Pencarian

Siluman Harimau Kumbang 2

Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang Bagian 2


benar seorang manusia siluman berhati pengecut...!"
teriak laki-laki berkepala setengah botak sambil berusaha menjaga setiap
kemungkinan. "Grauuung...!"
Hanya suara auman itulah yang terdengar se-
bagai jawaban. Selanjutnya tanpa mengenal kompromi
lagi dengan sekali lompatan saja disertai dengan suara auman yang menggelegar.
Siluman Harimau Kumbang
itu pun sudah menerkam lawannya yang paling dekat.
Dengan kuku-kukunya yang panjang dan den-
gan gigi-gigi taringnya yang tajam-tajam. Sekejap saja tubuh salah seorang dari
lawannya terobek-robek begitu buas. Harimau Kumbang itu menghirup darah yang
memancar dari bagian tengkuk lawan yang menggelu-
pur di atas tanah berdebu.
Setelah puas menghisap habis darah lawan,
maka korban-korban selanjutnya pun berjatuhan.
Saat itu sungguhpun sisa-sisa murid Pergu-
ruan Walet Merah telah memukul Harimau Kumbang
itu dengan segala cara, bahkan pula membabatkan
pedangnya ke tubuh Siluman Harimau Kumbang itu,
namun di luar dugaan tubuh Harimau Kumbang itu
kebal pada senjata tajam.
" Grauuuumm...!"
Kembali terdengar suara auman yang benar-
benar sangat memekakkan gendang-gendang telinga.
"Arggk! Arggkh!"
Terdengar jeritan kesakitan dan robekan kain
yang tercabik-cabik. Dengan buas siluman itu mem-
bantai mangsanya. Namun begitu lawan-lawannya itu
meregang ajal dengan luka-luka yang sangat mengeri-
kan, maka Siluman Harimau Kumbang tak lama ke-
mudian sudah berlari menjauh meninggalkan mayat-
mayat bekas korbannya yang bergeletakan begitu saja.
* * * 6 Bangunan di dalam ruangan bawah tanah yang
sangat luas itu, sesungguhnya menyerupai sebuah is-
tana yang sangat indah. Hampir seluruh lantainya terbuat dari marmer putih.
Sedangkan bagian dinding
atau tepatnya tembok yang menyerupai dinding, berla-
piskan emas permata.
Selain itu tak ada perabotan apa pun di sana,
terkecuali sebuah singgasana yang terletak di sudut
ruangan ujung. Hanya itu!
Yang lainnya hanyalah merupakan sebuah
ruangan yang mirip dengan lapangan latihan untuk
belajar dan berlatih ilmu tenaga batin dan juga Siluman Harimau Kumbang.
Suasana di dalam ruangan yang mirip istana
itu nampak sangat sunyi sekali. Tiada orang lain di sa-na, terkecuali seorang
laki-laki setengah baya yang
saat itu nampak duduk bersila, mata terpejam dengan
wajah tertunduk menekur di lantai. Begitu khusuknya
orang ini dalam semedinya. Sampai-sampai helaan na-
fasnya pun tak terdengar sama sekali.
Sudah satu purnama laki-laki itu dalam kea-
daan seperti itu, tiada makan tiada minum. Keadaan-
nya bagai orang yang sedang tertidur saja. Dalam situ-asi seperti itu, jiwanya
sudah menyatu dengan alam
gaib. Begitu pun dengan pikirannya.
Hari itu adalah merupakan hari terakhir dia
melakukan tapa, seperti apa yang pernah dikatakan
oleh suara tanpa rupa bahwa sebelum dia berangkat
mencari Arca Harimau Kumbang dia harus memiliki
bekal ilmu siluman yang cukup untuk mengimbangi
lawan-lawannya yang mungkin saja telah mempelajari
isi kitab yang terdapat di dalam mulut Arca Harimau
Kumbang tersebut.
Sementara itu di dalam ruangan yang sangat
luas, mendadak bertiup angin yang sangat kencang,
angin itu terus bertiup, semakin lama semakin menggi-la. Lalu sesaat setelahnya,
maka terdengar pula suara tanpa rupa yang sekaligus merupakan guru dari laki-
laki bersemedi di tengah-tengah ruangan tersebut.
"Rajenta! Kukira cukup sampai di sinilah tapa-
mu. Kau telah melakukannya dengan baik. Sekarang
rapalkanlah ajian Siluman Harimau Kumbang yang te-
lah kau kuasai dengan baik...!!" kata suara tanpa rupa memberi perintah.
"Hemm...!" Terdengar gumaman yang tak jelas.
Selanjutnya tanpa membuka matanya terlebih
dulu, Rajenta mulai merapalkan ajian Harimau Kum-
bang yang baru selesai dipelajarinya. Angin bertiup
semakin keras saat mana Rajenta hampir selesai me-
rapal Ajian Siluman Harimau Kumbang tersebut.
"Gerrr! Hauuuung...!"
Tubuh Rajenta dalam waktu sekejap saja telah
malih rupa menjadi seekor Siluman Harimau Kumbang
yang sangat besar namun tiada menampakkan kebua-
sannya. Suara tanpa rupa berseru memujinya.
"Bagus...! Ujud mu sangat sempurna Rajenta,
itu menandakan bahwa tapamu benar-benar sangat
sempurna. Sekejap lagi engkau harus bertarung mela-
wanku, Rajenta...!"
"Grauuung...!" Siluman Harimau Kumbang penjelmaan Rajenta seperti mengangguk
hormat pada gu-
runya. Lalu bersamaan dengan tiupan angin kencang,
maka muncul pula kabut putih tipis. Semakin lama
semakin menebal. Bergulung-gulung, berputar-putar
hingga akhirnya membentuk sosok ujud Siluman Ha-
rimau Kumbang yang besarnya hampir sama dengan
Harimau Kumbang penjelmaan Rajenta.
Dua ekor Harimau Kumbang itu pun saling
menggeram satu dengan yang lainnya, selanjutnya
menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang
sangat tajam. Sesaat selanjutnya dua ekor harimau siluman
itu pun sudah saling serang dan saling terkam sesa-
manya. Suara auman yang sangat panjang terdengar
memekakkan telinga memenuhi seisi ruangan. Dua-
duanya merupakan lawan-lawan yang sangat tangguh.
Dan dalam waktu hanya sekejap saja pertarungan
sengit itu pun telah berlangsung sepuluh jurus. Saat berikutnya Siluman Harimau
Kumbang penjelmaan
Rajenta, dengan mengawali suara auman yang pan-
jang. Sudah bersiap-siap pula untuk menyerang Si-
luman Harimau Kumbang penjelmaan suara tanpa ru-
pa. Dengan sekali lompatan saja, tubuh harimau
siluman itu telah melesat sedemikian cepatnya. Namun pada waktu yang bersamaan
Siluman Harimau Kumbang penjelmaan suara tanpa rupa telah bersiap-siap
menadahkan kaki bagian depannya.
"Grauuung!"
"Bruuk!"
Dua ekor siluman harimau itu sama-sama ter-
pental tubuhnya, namun seolah bagai tak merasakan
apa yang sedang terjadi atas diri mereka masing-
masing. Dengan secepatnya mereka kembali lancarkan
serangan-serangan ganas. Baik kuku-kukunya yang
tajam maupun taring-taringnya yang runcing turut
ambil peranan yang sangat penting dalam pertarungan
antara guru dan murid.
Sampai pada akhirnya kaki bagian depan mas-
ing-masing siluman itu saling bertemu.
"Plak!"
Kaki depan itu saling melekat dengan kaki la-
wannya bertarung, maka dorong-dorongan pun tak
dapat dihindari lagi.
Begitu Siluman Harimau Kumbang penjelmaan
Rajenta mengerahkan tenaga saktinya pada saat yang
sama pun siluman harimau penjelmaan suara tanpa
rupa melepaskan pukulan saktinya.
"Weerrtt!"
"Blummm...!"
Terdengar satu letupan yang teramat keras
manakala pukulan melepas dan menahan itu saling
berbenturan. Dua-duanya sama-sama terpental den-
gan menderita luka dalam yang tiada berarti.
"Hauuuung!" Siluman Harimau Kumbang pen-
jelmaan suara tanpa rupa melolong panjang.
"Grauuung...!" Siluman Harimau Kumbang penjelmaan Rajenta menyahut. Layaknya
seperti mengerti
saja makna dari auman tersebut. Tak lama setelahnya, siluman penjelmaan suara
tanpa rupa segera menjauh.
Lalu: "Busss!"
Siluman suara tanpa rupa itu pun raib begitu
saja, kemudian terdengar pula ucapannya.
"Siluman harimau yang kau pelajari sudah
sangat sempurna, Rajenta...! Sekarang kembalilah da-
lam ujud mu! Aku ada beberapa petunjuk yang perlu
kusampaikan padamu...!" perintah guru suara tanpa rupa pada Rajenta.
Maka tanpa menunggu diperintah dua kali, Ra-
jenta yang masih dalam ujud Siluman Harimau Kum-
bang ini pun segera merapal Ajian asal Siluman Hari-
mau Kumbang. Maka secara perlahan ujud Siluman Harimau
Kumbang sudah berubah kembali menjadi ujud Rajen-
ta yang sesungguhnya. Rajenta lalu menjura hormat
pada suara tanpa rupa, lalu ucapnya.
"Terima kasih atas segala petunjuk yang kau
berikan, Guru...!"
Suara tanpa rupa tergelak-gelak karenanya.
"Terhadap guru para siluman, kau tak perlu
memakai segala peradatan, Rajenta! Tidak seperti se-
bagaimana layaknya sesama manusia...!"
"Maafkan aku, Guru...!"
"Juga tak perlu minta maaf. Nah sekarang den-
garlah apa yang ingin kukatakan padamu...!" kata suara tanpa rupa pelan namun
cukup menggetarkan gen-
dang telinga dan tembok batu marmer yang berlapis
emas. "Katakanlah, Guru, aku sudah merasa siap un-
tuk mendengarnya...."
Sunyi sesaat, hanya terdengar desiran angin
perlahan. Rajenta menarik nafas pendek, menunggu
dengan hati berdebar.
"Rajenta...! Sebagai siluman, siapa pun tak
pernah terlepas dari sumpahnya. Dan barang siapa sa-
ja yang berani melanggar sumpah itu, maka alamat ce-
lakalah baginya. Sumpah yang pertama, kau harus
memiliki hati yang jujur. Dilarang membunuh terkecu-
ali sangat terpaksa. Itu pun kau tak dibenarkan walau setetes menghisap atau
memakan daging korbanmu.
Tidak boleh berubah ujud andai kau tidak sedang
menghadapi lawan yang sangat tangguh. Itu pun jika
lawan itu benar-benar menyakiti hatimu, tubuhmu,
atau pun keluargamu. Jika pesan dan larangan itu ti-
dak kau langgar, aku merasa yakin kau tak akan jatuh di dalam kutuk ku! Satu
saja pesan buatmu carilah
Arca Harimau Kumbang sampai ketemu, seandainya
telah kau temukan, maka secepatnya kau harus kem-
bali ke sini. Arca itu sangat perlu dikembalikan ke
asalnya agar daerah Gunung Batu Siwak itu terlepas
dari malapetaka yang berkepanjangan. Nah sudah pa-
hamkah apa yang kukatakan itu, Rajenta...!" tanya suara tanpa rupa.
"Paham, Guru...! Tetapi...!" Rajenta menjadi ra-gu untuk mengatakan sesuatu.
"Tetapi apa, Rajenta. Katakanlah...!" desak suara tanpa rupa.
"Apakah kau tahu bagaimana nasib anak dan
istriku, dan di mana pula arca itu kini berada...?"
"Kau nampaknya lebih mengutamakan kepen-
tingan pribadi, Rajenta" Kalau tujuanmu menjadi Si-
luman Harimau Kumbang hanya untuk kepentingan
itu, yang pasti tersimpan dalam hatimu hanyalah den-
dam. Hal itu sia-sia saja, Rajenta. Aku bersusah payah mendidikmu adalah untuk
mencari arca yang hilang.
Itu semua demi keselamatan kaum mu. Tidakkah kau
paham...?" bentak suara tanpa rupa nampak sangat marah sekali, Rajenta menjadi
tergagap karenanya.
"Maafkan aku, Guru. Sudah barang tentu aku
akan mengutamakan mencari arca yang hilang itu, ke-
timbang mencari anak dan istriku...!" jawab Rajenta dengan wajah sangat pucat
sekali. "Aku tidak melarangmu untuk mencari istri dan
anakmu, Rajenta. Namun selesaikanlah tugas yang te-
lah kuberikan ini padamu...!" kata suara tanpa rupa dengan nada tertekan.
"Ba... baik, Guru! Perintahmu segera aku lak-
sanakan...!" jawab Rajenta sambil mengangguk pasti.
"Ha... ha... ha...! Rajenta... manusia yang dipe-gang adalah janjinya. Sekali
saja kau berani menging-kari janji terhadap para siluman, maka kutuk kami
benar-benar sangat menyakitkan bagi siapa-
pun...!" Tanpa menjawab, Rajenta hanya mengangguk-
kan kepalanya. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi, laki-laki bekas bangsawan
itu segera meninggalkan
ruangan yang sangat luas. Kemudian melangkah ke
bagian mulut Area Harimau Kumbang yang saat itu
sudah membuka. Selang beberapa saat lamanya, laki-
laki setengah baya itu pun setelah menjura pada area segera berkelebat pergi
meninggalkan tempat itu.
* * * Udara di siang hari itu terasa sangat terik seka-
li. Sementara jalan yang dilalui oleh dua orang ini tak lebih dari pada semak
belukar dan hutan rotan yang
penuh dengan duri.
Sungguhpun begitu bukan berarti halangan
bagi Pendekar Hina Kelana yang saat itu baru saja
membebaskan diri dari kejaran para murid Lembah
Weling yang sangat besar jumlahnya itu.
Sementara itu tak begitu jauh di sebelahnya
nampak Dewi Wening Asih berjalan bersamanya. Wa-
jah gadis itu menunduk lesu. Dia memang kelihatan
sedih sekali, sungguhpun Pendekar Hina Kelana telah
menolongnya. Sejauh itu Buang Sengketa masih belum berani


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan sesuatu pada perempuan yang ada ber-
samanya. Saat-saat berikutnya Dewi Wening Asih sudah
pula berkata: "Tuan sudah menyelamatkan aku, lalu apa
yang akan Tuan lakukan atas diriku?" tanya Dewi Wening Asih dengan wajah
tertunduk. Sementara itu bagai disengat puluhan kala
berbisa Buang Sengketa nampak terlonjak demi men-
dengar pertanyaan yang sangat mengejutkan hatinya.
"Nona, kau ini bicara apa" Pantaskah hal se-
macam itu kau tanyakan padaku?" tanya Pendekar Hi-na Kelana setengah
tersinggung. "Laki-laki di mana saja sama, setiap melakukan
pertolongan pasti ada yang dimaunya...!" tukas Dewi Wening Asih sambil
memalingkan muka.
"Hemm! Sebegitu jauhkah kau menilai diriku.
Puih... aku memang manusia gembel yang sangat hina
di depan manusia mana pun. Tetapi untuk melakukan
perbuatan serendah itu. Alangkah lebih baik kalau aku menggorok leherku sendiri.
Pada siapa pun aku tak
pernah mengenal pamrih. Aku melihat kau dalam ke-
sulitan, salahkah aku bila aku menolongmu...?"
"Kau... oh, maafkan aku... fikiran ku terlalu kacau, sehingga kau menilai mu
dengan cara yang tak
masuk diakal. Tetapi... ibu-ku... ibuku merekalah yang telah memenjarakannya di
bawah tanah...!" Tersendat-sendat suara Dewi Wening Asih. Akhirnya gadis itu
pun kembali menangis. Sedih berpisah dengan ibunya.
* * * 7 Pendekar Hina Kelana menjadi tertegun-tegun
demi melanggar tutur kata Dewi Wening Asih. Sama
sekali dia tiada menyangka kalau sesungguhnya gadis
yang sangat cantik itu berada di sarang para iblis bersama dengan ibunya. Apa
yang dikata-kan oleh gadis
itu membuatnya semakin tertarik. Akhirnya kekesa-
lannya pun hilang sudah. Maka dengan hati diliputi
rasa keingintahuan dia pun bertanya:
"Mengapa Nona dan ibu Nona sampai jatuh ke
dalam cengkeraman orang itu?"
"Jangan memanggilku Nona. Namaku Dewi
Wening Asih! Dan Tuan siapa...?" tanya gadis itu masih dengan wajah tertunduk.
Buang Sengketa nampak tersenyum-senyum
begitu melihat Dewi Wening Asih nampak tersipu keti-
ka menyebutkan namanya sendiri.
"Hmm. Dewi Wening Asih, sebuah nama yang
sangat bagus, sebagus dan secantik pemilik nama itu!"
puji pemuda dari Negeri Bunian itu polos.
"Jangan memujiku setinggi langit, sebaliknya
anda sendiri belum menyebutkan nama anda...!" ujar Dewi Wening Asih. Sekejap
saja sudah nampak akrab.
Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang
tak gatal. Sambil tetap mengayunkan langkahnya, di-
buangnya pandangan matanya jauh-jauh. Selanjutnya
dia pun menjawab.
"Ah, aku yang rendah ini, Buang Sengketa na-
maku. Orang-orang menjuluki aku sebagai si Hina Ke-
lana...!" kata pemuda itu merendah.
Sebaliknya Dewi Wening Asih begitu mendengar
si pemuda menyebut dirinya sebagai si Hina Kelana
nampak sangat terkejut sekali. Sedikitpun dia tiada
pernah menyangka kalau pemuda tampan yang telah
menyelamatkan dirinya dari cengkeraman para iblis
dari Lembah Weling itu, masih begini muda. Selama ini dia memang pernah
mendengar tentang adanya tokoh
sakti yang berjuluk Pendekar Hina Kelana yang sangat terkenal dengan sepak
terjangnya dalam membasmi
segala bentuk kejahatan.
"Engkaukah Pendekar Golok Buntung yang
sangat menggemparkan itu...?" tanya si gadis jelita tertegun untuk sesaat
lamanya. Buang Sengketa tersenyum tawar, namun dia
tetap mengayunkan langkahnya. Selanjutnya tanpa
menoleh dia pun berucap.
"Aku adalah aku, tiada sesuatu pun yang dapat
ku agung-agungkan. Hanya mereka sajalah yang terla-
lu menggembar gemborkan tentang diriku sampai ke
mana-mana. Padahal si Hina Kelana adalah seperti
yang kau lihat. Seorang gembel yang tiada memiliki
apa-apa...!"
"Kau terlalu merendah, Kelana...! Padahal selu-
ruh kaum persilatan tahu siapa sesungguhnya kau
ini...!" bantah Dewi Wening Asih sambil memandang penuh kekaguman pada pendekar
yang berhati luhur
ini. Buang Sengketa menjadi tidak enak hatinya,
maka cepat-cepat dia mengalihkan pembicaraan itu.
"Eee... tadi kau belum menjawab mengapa ka-
lian, maksudku engkau dan ibumu bisa sampai berada
di kediaman rumah Jali Sajiwa, bahkan mau dijadikan
istri lagi." tanya Buang Sengketa tanpa ada maksud menyinggung perasaan lawan
bicaranya. Yang ditanya nampak terdiam sesaat lamanya,
lalu wajahnya cepat-cepat menunduk seolah ada sesu-
atu yang sangat dirahasiakannya agar si pemuda tiada sampai melihatnya. Sesuatu
itu adalah air matanya
yang sudah hampir tumpah membasahi pipinya yang
kemerah-merahan tertimpa cahaya matahari.
"Mereka pernah datang merampok habis segala
kekayaan yang dimiliki oleh ayahku. Bahkan kalau sa-
ja ayahku tak melarikan diri setelah bertempur dengan mereka, sudah barang pasti
sudah dibunuhnya. Jali
Sajiwa yaitu kepala garong besar yang sangat ditakuti oleh banyak orang itu pada
akhirnya melarikan kami.
Aku sendiri tak tahu bagaimana nasib ayah kini...?"
Tak tertahankan lagi, Dewi Wening Asih pun menangis
tersedu-sedu. Buang Sengketa jadi tak sampai hati melihatnya.
"Mengapa ayahmu begitu pengecut telah me-
ninggalkanmu...?" tanya Buang Sengketa merasa sangat penasaran dibuatnya.
Mendadak Dewi Wening Asih seka sisa-sisa air
mata yang masih mengalir menuruni pipinya.
"Ayahku tak sepengecut yang kau duga, Kelana!
Setelah ibu melihat bahaya ayah hampir saja kalah
bertarung dengan Jali Sajiwa dan para muridnya. Ma-
ka ibu meminta pada ayah untuk melarikan diri...!"
"Hemm. Jali Sajiwa dan orang-orangnya, andai
bertemu denganku kapan saja, aku pasti tidak membe-
rinya ampun...!" geram Buang Sengketa dengan gera-ham bergemeletukkan.
Setelah itu Buang Sengketa terdiam, Dewi Wen-
ing Asih pun sama juga. Nampak nya mereka tengge-
lam dalam lamunannya masing-masing. Tetapi lang-
kah terus terayun. Hingga tanpa terasa mereka sudah
sampai di pinggiran hutan. Dalam pada itu terdengar
puluhan derap langkah kaki kuda, lama kelamaan su-
ara kaki kuda itu pun semakin mendekat. Sehingga
semakin bertambah dekat saja jaraknya di antara me-
reka. Baik Pendekar Hina Kelana maupun Dewi Wen-
ing Asih, tertegun-tegun melihat kehadiran para pe-
nunggang kuda yang jumlahnya tidak lebih dari dua
puluh orang ini. Sebaliknya para penunggang kuda
yang di bagian baju kanannya terdapat simbol kepala burung walet merah juga tak
kalah kagetnya. Bahkan
secara serentak mereka menarik tali kekang kuda se-
hingga kuda-kuda tunggangan itu berhenti saat itu ju-ga.
"Seorang gadis cantik, berjalan dengan seorang
aneh berperiuk, agaknya pemuda sinting ini mengeta-
hui banyak tentang arca itu...!"
"Langsung saja tanya, Ketua! Barangkali dia
mengetahui tentang arca lambang persatuan seluruh
kaum persilatan golongan lurus...!"
"Hemm. Betul juga, barangkali orang ini menge-
tahui tentang arca yang hilang itu...!" batin Luga Kencana Ketua Perguruan Walet
Merah yang berbadan
tinggi kurus. Kemudian.
"Langsung saja tanya, apakah kau mengetahui
atau pernah berjumpa dengan seorang kakek tua renta
yang berjuluk Gembel Pengemis dari Pulau Naga?"
tanya Luga Kencana sambil mengerling pada Dewi We-
ning Asih dengan pandangan mata curiga.
"Bertemu dengan anda sekalian saja baru kali
ini, bagaimana mungkin aku mengenal orang yang se-
perti tuan maksudkan...?" ujar Buang Sengketa ber-sungguh-sungguh.
"Ada keperluan apakah sehingga tuan-tuan
mencari seorang gembel pengemis, kalau aku boleh ta-
hu...!" "Menurut beberapa orang saksi mata. Gembel Pengemis dari Teluk Naga
telah membunuh murid-murid perguruan kami. Dengan merubah ujudnya
menjadi seekor Siluman Harimau Kumbang. Keterla-
luan sekali dia itu! Kami harus menagih hutang nyawa pada gembel busuk
tersebut...!" kata Luga Kencana dengan kemarahan yang tertahan-tahan.
Dalam pada itu beberapa orang murid Walet
Merah yang sedari tadi memperhatikan Dewi Wening
Asih tiba-tiba berseru pada ketua perguruannya.
"Guru. Bukankah gadis yang bersama pemuda
ini merupakan anak dari Rajenta yang telah merat da-
lam pengejaran kita di Lembah Gunung Batu Siwak?"
Luga Kencana begitu mendengar ucapan salah
seorang muridnya langsung menatap tajam pada Dewi
Wening Asih. "Hei... benarkah kau anaknya Rajenta yang te-
lah mampus di Lembah Gunung Batu Siwak...?" hardik Luga Kencana, mendadak
parasnya berubah memerah.
Dewi Wening Asih dan Buang Sengketa saling
berpandangan. Namun di luar dugaan semua orang,
dengan sangat berani sekali Dewi Wening Asih menga-
kui. "Benar. Akulah anaknya Rajenta! Dan pasti ka-
lian akan terus menuduh ayahku sebagai tukang ta-
dah Arca Harimau Kumbang yang sangat mengheboh-
kan itu, bukan?"
"He... he... he...! Sungguhpun kami belum yakin betul tentang keterlibatan
ayahmu dalam pencurian
Area Harimau Kumbang yang hilang itu, namun ada
kemungkinan ayahmu juga ikut terlibat dalam masa-
lah itu. Dan bukan tak mungkin pula bahwa kau juga
tahu tentang arca lambang persatuan dari kaum ber-
golongan putih...!" tebak Luga Kencana tanpa menghiraukan kehadiran Buang
Sengketa di tempat itu.
Merah padam wajah Dewi Wening Asih demi
mendengar tuduhan yang sangat tidak beralasan itu.
"Ketua Perguruan Walet Merah, kiranya orang
tua yang berpandangan picik! Tidak tahukah kalian
gara-gara arca sialan itu aku dan ibuku hampir saja
mengalami nasib celaka kalau tidak ditolong oleh pe-
muda ini?" bentak gadis jelita itu sambil menuding Lu-ga Kencana yang masih
duduk di atas pelana kudanya.
"He... he... he...! Apapun alasanmu, kami tak
mau dengar. Kalau kalian berdua tidak mau memberi
keterangan di mana adanya Gembel Pengemis dari Pu-
lau Naga berada, maka kalian akan kami tahan. Atau
bila perlu kalian akan menjalani siksaan yang sangat berat." ancam Luga Kencana
dengan sangat berang dan memandang penuh kebencian.
"Hak... hak... hak...! Ketua Perguruan Walet
Merah, perguruan macam apakah sehingga kalian be-
rani mengaku sebagai orang yang berasal dari kaum
golongan lurus. Setahuku engkau berpikiran sempit,
bahkan mungkin kepandaianmu tak lebih daripada
seekor keledai yang sangat tolol" Membentak Buang Sengketa karena merasa sangat
tersinggung sekali.
"Gembel berperiuk! berani sekali engkau meng-
hina guru kami. Agaknya engkau sejenisnya setan ku-
buran yang sudah merasa bosan hidup?" teriak salah
seorang murid Perguruan Walet Merah gusar.
"Ha... ha... ha...! Beginikah tampangnya orang
yang dipercaya untuk menjaga keselamatan arca yang
sangat menghebohkan itu" Bukan tak mungkin men-
jaga anak bini saja tak becus...!" Maki Pendekar dari Negeri Bunian itu sambil
tertawa mengejek.
"Keparat! Kiranya kau sengaja berpihak pada
gadis cantik yang bersamamu itu, Bocah Hina...?" ma-ki Ketua Perguruan Walet
Merah sudah tak dapat
membendung kemarahannya lagi.
"Ha... ha... ha...! Aku memang manusia hina,
namun sekali-kali tidak aku berpihak kepada siapa
pun terkecuali pada kebenaran...!"
"Sial! Anak-anak, ringkus kedua mata-mata
pencuri itu...!" perintah Luga Kencana pada murid-muridnya.
Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, secara
serentak mereka berlompatan dari punggung kuda me-
reka masing-masing. Selanjutnya dengan pedang ter-
hunus mereka itu pun secara berbareng sudah menge-
pung Pendekar Hina Kelana dari berbagai penjuru.
Menghadapi bahaya yang mengancam keselamatan
mereka. Maka tanpa membuang waktu lagi, Buang
Sengketa segera menyambar tubuh Dewi Wening Asih.
"Maaf, Dewi. Aku terpaksa memasukkan eng-
kau ke dalam periuk ku." berkata begitu pemuda itu segera memasukkan tubuh Dewi
Wening Asih ke dalam periuk yang menyimpan berbagai kegaiban itu.
"Anak-anak, tunggu apa lagi! Ringkuuus...!" teriak Luga Kencana sudah tak
sabaran lagi. Maka dalam waktu hanya sekejap saja, pedang
di tangan lawan-lawannya menderu, mengejar pemuda
ini ke mana pun dia berusaha menghindar. Lalu terja-
dilah pertarungan yang seru. Pedang di tangan mas-
ing-masing lawan menderu, menyambar bagian-bagian
tubuh yang sangat mematikan. Menghadapi serangan-
serangan senjata tajam yang sangat berbahaya itu. Tak ayal lagi Pendekar Hina
Kelana segera keluar-kan jurus silat Membendung Gelombang Menimba Samudra.
Dengan mempergunakan jurus tersebut tubuh
pemuda itu nampak bergerak ringan. Kadang tubuh
bergerak sedemikian cepatnya. Di saat lain dengan


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sangat
sempurna berjumpalitan ke udara menghindari hujan
senjata tajam yang datangnya sangat cepat dan bertu-
bi-tubi. Sungguhpun begitu, namun sejauh itu Pende-
kar Hina Kelana masih dapat menghindari serangan-
serangan gencar yang sangat mematikan itu.
Luga Kencana melihat murid-muridnya masih
belum juga berhasil meringkus Buang Sengketa. Dia
nampak sangat geram sekali, padahal seperti yang di-
ketahui oleh Luga Kencana, saat itu semua murid-
muridnya sudah mempergunakan jurus pedang yang
sangat hebat. Yaitu jurus pedang Sekawanan Walet
Merah Menyergap Capung. Ini sangat keterlaluan seka-
li. Terlalu hebatkah pemuda itu" Menurut pengliha-
tannya sendiri, Buang Sengketa tidak terlalu hebat.
Hanya murid-muridnya saja yang tidak becus dan
sangat keterlaluan sekali. Maka tak ayal lagi dia pun membentak murid-muridnya.
"Murid-murid pada goblok! Meringkus tikus
gembel cacingan saja tidak becus, awas kalian kalau
sampai memalukan perguruan." teriak Luga Kencana gusarnya bukan alang kepalang.
Mendapat ancaman dari gurunya sudah tentu
membuat murid-murid Walet Merah itu menjadi sangat
ketakutan sekali.
8 Maka selanjutnya dengan tiada membuang-
buang waktu lagi, semua murid-murid Perguruan Wa-
let Merah dengan mengerahkan segenap kemampuan-
nya. Kini jurus-jurus pedang mereka berubah secara
total. Gerakan-gerakan tubuh maupun pedang menjadi
sangat cepat dan mematikan. Berulang kali nyaris saja pemuda itu terkena
sambaran senjata-senjata yang
sangat tajam tersebut. Buang Sengketa pada empat
puluh jurus berikutnya nampak mulai terdesak hebat.
"Ciaaat!"
Bagai seekor udang yang menghindari serga-
pan-sergapan lawannya. Tubuh Pendekar Hina Kelana
melentik ke udara. Maka begitu tubuhnya kembali me-
luncur ke bawah, tak ayal lagi dia segera melepaskan pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang sangat dahsyat
itu. Selarik sinar ultra violet menderu sedemikian cepatnya meluruk pada lawan-
lawannya yang tiada me-
nyadari akan datangnya pukulan yang berhawa panas
luar biasa ini.
"Blam...!"
Bumi terguncang hebat, terdengar jerit kema-
tian yang menyayat hati. Tubuh mereka yang terkena
pukulan Empat Anasir Kehidupan nampak terpental
ke segala arah. Di antara mereka ada yang tewas seketika itu juga dengan keadaan
tubuh hangus, tapi ada
pula yang masih dalam keadaan sekarat atau pun ter-
luka parah. Bukan main terkejutnya Luga Kencana demi
menyaksikan apa yang terjadi di hadapannya. Lima
orang tewas seketika, hanya pukulan yang benar-
benar sangat hebat sajalah yang dapat menjatuhkan
para muridnya. Namun di balik keterkejutan itu se-
sungguhnya dia sangat gusar sekali. Pemuda yang ti-
dak dikenalnya itu masih begitu sangat muda, namun
memiliki pukulan yang sangat hebat. Sungguh dia
sangat penasaran sekali dibuatnya.
"Bocah kau telah begitu berani membunuh mu-
rid-muridku. Kau harus menerima pembalasan yang
setimpal...!"
"Sama seperti gurunya. Murid-muridmu juga
merupakan orang tolol yang perlu diberi pelajaran...!"
ejek Pendekar Hina Kelana sambil bersiap-siap dengan gebrakan-gebrakan
selanjutnya. "Anak-anak, mari kita cincang pemuda gembel
ini beramai-ramai...!" berteriak begitu Luga Kencana langsung melompat dari atas
punggung kuda tunggan-gannya. Maka tak dapat terhindarkan lagi, pertarun-
gan sengit pun segera berlangsung kembali di pinggi-
ran hutan yang sangat sunyi tersebut.
Kini dengan turun tangannya Luga Kencana da-
lam pertempuran itu, maka kejab kemudian Buang
Sengketa sudah kelihatan mulai terdesak. Selanjutnya tanpa ayal-ayalan lagi
Pendekar Hina Kelana segera
memainkan jurus-jurus si Gila Mengamuk. Bagai
orang sinting yang sedang mabok, tubuhnya sem-
poyongan kian kemari. Bahkan jurus-jurus silat yang
dimainkan nampak kacau tak beraturan. Sekali waktu
dia terhuyung-huyung, di lain saat dia berkelit menghindari babatan-babatan mata
pedang yang datangnya
menggebu-gebu. Namun di saat yang lain tubuhnya
berkelebat lenyap membingungkan para lawan-
lawannya. Hingga pada satu saat teringat pulalah olehnya
tentang Ajian Pemenggal Roh. Pemuda itu langsung
bertindak cepat. Lalu terdengar pula bunyi mendesis-
desis bagaikan seekor raja ular yang sedang dilanda
kemarahannya. Lalu tanpa ampun tubuhnya kembali
berkelebat. Selanjutnya satu hal yang tiada pernah
disangka-sangka oleh orang-orang itu.
"Huaiiiik,..!"
Jeritan tinggi melengking sambung menyambut
dan tiada berkeputusan itu menggetarkan tempat me-
reka berpijak. Murid-murid Perguruan Walet Merah
melolong setinggi langit. Mereka menggelepar roboh,
darah mengalir dari gendang telinga yang rusak total akibat lengkingan Ilmu
Pemenggal Roh. Di antara lima belas orang murid itu sepuluh di antaranya
meregang ajal saat itu juga. Sedangkan yang lainnya berlarian kian ke mari bagai orang
yang terganggu sarapnya.
Bukan alang kepalang terkejutnya Ketua Pergu-
ruan Walet Merah dibuatnya. Sama sekali dia tiada
menyangka kalau pemuda yang dihadapinya justru
memiliki ilmu yang sangat berbahaya sekali. Hal lebih-lebih di luar jangkauan
perhitungannya. Sungguhpun
dengan mata kepala sendiri dia sudah menyaksikan
betapa hebatnya ilmu yang dimiliki oleh pemuda gem-
bel yang berdiri di hadapannya, tapi kematian sekian banyak murid-muridnya telah
membuatnya gelap ma-ta. Maka dengan kemarahan yang tiada terkirakan Lu-
ga Kencana memaki habis-habisan.
"Keparat! Dengan pembunuhan yang kau laku-
kan ini, kau benar-benar telah mengundang permusu-
han terhadap seluruh kaum persilatan golongan lurus.
Kau benar-benar sangat keterlaluan sekali...!" maki Luga Kencana saat itu sudah
bersiap-siap dengan pukulan mautnya yang diberi nama Seribu Walet Merah
Memburu Burung Hantu.
"Kau... kau sendirilah yang memulainya, Ketua
sinting. Tuduhanmu yang tiada beralasan itu benar-
benar merupakan satu penghinaan yang benar-benar
tidak dapat dimaafkan...!" tukas Pendekar Hina Kelana dengan pandangan berapi-
api. "Kutu kupret! Sebutkanlah namamu, andai kau
mati agar tak susah-susah aku menuliskannya di batu
nisan mu...?"
Buang Sengketa hanya tersenyum-senyum saja,
saat itu dia berpendapat. Sungguhpun Perguruan Wa-
let Merah merupakan sebuah perguruan yang sangat
besar. Tetapi sedikitpun juga dia tiada menyangka kalau ketua perguruannya
merupakan orang yang memi-
liki pandangan sempit.
"Hemm, baiklah agar kau tak menjadi penasa-
ran siapa adanya aku ini. Pasanglah kuping mu baik-
baik, Kisanak. Aku yang jelek ini bernama Buang
Sengketa, orang-orang mengenalku sebagai si Hina Ke-
lana...!" ujar Buang Sengketa tanpa ada maksud untuk membanggakan diri.
Sungguhpun saat itu Luga Kencana merasa
sangat terkejut demi mendengar pengakuan si pemu-
da. Namun demi menjaga gengsinya sedapatnya dia
berusaha menutup-nutupi tentang kegelisahan ha-
tinya. "Oho, kiranya kaulah pendekar yang sangat kesohor itu, pantas sekali kau
berani jual lagak di de-panku." kata Luga Kencana dengan suara datar. Namun
sekejap kemudian dia sudah bergelak-gelak sam-
bil memandang penuh kebencian pada pemuda yang
telah banyak membunuh para muridnya.
"Ha... ha... ha...! Pendekar Hina Kelana rupanya tidak lebih dari seorang gembel
busuk. Puih... aku jadi ingin melihat sebagai mana hebatnya Pusaka Golok
Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto yang sangat
menghebohkan itu...!"
Pendekar Hina Kelana tersenyum getir, begitu
iba dia memandang pada Luga Kencana yang saat itu
sedang dirasuki setan amarah. Lalu dengan suara ter-
tahan, dia mengingatkan.
"Kisanak. Sebaiknya kau batalkanlah niatmu
untuk mengetahui bagaimana hebatnya Pusaka Golok
Buntung! Niat yang sama juga dulu pernah diucapkan
oleh banyak orang. Tapi sungguh malang niat mereka
itu tidak pernah berkesampaian...!"
Luga Kencana tergelak-gelak. Senyumnya sinis,
dengan tatapan matanya yang diliputi nafsu membu-
nuh. "Mulutmu terlalu sombong, Hina Kelana. Sekarang terimalah pukulan ini.
Hiaaat!" Secara sontak Lu-ga Kencana pukulkan kedua tangannya mengarah pa-
da tubuh lawannya.
"Weeer...!"
Tak ayal lagi satu gelombang pukulan yang
berhawa sangat dingin menderu laksana kilat hingga
timbulkan suara bersiuran. Buang Sengketa terkesiap
karenanya. Lalu dalam keadaan yang sangat kritis itu.
"Hiaaaa...!"
Tubuhnya melentik ke udara. Selanjutnya begi-
tu dia melayang ke bawah, satu pukulan yang tak ka-
lah hebatnya dia lepaskan. Tak salah lagi, itulah pukulan Empat Anasir Kehidupan
yang mengandung hawa
yang sangat panas sekali. Gelombang sinar ultra violet itu laksana kilat
memapaki datangnya pukulan yang
dilepas oleh Luga Kencana yang berhawa sangat din-
gin. Selanjutnya tanpa terhindarkan lagi dua tenaga sakti itu pun saling
bertubrukan di udara.
"Blam mm...!"
Tubuh kedua orang itu sama-sama terpelanting
jauh. Sama-sama pula muntah darah namun Pendekar
Hina Kelana lah yang paling parah menerima akibat-
nya. Pemuda itu masih terus terbatuk-batuk. Dalam
batuknya itu mengalir pula darah kental dari mulut
dan lubang hidungnya. Dada masih terasa sesak dan
nyeri sakit, pandangan mata berkunang-kunang.
Sungguhpun tidak terluka, tapi yang paling
sengsara menerima akibatnya adalah Dewi Wening
Asih yang masih tersekap di dalam periuk gaib terse-
but. Sebab begitu tubuh Buang Sengketa terpelanting
dan terguling-guling, maka tak ayal lagi periuk itu pun ikut pontang panting
sehingga menyebabkan tubuh di
dalamnya menjadi tunggang langgang tak karuan.
Sementara itu Luga Kencana sudah bangkit
berdiri, dia lalu seka bibirnya yang belepotan darah kental. Dalam hati dia
memuji kehebatan pukulan
yang dimiliki oleh Pendekar Hina Kelana. Bahkan tadi dia merasakan betapa
pukulan miliknya yang berhawa
sangat dingin itu hampir saja tertelan bulat-bulat oleh pukulan lawan yang
berhawa sangat panas luar biasa.
Dan bahkan andai saja dia tiada memiliki kekebalan
tubuh, sudah barang tentu dia akan menerima akibat
yang lebih parah lagi dari lawannya.
Tekadnya membara, dia sudah tidak ingin
mundur walau apa pun yang bakal terjadi. Dia ber-
keyakinan dua pukulan yang lebih dahsyat yang dia
miliki mungkin saja mampu menjatuhkan Pendekar
Golok Buntung. Seandainya tidak pun dia masih me-
miliki sebilah pedang dan jurus-jurus pedang yang
sangat diandalkan. Itulah sebabnya sambil bersiap-
siap dengan kuda-kudanya dia berseru lantang.
"Bocah! Ternyata Pendekar Hina Kelana bukan-
lah nama kosong. Kau benar-benar seorang gembel
yang sangat tangguh." puji Luga Kencana tanpa tedeng aling-aling.
Selanjutnya sambungnya:
"Tapi engkau jangan sombong dulu, aku masih
punya pukulan pamungkas dan jurus pedang yang
dapat membantai ratusan kawanan serigala. Dan ka-
lau kau benar-benar merupakan seorang pendekar
yang sangat digjaya, akulah yang akan menghapus
namamu yang sangat kesohor itu. Andai aku dapat
membunuhmu, maka aku akan tersohor melebihi kau,
aku akan menjadi sangat terkenal...!" kata Luga Kencana disambung dengan suara
tawa bergelak-gelak.
Buang Sengketa tersenyum kecut, lalu dengan
suara yang sangat lirih namun disertai tenaga dalam dia berkata seolah-olah pada
dirinya sendiri.
"Masih sangat banyak jalan untuk menjadi ter-
kenal. Tapi mengapa justru kau menempuh cara yang
paling sulit...?"
Nanar pandangan mata Luga Kencana demi
mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh si pe-
muda. Selama malang melintang dalam dunia persila-
tan, baru kali ini ada seorang gembel yang telah begitu berani menghinanya
sedemikian rupa. Ini sangat keterlaluan sekali. Pemuda yang berdiri tegak di
hadapan- nya itu benar-benar sangat perlu untuk dihajar. Yang lebih setimpal lagi dibunuh
secepatnya. "Bangsat sombong. Justru bagiku membunuh-
mu adalah merupakan satu cara yang paling mudah
untuk kulakukan...! Mampuslah!" jerit Luga Kencana.
Saat itu dengan sekali berkelebat saja, pukulan Walet Merah Menerjang Ombak dia
lepaskan. "Ngung...!"
Pasir-pasir beterbangan, suasana sunyi itu di-
kejutkan dengan suara riuh rendah bergemuruhnya
gelombang pukulan yang terlepas. Buang Sengketa kali ini tak mau bersikap ayal-
ayalan lagi. "Wuuuus!"


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pukulan yang paling sangat diandalkan yang
bernama si Hina Kelana Merada dia lepaskan.
Bagai auman harimau terluka terdengar ber-
samaan melesatnya selarik sinar merah yang berhawa
sangat panas luar biasa. Belum lagi pukulan itu saling bertemu. Tanah di
sekitarnya tergetar hebat. Tak lama kemudian tanpa dapat dicegah lagi.
"Blaaar...!"
Malang sekali nasib Pendekar Hina Kelana ini,
tubuhnya kembali terpelanting tujuh tombak. Semen-
tara Luga Kencana hanya tergetar saja. Laki-laki se-
tengah baya itu pun menyeringai dengan sesungging
senyum penuh kemenangan. Tanpa memberi waktu
pada lawannya. Dia segera mencabut pedangnya. Se-
lanjutnya segera memburu lawannya yang dalam kea-
daan terkapar karena luka dalam yang sangat parah.
Masih untung dalam detik-detik yang sangat
kritis bagi keselamatannya sendiri. Buang Sengketa
masih dapat menyadari bahwa lawannya saat itu me-
mang benar-benar menghendaki nyawanya.
"Wuuut!"
Pedang Pusaka Perguruan Walet Merah dan
berwarna merah pula menyambar tubuh Buang Seng-
keta. Masih untung sesaat sebelumnya dengan sisa-
sisa tenaganya dia bangkit lalu mengelak.
"Beeet!"
Serangan pedang Luga Kencana luput, tetapi
baik tubuhnya maupun pedangnya terus memburu ke
mana pun Pendekar Hina Kelana ini berusaha berkelit
menghindar. "Jadah!" maki Luga Kencana, mendesak dan
Buang Sengketa sedikit lengah.
"Brebet...!"
Pedang di tangan Luga Kencana menyambar.
Buang Sengketa mengeluh begitu merasakan pedang
di tangan lawan merobek pangkal lengannya. Sehingga
pakaiannya terobek dan darah mengucur dari luka
yang menimbulkan rasa nyeri. Pendekar Hina Kelana
yang sejak tadi mencoba memendam rasa amarahnya,
kini sudah hilang kesabarannya. Dengan tiga kali berjumpalitan tubuh Buang
Sengketa telah melompat
menjauh. Selanjutnya dia berseru lantang.
"Untuk terakhir kalinya kuperingatkan pada-
mu, Kisanak. Lebih baik kita sudahi pertarungan ini.
Kalau tidak kau benar-benar akan menyesali atas se-
gala kekeliruan mu...!"
Dengan melintangkan pedang pusaka di depan
dada, sebaliknya Luga Kencana malah berkata men-
cemooh. "Siapa mau perduli dengan akal bulus mu. Su-
dah mau mampus masih juga berusaha menggertak
ku...!" Buang Sengketa akhirnya menjadi gelap mata, wajahnya sebentar saja sudah
nampak menegang. Bibir Buang Sengketa berkemik-kemik mengeluarkan
bunyi mendesis. Luga Kencana memang nampak terke-
jut, tetapi kemudian langsung menerjang dengan sen-
jata terhunus. Tiada menyia-nyiakan kesempatan lagi, tubuh
Buang Sengketa berkelit menghindar. Selanjutnya ber-
kelebat sehingga merupakan bayang-bayang saja.
"Ngung...!"
Dalam teriknya matahari siang hari, nampak
sinar merah berkelebat mengurung diri Luga Kencana.
Tak salah lagi, itulah Pusaka Golok Buntung yang terkenal sangat dahsyat itu.
Golok Buntung yang berada dalam genggaman
si pemuda mengalirkan hawa hangat ke bagian tubuh-
nya yang terluka, hingga lama-kelamaan rasa menye-
sak di dalam rongga dadanya semakin lama semakin
berkurang. Sebaliknya bagi pihak lawan kehadiran
senjata di tangan Buang Sengketa malah menimbulkan
hawa dingin yang teramat sangat hingga menimbulkan
kejut di hati Luga Kencana.
Tiada kesempatan bagi ketua Perguruan Walet
Merah ini untuk berfikir panjang. Golok di tangan
Buang Sengketa menderu, kemudian mendesaknya.
Luga Kencana keluarkan seruan tertahan sak-
ing kagetnya karena tahu-tahu senjata maut itu tiga
jengkal di depan hidungnya. Tiada pilihan lain terkecuali memapaki babatan golok
di tangan lawan dengan
pedang pusaka milik perguruan Walet Merah.
"Traaaang! Criiiing!"
Tanpa ampun, senjata di tangan Luga Kencana
menjadi rompal di beberapa bagian. Dengan tangan
bagai kesemutan Luga Kencana berusaha menghindari
babatan golok yang terasa bagai memiliki mata itu.
"Ngung...!"
"Aaiyaaaaa...!" teriak ketua Perguruan Walet Merah sambil berusaha menghindar
selanjutnya berjumpalitan di udara.
Begitu tubuhnya melayang turun dan belum la-
gi sempat menjejakkan kakinya di atas permukaan ta-
nah, Golok Buntung di tangan Buang Sengketa me-
nyambutnya. Dalam kegugupannya dia kembali ba-
batkan pedangnya memapaki datangnya sambaran go-
lok di tangan Pendekar Hina Kelana.
"Praaang!"
Tubuh Luga Kencana tersentak ke belakang,
senjata pedang pusaka milik Perguruan Walet Merah
patah menjadi beberapa bagian. Buang Sengketa yang
sudah gelap mata itu kembali babatkan goloknya. Be-
lum lagi hilang keterkejutan Luga Kencana, dia merasa adanya angin sambaran
senjata di bagian bahu kirinya. Begitu dia menoleh dan berusaha untuk meng-
hindar, segalanya sudah terlambat.
"Craaaas!"
Luga Kencana menjerit setinggi langit, tangan-
nya yang terbabat golok di tangan Buang Sengketa terjatuh di bawahnya sendiri.
Cepat-cepat Luga Kencana
menotok beberapa bagian jalan darah di pangkal len-
gannya. Dengan wajah pucat dan sangat ketakutan
sekali. Dia melompat ke punggung kudanya.
"Hati-hati kau, Pendekar keparat! Lain waktu
seluruh golongan persilatan akan mencincang tubuh-
mu...!" kata Luga Kencana. Lalu bersamaan dengan itu tanpa menoleh-noleh lagi,
ketua Perguruan Walet Merah yang sudah kehilangan sebelah tangannya itu
langsung menggebrak kudanya.
Pendekar Hina Kelana tiada perduli. Yang ada
dalam hatinya saat itu adalah bagaimana caranya un-
tuk menemukan Arca Harimau Kumbang yang telah
menimbulkan banyak korban itu.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi dia
pun berkelebat pergi, tetapi begitu teringat pada Dewi Wening Asih yang masih
berada di dalam periuk gaib-nya. Sambil terus berlari dia menyambar tubuh Dewi
Wening Asih yang sudah basah kuyup mandi keringat
karena terlalu lama disekap di dalam periuk itu. Sungguhpun saat itu Dewi yang
sangat cantik itu marah-
marah. pada Buang Sengketa, namun pemuda itu tia-
da perduli. Dia terus berlari dan berlari hingga akhirnya tubuh mereka lenyap
setelah melewati sebuah ti-
kungan jalan. 9 Sejak tangan mereka kena dibuntungi oleh
Pendekar Hina Kelana mulai saat itu selama beberapa
purnama si Kembar Pedang Dewa bergiat melatih diri
dengan ilmu pedang mereka yang baru. Dengan nama
baru pula, yaitu si Kembar Pedang Dewa Tangan
Tunggal. Selama berbulan-bulan mereka melatih diri di sebuah daerah terpencil
yang diberi nama Lembah Putus Asa.
Sejak Pendekar Hina Kelana mempermalukan
diri mereka, manusia kembar dari Pulau Bawean itu
sudah bertekad untuk membalas dendam. Dari niat-
nya semula untuk memiliki Areca Harimau Kumbang
kini berbalik jadi ingin membalaskan dendam secepat-
cepatnya. Siang dan malam tanpa kenal rasa lelah mere-
ka melatih diri, hingga enam purnama kemudian me-
reka sudah merasakan bahwa segala sesuatunya telah
dianggap cukup. Maka di pagi buta keesokan harinya
si kembar telah meninggalkan Lembah Putus Asa.
Sementara itu pada saat yang sama di sebuah
daratan tinggi yang banyak terdapat batu kapur. Nam-
pak seorang kakek tua renta berpakaian tambal-
tambal dan sudah kelihatan sudah sangat usang. Den-
gan sebuah tongkat berkepala Kepala Naga Merah dan
sebuah Arca Harimau Kumbang yang terbungkus kain
bekas terletak di bagian punggungnya.
Kakek tua renta itu tak lain adalah Gembel
Pengemis dari Teluk Naga yaitu orang yang telah melarikan Area Harimau Kumbang
telah dicurinya dari Per-
guruan Walet Merah. Pagi itu di atas sebuah batu ca-
das, Gembel Pengemis nampak sedang duduk di sana.
Wajahnya yang sudah keriputan itu nampak tertun-
duk, sementara tubuhnya sedikit menggigil seperti kedinginan.
Sesungguhnya bukan kedinginan karena udara
pagi, sebenarnya tidak begitu dingin. Tapi rasanya ada sesuatu yang dia derita,
rasa sakit yang menyerang sekujur tubuhnya bagai orang yang terkena demam ma-
laria. Tak dapat disangkal kenyataan seperti itu
membuat Gembel Pengemis merasa terus tersiksa se-
panjang hari. Nampaknya Gembel Pengemis dari Pulau
Naga itu tiada menyadari bahwa saat itu Kutuk Hari-
mau Kumbang sedang terjadi atas dirinya. Caranya
yang sangat ceroboh mempelajari kitab yang terdapat
di dalam mulut area tersebut tanpa bimbingan seorang guru benar-benar telah
menyesatkan jalan darah di
dalam tubuhnya. Siapa pun orangnya yang berani
mempelajari Kitab Siluman Harimau Kumbang yang
terdapat di dalam mulut area tersebut maka akan
mengalami suatu resiko yang tak dapat dianggap rin-
gan. Gembel Pengemis sudah tahu hal itu. Namun se-
jak dia berhasil merubah ujudnya menjadi ujud Si-
luman Harimau Kumbang, semua pesan-pesan yang
ada itu terlupakan begitu saja. Apalagi setelah me-
nyaksikan sendiri betapa hebatnya dia dengan siluman jejadian yang merupakan
penjelmaan dari dirinya sendiri. Kini dengan seenak perutnya dia dapat berubah-
ubah dalam waktu yang dia kehendaki. Korban pun
berjatuhan di mana-mana. Dengan sangat sengaja se-
kali dia menyebarkan teror. Sejauh itu dia merasa masih belum puas, sebelum
dunia persilatan menjadi
gempar karenanya.
Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat
Gembel Pengemis berada, si Kembar Pedang Dewa
Tangan Tunggal yang kebetulan melintasi daerah itu.
Dengan mengendap-endap nampak mendekat Gembel
Pengemis dari bagian belakangnya.
Beberapa saat kemudian jarak di antara mere-
ka benar-benar semakin bertambah dekat saja.
Sebagai orang yang berpengalaman Gembel
Pengemis bukan tiada mengetahui kehadiran si kem-
bar yang sejak tadi mencurigai keberadaan Gembel
Pengemis di tempat itu. Namun dia kelihatan acuh sa-
ja, bersikap masa bodoh dan seolah-olah tak mengerti.
Dalam hati dia ingin tahu apa sesungguhnya
yang akan diperbuat oleh si kembar padanya. Semen-
tara itu dua kembar dari Pulau Bawean itu nampak
saling berbisik sesamanya.
"Lihatlah, nampaknya benda yang terbungkus
kain di punggung Gembel Pengemis itu merupakan Ar-
ca Harimau Kumbang yang dicari-cari oleh banyak to-
koh-tokoh persilatan. Agaknya kalau kita mau, kita
berdua punya kesempatan untuk merampas area itu
dari tangan si Gembel...!" berkata si kembar yang berbadan gemuk tinggi.
Sementara salah seorang yang
berbadan gemuk pendek nampak garuk-garuk kepa-
lanya. "Nampaknya kakek itu bukanlah orang yang bi-sa dianggap sembarangan,
Kakang! Lagipula aku su-
dah tidak begitu berminat dengan benda yang ada ber-
sama kakek gembel tersebut. Pula bukankah kita se-
karang ingin mencari pendekar yang telah membuat
buntung tangan kita...?"
"Itu betul, tapi apa salahnya kalau sekalian kita dapatkan arca yang ada bersama
dengan gembel itu...!"
Si Kembar Gemuk Pendek geleng-gelengkan ke-
palanya. "Kau tidak setuju?" tanya si Gemuk Tinggi.
"Aku sih setuju-setuju saja, tapi kalau orang itu mengadakan perlawanan
bagaimana nantinya...?" ujar si gemuk pendek seperti sudah mengenali siapa
sesungguhnya yang berpakaian tambal-tambal itu.
"Mengapa harus takut, aku tahu dia itu de-
dengkotnya tokoh sesat dari Pulau Naga. Tetapi den-
gan kemajuan pesat ilmu Pedang Tangan Tunggal yang
kita miliki bukan mustahil kita tak dapat mengalah-
kannya...!" kata si kembar tinggi gemuk merasa sangat yakin dengan kemampuan
yang dimilikinya.
"Kalau hal itu sudah merupakan kemauanmu,
maka aku hanya menurut saja, Kakang!"
Dalam pada itu terdengar suara bentakan
Gembel Pengemis tanpa beranjak dari tempat duduk-
nya. "Kusak kusuk kayak monyet betina yang lagi jatuh cinta. Keluar dari
persembunyian atau kuseret
kalian dari tempat itu...?" kata Gembel Pengemis, pelan namun mengancam.
"Hemm. Apa kubilang, Kakang. Gembel sialan
itu benar-benar mengetahui kehadiran kita di sini...!"
ucap si Gemuk Pendek. Lalu mereka pun saling ber-
pandangan sesamanya.
"Keluar kataku...!" bentak Gembel Pengemis gusar.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi.
"Krosaaaak...!"
Dua orang kembar itu langsung melesat dari
tempat persembunyiannya. Sejenak masing-masing
mereka saling berpandangan sesamanya. Kemudian
Gembel Pengemis tertawa terkekeh-kekeh.
"Ah... ah...! Kalian ini benar-benar dua monyet kembar yang sangat kompak
sekali. Pertama-tama.
Muka kalian kayak lutung. Badan gemuk kayak babi


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hutan. Lucunya tangan kalian dibuntungi pada bagian
yang sama. He... he... he...!"
"Kurang ajar! Kau benar-benar telah menghina
kami, .Gembel cacingan...!" maki si Tinggi Gemuk dengan wajah merah padam.
Karena wajahnya yang di-
tumbuhi bulu dan hitam legam, maka kalau pun dia
marah, maka hal itu di luar sepengetahuan Gembel
Pengemis. Saat itu Gembel Pengemis masih saja terta-
wa tergelak-gelak.
"Sialan, monyet lutung berani sekali kau me-
makiku. Tidak tahukah kau dengan siapa kalian ber-
hadapan...?"
Baik si Tinggi Gemuk maupun si Gemuk Pen-
dek sama-sama nampak tersenyum sinis.
"Terhadap dedengkot pencuri Arca Harimau
Kumbang dari Pulau Naga siapa takut. Tua renta su-
dah bau tanah...!"
"Hemm. Bagus kalau kalian mengenalku.
Agaknya kalianlah yang berjuluk si Kembar Pedang
Dewa dari Pulau Bawean. Heran... mengapa kalian
sampai keliaran mencari mampus saja sampai sejauh
ini...?" "Ha... ha... ha...! Bukan kematian yang kami cari, Gembel bau! Tapi
Arca Harimau Kumbang yang
kau curi itulah yang sangat menarik perhatian kami!"
tukas si Gemuk Pendek sambil tersenyum mencemooh.
Bukan main gusar Gembel Pengemis dari Pulau
Naga ini demi mengetahui apa maksud tujuan dari Si
Kembar Pedang Dewa itu.
"Hebat! Ambisi kalian untuk memiliki arca yang
ada padaku memang patut kupuji. Tetapi yakinlah
keinginan kalian yang muluk-muluk itu akhirnya
hanya akan berubah menjadi mimpi yang sangat me-
nakutkan sekali...!"
"Gembel keparat! Sungguhpun kepandaianmu
setinggi langit. Walaupun kesaktian yang kau miliki
sebanyak buih di lautan. Jangan kira aku dan adikku
takut menghadapimu...!"
"Sriiing...!"
Si Kembar Pedang Dewa sudah mencabut sen-
jata mereka yang berupa sebilah pedang kembar yang
sangat putih berkilau-kilauan karena ketajamannya.
Gembel Pengemis hanya tersenyum saja demi
melihat apa yang dilakukan oleh si kembar dari Pulau Bawean itu. Sebaliknya
setelah sesaat setelahnya dia segera berseru memberi peringatan.
"Kuperingatkan padamu. Karena kita masih se-
golongan, baiknya sarungkanlah senjata kalian itu. Kalau tidak kalian benar-
benar orang yang paling me-
nyesal karena kesalahan sendiri...!"
"Keder juga kau, Gembel Pengemis. Tapi keta-
huilah, bahwa senjata kami baru akan kembali ke sa-
rungnya apabila kau bersedia menyerahkan arca itu ke tangan kami!" kata si
tinggi gemuk. Ketus.
"Hoho...! Kalau begitu tidak salah kalau aku
merobek-robek tubuhmu...!" teriak Gembel Pengemis dari Pulau Naga sudah tidak
dapat menahan kesabarannya. Maka tak ayal lagi pertarungan sengit pun sudah tak
mungkin dapat dihindari lagi. Sekejap saja
terdengar suara beradunya senjata tajam di tempat
yang sangat sunyi itu. Secara bersamaan si Kembar
dari Pulau Bawean itu menyerang Gembel Pengemis
dengan jurus-jurus pedang baru hasil ciptaan mereka
sendiri. Bertarunglah tokoh-tokoh sesat tingkat tinggi itu dengan mengerahkan
segenap kemampuannya!
Dengan pedang di tangan mereka, senjata mustika
yang sangat besar pamornya itu berkelebat ke segala
arah, mengarah pada bagian pertahanan Gembel Pe-
ngemis. Serangan-serangan gencar itu datangnya san-
gat beruntun, sambung menyambung tiada henti.
Sungguh merupakan jurus-jurus silat yang sengaja di-
ciptakan oleh si kembar dengan hati diliputi oleh dendam. Terbukti setelah
pertarungan berlangsung lebih kurang lima belas jurus, Gembel Pengemis dari
Pulau Naga ini nampak terdesak hebat. Hanya karena me-
mang pengalaman saja maka Gembel Pengemis dengan
tongkat mautnya yang berkepala Naga Merah dia
mampu bertahan.
Sekali waktu, Gembel Pengemis yang sudah
sangat terdesak itu keluarkan jerit tinggi melengking.
Tubuhnya nampak melesat ke udara. Tanpa ampun si
kembar memburunya.
Di luar dugaan para si kembar, begitu tubuh
Gembel Pengemis meluncur ke bawah, dia langsung
tekan salah satu sisi tongkatnya.
"Buuus!"
Udara beracun tersembur dari mulut tongkat
yang di bagian pangkalnya merupakan ujud dari kepa-
la naga. Udara di sekitarnya mendadak gelap gulita. Si kembar terbatuk-batuk,
sebaliknya Gembel Pengemis
tertawa mengekeh.
"Bet! Bet!"
Sinar pedang di tangan si kembar bergulung-
gulung, sehingga lama-kelamaan membuyarkan asap
beracun yang mengurung tubuh mereka. Bukan main
terkejutnya Gembel Pengemis dibuatnya, karena ter-
nyata si Kembar Pedang Dewa tidak mempan terhadap
uap beracun yang sesungguhnya sangat ganas.
"Jlik! Jlik!"
Si Kembar balik mengekeh.
"Gembel bau! Segala uap beracun mainan
anak-anak kau gelar di hadapan kami. Heh.... Tiada
gunanya. Kau manusia sesat, kami juga! Di Pulau Ba-
wean juga tak kalah banyaknya dengan segala racun
meracun.... Baiknya kau serahkan saja arca itu pada
kami!" perintah si tinggi gemuk.
"Jangan bangga dulu sobat sesat! Masih ba-
nyak pukulanku yang bisa membuat kalian mampus
seketika...!" maki laki-laki renta berambut putih ini.
"Kerahkanlah segenap yang kau punya, Gembel
Tua. Kami siap melayani sampai kau terbujur menjadi
bangkai...!" ejek si kembar gemuk pendek.
"Lihat tongkat dan jaga pukulan. Seaaa...!"
Tongkat di tangan Gembel Pengemis menderu,
pedang di tangan si Kembar berkelebat memapaki. Tak
ayal lagi kini si Kembar dari Pulau Bawean itu telah pula memainkan jurus pedang
hasil ciptaan mereka.
Pedang Kembar Membalas Dendam.
Bukan main hebatnya jurus-jurus pedang me-
reka. Walaupun saat itu dua kembar itu dalam posisi
menahan dan Gembel Pengemis dalam keadaan me-
nyerang. Namun terlihat bahwa posisi gembel penge-
mis-lah yang terdesak. Berulang kali serangan berun-
tun yang dibangun oleh Gembel Pengemis selalu kan-
das di tengah jalan. Sekali dua Gembel Pengemis me-
nusukkan tongkat naganya, yang sangat tajam bagian
ujungnya itu. Tetapi sialnya tubuh si Kembar malah
alot luar biasa. Menghadapi kegagalan demi kegagalan itu, lama kelamaan Gembel
Pengemis menjadi hampir
putus asa. "Ciaaaat!"
Gembel Pengemis melompat mundur satu tom-
bak, selanjutnya dia sudah bersiap-siap dengan puku-
lan Naga Merah Memburu Gajah. Begitu tangannya
berkiblat, maka tanpa ampun menderulah satu gelom-
bang pukulan yang sangat dingin dan keji ke arah tu-
buh si kembar. Mengetahui adanya pukulan yang sangat dah-
syat dan bahkan pernah di kenalnya. Si kembar pun
tiada tinggal diam. Laksana kilat mereka putar pe-
dangnya melindungi diri.
"Nguuung!"
Sekejap tubuh si kembar lenyap terbungkus
gulungan sinar pedang yang menderu dahsyat.
"Bluaaar!"
Tubuh Gembel Pengemis tergetar, sebaliknya si
kembar terdorong dua langkah, dengan keadaan sem-
poyongan. Wajah masing-masing lawan menjadi pucat
pasi. Dada mereka terasa sesak sekali, sungguhpun
masing-masing tak sampai muntah darah tetapi mere-
ka sadar dalam segi kekuatan mereka tiada yang lebih tinggi dan tiada pula yang
lebih rendah. Saat itu Gembel Pengemis sudah berpikir-pikir
untuk mengeluarkan Siluman Harimau Kumbang. Tapi
apabila dia teringat pada lawannya yang juga kebal
terhadap semua apa yang dimilikinya. Dia jadi urung, semuanya akan jadi sia-sia.
Dia merasa sungguhpun
dia dapat berubah menjadi Harimau Kumbang, tapi
apalah gunanya kalau pada akhirnya dia tak berhasil
merobek-robek tubuh lawannya. Bukan mustahil ka-
lau lawannya sampai tahu kelemahan seekor siluman
dia dapat saja terbantai dengan sangat mudah saja.
Pikirannya bekerja cepat. Sampailah kesimpulannya
andai saja mereka bersatu mempertahankan Arca Ha-
rimau Kumbang tersebut. Bukankah mereka akan
menjadi kuat. Tapi sebelum persatuan itu dia laksanakan dia masih ingin
melepaskan satu pukulan yang
sangat hebat. "Gembel Pengemis, kau atau pun kami sama-
sama kuatnya. Tapi kalau kau masih tetap keras kepa-
la tidak mau menyerahkan arca itu, lama kelamaan
kami pasti dapat menjatuhkan mu...!" teriak Gemuk Pendek.
"Jangan banyak bacot, tahanlah ini...!" Dengan ucapannya itu, Gembel Pengemis
langsung kirimkan
satu pukulan yang lebih ganas lagi. Pukulan Naga Me-
rah Menggusur Gelombang. Tak salah lagi. Sementara
itu, si kembar pun sudah siap dengan jurus pedang
Perisai Pedang Dewanya.
Tak pelak, begitu tubuh masing-masing lawan
berkelebat. Maka Gembel Pengemis lepaskan satu pu-
kulan yang sangat hebat dan berhawa lebih dingin
membekukan urat-urat darah.
Sementara itu si kembar putar pedangnya, be-
gitu sebat dan sangat perih mata melihatnya.
"Weeer!"
"Traaang! Bluuum!"
Terdengar suara bagai gempa melanda begitu
pukulan yang dilepaskan oleh Gembel Pengemis den-
gan pedang di tangan si kembar bertubrukan. Tubuh
si kembar terpelanting tiga tombak, tangan terasa dingin bagai membeku,
sementara itu tanpa terasa oleh
mereka darah kental meleleh dari lubang hidung me-
reka. Sementara itu di pihak Gembel Pengemis sendiri tidak jauh lebih baik.
Tubuhnya yang sudah sangat
renta itu pun terjengkang empat tombak tanpa ampun.
Darah pun meleleh dari celah bibir dan hidungnya.
Semua itu diakibatkan sebagian besar pukulan yang
dilepaskannya membalik dan menghantam dirinya
sendiri. Dengan tertatih-tatih Gembel Pengemis bangkit,
sebagian wajahnya nampak semakin bertambah kotor
diliputi debu. Sementara saat itu si kembar sudah berdiri bertolak pinggang
dengan nafas senin kamis.
Gembel Pengemis begitu bangkit segera angkat
tangannya tinggi-tinggi. Selanjutnya gembong manusia sesat itu pun berucap.
"Cukup. Kita sudahi saja urusan ini sampai di
sini...!" ucapnya dengan tersendat-sendat.
"Apa maksudmu. Di antara kita belum ada yang
kojor mengapa harus berhenti?" tukas si gemuk tinggi.
"Bagaimana kalau kita berdamai saja. Maksud-
ku sama-sama menjaga keselamatan arca ini dari an-
caman siapa pun. Kalau kalian mau, aku pasti mem-
beri kesempatan pada kalian untuk mengetahui sesua-
tu yang tak pernah kalian miliki...!" kata Gembel Pengemis. "Sesuatu apa...?"
tanya si Gemuk Pendek penasaran. "Baiknya kita cari tempat yang aman... di sana
kita bisa berbicara banyak!!"
"Kalau bilang sejak tadi kan kita tak perlu
buang-buang tenaga...!" celoteh si gemuk tinggi. Gembel Pengemis tiada menyahut.
Tetapi kemudian mereka
tertawa tergelak-gelak sambil berkelebat meninggalkan tempat itu.
* * * 10 Sejak meninggalkan Lembah Gunung Batu Si-
wak. Rajenta sesuai dengan pesan guru para siluman,
langsung saja menuju Perguruan Walet Merah. Adapun
tujuan utamanya adalah ingin menanyakan ten-tang
kabar Arca Harimau Kumbang yang telah lenyap dari
perguruan itu. Sungguhpun dia pernah dimusuhi oleh
Luga Kencana dan murid-muridnya. Namun sedikit
pun tidak dendam di hatinya, dia ingin menjernihkan
persoalan yang menjadi kemelut para kaum persilatan.
Untuk itu tanpa membuang-buang waktu lagi dia sege-
ra mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Namun baru saja beberapa ratus tombak dia
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Mendadak terdengar
suara bentakan tidak jauh dari tempat laki-laki itu berada. Rajenta menghentikan
langkahnya. Sejenak dia
memandang berkeliling. Lalu bermunculan sosok-
sosok tubuh dari semak-semak belukar. Orang-orang
itu segera mengurung Rajenta. Laki-laki itu menatap
sinis pada orang-orang yang sangat dikenalnya. Kemu-
dian dia membentak gusar.
"Hemm. Sangat kebetulan sekali, kalian ten-
tunya para murid dari Lembah Weling yang telah men-
culik istri dan anakku." ucap Rajenta. Tapi begitu matanya memandang berkeliling
dan tak dilihatnya Jali
Sajiwa bersama para murid-muridnya. Maka dengan
sangat penasaran sekali dia berseru.
"Tak kulihat si bangsat Jali Sajiwa bersama-
sama kalian...?"
Merah wajah murid-murid sesat dari Lembah
Weling ini, demi mendengar apa yang baru saja dika-
takan oleh Rajenta yang selama ini telah mereka ang-
gap mati terkubur di Lembah Gunung Batu Siwak


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat angker itu.
"Untuk apa kau tanya tentang ketua kami, dulu
pun andai kau tidak melarikan diri dari kami, sudah
pasti kami dapat membunuhmu...!" ejek Wakil Ketua
Perguruan Lembah Weling yang bernama Setra.
"Bagus kalau kau merasa sudah sangat hebat.
Tapi jawab dulu ke mana iblis ketua kalian itu...?"
Sambil tersenyum-senyum penuh kelicikan,
maka Setra pun menjawab.
"Ketua kami sedang mencari pemuda gembel
yang membawa lari Dewi Wening Asih calon istrinya...!"
Mendengar disebut-sebutnya Dewi Wening Asih
yang merupakan anak kandungnya sendiri sebagai ca-
lon istri Jali Sajiwa. Maka detik itu juga wajah Rajenta nampak sangat marah
sekali. "Bangsat kalian semua! Lalu di mana istriku
sekarang ini...?" makinya dengan sangat gusar sekali.
"Istrimu... he... he... he..,! Istrimu telah membunuh diri beberapa purnama yang
lalu...!" kata Setra berterus terang.
Maka menggigillah tubuh Rajenta mendengar
ucapan yang tiada pernah dia sangka-sangka sebe-
lumnya. Bagaimana mungkin Wendah sampai mem-
bunuh diri" Pasti Jali Sajiwa telah melakukan sesuatu atas diri istrinya.
"Manusia-manusia iblis. Kalian benar-benar te-
lah memporak porandakan segala apa yang pernah
kumiliki. Aku pasti tak akan mengampuni kalian se-
muanya...!" teriak Rajenta geram sekali.
"Kau bisa apa, Rajenta...?" ejek Setra, lalu memberi isyarat pada orang-
orangnya. Maka tanpa
menunggu lagi murid-murid Lembah Weling segera
mencabut berbagai senjata yang mereka miliki.
"Celakalah nasib kalian hari ini, aku benar-
benar akan membunuh kalian semuanya...!" teriak Rajenta. Selanjutnya tanpa
berkata-kata lagi, Rajenta segera menyongsong serangan-serangan senjata lawan
yang datangnya susul menyusul.
Dalam kesempatan itu, sungguhpun dulunya
Rajenta pernah kalah bertarung melawan mereka, na-
mun Rajenta yang dulu sungguh jauh berbeda dengan
Rajenta yang kini. Sekarang sewaktu-waktu dia dapat
merubah ujudnya menjadi Siluman Harimau Kum-
bang. Dengan mempergunakan ilmu silat tangan ko-
song, tubuhnya bergerak sangat cepat sekali. Satu dua kali terdengar jeritan
murid-murid Lembah Weling,
manakala tangan maupun kaki Rajenta menyerang
dan memukul tubuh lawan-lawannya.
Perkembangan ilmu silat yang dimiliki oleh Ra-
jenta yang sedemikian pesat sudah barang tentu mem-
buat terkejut lawan-lawannya. Terlebih-lebih lagi Setra yang saat itu merupakan
orang kedua setelah Jali Sajiwa. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, dia pun
ikut menerjang Rajenta yang sedang menghadapi ke-
royokan murid-murid Lembah Weling yang jumlahnya
tidak kurang dari sembilan belas orang.
"Pergunakan jurus Pedang Iblis!" teriaknya kepada kembrat-kembratnya yang sedang
berusaha me- nekan Rajenta. "Criiiing!"
Pedang Setra yang berwarna kehitam-hitaman
dan mengandung racun yang sangat keji itu pun telah
tercabut dari sarungnya. Tak ayal lagi keroyokan itu pun semakin bertambah seru.
Sebaliknya, Rajenta sendiri dengan mempergu-
nakan ilmunya para siluman, sampai sejauh itu masih
mampu mengkandaskan serangan-serangan gencar
yang datang menggebu-gebu.
"Shaaa...!"
Mengatasi yang lain-lainnya tubuh Setra yang
sudah dilanda nafsu angkara murka itu langsung ber-
kelebat-kelebat. Pedang di tangannya menderu mence-
car pada bagian leher dan dada lawannya. Pada saat
yang sama pula tujuh belas murid-murid Lembah Wel-
ing datang mencecar dari bagian belakang, depan dan
samping. Sesaat Rajenta nampak kelabakan, dia ber-
kelit sambil berusaha membebaskan diri dari samba-
ran pedang di tangan Setra.
"Wuuut!"
Serangan kilat yang dilancarkan oleh Setra lu-
put, namun dari bagian belakang datang pula seran-
gan dari kambrat-kambratnya.
"Brebet...!"
Rajenta mengeluh panjang, lalu membuang di-
rinya ke samping kini, selanjutnya berguling-guling
menghindari serangan-serangan susulan.
"Groaaauuung!"
Dalam keadaan terguling-guling itu, Rajenta ke-
luarkan jeritan yang sesungguhnya tak ubahnya bagai
suara auman seekor harimau. Kenyataan itu membuat
murid-murid dari Lembah Weling menjadi kaget, lalu
tertegun sesaat.
Di lain pihak tidak hanya sampai di situ saja,
suara auman beruntun itu pun seolah menyentakkan
Rajenta dari tidurnya yang sangat menyakitkan.
"Hauuung! Groaar!"
Terdengar kembali suara auman itu, tapi tubuh
Rajenta masih terus berguling-guling. Selanjutnya perubahan pun terjadi. Begitu
tubuh Rajenta melompat,
maka menjelmalah dia menjadi Siluman Harimau
Kumbang yang sangat besar.
Pucat wajah murid-murid dari Lembah Weling
dibuatnya. Namun sebelum rasa keterkejutannya itu
lenyap sama sekali. Maka tanpa ampun lagi, Siluman
Harimau Kumbang itu langsung menerjang mereka
dengan sangat beringas sekali.
Satu demi satu lawan-lawan pun berjatuhan,
tubuh mereka tercabik-cabik darah mengalir di mana-
mana. Setra yang merupakan pemimpin dari mereka
semua menjadi sangat marah sekali, maka tanpa am-
pun lagi dia segera memberi perintah pada sisa-sisa
muridnya. "Jangan gentar! Cincang tubuhnya...!" teriaknya kepada beberapa gelintir orang
kawannya. "Hiaaaa...!"
Setra kembali membabatkan pedangnya, saat
mana Harimau Kumbang itu sedang sibuk merobek-
robek tubuh lawannya dengan taring dan kukunya
yang panjang-panjang.
"Craaaak...!"
Pedang di tangan Setra bagai membentur batu
gunung saja layaknya manakala menghantam badan
Siluman Harimau Kumbang tersebut. Setra sangat ter-
kejut sekali. "Arggh...!"
Kembali terdengar jerit menyayat murid-murid
perguruan Lembah Weling.
"Grauuung...!"
Kembali terdengar suara auman yang sangat
menggetarkan gendang-gendang telinga dan setiap hal
itu terjadi, maka korban pun berjatuhan. Semakin la-
ma murid-murid dari Lembah Weling itu hanya tinggal
beberapa gelintir saja. Bukan main gusarnya Setra
menghadapi Siluman Harimau Kumbang yang kebal
terhadap berbagai senjata tajam itu.
"Grauuuung!"
Dengan sekali lompatan saja Harimau Kum-
bang yang sudah kalap itu menerjang ke arah Setra.
Sementara Setra sendiri yang sudah merasa tidak sa-
baran itu pun telah membabatkan pedangnya dengan
cukup telak. Kaki depan Siluman Harimau Kumbang
datang menangkis.
"Criing! Craaak!"
Lagi-lagi tubuh Harimau Kumbang itu tidak ter-
luka oleh babatan dan bacokan pedang di tangan Se-
tra, sebaliknya dengan sangat beringas. Siluman Ha-
rimau Kumbang tanpa ampun menghajar tubuh Setra.
Sungguhpun orang kedua dari Lembah Weling itu be-
rusaha mati-matian untuk menghindari gigi dan kuku-
kuku tajam Harimau Kumbang tersebut, namun tetap
saja tubuhnya menjadi korban keganasan Harimau
Kumbang itu. Setra menjerit tertahan-tahan manakala kuku
dan taring-taring tajam itu membenam di bagian
pangkal leher, dada dan juga bagian tubuh yang lain-
nya. Tubuhnya dalam waktu sekejap saja sudah tak
tentu ujudnya. Hanya beberapa detik setelahnya. Tu-
buh Setra berkelejat-kelejat. Untuk kemudian tiada
bangun dan bergerak-gerak lagi.
Siluman Harimau Kumbang itu mengaum
memperdengarkan bunyi yang membuat ciut nyali sia-
pa pun. Lalu sesaat dipandanginya mayat-mayat yang
bergeletakan tumpang tindih tak karuan. Namun Ha-
rimau Kumbang itu nampaknya acuh saja. Selanjutnya
dengan berjumpalitan tiga kali. Maka Siluman Hari-
mau Kumbang penjelmaan Rajenta sudah berubah
kembali ke dalam ujudnya semula.
"Kalian telah menebus kesalahan sendiri!
Sayang Jali Sajiwa tidak ada bersama kalian. Tugasku masih banyak. Aku harus
mencari Arca Harimau
Kumbang itu! Kemudian baru kucari anakku, aku ya-
kin dia masih ada di atas dunia ini...!" kata Rajenta seorang diri. Selanjutnya
dengan langkah lesu dia meninggalkan mayat-mayat itu. Meninggalkannya begitu
saja. Sampai kemudian tubuhnya menghilang begitu
saja. TAMAT Kisah ini masih berlanjut dengan
"Kembalinya Siluman Harimau Kumbang"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Mybenomybeyes
Kaki Tiga Menjangan 16 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Si Tangan Sakti 10
^