Pencarian

Perawan Bukit Jalang 2

Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang Bagian 2


kap oleh kedua tangan Anggani. Teeb...! Kemudian te-
lapak tangan itu dipulirnya ke kiri dengan cepat.
Krek...! "Aahk...!"
Brruk...! Dewi Binal pun jatuh terbanting. Kaki
Anggani segera diangkat dan tumitnya ingin dihan-
tamkan ke dada Dewi Binal. Wuut...! Des, des, plak...!
Dewi Binal menangkisnya dengan sapuan kaki,
sehingga kedua gadis itu saling menyerang dan me-
nangkis dengan kecepatan kaki dalam keadaan seten-
gah berbaring di tanah. Setiap ada yang mau berdiri
selalu jatuh kembali karena kakinya disambar oleh
kaki lawan. "Hentikan! Hentikaaan...!" teriak Soka Pura yang bingung memihak itu. Baginya,
Dewi Binal tetap
sahabatnya, walau ia tahu dirinya sering mengecewa-
kan Dewi Binal karena sering kepergok bersama pe-
rempuan lain. Padahal Dewi Binal naksir berat pa-
danya. Sementara itu, Perawan Bukit Jalang juga sa-
habatnya yang baru dan bahkan sebagai orang berja-
sa, karena menyampaikan amanat dari Pawang Badai
tentang keadaan sang ibu angkat yang harus segera di-
tolong dengan 'Daun Astagina' itu. Tentang penyakit
yang diderita Anggani, Soka sendiri belum mengetahui.
Keterangan Dewi Binal bisa dianggap kenyataan bisa
pula dianggap fitnah semata, mengingat Dewi Binal
punya rasa cemburu jika Soka berdua bersama gadis
lain. "Hiaaah...!"
"Heeeaaat...!"
Kali ini kedua gadis itu melayang di udara dan
saling beradu pukulan bertenaga dalam dari jarak de-
kat. Mereka sama-sama bergerak dengan cepat dan
sukar dilihat oleh mata manusia biasa.
Plak, plak, des, plak, blaaarr...!
Ledakan terjadi setelah kedua tangan gadis itu
saling beradu di udara. Keduanya sama-sama terpen-
tal ke belakang dan saling jatuh terguling guling akibat sentakan tenaga dalam
yang saling beradu tadi.
"Edan semua!" geram Soka Pura. Kemudian ia berseru dengan berdiri di tengah-
tengah jarak antara
Dewi Binal dan Anggani.
"Pukullah aku! Serang aku saja jika kalian tak
mau berhenti! Ayo, serang aku!"
"Heeeaaat...!"
"Hiaaat...!"
Kedua gadis itu sama-sama mencabut pedang
dan saling melayang ke pertengahan jarak. Soka Pura
menjadi kebingungan melihat kehadiran kedua gadis
dari kedua arah.
"Gila! Mereka benar-benar mau menyerangku"!"
Wuuk, wuuk...! Pendekar Kembar bungsu sege-
ra bersalto ke belakang dua kali.
Trang, tring, trang, trang...!
Soka Pura menjadi jengkel melihat mereka be-
radu pedang. Maka dengan cepat ia pergunakan jurus
'Cakar Matahari', berupa sinar putih berbentuk seperti pisau yang keluar dari
tangan berbentuk cakar tengkurap. Claap...! Sinar putih itu menghantam pertenga-
han kedua pedang yang sedang saling beradu dengan
memercikkan bunga api.
Blegaaar...! Kedua pedang tersentak dan tangan
pemegangnya ikut tersentak pula. Akibat sentakan
kuat itu membuat kedua gadis terlempar ke belakang
dan masing-masing jatuh terbanting.
Soka Pura sempat heran melihat pedang mere-
ka tak ada yang pecah. Berarti pedang itu dialiri kekuatan tenaga dalam.
Seandainya tidak, maka pedang itu
akan pecah karena dihantam sinar putih berbentuk pi-
sau runcing itu.
"Jika kalian tak mau hentikan pertarungan,
aku akan melumpuhkan kalian berdua!" seru Soka Pu-ra mengancam.
Dewi Binal bangkit lebih dulu dengan napas te-
rengah-engah dan wajah memancarkan kemarahan.
"Aku tak peduli dengan ancamanmu! Gadis itu
harus dibunuh agar tak menyebarkan penyakit berba-
haya bagi kaum lelaki! Kau sendiri pasti telah tertular penyakit terkutuk itu,
Soka!" "Hentikan omong kosong mu itu, Dewi Binal!"
bentak Soka dengan jengkel. Ia mendekati Dewi Binal,
memunggungi Perawan Bukit Jalang.
"Dari mana kau tahu kalau Anggani mengidap
penyakit seperti itu"!"
"Orang-orang Muara Bangke sedang menca-
rinya untuk dibunuh, karena salah seorang dari mere-
ka telah menjadi korban penyakit 'Hantu Lanang'-nya
si gadis terkutuk itu!" seru Dewi Binal dengan berani.
"Kau terkecoh oleh tipuan mereka, Dewi Binal!
Anggani memang dicari oleh si Wajah Malaikat karena
persoalan perguruannya! Bukan karena penyakit!"
"Kau yang bodoh, Soka! Kau pasti telah tertipu
oleh pengakuan gadis terkutuk itu!"
Soka Pura sempat ragu, karena wajah Dewi Bi-
nal tampak serius sekali. Tak ada kesan membohon-
ginya. Namun Soka Pura masih tetap menghadang di
depan Dewi Binal dalam jarak dua langkah.
"Minggir! Akan kulenyapkan penyakit laknat
itu! Kalau kau masih membelanya, terpaksa aku tega
melukaimu dengan pedangku, Soka!" gertak Dewi Binal sambil mengacungkan
pedangnya ke arah dada
Soka Pura. Tanpa setahu Soka dan si Perawan Bukit Ja-
lang, tiba-tiba muncul sekelebat bayangan yang segera melepaskan totokan jarak
jauh ke arah Anggani.
Dees...! Gadis itu segera mengejang tak bisa bergerak, lalu bayangan itu
berkelebat menyambar Anggani dengan kecepatan tinggi. Wees...!
"Ooh..."!" Dewi Binal terperanjat dengan tata-pan mata tertuju pada arah
bayangan yang melesat
sambil membawa Anggani.
Soka Pura curiga melihat perubahan wajah De-
wi Binal. Ia segera berpaling ke belakang.
"Haah..."!" Soka terkejut melihat Anggani sudah tak ada di tempat, sedangkan
senjata gadis itu jatuh
tergeletak di rerumputan.
"Ke mana dia"!" tanyanya membentak kepada
Dewi Binal. "Aku tak tahu!" jawab Dewi Binal sambil melengos dengan ketus. Soka Pura segera
memeriksa kea- daan sekitarnya. Tapi ia tak menemukan si Perawan
Bukit Jalang. "Hmm...! Melihat pedangnya tak ikut dibawa
pergi, kurasa Anggani tidak melarikan diri namun ada
yang membawanya lari!" pikir Soka Pura. Ia segera memandang ke arah Dewi Binal.
"Siapa yang membawanya lari"! Ke mana arah-
nya"!" "Biar saja ia diserahkan kepada si Wajah Malaikat! Apa pedulimu
terhadapnya"!"
"Ke mana arah kepergiannya"! Katakan!" ben-
tak Soka tak sabar lagi.
"Aku tak tahu!" Dewi Binal balas membentak, kemudian ia berkelebat pergi begitu
saja. Wees...! "Dewi...! Dewi Binal!" seru Soka, namun seruan itu tak dihiraukan oleh Dewi
Binal. Soka pura menggeram jengkel sekali. Pedang Anggani diambilnya, namun
segera menjadi bingung menentukan langkahnya.
"Mengejar Dewi Binal atau mengejar Anggani"!"
gumamnya dengan nada menggeram. "Sial! Dewi Binal pasti tahu siapa orang yang
membawa lari Anggani!
Tapi agaknya ia tak mau sebutkan padaku. Percuma
saja aku mengejar Dewi Binal jika ia tak mau katakan
siapa orang yang menyambar Anggani. Tapi jika aku
harus mengejar Anggani, ke mana aku harus melang-
kah"! Puih! Setan alas! Siapa orang yang membawa lari Anggani sebenarnya"!"
Soka Pura benar-benar dongkol sendiri. Ia
hanya bisa mengetahui, bahwa orang itu pasti berilmu
tinggi. Terbukti dalam waktu singkat dapat menghilang dari pandangan mata Soka.
Jika bukan tokoh berilmu
peringan tubuh cukup tinggi dan punya gerakan cepat
yang hebat pula, tak mungkin orang itu dapat lenyap
dalam waktu singkat. Tapi siapa orang itu, Soka tak
bisa memperkirakannya.
* * * 5 KALAU saja Soka Pura tidak bertemu Anggani
sebelumnya, mungkin ia akan percaya dengan kata-
kata Dewi Binal tentang adanya penyakit 'Hantu La-
nang' itu. Dan kalau saja Soka tidak bertemu dengan
Anggani, mungkin ia akan terkejut melihat Ibu ang-
katnya terkapar karena racun 'Sengat Peri'.
Padahal rencana Soka Pura, pulang dari men-
gantar Rara Wulan, ia ingin menemui kedua orangtua
angkatnya di puncak Gunung Merana. Oleh karena
itu, si Bandar Getih yang ingin ikut dengannya ditolak, sebab ia tak ingin
banyak orang tahu tentang makam
eyang gurunya yang dijaga oleh Pawang Badai dan Nyi
Padmi itu. Tapi karena ia sudah mendengar kabar tentang
sakitnya sang ibu angkat, maka ia tak perlu pulang ke puncak Gunung Merana,
karena hal itu hanya akan
buang-buang waktu saja. Ia harus segera mencari
'Daun Astagina' di bekas Keraton Kencana Windu, baik
bersama Raka maupun tanpa Raka.
Tetapi perkara hilangnya Perawan Bukit Jalang
sempat mengganggu kepastian langkahnya. Sebab ba-
gaimanapun juga, Soka Pura menaruh rasa percaya
sepenuhnya terhadap apa yang dikatakan Pe-
rawan Bukit Jalang itu. Ia merasa perlu membantu
gadis itu lebih dulu, karena hanya Perawan Bukit Ja-
lang yang sudah diberi tahu arah tempat petilasan
Taman Astamarta di antara reruntuhan Keraton Ken-
cana Windu. Tetapi ke mana arah yang harus ditempuh un-
tuk mengejar si penculik Perawan Bukit Jalang itu"
Soka sama sekali tak mengetahui arah tersebut. Satu-
satunya jalan hanya mengejar Dewi Binal dan mende-
sak gadis itu agar menjelaskan siapa pelakunya dan ke mana arah pelariannya.
Bila perlu, Soka akan gunakan
kekerasan, walau setelah itu ia akan meminta maaf
kepada Dewi Binal.
Pengejaran Soka terhadap Dewi Binal terhenti
karena suara-suara aneh di balik semak ilalang tinggi.
Suara aneh itu adalah tawa cekikikan seorang perem-
puan yang mengundang khayalan ngeres bagi otak So-
ka Pura. "Jangan di situ, ah...! Di sini saja! Hik, hik,
hik...!" Suara itulah yang membuat Soka menjadi pe-nasaran dan ingin mengintip
apa yang terjadi di balik semak ilalang tinggi, di bawah pohon besar sejenis be-
ringin liar. Tak jauh dari pohon besar itu ada pohon
lain yang berdaun rimbun. Soka Pura segera naik ke
pohon tersebut dengan menggunakan lompatan ilmu
peringan tubuhnya. Wuuut...! Jleeg...! Dalam sekejap
saja ia sudah berada di pohon berdaun rindang itu.
Dari atas pohon itu, Soka Pura dapat melihat
dengan jelas apa yang terjadi di balik semak ilalang
tinggi. Ia sempat terperangah ketika mengetahui di balik ilalang tinggi itu
terdapat dua insan yang sedang berkasih-kasihan. Kedua insan yang tampak sudah
di-buai oleh keindahan itu tak menyadari bahwa diri me-
reka sedang diintai oleh sepasang mata dari atas po-
hon seberang. "Kurang ajar! Rupanya dia yang dapat rezeki
nomplok!" ujar hati Soka Pura sambil memperhatikan seorang pemuda yang masih
berpakaian lengkap. Pakaian pemuda itu dari kain kuning emas, bajunya tan-
pa lengan. Soka Pura sangat mengenali pemuda berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun yang berambut ikal se-
bahu itu. Kain putih berhias benang emas masih dike-
nakan sebagai ikat kepala si pemuda bersenjata cam-
buk coklat yang ujungnya seperti duri ikan. Pemuda
tinggi, gagah, dan berotot itu tak lain adalah si Wisnu Galang, muridnya Hantu
Muka Tembok, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Gairah Sang Pem-
bantai"). "Tapi siapa perempuan yang berusia sekitar
dua puluh lima tahun itu"! Sepertinya baru sekarang
aku melihat wajah cantik bermata sayu dengan tahi la-
lat di dagu," gumam Soka Pura dalam hatinya.
Perempuan berdada besar itu juga masih men-
genakan jubah merah tanpa lengan dengan pinjung
penutup dada dan kain bagian bawahnya berwarna bi-
ru tua. Tubuhnya tampak sekal dengan pinggul yang meliuk tajam dan menonjol
padat. Agaknya perempuan berambut disanggul itu
menyukai kenakalan bibir Wisnu Galang, sehingga ia
membiarkan lehernya dipagut-pagut oleh bibir Wisnu
Galang. Bahkan ketika kecupan penuh gairah dari
Wisnu Galang merayap ke belahan dadanya, perem-
puan itu masih membiarkannya, hanya mengerang da-
lam helaan napas memburu.
"Uuuhk... aaaahhh ... Wisnuuu...," ucapnya
bercampur desah. Ia juga membiarkan Wisnu Galang
melepaskan jubahnya, bahkan tangan perempuan itu
ikut melepaskan baju Wisnu Galang. Kemudian tangan
tersebut mengusap-usap dada Wisnu Galang dengan
sentuhan yang diresapi.
"Auh! Jangan sampai ke dalam. Geli, ah! Hik,
hik, hik!" sambil perempuan itu mendorong wajah Wisnu Galang yang ingin
menelusupkan bibirnya ke
dalam pinjung penutup dada.
"Geli sedikit tapi rasanya selangit, Pijar Wuni,"
bujuk Wisnu Galang.
"Aku tidak mau, ah!" si gadis merengek manja.
"Kenapa tak mau?"
"Nanti aku tak kuat menahan... menahan


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anu...." "Menahan apa?" desak Wisnu Galang sambil tertawa kecil dan mencubit
dagu Pijar Wuni.
"Tak kuat menahan keinginanku sendiri, hik,
hik, hik, hik...."
"Apa keinginanmu akan ku turuti, Pijar Wuni,"
sambil berkata demikian, tangan Wisnu Galang sudah
menelusup di balik penutup dada. Si gadis menggeliat-
geliat dengan tangan juga ikut merayapi tubuh Wisnu
Galang dalam keadaan sama-sama duduk.
"Betul kau akan menuruti keinginanku?"
"Aku tak pernah ingkar janji, Pijar Wuni!"
"Termasuk mau menangkapkan si Perawan Bu-
kit Jalang untuk kuserahkan kepada si Wajah Malai-
kat?" "Itu pekerjaan paling mudah bagiku."
"Juga menuruti... menuruti tuntutan gairah-
ku?" "Itu lebih mudah kulakukan, Pijar Wuni!"
"Oh, Wisnu... aku suka dengan lelaki yang
punya pengertian sepertimu."
"Aku juga sangat berselera jika ada di samping
perempuan secantik kau, Pijar Wuni."
"Kalau begitu, Wisnu... ooh... ambillah apa yang ingin kau ambil dariku!
Ambillah semuanya, Wisnu...,"
sambil Pijar Wuni akhirnya melepaskan pinjung penu-
tup dadanya yang berwarna biru itu.
Tess...! Penutup itu lepas dan tampaklah gua
gumpalan besar yang pekat menantang dengan ujung-
ujungnya yang penuh keberanian, seakan tak sabar
untuk menunggu serangan dari lawannya.
Wisnu Galang pun akhirnya menelusupkan wa-
jahnya di pertengahan dada besar itu. Lidahnya mulai
menirukan lidah seekor ular. Ujung-ujung bukit dis-
ambar dengan lidah itu, membuat gadis bernama Pijar
Wuni itu mengerang dan mendesis-desis dicekam
keindahan asmaranya.
Rupanya perempuan yang masih tergolong mu-
da itu pandai memainkan irama cinta. Ia mempunyai
gerakan yang berirama dan mengayunkan jiwa mereka
berdua, sehingga mereka serasa seperti berada di
awang-awang. Perahu cinta melaju terus, mengikuti
irama keindahan yang didayung oleh Wisnu Galang
untuk mencapai puncak asmara. Mereka tak peduli-
kan keringat mengucur napas menyembur, yang pent-
ing keindahan itu mereka nikmati dan mereka resapi
dalam linangan rasa bahagia yang tiada tara.
Termasuk si penonton gelap yang ada di atas
pohon, juga mengucurkan keringat dingin menyaksi-
kan adegan panas itu, karena debar-debar jantungnya
bagaikan memompa darah agar mengalir dengan de-
ras. Kaki si penonton di atas pohon itu menjadi geme-
tar, namun matanya tak mau menyingkir dari peman-
dangan menggairahkan itu. Tak heran jika si penonton
di atas pohon terpaksa berpegangan pada dahan di
atasnya karena takut tergelincir dan jatuh dari atas
pohon tersebut.
"Setan! Bikin badanku jadi panas-dingin begi-
ni!" gerutu si penonton yang tak lain adalah Soka Pura itu.
Pemuda bandel itu mengikuti adegan tersebut
hingga selesai. Ia masih berada di atas pohon dan
memperhatikan ke arah dua insan yang saling
melepas lelah karena habis mengarungi samudera cin-
ta hingga si wanita mencapai puncak keindahan bebe-
rapa kali. Percakapan yang terjadi di antara mereka
didengar jelas oleh Soka Pura, karena keadaan Soka
Pura sangat dekat dengan mereka. Hanya saja karena
tertutup kerimbunan pohon dan sengaja tak bergerak
sejak tadi, maka keberadaannya itu tidak diketahui
oleh Wisnu Galang dan Pijar Wuni.
"Kau ternyata lebih hebat dari bekas suamiku
yang dulu, Wisnu," ujar Pijar Wuni yang ternyata sudah janda itu.
"Kau suka dengan kehebatanku?"
"Oh, ya... aku suka sekali! Tapi lebih suka lagi jika kau bisa tangkap si
Perawan Bukit Jalang dan
menyerahkannya padaku. Akan kuserahkan perawan
itu kepada si Wajah Malaikat, lalu jika hadiahnya su-
dah ku terima, kita bisa hidup bersama di sebuah ru-
mah di atas bukit yang sepi, hanya kita berdua yang
memilikinya. Hik, hik, hik, hik...!"
"Dalam waktu dekat kau akan mendapatkan
buronan itu, Pijar Wuni!"
"Tapi hati-hati...."
"Apakah kau sangsi dengan ilmuku" Kau sang-
ka aku akan dikalahkan oleh si Perawan Bukit Jalang
itu"!" "Bukan soal ilmumu! Aku percaya, ilmumu lebih tinggi dari si Perawan
Bukit Jalang itu. Tapi... tapi dia cantik dan menggairahkan lho! Nanti kau
terpikat sendiri padanya"!"
"Itu tak mungkin, Pijar Wuni!"
"Mungkin saja!" sambil Pijar Wuni bersungut-sungut manja. "Perawan Bukit Jalang
itu pandai merayu. Nanti kau terpikat rayuannya, lalu bercumbu
dengannya. Iih... Jijik aku!"
"Tak mungkin itu kulakukan, Pijar Wuni!"
"Kalau kau sudah bercumbu dengannya, aku
tak mau kencan denganmu lagi. Aku takut tertular pe-
nyakitnya. Kau sendiri akan segera mati karena darah
mu cepat menjadi busuk Jika sampai kau bercumbu
dengannya seperti denganku tadi."
"Tidak, Pijar! Tidak akan kulakukan hal itu.
Percayalah padaku!"
Soka Pura sempat berpikir dalam ketermenun-
gannya. "Sudah tiga orang yang mengatakan Anggani mempunyai penyakit menular
yang dapat membunuh
kaum lelaki jika habis kencan dengannya. Apakah
memang begitu keadaan nasib si Perawan Bukit Jalang
itu" Kasihan amat Jika benar dia menderita penyakit
terkutuk itu." Hati Soka mulai diliputi sedikit kebim-bangan. Tapi mengapa
mereka ingin serahkan Perawan
Bukit Jalang kepada si Wajah Malaikat"! Jangan-
jangan apa yang diceritakan Anggani tentang pengeja-
ran si Wajah Malaikat kepadanya itu memang benar-
benar terjadi"! Lalu, apa hubungannya dengan penya-
kit yang menular itu?"
Soka Pura kembali menyimak suara-suara me-
reka yang sudah saling mengenakan pakaian masing-
masing. Suara Pijar Wuni lebih jelas daripada suara
Wisnu Galang. "Kau sudah tahu si Perawan Bukit Jalang itu,
bukan?" "Ya, sudah! Aku pernah bertemu dengannya ti-
ga kali, saat aku menemui temanku yang menjadi mu-
rid seperguruannya Perawan Bukit Jalang itu," jawab Wisnu Galang.
"Kalau begitu, aku menunggu kabar darimu.
Temui aku di padepokan perguruanku. Tapi kuminta
sembunyikan dulu perempuan itu jika sudah berhasil
kau lumpuhkan!"
"Akan kulakukan sesuai permintaanmu, Pijar
Wuni, asalkan kau pun menuruti permintaanku."
"Oh, tentu saja, Wisnu. Kapan saja kau ingin-
kan kehangatan ku, aku siap melayanimu. Malahan
mungkin aku yang mengejar-ngejarmu untuk mereguk
secawan anggur kenikmatan darimu seperti tadi. Hik,
hik, hik... indah sekali, Wisnu!"
Pemuda murid Hantu Muka Tembok itu hanya
ikut tertawa geli sambil tangannya meremas nakal. Si
janda memekik genit, lalu hamburkan tawanya yang
berkesan mesum.
"Sekarang... apakah aku harus mengantarmu
sampai ke padepokan?"
"Oh, tak perlu! Lebih baik kau segera mencari
Perempuan Bukit Jalang itu, aku akan pulang ke pa-
depokan. Kupersiapkan tenaga dan kesehatan ku un-
tuk berlayar lagi denganmu, Wisnu!"
Cup...! Pijar Wuni memberi ciuman hangat di
pipi Wisnu Galang. Namun si pemuda membalas di ba-
gian bibir. Maka bibir mereka pun saling melumat lagi
dengan lembut, seakan mereka tak ingin segera berpi-
sah. Ketika kecupan bibir mereka saling lepas, mata
mereka saling pandang dalam iringan senyum keme-
sraan, maka terdengarlah suara Wisnu Galang ajukan
tanya kepada Pijar Wuni.
"Ke mana aku harus mencari Perawan Bukit
Jalang jika perguruannya sudah hancur"!"
"Tadi sebelum kita bertemu, aku melihat ia ber-
lari ke utara dikejar oleh Sirih Duda. Tapi aku yakin, Sirih Duda tak mungkin
mampu menangkapnya, karena Perawan Bukit Jalang punya ilmu lebih tinggi dari
Sirih Duda. Pasti mereka masih bertarung di daerah
utara sana!"
"Mengapa kau tak membantu Sirih Duda"! Bu-
kankah kalian seperguruan"!"
"Memang. Tap! dalam hal penangkapan atas di-
ri Perawan Bukit Jalang. kami melakukannya secara
diam-diam. Aku sendiri tak menyangka kalau Sirih
Duda yang menjadi sahabat Perawan Bukit Jalang itu
ternyata bernafsu juga untuk menangkap gadis berpe-
nyakit terkutuk itu. Aku pun tak ingin ada yang men-
getahui rencanaku ini, karena aku takut dikecam atau
disalahkan oleh guruku. Karena itu, jangan membawa
Perawan Bukit Jalang ke perguruan. Jika ia sudah kau
tangkap dan kau lumpuhkan, sembunyikan dulu di
suatu tempat, lalu jemputlah aku di padepokan."
Soka Pura sempat membatin, "Ke utara..."!" Ia berpikir sesaat. "Benarkah gadis
itu ada di utara" Ta-pi... mungkin yang dilihat Pijar Wuni tadi adalah saat
Anggani belum bertarung melawan Sirih Duda. Kurasa
si Pijar Wuni belum tahu kalau Anggani sudah dl bawa
lari oleh seseorang. Hmm... sebaiknya kuikuti saja
langkah si Wisnu Galang secara diam-diam."
6 PENDEKAR Kembar bungsu masih mengikuti
Wisnu Galang dengan hati-hati. Wisnu Galang yang
sudah berpisah dengan Pijar Wuni tampak berseman-
gat sekali dalam langkahnya. Mungkin karena ia mem-
bayangkan hadiah kemesraan yang begitu nikmat dari
Pijar Wuni, sehingga rasa-rasanya ia ingin cepat-cepat menangkap Perawan Bukit
Jalang. Tetapi langkah Wisnu Galang sendiri terhenti
mendadak begitu ia mendengar suara senjata beradu:
traaang, traaang...! "Hiaaaatt...!" Blaaarrr...!
Jelas suara itu adalah suara pertarungan. Da-
lam benak Wisnu Galang terbayang si Perawan Bukit
Jalang sedang menghadapi pihak lain yang tentunya
juga ingin menangkapnya untuk diserahkan kepada si
Wajah Malaikat. Sebab, sebelum Wisnu Galang bercin-
ta dengan Pijar Wuni, ia sudah mendengar kabar ten-
tang sayembara yang diadakan oleh si Wajah Malaikat
itu. Semula Wisnu Galang juga tertarik untuk da-
patkan hadiah uang banyak dari si Wajah Malaikat.
Namun setelah bertemu Pijar Wuni dan merasakan ke-
nikmatan janda montok itu, Wisnu Galang memilih
hadiah yang datang dari Pijar Wuni. Baginya, jika ia
menyerahkan Perawan Bukit Jalang kepada Pijar Wu-
ni, ia justru akan mendapatkan hadiah ganda. Selain
bisa memanfaatkan hadiah uang bersama-sama Pijar
Wuni, ia juga dapatkan hadiah kenikmatan dari pe-
rempuan tersebut. Kapan saja ia inginkan kenikmatan
itu, dengan mudah ia akan memperolehnya.
Tetapi pertarungan yang dihampirinya itu ter-
nyata bukan pertarungan antara Perawan Bukit Jalang
dengan pihak yang ingin menangkapnya. Wisnu Ga-
lang sempat terbengong sesaat ketika mengetahui sia-
pa yang bertarung. Bahkan Soka Pura yang diam-diam
mengikuti dari pohon ke pohon juga tertegun sekejap
begitu mengetahui siapa yang bertarung saat itu.
"Dewi Binal..."!" gumam Wisnu Galang. "Sial!
Ku sangka si Perawan Bukit Jalang, ternyata Dewi Bi-
nal menghadapi... hmm, siapa ketiga orang berkumis
itu"! Agaknya mereka bernafsu sekali untuk tumbang-
kan Dewi Binal"!"
Sementara itu, hati Soka Pura berkata lain.
"Kebetulan sekali, ternyata dia ada di sini. Tapi mengapa ia berhadapan dengan
tiga orang berwajah
angker itu" Siapa mereka sebenarnya"! Hmmm, keliha-
tannya Wisnu Galang akan turun tangan. Sebaiknya
aku tak perlu ikut campur dulu, kecuali jika Wisnu
Galang dan Dewi Binal sudah tak sanggup melawan ti-
ga orang tersebut."
Ketiga orang yang bersenjata golok itu menye-
rang Dewi Binal secara bersama-sama dari tiga penju-
ru; kanan, kiri, dan depan.
Wuuurss...! Dewi Binal sentakkan kaki ke tanah dan tu-
buhnya pun meluncur naik dengan cepat. Wuuut...!
Prak, trang...!
Tiga orang itu saling bacok sendiri. Untung tak
ada yang terluka, karena senjata mereka saling ber-
benturan satu dengan yang lain. Sedangkan Dewi Bi-
nal segera menjejak pohon yang ada dalam jangkauan
kakinya. Duuk...! Wees...! Tubuhnya pun melesat ke
lain arah. Kemudian daratkan kedua kakinya dengan
kokoh dalam jarak enam langkah dari ketiga penye-
rangnya itu. "Keparat! Jangan hanya bisa loncat sana-sini
seperti kutu kupret kau, hah?" bentak si kumis berbaju hijau tua itu.
"Habis! saja dia, tak perlu ditangkap hidup-
hidup!" ujar si kumis berpakaian serba merah.
"Serang bersama! Heeeaaat...!" si kumis berpakaian hitam itu berteriak sambil
lakukan lompatan
bersalto ke arah Dewi Binal. Tetapi kedua temannya
yang ingin segera melompat juga tiba-tiba terpelanting jatuh dengan keadaan
menyedihkan. Karena tiba-tiba
kaki kedua orang itu tersangkut sesuatu yang me-


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

layang dari belakang mereka.
Ctaaar...! Cambuk si Wisnu Galang berkelebat, langsung
berhasil menyengkat kaki kedua orang tersebut. Wuus,
brruss...! "Ayaooow...!" "Bangsaaaat...!"
Pekik mereka yang jatuh akibat lilitan cambuk
yang segera disentakkan ke belakang itu. Sementara si baju hitam yang sudah
melayang menyerang Dewi Binal itu segera tebaskan goloknya ke arah gadis itu.
Namun dengan cepat Dewi Binal memutar tubuh den-
gan pedangnya berkelebat melingkari badannya.
Wees...! Trang, trang...!
Bhaaak...! "Heeekkhh...!" orang itu terpekik dengan suara tertahan, dadanya terkena
tendangan kaki Dewi Binal
yang nyelonong cepat secara tiba-tiba dan sangat di
luar dugaan itu. Akibatnya, bukan saja dada terasa ingin jebol dan tulangnya
bagaikan remuk, namun orang
itu juga terpental dan jatuh terduduk menindih kepala si baju merah yang
tersungkur akibat sengatan cambuk Wisnu Galang.
Bluuk...! "Aaooow...!! Monyet kurap kau! Minggiiirrr...!"
Si baju hitam buru-buru bangkit setelah me-
nyadari ia telah menduduki kepala temannya sendiri.
Si baju merah pun segera berdiri dengan marah sekali.
Temannya hampir saja dibacok dengan golok di tan-
gannya. "Jahanam busuk kau! Hihh...!"
"Hei, ini aku!" seru si baju hitam sambil menyi-langkan goloknya di atas kepala
untuk menahan baco-
kan golok si baju merah. Traang...!
"Bangsat kurap! Kenapa kau timpa kepalaku"!
Sakit sekali, tahu"!"
"Aku tak sengaja! Aku ditendang olehnya dan,
uuh... dadaku terasa mau jebol dan remuk semua tu-
langnya!" sambil orang tersebut segera sedikit mem-bungkuk dengan wajah
menyeringai menahan sakit. Si
baju merah tak jadi marah pada orang itu.
"Rupanya kita kedatangan tamu lain! Lihat si
pemuda umbelan itu!" seru orang yang berbaju hijau.
Maka pandangan kedua temannya segera tertuju ke-
pada Wisnu Galang yang sudah lakukan lompatan
bersalto dua kali hingga kini ia berada empat langkah di sebelah kiri Dewi
Binal. "Wisnu Galang, pergilah! Ini urusanku, biar
kuurus sendiri."
"Siapa mereka, Dewi Binal"!"
"Orang Muara Bangke!"
"Utusannya si Wajah Malaikat"!"
"Benar! Mereka ngotot tetap ingin menang-
kapku. Mereka sangka aku adalah si Perawan Bukit
Jalang!" "Ooo...," Wisnu Galang tersenyum kecil sambil manggut-manggut. Di tangannya
masih tergenggam
cambuk coklat yang ujungnya berduri. Duri itu
tadi sempat melukai pergelangan kaki si baju hijau,
namun luka tersebut tak dihiraukan oleh si baju hijau.
Ia belum sadar bahwa luka itu mempunyai racun yang
dapat membuntungkan kakinya dalam beberapa waktu
jika tak segera terobati.
Si kumis berbaju hijau segera berseru kepada
Wisnu Galang. "Hei, Babi Panggang...! Jika kau sayang nya-
wamu, menyingkirlah dari sini dan jangan campuri
urusan kami!"
Si baju hitam menimpali, "Atau bergabunglah
dengan kami untuk menangkap Perawan Bukit Jalang
itu! Kau akan mendapat hadiah tersendiri dari kami,
Bocah Kudisan!"
Wut, wut, taaarr...!
Wisnu Galang justru lecutkan cambuknya keti-
ka si baju hitam ingin melangkah maju. Lecutan cam-
buk itu membuat si baju hitam mundur dengan satu
lompatan. Jleeg...!
"Aaaoww...!" si baju merah menjerit lagi karena kakinya terinjak tumit si baju
hitam yang melompat
mundur. Plaaak...! Kepala si baju hitam ditabok kuat-
kuat oleh si baju merah hingga menggeloyor ke samp-
ing. "Babi sinting kau ini! Tadi menduduki kepala-
ku, sekarang menginjak kakiku!"
"Aku tak sengaja, Goblok!" "Kau yang goblok!
Lain kali taruh matamu di pantat dan di kaki!"
"Sudah, sudah...!" sentak si baju hijau mele-rainya. "Kau tak perlu marah. Dia
tak sengaja!"
"Tak sengaja ya tak sengaja, tapi kakiku sakit
sekali, tahu"!"
"Anggap saja amal!"
"Amal kok dua kali, kepala dan kaki!" gerutu si baju merah. Mereka segera
kembali memandang Dewi
Binal dan Wisnu Galang. Wajah-wajah angker itu tam-
pak semakin angker sejak kemunculan Wisnu Galang
yang amat tak disukai oleh mereka itu.
"Siapa kau, Anak Kadal"! Beraninya kau men-
campuri urusan kami! Tidak tahukah kau, bahwa ka-
mi adalah utusan dari Muara Bangke untuk menang-
kap Perawan Bukit Jalang itu"!" seru si baju hijau.
"Buka matamu lebar-lebar!" ujar Wisnu Galang.
"Gadis di sampingku ini adalah si Dewi Binal, murid dari Tabib Kubur! Dia bukan
Perawan Bukit Jalang!"
"Aku sendiri bermusuhan dengan si Perawan
Bukit Jalang! Karena dia telah berhasil merayu keka-
sihku dan membuat kekasihku memihaknya!" timpal
Dewi Binal dengan suara keras.
"Kau pikir kami orang-orang bodoh yang bisa
dikelabuhi"!" sentak si baju hijau.
"Hanya dia yang bodoh!" ujar si baju merah
menu ding temannya yang tadi menindih kepala dan
menginjak kakinya itu.
"Kalian salah sangka!" sentak Wisnu Galang.
"Kalau kalian tetap ngotot, aku akan mewakili Dewi Binal untuk membuat kulit
kalian terkelupas dengan
cambuk ku ini!"
Ketiga orang itu akhirnya saling berkasak-
kusuk saling berhadapan.
"Sekarang baru kuingat, wajah cantik itu me-
mang pernah kulihat bersama-sama si Tabib Kubur
menuju Bukit Gamping!" bisik orang berpakaian hitam itu.
"Mengapa tidak kau katakan sejak tadi"!" sentak si baju merah dengan masih
bernada berang. Tan-
gannya menjulekkan kepala si baju hitam hingga kepa-
la itu tersentak ke belakang.
"Aku lupa! Lupa sama sekali!"
Orang berbaju hijau berkata, "Lalu ke mana
perginya si Perawan Bukit Jalang itu"! Menurut kete-
rangan Sirih Duda yang terluka tadi, katanya dia me-
nuju ke arah sini bersama seorang pemuda tampan"!"
"Ssst...! Si bocah gendeng pembawa cambuk itu
juga pemuda tampan," bisik baju merah.
"Iya, tapi gadis itu bukan Perawan Bukit Ja-
lang! Aku baru ingat sekarang, bahwa dia cucunya si
Tabib Kubur! Kita hampir saja salah tangkap!" bisik si baju hitam.
"Kau memang keparat busuk!" maki si baju merah kepada si baju hitam. "Kalau
begitu, kita cari perawan itu ke tempat lain saja! Jangan buang-buang
waktu!" Rupanya tadi mereka bertiga bertemu dengan Sirih Duda yang terluka di
kepala dan sekujur tubuhnya menjadi memar itu. Mereka mengenal Sirih Duda
dan menanyakan tentang Perawan Bukit Jalang. Sirih
Duda menjelaskan arah kepergian Anggani yang diba-
wa lari oleh Soka Pura. Ketiga orang itu menuju ke
arah yang dimaksud Sirih Duda. Ketika mereka berte-
mu dengan Dewi Binal, mereka langsung menduga se-
bagai Perawan Bukit Jalang. Mereka memang belum
pernah bertemu dengan si Perawan Bukit Jalang,
hanya mendengar ciri-cirinya saja: cantik, montok, dan menggairahkan sekali bagi
kaum lelaki. Setelah si baju hitam yang ingatannya segera
mengenali siapa Dewi Binal, maka mereka pun segera
pergi tanpa pamit meninggalkan Wisnu Galang dan
Dewi Binal. Gadis itu mendengus kesal sambil mema-
sukkan pedang ke sarungnya.
"Hmmm...! Pergi begitu saja tanpa meminta
maaf padaku! Dasar orang-orang bejat!" gerutu Dewi Binal yang membuat Wisnu
Galang tertawa kecil.
"Dewi Binal, apakah kau juga mencari Perawan
Bukit Jalang untuk diserahkan kepada si Wajah Ma-
laikat"!" tanya Wisnu Galang sambil menggulung cambuk menjadi tiga lingkaran dan
menyelipkan gagang-
nya ke pinggang kiri.
"Semula aku memang mencarinya, tapi bukan
untuk memburu hadiah dari si Wajah Malaikat!"
"Lalu, untuk apa kau mencarinya?"
"Kudengar dia mengidap penyakit berbahaya
yang bisa membusukkan darah lelaki jika lelaki itu
berhasil diajak kencan olehnya. Aku khawatir kalau
Soka Pura terjebak oleh kecantikan dan rayuannya.
Maka aku ingin sekali membunuh Perawan Bukit Ja-
lang itu agar tak mencelakai Soka Pura. Tapi... ketika aku bertemu dengan Soka
Pura yang benar-benar bersama Perawan Bukit Jalang itu, agaknya Soka memi-
hak gadis itu! Sebelum aku sempat membunuh Pera-
wan Bukit Jalang, tiba-tiba ia sudah disambar dan di-
bawa lari oleh seseorang setelah ditotok lebih dulu."
"O, jadi sekarang si Perawan Bukit Jalang su-
dah ditangkap oleh seseorang"! Hmmm... kalau boleh
ku tahu, siapa orang yang berhasil menangkap gadis
itu, Dewi Binal"!"
"Untuk apa kau tanyakan"!"
"Aku ingin merebutnya!"
"Hmm...!" Dewi Binal mencibir sinis. "Kau tak akan mampu melawan orang itu,
Wisnu Galang!"
"Siapa bilang aku tak mampu! Siapa pun
orangnya, aku harus tetap merebut Perawan Bukit Ja-
lang untuk kuserahkan kepada...," Wisnu Galang diam seketika, karena ia tak
ingin rahasia hubungannya
dengan Pijar Wuni diketahui oleh Dewi Binal. Hampir
saja ia keceplosan mengatakan hal itu, sehingga ia bu-ru-buru hentikan
ucapannya. Kejap berikut ia kembali
perdengarkan suara setelah menarik napas panjang.
"Katakan saja siapa orang yang membawa lari
Perawan Bukit Jalang itu, Dewi Binal!"
"Aku sudah tidak berurusan lagi dengannya.
Karena dengan tertangkapnya Perawan Bukit Jalang di
tangan orang tersebut, aku yakin ia akan diserahkan
kepada si Wajah Malaikat. Dan di tangan si Wajah Ma-
laikat, gadis itu pasti mati. Aku cukup lega jika gadis
itu telah mati, karena ia tidak akan mencelakai Soka
Pura. Kulihat, Soka belum tertular penyakitnya itu, karena keadaannya masih
sehat-sehat saja saat kami
bertemu!" "Soal kau masih ingin mengejar gadis itu atau
tidak lagi, tapi aku punya kepentingan sendiri dengannya. Tolong katakan, siapa
orang yang telah berhasil
menangkap si Perawan Bukit Jalang itu, Dewi Binal!"
tegas Wisnu Galang dengan sedikit merasa dongkol ka-
rena jawaban Dewi Binal tidak sesuai dengan perta-
nyaannya. Tapi kali ini Dewi Binal memberi jawaban yang
diinginkan Wisnu Galang. Dewi Binal bicara sedikit pelan, namun masih sempat
tertangkap oleh pendenga-
ran Soka Pura yang ada di atas pohon dengan dua pe-
dang terselip di pinggang kanan-kiri, satu miliknya, sa-tu lagi milik Anggani.
"Wisnu Galang, kurasa kau sangat kenal den-
gan orang yang menangkap Perawan Bukit Jalang itu,
tapi aku yakin kau tak akan mampu merebut dari tan-
gannya, kecuali dengan bujukan!"
"Sial!" geram Wisnu Galang. "Aku hanya minta kau menyebutkan siapa orang itu!
Bukan meminta saran mu!"
"Orang itu adalah si Hantu Muka Tembok, gu-
rumu sendiri!"
"Hahh..."!" Wisnu Galang terbelalak kaget, kedua matanya melotot bagai mau
loncat dari kedalaman
rongganya. Diam-diam si Pendekar Kembar bungsu juga
merasa terkejut mendengar nama Hantu Muka Tem-
bok di sebutkan oleh Dewi Binal. Namun ia masih bisa
menguasai ketenangannya. Bahkan ia manggut-
manggut sambil tersenyum lega, karena kini ia sudah
mengetahui siapa orang yang membawa lari Anggani.
"Wisnu Galang, aku tak punya banyak waktu
untuk bicara denganmu! Jika kau ingin merebut Pera-
wan Bukit Jalang, rebutlah dia dari tangan gurumu
sendiri! Aku akan segera pulang ke Bukit Gamping!"
Dewi Binal bergegas pergi, tapi sempat dicekal
pundaknya oleh Wisnu Galang.
"Ehh, hmmm... apakah kau tahu ke mana arah
kepergian guruku itu, Dewi"!"
"Kejarlah ke timur!" jawab Dewi Binal dengan singkat, lalu segera melesat pergi
tinggalkan Wisnu
Galang yang tertegun sejenak.
Sementara itu, Soka Pura mulai sunggingkan
senyum lega. Kini ia tahu ke mana arah yang harus di-
tuju. Tentunya si Wisnu Galang lebih tahu ke mana
arah gerakan gurunya, sehingga Soka Pura merasa le-
bih baik tetap menjadi penguntit Wisnu Galang.
"Hmm, tak kusangka ternyata si Hantu Muka
Tembok juga inginkan hadiah besar dari si Wajah Ma-
laikat"!" gumam Soka sambil bergegas mengikuti Wisnu Galang.
* * * 7 RUPANYA Wisnu Galang segera berlari ke arah
kediaman gurunya; di Bukit Garong. Wisnu Galang


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya keyakinan kuat, bahwa Perawan Bukit Jalang
belum dibawa ke Muara Bangke, karena hari sudah
menjelang sore dan sang Guru pasti akan mengutus
muridnya untuk serahkan gadis itu kepada si Wajah
Malaikat. "Guru pasti akan merasa malu jika ikut-ikutan
ingin meraih hadiah itu," pikir Wisnu Galang. "Setidaknya Guru pasti akan
mengutusku menyerahkan
Perawan Bukit Jalang dan mengambil hadiahnya dari
tangan si Wajah Malaikat! Tentu saja hadiah tersebut
harus segera kuserahkan kepada guru. Tapi, aah...
aku tak kekurangan akal."
Wisnu Galang tersenyum sendiri membayang-
kan rencananya.
"Jika gadis itu sudah diserahkan padaku, akan
ku sembunyikan di suatu tempat dan kuberi tahu ke-
pada Pijar Wuni bahwa aku telah berhasil menangkap
Perawan Bukit Jalang. Lalu, biar si Pijar Wuni yang
menyerahkan Perawan Bukit Jalang kepada si Wajah
Malaikat. Kalau Guru menanyakannya, kujawab saja
bahwa Perawan Bukit Jalang berhasil meloloskan diri
entah ke mana. Paling-paling aku dicaci maki oleh
Guru. Tapi aku mendapat dua keuntungan, uang dan
kemesraan. Heh, heh, heh, heh...."
Soka Pura tak tahu apa yang diucapkan hati
Wisnu Galang. Ia hanya mengikuti pemuda berpakaian
kain emas itu dengan hati-hati sekali. Setiap gerakannya selalu dijaga agar
tidak timbulkan suara sedikit
pun. Jaraknya juga diatur agar tak timbulkan kecuri-
gaan di hati Wisnu Galang. Soka Pura masih mampu
imbangi gerakan cepat Wisnu Galang, bahkan jika ia
mau, ia dapat mendahului kecepatan gerak si murid
Hantu Muka Tembok itu.
Tepat ketika mereka berada di kaki Bukit Ga-
rong, Wisnu Galang segera percepat pelariannya, kare-
na ia melihat sang Guru hendak mendaki bukit terse-
but. Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun dan bertubuh kurus itu tampak
memanggul seorang gadis
cantik berjubah coklat. Gadis itulah si Perawan Bukit Jalang yang masih dalam
keadaan kaku seperti patung
batu akibat tertotok jalan darahnya, hingga tak bisa
bergerak sedikit pun.
"Guruuu...!" panggil Wisnu Galang dengan seruan keras. Tokoh tua berjubah abu-
abu dengan wajah
lonjong berkepala gundul bagian tengah itu segera
hentikan langkah begitu mendengar seruan muridnya.
Wisnu Galang buru-buru hampiri sang Guru, tanpa
mengetahui bahwa seseorang sedang mengikutinya da-
ri kejauhan. Kakek beralis putih dengan ketinggian tubuh
yang termasuk jangkung itu segera pandangi kedatan-
gan muridnya. Ia meletakkan tubuh Anggani ke bawah
pohon. Gadis itu tetap kaku dan disandarkan seperti
sebatang gedebong pisang.
"Guru, kau telah mendapatkan si Perawan Bu-
kit Jalang, rupanya"! Wah, kebetulan sekali! Kita pasti akan kaya, Guru! Si
Wajah Malaikat menyediakan hadiah besar untuk orang yang menangkap gadis itu!"
"Hmm...! Lantas mengapa kau berseri-seri dan
cengar-cengir di depanku"!" ujar sang Guru dengan mata memandang tajam kepada
muridnya. "Aku bersedia membawa gadis itu ke Muara
Bangke sekarang juga, Guru! Kurasa sebelum petang
tiba, aku sudah bisa sampai ke Muara Bangke dan
menyerahkan gadis itu kepada si Wajah Malaikat!"
Sebelum si Hantu Muka Tembok yang kali ini
tidak membawa tongkatnya itu mengatakan sesuatu
kepada murid tunggalnya, tiba-tiba Soka Pura segera
muncul dari persembunyiannya. Ia melesat cepat dan
tahu-tahu sudah berada di antara Wisnu Galang dan
Hantu Muka Tembok. Wuuzz...! Jleeg...!
"Raka..."!" sentak Wisnu Galang dengan kaget.
"Aku Soka, bukan Raka!" tegas Soka Pura dengan senyum berkesan sinis. Wisnu
Galang segera ingat
penjelasan Dewi Binal tentang kebersamaan Soka den-
gan Perawan Bukit Jalang itu. Maka di hati Wisnu Ga-
lang segera timbul kecemasan terhadap kemunculan
Soka Pura. "Pasti ia akan merebut Perawan Bukit Jalang
itu." ujar Wisnu Galang dalam hatinya. Ia pun segera bergeser untuk lakukan
pencegahan jika sewaktu-waktu Soka Pura menyambar tubuh Anggani yang ber-
sandar di pohon dalam kemiringan mirip orang berdiri
santai itu. "Ki Gumarah," sapa Soka Pura kepada Hantu
Muka Tembok dengan memanggil nama asli Pak Tua
itu. "Dan kau juga, Wisnu Galang.... Kuharap kalian tidak menjadi tersinggung
kata-kataku. Kemunculan-ku di kaki bukit ini adalah untuk mengambil Anggani,
alias si Perawan Bukit Jalang itu!"
"Kurasa kau perlu beradu nyawa denganku,
Soka Pura!" ujar Wisnu Galang dengan nada ketus.
"Enak saja kau ingin merebut gadis itu dari tangan guruku! Kau sangka mudah
melakukannya selama Wis-
nu Galang, murid Eyang Guru Hantu Muka Tembok ini
masih bisa berdiri dengan kedua kakinya"!"
"Wisnu Galang, kau tidak tahu apa yang sebe-
narnya terjadi pada diri Perawan Bukit Jalang itu. Ma-ka, biarlah kubawa pergi
gadis itu, dan mohon izinmu
pula, Ki Gumarah!"
"Tidak bisa! Aku yang akan membawa Perawan
Bukit Jalang ke Muara Bangke!" sentak Wisnu Galang dengan lantang.
"Aku yang akan membawanya pergi agar tak
mengganggu kalian atau siapa pun!" tegas Soka Pura.
Hantu Muka Tembok segera berkata dengan
nada tegas. "Tidak seorang pun kuizinkan membawa pergi
gadis ini!"
"Guru, banyak orang mengetahui bahwa gadis
itu punya penyakit berbahaya dalam kencannya! Mo-
hon Guru lebih hati-hati agar tidak ketularan penyakit berbahaya itu, Guru!"
"Justru karena kudengar ia mempunyai penya-
kit 'Hantu Lanang', maka aku harus merawat dan me-
lindungi keselamatan jiwa murid sahabatku ini."
"Ja... jadi kau membawa lari gadis itu bukan
untuk menukarkannya dengan hadiah besar dari si
Wajah Malaikat, Guru"!"
"Mendiang Nyai Pundilamis adalah sahabatku!
Sekarang ia telah tiada, perguruannya telah dihancur-
kan Si Wajah Malaikat. Mau tak mau aku harus turun
tangan untuk selamatkan gadis ini! Tak kuizinkan si
Wajah Malaikat menyentuh sehelai rambutnya pun!
Apalagi kalian berdua hanya akan merusak suasana
saja!" "Tapi... tapi dia bukan gadis yang berpenyakit berbahaya, Ki Gumarah! Aku
dan dia punya kepentingan tersendiri yang menyangkut hidup dan matinya
ibuku; Nyi Padmi, di puncak Gunung Merana itu," tutur Soka Pura sambil melangkah
lebih dekat lagi. Han-
tu Muka Tembok segera bergeser lebih mendekati so-
sok tubuh si Perawan Bukit Jalang.
Hantu Muka Tembok memandang kedua wajah
anak muda itu secara bergantian. Langkah Wisnu Ga-
lang yang mendekati Anggani disusul oleh gurunya
yang merasa cemas akan tindakan muridnya.
"Ki Gumarah, kuharap lepaskan totokan Ang-
gani, biar ia bicara sendiri padamu!" ujar Soka Pura sambil bergeser sedikit
demi sedikit ke arah gadis yang mirip patung batu itu.
"Guru, sebaiknya segera saja gadis ini kubawa
ke Muara Bangke sebelum Pendekar Kembar itu men-
gacaukan rencana kita!" desak Wisnu Galang sambil ia bergegas untuk memanggul
Perawan Bukit Jalang.
Sang Guru segera berseru dengan suara menyentak.
"Jangan sentuh gadis itu, Wisnu!"
Sentakan sang Guru membuat Wisnu Galang
terkejut dan tak berani lanjutkan tindakannya. Ia me-
mandang Hantu Muka Tembok dengan wajah mem-
bendung rasa kesal.
"Apakah Guru akan serahkan gadis ini kepada
Soka Pura"! Apakah Guru lebih percaya kepada Soka
daripada terhadap diriku" Aku muridmu sendiri,
Guru!" Wisnu Galang menepuk dadanya.
Soka Pura segera menyahut, "Gadis itu me-
mang dalam bahaya, Ki Gumarah! Dia dikejar-kejar
oleh si Wajah Malaikat, karena hanya dialah satu-
satunya murid Nyai Pundilamis yang masih hidup. Aku
berusaha ingin selamatkan dia dari ancaman maut si
Wajah Malaikat!"
"Omong kosong dia, Guru!" sahut Wisnu Ga-
lang. "Dia ingin memanfaatkan Perawan Bukit Jalang untuk perkaya diri sendiri,
Guru! Jangan mudah percaya dengan omongannya!"
Agaknya Wisnu Galang mulai tak sabar dan
memendam kejengkelan kepada Soka Pura. Ia sangat
khawatir jika gurunya terpengaruh omongan Soka, se-
hingga akhirnya ia berkata kasar kepada Soka Pura.
"Soka, kalau kau tetap nekat ingin memiliki ga-
dis ini, kau akan kubuat seperti babi panggang di de-
pan guruku. Sekarang juga!"
"Wisnu!" hardik sang Guru. "Tak tahukah kau bicara kepada siapa, hah?"
"Aku tidak tahu jika terpaksa harus beradu
nyawa untuk pertahankan Perawan Bukit Jalang ini,
Guru!" "Aku tidak setuju dengan caramu!" tegas Hantu Muka Tembok.
"Ki Gumarah," sela Soka Pura. "Sejujurnya ku-katakan padamu, Wisnu Galang ingin
sekali dapatkan
Perawan Bukit Jalang bukan untuk diserahkan kepada
si Wajah Malaikat. Dia tampak ngotot sekali ingin
membawa Anggani, karena gadis itu akan diserahkan
kepada Pijar Wuni! Ia akan mendapatkan kehangatan
dan kemesraan dari Pijar Wuni yang baru saja tadi di-
rasakan kehebatan goyang pinggulnya si janda montok
itu!" "Bangsat! Jaga mulutmu kalau tak ingin kuro-bek dengan cambuk ku, Soka!"
Sreet...! Wisnu Galang mencabut cambuknya.
Ia tampak kaget dan menjadi berang sekali, karena tak menyangka Soka mengetahui
rencana dalam hatinya
itu. Ia sangat takut jika gurunya mempercayai kata-
kata Soka Pura. Lebih-lebih sang Guru segera mena-
nyakan kebenaran ucapan Pendekar Kembar bungsu
itu. "Benarkah apa yang dikatakannya, Wisnu"!"
"Tidak, Guru! Soka hanya menyebar fitnah di
depanmu, Guru!"
"Tapi mengapa dia tahu bahwa kau sedang
mengincar Pijar Wuni, seperti yang kau katakan pada-
ku beberapa hari yang lalu, Wisnu"!"
"Hmm, eeh... itu hanya kebetulan saja, Guru!"
"Ya, memang hanya kebetulan saja," sahut So-ka Pura. "Maksudku, kebetulan saja
aku mendengar suara cekikikan di balik semak ilalang, dan ketika ku intip
ternyata kau sedang bercinta dengan Pijar Wuni!"
"Jahanam kau!"
"Wisnu, jangaaan...!!" teriak Hantu Muka Tembok. Lalu ia menyambar muridnya.
Wuuus...! Tapi sang murid menghindari sambaran itu sambil mele-
cutkan cambuk ke arah Soka Pura.
Wuuut, ctaarrr...!
Soka Pura melompat ke kiri lebih dulu sebelum
cambuk Wisnu Galang berkelebat bagai ingin membe-
lah kepalanya dari atas.
Lompatan Soka Pura itu disusul dengan senta-
kan kedua tangan yang menggenggam. Sentakan itu
menimbulkan tenaga dalam yang keluar dari kedua
genggaman tersebut. Tenaga dalam tanpa sinar akhir-
nya menerjang dada Wisnu Galang.
Buuhk...! "Hehhg...!!" Wisnu Galang terlempar ke belakang bagai diseruduk banteng. Ia
jatuh terkapar den-
gan napas tercengap-cengap. Jurus 'Tangan Batu' dari
Soka Pura yang biasa dipakai untuk menumbangkan
pohon besar, kali ini melanda nasib Wisnu Galang.
Wajah murid Hantu Muka Tembok itu menjadi merah
dan dadanya membekas biru memar.
Hantu Muka Tembok tak sempat menghadang
datangnya tenaga dalam dari Soka, akhirnya ia hanya
bisa terbengong melihat muridnya tumbang dengan
napas tersentak-sentak.
"Cukup, Soka!" bentak Ki Gumarah alias si
Hantu Muka Tembok.
"Muridmu perlu diberi pelajaran, Ki Gumarah."
"Aku masih jadi gurunya, jadi aku masih ber-
hak memberi pelajaran apa saja kepadanya, termasuk
pelajaran menggambar, menulis, dan menampar kebo-
dohannya! Kalau kau masih menyerangnya, aku tak
segan-segan menghajarmu juga, Soka!"
Mengingat antara Hantu Muka Tembok dan
Pawang Badai pernah menjalin suatu persahabatan
yang baik, Soka merasa tidak sedang ditantang, me-
lainkan sedang diperingati oleh orang tua yang dihor-
mati. Soka Pura pun tak berani lepaskan serangan lagi ke Wisnu Galang. Ia justru
mendekati pemuda berpakaian kuning emas itu.
"Biar kusembuhkan dia, Ki!" ujarnya sambil
melintas di depan Hantu Muka Tembok.
Hantu Muka Tembok sendiri segera melepaskan
totokan Anggani, karena setelah dipertimbangkan ter-
nyata ia memang butuh keterangan saat itu juga dari
mulut si Perawan Bukit Jalang. Setidaknya ia butuh
keterangan yang mendukung kata-kata Soka Pura tadi.
Namun pada saat itu, sekelebat bayangan da-
tang menerjang Hantu Muka Tembok dengan kecepa-
tan tinggi. Wuuus...! Dees...!
Hantu Muka Tembok kaget, tak sempat meng-
hindar karena cepatnya gerakan bayangan tersebut.
Namun tangannya sudah berhasil menotokkan dua jari
ke leher Anggani, membuat Anggani pun segera bebas
dari totokannya.
Brruuk...! Anggani jatuh begitu bebas dari toto-
kan. Namun ia segera bangkit dan memandang Hantu


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Muka Tembok yang terbanting di semak-semak sebe-
rangnya. Bruuusk...! Soka Pura yang baru saja akan mengobati Wis-
nu Galang menjadi tersentak kaget dan ia tak jadi
jongkok, melainkan segera berdiri tegak kembali. Ma-
tanya memandang liar ke arah bayangan yang berkele-
bat menerjang Hantu Muka Tembok itu.
Bayangan itu segera menyambar Perawan Bukit
Jalang. Wuut...! Tetapi Soka Pura segera gunakan ju-
rus 'Jalur Badai'-nya yang lebih cepat dari gerakan
bayangan tadi. Wuuuzzz...!
Slaap...! Tangan Anggani disambar oleh Soka
Pura, dan gadis itu terlepas dari genggaman orang
yang tadi menerjang Hantu Muka Tembok itu. Tahu-
tahu Soka Pura sudah memeluk Anggani di kejauhan
sana. "Auh, lepaskan aku!" Anggani meronta. Namun ketika ia sadar yang
memeluknya Soka, gerakan me-rontanya menjadi dikurangi.
"Soka..."! Oh.... Paman Hantu Muka Tembok
terjerembab di sana dan, ooh... itu dia! Dia sudah berdiri!" Anggani berseru,
"Paman...! Paman Gumarah..."!"
"Anggani, perhatikan orang berjubah hitam
yang tadi hampir menyambar mu itu!"
"Ooh, dia... dia si Wajah Malaikat"!" gumam Anggani dengan tegang ketika matanya
menatap ke arah lelaki tua berambut putih namun berjubah hitam.
Badannya kurus, tapi kukunya tajam. Matanya cekung
dan bibirnya pecah-pecah.
Wajah angker yang tadi sempat tersentak ke be-
lakang pohon akibat sambaran tangan Soka segera
tampakkan diri lebih jelas lagi.
Rupanya selain menyebarkan sayembara untuk
menangkap Perawan Bukit Jalang, si Wajah Malaikat
juga berkeliaran sendiri mencari Anggani. Dendam
atas kematian adiknya membuat Wajah Malaikat be-
lum puas jika murid mendiang Nyai Pundilamis masih
ada yang tersisa. Ia harus membunuhnya hingga tak
ada lagi keturunan dan murid dari Nyai Pundilamis
yang hidup di permukaan bumi ini.
"Biar kuhadapi dia, Anggani. Berlindunglah di
tempat yang aman!" bisik Soka Pura.
Pada saat itu, Hantu Muka Tembok berseru ke-
pada si jubah hitam yang memandang ke arah Soka
Pura dengan tajam itu.
"Wajah Malaikat! Hadapilah aku! Mereka masih
anak-anak. Kita sama-sama sudah bau tanah! Mari ki-
ta tentukan siapa yang lebih dulu masuk ke liang ku-
bur, daripada kau memburu si Perawan Bukit Jalang
itu!" Si Wajah Malaikat berpaling menatap Hantu Muka Tembok. Pandangan matanya
sangat menye-ramkan, seperti mata malaikat yang siap mencabut
nyawa siapa pun yang menjadi penentangnya. Tapi
Hantu Muka Tembok yang nafasnya sempat ngos-
ngosan akibat terjangan tadi tak merasa takut sedikit pun. Ia justru melangkah
lebih dekat, ke tempat yang
datar. "Hantu Muka Tembok, selama ini tak seorang pun berani halangi niatku.
Mengapa kau bermaksud
menghalangiku membunuh Perawan Bukit Jalang itu"
Apakah kau sudah bosan hidup dalam ketuaan, hah"!"
geram si Wajah Malaikat dengan suaranya yang serak.
"Pundilamis adalah sahabatku. Aku berhak
membela dan menyelamatkan seorang muridnya yang
bukan tandinganmu, Wajah Malaikat!"
"Kalau begitu, kukirim kau ke neraka sekarang
juga, Tua Sekarat!"
Wuuut...! si Wajah Malaikat menggerakkan
tangannya bagai merobek udara. Bertepatan dengan
gerakan begitu, dari kuku-kuku jarinya keluar sinar
kecil-kecil warna hijau yang menyergap Hantu Muka
Tembok. Craaappp...!
Hantu Muka Tembok segera sentakkan kedua
tangannya dengan kedua kaki merenggang dan meren-
dah. Wuuut...! Dari kedua telapak tangannya keluar
asap hitam yang menggumpal di udara depannya.
Gumpalan asap tersebut menahan gerakan sinar hijau,
memercikkan bunga-bunga api sesaat, kemudian me-
ledak dengan gelombang daya sentak menyebar kuat
ke berbagai arah.
Blegaaarrr...! Hantu Muka Tembok terlempar dan jatuh ba-
gaikan dibanting dalam jarak lima langkah dari tem-
patnya semula. Soka Pura dan Anggani pun ikut terpe-
lanting karena sentakan daya ledak yang menyebar ta-
di. Mereka terhuyung-huyung ke belakang dan saling
berpegangan hingga keduanya tak sampai jatuh. Se-
mentara itu, si Wajah Malaikat tetap berdiri tegak dan
kokoh, seakan tak goyah sedikit pun oleh gelombang
ledakan tersebut.
Clap, clap...! Tiba-tiba dari mata cekung si Wa-
jah Malaikat keluar dua larik sinar merah sebesar lidi.
Sinar itu mengarah ke tubuh Hantu Muka Tembok
yang sedang hendak berdiri.
"Celaka!" pekik Soka dengan suara tertekan. Ia menjadi tegang sekali melihat dua
sinar meluncur ke
tubuh Hantu Muka Tembok, sebab saat itu Hantu Mu-
ka Tembok belum siap menghadapi serangan lawan.
Posisi Soka dan Anggani yang ada di samping
membuat Soka punya kesempatan untuk menghantam
dua sinar merah itu sebelum kenai tubuh Hantu Muka
Tembok. Hanya saja, agaknya Soka terlambat men-
gambil keputusan. Karena sebelum ia bergerak, lebih
dulu Anggani sentakkan kedua tangannya ke depan.
Masing-masing tangannya mempunyai dua jari yang
mengeras. Dan dari masing-masing dua jari itu melesat sinar biru yang bergerak
cepat dan keduanya berhasil
menghantam sinar merah dari mata si Wajah Malaikat.
Clap, clap...! Jegaaar, jegaaar...!
Hantu Muka Tembok terlempar ke belakang
dan jatuh terbanting lagi. Gelombang ledakan itu me-
nyebarkan tenaga kuat hingga pohon pun sempat re-
tak dan nyaris tumbang.
Melihat sinar merahnya dipatahkan oleh sinar
biru dari arah samping, si Wajah Malaikat segera ber-
paling ke samping dengan gerakan kepala cepat.
Seet...! Kedua matanya tertuju kepada Anggani.
Soka Pura menarik pundak Anggani sambil me-
langkah maju. Kini pemuda itu ada di depan Anggani,
menghadap ke arah si Wajah Malaikat.
"Anak muda, ku ingatkan padamu, jika kau tak
mau menyingkir maka kau akan menemui ajalmu se-
karang juga!"
"Perawan Bukit Jalang bukan tandinganmu,
Wajah Malaikat! Akulah tandinganmu!" tegas Soka Pu-ra.
"Menyingkir saja, Soka!" seru sebuah suara dari arah pohon samping. "Percuma kau
lindungi gadis yang mempunyai penyakit berbahaya itu!"
Mata Soka Pura dan mata si Wajah Malaikat
memandang ke arah si pemilik suara, demikian pula
Anggani. Hati Soka tersentak kaget, karena si pemilik suara itu ternyata adalah
kakak kembarnya sendiri,
Raka Pura. Agaknya ia baru saja datang di tempat itu
karena mendengar suara ledakan tadi. Ia datang ber-
sama si Bujang Bodo. Namun mereka tak segera ber-
gabung kepada Soka. Raka hanya diam di kejauhan,
bersandar pada pohon dengan santai.
"Raka...! Apa maksudmu berkata begitu"!"
Raka berseru dari tempatnya, "Perawan Bukit
Jalang adalah penyebar penyakit 'Hantu Lanang'. Jika
kau bersentuhan dengannya, kau akan mati membu-
suk!" "Siapa bilang"!"
"Brandal Komeng, utusan dari Muara Bangke,
mengatakan demikian di depan orang-orang sambil
menawarkan hadiah sekantong uang bagi orang yang
bisa menangkap Perawan Bukit Jalang!"
"Bohong! Itu tidak benar!" teriak Anggani. "Kurasa itu ulah si wajah babi itu
agar setiap orang memburu ku!" sambil Anggani menuding si Wajah Malaikat.
Yang dituding tampak semakin berang, namun tak di-
tonjolkan keberangannya.
"Wajah Malaikat, benarkah Anggani punya pe-
nyakit seperti yang kau sebarluaskan itu"!" tanya Soka Pura. "Lebih parah dari
yang kau dengar! Untuk itu pergilah dan jangan halangi aku! Akan kulenyapkan
sumber penyakit itu!"
"Soka, jangan percaya dengan kata-katanya!
Aku tak punya penyakit apa pun!" ujar Anggani dengan napas terengah-engah. "Jika
kau sangsi dengan pengakuanku dan lebih percaya padanya, biarlah kuhadapi
sendiri si wajah babi itu!" sambil Anggani bergegas maju. Namun tangan Soka Pura
merentang, menghalangi langkah Anggani.
"Akan kubereskan masalah ini, Anggani! Berga-
bunglah dengan kakakku di sana!" bisik Soka dengan mata tetap memandang ke arah
si Wajah Malaikat.
"Soka...!" seru Pendekar Kembar sulung. "Tinggalkan saja gadis itu! Buat apa
cari penyakit"! Kalau mau cari penyakit yang ringan-ringan saja, contohnya;
panu, kadas, cacingan, dan yang lainnya!"
"Jangan menyindir ku, Raka!" sentak Bujang Bodo. "Punggungku memang berpanu,
tapi tidak banyak!" Soka Pura tak hiraukan seruan Raka dan Bujang Bodo. Matanya
tetap tertuju pada si Wajah Malai-
kat. Sekalipun Hantu Muka Tembok telah bangkit
kembali dan terhuyung-huyung mendekati pohon, tapi
Soka Pura tetap memancing perhatian si Wajah Malai-
kat agar tertuju ke arahnya.
"Wajah Malaikat, kuharap kau membuang den-
dam mu kepada murid mendiang Nyai Pundilamis ini!
Jika kau masih nekat ingin menghabisi nyawa Angga-
ni, aku akan merampungkan masa hidupmu sampai di
sini saja!" seru Soka Pura yang hanya ditertawakan oleh Raka sambil geleng-
geleng kepala. Tanpa banyak bicara, si Wajah Malaikat segera
melesat dengan cepat menerjang Soka Pura. Wuuus...!
Anggani melompat ke samping, sementara Soka men-
coba menahan terjangan lawan dengan menghadang-
kan kedua lengannya ke depan. Brruus...!
Rupanya terjangan itu melebihi terjangan see-
kor banteng. Tenaga Soka tak mampu menahan gera-
kan tubuh si Wajah Malaikat yang melayang cepat itu.
Ia terpental dan jatuh terbanting dalam jarak lima
langkah ke belakang.
Sebelum ia sempat bangkit, Wajah Malaikat se-
gera bertindak melepaskan tendangannya ke arah wa-
jah Soka Pura. Plok...!
"Aaow...!" Soka memekik, karena tangan yang di pakai menangkis tendangan itu
tersentak ke belakang dan kenai wajahnya sendiri dengan keras. Ia ber-
jungkir balik di tanah beberapa kali.
Seet...! Kedua lutut Soka yang bersimpuh itu
menghentak dan membuat tubuhnya segera melesat
naik pada saat si Wajah Malaikat lepaskan pukulan
bersinar hijau lurus ke arahnya. Sinar hijau itu akhirnya kenai tanah dan tanah
pun menjadi berhamburan
ke mana-mana. Blaaarr...! Wuuurss...!
Soka Pura tak hiraukan tanah yang menjadi
berlubang besar itu. Ia segera menjejak pohon yang
ada dalam jangkauan kakinya. Deeess...! Wuuut...! Tu-
buhnya melayang ke arah lain dengan gerakan bersal-
to. Wuk, wuk...!
Jleeg...! Ia daratkan kakinya membelakangi si
Wajah Malaikat dalam jarak dekat. Tapi Wajah Malai-
kat mengetahui keberadaannya. Ia segera kirimkan
tendangan ke belakang dan punggung Soka yang be-
lum tegak sekali dalam berdirinya itu sudah menjadi
sasaran kaki lawannya dengan telak. Buuhk ..!
"Uuhk...!" Soka Pura terlempar ke depan dan berguling-guling kembali di tanah.
Melihat adiknya dihajar oleh si Wajah Malaikat,
Raka Pura geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Payah kau Soka," gumamnya lirih, kemudian
ia melangkah bagaikan berjalan santai mendekati arah
pertarungan. Plak, plak, plak...!
Soka Pura adu kecepatan pukulan dengan si
Wajah Malaikat. Setiap benturan tulang lengan dengan
tulang lengan mengeluarkan asap putih dan percikan
bunga api, bagaikan baja beradu dengan baja.
Namun dalam satu kesempatan, tangan si Wa-
jah Malaikat punya kesempatan bagus untuk menyo-
dokkan telapak tangannya ke wajah Soka Pura.
Ploook...! "Auuut...!" Soka Pura tersentak ke belakang dan terhuyung-huyung sambil menutupi
wajahnya yang bagai ditabok dengan lempengan baja. Bibir Soka
pun pecah dan berdarah.
Wajah Malaikat merentangkan kedua tangan-
nya. Telapak tangannya mulai berasap kuning. Tapi
pada saat itu, Raka Pura datang dengan gerakan ber-
plik-plak cepat, jungkir balik menggunakan kedua tan-
gannya. Plak, plak, plak, plak, jleeg...! Ia tiba dl belakang Wajah Malaikat.
Saat itu, si jubah hitam segera berpaling ke be-
lakang dan ingin hantamkan tapak tangan kanannya.
Tapi Raka Pura mendahului dengan tendangan kaki
lurus ke depan. Wuuut...! Dees...!
"Uuhk...!" Wajah Malaikat mendelik seketika, karena ulu hatinya terkena telak
tendangan Raka Pura
yang bertenaga dalam cukup besar itu.
Dengan cepat Raka memutar tubuh dan me-
layangkan tendangannya lagi secara beruntun. Plok,
plok, plok, plok! Wajah si jubah hitam menjadi sasaran tendangan beruntun itu.
Buuhk...! Tendangan terakhir kenai dada si
Wajah Malaikat yang masih menggeragap itu. Tendan-
gan tersebut membuat tubuh si Wajah Malaikat ter-
lempar ke belakang dan jatuh terduduk dalam jarak
enam langkah dari tempatnya semula. Brruuk...!
"Bangsaatt...!" geram si Wajah Malaikat sambil cepat-cepat bangkit. Kemudian ia
melepaskan pukulan
bersinar kuning emas. Claaap...! Wees...!


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Awas! Pukulan "Sengat Peri'...!!" teriak Anggani dari samping Hantu Muka
Tembok. Sinar kuning yang meluncur ke arah Raka Pura
itu mempunyai gerakan sangat cepat. Tapi pada saat
itu, Soka yang sudah mencabut pedang kristalnya se-
jak tadi segera melemparkan pedang itu ke arah depan
perut kakaknya. Wees...!
"Heahh...!" tangannya mengeras dengan jari
terbuka seperti pada waktu melempar. Pedang itu ber-
henti di udara, depan perut Raka. Tepat pada saat itu sinar kuning emas itu
hendak menghantam perut Ra-ka, tapi terhalang pedang. Akibatnya sinar kuning
emas itu kenai pedang kristal dan cahayanya meman-
tul balik ke arah si Wajah Malaikat. Claaap...!
"Hahh..."!" Wajah Malaikat mendelik. Ia ingin melompat tapi terlambat. Pinggang
kirinya terkena sinar kuning yang memantul balik itu. Jeebs...!
"Aaaahhk...!" teriaknya dengan tubuh menge-
jang. Padahal saat itu Raka Pura sudah siapkan pu-
kulan jurus 'Mata Bumi'. Tangannya sudah telanjur
mengeras, dan akhirnya pukulan itu dilepaskan juga
ketika si Wajah Malaikat mengejang di tempat.
Claap...! Sinar merah seperti piring bergerigi itu akhirnya menghantam leher
kiri si Wajah Malaikat.
Blaaarrr...! Tak pelak lagi, leher itu pun hancur dihantam
sinar merah dari pukulan 'Mata Bumi'-nya Raka Pura.
Saat itu, Soka sentakkan tangannya yang mengeras
tadi ke belakang. Suuut...! Dan pedangnya yang tadi
berhenti di depan perut Raka itu melesat mundur dan
tertangkap oleh tangannya kembali. Teeb...!
Raka Pura menghempaskan napas panjang,
memandang kesal kepada Soka. Sementara Soka me-
natap ke arah si Wajah Malaikat yang sudah tak punya
wajah lagi karena hancur terkena pukulan 'Mata Bumi'
tadi. "Lain kali jangan bikin repot aku!" kata Raka.
"Kalau mau unjuk kebolehan di depan gadis, jangan melibatkan diriku!"
"Aku tidak menyuruhmu membantuku!" bantah
Soka sambil bersungut-sungut.
"Memang tak menyuruh! Tapi kau tak boleh
sampai dihajar sedemikian rupa. Itu sama saja kau
menyuruh ku turun tangan!" omel Raka Pura sambil memandang ke arah Wisnu Galang
yang masih terkapar namun tak mati itu.
"Kenapa dia"!" tanyanya kepada Soka.
"Biasa. Manja!" jawab Soka Pura, yang segera menyambut kedatangan Anggani.
"Syukurlah kau selamat, Soka," ujar Anggani sambil memeluk Soka membuat Raka
mencibir sinis.
Soka yang mulutnya masih berdarah itu hanya terse-
nyum, namun segera terpekik karena senyumannya
membuat bibir yang pecah semakin perih. Raka dan
Bujang Bodo menertawakannya, demikian pula Angga-
ni. Sedangkan Hantu Muka Tembok sibuk mengobati
muridnya yang tadi terkena pukulan jarak jauhnya
Soka itu. Anggani menjelaskan perkara sebenarnya di
depan Raka dan Hantu Muka Tembok, sementara Wis-
nu Galang sudah mulai siuman setelah ditangani Soka
Pura. Pendekar Kembar sulung kaget mendengar Ibu
angkatnya terluka oleh pukulan bersinar kuning emas
seperti tadi. Anggani pun jelaskan amanat dari Pawang Badal yang dititipkan
padanya. "Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat ke
petilasan Taman Astamarta itu!" ujar Raka dengan wajah tegang.
"Hari sudah hampir petang," ujar Hantu Muka Tembok. "Bermalamlah dulu ke
pondokku. Esok kalian bisa menuju ke sana. Akan ku jelaskan jalan menuju
ke petilasan Taman Astamarta itu!"
Maka tak ada pilihan yang lebih tepat lagi bagi
Pendekar Kembar kecuali menuruti saran Hantu Muka
Tembok. SELESAI Segera terbit: KORBAN KITAB LELUHUR
E-Book by Abu Keisel - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Mutiara Hitam 16 Sepasang Pedang Pusaka Matahari Dan Rembulan Karya Aminus, B_man, Kucink Hong Lui Bun 11
^