Pencarian

Majikan Gagak Hitam 1

Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
MAJIKAN GAGAK HITAM
Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin
tertulis dari penerbit
D.Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Majikan Gagak Hitam
1 Laki-laki itu masih belum menya-
dari apa sesungguhnya yang sedang terjadi di tempat itu, ketika jaring la-ba-
laba yang terbuat dari sulur jabi-jabi itu secara tiba-tiba menggulung dirinya.
Cepat-cepat dia mencabut pedang yang terselip di pinggang. Dia membabat kian ke
mari. Ya, ampun jala yang terbuat dari sulur jabi-jabi itu alotnya bukan main.
Dalam hati laki-laki itu mengeluh, secara tiba-tiba dia terkenang nasib para
pendahulunya. Mengerikan! Dengan dibarengi suara cekikikan
membahana, ujung-ujung tali jala itu semakin lama semakin menyusut, hingga
akhirnya membuat tubuh laki-laki ini terdiam tiada daya.
Hanya beberapa saat setelah ke-
jadian itu bermunculan pula beberapa sosok tubuh dan berbagai penjuru. La-ki-
laki itu sempat menghitung, jumlah mereka tak kurang dari enam orang.
Ironisnya lagi mereka itu, keseluruhannya terdiri dari kaum perempuan yang
berusia masih sangat muda belia.
Tanpa banyak bicara, mereka
langsung menggotong tubuh laki-laki itu. Layaknya bagai membawa hasil buruan
saja. Diperlakukan sedemikian ru-pa, orang itu mencaci habis-habisan.
Tiada sepatah kata pun jawaban yang
dia terima, dalam keadaan seperti itu mendadak dia memperhatikan orang-orang
yang telah meringkusnya. Orang ini pun terpana, kedua bola matanya terbelalak
memandang tiada berkedip. Dia benar-benar merasa sangat keheranan. Bayangkan!
Enam orang perempuan yang telah menyergapnya. Rata-rata memiliki wajah yang
sangat cantik, berkulit halus mulus dan yang lebih celaka lagi pakaian yang
membalut tubuh perempuan-perempuan ini hampir keseluruhannya sangat minim. Dalam
hati laki-laki ini berkata: "Kalau keadaan yang sesungguhnya saja sudah begini
rupa. Pantas saja kalau para pendahulunya sering terjebak, terkecoh bahkan
akhirnya tak pernah ada yang kembali."
Tiba-tiba saja dia teringat pada
dirinya sendiri, mampukah dia menghadapi situasi seperti itu. "Oh!" Laki-laki
itu mengeluh baginya berhadapan dengan lawan tangguh masih jauh lebih beruntung
daripada harus berhadapan dengan perempuan-perempuan secantik mereka-mereka itu.
Ini adalah salah satu sisi dari kelemahan yang tak pernah terkikis habis dari
dalam jiwanya. Sebagai seorang utusan, dia tak ingin tugas yang telah dipercayakan padanya
sampai mengalami kegagalan. Terlebih-lebih tugas itu telah diberikan oleh orang
yang paling sangat dihormatinya.
Yaitu gurunya sendiri Mambang Pitutur,
bahkan dia merasa lebih baik mati saja daripada harus gagal dalam usahanya
mencari Ratih Purwaningsih murid kedua dari perguruan Pulau Bayangan yang telah
melarikan Kitab Pusaka Jurus
Bayangan yang baru saja diciptakan oleh Mambang Pitutur.
Ratih Purwaningsih murid palsu
yang ternyata anak musuh gurunya itu harus diseret dari tempat kediaman orang
tuanya, yang merupakan Majikan Gagak Hitam. Dia harus diadili sesuai dengan
kesalahannya. Itulah tekad dan pesan gurunya. Sebagai murid tertua dia telah
berjanji untuk memenuhi ama-nat gurunya tersebut. Akan tetapi dia tidak pernah
menyangka kalau yang bakal dihadapinya adalah para kaum wanita. Sebagai laki-
laki berhadapan dengan kaum yang satu ini dia selalu lemah dan kalah! Dan inilah
penyakit yang paling buruk dalam hidupnya. Dia menyesali keadaan ini, begitu pun
dia tetap bertekad untuk memenuhi pesan-pesan gurunya.
Sementara itu, melalui jalan se-
tapak perempuan-perempuan cantik itu terus menggotong tubuhnya yang terbungkus
jala tadi. Sesungguhnya jalan itu nampak sangat licin sekali, karena selain
berlumut tanah di sekitarnya, baru saja terguyur hujan lebat. Jangankan dengan
membawa beban, berjalan tanpa beban pun rasanya sangat sukar
untuk dilakukan oleh orang kebanyakan.
Tapi karena perempuan-perempuan ini memang sudah terlatih dengan keadaan seperti
itu, bahkan memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi. Maka keadaan seperti
itu bukanlah merupakan rintangan yang berarti bagi mereka-mereka ini. Dengan
sangat mudah mereka lalui jalan licin yang penuh dengan segala macam jebakan
itu. Tubuh laki-laki yang bernama Eka Dawana nampak bergoyang-goyang, ketika
beberapa saat kemudian perempuan-perempuan cantik itu mulai berlari-lari kecil
di atas tanjakan-tanjakan yang sangat terjal dan licin. Mau tak mau Eka Dawana
me-mejamkan mata, begitu dalam pandangannya terlihat jurang menganga di kanan
kiri jalan yang di lalui oleh perempuan-perempuan itu. Dia sadar meskipun dia
memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tapi dalam keadaan terbungkus seperti
itu, mana mungkin dia bisa berbuat banyak andai orang-orang yang membawanya ini
sampai terjatuh atau secara sengaja melemparkan tubuhnya ke dalam jurang itu.
Demikianlah seiring dengan ber-
gulirnya sang waktu, setengah jam kemudian sampailah mereka ini di sebuah rumah
yang demikian besar. Rumah itu berhalaman luas dan nampak sangat terjaga akan
kebersihannya. Ada beberapa hal pada bagian sudut-sudut rumah itu
terasa menimbulkan kesan aneh bahkan boleh dibilang sangat menyeramkan.
Tidak seperti lazimnya rumah tinggal biasa! Rumah itu beratap bulu burung gagak sedangkan di depan pintu
utama terdapat untaian kepala burung gagak hitam yang dipajang sedemikian rupa,
demikian juga ruang dalam, samping kanan kiri, juga belakang. Dapat dibayangkan
berapa ratus burung gagak menjadi tumbal pada saat mendirikan rumah itu.
Perempuan-perempuan cantik itu
meletakkan tubuh Eka Dawana yang tiada berdaya di halaman depan. Kemudian
beberapa orang di antara mereka nampak meninggalkan halaman luas itu. Sesaat
kemudian orang-orang ini pun lenyap di balik sebuah pintu besar yang berwarna
hitam legam. Laki-laki dari Sala Nama itu agaknya sudah tak sabar menunggu apa
yang akan terjadi selanjutnya. La-lu dia mengitarkan pandangan matanya pada
keadaan di sekelilingnya. Letak rumah itu diapit oleh dua bukit terjal berbatu
gamping. Di sisi kanan mengalir anak sungai yang sangat jernih airnya. Pada
bagian depan dan belakang tampak berdiri tegak kedua bukit tadi.
Sedangkan pada sisi kiri rumah itu merupakan jalan satu-satunya menuju rimba
belantara dan dunia luar. Jalan inilah yang dilewati oleh orang-orang yang
meringkus Eka Dawana. Laki-laki
itu mulai berfikir, andai pun Ratih Purwaningsih berada di rumah itu. Mi-salnya
saja kitab pusaka Jurus Bayangan dapat dia rebut kembali! Laki-laki itu pun
masih merasa ragu, apakah dia dapat keluar dari tempat itu dengan selamat.
Sungguh begitu cerdiknya Majikan Gagak Hitam dalam memilih tempat tinggal
sekaligus merupakan benteng pertahanan buat menjebak setiap musuh-musuhnya. Pada
saat dia sedang berfikir-fikir tentang segala kemungkinan yang terjadi. Tiba-
tiba terdengar suara riuh di angkasa lepas.
"Kaakk! Kreak.... Kreak....
Kakkk...!" Eka Dawana yang masih dalam keadaan terbelenggu itu menengadahkan
wajahnya ke atas. Terkejut laki-laki itu bukan alang kepalang. Apa yang
dilihatnya tak lain adalah kawanan burung gagak yang jumlahnya mencapai ratusan
ekor. Nampak terbang begitu in-dahnya. Burung-burung itu menyambar-nyambar ke
arah Eka Dawana, seolah sedang bersuka ria meluapkan kegembi-raannya.
Belum lagi hilang perasaan kaget
di hati laki-laki ini, kembali dia dibuat terbelalak tak percaya. Secara tiba-
tiba berhembuslah angin kencang yang sangat dahsyatnya. Dari kejauhan terdengar
lamat-lamat suara ini.
"Cring! Cring! Dur... dur...!"
Semakin lama suara riuh rebana
itu semakin bertambah jelas dan dekat.
Orang-orang di dalam rumah, yang hampir keseluruhannya terdiri dari kaum wanita
pada berhamburan ke luar. Se-sampainya di halaman perempuan-
perempuan yang masih belia ini pun menghaturkan sembah ke arah datangnya suara-
suara itu. Tak lama kemudian da-ri arah bukit bagian belakang, nampak melesat
beberapa sosok bayangan dengan sangat ringannya. Hanya sekejapan mata orang-
orang itu pun telah berdiri di hadapan para pengikutnya.
Yang membuat Eka Dawana tak ha-
bis mengerti adalah tentang Majikan Gagak Hitam yang masih begitu muda, sangat
cantik menggiurkan. Bahkan tak kalah cantiknya. Bila dibandingkan dengan para
pengiring yang selalu me-nyertainya ke mana pun dia pergi. Sementara itu,
burung-burung yang ber-jumlah ratusan ekor, kini nampak ber-tengger di atas
dahan-dahan pohon.
Agaknya mereka begitu sangat mengenali orang yang kini nampak sedang
memperhatikan Eka Dawana yang meringkuk tak begitu jauh dari tempatnya berdiri.
Lalu sesungging senyum penuh misteri membias di kedua bibirnya yang tipis.
Perempuan itu kemudian berpaling pada gadis-gadis berpakaian transparan, yang
kini nampak duduk bersimpuh menghaturkan sembah kepadanya. Tak lama kemudian
Majikan Gagak Hitam yang mem-
punyai gelar Dwi Keadilan itu pun menyela.
"Hari ini kiranya kalian mendapat buruan yang baru! Hik... hik...
sungguh tak sia-sia usahaku selama ini dalam menggembleng kalian semua...!"
ucap Dwi Keadilan dengan wajah berseri-seri.
"Yang mulia...!" menyela gadis yang berjubah merah setelah terlebih dahulu
menjura hormat. Kemudian lanjutnya. "Agaknya kali ini, kelinci yang kami bawa
itu merupakan seekor kelinci yang benar-benar dapat memua-skan keinginan guru.
Tapi mungkin kelinci ini membawa sebuah pesan dan dendam. Kami sarankan agar
guru bertindak lebih hati-hati terhadapnya...!"
"Hi... hi... hi...!" Lagi-lagi Dwi Keadilan mengekeh, pandangan matanya menyapu
Eka Dawana. Kemudian dia mengangguk-anggukkan kepala dan kembali memandang ada
beberapa orang muridnya.
"Anak-anak coba kalian bebaskan dia! Dan tanya apa yang diinginkannya sehingga
berani betul dia menyatroni daerah kekuasaanku...!" perintah Dwi Keadilan
berwibawa. "Tapi yang mulia... orang itu berbahaya sekali...!" kata Jubah Merah merasa was-
was. Dwi Keadilan demi mendengar ucapan muridnya si Jubah Merah, kelihatan
sangat marah sekali.
"Sialan betul, berani sekali
engkau membantah perintahku! Apakah engkau ingin agar aku memenjarakanmu di
Neraka Buih...?" bentaknya kesal.
Begitu Dwi Keadilan menyebut-
nyebut Neraka Buih, gadis Jubah Merah pucat parasnya, dia kelihatan sangat
ketakutan sekali kemudian dengan ter-bata-bata dia berucap
"Ampun, guru... maafkanlah murid yang bodoh ini! Sungguh aku tak punya maksud
untuk membangkang...!"
"Kalau begitu cepat kerjakan perintah ku...!" kata Majikan Gagak Hitam dengan
hati mendongkol.
"Ba... baik guru...!"
Kemudian dengan dibantu oleh,
Jubah Biru dan Jubah Kuning, si Jubah Merah segera menghampiri Eka Dawana yang
masih terbungkus jala dan terkunci pula jalan suaranya. Sangat cepat sekali
mereka ini dalam melaksanakan tugasnya, sehingga sebentar kemudian tubuh Eka
Dawana sudah terbebas dari jaring jala yang telah membelenggunya.
Laki-laki setengah baya ini nampak sangat marah sekali, tetapi gadis si Jubah
Merah seakan tiada memperduli-kannya. Cepat-cepat dia buka jalan suara yang
tertotok. Begitu dia dapat bicara kembali langsung saja dia nye-rocos
"Setan-setan betina berhati pengecut. Kiranya nama besar Majikan Ga-
gak Hitam hanyalah sebuah keagungan palsu, penimbun hasrat selera rendah!
Puiih...." Marah Eka Dawana dibakar amarah.
"Hi... hi... hi...! Kelinci bagus, siapakah engkau ini! Lancang sekali mulutmu
telah berani memaki Majikan Gagak Hitam...?"
"Hei, sial betul engkau ini. Do-sa anakmu sudah melebihi takaran, sebagai
moyangnya engkau harus bertanggung jawab!" bentak Eka Dawana. Bagi Dwi Keadilan
seandainya dicaci maki sedemikian rupa oleh laki-laki calon korbannya dia masih
dapat menahan kemarahannya. Tapi kalau kini Eka Dawana sampai menyebut-nyebut
adanya seorang anak dan dimintai pertanggung jawaban, bukan main terkejutnya
Majikan Gagak Hitam ini. Hal yang sama juga nampak terlihat pada murid-murid
asuhannya. Sebab seperti mereka ketahui selama ini, hal yang sesungguhnya adalah bahwa
Majikan Gagak Hitam memang tak mempunyai seorang anak pun. Tapi laki-laki ini
begitu terbebas dari totokan-nya telah berkoar tidak menentu. Tiba-tiba saja Dwi
Keadilan menyela
"Kelinci gila dari manakah engkau ini, begitu datang langsung menyebut-nyebut
seorang anak. Sedangkan engkau belum memberi anak padaku?"
bentak Dwi Keadilan.
2 Wajah Eka Dawana nampak memerah
seketika itu juga. Dalam hati timbul pula dugaan. Bahwa siapa pun adanya Majikan
Gagak Hitam ini, tak lebih baik dari seorang perempuan jalang.
Tak kalah gusarnya Laki-laki itu kemudian mencemooh.
"Engkau jangan mungkir, Ratih Purwaningsih anakmu telah menjadi seorang murid
murtad. Bertahun-tahun dia dalam asuhan guruku, tak dinyana setelah memperoleh
segala-galanya. Kini dia malah membawa kabur kitab pusaka Jurus Bayangan...!"
sela Eka Dawana seolah menuduh.
"La... dalah...! Aku ini belum pernah melahirkan anak yang bernama Purwaningsih.
Melihat tampangmu saja baru kali ini, bagaimana mungkin engkau bisa berkata
Ratih Purwaningsih anakku...." kata Dwi Keadilan nampak mulai tersinggung.
Walaupun dia merasa hampir tak
percaya dengan apa yang dikatakan oleh Majikan Gagak Hitam. Tetapi melihat cara
perempuan itu bicara nampak sangat bersungguh-sungguh, mau tak mau Eka Dawana
mulai merasa ragu.
"Majikan Gagak celaka. Purwa-
ningsih sendiri yang mengatakan bahwa engkau merupakan ibu kandungnya...!"
"Apakah dia mengatakannya padamu
secara langsung,..?" tanya Dwi Keadilan dengan sesungging senyum mencibir.
"Pada surat yang ditinggalkannya, dia mengatakan begitu...." ujar Eka Dawana
teringat pada sebuah per-nyataan yang ditulis di atas kulit ki-jang.
Orang-orang yang hadir di situ
mulai berbisik-bisik. Agaknya mereka mulai menyadari bahwa guru mereka sedang
mendapat fitnahan dari orang-
orang yang merasa kurang senang dengan segala sepak terjangnya.
Beberapa saat lamanya daerah itu
menjadi hening, semua mata tertuju pa-da Eka Dawana. Namun hal itu tidak
berlangsung lama, sebentar kemudian Dwi Keadilan menyela:
"Kelinci jantan yang bagus. Sudah puluhan tahun aku mendambakan kehadiran
seorang anak. Tapi kelinci-kelinci yang terdahulu tak pernah becus memenuhi
keinginanku. Kalau aku punya keturunan seperti yang engkau sebut-sebut. Sudah
barang pasti aku bertanggung jawab atas segala tinda-kannya. Aku merasa yakin
semua itu hanyalah merupakan sebuah fitnahan yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak senang padaku...!"
"Siapa mau percaya dengan segala omongan perempuan binal sepertimu...?"
tukas laki-laki itu meleceh.
"Itu terserah padamu. Kami tak
pernah memaksamu untuk percaya pada ucapanku. Tapi andai engkau kurang puas.
Kuberi waktu untuk memeriksa tempat tinggalku, tapi asal tahu saja bahwa setelah
itu...." Dwi Keadilan urungkan ucapannya, sebaliknya dia malah terkekeh-kekeh.
Agaknya Eka Dawana sudah dapat
meraba ke mana maksud tujuan kata-kata Dwi Keadilan. Murid pertama dari Pulau
Bayangan ini pun membentak: "Majikan sial! Bangsat cabul. Kiranya aku tak ingin
berlama-lama di sini! Ratih Pur-waningrum secepatnya harus dapat kute-mukan...!"


Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Eka Dawana, lalu berniat melangkah pergi. Tapi secara serentak murid-murid
Majikan Gagak Hitam telah mengurungnya. Eka Dawana tertawa mengekeh, tapi
hatinya mencaci maki.
"Tidak semudah yang engkau
bayangkan! Untuk dapat meninggalkan kediaman Gagak Hitam. Terkecuali bila engkau
telah memenuhi apa yang kami inginkan...!" kata Dwi Keadilan ketus.
Bukan main terkejutnya laki-laki
ini demi mendengar kata-kata Majikan Gagak Hitam.
"Keparat! Aku terpaksa membuka jalan darah...!"
"Hi... hi... hi...! Aku jadi ingin tahu sampai di mana kehebatan murid pertama
Mambang Pintutur...!"
Belum lagi Dwi Keadilan usai
dengan ucapannya, tiba-tiba Eka Dawana
telah membuka serangan. Gerakan tubuhnya sangat cepat sekali! Hingga dalam waktu
sekejap saja, pedang di tangannya telah berkelebat-kelebat mencecar lawan-
lawannya yang berjarak tidak begitu jauh dari posisinya yang pertama.
Murid-murid Majikan Gagak Hitam,
walaupun secara keseluruhannya terdiri dari kaum wanita. Tapi mereka juga tidak
berkepandaian rendah. Rata-rata dari mereka telah memiliki ilmu merin-gankan
tubuh yang sangat sempurna, selain itu berkepandaian mempergunakan jurus-jurus
pedang yang sangat baik pula. Maka pertarungan yang tidak
seimbang itu pun semakin lama nampak semakin seru. Apalagi kini di tangan
masing-masing lawan telah tergenggam sebilah pedang pula.
Dalam waktu sekejap saja, perta-
rungan telah mencapai puluhan jurus.
Sejauh itu, Eka Dawana dengan mempergunakan jurus Mengusir Bayangan Menyongsong
Matahari, kelihatan masih belum juga mampu mendesak lawan-lawannya.
Satu ketika, Eka Dawana kelua-
rkan jerit melengking. Bersamaan dengan itu, tubuhnya melesat dan berkelebat
dengan sangat cepat. Sementara pedang di tangannya menyambar ke segala arah.
Pedang itu menderu dan keluarkan bunyi bercuitan. Sangat cepat, ganas dan
mengancam. Murid-murid Majikan Gagak Hitam,
nampak menyurut sepuluh langkah. Gadis Jubah Merah yang memimpin langsung
pertarungan itu nampak memberi isyarat pada kawan-kawannya. Dalam pada itu,
tiba-tiba Eka Dawana membentak keras:
"Bangsat murid-murid Gagak Hitam! Sengaja kugelar jurus Mengusir Bayangan
Menyongsong Matahari, bukan untuk kalian tonton. Nah, mampus-lah...!"
Sambil membabatkan pedangnya
mengarah pada si Jubah Merah, dia pukulkan tangan kirinya ke segala penjuru.
Serangan sinar berwarna keungu-unguan melesat sedemikian cepatnya ke segala
arah. Masing-masing lawan cepat-cepat sabetkan pedangnya ke segala arah dengan
maksud membentengi diri dari pukulan yang dilepaskan oleh Eka Dawana.
Sementara itu Dwi Keadilan yang
sedari tadi mengawasi jalannya pertarungan kini nampak tersenyum-senyum saja.
Dia tahu, sungguhpun pukulan yang dilepaskan oleh Eka Dawana boleh dikata
merupakan sebuah kekuatan yang tidak boleh dianggap sembarangan. Akan tetapi dia
merasa sangat yakin bahwa murid-muridnya pasti mampu mengata-sinya.
Pada saat itu, gadis Jubah Merah
nampak kirimkan satu babatan untuk mengatasi tusukan pedang lawannya. Eka
Dawana nampak terkejut. Tiada menyangka kalau gadis Jubah Merah masih bisa
menangkis tusukan pedangnya yang begitu cepat.
"Trang!"
Bunga api memercik ke segala
arah begitu dua mata pedang itu saling bentrok. Baik Eka Dawana maupun si Jubah
Merah. Masing-masing nampak terhuyung dua tindak ke belakang. Tangan bergetar
dan dada masing-masing pihak terasa sesak dan nyeri. Sadarlah mereka ini bahwa
dalam adu tenaga dalam, kiranya mereka memiliki kemampuan yang seimbang.
Pada saat yang sama, pukulan
Gendewa Bayangan yang dilancarkan oleh laki-laki ini telah melabrak lawan-
lawannya. Tetapi tepat seperti apa yang menjadi dugaan Dwi Keadilan, begitu
pukulan Gendewa Bayangan yang di-kirimkan oleh Eka Dawana hampir mencapai
sasarannya. Gadis Jubah Biru, Kuning, Hitam, Ungu dan Hijau dengan gerakan yang
sangat sulit untuk dilihat oleh kasat mata nampak dapat memapakinya dengan
sangat baik sekali.
Bukan main gusar Eka Dawana demi
menyadari, hampir semua serangan-
serangannya dapat dipatahkan oleh lawan-lawannya. Malah kini secara serentak
mereka lancarkan serangan-serangan balasan pula.
Sekejap saja serangan yang da-
tangnya bagai rangkaian gelombang yang membadai itu telah mengurung tubuh Eka
Dawana dengan sangat ketat sekali. La-ki-laki murid pertama dari Pulau
Bayangan itu pun dengan diawali jerit melengking tinggi nampak bergerak lebih
cepat lagi. Senjata di tangan kini hanya merupakan kelebatan bayang-bayang saja.
Dwi Keadilan demi melihat murid-
muridnya masih belum mampu meringkus Eka Dawana. Padahal pertarungan sudah
berlangsung lebih dari tiga puluh jurus, kelihatan sudah sangat marah sekali.
Tiba-tiba dia membentak:
"Murid-murid tolol! Kalau dalam dua jurus di depan kalian masih belum becus
meringkus kelinci liar itu dengan baik. Maka kalian lebih baik mampus saja...!"
kata Dwi Keadilan gusar.
Pucatlah wajah murid-murid Gagak
Hitam ini demi mendengar ucapan. gurunya. Seperti mereka ketahui selama ini. Dwi
Keadilan tidak pernah main-main dengan ucapannya. Hitam kata dia, maka hitamlah
yang terjadi. Menyadari bagaimana akibat dari kata-kata yang diucapkan oleh
gurunya. Mau tak mau mereka harus berjuang mati-matian untuk meringkus Eka
Dawana hidup-hidup.
Inilah pekerjaan yang sama sulitnya dengan akibat yang mungkin ditimbulkan.
Sebab lawan yang mereka hadapi bukanlah lawan yang dapat dianggap se-
pele. Eka Dawana, sebagai murid tertua. Sudah barang tentu memiliki kepandaian
tidak lebih rendah dari Gadis Jubah Merah yang juga merupakan murid tertua pula.
Tadi saja sewaktu pedang mereka saling bentrok semuanya dapat mengetahui bahwa
kekuatan Eka Dawana dan kemampuan si Jubah Merah nampak sangat seimbang. Dua
jurus yang diberikan oleh Dwi Keadilan adalah sebuah kesempatan yang teramat
singkat untuk dapat merobohkan lawannya tanpa cacat.
Tiada pilihan lain, terkecuali mengeroyoknya beramai-ramai.
"Kawan-kawan! Mari kita ringkus kelinci liar ini beramai-ramai...!"
perintah si Jubah Merah pada kawan-kawannya. Dalam waktu singkat, perempuan-
perempuan cantik berpakaian
transparan itu kembali mengurung Eka Dawana dari berbagai penjuru. Laki-laki itu
untuk sesaat lamanya memandang sinis pada para pengeroyoknya.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, karena serangan yang datangnya bertubi-
tubi itu telah mencecarnya ke segala arah.
"Betina-betina jalang berhati pengecut. Sampai kapan pun tak mungkin bisa
meringkusku...!" berteriak Eka Dawana dalam kemarahan yang meluap-luap.
"Hait...!" si Jubah Biru kirimkan satu tusukan tipuan.
"Ciaat...!"
Si Jubah Ungu, juga kirimkan sa-
tu tusukan ke bagian lambung kiri. Begitu juga yang lainnya. Tempat-tempat yang
mematikan menjadi incaran mereka ini. Eka Dawana bukan main terperan-jatnya.
Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa pihak lawan secara serentak dapat
melancarkan serangan beruntun mengarah pada bagian yang paling mematikan. Cepat-
cepat dia putar pedangnya ke arah bagian depan dan samping kiri.
"Trak! Trang! Trahg!"
Benturan pedang di tangan mas-
ing-masing lawan yang begitu kuatnya, membuat telinga terasa sakit bagai di-
tusuk-tusuk jarum. Sementara pedang di tangan si Jubah Biru nampak patah menjadi
dua. Pedang di tangan si Jubah Ungu mental dan melesat entah ke mana.
Demi melihat kenyataan itu, si
Jubah Biru dan Ungu, pula yang lain-lainnya nampak terkesima. Mereka tiada
menyangka, bahwa pedang mereka bisa patah sedemikian rupa. Bahkan tangan mereka
sampai-sampai kesemutan. Mak-lumlah murid-murid Gagak Hitam ini, bahwa laki-laki
itu bukanlah lawan si Jubah Biru dan Ungu. Eka Dawana baru saja hendak buka
bicara, ketika gadis Jubah Merah, yang sedari tadi sudah mempersiapkan jebakan
ini, tanpa diketahui oleh Eka Dawana nampak berkele-
bat sangat cepat sekali.
"Tes! Tes!"
"Bruuuggkk...!"
Totokan yang dilakukan oleh si
Jubah Merah pada bagian tubuh Eka Dawana membuat laki-laki dari Pulau
Bayangan itu ambruk tanpa daya.
"Bangsat pengecut!" maki Eka Dawana tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun
karena urat suaranya juga dalam keadaan tertotok.
"Untuk sementara kurung dia...!"
perintah Majikan Gagak Hitam pada murid-muridnya. Tanpa basa-basi lagi murid-
murid Gagak Hitam ini pun mengerjakan perintah gurunya.
Dwi Keadilan segera memasuki ru-
mah perguruan yang juga merupakan rumah tinggalnya sementara.
3 Dengan gerakan-gerakan yang lin-
cah dan gesit, gadis berambut ikal mayang itu terus mencecer si pemuda tanpa
kenal ampun. Namun agaknya pemuda berkuncir merasa enggan untuk melayani si
gadis. Bahkan setiap senjata di tangan gadis berkelebat menyambar ke arah
bagian-bagian yang rawan. Pemuda berpakaian lusuh dan kumal itu hanya mengelak
dan berjumpalitan. Hal ini sudah barang tentu membuat dia se-
makin menjadi marah.
Kini dengan mempergunakan jurus
Bayang-bayang Menerjang, gadis berkulit hitam manis itu semakin memperhe-bat
serangan-serangannya. Bagai seekor burung walet menyambar capung. Tubuh gadis
itu berkelebat sedemikian cepatnya, sementara senjatanya yang berupa Seruling
Sakti menderu ke segala arah.
Terdengar bunyi menggaung bagai suara ribuan lalat pengerumunan bangkai.
Betapa terkejutnya kumuh, yang
bagi kita tak asing lagi. Yaitu si Pendekar Hina Kelana. Begitu merasakan angin
sambaran senjata Seruling Sakti di tangan gadis ini. Pakaiannya berki-bar-kibar,
pengaruh udara dingin yang ditimbulkan sebagai akibat kedahsyatan senjata itu
membuat tubuh pemuda itu menggigil, geraham bergemeletukan. Tetapi walaupun dia
sudah mengalami keadaan yang sudah sedemikian rupa. Tetap saja dia tidak mau
mengambil tindakan apa pun, kecuali mengelak dan menangkis.
Dengan mempergunakan jurus Mem-
bendung Gelombang Menimba Samudra yang sudah tidak asing lagi. Pemuda dari
negeri Bunian ini tampak memutar kedua tangannya yang sudah dialiri tenaga dalam
itu ke segala arah begitu sebat dan sedemikian tangguhnya. Hanya dalam waktu
sekejap saja, tubuh pemuda ini hanya tinggal merupakan bayang-bayang
saja. Masih dalam serangan-
serangannya, gadis itu nampak sangat terkejut sekali. Sebelumnya dia tiada
menyangka kalau pemuda tampan yang diserangnya itu memiliki kepandaian silat
yang sangat tinggi. Dan dia sudah berfikir dengan mempergunakan senjata andalan
pemberian gurunya Mambang Pitutur, dia berharap dua gebrakan di depan sudah
barang tentu pemuda tampan berpakaian gembel itu sudah dapat di-bekuknya. Tetapi
kenyataannya setelah lima belas jurus di muka, pemuda ini masih kelihatan
tenang-tenang saja.
Bahkan kalau pemuda ini mau atau bermaksud tak baik barangkali sudah sejak tadi
dia sudah roboh. Berfikir sampai di situ tiba-tiba gadis berambut
mayang itu bersurut lima langkah, kemudian tanpa berkedip sedikit pun dia
memandangi pendekar Hina Kelana dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Dalam pada itu, pendekar ini
terus menyela: "Mengapa engkau berhenti menyerang! Bukankah tadi engkau mau meringkusku hidup
atau mati...?" tanya si pemuda, dengan sesungging senyum getir.
Sebaliknya tanpa menghiraukan
pertanyaan pendekar Hina Kelana, gadis berkulit hitam manis itu malah balik
bertanya dengan suara membentak.
"Sialan betul! Gembel dari mana-
kah engkau ini...!"
Ditanya seperti itu pendekar Hi-
na Kelana yang mempunyai nama kecil Buang Sengketa nampak tertawa mengekeh,
sambil garuk-garuk rambutnya yang tak gatal.
Gadis itu semakin bertambah me-
rah parasnya! "Kunyuk Hina... aku tak butuh tawamu yang jelek itu! Cepat jawab pertanyaanku
atau engkau ingin agar aku membuatnya seperti monyet gi-la...?" maki gadis itu
berang sekali. "Hak... ha... ha...! Tadi engkau mau meringkusku hidup atau mati, sekarang
engkau malah berniat membuatku seperti seekor kunyuk gila. Yang mana satu yang
ingin kau lakukan...?" ucap pendekar Hina Kelana mencemooh.
Diejek sedemikian rupa agaknya
gadis berambut ikal mayang ini menjadi semakin kesal hatinya. Lalu tanpa
menjawab pertanyaan si pemuda, gadis itu pun segera meniup Seruling Saktinya.
"Tiitttt! Tut... tut.., tu-
liiiit! Tut... tut.., tulit, kepentut... pentut...!"
"Kunyuk gembel! Menari-narilah engkau seperti orang gila...!" bentaknya, sambil
meneruskan tiupannya.
Anehnya suara bentakan yang be-
gitu keras itu, seolah mengandung ma-gis. Pendekar Hina Kelana nampak tergetar
beberapa saat lamanya, kemudian
bagai orang yang sedang tertidur, kesadarannya pun hilang. Kini refleklah yang
berbicara. Akhirnya dia pun menari-nari mengikuti irama seruling. Makin lama
suara seruling yang terdengar semakin keras tak menentu, seiring dengan suara
yang tidak menentu itu, maka gerakan-gerakan tubuh Buang Sengketa semakin kacau
tiada berketentuan.
Sambil terus meniup-niup serulingnya, gadis itu nampak tertawa-tawa penuh suka
cita. Kasihan sekali keadaan pendekar kita ini, peluh sudah membasahi tubuhnya,
satu saat kaki kirinya ter-sandung batu, sehingga hampir saja membuat tubuhnya
terpelanting jatuh.
Pada saat itulah, bagai orang yang tersentak dari tidurnya. Pendekar Hina Kelana
kembali kepada kesadarannya.
Lalu teringatlah dia betapa gadis itu telah mempermainkan dirinya. Tak ayal dia
kerahkan seperempat tenaganya, kemudian tanpa disangka-sangka, tubuhnya mencelat
ke atas sambil mengeluarkan jeritan tinggi melengking.
"Heiiigggkkh...!"
Tak ayal, tubuh si gadis tersu-
rut tiga langkah ke belakang. Dadanya terasa bergetar dan sangat sesak luar
biasa. Sementara telinganya menjadi sakit sekali. Gadis ini menjadi pucat
parasnya, dia nampak menjadi jerih.
Pendekar Hina Kelana kini bergantian memandang pada gadis itu dengan se-
sungging senyum rawan. Sesungguhnya, kalau dia berniat mencelakai gadis yang
berada di depannya itu, sudah pasti saat ini gadis bengal itu sudah terkapar
dengan nyawa melayang. Sebab, tadi dia sudah mengerahkan ilmu Leng-kingan
Pemenggal Roh yang terkenal sangat dahsyat. Sungguhpun tadi dia hanya
mengerahkan seperempat tenaganya. Tak urung tanah tempat mereka berpijak terasa
bergetar hebat, daun-daun yang hijau pun berguguran. Hal, ini saja merupakan
satu bukti bagi si gadis bahwa pemuda yang dihadapinya bukanlah lawan
tandingannya. Lalu tanpa berfikir panjang, di luar dugaan si pemuda. Gadis itu
melesat pergi. Walaupun pendekar Hina Kelana tidak mempunyai persoalan apa pun dengan si gadis,
tetapi karena gadis itu sudah terlanjut mempermalukannya. Maka dia pun tidak
membiarkan bocah bengal itu lari begitu saja
"Eiit... enak saja! Engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu...!"
Usai berkata begitu, pendekar
ini pun mengejar gadis itu. Maka kejar-kejaran pun terjadilah.
Tetapi begitu sampai di kerimbu-
nan pohon, gadis itu pun lenyap dari pandangan matanya. Pemuda ini hentikan
langkah, matanya celingak-celinguk memperhatikan daerah di sekitarnya.
"Sialan bocah ireng itu lenyap
begitu rupa! Jangan-jangan dia anaknya setan." Gerutu pendekar Hina Kelana.
"Hak.,. hak... hak...! Baiknya kurobohkan semua pohon-pohon di sekitar sini.
Kalau sudah roboh, jangankan anak setan. Bapak moyangnya iblis sekalipun tak
mungkin lolos dari pengli-hatanku...!" Bersamaan dengan ucapannya, pendekar ini
sudah bersiap-siap dengan pukulannya, Si Hina Kelana Me-rana. Namun dalam pada


Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, tiba-tiba terdengar suara teguran serak namun berwibawa.
"Hanya orang tolol saja yang mau melakukan pekerjaan sia-sia...!" kata suara itu
penuh teguran. Buang Sengketa urungkan niatnya. Lalu pemuda itu membentak marah:
"Monyet tua di atas pohon... turunlah...!"
Orang yang duduk di atas pohon
itu keluarkan suara bergelak.
"Pemuda gembel! Sungguh engkau tak tahu adat, terhadap orang setua aku ini
engkau masih memperlakukan aku seperti bocah bengal itu...?"
Pendekar Hina Kelana demi menya-
dari kekeliruannya, nampak segera be-robah sikap lalu cepat-cepat dia menjura
hormat. "Ah! Orang tua, siapa pun adanya engkau ini, aku yang tolol mohon maaf!
Kelakuan bocah itu benar-benar telah membuatku jadi sinting sebentar...!"
Tanpa komentar laki-laki berpa-
kai serba putih yang tadinya duduk ongkang-ongkang di atas pohon. Kini nampak
melesat turun. Dari gerakannya yang begitu ringan, sadarlah pendekar ini bahwa
sesungguhnya orang tua itu memiliki kepandaian tinggi.
Begitu berada di hadapan pende-
kar Hina Kelana. Laki-laki tua berambut putih dan berjanggut putih pula, tampak
meneliti si pemuda.
Priuk besar itu, rambutnya yang
dikuncir, serta pakaiannya yang lusuh bagai sepuluh tahun tak pernah dicuci.
Telah mengingatkannya pada seorang to-koh sakti yang pernah dia dengar dari
bagian Barat. Lalu alisnya yang juga sudah memutih itu pun mengkerut. Laki-laki
tua itu nampak terdiam untuk beberapa saat lamanya. Setelah itu dia tergelak-
gelak. Pendekar Hina Kelana jadi salah
tingkah! "Orang tua... tawamu sedemikian rupa! Apakah engkau sudah gila...!"
sentak pendekar ini, memperhatikan ra-sa ketidak senangannya.
"Weh... weh...! Tak dinyana, ha-ri ini aku bisa bertemu dengan pendekar muda
yang tersohor itu. Sungguh merupakan satu keberuntungan...!" kata laki-laki tua
itu sambil angguk-anggukkan kepalanya. Pendekar Hina Kelana tersentak kaget
begitu mendengar
ucapan laki-laki ini. Dia merasa heran, bagaimana mungkin orang yang tengah
berdiri di hadapannya itu bisa mengenali dirinya. Sedangkan bertemu pun rasanya
baru kali ini. Diam-diam dia menjadi segan sendiri!
"Orang tua! Siapakah engkau
ini...." tanya Buang Sengketa makfum.
"Bukankah engkau pendekar Hina Kelana...?" ujar laki-laki itu tanpa
memperdulikan pertanyaan si pemuda.
"Engkau keliru orang tua. Dan agaknya engkau salah alamat...!" jawab pendekar
ini mencoba berkelit.
"He... he... he...! Engkau mau menutup-nutupi kesohoran namamu...?"
Buang Sengketa terdiam sesaat
lamanya. "Jangan mungkir, orang muda!
Engkaulah ksatria dari bagian Barat yang menggemparkan itu...!" kata laki-laki
tua itu setengah menuduh.
Kedua orang ini kemudian saling
pandang, lalu pendekar Hina Kelana tersenyum ramah. Selanjutnya dia berkata:
"Tidak keliru... tidak keliru orang tua! Hina Kelana memang aku
orangnya. Tetapi gelar pendekar itu bukan milikku! Aku hanya seorang pen-
gembara...!"
"He... he... he... kiranya selain memiliki kesaktian yang tiada tanding, kiranya
engkau seorang manu-
sia yang rendah hati."
"Lagi-lagi engkau terlalu berle-bihan orang tua!" sela Buang Sengketa dengan
wajah bersemu merah. Kemudian lanjutnya "Engkau ini siapakah, orang tua...?"
"Tunggu dulu!" Laki-laki berpakaian serba putih itu menoleh pada salah satu
pohon berdaun lebat, lalu dia berseru:
"Luluh, engkau turunlah...?" perintah laki-laki itu. Tak lama setelah ucapannya
maka dari atas sebatang pohon melesat sosok tubuh wanita yang sudah dikenal oleh
pendekar ini. Gadis itu kemudian menjajakkan kakinya di samping laki-laki itu.
"Luluh! Sikapmu yang kurang baik membuat aku kehilangan muka di depan pendekar
ini. Untuk itu engkau harus minta maaf padanya...!" perintah laki-laki berambut
putih ini. Gadis itu nampak tersipu malu,
begitu mendengar perintah gurunya, tetapi sebagai seorang murid yang berbakti
dan penurut, akhirnya dia mema-tuhi apa yang diperintahkan gurunya.
"Baik guru!" ucapnya sungkan.
Selanjutnya dia menoleh pada si pemuda, lalu dia menjura hormat sambil berkata:
"Pendekar! Maafkan segala ke-tololanku...!" katanya sambil menunduk malu. Buang
Sengketa nampak menganggukkan kepala. Dalam hati dia tertawa
mencemooh! Dasar konyol.
"Orang tua, sesungguhnya aku
paling tak suka dengan segala perada-ban! Kalau anda tetap tidak mau menjawab
pertanyaanku tadi. Baiknya aku segera berlalu dari hadapanmu...!" tukas pendekar
itu secara tiba-tiba.
"Sabar, orang muda! Sebagai
orang yang mengetahui tata krama dan peradatan. Ada baiknya kalau engkau singgah
dulu ke gubugku...!"
"Aku tak punya banyak waktu,
orang tua?"
"Jangan begitu. Kami merasa mendapat kehormatan bila engkau sudi mem-berikan
pertolongan pada kami...!"
ujar laki-laki itu setengah memohon.
4 Sesaat lamanya pendekar Hina Ke-
lana nampak terdiam, pandangan matanya tertuju pada guru dan murid yang berdiri
tak begitu jauh di depannya. Tetapi kemudian dia memutuskan!
"Agaknya untuk saat ini, aku tak bisa memenuhi keinginanmu! Tetapi bila engkau
memerlukan tenagaku. Sudah barang tentu dengan senang hati aku lakukan!"
Nampaknya laki-laki itu agak ke-
cewa dengan keputusan Buang Sengketa.
Walaupun begitu, dia tetap berusaha
tersenyum. "Baiklah! Aku tak bisa memaksakan kehendakku. Oh ya, aku yang sudah lapuk ini
bernama Mambang Pitutur. Dan Luluh muridku...!" ucapnya sambil me-nepuk-nepuk
bahu muridnya. Yang dite-puk menjadi merah parasnya.
"Kami berasal dari Pulau Bayangan nun jauh di tengah laut sana. Sedangkan daerah
ini masih merupakan tanah milik leluhurku..."
"Pulau Bayangan...!" Pemuda ini menyela. Seingatnya pulau yang muncul ke
permukaan laut sekali dalam empat tahun itu kini telah lenyap begitu sa-ja.
Tetapi kini dia mendengar Mambang Pitutur malah berasal dari pulau musi-man itu.
Sudah barang tentu, pengakuan ini membuat hati si pemuda menjadi penasaran.
"Apakah yang anda maksudkan, Pulau Bayangan yang timbul ke permukaan laut sekali
dalam empat tahun itu, orang tua...?"
"Tidak salah...!" jawab Mambang Pitutur sambil menganggukkan kepala.
Hina Kelana terkejut bukan alang
kepalang! "Orang tua! Bukankah menurut ka-barnya, Pulau Bayangan telah lama lenyap. Dalam
arti tidak pernah muncul ke permukaan kembali...?" tanya pemuda penasaran
dibuatnya. Yang ditanya gelengkan kepala berulang-ulang.
"Pulau Bayangan tidak pernah lenyap. Tetapi sejak hampir sepuluh tahun terakhir
pulau itu selalu berselimut kabut sepanjang hari, itu memang benar adanya...!"
jawab Mambang Pitutur.
Kagum bercampur heran, membuat
si pemuda memandang pada laki-laki itu tiada berkesip.
"Hemm... sungguh mataku yang masih sangat hijau ini telah lamur. Betapa aku
sedang berhadapan dengan sesepuh pulau yang penuh misteri itu.
Terimalah hormatku, orang tua...!"
berkata begitu, pendekar Hina Kelana menjura tiga kali.
"Hehehe...! Engkau terlalu ber-lebihan, pendekar. Manusia koropok ma-camku ini
mana ada apa-apanya bila dibandingkan dengan gurumu, si Bangkotan Koreng Seribu
yang kesohor selama ratusan tahun itu...!" sela Mambang Pitutur merendah.
Sebaliknya Buang Sengketa, bagai
mendengar petir di siang bolong. Begitu Mambang Pitutur menyebut-nyebut na-ma
gurunya. Di samping terkejut, pendekar ini pun semakin bertambah takjub. Dalam
pada itu, tiba-tiba saja gadis yang berada di samping Mambang Pitutur menyela:
"Jadi orang ini muridnya pendekar kesohor yang namanya mele-genda itu guru...!"
tanya si gadis,
sambil memandangi pendekar Hina Kelana dengan penuh takjub.
Mambang Pitutur anggukkan kepa-
la! "Itu makanya, engkau jangan jual lagak dengan kepandaianmu yang hanya setahi
kuku itu...!"
Diingatkan begitu rupa, gadis
yang bernama Luluh itu menjadi merah parasnya.
Pemuda itu menjadi semakin tak
enak hatinya. Dengan terburu-buru dia menyela:
"Ah. Sudahlah, orang tua, semua itu bukan kesalahannya! Dia menyerang-ku karena
pada dasarnya memang belum saling kenal! Tidakkah begitu, no-na...?" ujar si
pemuda tersenyum ramah. Gadis itu semakin tertunduk malu.
"Sekarang katakanlah apa yang perlu aku bantu...!" kata si pemuda tanpa maksud
memerintah. Sesaat lamanya Mambang Pitutur
menarik napasnya dalam-dalam. Lalu dengan suara tawar dia menceritakan tentang
hilangnya kitab pusaka hasil ciptaannya selama hampir lima belas tahun. Secara
singkat dan jelas.
Agaknya pemuda dari negeri Bu-
nian itu merasa tertarik dengan apa yang telah terjadi di Pulau Bayangan.
"Orang tua! Tak dinyana ada seorang murid begitu berani menjadi maling kitab
pusaka milik perguruan...."
"Tidak setiap orang mempunyai hati yang lurus, orang muda. Mungkin di jaman ini
hal itu merupakan hal yang wajar. Siapa tahu di jaman yang akan datang malah
banyak murid yang kencing di atas kepala gurunya...!"
seru Mambang Pitutur.
Buang Sengketa meskipun hatinya
geli bukan main. Tetapi akhirnya dia berucap
"Siapa pun adanya Purwaningsih, aku merasa sangat yakin! Pasti ada sesuatu di
balik kejadian ini. Tapi bagaimana dengan Eka Dawana murid perta-mamu itu, orang
tua...?" Yang ditanya lagi-lagi gelengkan
kepala "Sudah satu purnama dia tak kembali. Begitu juga halnya dengan para
pendahulunya. Aku menjadi ragu kalau-kalau telah terjadi sesuatu dengannya!"
"Tapi bagaimana engkau bisa tahu kalau kitab hasil ciptaanmu itu jatuh ke tangan
Purwaningsih, bukankah menu-rutmu dia merupakan murid yang bisa dipercaya...?"
tanya pendekar ini setengah pilon.
Kembali Mambang Pitutur terse-
nyum rawan. "Heh! Beberapa murid yang lain sempat melihat bocah itu memasuki
ruang rahasia di waktu itu. Hal ini tak pernah dia lakukan sebelumnya. Dan
yang paling kutakuti andai kitab itu sampai terjatuh ke tangan golongan sesat.
Rimba persilatan bisa dilanda ma-lapetaka besar. Sebab kitab itu sesungguhnya
merupakan intisari dari semua jurus milik berbagai golongan yang isinya sudah
sangat sempurna." jelas Mambang Pitutur panjang lebar.
Buang Sengketa nampak tertegun,
kemudian garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Sejauh ini, bukankah orang belum tahu tentang hilangnya kitab pusaka milikmu
itu, orang tua...?" tanya pemuda itu harap-harap cemas. Dalam hati dia berkata,
andai lenyapnya kitab itu sudah diketahui oleh banyak orang, sudah barang pasti
dia akan berhadapan dengan banyak perintang.
Apa pun dasarnya dia berkeinginan mengambil resiko sedikit mungkin.
"Sejauh ini memang belum. Hanya murid-murid perguruan saja yang ta-hu... tetapi
entah kalau esok atau lu-sa...!" ujar Mambang Pitutur resah.
"Baiklah! Aku berjanji untuk
mencari kitab milikmu dan juga mencari tahu tentang murid-muridmu yang belum
kembali itu. Tetapi aku tak berani menjanjikan keberhasilannya...!" kata
pendekar Hina Kelana menyanggupi.
Mendengar kesanggupan si pemuda,
bukan main gembiranya Mambang Pitutur.
Cepat-cepat dia berkata:
"Keberhasilan itu ada di tangan Sang Hyang Widi. Yang penting kita sudah
berusaha dengan segenap kemampuan.
Kini legalah hatiku, sebab aku yang sudah lapuk ini tak perlu lagi campur tangan
ke dunia ramai. Engkau telah mewakilinya...!" ucapnya dengan wajah berseri-seri.
"Baiklah, orang tua! Kalau begitu aku mohon diri...!" Pendekar Hina Kelana sudah
hendak melangkah pergi, ketika Mamba Pitutur memanggilnya.
"Tunggu...!"
Si pemuda balikkan langkah, ke-
mudian bertanya pelan: "Ada apa, orang tua...?"
"Ehh! Bukankah engkau belum tahu jalan menuju ke tempat kediaman Gagak
Hitam...?"
Buang Sengketa gelengkan kepala,
tapi "Mungkin aku bisa bertanya pada orang-orang yang lewat."
Mambang Pitutur tersenyum maklum
dia mengerti kiranya pendekar Hina Kelana belum mengerti kalau daerah yang akan
dilaluinya tak pernah ada orang yang melintas di tempat itu.
"Engkau tidak akan pernah bertemu dengan siapa pun di sana, terkecuali murid-
murid Gagak Hitam. Sepanjang yang kuketahui belum pernah ada orang luar yang
selamat setelah melintasi daerah itu...!"
Si pemuda tercenung! Alis
matanya mengkerut.
"Aku percaya padamu sepenuhnya!
Kebetulan Luluh muridku ini meskipun belum sempat ke sana, tetapi mengerti arah
jalan. Muridku ini boleh menyer-taimu, tapi ingat. Jangan sekali-kali berbuat
yang tidak-tidak, sebab aku akan mencarimu walaupun sampai ke neraka...!" kata
Mambang Pitutur wibawa.
Meskipun pemuda ini bisa memak-
lumi apa yang dikatakan oleh laki-laki itu, sebagai seorang pemuda yang tak
pernah mengganggu anak bini orang, sudah barang tentu merasa sangat tersinggung.
Tetapi dia berusaha meredam kejengkelannya.
"Kalau engkau tak percaya
padaku, untuk apa engkau menyuruh muridmu menemaniku. Tokh aku dapat sampai ke
tempat itu seorang diri...!"
tukasnya dengan wajah memerah.
Mambang Pitutur tertawa menge-
keh, badannya yang kurus itu pun ter-goyang-goyang dilanda tawanya sendiri.
"Sabar pendekar! Engkau jangan salah sangka, padamu aku tak pernah berperasangka
seburuk itu. Percaya-lah!"
Lalu laki-laki berpakaian serba
putih berpaling pada muridnya, selanjutnya berucap:
"Nah muridku, pergilah dengan pendekar ini. Bantulah setiap kesulitan yang
terjadi... ingat jangan kau
menyusahkan dia...!" pesan Mambang Pitutur.
"Terima kasih guru...!" jawab Luluh sambil menjura tiga kali.
Kemudian tanpa berbasa-basi la-
gi, kedua orang itu pun segera melangkah pergi
* * * Murid terkasih Dwi Keadilan nam-
paknya tiada mengenal putus asa, setelah gagal dalam menghimpun tenaga dalam
pertama, kedua dan tiga.... Kini dia mencoba lagi. Disatukannya segenap
perhatian, ditariknya nafas dalam-dalam! Kedua matanya yang sudah membuka,
secara perlahan nampak menutup kembali. Keringat mulai berlelehan ke segenap
tubuhnya. Sosok wajah yang cantik itu, sebentar memerah di lain saat nampak
memucat. Sementara itu tiga meter di de-
pan gadis, nampak duduk mengawasi Dwi Keadilan dengan hati diliputi harap-harap


Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemas. Kitab hasil ciptaan Mambang Pitutur yang berhasil dicuri oleh muridnya
yang paling sangat dimanja-kannya, ternyata mengandung kekuatan yang sangat luar
biasa. Selain kitab tersebut merangkum semua intisari permainan silat dari
berbagai golongan, siapa pun yang mempelajarinya harus memiliki tenaga dalam
yang sangat sem-
purna. Sebab andai saja kitab tersebut sampai jatuh ke tangan orang yang belum
matang dalam mempergunakan tenaga dalam. Sudah barang tentu berakibat sangat
fatal sekali. Dan murid terkasih Dwi Keadilan yang kesempurnaan tenaga dalamnya
hanya satu tingkat di bawah gurunya. Sampai saat ini masih merasa sulit untuk
mempelajari kitab Jurus Bayangan yang kini telah berada di tangan mereka. Lalu
siapakah sebe-narnya murid terkasih Dwi Keadilan ini" Dan bagaimanakah caranya
hingga kitab itu bisa sampai ke tangan Dwi Keadilan" Singkatnya begini.
Dwi Keadilan, dulunya merupakan
saudara seperguruan Mambang Pitutur yang juga sama-sama tinggal di Pulau
Bayangan. Karena Dwi Keadilan mempunyai
perangai dan tabiat yang sangat buruk, maka saudara seperguruan yang sudah
setahun di tinggal mati oleh gurunya Mambang Pitutur itu sering sekali ter-libat
pertengkaran. Satu saat, Dwi Keadilan yang sedikit mengalami kelainan jiwa itu
ketahuan sedang bermain cinta dengan istri Mambang Pitutur.
Dua insan sejenis ini nampak sedang bergumul dengan istri Mambang Pitutur dalam
keadaan telanjang bulat. Saat itu Mambang Pitutur yang baru pulang dari
perjalanan jauh. Nampak sangat murka sekali, tanpa ampun langsung
membunuh istrinya saat itu juga. Sebagai murid tertua dan sekaligus merupakan
pengganti gurunya yang tidak mempunyai keturunan. Sudah barang tentu semua
ketentuan mutlak berada di tangannya. Pada waktu itu dia menyangka, bahwa
dirinyalah yang menjadi penyebab segalanya kejadian yang sangat memalu-kan itu.
Maka wajar saja kalau dia mengampuni saudara seperguruannya itu.
Bebaslah Dwi Keadilan yang mempunyai kelainan birahi berbuat semau-maunya,
terhadap murid-murid yang lain. Tentu saja semua itu di luar sepengetahuan
Mambang Pitutur.
Dasar nasib lagi apes. Begitu
menurut istilah perempuan pemburu ke-puasan itu. Lagi-lagi perbuatan buruk-nya
diketahui oleh Mambang Pitutur, sampai sejauh itu dia masih bisa ber-dalih
dengan alasan bahwa dirinya hendak diperkosa oleh murid laki-lakinya.
Tetapi selicin-licinnya belut,
tidak nantinya dia dapat melarikan di-ri di atas kumpulan debu. Lama kela-maan
Mambang Pitutur menjadi curiga.
Selidik punya selidik, di dalam kamar Dwi Keadilan, laki-laki ketua perguruan
Pulau Bayangan itu mendapati sebuah kitab beraliran sesat yang masih sangat
begitu asing bagi laki-laki ini.
5 Sepenuhnya, laki-laki itu memba-
ca kitab asing yang dimiliki oleh adik seperguruannya itu. Setelah membaca semua
isi kitab tersebut, betapa ter-peranjatnya Mambang Pitutur. Wajahnya merah
menahan marah dan malu. Tak dinyana, kiranya adik seperguruannya telah
mempelajari kitab yang benar-benar sangat menyesatkan. Dia tak tahu sudah berapa
banyak, murid laki-laki perguruan itu yang telah menjadi korban nafsunya hanya
demi kesempurnaan ilmu sesat yang dia pelajari. Lebih sekedar itu, terjawablah
sudah, mengapa Dwi Keadilan yang sudah berumur hampir setengah abad itu
kelihatan masih seperti gadis remaja dan cantik.
Dengan kemarahan yang meluap-
luap, Mambang Pitutur menjumpai adik seperguruannya. Pertengkaran pun sudah tak
dapat dihindari lagi. Sebagai akibatnya, pertarungan sengit pun terjadi. Tetapi
walau bagaimana pun hebatnya kepandaian yang dimiliki oleh Dwi Keadilan, tak
urung dia harus mengakui kelebihan yang dimiliki oleh Mambang Pitutur, sebagai
saudara seperguruan yang paling tua. Dia kalah! Tetapi sebelum perempuan siluman
itu merat dari Pulau Bayangan, dia sempat mengancam untuk mengobrak-abrik
perguruan Pulau Bayangan, di suatu saat kelak.
Sejak saat itu, di sebuah daerah
yang banyak dihuni oleh burung Gagak Hitam. Dwi Keadilan mulai membangun sebuah
perguruan baru, hampir seluruh muridnya terdiri dari kaum perempuan, semua itu
sesuai dengan keinginannya, yaitu membangun kekuatan sebanyak-banyaknya,
mengobral nafsu hewani dan juga mengejar kesenangan dunia. Perempuan-perempuan
itulah yang setiap saat melayani segala kemauannya secara bergilir bahkan tiada
berkesudahan. Walau memang benar, di luar tugas utama, sesungguhnya mereka-
mereka ini merupakan murid-murid yang benar-benar terlatih.
Lebih dari itu setiap sebulan sekali, murid-murid itu diwajibkan mencari seorang
laki-laki di dunia luar. Dengan maksud untuk kesempurnaan ilmunya.
Hari berganti minggu, minggu
berganti purnama. Selama itu dendam Dwi Keadilan pada Mambang Pitutur tidak
pernah sirna. Suatu ketika dia mendengar kabar bahwa sesepuh Pulau Bayangan itu
sedang membuat sebuah kitab pusaka Jurus Bayangan yang sudah barang tentu dia
akui akan kedahsya-tannya.
Cukuplah sudah alasan bagi Dewi
Keadilan untuk mengutus murid tertuanya, yaitu Ratih Purwaningsih, menye-lundup
dengan dalih ingin berguru pada Mambang Pitutur. Tepat seperti dugaannya, ketua
perguruan Pulau Bayangan
yang tidak pernah menaruh sakwasangka buruk pada setiap manusia itu, menerima
Purwaningsih sebagai muridnya. Setelah belajar selama kurang dari empat tahun,
dan setelah Purwaningsih hapal betul dengan keadaan di pulau tersebut, pada
akhirnya penyamaran itu membawa hasil. Kitab ciptaan Mambang Pitutur yang sangat
berharga itu jatuh ke tangan Purwaningsih.
Kini kembali pada guru dan murid
yang sedang mempelajari isi kitab di sebuah daerah sunyi yang bernama Bukit
Gagu. Daerah ini terletak tidak begitu
jauh dari tempat tinggalnya Dwi Keadilan.
Pada saat itu, sang murid terka-
sih sudah kelihatan merentangkan kedua tangannya. Sementara Majikan Gagak Hitam,
sekali waktu melihat pada buku yang berada di atas pangkuannya, dan di saat yang
lain tampak memperhatikan gerakan-gerakan Purwaningsih dalam latihan gerakan-
gerakan silat Bayangan.
Satu saat Majikan Gagak Hitam menegur muridnya.
"Ah, itu salah...! Yang betul begini...!" ujarnya sambil menggerakkan kedua
tangannya ke depan, lalu ke samping kiri, kemudian secara cepat memukul ke
bawah. Dengan seksama Purwaningsih memperhatikan gerakan-
gerakan yang dibuat oleh gurunya. Be-
gitu Dwi Keadilan usai memperagakan gerakan tangannya. Purwaningsih menyela:
"Jadi begini, guru...!" Sambil berkata murid terkasih itu langsung melakukan
gerakan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh gurunya.
"Ya... ya... itu betul! Terus, terus... ah itu salah...!" kata Dwi Keadilan
begitu sabarnya.
"Harusnya begini...!" Bersamaan dengan kata-katanya, Majikan Gagak Hitam itu
segera melakukan gerakan-
gerakan sesuai dengan isi kitab. Kemudian dia hentikan gerakan-gerakannya,
selanjutnya perintahnya:
"Sekarang ulangi lagi...!"
"Baik guru...."
Purwaningsih kembali meniru apa
yang telah dilakukan oleh gurunya.
"Ya, bagus... bagus... lagi..; lagi... ah itu, salah. Gerakan-gerakanmu semakin
kacau. Bagaimana bi-sa begitu...!" menyela perempuan berusia tiga seperempat
abad itu namun kelihatan masih seperti gadis belia
"Aku sudah sangat capai sekali, guru. Tulang-tulang serasa mau co-pot...!" kata
si murid mengeluh.
Majikan Gagak Hitam pelototkan
matanya. "Bagaimana mungkin. Engkau baru latihan lima jurus...!"
"Tetapi aku merasa habis bertarung seratus jurus, guru...!"
Wajah Dwi Keadilan nampak meng-
kerut, dia berfikir kitab itu baru dapat dikuasai oleh muridnya sekitar li-ma
belas tahun lagi. Kalau dugaannya benar, hal ini benar-benar sangat mem-bosankan
sekali. Waktunya akan banyak tersita, kalau sudah begitu, dia tak mungkin
memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan hasil buruannya.
Beberapa saat kemudian perempuan itu menyela.
"Purwaningsih, apakah engkau masih berkeinginan mempelajari jurus-jurus yang ada
di dalam kitab itu...?"
tanya gurunya setengah enggan.
"Sudah barang tentu guru! Bertahun-tahun aku rela mengikuti perintah-mu hanya
demi sebuah kitab yang sangat luar biasa ini...!"
Majikan Gagak Hitam angguk-
anggukkan kepalanya, lalu dia segera berucap:
"Tetapi itu akan memakan waktu yang sangat lama. Bahkan lama sekali...!"
"Aku tak perduli...!" kata Purwaningsih merajuk.
Dwi Keadilan memandang pada mu-
rid terkasihnya tanpa berkedip sedikitpun juga.
"Apakah semua ilmu yang telah kuturunkan padamu masih belum juga cukup?"
tanyanya. "Sudah! Tapi aku ingin lebih da-
ri itu. Tapi ini pun kalau guru masih merasa sayang padaku...!" kata
Purwaningsih sambil melirik manja. Hanya Dwi Keadilan yang tahu apa makna liri-
kan itu. Sebuah isyarat dan gejolak selera rendah.
"Aku memang sayang padamu. Dan aku telah berjanji untuk memberimu pe-tunjuk
tentang kitab itu. Tapi malam ini kita tidak bisa bersama-sama, kelinci jantan
sudah ditangkap dan kesempurnaan ilmuku harus tetap kuja-ga...!"
"Jadi guru...!" Purwaningsih tak dapat melanjutkan kata-katanya. Parasnya nampak
memerah dibakar cemburu.
"Engkau harus ingat muridku. Wa-jahku masih begini rupa semua ini karena
kelinci-kelinci itu...!" kata Dwi Keadilan pelan, tetapi menegur.
"Baiklah guru! Tokh kali ini
engkau tak perlu kujaga, lagi pula malam masih lama lagi...!"
"Bagiku itu lebih baik! Tetaplah engkau di sini, karena kali ini kelinci yang
tertangkap itu sedang mencari-carimu...!"
Purwaningsih terkejut bukan
alang kepalang, dia tahu siapa adanya laki-laki yang menjadi utusan Mambang
Pitutur. Tak salah lagi pasti Eka Dawana adanya.
"Apakah orang itu bernama Eka Dawana, guru...!" tanya Purwaningsih
diliputi keraguan.
"Benar...!" jawab Majikan Gagak Hitam
"Engkau harus berhati-hati, guru, orang itu berilmu tinggi sekali...!"
Tiba-tiba Majikan Gagak Hitam
tertawa mengekeh.
"Dengan serbuk pembiusku apa
yang dapat dilakukannya..."!" ucapnya mantap. "Sudahlah! Yang terpenting
engkaulah yang harus berhati-hati...!"
Bersamaan dengan ucapannya, tu-
buh Majikan Gagak Hitam berkelebat lenyap dari pandangan Purwaningsih.
* * * Sementara itu pada saat yang sa-
ma, pendekar Hina Kelana dan Luluh, nampak sedang berlari di antara pohon-pohon
besar yang terdapat di sekitarnya. Sekali waktu si pemuda menoleh ke belakang.
Wajah gadis berkulit hitam manis itu tampak sangat cerah sekali.
Secerah matahari jam satu siang bolong.
Satu ketika, gadis bengal yang
bernama Luluh itu hentikan langkahnya, lalu dia memanggil si pemuda.
"Kelana...!" serunya manja.
Pendekar dari Negeri Bunian ini
sambil menoleh segera memperlambat la-rinya.
"Ada apa...?"
"Apakah engkau tak ada niat untuk istirahat"!"
Si pemuda meskipun hatinya san-
gat kesal, tak urung dia hentikan
langkah. Dia merasa sangat kesal melihat ulah si gadis yang hampir sepanjang
perjalanan terus rewel.
"Mengapa harus berhenti! Bukankah menurut katamu perjalanan masih jauh lagi?"
sela pemuda itu sambil menghampiri Luluh, yang kini sudah duduk di atas rumput-
rumput kering. Pemuda itu kemudian duduk tak jauh dari sisi si gadis.
"Engkau ini galak sekali. Perjalanan masih dua hari lagi, sedang kita sudah
menempuh lebih dari tiga ha-ri..."
Tanpa memperdulikan ucapan si
gadis, pemuda ini menukas:
"Kalau engkau takut lapar. Mengapa ikut, bukankah lebih enak bersama gurumu?"
Ditegur seperti ini, tiba-tiba
gadis bengal itu menjadi marah, lalu berdiri berkacak pinggang.
"Kalau engkau tak mau kuikuti.
Aku bisa pergi sendiri, dimarahi terus seperti anak kecil, siapa sudi...?"
seru si gadis. Lalu tanpa banyak cakap lagi, si
gadis bermaksud melangkah pergi. Tetapi cepat-cepat pendekar ini menangkap
tangannya. Luluh memberontak!
"Lepaskan... lepaskan...!" teriak gadis itu sambil meronta-ronta.
"He... bukankah engkau sudah
berjanji dengan gurumu, untuk tidak rewel di perjalanan?"
"Apa perdulimu...!" bentak Luluh sinis.
"Sial betul aku hari ini! Gadis ini benar-benar membuatku repot. Masih enak lagi
andai aku pergi sendirian."
maki si pemuda! "Tapi gadis itu walaupun kulitnya hitam manis, tapi cantik, ah,
mengapa aku sampai berpikir sejauh itu." batinnya pula.
"Sudahlah... aku mengaku bersalah. Tapi engkau jangan pergi...!"
ujar Buang Sengketa mengalah. Si gadis berhenti memberontak, pendekar Hina
Kelana melepaskan cekalannya.
"Kalau aku pergi memang menga-pa...?"
Pendekar Hina Kelana tertawa
mengekeh, begitu mendengar ucapan si gadis yang bernada mencemooh itu. Dan
begitu tawanya terhenti dia lantas menyela:
"Kalau engkau pergi, maka aku berniat membatalkan janjiku dengan gurumu...."
kata si Hina Kelana berpura-pura.
Luluh wajahnya nampak merengut,
tetapi pemuda itu tidak menghiraukannya. Dengan enak sekali dia kembali
ngedogrok di atas rumput-rumput kering. Setelah itu dia mengambil beberapa
potong dendeng lumba-lumba dari dalam periuk yang tak pernah tertinggal ke mana
pun dia pergi. Rupanya semua itu tak terlepas
dari perhatian si gadis. Lalu begitu dia melihat Buang mulai mengunyah dendeng
ikan itu tiba-tiba dia menyela:
"Itu yang engkau makan itu apa?"
tanyanya sembari mendekat.
"Inilah dendeng bajul! Katanya engkau lapar, aku masih punya banyak persediaan"
Dengan malu-malu, Luluh menerima
tawaran si pemuda. Setelah itu mulai memakannya sedikit demi sedikit. Sambil
menikmati dendeng ikan lumba-
lumba, sesekali Luluh nampak melirik pada si pemuda. Merasa diperhatikan terus
menerus, tiba-tiba pendekar Hina Kelana menyela:
"Bagaimana enak kan..."!" tanyanya sambil membuang pandangan matanya jauh-jauh.
Yang ditanya hanya mengganggu saja.
Dalam pada itu, tiba-tiba si pe-
muda nampak menelengkan kepalanya. Dia merasakan seperti ada beberapa pasang
mata yang mengawasi mereka sejak beberapa saat tadi. Diam-diam hatinya panas
bukan main. Dia tahu siapa pun adanya orang-orang yang bersembunyi di balik
semak-semak itu, yang pasti mem-
punyai tujuan-tujuan yang tidak baik terhadap mereka.
"Orang-orang itu harus diberi pelajaran yang setimpal!" kata Buang Sengketa
tanpa sadar. "Engkau bilang apa, pende-
kar..."!" tanya Luluh tak mengerti.
Kemudian tanpa menghiraukan per-
tanyaan si gadis, sambil berteriak membentak. Pemuda itu pukulkan tangannya
mengarah ke empat penjuru mata angin.
6 Beberapa larik sinar melesat dan


Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menderu sedemikian cepatnya mengarah ke empat penjuru mata angin. Hawa panas
yang luar biasa itu tanpa ampun menerjang sasarannya.
"Prass! Blarr!"
Terdengar jerit tinggi melengk-
ing disertai suara berdebumnya tubuh manusia yang ambruk ke bumi. Buang Sengketa
leletkan lidah, kembali ia membentak:
"Kunyuk hutan! Tukang intip keparat... cepat tunjukkan muka kalau kalian masih
ingin hidup...!" bentak pendekar Hina Kelana marah.
Tetapi tidak ada reaksi apa pun.
"Benar-benar monyet tuli... Makanlah nih pukulan...!" Bersamaan den-
gan ucapannya. Pemuda itu menggerakkan tangannya ke atas pohon yang berada di
sekelilingnya. "Werrtt...! Blam,... Blamm...!"
Serangan yang dilepas oleh si
pemuda kembali mencapai sasaran. Tetapi bersamaan dengan itu terdengar gelak
tawa mengekeh, lalu diiringi dengan berkelebatnya beberapa sosok tubuh yang
meloncat turun dari atas pohon itu.
Dalam waktu sekejapan mata mere-
ka ini telah berdiri di hadapan si pemuda dan Luluh. Jumlah mereka sesungguhnya
tidak banyak, hanya tinggal enam orang saja. Tampang orang-orang ini galak dan
kasar, rambut dibiarkan tergerai sebahu, sementara kumis dan cambang
berserabutan ke segala arah.
Di bagian pinggang lima orang di
antara mereka tergantung beberapa buah senjata dari berbagai jenis. Sedang salah
seorang lainnya, yang mungkin juga merupakan pemimpin dari kawanan orang-orang
liar itu nampak menggenggam sebuah lonceng warna kuning keema-san. Secara
sepintas penampilan orang ini, sesungguhnya sangat lucu. Bayangkan saja, orang
yang menggenggam sebuah lonceng besar itu sesungguhnya bila dibandingkan antara
barang ba-waannya dengan keadaan badannya yang tinggi kurus seperti cacing,
sesungguhnya sangat tidak sesuai sekali.
Lonceng tembaga itu tingginya hampir sama dengan tinggi badannya, sedangkan
besarnya hampir tiga kali lebih besar tubuhnya sendiri. Tetapi sungguhpun
lonceng tembaga itu mempunyai berat hampir satu kuintal, nampaknya laki-laki
kurus macam cacing itu begitu mudahnya membawa senjata yang berupa lonceng itu
ke mana saja dia suka.
Dalam pada itu, kembrat-kembrat
si cacing kurus itu nampak sangat bersuka cita sekali begitu melihat Luluh,
gadis dari Pulau Bayangan ini. Bagai orang yang sedang mendapat makanan yang
sangat lezat dan sudah siap untuk disantap. Jakun mereka bergerak turun naik.
"Kakang Suro! Lihatlah cah la-nang ini membawakan oleh buat kita.
Bocah ayu, cantik... gadis ini tentu sangat menyenangkan sekali, kakang...!"
ucap salah seorang di antara mereka tiba-tiba.
Yang lainnya menyeringai kegi-
rangan! Buang Sengketa panas hatinya,
tetapi sejauh itu masih berusaha dita-han-tahan.
"Hok... hok... hok...! Sudah li-ma tahun wilayah kekuasaan kita tidak pernah
dijarah oleh gadis itu, aku sendiri sudah lupa betapa hangatnya tidur bersama
seorang perempuan! Hok!
Kalau sekarang ada seorang pemuda gem-
bel yang dengan sukarela mengantarkan seorang gadis untuk kita, sangat wajar
bila kita harus berterima kasih padanya...!" menyela si tinggi kurus, sambil
gerakkan loncengnya hingga timbulkan suara berkelenengan memekakkan gendang
telinga. "Kakang, lebih dari itu. Mungkin priuk yang menggelantung di pundak si gembel
itu di dalamnya terdapat barang-barang berharga, kakang!" kata si gemuk rambut
riap-riapan. Sampai di situ, pendekar Hina
Kelana sudah sangat panas hatinya, dan tahulah dia bahwa sesungguhnya orang-
orang itu hanyalah merupakan perampok hutan. Tak ada sangkut pautnya dengan
Majikan Gagak Hitam. Seketika itu juga dia langsung membentak:
"Kunyuk kurus, setan ireng! Tak dinyana kiranya kalian hanyalah perampok
murahan. Alangkah celakanya nasib kalian hari ini, sebab aku tak akan pernah
mengampuni kunyuk-kunyuk seperti kalian...!"
"Sialan, gembel ini malah meng-gertak kita, kakang...?" Menggerutu si rambut
riap-riapan. Cacing kurus kertakkan rahang,
dia sangat marah sekali. Sementara Luluh yang sedari tadi hanya diam saja, kini
mulai menyela: "Kelana! Mengapa harus berbantahan dengan orang-orang gila penunggu
hutan. Lebih baik kita kepruk sa-
ja...!" "Nona galak! Di tempat tidur
engkau pasti sangat menyenangkan sekali...!" tukas si gemuk riap-riapan dengan
maksud kurang ajar.
Pendekar Hina Kelana bukan main
geram, tanpa komentar lagi, dengan diawali satu jeritan tinggi melengking.
Dia langsung kibaskan tangan kanannya pada si gemuk riap-riapan.
Selarik gelombang Ultra Violet
yang hampir-hampir tak terlihat kasat mata menderu hebat. Dan langsung meluruk
ke arah si gemuk, bagaikan linta-san kilat gelombang berhawa panas luar biasa
itu menerjang si gemuk riap-riapan.
Serangan cepat yang tiada dis-
angka-sangka itu membuat si gemuk jadi gelagapan secepatnya dia berusaha
berkelit dan menghindar, tetapi nampaknya segalanya sudah sangat terlambat.
"Blaar!"
Tubuh si gemuk terpelanting ro-
boh, dilanda gelombang pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dilepas oleh pendekar
Hina Kelana. Tubuh si setan alas nampak berkelojotan untuk beberapa saat
lamanya. Darah mengalir dari celah hidung dan kuping. Sementara da-ri mulutnya
menggelogok darah kental kehitam-hitaman. Seketika itu juga si gemuk meregang
ajal untuk kemudian
tiada bergeming untuk selama-lamanya.
Mendapat kenyataan seperti itu
bukan main marahnya si cacing kurus, begitu juga dengan empat orang lainnya.
Setindak dua tindak si cacing kurus melangkah, sorot matanya memerah saga dan
memandang tiada berkedip pada si pemuda yang nampak tenang-tenang saja. Lalu dia
pun menghardik.
"Gembel keparat! Engkau harus membayar mahal atas kematian kawan ka-mi!"
Yang dibentak malah tersenyum
mencibir! Si cacing kurus kemudian berpal-
ing pada kawan-kawannya. Lalu dengan teriakan tinggi melengking dia memerintah.
"Anak-anak, kalian urus gadis itu! Aku akan menggebuk budak gembel ini...!"
Usai dengan ucapannya, si tinggi
kurus kumis ikan lele. Segera gerakkan senjatanya yang berupa lonceng tembaga.
Sementara itu kawan-kawan yang lain sudah mulai mengeroyok Luluh.
Buang Sengketa nampak berkelit
ketika lonceng berukuran besar itu hampir menerpa bagian kepalanya. Oto-matis
serangan lawan membentur ke tempat yang kosong. Tetapi begitu serangan pertama
yang dilancarkannya luput, dia kembali lancarkan serangan berikutnya, bertubi-
tubi bahkan tiada ber-
keputusan. Si pemuda melompat-lompat bagai seekor monyet mabuk terasi. Lonceng
di tangan si cacing kurus kembali menderu dan timbulkan suara bercuitan.
"Ngung...! Klonteng...! Klon-
teng...!"Lonceng itu nyaris melabrak ba-
gian bahu si pemuda, dia kembali berkelit sambil lontarkan caci maki.
Tanpa menghiraukan sumpah sera-
pah, si tinggi kurus nampak semakin bertambah beringas dan gesit. Kembali dia
ayunkan loncengnya. Dan agaknya Buang Sengketa yang sudah dilanda
dongkol ini sudah hilang kesabarannya.
Tak ayal lagi, pemuda itu langsung memapaki datangnya serangan.
"Klonteng!"
"Breng!"
Bertemunya tenaga dalam yang di-
kerahkan oleh si pemuda dalam menyambut datangnya lonceng maut. Membuat tubuh
pemuda itu terhuyung beberapa tindak, sedangkan tangannya yang dipergunakan
untuk memapaki datangnya senjata tersebut, terasa nyeri dan sakit. Sementara
tubuh si cacing kurus.
Nampak terjengkang dua tombak. Bahkan nyaris senjata itu menimpa dirinya
sendiri. Cacing kurus secepatnya sudah bangkit kembali, kelihatannya dia masih
sangat tegar, walau harus dia akui bahwa senjatanya mendapat penyok di beberapa
bagian. Sadarlah pendekar ini bahwa da-
lam adu tenaga dalam tadi, ternyata tenaga dalam lawannya hanya berselisih
beberapa tingkat saja di bawahnya. Tadinya dia hanya beranggapan bahwa, la-ki-
laki berbadan kurus luar biasa itu hanyalah sebangsa perampok yang bernyali
tinggi tetapi memiliki kepandaian rendah. Tak dinyana si Cacing kurus ini
termasuk bangsanya perampok hutan dalam kelompok datuk persilatan.
Tanpa sadar akhirnya dia berseru memuji:
"Kiranya engkau memiliki kepandaian yang lumayan, cacing kurus...?"
Dipuji sedemikian rupa, rupanya
laki-laki kurus itu salah terima. Kemudian dengan sangat marah dia membentak:
"Jangan sombong dulu, bocah gembel! Aku belum kalah.... Lonceng Neraka tak akan
menyerah walau sampai ma-ti...!"
Mendengar gelar si cacing kurus
meledaklah tawa si Hina Kelana, kemudian begitu tawanya mereda, dia berkata
mencemooh. "Bagus! Kiranya engkau memang pantas menjadi penjaga lonceng di neraka sana. Dan
aku akan mengirimmu secepatnya...!"
"Sial betul engkau ini! Seharusnya engkaulah yang akan berangkat lebih cepat
lagi...!" geram si cacing
kurus, lalu mengayunkan Lonceng mautnya ke segala penjuru.
Sembari mengelak pendekar itu
tertawa mengekeh.
"Kalau memang betul ucapanmu cepatlah buktikan...!" berkata begitu pendekar Hina
Kelana segera bertindak lebih cepat. Tubuhnya berkelebat lenyap, sehingga kini
tinggal merupakan bayang-bayang saja. Tak ayal dia langsung pergunakan jurus si
Jadah Ter-buang, yang sangat terkenal akan kece-patannya. Dalam waktu sekejap,
pertarungan seru pun terjadi. Masing-masing pihak sama-sama punya ambisi untuk
merobohkan lawan dalam waktu secepat-cepatnya.
Di lain pihak, pertarungan anta-
ra Luluh melawan kembrat-kembratnya si cacing kurus berlangsung sangat seru dan
lucu. Gadis ugal-ugalan ini sambil memainkan jurus-jurus silatnya, tak ayal di
lain kesempatan meniup-niup Seruling Saktinya. Sungguh hebat pengaruh suling
yang mengandung hawa sakti yang bernama Penggetar Roh itu. Sebab dengan tiupan
seruling itu, lawan-lawannya selalu kehilangan akal untuk menguasai pertarungan.
Bagaimana tidak, suara seruling yang terkadang mendayu-dayu, namun di lain saat
memekakkan gendang telinga dan membuat lawan menari-nari mengikuti irama
seruling. Hal ini merupakan kesempatan yang
sangat baik untuk menghancurkan kekuatan lawan-lawannya.
Satu demi satu, lawannya yang
sedang menari-nari bagai setan gila itu berhasil dia kepruk hingga berkelojotan
dengan kepala remuk.
Semua itu tak lepas dari perha-
tian cacing kurus Lonceng Neraka. Dan bukan main murkanya orang ini demi melihat
anak buahnya terbantai habis dengan cara yang amat mudah dan licik menurut
penilaiannya. Akan tetapi sejauh itu dia tak dapat berbuat banyak karena kini
dia sedang mendapat gempu-ran dahsyat dari seorang lawan yang cukup tangguh. Apa
yang dapat diper-buatnya, terkecuali mencaci maki sebagai pelampiasannya pada si
gadis. Sambil memapaki serangan-
serangan gencar yang dilakukan oleh pendekar Hina Kelana dia berteriak nyaring.
"Bangsat setan betina. Pertarungan dengan orang-orangku tidak adil dan curang!
Dewata pasti mengutuk-mu...!"
"Hi... hi... hi...! Kaulah yang terkutuk dan segera mampus...!" ejek Luluh
sambil tertawa lebar.
"Kura...!"
Belum lagi sempat si cacing ku-
rus mengucapkan sesuatu, mendadak tin-ju kanan si pemuda sudah mendarat di
mulutnya. Tanpa sempat mengelak!
"Prok! Proll!"
Bibir si cacing kurus pecah di-
landa kepalan tangan si pemuda. Darah muncrat dari bibir yang pecah. Sementara
delapan butir giginya berantakan, bahkan sampai ada yang tertelan!
"Pruuhh!"
Si cacing kurus meludah, bebera-
pa buah giginya yang tanggal itu ikut berhamburan ke luar. Semakin bertambah
gusarlah si Lonceng Neraka ini. Pendekar Hina Kelana malah tertawa mengejek.
7 "Cacing kurus! Biarkan saja persoalan mereka, engkau malah serakah.
Akibatnya, dengan sangat terpaksa aku menggusur gigimu." tukas si pemuda masih
dengan tawa mengekeh.
"Bangsat! Engkau tak perlu hidup lebih lama lagi...!" maki si tinggi kurus
menjadi semakin beringas.
"Bagus! Buktikanlah...!" Pada saat berikutnya, si Lonceng Neraka kembali
mengayunkan Lonceng mautnya.
Bersamaan dengan itu, pendekar Hina Kelana yang sudah berkelebat lebih du-lu
lalu dengan diawali dengan satu jeritan menggelegar, tiba-tiba tubuhnya lenyap
ditelan bayang-bayang sendiri.
Kemudian tanpa dapat dihindari
lagi, tangan pendekar Hina Kelana ber-
gerak cepat memapaki Lonceng Maut yang menderu ke arahnya.
"Cras! Breeng!"
Lonceng Maut di tangan si tinggi
kurus hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan kecil. Tubuh laki-laki itu
terjengkang lima tombak. Sementara itu tubuh pendekar Hina Kelana nampak
tergetar hebat. Dadanya terasa sesak luar biasa, lalu cepat-cepat dia menghimpun
hawa murninya. Tak lama kemudian parasnya yang pucat pasi itu kembali berubah
kemerah-merahan kembali.
Pada saat itu si cacing kurus
sudah bangkit kembali, tanpa senjata, dengan tubuh gemetaran. Lebih dari itu,
nampaknya si cacing kurus sangat terperanjat sekali begitu melihat di tangan si
pemuda kini telah tergenggam sebuah golok buntung yang memancarkan cahaya
kemerah-merahan menyilaukan ma-ta. Tetapi yang lebih mengejutkannya lagi adalah
karena di samping sinar merah menyala, laki-laki kurus itu merasakan udara di
sekitarnya mendadak menjadi dingin luar biasa.
Di lain pihak, pendekar Hina Ke-
lana yang kini nampak tengah berdiri mematung, tampak memandang sinis pada
lawannya, sementara dari celah-celah kedua bibirnya keluar bunyi mendesis bagai
Ular Piton yang sedang marah.
Kemudian pemuda itu menggeram bagai harimau terluka. Selanjutnya dengan
disertai jeritan tinggi melengking, tubuh si pemuda sudah berkelebat kembali.
Bahkan begitu cepatnya, sehingga si tinggi kurus yang masih dalam keadaan
terperanjat sudah tak mampu mengelak atau berkelit. Tak ampun!
"Cras! Cras!"
Pusaka yang sangat menggemparkan
itu tanpa mengalami banyak hambatan langsung menebas leher lawannya. Darah
memancar dari bagian perut dan leher yang hampir terputus. Tubuh si tinggi kurus
hampir setengah tertekuk, nampak limbung kemudian ambruk ke bumi dengan nyawa
melayang. Pendekar Hina Kelana nampak me-
narik nafas pendek. Kemudian ketika ia berpaling, dilihatnya Luluh sudah berada
di sampingnya, dengan pandangan mata penuh kagum.
"Engkau benar-benar hebat, Kelana...!" pujinya tanpa sadar.
"Simpanlah pujianmu itu untuk menghadapi Majikan Gagak Hitam...!"
katanya sambil melangkah
* * * Ketika Eka Dawana terjaga dari
tidurnya di pagi itu, dia mendapati ruangan yang mirip sebuah kerangkeng itu


Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih terkunci rapat. Sementara badannya terasa sangat letih luar biasa, tulang-
tulang bagai terlepas dari
persediannya. Ngilu bagai tercabik-cabik. Laki-laki murid tertua dari Pulau
Bayangan itu kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya.
Tetapi betapa terkejutnya Eka
Dawani begitu menyadari tubuhnya tak terbungkus selembar kain penutup pun.
Lalu teringatlah dia akan kedatangan seorang perempuan yang sangat cantik
Pemberontakan Taipeng 1 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Tembang Tantangan 26
^