Pencarian

Iblis Pulau Keramat 1

Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat Bagian 1


IBLIS PULAU KERAMAT Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Iblis Pulau Keramat
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.9
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 MATAHARI mulai surut ke bumi. Sementara
itu, keributan di depan pintu gerbang Griya Tera-
tai Wingit masih berlangsung dengan seru. Seo-
rang pemuda tampan, bertampang imut-imut,
berhidung bangir dengan bulu mata yang lentik
dan bibir semerah jambu segar itu masih menga-
muk dengan pedang peraknya. Lande dan Bonang
masih bertahan membendung amukan pemuda
itu, sedangkan orang-orang Griya Teratai Wingit
sudah mengepung, membentuk satu arena perta-
rungan yang cukup menegangkan. Hanya Lande
dan Bonang, sebagai orang kepercayaan keluarga
Sabdawana, sebagai murid Sabdawana yang tertua
dari yang lainnya, yang kala itu patut menghadapi pemuda berbadan sedikit kurus
tapi alot. Sabdawana mengunci diri di dalam kamar se-
madi, sedangkan Kirana Sari putrinya, masih me-
nikmati tidur sore. Ia tak tahu ada keributan di luar rumahnya. Ia masih asyik
bermimpi bersama
Lanangseta, calon suaminya yang saat ini sedang
mencari kembali bunga Teratai Winggit yang dicuri orang pada malam sebelum hari
perkawinan mereka. (dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO). Ada
beberapa orang mengusulkan agar salah satu ada
yang membangunkan putri Bukit Badai yang can-
tik dan anggun itu. Namun Marwa, pelayan se-
tianya melarang. Marwa hanya berkata kepada pa-
ra murid Sabdawana:
"Hanya menghadapi tikus satu, masa' harus
membangunkan Putri Agung...?"
"Tapi pemuda itu mengamuk dengan hebat.
Kami bisa kewalahan. Dia mempunyai ilmu silat
yang cukup tinggi."
"Apakah kalian tidak mempunyai ilmu silat
yang tinggi" Kurasa kalian sudah banyak belajar
ilmu kanuragan dari Putri Agung maupun Rama
Sabdawana. Lawanlah dia beramai-ramai."
Jika Kirana Sari yang disebut Putri Agung itu
sedang tidur atau beristirahat, memang tak satu
pun ada yang berani mengganggunya. Mereka se-
gan, menaruh rasa hormat yang tinggi kepada Ki-
rana atau pun ayahnya. Sehingga, sekali pun ada
keributan yang terjadi seperti sore ini, para murid itulah yang harus mengatasi
keributan tersebut
dengan dibantu oleh beberapa pengawal dan orang
kepercayaan Sabdawana, seperti Lande dan Bo-
nang itu. Hanya saja kali ini Lande dan Bonang merasa
mendapat lawan yang tidak tanggung-tanggung
beratnya. Berulangkali mereka melancarkan jurus
mematikan, namun selalu saja dapat dihindari
oleh pemuda bercelana merah berbaju rompi war-
na coklat tanah.
Pemuda itu berhenti menyerang pada saat
Lande dan Bonang tersungkur akibat tendangan-
nya tadi. Pemuda itu berseru kepada Lande dan
yang lainnya: "Lebih baik kalian jangan menghalangi mak-
sudku untuk bertemu Putri Bukit Badai! Jangan
sia-siakan nyawa kalian. Biarkan aku masuk ke
dalam dan menemui Putri anak Rama Sabdawana
itu!" "Tidak seorang pun boleh masuk ke dalam lingkungan rumah terhormat ini!"
balas Bonang setelah berhasil berdiri lagi. "Kalau kau bertemu Putri Agung,
tunggu sampai dia bangun dari tidurnya."
"Aku tak ada waktu...!"
Sambil berkata begitu, pemuda tersebut me-
lompat dengan gerakan yang ringan seperti kapas,
ia melayang untuk melewati pagar rumah Kirana
yang bertembok tinggi. Tetapi sebelum ia sempat melesat melompati pagar yang
menyerupai ben-teng itu, Bonang sudah lebih dulu melemparkan
beberapa butir batu ke arah pemuda tersebut.
Dua lemparannya berhasil ditepiskan oleh pemuda
itu, tapi dua lemparan lainnya mengenai dagu dan
ketiak pemuda itu. Lemparan lainnya berikutnya
menyusul dari Lande yang membuat pemuda itu
bersalto ke belakang beberapa kali, dan mendarat
di bawah sebuah pohon buni. Ia menggeram ge-
mas. Ia tak berhasil melompati pagar rumah Sab-
dawana. Satu-satunya jalan ia harus melumpuh-
kan kedua orang kepercayaan Sabdawana itu.
Sebuah tendangan menyamping dilancarkan
ke arah muka Lande. Dengan bergerak ke samping
Lande dapat menghindari tendangan tersebut.
Sambil bergerak ke samping tangan Lande meng-
hantam betis kaki itu. Meleset. Karena kaki itu segera bergerak ke samping
dengan tiba-tiba dan
mengenai bawah leher Lande. Tendangan itu
membuat Lande limbung. Kelimbungannya disam-
but dengan satu pukulan tangan kiri, namun ma-
sih sempat ditangkis oleh Lande dengan gerakan
merendahkan tubuh. Pada saat Lande bergerak
merendah, pedang di tangan kanan pemuda itu
menghunjam ke arah leher Lande. Dengan cepat
Lande berguling ke samping, tapi kaki Lande sem-
pat menyapu kaki pemuda itu dengan keras. Pe-
muda itu sedikit limbung. Keadaan seperti itu di-
manfaatkan oleh Bonang untuk melancarkan pu-
kulan ke arah pinggang lawan. Tapi tangan Bo-
nang yang melesat lurus itu dapat tersentak ke
atas karena tendangan pemuda itu yang cukup
kuat. Bonang menyeringai kesakitan. Tangannya
terasa semutan dan linu. Bonang membungkuk
mendekap tangan kirinya sendiri. Ia berputar
membelakangi lawan, sehingga dengan cepat pe-
dang lawan membacok ke arah punggung Bonang.
Gerakan Lande ternyata tidak terlambat, karena
kakinya berhasil menjejak pinggang lawan dengan
keras, sehingga lawan terpental dan bacokan pe-
dangnya meleset ketempat kosong.
"Kalian memang tak pantas diberi ampun...!"
kata pemuda itu dengan kemarahan yang dalam.
Ia menyarungkan pedangnya ke tempat pedang
yang terbuat dari perak putih. Lalu ia mereng-
gangkan kakinya ke samping kanan kiri, sedikit
merendahkan badan sehingga kaki itu kelihatan
kokoh berpijak. Tangan kanan dan kiri bergerak
kaku dan keras, membuka ke kanan dan ke kiri.
Lalu dengan gerakan kuat tangan itu menjadi ka-
ku dan bersimpang siur di depan wajahnya. Jari
telunjuk dan jempolnya berdiri tegak, sedangkan
ketiga jari lainnya ditekuk sejajar. Lalu, dengan satu gerakan cepat kedua
tangannya itu menghentak ke depan bersamaan.
Dari telapak tangan itu keluar asap yang me-
luncur dengan cepat. Asap itu berwarna hitam dan
mengarah kepada Lande dan Bonang. Secepatnya
kedua orang itu melambung ke atas, menghindari
asap itu, yang ternyata membuat dua ledakan ke-
tika menghantam ke tanah.
Dua ledakan itu membuat tanah tersebut be-
rongga, tanpa ada sebutir pasir pun yang tersem-
bur ke udara. Dan hal itu membuat tanah di seki-
tarnya berguncang, bagai terjadi gempa setempat.
"Woow...!" seru orang-orang yang mengepung membentuk arena pertarungan itu.
Mereka mulai melangkah mundur dan merasa ngeri. Lande dan
Bonang saling berpandangan tegang.
"Ilmu Inti Badai..."!" kata Lande terperangah
tegang. Bonang bergerak menyamping, mendekati
Lande, tapi matanya masih mengawasi gerakan
pemuda itu. Bonang sempat berbisik:
"Siapa pemuda itu sebenarnya" Mengapa ia
menguasai ilmu Inti Badai?"
Sekali lagi tangan pemuda itu maju ke depan
dengan menghentak keras, dan sekilas asap hitam
melesat ke arah Bonang dan Lande.
"Awas...!" seru Bonang. Lalu keduanya melejit ke atas dan masing-masing berkelit
dengan meng-gulingkan badan ke kanan dan ke kiri.
Sebatang pohon berukuran sedang tumbang
karena serangan pemuda itu mengenai akar pohon
tersebut. Bumi berguncang sejenak, dan orang-
orang yang mengepung semakin merenggang
mundur. Wajah mereka tetap tegang memandang
pertarungan pemuda itu melawan Lande dan Bo-
nang dengan perasaan was-was.
Bonang melancarkan pukulan tenaga dalam
yang boleh dibilang tidak seimbang. Namun tu-
juannya hanya untuk mengacaukan perhatian
pemuda itu, sebab ia akan bersalto ke depan un-
tuk mendekati Lande. Kini, mereka berdua saling
berhimpitan lengan. Lande berbisik tegang:
"Gunakan jurus Paku Jagat...!"
Dengan gerakan yang sangat cepat, Lande dan
Bonang mengibaskan tangan kiri dan kanan ke
segala penjuru. Gerakan tangan mereka cukup
kuat, kaku dan kokoh, bagai penuh tenaga mema-
dat. Kaki kanan mereka sama-sama bergerak ke
depan dengan kekar, lalu bergerak ke kiri semen-
tara posisi tangan mereka mengembang bagai
sayap garuda. Kemudian kaki kanan itu segera
menghentak ke tanah dengan kuat. Hentakan itu
bersamaan dan membuat pemuda tersebut terke-
jut, ia terpental ke atas dalam keadaan limbung.
Lalu jatuh. Itulah kehebatan jurus Paku Jagad yang baru
beberapa saat berhasil mereka pelajari dari Sab-
dawana. Sebuah hentakan kaki yang cukup man-
tap, mengalirkan tenaga inti ke dalam tanah dan
mencebol ke atas di tempat lawan berdiri. Sudah
tentu pemuda itu ter-sentak melambung dalam
keadaan tak sempat menjaga keseimbangan ba-
dan. Hanya saja setelah dia rubuh ke tanah, tiba-
tiba ia menggerakkan tangan kanannya dengan
keadaan semua jari terarah ke depan. Lalu, dari
jari-jarinya itu keluar jarum-jarum kecil berwarna hitam. Jarum itu melesat
cepat, nyaris tak terlihat. Untung Kirana segera keluar dan menghenti-
kan gerakan jarum itu dengan sebuah pukulan
pembeku yang dilancarkan dari tangan kanannya.
Jarum-jarum itu bagai mengumpul menjadi satu
dan jatuh ke tanah tanpa dapat bergerak lagi. Pe-
muda tersebut bergegas bangun, lalu tertawa sinis kepada Kirana.
"Akhirnya kau keluar juga, Putri...!"
Kirana tidak menjawab. Ia melangkah dengan
penuh wibawa dan keanggunan. Ia mengenakan
celana ketat sebatas bawah lutut berwarna kuning
gading, sedangkan kain halus membentuk satu si-
langan di dada hingga ke dua pundak. Kain itu
berwarna merah muda, menambah keanggunan-
nya. Ia membuat rambutnya yang panjang ter-
sanggul bagian tengah, sedangkan ujung rambut
lainnya dibiarkan menjuntai lewat pundak, ber-
henti di dada kiri. Ia berdiri dengan sedikit me-
renggangkan kaki, menatap pemuda itu dengan
sorot mata yang tajam namun mengandung kebe-
kuan. Dingin. "Kau sungguh semakin cantik, Putri...."
Kirana diam. Tidak memberi komentar apa-
apa. Namun sikapnya yang berdiri tegap bagai
seorang pendekar putri itu menyatakan bahwa ia
siap bertarung melawan musuhnya. Ia bagaikan
sedang menunggu serangan dari lawan. Tetapi
pemuda itu hanya tersenyum-senyum menjijikkan
bagi Kirana, namun barangkali mempesonakan
bagi wanita lain. Pemuda itu kini dengan tenang
dan gaya langkahnya yang sok jago itu mendekati
Kirana. Kirana memandang dingin, sedangkan
pemuda itu memandang penuh gairah. Matanya
yang nakal nyata-nyata tertuju pada kepadatan
buah dada Kirana yang menonjol merangsang sya-
raf kelaki-lakiannya. Kirana tak banyak bergerak, kedua tangannya bersilang di
dada, seakan semakin menonjolkan kedua bukit sucinya itu.
"Bagaimana kabarmu, Putri..." Baik-baik sa-
ja?" Tak ada jawaban dari Kirana. Sepi. Mereka yang mengepung membuat satu
lingkaran itu juga
sepi, tak ada yang berbicara sedikit pun. Juga
Lande dan Bonang, diam dalam jarak lima meter
dari Kirana. Mereka berdiri berjejer, tapi tetap menunjukkan kesigapannya.
"Bagaimana kalau kita bicara di dalam, Putri"
Ada hal penting yang patut kita bicarakan ber-
dua," kata pemuda itu yang sudah mengenai betul siapa Kirana Sari itu. Dan
Kirana sendiri juga paham betul siapa pemuda itu. Tapi ia benci kepa-
danya, dan merasa muak bertemu pemuda be-
rambut ikal bergelombang dan mengenakan ikat
kepala dari kain emas itu.
"Rama Sabdawana ada di rumah?" tanya pemuda itu setelah sedikit salah tingkah


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena se- mua kata-katanya tidak mendapat sambutan dari
Kirana. "Dia dalam keadaan baik-baik saja, Putri?"
Dengan suara datar namun tandas itu Kirana
berkata: "Apa maumu, Bajingan..."!"
Semua wajah yang menunduk sepi kini kem-
bali terangkat dengan rona ketegangan yang sa-
mar. Pemuda itu tersenyum tenang, berjalan ke
belakang sebentar, lalu membalik lagi sehingga
posisinya kini berada di depan Kirana dalam jarak tiga langkah. Ia juga
merenggangkan kedua kaki
seakan siap menunggu serangan lawannya.
"Putri... aku ke mari untuk membicarakan se-
suatu yang amat penting bagimu. Bukan untuk
bertarung denganmu. Ada hal yang perlu kau ke-
tahui dengan segera."
"Aku tidak butuh keteranganmu, Prabima!" jawab Kirana dengan ketus, tanpa
keramahan sedi-
kit pun. "Tapi aku yakin...." pemuda itu melirik sinis.
"Kau pasti membutuhkan keterangan di mana
bunga Teratai Wingit itu, bukan?"
Sebenarnya saat itu Kirana ingin membelalak-
kan mata karena kaget. Ada rasa penasaran juga
yang menggumpal di dalam hatinya, namun ia
bertahan untuk tetap setenang mungkin, dan ber-
bicara dengan ketus:
"Aku tahu, kaulah pencurinya, Prabima" Kirana cepat mengambil kesimpulan tentang
siapa yang mencuri bunga itu.
"Aku tahu segala kelicikanmu, dan sekarang
kau mau apa"!" tantang Kirana dengan penuh keberanian.
"Bagaimana kalau bunga itu kukembalikan
padamu?" Kirana tetap menjawab dengan ketus. "Tidak
perlu...!"
Prabima berkerut dahi. Pemuda itu dari dulu
mencintai Kirana, dari sejak ia menjadi murid ke-
sayangan almarhumah ibu Kirana. Tetapi Kirana
tak pernah mau melayani cintanya. Kirana justru
menjauhi Prabima setelah ia tahu bahwa murid
kesayangan mendiang ibunya itu telah lama men-
gincar dirinya. Bahkan hubungan Kirana dengan
Pendekar Pusar Bumi yang juga berjuluk Malaikat
Pedang Sakti itu selalu diganggunya. Prabima ti-
dak rela Kirana jatuh dalam pelukan Lanangseta,
atau si Pendekar Pusar Bumi. Sebab itu, segala
cara ia tempuh untuk mendapatkan kehangatan
cinta Kirana. Syarat dari perkawinan itu adalah memakan
bunga Teratai Wingit dari dalam Goa Malaikat.
Tanpa itu, Kirana tak akan dapat berumahtangga
dengan Lanangseta, sebab darah Kirana hanya bi-
sa bercampur dan menghasilkan keturunan den-
gan darah leluhurnya. Tapi jika Lanangseta telah
memakan bunga tersebut, maka darahnya akan
berubah dan akan bisa menjadi satu dengan da-
rah Kirana, sehingga mereka pun akan bisa meng-
hasilkan keturunan dan Kirana tidak akan mati
dalam seminggu setelah perkawinannya. Sebab
itulah, kendati usianya sudah dibilang cukup,
namun Kirana belum mau jatuh cinta dan meni-
kah dengan pemuda lain, apalagi seperti Prabima.
Namun kini, Malaikat Pedang Sakti telah muncul
dan membuat cinta bersemi di hatinya. Sebab itu,
pendekar tampan berambut panjang itu harus
mengambil bunga teratai Wingit dari Goa Malaikat, dan itu sudah dilakukan oleh
Lanangseta. Namun,
pada malam sebelum hari perkawinan tiba, bunga
itu telah dicuri seseorang. Orang berkerudung
yang mencuri bunga tersebut tak lain adalah Pra-
bima. Ia berharap dengan mendapatkan bunga te-
ratai itu, maka Kirana tak dapat menikah dengan
Lanangseta. Dan hanya kepada Prabima sajalah
Kirana dapat bersuami, sebab hanya Prabima yang
akan memakan bunga tersebut dan darahnya bisa
menyatu dengan darah Kirana.
Jadi bunga teratai yang dicuri Prabima itu kini
menjadi senjata ampuh untuk membuat Kirana
berlutut dan mau menikah dengannya. Tetapi apa
kata Kirana pada waktu itu" Dengan suara lan-
tang dan penuh dendam yang terdekap di dada,
Kirana berkata:
"Ambillah bunga itu, dan tak perlu kau kembalikan lagi. Karena calon suamiku
itulah yang akan merebut dari tanganmu. Sudah ku pesan padanya,
agar jangan lupa persembahkan padaku maskawin
lain, yaitu kepalamu! Itulah maskawin yang ber-
harga bagiku, Prabima."
Pemuda itu menjadi gusar. Ia merasa dihina,
diremehkan di depan banyak orang. Namun, seka-
lipun hatinya meledak ingin marah Prabima tetap
mencoba untuk bersabar. Ia hanya tersenyum ma-
sam, seakan tak merasa dihina.
"Suamimu tak akan berhasil mengalahkan
aku, Putri. Camkan dan ingat kata-kataku : dia tidak akan berhasil mengalahkan
aku. Percayalah,
aku yang sekarang, bukan aku yang dulu. Kau be-
lum mengenal betul siapa aku yang sekarang."
Kirana membalas senyum masam dalam
keangkuhan. Ia berkata, "Kalau toh Lanangseta gagal memenggal kepalamu, maka aku
akan me-nyebar sayembara ke seluruh pelosok dunia, ba-
rang siapa mampu memberikan maskawin padaku
berupa kepalamu, maka aku akan bersedia men-
jadi istrinya sepanjang masa. Siapa pun orangnya, bagaimana pun ujudnya, kalau
memang ia datang
dengan membawa kepalamu yang pantas buat
sumpal jamban itu, sekali pun ia seekor gorila,
aku tetap akan mencintainya dan kawin dengan-
nya." Merah wajah Prabima mendengar ucapan itu.
Nafasnya mulai memburu disekap nafsu kemara-
han. Sekalipun demikian Prabima tetap menjaga
ketenangannya. "Siapa pun tidak akan berhasil memenggal ke-
palaku, tahu kau, Putri"!"
"Kalau begitu akulah yang akan memenggal
kepalamu!" kata Kirana dengan tegas.
Prabima memandang penuh kegeraman. Kira-
na tetap berdiri dengan tegap, kaki terentang sedikit dan kedua tangannya
bersilang di dada. Da-
gunya sedikit terangkat, matanya yang bertepian
hitam itu bagai menantang suatu pertarungan.
Prabima mendekat dan berkata dengan angkuh:
"Apa kau bisa memenggal kepalaku" Apa bi-
sa?" "Apa kau perlu bukti..." Nih... heaat!"
Sebuah pukulan yang tak terduga melesat dari
tangan Kirana dan mengenai rahang Prabima. Pe-
muda itu oleng ke kiri dan kakinya menendang
putar ke arah Kirana. Tapi oleh Kirana kaki itu
bagai hanya ditepiskan saja.
Lalu dalam keadaan tubuh Prabima terbung-
kuk oleng ke kiri itu, Kirana melihat ada peluang di pinggang Prabima. Kakinya
segera menendang
dalam bentuk tendangan samping.
"Aauhh...!"
Prabima terpental dan jatuh ke tanah sambil
mengaduh. Ia memegangi pinggangnya yang terasa
mau patah. "Ilmumu masih belum seberapa, Monyet bu-
suk...!" kata Kirana sambil mendekati Prabima
dengan langkah mantap. "Aku tahu semua jurus yang diajarkan ibu kepadamu, tapi
itu tidak cukup untuk membuat kau menjadi bajingan tengik!"
Sebuah tendangan kembali menerjang wajah
Prabima. Tendangan itu cukup keras dan mem-
buat bibir Prabima berdarah. Prabima bergegas
bangun dan berdiri siap diserang. Namun Kirana
tidak menyerangnya. Kirana hanya diam, mem-
perhatikan Prabima yang sibuk menghapus darah
dari bibirnya itu.
"Dengar, Putri...! Kau akan menyesal memper-
lakukan aku demikian. Kau akan menyesal! Sebab
sebentar lagi bunga itu akan ku makan, dan
hanya akulah laki-laki yang bisa kawin denganmu.
Hanya akulah nantinya laki-laki yang bisa membe-
rikan keturunan kepadamu, Putri!"
Kirana mulai diliputi kegelisahan. Gawat juga
kalau sampai Prabima memakan bunga teratai
Wingit itu. Jelas, hanya Prabima yang dapat mem-
berikan keturunan dan hanya pemuda itulah yang
bisa menjadi suaminya. Apakah sudah menjadi
garis ketentuan hidupnya bahwa ia harus meni-
kah dengan lelaki yang sama sekali tidak dicin-
tainya" Tidak. Sebelum Prabima memakan bunga itu,
Kirana harus bisa membunuhnya, supaya bunga
tersebut tidak dimakan oleh lelaki mana pun, ke-
cuali Lanangseta.
"Kau memang biadab...!" seru Kirana dengan bergerak melompat dan melayang bagai
anak panah menuju Prabima.
Pemuda itu menghindari serangan Kirana den-
gan cara melompat ke kiri lalu bersalto ke depan
beberapa kali. Kirana tak mau menyerah, ia juga
bersalto mengejar Prabima. Kakinya tepat menda-
rat di depan Prabima, lalu dengan segera ia me-
lancarkan beberapa pukulan bertubi-tubi ke wajah
Prabima. "Tap... tap... tap...!" Prabima berhasil menangkis semua pukulan Kirana, malahan
kini salah sa- tu pukulan kiri Prabima sempat menghantam pe-
rut Kirana. Kirana mundur.
Sambil berbalik mundur, kaki Kirana melayang
cepat ke wajah Prabima sehingga pemuda itu
menggeragap sementara waktu. Ia mengibaskan
kepalanya karena pandangan mata menjadi ber-
kunang-kunang. Saat itulah, Kirana melompat sa-
tu kali dan mengibaskan kaki kirinya, namun se-
benarnya kaki kanan yang tiba-tiba maju menen-
dang dagu Prabima. Pemuda itu meringis kesaki-
tan karena tendangan Kirana begitu telak menge-
nai dagunya. Dengan bersalto ke belakang dua kali, Prabima
mengatur jarak serang agak tak terlalu dekat. Te-
tapi belum sempat Prabima mengatur keseimban-
gan tubuhnya, tiba-tiba kaki Lande menghentak
ke tanah dengan kuat. Jurus Paku Jagat dilancar-
kan cepat. Tenaga dalam yang hebat meluncur
melalui kedalaman tanah dan menjebol ke atas,
sehingga membuat Prabima terpental ke atas.
Pada saat tubuh Prabima melayang, Kirana se-
gera mengambil selembar daun kering. Daun itu
segera diluncurkan ke arah Prabima, melesat ce-
pat menggores tumit Prabima. Daun yang telah di-
isi dengan tenaga dalam itu berubah bagai sebilah pisau tajam yang mampu
memotong kayu sebesar
apa pun. Dan pada saat ini, tumit Prabima yang
menjadi sasaran. Tumit itu robek dan terluka da-
lam. Prabima menjerit kesakitan, lalu berdiri dengan terpincang-pincang. Kaki
kanannya berdiri
menginjak tanah, sedang kaki kirinya dikibas-
kibaskan karena darah banyak yang keluar. Posisi
berdiri itu dimanfaatkan oleh Bonang untuk me-
nyerang kaki kanan Prabima. Prabima terpelanting
jatuh karena kaki kanannya disapu kaki Bonang
sekuat tenaga hingga terasa mau patah.
"Kau harus mati, Jahanam...!" teriak Kirana.
Lalu sebuah pukulan mengarah ke wajah Prabima.
Prabima bergegas bangkit, namun terlambat. Tan-
gan Kirana telah sempat menghantam keningnya
dengan keras. Disusul sebuah kibasan tangan Ki-
rana yang bagai memenggal rusuk Prabima den-
gan keras. Prabima tak sempat berteriak kesakitan. Ia
hanya terguling-guling di tanah, lalu melentik
tinggi dan bersalto dua kali. Kini ia berdiri di tempat yang agak jauh dari
Kirana. Tiba-tiba tubuh-
nya berubah menjadi kabut tipis, kian lama kian
tebal, dan menghilang.
Kirana dan yang lainnya tercengang menyaksi-
kan keajaiban tersebut. Tubuh Prabima bagai ter-
telan kabut, dan entah ke mana. Kini yang ada
hanya suaranya. Suara di sela tawa yang terden-
gar dengan jelas oleh setiap orang:
"Aha... Putri Bukit Badai yang cantik... ru-
panya tak ada cara lain yang harus kupakai, ke-
cuali dengan jalan pintas menuju gerbang hati-
mu...." suara ini berkumandang, seperti memantul ke segala penjuru dunia.
"Putri... tunggu saat ke-datanganku lagi. Aku akan datang dengan darah
yang siap campur dengan darahmu. Ha, ha, ha....
Bunga itu akan ku makan, dengan begitu hanya
akulah yang pantas menjadi suamimu, Putri can-
tik. Akulah yang bisa memberikan keturunan pa-
damu, untuk melangsungkan keturunan leluhur
Bukit Badai ini. Hanya aku. Ya, hanya aku yang
mempunyai darah sama dengan leluhur Bukit Ba-
dai. Nah, sampai jumpa dalam waktu dekat. Aku
pasti datang setelah memakan bunga teratai Win-
git itu...."
"Keparat kau, Prabima...!!" seru Kirana dengan geram. "Prabima...! Hadapi aku.


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menantang-mu! Mari kita bertarung, sekarang juga. Kalau aku kalah, kau boleh
ambil aku sebagai istrimu. Itu ta-ruhan ku...!"
"Rasa-rasanya lebih enak istirahat di rumah
sambil memakan bunga itu, Putri.... Selamat ting-
gal...." "Prabimaaa...!" teriak Kirana kelabakan. "Prabima, perlihatkan ujudmu...! Jangan
pergi, Prabi- ma!" Kirana memandang kian ke mari dengan tegang. Orang-orang itu juga memandang
ke sana sini, mencari-cari kemunculan Prabima. Tapi lelaki itu agaknya telah pergi.
Tidak di tempat itu lagi.
Kirana berteriak berulangkali dengan kemarahan
yang sangat menyesakkan pernafasan. Tapi Pra-
bima tetap hilang. Kabut itu pun lenyap tanpa be-
kas. "Bangsat itu menguasai ilmu Halimun...." ujar Lande.
"Bukan," jawab seseorang di ambang pintu.
Oh, rupanya Sabdawana telah keluar dari kamar
semadi. "Dia menguasai ilmu iblis yang bernama : Siluman Raga Muspra...!"
Kirana menghampiri ayahnya dengan cemas.
"Ayah... ia mengancam akan memakan bunga
itu...!" Sabdawana yang lebih berwibawa itu men-
gangguk. "Ayah mendengar ucapannya."
"Tapi... tapi aku tak mau kawin dengannya,
Ayah." "Itu yang harus kita pikirkan di dalam. Ayo...."
Sabdawana mengajak putrinya masuk dengan si-
kap penuh ketenangan.
2 LUDIRO, bekas pengawal setia Putri Ayu Sekar
Pamikat yang sekarang sudah menjadi orang suci
di dalam Goa Malaikat, kini ia sedang menyusul
Lanangseta ke arah menuju Pulau Kramat. Ia ber-
jalan bersama Jaka Bego, yang sudah bebas dari
tahanan dalam kapal Laksamana Chou, dan
Huang Pai, seorang algojo Laksamana Pau yang
akhirnya memihak pada Jaka Bego.
Huang Pai menceritakan kehebatan Jaka Bego
yang mampu melarikan diri dari kapal Laksamana
Chou dengan berjalan di atas permukaan air. Te-
tapi, sekali lagi Ludiro tersenyum masam, pertan-
da ia tidak mempercayai cerita itu.
"Kalau Tuan Dewa ini tidak sakti, saya tidak mau ikut dia, Paman Ludiro," kata
Huang Pai dalam aksen Cinanya.
"Tuan Dewa..." Kau memanggil dia Tuan De-
wa?" Ludiro heran-heran geli. "Orang seperti ini dipanggil Dewa!" seraya Ludiro
menjulekkan kepala Jaka Bego. Jaka Bego terdorong ke depan dan
hampir jatuh. "Jangan begitu, Paman," katanya seraya bersungut-sungut.
Huang Pai terkejut. Lalu ia menceritakan kea-
daan Jaka Bego ketika anak itu diberi setetes ma-
du. Jaka Bego menjadi mengantuk, dan tertidur.
Dalam tidurnya itu ia bicara terus, menyebut di-
rinya sebagai Dewa Seribu Mimpi. Bahkan dalam
keadaan tidur itu Jaka Bego menunjukkan kehe-
batan ilmu silatnya, bahkan mampu berjalan di
atas air selama dalam pengejaran. Juga mampu
melompat dari darat ke atas pohon kelapa yang
tinggi sebagai tempat persembunyian mereka (da-
lam kisah KUTUKAN JAKA BEGO).
"Saya alami sendiri hal itu bersamanya, Paman Ludiro." Huang Pai menegaskan.
Ludiro sama sekali tak percaya. Ia tertawa dan
melirik Huang Pai yang bermata lebar, namun
masing-masing ujungnya tertarik ke atas, sehing-
ga menandakan betul bahwa ia keturunan dari
Tiongkok. "Jangan percaya dengan omongan dia," kata Ludiro. "Dia cukup ahli kalau disuruh
menipu. Malahan dulu pernah kusarankan agar nama Jaka
Bego diganti Pendekar Tipu Muslihat. Itu lebih co-cok bagi orang yang gemar
makan tapi tidak bisa
gemuk, seperti dia itu...!" Ludiro tertawa lagi, tapi Jaka Bego hanya bersungut-
sungut, tak punya
wibawa dan penampilan yang meyakinkan sebagai
Dewa Seribu Mimpi. Huang Pai sedikit bingung.
Jaka Bego mendekati Huang Pai dan berbisik:
"Sudah kubilang, jangan bilang sama siapa
pun, Tolol. Aku malu...."
"O, ya... maaf, saya tidak ingat kalau itu tipuan Anda, Tuan Dewa."
"Jangan panggil itu lagi! Hapuskan dari ingatanmu. Panggil saja seperti
biasanya: Jaka Bego,
begitu!" geram Jaka Bego dalam bisikan sewaktu Ludiro berjalan di depan mereka.
Hari semakin sore. Jaka Bego merasa kesal
menempuh perjalanan ke Pulau Kramat itu. Se-
bentar-sebentar ia bertanya kepada Ludiro: "Apakah masih jatuh tempatnya?"
Ludiro selalu menjawab, "Sudah dekat."
Tapi nyatanya mereka dari tadi pagi sampai
sore jalan terus, tak sampai-sampai. Akhirnya
dengan jengkel Jaka Bego berkata:
"Paman, sebetulnya berapa malam kita harus
berjalan kaki untuk mencapai Pulau Kramat itu?"
"Mana aku tahu?" jawab Ludiro. "Aku belum
pernah ke sana. Baru kali ini akan ke sana."
"Huhhh...!" Jaka Bego cemberut kesal. Ia berhenti dan duduk di bawah pohon. "Aku
tidak ikut sajalah...." katanya.
"Baiklah," jawab Ludiro. "Dan aku akan menjawab tidak tahu tentang kamu, jika
nanti aku singgah ke rumah pak Lodang, lalu Mahani mena-
nyakan kamu, ya?"
Jaka Bego bergegas bangun dari duduknya,
"Jadi nanti kita akan singgah dulu ke rumah Mahani"! O, kalau begitu aku
ikutlah...." Jaka Bego meringis dan mau berjalan lagi.
Namun ketika mereka sampai di rumah pak
Lodang, suasana di sana menjadi lain. Rumah pak
Lodang penuh orang. Wajah-wajah cemas dan se-
dih saling berkasak-kusuk di depan rumah. Ludiro
segera mendesak kerumunan orang untuk masuk
ke dalam rumah pak Lodang, sementara itu Huang
Pai menemani Jaka Bego bertanya kepada seseo-
rang. "Ada apa di dalam itu, Pak" Apa yang terjadi?"
Jawab orang itu, "Mak Lodang pingsan, lalu
kesurupan."
"Kesurupan"!" Jaka Bego mulai tegang, ia memandang Huang Pai yang ikut berkerut
dahi. Lalu, mereka menerobos kerumunan orang di pintu.
"Hei, itu dia pencuri yang kita kejar-kejar tempo hari!" seru seseorang kepada
temannya sambil menuding Jaka Bego.
"Kita hajar sekarang saja," sahut yang lain.
"Jangan. Dia bukan pencuri. Pak Lodang kan
sudah menjelaskan bahwa dia sebenarnya bukan
pencuri, tapi seorang pendekar kebetulan."
"Tapi tampangnya kok seperti pencuri?"
"Yahh... mungkin memang orang tuanya dulu
senang bentuk tampang seperti itu, jadi yang dice-
tak begitu...."
Jaka Bego sebenarnya ingin membentak ka-
sak-kusuk itu, tapi rasa penasaran ingin tahu
keadaan sebenarnya membuat ia menganggap ka-
sak-kusuk itu tak perlu ditanggapi. Ia lebih penting segera bergabung dengan
Ludiro yang sedang
mendapat keterangan dari pak Lodang.
"Mulanya cuma pingsan...! Pingsan biasa!" ka-ta pak Lodang dalam kebingungannya
yang panik. "Tapi begitu sadar, ia jadi bersuara lelaki dan...
dan kami segera menyimpulkan bahwa dia kesu-
rupan." "Mak Lodang pingsan karena apa, Pak?" tanya Jaka Bego.
"Itu... anu...." Pak Lodang gugup. "Gara-gara Mahani...."
"Mahani" Ada apa dengan Mahani?" "Mahani...
ah, anak itu memang picik!" geram pak Lodang.
"Jadi masalahnya begini, Ludiro... Tadi pagi aku bicara kepada ibunya Mahani,
bahwa Lanangseta
mau kawin tapi gagal. Bunga sebagai syarat per-
kawinan dicuri orang, dan pencurinya pergi ke Pu-
lau Kramat. Lalu Lanang lari mengejar ke Pulau
Kramat. Nah, pada waktu itu rupanya Mahani
menyimak pembicaraan kami. Ia menangis men-
dengar Lanang mau kawin dengan Putri Bukit Ba-
dai. Lalu... lalu...."
"Lalu bagaimana"!" desak Jaka Bego tak sabar.
"Lalu... beberapa saat tadi, Mahani meminjam kuda tetangga dan ia minggat. Dia
minggat entah ke Pulau Kramat menyusul Lanangseta, atau ke
rumah Putri Bukit Badai itu. Sebab, kata tetangga yang kemarin ikut ke rumah
Lanang, dia meminjam kuda sambil menangis dan menanyakan tem-
pat rumah Lanang kepada tetangga kami itu. Ta-
hu-tahu... ia pergi begitu saja tanpa pamit kepada
kami.... Ibunya jadi kaget. Maklum ia suka berde-
bar-debar, jantungnya sering deg-degan jika ada
masalah apa saja. Kemudian... ibunya Mahani
pingsan dan... dan...."
"Apa Bapak punya tulang babi...?" tiba-tiba Huang Pai ikut bicara.
"Apa maksudmu, Huang Pai?" tanya Ludiro.
"Saya biasa menyembuhkan orang kesurupan
dengan tulang babi. Kalau memang ada, biarlah
saya yang menangani ibu itu," jawab Huang Pai dengan penuh keyakinan.
"Kalau begitu, sebentar... saya mintakan kepa-da tetangga saya yang punya
peternakan babi...!"
Pak Lodang segera keluar dan berseru kepada be-
berapa tetangganya. Waku itu, Mak Lodang men-
delik-mendelik bagai setan hendak berontak dari
pegangan empat lelaki.
"Huang Pai...." kata Jaka Bego setelah terbengong sesaat." Kau bantu pak Lodang
di sini ya"
Aku mau mengejar Mahani...!"
"Jak, tunggu...!" cegah Ludiro.
"Paman, saya tidak ingin Mahani mendapat
halangan apa pun di perjalanan. Saya harus me-
nyusul dan melindunginya. Biar saya mengejar
sendiri, Paman."
"Jangan, Jaka. Pulau Kramat cukup berba-
haya...!" "Demi keselamatan Mahani, saya bersedia me-
nempuh bahaya apa pun...!" setelah bicara begitu, Jaka Bego langsung keluar dan
Ludiro mengejar-nya setelah berkata kepada Huang Pai:
"Jangan pergi-pergi sebelum kami kembali,
Huang Pai!"
"Baik, Paman...!" jawab Huang Pai dengan wajah tegang.
Ludiro tahu, Jaka Bego benar-benar menaruh
hati kepada Mahani. Tetapi agaknya Mahani lebih
tertarik kepada Lanangseta. Itu memang wajar. Te-
tapi yang tidak wajar ialah Jaka Bego sendiri. Menurut Ludiro, Jaka Bego kurang
bisa mawas diri.
Ia hanya memburu rasa cinta tanpa mempertim-
bangkan keserasian wajah dan kondisi pasangan-
nya. "Tapi yang namanya cinta memang sering
membuat hati manusia menjadi buta," pikir Ludiro. Ia menghempaskan nafas sambil
melihat gera- kan lari Jaka Bego begitu penuh semangat dan te-
kad. Ludiro hanya mengikutinya dari belakang,
sekali pun sebenarnya Jaka Bego sudah mengeta-
hui, bahwa Ludiro mengikutinya, namun agaknya
Jaka Bego tidak mau diusik ketegangannya. Ia
tampak benar-benar mencemaskan keselamatan
Mahani. Pulau Kramat, bagi penduduk desa Tayub ter-
nyata sudah bukan tempat aneh lagi. Bagi para
nelayan, Pulau Kramat merupakan pulau yang se-
lalu diingat untuk tidak didekati. Semua pendu-
duk desa Tayub mengetahui di mana letak pulau
itu, tapi tak seorang pun yang berani dengan sen-
gaja mendekati pulau tersebut, kendati konon di
perairan Pulau Kramat terdapat banyak ikan ke-
timbang di perairan lainnya. Namun kemisterian
dan keseraman pulau tersebut membuat dongeng
turun-temurun yang dituturkan kepada generasi
ke turunan masyarakat Desa Tayub, lalu mereka
berkesimpulan, jika ingin selamat, jika tidak ingin ditelan hantu, jangan
berlayar dekat Pulau Kramat. Sebab itulah, kepergian Mahani ke Pulau
Kramat itu membuat ibunya panik dan pingsan.
Sebab itu juga, wajah-wajah penduduk desa Tayub
menjadi tegang dan was-was mendengar kabar
bahwa Mahani lari mengejar kekasihnya ke Pulau
Kramat. Sebegitu dalamkah cinta Mahani kepada La-
nangseta" Sebegitu kuatkah Mahani memendam
cinta itu dan baru sekarang orang tuanya menge-
tahuinya" Menurut Ludiro, Mahani sama piciknya
dengan Jaka Bego. Mereka tidak mau memikirkan
tentang keselamatan diri sendiri demi mengejar
cintanya yang tertiup angin ke arah Pulau Kramat.
Jaka Bego seorang lelaki, mungkin bisa saja men-
gatasi kesulitan demi mengejar kasihnya kepada
Mahani. Tetapi bagaimana dengan Mahani" Dia
seorang perempuan tanpa bekal ilmu silat sedikit
pun, mampukah dia menjaga diri sendiri dalam
mengejar cintanya kepada Lanangseta"
Ludiro jadi berhenti dari jalannya ketika ia me-
lihat Jaka Bego merunduk-runduk di balik semak
belukar. Ludiro mendekat, dan berbisik:
"Ada apa?"
"Ssstt...!" Jaka Bego hanya memberi isyarat dengan jari telunjuknya yang
ditempelkan di bibir.
Ludiro manggut-manggut setelah ia tahu apa
yang diintai Jaka Bego. Ia mendengar suara dua
perempuan yang sedang bertengkar. Lewat celah
dedaunan, Ludiro dapat melihat dua perempuan
itu adalah Mahani, dan seorang gadis bermata ke-
cil, dengan wajah dan hidung serta bibirnya mun-


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gil, cantik. Gadis itu berpakaian kuning dengan
bunga-bunga warna merah, dari bahan kain
mengkilap yang halus. Rambutnya tersanggul rapi;
mengenakan tusuk konde dari kayu cendana, dan
pada bagian pelipisnya kanan kiri terdapat bebe-
rapa rambut yang terjulur sampai di bawah telin-
ga. Rambut itu melingkar, meliuk-liuk bagai akar
yang lembut. Dan rambut itu pula yang membuat
gadis Cina itu kelihatan cantik menawan hati.
Sementara itu, Mahani mengenakan celana
dan baju longgar lengan panjang. Warnanya abu-
abu, mengenakan ikat kepala dari kain merah, se-
perti seorang pendekar yang siap bertempur sam-
pai titik darah penghabisan. Mahani menarik-
narik tangan pemuda ganteng, tapi gadis Cina itu
memegangi tangan pemuda itu yang sebelahnya.
Seakan gadis Cina itu mempertahankan barang
miliknya yang hendak direbut Mahani.
"Itukah gadis putri Laksamana Chou, Paman?"
tanya Jaka Bego.
"Kurasa begitu. Gadis itulah yang bernama Yin Yin. Dari wajah dan potongan
pakaiannya yang
berleher tertutup itu kita bisa mengetahui bahwa
dia gadis Cina."
"Tapi mengapa mereka jadi berebut Lanangse-
ta, ya" Maksudku, mengapa Lanangseta ternyata
mengenal Yin Yin" Padahal menurut pengakuan
Lanang, dia tidak pernah bertemu dengan gadis
yang bernama Yin Yin. Tapi...."
"Ssst...! Itu bukan Lanangseta!" kata Ludiro.
"Bukan Lanangseta, bagaimana" Apa pengliha-
tan Paman sudah kabur" Jelas pemuda itu ada-
lah...." "Dia adik kembar Lanangseta. Aku mengenal-
nya waktu ia terluka di Goa Malaikat...." (dalam Kisah RAHASIA SENDANG BANGKAI
dan MISTERI GOA MALAIKAT). Jaka Bego manggut-manggut dengan mulut
melongo. Ia baru sekarang diberitahu bahwa La-
nangseta mempunyai saudara kembar yang wajah
dan potongannya sama persis dengan Lanangseta.
Kata Ludiro masih dari balik semak-semak.
"Dia itulah yang bernama Ekayana...."
"Ekayana..."!" Jaka Bego makin berkerut dahi.
"O, pantas waktu itu Laksamana Chou menyiksa-ku untuk mencari keterangan di mana
pemuda yang bernama Ekayana berada. Kukira mereka sa-
lah menyebutkan nama Lanang menjadi Ekayana.
Wah, untung bukan aku yang bernama Ekayana
ya?" "Pemuda itu bergelar Pendekar Maha Pedang."
"Pendekar Maha Pedang"! O, kalau begitu ia
mempunyai permainan silat berpedang yang cu-
kup hebat, ya?"
"Memang...! Eh, lihat... Yin Yin ditampar oleh Mahani. Aduh, kasihan dia...!"
"Ayo, kita bantu menyelesaikan kesalahpaha-
man itu. Mahani pasti mengira Yin Yin merebut
Lanang dari hatinya." Lalu, sambil bergegas keluar dari persembunyian, Jaka Bego
bicara sendiri dalam gumam, "Mahani, Mahani... kenapa kau berebut hati pemuda
itu sedangkan ada hati pemuda
lain yang sedang nganggur menunggu usapan ka-
sih mu. Hatiku inilah yang sedang nongkrong
mencari tempat untuk berlabuh.... Wih, kok syair-
ku seperti kapal ikan saja, pakai berlabuh...." ujar Jaka Bego sendirian.
Sementara itu, Mahani masih dibungkus ke-
cemburuan yang meluap dan menuding-nuding
Yin Yin. "Kalau tidak mampu cari kekasih, beli saja di tempat lain. Tapi jangan merebut
kekasih orang!."
"Kamu yang merebut kekasihku! Ini kekasih-
ku, bukan kekasihmu!" balas Yin Yin sama galak-nya. "Aku lebih dulu mengenai
Lanangseta! Aku lebih dulu menaruh hati kepada pemuda ini...!
"Tidak bisa! Mungkin memang kau lebih dulu
menaruh hati kepadanya, tapi aku sudah lebih du-
lu menerima benih bayi darinya!"
"Oooh..."! Jadi kau telah mengandung"
Mengandung karena perbuatannya"!" Mahani
tercengang kaget sambil menuding Ekayana yang
cengar-cengir saja.
Mahani memandang marah kepada Ekayana
yang disangka Lanangseta. Air matanya mulai me-
nitik dan ia menampakkan betul sakit hatinya.
Dengan tandas ia berkata:
"Lanang.... Kau kejam! Kau biadab! Kau han-
curkan semua impian dan dambaan ku dengan
menghamili gadis itu, Lanang!"
"Aku bukan Lanang, Nona manis...." jawab Ekayana dengan tersenyum geli sendiri.
"Hahh...! Kau sekarang bahkan mengkhianati
dirimu sendiri dengan mengaku bukan Lanang!"
"Betul. Aku bukan Lanangseta!"
"Mustahil! Nyatanya kau bisa menghamili ga-
dis itu! Itu berarti kau Lanang!" geram Mahani, dan Ekayana semakin tersenyum
geli. "Dia Ekayana...!" cetus Ludiro yang muncul dari semak bersama Jaka Bego.
"Oh, Paman Ludiro..."!" Mahani dan Ekayana nyaris berseruan bersamaan. Mahani
segera menghambur kepada Ludiro, dan Jaka Bego su-
dah terlanjur mengembangkan kedua tangannya
siap dipeluk Mahani dalam tangis, ternyata Maha-
ni bahkan memeluk Ludiro dalam tangisnya...
"Dia menghancurkan hati saya, Paman. Dia....
Lanang telah menghamili gadis Cina itu dan... dan ia tak mau mengenal saya lagi.
Oooh... sakit sekali hati saya, Paman...."
Ludiro melerai tangis Mahani. "Segalanya akan ku jelaskan padamu, Mahani...."
"Paman Ludiro," kata Ekayana. "Agaknya gadis itu salah alamat, Paman. Tolong
jelaskan bahwa aku bukan Lanang...!"
"Bohong...!" bentak Mahani.
Jaka Bego yang berdiri di dekat Ludiro ikut
berkata: "Betul, Mahani. Dia bukan Lanang, aku tahu
persis cara Lanang memandang perempuan. Ia
akan menatap mata perempuan. Sedangkan orang
ini selalu melirik belahan dadamu, Mahani. Dia
bukan Lanang."
Mahani mencengkeram baju Jaka Bego dengan
marah, "Kau tidak tahu apa-apa, Bego! Kau tidak punya rasa kasih yang dapat
membedakan mana
Lanang dan mana yang bukan. Tapi aku... aku
punya cinta kepadanya, aku tahu bahwa dia La-
nangseta, buktinya gadis itu bisa hamil dengan-
nya...." "Mahani..." kata Jaka Bego tenang. "Bukan hanya Lanang yang bisa menghamili
perempuan. Terus terang... aku sendiri bisa!"
"Haah...!" Mahani gemas sendiri lalu mendorong tubuh Jaka Bego. Tapi Jaka Bego
masih ber- sabar, bahkan berkata:
"Soal hamil-menghamil... jangan sangsikan ke-saktianku untuk itu. Aku berani
menjamin, dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya gadis mana pun
bisa hamil denganku. Tidak hamil, uang kembali!"
"Baik! Baik...!" teriak Mahani yang sudah seperti orang kesurupan. Ia menuding-
nuding Jaka Bego. "Akan kubuktikan kata-katamu.!"
"Hahh..."!" Jaka Bego membelalak senang.
"Akan kubuktikan kata-katamu. Di rumahku
ada seekor kambing perempuan! Nah, buktikan
kesaktianmu yang kau katakan tadi! Buktikan,
Orang kurus!" bentak Mahani.
Jaka Bego terbengong melompong.
"Aku disuruh menghamili kambing perem-
puan"! Ah, yang benar saja, Mahani.... Kamukan
bukan kambing, mana bisa disamakan...!"
Ludiro melerai kesalahpahaman mereka. Den-
gan sabar dan bersikap sebagai penengah yang
adil, Ludiro berkata:
"Mahani, Lanangseta mungkin belum pernah
bercerita padamu, bahwa ia mempunyai saudara
kembar, yaitu adiknya yang berwajah serupa. Na-
manya, Ekayana. Dan ini, pemuda ini, namanya
Ekayana. Ia bergelar: Pendekar Maha Pedang, se-
dangkan kalau Lanang bergelar Pendekar Pusar
Bumi. Jadi, jangan salah duga. Memang Ekayana
mempunyai wajah dan potongan tubuh yang sama
persis dengan Lanangseta, tapi dia bukan Lanang-
seta. Percayalah padaku, Mahani.... Dalam usiaku
yang sudah lanjut ini, untuk apa aku menipu
hanya karena membela persoalan cinta seperti
ini...." Mahani tertegun sejenak, lalu menangis ter-
sengguk-sengguk.
"Jadi... jadi di mana Lanangseta" Bukankah
kata ayah dia juga ingin menikah dengan seorang
gadis Bukit Badai" Oh, tidak Paman... aku harus
menemuinya. Dia harus tahu bahwa akulah pe-
rempuan yang paling mencintainya, sekali pun hal
itu belum pernah ku lontarkan padanya...."
"Lanangseta pergi ke Pulau Kramat!" sambung Jaka Bego tanpa diminta. "Dia harus
merebut bunga teratai, supaya dia dapat kawin dengan pu-
tri Bukit Badai!"
"Tidak!" teriak Mahani membuat Jaka Bego ter-loncat mundur. "Dia tidak boleh
kawin dengan siapa pun! Dia tidak boleh ke Pulau Kramat yang
sudah sering menimbulkan korban manusia itu...!
Tidak! Aku harus mencegahnya...!"
"Mahani...! Tunggu...!" teriak Jaka Bego, tapi Mahani tetap naik ke punggung
kuda dan memacu
kuda dengan cepat.
"Dia pasti ke Pulau Kramat, Paman. Bagaima-
na ini"!"
"Itu salahmu sendiri! Mengapa kamu bicara
asal buka bacot"!"
Ekayana ikut tegang, "Pulau Kramat"! Ba-
haya...! Kalau begitu aku harus ikut menyusulnya, Paman. Pulau itu kejam!" * * *
3 BUKIT karang di tepi laut. Warnanya putih.
Cahaya sinar bulan memantulkan warna tersendi-
ri. Bukit karang itu menjadi seperti perak. Dan
ombak laut di tepian tebing yang curam memer-
cikkan air yang menerpanya. Buih laut seperti ca-
haya mata kucing di tengah malam. Bagai kunang-
kunang bertaburan pada lidah ombak.
"Pemandangan di sini indah sekali," tutur Andini seraya memperhatikan buih-buih
ombak yang memercik. Rambutnya bergerai-gerai dipermain-
kan oleh angin laut. Tak kencang, namun cukup
menghadirkan kedinginan yang membungkus tu-
buh. "Kalau aku sudah kawin, aku ingin mempu-
nyai rumah di tepi laut seperti ini. Indaaah... sekali." Lanangseta tidak
menanggapi kata-kata gadis manja, Andini. Ia membiarkan gaun merah jambu
yang melambai bagai kilasan kabut indah itu di
terpa angin. Ia membiarkan tubuh sintal berdada
sekal itu berpeluk tangan sendiri. Ia juga mem-
biarkan angin mempermainkan rambutnya sendi-
ri, yang sesekali menutup gagang pedang Wisa
Kobra di punggungnya. Lanangseta duduk tenang,
memandang gumpalan hitam di tengah lautan.
Gumpalan hitam itulah Pulau Kramat. Pulau yang
harus dihampiri, karena di sana tersimpan bunga
Teratai Wingit, di tangan pencurinya.
Sedari tadi Lanangseta sedang berpikir, bagai-
mana caranya untuk datang ke sana. Bukan soal
kendaraannya, tapi soal keamanannya. Pulau itu
terbuka. Sosok manusia melintasi perairan laut,
akan dapat terlihat, sekalipun manusia itu berkelit dalam naungan karang-karang
yang mencuat dari
kedalaman ombak.
'Kau menyukai pemandangan indah ini, bu-
kan?" tanya Andini seraya duduk di batu karang datar, di samping Lanang. Jawaban
Lanang hanya sebaris kebisuan. Matanya masih menatap lurus
ke depan, pada gumpalan hitam di tengah lautan.
Andini semakin bergeser, lebih mendekati ke tu-
buh Lanang. "Kau memikirkan untuk membangun rumah di
sini" Dan hidup mesra di samping seorang istri
tercinta?"
Lanang belum mau menjawab, atau bahkan ti-
dak mendengar apa yang dikatakan Andini. Tapi,
Andini tak bosan memancing pembicaraan dengan
bisikan lembut:
"Kubayangkan kalau aku mempunyai rumah di
sini, dan dapat hidup bersama seorang suami se-
perti... kamu." Andini melirik, Lanang masih bungkam. "Bukan seperti adikmu,
Ekayana yang mata keranjang itu!" Andini cemberut, ketus. Tapi Lanangseta tetap
diam. Ia duduk dengan kedua
lengannya ditaruh di atas lutut, dan tubuhnya se-
dikit membungkuk. Ia seakan menunggu sesuatu
yang bakal terjadi dan sangat diharapkan. Andini
yang manja, masih berceloteh:
"Lama-lama aku bisa menilai, siapa yang ter-
baik antara adikmu dan... kakaknya. Aku bisa
menilai, siapa yang patut mendapat perhatian
khusus dariku, kau atau Ekayana. Dan ternyata,
setelah kupelajari... kaulah yang terbaik dari segalanya."
Andini memandang Lanangseta terang-
terangan. Tetapi Lanangseta tak ubahnya seperti
patung bernyawa. Diam, tidak bergerak, tapi tetap bernafas. Andini sengaja
memandangnya dari jarak dekat, supaya wajah halus berhidung bangir


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dapat lebih bisa dinikmati lagi dalam taburan cahaya rembulan malam.
Andini bergumam sendiri, pelan sekali.
"Kau... punya pesona yang tak mungkin bisa
dilupakan oleh setiap wanita. Aku menemukan pe-
sona itu sekarang. Aku tahu, mengapa hatiku ser-
ing berdebar-debar sejak kita berada di dalam Goa Malaikat itu. Ternyata...
ternyata ini yang membi-kin hatiku sering tergoda olehmu...." Andini mem-
beranikan diri menyentuh bibir Lanangseta. Ia
mengusapnya perlahan-lahan setelah Lanangseta
tidak mengelak. Ia semakin girang setelah tahu
Lanang hanya diam mematung.
Bibir itu begitu segar, seperti delima direndam
salju. Sentuhan Andini sangat lembut, sedikit
mengambang agar tidak membuat bibir itu terte-
kan. Dan kelembutan sentuhan jemarinya itu
membuat Andini semakin berdebar-debar. Detak-
detak jantungnya terasa jelas, seakan mampu
menggerakkan kain bajunya yang tipis dan lem-
but. Andini mendesah beberapa kali, tapi Lanangse-ta tetap diam. Sentuhan jemari
itu begitu pelan
dan tipis, merayap ke dagu yang halus, kemudian
ke bibir, kembali mengusap-usap seraya ia berkata dalam desah:
"Bibir ini... pernah menggoda hatiku. Bibir ini pula yang membuat aku gelisah di
sela kemesraan ku bersama Ekayana. Dan setelah ku tahu keme-
sraan itu palsu, bibir ini semakin menggoda ku."
Kini, suara Andini berubah bagai sebaris rintih pe-rawan di ambang birahi.
"Aku ingin memiliki selimut malam ini. Ingin...
sekarang pun ingin.... Ooh... Kebisuan mu sema-
kin menggoda naluri kewanitaan ku, Lanang...." Ia mendesah dan mendekatkan
wajah. "Lanang... ku-renggut kau...."
Andini yang sudah terengah-engah itu menjadi
nekad. Ia tak takut dikatakan perempuan mura-
han. Ia tak peduli akan dicaci Lanang nantinya, Ia sudah terlanjur diserap
birahi yang menjalar ke
seluruh tubuh dan membuatnya gemetar serta
merinding. Lanangseta tidak bergerak, bagai ter-
hipnotis. Ketika Andini lebih berani menempelkan
bibirnya ke bibir Lanangseta, pendekar tampan itu pun masih terpaku seperti
patung seorang pange-ran malam. Andini merasa diberi peluang untuk
menikmati kobaran birahinya. Ia mengecup bibir
Lanang beberapa kali dengan penuh penghayatan.
Ia menggigit-gigitnya dengan tipis. Sangat tipis, sehingga bibir itu bagai
mengalirkan madu surga-wi yang amat manis melenakan. Andini tak bosan
bermain lidah di permukaan bibir itu. Alam yang
sepi, debur ombak yang menyanyi, sungguh me-
rupakan irama malam penghantar kemesraan.
"Aaahh...!"
Lanangseta terpekik. Secara refleks tangannya
bergerak menepis. Gerakan itu bagai sebuah tam-
paran di wajah Andini. Lanang bangkit dan men-
gaduh, meringis menahan sakit. Ia memegangi
pinggangnya yang ternyata berdarah. Pinggang itu
robek beberapa senti. Andini membelalakkan ma-
ta. Kaget. "Lanang..."! Kenapa pinggangmu itu"!"
"Uuhhff...!" Lanangseta masih menahan rasa sakit. Ia segera meludah di telapak
tangan, lalu menempelkan ludahnya itu ke tempat yang terluka. Ia semakin
menyeringai menahan rasa perih.
"Apa yang terjadi"! Aku tidak melukaimu...!"
kata Andini yang sangat cemas dan terheran-
heran. "Memang bukan kau yang melukai ku...." kata Lanang mengerang menahan sakit.
"Lalu, kenapa kau terluka begitu"!"
"Seseorang di sana telah melukai ku."
"Apa..."! Seseorang di pulau itu..."!"
"Ya. Aku sempat bertarung dengannya. Ia
mempunyai ilmu silat yang cukup hebat, Dan pe-
dangnya berhasil melukai ku karena pusat piki-
ranku terganggu oleh perbuatanmu!" Lanangseta jadi geram, menahan kedongkolan.
Andini terbengong dalam keheranan yang tak
habis-habisnya. Ia sempat memandang pulau yang
hanya kelihatan bagai gumpalan hitam di tengah
lautan itu. Lalu ia kembali bicara kepada Lanang-
seta. "Tapi... tapi sejak tadi kau berada di sini! Kau sejak tadi diam di sini
bersamaku, dan... dan bahkan kita sedang menikmati kemesraan malam.
Aneh. Kenapa kau bilang bahwa kau bertarung
dengan seseorang di sana?"
"Raga ku di sini, tapi aku mengirim nyawaku, sukma ku ke sana. Aku menyelidiki
pulau itu dengan sukma ku, tapi karena kau mengganggu pe-
musatan pikiranku, maka aku jadi lengah dan ia
berhasil menebaskan pedangnya ke pinggangku!
Uuh... sialan kau!"
"Ooh... maafkan...." Andini masih tertegun
dengan mulut melongo dan kedua tangannya sal-
ing remat dalam kecemasan. Ia baru tahu bahwa
Lanangseta ternyata mampu mempermainkan ju-
rus yang langka, yaitu mengirimkan sukmanya
untuk bertarung jauh, sementara raganya tetap di
tempat. Jika lawan berhasil melukai sukmanya,
maka raganya itulah yang terluka. "Woow...!
Alangkah tinggi ilmunya. Alangkah sempurna," pikir Andini diam-diam.
"Jadi di sana ada manusia penghuninya"!"
Lanangseta mengangguk. "Ada beberapa
orang...."
"Beberapa orang"!"
"Ya. Perempuan semua."
"Perempuan semua"!"
Lanangseta mendesah. Rasa sakitnya berku-
rang. Ia berkata lagi, "Ia menghadang kedatangan kita."
"Menghadang"!"
"Pulau itu... mempunyai sebuah istana."
"Istana"!"
"Tapi tak dapat dilihat oleh mata manusia biasa."
"Biasa..."!"
"Berbahaya sekali jika kita berbuat seenak-
nya!" "Berbuat seenaknya"!"
"Uuh... luka ini bisa membuatku tak tahan...."
"Tak tahan"! O, ya... aku juga tak tahan...!"
"Hei, mabok laut kau ya"!" bentak Lanangseta.
Andini menggeragap, ia bagai telah bicara di luar kesadaran. Ia buru-buru
menutup mulutnya dan
berpaling malu.
"Ngomong asal cuap saja...." gerutu Lanangseta seraya melangkah mendekati tebing
bukit karang, dan matanya memandang jauh ke gumpalan hitam
di tengah samudera itu.
"Andini...!"
"Ya, Lanang..."!"
"Aku akan ke sana sendirian."
"Aku juga akan ikut sendirian."
"Tidak bisa."
"Ya, tidak bisa.'"
"Kau harus tinggal di sini."
"Aku harus ikut!"
"Andini, ini keadaan gawat. Kau tak boleh ikut ke sana, Andini!" tegas
Lanangseta. "Aku tahu, tapi aku sering berada dalam kea-
daan gawat, kau harus percaya itu."
"Aaahh...!" Lanang mendesah jengkel. "Pokoknya aku akan ke sana sendirian."
'Pokoknya aku harus ikut!"
"Kau gila!"
"Mudah-mudahan kau sadar kalau aku tergila-
gila padamu!" jawab Andini dengan bersungut-
sungut manja. Lanangseta menghempaskan nafas kesal. Ia
termenung dan berpikir dalam kedongkolannya.
Baginya, membawa Andini ke pulau itu sama saja
membawa beban seberat gunung. Lanang merasa
dapat dengan mudah datang ke sana. Ia harus
menggunakan ilmu peringan tubuh, atau meng-
gunakan jurus Lindung Bumi, yaitu amblas ke ta-
nah dan berjalan melalui dasar lautan. Tetapi ba-
gaimana dengan Andini" Apakah dia bisa"
Andini masih cemberut memunggungi Lanang-
seta. Ia duduk dengan bertopang tangan kirinya.
Lanangseta memperhatikan sejenak, lalu buang
muka dan termenung lagi.
"An...." sapa Lanangseta setelah bungkam beberapa saat. Andini hanya berpaling
sedikit, melirik Lanang dengan tetap bertopang dagu. Lanang
mendekat seraya masih mendekap luka di ping-
gangnya. "Kau bisa berenang?" tanya Lanang pelan.
"Bisa," jawab Andini malas-malasan.
"Yakin kau tidak akan tenggelam"!"
"Entahlah," jawab Andini acuh tak acuh.
"Seingatku, dulu aku sering berenang, tapi selalu tenggelam. Entah kalau
sekarang."
"Busyet! Apa bedanya dengan sekarang" Itu
berarti kau belum bisa berenang!"
"Apakah kau akan membiarkan aku tengge-
lam?" "Tentu tidak."
"Nah, itulah yang ku maksud: entah dengan
sekarang."
"Jadi maksudmu, kalau sekarang karena ada
aku kau mungkin tidak akan tenggelam" Begitu?"
Andini mengangguk, masih cemberut dan ma-
las-malasan. "Siapa bilang"! Kalau kau tak bisa berenang, biar pun ada aku ya tetap saja tak
bisa berenang."
"Apa gunanya punggungmu?" kata Andini dingin. "Jadi, kau ingin naik ke
punggungku sementara aku berenang mengarungi ombak lautan itu?"
"Apakah itu tak bisa terjadi?"
Laming mendengus kesal. Ia berdecak menam-
pakkan kedongkolannya. Lalu berkata dalam geru-
tu, "Kalau begitu kau lebih baik tak usah ikut! Bi-kin beban semakin berat
saja!" "Aku ikut!" kata Andini tegas, tapi datar.
"Di sini tidak ada perahu. Dan kau tidak bisa berenang, bagaimana mungkin kau
akan sampai ke sana" Kau tidak bisa mengandalkan pung-
gungku untuk menanggung beban tubuhmu sela-
ma aku berenang. Aku bisa kehabisan tenaga."
"Aku akan sampai ke pulau itu tanpa bere-
nang... " Lanang menatap Andini dalam kebimbangan
dan kesangsian atas ucapan tadi.
"Jadi, apa maksudmu?"
"Aku akan ke Pulau Kramat dengan caraku
sendiri!" "Caranya"!"
"O, kau ingin tahu" Kau ingin belajar padaku?"
"Aaah... Andini! Ayolah, jangan main-main...!
Aku hanya ingin memperhitungkan keselamatan-
mu." "Kenapa harus kau perhitungkan. Sudah tentu
aku akan selamat sampai di sana."
"Dengan ilmumu sendiri?"
"Dengan perlindunganmu, tentunya...!"
Nafas terhempas lagi. Lanangseta murung.
"Itulah yang ku maksud bebanku semakin ber-
tambah." "Kalau begitu yah... jangan anggap sebagai beban. Kau pun tak perlu
melindungiku."
"Kalau kau mati, bagaimana?"
"Tanpa nafas, tentunya."
"Maksudku, kalau kau mati, lantas Ekayana
menuntut ku sebagai penyebab kematianmu, ba-
gaimana?" "Jangan singgung-singgung lagi tentang
Ekayana!" Andini cemberut. "Aku tak ingin mendengar kau bicara tentang adikmu
yang mata ke- ranjang dan penghianat itu!" geramnya.
"Bukankah... bukankah kau masih kekasih
Ekayana" Bukankah dulu kalian merencanakan
bertunangan?"
"Bertunangan, memang. Tapi berkelanjutan ti-
dak! Aku sudah bukan milik dia, dan dia bukan
milik aku. Dia milik Yin Yin, gadis Cina itu. Dan
aku milik... milik...."
"Milik siapa"!" tanya Lanangseta setelah Andini terdiam.
"Milik... milikmu, kalau kau mau memiliki
aku...." Andini menunduk, Lanang berkerut dahi. Na-
mun segera menghela nafas, mengendurkan wajah
yang berkerut. Ia membuka luka yang disekap
oleh tangannya tadi. "Ah, syukur luka itu sudah kering. Ilmu pemberian Tongkat
Besi tidak sia-sia," pikir Lanangseta pada waktu itu.
"Lanang...." ucap Andini seraya mendekat.
"Apakah aku salah jika aku... lari dalam dekapan mu?"
"Kau bicara sudah kelewat ngaco, Andini."
"Jadi mengharapkan kasih adalah kata-kata
ngaco"! Jadi, mengharapkan balasan cinta kasih
darimu adalah ngaco?"
"Ya," jawab Lanangseta dengan tegas. "Kau tidak tahu keadaanku saat ini,
Andini." 'Yang ku tahu kita hanya berdua. Yang ku ta-
hu aku sering tergoda oleh bibirmu dari sejak di Goa Malaikat. Yang ku tahu,
sekarang tak ada je-leknya jika kita saling mencari kehangatan angin
pantai ini. Yang ku tahu...."
'Yang ku tahu pikiranmu mulai gila!" sahut Lanang tegas. Andini menunduk, lalu
berjalan menjauh. Duduk di batu karang yang tadi. Sorot
bulan di langit menampakkan wajahnya yang mu-
rung dan berselaput kesedihan. Lanangseta men-
coba menyadarkan amukan cinta Andini.
"Aku tahu, kau mengharapkan aku, Andini.


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan mungkin akan banyak yang mengha-
rapkan aku, karena... karena darah dewa telah
tersentuh dalam bibirku dan mulutku...."
Andini memandang sayu, namun punya mak-
na ingin menjelaskan tentang darah dewa. Dan
Lanang berkata.
"Kapan-kapan ku jelaskan hal itu. Tapi yang jelas, sekali pun banyak perempuan
cantik yang akan tergila-gila padaku, namun aku tetap ingin
mencintai satu perempuan, yaitu calon istriku...."
"Siapa calon istrimu itu?" tanya Andini yang memang belum tahu bahwa bunga
teratai yang ingin direbut Lanang dari tangan penghuni Pulau
Kramat itu, adalah syarat untuk perkawinannya
dengan Kirana, Putri Bukit Badai itu.
"Jawablah, Lanang... siapa calon istrimu itu?"
"Kenapa kau mendesak" Untuk apa kau tahu?"
"Barangkali aku bisa menunjukkan padanya
bahwa akulah orang yang pantas mendampingi-
mu. Dia perlu tahu bahwa aku punya kehebatan
sebagai seorang istri pendekar."
Lanangseta tersenyum masam seraya geleng-
geleng kepala pelan. "Kau keliru, Andini. Kau tak boleh begitu."
"Aku hanya ingin menunjukkan betapa pan-
tasnya seorang istri pendekar gagah dan tampan
berilmu tinggi seperti aku. Paling tidak supaya calon istrimu itu sadar dengan
apa yang ia impikan!"
Sebenarnya Lanangseta merasa tersinggung
mendengar ucapan Andini itu. Ia merasa calon is-
trinya disepelekan. Ia nyaris membawa Andini me-
nemui Kirana dan akan menyuruh Kirana mero-
bek mulut Andini yang sombong. Namun setelah ia
berpikir dalam ketenangan, apalah artinya itu se-
mua" Memang, terkadang cinta yang membara
sering melakukan kesalahan besar. Adakalanya
cinta yang berkobar melakukan tindakan yang
menjadi bencana bagi diri sendiri.
"Ayo, katakan di mana calon istrimu berada
saat ini, dan kau bisa pergi ke Pulau Kramat itu
sendirian, sementara aku akan menemui dia di
rumahnya." desak Andini.
Kepala Lanangseta menggeleng lagi. Ia berkata
dengan tenang dan suaranya cukup kalem.
"Kau akan hancur!"
"Hancur" Iih...." Andini mencibir. Menyepele-kan.
"Hancur oleh kesombongan dan kebodohanmu
sendiri," sambung Lanang yang sempat membuat Andini menatap serius. Andini
cemberut dan buang muka, tapi suaranya terdengar penuh ke-
manjaan: "Kau senang ya kalau aku hancur" Kau suka
kalau aku mati?"
"Kalau kau ingin aku suka, aku bisa bilang
suka. Tergantung sikapmu terhadapku dan terha-
dap calon istriku."
Tiba-tiba Andini berpaling, lalu segera mende-
kati Lanang. Lanang duduk, sementara Andini be-
rani berjongkok di depan Lanang, kedua tangan-
nya memegang kedua paha Lanang, sepertinya ia
seorang hamba yang perlu merayu raja.
"Kenapa kau tidak mau mencintai ku" Kena-
pa" Apa aku jelek" Apa istrimu itu lebih cantik dariku" Apakah... apakah aku
kurang menggairah-
kan" Apakah kau merasa aku tak bisa memberi-
kan kehangatan yang membuatmu ketagihan?"
"Andini, cukup kata-katamu! Jangan menjadi
gila karena hasrat tak sampai!" cetus Lanang.
Andini tidak peduli. "Apakah aku tak pantas kau cumbu, baik besok, lusa, atau
pun sekarang...?" Andini mulai semakin berani. Ia melepas kancing gaunnya yang
ada di bagian dada sambil
berkata, "Apakah tubuhku kurang merangsang kelaki-lakianmu?"
"Terlalu! Terlalu...!" Lanang beringsut dan ber-
paling. "Lanang... pandanglah aku... pandanglah mi-
likku di antara taburan sinar bulan ini... pandanglah...!"
"Cukup, Andini!" bentak Lanang dengan suara keras. Andini yang sudah mabok
kepayang tak pernah mau mendengarkan bentakan semacam
itu. Ia semakin nekad.
"Lanang.... Apakah kau tega tidak mau mene-
rima kehadiranku di hatimu"! Apakah aku tak
pantas menjadi istri seorang pendekar setampan
kamu dan seperkasa kamu"!"
Lanang menjauh, Andini sengaja mengejar. Ia
tahu, Lanang sudah kerepotan menahan nafas
dan mengendalikan gejolak dalam dirinya. Ia tahu
Lanang sangat tergoda. Sebab itu, Andini semakin
menggila. Kini gaunnya sudah lepas di bagian
atas. Kedua pundaknya terlihat mulus dan sangat
menggairahkan terkena pantulan cahaya rembu-
lan. Lanangseta sendiri menjadi berkeringat, dan
bungkam menahan diri sewaktu Andini mendekat
menempelkan bibirnya ke lengan Lanangseta. De-
sahnya terdengar menggetarkan bulu kuduk:
"Beri aku kesempatan untuk membuktikan
cintaku, Lanang. Beri aku kesempatan untuk
membuatmu tahu, bahwa aku tak akan kalah me-
narik dengan calon istrimu itu.... Sekarang, La-
nang. Sekarang dan di tempat ini saat yang baik
untuk membuktikan betapa besar cinta dan peng-
harapan ku padamu...." Tiba-tiba Lanangseta mendorong tubuh Andini sehingga
gadis itu ter-jengkang ke belakang. Sikap Lanang menjadi ka-
sar dan ganas. Ia sendiri melompat dengan bersal-
to ke belakang. Andini semula ingin marah kepada
Lanang. Tapi kemarahannya itu sirna oleh rasa
kaget yang tidak kepalang tanggung. Sebab pada
saat tubuh mereka terpisah, sebuah sinar warna
biru tua melayang di udara dan melesat bagai
meteor, menghantam mereka. Untung Lanang ge-
sit mengelak, sehingga sinar itu membentur batu
karang yang menonjol di kejauhan sana, lalu batu
itu hancur bersama bunyi sebuah ledakan yang
amat mengagetkan.
"Mereka mampu menyerang kita dari pulau
itu, Andini!"
"Tapi sekarang ini saatnya aku membuktikan
diri, Lanang...!"
"Gila...!" bentak Lanang. "Lihat, ada dua sinar biru lagi yang menuju ke arah
kita. Hei. Awas, Andini... yang satu menuju ke arah mu, yang satu ke arah ku....
Awaas...! Pergi dari situ...! Pergiii...!"
"Blaar...! Blaar...!"
* * * 4 ANDINI nyaris menjadi korban kecerobohan
nafsunya. Ia hampir saja terkena sinar biru kalau saja Lanang tidak segera
meloncat bagai gerakan
macan menerkam, dan menubruk dada Andini se-
hingga gadis itu tersentak ke belakang. Kepalanya nyaris membentur batu karang
yang menonjol. "Kasar sekali kau padaku, Lanang...." Andini merengek bagai anak kecil hendak menangis.
Lanangseta melepaskan hempasan nafas sambil ma-
tanya masih tertuju ke arah Pulau Kramat.
"Kita harus segera turun dari tempat keting-
gian ini!" kata Lanangseta seraya bergegas bangkit.
Ia melongok ke bawah, tebing cukup curam. Om-
bak dan batu karang runcing saling beradu di ba-
wah tebing. Tempat itu memang menyerupai bukit,
namun sesungguhnya sebuah dataran yang tinggi
dan menjorok ke laut. Barangkali karena peruba-
han alam yang panjang, maka dataran itu menjadi
sebuah bukit karang yang tandus. Lega, tanpa ta-
naman apa pun. "Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Kita ke bawah sana!"
"Ke bawah..."!" Andini membiarkan Lanangseta menarik tangannya dan
menggandengnya pergi
dari tepian bukit karang. Beberapa puluh langkah
Pendekar Setia 2 Pedang Langit Dan Golok Naga Yi Tian Tu Long Ji Ie Thian To Liong Kie Karya Chin Yung Rahasia 180 Patung Mas 18
^