Pencarian

Keris Buntung Ki Srongot 2

Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot Bagian 2


rah. Saat ia berbalik untuk membalas. Rambi Somat
sudah bangkit melancarkan serangan.
"Desss...!"
Mandra Loka terbanting keras di tanah. Tu-
buhnya kelojotan. Kepalanya terasa hampir pecah.
Maka dalam keadaan bergelintingan itu. Tan-
jung Lodaya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Den-
gan terjangan yang sangat keras ia melesat mengarahkan pedangnya pada Mandra
Loka. Tapi... "Trang...!"
Pedangnya serasa bergetar, dan tubuh Tanjung
Lodaya sendiri jatuh terhuyung. Dilihatnya pedang itu telah kutung separuh.
Tanjung Lodaya cepat bangkit.
Mereka berdampingan dengan Rambi Somat. Kedua-
nya memandang ke depan.
Mereka menatap sekelompok orang berderet.
Seorang kakek berambut putih berdiri dengan keris
buntung terhunus di tangan. Sedangkan Sengkala Ge-
tih nampak membantu Mandra Loka bangkit. Rupanya
saat Tanjung Lodaya mengarahkan pedangnya, Ki Ta-
pak Kliwon menggagalkan serangan itu. "Bagus kalian semua keluar untuk
menyaksikan bagaimana hebatnya kemarahan kami. Biarkan Mandra Loka bertarung
denganku, Sengkala Getih! Setan kurap ini telah
menghina kami!" bentak Rambi Somat.
Ki Tapak Kliwon berjalan mengelilingi kakak be-
radik itu. Senyumnya melebar. "Aku yang tua keriput ini memang rada tidak tahu
diri. ia tidak henti-hentinya menatap kedua pemuda
itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Terhadap
kakek berambut putih ini mereka perlu berhati-hati.
Terlebih-lebih Rambi Somat. Ia tahu bagaimana tadi
kakek berambut putih mematahkan pedang Tanjung
Lodaya. "Apakah Mandra Loka hanya seorang pengecut.
Baru beberapa gebrakan saja sudah berlindung di ba-
lik tubuh sang ayah?" ejek Tanjung Lodaya. Mendengar ejekan itu, semua pengikut
Sengkala Getih maupun
anak buah Ki Tapak Kliwon berniat meringkus kakak
beradik ini. Tapi sebelum mereka melakukan tindakan, Ki Tapak Kliwon mengangkat
sebelah tangannya. Maka
serempak mereka kembali mundur.
"Anak muda. Boleh saja kau menghadapi Man-
dra Loka. Tapi sebelumnya aku harus mengukur dulu
sampai di mana kemampuanmu." kata Ki Tapak Kliwon. Mendadak dua kakak beradik
itu tersentak. "Sungguh tak kusangka! Apakah kalian tidak
punya orang andalan lagi untuk menguji kami" Masa-
kah orang tua keriput yang hampir mampus ini harus
menghadapi kami?" Rambi Somat sengaja mengejek memancing kemarahan mereka. Ki
Tapak Kliwon tersenyum.
"Aku yang tua keriput ini memang rada tidak
tahu diri. Barangkali juga sudah bosan hidup. Marilah, Anak muda.... Kalian
boleh maju dua-duanya sekaligus." jawab Ki Tapak Kliwon. Ia memasukkan keris
buntungnya ke dalam sarung yang terselip di pinggangnya. Lalu berdiri bersikap
menantang. Tanpa buang waktu kedua kakak beradik ini
langsung mengurung dari arah yang berlawanan. Tan-
jung Lodaya yang bersenjatakan pedang, melancarkan
babatan pedang. Ia tidak menyadari kalau pedangnya
itu tinggal separuh. Begitu juga dengan Rambi Somat.
Ia tidak perduli meski orang yang dihadapinya telah tua keriput. Setiap
hantamannya berkelebat tanpa
ampun. Di luar dugaan, Ki Tapak Kliwon dapat menge-
lak bagai angin. Setiap hantaman
maupun babatan pedang dapat dihindarinya
sangat cepat. Tubuhnya dapat berpindah-pindah bagai
sebuah bayangan. Hal itu sangat sulit untuk Tanjung Lodaya maupun Rambi Somat
melancarkan serangan.
Menghadapi seorang kakek berilmu tinggi, kakak beradik ini segera membuka jurus-
jurus baru yang meru-
pakan andalan mereka. Nampaklah segulungan sinar
putih bagai kitiran, telapak tangan Rambi Somat bergemuruh saat bergerak.
Ki Tapak Kliwon mendadak tersentak ketika
Rambi Somat melancarkan serangan. Angin pukulan
itu begitu deras menerpa tubuhnya. Saat itu pula seleret sinar putih bergerak
bagai kilat menyambar. Rambut putih Ki Tapak Kliwon beberapa lembar beterban-
gan kena babatan pedang. Manakala serangan Rambi
Somat terus mendera bertubi-tubi. Kewalahan juga Ki Tapak Kliwon menghadapi
hantaman-hantaman itu.
Maka tubuhnya yang seringan kapas itu langsung ber-
salto mundur ke belakang. Pada lentingan yang ketiga kakak berambut putih
menarik keris dari pinggangnya.
Ketika dia hinggap di tanah. Ki Tapak Kliwon telah
bersiap-siap dengan keris buntung terhunus.
Sengkala Getih bersama orang-orang yang ma-
sih berada di situ menatap tegang.
Dua kakak beradik itu serempak menerjang.
Namun Ki Tapak Kliwon segera memutar keris bun-
tungnya ke udara. Terdengarlah suara yang amat ber-
gemuruh. Entah datangnya dari mana tiba-tiba saja
angin bergulung bagai badai.
Ketika Ki Tapak Kliwon mengarahkan keris
buntungnya pada Rambi Somat, mendadak sebuah te-
naga dahsyat menghantam pemuda itu. Padahal keris
buntung Ki Tapak Kliwon belum menyentuhnya. Begi-
tu juga ketika Ki Tapak Kliwon mengarahkan keris itu pada Tanjung Lodaya. Dua
kakak beradik itu mengalami nasib yang sama. Keduanya bergulingan me-
nyemburkan darah. Tubuhnya terus berguling seperti
terdorong badai angin yang maha dahsyat.
Selama keris buntung masih dalam genggaman
Ki Tapak Kliwon, suara gemuruh itu terus menderu-
deru. Badai angin makin besar manakala kakek be-
rambut putih itu memutarnya kuat-kuat. Semua orang
yang berada di sekitar situ beterbangan bagai gumpalan-gumpalan kapas yang
tertiup angin. Kecuali Sengkala Getih. Hanya dia satu-satunya yang dapat
bertahan dan tetap berdiri teguh. Kedua lengannya kekar
memegangi tubuh Mandra Loka yang hampir terbawa
oleh tenaga dahsyat keris buntung.
Sedangkan tubuh Rambi Somat dan Tanjung
Lodaya entah apa jadinya. Keduanya terbanting ke sa-na ke mari. Darah terus
menyembur dari kedua mulut
mereka. Demi mempersingkat waktu, Ki Tapak Kliwon
kembali menghantamkan kerisnya ke arah mereka,
maka.... "Bledaaar...!"
Seluruh permukaan tanah yang terkena han-
taman itu hancur berantakan. Rambi Somat maupun
Tanjung Lodaya tidak nampak lagi di situ. Mereka ikut sirna saat asap hitam
mulai lenyap perlahan.
Ki Tapak Kliwon menggeram sengit. Ia yakin
sekali kalau hantaman keris buntungnya itu diarah-
kan tepat pada kedua lawannya. Kenapa harus meleset mengenai permukaan tanah.
Dan juga lenyapnya kakak beradik itu bukan karena hancur terkena hanta-
man keris buntung. Tapi karena adanya orang ketiga
yang berusaha menyelamatkannya. Dan juga Ki Tapak
Kliwon merasa hantaman keris buntungnya seperti be-
radu dengan tenaga dalam lain.
Maka bagai setan jelalatan ia memandang ber-
keliling. Ia memandang jauh seseorang membawa lari
tubuh Rambi Somat dan Tanjung Lodaya. Semua
orang merasa kagum saat membledarnya suara han-
taman itu. Apalagi dengan tiba-tiba tubuh kedua ka-
kak beradik lenyap seketika. Sengkala Getih mengira mereka berdua telah hancur
lebur. Setelah angin badai mereda mereka mulai ber-
datangan berkumpul. Semuanya merasa kagum akan
kehebatan keris buntung.
"Seseorang telah menyelamatkan mereka. Seo-
rang berilmu tinggi yang mampu menahan hantaman
keris buntung. Siapa dia kira-kira?" kata Ki Tapak Kliwon geram. Sengkala Getih
melongo. "Bukankah mereka telah hancur lebur?" tanya Sengkala Getih terheran-heran. Yang
lain melongo. Pantas saja mereka tidak tahu, karena saat seseorang datang menyelamatkan kakak
beradik itu, mereka sibuk menghindari diri dari badai angin yang begitu
dahsyat. "Mata kalian semua buta. Mana ada kepingan-
kepingan tubuh mereka di sini?" Ki Tapak Kliwon menunjuk ke permukaan tanah yang
berantakan. Asap
hitam masih mengepul di situ. Mereka semua diam.
Kecuali Sengkala Getih.
"Kalau pun ada yang menyelamatkan mereka,
pastilah Giri Paksi orangnya."
*** "Semua ini gara-gara Murtiati, Ayah! Dia pe-
nyebab semua ini!" Mandra Loka menuding-nuding Murtiati. Diperlakukan begitu
sudah tentu Murtiati tidak merasa senang. Apalagi di hadapan orang banyak.
"Kau pantas menerima ganjaran dari orang-
orang Perguruan Tapak Angin, Kakang Mandra Loka.
Karena kau sendiri yang memulainya!" balas Murtiati sengit. Mandra Loka bangkit
dengan nafas yang memburu. Luka di punggungnya telah dibalut. Nampak se-
kali darah masih merembes dari balutan itu.
"Coba saja ayah bayangkan. Kita semua repot
menghadapi semua partai aliran lurus, sempat-
sempatnya dia memadu kasih dengan salah satu mu-
suh kita. Apakah dibenarkan?" Mandra Loka menghadap pada
Sengkala Getih. Murtiati tidak bisa menjawab.
Saat itu juga Sengkala Getih menggertakkan giginya.
"Tidak kusangka duri dalam badan ternyata
anakku sendiri! Hukuman mati pun pantas untukmu!"
Sengkala Getih murka. Telapak tangannya melayang
menampar. Sekali tamparan itu mendarat Murtiati terpelanting.
"Kenapa harus menyakiti anak sendiri, Sengka-
la Getih. Urusan anak muda memang repot kalau kita
sebagai orang tua tidak dapat mengurusnya." Suara Ki Tapak Kliwon menenangkan
suasana. Senyumnya melebar. Namun pandangan matanya menatap jijik terha-
dap Murtiati. "Kesabaranku sudah habis!" Sengkala Getih menerjang lagi. Murtiati sudah pasrah.
Mungkin dengan sekali tendang ia bakal mati. Tapi cepat pula Ki Tapak Kliwon
menghalangi. "Sabar, Sengkala Getih. Beri dia kesempatan,
kalau Murtiati adalah putri mu." Ki Tapak Kliwon membantu bangkit.
"Apa maksudmu, Ki...?" tanya Sengkala Getih.
"Orang-orang kita banyak yang menjadi korban,
juga Mandra Loka nyaris tewas. Masakah kita hanya
berpangku tangan saja" Bagaimana pun ini suatu
penghinaan. Biarkan Murtiati menebus kesalahan-
kesalahannya."
Sengkala Getih diam merenungi ucap Ki Tapak
Kliwon. Setelah ia menatap Mandra Loka, ia berpaling pada Murtiati.
"Pergilah bersama Mandra Loka ke Perguruan
Tapak Angin, aku ingin tahu berapa banyak orang-
orang si Giri Paksi kau habiskan!" bicara Sengkala Getih datar. Mendengar
perintah ayahnya, Mandra Loka
langsung bangkit menyambar bajunya.
"Dalam hal ini, biarlah kutugaskan semua pen-
gikut ku ikut membantu. Aku kurang yakin dengan
semua anak buahmu, Sengkala Getih" Ucapan Ki Tapak Kliwon cukup nyelekit. Tapi
Sengkala Getih tetap tidak menyahut. Bukan lantaran takut. Tapi karena Ki Tapak
Kliwon sesepuh dari seluruh partai aliran sesat.
Itulah sebabnya Sengkala Getih tidak bisa mengelak
perintah Ki Tapak Kliwon.
*** Darah dalam dada Ni Tambun Tambak bergejo-
lak. Telinganya panas mendengar dua orang putranya
mengerang-ngerang kejang. Rambi Somat dan Tanjung
Lodaya tidak henti-hentinya menyemburkan darah. Ti-
dak ada bekas-bekas luka di tubuh mereka. Itu ber-
tanda mereka menderita luka dalam.
Giri Paksi sendiri tidak mengerti dengan keja-
dian ini. Tapi ia cukup tenang melihat seorang pemuda duduk bersila di antara
Rambi Somat dan Tanjung Lodaya. Pemuda itu sibuk menotoki setiap aliran darah.
Maka dua kakak beradik itu dapat tenang.
Rasa sakit mereka sedikit berkurang meskipun
nafas mereka belum teratur. Namun akibat totokan
pemuda yang menyelamatkannya, dua kakak beradik
itu seperti kaku tak dapat bergerak. Hal itu sengaja di lakukan agar luka-luka
dalam tersebut tidak menjalar ke seluruh tubuh.
"Sengkala Getih.... Seng-Sengkala.... Get-Get-
Getih...." Rambi Somat mulai bicara.
"Anak muda, apa sebenarnya yang terjadi den-
gan dua putra ku ini. Benarkah ini perbuatan Sengka-la Getih?" Pertanyaan Giri
Paksi ditujukan pada pemuda yang masih duduk bersila.
"Aku Wintara, Paman. Aku hanya kebetulan le-
wat saat pertarungan itu terjadi. Soal siapa yang melakukannya aku tidak tahu.
Yang kukenal hanyalah seo-
rang tua berambut putih bersenjata keris buntung."
jawab Wintara yang tidak lain si Pendekar Kelana Sak-ti.
"Keris buntung...?" Giri Paksi dan Tambun Tambak hampir berucap bareng. Saat itu
Buringan keluar dari kamarnya.
"Dia pula yang menyelamatkan aku, Ayah." ujar Buringan. Wintara menoleh arah
suara. Ia menatap
Buringan melangkah mendekat. Luka-luka di tubuh-
nya sudah tidak nampak.
"Ah, kau rupanya, Kebetulan sekali," sahut Wintara.
"Menurut perkiraan ku, Adi Rambi Somat dan
Tanjung Lodaya bermaksud menuntut balas terhadap
Mandra Loka. Bukankah begitu...?" Buringan langsung mendekati dua adiknya yang
tergeletak lemas.
"Siapa yang akan berpangku tangan melihat
Kakang Buringan dihina orang. Terhadap orang-orang
Sengkala Getih tidak perlu memberi hati. Mereka me-
mang pantas dilumatkan." jawab Tanjung Lodaya. Giri Paksi membentak.
"Kalian terlalu ceroboh! Jelas kesalahan berada di pihak kita sekarang. Sengkala
Getih memang pihak aliran sesat. Rencana untuk menumpas aliran sesat
bukan berada di tangan kalian. Orang-orang rimba
persilatan sudah mengutus Buringan.... Ulah kalian
hanya merusak rencana,"
"Tapi, Ayah... Tindakan kami semata-mata
hanya tertuju pada Mandra Loka. Lagi pula
mana bisa Kakang Buringan mengemban tugas itu da-


Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lam keadaan yang masih terluka." jawab Rambi Somat.
Buringan tersenyum mendengar ucapan itu.
"Aku merasa sudah pulih. Luka-luka ini tidak
seberapa. Bagaimana dengan kalian?" tukas Buringan.
"Kalau saja kakek busuk bersenjata keris bun-
tung tidak muncul, Mandra Loka keparat itu sudah
terpisah kepalanya." jawab Tanjung Lodaya. Melihat kedua orang yang
diselamatkannya sudah bisa bicara, Wintara bangkit berdiri.
"Keris buntung itu memiliki kekuatan yang
sangat luar biasa. Selain dapat menimbulkan badai
angin, keris itu mengandung sepasukan tenaga manu-
sia." tutur Wintara.
"Keris buntung.... Yah. Pasti itu Keris Buntung Ki Srongot." gumam Giri Paksi.
Hanya Keris Buntung Ki Srongot yang memiliki kekuatan seperti itu." gu-mamnya
lagi. Giri Paksi berjalan keliling. Ia seperti ingat sesuatu.
"Belum pernah kudengar keris memiliki kehe-
batannya demikian." Ni Tambun Tambak ikut berpikir.
Wintara dan Buringan berdiri berdampingan menatap
Giri Paksi. "Hal ini mengingatkan aku pada seorang tokoh
legendaris bernama: Eyang Buana Penangsang. Sema-
sa kecil aku paling suka mendengarkan pengemba-
raan pendekar maha sakti itu. Orang tua dulu paling sering menceritakan
petualangan pendekar maha sakti itu pada cucu-cucunya. Semula aku mengira
legenda tersebut hanya bertujuan agar setiap anak lelaki menjadi pendekar kesatria
pembela bumi pertiwi. Tapi setelah mendengar adanya Keris Buntung Ki Srongot
yang memiliki kekuatan dahsyat. baru yakin tokoh maha
sakti itu benar-benar ada." Giri Paksi berusaha mengingat-ingat. Kemudian Giri
Paksi melanjutkan ceri-
tanya. "Menurut legenda, Ki Srongot memang memiliki keris buntung. Sepak
terjangnya sangat merugikan rakyat-rakyat kecil. Demi menumpas kejahatan Ki
Sron- got, maka berdatanganlah seluruh jago-jago dari segala penjuru. Namun terhadap
Ki Srongot, mereka bukanlah apa-apa dibanding dengan kesaktiannya. Mereka
hanya mengantarkan nyawa dengan percuma. Kalau
hanya menghadapi Ki Srongot mereka pasti mampu!
Tapi karena Ki Srongot memiliki Keris Buntung yang
sangat dahsyat itu semua orang bertekuk lutut di bawah kakinya. Saat itu Ki
Srongot bagaikan seorang ra-ja. Sampai akhirnya datanglah seorang pemuda ber-
nama Buana Penangsang. Tak disangka-sangka
Ki Srongot dapat dikalahkannya. Padahal pe-
muda itu tanpa menggunakan senjata apa pun. Ber-
samaan dengan tewasnya Ki Srongot, keris buntung
serta keluarganya lenyap entah ke mana." Giri Paksi menarik nafas. Wintara, Ni
Tambun Tambak juga ketiga anaknya tertarik dengan cerita itu. Mereka diam
menghayati penuturan Giri Paksi.
"Ada lagi yang lebih menarik dari Eyang Buana
Penangsang. Ia memiliki enam pasang beruang gu-
nung. Dan juga selalu membawa beberapa kantong
jamur ke mana pun ia pergi. Pernah juga ia menetap
lama di sebuah desa. Bahkan menerima beberapa
orang murid. Tapi tak lama kedapatan semua murid-
nya tewas. Mereka tidak sanggup menerima ilmu yang
dimiliki Eyang Buana Penangsang. Merasa berdosa
terhadap mereka, Eyang Buana Penangsang pergi
mengasingkan diri. Tidak ada yang tahu ke mana dia
menyendiri. Masih kuingat pula beberapa jurus ampuh yang dimiliki pendekar maha
sakti itu. Di antaranya:
Bayu Menghantam Karang, Bayu Penjerat Nadi, Tinju
Bayu Delapan Penjuru, yang paling ringan adalah ju-
rus Bayu Menghempas Gelombang. Mungkin masih
ada lagi jurus-jurus mautnya.... Hanya itu yang ku-
dengar warisan cerita yang kudapat dari nenek moyang ku...." Giri Paksi
menghentikan ceritanya.
Mendengar cerita Giri Paksi yang panjang lebar
itu, Wintara hampir mati berdiri. Bagaimana pun ia
merasa ada kesamaan mengenai latar belakang kehi-
dupannya. (Baca: Tapis Ledok Membara).
Ingatannya masih tajam ketika Wintara disela-
matkan oleh seekor induk beruang. Maka membayang
kalau ia pernah hidup di tengah-tengah sekumpulan
beruang. Bahkan hampir mati pula saat pertama kali
memakan buah jamur yang tumbuh di sebuah rerun-
tuhan bangunan tua. Pada reruntuhan yang terpen-
dam itu pula ia diseret oleh induk beruang menemui
sosok jasad renta. Bagaimana pun Wintara telah mem-
pelajari serangkaian ilmu silat yang banyak tertulis pada dinding-dinding
ruangan bawah tanah. Siapa lagi kalau bukan jasad renta itu yang mewariskan ilmu
silat kepadanya. Dan jasad renta yang telah dianggapnya sebagai guru memang
tidak lain Eyang Buana Penangsang. Wintara memang tidak tahu nama-nama jurus
maut yang dimilikinya. Tapi setelah mendengar cerita Giri Paksi, barulah Wintara
mengerti dengan jurus-jurus yang pernah dipelajari di sebuah ruang bawah
tanah. "Wintara.... Apa yang kau pikirkan?" Teguran Giri Paksi mengejutkan.
Wintara tersentak. Tapi cepat ia menguasai diri.
"Ah. Tidak.... Tidak apa-apa, Paman. Aku hanya memikirkan soal Keris Buntung Ki
Srongot." Gerak gerik Wintara seperti salah tingkah.
"Menurutku, kau tak perlu ikut campur urusan
kami, Wintara. Kami mengucapkan banyak-banyak te-
rima kasih atas penyelamatanmu terhadap tiga putra kami. Biarlah urusan ini
menjadi persoalan Perguruan Tapak Angin." kata Ni Tambun Tambak.
"Betul, Wintara. Bukan aku meremehkanmu.
Tapi kami tidak akan melibatkan dirimu. Perguruan
Tapak Angin sebagian kecil dari ilmu silat Eyang Bua-na Penangsang. Mungkin
masih bisa menanggulangi
Keris Buntung Ki Srongot." ujar Giri Paksi.
"Sekalipun aku pergi meninggalkan kalian,
yang pasti kakek berambut putih itu tetap mencari di-riku. Sebab dia tahu saat
aku menyelamatkan Rambi
Somat dan Tanjung Lodaya." jawab Wintara dengan pandangan yang mengarah pada dua
sosok terbaring
lemas. "Biar saja Wintara berada di pihak kita, Ayah.
Lagi pula kita semua sudah kepalang basah. Kita tidak perlu menggempur mereka
sampai tuntas. Asalkan
Sengkala Getih mau bertobat, itu sudah lebih dari cukup." Buringan memberi
pendapat. "Biar aku terluka begini, aku masih bisa meng-
hadapi musuh. Bagaimana dengan kau, Kakang Ram-
bi Somat?" Tanjung Lodaya melirik pada Rambi Somat.
Pemuda itu manggut. Maka Wintara melangkah ke
arah mereka. Kemudian memberi totokan beberapa
kali pada jalan darah mereka. Mendadak pula kakak
beradik itu kembali menjerit. Rasa sakit yang tadi lenyap menyengat lagi. Mereka
mengerang-erang seperti mau mati. "Itu tandanya kalian belum boleh bergerak
dulu." kata Wintara sambil menotol kembali urat nadi mereka. Seketika itu juga
mereka tenang. Namun tiba-tiba saja.... "Arghhhht...!"
Terdengar jeritan panjang. Jeritan bersumber
dari luar halaman gedung. Maka, serempak orang-
orang yang berada ruangan itu menoleh ke luar. Giri Paksi terkejut melihat empat
orang penjaga pintu gerbang bergelimpangan. terlihat pula anak buah yang
lain menghadapi beberapa orang yang tiba-tiba saja
datang menyerang.
* * * 8 Buringan tidak percaya dengan pandangan ma-
tanya sendiri. Sekejap pun ia tidak berkedip. Dari balik jendela ruangan itu
dapat melihat Mandra Loka bersama belasan pengikutnya mengobrak abrik. Hal itu
tidak mengejutkan, tapi ketika ia memandang ke arah pintu gerbang, kedua biji
matanya hampir lompat ke
luar. Nampak Murtiati gigih menggempur baris per-
tahanan Perguruan Tapak Angin. Gadis itu pun diban-
tu oleh beberapa anak buah. Demi melihat itu Buri-
ngan langsung lompat ke luar dari jendela. Begitu juga dengan Giri Paksi maupun
Ni Tambun Tambak. Hanya
dengan beberapa lesatan tubuh mereka sudah berada
di depan pintu gedung.
Dua pasang jago tua itu langsung menghadapi
orang-orang Mandra Loka. Para pengikut itu sesung-
guhnya anak buah Ki Tapak Kliwon. Makanya mereka
tidak segan-segan lagi menghadapi tuan rumah Tapak
Angin. Senjata mereka bermacam-macam, tapi yang je-
las senjata itu dapat merobek perut bila mereka lengah. Orang-orang Tapak Angin
sendiri agak kewala-
han menghadapi mereka. Meskipun mereka masing-
masing menggunakan pedang. Untung saja majikan
mereka turun tangan, Baik Mandra Loka maupun para
pengikut Ki Tapak Kliwon masih bisa di tangani.
Benturan senjata mereka beradu berdentingan.
Teriak-teriak penuh semangat menggelegar di sana si-ni. Peristiwa itu tidak
ubahnya seperti sebuah pertempuran. Dalam pertempuran ini Mandra Loka sengaja
melampiaskan kemarahannya. Dengan senjata pe-
dangnya ia membabi buta berusaha menjatuhkan
orang-orang Perguruan Tapak Angin.
Tentu saja Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak
tidak akan membiarkan tindakan Mandra Loka. Seba-
gai ketua perguruan mereka tidak ingin semua anak
muridnya jatuh di tangan musuh. Maka dengan ke-
murkaannya pula mereka berusaha menjatuhkan satu
demi satu para pengikut Mandra Loka.
Sementara itu Buringan repot mengatasi para
penyerang yang dipimpin oleh Murtiati. Serangan-
serangan Murtiati terhadap orang-orang perguruan
Tapak Angin nampak aneh. Buringan dapat melihat
sendiri kalau gadis itu setengah-setengah dalam pe-
nyerangan. Dan yang terlebih jelas lagi, Murtiati dalam keadaan menangis.
Serangan-serangannya seperti
ngambang tak tentu arah.
"Murtiati apa-apaan kau!" bentak Buringan.
Hantamannya melayang menjatuhkan dua orang
penghalang. Dua orang yang jatuh itu langsung dis-
ambut oleh orang-orang Tapak Angin. Sungguh menge-
rikan, kedua orang itu hancur bagai daging cincang.
"Kakang Buringan kau musuhku! Di antara ki-
ta harus ada yang mati!" sahut Murtiati. Air matanya masih deras mengalir.
"Kau sudah tidak waras, Murtiati!" Buringan melihat Murtiati semakin tidak
menentu melancarkan
serangan, sudah tentu orang-orang Tapak Angin se-
makin mudah mengepung dan membalas serangan-
serangan gadis itu.
"Biarkan dia...! Biarkan dia...!" perintah Buringan. Mendengar perintah
Buringan, orang-orang Ta-
pak Angin jadi berbalik mundur.
Mereka kembali menghadapi para pengikut
Murtiati yang sebenarnya anak buah Tapak Kliwon.
"Jangan perdulikan Murtiati! Hantam saja yang
lainnya." Buringan melesat atas. Dalam keadaan masih di udara, tangannya
berputar menghantami setiap kepala musuhnya sampai hancur berantakan.
Murtiati betul-betul tidak mendapatkan lawan.
Orang-orang Tapak Angin tak ada yang meladeninya.
Hal ini membuat Murtiati kesal. Di tengah-tengah pertempuran, Murtiati seperti
putus asa. Ia membiarkan dirinya jatuh bersimpuh di atas tanah, ia tidak tahu
mesti berbuat apa. Di hadapan Buringan yang tengah
menghadapi musuh, Murtiati menangis mengutuki di-
rinya. Melihat Murtiati duduk bergetar bersimpuh di tanah, Mandra Loka mengira
gadis itu terluka. Maka
dengan cepat ia menghindar dari serangan Giri Paksi.
Lalu lesatan tubuhnya menjurus pada Murtiati. Giri
Paksi tidak mengejar. Karena masih banyak para pen-
gikut Mandra Loka yang menghalangi.
Entah sudah berapa orang yang bergelimpan-
gan di tanah. Namun dari pihak perguruan Tapak An-
gin lebih banyak orang yang jatuh. Ni Tambun Tambak sendiri tidak tahu berapa
orang yang sudah tewas di tangannya.
Sebentar-sebentar pula ia melirik pada gadis
Murtiati. Mandra Loka menjadi marah melihat Murtiati
malah menangisi dirinya. Serta merta ia memaki.
"Kau betul-betul pengkhianat, Murtiati. Kita
sudah berhadapan dengan penghalang-penghalang
partai kita. Kenapa masih berdiam diri! dasar perempuan laknat!" bentak Mandra
Loka tak kepalang. Cepat Murtiati mengangkat wajahnya membalas tatapan
murka Mandra Loka. Dengan nafas yang memburu
serta geram ia meraih sebilah pedang yang tergeletak di tanah. Saat Murtiati
menghunuskan pedang itu,
Mandra Loka melangkah mundur. Ia mengira adik pe-
rempuannya itu akan menyerang dirinya. Tapi ternyata tidak. Dengan teriakan yang
menggelegar gadis itu melesat sambil membabatkan pedang. Murtiati membabat
satu persatu para pengikutnya sendiri.
Semua itu di luar dugaan. Para pengikut Ki Ta-
pak Kliwon tidak akan menyangka kalau akan menda-
pat serangan dari Murtiati. Bahkan banyak di antara mereka yang tewas secara
mengerikan. Sambaran pedangnya selalu menjatuhkan korban. Orang-orang
Perguruan Tapak Angin sendiri jadi tidak mengerti.
Saat Murtiati berada di pi
hak Tapak Angin, para penyerang dari aliran
sesat drastis berkurang dan hampir habis.
Kekuatan Perguruan Tapak Angin makin me-
ningkat. Para penyerang itu dibuat kalang kabut. Tapi justru sisa-sisa orang itu
Murtiati yang membereskan-nya. "Cah Ayu.... Apa kau tidak salah tindak!" ujar
Giri Paksi. "Hus! Syukurlah kalau dia mulai sadar. Na-
manya juga calon mantu!" bentak Ni Tambun Tambak.
Kedua majikan Tapak Angin sudah berdiam diri. Su-
dah tidak ada lagi musuh. Musuh yang terakhir ini
bergelimpangan jatuh oleh sambaran pedang Murtiati.
"Ayah pasti akan menghancurkan batok kepa-
lamu, Murtiati! Kau keparat!" teriak Mandra Loka.
Tinggal dia sendiri terkepung oleh pasukan Buringan.
Murtiati tidak peduli dengan teriakan-teriakan Mandra Loka, malah sekarang gadis
itu nampak bersujud di
hadapan Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak.
"Paman.... Bibi.... Sengkala Getih memang
ayahku, tapi saat ini aku betul-betul memohon perlin-dunganmu." sembah Murtiati.
"Kau calon menantuku. Sudah semestinya kau
ku lindungi, Cah Ayu. Biar nanti
Sengkala Getih itu kuhajar adat!" jawab Ni
Tambun Tambak. Dia menarik tubuh Murtiati bangkit
berdiri. Lalu ketiganya memandang ke arah pertempu-


Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ran Buringan. Para murid Tapak Angin yang masih siaga ber-
hamburan mengepung Mandra Loka. Tapi Giri Paksi
segera memberi aba-aba, agar membiarkan Buringan
sendiri menghadapi Mandra Loka. Anak lelaki si Sengkala Getih itu tidak merasa
gentar walau dirinya tinggal sendiri. Ia nampak mulai mengeluarkan jurus-
jurus andalannya.
"Tempo hari aku masih mengampunimu, Bu-
ringan. Sekarang kau bakal mampus!" hardik Mandra Loka. Kedua lengannya
merentang lebar. Hampir saja
kedua lengannya menyabet kepala Buringan. Cepat ia
menepis hantaman itu.
"Pukulanmu cukup kuat untuk mengantarku
ke neraka!" jawab Buringan. Sebelah lengannya membalas serangan. Saat itu pun
Mandra Loka melancar-
kan tinju yang sangat keras, maka kedua hantaman
mereka beradu nyaring.
Sampai pada jurus yang kelima keduanya sa-
ma-sama melesat ke atas. Tubuh Buringan melintir
bagai gasing. Masih berada di udara Mandra Loka me-
lepaskan dua pukulan berturut-turut. Tapi mendadak
malah Mandra Loka sendiri yang terbanting ke tanah.
Dadanya sesak seperti remuk. Rupanya Buringan telah
melancarkan serangan lebih dulu terhadap Mandra
Loka. Laki-laki itu cepat bangkit menyambut. Buringan yang sudah hinggap di
tanah terpaksa menghentakkan
kakinya lagi. Maka saat hantaman serta tendangan datang
memburu, Buringan terus salto ke belakang berkali-
kali. Susah payah Mandra Loka mengejar. Mengetahui
penyerangnya sudah kehabisan nafas. Buringan sen-
gaja berdiri menghadapi hantaman-hantaman Mandra
Loka. Dia sudah memperhitungkan kalau semua pu-
kulan Mandra Loka sudah tidak bertenaga penuh lagi.
"Des...! Des...! Des...!" Tiga kali berturut-turut hantaman Mandra Loka mendarat
di dada Buringan. namun
pemuda Buringan tetap tegar menerima tanpa menge-
lak. Tapi sekali Buringan melepaskan hantaman yang
sama berturut sebanyak tiga kali.
"Des...! Des...! Des...!" Mandra Loka mental tidak kepalang. Mulutnya menyembur
darah. "Itu balasan atas perlakuanmu tempo hari!"
Buringan menatap Mandra Loka bangkit, langkahnya
sudah sempoyongan. Namun ia tetap memaksakan diri
menerjang Buringan.
"Lebih baik mati daripada kau hina seperti ini!
Heaaaa!" "Keras kepala...!" bentak Buringan. Terjangan Mandra Loka makin deras mengarah.
Tenang sekali Buringan melepaskan tendangan ke bagian perut.
Langkah Mandra Loka terhenti. Mulutnya menyembur
darah lagi. Kedua matanya mendelik menakutkan.
"Aku sudah berjanji pada ayahku untuk me-
nyeretmu ke bawah telapak kakinya, Mandra Loka."
Sambil berkata demikian Buringan melancarkan ten-
dangan memutar.
"Deeeer...!"
Tepat sekali menghantam muka. Kontan Man-
dra Loka terpelanting bergulingan. Tubuhnya berhenti tepat di hadapan Giri Paksi
yang sejak tadi menyaksikan pertarungan mereka.
"Kakang...!" Murtiati memekik. Gadis itu merasa tidak tega melihat Mandra Loka
berlumuran darah.
Saat Murtiati memeluknya, Mandra Loka mengelak. Ia
mendorong Murtiati seraya bangkit meskipun seloyon-
gan. Ia memandang jijik terhadap Giri Paksi dan Ni
Tambun Tambak. Kedua orang itu tersenyum ramah.
"Sadarlah, Mandra Loka. Partai kami selalu terbuka bagi orang-orang tersesat."
kata Giri Paksi. Tapi Mandra Loka seakan tidak perduli dengan nasehat itu.
Merasa tidak mampu melancarkan serangan, Mandra
Loka menggertak.
"Nyawa orang-orang Perguruan Tapak Angin
sebentar lagi akan pindah ke akherat! Siapa yang sudi bergabung dengan kalian"
Kalian pikir orang-orang aliran lurus cukup hebat?" Mandra Loka berdiri lunglai.
Sikapnya menantang, lalu....
"Aku sudah berada di hadapanmu, Paksi. Kalau
mau bunuh, silahkan turun tangan!" Mandra Loka menatap tajam majikan Tapak
Angin. Giri Paksi mengumbar senyum sambil menggeleng.
"Pantang bagi kami menyakiti lawan yang su-
dah tak berdaya, Mandra Loka. Pulanglah.... Dan ka-
takan pada Sengkala Getih ayahmu, aku akan datang
bebesanan!" Mendengar ucapan Giri Paksi, Murtiati tertunduk.
Bagi Mandra Loka ucapan Giri Paksi adalah
suatu penghinaan. Maka setelah buang ludah ke tanah ia berbalik menyingkir.
Langkah-langkahnya lunglai.
Baru saja berjalan kurang lebih sepuluh meter, tubuhnya ambruk lagi lalu bangun
meneruskan kepergian-
nya. "Bagaimana aliran sesat dapat bertahan" Kalau
berjalan saja harus merayap seperti anjing!" gurau Buringan. Bukan main gusarnya
Mandra Loka. Namun
apa daya, keadaannya sudah tidak memungkinkan da-
lam mengumbar amarahnya. Mandra Loka hanya
menggerutu dalam hati berlapiskan dendam yang san-
gat dalam. Saat itu Wintara memandangi mereka dari balik
jendela. Di sampingnya telah berdiri Rambi Somat dan Tanjung Lodaya. Mereka juga
memandangi orang-orang Tapak Angin mulai bangkit memegangi luka-
luka mereka. Beberapa di antaranya ada yang harus
terpaksa dibantu berdiri karena mengalami luka-luka berat. Untung saja tidak ada
korban nyawa. Belasan pengikut dari aliran sesat bergelimpan-
gan mengerikan tanpa nyawa. Darah berceceran di se-
kitar halaman gedung. Nampak Giri Paksi dan Ni Tam-
bun Tambak menggiring Murtiati masuk ke dalam ge-
dung. Wintara terpaksa memapah dua kakak beradik
itu untuk menyambut mereka.
* * * 9 Ki Tapak Kliwon dan Sengkala Getih berlari ke
luar gedung ketika melihat Mandra Loka berjalan ter-saruk-saruk menemui mereka.
Pakaiannya telah pe-
nuh darah, serta mukanya biru memar. Tentu saja ke-
datangannya yang mengejutkan itu sangat mengece-
wakan dua tokoh aliran sesat ini. lebih-lebih Ki Tapak Kliwon. Ia memandang
tajam saat Mandra Loka jatuh
bangun di hadapan mereka.
Mereka sudah menduga kalau Mandra Loka te-
lah gagal menyerang Perguruan Tapak Angin. Makanya
Ki Tapak Kliwon cepat menghardik. Karena belasan
anak buahnya tidak kembali bersama Mandra Loka.
Sengkala Getih menarik anaknya bangkit.
"Perguruan Tapak Angin salah satu perguruan
yang tidak boleh dianggap enteng,
Ki Tapak Kliwon. Mereka musuh kita yang pal-
ing kuat." kata Sengkala Getih. Kata-katanya itu bermaksud agar laki-laki tua
berambut putih menyadari
kekuatan musuh dan tidak menyalahkan Mandra Lo-
ka. "Sama sekali bukan, Ayah. Semua di luar du-
gaanku. Tiba-tiba saja Murtiati memihak pada mereka.
Semua anak buah Ki Tapak Kliwon malah habis diban-
tai oleh pengkhianat jalang itu!" tutur Mandra Loka.
Suaranya lantang. Ki Tapak Kliwon maupun Sengkala
Getih membelalakkan mata demi mendengar penjela-
san Mandra Loka.
"Keparat!" Ki Tapak Kliwon menggeram. Ia tidak bisa menguasai diri. Reflek pula
ia mencengkeram ke-rah baju Mandra Loka. Sengkala Getih tidak berani
menghalangi. "Kenapa kau biarkan hidup perempuan bangsat
itu! Hah!" Tanpa bisa dielakkan, Ki Tapak Kliwon melempar tubuh Mandra loka.
Sudah tentu Sengkala Ge-
tih tidak akan membiarkan anaknya terluka lagi. Maka ia pun segera menyambar
sebelum Mandra Loka terbanting ke tanah.
"Kenapa harus mengumbar amarah pada Man-
dra Loka, Ki Tapak Kliwon" Bukankah itu salahmu
sendiri" Dia terluka parah begini justru karena bertindak sendirian. Kalau mau
menjatuhkan hukuman ter-
hadap putri ku, silahkan. Aku rela kehilangan seorang anak!" Sengkala Getih
membela diri. Ki Tapak Kliwon tidak dapat mengatasi kemarahannya.
"Kau memang tidak becus mengurus anak,
Sengkala Getih. Sia-sia usahamu selama ini. Kalau bi-sanya cuma mendidik seekor
anjing pengecut dan
pengkhianat. Apapula diri ayahnya yang sebenarnya?"
"Ki Tapak Kliwon, jangan bicara yang bukan-
bukan!" bantah Sengkala Getih. "Akupun sama mur-kanya seperti kau terhadap
orang-orang Perguruan
Tapak Angin. Di hadapanmu aku berjanji akan meng-
hancur leburkan perguruan itu!" Sengkala Getih berdiri di hadapan Mandra Loka.
"Percuma! Kau pikir aku tak dapat bertindak
sendiri" Minggirlah, Sengkala Getih. Aku pantang melihat seorang pengecut!"
Tapak Kliwon bersiap-siap melancarkan serangan. Yang pasti serangan itu diarah-
kan pada Mandra Loka.
"Tidak, Ki. Kau tidak boleh membunuhnya.
Mandra Loka sudah bertindak semampunya." jawab Sengkala Getih.
"Kalau begitu kali ini aku harus membunuh
dua orang pengecut sekaligus!" hardik Ki Tapak Kliwon. Mengetahui situasi yang
runcing itu, semua
anak buah Sengkala Getih yang
berjumlah dua belas orang langsung berdatan-
gan. Mereka berjaga-jaga dan siap pula melindungi
majikannya. Namun Sengkala Getih segera memberi
aba-aba agar mereka semua mundur. Tapi bagi Ki Ta-
pak Kliwon, ia tidak perduli dengan dua belas orang anak buah Sengkala Getih.
Tanpa perduli pula Ki Tapak Kliwon mulai
mengeluarkan kembang-kembang jurus yang sangat
aneh. Dua lengannya bergulung-gulung seperti meng-
himpun tenaga. Melihat itu pun diam-diam Sengkala
Getih bersiap-siap pula. Kedua matanya terus menga-
wasi gerak gerik Ki Tapak Kliwon.
Dan saat kedua lengan Ki Tapak Kliwon meng-
hantam, Sengkala Getih membarengi dengan hanta-
mannya. Maka dua hantaman dahsyat beradu nyaring.
Tenaga yang dilancarkan oleh mereka tidak tanggung-
tanggung. Sengkala Getih sengaja mengerahkan selu-
ruh tenaga dalamnya. Karena ia tahu Ki Tapak Kliwon memiliki kehebatan yang jauh
beberapa tingkat darinya. Maka ketika hantaman mereka membentur,
Sengkala Getih terdorong mundur seloyongan bersama
tubuh Mandra Loka. Sedangkan Ki Tapak Kliwon
hanya mundur tiga langkah ke belakang. Dan siap me-
lancarkan serangan lagi. Saat itu pun semua anak
buah Sengkala Getih yang tadi mundur, kini berdatangan lagi mengurung.
Hanya dengan kibasan sebelah lengannya saja
tiga orang anak buah Sengkala Getih terjungkal tak
berkutik. Yang lain tidak gentar menghadapi Ki Tapak Kliwon. Mereka setia
melindungi majikannya. Meskipun harus tewas di tangan laki-laki berambut putih.
Hantaman-hantaman Ki Tapak Kliwon memang
selalu tepat menjatuhkan para penghalangnya, namun
Sengkala Getih sendiri tidak tinggal diam melihat anak buahnya jatuh satu demi
satu. Setelah membawa
Mandra Loka ke tempat yang aman, Sengkala Getih
datang menggempur Ki Tapak Kliwon. Hantamannya
langsung diarahkan kuat-kuat.
Bagi Ki Tapak Kliwon yang sangat tangguh itu
sama sekali bukan masalah. Hantaman-hantaman
Sengkala Getih dapat di hindari begitu saja. Hal itu pu-la membuat Sengkala
Getih makin penasaran. Maka ia
terus melepaskan serangan lebih gencar. Menghadapi
amukan itu Ki Tapak Kliwon mulai kelabakan. Sudah
repot menangkis hantaman-hantaman itu. Dari arah
belakang anak buah Sengkala Getih serempak mem-
babatkan pedang. Sudah tentu serangan-serangan itu
amat sulit dihindari. Makanya laki-laki tua berambut putih itu cepat mendorong
kedua tinjunya ke depan.
Menghadapi hantaman yang sangat mendadak Sengka-
la Getih agak tersentak. Ia hanya sempat menepis salah satu tinju Ki Tapak
Kliwon, sedangkan tinju lainnya masuk mengenai tenggorokan Sengkala Getih.
Setelah itu pula Ki Tapak Kliwon salto ke depan
menghindari babatan-babatan pedang.
Para anak buah Sengkala Getih terus mencecar
gerakan-gerakan laki-laki berambut putih itu.
Tapi mendadak saja mereka berpentalan bagai
sebuah gunung meletus. Mereka terbanting bergulin-
gan, semuanya menyemburkan darah dari mulut. Ada
yang langsung tewas seketika karena terlempar mem-
bentur batang pohon. Rupanya saat Ki Tapak Kliwon
bersalto, ia sempat menarik keris buntung dari pinggangnya dan langsung memutar.
Maka muncullah ba-
dai angin yang sangat dahsyat.
Sengkala Getih sendiri setengah mati mengha-
dapinya. Kalau hanya badai angin Sengkala Getih ma-
sih sanggup bertahan. Dalam keadaan itu pula Seng-
kala Getih melihat tubuh Mandra Loka ikut terhempas bagai segumpal kapas.
Apalagi saat Ki Tapak Kliwon
memutar kerisnya kuat-kuat. Apa pun yang ada di se-
kitarnya berderak hancur beterbangan.
Kalau Sengkala Getih kurang konsentrasi da-
lam menghadapi badai angin tersebut, mungkin di-
rinya pun mengalami nasib yang sama seperti dengan
para pengikutnya. Sekarang pun ia merasakan seluruh rambut serta pakaiannya
hendak lepas dari tubuhnya.
Ki Tapak Kliwon tertawa menggelegak melihat Sengkala Getih mulai terdorong
sedikit demi sedikit.
"Ha-ha-ha-ha-ha.... Pantas kau berani mengha-
dapiku. Ternyata diam-diam pun kau memiliki ilmu
Penangkal Badai Angin!" bentak Ki Tapak Kliwon memutar keris buntungnya. Para
anak buah Sengkala
Getih entah ke mana mencelatnya.
"Ki Tapak Kliwon! Kita masih bisa berdamai! Tidak semestinya kau bertindak
seperti ini!" jawab Sengkala Getih, ia mulai menyadari kalau dirinya tidak
mungkin bisa menghadapi amukan keris buntung.


Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anjing! Mau coba-coba menjilat" Mana pantas
sikap demikian dapat berdiri pada pihak aliran sesat.
Sebaiknya cepat saja merat ke akherat!" hardik Ki Tapak Kliwon. Lengannya yang
menggenggam keris bun-
tung berkelebat menghantam.
"Bweeet...!"
Maka.... "Deeeerr...!"
Dari ujung keris buntung itu seperti
keluar sinar biru menjurus. Sinar itu tepat
menghantam ke tubuh Sengkala Getih yang masih
berdiri bertahan dari badai angin. Karuan saja Sengkala Getih tidak dapat
menghindar. Hantaman itu men-
dera di tubuhnya bagai gempuran sepasukan prajurit.
Tak urung tubuh Sengkala Getih mencelat. Mulut serta hidungnya mengucurkan
darah. Tapi ia masih bisa mengendalikan keseimban-
gan tubuhnya. Dalam keadaan mencelat itu nampak
Sengkala Getih seperti hanya terhuyung. Sengkala Getih sengaja mengatur agar
tubuhnya mendarat tepat di samping Mandra Loka. Anaknya itu sudah lemas tak
berkutik. "Bagus berdirilah berdampingan. Maka dengan
sekali bantam kalian akan mati bersama sekaligus!"
ujar Ki Tapak Kliwon. Sengkala Getih menatap tidak
berkedip, ia menghapus darah yang menghambur di
sekitar mulut dan hidung dengan lengannya.
Nampak Ki Tapak Kliwon memutar kerisnya la-
gi. Maka datang lagi badai angin dengan disertai tawa Ki Tapak Kliwon membahana.
Sengkala Getih cepat
memegangi tubuh Mandra Loka. Dilihatnya pula laki-
laki berambut putih itu siap mengarahkan keris bun-
tung. Mengetahui kedahsyatan hantaman keris bun-
tung, maka sebelum hantaman itu mendarat ke arah-
nya, Sengkala Getih cepat melesat membawa tubuh
Mandra Loka. Dengan begitu melesetlah hantaman tenaga
dahsyat keris buntung. Ki Tapak Kliwon menggeram
marah. Sengkala Getih dan Mandra Loka telah jauh
melarikan diri. Dengan mengandalkan kesaktian keris buntung Ki Tapak Kliwon
berlari mengejar mereka.
Hantaman-hantaman keris buntung terus men-
cecar ke mana pun Sengkala Getih bersama putranya
melarikan diri. Hantaman-hantaman itu selalu meleset dan membledar di atas
permukaan jalan yang dilalui
buruannya. Sengkala Getih sendiri harus mengerah-
kan kecepatan larinya dari serangan Ki Tapak Kliwon yang membuntuti mereka di
belakang. *** Hamparan karang yang luas ditumbuhi pohon-
pohon besar nampak sunyi sepi. Jauh dari situ berdiri sebuah Perguruan Tapak
Angin. Pintu gerbang perguruan itu tertutup rapat tidak seperti biasanya. Tidak
terdengar suara-suara teriak penuh semangat latihan murid-murid Perguruan Tapak
Angin. Semua penghuninya pergi meninggalkan tem-
pat itu. Mereka tahu orang-orang Sengkala Getih bersama seorang tokoh yang
memiliki keris buntung bakal datang menyerang. Demi menyelamatkan semua murid-
muridnya, Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak me-
merintahkan mereka agar menyingkir untuk sementa-
ra. Tentunya Rambi Somat dan Tanjung Lodaya
yang masih dalam keadaan terluka itu juga turut men-gungsi. Dua putra Giri Paksi
itu belum cukup kuat untuk menghadapi serangan orang-orang Sengkala Getih.
Sehingga dalam menghadapi serangan-serangan itu
nanti terpaksa Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak yang turun tangan.
Selain Buringan, Wintara dan Murtiati ikut
membantu pertahanan majikan Tapak Angin. Kini me-
reka semua berada di balik rimbunnya dedaunan. Dari atas pohon itu mereka bisa
melihat situasi dengan leluasa. Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak bersembunyi
pada pohon yang lain. Keduanya mengawasi terus se-
panjang jalan satu-satu yang pasti dilalui bila ada pe-nyerangan.
Sedangkan Wintara, Buringan dan Murtiati be-
rada di atas pohon yang bersebrangan dengan di mana Giri Paksi bersembunyi. Ke
lima orang itu bertekad
akan menghadang. Mereka sengaja memilih arena per-
tarungan agak jauh dari perguruan. Sebab bagaimana
pun orang yang memiliki Keris buntung Ki Srongot
pasti datang pula menyerang, pikir mereka.
Ketika mendengar suara yang nyaring memble-
dar berkali-kali, kelima orang itu saling pandang. Kemudian mereka mempertajam
penglihatan mereka ke
ujung jalan di bawahnya. Suara benturan-benturan
yang bagaikan menghancurkan permukaan dataran
karang itu menggema makin dekat.
Dalam pada itu mereka dapat melihat sosok ke-
cil menggondol tubuh tak berdaya. Dari kejauhan so-
sok itu pontang panting berlari menghindar dari kejaran seseorang yang
membuntuti di belakangnya, Terlihat pula saat orang di belakangnya itu
menggerakkan lengannya selalu terdengar ledakan
Dalam jarak yang masih sangat jauh itu Mur-
tiati dapat meyakinkan kalau sosok yang lari pontang panting itu tidak lain
Sengkala Getih membawa tubuh Mandra Loka. Memang benar, ketika mereka berlari
hampir mendekati tempat persembunyian mereka, ba-
ru terlihat jelas.
Sengkala Getih setengah mati membawa tubuh
Mandra Loka menghindari setiap sambaran keris bun-
tung. * * * 10 Melihat itu pun Murtiati hampir memekik. Su-
dah pasti ayahnya, Sengkala Getih bersama Mandra
Loka bakal tewas di tangan Ki Tapak Kliwon. Buringan berusaha agar Murtiati
tetap tenang. Di seberang sana di atas pohon yang lain Giri
Paksi dan Ni Tambun Tambak bukannya tidak menge-
nali pengejar yang selalu mengacung-ngacungkan keris buntung. Berdasarkan
pengalaman yang sangat luas
dalam dunia persilatan, kedua tokoh sakti majikan Tapak Angin cukup kenal dengan
tokoh sesat yang satu
ini. Siapa yang tidak kenal dengan Ki Tapak Kliwon
yang kerap kali malang melintang merecoki dunia persilatan. Dengan adanya Keris
Buntung Ki Srongot di
tangannya, pastilah Ki Tapak Kliwon salah satu ketu-runan Ki Srongot.
"Apa urusannya Ki Tapak Kliwon mengejar
membabi buta begitu terhadap Sengkala Getih" Bu-
kankah mereka berdiri dipihak yang sama?" balas Ni Tambun Tambak.
"Yang pasti mereka sedang kacau! begitulah
orang-orang aliran sesat menyelesaikan persoalan. Dalam hal ini pun aku yakin
mungkin juga dikarenakan
Murtiati sekarang memihak kita." jawab Giri Paksi setengah berbisik.
"Kalau begitu kita harus menolong Sengkala
Getih. Bagaimana kita bisa besanan kalau Sengkala
Getih sampai tewas?" kata Ni Tambun Tambak lagi.
Paksi tidak menjawab, ia mencibir ke arah istrinya.
Saat itu Sengkala Getih sudah berada di bawah
mereka. Ia jatuh berguling bersama tubuh Mandra Lo-
ka. Dalam hal ini Mandra Loka masih sadar, hanya sa-ja ia sudah terlalu parah.
Sama beratnya dengan luka-luka sang ayah. Kedapatan Sengkala Getih terjatuh, Ki
Tapak Kliwon tidak lagi berlari mengejar. Dengan melangkah pelan ia terus
melangkah mendekati kedua orang ini. Keris buntungnya bergetar siap menghantam.
"Manusia tolol! Apa gunanya melarikan diri.
Siapa pun tidak ada yang akan membantumu. Kalau-
pun ada, tentunya orang itu orang dungu." Ki Tapak Kliwon berkata sambil
melangkah. Tangannya siap
mengarahkan keris buntung.
"Nah! Mampuslah kalian sekarang.... Heaaaa!"
Keris itu bergerak cepat. Sedetik sebelum keris buntung menghantam mengeluarkan
sinar kebiruan, me-
lesat dua sosok tubuh dari atas pohon. Dua sosok tubuh itu langsung menyambar
masing-masing tubuh
Sengkala Getih dan Mandra Loka.
Dua sosok itu berhasil menyelamatkan mereka
dari maut. Hantaman dahsyat keris buntung nyasar
mengenai permukaan tanah yang hancur bagai gu-
nung meledak. Benturan itu sangat nyaring. Kedua sosok penyelamat sampai
merasakan getarannya.
Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak tersenyum
mengangguk. Mereka melihat betapa hebatnya Wintara
dan Buringan menyelamatkan Sengkala Getih dan
Mandra Loka. Lain dengan Ki Tapak Kliwon. Begitu sadar ada yang menyelamatkan
buruannya, ia menghar-
dik. "Bangsat! Berani ikut campur tangan dengan-
ku, berarti kalian cari mampus, Cecurut-cecurut bu-
suk!" Ki Tapak Kliwon mendelik. Ia menatap garang pada Wintara maupun Buringan
yang masih memegangi tubuh orang yang baru saja diselamatkannya.
"Dalam aliran sesat aku tidak pernah mengenali orang-orang semacam kalian!
Pastilah kalian pentolan-pentolan Perguruan Tapak Angin, Bagus! Cukup ku-
hargai keberanian kalian ini." Ki Tapak Kliwon mele-takkan keris buntung tepat
di antara matanya. Sebe-
lah lengannya lagi merapat di atas dada. Nampaknya
laki-laki berambut putih itu tengah membuka jurus.
Saat itu pula orang-orang dari atas pohon berlompatan ke bawah. Giri Paksi dan
Ni Tambun Tambak langsung
menempatkan diri di antara Wintara dan Buringan.
Murtiati menyingkirkan Sengkala Getih dari tempat
itu. Buringan mengikuti langkah Murtiati membawa
tubuh Mandra Loka. Menatap kelima orang itu. Ki Ta-
pak Kliwon menyeringai. Kemudian mengangkat keris
buntung ke atas mengacung ke langit.
"Yang kudengar selentingan, bahwa seluruh
perguruan aliran lurus akan menumpas semua partai
aliran sesat. Mana lagi yang lain" Biarlah aku sendiri yang mewakili semua
partai aliran sesat menghadapi
kalian. Kalau kalian hanya berlima, percayalah kalian hanya mengantarkan nyawa!"
ujar Ki Tapak Kliwon.
Giri Paksi cepat menjawab:
"Belum waktunya, Ki Tapak Kliwon! Kami dari
Perguruan Tapak Angin memang merasa sulit meng-
hadapi partai-partai aliran sesat. Tapi berhubung se-
karang kepalang berhadapan denganmu, apa salahnya
jika kami terpaksa coba-coba mengukur kepandaian
serta kehebatan keris buntung yang kau miliki itu?"
Ha-ha-ha-ha-ha...!" Ki Tapak Kliwon malah ter-
tawa mendengar ucapan Giri Paksi. Janggut serta
rambutnya yang putih sampai tergerak-gerak. Lalu...
"Boleh... boleh...! Hitung-hitung aku ingin tahu juga kehebatan majikan Tapak
Angin yang kesohor
ini!" Setelah berkata begitu mulutnya terkatup rapat.
Sesaat kemudian Ki Tapak Kliwon memutar kerisnya di udara.. "Wuk...! Wuk...!
Wuk...!" Seperti yang sudah-sudah kita ketahui. Maka datanglah badai angin.
Suaranya menderu-deru bergemuruh. Kerikil-kerikil ka-
rang beterbangan bagai tak punya bobot. Giri Paksi
dan istrinya menghentakkan kedua kaki berbarengan.
Maka keduanya dapat berdiri teguh menghadapi badai
angin. Wintara berdiri tenang dalam hempasan badai.
Hanya rambut panjangnya yang berderai-derai. Ia
sempat pula melirik ke belakang. Buringan yang tidak tahu datangnya badai angin
itu mendadak terlempar.
Begitu juga dengan Murtiati. Dengan keadaan meng-
gondol ayahnya ia terlempar bergulingan. Di luar dugaan pula malah Sengkala
Getih yang menguasai Mur-
tiati dari hempasan badai.
Buringan menabrak sebatang pohon besar. Da-
lam kesempatan itu ia dapat berpegangan pada sebuah cabang yang terjuntai.
Sebelah lengannya masih memegangi tangan Mandra Loka. Tubuh itu terombang-
ambing dalam hempasan angin yang sangat dahsyat.
"Wuk...! Wuk...! Wuk...!"
Suara angin bergemuruh bersama derai men-
gekeh dari tokoh sakti berambut putih. Daun-daun
yang masih hijau rontok berhamburan. Tubuh Giri
Paksi dan Ni Tambun Tambak bergetar hebat mengua-
sai dirinya. Matanya terus tertuju pada keris buntung.
Mereka khawatir kalau-kalau Ki Tapak Kliwon menge-
rahkan hantaman yang paling mereka takuti.
Wintara yang berada di samping mereka. Tetap
tenang. Hal itu pula membuat dua pasangan tokoh da-
ri Tapak Angin mengernyitkan alls. Tentu saja mereka merasa heran. Mereka saja
berdua hampir tidak mampu menghadapi hempasan badai, tapi Wintara yang
masih terbilang sangat muda belia mampu berdiri te-
nang. Tidak nampak tanda-tanda pada Wintara kalau
berusaha keras seperti kedua majikan Tapak Angin ini.
"Bet...! Beeet...! Beeeet...!"
Mendadak kedua telapak tangan Wintara men-
gepak-ngepak ke depan. Lalu dengan sekuat tenaga ia mendorong.
"Blaaaar...!"
Terdengar seperti benturan nyaring. Ki Tapak
Kliwon tersentak. Tubuhnya terdorong beberapa lang-
kah ke belakang. Ia merasakan dorongan tenaga dalam yang sangat keras. Genggaman
keris buntung bergetar hebat. Mungkin ini yang dinamakan jurus 'Bayu
Menghempas Gelombang' pikir Wintara. Hantaman itu
sangat ampuh. Mampu menghentikan angin badai
yang begitu dahsyatnya. Merasa diremehkan oleh seo-
rang pemuda yang masih bau kencur. Ki Tapak Kliwon
memutar keris buntungnya lebih cepat.
"Wuuuk...!" Kedahsyatan badai angin itu berli-pat ganda. Giri Paksi dan Ni
Tambun Tambak sampai
bergeser ke belakang. Bekas tapak kaki mereka meng-
gores pada permukaan tanah berkarang. Namun....
"Bledaaar...!" Kembali Wintara melancarkan hantaman yang sama. Dua-duanya baik
Ki Tapak Kliwon maupun Wintara sampai terlempar berlawanan.
Seketika itu juga badai angin perlahan mereda. Giri Paksi dan istrinya tidak
percaya dengan apa yang di-perbuat Wintara. Ki Tapak Kliwon sendiri terkesiap
murka. Maka sasaran utamanya adalah Wintara
yang kini sudah bersiap dengan pukulan 'Bayu Meng-
hantam Karang'. Sebab ia tahu pasti lawannya akan
menghantam menggunakan keris buntungnya.
Dugaan Wintara sangat tepat. Ki Tapak Kliwon
mengibaskan sambaran keris buntung. Saat itu Winta-


Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ra belum sempat membuka jurusnya. Tanpa bisa di-
hindari lagi, sinar kebiruan menderu di tubuh Wintara.
Ni Tambun Tambak memekik melihat tubuh Wintara
terlontar dalam keadaan berdiri dan menyemburkan
darah. Pendekar Kelana Sakti itu sendiri duduk ber-
simpuh seperti kehabisan tenaga.
Wintara mencoba mengeluarkan jurus lain yang
disebut jurus 'Selaksa Bayu Penjerat Nadi'.
Tepat sewaktu Ki Tapak Kliwon menggerakkan
keris buntungnya, Wintara mengeluarkan jurus
'Selaksa Bayu Penjerat Nadi'.
Jurus itu tepat menghantam tubuh Ki Tapak
Kliwon dan mengakibatkan tubuhnya diam beberapa
saat. Tidak ada yang tahu kalau pengaruh jurus
'Selaksa Bayu Penjerat Nadi' hanya dapat menghenti-
kan gerak seseorang beberapa saat. Setelah pengaruh itu benar-benar habis,
nampak Ki Tapak Kliwon bergerak hebat. Ia telah menyadari kalau keris buntungnya
sudah terlepas dari genggaman. Maka setelah laki-laki tua berambut putih itu
telah terbebas dari pengaruh pukulan 'Selaksa Bayu Penjerat Nadi' ia menggeram
hebat. Di luar dugaan kedua lengannya mengepal erat.
Dengan disertai teriakan yang menggelegar kedua tin-
junya_ melayang mengarah pada batok kepala Wintara
yang masih duduk mengatur pernafasan. Dalam ke-
sempatan yang hanya satu detik itu, Sengkala Getih
menepis hantaman Ki Tapak Kliwon.... Benturan itu
membledar di atas kepala Wintara.
Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak datang pula.
Mereka bermaksud akan menyingkirkan Wintara dari
situ. Namun tendangan Ki Tapak Kliwon menghalangi
langkah mereka. Seketika itu juga terdengar bentakan nyaring yang keluar dari
mulut Wintara. Keadaan yang masih terduduk itu,
Wintara memutar lengannya. Nampak jelas len-
gan itu bergulung-gulung. Lalu dengan gerakan yang
sangat cepat kedua telapak tangannya menghantam.
"Deeeer...!"
Ki Tapak Kliwon memekik nyaring. Tubuhnya
langsung ambruk celentang di tanah. Wintara sendiri tidak tahu, entah jurus apa
yang barusan ia kelua-rkan. Yang dia lakukan hanyalah melepaskan jurus terakhir
yang dia miliki. Mungkin juga itu jurus 'Tinju Bayu Delapan Penjuru'. Sebutan
jurus andalan yang
pernah dikuasai oleh tokoh maha sakti Eyang Buana
Penangsang. Dari hantaman itu terlihat pula kedah-
syatan jurus tersebut. Ki Tapak Kliwon tewas seketika dengan seluruh urat-urat
daging menonjol ke luar.
Wintara tetap duduk menghimpun tenaganya lagi. Ke-
ringatnya mengucur deras di sekujur tubuhnya. Seng-
kala Getih menatap tubuh Ki Tapak Kliwon yang ter-
kapar mengerikan.
"Wintara.... Rupamu sudah tidak karuan begini.
Perlukah aku salurkan tenaga hawa murni untuk me-
mulihkan kembali tenagamu?" sapa Giri Paksi. Wintara tidak menyahut. Saat Giri
Paksi menyentuh punggung
Wintara, terasa sekali hawa dingin menyelubungi seluruh tubuh pemuda ini. Ni
Tambun Tambak dapat me-
lihat keterkejutan suaminya.
"Aku tidak apa-apa, Paman. Sebentar lagi juga
akan pulih dengan sendirinya. Bantu saja yang lain.
Aku khawatir anak si Sengkala Getih itu tidak dapat bertahan." Tujuan kata-kata
Wintara bermaksud pada Mandra Loka.
Giri Paksi maupun Ni Tambun Tambak terse-
nyum kecut memandang Mandra Loka berdiri lemas.
Melirik pula mereka pada Buringan dan Murtiati berdi-ri berdampingan mulai
melangkah mendekat ke arah
mereka. Tapi ketika kedua majikan Perguruan Tapak
Angin ini menoleh pada Sengkala Getih.
Dipandang seperti itu Sengkala Getih melang-
kah mundur gerak geriknya seperti membuka jurus.
Wintara yang sudah berdiri itu juga mengira kalau Giri Paksi dan Ni Tambun
Tambak akan melancarkan serangan. Maka ia cepat melangkah berdiri di antara
mereka. "Kita masih punya urusan yang sangat penting, Sengkala Getih. Dan kita
tidak bisa menunda-nunda
lagi." kata Giri Paksi.
"Antara kita memang selalu berurusan. Tidak
heran kalau aliran sesat dan lurus selalu bentrok.
Tunggu apalagi?" Sengkala Getih bersiap-siap dengan jurusnya. Kedua majikan
Perguruan Tapak Angin ini
berbalik senyum.
"Tidak usah pentang jurus begitu, Sengkala Ge-
tih. Kalau mau menjatuhkan dirimu dari tadi aku su-
dah melakukannya. Apalagi sekarang kau sudah terlu-
ka parah. Kau tidak lebih seperti seekor lalat sekarat."
Sahut Ni Tambun Tambak. Mendengar ucapan Wintara
ingin tertawa. Karena ia sudah mengetahui maksud
pembicaraan mereka.
"Lalu urusan apa yang akan kau katakan pa-
daku?" Sengkala Getih makin bingung. Ia memandang
bergantian pada mereka.
"Tidak baik bicara panjang lebar dalam kea-
daan seperti ini. Undang saja Paman Sengkala Getih ke perguruan. Di sana kalian
akan leluasa saling tukar pikiran." ujar Wintara yang sudah dapat menangkap
maksud kedua majikan Perguruan Tapak Angin. "Tidak! Tidak bisa! Sebelum aku
mengetahui rencana ka-
lian, mana mungkin aku bisa ikut begitu saja terhadap kalian." jawab Sengkala
Getih. Ni Tambun Tambak bertolak pinggang, lalu ia menunjuk ke arah Buringan
dan Murtiati yang sejak tadi memandangi mereka.
"Tidakkah kau lihat anakmu itu" Tanpa sepen-
getahuan kita mereka berani memadu kasih. Kalau
aku tidak pernah merasa muda mungkin sudah kuha-
jar si Buringan." Ni Tambun Tambak menggertak.
"Kau juga jadi tua bangka sangat bertele-tele.
Katakan saja dengan singkat kalau kita akan melamar anaknya." sergah Giri Paksi.
Spontan Sengkala Getih menoleh pada Murtiati
yang berdampingan berdiri. Murtiati cepat menunduk
saat Sengkala Getih menatap. Nafas Sengkala Getih
jadi lega. Ia tidak mengatakan, Ya atau Tidak. Kecuali diam. "Setuju atau tidak,
aku tetap membawa Murtiati untuk kujadikan menantuku." Ni Tambun Tambak bersikap
galak. Lalu... "Buringan! Bawa Murtiati ke perguruan. Biar
aku yang mencarikan penghulu." Buringan menuruti perintah Ni Tambun Tambak.
Keduanya melangkah jalan. Mandra Loka mengikuti dari belakang. Langkah-
nya yang lunglai selalu jatuh bangun tanpa ada yang membantu.
Kemudian Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak
berlalu meninggalkan Sengkala Getih yang masih ber-
diri mematung. Kedua majikan Perguruan Tapak Angin
itu menyusul langkah-langkah Buringan.
Wintara tidak sampai hati meninggalkan Seng-
kala Getih sendirian. Lalu ia pun menarik lengan laki-laki itu untuk mengikuti
mereka kembali ke pergu-
ruan. Pesta pernikahan berlangsung meriah. Seluruh partai perguruan aliran lurus
datang menghadiri. Mereka berdatangan memberi salam pada kedua mem-
pelai, Buringan dan Murtiati. Pendek kata Perguruan Tapak Angin hampir penuh
sesak oleh pentolan-pentolan dari rimba persilatan.
Ni Tambun Tambak nampak menggiring semua
tamu perempuan. Dia sengaja mengajak tamu-
tamunya ke ruangan lain, sedangkan Giri Paksi tetap menghadapi golongan laki-
laki. Giri Paksi didampingi oleh Sengkala Getih yang selalu mengumbar senyum
salah tingkah. Dalam pertemuan itu mereka ramai membica-
rakan tokoh sakti macam Ki Tapak Kliwon. Tidak pu-
tus-putusnya Sengkala Getih menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengenai kehebatan Keris Buntung Ki
Srongot. "Demi menjaga keamanan, keris tersebut kami
hancurkan. Itu pun melalui tangan si pemuda hebat,
Wintara." sumbar Giri Paksi matanya mengarah ke su-dut ruangan di mana tadi
Wintara dan Mandra Loka
berada. Namun saat itu juga dilihatnya hanya Mandra Loka yang nampak. Wintara
sudah tidak ada di situ.
"Ah, sungguh sayang kalau pusaka begitu he-
bat dipunahkan. Kenapa tidak di urus saja olehmu, Gi-ri Paksi?" ujar orang yang
mengerubungi Giri Paksi.
Laki-laki itu tidak menjawab, matanya terus mencaricari seorang pemuda yang tadi
bersama Mandra Loka.
Tetap nihil. "Kalau keris buntung berada di tangan Giri
Paksi, sudah pasti kita-kita yang akan menjadi mu-
suhnya." Sengkala Getih terpaksa menjawab. Karena dilihatnya tuan rumah sibuk
mencari-cari seseorang.
"Aku sendiri sudah kapok. Giri Paksi tidak bo-
leh dianggap remeh." sambung Sengkala Getih.
Mendengar ucapan tokoh sesat yang mulai to-
bat ini semua orang jadi tertawa lebar. Mereka sudah merasakan kalau Sengkala
Getih sekarang berada di
pihak orang-orang aliran lurus. Demi mempererat hu-
bungan itu pula Sengkala Getih harus 'dikerjai'. Dia harus mengulangi arak pada
setiap gelas-gelas mereka kosong. Saat itu Giri Paksi beranjak dari kursinya.
Matanya terus memandang berkeliling mencari Wintara.
Pemuda yang dicarinya itu tetap tidak ditemui. Sekalipun ia sudah berjalan ke
luar. Musik gending menga-
lun mengisi keramaian pesta itu. Giri Paksi kembali ke dalam untuk menemui para
tamunya. Sepanjang ja-lannya itu ia terus menggerutu.
"Pemuda hebat. Ia cepat merat saat aku menge-
tahui siapa sebenarnya. Dari mana ilmu yang sangat
dahsyat itu kalau bukan Eyang Buana Penangsang
mewarisi kepada Wintara. Rupanya dongeng yang ku-
ceritakan pada anak-anakku menjadi kenyataan ju-
ga...." TAMAT E-Book by Abu keisel Bloon Cari Jodoh 16 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Pendekar Super Sakti 4
^