Pencarian

Kembalinya Siluman Harimau 1

Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang Bagian 1


KEMBALINYA SILUMAN HARIMAU
KUMBANG Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 014:
Kembalinya Siluman Harimau Kumbang
1 Dengan sekali genjot, tubuhnya yang kurus ke-
rempeng itu, telah pula melayang begitu ringannya.
Seolah tubuhnya yang kurus kerempeng tiada memiliki
bobot. Laki-laki itu memang sudah sangat tua sekali, bahkan mungkin usianya
sudah lebih dari delapan puluh tahun. Namun sungguh pun begitu dia masih keli-
hatan lincah. Tidak pernah terlihat kelelahan mem-
bayang di wajahnya yang sudah keriputan di sana sini.
Laki-laki berkepala botak plontos itu dalam lingkungan tempat tinggalnya dikenal
sebagai orang tua yang sangat arif memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Sela-
ma malang melintang dalam dunia persilatan beberapa
puluh tahun yang lalu. Dia dikenal sebagai si Pedang Walet Merah, ketimbang
namanya sendiri Sandi Marta.
Namun sudah lebih dari dua puluh tahun semenjak
usianya menginjak enam puluh tahun, Sandi Marta
mulai mengasingkan diri di Bukit Kramat. Selanjutnya nama besarnya yang
menghebohkan itu pun sudah
mulai jarang diingat orang, lebih tepat terlupakan.
Walau begitu, sungguhpun dia telah lama me-
ninggalkan dunia persilatan tapi ajaran silatnya terus berkembang, termasuk juga
jurus-jurus Pedang Walet
Merah yang diciptakannya masih segani oleh kalangan
persilatan sampai saat itu. Bahkan murid tunggalnya
telah pula mendirikan sebuah perguruan besar yang
bernama Perguruan Walet Merah. Perguruan itu seper-
ti kabar yang didengarnya dipercaya sebagai tempat
penyimpanan Arca Harimau Kumbang lambang persa-
tuan dari kaum bergolongan lurus. Kabar yang dia
dengar itu saja bagi Sandi Marta atau si Pedang Walet Merah merupakan satu
kebanggaan tersendiri. Sebab
dengan berdirinya perguruan itu merupakan satu buk-
ti bahwa muridnya Luga Kencana memang benar telah
memenuhi pesan-pesan yang dulu pernah dia sampai-
kan pada murid tunggal itu.
Pada saat itu, Sandi Marta nampak sedang di
atas sebongkah batu yang sangat licin. Sementara itu tidak begitu jauh di
depannya nampak pula berdiri tegak dua batang pohon yang sangat besar. Mata tua
Sandi Marta memandang sejurus pada pohon yang
berdiri kokoh itu. Lalu alisnya yang sudah putih ke-
coklatan itu pun mengernyit. Selanjutnya dengan posi-si tegak, sebelah tangannya
sudah terangkat tinggi-
tinggi. Secara perlahan kaki kanan mulai menekuk, selanjutnya dengan mengerahkan
setengah dari tenaga
dalam yang dia miliki, selangkah demi selangkah dia
undur dari tempatnya berpijak. Sejenak dia memu-
satkan segala pemikirannya. Secara perlahan tenaga
sakti itu mengalir ke bagian telapak tangannya. Nam-
pak uap putih mengepul di sana lalu tubuhnya yang
kurus ceking itu pun menggeletar.
Selanjutnya dengan disertai jeritan melengking
Sandi Marta pukulkan kedua tangannya mengarah pa-
da kedua pohon itu.
"Wuuss!"
Terdengar suara berdebum manakala kedua
pohon itu roboh terhantam pukulan yang dilakukan
oleh Sandi Marta. Maka tak pelak lagi debu-debu pun
beterbangan me-ngepul ke udara. Sejenak Sandi Marta
memandang kembali pada apa yang baru saja dilaku-
kannya. Selanjutnya seorang diri dia berkata:
"Ha... kek... kek...! Aku ini sudah tua bangka.
Tapi pukulan Sepasang Walet Memburu Capung masih
juga sebaik yang dulu. Padahal telah lama aku tiada
lagi mempergunakannya. Hemm...!" Kakek Sandi Marta
bergumam. Selanjutnya sambil melayangkan pandan-
gan matanya jauh-jauh dia berkata lagi seorang diri.
"Andai saja, hidup ini bisa terulang, jika saja aku dapat kembali seperti
seorang bayi yang baru dilahirkan.
Maka aku akan memilih hidup sebagaimana layaknya
manusia biasa saja. Tidak perlu rumit membasmi sega-
la sepak terjang segala kucing kurap, dan tiada pula perlu membasmi tikus-tikus
yang berebut kekua-saan...!" ujar si Pedang Walet Merah yang rada-rada budek
ini. Sejenak laki-laki berkepala botak plontos itu berjalan hilir mudik di atas
batu berlumut sangat tebal lagi licin. Wajahnya nampak menunduk, dalam tertunduk
itu, nampaklah gagang sebilah pedang berkepala
Walet Merah tersembul di bagian tengkuknya yang
berpunuk bagaikan sapi. Namun bukan daging, me-
lainkan tonjolan tulang tua yang sudah merapuh.
Sementara itu dari tempat si Pedang Walet Me-
rah berdiri tegak, nampak tiga ekor kuda berwarna hitam sedang dipacu sangat
cepat oleh diri yang duduk
di atasnya. Adapun kuda yang berada di bagian depan, nampak seorang laki-laki
bertangan buntung di bagian kanan. Laki-laki itu berbadan tinggi, sungguhpun
tidak begitu gemuk, tapi bagi si Pedang Walet Merah
akan tahu bahwa orang itu tak lain merupakan murid
tunggalnya. Dan dua orang lainnya merupakan murid-
murid tingkat satu dan dua dari si orang penunggang
kuda itu. Tidak sampai sepemakan sirih, tiga orang pe-
nunggang kuda itu telah membelok ke sebuah tikun-
gan yang sangat tajam. Seperti yang diharapkannya,
begitu mereka sudah melewati tikungan yang kanan
kirinya merupakan tebing lumut. Maka terlihat oleh
mereka si Pedang Walet Merah duduk ongkang-
ongkang sambi menimang-nimang sebuah pedang ber-
kepala Burung Walet Merah yang pada jamannya per-
nah menggemparkan kaum persilatan.
Kakek tua itu masih tenggelam dalam keasyi-
kannya, bahkan dia pun sampai tidak menyadari ka-
lau saat itu derap langkah kuda semakin mendekat ke
arahnya. "Guru...!" Berseru Luga Kencana begitu dia melompat turun dari punggung kudanya.
Seraya sudah menjatuhkan diri kemudian bersimpuh tujuh meter di
bawah batu besar tempat di mana si Pedang Walet Me-
rah berada. Laki-laki tua berkepala botak plontos itu sesaat mengalihkan
perhatian-nya dari pedang yang
berada di atas telapak tangannya kepada laki-laki setengah baya yang bersimpuh
di bawah batu itu. Begitu dia mengenali siapa adanya laki-laki yang duduk
bersimpuh di hadapannya itu, sontak matanya terbelalak
lebar. Alis mata menggerimit. Luga Kencana ketua Perguruan Walet Merah. Itu
pasti, namun yang membuat
Sandi Marta terkejut adalah mengenai tangan Luga
Kencana yang terkutung. Apakah yang telah terjadi
atas diri murid tunggalnya itu" Merasa sangat penasaran, maka sekejap kemudian
dia sudah bertanya.
"Luga Kencana! Apa yang telah terjadi atas di-
rimu...?" Yang ditanya sebentar menundukkan kepalanya, menjura lalu dengan wajah
masih tertunduk dia menjawab pelan.
"Guru! Celaka guru...!" ucap Luga Kencana
mendadak saja menjadi gugup tidak karuan. Sandi
Marta agak telengkan kepalanya, dia merasa kurang
jelas dengan apa yang dikatakan oleh murid tunggal-
nya itu. Maka: "Sialan kau Luga! Kau ini, sudah sepuluh ta-
hun tidak ketemu dengan gurumu, tiba-tiba begitu kau muncul telah berani pula
kau memakiku, celaka...?"
gerutu Sandi Marta yang salah dengar. Luga Kencana
geleng-gelengkan kepalanya. Sama sekali dia tidak
menyangka kalau penyakit gurunya yang budek itu
semakin bertambah parah saja. Akhirnya dengan san-
gat sabar dan setengah menjura dia berucap kembali.
"Maaf, bukan itu maksudku, Guru! Sama sekali
murid tidak ada niatan untuk memaki orang tua yang
paling murid hormati. Maksud murid datang ke mari
adalah ingin menyampaikan kabar tentang lenyapnya
Arca Harimau Kumbang dari Perguruan Walet Me-
rah...!" Agak keras suara Luga Kencana, hingga membuat Sandi Marta tersentak dan
merasa dibentak.
"Kurang asem, berani kau membentak ku. Aku
masih belum tuli, Luga! Kalau setengah budek me-
mang iya...!" Sandi Marta diam sesaat. Sepasang matanya berputar-putar memandang
Luga Kencana dan
murid dari muridnya itu silih berganti. Selanjutnya
dengan sorot mata kurang senang dia berkata lirih
namun penuh teguran: "Manusia memang selalu begi-tu, andai dia merasa senang
dalam hidupnya, dia sela-lu lupa pada asal usulnya. Gemerlapnya dunia yang
sesungguhnya cuma sedikit itu telah pula membuat-
nya terlena. Namun sekali dia jatuh, dia akan meren-
gek meminta bantuan siapa saja. Contohnya seperti
kau ini Luga Kencana. Kedatanganmu jauh-jauh dari
Perguruan Walet Merah sudah tentu membawa tujuan
yang pada akhirnya akan menyeret-nyeret ku kembali ke dunia ramai bukan...?"
Luga Kencana wajahnya sebentar memerah di
lain saat berubah pula memucat. Sama sekali dia tak
berani memandang wajah gurunya. Memang benar dia
akui, bahwa selama hampir sepuluh tahun dia tidak
pernah menjenguk gurunya yang mengasingkan diri di
Bukit Kramat. Hal itu sesungguhnya bukan berarti Lu-
ga Kencana tidak ingat dengan segala apa yang pernah diberikan oleh laki-laki
berkepala botak ini. Tidak sa-ma sekali. Selama ini Luga Kencana sangat sibuk
den- gan segala macam urusan perguruan. Belum lagi uru-
sannya sebagai orang yang sangat dipercaya untuk
menyimpan dan menjaga keselamatan Arca Harimau
Kumbang yang merupakan lambang persatuan kaum
persilatan bergolongan lurus. Namun walaupun arca
itu sudah dijaga sedemikian ketatnya, masih saja arca tersebut masih dapat di
curi oleh seseorang.
"Guru... maafkanlah. Murid memang salah ka-
rena tidak pernah mengunjungi guru di sini. Tapi se-
mua itu karena kesibukan murid dalam mengatur su-
asana perguruan yang masih semerawut...!" Si Pedang Walet Merah tersenyum
mencemooh begitu mendengar
pengakuan muridnya. Lalu dengan sikap acuh kakek
berkepala botak itu menukas.
"Kalau kau turuti, segala urusan dunia itu tia-
da habis-habisnya. Apa yang kau kejar Luga..." Ter-
nyata apa yang kau lakukan hasilnya. tetap sia-sia
bukan" Arca itu kini lenyap, tanganmu sudah kau
korbankan pula."
Luga Kencana hanya menarik nafas pendek,
mendadak dadanya terasa menyesak diliputi rasa ber-
salah. "Tapi guru, tanganku ini sampai terkutung bukan karena bertarung dengan
pencuri arca itu. Aku telah terlibat bentrokan dengan seorang pemuda gembel
yang menamakan dirinya sebagai si Hina Kelana (Da-
lam Episode Siluman Harimau Kumbang)." Terbelalak kedua bola mata Sandi Marta
begitu mendengar penje-lasan muridnya. Sama sekali dia tiada menduga kalau
hari itu dia mendengar pengakuan bahwa muridnya
pernah bertemu dan bahkan sampai bentrok dengan
Pendekar Hina Kelana yang sangat menghebohkan itu.
Hemm. Sungguh sebagai seorang guru dan sekaligus
merupakan orang tua angkatnya dia ingin mendengar
sendiri seberapa hebat pendekar yang tak pernah ken-
al kompromi dalam membasmi segala bentuk kejaha-
tan. "Luga Kencana, kau sampai berselisih paham
dengan bocah keturunan Raja Bunian itu. Tentu ada
alasan tertentu sehingga kau melakukannya...! Coba
katakan..,!" Luga Kencana terbelalak matanya begitu Sandi Marta menyebut-nyebut
bahwa si Hina Kelana
merupakan keturunan Raja Bunian. Sungguhpun dia
belum paham betul dengan keterangan yang di-
ucapkan gurunya itu, tapi akhirnya dia malah balik
bertanya: "Raja Bunian" Apakah maksudmu, Guru...?"
"Ditanya malah ganti bertanya! Sungguh seba-
gai seorang ketua perguruan kau memiliki pandangan
yang sempit!" kata Sandi Marta mencela, lalu garuk-garuk kepalanya yang botak
itu. "Apa maksud guru! Bocah gembel itu coba-coba
melindungi anak seorang tukang tadah pencurian Arca
Harimau Kumbang.
Sedangkan pencuri arca tersebut telah pula
membunuh lima orang murid-muridku. Masakan aku
harus tinggal diam, padahal bocah hina itu telah
membunuh pula puluhan orang muridku...!" cela Luga Kencana dengan nada sedikit
meninggi. Tentu saja
ucapan Luga Kencana membuat Sandi Marta menjadi
memerah wajahnya. Bagaimana mungkin seorang pen-
dekar pilih tanding bersedia melindungi anak seorang tukang tadah, mungkin saja
Luga Kencana hanya salah penilaian.
"Luga, janganlah kau memandang seseorang
hanya secara lahiriahnya saja. Sebagai seorang pendekar pembela kebenaran,
sangat mustahil si Hina Kela-
na mau melindungi orang yang bersalah. Pula mung-
kin saja kau telah mengambil tindakan yang sangat
gegabah sehingga atau bahkan kau menyerang dia ter-
lebih dahulu sehingga pemuda itu membunuh murid-
muridmu!" Begitu tegas Sandi Marta berkata, tapi begitu pun dia masih berusaha
membantah apa yang dika-
takan oleh gurunya.
"Guru. Tak mungkin murid mau bertindak ge-
gabah andai orang itu benar-benar tidak mencuriga-
kan?" Sandi Marta atau si Pedang Walet Merah, hentak-hentakkan kaki karena
kesalnya melihat Luga


Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kencana yang keras kepala itu.
"Mencurigakan bagaimana" Bukankah kau
sendiri tak melihat apa yang seperti apa yang kau tu-duhkan itu dengan mata
kepala sendiri?"
"Tapi sumber-sumber yang dapat dipercaya
mengatakan bahwa pencuri arca itu mempunyai hu-
bungan yang sangat dekat dengan Rajenta?"
Sandi Marta kembali miringkan telinganya yang
rada-rada budek itu.
"Apa katamu...?" Ulang Sandi Marta merasa kurang jelas.
"Rajenta, kononnya mempunyai hubungan
dengan Gembel Pengemis dari Pulau Naga...!" kata Lu-ga Kencana dengan suara
sedikit keras. "Hemm...!" Si Pedang Walet Merah nampak
angguk-anggukkan kepalanya. Kemudian lanjutnya.
* * * 2 "Bukankah Rajenta merupakan seorang bekas
saudagar kaya yang juga masih merupakan keturunan
bangsawan" Lalu si gembel pengemis yang berkepala
botak itu. Kuketahui sebagai seorang tokoh sesat yang sangat berbahaya.
Bagaimana mungkin mereka dapat
bekerja sama...?" tanya Sandi Marta tiada percaya.
"Dunia ini penuh dengan segala kemungkinan,
Guru! Bahkan mungkin guru tiada pernah percaya ka-
lau Gembel Pengemis dari Pulau Naga sewaktu-waktu
dapat berubah menjadi seekor Siluman Harimau Kum-
bang?" Sandi Marta terbelalak matanya begitu mendengar apa yang diucapkan oleh
Luga Kencana murid-
nya. Sama sekali dia tiada menduga bahwa tokoh sesat yang dulu hampir membuatnya
celaka itu kini telah
pula dapat merubah dirinya menjadi seekor siluman
yang ganas. "Dari mana dan bagaimana hal itu bisa sampai
terjadi" Luga Kencana, bicara yang benar pada guru-
mu ini...!" kata Sandi Marta dengan sikap sangat penasaran sekali. Luga Kencana
kembali menjura, setelah
sebelumnya melirik pada salah seorang muridnya yang
duduk bersimpuh di belakangnya.
"Salah seorang muridku yang telah kutugaskan
sebagai mata-mata melihat dengan jelas bagaimana
Gembel Pengemis dari Pulau Naga itu merobek-robek
tubuh kawan-kawannya...!" jelas Luga Kencana dengan mimik wajah serius. Sontak
Sandi Marta sambil tepuk-tepuk jidatnya.
"Kacau-kacau.... Kalaulah bangsat itu yang kini dapat berubah-rubah menjadi
seekor siluman. Dunia
persilatan bisa jadi berantakan, dulu sebelum dia dapat berubah menjadi penganut
ilmu sesat saja sudah
begitu banyak orang yang kojor di tangannya. Jangan-
kan sekarang ini...!"
Sungguhpun Luga Kencana ingin tertawa
demi mendengar apa yang dikatakan oleh gurunya
yang terkadang bertabiat konyol, namun sedapatnya
demi menghormati gurunya di depan murid-muridnya
sendiri, maka dia hanya menundukkan kepala saja.
Tetapi selanjutnya dia berucap: "Guru, Gembel Pengemis bukan penganut ilmu sesat
namun arca itulah
yang membuat dia dapat berubah ujud menjadi seekor
siluman yang sangat berbahaya...!" kata Luga Kencana menjelaskan.
Si Pedang Walet Merah manggut-manggut,
sungguhpun dia merasa kurang begitu jelas dengan
apa yang dikatakan oleh muridnya.
"Apa sih yang kau maksudkan...?" Ketua Partai Walet merah geleng-gelengkan
kepalanya. Dasar guru
budek! Umpatnya di dalam hati.
"Maksud murid begini, Guru! Di dalam mulut
Arca Harimau Kumbang terdapat sebuah kitab tipis
yang di dalamnya memuat tentang ilmu pelajaran Si-
luman Harimau Kumbang. Dari kitab itulah Gembel
Pengemis memiliki ilmu yang sangat langka itu...!"
Si Pedang Walet Merah menggerimit, walau ba-
gaimana pun, kini Gembel Pengemis merupakan orang
yang dapat membahayakan dunia persilatan. Perlukah
dia campur tangan" Sedangkan dia sendiri selama ini
sudah memutuskan untuk menjauhi keramaian dunia.
Tapi kalau dia biarkan muridnya seorang diri merebut kembali arca yang telah
dicuri oleh Gembel Pengemis.
Hal itu malah berakibat sangat fatal pada diri muridnya. Seperti dia ketahui
Gembel Pengemis adalah me-
rupakan seorang dedengkot iblis yang sewaktu-waktu
dapat melakukan pukulan-pukulan sangat keji yang
bersumber dari kepala tongkatnya yang berkepala Na-
ga Merah itu, tidak dia harus aku sertai walau ke ma-na pun dia pergi. Batin
Sandi Marta dalam hati.
"Orang itu benar-benar sangat berbahaya Luga.
Kau tak mungkin menghadapinya seorang diri...!"
Bukan main girangnya Luga Kencana demi
mendengar isyarat yang bertujuan sangat baik itu.
"Jadi guru mau menyertai muridmu ini dalam
membasmi Gembel Pengemis, dan bukan tak mungkin
masih ada orang lain yang berdiri di balik dedengkot iblis tersebut...!"
Si Pedang Walet Merah itu nampak tercenung
beberapa saat lamanya. Sejurus kemudian dia sudah
menoleh lagi pada muridnya, lalu berkata:
"Hemm. Sudah dua puluh tahun lebih aku me-
ninggalkan dunia persilatan. Dan sesungguhnya aku
tak ingin lagi melihat darah dari pangkal leher yang terputus. Tapi kalau
kupikir-pikir, rasanya aku tak te-ga membiarkan kau pergi menghadapi manusia
iblis itu seorang diri. Dan tak mengapa kalau dalam sisa-
sisa umurku ini ingin membantumu, atau membantu
siapa saja demi kepentingan dan sebuah kebenaran.
Tapi ingat, aku juga ingin melihat apakah ceritamu
tentang Pendekar Hina Kelana yang sangat menghe-
bohkan itu ada benarnya atau tidak. Kalau nantinya
apa yang kau katakan itu tidak benar, maka jangan
harap pertolonganku untuk memusuhi pemuda itu...!"
kata Sandi Marta begitu tegas.
"Terima kasih, Guru...! Segala apa yang guru
berikan pada muridmu ini, dengan apakah musti mu-
rid balas?" kata Luga Kencana sambil menjura hormat.
Si Pedang Walet Merah geleng-gelengkan kepalanya
yang botak mengkilat. Seraya menatap tajam pada Lu-
ga Kencana yang masih tetap duduk berlutut di hada-
pan gurunya. "Sudah, aku tak perlu basa basi yang membuat
perutku bagai diaduk-aduk. Ayolah kita berangkat se-
karang juga!" kata Sandi Marta. Tapi alis Luga Kencana menggerimit.
"Ada apa...?" tanya si Pedang Walet Merah.
Yang di tanya tersentak kaget. Lalu dengan ter-
bata-bata: "Eee... apakah guru mau murid bonceng di-belakang kudaku..."!" tanya
Luga Kencana dengan ra-sa harap-harap cemas. Mendadak Sandi Marta tertawa
tergelak-gelak. Baik Luga Kencana, terlebih-lebih kedua muridnya nampak
terkesiap. Jantung mereka
bahkan berdenyut-denyut terasa sakit bukan alang
kepalang. Jelaslah sudah dalam tawanya tadi di sertai tenaga dalam yang kuat.
Namun sekejap saja Sandi
Marta telah menghentikan tawanya. Selanjutnya tanpa
menghiraukan murid dan dua orang murid Luga Ken-
cana. "Luga Kencana, mana cepat lari kudamu dengan lajunya Bayu Berhembus" He...
he... he...!" Luga Kencana mau tak mau jadi tersenyum sendiri begitu
teringat bahwa gurunya memiliki Ajian Bayu Berhem-
bus. "Kalau begitu marilah kita berangkat, Guru...!"
Belum lagi Luga Kencana selesai, si Pedang Wa-
let Merah sudah lenyap dari pandangan mata mereka.
"Sialan!" umpat Luga Kencana, kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi, Ketua
Perguruan Walet Merah yang sudah buntung tangannya itu pun melompat
ke punggung kudanya. Selanjutnya sekali saja dia
menggebrak kudanya, maka kuda-kuda itu pun mele-
sat bagai anak panah.
* * * Delapan hari berjalan kaki, kemarau panjang
dengan terik panasnya yang membakar. Membuat ga-
dis berwajah jelita itu sebentar-sebentar mengeluh.
Bekal yang ada di dalam periuk yaitu yang berupa
dendeng ikan lumba-lumba sejak kemarin sore sudah
habis. Persediaan air juga habis. Tak terlihat parit-parit bekas genangan air.
Sumber-sumber mata air ju-
ga mengering. Kemarau hampir sepanjang tahun me-
mang membuat suasana di sekitar perkampungan
yang mereka lewati nampak kering kerontang. Cela-
kanya lagi tak ada warung penjual makanan di kanan
kiri jalan itu. Mereka terus melangkah, sesekali pemu-da yang berjalan di sisi
gadis itu nampak melirik ke arah bagian kaki si gadis yang sudah pecah-pecah le-
cet mengeluarkan darah. Sesungguhnya dia merasa
iba dengan apa yang dialami oleh gadis di sisinya. Tapi nampaknya gadis itu
sangat keras kepala, dipapah dia tidak mau. Digendong apalagi. Siapakah
sesungguhnya pemuda tampan yang berjalan dengan gadis cantik di
sampingnya. Tak lain dialah Pendekar Hina Kelana dan Dewi Wening Asih yang
sedang dalam perjalanannya
mencari Arca Harimau Kumbang sekaligus Siluman
Harimau Kumbang yang akhir-akhir ini mulai menye-
bar maut di mana-mana.
"Kelana, sampai kapankah kita terus melaku-
kan perjalanan seperti ini. Aku haus, kaki pun rasanya sudah tak kuat lagi untuk
melakukan perjalanan...!"
Sejenak pemuda itu menghentikan langkahnya. Meno-
leh sekejap, selanjutnya memandang ke arah rumah
penduduk yang nampak padat dan ramai.
"Cobalah bertahan sebentar! Mungkin di depan
sana kita akan mendapatkan warung tempat penjual
makanan, mudah-mudahan kita dapat melepas lelah
sekaligus mengisi perut yang sudah kekrukukan...!"
"Tapi aku sudah tidak kuat, Kelana...!" kata Dewi Wening Asih sambil menyeringai
menahan sakit yang tiada tertahankan.
"Sudah sejak kemarin-kemarin kau kuminta
supaya kugendong saja, tapi kau tak mau, siapa sa-
lah...!" Memberungut Buang Sengketa sambil memijit-mijit kaki Dewi Wening Asih
yang masih saja terus
mengeluarkan darah. Gadis jelita itu pun tak kalah
cemberutnya. "Kau ini sungguh membosankan. Ceriwis kayak
perempuan, kau kan tahu bahwa aku bukan anak ke-
cil lagi. Aku malu kalau kau sampai menggendong ku,
bagaimana nanti kata orang?"
"Menggendong orang saja apa susahnya, toh
aku masih memiliki sisa-sisa tenaga kalau cuma
menggendong kau yang tidak seberapa beratnya...!"
Dewi Wening Asih banting-banting kakinya, geram se-
kali rasa hatinya. Dalam penilaiannya pemuda yang
berdiri di depannya itu sangat tolol sekali. Dia tak mengerti dengan apa yang
dia maksudkan. "Kau ini memang tampan Kelana, sayangnya
kau memiliki kepandaian tidak lebih dari seekor keledai...!" Buang Sengketa
nampak terbelalak matanya, tiada dia menyangka kalau Dewi Wening Asih bisa
bicara seketus itu.
"Luar biasa, baru kali ini aku mendengar kata-
kata yang kasar dari mulut seorang gadis sepertimu...!"
"Kau marah...!" tanya Dewi Wening Asih semakin bertambah gusar saja.
"Ya, tentu saja...!" ujar si Hina Kelana tak kalah sengitnya.
"Kalau kau marah jalanlah sendiri, tanpa kau
sekalipun aku masih bisa mencapai desa berikut-
nya...!" tantang Dewi Wening Asih. Tantangan itu sudah karuan saja membuat Si
Hina Kelana semakin
bertambah mendongkol. Selama dalam perjalanan
dengan gadis itu selamanya belum pernah Dewi Wen-
ing Asih membuat enak perasaannya. Maka tanpa ber-
kata sepatah kata pun dia langsung nyelonong saja.
Begitu pun Dewi Wening Asih tiada maksud untuk
mencegah kepergian Buang Sengketa yang berjalan
mendahuluinya. Karena Buang Sengketa sedikit mengerahkan
ilmu lari cepatnya maka sekejap saja dia telah sampai di perkampungan yang
sangat ramai. Memasuki perkampungan yang tak ubahnya bagai sebuah pasar ke-
cil itu, Buang Sengketa mengitarkan pandangan ma-
tanya berkeliling. Nun di pertengahan desa itu, tidak jauh dari keramaian pasar,
maka nampaklah olehnya
sebuah waning yang sangat ramai dengan para pen-
gunjung. Tanpa basa basi lagi, Buang Sengketa segera mengayunkan langkahnya
memasuki warung tersebut.
Beberapa pasang mata nampak memandang jijik atas
kehadirannya. Begitu pun dengan pemilik warung yang
sejak tadi nampak sibuk melayani para langganan.
Buang Sengketa tiada perduli. Kelihatan acuh saja. Ce-lingak celinguk sebentar,
setelah melihat salah satu meja yang terisi setengahnya oleh para pengunjung,
maka dia pun datang menghampiri.
Sebentar dia mengangguk hormat pada salah
seorang laki-laki yang duduk di meja seberang. Laki-
laki bertampang angker tersebut menanggapinya den-
gan dingin dan sorot mata kurang senang.
"Sialan, kira dia aku datang ke mari ini untuk
mengemis makanan. Hina-hina begini kalau cuma
membeli seisi warung ini pun aku sanggup...!" maki
pemuda itu dalam hati. Persetan, tanpa buang waktu
lagi dia melambaikan tangannya. Pemilik warung itu
dengan sikap enggan datang menghampiri.
"Kisanak mau pesan apa...?" tanya pemilik warung yang bernama Karjo itu merasa
jengah dengan penampilan dan kehadiran Pendekar Hina Kelana.
"Tukang warung, siapa sih namamu...?" tanya Buang Sengketa dengan suara sengaja
dikeraskan. "Nama saya Karjo, Kisanak...!" ucapnya sedikit ketakutan begitu melihat mata
Buang Sengketa memandang tajam pada dirinya.
"Sialan, namamu jelek sekali. Bahkan lebih je-
lek dari pakaian dan periuk yang berada di bahu ku
ini. Kau fikir aku datang ke mari untuk mengemis ma-
kanan padamu ya" Sialan betul kau ini...!" bentak Pendekar Hina Kelana sambil
mengitarkan pandangan


Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya ke segenap ruangan warung itu.
Menggigil tubuh Karjo begitu merasakan den-
gan sekali sambar saja tangannya telah berada dalam
genggaman si pemuda tampan berpakaian kumuh itu.
Dan matanya sedikit membeliak begitu merasakan je-
mari tangan Buang Sengketa menggenggamnya dengan
sangat erat sekali. Semakin lama semakin bertambah
sakit, bahkan seakan bagai remuk dan nyeri sampai ke tulang sumsum.
"Cring...!" Mendadak Buang Sengketa mengeluarkan uang emas dari dalam periuknya.
Lalu dirogoh- nya keping dan meletakkannya di atas meja. Maka
membeliaklah mata pemilik warung dan puluhan mata
lain yang berada di dalam warung itu.
* * * 3 Sama sekali siapapun tiada pernah menyangka
kalau pemuda tampan berpakaian gembel itu memiliki
uang sebanyak itu. Apalagi uang tersebut adalah me-
rupakan mata uang emas murni. Saat itu sikap pemi-
lik warung mendadak saja berubah ramah.
"Maa... maafkan saya Kisanak. Tadi itu sesung-
guhnya saya tiada memiliki prasangka seperti apa yang Ki Sanak duga. Tolong
tangan saya ini Kisanak. Saya
akan menyediakan apa yang Kisanak inginkan...!"
"Brengsek, sekarang saja kau mau bersikap se-
perti itu. Coba sedari tadi kek, aku pasti tidak akan berlaku sekasar itu...!"
Terdengar suara menggeren-deng seperti ratusan ekor kumbang manakala Buang
Sengketa mengakhiri ucapannya. Buang Sengketa
acuh saja, dia masih berfikir tentang Dewi Wening Asih yang belum juga muncul,
padahal sudah hampir lima
belas menit dia duduk di dalam warung itu. Hee. Ke
mana saja perginya gadis bengal itu" Mungkinkah dia
nyasar dan tak pernah singgah di warung itu.
"Kisanak silahkan nikmati pesanan yang kisa-
nak minta...!" ucapan Karjo sembari meletakkan pesanan yang diminta oleh Buang
Sengketa. "Hemmm, letakkanlah semuanya. Gadis bengal
itu membuat fikiran ku jadi tidak enak...!" gumam Pendekar Hina Kelana seperti
pada dirinya sendiri.
Tanpa menyahut, setelah meletakkan seluruh hidan-
gan yang diminta oleh Buang Sengketa, maka sebentar
kemudian pemilik warung itu telah meninggalkannya
dengan langkah tergesa-gesa.
Sementara itu Buang Sengketa yang benar-
benar sudah merasa sangat lapar sekali nampak sege-
ra menikmati hidangan yang berada di depannya. Tapi
belum lagi dia selesai, nampak tiga orang laki-laki bertampang kasar memasuki
warung tersebut. Sementara
di atas pundak salah seorang dari tiga laki-laki itu memanggul tubuh seorang
gadis. Pendekar Hina Kelana hanya melirik dengan sudut matanya saja, bahkan
dia pun tiada merasa terkejut begitu melihat siapa sesungguhnya yang berada di
atas pundak salah seorang
dari laki-laki tersebut. Dewi Wening Asih, tak salah la-gi. Gadis itu memandang
memelas begitu matanya ber-
sitatap pada Pendekar Hina Kelana. Rasain. Batin pe-
muda dari Negeri Bunian itu sambil meneruskan ma-
kannya. Saat itu beberapa orang yang sedang mele-
watkan makan siang di warung itu satu demi satu te-
lah meninggalkan tempat itu. Agaknya tiga laki-laki
bertampang angker itu cukup dikenal siapa adanya
mereka. Tak dapat disangkal, tiga orang ini adalah merupakan begundal-begundal
Jali Sajiwa penguasa
tunggal di Lembah Weling. Mereka memang sering da-
tang menyantroni harta benda penduduk, bahkan tak
segan-segan membunuh siapa saja yang coba-coba be-
rani menghalangi maksud dan sepak terjang mereka.
Namun kedatangannya kali ini adalah dengan maksud
untuk mencari Dewi Wening Asih yang dilarikan oleh
seorang pemuda berkuncir yang datang secara menda-
dak pada hari perkawinan ketua mereka. Tak dinyana
setelah melakukan perjalanan jauh dan mencari ke
sana ke mari mereka tidak juga menemukan orang
yang mereka buru. Tapi secara kebetulan begitu mere-
ka melakukan perjalanan kembali ke Lembah Weling.
Di perjalanan dekat desa itu mereka bersua dengan
orang yang mereka buru. Karuan saja mereka lang-
sung meringkus Dewi Wening Asih dengan cara meno-
toknya terlebih dahulu.
Kini tiga orang berwajah angker itu telah duduk
di atas sebuah bangku yang baru saja kosong. Semen-
tara itu Dewi Wening Asih mereka sandarkan di salah
sebuah bangku yang terletak tidak begitu jauh. Pemilik warung yang bernama Karjo
itu cepat-cepat datang
menghampiri, selanjutnya dengan tergopoh-gopoh dan
menjura hormat. Karjo langsung bertanya:
"Tuan-tuan mau pesan apa?" Tanpa menghi-
raukan pertanyaan Karjo, salah seorang dari mereka
memandang sesaat pada Buang Sengketa yang masih
sibuk dengan makanannya. Dari caranya memandang
nampak sekali kalau orang itu merasa jijik dengan ke-beradaan pemuda dari Negeri
Bunian di tempat itu.
"Pelayan! Kami inginkan semuanya, tapi usirlah
lalat-lalat menjijikkan itu, agar selera makan kami tidak terganggu...!" bentak
salah seorang dari mereka sembari tetap melirik pada Pendekar Hina Kelana.
Sampai sejauh itu pemuda dari Negeri Bunian itu ma-
sih berusaha menahan kesabarannya.
"Sa... saya tidak dapat melakukannya, Tuan-
tuan...?" menyahut Karjo dengan tubuh menggigil ketakutan. Hal ini hanya membuat
ketiga orang dari
Lembah Weling itu menjadi sangat marah sekali.
"Goblok...! Kubilang usir lalat itu, apakah kau ingin melihat bagaimana caranya
mengusir seekor lalat menjijikkan?"
Untuk ucapannya kali ini, nampaknya Buang
Sengketa sudah tak sabar lagi melihat ulah tiga laki-laki dari Lembah Weling
ini. Maka kini dengan masih
berada di tempatnya, dia pun bergumam seperti pada
dirinya sendiri.
"Hemm. Dewi Wening Asih, mengapa kau tetap
diam saja, apakah kau merasa semakin benci pada
pangeran mu ini. Ah... ah...! Kiranya kau lebih suka kawin dengan dedengkot sial
dari Lembah Weling.
Sayang pacaran sudah cukup lama tapi kau memberi
putusan padaku dengan cara yang sangat menya-
kitkan...!" sindir Buang Sengketa tanpa menoleh-noleh lagi. Sementara itu
Dewi Wening Asih yang sudah mengetahui ka-
lau pemuda itu sedang bersandiwara, ingin mengata-
kan sesuatu. Namun suaranya hanya sampai di batas
tenggorokan saja. Dia tiada memiliki daya, bahkan
menggerakkan sebelah tangannya pun dia tiada me-
miliki kemampuan. Dalam pada itu Buang Sengketa
mencela kembali: "Baiklah Dewi kekasihku, biarlah Hina Kelana segera merat dari
hadapanmu...!" Berkata begitu Buang Sengketa sudah bersiap-siap untuk
meninggalkan tempat itu. Dewi Wening Asih nampak te-
gang sekali, dalam hati dia sudah dapat menduga ba-
gaimana nasibnya andai pemuda itu benar-benar me-
ninggalkannya. Salahnya sendiri mengapa dia tak per-
nah berlaku sebaik yang pernah dilakukan oleh Buang
Sengketa. Umpatnya.
"Jliik!"
Dua orang antara ketiga orang itu telah meng-
hadang gang sisi meja yang akan dilewati oleh pende-
kar itu. "Ee... apa katamu tadi kunyuk gembel...?" bentak salah seorang dari
mereka. Alis Buang menggeri-
mit, dengan sikap acuh dia berucap pelan namun me-
nyakitkan hati yang mendengarkannya.
"Kroco-kroco laknat. Toh kau bukanlah bangsat
tengik yang sudah rusak pendengaran. Tadi kubilang
si bangsat Luga Kencana itu akan mengawini pacar ku
yang cantik itu. Maka demi kebahagiaannya aku mau
meninggalkan tempat ini secepatnya agar aku tak me-
nampar mukanya yang mempesona itu...!" Ketus suara Buang. Selanjutnya dia
berusaha menerobos jalan
yang dirintangi oleh dua orang bertampang kasar ter-
sebut. "Setelah menghina ketua kami, sesudah men-caci maki seenak perutmu.
Begitu mudahkah kau mau
meninggalkan tempat ini. Cuih... tinggalkan dulu kepa-lamu, baru nanti kami akan
membiarkan mu pergi be-
gitu saja...!" Mula-mula Buang tersenyum saja, namun karena rasa geli terus
menggelitik perutnya, maka tak tertahankan lagi dia pun tertawa mengekeh. Karena
dalam tawanya disertai sepertiga dari tenaga dalam-
nya, tak ayal lagi orang-orang itu pun nampak terkejut sekali. Mereka merasakan
telinganya sakit luar biasa, bahkan berdengung-dengung.
"Bangsat! Rupanya kau punya sesuatu yang
kau andalkan. Pantas saja kau berani unjuk gigi di depan kami...!"
"Bicaramu ngaco belo, Sobat...! Minggirlah, ma-
jikanmu ini mau berlalu dari warung yang membosan-
kan ini!" "Sial dangkal...! Monyet gembel berotak mir-
ing...!" "Hajar...!" teriak salah seorang yang sejak tadi duduk tenang-tenang di
sisi Dewi Wening Asih.
"Sing! Zing!"
Sekali saja pedang-pedang berwarna hitam le-
gam itu terenggut dari sarungnya. Secara serentak dua orang itu langsung
mengurung Buang yang masih saja
tersenyum-senyum.
"Sekali saja kalian melakukan kesalahan pada-
ku, menyesal pun bagi kalian sudah tiada gunanya la-
gi...!" geram pemuda ini, selanjutnya dengan mempergunakan jurus Membendung
Gelombang Menimba
Samudra. Maka pemuda itu tanpa merasa sungkan-
sungkan lagi segera bersiap-siap dengan pertahanan-
nya. Saat itu dua orang bertampang beringas itu su-
dah melancarkan jurus-jurus pedang yang sangat me-
reka andalkan. Tubuh mereka berkelebat sangat cepat, tapi pedang di tangan
mereka melesat lebih cepat lagi.
Gerakan-gerakan membabat, menusuk datangnya silih
berganti. Tapi bagi Buang, dengan mempergunakan
ilmu silat tangan kosong nampaknya dia masih dapat
menghindari serangan-serangan ganas yang datangnya
bertubi-tubi itu.
"Hia... kia... kia...!"
"Bet! Bet!"
Buang Sengketa membuang dirinya manakala
dia merasakan adanya angin senjata lawan menderu
dalam ruangan itu. Namun saat itu lawan terus mem-
burunya ke mana pun Buang Sengketa berusaha
menghindar. Bahkan sedetik kemudian di luar sepen-
getahuan pendekar ini, dua orang itu menyambitkan
sesuatu mengarah pada bagian tubuhnya. Sepuluh
buah benda berwarna hitam melesat sangat cepat
mengarah pada bagian-bagian yang mematikan atas
diri Buang. Namun bukanlah Pendekar Hina Kelana,
kalau serangan senjata beracun itu sedetik kemudian
tidak diketahui olehnya.
"Bangsat!" rutuknya. Lalu masih dalam kea-
daan berguling-guling dia lepaskan pukulan Empat
Anasir Kehidupan.
"Wuuus!"
Selarik sinar Ultra Violet datang menggebu
memapaki datangnya senjata rahasia yang disam-
bitkan oleh para iblis dari Lembah Weling. Udara di dalam ruangan warung itu son
tak berubah menjadi san-
gat panas luar biasa. Semua orang yang berada di da-
lamnya menjadi sangat terkejut. Sama sekali mereka
tiada menyangka kalau gembel berperiuk ini memiliki
pukulan yang sangat hebat. Hanya sesaat saja mereka
dapat berfikir, saat selanjutnya adalah bunyi berde-
bum yang sangat memekakkan gendang-gendang te-
linga. Senjata-senjata yang di sambitkan oleh lawan-
lawannya berpentalan tak tentu rimbanya. Lebih dari
itu beberapa buah di antaranya membalik kepada
tuannya. Andai saja mereka tidak cepat-cepat kib-
latkan senjatanya sudah barang tentu mereka terma-
kan oleh senjatanya sendiri. Tapi usai terlepas dari an-caman sendiri, tanpa
mereka duga Buang telah pula
mengirimkan pukulan susulan dengan tenaga dalam
yang lebih besar lagi.
Sementara itu seorang lainnya yang sejak tadi
menyaksikan jalannya pertarungan itu nampaknya
menyadari bahwa pukulan yang dilepas oleh Buang
Sengketa berkekuatan lebih besar daripada pukulan
yang dilepaskannya pertama tadi. Sadar kalau kawan-
kawannya tak mungkin mampu mengatasi datang-
nya selarik sinar panas yang sangat berbahaya itu.
Maka dia pun tidak tinggal diam. Selanjutnya dengan mempergunakan pukulan Iblis
Penunggu Mayat. Maka
dia dorongkan kedua tangannya ke depan.
"Wuuur!"
Serangkum gelombang berhawa dingin luar bi-
asa menderu menyongsong dari arah samping. Saat itu
dua orang lawan yang lainnya sudah memutar pe-
dangnya, sehingga tinggal menampak sebuah gulun-
gan sinar hitam mengurung tubuh mereka membentuk
sebuah pertahanan yang kokoh.
"Blaaar!"
Terdengar suara menggemuruh mana kala dua
pukulan sakti itu saling bertubrukan. Namun nam-
paknya dalam adu tenaga dalam tersebut Buang Seng-
keta yang hanya mengerahkan setengah dari tenaga
dalamnya tidak bertindak serius. Hal inilah yang me-
rupakan satu keunggulan bagi lawannya. Tak dapat
dicegah lagi tubuh Buang Sengketa terlempar dua
tombak, tubuhnya kemudian menimpa tiang tengah,
yang besarnya tak lebih dari paha orang gemuk itu
pun patah menjadi beberapa bagian, sehingga menga-
kibatkan atap di atasnya menjadi amblas dan warung
miring hendak roboh. Pemuda muridnya si Bangkotan
Koreng Seribu merasakan punggungnya sangat sakit
luar biasa. Cepat-cepat dia seka mulutnya yang ba-


Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyak mengalirkan darah. Dewi Wening Asih merasa iba
melihat keadaan Buang Sengketa. Sementara dari tiga
orang dari Lembah Weling itu tergelak-gelak penuh
kemenangan. "Bagi kami kepandaianmu yang tiada seberapa
itu tidak ada apa-apanya, Bocah gembel. Kalau kau
masih penasaran. Keluarkanlah seluruh kepandaian-
mu, biar kami layani kau sampai mampus...!" kata la-ki-laki yang bernama Garu
Wisesa itu begitu pongah-
nya. * * * 4 Buang yang saat itu telah bangkit berdiri nam-
pak tersenyum kecut. Dipandanginya wajah ketiga
orang silih berganti. Manusia-manusia setan seperti
mereka itu memang tak perlu diajak kompromi. Batin-
nya. Mendadak dia mengambil sesuatu dari balik ba-
junya, selanjutnya menyambitkannya dengan cepat
pada Dewi Wening Asih yang masih bersandar di se-
buah bangku dalam keadaan tertotok. Begitu sambitan
yang dilakukan Buang mengena, maka Dewi Wening
Asih sudah kembali dapat menggerak-gerakkan tu-
buhnya dengan sangat bebas. Gerakan cepat tersebut
membuat ketiga orang itu serentak hentikan tawanya.
Penuh takjub namun marah mereka sudah bersiap-
siap dengan pukulan-pukulan mautnya.
"Keparaaaat! Sudah mau mampus kiranya kau
masih juga dapat membebaskan gadis calon istri maji-
kanmu...!" Membentak Garu Wisesa dengan kemara-
hannya yang meluap-luap. Pendekar Hina Kelana kem-
bali lontarkan sesungging senyum sinis.
"Jangankan hanya membebaskan totokan
anak-anak, memenggal kepala kalian pun sebentar lagi akan kulakukan."
"Hua... ha... ha...! Jangan mimpi sobat, bagi
kami manusia yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu
tidak ada apa-apanya...!" Buang Sengketa nampaknya sangat terkejut sekali.
Bagaimana mungkin tiga orang itu dapat mengenali dirinya. Seingatnya sungguhpun
dia pernah menjarah Lembah Weling untuk membe-
baskan Dewi Wening Asih, namun dia tiada melihat
kehadiran orang itu di sana. Persetan, kalaupun
mungkin bisa saja Jali Sajiwa lah yang memberitahu-
kan ciri-cirinya pada ketiga orang itu.
"Orang-orang kesasar dari Lembah Weling, jan-
ganlah menjunjung diri setinggi langit. Aku takut kalian tak akan dapat bertemu
dengan anak bini lagi di rumah...!"
"Kurang ajar. Mampuslah kau...! Hiaa...!" Senjata di tangan mereka kembali
menderu. Karena mere-
ka menyerang secara berbarengan, maka secepat apa
pun pemuda itu bergerak. Namun tetap saja pedang-
pedang yang mengandung racun ganas itu nyaris
membabat punggungnya.
"Caaat...!" jerit Pendekar Hina Kelana seraya melentikkan tubuhnya bagaikan
seekor udang. Karena
gerakannya yang sangat tergesa-gesa dan di luar kon-
trol. Maka tak ayal lagi atap warung yang terbuat dari daun kirai itu pun bobol
berantakan. Sesaat saja ke ti-ga orang itu celingukan. Salah seorang dari mereka
berseru membentak:
"Jangan biarkan dia kabur...!" Pada saat itu, dari atas atap warung bekas atap
yang bobol tersebut, Buang Sengketa melayang turun kembali. Pada saat
tubuhnya melayang sedemikian rupa, satu pukulan
pamungkas yang di beri nama si Hina Kelana Merana.
Maka menderulah satu gelombang sinar merah menya-
la menghajar tubuh orang-orang yang menjadi sasaran
di bawahnya. Ketiga orang dari Lembah Weling terpa-
na, gugup namun mereka juga cepat-cepat bertindak.
"Satukan pukulan Iblis Mengembara!" teriak yang menjadi pimpinan. Kesempatan
yang sekedipan mata itu mereka pergunakan untuk melepaskan puku-
lan Iblis Mengembara. Tak dapat dicegah, tiga larik sinar hitam kelam, secara
bersamaan menyambut da-
tangnya sinar merah yang menderu deras ke arah me-
reka. "Blum! Blum! Blum!"
Berpelantingan tubuh masing-masing lawan,
dengan keadaan tunggang langgang. Di antara mereka
ada yang menabrak kursi dan meja, sehingga mem-
buatnya jadi berantakan. Masing-masing dari mulut
dan hidung mereka sama-sama menyemburkan darah,
Sementara Dewi Wening Asih yang sedari tadi berlin-
dung di balik meja yang agak tersembunyi juga tak luput dari guncangan yang
membuat tubuhnya pontang
panting. Saat itu Buang yang terjengkang di sudut
ruangan nampak sudah bangkit kembali. Sungguhpun
dadanya sesak luar biasa, namun sedapatnya dia be-
rusaha mengerahkan tenaganya ke arah bagian da-
danya. Setelah mengurut-urut sedikit akhirnya rasa
nyeri itu pun hilang sama sekali. Lalu dengan sorot
mata dingin dia memandang tajam pada tiga orang
yang sedang tertatih-tatih berusaha bangkit berdiri.
"Garu Wisesa...! Nama yang sangat bagus, tapi
agaknya bapak moyangmu salah memberi nama untuk
seekor monyet kesasar sepertimu. Ada baiknya nama
Garong Wisesa buat sebuah pekerjaan sekaligus tingkah lakumu. Hari ini juga aku
tak akan memberi am-
pun pada monyet-monyet sesat sepertimu...!" tukas Buang Sengketa dengan rahang
bergemeretakan.
"Kami masih belum kalah. Kau jangan berbesar
hati dulu, sekarang terimalah jurus Pedang Iblis Lembah Weling ini...!"
"Jurus pedang dari neraka sekalipun aku tak
akan mundur! Majulah kalian beramai-ramai...!" bentak Buang Sengketa dalam
keadaan siap siaga dan si-
kap menantang. Selanjutnya terjadilah pertarungan
pertarungan yang sangat sengit antara Buang Sengke-
ta dengan tiga orang lawan dari Lembah Weling. Se-
rangan yang mereka lancarkan datang menggebu. Da-
lam waktu sekejap saja Buang telah terkurung oleh gu-lungan sinar dan
berkelebatnya senjata maut di tan-
gan lawan-lawannya. Pemuda ini tidak tinggal diam,
dengan mempergunakan jurus silat tangan kosong
yang diberi nama si Gila Mengamuk, maka dengan sa-
ngat mudahnya dia masih dapat menghindari bahkan
dapat membebaskan diri dari serangan-serangan yang
beruntun itu. "Mainkan jurus Iblis Menggeledek!" teriak Garu Wisesa segera merubah jurus-jurus
pedangnya. Begitu
dengan dua orang lainnya. Secara total permainan pe-
dang mereka mendadak berubah cepat, Buang nampak
terkesiap. Jurus si Gila Mengamuk merupakan salah
satu jurus yang tingkatnya di atas jurus Membendung
Samudra Menimba Gelombang. Tapi bagaimana
mungkin bisa terjadi. Semakin cepat pemuda itu ber-
kelebat maka secepat itu pula senjata di tangan la-
wannya datang menderu.
Mendadak Garu Wisesa kirimkan satu tendan-
gan mengarah pada selangkangan Buang. Pedang
menderu ke arah bagian kepala si pemuda. Pada saat
yang bersamaan dua orang lainnya juga kirimkan tu-
sukan kilat. "Wuuus!"
"Hiyaaa...!" Buang mengelit datangnya tendangan kaki Garu Wisesa, sementara kaki
kirinya kirim- kan tendangan cepat ke arah perut lawan yang berada
di belakangnya. Sungguhpun tendangan itu telak
mengenai sasaran yang diinginkan, namun serangan
pedang yang datangnya dari bagian samping kanan tak
dapat dia hindari.
"Brebet...!"
"Ahhh...!"
Buang Sengketa mengeluh, tubuhnya ter-
huyung-huyung. Namun tiada kesempatan baginya
untuk berfikir panjang. Pedang di tangan Garu Wisesa datang menyambut. Tiada
pilihan lain bagi Buang, laksana kilat dia meraba bagian pinggangnya.
"Nguung!" Terdengar suara menggemuruh ma-
nakala sinar merah menyala mendadak telah pula ter-
genggam di tangan pendekar dari Negeri Bunian itu.
Tak salah lagi, dialah Pusaka Golok Buntung yang
sangat menghebohkan itu. Tiga orang ini secara men-
dadak menghentikan serangannya, mata mereka sama
terbelalak begitu melihat dan memandang Golok Bun-
tung yang berada di tangan si pemuda. Dan mereka itu menjadi lebih terkejut lagi
saat mana mereka merasakan udara di ruangan yang berantakan itu menjadi
sangat dingin luar biasa.
"Pendekar Golok Buntung...!" seru mereka secara hampir bersamaan. Tanpa berkata
sepatah kata pun, Pendekar Hina Kelana memandang tajam pada
mereka. Kedua bola matanya memerah, wajah mene-
gang dengan bibir terkatup rapat. Namun bibir yang
terkatup itu mengeluarkan bunyi mendesis bagaikan
seekor Ular Piton yang sedang marah.
"Hemm. Bocah keturunan raja lelembut inilah
kiranya yang telah menggemparkan dunia persilatan
itu...!" kata salah seorang dari mereka dengan wajah pucat pasi.
"Hati-hati kawan, orang gembel ini bisa mem-
buat kita celaka semuanya!" Menimpali Garu Wisesa dengan sikap waspada,
sungguhpun dia sendiri memang tak kalah kecutnya bila dibanding dengan yang
lain-lainnya. "Ha... ha... ha...!" Kalaupun hari ini kalian merengek minta ampun di hadapanku,
jangan kira aku
akan mengampuni manusia yang selalu suka bikin
onar di mana-mana.
"Kami pun tak ingin merengek minta ampun di
depanmu, Pendekar Golok Buntung! Sungguhpun ke-
saktianmu sebanyak buih di lautan. Walaupun kehe-
batanmu sebanyak bintang-bintang di langit." tukas Garu Wisesa dengan mimik
wajah penuh kebencian.
Sinis tatapan Buang Sengketa, wajahnya mendadak
berubah kelam membesi. Selanjutnya satu bentakan
menggelegar pun terdengar.
"Ya Sang Hyang Widi, bukan salah bunda men-
gandung. Tetapi sudah suratan nasib menghendaki
bahwa jalan panjang yang membentang di hadapanku
sana, merupakan tetes derita berlumur darah orang-
orang angkara murka. Maafkanlah kalau aku dengan
sangat terpaksa sekali harus melakukan ini....
Hiaaa...!" Bagai dirasuki dewa pembantai, tubuh dan golok di tangan si Hina
Kelana berkelebat sangat cepatnya. Angin menderu menyertai melesatnya senjata
itu. Warung yang sudah reot di sana sini terasa bergetar, tapi tiga orang dari
Lembah Weling itu pun tidak tinggal diam. Dengan cepat mereka putar pedangnya
sambil sesekali melepaskan pukulan-pukulan maut-
nya. Buang Sengketa memang sudah mencapai pun-
cak kemarahannya. Mulutnya terus memperdengarkan
bunyi mendesis, di pihak lawan pun serangan-
serangan belasan sering mungkin dia lakukan. Tetapi, nampaknya senjata yang
sangat menggemparkan di
tangan Pendekar Hina Kelana nampaknya bukanlah
sesuatu yang dapat dianggap remeh oleh mereka.
"Hiaaat. Mampus...!" Garu Wisesa kirim satu pukulan jarak jauh, namun dalam
waktu bersamaan
secara nekad dia juga kirimkan satu babatan pedang-
nya. "Wuuut! Blam!"
Pendekar Hina Kelana terdorong ke belakang,
tapi Garu Wisesa juga tercampak tubuhnya hingga me-
labrak dinding kayu hingga bobol. Pendekar Hina Ke-
lana masih belum siap pada posisinya, namun datang
pula serangan dari samping kanan kiri Buang Sengke-
ta, golok di tangannya, tak dapat terhindar lagi.
"Trang! Trang!"
Pedang di tangan lawan patah menjadi dua,
tangan mereka tergetar sakit. Terasa bagai kesemutan.
Namun nampaknya Pendekar Hina Kelana anak Raja
Ular Piton Utara ini tidak ingin berlama-lama. Dia
memburu ke arah kedua lawannya.
"Nguung!"
"Awaas!" Garu Wisesa yang sudah kembali dalam keadaan siap tempur memberi
peringatan pada
kembrat-kembratnya. Tetapi nampaknya senjata di
tangan Buang Sengketa malah bergerak lebih cepat la-
gi. "Heuuuup...!"
"Craaas! Craaas!"
Darah memancar dari batang leher kedua la-
wannya yang hampir terputus, tubuh mereka ter-
huyung-huyung, sementara tenggorokan mereka yang
hampir terputus itu mengeluarkan bunyi berkerokokan
bagai seekor kerbau yang di sembelih. Di luar sepengetahuan pemuda itu, Garu
Wisesa yang sudah menciut
nyalinya tanpa berfikir panjang lagi, bahkan tiada
sempat menyambar Dewi Wening Asih, langsung saja
melarikan diri.
"Keparat! Kiranya Iblis Lembah Weling hanya-
lah sebangsanya tikus pengecut!" maki pemuda itu sambil memandang sinis pada
tubuh dua orang lawannya yang sudah tiada berkutik lagi. Lalu tanpa
menoleh-noleh lagi, dia sudah melangkah meninggal-
kan warung itu setelah sebelumnya meninggalkan em-
pat keping uang emas di atas meja yang masih tersisa.
Dewi Wening Asih yang sudah merasa bersalah segera
mengejarnya. "Tunggu Kelana...!"
"Toh, kau punya kaki, berjalanlah sendirian...!"
ucap pemuda itu tanpa menoleh-noleh lagi.
"Maafkan aku...! Aku telah banyak menyusah-
kanmu...!" Penuh penyesalan Dewi Wening Asih berucap. "Meminta maaf itu memang
mudah, tapi beru-sahalah untuk menyadari kesalahan dan membetul-
kannya...!"
"Baiklah... baiklah...! Tapi bolehkah kalau aku ikut denganmu?" tanya gadis itu
setengah ragu. "Aku tak pernah melarang siapa pun berjalan
bersamaku, yang penting jangan banyak rewel...!" Tanpa kata-kata lagi, mereka
terus melakukan perjala-
nannya menuju Lembah Gunung Batu Siwak.


Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * 5 Bulan berselimut kabut, suasana di sekitarnya
hanyalah keremangan belaka. Tiada bintang-bintang
yang bertaburan di angkasa sana, suasana alam pun
hanya memperdengarkan nyanyian sunyi. Hanya sese-
kali saja terdengar lolongan serigala hutan di kejauhan sana. Seram dan
mencekam. Begitulah keadaan yang ada di sekitar pinggi-
ran hutan berbukit hampir setiap malamnya. Tiada
seekor binatang pun berseliweran di tempat itu, jan-
gankan lagi makhluk yang disebut manusia. Namun
malam itu sungguhpun bulan tiada menampak-kan di-
ri, tetapi ada sosok tubuh yang melintasi daerah yang hampir tak terjamah oleh
siapa pun. Gerakannya sangat cepat luar biasa, lincah dan berloncatan dari satu
pohon ke pohon lainnya. Seekor monyetkah dia" Sama
sekali tidak. Laki-laki berpakaian bangsawan itu tak
lain adalah Rajenta yang sedang di tugaskan oleh guru para siluman untuk
menemukan Arca Harimau Kumbang yang hilang. (Dalam Episode Siluman Harimau
Kumbang). Sejak menemukan sebagian murid-murid dari
Lembah Weling, dan sedikit mendengar kabar istri dan anaknya, dia sudah bertekad
untuk mengobrak abrik
perguruan orang-orang yang telah membuat sengsara
keluarganya itu. Dengan tanpa mempunyai maksud
mengesampingkan pencarian Arca Harimau Kumbang
yang telah lenyap itu, dia juga ingin mencari tahu be-narkah Gembel Pengemis
merupakan orang yang pan-
tas dicurigainya. Padahal dia cukup tahu betul siapa adanya kakek renta dari
Pulau Naga itu. Kalau kecuri-gaannya ternyata benar, haruskah dia merampas arca
itu dari tangan tokoh sesat yang sangat sakti tersebut"
Padahal dengan Gembel Pengemis, selama ini mereka
telah membina hubungan yang sangat baik. Setan ma-
na pun yang telah melakukan pencurian Arca Harimau
Kumbang. Tak perduli lawan maupun kawan dia harus
merampasnya dari tangan mereka. Selanjutnya men-
gembalikannya arca itu ke Lembah Gunung Batu Si-
wak. Tetapi menemukan keluarganya kembali juga
termasuk hal yang sangat penting. Ah, Sang Hyang
Widi semoga mereka tetap dalam lindungan Mu selalu.
Doanya dalam hati.
Sementara itu Rajenta telah memasuki sege-
rombolan pohon yang sangat rindang. Tanpa menghi-
raukan keadaan di sekelilingnya dia terus memperce-
pat larinya. Tanpa sepengetahuannya mendadak me-
luncurlah beberapa batang pisau beracun dari atas
pohon yang berada di kanan kiri semak-semak yang
dilaluinya. Rajenta merasakan adanya sambaran angin
senjata-senjata itu, maka tak ayal lagi dia langsung berjumpalitan. Senjata-
senjata rahasia itu saling ber-tabrakan, sebagian besar di antaranya menancap di
batang pohon. "Bangsat, pembokong gelap! Nampakkanlah di-
ri! Kalau tidak aku akan robohkan pohon-pohon yang
ada di sekeliling ku ini...!" ancam Rajenta sambil melepaskan tiga pukulan
beruntun. "Wuuus! Bruaaak!" Dua pohon yang tegak ko-
koh di samping Rajenta tumbang dan roboh menim-
bulkan suara riuh rendah. Maka berlompatanlah bebe-
rapa sosok tubuh dari atas pohon yang roboh itu. Dari tampang dan pakaian yang
dipakai mereka, Rajenta
sudah mengetahui kalau mereka merupakan begun-
dal-begundal Jali Sajiwa dari Lembah Weling. Maka
saat itu juga mendidihlah darah Rajenta demi mengin-
gat nasib yang dialami oleh anak dan istrinya. Lalu
tanpa basa basi lagi dia membentak dengan gusar.
"Kalau tak salah, kalian pasti begundalnya Jali Sajiwa. Hemm, biasanya kalau ada
keroco-keroconya
pasti si bangsat itu ada bersama kalian. Panggillah
manusia setan itu untuk berhadapan denganku...?"
"Kampret, siapakah engkau ini, berani mati kau
memaki ketua kami...!" Tak kalah gusarnya murid-murid dari Lembah Weling itu pun
membentak. "Kalau tak salah, si bangsat Jali Sajiwa itu telah menculik anak dan istriku,
dia perampok tengik
yang perlu diberi pelajaran yang, sangat setimpal."
"Ha... ha... ha...! Kiranya engkaulah Rajenta
yang telah buron sampai ke Lembah Gunung Batu Si-
wak. Pieee... kirain kau telah mampus di lembah yang sangat angker itu...!"
Beberapa orang murid tertawa sambil mencemooh. Sementara itu beberapa orang
yang berada di atas pohon telah berlompatan turun
dari tempat persembunyiannya.
"Keparat. Kutanya di mana Jali Sajiwa bera-
da...?" geram sekali laki-laki berpakaian bangsawan itu mencela.
"Rajenta, bangsawan yang jatuh tertimpa tang-
ga! Untuk apa engkau berurusan dengan ketua kami,
sedangkan berhadapan dengan murid-muridnya saja
engkau kalau tidak minggat pasti telah menjadi bang-
kai sejak lama...!"
"Hemm! Agaknya aku harus tunjukkan pada
kalian terlebih dahulu, siapa adanya Rajenta yang kini telah berada di hadapan
kalian ini...!"
"Som...!"
Belum lagi salah seorang yang berbadan tinggi
besar selesai dengan kata-katanya, mendadak Rajenta
sudah kirimkan satu serangan kilat. Tiga orang yang
paling dekat dengan si tinggi besar roboh dengan ba-
tang tenggorokan terputus bagai terkena sabetan pisau belati. Sudah barang tentu
kejadian yang tiada di
sangka-sangka itu membuat heran dan kejut di hati
yang lainnya. Tapi sebelum mereka sempat berpikir
apa yang harus mereka lakukan, Rajenta yang sudah
dalam keadaan kalap itu sudah menyerang mereka,
dengan kuku-kukunya yang secara tiba-tiba mencuat
panjang dan tajam. Itulah salah satu Ajian Siluman
Harimau Kumbang yang diberi nama Tangan Maut.
Mengetahui kawan-kawannya yang lain nam-
pak bergelimpangan satu demi satu dengan kecepatan
yang sangat sulit diduga-duga, maka yang masih se-
lamat pun segera mencabut senjatanya masing-
masing. Dalam waktu sekejap saja, di dalam gelap re-
mang-remang terjadilah pertarungan yang sangat sen-
git. Dalam pada itu di luar sepengetahuan Rajenta, Jali Sajiwa nampak
memperhatikan segala apa yang dila-
kukan oleh Rajenta terhadap muridnya. Dia sendiri
merasa menjadi heran sendiri, bagaimana mungkin da-
lam waktu yang sangat singkat Rajenta memiliki ilmu
yang sedemikian tangguhnya. Sesaat kemudian dia te-
lah memandang pada Garu Wisesa yang nampak te-
gang tak begitu jauh dari sisinya.
"Heh...! Kalau kita tidak cepat-cepat turun tangan, sebentar lagi tentu orang-
orang kita akan terbantai habis oleh Rajenta itu...!" ucap Jali Sajiwa tanpa
mengalihkan perhatiannya dari pertempuran.
"Apa yang harus kita lakukan, Ketua...?" tanya Garu Wisesa agak jeri.
"Dia sekarang merupakan. orang yang dapat
merubah ujudnya menjadi seekor harimau siluman,
bukan tak mungkin murid-murid Lembah Weling dan
kejadian lain tentang korban pembunuhan yang di la-
kukan oleh seekor binatang buas dialah pelaku-nya."
kata Jali Sajiwa dengan wajah penuh kegeraman.
"Kuya, anjing buduk, janda malang. Istrinya telah mampus di tanganku, anaknya
malah kabur. Benar-benar nasib ini selalu apek. Sungguhpun dia bisa be-
rubah menjadi seribu siluman, aku tetap akan mem-
bunuhnya...!" ucap Jali Sajiwa, pelan namun suaranya tergetar dalam
kemarahannya. "Lalu bagaimana, Ketua...?" tanya Garu Wisesa masih dalam keadaan tegang.
"Guooblook! Kau hajar dia... sekarang...!"
"Ba... baiik... ketua...!" jawab laki-laki itu. Selanjutnya tanpa banyak fikir
lagi ke-duanya pun den-
gan sekali berkelebat telah sampai di depan Rajenta
yang nampak se-dang sibuk membantai murid-murid
dari Lembah Weling.
"Hentikan...!" teriak Jali Sajiwa dengan kemarahan yang meluap-luap. Sontak,
baik sisa-sisa murid
Jali Sajiwa maupun Rajenta menghentikan serangan-
nya. Jali Sajiwa nampak menyapu pandang pada
murid-muridnya yang bergelimpang-an, sementara Ra-
jenta memandang sinis pada Jali Sajiwa.
"Jali Sajiwa manusia tengik, ke mana istri dan
anakku...!" teriak Rajenta memecah keheningan malam. Tiada jawaban, sejenak Jali
Sajiwa memandang
tajam pada Rajenta dari ujung rambut sampai ujung
kaki. "Ha... ha... ha...! Mulanya aku ingin menjadikan engkau mertuaku. Sungguh
sayang anakmu dibawa
kabur oleh seorang gembel. Sedangkan istrimu, hemm.
Sayang-nya dia juga terlalu keras kepala...!" Merah padam wajah Rajenta demi
mendengar apa yang di kata-
kan oleh musuh bebuyutannya itu (Dalam Episode Si-
luman Harimau Kumbang).
"Kurang ajar, kau biang kerok pencurian Area
Harimau Kumbang, kau sapu ludes se-mua harta ben-
da ku. Kini anak istriku kau binasakan...!" maki Rajenta dan dalam kemarahannya
itu mendadak segala-
galanya berubah, sehingga semua orang yang ada di
tempat itu menjadi ciut juga nyalinya. Mula-mula tangan tumbuh bulu, kuku-kuku
jemarinya semakin ber-
tambah panjang dan tajam-tajam. Selanjutnya wajah-
nya pun secara perlahan menjadi sosok muka harimau
kumbang. "Siluman Harimau Kumbang...!" seru mereka
setengah tertahan.
"Jali Sajiwa, katakanlah dengan sebenarnya.
Kaukah yang telah mencuri Arca Harimau Kumbang"
Dan kau apakan istriku..."!"
"Arca terkutuk itu, tiada sekalipun aku mencu-
rinya. Kabar terakhir yang kudengar Gembel Pengemis-
lah yang telah menyantroni tempat kediaman Pergu-
ruan Walet Merah. Hemm, kalau istrimu memang aku
yang telah membunuhnya. Kami bahkan pernah ber-
senang-senang bersama...!" ejek Jali Sajiwa, sungguhpun dia tak tahu seberapa
hebat kemampuan yang
dimiliki oleh Rajenta yang telah berubah menjadi siluman itu, namun dia sengaja
memancing kemarahan
Rajenta. Memang benar kenyataan yang sesungguhnya,
Rajenta nampak sangat marah luar biasa, namun
sampai sejauh mana pun kemarahannya dia masih te-
tap ingat pada pesan guru para siluman. (Dalam Epi-
sode Siluman Harimau Kumbang). Dia tak ingin me-
langgarnya, itulah satu-satunya yang terus dia ingat sepanjang perjalanannya
mencari Arca Harimau Kumbang yang telah hilang itu.
"Grauuuung! Grrrr...! Dosa-dosamu telah me-
lampaui batas Jali Sajiwa. Walaupun Arca Harimau
Kumbang itu tidak ada padamu, namun hal itu bukan
berarti kau tak memiliki kesalahan lain yang sama beratnya. Untuk itu, malam ini
juga kau dan murid-
muridmu harus membayar lunas atas hutang-hutang
yang telah kau pinjam tempo hari...!"
Jali Sajiwa nampaknya masih kelihatan tenang-
tenang saja, dengan sudut matanya dia melirik Silu-
man Harimau Kumbang penjelmaan Rajenta. Siluman
itu kini telah berdiri dengan keempat kakinya. Tiada lagi kata-kata apa pun yang
keluar dari mulutnya terkecuali auman yang panjang yang menandakan bahwa
siluman itu telah siap untuk bertarung.
"Bekas bangsawan. Malang sekali nasibmu, du-
lu kau memang sempat lolos, namun tidak untuk saat
ini. Maka bersiap-siaplah...!"
Teriak Jali Sajiwa selanjutnya dia memberi
isyarat pada para murid-muridnya. Tanpa ampun lagi,
sepuluh orang sisa-sisa murid Lembah Weling segera
mencabut senjata masing-masing.
"Ciaaat...! Haaaiiiit...!"
"Graung...!" Dengan sangat tangkas Siluman Harimau Kumbang berkelit, selanjutnya
dengan kuku-kukunya yang tajam dan taring-taringnya yang pan-
jang mengamuklah Siluman Harimau Kumbang utu-
san guru para siluman itu.
"Krubuti...!"
Teriak Garu Wisesa menghunus pedangnya.
Dengan sangat cepat murid-murid dari Lembah Weling
itu memutar tubuh dan membuat sebuah lingkaran.
Siluman Harimau Kumbang itu kini sudah dalam posi-
si terkurung, namun dengan pandangan matanya yang
liar dan sorot matanya yang merah berapi-api dia
kembali mengaum menjatuhkan semangat lawan-
lawannya. "Hajar! Mengapa pada bengong saja...!" Bentakan Jali Sajiwa membuat murid-
muridnya terbebas
dari si siluman harimau itu, mereka kembali berge-
brak. "Grauuuuung...!"
Harimau itu melesat, sekali saja kuku-kuku
depannya yang tajam itu menyambar. Maka tiga orang
murid Lembah Weling yang datang menyongsong den-
gan senjata terhunus terkapar dengan leher hampir
terputus. Tetapi tidak sampai di situ saja dia bertindak. Tubuhnya kembali
berlompatan gesit dan sangat
cepat membabatkan pedangnya secara bertubi-tubi.
Harimau Kumbang itu hanya menggeram marah, na-
mun tubuhnya sedikit pun tiada terluka.
"Kurang ajar! Harimau itu ternyata kebal terha-
dap segala macam senjata tajam, kita harus mencari
jalan lain." teriak salah seorang murid dari lima orang yang tersisa. Semakin
bertambah gusar sajalah Jali
Sajiwa dibuatnya. Dalam pada itu, dua. orang Lembah
Weling kembali melolong setinggi langit. Taring-taring yang tajam dari ujud yang
buas membuat murid-murid
malang itu sudah tiada dapat tertolong lagi.
"Grauuung...! Hoaaar...!"
Harimau itu terpekik manakala merasakan
sambaran angin pukulan yang sangat dingin dan ber-
hawa keji melabrak tubuhnya. Tanpa ampun lagi, dia


Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbanting, lalu bersamaan dengan terhempasnya tu-
buh siluman itu, maka terdengarlah suara tawa Jali
Sajiwa. * * * 6 "Ha... ha... ha...! Asal kau tahu saja siluman
keparat! Pukulan Iblis Beracun yang mengenai tubuh-
mu selama ini tak seorang pun mampu bertahan hi-
dup, lebih dari dua pekan. Kau boleh kebal terhadap
berbagai jenis senjata, namun di kolong jagad ini tak seorang pun manusia yang
dapat menghadapi satu-satunya ilmu sesat yang sangat langka itu....'"
Siluman Harimau penjelmaan Rajenta mengge-
rung, dikibas-kibaskannya ekor untuk memberi kekua-
tan baru agar dapat bangkit kembali.
"Hoaaar...!" Raung siluman itu, secara perlahan dia bangkit kembali, tubuhnya
terhuyung-huyung. Jali Sajiwa dan Garu Wisesa saling berpandangan sejenak.
Lalu mereka pun saling menggaruk.
"Kita cecar dia dengan pukulan Iblis Be-
racun...!" kata mereka hampir bersamaan. Maka semakin bertambah marahlah Siluman
Harimau Kum- bang itu dibuatnya. Lalu, sebelum pukulan itu sampai terlepas dari para lawan-
lawannya, siluman harimau
itu dengan satu raungan yang sangat panjang dan
membahana melesat sedemikian cepat melabrak tubuh
Garu Wisesa, laki-laki bertampang angker itu menjadi gugup. Namun secepatnya dia
babatkan pedangnya ke
arah bagian kepala Harimau Kumbang yang berusaha
menerkam bagian tengkuknya.
"Craaak! Craaak!"
"Breet! Breet!" Siluman Harimau Kumbang itu berhasil menyabetkan kuku-kuku-nya
yang sangat tajam pada bagian tengkuk lawannya. Sebaliknya senja-
ta Garu Wisesa bagai membentur batu karang saja
layaknya begitu menghantam tubuh Siluman Harimau
Kumbang itu. Garu Wisesa merintih-rintih, lehernya
yang terobek dan mengalirkan banyak darah sudah
sangat sulit untuk di gerakkan.
"Jahanam, kau telah melukai murid kesayan-
ganku, Weer...!" Sambil memaki Jali Sajiwa sudah kirimkan pukulan Iblis Beracun
tingkat tinggi. Bagaikan angin ribut, pukulan maut itu melesat dan timbulkan
suara menggemuruh. Sementara Siluman Harimau
Kumbang yang telah merasakan kehebatan pukulan
beracun itu, juga tidak tinggal diam. Kembali dengan kegesitan yang sangat luar
biasa dia kembali berkelit selanjutnya melompat menghindar. Celakanya, ke ma-na
pun siluman itu bergerak. Pukulan Iblis Beracun
yang dilepaskan oleh lawannya selalu mengikutinya.
Siluman penjelmaan dari Rajenta, nyatanya juga tidak kehabisan akal. Dengan
mempergunakan Ajian Tangkal Pati pemberian guru para siluman dia pukulkan
tangan depan yang berubah menjadi kaki tersebut.
Tak dapat dicegah, selarik gelombang berwarna
putih menyerupai kabut nampak bergerak lambat na-
mun bergumpal-gumpal. Lama kelamaan kabut itu
menebal sehingga menyerupai sebuah perisai yang
sangat kokoh. Pukulan lawan yang terus mengejarnya
itu, tak ayal lagi langsung membentur perisai yang kekuatannya melebihi dinding
baja. "Brang!" Tubuh Jali Sajiwa terjengkang, dari celah-celah bibirnya mengalir darah
kental. Tak dapat di sangkal dia terkena pukulannya sendiri yang berbalik
setelah menghantam perisai baja itu.
"Ilmu Iblisss...!"
Memaki Jali Sajiwa sambil memegangi dadanya
yang terasa bagaikan remuk. Siluman Harimau Kum-
bang hanya mengaum, dalam kesempatan itu, Garu
Wisesa yang sudah banyak mengeluarkan darah, demi
melihat ketuanya dalam keadaan terluka, nampaknya
juga tidak tinggal diam. Dengan sisa-sisa kekuatannya, dia menyerang siluman itu
secara membabi buta. Sebaliknya siluman harimau itu menggerung dengan ke-
marahannya yang menjadi-jadi.
"Mampus...!" teriak Garu Wisesa sambil memegangi punggung lehernya yang terus
berdenyut-denyut
sakit. "Gruuung...!" Tubuh harimau itu melompat dengan posisi menerkam, dengan
sangat cepat pula
Garu Wisesa rendahkan tubuhnya serendah mungkin.
Terkaman itu luput, hanya anginnya saja yang terasa
menyambar di atas kepala. Garu Wisesa berbalik, na-
mun terlihat pula bahwa saat itu Siluman Harimau
Kumbang sudah bersiap-siap kembali dalam posisi
menerkam. "Roaaar...!"
"Bruuk!"
Tubuh Garu Wisesa sudah terdorong jatuh ber-
guling-guling, manakala Harimau Kumbang itu mener-
jangnya dengan kekuatan tiga seperempat tenaga da-
lamnya. Sekejap saja terjadilah pergumulan sengit. Begitu buas dan beringas
harimau itu mencabik-cabik
tubuh Garu Wisesa dengan taring dan kuku-kukunya
yang sangat tajam. Laki-laki bertampang beringas itu kelabakan, dia panik.
Sementara tubuhnya sendiri sudah tak tentu ujudnya. Selanjutnya dia hanya mampu
menggeliat dan menggelepar saja manakala nyawanya
sudah tiba di ambang tenggorokan.
"Weeeer...!"
Dalam keadaan sempoyongan, Jali Sajiwa le-
paskan satu pukulan Iblis Beracun tingkat pertama.
Siluman penjelmaan Rajenta itu kembali menggeram,
selanjutnya dia pun tanpa sungkan lagi kerahkan ajian Selaksa Harimau Kumbang
Menerjang. Secara cepat
tubuh siluman harimau itu mengembar, semakin lama
semakin bertambah banyak. Bahkan jumlahnya men-
capai puluhan. Tak pelak lagi pukulan Iblis Beracun
itu menghajar beberapa ekor kembaran harimau kum-
bang. Begitu pukulan itu datang menghantam, hari-
mau-harimau itu mengaum keras, tubuh binatang-
binatang itu terbanting tak karuan. Namun manakala
tersungkur ke tanah, maka keanehan pun terjadi. Si-
luman harimau kumbang yang lainnya bermunculan
dari tubuh kawannya yang terkapar.
"Ilmu iblis...!" maki Jali Sajiwa terus mengum-bar pukulan-pukulan beracunnya.
Siluman harimau
kumbang itu kini jumlahnya mencapai ratusan ekor,
Jali Sajiwa nampak semakin kewalahan, nafas kem-
bang kempis bagai habis dikejar-kejar setan kubur.
Tiada terduga-duga, siluman harimau kumbang itu se-
cara berbarengan menyerang Jali Sajiwa dengan sege-
nap kemampuannya.
"Graaaaar...!"
"Aakkkgggh...!" Jali Sajiwa, gembong iblis dari Lembah Weling itu menjerit-jerit
kesakitan, malang sekali nasibnya. Sebab dalam sekejap tubuhnya terca-
bik-cabik tak karuan ujudnya. Secara perlahan namun
menyakitkan, tubuh yang bergelimang dosa itu pun
berkelojotan bagaikan seekor ayam disembelih, selan-
jutnya terdiam untuk selama-lamanya. Dengan kema-
tian Jali Sajiwa itu, maka secara perlahan Rajenta
yang masih berujud siluman harimau kumbang, nam-
pak merapal Ajian Muluh Asal pada ujud yang sesung-
guhnya. Satu demi satu siluman harimau yang menca-
pai puluhan ekor itu segera lenyap, berubah menjadi
asap tipis. Sementara itu tubuh siluman harimau
kumbang itu juga secara perlahan telah berubah pula
menjadi ujud Rajenta yang sesungguhnya.
Laki-laki berpakaian bangsawan itu nampak
mengeluh sambil memegangi dadanya yang terasa
sangat sakit luar biasa.
"Eeggh...! Pukulan Iblis Beracun, seumur hidup
aku baru merasakannya kali ini. Hemm... mudah-
mudahan umurku sampai untuk mencari Arca Hari-
mau Kumbang yang dicuri oleh Gembel Pengemis dari
Pulau Naga, tap,., tapi dadaku terasa sangat nyeri sekali. Kepalaku berdenyut-
denyut bagai mau pecah.
Mungkinkah pukulan beracun yang ku derita ini tidak
separah seperti apa yang dikatakan oleh manusia iblis itu. Tapi kalau ternyata
memang benar apa yang di katakannya, itu berarti hidupku hanya tinggal beberapa
hari lagi... tapi... mengapa aku tak menggeledah Jali Sajiwa yang telah binasa
itu. Mudah-mudahan pena-warnya ada padanya...!" batin Rajenta, lalu secepatnya
dia sudah menghampiri mayat Jali Sajiwa yang terka-
par di antara murid-murid-nya yang lain.
Rajenta kemudian berlutut, selanjutnya segera
menggeledah pakaian yang melekat di tubuh Jali Saji-
wa. Kantong-kantongnya nampak kosong terkecuali
berisi senjata-senjata yang sangat beracun.
Rajenta nampak sangat kecewa, tak didapatnya
obat penawar racun yang mengidap di tubuhnya seper-
ti yang dia harapkan.
"Gembong manusia iblis ini memang sungguh
pandai sekali, dia telah memperhitungkan segala sesuatunya. Sekarang semuanya
kuserahkan pada Sang
Hyang Widi kalaupun aku tak dapat memenuhi keingi-
nan guru para siluman, maka apa boleh buat. Yang
penting setidak-tidaknya aku telah berusaha melaku-
kan salah satu di antara apa yang diinginkannya." batinnya lagi.
Dalam keadaan bingung dan tercenung seorang
diri seperti itu, mendadak, muncullah kabut putih di tengah-tengah kegelapan
malam yang pekat. Rajenta
terkesiap, nampaknya dia sangat mengenal kehadiran
kabut tipis itu. Tak lain merupakan gurunya sendiri.
Sesaat semuanya berubah hening, Rajenta ingin men-
gatakan sesuatu, namun serta merta terdengar guru
para siluman yang tak pernah menunjukkan rupa.
"Rajenta, mengapa kau harus bingung. Aku ta-
hu saat ini kau terkena pukulan Iblis Beracun yang
sangat. ganas itu. Namun kuminta kau jangan cemas.
Berjalanlah terus ke arah Utara...!" kata suara tanpa rupa menyarankan.
"Guru...! Benarkah apa yang dikatakan oleh Ja-
li Sajiwa itu...?" tanya Rajenta dengan hati diluputi keingintahuan.
"Hemm. Semua apa yang dikatakannya itu
memang benar adanya, tapi itu bisa terjadi andai kau tidak dapat mendapat
pertolongan...!"
"Mungkinkah nyawaku tidak tertolong lagi...?"
tanya Rajenta dengan perasaan harap-harap cemas.
Guru para siluman memperdengarkan suara tawa pe-
nuh arif. "Rajenta, di dunia ini tiada sakit yang tidak ada obatnya, semuanya bisa saja
terjadi asal kau berusaha untuk melakukannya...!"
"Lalu, apakah yang harus kulakukan, Guru...?"
"Pergilah kau ke arah Utara, nanti kau akan
bertemu dengan seorang pemuda berpakaian kumal,
dia ada bersama-sama anakmu... tapi kau jangan ge-
gabah. Sebab dialah Pendekar Golok Buntung yang
masih merupakan keturunan raja negeri alam gaib.
Dia pasti dapat melakukannya, dan andai kau bersi-
kap baik padanya. aku juga merasa sangat yakin kalau dia mau membantu usahamu
dalam mencari Arca Harimau Kumbang yang selama ratusan tahun telah le-
nyap dari Lembah Gunung Batu Siwak. Kuperingatkan
padamu, Rajenta. Hanya dengan kembalinya arca itu
sajalah yang dapat membuat Lembah Gunung Batu
Siwak dapat terhindar dari bencana alam yang datang
lebih hebat lagi...!"
"Baiklah, aku akan melakukannya, Guru...!"
"Pergilah secepatnya...!" kata guru para siluman. Selanjutnya suasana berubah
sunyi kembali, ka-
but putih itu lenyap dari pandangan mata. Maka tanpa membuang waktu lagi,
Rajenta dengan langkah terhuyung-huyung segera melangkah pergi.
* * * 7 Setelah melatih diri selama hampir dua purna-
ma, si kembar tangan buntung ini, atau yang lebih dikenal sebagai si Kembar
Pedang Dewa. Mereka boleh
berbesar hati, karena kini mereka sewaktu-waktu da-
pat berubah ujud menjadi seekor harimau kumbang
yang sangat menggemparkan itu. Memiliki Arca Hari-
mau Kumbang bagi mereka memang terasa banyak
manfaatnya. Bagaimana tidak" Di dalam arca itu ter-
simpan sebuah kitab ilmu siluman yang selama berada
di tangan Ketua Perguruan Walet Merah tak seorang
pun yang mengetahui tentang rahasia itu. (Dalam Epi-
sode Siluman Harimau Kumbang). Termasuk juga se-
mua perguruan golongan lurus. Sekarang dengan
menguasai ilmu Siluman Harimau Kumbang dan den-
gan arca itu berada di tangan mereka, maka mereka
sudah dapat memastikan dalam waktu yang sangat
singkat, mereka sudah dapat menguasai dunia persila-
tan dari berbagai golongan dengan cara yang sangat
mudah saja. Dalam ruangan gua berdinding batu pua-
lam putih, si Kembar Pedang Dewa dengan dedengkot
persilatan golongan hitam, Gembel Pengemis dari Pu-
lau Naga nampak sedang berbincang-bincang dengan
sekutunya yang baru. Ruangan gua yang agak gelap
itu hanya di terangi oleh lampu minyak kelapa yang
nyalanya sangat kecil sekali, sehingga menampakkan
wajah mereka yang mirip seperti lutung itu semakin
bertambah angker saja.
"Nah seperti saudara kembar ketahui, kini se-
gala apa yang tersimpan dalam Kitab Siluman Harimau
Kumbang telah kalian peroleh dan miliki. Itu menan-
dakan sebagai orang yang menginginkan kerja sama
yang baik mau pula melakukan yang terbaik untuk
Peristiwa Burung Kenari 6 Playboy Dari Nanking Karya Batara Kemelut Kerajaan Mancu 2
^