Pencarian

Korban Kitab Leluhur 1

Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit di bawah lin-
dungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 EMBUN pagi bertaburan di atas daun-daun jati.
Hutan jati itu menyebar di sepanjang kaki Bukit Ga-
rong. Tak tahu siapa yang menanam pohon-pohon jati
yang tinggi dan besar-besar itu, yang jelas di hutan itu ada pondok berpagar
bambu tinggi dan rapat. Hanya
ada satu pondok yang dibangun di Bukit Garong yang
puncaknya tak begitu tinggi itu.
Pondok tersebut adalah tempat hunian bagi
seorang tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Tokoh itu sebenarnya beraliran putih, tapi karena
gayanya sedikit nyentrik, kadang orang menyangka ia
tokoh aliran hitam. Dulu tokoh tua yang gemar kena-
kan jubah abu-abu itu bermusuhan dengan Pendekar
Kembar, namun sejak ia tahu siapa Pendekar Kembar,
ia menjadi bersahabat dan sering saling membantu,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Dendam Asmara Liar").
Hantu Muka Tembok sudah dianggap seperti
orangtua sendiri bagi Raka Pura dan Soka Pura; si
Pendekar Kembar itu. Rasa hormat dan sungkan bagi
dua pemuda tampan itu sering ditujukan kepada Han-
tu Muka Tembok. Beberapa saran dari tokoh tua yang
bernama asli Ki Gumarah sering dipakai oleh Raka dan Soka. Termasuk saran untuk
tinggalkan gadis cantik
yang bernama Anggani.
"Kalian berdua pergilah ke petilasan Keraton
Kencana Windu untuk mencari Daun Astagina itu.
Anggani biar tinggal di sini. Kujamin gadis itu tak akan celaka sedikit pun.
Kalian tak perlu khawatir, Anggani akan tetap utuh sampai kalian datang lagi
kemari." Si gadis cantik bertubuh langsing dengan dada
sekal itu ajukan protes begitu mendengar saran Hantu Muka Tembok.
"Mengapa aku harus tinggal di sini, Paman
Gumarah"! Aku ingin ikut mereka!"
"Banyak orang yang masih beranggapan bahwa
kau gadis yang mengidap penyakit 'Hantu Lanang'.
Kau dianggap penyebar penyakit maut bagi laki-laki
yang habis kencan denganmu. Mereka tidak tahu,
bahwa semua itu adalah fitnah si Wajah Malaikat un-
tuk mencelakakan dirimu. Jadi, sebaiknya kau menye-
pi dulu di sini, sampai anggapan orang-orang luntur
dengan sendirinya dan mereka tahu bahwa semua itu
hanya ulah si Wajah Malaikat."
"Kurasa saran Ki Gumarah ada benarnya, Ang-
gani," ujar Raka Pura. "Jika kau keluyuran dengan bebas, maka orang yang
menganggapmu sebagai penye-
bar penyakit maut itu akan berusaha membunuhmu.
Mungkin kau memang bisa mengelak atau orang itu
sendiri yang terbunuh oleh ilmumu. Tetapi itu na-
manya menyebar kematian yang sia-sia, Anggani."
"Kurasa kau bisa bebas ke mana-mana jika su-
asananya sudah adem," timpal Soka Pura, si Pendekar Kembar bungsu.
Hantu Muka Tembok tambahkan kata, "Kau di
sini ditemani oleh Bujang Bodo dan Wisnu Galang.
Kau tidak sendirian, dan kau tidak mungkin kesepian."
"Kalau Wisnu Galang macam-macam padamu,
gibas saja dia!" bisik Soka Pura.
"Tak mungkin muridku berani macam-macam
pada Anggani," ujar Hantu Muka Tembok yang men-
dengar bisikan Soka tadi. "Aku akan wanti-wanti pada Wisnu Galang, jika ia
berani macam-macam pada Anggani, akan ku hukum seberat-beratnya dan kuanggap
murid murtad! Dia tak akan berani jika kau sudah
bersikap tegas begitu." Hantu Muka Tembok seakan memberi jaminan yang dapat
dipercaya oleh kedua belah pihak.
Anggani mempertimbangkan sesaat. Terbayang
amukan orang-orang yang termakan fitnahnya si Wa-
jah Malaikat itu. Ia yakin, masih ada beberapa orang yang berusaha menangkap
atau membunuhnya, karena ia dianggap oleh mereka sebagai gadis penyebar penyakit
terkutuk, yang dapat membunuh seorang lelaki
dalam waktu singkat jika selesai berkencan dengan-
nya. Padahal semua itu hanya isu belaka. Wajah Ma-
laikat yang sebarkan isu itu, karena Wajah Malaikat
merasa kewalahan mengejar Anggani untuk dibunuh,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Perawan Bukit Jalang").
Wisnu Galang yang baru saja datang dari ber-
buru ayam hutan, mendukung saran gurunya terha-
dap Anggani. Bahkan ia mengingatkan kepada Anggani
tentang ancaman bahaya dari Sirih Duda.
"Beberapa orang Perguruan Pedang Biara, ter-
masuk Sirih Duda, Pujar Wuni, dan yang lainnya, su-
dah telanjur menganggap dirimu sebagai gadis penye-
bar penyakit terkutuk itu. Jadi, untuk saat sekarang ini, jika mereka melihatmu.
pasti akan berusaha membunuhmu. Maka ada baiknya jika kau tak muncul du-
lu di kancah persilatan sampai akhirnya mereka tahu
dengan sendirinya bahwa kabar tentang dirimu itu
hanya siasat busuknya si Wajah Malaikat. Tinggallah
dulu beberapa saat di sini, Anggani. Aku akan mene-
manimu." "Tapi awas jika kau berbuat yang bukan-bukan
terhadap Anggani!" ancam Soka Pura yang waktu itu sempat bentrok dengan Wisnu
Galang, murid tunggal
si Hantu Muka Tembok itu.
Wisnu Galang nyengir mendengar ancaman itu,
antara malu dan rikuh.
"Aku bukan Wisnu yang kemarin, Soka! Per-
cayalah, Anggani tidak akan ku colek sedikit pun, kecuali dalam keadaan
terpaksa."
"Terpaksa atau tidak, kalau kau berani colek
dia, kuhajar di depan gurumu sendiri, Wisnu!" ancam Soka. "Lho, maksudnya
terpaksa, misalnya dia di panggil oleh Guru tapi tidak mendengar, terpaksa ku
colek lengannya dan kuberi tahu agar ia memenuhi
panggilan Guru. Begitu maksudku! Jangan melotot du-
lu kau!" Wisnu Galang bersungut-sungut.
"Tapi jangan lama-lama perginya, ya Soka?" bisik Anggani dengan wajah murung.
Rupanya gadis itu
merasa berat jika berpisah terlalu lama dengan Soka.
Mungkin hatinya ada minat untuk dekati si cowok
tampan itu. Ia belum tahu bahwa Soka ibaratnya play-
boy cap kutu busuk. Sosor sana, sosor sini, sudah merupakan kebutuhan rutin bagi
dirinya. Berbeda dengan kakak kembarnya: Raka Pura.
Pemuda-yang satu ini memang kalem dan tidak rakus
terhadap perempuan. Bahkan cenderung dingin terha-
dap rayuan gadis mana pun Juga.
"Bujang, kau tinggal di sini dulu menemani
Anggani, ya?" ujar Raka, karena ia paling cepat akrab dengan teman lelaki
ketimbang terhadap seorang wani-ta.
"Apakah setelah kau mendapatkan Daun Asta-
gina kau akan mampir ke sini untuk menjemputku?"
"Ya. Setelah urusanku selesai, aku pasti kemari
lagi." Bujang Bodo sendiri sebenarnya merasa berat ditinggal Raka. Pemuda lugu
dan polos itu akan merasa senang jika mengikuti perjalanan Pendekar Kembar,
karena ia punya cita-cita ingin menjadi seorang pendekar, pembela kebenaran,
pembela kaum yang lemah,
pembela mertuanya jika ia kelak punya kesempatan
menikah. Walaupun ia tak punya ilmu apa-apa, kecua-
li 'Siulan Maut' warisan neneknya, tapi kemauannya
untuk menjadi orang baik-baik cukup besar. Dengan
mengikuti pengembaraan si Pendekar Kembar, Bujang
Bodo merasa mendapat banyak pengetahuan dan pen-
galaman tentang hidup dan kehidupan, terutama liku-
liku di dunia persilatan.
Tapi karena Raka Pura menyuruhnya tinggal di
pondok Hantu Muka Tembok, maka tak ada yang bisa
diperbuat lagi oleh Bujang Bodo kecuali patuh dengan perintah tersebut. Ia tak
berani menentang, karena takut mengecewakan Raka dan tak akan diajak berkela-
na lagi. Ketika matahari mulai merayap tinggalkan ca-krawala timur, kedua pemuda
tampan yang gagah per-
kasa itu mulai langkahkan kaki menuju petilasan Ke-
raton Kencana Windu. Kedua pemuda berbaju bun-
tung putih dan celananya juga putih itu sama-sama
berwajah penuh semangat. Tekadnya mencari Daun
Astagina sangat bulat, tak ada benjolnya sedikit pun.
Karena daun itulah yang akan sembuhkan ibu angkat
mereka: Nyi Padmi, yang sekarang sedang menderita
kelumpuhan akibat pukulan beracun dari si Wajah
Malaikat yang telah dihancurkan oleh Pendekar Kem-
bar sendiri itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode: "Perawan Bukit Jalang").
Perjalanan demi kebaikan memang tak pernah
mulus. Begitu halnya yang dialami oleh si Pendekar
Kembar. Perjalanan itu bermula terhenti karena ke-
munculan seorang pemuda yang sama sekali belum
dikenal oleh Raka maupun Soka.
Pemuda bertubuh kurus itu langsung saja ber-
lutut di depan Pendekar Kembar dengan wajah tegang
dan napas terengah-engah. Ia ayunkan kepalanya
sampai menyentuh tanah beberapa kali sambil bersu-
jud di depan Raka Pura dan adiknya.
Dilihat dari raut wajahnya dan cucuran kerin-
gatnya, pemuda kurus berpakaian biru garis-garis pu-
tih itu pasti sedang dalam ketakutan yang amat besar.
Sepertinya ia sedang melarikan diri dari kejaran seseorang atau sesuatu yang
menakutkan baginya. "To-
long... tolong aku, Teman. Tolong... aku ditolong.... Aku beb... beb... belum
ingin mati semuda ini, Teman.
Oooh, tolonglah aku...."
"Hei, hentikan ayunan kepalamu itu, nanti ta-
nahnya jadi kotor!" ujar Soka Pura sambil menahan ge-li dalam hatinya.
"Tolong... aku, oh... oh... aku bisa mati kalau begin! caranya!" sambil si
pemuda berambut pendek tapi mengenakan ikat kepala kuning itu menengok ke
belakang. Sepertinya ia sangat khawatir akan terkejar oleh lawannya. Nafasnya
terengah-engah dan cepat seperti seekor anjing habis disuruh ikut pacuan arena.
"Apa yang terjadi pada dirimu, Sobat?" tegur Raka Pura setelah berhasil
menghentikan ayunan kepala pemuda kurus itu dengan menyodorkan batu di
depan si pemuda berikat kepala kuning itu. Dengan
melihat ada batu tepat di tanah tempat keningnya be-
radu beberapa kali itu, si pemuda segera hentikan gerakannya.
"Edan! Kau pikir aku harus mati dengan cara
membenturkan kepalaku dengan batu itu?"
Raka Pura sunggingkan senyum kalem. Ia me-
mang selalu tampil kalem namun punya kharisma le-
bih tinggi dari adiknya; si Soka Pura yang bandel itu.
"Pertama aku ingin tahu siapa kau sebenarnya,
Sobat?" tanya Raka Pura sambil jongkok karena pemuda kurus itu masih duduk
bersimpuh di tanah.
"Nam... namaku... Panji Doyok. Ooh... tolonglah aku! Aku bisa mati kalau tak ada
yang menolongnya,"
si pemuda kurus itu mulai bernada seperti perempuan.
Manja. Karena sang kakak jongkok di sebelah kiri Panji
Doyok, maka Soka segera jongkok di sebelah kanan
pemuda kurus itu sambil ajukan tanya dengan tepuk
pundak satu kali. Plok...!
"Tenang, Kawan.... Tak perlu buru-buru kepin-
gin mati. Kiamat masih jauh."
"Siapa yang kepingin buru-buru mati"! Justru
aku tak mau mati sekarang!" sergah Panji Doyok.
"Jelaskan apa persoalannya sampai kau ngos-
ngosan seperti hantu dikejar anjing begini, Panji
Doyok?" "Be... begini...!" tiba-tiba kata-kata Panji Doyok terhenti seketika dan matanya
terbelalak, memandang
wajah Raka dan Soka di kanan kirinya.
"Hahhh..."!"
"Ssssh... tenang, tenang. Kalem saja, Doyok!"
ujar Raka, tapi justru membuat Panji Doyok melompat
berdiri dan mundur dua langkah. Wajahnya kian tam-
pak tegang, penuh rasa takut.
"Kem... kem... kembar" Ka... kalian kembar"!"
Rupanya si Panji Doyok baru sadar bahwa ke-
dua orang yang dimintai tolong itu berwajah kembar.
Dan keadaan itu membuatnya sangat ketakutan se-
hingga ia merasa harus segera menjauhi si kembar
berwajah tampan itu.
"Ya, kami memang Pendekar Kembar. Kena-
pa"!" ujar Soka sambil berdiri dan berkerut dahi dengan heran.
"Oooh, tidaak...!" Panji Doyok segera berlari ke arah lain, seolah-olah ia
melihat sepasang hantu yang sangat menyeramkan.
"Hei, hei...!" Soka Pura mencegat, dengan satu lompatan sudah ada di depan
langkah Panji Doyok.
Pemuda bersabuk kain merah itu menarik napas satu
kali dalam satu sentakan rasa takut.
"Haaaahhhh.."!"
Ia ingin lari ke arah lain, namun kepergok Raka
dan langkah pun terhenti seketika. Kini si pemuda
bersenjata sebilah pisau di pinggangnya itu meman-
dang ke sana-sini dengan nanar berkesan panik. Soka
Pura saling pandang sebentar dengan kakaknya yang
sama-sama merasa heran melihat ketakutan Panji
Doyok. Akhirnya Raka berhasil membujuk Panji Doyok
agar tenang dan meyakinkan diri bahwa mereka bukan
orang yang perlu ditakuti. Panji Doyok dibawanya ke
bawah pohon yang cukup teduh. Tapi pemuda itu ma-
sih diliputi rasa takut hingga gemetaran.
Raut wajahnya tampak pucat, menandakan ra-
sa takutnya itu serius. Bukan sekadar akting saja.
"Kami memang anak kembar," kata Raka Pura.
"Tapi mengapa kau sangat ketakutan begitu kau sadar bahwa kami anak kembar"!
Tolong dijelaskan sebelum
kepala adikku itu jadi pusing. Sebab dia kalau sedang pusing sering menelan
manusia hidup-hidup!"
"Ooooh..."!" pekik Panji Doyok semakin takut.
"Ap... apakah... apakah kalian juga keluarga mereka"!"
"Mereka siapa maksudmu?" tanya Soka.


Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmmm, hmmm..." Panji Doyok menelan na-
fasnya beberapa kali untuk menenangkan getaran da-
lam dadanya. Mata memandang ke sana-sini, terutama
ke arah dari mana ia datang tadi. Pandangan mata itu masih mempunyai kecemasan
yang membuatnya gugup. "Mer... mereka mau... mau membunuhku!" "Mereka siapa"!"
sentak Soka jengkel. Panji Doyok terlon-jak kaget dan semakin gemetaran lagi.
"Sau... saudara... saudara...." "Bicaralah dengan tenang, jangan seperti orang
mau kasih sambutan begitu; pakai
'saudara-saudara' segala. Ini bukan rapat lurah, ta-
hu?" omel Soka yang tak sabar menghadapi kegugupan Panji Doyok. "Mak... mak...
mak...." "Ada apa dengan emak mu"!" tanya Raka serius.
"Bukan. Hmmmm... mak... maksudku..." "Oh mau ngomong 'maksudku'," ujar Raka
kepada adiknya.
"Kukira mau ceritakan emaknya." "Maksudku... aku mau dibunuh oleh saudara kalian
yang sekarang sedang mengejar-ngejarku," lanjut Panji Doyok.
"Kami tak punya saudara lagi. Kami lahir hanya
berdua saja. Aku yang bernama Raka dan dia Soka,
"Jad... jadi kalian... kalian bukan termasuk mereka?" "Mereka itu siapa
maksudmu, jelaskan!" sergah Soka sambil mendorong dada Panji Doyok. Agaknya
Soka sangat tak sabar menghadapi kepanikan Panji
Doyok yang tidak segera menjelaskan perkara sebe-
narnya. Rasa penasaran Soka membuat pemuda itu
gemas, rasa-rasanya ingin meremas-remas mulut si
Panji Doyok. Hanya saja, sebelum Panji Doyok berkata lagi, tiba-tiba dari arah
tempat datangnya Panji Doyok tadi muncul dua orang yang sama-sama mengenakan
jubah lengan panjang warna merah jambu.
"Nah, dia orangnya! Hajar dia!"
"Tunggu...!"
Kedua orang yang ingin maju menyerang Panji
Doyok segera hentikan langkah karena Raka Pura se-
gera menghadang di depan langkah mereka. Panji
Doyok bersembunyi di belakang Soka dengan tubuh
semakin gemetaran. Sementara itu, Raka dan Soka
sama-sama segera terbengong memandang kedua
orang yang baru saja datang itu mempunyai wajah
kembar dan potongan tubuh serta pakaian yang sama.
Ternyata mereka adalah dua gadis cantik yang
sama-sama punya potongan rambut berponi depan,
panjang rambutnya hanya sepundak lewat sedikit. Me-
reka adalah dua gadis kembar yang juga terperangah
begitu melihat Raka dan Soka. Kedua gadis itu sama-
sama mengenakan kutang hijau tipis dan kain penu-
tup bagian bawahnya juga berwarna hijau tipis. Apa
yang ditutupi kain-kain hijau itu tampak membayang
samar-samar, menggoda iman membangkitkan keusi-
lan. Tak heran jika Soka akhirnya tersenyum tipis dengan mata nakalnya melirik
ke arah dada sekal si gadis kembar itu.
"Rupanya kau yang ingin menjadi pembela mal-
ing keparat itu, hah?" ujar salah seorang dari kedua gadis itu.
"Maling"! Siapa yang maling"! tanya Raka ka-
lem. "Jangan banyak mulut kau! Hiaaah...!" Salah seorang dari mereka menyerang
dengan tebasan pedang ke arah leher Raka Pura. Tentu saja tebasan itu
mengejutkan Pendekar Kembar, sehingga Raka Pura
segera meliukkan badan ke samping sambil kakinya
berkelebat menendang gadis penyerangnya. Buukh...!
Tendangan itu tepat kenai perut lawan. Namun si gadis bagal tak punya rasa sakit
sama sekali. Tendangan itu dicuekin saja, ia justru menghujamkan pedang ke arah
perut Raka. Suuut...! Raka Pura melompat pendek ke samping den-
gan tubuh sedikit berputar sehingga pedang itu menu-
suk udara kosong. Dan pada saat itu telapak tangan
Raka punya kesempatan menyodok rahang kanan si
gadis. Bet, plaaak...!
Si gadis terpelanting karena kerasnya sodokan
tangan Raka itu. Tapi anehnya ia tak menyeringai ke-
sakitan. Padahal pipinya sempat menjadi merah akibat sodokan tangan itu. Ia
justru memainkan pedangnya
dengan cepat, menebas ke sekeliling tubuhnya sambil
melangkah maju dekati Raka.
Sementara itu, gadis yang satunya melangkah
pelan-pelan memutari dari seberang pohon. Rupanya
ia ingin menyerang Panji Doyok atau Soka dari arah
belakang. Tetapi gerakannya diketahui oleh Soka, se-
hingga Soka segera berpaling ke arahnya sambil tersenyum. Gadis itu tak mau
membalas senyuman Soka,
tapi justru melompat lakukan terjangan bersama pe-
dang dihujamkan ke arah dada Soka. Wuuut...!
Soka Pura segera lepaskan jurus 'Tangan Batu'-
nya. Kedua tangan yang menggenggam disodokkan ke
depan dan keluarkan tenaga dalam besar. Biasanya bi-
sa membuat pohon tumbang. Wuuut, brrruuk...! Tapi
anehnya gadis itu hanya terpental dan jatuh terbanting tanpa merasakan sakit
sedikit pun. Buktinya ia cepat bangkit dan melompat kembali dengan tendangan
kaki menyamping. "Hiaaaat...!"
Plak. Plak...! Soka menangkis tendangan itu
dengan kedua tangan. Lalu, tubuhnya memutar cepat
dan kakinya melayang bagai menyabet ke atas. Wees...!
Plak...! Gadis itu juga berhasil menangkis tendangan Soka dengan tangan kiri.
Pedang segera disabetkan untuk merobek
punggung Soka. Tapi dengan cepat Soka yang me-
munggunginya itu melompat ke depan, kedua kakinya
menendang ke belakang. Wut, bhuuuk...! Kedua ten-
dangan seperti kuda binal itu tepat kenai perut si gadis. Tentu saja gadis itu
terpental ke belakang karena tendangan itu bertenaga cukup besar. Brruuss...! Si
gadis jatuh di semak-semak dekat Raka.
Melihat Raka sedang menggeliatkan tubuhnya
ke sana-sini untuk hindari tebasan pedang gadis yang satunya lagi, maka gadis
yang jatuh di semak dekat
Raka itu segera menyabetkan pedangnya ke betis Ra-
ka. Beet...! Tapi kaki Soka Pura segera menendang batu
kecil. Tuuus...! Batu pun melesat dengan cepat dan
bermuatan tenaga dalam yang tadi disalurkan lewat
kaki oleh Soka.
Teess...! "Auuuh!" gadis itu memekik ketika pergelangan tangannya terkena batu sebesar
kelereng itu. Pedang
yang mau dipakai menyabet betis Raka itu terlepas seketika. Tapi si gadis tidak
merasakan sakit. Pekikannya tadi ternyata adalah pekikan rasa kaget atas
sentakan batu yang tak diduga-duga itu.
Wuuut...! Soka melompat dan berguling di re-
rumputan, lalu menyambar pedang si gadis. Tebbb...!
Seeet...! Pedang itu ditodongkan di dada si ga-
dis. Kontan gadis itu hentikan gerakan dalam keadaan baru mau merangkak.
"Bergerak sama dengan kuburan!" ujar Soka
mengancam dalam senyuman. Si gadis memandang
bagai menyimpan dendam.
Pada saat itu, ternyata Raka Pura berhasil me-
nangkap tangan gadis lawannya. Tangan berpedang itu
segera dipuntir ke belakang dan si gadis dipepetkan ke pohon. "Kupatahkan
tanganmu kalau kau masih mau menyerangku!"
Gadis itu tidak mengaduh sedikit pun, hanya
memendam geram kedongkolan yang lebih besar lagi.
Raka pun akhirnya membentak dengan tangan si gadis
yang terpelintir itu disentakkan ke atas bagai mau di-patahkan.
"Lepaskan pedangmu! Lepas...!" sambil tubuh si gadis makin dipepetkan ke pohon.
Mau tak mau si gadis melepaskan pedangnya karena memang urat peng-
genggam pada jari-jarinya menjadi kendor dengan sen-
dirinya begitu tangan disentakkan ke atas. Raka segera menyambar pedang itu dan
menodongkan ke leher si
gadis yang segera berbalik ingin menyerang Raka, na-
mun tak jadi karena gerakan penodongan itu lebih ce-
pat dan membatasi langkahnya. Si gadis hanya mera-
pat dengan pohon dan memandangi ujung pedang
yang terarah ke lehernya.
"Kalau kalian ingin mencelakai kami, kami pun
akan tega mengirim kalian ke jalan raya neraka lewat kuburan masing-masing.
Paham"!" gertak Raka Pura yang tak mendapat reaksi apa pun dari si gadis.
Raka melirik Soka, ternyata Soka juga berhasil
mengancam lawannya dengan pedang milik lawan. Me-
reka saling melirik, saling anggukkan kepala kecil, bagai memberi isyarat. Kejap
kemudian mereka sama-
sama mundur dan saling berdekatan.
"Agaknya gadis kembar itu tak punya rasa sakit
sedikit pun?" bisik Soka kepada kakaknya.
"Iya! Mungkin itulah kehebatan si gadis kembar
ini"!" balas Raka dalam bisikan.
"Sekarang bagaimana ini"! Habisi saja mereka?"
"Mulutmu kalau bicara jangan sembarangan!
Kalau aku setuju dengan usulmu itu, belum tentu kau
benar-benar tega menghabisi mereka!" gerutu Raka dalam bisikan.
"Tega saja, kalau menghabisinya pakai bibir!"
"Kepalamu ngepul!" maki Raka dengan bersungut-sungut.
Akhirnya Pendekar Kembar sepakat untuk
kembalikan pedang kedua gadis itu sebagai tanda per-
damaian. Mereka sama-sama membuang pedang ke
arah kedua gadis tersebut. Wes, wes...! Juuubs,
juubs...! Kedua pedang sama-sama menancap di ta-
nah, satu jengkal dari kaki masing-masing pemiliknya.
"Kalau kami komplotan orang jahat, nyawa ka-
lian sudah melayang saat ini!" ujar Raka. Soka menimpali dengan konyol.
"Setidaknya saat ini kalian tidak akan berbusa-
na lagi." "Ssst...! Jangan bicara begitu, disangkanya kita pemerkosa!" bisik Raka. Maka si
Pendekar Kembar bungsu pun segera meralat kata-katanya tadi.
"Maksudku, pakaian kalian bisa ku cabik-cabik
dengan pedang kalian sendiri tadi. Kalian bisa ku telanjangi dengan jurus pedang
kami. Tapi, heh, heh,
heh... kami tak berani lakukan, karena... karena tentu masalahnya jadi lain lagi
jika sampai kalian berdua
kami telanjangi dengan jurus pedang... hik, hik!"
Kedua gadis kembar itu saling pandang seben-
tar, kemudian memungut pedang mereka dan masih
menggenggamnya di tangan masing-masing, seakan
siap menyerang dengan pedang itu jika hal itu diperlukan sewaktu-waktu.
"Siapa kalian sebenarnya"!" ujar gadis berkalung emas dengan bandul batu merah
delima sebesar kacang tanah. Sikapnya masih bermusuhan, tapi tidak
seganas tadi. Agaknya mereka saling mengakui kehe-
batan si Pendekar Kembar tampan itu, sehingga mere-
ka perlu menunda gebrakan pertama, dan sedang
mempersiapkan gebrakan kedua sebagai langkah balas
dendam atas kekalahan mereka baru saja tadi.
Gadis yang berkalung emas dengan bandul ba-
tu hijau giok sebesar kacang tanah itu segera menim-
pali kata-kata saudara kembarnya tadi.
"Jangan dulu kalian merasa bangga karena da-
pat patahkan serangan kami. Itu tadi hanya gebrakan
salam kenal saja. Belum gebrakan yang sesungguh-
nya!" "O, ya" Kalau begitu kalian masih menyimpan jurus-jurus maut yang akan
membuat kami ta-kuuuut...!" ujar Soka sambil menggeliat seperti pera-wan
ketakutan. Raka terpaksa menahan tawa dalam
hati melihat adiknya berlagak seperti banci kesiangan itu.
"Hmm...," si gadis berkalung merah mencibir.
"Tak kusangka maling keparat itu punya tukang pukul setampan ini!"
"Ssst...! Jangan bicara soal tampan, Tolol!" sergah gadis yang satunya dalam
bisikan yang sampai di
telinga Raka dan Soka. Pendekar Kembar pun sama-
sama tersenyum dan saling lirik dengan lagak konyol.
Kedua gadis itu segera saling mencibir sinis. Si
gadis pemakai kalung hijau pun berkata dengan ketus, seakan muak sekali dengan
lagak kedua pemuda kembar tampan rupa itu.
"Rupanya kalian yang jadi tukang tadahnya,
ya"!" "Kau pikir kami berdua ini ember buat mena-dah air hujan"!" sergah Soka
Pura dengan senyum di-kulum. Entah seberapa banyak ia mengulumnya, yang
jelas kedua gadis kembar itu saling memandangi
Soka dan Raka secara berganti-gantian. Selain
masih sama-sama pegangi pedang terhunus, wajah
mereka juga tampak masih diliputi kemarahan, se-
hingga kecantikannya nyaris tak terlihat.
Gadis kembar itu akhirnya saling senggol-
senggolan siku. Mereka saling lirik, seperti bicara pakai bahasa wajah. Yang
satu menggelengkan kepala,
yang satu mengangguk sesekali dengan dahi berkerut.
"Rupanya gadis inilah yang disangka saudara
kita oleh si Panji Doyok itu," bisik Raka Pura kepada adiknya.
"Iya. Sebab kedua gadis itu tampaknya juga
anak-anak kembar. Cantik-cantik, ya?"
Raka menatap adiknya dengan bersungut-
sungut, kemudian melengos tak mau komentari peni-
laian sang adik. Ia menatap kedua gadis kembar itu
dengan sikap kalem dan wajah tampak tenang sekali.
"Dengar, Nona-nona genit! Aku dan adikku tak
punya hubungan apa-apa dengan si Panji Doyok itu!
Kami justru sedang mencari tahu persoalan yang di
hadapi oleh Panji Doyok, lalu kalian datang."
"Jadi... kalian bukan komplotan maling keparat
itu"!" salah seorang bicara dengan nada mulai lunak.
"Kalau kami komplotannya, tentu saja kalian
berdua sudah kami sikat sejak tadi!" ujar Soka menimpali ucapan kakaknya.
"Hmm, kau pikir kami tak pernah sikatan"!"
ujar gadis satunya lagi dengan mencibir sinis. "Hei, dengar ya, Tokek sawah...
di rumah kami punya banyak sikat gigi. Setiap hari kami menyikat gigi tiga kali,
itu kalau kami tak lupa. Jadi kalian tak perlu sikat kami, mungkin justru
kalianlah yang perlu kami sikat dengan pedang kami ini!"
"Hei, lihat..."! Maling keparat itu sudah tak ada di sini!" seru gadis berkalung
merah. Raka dan Soka juga terkejut dan segera mencari dengan pandangan
mata mereka. Ternyata Panji Doyok memang sudah tak
ada di tempat itu. Mereka tak tahu Panji Doyok telah kabur saat mereka tadi
saling baku hantam.
"Ke mana si bodong tadi"!" gumam Raka berna-
da geram di samping adiknya.
Sebelum Soka mengomentari gumam kakak-
nya, tiba-tiba gadis berkalung merah mengacungkan
pedang di depan Soka. Pedang itu diarahkan tepat di
ulu hati Soka. "Kalian harus bertanggung jawab!"


Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bertanggung jawab bagaimana"! Apakah kau
hamil kok minta tanggung jawab dari kami?"
"Kalian yang membuat maling itu lolos, Tolol!"
bentak gadis itu dengan berang. Soka sempat kaget
dan mengkerut sambil mundur karena didesak mata
pedang. * * * 2 KEDUA gadis kembar cantik itu sama-sama
mendesak Raka dan Soka sebagai pihak yang harus
bertanggung jawab atas lolosnya Panji Doyok. Raka
dan Soka saling bisik dalam ancaman pedang kedua
gadis kembar itu. Tak ada rasa takut sedikit pun pada diri Pendekar Kembar,
walau mereka tetap angkat tangan agar gadis-gadis itu tidak nekat menghujamkan
pedang ke tubuh mereka. "Psst...!"
Raka melirik adiknya.
"Sebenarnya mereka hanya ingin minta ban-
tuan kita untuk menangkap Panji Doyok itu!"
"Ya, aku tahu hal itu. Kita pura-pura menyang-
gupi tanggung jawab itu, agar kita tahu bagaimana
persoalan yang sebenarnya."
"Tapi kita harus segera mencari Daun Astagina
untuk...."
"Aku tahu, aku tahu...!" potong Raka dalam bisikan. "Tapi gadis ini akan jadi
penghambat kita jika kita pergi begitu saja! Kurasa... tak seberapa sulit
mengatasi persoalan yang agaknya membuat mereka
kewalahan itu."
"Jangan kasak-kusuk!" bentak yang kalungnya berbatu hijau. "Bicaralah yang
jelas! Sanggup atau tidak!" "Sanggup apanya?" sahut Soka ingin tertawa geli.
"Sanggup menangkap pencuri keparat itu atau tidak"!" sentak si pemakai kalung
berbatu hijau itu.
"Kalau kami tidak sanggup menangkap pencuri
itu bagaimana?" tanya Soka memancing dengan se-
nyum menghias di bibirnya.
"Kalau kalian tak sanggup, kami akan segera
menggali dua liang untuk mengubur kalian. Tapi kalau kalian sanggup menangkap
pencuri jahanam itu...."
"Apa hadiahnya?" potong Soka.
Kedua gadis saling pandang sebentar. Kemu-
dian yang memakai kalung berbatu merah itu perden-
garkan suaranya dengan tegas, namun tidak seketus
tadi, walau masih berbau sinis.
"Tidak ada hadiah untuk penangkapan! Tapi
kami akan berikan sesuatu yang bermanfaat untuk ka-
lian." "Oh, kedengarannya menyenangkan sekali,"
ujar Soka, lalu ia melirik kakaknya dan kedipkan sebelah mata dengan konyol.
Raka diam saja tanpa reaksi, masih tampak tenang dan kalem.
"Kami akan bantu kalian menangkap pencuri
itu," ujar Soka. "Tapi lebih dulu kami minta dua syarat. Pertama, kalian harus
anggap kami bukan musuh
melainkan sepasang sahabat. Kedua, kami harus tahu
nama kalian. Setelah itu kami akan sebutkan nama
kami sebagai Soka dan Raka," sambil Soka menuding kakaknya.
Raka menimpali, "Tapi jika kalian tidak mau
penuhi dua syarat itu, kami akan melawan kalian
sampai nyawa kalian tak tersisa sedikit pun! Dan in-
gat... jika kalian tak mau perkenalkan nama kalian,
maka adikku tak akan sebutkan nama kami berdua!"
Kedua gadis itu saling pandang, lama-lama me-
reka sama-sama tersenyum kaku dan kecil sekali. Me-
reka sempat menilai Pendekar Kembar adalah dua pe-
muda bodoh yang sudah sebutkan namanya tapi me-
rasa ingin sembunyikan nama itu. Padahal Raka dan
Soka sengaja mengawali perkenalkan nama lebih dulu
dengan cara seperti tadi. Agaknya kedua gadis itu mulai kehilangan rasa muaknya
terhadap Pendekar Kem-
bar. Bayang-bayang kedamaian mulai membias da-
lam pandangan mata kedua gadis itu. Kemudian yang
kenakan kalung berbatu merah itu perdengarkan sua-
ranya tanpa nada ketus di dalamnya, namun masih
berkesan penuh ketegasan.
"Kalian bisa memanggilku: Ayunda, dan dia...
Adinda!" "Pasti dia adik kembar mu!" ujar Soka sambil menunjuk yang berkalung hijau.
"Kalau kau pemuda cerdas, kau akan tahu
bahwa aku adalah adiknya, karena namaku Adinda,"
jawab si kalung hijau.
Pedang mereka segera dimasukkan ke dalam
sarung pedang masing-masing. Tindakan itu melam-
bangkan sebagai langkah perdamaian yang dilakukan
oleh kedua gadis kembar: Ayunda dan Adinda. Sikap
itu disambut dengan senyum ramah dan menawan da-
ri kedua pemuda tampan itu. Walau senyum Raka tak
selebar senyuman Soka, tapi wajahnya memancarkan
ketenangan yang bersahabat, sehingga Ayunda sempat
menggeragap karena pandangan matanya bertabrakan
dengan tatapan mata Raka Pura.
"Tolong jelaskan tentang si Panji Doyok itu!"
ujar Raka menutupi kecanggungannya sendiri.
"Bukankah tadi sudah ku jelaskan bahwa dia
adalah pencuri yang sedang kami kejar"!" sahut Adinda.
"Ya, tapi kami belum tahu apa yang dicuri oleh
Panji Doyok itu."
"Kitab pusaka milik keluarga kami," jawab
Ayunda. Sang adik menambahkan penjelasan tersebut.
"Kitab itu bernama Kitab Jayasakti, berisi ten-
tang jurus-jurus sakti aliran silat keluarga kami."
Ayunda menambahkan pula, "Kitab Jayasakti
tak boleh dimiliki dan dipelajari oleh orang lain yang bukan keturunan dari
Eyang Buyut Gardamoyang."
"Bagaimana Jika sampai ada yang pelajari isi
kitab itu"! Apa akibatnya?" tanya Soka Pura kepada Ayunda.
Gadis itu tidak menjawab, tapi tangan kanan-
nya segera menyentak ke depan dalam keadaan tela-
pak tangan terbuka tengadah. Ia bagai menghantam
sesuatu yang ada di tanah depannya, walaupun tanah
itu sebenarnya kosong tanpa batu dan pohon kecuali
rumput. Tapi dari tangan kanan Ayunda segera keluar
sinar merah kecil yang melesat dan menghantam ta-
nah kosong itu. Sinar merah yang sebesar telur bu-
rung puyuh itu segera meletup tanpa bunyi keras.
Bluub...! Kemudian tanah tersebut berasap. Asap warna
abu-abu itu dengan cepat menggumpal menjadi ba-
nyak, makin lama semakin besar, besar, dan besar se-
kali. Akhirnya membentuk sesosok makhluk bertubuh
tinggi, besar, wajah menyeramkan. Makhluk itu ber-
mata lebar, berdaun telinga runcing. Mulutnya yang
lebar dan besar itu mempunyai taring tajam dan pan-
jangnya melebihi dagu.
Pendekar Kembar sempat mundur beberapa
langkah dengan tercengang-cengang. Wajah kepala se-
dikit mendongak karena makhluk gundul itu mempu-
nyai tinggi tubuh hampir mencapai puncak pohon. Ke-
dua kakinya panjang setinggi ukuran tubuh Raka dan
Soka. Ia hanya mengenakan cawat hitam dengan kulit
tubuh abu-abu dan seperti retak-retak. Tapi kedua
tangannya mempunyai jari-jari besar dan berkuku
runcing tajam. "Jin..."!" gumam Raka Pura dengan wajah tegang. Makhluk itu pun menyeringai
dengan keluarkan
suara aneh yang membuat bulu kuduk merinding.
"Hheeeggrrr...!" sambil kedua tangannya terangkat bagai siap menerkam lawan.
Matanya yang le-
bar dan merah itu memandang Ayunda, seakan me-
nunggu perintah dari gadis itu.
Adinda sentakkan tangannya seperti yang dila-
kukan kakak kembarnya tadi. Tapi sang kakak mela-
rangnya dengan menarik lengan adiknya.
"Tak perlu. Cukup aku saja yang membuktikan
kepada mereka," ujar Ayunda.
Gadis itu segera memandang Raka dan Soka,
ternyata Pendekar Kembar sudah berada di dekat po-
hon besar, seolah-olah bersiap untuk berlindung di
sana. Ayunda maju beberapa langkah untuk bicara
kepada Raka. "Hanya orang yang pelajari Kitab Jayasakti
yang bisa kalahkan ilmu ini!"
"Ooo... ja... jadi untuk itulah kitab pusaka itu jangan sampai dipelajari oleh
pihak lain"!"
"Benar! Hanya keturunan Eyang Buyut Garda-
moyang saja yang diizinkan pelajari isi kitab itu!" sahut Adinda. Ayunda
menambahkan kata, "Adikku juga bisa keluarkan jin seperti Lawakopang itu. Tapi
dia punya jln perempuan dan ganas. Kapan saja makhluk itu bi-sa kami perintahkan
untuk membunuh lawan, atau
menghancurkan sebuah istana dalam waktu singkat."
"Gila!" gumam Soka bagai bicara pada diri sendiri. "Mengapa tidak kau bunuh saja
si Panji Doyok tadi dengan menyuruh jin Lawakopang-mu itu?" ujar Raka. Ayunda
gelengkan kepala. "Kitab itu tak boleh tersentuh oleh mayat atau orang mati.
Jika sampai tersentuh orang mati, kitab itu akan musnah terbakar dan tidak bisa diwariskan
kepada keturunan kami kelak." "Karena itulah kami hanya akan tangkap si Panji
Doyok itu dan mendesaknya agar serahkan kembali Kitab Jayasakti," timpal Adinda.
"Heeeggrrr...!"
Blam, blam...! Bum! berguncang ketika kaki jin Lawakopang
menghentak ke tanah dua kali. Seakan ia tak sabar
menunggu tugas.
"Tidak, Lawakopang! Tidak ada pekerjaan apa
pun untukmu. Kembalilah!"
Ayunda sentakkan tangan kanannya dengan te-
lapak tangan terbuka. Jin Lawakopang itu segera berasap. Makin lama asapnya
makin tebal dan telapak tan-
gan Ayunda bagaikan menyedot asap tersebut.
Zyuuurrrp...! Jin dan asap lenyap, masuk ke dalam tangan
Ayunda. Tapi tangan itu tetap mulus dan tak mening-
galkan bekas kepulan asap apa pun. Yang tertinggal
hanya aroma bau tengik, seperti aroma di dalam gu-
dang yang lembab.
Ayunda berbalik arah, kini menatap Raka kem-
bali. "Kitab itu harus kami dapatkan sebelum maling yang kau sebut namanya
sebagai Panji Doyok itu sempat mempelajari isinya."
"Apakah kau tahu siapa Panji Doyok itu"!"
tanya Raka kepada Ayunda.
Adinda yang menyahut, "Yang kami ketahui,
dia adalah orang Tanah Keramat!"
"Tanah Keramat"! Hmmm... baru sekarang aku
mendengar nama itu," ujar Soka seperti bicara pada kakaknya.
Adinda jelaskan lagi, "Tanah Keramat adalah
sebuah perkampungan seperti desa layaknya. Tapi
penduduknya, dari yang kecil sampai yang tua, dari
yang perempuan maupun yang lelaki, semua pencuri,
pencopet, penjambret, dan perampok!"
"Di sana juga banyak pelacur!" sahut Ayunda.
"O, ya..."!" Soka terperangah dalam senyum.
Raka melirik dongkol.
"Girang amat kau!"
Adinda menyahut, "Mungkin penjelasan kakak
ku yang terakhir itu adalah kabar gembira bagi adikmu itu!" "Eh, hmm... adikku
memang tukang membe-rantas pelacur! Dia pernah membantai delapan pelacur dalam
semalam." "O, ya" Dengan apa dia membantainya?"
"Tentu saja dengan pedangnya!" jawab Raka.
"Pedang yang mana"!" sahut Adinda.
Raka sedikit menggeragap. ia memandang Soka
dan Soka menjadi tertawa. Ia menertawakan kakaknya
yang bingung menjawab pertanyaan seperti itu.
"Maksudku," sergah Adinda, "Pedang yang di pinggangnya atau pedang yang ada
padamu, Raka"!"
"Oh, ya... tentu saja pedang miliknya sendiri!"
jawab Raka dengan hembusan napas lega.
"Aku punya dua pedang pusaka!" sahut Soka
dengan konyol. Raka Pura menyodokkan sikunya ke
pinggang sang adik dengan wajah memendam rasa ri-
sih atas ucapan Soka itu.
"Maksudku... maksudku dua pedang pusaka
itu sekarang menjadi milikku, satunya lagi menjadi milik Raka!" sambil telunjuk
Soka menuding Pedang Tangan Matahari yang terbuat dari kristal bening itu.
Kemudian ia cengar-cengir sendiri sambil buang muka.
"Bagaimana dengan Panji Doyok tadi"!" sahut Raka mengalihkan percakapan setelah
Adinda mencibir begitu mendengar kata-kata Soka tadi.
"Apakah kalian yakin dia pencurinya"!"
"Tentu saja! Sebab dia yang keluar dari peka-
rangan rumah kami tadi malam, menjelang fajar," jawab Ayunda.
"Tapi aku tak lihat dia membawa kitab atau
benda apa pun!" kata Raka. Lalu ia bertanya kepada adiknya, "Kau melihat apa
yang dibawa Panji Doyok tadi, Raka?"
Soka menggeleng. "Tak ada yang dibawanya!"
"Pasti disembunyikan di balik bajunya atau...
ah, entahlah. Sebagai maling pasti dia lebih pandai daripada kita!"
Adinda berujar lagi, "Jika seluruh penduduk
Tanah Keramat pelajari isi kitab itu, dapat kau
bayangkan apa jadinya dunia ini" Mereka pasti akan
salah gunakan ilmu tersebut!"
"Iya juga, ya"!" gumam Raka lalu termenung memikirkannya.
3 SETELAH Raka jelaskan bahwa ia dan Soka se-
dang kebingungan mencari Daun Astagina yang dulu
pernah tumbuh di petilasan Keraton Kencana Windu,
maka si gadis kembar pun segera saling pandang den-
gan dahi berkerut. Mereka saling berbisik pelan sekali, membuat Raka dan Soka
saling beradu pandang dengan wajah menyimpan keheranan.
Akhirnya Ayunda berujar kepada Pendekar
Kembar. "Baru saja aku dan adikku mengambil keputu-
san untuk membantu kalian, asal kalian membantu


Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami menemukan kembali Kitab Jayasakti itu."
"Sebelumnya aku berterima kasih atas kese-
diaanmu membantu kami," ujar Raka yang matanya
tidak senakal Soka itu.
"Sesungguhnya ingin kukatakan padamu, Ra-
ka, bahwa Daun Astagina sudah tak ada dl petilasan
Keraton Kencana Windu. Pohon itu telah ikut hancur
bersama hancurnya negeri tersebut. Taman Astamarta
telah terkubur ke dalam tanah bersama tanamannya
akibat peperangan negeri itu melawan Laskar Laut Be-
rantai." "Dari mana kau tahu"!"
"Kakekku adalah Juru taman di keraton itu
yang lolos dari maut pada saat terjadi penyerbuan
Laskar Laut Berantai," jawab Ayunda, tapi tampaknya Pendekar Kembar sangsi
dengan penjelasan tersebut.
Adinda segera angkat bicara, "Untuk meyakin-
kan kalian, sebaiknya tetaplah pergi ke petilasan Keraton Kencana Windu. Menurut
Kakek, istana Keraton
Kencana Windu menghadap ke utara. Di belakang ke-
raton itu ada taman yang dinamakan Taman Astamar-
ta. Dan di taman itulah pohon Astagina tumbuh den-
gan subur. Jika kalian ingin mencarinya, carilah di re-runtuhan bagian selatan!"
"Jadi kami sekarang harus menuju ke utara,
begitu maksudmu?" tanya Raka.
"Benar. Dan kalian tetap akan melewati Tanah
Keramat, desa para pencuri itu!" jawab Adinda.
Ayunda menambahkan kata, "Tapi aku yakin
kalian tak akan dapatkan daun itu!"
Setelah diam sesaat, Raka Pura segera bertanya
kepada Ayunda. "Jika benar katamu, kami tidak akan menda-
patkan daun itu, lalu ke mana kami harus mencari
Daun Astagina itu"!"
Ayunda melirik adiknya sebentar, lalu sebelum
ia bicara sang adik lebih dulu perdengarkan suaranya yang bernada tegas.
"Di rumah kami, Kakek sempat menanam bibit
pohon Astagina. Pohon itu sekarang masih tumbuh di
samping rumah kami. Tapi hanya satu pohon saja."
"O, benarkah di tempatmu ada pohon Astagi-
na"!" Soka tampak sangsi namun berdebar-debar penuh harap juga.
"Kami akan berikan daunnya kepada kalian, ji-
ka kalian sudah mendapatkan kitab pusaka yang kami
kejar itu, dan... tentu saja kalian ingin buktikan kata-kata kami untuk pergi ke
petilasan Keraton Kencana
Windu, bukan" Pergilah dulu ke sana dan carilah daun itu. Jika tak ada, kalian
boleh datang kepada kami
dengan membawa Kitab Jayasakti untuk ditukar den-
gan tiga lembar Daun Astagina!"
Pendekar Kembar saling beradu pandang, sea-
kan sama-sama ragu dalam mengambil langkah. Se-
mentara Raka tampaknya mempertimbangkan keputu-
san itu dengan serius, Soka Pura sempatkan bertanya
kepada Ayunda. "Mengapa kalian tak merasa takut jika kitab
pusaka itu akhirnya akan kami pelajari sendiri setelah kami berhasil merampasnya
dari tangan pencurinya"!"
"Karena kami yakin kalian memang Pendekar
Kembar yang sedang ramai dibicarakan oleh para to-
koh di rimba persilatan! Sebagai sepasang pendekar,
kami percaya kalian tak akan menjadi pengkhianat ba-
gi seorang sahabat!"
"Bagaimana kalau ternyata kami hanya menga-
ku-aku sebagai Pendekar Kembar"!"
Ayunda menyahut, "Itu tak mungkin! Karena
baru saja kami ingat bahwa mereka membicarakan
Pendekar Kembar yang berpedang kristal. Dan kulihat
pedang kalian itu adalah pedang kristal. Jadi kami
percaya bahwa kalian memang Pendekar Kembar yang
sebenarnya."
Ayunda segera memberi isyarat kepada adiknya
dengan kedipan mata. Sang adik anggukkan kepala ti-
pis. Kemudian mereka mundur bersama. Ayunda sege-
ra berkata mewakili adiknya.
"Selamat jalan! Kita jumpa lagi di Lembah Sa-
ga!" Blaaas, blaas...!
"Hei, tunggu! Tung...!"
Tangan Soka segera dicekal kakaknya. Ia tak
jadi mengejar kedua gadis yang segera melesat pergi
tinggalkan mereka.
"Tak perlu dikejar!" ujar Raka.
"Tapi kita belum tahu di mana mereka tinggal!
Jika kita benar-benar gagal dapatkan daun itu dari petilasan keraton tersebut,
lalu bagaimana kita bisa
sampai ke tempat tinggal mereka"!"
"Lembah Saga! Apakah kau tak dengar Ayunda
sebutkan Lembah Saga"!"
"Apakah itu tempat tinggal mereka"!" Soka ganti bertanya.
"Kalau belum digusur, kurasa memang di Lem-
bah Saga itulah rumah mereka berdua," jawab Raka dengan kalem. "Yang penting
sekarang kita periksa du-lu keadaan di petilasan keraton tersebut."
"Berarti kita harus melewati Tanah Keramat"!"
"Mungkin memang harus begitu. Tapi apakah
menurutmu kita perlu ikut campur dapatkan Kitab
Jayasakti"!"
Soka Pura angkat bahu sambil melangkah lan-
jutkan perjalanan.
"Jika kitab itu memang bisa ditukar dengan
Daun Astagina, apa salahnya kalau kita dapatkan dulu kitab tersebut"!"
Sambil tetap melangkah Raka Pura pun berka-
ta, "Bagaimana jika kedua gadis kembar itu menipu ki-ta" Kitab sudah kita
dapatkan tapi mereka tidak bisa memberi kita daun tersebut"!"
"Ku rontokkan gigi mereka!"
"Kau tega merontokkannya?"
Pendekar Kembar bungsu nyengir kuda.
"Tentu saja mulut mereka harus diberi pelaja-
ran dengan kecupan ku dulu, baru giginya dirontok-
kan!" "Otakmu tak jauh dari cumbuan!" gerutu Raka Pura. "Sebab otakku dekat
dengan mulut. Kalau otak ku dekat pantat, mungkin aku akan sering bicara tentang
jamban!" "Jorok!" sentak Raka dalam gerutunya. Raka Pura hanya tertawa cekikikan.
"Hentikan tawamu!" sergah Raka dalam nada
masih seperti orang menggerutu. Tapi Soka Pura ma-
sih cekikikan. "Hentikan tawamu, kataku!" Raka melotot kepada adiknya. Sang adik buang muka,
menutup mulut dan berusaha hentikan tawanya. Karena Raka saat itu
hentikan langkah, maka Soka pun hentikan langkah
dan kini ia berada di belakang kakaknya bagai sedang sembunyikan tawa. Tapi
sebenarnya ia sudah tidak
cekikikan lagi. Hanya saja, Raka segera berpaling dan tampak berang kepada
adiknya. "Tuli kau! Kubilang hentikan tawamu!"
"Aku sudah tidak tertawa, Bego!" bentak Soka.
"Hmmm..."!" Raka berkerut dahi. "Kalau begitu siapa yang cekikikan itu"!"
"Maksudmu..."!" Soka terperanjat, ia segera menelengkan kepala untuk menangkap
suara yang di maksud kakaknya.
Ternyata memang benar. Ada suara cekikikan
samar-samar. Arahnya di sebelah kanan mereka; Sua-
ra cekikikan itu membuat Soka segera tersenyum, ka-
rena ia telah membayangkan sesuatu yang cukup
menggelitik bagi hatinya.
"Raka, kau mau memeriksa semak-semak di
bawah pohon sebelah sana"!" sambil Soka menunjuk tempat yang dimaksud.
"Mengapa aku harus memeriksanya?"
"Karena di sanalah sumber suara cekikikan
yang kita dengar ini. Periksalah semak-semak itu lewat atas pohon dan jangan
timbulkan suara apa pun. Aku
akan menunggumu di sini!"
"Ah...!" Raka mendesah tak setuju, ia ingin te-ruskan langkah.
Pundak Raka dicekal oleh adiknya. Sang kakak
memandang dengan cemberut, sang adik justru nyen-
gir dengan maksud tertentu.
"Siapa tahu yang cekikikan di semak-semak
sana adalah Panji Doyok! Periksalah dulu sana. Apa
kau tak berani memeriksa persembunyian seorang
pencuri"!"
"Kau meremehkan keberanian ku"!" sambil Ra-ka menuding dengan hati dongkol. Sang
adik hanya angkat bahu sambil tetap nyengir. Raka pun segera
bergegas memeriksa semak tersebut, karena ia tak
mau dianggap pengecut oleh adiknya.
Wuuuut...! Dalam satu sentakan napas ia telah
melayang naik dan hinggap di salah satu pohon. Ke-
mudian dengan menggunakan jurus peringan tubuh-
nya yang dinamakan jurus 'Badai Terbang', Raka me-
lesat dari pohon ke pohon tanpa timbulkan bunyi ge-
merusuk dan tanpa membuat daun-daun bergerak
oleh sentuhan kakinya. Dalam sekejap ia sudah berada di pohon dekat semak-semak
yang timbulkan suara
cekikikan itu. Sedangkan Soka Pura hanya cengar-
cengir pandangi kakaknya sambil duduk di atas se-
bongkah akar yang menyerupai seonggok batu di ba-
wah pohon. "Suara cekikikan itu jelas suara seorang pe-
rempuan," ujar Soka dalam hati. "Kurasa di sana ada perempuan yang sedang
bercumbu. Raka pasti kaget
begitu melihat perempuan sedang dicumbu. Mungkin
malahan ia akan jatuh menimpa mereka yang sedang
bercumbu. Hik, hik, hik, hik...! Biar tahu rasa dia! Jadi lelaki kok selalu
takut sama cumbuan! Banci itu namanya!"
Pendekar Kembar sulung memang selalu hinda-
ri kemesraan. Ia tak pernah tampak tertarik kepada
seorang gadis secantik apa pun. Bahkan memegang
tangan seorang gadis, jika bukan karena harus meno-
long luka si gadis, tak pernah dilakukan oleh Raka.
Berbeda dengan Soka. Tak perlu tunggu gadis
naksir dan mendekatinya ia sudah lebih dulu nyosor
tanpa ragu-ragu. Perbedaan sifat itulah yang membuat
Soka kelihatan lebih konyol sedangkan Raka tampak
lebih serius dan berkharisma. Perbedaan itu pula yang sering dimanfaatkan Soka
untuk menggoda kakaknya
dengan hal-hal yang bersifat seronok atau ngeres.
Soka menduga kakaknya tak akan betah men-
gintip orang bercumbu di semak-semak itu. Tapi nya-
tanya Soka harus menunggu beberapa saat lamanya.
Seharusnya Raka sudah kembali sejak tadi dan me-
maki-maki dirinya. Tapi mengapa sampai kaki Soka
semutan dipakai untuk duduk, Raka belum kembali
dari tempat pengintaiannya"
Rasa penasaran membuat Soka akhirnya ber-
gegas menyusul sang kakak walau suara cekikikan itu
sudah tak terdengar. Ia jadi ingin tahu, apa yang
membuat kakaknya betah mengintai orang bercumbu:
Suut, wees...! Soka Pura pun melesat melalui
dahan demi dahan tanpa timbulkan suara. Sampai di
pohon tempat kakaknya tadi tampak mengintai orang
di balik semak-semak itu, Soka Pura hentikan lang-
kahnya dan memandang ke bawah.
Ternyata di balik semak itu ada seorang nenek
berusia sekitar tujuh puluh tahun yang sedang mem-
buka kotak permata dan menghitung butiran intan
permata yang ada di dalam kotak tersebut. Nenek itu
didampingi oleh gadis jelita berwajah mungil yang ikut membantu sang nenek
menghitung butiran intan permata dan perhiasan lainnya yang sangat berharga.
Soka segera mendekati Raka yang ada di dahan
lain. Gerakannya sangat pelan agar tak timbulkan sua-ra dan merontokkan daun
yang dapat membuat nenek
dan gadis mungil itu memandang ke atas pohon.
"Ssst...!" Raka memberi isyarat dengan menem-pelkan telunjuknya ke bibirnya
sendiri. Kemudian ia
mendekati telinga adiknya dan berbisik sangat pelan.
"Sepertinya mereka habis mencuri kotak per-
mata milik orang kaya, entah dari mana!"
Soka ganti berbisik di telinga kakaknya.
"Apa yang mereka bicarakan sejak tadi?"
"Mereka menyebut-nyebut nama Panji Doyok!
Agaknya perempuan tua itu adalah neneknya Panji
Doyok." "Dan si gadis cantik mungil itu siapa?" "Adiknya Panji Doyok!"
"Ah, apa benar"! Wajah mereka tak mirip. Wa-
jah Panji Doyok lebih hancur daripada wajah gadis
itu." "Tapi si nenek tadi bilang 'mudah-mudahan kakakmu berhasil'. Berarti gadis
itu adalah adiknya Panji Doyok. Karena si gadis pun segera menjawab: "Kang Doyok
tak pernah gagal dalam menjalankan tugas apa
pun dari nenek'. Kurasa mereka memang keluarga
pencuri!" Soka manggut-manggut, lalu diam sesaat. Sete-
lah itu berbisik kembali kepada kakaknya.
"Tangkap saja, yuk"!"
"Kita tak punya urusan dengan mereka!"
"Tapi kitab itu"! Kitab Jayasakti itu pasti sudah berhasil dicuri Panji Doyok.
Jika nenek dan adiknya
kita tangkap, kita jadikan sandera, Panji Doyok pasti mau serahkan kitab
tersebut kepada kita. Lalu kitab
itu dapat kita tukar dengan Daun Astagina dari Ayun-
da." "Ssst...! Lihat, ada beberapa orang berlari me-
nuju kemari!" sambil mata Raka memandang ke arah timur. Tampak empat orang
bersenjata sedang menuju
ke tempat sang nenek dan cucu gadisnya sedang
menghitung permata.
Soka Pura segera mencolek lengan kakaknya.
"Raka, lihat di sebelah barat sana!"
"Ooh..."!" Raka memandang tempat yang ditun-
juk Soka. "Tiga orang berkuda"! Hmmm... dilihat dari pakaian dan pedang mereka
yang bagus, aku yakin
mereka para prajurit dari sebuah istana. Dan, heiii...
lihat di sebelah selatan itu!"
"Astaga! Delapan orang berkuda sedang menuju


Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemari"! Oh, dari mana mereka sebenarnya"!"
"Kurasa mereka mengejar nenek dan cucu ga-
disnya yang telah mencuri kotak permata itu!"
"Tapi dari mana mereka tahu kalau nenek dan
gadis itu bersembunyi di balik semak bawah kita ini"!"
"Ya, memang aneh! Dari mana mereka tahu ba-
rang curian itu ada di sini, ya"!" gumam Raka pelan sekali. "Haruskah kita
bertindak"!"
"Mau bertindak apa kita?" Raka ganti bertanya, karena keduanya sama-sama
bingung. "Wajah orang-orang yang kemari itu tampaknya
kejam-kejam, Raka!"
"Iya! Sepertinya tiap orang bernafsu untuk
membunuh!"
"Kasihan gadis mungil itu," gumam Soka Pura sambil menatap ke bawah, memandang
gadis berbibir mungil yang mengenakan pakaian serba kuning gad-
ing. Sebelum suara orang-orang itu tertangkap te-
linga si gadis dan neneknya yang berjubah abu-abu
itu, Soka Pura segera ajukan gagasannya kepada sang
kakak. "Kita selamatkan kedua orang ini, biar dia mau bantu kita untuk dapatkan
kitab itu!"
"Bagaimana caranya"!"
"Totok mereka! Akan kutotok keduanya dengan
jurus 'Totok Pikun'- ku. Lalu, kita bawa lari mereka ke selatan, tinggalkan
kotak perhiasan tersebut. Biar di-temukan oleh para pengejarnya. Tapi kedua
orang ini selamat dari amukan mereka!"
Setelah diam selama satu helaan napas, Raka
pun anggukkan kepala.
"Kau bawa lari neneknya, aku yang bawa lari
gadis mungil itu!" ujar Soka.
"Hei, aku ini kakakmu! Kau selalu mengakali
ku terus!"
Belum sempat Raka lanjutkan bisik-bisiknya,
Soka Pura sudah berkelebat turun lebih dulu. Dengan
menggunakan jurus 'Jalur Badai', ia mampu bergerak
cepat sekali dan tangannya menotok tengkuk sang ne-
nek, menyusul menotok tengkuk sang gadis.
Wuuut...! Tes, tes...!
Keduanya segera Jatuh lemas tanpa bisa berte-
riak. Soka, Pura segera memanggul si gadis mungil,
sementara itu Raka meluncur turun bagai seekor bu-
rung camar yang gesit. Weess...! Wuuut...!
Sang nenek disambarnya, kemudian Pendekar
Kembar segera sama-sama gunakan jurus 'Jalur Ba-
dai', berkelebat ke selatan. Masing-masing membawa
beban di atas pundak mereka. Sedangkan kotak per-
hiasan dan isinya mereka tinggalkan begitu saja.
* * * 4 RUPANYA para wajah angker baik yang berku-
da maupun yang jalan kaki adalah orang-orang sebuah
kadipaten yang memang ditugaskan memburu pencuri
kotak permata. Kotak permata itu milik permaisuri
sang adipati yang dicuri oleh kedua orang itu dari
'dalem kadipaten'. Sang adipati mengutus beberapa
orangnya, termasuk seorang 'pawang maling' yang
mampu melacak ke mana larinya barang curian itu.
Orang berkuda yang mengenakan jubah putih
dengan rambut dan jenggot telah memutih itulah si
'pawang maling', yang melacak larinya pencuri serta
barang curiannya dengan menggunakan ketajaman in-
dera keenamnya. Mereka menemukan kotak perhiasan
di batik semak, tapi kedua pencurinya telah dibawa la-ri oleh Pendekar Kembar.
Mulanya Pendekar Kembar
sempat hentikan langkah di kejauhan untuk melihat
siapa mereka-mereka itu. Setelah mengetahui bahwa
mereka memang orang-orang yang bertugas mengejar
pencuri, maka kedua pemuda tampan itu bergegas te-
ruskan pelariannya untuk selamatkan si gadis mungil
dan neneknya. "Mau dibawa ke mana rongsokan ini"!" tanya Raka kepada adiknya sambil memanggul
sang nenek kurus berambut abu-abu itu. "Kita cari sebuah gua!"
"Kalau begitu kita harus ke kaki bukit cadas
itu!" sambil Raka menuding bukit cadas yang tak seberapa tinggi dan tampak dari
tempat mereka berhenti
sebentar itu. Mereka segera bergegas ke sana dengan meng-
gunakan jurus 'Jalur Badai". Kecepatan gerak yang melebihi kecepatan badai yang
paling cepat itu membuat mereka segera tiba di bawah bukit cadas terse-
but. Ternyata di sana memang ada tempat yang layak
untuk istirahat. Sebuah rongga yang menyerupai gua
berpintu lebar terdapat di kaki bukit cadas itu. Rongga itu tidak terlalu dalam,
tidak punya lorong lain, dan dapat dilihat dengan jelas dari jalanan depannya,
karena tak ada tanaman selain rumput jenis lumut.
Rongga itu memang tidak dalam, sekitar dela-
pan langkah dari batas tanah berumput. Tapi pan-
jangnya lebih dari lima belas langkah. Langit-langitnya
agak rendah. Jika Raka berdiri dan tangannya diulur-
kan ke atas, maka ujung jari tengahnya dapat menyen-
tuh langit-langit rongga tersebut.
Sang nenek dan cucunya diletakkan di atas ta-
nah datar yang kering, letaknya sedikit berjauhan.
Sementara Raka memeriksa keadaan sekeliling dengan
pandangan matanya, Soka Pura pandangi si gadis can-
tik berambut pendek namun kenakan ikat kepala me-
rah. "Kecantikannya sungguh menggemaskan!" gumam hati Soka Pura sambil tersenyum
sendiri. "Wajah ini seperti wajah boneka yang lucu dan menghadirkan
rasa senang tersendiri di dalam hati siapa pun yang
memandangnya. Hmmm... bibirnya benar-benar mem-
buatku ingin menggigitnya dengan lembut. Hidungnya
kecil tapi bangir. Tubuhnya pun tak terlalu kurus,
bahkan berkesan ramping namun padat. Kurasa dia
masih berusia sekitar delapan belas tahun. Sayang sekali cantik-cantik begini
tapi kerjanya mencuri."
"Hei, sudah! Jangan berkhayal jorok!" tegur Ra-ka sambil mendorong kepala
adiknya dari belakang.
Sang adik nyengir sambil garuk-garuk kepala tanpa
gatal. "Bagaimana keadaan sekeliling tempat ini?"
"Aman! Entah kalau bagian atas bukit. Mung-
kin ada harimaunya atau...."
"Apakah menurutmu orang-orang itu akan
mengejar kemari?"
"Kurasa mereka hanya menyelamatkan kotak
perhiasan itu saja! Jika kotak perhiasan itu sudah mereka dapatkan, mereka tak
mau sulit-sulit lagi untuk memburu pencurinya."
"Tadi sempat kudengar salah satu dari mereka
ada yang menyebut nama 'Kanjeng Adipati Lumban',
apakah itu nama pemilik kotak perhiasan tersebut"!"
"Mungkin saja. Tapi yang jelas sekarang aku
ingin bertanya padamu; kalau sudah begini lantas kita mau apa"!"
"Tunggu mereka sadar, baru kita tanyakan ten-
tang Panji Doyok itu!"
"Seharusnya kau tadi jangan menotoknya terla-
lu keras. Tak perlu sampai dibuat pingsan begini, cukup kau buat lemas seperti
biasanya itu!"
"Tak sengaja. Habis sambil bergerak cepat, ja-
dinya ya terlalu keras begini."
"Apakah tidak sebaiknya...," kata-kata Raka terhenti seketika begitu mereka
mendengar suara ledakan yang menggema tak terlalu keras itu.
Blaaang...! "Ada yang bertarung di sekitar sini, Raka"!"
sentak Soka Pura dengan tegang.
"Ya. Biarkan saja. Itu urusan mereka."
"Siapa tahu ada hubungannya dengan Panji
Doyok"!"
"Jadi maksudmu kau suruh aku mengintip per-
tarungan itu"!"
"Aku tidak menyuruh, tapi kalau kau tidak ke-
beratan, aku menyarankan tengoklah siapa yang ber-
tarung itu!"
Raka Pura tidak menjawab tapi hanya bersun-
gut-sungut dengan gerutu tak jelas. Ia keluar dari lorong dan memandang
sekeliling dengan tanpa niat
pergi menengok pertarungan. Soka Pura segera dekati
kakaknya. "Hei, kalau ternyata yang bertarung itu adalah
Panji Doyok dengan orang yang mau merebut Kitab
Jayasakti itu, bagaimana" Kalau ternyata Panji Doyok mati, lalu kitab dibawa
lari lawannya itu, bagaimana"
Kita kehilangan jejak dan tak tahu siapa orang yang telah merampas kitab dari
tangan Panji Doyok. Untuk
itu, kurasa memang perlu kau tengok sebentar. Jika
bukan Panji Doyok, kembalilah kemari dan tak perlu
ikut campur urusan mereka. Kau setuju"!"
Raka Pura renungi pendapat adiknya itu. Bebe-
rapa saat kemudian ia menarik napas dan berkata ke-
pada sang adik.
"Suara pertarungan itu tampaknya dari balik
bukit cadas ini. Aku akan menengoknya dengan men-
daki bukit ini!"
"Itu bagus, Raka!"
Kemudian sang kakak pun pergi menengok per-
tarungan dengan mendaki bukit yang tak seberapa
tinggi itu. Beberapa kali lompatan membuat Raka su-
dah tiba di atas bukit tersebut dan bergerak turun melalui lereng seberangnya.
Sementara itu, Soka Pura
cengar-cengir karena merasa geli atas keberhasilannya membujuk sang kakak agar
mau pergi. Sementara
sang kakak pergi, ia dapat menikmati kecantikan si
gadis mungil itu dengan bebas, tanpa teguran dan
gangguan dari sang kakak.
Raka Pura tidak sadar kalau dirinya telah dua
kali 'dikerjain' oleh adiknya. Ia menganggap saran
adiknya itu tak punya maksud apa-apa di balik buju-
kan tersebut. Raka Pura hanya memikirkan, siapa
yang bertarung dan di mana letak pertarungan mere-
ka. Ternyata letak pertarungan tidak sulit ditemu-
kan. Begitu menuruni lereng bukit cadas itu, Raka melihat ada dua orang
bertarung di tanah datar, di kaki bukit cadas itu. Tanah datar yang mempunyai
pepohonan berjarak renggang itu memang sangat ideal untuk
sebuah pertarungan. Tapi Raka yakin, mereka yang
bertarung tidak sengaja mencari tempat selayak itu.
Raka pun segera menyelinap di balik pohon tak
begitu besar. Kehadirannya sebagai pengintai perta-
rungan tak ingin dilihat oleh siapa pun. Dari balik pohon itu ia dapat memandang
dengan bebas ke arah
dua orang yang saling beradu kekuatan tenaga dalam
dengan masing-masing mendorong menggunakan ke-
dua tangan dari jarak lima langkah.
"Siapa mereka itu"!" gumam hati Raka dengan mempertajam penglihatannya. Untuk
lebih jelas lagi,
Raka berkelebat pindah tempat. Wuuz...! Dalam seke-
jap ia sudah berada di balik pohon lebih dekat lagi.
"Ooo..., rupanya lelaki brewok itu adalah si Iblis Bangor"!" gumam hati Raka,
karena ia mulai ingat tentang seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun
bertubuh besar, brewokan, alisnya tebal dan lebar.
Sangar. Orang berpakaian serba hitam itu bersenjata
golok lebar. Tapi agaknya kala itu ia belum mau menggunakan goloknya.
Iblis Bangor pernah terlibat urusan dengan So-
ka, bahkan Raka pernah melihat Iblis Bangor tertawa
terus karena terkena totokan si Biang Tawa. Jika tak disembuhkan oleh Biang
Tawa, maka lelaki besar itu
akan tertawa terus sampai akhirnya mati. Untung pa-
da waktu itu Biang Tawa segera melepaskan totokan-
nya, sehingga lelaki itu tak sempat mati, namun sem-
pat jera berhadapan dengan Biang Tawa, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Gua Mulut Naga"
dan "Gairah Sang Pembantai").
"Tetapi siapa perempuan yang menjadi lawan
Iblis Bangor itu"!" pikir Raka Pura. Ia merasa asing dengan perempuan berusia
sekitar dua puluh enam
tahun itu yang mempunyai rambut kuning pirang di-
gulung sebagian, sisanya meriap ke bawah.
Perempuan itu mempunyai kecantikan yang
matang dengan jubah lengan panjang warna jingga
dengan pakaian dalamnya warna abu-abu. Si cantik
bertubuh tinggi dan sekal itu tampaknya merasa tak
gentar sedikit pun berhadapan dengan Iblis Bangor
yang lebih besar darinya. Di pinggangnya juga terselip senjata berupa cambuk,
tapi agaknya ia belum mau
gunakan senjata tersebut. Mungkin mereka masih in-
gin mengandalkan kekuatan tenaga dalam untuk tum-
bangkan lawan yang masing-masing saling mengang-
gap remeh itu. Ketika mereka beradu kekuatan tenaga dalam
dengan menggunakan kedua tangan seperti saling do-
rong dari jarak jauh itu, Raka Pura melihat si gadis mulai terdesak. Kedua
kakinya yang merendah mulai
bergeser ke belakang dengan tubuh bergetar.
"Hheeaaahh...!"
Iblis Bangor segera kerahkan tenaga dan kedua
tangannya akhirnya menyentak lurus. Pada saat itu
pula tubuh perempuan bermata coklat itu terpental ke belakang dan jatuh
berguling-guling. Menyedihkan sekali. "Sampurgina! Kalau kau tak mau menyerah-
kannya, maka sekarang juga aku akan bertindak seba-
gai El Maut untuk mencabut nyawamu!"
"Sampurgina..."!" gumam Raka Pura. "Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.
Tapi di mana dan siapa sebenarnya perempuan bernama Sampurgi-
na itu"!"
Raka Pura urungkan niatnya untuk pergi. Ia
berbalik memandang ke arah pertarungan lagi. Tepat
ketika ia memandang ke arah pertarungan, tubuh Iblis Bangor sedang menerjang
Sampurgina yang baru saja


Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau bangkit. Wuuuut...! Brruusk...!
Sreeet...! Iblis Bangor mencabut golok besarnya
sebelum Sampurgina sempat mencabut cambuknya.
"Wah, matilah perempuan itu! Pasti mati dibe-
lah golok si Iblis Bangor!" ujar Raka dalam hatinya ketika ia memperhatikan ke
arah pertarungan lagi. "Ka-
sihan. Agaknya Iblis Bangor tak beri kesempatan ke-
pada lawannya untuk mencabut senjata! Tak tega juga
hatiku melihat perempuan itu di ambang ajal begitu."
Terdengar suara besar Iblis Bangor yang berna-
da kasar itu mengawali ayunan golok lebarnya ke tu-
buh Sampurgina.
"Rupanya kau memang lebih baik memilih mati,
Sampurgina! Terimalah ajalmu ini! Heeaat...!"
Deess...! "Aaaakh...!" Iblis Bangor tersentak, tubuhnya yang sedang melompat hendak
tebaskan goloknya itu
melayang ke samping dan jatuh berdebam seperti
nangka busuk. Buuukh...
"Aaaakh...! Bangsaaaat..!"
Teriaknya dengan wajah menyeringai kesakitan.
Rupanya pada saat itu Pendekar Kembar sulung telah
menggunakan jurus 'Tangan Batu' untuk menahan
niat Iblis Bangor membunuh Sampurgina. Dengan sen-
takkan dua tangan ke depan dalam keadaan meng-
genggam, maka tenaga dalam Raka melesat dan meng-
hantam sekitar lambung si Iblis Bangor. Tenaga dalam besar itu yang membuat
tubuh Iblis Bangor mampu
terlempar ke samping.
Wuuut...! Raka Pura segera tampakkan diri pa-
da saat Sampurgina telah berdiri dan mencabut cam-
buknya. Ketika perempuan itu melihat lawannya jatuh, ia segera akan melecutkan
cambuknya yang berujung
logam runcing itu.
"Tahan!" sergah Raka Pura sambil mengangkat tangannya. Perempuan itu menatapnya
dengan wajah masih tampak menyimpan murka. Gerakannya terhen-
ti karena merasa heran melihat kemunculan pemuda
tampan yang bertubuh tegap dan kekar, serta berani
mencampuri pertarungan itu.
Sampurgina segera berkerut dahi, lalu gerakan
tangan yang ingin melecutkan cambuk itu diturunkan.
Ia menggumam di sela nafasnya yang terengah-engah.
"Rupanya kau ada di sini, Pendekar Kembar"!"
Kini ganti Raka yang merasa heran terhadap
teguran Sampurgina.
"Sejak kapan dia mengenalku?" tanyanya dalam hati. Namun hal itu ia tangguhkan
dulu, karena Iblis Bangor segera bangkit dan menggeram dengan matanya yang lebar
itu memandang ke arah Raka penuh
kemarahan terpendam.
"Raka Pura...! Bangsat juga kau, hah"! Menga-
pa kau menyerangku"!"
"Aku hanya ingin hentikan niatmu membunuh
lawan yang tak berdaya, Iblis Bangor!"
"Aku masih berdaya!" sentak Sampurgina sebagai protes terhadap kata-kata Raka
Pura. Tapi protes itu tak dihiraukan oleh Raka, karena ia segera dekati Iblis
Bangor. "Kurangilah keganasanmu sedikit, Iblis Ban-
gor!" "Hhrrrmmm...!" Iblis Bangor menggeram dengan gemas sekali. Ia segera
teringat tentang si Biang Tawa.
"Celaka! Jangan-jangan anak ini datang bersa-
ma adiknya dan si Biang Tawa juga. Wah, kacau kalau
begini! Bisa-bisa aku mati tertawa sampai nungging-
nungging, seperti waktu itu"!" pikir Iblis Bangor. Nya-linya mulai turun karena
ingatan masa lalunya.
"Sebaiknya aku harus segera pergi dan me-
nangguhkan urusan dengan Sampurgina ini! Akan ku-
serang dari belakang si Sampurgina, terutama jika sudah tidak bersama si
Pendekar Kembar dan Biang Ta-
wa keparat itu!"
Menurut Raka dan Sampurgina, si Iblis Bangor
diam mematung terlalu lama karena celoteh dalam ha-
tinya tadi. Raka sendiri tampak memberi kesempatan
kepada Iblis Bangor untuk bicara dengannya. Tapi
Sampurgina memanfaatkan kesempatan itu untuk me-
lecutkan cambuknya ke tubuh Iblis Bangor.
Namun baru saja ia mengangkat tangannya un-
tuk ayunkan cambuk panjang itu, Raka Pura segera
memandang dengan sentakkan wajah berpaling cepat
dan tegas. Seet...! Matanya memandang Sampurgina
dengan tajam. Rupanya pandangan tajam itu membuat
hati Sampurgina menjadi gundah, akhirnya nyali pun
mulai turun, karena ia tahu persis siapa pemuda itu.
Tangan pun tak jadi mengayunkan cambuk. Tapi na-
pas terbuang lepas, menandakan kejengkelan hatinya
atas larangan tak langsung itu.
"Sampurgina!" geram Iblis Bangor. "Hati-hatilah kau! Aku akan selalu mengincar
mu dan menunggu
kelengahan mu!"
Setelah berkata begitu, Iblis Bangor langsung
melesat pergi dan membuat Sampurgina dan Raka Pu-
ra menyimpan perasaan heran dalam hatinya. Teruta-
ma si perempuan berhidung mancung itu, tak me-
nyangka sama sekali kalau Iblis Bangor akan pergi begitu saja tanpa mencoba
melawan Raka Pura.
"Barangkali sebelum ini ia pernah bertemu Ra-
ka dan dibuat babak belur, sehingga ia merasa jera ji-ka harus berhadapan dengan
Pendekar Kembar ini!"
pikir Sampurgina yang masih pandangi kepergian Iblis Bangor sampai orang besar
itu lenyap dari pandangan
mata. "Sampurgina," terdengar Raka Pura menegur-nya dengan nada tenang namun
berkharisma. "Dari mana kau mengenaliku sebagai Pendekar Kembar"!"
Sampurgina palingkan wajah, pandangi raut
tampan yang berada dalam jarak tiga langkah darinya
itu. "Mungkin kau memang belum mengenalku, tapi
aku pernah melihatmu bertarung dengan bekas ratu
ku." "Siapa ratu yang kau maksud itu?" "Ratu Cumbu Laras!"
"Oh...?" Raka Pura seperti tersengat puntung rokok. Kaget dan mulai menatap
dengan lebih tajam
dari sebelumnya. Bayangan dendam masa lalu yang
sebenarnya sudah padam itu sedikit mengepul hangat
kembali dalam jiwanya.
Terbayang saat pertarungannya dengan Ratu
Cumbu Laras yang membantai seluruh keluarga Pen-
dekar Kembar ketika mereka baru saja lahir itu. Ter-
bayang pula saat sang Ratu berhadapan dengan seseo-
rang yang ternyata adalah ayah kandung Pendekar
Kembar itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Setan Cabul").
Napas yang ditarik panjang-panjang merupa-
kan cara meredakan dendam bagi si Pendekar Kembar
sulung itu. Ia merasa tak perlu mengingat-ingat den-
dam yang sudah terlampiaskan itu. Kini yang penting
baginya adalah segera tinggalkan si perempuan cantik itu, karena ia harus segera
temui adiknya yang sedang menjaga pasangan pencuri nenek dan cucu itu.
"Jadi kau bekas anak buahnya Ratu Cumbu
Laras"!"
"Ya. Tapi sebelum sang Ratu berhasil kau tum-
bangkan bersama adikmu itu, aku sudah pergi darinya
dan bukan lagi anak buah perempuan itu."
"Ooo...," Raka menggumam datar dan manggut-manggut kecil. Matanya memandangi
wajah Sampur- gina sebentar, kemudian segera beralih ke arah lain, walau ia tahu Sampurgina
menatapnya tanpa berkedip
dan tanpa cahaya permusuhan. Cambuknya sudah di-
gulung dan diselipkan pada ikat pinggangnya sebelah
kanan. Sewaktu-waktu mudah di cabut dan disentak-
kan dalam satu lecutan maut.
"Mengapa kau mencampuri pertarungan ku
dengan Iblis Bangor tadi, Pendekar Kembar"!"
"Hanya sekadar tak tega melihat kau mati dibe-
lah pakai golok besarnya itu. Ah, sudahlah. Lupakan
kelancanganku ikut campur dalam pertarungan kalian
tadi!" Raka Pura bergegas pergi, meninggalkan Sampurgina begitu saja. Si
perempuan merasa masih ingin bicara dengan pemuda tampan itu. Ia segera melompat
dalam gerakan bersalto melintasi kepala Raka Pura.
Wuuk...! Jleeg...! Kedua kakinya segera mendarat di
depan langkah Raka, membuat langkah
Pendekar Kembar sulung itu terhenti seketika.
"Maaf, aku sengaja menahan kepergianmu ka-
rena ada sesuatu yang ingin kutanyakan...."
"Tentang apa"!" dahi Raka berkerut sedikit. Sikapnya terasa dingin bagi
Sampurgina, karena me-
mang begitulah Raka bersikap di depan perempuan
cantik yang selalu menatapnya dengan maksud lain.
Sampurgina sunggingkan senyum menawan.
Raka menghembuskan napas menahan rasa kesal di
hatinya. Matanya memandang ke arah lain sambil ber-
kata bagai bicara pada diri sendiri.
"Cepat katakan jika ada yang ingin kau kata-
Pusaka Negeri Tayli 9 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Tangan Geledek 18
^