Pencarian

Iblis Pulau Keramat 2

Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat Bagian 2


kemudian mereka memasuki hutan lagi. Sebab ka-
lau hendak menuju ke pantai, harus mengelilingi
bukit itu lebih dulu. Dan di sekeliling bukit itu, jauh dari tebingnya, cukup
banyak pepohonan
yang tumbuh dengan liar, sebagai hutan yang ja-
rang dijamah manusia. Semak belukar banyak,
tapi binatang buas boleh dibilang tidak ada, kecuali binatang berbisa sejenis
serangga hutan dan
ular kecil. Rimbun dedaunan bagai atap sebuah goa. Tak
ada berkas sinar rembulan yang menembus keda-
laman hutan. Gelap dan senyap. Mereka terpaksa
berjalan meraba-raba, kadang juga tertatih-tatih
dan tersandung akar yang melintang pukang.
"Lanang... aku takut...." kata Andini bagai anak kecil yang berada di kamar
mayat. Nada suaranya seperti ingin menangis karena dihimpit ke-
takutan. Lanang hanya menggandengnya sambil
berjalan pelan-pelan.
"Aduuh...!" pekik Andini. Lalu ia mengerang dengan suara nyaris tak terdengar.
"Andini" Ada apa" Kenapa kau..."!" Lanang meraba tubuh Andini. Samar-samar
pandangan mata Lanangseta mampu melihat bayangan wajah
dan kepala Andini yang mendongak-dongak den-
gan erangan lirih penahan rasa sakit. Lanang se-
gera meraih punggung Andini. Ia sedikit panik ka-
rena tak tahu kenapa Andini jadi kesakitan begitu.
"Apa yang terjadi, Andini"!"
"Ular...." jawab Andini dalam erangan tipis.
"Hah..." Ular" kau digigit ular?"
"He, eh...." jawab Andini dalam desah merengek. "Kakiku... tepat di tumit...
ular itu menggi-gitku lalu... lalu entah ke mana. Aduuh... badanku terasa dingin
sekali...!"
Lanangseta tak dapat memeriksa keadaan An-
dini lebih teliti lagi. Namun menurutnya, Andini
harus segera dibawa ke pantai. Di pantai ada ca-
haya rembulan Lanang yakin dapat mengobati bi-
sa ular dengan pedangnya, asal ditempelkan persis pada luka gigitannya. Untuk
menentukan bekas
gigitan, Lanang perlu sinar. Dan di pantai itulah ada sinar yang dapat membantu.
Sinar bulan. "Lanang... badanku dingin dan... dan nafas ku sesak...."
"Gawat...! Bisa ular begitu tajam dan ganas!
Kau harus segera kubawa ke pantai, Andini...."
Tanpa banyak tanya lagi, Lanangseta men-
gangkat tubuh Andini dengan kedua tangannya. Ia
berlari cepat ke arah pantai, melingkari perbukitan karang, Sepanjang
perjalanan, Andini mengeluh
pelan. Pelan sekali, seperti seseorang yang berada di ambang maut. Kedua
tangannya memeluk Lanang, melingkar pada leher Lanangseta. Wajahnya
begitu dekat dengan wajah Lanang, sehingga La-
nang sendiri merasakan betapa hangatnya dengus
nafas Andini di pipinya.
"Aaah... ooh... Lanang...." desah dan erangan yang tipis itu sangat mengganggu
detak jantung Lanangseta. Sesekali Andini mendesis, menahan
rasa sakit. Lalu mengerang pelan dan melepaskan
nafas dalam desah. Udara hangat merayap di an-
tara leher Lanangseta sampai ke permukaan wa-
jahnya. "Bertahanlah...! Bertahanlah, Andini...!" Lanangseta mengalihkan perasaan ganjil
yang me- nyelusup di sela hatinya. Ia membayangkan kalau
sampai Andini mati, apa yang harus ia lakukan
terhadap mayatnya, dan apa yang harus dikata-
kan kepada Ekayana. Lanang mencoba berpikir ke
situ. Tetapi suara desah dan erangan Andini selalu mengacaukan pikirannya.
Semburan nafas yang
menghangat di leher Lanang membuat perasaan
aneh di dalam dadanya mulai bergejolak terang-
terangan. Apalagi ia merasa tengkuk kepalanya
dalam genggaman jemari Andini yang sesekali ba-
gai meremas-remasnya, bayangan yang ada di be-
nak Lanangseta sudah semakin kacau.
"Lanang...." desah Andini. "Uuhh... sakit...." ia bicara penuh kemanjaan.
"Aduuh... oouuh...
ssss... aah...."
Dan ketika mereka sampai di pantai, cahaya
bulan mulai menerpa wajah-wajah mereka. Andini
yang berada dalam dekapan kedua tangan La-
nangseta semakin mendesah menimbulkan
bayangan yang menggelitik benak, memancing
khayalan untuk bercumbu. Ternyata, Andini
menggunakan kesempatan itu. Wajahnya yang su-
dah semakin dekat dengan wajah Lanangseta se-
gera menghemburkan ciuman ke pipi Lahang.
"Andini..."!" Lanang terpekik namun dengan suara tertahan. Andini agaknya tak
perduli pekikan itu. Ia semakin mengganas, wajahnya yang
cantik menghamburkan ciuman bertubi-tubi. Bu-
kan hanya di wajah Lanangseta, namun juga di
leher Lanang dan mencekam beberapa kali. La-
nangseta segera menurunkan gadis itu dari gen-
dongannya. Ia mencoba mengelak, mendorong tu-
buh Andini, tapi tak berhasil. Gadis itu semakin
gila. Semakin diracuni birahi yang membuatnya
lupa diri. Bahkan kini Lanang merasa terdorong
dalam keseimbangan tubuh yang tak terkontrol. Ia
terjatuh di hamparan pasir pantai. Ombak memer-
cikkan buih, dan Lanang semakin merasa dis-
erang. Kelabakan. Rompi kulitnya terbuka. Bulu
dadanya tersirat dan dipagut berulangkali oleh
Andini. Jantung Lanang berdetak sangat cepat.
Itulah yang membuat Lanang menjadi lemas seka-
lipun tetap meronta.
Andini tak ubahnya seperti singa betina yang
sedang lapar. Ia bagai ingin menggigit seluruh tubuh Lanangseta. Jemarinya
meremat pundak La-
nang, atau meremas bulu-bulu di dada Lanang da-
lam erangan nafas yang tak terkendali lagi. Lanang sempat berpikir; merasa aneh
terhadap kejadian
itu. Sebegitu kuat birahi Andini sehingga ia tidak memikirkan harga dirinya
sebagai gadis putri Pan-glima Negeri Seberang. Mungkinkah cahaya bulan
yang menerpa mereka sangat berpengaruh pada
semangat birahi" Memang, konon cahaya bulan
dapat membangkitkan gairah birahi setiap orang
yang disinarinya, tetapi mungkinkah sebegitu
dahsyatnya" Mungkinkah sampai membuat seo-
rang gadis bersikap brutal dan berani hendak
memperkosa seorang pendekar tampan yang per-
kasa" Atau, tidak adakah kemungkinan lain" Mi-
salnya adanya pengaruh kekuatan lain yang di-
pancarkan dari Pulau Kramat itu sehingga meru-
bah otak sehat Andini menjadi seperti singa di padang pasir" Rasa-rasanya bukan
mustahil lagi jika Andini menjadi sangat bernafsu karena ia terkena
pengaruh kekuatan magis yang terpancar dari Pu-
lau Kramat. Barangkali saja untuk mengacaukan
kewaspadaan Lanangseta.
Tepat pada saat Lanang berpikir demikian,
tangan Andini sudah meremas bagian terlarang. Ia
berada di atas Lanang dalam keadaan separuh
bugil. Lanang segera berteriak dan menghentak ke
samping, sehingga Andini terpental beberapa jeng-
kal dari tubuh Lanangseta yang sudah berpakaian
acak-acakan itu.
Pada saat tubuh Lanang menghentak ke samp-
ing dan terguling-guling, pada saat itulah sebatang tombak menancap tepat di
mana Lanang tadi ber-baring dalam himpitan tubuh Andini. Menyadari
hal itu, Lanangseta segera bangkit. Tapi sekali lagi desing sebatang tombak
terdengar menuju ke
arahnya. Lanangseta melompat tinggi dan bersalto
ke belakang. Tombak pun menancap tepat di anta-
ra kedua paha Andini yang tengah telentang dalam
kerenggangan kakinya. Ia terpekik begitu menya-
dari sebatang tombak menancap, nyaris mengenai
bagian tubuhnya yang keramat. Ia segera mundur,
berguling dan melentik ke udara, lalu bersalto sa-tu kali. Dan ia berdiri dengan
kaki kokoh di samping Lanang.
Mata Andini terbelalak lebar memandang tom-
bak itu, lalu memandang tombak yang pertama
menancap tadi. "Seseorang hendak membunuh kita, Lanang!"
ucap Andini dalam ketegangan yang nyata.
"Mereka...!"
"Mereka siapa?"
"Orang-orang di Pulau Kramat itu!" ujar Lanangseta seraya memandang tak berkedip
ke arah Pulau Kramat yang kelihatan bagai gumpalan hi-
tam itu. "Bukan!" bantah Andini. "Tombak ini mana mungkin terlempar dari jarak sebegini
jauhnya. Anak panah pun tak mungkin dapat melesat dari
pulau itu sampai ke mari."
Lanangseta menggumam. Ada sedikit keraguan
dalam pertimbangannya. Ia menggumam panjang
seraya memeriksa keadaan sekeliling. Mungkinkah
memang ada orang di sekitarnya yang menyerang
secara sembunyi-sembunyi"
Tetapi mendadak matanya menjadi terbelalak.
Ia berseru kepada Andini seraya menuding tombak
yang pertama menancap tadi:
"Lihat...! Lihat tombak itu...! Ia mulai memudar...!"
"Ooh..."!" Andini terperanjat kaget melihat tombak itu memudar pelan-pelan,
seperti berubah
menjadi asap, namun sebenarnya bukan kabut.
Memudar. Hilang sedikit demi sedikit, dan akhir-
nya lenyap sama sekali.
"Dia lenyap...!" pekik Andini. Gadis itu segera mendekati tempat tombak tadi. Ia
meraba, menggerakkan tangannya ke tempat bekas tombak itu,
dan ia hanya menemui tempat kosong, tanpa me-
nyentuh apa pun di sana.
"Aneh...!" katanya. "Tombak itu sepertinya hanya sebuah bayangan... yang
kemudian hilang
karena tak terkenal sorot lampu lagi."
Lanangseta berlari menghampiri tombak yang
kedua, yang tadi nyaris mengenai barang 'keramat'
Andini. Tombak itu masih utuh. Masih bisa terpe-
gang tangkainya yang terbuat dari kayu. Lanangseta berseru, "Tombak ini masih
nyata!" Andini berlari ikut memegangnya. Ia segera mengikatkan
sebuah ikat pinggang yang diambil dari kantong
gaunnya. Ikat pinggang itu terbuat dari kain ber-
warna merah muda, sama dengan gaunnya, lalu
ikat pinggang itu diikatkan pada tangkai tombak
di bagian agak ke ujung hingga mirip bendera.
"Tinggalkan...! Kita lihat perubahannya," kata Andini seraya bergerak mundur.
Lanang pun juga
bergerak mundur. Mata mereka masih tertuju pa-
da tangkai tombak yang diikat oleh ikat pinggang
dari kain halus. Mata mereka enggan berkedip ka-
rena ingin menyaksikan perubahan tombak terse-
but dalam menghilang. Namun sampai beberapa
lama, tombak itu masih utuh. Ikat pinggang masih
terkait pada tangkai tombak. Lanangseta meman-
dang Andini sambil angkat bahu.
"Kali ini... ternyata tombak asli!" Andini memandang Lanangseta dengan tatapan
penuh sesal. "Lanang... maafkan aku tadi. Aku... Aku...."
"Ah, sudah. Lupakan saja. Aku tahu itu bukan kemauanmu. Aku tahu kau sendiri
merasakan suatu keanehan pada saat tadi, bukan?"
"Ya. Dari mana kau tahu aku merasa heran
pada diri sendiri" Apakah aku tadi mengatakan-
nya kepadamu?"
"Tidak. Tapi aku punya praduga, bahwa peng-
huni Pulau Kramat itu telah menggunakan kekua-
tan gaibnya untuk mempengaruhi birahimu, dan
membuat kau lupa diri, seperti macan betina di
padang pasir. Aku sendiri tak dapat banyak ber-
buat, sekalipun ingin meronta namun... aku le-
mas." "Ooh...." Andini terduduk di pasiran. Lanang menghampirinya. Ia mengusap kepala
Andini satu kali dengan sikap yang lebih bijaksana.
"Apakah... apakah kita tadi sudah berbuat,
Lanang?" "Belum."
"Sungguh" Kau tidak bohong?"
"Apakah kau merasakan ada kelainan pada...."
Lanang tak jadi meneruskan kata-katanya. Ma-
tanya terbelalak memandang tombak berikat kain
merah muda itu. "Hei, lihat tombak itu...! Tombak itu telah lenyap. Kita tidak
sempat memperhati-kannya!"
"Astaga...! Barangkali ada yang mengambilnya dengan tenaga dalam yang tinggi."
"Mana mungkin begitu. Lihat saja, kain ikat
pinggangmu jatuh di pasir. Dan simpul ikatannya
belum lepas. Berarti tombak itu lenyap dengan
sendirinya, tanpa membuka ikatan kain itu."
Andini segera menghampirinya dan memungut
ikatan kain itu. Ia memperhatikan sejenak, lalu
menggumam, "Ajaib...!"
Lanang berjalan lebih mendekati buih-buih
ombak yang menghampar di pasiran. Pandangan-
nya tertuju pada Pulau Kramat yang hitam dalam
kegelapan itu. Memang tampak lebih angker oleh
cahaya bulan, karena Pulau keramat seperti se-
buah bayangan mahluk aneh kelihatannya.
"Siapa sebenarnya yang berdiam di pulau itu?"
bisik Andini sewaktu mendekati Lanangseta, dan
dengan berani menggenggam lengan Lanang bagai
pasangan yang mesra.
"Iblis...!" kata Lanang seperti sebuah umpatan dendam.
"Iblis Pulau Kramat"!"


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Mereka punya kekuatan gaib yang luar biasa."
"Apakah kau nekad ingin ke sana?"
"Harus!" jawab Lanang tegas."
"Kau yakin akan menang melawan kekuatan
gaib mereka?"
Lanang menatap Andini. Gadis itu kelihatan
penuh kecemasan. Bahkan kini genggaman jema-
rinya terasa makin erat di lengan Lanangseta.
"Aku sudah memperhitungkan kekuatanku,
Andini. Aku akan berhasil, asal tidak bersamamu."
"Apakah tidak terbalik kenyataannya nanti"
Kau akan gagal bila tanpa aku!"
Lanangseta jadi berpikir lagi. "Mungkinkah
akan begitu?" ia bertanya dalam hati. Sejenak pandangan Lanang ditujukan pada
kaki Andini. "Bagaimana dengan luka di kakimu?"
"Luka..."!" Andini memandang heran.
"Kau tadi bilang digigit ular pada tumitmu."
"Oh, ya" Tapi... tapi aku merasa tidak digigit apa-apa!"
"Brengsek...!" geram Lanangseta.
"Maafkan aku jika aku tadi bilang begitu. Tapi sumpah mati, aku tidak sadar
waktu bilang begitu." Nafas Lanang terhempas panjang. Ia kembali memandang pulau
di tengah lautan. Jika ia harus
menyeberang, ia harus sangat hati-hati, karena
banyak karang saling mencuat bagai hambatan
maut yang siap menerkam mangsanya.
"Biarkan aku ikut denganmu, Lanang. Biarkan
aku mati di sampingmu, kalau memang aku harus
mati karenanya," bisik Andini, kini kedua tangannya menggenggam erat lengan
pendekar tampan
itu. Ada keharuan tipis yang tersirat di hati La-
nangseta. Namun ia buru-buru membungkusnya
dengan dendam kepada penghuni Pulau Kramat
itu. "Andini, kau menguasai ilmu peringan tubuh?"
'Ya. Kurasa begitu."
"Kau sanggup berjalan di atas air tanpa tenggelam" Sebab aku akan ke sana dengan
cara begi- tu." "Akan ku coba. Kau tak perlu mengkhawatir-kan keadaanku. Aku akan berusaha
dengan cara- ku sendiri. Yang penting aku boleh mendampingi-
mu." Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya La-
nang pasrah diri pada rencana Andini. Ia mulai
menapak di permukaan air, bahkan ia berdiri di
ujung ombak dengan tenang. Ia melangkah, lalu
berhenti memandang Andini yang masih terting-
gal. "Jalanlah dulu, nanti kususul...." kata Andini seraya memperhatikan ombak
lautan yang tak begitu ganas.
Lanang seta tak perduli lagi kepada gadis man-
ja itu. Ia melangkah, memandang lurus ke depan
dengan penuh kewaspadaan. Badannya yang te-
gap, berambut panjang dengan pedang bertengger
di pundak itu bagai membekas di permukaan air
laut, karena cahaya bulan menciptakan bayangan
tubuhnya di Sana. Langkah sangat hati-hati, se-
bab ia harus menghindari batu-batu karang yang
runcing seperti ujung-ujung tombak. Di samping
itu juga ada beberapa batu karang yang ujungnya
tertutup permukaan air. Salah langkah, salah
menjaga keseimbangannya ia akan jatuh dan ter-
hunus batu karang runcing itu.
Angin bertiup cukup pelan, namun cukup
membawa hawa dingin yang menegangkan urat
syaraf. Dan tiba-tiba, Lanang merasakan sesuatu
yang aneh pada telapak kakinya. Sesuatu itu ialah rasa dingin yang bagai
membekukan telapak kaki
dan sekitarnya. Lanangseta ingin memandang ke
bawah, namun takut ada serangan mendadak dari
arah depan. Ia terpaksa meraba dan menduga,
bahwa kakinya telah menginjak gumpalan es yang
mungkin terselubung air laut.
Tetapi mendadak ia jadi terperanjat setelah
ada suara yang menegurnya dari belakang. Suara
Andini yang tampaknya cukup gembira.
"Lanang...! Lihat, aku berhasil berjalan sendiri, bukan"!"
Bukan keberhasilan Andini yang membuat La-
nang terperanjat kaget, namun keadaan alam di
bawahnya. Air laut! Ya, air laut itu telah menjadi beku. Beku dan keras.
Dinginnya luar biasa. Bahkan bukan hanya di bawah kaki mereka, namun
seluruh perairan laut itu menjadi beku. Benar-
benar seperti bentangan permadani biru kehijau-
hijauan yang mempunyai suhu di bawah nol dera-
jat. Lautan yang tadinya berombak menjadi seperti bentangan padang es yang cukup
menakjubkan. Lanangseta seperti orang udik yang belum pernah
melihat lautan; clingak-clinguk dalam kebingun-
gan. "Kau..."!" Ia memandang Andini dengan heran.
"Kau sanggup membekukan seluruh air laut ini"!"
Andini tersenyum genit. "Untuk membantumu,
aku akan sanggup berbuat apa saja. Supaya kau
tahu kalau aku bisa berguna bagi hidupmu. Bu-
kan sekarang saja, tapi selama-lamanya aku dapat
berguna bagi hidupmu, Lanang."
"Ouhh... Andini. Berhentilah berkhayal. Kita tak boleh lengah sedikit pun di
sini...." "Sebab itu aku harus mendampingimu untuk
menghindarkan dirimu dari bahaya apa pun."
Ada kapas melayang-layang. Lanangseta mem-
perhatikan kapas itu dengan mendekap diri sendi-
ri karena dingin. Lalu, ada lagi yang melayang dan hinggap di badannya. Lanang
menepiskan dengan
curiga. Tapi ia menjadi heran, dan mulai mere-
mas-remas benda itu.
Oh, bukan kapas. Salju!
Gila! Alam ini menjadi bersalju. Batu-batu ka-
rang memutih dalam bentuk aneh, bagai dilapisi
kapas murni. Juga Pulau Kramat yang ada di de-
pannya itu, mulai terlihat berbulu, putih. Salju be-terbangan, dan hinggap di
mana ia mau. Bahkan
di rambut Lanang pun ada serpihan salju yang
melekat. Lanangseta memandang kagum kepada
alam sekitarnya. Pulau Kramat menjadi seperti pu-
lau es yang memantulkan cahaya bulan di langit.
Ia memandang Andini, dan Andini tertawa pelan
seraya tangannya menggapai-gapai hembusan an-
gin pembawa salju.
"Bukan main kau ini, Andini...."
"Berjalanlah lagi, supaya kita lekas ampai di pulau itu. Dan pujilah aku di sana
dalam pelukan mu nanti."
Lanangseta menggeleng-geleng dalam senyum,
entah apa artinya. Yang jelas ia mulai salut kepa-da Andini.
Langkah Lanangseta dipercepat, karena pulau
itu sudah semakin dekat. Ia melesat seperti kila-
san angin malam, dan ternyata Andini mampu
mengimbangi kecepatan gerak Lanang.
"Hati-hati, Lanang...!" Andini mengingatkan.
"Kita semakin dekat dengan bahaya. Aku tak ingin kehilangan kau!"
Kalau tidak dalam keadaan penuh kewaspa-
daan, Lanang ingin memberi jawaban atas kata-
kata itu. Namun kali ini ia lebih tertarik pada gu-gusan Pulau Kramat yang makin
dekat. Perha- tiannya itu ternyata tidak sia-sia. Karena pada
saat tertentu, dialah yang melihat ada kilasan
benda bening melayang; ke arah Andini. Lanangse-
ta menghentakkan kaki dan menyambut tubuh
Andini ke udara. Benda itu melesat terus. Bentuk-
nya tak dapat diketahui. Yang jelas, kali ini benda itu datang lagi dari arah
depan, sekarang berjum-lah lebih dari lima. Semuanya bisa berjajar rapi,
membentuk semacam satu barisan yang menye-
rang Lanangseta dan Andini dengan cepatnya. La-
nangseta berseru:
"Andini, merunduk...!"
Andini memperlihatkan kehebatannya lagi. Ia
dapat terguling-guling tanpa menyentuh permu-
kaan air. Kira-kira tubuhnya berjarak tiga jengkal dari permukaan air yang telah
membeku itu. Sedangkan Lanangseta hanya melayang dan bersalto
melebihi ketinggian benda-benda aneh itu. Namun
keduanya tetap bergerak maju sekalipun mereka
diserang kembali oleh tiga batang tombak bermata
mengkilat. Andini kebetulan berada di depan La-
nangseta, sehingga dialah yang menangkis ketiga
tombak itu dengan tangan dan kakinya. Andini
melompat, salah satu kakinya menendang perten-
gahan tombak, lalu kedua tangan lainnya berusa-
ha menepiskan kedua tombak lainnya sambil
kembali mendarat di belakang tombak. Lanang
menyaksikan hal itu dengan bangga.
"Awass...!" Lanang berseru, karena sebuah bumerang melayang, melingkar-lingkar
tertuju ke arah Andini. Dengan gesit Andini memiringkan tu-
buhnya, dan bumerang itu memutar kembali ke
asal. Andini semakin bergerak lebih cepat. Lanang segera menyusul dengan
lompatan-lompatan yang
berkecepatan tinggi. Kini ia berada di depan Andi-ni dengan memasang
kewaspadaan. "Hati-hati, Lanang...." bisik Andini ketika mereka sudah menginjakkan kaki di
pantai Pulau Kramat. Keadaan di depan mereka amat gelap.
Daun-daun memutih di balik kegelapan. Lanang-
seta berhenti sejenak, memegang Andini. Ia berbi-
sik, "Ada jebakan maut di depan kita...!"
* * * 5 UDARA dingin sangat membekukan darah. La-
nangseta merasa tak tahan dicekam kedinginan
es. Dalam hati ia memuji kehebatan ilmu Andini
yang mampu merubah keadaan sekitar menjadi
sedingin kutub Utara.
Dalam keremangan gelap, Lanangseta menco-
ba berbisik dengan tidak bergerak. "Jangan sedikit pun menggerakkan kaki. Aku
merasa ada jebakan
di depan kita."
"Ya, aku sadar," balas Andini... "Bagaimana kalau kita saling berdekapan saja,
supaya kelihatan hanya ada satu pendatang."
"Ah, mereka sudah tahu kalau kita berdua."
"Tapi mereka akan menyangka kalau salah sa-
tu di antara kita masuk dalam jebakan itu. Lalu,
mereka akan sedikit lega. Biasanya orang yang
mengalami kelegaan ia tak akan mempunyai ke-
waspadaan yang setinggi mungkin."
Lanang belum menjawab, tapi dia merasa
bahwa kaki Andini mulai bergeser pelan-pelan.
Tubuh Lanang menggigil. Ia berbisik, "Andini...."
"Hemm...?"
"Dapatkah kau membuat salju-salju itu ber-
henti dan alam menjadi hangat lagi?"
"Apakah itu perlu, Lanang?" kata Andini dalam desah yang samar-samar.
"Kurasa perlu. Aku tak tahan dingin. Aku ge-
metaran," "Kalau begitu, biarlah kau kuhangatkan...!"
Andini memeluk Lanang. Merapatkan tubuhnya
lekat-lekat sehingga mereka tampak dalam satu
bayangan. "Andini..." Lanangseta berbisik pelan sekali.
"Hati-hati, di sini pengaruh kekuatan gaib akan
lebih tajam dan mudah mempengaruhi jiwa kita.
Jangan sampai kau menjadi macan seperti di pan-
tai sana tadi."
"Ya, akan ku jaga diriku. Hanya saja... keadaan ini sungguh menggembirakan
hatiku. Kau, bagaimana?"
Lanangseta sebenarnya tak ingin menjawab,
tapi demi melegakan hati gadis itu yang sangat
kasihan, maka ia pun menjawab, "Ya. Aku pun seperti kamu."
"Oh, sungguh, Lanang...?"
"Ah, sudahlah. Jangan hanyut!"
Andini tertawa lirih dalam desah. Ia menem-
pelkan kepalanya di pundak Lanangseta, wajah-
nya menghadap ke leher sehingga dengus nafas-
nya terasa menghangat. Membuat darah yang
membeku bagai hendak mendidih kembali.
"Injak kakiku, Andini."
"Apa?" bisik Andini.
"Injak kedua kakiku...!" "
Andini mengikuti perintah itu, kaki kirinya
menginjak kaki kanan Lanang, dan kaki kanannya
menginjak kaki kiri Lanang.
"Peluk aku kuat-kuat!"
"Apa?" Andini merasa heran mendengar perintah itu, namun di sela keheranan
terselip kegem-
biraan yang indah. Ia pun tak tanggung-tanggung
memeluk Lanangseta dalam satu desahan meng-
hangat di leher dan dagu Lanang. Kedua tangan
Andini ada di bawah ketiak Lanangseta, sehingga
kedua tangan Lanang dapat bergerak dengan be-
bas. Pada saat itu, ternyata Lanangseta mempunyai naluri yang peka. Ia segera
mencabut pedang karena ada sebatang tombak melayang lagi ke arah-
nya, datangnya dari tempat gelap. Tombak yang
melesat itu segera dihantam dengan pedangnya
yang membara bagai besi terpanggang. Sambil
menebaskan pedang, kaki Lanang merenggang,
dan dengan sendirinya kaki Andini pun ikut me-
renggang, sebab kedua telapak kaki Andini berada
di atas kedua kaki Lanang.
Tombak yang melesat berubah arah. Total.
Tombak itu jadi melesat ke arah tempat datang-
nya. Lalu segera terdengar orang berteriak kesakitan, dan diam. Bagai hilang
ditelan sepi. Lanang
dan Andini masih tegang.


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang terjadi, Lanang?" bisik Andini sangat pelan.
"Entah. Aku yakin ada seseorang yang terkena tombaknya sendiri."
"Hanya seorang?"
"Entah. Kita tunggu saja."
"Kita tunggu"! Tunggu datangnya serangan be-
rikutnya"!"
"Ya. Kita buta dalam hal ini. Gelap. Kita tak tahu ada jebakan apa dan di mana
saja. Jadi kita
tunggu serangan mereka. Sambil kita menantikan
terbitnya matahari, kita tetap harus diam dalam
kewaspadaan yang tinggi, Andini."
"Sampai matahari terbit kita harus begini"
"Kalau kau tak suka, lepaskan pelukan mu
dan turunlah dari kedua kakiku," kata Lanang dengan mata bergerak liar.
"O, tidak...." Andini tertawa lirih sekali. "Aku suka dengan keadaan seperti
ini. Mudah-mudahan
matahari tak akan terbit lagi, biar aku bisa begini terus bersamamu..."
Lanangseta sempat mendenguskan tawa. An-
dini semakin mempererat pelukannya. Tapi tangan
Lanang mempererat pegangan pedangnya yang
masih terhunus dan menyala merah membara.
Itulah Pedang Wisa Kobra yang telah berubah
menjadi Pedang Malaikat sejak ia berhasil mem-
bunuh seorang dewa yang aneh hidupnya (dalam
kisah Pedang Semerah Darah).
Lama sekali tak kunjung datang serangan be-
rikutnya, padahal Lanang telah bersiap dan selalu membuka mata lebar-lebar.
Mungkin memang hanya satu penjaga pantai pulau itu yang menye-
rangnya. Betapa pun anehnya keadaan itu, namun
Lanang cukup mengakui bahwa penjaga tersebut
benar-benar berilmu tinggi. Tak salah jika ia di-
tempatkan sebagai penjaga pantai seorang diri.
Karena ilmunya memang dapat diandalkan. Hanya
saja, agaknya hari itu adalah hari sialnya, ia menemui lawan setangguh
Lanangseta. Jika bukan
Lanangseta, mungkin ia akan menang dan dapat
berjaga dengan santai. Kini, ia terpaksa roboh
dengan tenang, dan memang tenang selama-
lamanya. Ia terhunjam tombak pada jantungnya,
yaitu tombak yang dilemparkan ke arah Lanang,
namun dapat dibalikkan dengan sekali tebasan
Pedang Malaikat.
Lanang dapat mengetahui sosok mayat yang
tertembus tombak pada jantungnya ketika mata-
hari telah terbit. Alam menjadi remang, bahkan
kian terang. Salju hilang, dan ombak menderu
kembali. Laut tidak membeku seperti semalaman.
Andini dan Lanang sudah tidak lagi berdeka-
pan. Kini mereka bahkan memandang mayat pen-
jaga pantai dengan seringai kengerian. Mayat itu
sudah busuk. Sudah tidak banyak daging yang
melekat, kecuali tulang belulang yang sangat jelas bertonjolan di sana-sini.
Wajah orang itu pun tak dapat dikenali, sebab telah berwujud sebagai
tengkorak dengan sisa daging di sana-sini yang tidak membantu untuk mengenai
wajah itu. "Pulau ini benar-benar ganas dan menyeram-
kan," ujar Andini sambil memandang sekeliling.
"Tak ada keramahan sedikit pun di wajah pulau ini." "Mungkin sebab itulah
dikatakan sebagai Pulau Kramat."
Lanangseta melangkah memperhatikan jeba-
kan yang nyaris merenggut nyawa mereka berdua.
Jebakan itu membentang di sepanjang pantai, be-
rupa sebuah lubang dilapisi penutup berlapis pa-
sir. Sekilas memang kelihatan seperti hamparan
pasir pantai, tetapi sesungguhnya itulah gerbang
maut dari Pulau Kramat tersebut. Kecurigaan na-
luri Lanangseta berhasil membongkar tutup lu-
bang memanjang itu. Ternyata di bawahnya terda-
pat sejumlah tombak mencuat ke atas dalam jarak
yang cukup rapat. Masing-masing ada satu jengkal
jaraknya. Dan setelah disusuri, ternyata tombak
berjajar-jajar itu mengitari pantai, bagai mengu-
rung pulau tersebut. Lanangseta dan Andini mera-
sa ngeri, bergidik bulu romanya saat mereka meli-
hat bekas telapak kaki mereka ada di tepian lu-
bang memanjang bagai selokan raksasa itu. Andai
saja waktu semalam mereka melangkah satu kali
lagi, maka mereka akan terperosok ke lubang ter-
sebut dan besar kemungkinannya akan mati ter-
tusuk tombak di sekujur tubuh.
Hutan di situ, sebenarnya tidak selebat hutan
di sekitar Bukit Badai. Namun kesepiannya itulah
yang membuat suasana aneh mencekam di pulau
itu. Tak ada seekor burung pun yang mencicit. Tak ada kehidupan apa pun di sana.
Satwa bagai tak
mau singgah di pulau itu, dan kabut pagi bagai-
kan enggan merayap pergi. Kabut pagi begitu tipis merambah di atas permukaan
tanah sebatas tumit
kaki. Tetapi anehnya di bagian pantai dan laut tak
ada kabut seperti itu. Kalau toh ada, hanya seba-
gian dari kabut di dalam hutan yang tertiup angin ke sana.
"Apakah kau yakin pulau seperti ini ada penghuninya?" tanya Andini seraya ia
merayap mengikuti Lanang memasuki hutan tersebut.
"Salah satu contoh adalah penjaga pantai yang mati terkena tusukan tombaknya
sendiri itu. Dan
kau harusnya berpikir, untuk apa jebakan yang
mengelilingi pulau ini sepanjang pantai."
"Supaya orang tak dapat masuk sembarangan
di pulau ini," jawab Andini.
"Dan itu berarti di pulau ini ada yang harus dilindungi, bukan?"
"Sebuah benda pusaka maksudmu"!"
"Bisa jadi begitu, tapi bisa jadi sebuah harta karun, atau sebuah makam keramat,
atau seje-nisnya, yang jelas perlu dilindungi "
"Apakah...." Andini belum habis bicara, tahu-tahu kakinya masuk dalam jerat tali
dan ia seketi-ka itu terangkat ke atas dengan salah satu kaki,
tergantung. Tentu saja ia menjerit seketika itu,
dan Lanang tercengang melihat Andini sudah ber-
gelantungan di pohon dengan salah satu kakinya
terjerat tali. "Lanaaang...! Bebaskan aku!" teriaknya, dan Lanang sedikit panik, karena ia
sadar bahwa seseorang sedang berdiri di atas pohon dengan ke-
dua tangan memegangi tali penggantung kaki An-
dini, Kalau orang itu melepaskan tali tersebut,
maka tubuh Andini akan meluncur jatuh ke ba-
wah. Jika keseimbangan Andini tak terkendali,
maka sudah pasti ia akan jatuh dengan kepala du-
lu. Sebab itu, Lanangseta terpaksa harus hati-hati dan tidak bertindak ceroboh.
Ia bisa saja memukul perempuan yang memegangi tali itu, tapi hal itu
dapat mengakibatkan tubuh Andini melesat ke
bawah dari ketinggian yang begitu mengerikan.
Perempuan yang menjerat kaki Andini itu ter-
tawa kegirangan, Ia mengenakan celana pendek
dan penutup dada dari kulit binatang. Di ping-
gangnya terselip pedang, dan kepalanya yang be-
rambut pendek itu berikatkan seutas tali berwarna ungu. Tali itu sebesar ibu
jari, dan kelihatannya dirajut dengan beberapa helai benang emas. Tubuh
perempuan itu sangat indah, ramping tapi
sexy. Celananya begitu tipis dan kecil sekali, seakan hanya sekedar penutup
bagian tertentu.
"Selamat datang di pulau kami... Pendekar
tampan...!" seru perempuan berikat kepala ungu.
Andini merasa tak suka dengan sebutan perem-
puan itu kepada Lanangseta, ia pun segera berte-
riak: "Iblis betina...! Ku lumatkan mulutmu kalau kau bicara begitu lagi kepada dia!"
"Hai, hai... kau amat cemburu, Nona! Tapi
sayang kau akan mati, dan cemburu mu tak akan
berkelanjutan!"
"Keparat kau...!" Andini meronta-ronta. "Kalau aku mati, kuhanguskan tubuhmu,
Setan!" teriak Andini dengan kemarahan yang besar sekali.
Ia tampak semakin gusar setelah ia melihat
Lanangseta dikurung oleh empat perempuan ber-
pakaian minim seperti yang di atas pohon itu.
Keempat perempuan itu mengurung Lanangseta
dengan masing-masing pedang siap di tangan.
"Arumi...." teriak salah seorang dari keempat gadis-gadis sexy itu. Yang di atas
pohon menjawab. "O, itu yang bernama Arumi?" pikir Lanang.
"Arumi, kita mendapat kakap bertenaga kuda.
Wow...! Alangkah hebatnya dia, Arumi!"
"Hei, hei, heii... sisakan aku, ya" Jangan kalian
habiskan madunya...!" Arumi tertawa melengking, mirip tawa kuntilanak.
"Kalau bisa jangan terluka, Kuadi...!" kata perempuan berikat kepala kuning
tembaga. Yang bernama Kuadi mulai maju mendekati Lanangseta
dengan pedang terarah ke tubuh Lanangseta. Ku-
adi berkata kepada Lanang.
"Sebelum kau mati, kuijinkan kau menikmati
kami berlima sebagai sarapan pagi di pulau ini,
Bung!" "Terima kasih. Aku sudah cukup kenyang," jawab Lanang dengan tenang, kendati
tetap menjaga kewaspadaan. "Sekali pun begitu, kau tetap harus mencicipi kami, dan kami pun harus mencicipi
kamu! Di sini kami sering menunggu ikan seperti kamu. Tapi...
kami jarang mendapatkannya, kecuali Putra
Tunggal. Itu pun harus digilir. Tapi dengan keda-
tanganmu ke mari, berarti kami akan dapat sering
menikmati sarapan lezat."
"Jangan sentuh dia...!!" teriak Andini dari atas.
"Tangkap dia tanpa luka, Kuadi...!" teriak Arumi yang ada di atas pohon sambil
memegangi tali pengikat kaki Andini. Kuadi mendekati La-
nang. Lanang masih diam saja.
"Jangan sentuh dia! Kuhancurkan kalian ka-
lau berani menyentuhnya sedikit pun...!!" ancam Andini dengan semakin gusar.
Dalam hati Lanang
menggerutu dan mencaci teriakan Andini yang bi-
sa memancing kenekatan mereka. Dengan berte-
riak begitu, justru mereka akan semakin penasa-
ran. "Uhh...! Tolol sekali Andini itu!" gerutu Lanang dalam hati.
"Buang senjatamu...! Buang!" bentak Kuadi.
Tapi tiba-tiba gadis itu menjerit keras dengan tubuh menggeliat ke belakang.
Andini telah melan-
carkan pukulan tenaga dalamnya yang begitu he-
bat, hingga membuat ulu hati Kuadi menjadi hi-
tam hangus. Kemudian ketiga temannya bergerak
menyerang Lanangseta dengan pedang. Lanang
melompat ke samping, mencari posisi yang enak
untuk menghindar. Ia ragu jika harus menyerang-
nya. Perempuan-perempuan itu bagai tak men-
genal dosa. Ia yakin, perempuan-perempuan itu
berada dalam satu perintah dan satu pengaruh ja-
hat. Lanang akan berusaha untuk tidak membu-
nuhnya, tapi membuatnya bersekutu untuk men-
cari bunga Teratai Wingit.
Tetapi agaknya Andini berpikiran lain. Ia brut-
al dalam kemarahannya. Ia tak ingin Lanangseta
disentuh oleh perempuan mana pun. Karenanya
dalam satu gerakan cepat Andini melancarkan pu-
kulan tenaga dalamnya sekali lagi ke arah Arumi
yang ada di atas pohon, yang sedang memegangi
tali pengikat kaki Andini. Arumi melayang dalam
satu teriakan tinggi. Ulu hatinya menjadi hangus
dan berasap. Akibat dari itu, tubuh Andini melesat ke bawah
dengan kepala meluncur lebih dulu. Tetapi sebe-
lum ia menyentuh tanah, tubuhnya yang seperti
kapas itu melengkung ke belakang dan mendarat
dengan manis. Kain merah jambu itu bagai sayap
kupu-kupu hinggap di kelopak bunga.
"Lanang, biar aku yang menangani ini...! Mere-ka musuhku. Aku yang harus
menghajar mereka
tanpa ampun lagi!"
"O, mereka musuhmu?" kata Lanang.
"Siapa yang ingin menyentuhmu, dia adalah
musuhku. Dia harus kubunuh sebelum dia memi-
liki kamu. Diamlah di situ saja, Lanang...!" Andini bersiap setelah melepaskan
tali yang mengikat kakinya.
Dua orang musuh menghadapi Andini, mereka
hendak menyerang dari kanan dan kiri, sementara
satu lagi menghadapi Lanangseta dengan tegang.
Pada saat itu Lanangseta hanya memperhatikan
dengan senyum menawan, tapi diam-diam tetap
berjaga-jaga. Sedangkan Andini meliukkan tubuh-
nya dengan lembut, tangan kanannya terangkat ke
atas dengan gemulai dan tangan kirinya terentang
ke samping. Kedua kakinya berdiri berjingkat-
jingkat dan memutar lembut. Kedua musuhnya
terbengong melihat Andini menari dengan lemah
gemulai. Andini perlahan-lahan menarik tangan kanan-
nya yang ke atas itu menjadi turun ke bawah, te-
rus sampai ke betis, sehingga tubuhnya meleng-
kung lemas. Sementara itu, kaki kirinya kini te-
rentang ke belakang dan kepala Andini mendon-
gak ke depan memandang Lanangseta. Tahu-tahu
ia bergerak bagai belalang meloncat. Bersalto satu kali dan kaki kanannya
berhasil menendang tengkuk kepala perempuan yang sedang menghadapi
Lanangseta. Perempuan yang terkena tendangan Andini
tersungkur dengan menyemburkan darah kental
dari mulutnya. Sementara itu, kedua temannya
terkesiap di tempat, matanya mendelik melihat
akibat tendangan gemulai itu ternyata sangat
membahayakan. Maka kedua perempuan itu sege-
ra menyerang Andini yang kali ini sedang mem-
permainkan kaki ke atas, nyaris membentuk garis
lurus dengan kaki satunya lagi.


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agaknya Andini tak mau membuang-buang
waktu. Ia takut Lanangseta matanya tak bisa ter-
pejam karena melihat lekuk tubuh kedua perem-
puan itu yang cukup aduhai. Karenanya, ketika
sebuah pedang menebas kaki Andini yang tera-
cung ke atas, Andini segera meluruskan kaki
membentuk sudut 90? dengan kaki yang satunya.
Kemudian ia segera berputar dengan cepat, kaki
itu menghantam pelipis lawannya. Keras. Yang
terkena tendangan Andini terguling di tanah da-
lam satu erangan memanjang. Namun ia masih
berusaha bangkit lagi untuk mengadakan seran-
gan balasan. Sementara itu, tubuh Andini meliuk bagai seo-
rang penari ketika pedang lawan yang satunya me-
lesat nyaris memotong kepala. Kedua tangan An-
dini menyentuh tanah, dan menghentak cepat.
Tubuhnya melayang dalam posisi tengkurap. Pada
saat itulah ia melancarkan pukulan tenaga dalam
yang keluar dari telapak tangan kanannya. Puku-
lan itu mengenai lam bung kanan lawan yang tadi
terkena tendangan pelipisnya.
Belum sempat Andini mengetahui hasil puku-
lannya, tiba-tiba pinggangnya terkena tendangan
lawan yang satu. Andini terpental beberapa lang-
kah dan mengerang kesakitan.
"Sekarang kau mampus, Perempuan Lacur...!"
geram lawannya. Ia mengarahkan pedang ke dada
Andini sambil meloncat menerjang tubuh Andini
yang terkapar di tanah. Pada saat yang kritis itu, tangan kiri Andini sempat
mengibas, bagaikan ia
sedang menaburkan sesuatu di udara. Ternyata
segenggam rumput telah dicabut dan disebarkan
ke arah tubuh lawannya. Rumput-rumput itu
mempunyai kekuatan maha hebat, di mana ketika
mengenai musuhnya langsung menembus ke ba-
gian tubuh di atas perut.
"Aaahkk...!!" Perempuan yang hendak meni-kam dengan pedang itu mengejang.
Berhenti seke- tika. Kepalanya mendongak ke atas dengan tubuh
melengkung ke belakang. Erangannya tertahan se-
saat, kemudian ia pun rubuh dan berkelojotan se-
jenak. Darah mengalir dari bagian perut. ke atas.
Lobang-lobang kecil bekas masuknya rumput ter-
lihat jelas. Lobang itu menjadi hitam, ada yang
membiru. Rumput itu selain berubah menjadi besi
tajam juga mempunyai kadar racun yang cukup
mematikan, sehingga tubuh itu pun tak pernah
bergerak-gerak lagi selamanya.
Lanangseta masih tenang, memperhatikan
mayat kelima perempuan berpakaian minim itu.
Mengerikan sekali mereka, terkapar dengan darah
menghitam dan berbau amis sekali. Andini terse-
nyum memandang mayat musuh-musuhnya, ke-
mudian ia menghambur dan memeluk Lanangseta
erat-erat. "Mereka sudah kusingkirkan, Lanang," katanya dengan penuh kebanggaan.
"Ya. Tak satu pun ada yang hidup."
"Mereka tak boleh hidup. Kalau mereka ada
yang hidup, maka kau akan diganggunya, dan...
lelaki biasanya punya ketahanan nafsu yang ra-
puh. Kau nanti bisa jatuh dalam pelukannya.
Dengan begini, maka tak ada dari mereka yang
akan merebutmu dari pelukanku."
"Tapi aku tadi melihat seseorang yang mengintai dari balik rumpun semak itu."
Andini kaget. "Betulkah?"
'Ya. Dan aku tahu dia lari ke arah sana...!" Lanang menunjuk suatu arah.
"Sebaiknya mari kita ke sana...!"
Ternyata arah yang dimaksud Lanang itu me-
nuju ke suatu tempat. Di sana ada jalan setapak
yang agaknya jarang digunakan orang. Namun
Lanang tetap menyusuri jalan setapak itu seraya
berkata kepada Andini:
"Aku tadi bagaikan melihat seorang penari be-
raksi di depanku," kata Lanang mengomentari jurus-jurus yang digunakan Andini
dalam bertarung
melawan kelima perempuan setengah bugil itu.
"Jurus-jurusmu cukup aneh. Aku sampai terkesi-ma memandangnya."
Andini tersenyum senang. "Kalau kau suka,
aku akan menari terus di depanmu. Bahkan tanpa
busana pun aku sanggup asal kau tahan!" Andini mengikik nakal.
"Aku hanya merasa asing dengan jurus-
jurusmu." "Itu yang bernama gabungan tarian Bidadari
Manja." "Ooo...." Lanang manggut-manggut. "Pan-tas, pantas...."
"Pantas bagaimana?"
"Pantas kau punya sifat manja."
"Hanya untuk kamu," jawab Andini dengan suara pelan, tapi terlihat dari rona
wajahnya, ia sangat gembira.
Sekali pun dalam keadaan ngobrol, namun
mata mereka tetap mengawasi keadaan sekeliling.
Sampai akhirnya mereka menemukan sebuah ru-
mah di antara pohon-pohon yang berdaun rimbun.
Rumah itu bagaikan sebuah pondok yang terbuat
dari kayu, beratap ilalang kering. Tapi bentuknya memanjang, mirip sebuah
asrama. Rumah itu
mempunyai halaman samping yang cukup luas.
Bahkan di halaman itu terdapat kolam air tawar
yang teratur rapi dan bersih. Bentuk rumah me-
makai sistem panggung, dengan anak tangga em-
pat baris. Ia mempunyai serambi depan yang ter-
buat dari kayu-kayu terbelah menjadi dua bagian.
Pondok itu cukup sepi dan sunyi. Tak ada manu-
sia satu pun yang tampak sedang melakukan ke-
sibukan di luarnya. Pagarnya terbuat dari kayu-
kayu pohon berukuran setinggi batas dada manu-
sia normal. Dari balik semak Andini dan Lanang mengintai
keadaan rumah tersebut. Mereka diam beberapa
saat di balik semak berdaun mirip gergaji itu. Andini sempat mengaduh beberapa
kali karena kulit
tubuhnya tersentuh daun itu dan rasanya sakit.
Perih. Tapi tak begitu dihiraukan. Ia bahkan ber-
kata dalam bisikan, "Jangan-jangan ini juga sebuah jebakan!"
"Bisa jadi begitu...." jawab Lanang seraya matanya bergerak-gerak liar, penuh
waspada. Mereka tiba-tiba harus segera menunduk dan
berlindung lebih rapat lagi, karena tampak seo-
rang perempuan dengan busana miskin: hanya
bagian dada dan bawah perut saja yang ditutupi,
sedang berlari memasuki halaman rumah terse-
but. Perempuan itu juga berikat kepada dari tali, namun kali ini berwarna merah
tua. Di depan tangga menuju ke dalam rumah, pe-
rempuan itu merendahkan badan. Lutut kanannya
menyentuh tanah sedang kaki kirinya ditekuk
dengan lutut menghadap ke atas. Ia menunduk-
kan kepala tiga kali. Kemudian dari dalam pondok
itu keluar seorang perempuan berambut panjang,
terurai. Perempuan itu hanya mengenakan jubah
dari bahan kain yang sangat tipis, transparan, sehingga menampakkan betul
kemolekan lekuk tu-
buhnya. Selain tubuh yang indah, ia juga memiliki paras wajah yang cantik dan
sangat mempesona.
"Mereka sudah tewas semua, Nyai...!" ujar perempuan berpedang di pinggangnya.
"Arumi...?"
"Arumi juga tewas dengan dada hangus dan
membusuk."
"Hangus" Membusuk?"
"Benar, Nyai."
"Jahanam...! Itu pukulan Bidadari Senja!" geram perempuan yang dipanggil Nyai.
Selintas ingatan Lanang beralih pada wajah
perempuan itu. Begitu cantik dan sangat mengge-
tarkan hati. Benar-benar kecantikan yang punya
daya tarik luar biasa hebatnya. Wajah dan kecan-
tikan itu, memang baru kali ini dijumpai oleh La-
nangseta, namun suaranya terasa pernah diden-
gar Lanangseta. Entah kapan, di mana dan siapa"
Lanang masih mencoba mengingat-ingatnya.
"Hei, jangan melotot terus begitu...!" sergah Andini yang merasa was-was ketika
Lanang memandang perempuan berjubah biru muda yang ti-
pis sekali itu. "Apa yang kau pikirkan?" Andini bersungut-sungut. Sewot.
"Bidadari Senja. Aku mendengar ia menyebut
Bidadari Senja. Apa maksudnya?" Lanang menco-ba mengalihkan kecurigaan Andini.
"Nama jurus yang kugunakan memukul mere-
ka," jawab Andini kelihatan mengendurkan ke-
cemberutannya. Kemudian perempuan cantik yang melebihi
seorang ratu mana pun itu berkata lagi kepada pe-
rempuan berikat kepala merah tua.
"Panggil Putra Tunggal...! Suruh dia mengha-
dap aku sekarang juga!"
"Baik, Nyai...!"
Perempuan muda berikat kepala warna merah
segera menghormat tiga kali dengan tundukan ke-
palanya, kemudian ia pergi, dan perempuan ber-
jubah tipis itu memandang sekeliling dengan curi-
ga. Sesaat kemudian, ia masuk kembali. Lanang
tak sempat memandang tembus isi rumah panjang
itu. Tetapi ia segera berbisik kepada Andini.
"Sergap gadis berikat merah itu. Kita korek ke-
terangan di mana bunga terataiku disimpan mere-
ka." "Bunga teratai" Jadi hanya .setangkai bunga yang dicuri oleh orang yang kau
cari itu?" Andini yang baru paham apa yang dicari Lanang itu terpaksa
menyipitkan mata dalam keheranan. "Kuki-ra kau mempunyai dendam kepada seseorang
yang nyaris memperkosaku itu."
"Nanti akan ku jelaskan, Andini. Tapi sekarang aku butuh waktu untuk menyergap
gadis berikat merah tadi."
Andini mendengus kesal, lalu mengikuti lang-
kah Lanang. Sekelebat bayangan gadis itu dapat
terlihat oleh pandangan mata Lanangseta. Ia sege-
ra memotong jalan, yang diperkirakan akan tem-
bus di depan langkah gadis itu. Ternyata gadis itu mengetahui adanya bahaya yang
mengintainya. Ia
segera mencabut pedangnya yang seukuran satu
hasta. Ia sedikit merundukkan badan, bersiap
menyambut bahaya. Matanya liar memandang ke
sana-sini. Namun dilihat dari sikapnya dalam ber-
jaga-jaga, ia pasti mempunyai kelincahan seperti
anak kijang, secerdik ular sanca. Ia masih berge-
rak pelan menunggu bahaya datang.
Andini memungut sebutir batu kecil, lalu di
sentilkan ke arah kepala gadis itu. Batu yang sudah dialiri tenaga dalam itu
melesat dan mengenai tengkuk kepala gadis itu. Pedang menebas ke belakang, tapi
pada saat itu perempuan berikat me-
rah segera oleng, lalu jatuh ke tanah. Pingsan. Lanang mengacungkan jempol
tangannya kepada
Andini. Gadis berikat kepala merah tergeletak di ta-
nah. Namun ketika Andini hendak menyentuh ka-
kinya, tiba-tiba tangan Andini terpaksa ditarik
mundur dengan cepat. Matanya terbelalak kaget.
"Kenapa?" tanya Lanang.
"Tubuhnya sangat panas. Luar biasa panas-
nya. Lihat... rumput dan tanaman di sekitar tu-
buhnya menjadi layu dan... tuh, lihat... malahan
menjadi hangus bagai terbakar!"
Lanangseta tak berkedip memandang keane-
han tersebut. Rumput dan tanaman lainnya me-
mang menjadi hangus bagai terbakar. Jelas tubuh
itu mengandung bara api yang amat panas, tapi
tidak dapat dilihat oleh mata. Barangkali itu akibat tenaga dalamnya yang begitu
hebat, sehingga
mampu menyemburkan hawa panas tinggi dari
pori-pori kulitnya. Jari tangan Andini yang sudah terlanjur menyentuhnya menjadi
melepuh. "Jariku melepuh, Lanang...." rengek Andini seperti anak kecil. "Iih... bagaimana
ini" Jariku jadi jelek begini...." Andini bagai anak yang mau menangis. Mewek.
Lanang masih memikirkan bagaimana caranya
menawan gadis itu dan mengorek keterangan da-
rinya. Tetapi Andini ribut melulu dengan jarinya.
"Lanang...! Carikan madu dan kain untuk
membungkus jariku. Aduuh... bagaimana ini, La-
nang...?" "Andini...!" hardik Lanang. "Hanya soal jari melepuh saja kamu ribut, ah!"
Andini diam. Bersungut-sungut dan cemberut
dan bersungut-sungut. Ia menjauhi Lanang seraya
meniupi jarinya.
Lanang segera mengambil beberapa ranting
bercabang. Bahkan ada dahan yang besar pun di-
ambilnya asal bercabang. Lalu dengan tenaga
khusus ia menancapkan dahan bercabang pada
kaki gadis itu, sehingga cabang menghimpit kuat
kaki gadis itu. Demikian juga kedua tangannya,
bahkan bagian leher pun dijepit dengan cabang
yang menancap ke tanah. Kemudian Lanangseta
menunggu sampai gadis itu sadar.
"Mana kuat kayu segitu untuk menahannya. Ia
akan dapat berontak dan dengan mudah cabang-
cabang itu dihentakkan," kata Andini. Tetapi setelah diam sesaat, Lanang pun
berkata pelan: "Itu bukan kayu. Itu besi yang kokoh dan
kuat!" "Gila...! Sudah jelas kayu dikatakan besi, mana bi...." ucapan Andini terhenti,
matanya melebar memandang bahan penjepit kaki, tangan dan leher
gadis itu. Ia benar-benar tertegun ketika ia melihat kayu-kayu cabang itu
ternyata telah berubah menjadi besi-besi yang kokoh dan kuat. Penasaran se-
kali Andini jadinya, ia pun mendekat, mengamati


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda penjepit tubuh itu, ternyata benar-benar
besi. Bukan kayu. Kemudian ia memandang La-
nangseta yang tersenyum masam sambil bersilang
tangan di dada.
"Kau hebat...! Kayu bisa kau rubah menjadi
besi. Ilmu dari mana yang kau peroleh itu" Siapa
gurumu sebenarnya?" kata Andini terkagum-
kagum. Dan sekali lagi Lanang hanya tersenyum.
Ia tak mengatakan bahwa itu salah satu ilmu yang
diajarkan oleh kakek tua, Si Tongkat Besi.
Beberapa saat kemudian, gadis berikat kepala
merah itu siuman. Ia mengerjap-ngerjapkan mata,
lalu berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa
terjepit oleh besi-besi kokoh. Ia kebingungan, dan kembali tenang setelah
menyadari ada orang yang
menawannya pada saat itu.'
Lanang berdiri di samping kiri gadis itu, dekat
dengan pinggangnya. Gadis itu mencoba meronta,
namun tak dapat lepas. Tangan terentang ke atas
keduanya, dan kaki pun terentang dalam jepitan
keras. "Kau tak akan bisa bangun sebelum kube-
baskan...." kata Lanangseta dengan tenang.
"Apa maumu, Kunyuk..."!" geram gadis itu dengan suara berat karena lehernya agak
tercekik besi penjepit. "Aku ingin membunuhmu pelan-pelan...!" Lanang tersenyum. Lalu ia mencabut pedang
Wisa Kobra yang membara bagai besi terpanggang hen-
dak lumer. Gadis itu mengernyitkan mata, merasa
ngeri melihat pedang itu. Andini terkesima kagum
secara diam-diam melihat pedang Lanangseta.
"Kalau kau mau menunjukkan di mana bunga
teratai disimpan oleh atasanmu, kau akan kube-
baskan!" "Kau bicara mengigau. Di sini tidak ada bunga teratai! Kalau bunga tahi ayam,
banyak!" kata gadis itu dengan berani.
Lanangseta menebaskan pedangnya ke ujung
besi penjepit kaki. Besi itu terpotong rapi bagai iri-san tebu. Gadis itu merasa
ngeri. Ia tahu keheba-
tan pedang Lanangseta yang sudah tentu akan
dapat memotong-motong anggota tubuhnya. La-
nang semakin menyeringai melihat kengerian ga-
dis itu. "Aku kehilangan bunga teratai," kata Lanang dengan dingin sambil mengamati
pedangnya. "Pencurinya seorang berkerudung hitam...."
"Dia juga yang kurang ajar berani menggaga-
hiku!" timpal Andini dengan ketus.
Lanang berkata lagi. "Katakan di mana orang
itu, dan di mana bunga teratai itu disimpannya...!"
"Puiih...!" Gadis itu meludah ke arah Lanang, tapi tidak mengenai Lanang sedikit
pun. Hanya sa-ja, kaki Andini yang ada di samping kanannya se-
gera menginjak perut gadis itu dengan keras. Ga-
dis itu tak sempat mengaduh, namun ia meringis
kesakitan. Lanang sebenarnya kurang setuju den-
gan tindakan Andini, namun untuk saat itu ia tak
ingin banyak berdebat dulu.
"Jangan coba-coba menguji keberanian kami,
ya"!" kata Andini. Gadis itu masih menyeringai kesakitan.
"Aku... tidak tahu..." suaranya makin lemah.
Lanang menimpali kata, "Kalau begitu, usaha
kami sia-sia menawanmu begini. Baiklah, kubu-
nuh saja kau dengan pelan-pelan...!" Lanang mulai mengarahkan pedangnya pelan-
pelan ke arah betis
gadis itu. "Untuk yang pertama, kau harus merasakan
betapa sakitnya jika kakimu terpotong dalam kea-
daan sadar... Selamat menikmati!" Lanang men-gangkat pedangnya, dan gadis itu
pun berteriak tertahan: "Jangan...! Jangan lakukan itu...!" Ia mulai menangis.
"Katakan, di mana?" ulang Lanang.
"Di... di dalam rumah panjang itu...." jawab gadis berikat kepala merah dengan
perasaan ngeri yang mencekam jiwa.
"Siapa yang ada di dalam rumah itu?"
"Nyai...." jawabnya. "Tadinya kami berenam, tujuh dengan Nyai Katri, guru kami.
Tapi sekarang, lima dari kami sudah kalian
bunuh, tinggal kami berdua: aku dan Nyai."
"Kudengar kau disuruh memanggil Putra
Tunggal, siapa orang itu?" desak Lanang.
"Dia... dia... satu-satunya lelaki yang menjadi murid Nyai. Di samping murid,
juga sebagai pelayan kami, jika... jika kami membutuhkan kehan-
gatan. Sebab itu, dia disebut Putra Tunggal. Di-
alah yang mencuri bunga itu dan menitipkan ke-
pada Nyai untuk disimpan dan dijaga... Oh, le-
paskan aku!"
"Hei, kau bilang di sini hanya ada satu lelaki.
Tetapi waktu kami datang, kami diserang seorang
lelaki di pantai...." kata Andini.
"Dia... bukan lelaki. Dia perempuan juga...."
"Ooh...." Andini bertatapan mata sejenak dengan Lanang.
Lanang mengajukan pertanyaan, "Siapa Nyai
Katri itu sebenarnya, hah"!"
"Ia yang berjuluk... Iblis Pulau Kramat,..!" gadis itu menghirup udara dengan
susah, lalu berka-
ta lagi. "Nyai adalah penguasa tunggal pulau ini, yang mempunyai rencana untuk
mempunyai keturunan. Sebelum ia mempunyai keturunan ia akan
menguasai dunia, sehingga kelak dunia ini adalah
milik anak turunnya. Untuk itu, ia perlu pasukan, dan kami diculik dan dipaksa
untuk menjadi bahan percobaan ilmu dan benih pembuahan...."
"Benih dan pembuahan..."!" Andini merasa heran, tapi gadis itu tetap menjelaskan
secara gam- blang. "Ia seorang ahli tanaman. Ia menemukan bebe-
rapa getah tanaman yang sangat ajaib. Bila di-
campur dengan... dengan bibit dari lelaki akan
menghasilkan anak yang luar biasa ketangguhan-
nya. Namun, selama ini masih gagal. Ia masih per-
lu menguji ilmunya dan mencoba apa yang dite-
mukannya. Salah satu dari teman kami... pernah
melahirkan anak, namun berbentuk aneh. Seperti
monyet, tapi mempunyai sisik. Dan... dan ia tak
tahan terkena panas matahari, akhirnya bayi itu
mati kering seperti tanaman kurang air."
"Kurasa dia di sini juga tertekan," kata Lanang kepada Andini.
Andini mengangguk.
Gadis itu mendengar, dan menyahut, "Benar.
Aku memang tertekan. Tapi aku harus menunai-
kan tugasku jika aku ingin tetap selamat, dan bisa kembali ke rumah keluargaku."
"Kalian dibekali ilmu tinggi dari Nyai?" tanya Lanang.
"Ya. Dan itu kesempatan bagiku untuk menca-
ri kelengahan dan kesempatan kabur dari sini.
Nyai memang berilmu tinggi. Tak ada yang bisa
membunuhnya, karena ia bisa berubah menjadi
bayangan yang tak mampu ditebas pedang atau
senjata apa pun...."
"Puri Sendang Bangkai!" seru Lanang seperti baru saja menemukan satu ingatan
yang sejak ta-di dipikirkan. Ya, suara perempuan yang dipanggil Nyai itu persis
dengan suara Peri Sendang Bangkai. Ilmu yang dimiliki Nyai juga sama dengan il-
mu yang dimiliki Peri Sendang Bangkai, atau Gus-
ti Dalem yang pernah berkuasa di Tebing Neraka.
Merinding bulu kuduk Lanangseta setelah ta-
hu, bahwa perempuan cantik berjubah biru tipis
itu adalah perubahan wujud Peri Sendang Bangkai
atau Gusti Dalem. Perempuan itu dulu pernah
menculik Lanang dan Ekayana untuk dijadikan
bibit unggul. Rupanya Peri Sendang Bangkai yang
nama aslinya Areswara itu, mempunyai serang-
kaian kegiatan kejahatan dengan tujuan sama, da-
ri sejak peristiwa Rahasia Sendang Bangkai, sam-
pai peristiwa Gerhana Tebing Neraka, dan seka-
rang ini, ia masih tetap bertujuan sama: yaitu
menciptakan satu keturunan yang akan mengua-
sai dunia dengan ilmu-ilmu dahsyatnya dan kelai-
nan-kelainan fisiknya.
"Dia musuh lamaku, Andini."
"Aku tahu. Tapi tidak kubiarkan kau menyele-
saikannya sendiri. Aku harus mendampingimu,
Lanang," kata Andini.
Gadis itu menyahut. "Jangan! Kalian akan ce-
laka! Apalagi seorang lelaki, ia akan menggunakan ilmunya yang paling dahsyat
untuk menundukkan
lelaki itu, sehingga kelak akan menjadi budak nafsunya."
"Kau dengar itu, Lanang?" kata Andini. "Kurasa ada baiknya kalau aku saja yang
menyelesai- kan urusan ini.... Aku tak ingin dia berhasil me-
renggut mu tiap malam...."
Lanang baru saja akan menjelaskan maksud-
nya kepada Andini, tetapi mulutnya mendadak tak
jadi berucap kata, karena tahu-tahu ia harus me-
lesat ke atas dan berguling di udara beberapa kali.
Sebuah serangan tak terlihat mata. Serangan itu
berupa jarum-jarum hitam yang beracun ganas.
Jumlahnya lebih dari seratus mata jarum. Dan
Lanangseta berhasil menghindar. Pada saat itu,
terdengar pula tawa seorang lelaki yang segera
menampakkan diri beberapa langkah dari tempat
gadis berikat kepada merah tertawan.
"Lanangseta.... Ahai, punya gundik pula kau
rupanya!" "Prabima..."!" Lanangseta menggeram dan terbakar darahnya teringat peristiwa
yang pernah di-
alami bersama Prabima Wardana, (dalam kisah
Pedang Semerah Darah) yang nyaris merenggut
nyawa Kirana. "Lanang, dialah orang yang pernah mau mem-
perkosaku!" teriak Andini. "Hei, Setan... sekarang saatnya aku menebus
kekalahanku tempo hari,
hiiaaaat...!!"
Andini meloncat dengan pukulan diarahkan ke
Prabima. Tapi Prabima mengibaskan tangannya
bagai menepiskan nyamuk, dan pada saat itu tu-
buh Andini terlempar bersama satu pekikan terta-
han. "Bangsat kau, Prabima...!" Lanangseta hendak menyerang. Namun, Prabima segera
mengeluarkan tangan kirinya yang sejak tadi disembunyikan di
belakang. Ia berseru:
"Berhenti, Lanang! Atau bunga ini ku makan
sekarang juga, ha... ha... ha...."
Gerakan Lanang tertahan seketika setelah ia
tahu bahwa Prabima membawa bunga Teratai
Wingit dan mengancamnya hendak memakan. La-
nangseta jadi tegang. Kalau bunga itu dimakan
Prabima, maka habislah riwayat cinta kasihnya
dengan Kirana. Sebab itu ia harus hati-hati. Pra-
bima memegang bom yang sewaktu-waktu bisa
meledak. "Ikut aku, Lanang. Kalau kau membangkang,
maka bunga ini akan ku makan di depanmu! Se-
karang kau harus ikut aku menghadap Nyai Ka-
tri...!" "Bertarunglah secara ksatria, Prabima...!"
"Oh, itu soal nanti. Tetapi sekarang kau harus menurut padaku. Ikut aku,
menghadap Nyai, agar
Nyai merasa bangga dan gembira, sebab ia pasti
membutuhkan bibit keturunanmu. Dan, kuja-
min... kau akan ketagihan dengannya Lanang.
Kau harus bersekutu dengannya, sebab dialah
yang akan memberimu segala yang kau cari di da-
lam seorang perempuan!"
"Tidak! Jangan paksa dia menghadap Iblis Pu-
lau Kramat itu! Tidaaakk...!" Andini yang ketaku-tan segera melayang seraya
tangan kanannya ber-
gerak memukul Prabima dengan tenaga dalam
yang disebut pukulan Bidadari Senja. Prabima me-
lesat dalam satu loncatan, dan pukulan itu men-
genai perut gadis yang masih tertawan dalam kea-
daan telentang di tanah. Akibatnya, gadis itulah yang meregang menemui ajal
dengan perut menja-
di hitam seketika.
Lanangseta menggunakan kesempatan itu un-
tuk bersalto ke arah Prabima. Hampir saja Prabi-
ma lengah dengan bunga di tangannya. Ia masih
bisa berkelit menghindari bunga dari raihan tan-
gan Lanang. Tapi pada saat itu tubuh Andini me-
luncur cepat ke arah Prabima, membuat Prabima
terpaksa berguling-guling di tanah. Dan Lanang
segera mengimbangi gulingan itu sehingga pan-
dangan Prabima menjadi kacau. Prabima berhasil
melentikkan tubuh ke udara, tapi Andini segera
menyerang dengan pukulan Bidadari Senja yang
membuat Prabima jadi terteter menghindarinya. Ia
bersalto lagi. Lanangseta memapaskan dengan ge-
rakan bersalto juga, dan berhasil menendang
pinggang Prabima. Tubuh Prabima melayang di
udara. Belum sampai mendarat ke tanah, Andini
menyongsongnya dengan suatu tendangan ber-
ganda dan mengenai dagu Prabima. Tubuh Prabi-
ma melesat karena tersentak tendangan kaki An-
dini. Ia segera menjaga keseimbangan tubuh den-
gan merentangkan kedua tangan dan me-letakkan
posisi kakinya untuk mendarat dengan tegap.
"Hiaaaat...!!"
Kaki Prabima berhasil berdiri tegap di tanah,
namun suara pekikan itu mengejutkan dia. Suara
itu datang dari arah belakangnya. Sesosok tubuh
melayang dan menyambar bunga teratai dari tan-


Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan Prabima. Tubuh itu jatuh di depan Lanangseta
dengan teriakan kesakitan karena ia jatuh dalam
posisi pinggang membentur batu.
"Aadooouuhh...!!" teriaknya seraya memegang bunga teratai di tangannya.
"Jaka Bego..."!" teriak Lanang terkejut melihat Jaka Bego sudah berada di situ
dan dalam keadaan memegang bunga teratai.
Prabima menyerang Jaka Bego, tetapi suara
dari belakangnya membuat gerakan Prabima ter-
henti. "Cukup Putra Tunggal...! Serahkan dia pada-
ku...!" "Oh, rupanya kau turun tangan juga, Peri Sendang Bangkai," kata Lanangseta
dengan geram. Saat itu, Prabima mundur, dan Peri Sendang
Bangkai maju. "Kau masih mengenaliku, Lanangseta"! Ba-
gus!" Jaka Bego segera berkata, "Lanang... bawa
bunga ini dan larilah...! Lekas, lari... bawa kabur bunga ini...!"
Lanang telah memegang bunga Teratai Wingit,
namun ia masih bimbang dengan saran Jaka Be-
go. Jaka berseru lagi, "Lekas lari, biar ku rayu perempuan itu, tolol! Lari...!"
Jaka Bego terpaksa menendang Lanangseta. Tendangannya begitu
kuat dan Lanang pun terpental jauh. Kemudian
Andini menggeret tangan Lanang seraya berkata,
"Ayo, lari...! Larilah...! Aku yang melindungimu da-ri belakang!"
"Putra Tunggal, kejar dan tangkap mereka...!!"
teriak Peri Sendang Bangkai yang di situ disebut
Nyai Katri. Prabima melesat mengejar Lanang dan
Andini, sementara itu, Jaka Bego yang hendak
bergerak menjadi diam bagaikan robot. Ia telah
terhipnotis oleh kekuatan Nyai Katri dan berjalan mengikuti Nyai Katri menuju
rumah panjang itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
Iblis Sungai Telaga 29 Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Kisah Si Pedang Kilat 9
^