang Sengketa merasa rikuh dan serba salah.
"Oh... ng... maaf," katanya melanjutkan sambil membuang muka setelah tersipu-
sipu tadi. "Tunangan mu pasti akan cemburu jika melihat hal ini."
"Aku tak punya tunangan siapa-siapa...."
"Orang seperti engkau pasti suka berbohong.
Pedang Ular Merah 7 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 4
^