Pencarian

Keris Buntung Ki Srongot 1

Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide
hanya kebetulan belaka
KERIS BUNTUNG KI SRONGOT Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza, lantai 2-B69 H. Samanhudi
No.14, Jakarta-Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama,1991
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Keris Buntung Ki Srongot
1 Lembah yang sunyi itu mendadak dikejutkan
oleh suara kepak burung-burung yang semula berke-
lompok bertengger di atas pepohonan. Begitu juga dengan para binatang penghuni
lembah tersebut. Semua-
nya saling serabut lari sembunyi. Karena saat itu se-rombongan orang mengiring
sebuah tandu melintasi
lembah. Empat orang nampak memikul tandu, mereka
berjalan serempak paling dulu. Sedangkan di bela-
kangnya dua puluh orang mengikuti membentuk dua
barisan. Mereka tidak perduli melihat para penghuni lembah berlarian menjauh
ketika rombongan itu semakin masuk ke dalam lembah.
Nampak pula bekas beberapa gubuk yang telah
usang. Gubuk-gubuk yang hampir reyot itu memang
sudah lama tidak ditinggali. Lagi pula tidak mungkin bila ada penduduk yang
dapat tinggal menetap di situ.
Selain jauh dari desa lain, lembah itu nampak rawan dan jarang dilalui orang.
Kecuali hari itu. Serombon-gan orang melewati mengikuti ke mana arah tandu
yang mereka iringi melaju.
Di dalam tandu itu duduk seorang lelaki beru-
sia tiga perempat abad dengan tenang. Lelaki itu nampak lebih muda di banding
dengan usianya, meskipun
rambut serta janggutnya telah memutih. Dari penam-
pilannya dan cara ia duduk bersila di dalam tandu itu terlihat orang tua itu
semakin gagah. Dia pula yang sebenarnya memimpin rombongan itu.
Sedangkan orang-orang yang memikul tandu
maupun yang mengiringinya di belakang hanya para
pengikut setia. Mereka tidak lebih anak buah Ki Tapak Kliwon. Kakek sakti dari
Perguruan Lembah Karang
Hantu. Kakek itu duduk bersila memandang ke depan.
Rongga matanya hampir tertutup oleh alis putih yang tebal memanjang bawah.
Sehingga kedua bola matanya tidak kelihatan.
Empat orang yang memikul tandu berjalan
sangat cepat. Sepertinya keempat orang itu sama seka-li tidak membawa beban.
Padahal mereka sudah me-
nempuh perjalanan sepanjang kurang lebih tiga mil.
Bahkan selama perjalanannya itu pula mereka tidak
pernah beristirahat. Hal itu menandakan orang-orang Ki Tapak Kliwon bukanlah
sekelompok manusia-manusia sembarangan.
Lagi-lagi Ki Tapak Kliwon menatap gubuk-
gubuk tak berpenghuni. Rombongan itu terus melaju
melewati bekas sebuah perkampungan. Puing-puing
itu seperti mau ambruk saat langkah-langkah mereka
berderap mengisi kesunyian lembah.
Di sisi kiri mereka berdiri tebing batu terjal ber-
lumut. Pohon-pohon yang setinggi sepuluh meter, juga turut menghiasi di
sepanjang jalan mereka. Daun-daunnya yang rimbun membuat lembah itu makin ge-
lap menyeramkan. Terkadang pula sinar matahari da-
pat masuk menerobos melalui celah-celah daun. Saat
itu terdengar lagi suara kepak sayap burung-burung
dari atas dahan, mereka beterbangan menjauh seperti terusik oleh rombongan yang
baru saja melewati sarang-sarang burung di atas pepohonan. Setelah seha-
rian penuh barulah mereka dapat menembus lembah
yang pengap itu. Ki Tapak Kliwon nampak menghem-
paskan nafasnya kuat-kuat.
Kedua matanya tidak berkedip menatap sebuah
perkampungan kecil. Perkampungan
itu nampak seperti tidak terurus. Beberapa ge-
lintir orang kelihatan berdiri memandangi iring-iringan yang baru datang dan
bakal melewati pemukiman ter-
sebut. Binatang-binatang peliharaan banyak yang berlarian saat rombongan itu
mendekati. Para penduduk
keheranan dibuatnya. Beberapa orang penduduk
menghalau binatang-binatang peliharaan yang masuk
pekarangan gubuk. Mereka juga seperti bergetar setelah menatap rombongan itu.
Seorang anak kecil yang telah menggendong
seekor ayam jantan berdiri di tengah-tengah jalan. Ia menatap rombongan itu
penuh keheranan. Rambut
serta pakaiannya yang penuh tambalan bergerak-gerak tertiup angin. Dan saat
rombongan Ki Tapak Kliwon
berjalan semakin dekat pada anak yang berdiri di tengah-tengah jalan, mendadak
ayam jantan dalam deka-
pannya itu melompat.
Anak itu pun terkejut setengah mati. Spontan
saja ia berlari mengejar ke mana ayam jagonya lari.
Sambil berkaok-kaok ayam jantan itu menyusup lari di hadapan keempat orang yang
tengah memanggul tandu. Lalu masuk bersembunyi ke dalam semak. Tentu
saja anak itu mengikuti langkah-langkah ayam itu. Ia pun bermaksud menyusup di
hadapan keempat orang
yang berjalan di depan rombongan.
Tapi belum sempat anak itu melintas di hada-
pan keempat orang itu, mendadak tubuh kecil itu terlempar jauh. Dan jatuh
terbanting dengan sangat ke-
ras. Setelah kelojotan sambil menyemburkan darah,
bocah malang itu diam tak bergeming. Sedangkan Ir-
ing-iringan itu tetap berjalan terus tak perduli.
Nampak pula seorang lelaki berdiri ke arah
anak kecil yang tewas mengerikan itu, lelaki tersebut seperti mau menjerit
melihat anaknya telah menghem-buskan nafas.
"Mista...! Mista...!" Tubuh kecil bergelimang darah itu diguncang-guncangkan, si
kecil Mista tetap di-
am tidak menjawab.
"Mista...." Lelaki itu cepat memapah anaknya.
Lalu ia berlari menyusul iring-iringan yang baru saja berlalu. Para penduduk
perkampungan kecil itu menyaksikan bagaimana peristiwa itu terjadi.
"Kalian keparat! Kalian telah membunuh anak-
ku...!" Sambil memapah anaknya lelaki itu terus berlari. Bersamaan dengan itu
pula iring-iringan itu mendadak berhenti. Maka ia dapat mengejar dan dengan
sengit langsung memaki-maki di hadapan keempat
orang yang memikul tandu.
"Kalian pikir kami ini sekelompok hewan Ba-
gaimanapun juga kalian harus mempertanggungja-
wabkan nyawa anak ini!" bentaknya. Keempat orang yang berdiri paling depan diam
tak menjawab. Ki Tapak Kliwon menyibakkan kain penutup tandu, maka ia
dapat melihat seorang lelaki memapah mayat seorang
bocah. Kakek dalam tandu itu menyeringai, kemu-
dian.... "Jangan perdulikan kunyuk ini. Jalan terus...!"
Ki Tapak Kliwon menutup kembali penutup tandu.
Mendengar perintah itu, maka para anak buah
Ki Tapak Kliwon melanjutkan perjalanannya lagi. Mendadak saja laki-laki yang
berdiri menghalangi iring-iringan itu terlempar sampai bergulingan. Seketika itu
juga lelaki yang tengah memapah anaknya ikut tewas.
Dari mulutnya menghambur darah. Keduanya tewas
dalam keadaan berpelukan.
Para penduduk yang menyaksikan jadi ngeri.
Mereka serentak berlarian memasuki gubuknya mas-
ing-masing. Rombongan itu sendiri tetap diam menga-
wasi para penduduk.
"Kau telah membunuh dua nyawa di kampung
ini, Ki. Seorang anak kecil di seorang laki-laki yang mungkin ayahnya." kata
salah seorang pemikul tandu
itu. Di dalam tandu Ki Tapak Kliwon menjawab.
"Biar saja! Kalau perlu kita habisi semua penduduk kampung ini. Karena kampung
ini daerah Ki Karma Sentanu." Suaranya menggekeh.
"Kalau begitu tujuan kita telah sampai."
"Hem...."
"Apakah kau mau turun dari tandu, Ki?"
"Buat apa.... Selama musuhku belum tampak,
aku tidak perlu menampakkan diri." jawab Ki Tapak Kliwon. Lalu apa lagi rencana
kita" Berdiam diri di sini saja?" "Tolol! Suruh barisan belakang memporak po-
randakan seluruh perkampungan ini. Pancing agar Ki
Karma Sentanu keluar dari persembunyiannya." perintah Ki Tapak Kliwon.
Maka salah seorang pemikul tandu itu men-
gangkat pedangnya ke atas. Gerakan itu merupakan
tanda aba-aba untuk menyerang, lalu setelah melihat aba-aba itu, dua barisan
yang terdiri dari dua puluh orang langsung bubar menuju ke arah tiap-tiap gubuk.
Senjata-senjata mereka dari pedang sampai golok siap terhunus.
Mulai terdengar pula derak-derak pintu pagar
yang didobrak hancur. Para penduduk kalang kabut
menyelamatkan diri. Perkampungan kecil itu jadi riuh dengan pekik-pekik
ketakutan. Ada juga yang berusaha lari ke luar dari gubuk, namun tindakan itu
hanya membuang nyawa. Karena para pengikut Ki Tapak
Kliwon telah membabatkan pedang lebih dulu. Perla-
wanan para penduduk kampung kecil itu tidak berarti sama sekali. Anak buah Ki
Tapak Kliwon lebih berpen-galaman dalam bertempur. Apalagi mereka rata-rata
memiliki kepandaian di dalam memainkan senjata. Se-
tiap kali mereka melancarkan serangan selalu saja
korban-korban berjatuhan.
Ki Tapak Kliwon tetap duduk bersilah dalam
tandu. Dia sudah mendengar jeritan-jeritan yang me-
nyayat. Denting beradunya senjata mereka ikut serta membisingkan perkampungan
itu. Namun tiba-tiba sa-ja...
"Creng...! Creeeng...!" Creeeng...!"
Mendadak terdengar suara yang amat meme-
kakkan telinga. Mendengar suara itu, para pengikut Ki Tapak Kliwon maupun para
penduduk langsung be-lingsatan. Terasa sekali suara itu seperti memecahkan
gendang telinga.
Para anak buah Ki Tapak Kliwon yang terkenal
berilmu tinggi saja tidak mampu menahan suara gem-
breng yang mengandung tenaga luar biasa, apalagi
orang-orang penduduk kampung itu. Hampir semua-
nya memekik sambil menutup telinga. Ada juga yang
bergelintingan tak sanggup mendengar.
"Creeeng...! Creeeeng...! Creeeeng...!"
Suara gembreng itu makin nyaring menghan-
curkan gendang telinga. Diam-diam Ki Tapak Kliwon
mengawasi dari dalam tandu. Dan dia dapat melihat
seseorang berdiri di atas atap jerami sebuah gubuk.
Sosok telanjang dada dengan kepala botak hi-
tam berkilat. Di kedua belah tangannya ia menggeng-
gam dua buah senjata yang mirip dengan dua buah tu-
tup panci. Senjata itu tidak henti-hentinya dibenturkan. "Creeeeng...!
Creeeeng...! Creeeeng...!"
Ki Tapak Kliwon sempat melihat pula beberapa
anak buahnya berkelojotan di tanah. Mata serta telinganya nampak mengeluarkan
darah. Maka dengan si-
gap pula ia melesat dari dalam tandu. Tubuh berpa-
kaian serba putih itu berputar-putar di udara. Keempat orang pemikul tandu tetap
berdiri meskipun dari telinga mereka telah membanjir darah merah.
Kakek berambut seputih kapas itu hinggap di
tanah tanpa mengeluarkan suara. Kedua matanya me-
natap geram ke atas sebuah gubuk. Sebelah tangan-
nya menyambar sebuah keris dari pinggang. Terdengar desingan nyaring saat keris
itu keluar dari sarungnya.
Lalu dia menuding ke atas ke arah sosok yang berdiri membenturkan senjatanya.
"Perbuatan yang tolol, Ki Karma Sentanu! Aku
tidak perlu repot-repot lagi membantai mereka. Men-
dengar suara senjatamu saja mereka bakal mampus
semua," ejek Ki Tapak Kliwon. Kerisnya yang aneh karena buntung separuh tetap
teracung. Ki Karma Sen-
tanu menatap ke bawah.
"Lebih baik mereka tuli dari pada harus mati di tangan anak buahmu, Manusia
picik!" Jangan tertawa mengekeh begitu, kau lihat sendiri para anak buahmu di
sana." Ki Karma Sentanu balik mengekeh. Dia sengaja membenturkan dua senjatanya
lebih keras. Ki Tapak Kliwon cepat menoleh ke belakang.
Separuh anak buahnya sudah pada bergelimpangan.
Sebagian lagi bertahan menguasai pendengarannya
dari suara yang bertenaga luar biasa itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Ki Karma Sentanu tertawa terbahak-bahak. Gembrengan
senjatanya makin nyaring. Ia tidak perduli dengan orang-orang yang berada di
bawahnya mendengar. Yang jelas mereka semua
bakal celaka. Saat itu juga Ki Karma Sentanu mem-
benturkan senjatanya semakin cepat.
"Bangsat...! Aku ke mari justru akan mengadu
ilmu denganmu, Manusia keparat!" bentak Ki Tapak Kliwon. Sebelah tangannya yang
menggenggam keris
buntung berputar. Maka saat itu juga terdengar suara yang sangat bergemuruh.
"Wuk...! Wuk...! Wuk...!"
Suara angin yang menderu-deru bagai angin
puyuh itu membuyarkan suara benturan senjata Ki
Karma Sentanu. Dua tenaga dahsyat saling memben-
tur. Daun-daun hijau rontok beterbangan bersama de-
bu. Batu-batu kerikil berhamburan tersapu angin
menghujani orang-orang yang berada di sekitar kam-
pung itu. Suara gembreng tidak berpengaruh lagi. Namun
hawa tenaga dalam kedua manusia sakti itu mampu
menghempaskan puluhan orang. Banyak yang terlem-
par bagai bongkahan-bongkahan kayu lapuk.
* * * 2 "Wuk...! Wuuk...! Wuuk...!"
Gemuruh putaran keris buntung milik Ki Tapak
Kliwon menderu-deru bagaikan badai angin. Begitu ju-ga dengan suara gembreng
senjata Ki Karma Sentanu.
"Creeeeng!"
Benturan senjata itu menggetarkan jantung
serta gendang telinga bagi orang-orang yang berpentalan.


Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rambut dan janggut putih Ki Tapak Kliwon ter-
gerai-gerai di terpa angin yang begitu dahsyat. Sedangkan Ki Karma Sentanu
sendiri nampak terhuyung ter-
dorong oleh benturan tenaga dalam mereka. Dia masih bertahan di atas atap
jerami. Orang-orang yang berada di sekitarnya telah
bersih. Para penduduk banyak yang bergelimpangan.
Anak buah Ki Tapak Kliwon jauh-jauh menyingkir dari arena pertarungan. Mereka
hanya menyaksikan dua
jago sakti saling melancarkan tenaga dalam.
Begitu Ki Tapak Kliwon menyabetkan keris
buntungnya ke atas, Ki Karma Sentanu buru-buru
menggeser kedudukannya. Dia merasakan seperti ada
suatu dorongan yang amat kencang ke arahnya. Maka
Ki Karma Sentanu cepat terjun ke bawah. Tubuhnya
berjumpalitan di udara.
Ki Tapak Kliwon menyambut dengan tendangan
memutar yang mengarah pada Ki Karma Sentanu yang
masih berjumpalitan. Tapi dengan sigap pula sosok
kepala botak itu menepis dengan senjatanya. Saat itu pula Ki Tapak Kliwon
terpelanting. Untunglah ia cepat menguasai diri. Apalagi sambaran senjata Ki
Karma Sentanu terus menjurus ke bagian kepala. Cepat Ki
Tapak Kliwon menyambut dengan babatan keris bun-
tungnya. "Weeet...! Traaang!"
Senjata mereka beradu. Keduanya tak Urung
terjungkal ke belakang. Dua-duanya sukar mengenda-
likan diri. Dan mereka terbanting di tanah.
Lengan Ki Tapak Kliwon yang menggenggam ke-
ris buntung serasa berdenyut. Ki Karma Sentanu
bangkit berdiri. Kedua matanya membelalak melihat
senjata gembrengnya sapat separuh. Melihat itu pun
Tapak Kliwon tertawa terbahak-bahak.
"Senjatamu sudah terlampau tua, Karma Sen-
tanu. Sebaiknya dibuang saja ke kali. Senjata macam apa menghadapi keris ku yang
jelek ini saja tidak
mampu." ejek Ki Tapak Kliwon. Dia bertolak pinggang seakan meremehkan Ki Karma
Sentanu. Sudah tentu
laki-laki telanjang dada itu menjadi murka. Kembali ia menghentakkan ke dua
tangannya. Membenturkan
senjatanya, "Creeeeng!"
Suaranya memang agak sumbang, tapi keam-
puhannya sama sekali tidak berkurang. Dalam jarak
yang sangat dekat itu, Ki Tapak Kliwon seperti dihujani oleh ribuan mata jarum.
"Segala keris buntung saja bisa menandingi
senjataku. Kau rasakan lagi sekarang!" Ki Karma Sentanu hendak membenturkan lagi
kedua senjatanya.
Namun laki-laki berambut putih itu bertindak lebih
dulu. Sekali hentak kedua kakinya melesat dan langsung menghantam pinggang Ki
Karma Sentanu. "Laki-laki tidak becus apa-apa! Tahunya hanya
menggunakan senjata. Itu sama mudahnya aku men-
cabut nyawamu!" sergah Ki Tapak Kliwon saat Ki Karma Sentanu bergulingan. Tapi
ketika ia melihat Ki Tapak
Kliwon menyerang lagi, ia melemparkan sebelah
senjatanya. Senjata itu berdesing. Cepat pula Ki Tapak Kliwon merunduk. Senjata
gembreng luput memisah-kan kepalanya. Tapi beberapa lembar rambut keputi-
han rontok terbabat. Ki Tapak Kliwon bergidik.
"Kau terlalu kepala batu, Ki Tapak Kliwon. Ti-
dak kapokkah dulu ku pecundangi." bentak Ki Karma Sentanu. Ia telah bersiap-siap
dengan sebelah senjatanya. Saat itu Juga Ki Tapak Kliwon mundur selang-
kah. Mulutnya menyeringai.
"Sudah kubilang. Dulu aku tidak pernah mera-
sa kalah. Aku sengaja memperpanjang umurmu," jawab Ki Tapak Kliwon. Kembali ia
menepis sambaran
senjata gembreng lawannya. Terasa sekali sambaran
anginnya begitu deras ke arah Ki Karma Sentanu.
Laki-laki telanjang dada itu sebenarnya sudah
menyadari kalau senjata keris buntung di tangan Ki
Tapak Kliwon, bukanlah senjata sembarangan. Dia
sendiri sudah merasakan keampuhan senjata itu. Be-
lum pernah ada senjata yang dapat merusak senjata
gembreng milik Ki Karma Sentanu. Sekarang ia mulai
berhati-hati dan tidak berani menghadapi dalam jarak
dekat. Setiap kali sambaran besi mengarah kepadanya.
Seperti ada tenaga yang amat luar biasa menghantam
sekujur tubuhnya.
Dulu pada dua tahun yang lalu Ki Karma Sen-
tanu pernah mengalahkan Ki Tapak Kliwon. Saat itu Ki Tapak Kliwon tidak memiliki
senjata seperti sekarang ini. Ki Karma Sentanu betul-betul kewalahan menghadapi
lawan yang pernah ia kalahkan. Dia sudah yakin pengaruh keris buntung yang
membuat Ki Tapak Kliwon demikian hebat.
Persoalan mereka berdua memang tidak pernah
habis dan berakhir. Keduanya bertarung mati-matian
lantaran sebuah dendam dari kedua orang tua mereka.
Adapun keris buntung dan senjata gembreng merupa-
kan senjata pusaka kakek moyang mereka. Sampai se-
karang menjadi turun temurun menjadi milik keturu-
nannya. Tanpa menggunakan senjata itu saja mereka
sudah demikian hebat, apalagi sekarang masing-
masing memamerkan kebolehan senjata pusaka mere-
ka. Seluruh permukaan tanah perkampungan kecil itu
bergetar. Ditambah lagi dengan suara-suara teriakan mereka yang menggelegar.
Sesekali pula senjata mereka saling bentur mengeluarkan suara yang membele-
dar bagai guntur. Beberapa gubuk sudah hancur po-
rak poranda. Bukan dikarenakan oleh amukan mere-
ka. Tapi justru oleh kehebatan tenaga dalam mereka
yang nyasar saat melancarkan serangan. Manakala
keduanya bagai dua ekor banteng saling gempur me-
matikan. Nampak pula mereka betul-betul mengerah-
kan seluruh kemampuannya.
Keringat sudah mengucur dan membasahi di
tubuh Ki Karma Sentanu. Sedangkan Ki Tapak Kliwon
tetap menyambut tiap serangan-serangan Ki Karma
Sentanu. Dia sendiri hampir kehabisan tenaga. Tapi
melihat gerakan-gerakan Ki Karma Sentanu tampak
limbung, laki-laki tua berambut putih ini makin bersemangat menghadapinya.
Berkali-kali pula ia sengaja membabatkan keris buntungnya menghantam senjata
Ki Karma Sentanu.
Maka terdengar benturan-benturan senjata me-
reka begitu memekakkan telinga. Kembang api memer-
cik berhamburan. Ternyata keris buntung Ki Tapak
Kliwon benar-benar dahsyat. Setelah membabat bebe-
rapa kali, lawannya sempat memekik. Tubuh Ki Karma
Sentanu mencelat beberapa meter ke belakang. Senjata gembreng di tangannya sudah
tidak berbentuk lagi.
Senjatanya hampir habis terkikis oleh keris buntung.
Tentu saja hal itu menjadi bahan tertawaan Ki
Tapak Kliwon. Namun laki-laki tua berambut putih itu seperti tidak memberi
kesempatan lawannya membalas
serangan. Sekali ia membabatkan keris buntungnya.
Tubuh telanjang dada yang nampak berdiri
dengan kuda-kuda yang kokoh, terhuyung ke bela-
kang. Meskipun dalam keadaan begitu, ia masih sang-
gup menangkis tendangan Ki Tapak Kliwon yang da-
tang secara tiba-tiba.
Mendadak pula keris buntung di tangan Ki Ta-
pak Kliwon berkelebat menyambar. Ki Karma Sentanu
tidak sempat memekik. Tubuhnya yang telah banjir keringat berdiri dengan kaku.
Detik itu pula kepalanya menggelinding ke tanah. Berhenti tepat di bawah kaki Ki
Tapak Kliwon. Ki Tapak Kliwon menatap jijik kutungan kepala itu membelalakkan
mata. Maka dengan
sengaja ia menendangnya kuat-kuat. Maka kepala itu
mencelat membentur tubuh tanpa kepala ambruk ke
tanah. Ki Tapak Kliwon sendiri mulai melangkah ter-
huyung. Matanya terus memandangi mayat Ki Karma
Sentanu. Diam-diam ia merasa akan kehebatan la-
wannya. Tanpa sepengetahuannya darah mengalir dari
kedua lubang telinga. Pendengarannya berdenging.
Gendang telinganya hampir pecah. Semula ia mengira
akan tuli. Tapi dalam keadaan mengalirkan darah begi-tu ia masih dapat mendengar
suara orang-orang ber-
datangan. Mereka tidak lain para anak buahnya.
Orang-orang kampung itu tidak berani menampakkan
diri. Mereka pergi menyelamatkan diri entah ke mana.
Pendengaran Ki Tapak Kliwon agak berkurang.
Dia tidak langsung menjawab saat salah seorang anak buahnya menegur.
"Dendam kita sudah terbalas, Ki. Semua ketu-
runan Ki Karma Sentanu sudah tidak bisa yang berdiri di atas bumi. Hebat! Keris
buntung milikmu benar-benar hebat...." Anak buahnya merasa kagum. Ki Tapak
Kliwon tetap diam. Ia masih merasakan sekujur
tubuhnya telah remuk. Pendengarannya masih ber-
denging. Mendadak saja ia menggeram. Keris buntung
di tangannya bergetar. Lalu tanpa dihalangi lagi ia melompat. Begitu hinggap di
sebelah mayat Ki Karma
Sentanu, ia menendangi tubuh tanpa kepala itu.
"Sudah, Ki...! Sudah! Bangsat ini telah sampai di neraka. Percuma kau mengumbar
amarah padanya!"
Para anak buahnya berusaha menenangkan Ki Tapak
Kliwon. Namun laki-laki berambut putih ini terus ka-lap mengamuk. Ia mencincang
habis tubuh Ki Karma
Sentanu. Darah muncrat ke mana-mana. Rambut putih-
nya telah penuh dengan darah. Begitu juga dengan pa-ra anak buah yang berada di
dekatnya. Tidak luput kena cipratan darah. Sampai Ki Tapak Kliwon sendiri yang
menghentikan amukannya. Dengan lemas pula
berdiri. Nafasnya masih memburu. Tanpa bicara apa-
apa ia melangkah. Belasan anak buahnya yang masih
sisa mengikuti dari belakang.
Langkahnya menuju pada sebuah tandu. Tan-
du itu sudah terbalik. Mungkin akibat badai angin
yang menerjang saat mereka bertarung. Hanya dengan
sekali injak saja, tandu itu kembali berdiri. Lalu Ki Tapak Kliwon kembali masuk
ke dalam tandu. Ia duduk
bersila seperti semula. Tanpa sepengetahuan para
anak buahnya Ki Tapak Kliwon memuntahkan darah.
Darah yang keluar begitu banyak.
"Tunggu apa lagi" Ayo jalan!" bentak Tapak Kliwon dari dalam tandu. Kontan saja
keempat orang yang tadi memikul tandu kembali mengangkat tandu
itu lagi. "Terus saja lurus. Maka kalian akan mencapai sebuah jalan menuju ke
Batang Karang." katanya lagi.
Keempat orang itu menurut. Iring-iringan itu berjalan lagi meninggalkan kampung
terpencil. Maka dalam se-kejap kampung itu mendadak sepi. Yang nampak
hanya bekas-bekas seperti sebuah pertempuran.
Seluruh gubuk nampak berantakan. Juga
mayat-mayat bergelimpangan mana-mana. Kebanya-
kan dari korban adalah
anak-anak dan orang tua yang tak berdaya.
Jumlahnya hampir belasan. Yang masih hidup namun
terluka, mengerang-ngerang menahan sakit.
Saat itu mulai berdatangan para penduduk
yang tadi menyingkir. Mereka berlarian mengerubungi mayat-mayat keluarganya.
Maka meledaklah tangis
mereka saat menemukan anggota keluarganya telah
menjadi mayat. *** Desa Batang Karang sangat jauh dari lembah.
Di mana-mana banyak terdapat ngarai yang mengalir-
kan air bening. Seluruh permukaan tanahnya nampak
seperti karang. Namun di sana sini banyak ditumbuhi pepohonan yang sangat
rimbun. Setiap jalan hampir ditumbuhi oleh tanaman
bunga yang berderet di sepanjang jalan. Rumput-
rumput halus bertebaran pada tanah-tanah lapang.
Meskipun tanah itu berlapis karang. Desa itu hampir mirip dengan sebuah taman.
Apalagi air ngarai itu berkumpul menjadi satu pada sebuah telaga, Membuat
Desa Batang Karang makin sejuk.
Sebenarnya tempat itu jarang dilalui orang. Ta-
pi bukan berarti tempat itu rawan. Karena dalam jumlah penduduk yang dikit, dan
juga Desa Batang Ka-
rang sangat luas. Membuat tempat itu tidak pernah di ketahui oleh siapa pun.
Situasi seperti ini menjadi kesempatan bagi dua
muda mudi yang tengah bercengkrama. Mereka duduk
berdampingan di bawah sebuah pohon besar yang
menghadap telaga. Sejak tadi sang gadis diam saja
Jemari tangannya memainkan rumput yang meng-
hampar di bawahnya.
"Murtiati.... Aku khawatir hubungan kita ini
bakal terputus. Dengan bersembunyi seperti ini akan membuat ayahmu makin marah."
kata si pemuda. Gadis itu diam saja. Memandang riak air telaga.
"Kita dari golongan yang berbeda. Meskipun
kau putri dari aliran sesat, aku tidak pernah menganggap dirimu seperti ayahmu.
Beliau mana mau meneri-
ma aku menjadi menantunya."
"Kau bicara apa, Kakang Buringan?" tukas gadis itu. Lalu...
"Kalau aku tidak mencintai mu, mana mungkin
kita akan bertemu di sini. Biar saja orang tua kita pa-da urusannya masing-
masing. Aku juga menyadari ka-
lau aku anak seorang aliran sesat. Tapi pernahkah kau lihat aku campur tangan
dalam urusan ayahku?" ja-
wab gadis itu serampangan. Buringan mengumbar se-
nyum. Kepalanya menggeleng.
"Bukan itu yang ku maksud, Murtiati. Aku su-
dah terlanjur mencintaimu. Bagaimana pun kau harus
menjadi milikku. Hanya...." Buringan tidak meneruskan kata-katanya.
"Hanya apa...?" Murtiati penasaran.
"Saat ini aliran lurus dan sesat selalu bentrok.
Bahkan mereka selalu menentang. Jelas-jelas aliran
sesat memang harus di tumpas. Dalam hal ini aku di-
tugaskan untuk ikut pergerakan mereka untuk...." lag-lagi Buringan menghentikan
pembicaraannya.
"Untuk menghancurkan aliran sesat?" terka Murtiati. Buringan tidak menjawab. Itu
berarti terkaan Murtiati tepat.
"Bodoh sekali kau ini, Kakang Buringan. Seti-
dak-tidaknya kau harus bisa membujuk ayahmu. Ka-
lau hanya diam saja sudah pasti pertempuran orang-


Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang aliran sesat dan putih tidak bisa dielakkan lagi!."
Murtiati bangkit.
"Aku tidak bisa menghindar dari tugas. Seba-
liknya kaulah yang mesti membujuk ayahmu agar ber-
gabung dengan orang-orang aliran lurus. Hanya itu jalan satu-satunya." jawab
Buringan cepat.
"Terus terang, Kakang Buringan. Meskipun
ayahku berada pada aliran sesat, aku tetap berada di-pihaknya. Baik buruknya
Sengkala Getih tetap ayah-
ku." Pembicaraan mereka menjadi panas. Buringan menghempaskan nafasnya. Dia
seperti orang yang ke-bingungan.
"Pikirlah olehmu, Kakang Buringan. Kalau kau
tetap pada pendirianmu, itu berarti hubungan kita be-rubah menjadi permusuhan."
ancam Murtiati. Ia melangkah menjauh meninggalkan Buringan yang masih
berdiri bersandar pada pohon besar.
"Murti.... Tunggu!" Buringan cepat melangkah menyusul Murtiati. Gadis itu
sendiri berhenti melangkah. Bukan karena Buringan mengejarnya, tapi karena
beberapa orang telah menghadang. langkahnya. Buringan seperti bergetar menatap
ketujuh orang yang berdiri bersikap menantang. Nampak Murtiati jadi salah
tingkah. Orang yang berdiri paling tengah tidak lain Mandra Loka, kakak kandung
Murtiati. Tentu saja ke-munculannya bagaikan petir di siang bolong.
"Perempuan rendah. Pantas kau selalu meng-
hindar setiap saat pertemuan para aliran sesat. Ru-
panya kau telah tergila-gila dengan salah seekor anjing pengacau! bentak Mandra
Loka. "Kakang Mandra Loka, kau...." sela Murtiati, tapi sebuah tamparan telah melayang
cepat ke pipinya.
Terhadap kakaknya Murtiati tidak melawan. Tubuhnya
terhuyung dengan pipi yang memerah.
"Kami semua telah siap bergabung dengan se-
luruh partai aliran sesat, tapi kau malah menempuh
jalan yang salah. Kau mau coba-coba berkhianat ter-
hadap ayah?" Mandra Loka makin geram.
* * * 3 Buringan cepat menghalangi saat Mandra Loka
akan memberi sebuah tamparan lagi. Lengannya yang
kekar cepat menangkap pergelangan tangan Mandra
Loka. Mendapat perlakuan seperti itu, Mandra Loka
membalikkan serangannya.
"Des...!"
Tahu-tahu saja sebuah hantaman telah menda-
rat di punggung Buringan. Sengaja Buringan tidak melakukan perlawanan.
Melihat itu pun Murtiati segera berlari menen-
gahi mereka. Ia mencegah Mandra Loka melancarkan
serangan-serangan terhadap Buringan.
"Kalian jangan berkelahi.... Buringan tidak ber-salah. Akulah yang pantas
menerima ganjaran." sela Murtiati. Mandra Loka menggeram.
"Perempuan tidak tahu diri! Berani pula kau
membela musuh!" Tangan Mandra Loka melayang lagi.
Tapi sebelum hantaman itu mengena, Buringan mene-
pis hantaman itu. Dia berdiri tenang menghadapi
Mandra Loka. "Murtiati tidak tahu apa-apa. Kalau kau ingin
mengumbar amarah, limpahkan saja padaku." Buringan berdiri menantang di hadapan
Mandra Loka. Mur-
tiati memandang khawatir. Tindakan Buringan sung-
guh di luar perkiraannya. Gadis itu memekik saat
Mandra Loka langsung memberi hantaman tiga kali
berturut-turut.
Buringan sengaja menerima hantaman-
hantaman itu tanpa melawan. Sesungguhnya terasa
sekali hantaman-hantaman itu di dadanya. Tapi ia tetap berdiri tegar. Buringan
sendiri menatap Murtiati melepaskan senyum. Di hadapan Murtiati ia telah me-
nunjukkan betapa ia sangat mengorbankan jiwanya.
Pada hantaman yang keempat, Buringan cukup
terhuyung. Mulutnya menyembur darah. Melihat itu
pun Murtiati segera memeluk Buringan. Sebelah len-
gannya memutar menepis hantaman Mandra Loka.
"Kalau kau bunuh dia, bunuh saja kami seka-
lian, Kakang.... Biar kami mati bersama!"
Mendengar kata-kata Murtiati, Mandra Loka
seakan mau meledak. Maka setelah ia menggeram.
Tendangannya tidak tanggung-tanggung menghantam.
Kontan keduanya mencelat. Mereka berdua bergulin-
gan. Sebenarnya tendangan itu hanya mengenai tubuh
Buringan, tapi karena Murtiati memeluk erat tubuh
Buringan, gadis itu ikut terbanting.
"Apa susahnya kalau hendak mencabut nyawa
dua anjing gudik. Menyingkirlah dari pemuda sial itu, Murtiati. Maka hal ini
akan ku rahasiakan pada ayah."
Mandra Loka masih memandang muka terhadap adik
perempuannya. Kata-kata itu pula menjadi pertimban-
gan dalam benak Murtiati. Namun melihat Buringan
bangkit berdiri sempoyongan bersimbah darah begitu, Murtiati makin iba.
"Aku mohon padamu, Kakang Mandra Loka.
Biarkan Kakang Buringan pergi. Aku bersedia mening-
galkannya asalkan kau menahan amarah mu." jawab Murtiati. Mandra Loka tersenyum
lebar. Lalu ia memandang ke belakang pada enam orang pengikutnya.
Hanya dengan kerdipan sebelah mata saja keenam
orang itu langsung meluruk mengepung Murtiati.
"Sejak kapan orang-orang aliran sesat bersikap maha pengampun. Dan juga sejak
kapan kau mulai merasa cengeng seperti ini
Adik Murtiati" Dulu kau seorang gadis yang paling garang. Sepak terjangmu tidak
pernah kenal ampun. Ke-
napa terhadap Buringan yang justru musuh kita itu
kau kasihani?"
Murtiati diam. Ia telah terkepung para pengikut
Mandra Loka. Buringan sudah berdiri tegak. Mulutnya telah penuh dengan cairan
kental berwarna merah.
Menatap Buringan, Mandra Loka tertawa mengekeh.
"Kalau merasa tidak sanggup bertindak, biarlah aku yang mewakili mencabut nyawa
anjing kekasih-mu!" Mandra Loka melesat maju. Murtiati bermaksud mencegah tapi
keenam orang yang mengepung menghalangi. Terhadap keenam orang penghalangnya
Mur- tiati tidak ragu-ragu bertindak. Sekali ia membentak kedua lengannya berkelebat
menghantam. Maka dua
orang cepat menjerit.
Namun tindakannya itu meskipun dapat meng-
hajar keenam orang pengepungnya, sudah terlambat.
Karena Mandra Loka sudah melancarkan hantaman
serta tendangan ke arah Buringan yang tetap diam tak melawan. Serangan-serangan
Mandra Loka membuat
Buringan jatuh bangun. Sudah hampir empat kali Bu-
ringan menyemburkan darah.
Dan nampaknya Mandra Loka benar-benar
hendak menghabiskan riwayat Buringan. Laki-laki
yang terluka itu sebenarnya bukan berarti pasrah atau tidak memiliki ilmu silat.
Nama dan kemampuannya
cukup terkenal dalam dunia persilatan. Namun dalam
menghadapi Mandra Loka, Buringan sengaja menye-
rahkan nasibnya di tangan lawan.
"Kakang Buringan...! Jangan diam saja, kau bi-
sa mati konyol!" teriak Murtiati. Gadis itu sibuk menghadapi para pengepungnya.
"Biarlah aku mati, Murtiati. Mungkin ini jalan yang terbaik untukku." sahut
Buringan. Sebuah hantaman mendarat lagi di perut. Tubuh Buringan mun-
dur mencelat. Tapi masih tetap berdiri meski dari mulutnya menghamburkan darah.
Pandangannya sudah
goyang. Manakala Mandra Loka tetap bringas melan-
carkan serangan.
"Kau tidak boleh mati, Kakang Buringan. Kalau
kau mencintai ku kau harus tetap hidup. Hadapi Ka-
kang Mandra Loka sebagaimana kau menghadapi mu-
suh-musuh mu!" Murtiati memberi dorongan semangat. Dia sudah menjatuhkan tiga
orang pengepungnya.
Bagaimana Buringan bisa menghadapi Mandra
Loka" Tubuhnya hampir hancur babak
belur. Detik itu pun tubuh penuh luka memar
terlempar jauh. Mandra Loka baru saja melancarkan
dua tendangan berturut-turut. Begitu tubuhnya jatuh terbanting. Buringan sudah
tidak dapat bangkit lagi.
Melihat itu pun Mandra Loka segera melancarkan se-
rangan paling dahsyat.
"Hreaaaaa! Splaak!"
Mandra Loka memekik kaget. Hantamannya ti-
dak mengena di tubuh Buringan, tinjunya seperti
membentur sesuatu yang sangat keras.
Mandra Loka sudah yakin kalau ada seorang
yang datang secara tiba-tiba menghalangi serangan-
nya. Matanya cepat menangkap seorang pemuda men-
genakan baju bulu binatang berdiri tepat di mana Buringan terbaring lemas.
Pemuda itu tidak perduli Mandra Loka menatap geram ke arahnya. Ia terus merun-
duk memeriksa luka-luka Buringan.
"Sobat, jangan mencampuri urusan persilatan
Desa Batang Karang. Lagi pula kita tidak saling kenal.
Maka menyingkirlah dari sini," Mandra Loka menuding pemuda yang sesungguhnya
Wintara si Pendekar Kelana Sakti. Wintara tidak perduli dengan ucapan Mandra
Loka. Ia tetap memperhatikan luka-luka Buringan.
"Kalian sebenarnya orang-orang persilatan ma-
cam apa menganiaya orang sampai demikian rupa. Ka-
lau saja dibiarkan, orang ini akan tewas." kata Wintara. Ia menggeleng kagum
terhadap Buringan yang da-
pat bertahan dari luka-luka yang teramat parah.
"Kalau tetap cerewet kami tidak segan-segan la-gi bertindak, dan kau akan sama
mampusnya dengan
anak anjing itu!" selak Mandra Loka.
"Ucapanmu terlalu sadis. Belum cukup pua-
skah kau menganiayanya" Sungguh terkutuk pula kau
membiarkan seorang wanita menghadapi enam orang
laki-laki. Sungguh memalukan." ucap Wintara tenang.
Melihat kedatangan Wintara di tempat itu
membuat pertarungan Murtiati terhenti. Enam orang
pengepungnya memandang garang pada Wintara. Se-
rempak pula mereka berdiri berderet di belakang Mandra Loka.
"Berani menghalangi Mandra Loka sama saja
dengan bunuh diri. Serang...!" perintah Mandra Loka.
Maka enam pengikutnya berhamburan menyerang
Wintara. Pendekar Kelana Sakti itu sendiri sudah bersiap-siap sebelumnya. Tanpa
menggeser duduknya ia
menyambut enam orang penyerang yang datang se-
rempak. Tapi hanya dengan sekali mengibaskan len-
gannya... "Des...!"
Dua orang langsung memekik celentang. Ber-
samaan dengan itu pula kakinya menyapu ke bawah.
"Breet!" Tiga orang jatuh lagi. Dua di antaranya tak berkutik, kojor. Wintara
bangkit berdiri mengumbar
senyum. Para penyerangnya masih penasaran mele-
paskan serangan. Tapi begitu ia bermaksud membalas
serangan mereka. Mandra Loka melepas melancarkan
hantaman yang berturut-turut.
Namun serangan itu sama sekali tidak berarti
bagi Pendekar Kelana Sakti ini. Saat serangan itu datang Wintara berputar.
Sebelah lengannya menepis.
Hantaman Mandra Loka yang bertubi-tubi itu jadi me-
lenceng. Maka pada saat yang tepat Wintara mendo-
rong kakinya ke depan. lalu....
"Des...!"
Tak urung Mandra Loka terjungkal ke bela-
kang. Tulang pinggangnya membentur permukaan ta-
nah amat keras. Ia tidak langsung bangkit.
"Hantam dia biar tahu rasa!" teriaknya. Empat orang yang masih sisa bergerak
maju. Wintara melompat mundur. Tapi tahu-tahu saja keempat pengikut
Mandra loka mendadak terpelanting semua.
Di hadapan Wintara berdiri Buringan dengan
tubuh bersimbah luka dan darah.
"Astaga! Dalam keadaan luka parah begini ia
masih sanggup mengerahkan tenaganya. Sungguh luar
biasa!" pikir Wintara. Tapi saat itu juga tubuh Buringan ambruk kembali ke
tanah. Merasa tinggal seorang diri, Mandra Loka sege-
ra berlari menjauh. Larinya sangat cepat dan tak
mungkin terkejar. Wintara melesat pula mengikuti. Ta-pi ia segera menghentikan
langkahnya karena teringat akan seorang yang tergeletak penuh luka. Dan saat ia
menoleh ke arah Buringan. Pemuda itu sudah lenyap
bersama gadis itu.
* * * 4 Dalam melarikan Buringan, Murtiati merasa
khawatir. Nafas Buringan sendiri sudah terputus-
putus. Darah dari mulutnya tidak pernah berhenti
mengalir. Sedangkan luka-luka memar di tubuhnya ti-
dak dapat dihitung berapa banyak. Dalam hati ia me-
runtuki kakaknya, Mandra Loka.
Tapi dalam keadaan seperti itu pun Buringan
tetap sadar. Ia merasakan tubuhnya dipeluk erat-erat dan Murtiati membawanya
lari sangat cepat. Menyadari hendak dibawa ke mana, Buringan berontak dari
punggung Murtiati. ....
"Murtiati.... Turunkan aku.... Hhh.... Turunkan.
Kau hendak membawaku pulang?" Buringan berontak.
Murtiati menghentikan langkahnya.
"Luka-lukamu harus segera diobati, Kakang
Buringan." Murtiati merasa lelah sekali. Mengetahui Buringan telah sadar, ia
menurunkannya. Nampak sekali Buringan berdiri sempoyongan.
"Kau tidak perlu mengantar sampai rumah.
Aku dapat berjalan sendiri. Kalau ayah tahu aku sampai begini, kau akan menjadi
sasaran kemarahannya."
Suara Buringan terengah-engah. Murtiati berpikir se-jenak. Apa yang diucapkan
Buringan memang benar.
Pada situasi gawat seperti ini tidak mungkin seorang dari aliran sesat
menyatroni markas orang-orang golongan lurus. Bagaimana pun tidak ada tempat
bagi orang-orang aliran sesat. Untuk itu Murtiati menyadarinya. Sekalipun merasa
keberatan, Murtiati harus ju-ga meninggalkan Buringan berjalan sendiri. Langkah-
langkah Buringan gontai membuat Murtiati makin iba.
Gadis itu baru melangkah cepat setelah Buringan be-
nar-benar hilang dari pandangan matanya.
Panas terik matahari begitu menyilaukan mata.


Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buringan terus melangkah meski dirasakan pandan-
gannya berputar. Dari kejauhan nampak pula seorang
penjaga berdiri di pintu gerbang rumahnya. Empat
orang itu segera berlari mendekat saat didapati Buringan berguling ke tanah.
Ketika Buringan membuka matanya, tubuhnya
serasa lemas tak bertulang. Ia nampak terbaring pada sebuah tempat tidur di
kamarnya. Seluruh luka-lukanya telah dibalut. Ia memandang sekeliling ka-
marnya telah banyak orang berkumpul. Kedua orang
tua Buringan duduk di sisi kanan dan kiri. Ni Tambun Tambak sudah dua hari
merasa cemas. Dan baru hari
ini anaknya sadar dari pingsannya.
"Siapa yang melakukan ini semua Buringan"
Siapa?" tanya Ni Tambun Tambak. Buringan seperti membuka mulut tapi suaranya
tidak keluar. "Katakan, Buringan. Biar aku yang akan mem-
buat perhitungan dengan si manusia durjana itu." Ni Tambun Tambak tidak sabaran.
Apalagi Buringan
memuntahkan darah. Giri Paksi, ayahnya cepat men-
gangkat setengah bangun tubuh Buringan.
"Sabar, Ni.... Anak kita masih dalam keadaan
terluka. Aku pun tidak akan tinggal diam kalau sudah kuketahui siapa yang
berbuat keji seperti ini." sergah Giri Paksi. Ni Tambun Tambak, istrinya
langsung di-am. Lalu ia memberi perintah agar semua orang yang
berada dalam ruangan itu keluar. Kecuali Tanjung Lodaya dan Rambi Somat.
Kedua pemuda yang tetap berdiri di dekat me-
reka adalah adik kandung Buringan. Mereka pun telah menaruh dendam terhadap
orang yang menganiaya
kakaknya, Buringan.
"Sudah pasti ini perbuatan orang-orang aliran sesat macam Sengkala Getih. Biar
sekarang aku menyatroni mereka untuk membuat perhitungan dengan
mereka!" Tanjung Lodaya mengumbar amarah. Ia tidak tahan melihat Buringan penuh
balutan di tubuhnya.
"Kau pun harus tenang, Tanjung Lodaya. Di
Batang Karang terlalu banyak orang-orang yang berpihak pada aliran sesat. Kita
tidak bisa menuduh see-
naknya." Giri Paksi menenangkan amarah anaknya.
"Tidakkah ayah melihat keadaan kakang Burin-
gan" Kalau menunggu Kakang Buringan bicara, sudah
pasti keparat itu buru-buru cuci tangan." Rambi Somat mendukung pendapat Tanjung
Lodaya. "Dia sudah siuman. Sebentar lagi Buringan
akan mengatakannya pada kita. Untuk itu kalian ha-
rus bersabar. Juga tidak perlu khawatir. Buringan
hanya mengalami luka-luka biasa. Hanya saja ia telah
kehabisan darah. Jadi biarkan saja dia istirahat untuk sementara. Aku berharap
kalian tidak menggang-gunya." Giri Paksi berkata sabar. Namun dalam ha-tinya, ia
begitu luluh melihat anaknya terbaring penuh luka. Tanpa bicara lagi, Tanjung
Lodaya dan Rambi
Somat meninggalkan ruangan itu. Tinggallah Ni Tam-
bun Tambak bersama Giri Paksi mendampingi Burin-
gan. Pemuda penuh luka itu sudah membuka ma-
tanya. Ia memandangi kedua orang tuanya yang duduk
di sisi kanan dan kiri.
"Apa sebenarnya yang terjadi denganmu Burin-
gan. Rupamu ini sudah tidak karuan lagi." sapa Giri Loka. Ni Tambun Tambak
tersenyum menghibur.
"Kalau ada kesulitan ayah ibumu tidak akan
tinggal diam. Siapa yang akan merasa tenang melihat anaknya sampai babak belur
begini, Buringan." Ni Tambun Tambak menuang air hangat ke dalam gelas.
Lalu ia menyodorkan pada Buringan yang sudah du-
duk bersandar pada dinding.
"Bagaimana keadaanmu" Sudah membaik bu-
kan?" Giri Paksi memperhatikan wajah Buringan yang pucat mengangguk perlahan.
"Aku pikir kau tidak akan merasa senang dipe-
cundangi seperti ini. Begitu hebatkah dia sehingga
mampu melukaimu" Siapa dirinya gerangan?" Pertanyaan Giri Paksi bagaikan
serentetan peluru yang
menghunjam di jantung Buringan.
Sukar rasanya untuk mengatakan apa sebe-
narnya yang terjadi. Bagaimana pun Buringan merasa
berat untuk mengatakan. Semua itu lantaran perasaan cintanya terlalu besar
terhadap Murtiati. Sekarang ia tidak tahu mesti bilang apa di hadapan orang
tuanya. Sudah tentu Ni Tambun Tambak dan Giri Paksi
terus menuntut dengan pertanyaan-pertanyaan yang
tidak dikehendakinya. Ada rasa penyesalan kenapa ia tidak melawan saat Mandra
Loka mendera dengan serangan-serangan yang mematikan. Padahal kalau Bu-
ringan mau melayaninya, Mandra Loka bukanlah apa-
apa dibanding Buringan.
"Aku tahu benar watakmu, Buringan. Kau me-
mang anakku yang selalu menjadi nomor satu. Aku
tahu pula kalau kau mempunyai rencana untuk mem-
buat perhitungan sendiri. Bukankah begitu" Tapi
alangkah baiknya kalau kau sebutkan siapa orang he-
bat itu?" Pertanyaan Giri Paksi sangat halus.
"Kalau ayah sudah tahu watak ku, kenapa ma-
sih terus bertanya" Tunggulah sampai aku sembuh be-
tul, akan kuseret keparat itu ke hadapan ayah." Buringan tersenyum. Di wajahnya
tidak nampak rasa sakit
sedikit pun. Giri Paksi pun tidak bisa memaksa lagi.
Mendengar ucapan Buringan saja ia sudah merasa se-
nang. Itu berarti Buringan akan sembuh total dalam
waktu yang sangat singkat.
"Kau sudah berjanji padaku, Buringan. Kau ha-
rus menepatinya."
*** Kedatangan seorang tamu seperti Ki Tapak Kli-
won, tidak putus-putusnya Sengkala Getih menyam-
but. Selama dua hari penuh kediaman Sengkala Getih
tidak ubahnya seperti rumah pesta. Penyambutan be-
sar-besaran Sengkala Getih semata-mata untuk me-
nyenangkan Ki Tapak Kliwon.
Saat itu pun Ki Tapak Kliwon bersama belasan
anak buahnya tertawa tergelak-gelak. Mereka tengah
meminum tuak sepuas-puasnya. Perempuan-
perempuan cantik mendampingi setiap orang. Untuk
Ki Tapak Kliwon seorang wanita penghibur tidak cu-
kup untuk melayani. Dengan duduk beralaskan banta-
lan empuk ia didampingi dengan tiga orang wanita
cantik. Ruangan itu cukup besar. Dapat menampung
tiga puluh orang lebih. Mandra Loka dan Murtiati duduk bersila mendampingi
Sengkala Getih. Sejak dua
hari ini pula ke
dua putranya itu nampak aneh. Mandra Loka
selalu bersikap dingin terhadap Murtiati. Apalagi Murtiati sendiri. Rasanya
tidak mau berpaling barang se-menit menatap Mandra Loka.
Hanya saja Sengkala Getih tidak menyadari ka-
lau di antara mereka ada sedikit perselisihan. Apalagi Sengkala Getih sekarang
telah mabuk tuak. Mana ia
perhatikan dua anaknya yang duduk mendampingi.
Melihat situasi itu Murtiati merasa amat muak. Ingin rasanya ia cepat-cepat
keluar dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Kedatangan Ki Tapak Kli-
won dan bermaksud menetap di sini memang kami
mengharapkan sekali. Dengan adanya tokoh maha
sakti maka gabungan seluruh partai aliran sesat akan bertambah kuat. Aku yakin
kita bisa menguasai Rimba Persilatan. Bukankah begitu, Ki Tapak Kliwon?" Suara
Sengkala Getih menggelegak bercampur tawa. Ki Tapak Kliwon ikut tertawa
tangannya mengibas seperti men-gelakan pujian itu.
"Sudah berapa kali kau katakan ucapan yang
itu-itu juga, Sengkala Getih" Rasanya aku hampir bosan mendengar pujian mu!"
sela Ki Tapak Kliwon, saat ia bicara rambut serta janggutnya yang putih
bergerak-gerak. "Bagi orang jago seperti anda memang perlu mendapat pujian. Di
hadapanku kau tidak perlu me-rendah segala, Ki Tapak Kliwon. Ha-ha-ha-ha...."
tawa Sengkala Getih makin jadi. Mendengar Ki Tapak Kli-
won orang sakti, ketiga perempuan yang mendampin-
ginya makin genit cekikikan.
"Bagaimana pendapatmu, Mandra Loka" Ten-
tunya sebagai tuan rumah kau pun merasa gembira
dengan jago tua ini." kata Sengkala Getih. Ia menoleh ke samping kiri. Mandra
Loka segera menjawab.
"Semua yang dikatakan ayah memang benar.
Kita-kita memang kurang dukungan dari tokoh-tokoh
sakti. Tapi setelah adanya Ki Tapak Kliwon di sini, aku sudah menjamin aliran
sesat akan bertambah teguh.
Namun dalam hal ini pula aku masih merasa sangsi.
Karena aku khawatir kalau-kalau masih ada seorang
pengkhianat di antara kita."
Ucapan Mandra Loka bagaikan petir yang me-
nyambar di muka Murtiati. Seketika itu juga wajahnya memerah. Sudah tentu ucapan
itu ditujukan padanya.
Secepat itu pula Murtiati menguasai diri. Maka ia pun mengeluarkan pendapat.
"Mana mungkin di antara kita ada terselip seo-
rang pengkhianat" Mungkin kalau seorang pengecut
pasti ada." tukasnya mantap. Mandra Loka hanya nyengir, cepat pula ia menjawab
sindiran itu. "Terhadap orang-orang aliran lurus yang ba-
nyak tingkah, apakah kita tetap membiarkannya?" Ka-ta-kata itu sengaja diarahkan
pada laki-laki tua berambut putih. Ki Tapak Kliwon sendiri justru tidak
mengerti. "Di antara kita tidak ada satu orang pun yang
merasa dirinya pengecut. Kalaupun ada pasti Ki Tapak Kliwon yang akan
menjatuhkan hukuman mati." sambung Mandra Loka. Sengkala Getih menatap heran.
"Kalau begitu kaulah yang pantas menerima
hukuman itu! Karena kaulah orangnya yang pengecut
itu!" bentak Murtiati. Ia bergegas bangkit. Menatap garang terhadap Mandra Loka.
"Ngawur. Justru kau penghianatnya!" Mandra Loka balas membentak. Keduanya sudah
siap bangkit, tapi.... "Diam!" Sengkala Getih menghardik Mandra Loka dan Murtiati diam saling
tatap. Memamerkan
kemarahan. "Kenapa kalian jadi bertengkar! Kalian bukan
pengkhianat atau pun pengecut! Kalian berada di pi-
hak yang sama! Kalau hanya mengacaukan pertemuan
ini kalian di luar saja!" Sengkala Getih jadi naik darah.
"Ha-ha-ha-ha-ha.... Kedua anakmu memang sungguh luar biasa, Sengkala Getih.
Belum apa-apa sudah merasa khawatir akan adanya 'duri' dalam kelompok kita.
Pertengkarannya sudah seharusnya menjadi panutan
kita. Aku cukup menghargai kekhawatiran mereka." Ki Tapak Kliwon berkata dingin.
Sengkala Getih menghela nafas. "Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang mereka
ributkan. Ah! Sudah lupakan saja pertengkaran
ini, mari diminum lagi araknya, Ki...." Sengkala Getih menyulangi tuak ke dalam,
gelas. Ki Tapak Kliwon
manggut-manggut. Saat itu Murtiati bangkit lagi. Tan-pa bicara apa-apa ia
bergegas meninggalkan ruangan
itu. Sengkala Getih bermaksud menahan. Tapi Ki Ta-
pak Kliwon malah menahan maksud Sengkala Getih
agar membiarkan Murtiati pergi.
"Biarkan dia menenangkan pikirannya, Sengka-
la Getih. Tiap-tiap perdebatan terkadang mengumbar
emosi. Justru aku salut akan perangai anak perem-
puanmu itu. Sikapnya tidak pernah pandang bulu."
* * * 5 Langkah-langkah Murtiati cepat. Pandangannya
terus ke depan mengarah pada ujung jalan berbatu.
Genangan-genangan air bekas gerimis semalam masih
nampak. Terkadang pula kakinya dibiarkan melalui
genangan air itu.
Udara masih terasa sejuk. Murtiati merasakan
kelembutan angin yang menghembus di tubuhnya.
Rambut serta bajunya berderai-derai diterpa angin.
Langkahnya makin cepat menyusuri jalan. Dalam pada
itu ia sempat melihat seseorang berjalan ke arah yang berlawanan.
Sebentar ia mengernyitkan alis, maka nampak
jelas orang itu adalah seorang pemuda yang pernah
menolongnya tempo hari. Yah! Pemuda itu tidak lain si Pendekar Kelana Sakti,
Wintara. Ketika mereka berpa-pasan, Murtiati sengaja menundukkan muka. Ia kha-
watir kalau Wintara masih mengenalinya.
Namun baru saja beberapa langkah mereka
berlalu. Wintara segera menghentikan langkahnya dan kembali menyusul Murtiati
yang berjalan terburu-buru. "Nona.... Tunggu dulu," Wintara berusaha mempercepat
langkahnya. Maka sebentar saja ia sudah beriringan dengan Murtiati.
"Bukankah nona yang membawa seorang pe-
muda penuh luka pada beberapa hari yang lalu..." Ku-rasa aku tidak salah lihat."
sapa Wintara nyerocos.
Murtiati tidak perduli.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" Wintara terus mengiringi. Murtiati menghentikan
langkahnya, sebentar kemudian ia menatap Wintara. Lalu ia me-
langkah lagi. "Terima kasih atas pertolonganmu tempo hari.
Waktu itu aku sangat terburu-buru, sehingga lupa untuk mengucapkan rasa terima
kasih. Kakang Buringan
tidak apa-apa. Sekali lagi kuucapkan terima kasih pa-da mu." Suara Murtiati
polos. Lalu melanjutkan langkahnya. Wintara tetap berdiri menatap kepergian
gadis itu. Ketika Wintara berniat membuntuti. Murtiati
membentak. "Kita sudah tidak punya urusan lagi, Sobat. Tidak perlu menguntit ku..." Wintara
mengangkat bahu.
"Apa perlunya aku membuntuti mu" Kalau tadi
aku berbicara padanya, itu hanya sekedar basa basi,"
pikir Wintara. Maka Wintara pun melengos melan-
jutkan perjalanannya.
Langkah Murtiati yang selalu cepat membuat ia
lekas sampai pada tujuannya. Ditatapnya sebuah ban-
gunan besar dikelilingi pagar setinggi tiga meter. Pada pintu gerbang tergantung
sebuah papan nama bertu-liskan 'Perguruan Tapak Angin'. Di pintu itu pula
berdiri empat orang penjaga. Semuanya berseragam putih dengan masing-masing
pedang terselip di pinggang
mereka. Tanpa ragu-ragu Murtiati melangkah ke sana.
Empat orang penjaga pintu gerbang sudah melihat ke-
datangan seorang gadis. Mereka kenal betul siapa Murtiati itu. Makanya setelah
tahu Murtiati akan masuk ke dalam Perguruan Tapak Angin, mereka langsung
menghalangi. "Maaf, Nona. Perguruan ini melarang masuk se-
tiap orang-orang dari aliran sesat. Sebelum kami bertindak sebaiknya nona
menyingkir saja dari sini."


Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, Nona. Apa pun maksud tujuan mu, se-
baiknya urungkan saja niatmu. Saat ini ketua Giri
Paksi tidak ingin diganggu!"
"Tapi sekarang aku harus bertemu dengan ke-
tua kalian." jawab Murtiati cepat. Keempat orang penjaga pintu gerbang mengurung
gadis itu makin rapat.
"Berani masuk itu berarti sama juga mengan-
tarkan nyawa. Kami berempat masih memandang mu-
ka terhadap Sengkala Getih. Kalau saja kau bukan
anaknya. Mungkin tubuhmu yang molek itu sudah
menjadi kutungan- kutungan daging."
Murtiati menatap keempat orang itu bergan-
tian. Ia melangkah mundur. Namun di luar dugaan,
Murtiati menghentakkan kedua kakinya. Maka tubuh-
nya yang ramping itu melesat ke atas berjumpalitan di udara. Hanya dengan
beberapa kali ia berjumpalitan
Murtiati dapat melompati pagar yang setinggi tiga meter itu. Lalu tanpa bersuara
hinggap di atas pekarangan bangunan.
Kemunculan Murtiati yang mendadak menge-
jutkan orang-orang yang berada di situ. Apalagi keempat orang penjaga pintu
gerbang itu berlari mengejar.
Sudah pasti yang lain berdatangan mengurung Murtia-
ti. Merasa dipagar betis Murtiati tak berkutik.
"Saudara-saudara dari Perguruan Tapak Angin.
Harap memberi jalan agar aku bisa berhadapan den-
gan Paman Giri Paksi." hormat Murtiati. Ia memandang berkeliling pada orang-
orang yang mengurungnya
"Siapa yang tidak tahu dengan akal licik ketu-
runan Sengkala Getih. Sudah pasti kedatanganmu ke
mari ini untuk merecoki urusan kami. Lagi pula siapa yang tidak kenal dengan
tokoh setan perempuan yang
bengis seperti kau?" Tanjung Lodaya mulai menghunuskan pedang.
"Saudara Tanjung Lodaya, maksud kedatan-
ganku..." "Tak perlu bicara panjang lebar, Perempuan se-
tan. Kau sudah lancang berani masuk ke sini. Ten-
tunya harus berani pula menanggung resiko." Rambi
Somat tidak memiliki senjata. Tapi justru ia nampak lebih beringas. Melihat dua
majikannya itu murka. Belasan orang pengikutnya ikut mencabut senjata. Mur-
tiati diam mengawasi gerak gerik mereka. Orang-orang Tapak Angin sudah tidak
dapat diajak kompromi lagi.
Tanpa bereaksi Murtiati membiarkan orang-
orang itu mulai menyerang. Gadis itu tetap tenang
meski babatan-babatan pedang berseliweran di sekitar tubuhnya. Mendadak....
"Hentikan....!" Orang-orang itu menghentikan serangan. Mereka sudah mengenali
suara itu. Maka
dengan serempak mereka mundur kembali.
"Biarkan gadis itu menemuiku." Suara Giri Paksi lantang. Ia berdiri berdampingan
dengan Ni Tambun Tambak di tengah pintu gedung. Dengan sen-
dirinya orang-orang yang mengepung Murtiati memberi jalan. Gadis itu pun
melangkah ke arah Giri Paksi. Dalam jarak dua meter ia memberi hormat.
"Maafkan atas kelancanganku ini, Paman Giri
Paksi. Kedatanganku ini memang ingin menghadap
paman. Untuk membicarakan persoalan Kakang Bu-
ringan." kata Murtiati menunduk.
Giri Paksi maupun Ni Tambun Tambak me-
mandang tajam Murtiati. Dalam hal ini Murtiati cukup berani mengatakan persoalan
Buringan di hadapan Gi-ri Paksi. Sikap ini pula membuat Giri Paksi tidak habis
pikir. "Silahkan masuk, Cah Ayu. Tidak baik bicara di luar." Giri Paksi
mempersilahkan Murtiati. Sebelah lengannya memberi jalan. Maka Murtiati
melangkah masuk. "Apa yang kau ketahui mengenai Buringan sampai terluka parah" Adakah
selentingan dengan
siapa dia berurusan?" Ni Tambun Tambak langsung bertanya.
"Bibi.... Sebaiknya aku bicara dengan Kakang
Buringan." jawab Murtiati. Ni Tambun Tambak dan Gi-ri Paksi saling pandang.
Buringan memang ada di kamarnya. Pantaskah
seorang anak aliran sesat menemui Buringan" Apalagi Murtiati seorang gadis.
"Paman.... Bibi.... Aku perlu melihat keadaan
Kakang Buringan." Permintaan Murtiati agak memaksa. Kalau saja Murtiati bukan
anak si Sengkala Getih, tentu saja Giri Paksi sudah mengijinkannya.
"Kalau paman tidak mengijinkannya tak akan
kukatakan dengan siapa Kakang Buringan berurusan."
Giri Paksi merasa terdesak. Ni Tambun Tambak
memberi kerlingan mata sebagai aba-aba. Lalu....
"Kenapa tidak boleh" Mari, Cah Ayu... Buringan masih terbaring di kamarnya!"
Giri Paksi mengantarkan Murtiati sampai ke pintu kamar. Pintunya sudah
terbuka sejak tadi maka Murtiati langsung masuk. Sudah tentu Giri Paksi dan Ni
Tambun Tambak mengiku-
tinya dari belakang. Selain ingin mendengar apa yang diucapkan Murtiati, mereka
juga khawatir kalau-kalau gadis itu akan berbuat nekad menyakiti Buringan. Tidak
heran kalau mereka mengawasi terus langkah-
langkah Murtiati masuk menemui Buringan. Pemuda
yang terbaring di pembaringan langsung bangkit saat melihat seorang gadis
bersama kedua orang tuanya
menjenguk. "Murtiati.... Astaga!" Buringan tidak menyangka. Gadis itu langsung duduk di
samping Buringan.
Dua pasangan tua ini tadi bingung melihat sikap
anaknya begitu akrab.
"Kakang Buringan. Kenapa bersikap bodoh! Ke-
napa kau tidak mengatakan siapa yang melakukan ini
pada paman atau bibi?" Murtiati seperti jengkel. Buringan tenang mengumbar
senyum. "Justru kau yang bertindak bodoh, Murtiati.
Mereka tidak memusingkan lagi persoalan itu. Dengan kehadiranmu ke sini maka
mereka malah jadi tahu."
jawab Buringan.
"Jadi selama ini kau merahasiakannya?" ujar Giri Paksi.
"Sudah lama kami berhubungan, Ayah. Itu pun
tanpa sepengetahuan Sengkala Getih."
"Ya-ya.... Sekarang kartu mu sudah terbongkar, lalu siapa yang menganiaya dirimu
itu. Pastilah dia orang hebat. Apakah kalian bertengkar karena berebut
Murtiati?" sergah Ni Tambun Tambak.
"Sama sekali bukan, Bibi.... Orang itu... orang itu...." Murtiati jadi serba
salah. Tapi akhirnya....
"Kakang Buringan sendiri yang bersikap bodoh.
Dia membiarkan dirinya habis-habisan dihajar Kakang Mandra Loka." Tukas
Murtiati. "Ha-ha-ha-ha-ha.... Pantas kau bertahan mera-
hasiakannya. Ternyata kau masih memiliki rasa malu.
Makanya kalau pacar jangan sembunyi-sembunyi. Ti-
dak heran kalau calon kakak iparmu murka." tawa Tambun Tambak tergelak-gelak.
Wajah Murtiati memerah. "Kenapa tidak kau katakan dari dulu Buringan.
Kalau tahu kau punya hubung dengan Cah Ayu Mur-
tiati aku tidak keberatan. Biar nanti urusan ini ayah yang akan menghadap pada
Sengkala Getih." Giri Paksi ikut mendukung.
"Sekarang tidak perlu lagi, Paman. Maksud ke-
datanganku ini selain meminta maaf atas perbuatan
Kakang Mandra Loka juga untuk memutuskan hubun-
gan kami." Murtiati tertunduk.
Semuanya diam. Mereka ingin mendengar per-
kataan Murtiati lebih lanjut.
"Tidak mungkin ayahku mau menerima lama-
ran paman. Lagi pula kita berada pada jalan yang berbeda. Aku harus berada di
pihak ayahku."
"Kau terlalu berperasaan, Cah Ayu! Tidak kau
sadarikah kalau selama ini Sengkala Getih beserta
orang-orangnya terjerumus pada jalan yang penuh re-
siko" Biarlah aku yang akan membujuk ayahmu agar
bergabung dengan kami."
Tanpa sepengetahuan mereka. Tanjung Lodaya
dan Rambi Somat mencuri dengar pembicaraan mere-
ka dari balik pintu. Setelah mendengar pembicaraan
itu keduanya cepat bergegas entah ke mana.
"Kuharap paman serta bibi mau merubah pen-
dirian. Ayah serta para pengikutnya bukan manusia
yang mudah diajak damai. Permisi."
"Cah Ayu kau sangat cocok menjadi menantu-
ku." tukas Ni Tambun Tambak. Ia membuntuti Murtiati melangkah ke luar.
"Kalau sempat, kau boleh datang lagi ke mari."
katanya lagi sebagai ucapan selamat tinggal. Dengan pandangan lurus Murtiati
melangkah meninggalkan
Perguruan Tapak Angin.
Giri Paksi berdiri di samping Ni Tambun Tam-
bak ikut menatap kepergian Murtiati.
"Perempuan seperti itu yang ku dambakan.
menjadi menantuku. Sikap satrianya yang membuat
aku tertarik. gumam Giri Paksi.
"Tidak kau pikirkan kalau Murtiati anak Seng-
kala Getih?"
"Ah, aku tidak perduli! Bagaimana dengan
kau?" "Sama! Aku pikir Buringan memang cocok den-gannya."
Lalu kedua pasangan tua itu kembali masuk.
Orang-orang yang berada di pelataran bangunan me-
natap heran. Beberapa hari ini kedua majikan mereka
memang selalu nampak murung, tapi pada hari ini..."
* * * 6 Buntut dari persoalan babak belurnya Buri-
ngan ternyata menjadi panjang. Karena Tanjung Lo-
daya dan Rambi Somat yang telah mendengar penutu-
ran dari Murtiati itu, tidak tinggal diam. Tanpa sepengetahuan Giri Paksi, kedua
pemuda itu berani menda-
tangi tempat Sengkala Getih. Mereka sudah bertekad
akan membalas perlakuan Mandra Loka terhadap Bu-
ringan. Maka setelah berada di depan markas Sengkala Getih, keduanya langsung
berteriak-teriak menantang.
"Sengkala Getih! Suruh ke luar Mandra Loka
untuk menghadapi kami!" Rambi Somat mengacung-
kan tinjunya. Mereka berteriak-teriak terus. Namun tidak ada jawaban dari
Sengkala Getih.
"Apakah Mandra Loka hanya seorang pengecut"
Suruh dia ke luar!" bentak Tanjung Lodaya, sejak tadi pedangnya telah terhunus.
Mendengar suara teriak-teriak itu beberapa
pengikut Sengkala Getih menghambur ke luar. Mereka
dipimpin oleh Mandra Loka. Setelah mereka berhada-
pan, Mandra Loka mencibir.
"Cari penyakit. Berani-beraninya pentang bacot di sini. Apakah kalian sudah san
hidup?" tukas Mandra Loka.
"Kalau takut mati buat apa kami datang ke sini!
Mari Mandra Loka, tunjukkan pada kami sampai di
mana kehebatanmu sampai bisa mempecundangi Bu-
ringan!" sergah Rambi Somat.
"Oh! Kalian hendak menuntut balas rupanya.
Boleh." Mandra Loka langsung pentang jurus. Para pengikutnya langsung mengurung.
Tapi justru para
pengikutnya yang menerjang lebih dulu.
Maka pertarungan tak dapat dielakkan lagi.
Tanjung Lodaya yang sudah tidak sabaran langsung
membabatkan pedangnya. "Breeet...!"
Hampir saja sambaran pedangnya merobek pe-
rut beberapa penyerang. Rambi Somat yang sudah ter-
lanjur emosi menghindari serangan-serangan itu. Tu-
buhnya terus melintir ke arah Mandra Loka. Ia sengaja memilih lawannya sendiri.
Mandra Loka yang kedatangan serangan dari
Rambi Somat secara mendadak langsung berjingkat
mundur. Dua hantaman yang berturut-turut nyaris
memecahkan kepalanya. Untunglah Mandra Loka ce-
pat menunduk. Namun Mandra Loka masih sempat
membalas serangan itu dengan sodokan kaki kirinya.
"Des...!" Rambi Somat menangkis dengan sebelah tangan. Dari arah belakang datang
tiga orang membo-
kong. Secepat kilat Rambi Somat berbalik melancarkan tendangan memutar, maka...
"Des...! Des...! Des...!" Ketiga penyerang gelap itu bergelimpangann. Melihat
itu pun Mandra Loka
menerjang gencar. Namun Rambi Somat tidak kalah
gesit menyambut.
Saat itu pun Tanjung Lodaya tidak kalah si-
buknya. Pedangnya berkelebat terus mencari sasaran.
Hampir tidak ada yang berani maju menyerang. Karena mereka tahu kehebatan ilmu
pedang Tanjung Lodaya
tidak boleh dianggap main-main. Dan lagi sudah beberapa orang yang menggeletak
bersimbah darah tanpa
nyawa. Pemandangan seperti itu pula yang membuat
nyali para pengikut Mandra Loka jadi ciut.
Seleret sinar putih berkelebat cepat. Kali ini ba-
batan pedangnya bergerak dengan disertai terjangan
yang sangat cepat. Maka dalam gerakan yang seperti
kilat itu, dua orang langsung kelojotan dengan kepala masing-masing hampir
putus. Mengetahui para pengikut Mandra Loka makin
berkurang, Rambi Somat makin bersemangat meng-
gempur Mandra Loka. Meskipun sekali-sekali berda-
tangan beberapa penyerang lagi yang merecoki perta-
rungan, Rambi Somat selalu dapat mengatasi. Hanya
dengan memutar kuat-kuat kedua tangannya mereka
sudah berpentalan.
Apalagi setelah Tanjung Lodaya datang mem-
bantu. Rambi Somat tidak perlu repot-repot lagi me-
lancarkan serangan. Dengan adanya Tanjung Lodaya
semua para penyerang yang berjumlah enam orang itu
dapat ditumpas habis. Tinggallah Mandra Loka meng-
hadapi kakak beradik itu.
Namun demikian Mandra Loka tidak gentar se-
dikit pun. Ia masih dapat menghindari babatan pedang Tanjung Lodaya maupun
hantaman-hantaman yang
mematikan dari Rambi Somat.
Dalam hal ini pun Mandra Loka bukan orang
yang tergolong rendah ilmu. Terbukti ia bisa berkelit menghadapi serangan-
serangan yang maut sekalipun.
Boleh dikatakan Mandra Loka bisa mengimbangi
meskipun ia dikeroyok dua orang.
Tapi segesit-gesitnya orang berilmu. Kelenga-
han selalu ada. Saat Mandra Loka dapat menghantam
Rambi Somat. Tanjung Lodaya membabatkan pedang-
nya kuat-kuat. "Breeet...!"


Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mandra Loka tidak dapat menghindarinya. Ka-
ruan saja ia memekik. Punggungnya mengucurkan da-
Walet Emas Perak 11 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Pedang Pelangi 4
^