Pencarian

Majikan Gagak Hitam 2

Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam Bagian 2


jelita. Dewi Keadilan! Perempuan itulah yang tadi malam hadir di alam sadar dan
tiada, seingatnya tubuhnya yang dalam keadaan tertotok itu nampak terdiam tiada
daya begitu wanita itu meminumkan sesuatu yang akhirnya membuat kepalanya
menjadi berkunang-
kunang, darah mendidih seperti ada sesuatu yang terus menggelitik dan
menggetarkan seluruh pembuluh darahnya.
Dalam keremangan malam, dia masih dapat mengingat walau secara samar. Bagaimana
perempuan iblis itu berdiri di hadapannya, telanjang begitu saja tanpa selembar
benang pun. Kemudian perempuan itu menghampirinya, mengelus wajahnya dan
seterusnya bagai di ambang sadar dan tiada. Kejadian itu bagai sebuah mimpi,
begitu cepat. Bahkan kini dia hampir lupa dengan tugas utamanya, mendapatkan
kitab itu, jurus-jurus Bayangan hasil ciptaan gurunya.
Mambang Pitutur! Mengapa nama itu kini mulai terasa begitu asing dalam pen-
dengarannya. Asing bahkan tanpa dis-
adari oleh laki-laki itu, kini dia mulai menaruh rasa benci. Bahkan benci
sekali! Kini yang ada dalam ingatannya adalah Majikan Gagak Hitam yang cantik,
para muridnya yang setiap waktu minta dilayani. Hanya itu.
Eka Dawana menjadi lupa segala,
sejak perempuan sesat itu memberinya ramuan bubuk Panglin Asal, dua malam yang
lalu. Dalam hatinya hanya tinggal
bayangan yang samar, antara Mambang Pitutur dan Dwi Keadilan. Bahkan akibat
pengaruh bubuk yang memabukkan itu, fikirannya telah lebih cenderung pada
Majikan Dwi Keadilan.
Begitu tragis nasib yang dialami
oleh Eka Dawana, bahkan kini dia sudah hampir tak ingat lagi siapa sesungguhnya
dirinya. Satu jam kemudian, setelah mengenakan pakaiannya kembali. Eka Dawana
segera melangkahkan kakinya menghampiri jeruji pintu kerangkeng yang terbuat
dari batang kayu liar.
Di luar sana matahari bersinar
cerah, seperti hari kemarin. Deretan kerangkeng yang memanjang di tengah-tengah
tebing yang curam itu sudah nampak terbuka. Lebih dari tiga puluh orang laki-
laki tua sudah nampak berjemur di bawah sengatan sang surya.
Sama seperti yang lainnya, laki-laki itu nampak saling berpandangan sesamanya.
Tatapan mata mereka hampa, seo-
lah telah kehilangan gairah hidup.
Meskipun ingatannya sudah mulai kacau karena telah meminum ramuan yang diberi
oleh Dwi Keadilan, tetapi setidak-tidaknya dia masih bertanya-tanya dalam hati.
Mengapa orang-orang renta itu dipenjarakan oleh Majikan Gagak Hitam di tempat
seperti itu. Eka Dawana sesungguhnya tidak tahu bahwa sesungguhnya laki-laki
renta itu masih berumur sekitar tiga puluh atau empat puluh tahun. Mereka-mereka
ini sesungguhnya merupakan korban dari ilmu sesat yang dimiliki oleh Dwi
Keadilan. Sifat ilmu sesat yang dimiliki oleh Majikan Gagak Hitam adalah menyedot sari
umur lawan jenisnya lewat perse-tubuhan. Bahkan laki-laki murid Pulau Bayangan
itu juga tidak menyadari pe-robahan yang kini mulai terjadi pada dirinya.
Wajahnya yang tampan, dadanya yang bidang dan berbulu lebat kini sudah mulai
kelihatan layu. Dwi Keadilan telah mendapatkan sari umur mereka, demi kecantikan
dan ilmu sesat yang dia yakini.
Tatkala hari mulai menjelang
siang seperti biasanya, murid-murid Majikan Gagak Hitam mulai berdatangan untuk
membagikan jatah makanan dan sudah barang tentu di dalam makanan itu tetap
diberi bubuk Pangling Asal, yang membuat seseorang lupa pada asal usul-nya. Pada
saat seperti biasa, Majikan
Gagak Hitam sedang berada di Bukit Ga-gu, sebuah tempat tinggal yang sekaligus
merupakan tempat latihan murid terkasihnya Purwaningsih.
Kesempatan seperti itulah yang
sering dipergunakan oleh para murid wanita Majikan Gagak Hitam yang sama
bejatnya untuk bercumbu rayu dengan Eka Dawana. Secara bergilir, silih berganti.
Bahkan kadang tak segan-segan mereka ini secara beramai-ramai minta dilayani
oleh Eka Dewana. Dasar perkumpulan orang-orang sesat.
Sementara itu di Bukit Gagu, Dwi
Keadilan nampak sedang melatih Purwaningsih dengan mempergunakan Jurus Bayangan
yang ada dalam kitab hasil ciptaan Mambang Pitutur yang berhasil mereka curi.
Memang kemajuan pesat pada ak-
hirnya dapat dicapai oleh Purwaningsih. Walau memang pada permulaannya banyak
kesulitan-kesulitan yang dialami. Tetapi dengan banyak belajar dan tanpa kenal
putus asa, kini Purwaningsih murid terkasih dari Majikan Gagak Hitam itu sudah
mencapai tingkat keli-ma belas.
Saat itu Purwaningsih sedang
memperagakan jurus keenam belas dari kitab Jurus Bayangan. Sebagaimana yang
tertulis di dalam kitab itu, Purwaningsih nampak sedang berlatih tanding dengan
Dwi Keadilan. Meskipun dalam keadaan latihan
dua orang guru dan murid itu kelihatannya sangat bersungguh-sungguh. Saling
serang sesamanya, di lain kesempatan mereka nampak melancarkan pukulan-pukulan
gencar. Satu saat Dwi Keadilan melompat beberapa tombak ke belakang, kemudian
dia berseru: "Muridku! Coba engkau pergunakan jurus-jurus Bayangan untuk melawan jurus-urus
Gagak Hitam hasil ciptaan-ku...!" perintahnya sambil bersiap-siap dengan
serangan baru. "Tetapi guru... jurus silat
Bayangan belum kukuasai seluruhnya.
Bagaimana mungkin aku bisa mengimbangi jurus-jurus Gagak Hitam yang sudah sangat
sempurna itu...?" menyela muridnya dengan hati diliputi kebimbangan.
"Hi... hi...hi...! Jangan bodoh.
Tidakkah engkau lihat pada tingkat ke-sepuluh saja, Jurus hasil ciptaan Mambang
Pitutur itu sudah dapat diseja-jarkan dengan jurus keempat puluh hasil
ciptaanku...!" bentak Dwi Keadilan nampak mulai marah. Tetapi agaknya
Purwaningsih murid terkasih itu tidak perduli dengan amarah gurunya. Dia masih
tetap membantah.
"Tidak guru! Aku tidak berani, jurus bayangan belum dapat kukuasai betul. Apakah
guru tak tahu hal
itu..."!" protesnya.
"Hi... hi... hi...! Jangan engkau salahkan aku andai aku sampai kesalahan tangan
memukulmu...!" bentak Majikan Gagak Hitam tanpa maksud mengancam.
"Guru... aku tak berani melakukannya...!" tukas si murid dengan wajah pucat.
"Tolol sekali engkau ini. Kalau selamanya engkau tiada punya kebera-nian, sampai
kapan engkau dapat mengetahui kemajuan jurus Bayangan yang engkau pelajari...?"
ujarnya sangat kesal sekali.
"Ta... tapi engkau kan tidak
bersungguh-sungguh, guru..."!"
"Puih! Walaupun engkau muridku yang paling kusayang... tetapi jika nyalimu masih
sepengecut itu. Maka andai pun engkau mati sekalipun di tanganku, aku tak akan
pernah menyes- al...!" "Baiklah guru! Kalau hal itu memang sudah menjadi keputusanmu, murid rela
berkorban...!" ujar Purwaningsih sambil bersiap-siap menyambut serangan gurunya.
Tetapi Dwi Keadilan masih belum
beranjak dari tempatnya berdiri. Dipandanginya murid yang satu ini dengan mata
melotot. "Murid gooblok! Aku tak menghen-dakimu pasrah begitu, tetapi yang aku mau agar
kau melakukan perlawanan,
ngerti...!"
"Mengerti guru, tetapi ngeri
membayangkan akibatnya...!" jawab Purwaningsih polos.
"Sialan betul. Tolol sekali engkau ini... orang tolol harusnya memang cepat-
cepat mampus...!"
Bersamaan dengan ucapan itu, Dwi
Keadilan langsung kirimkan satu serangan dahsyat. Mau tak mau Purwaningsih harus
mengikuti apa yang diinginkan oleh gurunya. Tiba-tiba murid terkasih Dwi
Keadilan itu berteriak lantang, sambil berkelebat dia lancarkan sebuah jurus
ketiga dari jurus ciptaan Mambang Pitutur. Sementara itu tangan Dwi Keadilan
yang terpentang bagai cakar burung Garuda, nampak meluncur deras mengarah pada
bagian dada dan perut Purwaningsih. Karena sesungguhnya dia sendiri sudah hapal
benar dengan jurus-jurus yang dipergunakan oleh Majikan Gagak Hitam ini, maka
untuk mengetahui kehebatan jurus yang baru saja dipelajarinya. Dengan nekad dia
memapaki serangan yang dilancarkan oleh gurunya.
"Plak! Dess!"
"Uh...!"
Majikan Gagak Hitam berseru ter-
tahan, tubuhnya nampak tergetar untuk sesaat lamanya. Dia menyadari sesungguhnya
jurus Bayangan hasil ciptaan Mambang Pitutur, yang menjadi sumber
kekuatannya terletak pada penggunaan tenaga dalamnya. Hal inilah yang sangat
penting. Tetapi meskipun Purwaningsih belum secara sepenuhnya dapat menguasai
jurus-jurus yang dahsyat itu, namun akibatnya dia sudah dapat merasakan sendiri.
Tadi dalam menyerang dia sudah mempergunakan jurus keenam, sedangkan muridnya
baru mempergunakan jurus ketiga, satu kelipa-tan yang sangat menyolok. Diam-diam
dia memuji bagaimana hebatnya Mambang Pitutur dalam menciptakan jurus-jurus
andalan itu. Kemudian tanpa sadar, dia pun
berseru memuji:
"Bagus...! Cuma gerakan tubuhmu harus lebih cepat lagi...!"
"Haiiit...! Ciaaat...!"
Lagi-lagi Majikan Gagak Hitam
itu kirimkan satu pukulan ganas pada muridnya.
8 Kembali Purwaningsih putar tu-
buhnya setengah lingkaran. Tangan kiri terentang ke atas, sedangkan tangan kanan
dia kiblatkan ke depan.
"Wuk!"
"Wess!"
Akibat benturan dua tenaga dalam
yang kuat dari dua aliran yang berbe-
da. Dua orang guru dan murid ini nampak terhuyung-huyung. Tubuh mereka nampak
gemetaran tetapi sekejap kemudian, Majikan Gagak Hitam telah siap kembali dengan
pukulan yang lebih hebat lagi.
Dengan diawali satu bentakan ke-
ras, kali ini dia kirimkan satu pukulan jarak jauh yang diberi nama, si Gagak
Hitam Menyambar Bangkai. Bukan main hebatnya pukulan yang dilancarkan oleh si
guru ini. Karena begitu kedua tangannya berkiblat secepat itu dua larik sinar
berwarna hitam pekat melesat. Udara di sekitar mendadak berubah tak sedap.
Pukulan itu bergulung-gulung dengan disertai kabut tipis berwarna hitam pula.
Sudah barang tentu Purwaningsih cukup tahu apa artinya pukulan Gagak Hitam
Menyambar Bangkai ini, baginya hanya ada satu pilihan saja. Andai ingin selamat
dia harus mencoba memapakinya dengan jurus
Bayangan tingkat sepuluh
Kemudian dia putar tubuhnya kem-
bali sehingga membentuk setengah lingkaran. Setelah itu, cepat-cepat dia
dorongkan kedua tangan untuk memapaki datangnya satu sapuan gelombang sinar yang
berbau sangat menjijikkan.
"Hais!"
"Bumm!"
Tubuh kedua orang itu terjeng-
kang tiga tombak. Bumi terasa bergetar
hebat. Dada masing-masing terasa sesak dan sakit. Sementara dari bibir mereka
melelehkan darah merah kehitam-hitaman.
Cepat-cepat guru dan murid itu
ambil dua butir pel berwarna merah tua dan segera pula menghimpun tenaga dalam.
Tak lama setelah nafas mereka te-ratur, maka wajah guru dan murid itu berubah
menjadi kemerah-merahan kembali.
Majikan Gagak Hitam tersenyum
puas, kedua bola matanya yang binal dan terkutuk itu nampak memandang pada
Purwaningsih penuh arti. Purwaningsih hanya tersenyum-senyum saja.
"Hi... hi... hi...! Cah ayu muridku, cah ayu kekasihku.... Tidak sia-sia aku
mendidikmu. Setahun menda-tang kita pasti sudah dapat memba-
laskan sakit hati ini. Engkau bersama aku, sudah mampu membuat Mambang Pitutur
dan orang-orangnya bertekuk lutut di bawah kaki kita...!"
"Jadi engkau benar-benar mempunyai maksud untuk membalas dendam, guru...?" tanya
Purwaningsih. "Sudah barang tentu! Untuk apa kita bersusah payah mempelajari jurus ciptaan
Mambang Pitutur, kalau bukan untuk semua itu...?"
"Murid hanya mampu menurut,
guru...!" ucap Purwaningsih kemudian.
"Hi... hi... hi... engkau benar-
benar murid yang berbakti...!" desah Dwi Keadilan. Hal yang selanjutnya, adalah
saling lirik, saling senyum penuh arti. Akhirnya antara guru dan murid itu
saling mendekat dan bertambah dekat, dan manusia-manusia sesat itu pun akhirnya
kembali menimbun dosa.
Dalam gelimang kenikmatan yang palsu
* * * Kedua orang itu nampak berjalan
beriringan, sesekali tawa mereka berderai. Ada saja ucapan si gadis yang
terkadang terasa begitu menggelitik hati pemuda yang berada di sisinya.
Hal-hal semacam inilah yang akhirnya membawa mereka sampai di perbatasan daerah
Majikan Gagak Hitam.
"Kak! Kak! Kreak!"
Baik si pemuda maupun gadis itu
sama-sama menghentikan langkahnya begitu mereka mendengar suara-suara itu.
Mereka nampak saling pandang untuk sesaat lamanya. Tetapi kemudian pendekar Hina
Kelana bergumam.
"Luluh! Agaknya kita telah sampai di perbatasan wilayah Gagak Hitam?" ucapnya
setengah bertanya. Gadis murid Pulau Bayangan itu anggukkan kepala. Kedua
matanya memandang berkeliling.
"Tak salah... kita memang sudah mulai memasuki daerah Majikan Gagak
Hitam!" jawab si gadis, pelan.
Alis pendekar ini mengernyit,
mendadak dia teringat pada murid-murid Mambang Pitutur yang tiada pernah
kembali. Lalu timbullah dugaannya bahwa mungkin saja daerah ini penuh dengan
jebakan. "Agaknya daerah ini dipasang beberapa perangkat! Kita harus berhati-hati siapa
tahu di depan sana telah menunggu pula perangkap yang mematikan...!" desah Buang
Sengketa menduga-duga.
Mendengar ucapan si pemuda, ti-
ba-tiba Luluh tertawa lebar. Menampak-kan sederetan giginya yang putih bersih
dan menawan. "Kok malah tertawa?" kata pendekar Hina Kelana salah tingkah.
"Engkau lucu sih. Tak kusangka pendekar besar seperti engkau ini ternyata
bernyali ciut. Mengapa harus takut, tokh kalau sampai kita tertangkap, aku malah
senang! Aku tidak sendiri, ada engkau yang menemaniku...!"
ucap Luluh begitu polos.
"Sialan! Agaknya engkau mulai jatuh cinta padaku...!" sindir si pemuda. Ucapan
pemuda yang sesungguhnya merupakan basa-basi itu, kiranya cukup mengena di hati
si gadis. Seketika itu juga, wajahnya berubah kemerah-merahan. Begitupun dia
masih dapat berkilah.
"Ih! Pada gembel sepertimu siapa sudi...!" katanya sambil melirik manja.
Serta merta Buang Sengketa meme-
luk gadis, kemudian menjatuhkan ciuman bertubi-tubi. Gadis itu meronta-ronta,
padahal hatinya senang bukan main.
Nafas memburu dan terasa menye-
sak, tidak lagi berontak. Kali ini murid dari Pulau Bayangan itu membalas ciuman
dan pagutan si pemuda, begitu mesra. Bahkan hangat! Setelah beberapa saat, kedua
orang muda itu saling melepaskan rangkulannya. Wajah Luluh menunduk dan semakin
merona merah. Sementara itu pendekar Hina Kelana memang baru kali ini mendapat
pengalaman seperti itu, menjadi resah dan salah tingkah.
"Engkau kiranya hidung belang!
Engkau malah melanggar pesan guruku!"
protes gadis merengut.
Buang Sengketa sebaliknya malah


Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum dikulum!
"Ee... jangan salah paham! Tokh aku malah melindungimu!"
"Eng... engkau... pasti telah melakukannya dengan banyak gadis-gadis cantik!
Mengaku sajalah...!" tuduh si gadis cemburu.
"Siapa bilang! Aku baru melakukannya hanya padamu," ucap si pemuda pasti. Si
gadis tetap ngotot!
"Bohong...!"
"Tidak...!"
"Tidak bohong...!"
"Ya...!" jawab pendekar Hina Kelana.
"Dasar gembel tukang gombal...!"
tukas Luluh semakin cemberut.
Buang Sengketa tertawa mengekeh,
tetapi dalam hatinya menggerutu.
"Aku ini memang gembel, tapi bukan tukang tipu...!" kata pemuda ini kesal.
Sedang mereka saling berbantahan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara tawa
riuh sekali. Bersamaan dengan terhentinya suara tawa itu, tiba-tiba terdengar
pula ucapan menegur namun mengejek.
"Mengapa harus berbantahan. Lebih baik teruskan saja berciuman..
Bercinta di tengah hutan memang nikmat, apalagi kalau sekalian ditelanjangi saja
tubuh gadis cantik itu. Dia pasti tak akan banyak rewel...!" ucap si suara dari
kerimbunan pohon.
Kedua orang ini nampak sangat
marah bercampur malu, sesaat lamanya kedua orang ini saling berpandangan.
Dalam pada itu menyela pula suara yang lainnya.
"Mengapa cuma berpandangan saja, cepat telanjangi tubuhnya yang aduhai itu. Dia
pasti tak akan menolak!"
Diejek sedemikian rupa, mendi-
dihlah darah pendekar Hina Kelana, dia pun sambil menoleh langsung membentak:
"Setan alas! Cepat-cepatlah tunjukkan diri. Kalau tidak aku akan hancurkan
tempat persembunyian kalian"
Lagi-lagi terdengar suara tawa
berderai. Kemudian dilanjutkan dengan ucapan yang membuat kuping pendekar itu
semakin bertambah merah.
"Pemuda tampan! Majikan kami
tentu sangat bersenang hati dengan ke-hadiranmu bahkan sekejap pun dia tak akan
pernah meninggalkanmu untuk menikmati sorga, lebih dari itu kami pun dengan
sukarela akan melayanimu. Tetapi dengan syarat, gadis yang bersamamu itu harus
di bunuh...!" tukas si suara dengan tawa mengekeh.
Semakin meledak-ledaklah amarah
kedua orang ini. Mendadak Luluh menyela. "Perempuan bangsat! Turunlah dari pohon
itu, aku akan bertarung dengan kalian sampai seribu jurus...!"
"Hi... hi... hi...! Jangankan engkau yang hanya bocah kemarin sore, murid-murid
Mambang Pitutur saja yang berkepandaian tinggi tak berkutik berhadapan dengan
kami," ejek orang yang berada di atas kerimbunan pohon.
Mengertilah si pemuda dan gadis
itu bahwa sesungguhnya perempuan-
perempuan yang di atas pohon itu merupakan murid-murid Majikan Gagak Hitam.
Lebih dari itu gadis murid dari Pulau Bayangan itu sempat dibuat terperangah
begitu mengetahui bahwa saudara seper-
guruannya yang paling tua dapat ditawan oleh orang-orang Gagak Hitam. Dia
berfikir: "Kalau Eka Dawana, saudara seperguruannya yang paling tua dan berilmu sangat
tinggi itu dapat ditawan oleh Majikan Gagak Hitam. Itu berarti hanya ada dua
kemungkinan, kemungkinan pertama adalah bahwa Majikan Gagak Hitam memiliki
kepandaian yang sangat tinggi sekali. Sedangkan kemungkinan kedua saudara
seperguruannya, kena perangkap atau terpedaya." Tiba-tiba gadis itu membentak.
"Huh! Kiranya, Majikan Gagak Hitam dan orang-orangnya hanyalah merupakan
sekelompok anjing-anjing pengecut. Tak salah kalau kalian merupakan manusia-
manusia sesat nomor satu di atas dunia ini" ejek si gadis, sekilas memandang
pada pendekar Hina Kelana yang secara diam-diam telah mengerahkan ajian
Pemenggal Roh dan juga pukulan Empat Anasir Kehidupan yang terkenal sangat
dahsyat luar biasa. Wajah pemuda itu, secara perlahan nampak berubah
menggidikkan. Geraham berkeroto-kan, sementara tubuhnya berubah kelam membesi,
kedua tangan semakin mene-gang.
Satu saat telah terlewati, lalu
dengan diawali dengan satu teriakan menggelegar yang berkepanjangan, pendekar
Hina Kelana kiblatkan kedua tan-
gannya ke arah pohon tempat di mana murid-murid Majikan Gagak Hitam bersembunyi.
Beberapa larik sinar warna Ultra Violet melesat sedemikian cepatnya ke arah
pohon di sekelilingnya.
"Blarr! Blaar!"
"Krosak...!"
Pohon-pohon yang merupakan tem-
pat bersembunyi murid-murid Majikan Gagak Hitam hancur berkeping-keping dilanda
pukulan dahsyat Empat Anasir Kehidupan. Pohon itu bertumbangan dan timbulkan
suara riuh. Beberapa sosok tubuh nampak melesat dari kerimbunan pohon yang
bertumbangan. Tubuh mereka nampak terhuyung-huyung begitu mengin-jakkan kakinya
di atas tanah. Agaknya pengaruh dari ilmu sakti Pemenggal Roh, begitu dahsyat
menggetarkan jan-tung dan gendang-gendang telinga mereka ini. Wajah-wajah
perempuan yang masih merupakan gadis belia itu nampak pucat pasi. Sama sekali
mereka tiada menyangka kalau hari ini mereka berhadapan dengan seorang pemuda
yang sangat memikat hati, namun memiliki ilmu kesaktian yang sangat mematikan.
Masih untung mereka ini memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang sangat tinggi,
andai tidak, tentu sudah sejak tadi tubuh mereka terkapar tanpa nyawa.
Di lain pihak, nampaknya
pendekar Hina Kelana dibuat terbelalak tak percaya begitu melihat kehadiran
enam orang gadis yang kesemuanya mema-kai pakaian yang sangat menggetarkan
pembuluh darahnya. Dia memang harus mengakui bahwa murid-murid Majikan Gagak
Hitam cantik-cantik luar biasa, bahkan boleh dikata sangat menarik ha-ti setiap
lawan jenis yang melihatnya.
Akan tetapi tiba-tiba pendekar itu teringat sesuatu. Kemudian dia menghubung-
hubungkan kecantikan gadis-
gadis yang berdiri tidak begitu jauh di depannya itu dengan hilangnya beberapa
orang murid dari Pulau Bayangan.
Dia menduga, kecantikan mereka ini tentu punya arti tersendiri untuk me-
lumpuhkan atau sekaligus menghancurkan lawan-lawannya. Kalau saja! Tiba-tiba dia
mendapat satu akal muslihat dan dia sudah bertekad untuk mencobanya.
Beberapa saat kemudian pendekar Hina Kelana mulai menyela:
"Hemm! Setan-setan cantik, senang sekali aku bertemu dengan kalian, tak dinyana
dalam hutan selebat ini banyak terdapat bidadari cantik. Tetapi jangan harap aku
akan berbuat seto-lol orang-orang itu, hari ini juga aku akan gusur perguruan
Majikan Gagak Hitam ke neraka...!" hardik si pemuda nampak marah sekali.
9 Mendengar ucapan pemuda yang
berwajah tampan dan berpakaian gembel itu si Jubah Merah yang menjadi pimpi-nan
yang lain-lainnya nampak tertawa genit. Bahkan secara sengaja dia nampak
menggaruk-garuk bagian belahan dadanya yang hanya tertutup dengan selembar kain
yang sangat tipis. Sementara Buang Sengketa bukanlah tipe seorang pendekar
bermata keranjang dan mudah tergiur dengan kemolekan tubuh wanita cantik. Begitu
si Jubah Merah mulai bertingkah, dengan melakukan gerakan-gerakan yang membuat
darah muda berdesir. Pemuda itu nampak kertakan rahangnya bibir segera terkatup
rapat beberapa saat kemudian dia membentak gusar
"Iblis betina penghuni neraka!
Sekalipun engkau bertelanjang dada di depanku, aku telah bersumpah untuk
mencabik-cabik tubuhmu dengan kedua tanganku ini...!"
Tanpa menyahut, sebaliknya si
Jubali Merah tertawa mengekeh!
"Mengapa mengulur-ulur waktu, Kelana...! Hal itu malah membuat umur betina iblis
itu bertambah beberapa detik saja..." tukas Luluh sudah tak sabar lagi.
"Sial betul engkau ini...! Aku tak butuh bicara denganmu. Engkau
diam saja di situ... hih...!" Bersamaan dengan ucapannya itu si Jubah Merah
lambaikan tangannya. Lalu serangkum benda berwarna putih bahkan hampir tak
terlihat sama sekali meluruk ke arah gadis yang berada di samping pendekar Hina
Kelana. Tetapi sebelum benda itu menotok pada bagian-bagian tubuh murid Mambang
Pitutur, Buang Sengketa telah bertindak.
"Wuuut!"
"Teees!"
Benda-benda putih yang sesung-
guhnya berupa serpihan batu pasir yang dipergunakan si Jubah Merah untuk menotok
Luluh. Nampak berpentalan ke segala arah. Kejut di hati si Jubah Merah beserta
kawan-kawannya bukan alang kepalang. Tadinya dia sudah dapat menduga, hanya
dengan sekali sambit saja, tubuh Luluh sudah kena ditotok. Dengan begitu mereka
sudah merencanakan untuk menebar jaring. Meringkus si pemuda.
Tapi tak dinyana, lagi-lagi si pemuda kembali menunjukkan kebolehannya. Sadar
bahwa mereka sedang berhadapan dengan pemuda yang sangat tangguh, ma-ka si Jubah
Merah segera memberi isyarat pada kawan-kawannya yang lain.
Tetapi agaknya pendekar Hina Ke-
lana dapat mengetahui apa makna dari isyarat tersebut. Maka tertawalah pemuda
dari negeri Bunian ini panjang-panjang.
"Tikus-tikus betina sialan. Main pandang, main lirik! Huh, jangan kira aku tak
tahu makna semua itu! Sampai mampus pun kalian tak mungkin bisa menjebak
kami...!" kata si pemuda mencemooh.
"Jangan sombong dulu pemuda tampan. Meskipun ilmumu setinggi gunung, walaupun
kepandaianmu seluas lautan, tidak nantinya engkau bisa lolos dari tangan Majikan
Gagak Hitam!"
"Sial betul, sedari tadi cuma berbantahan melulu! Mampuslah kalian betina
jalang." Luluh yang sudah hilang kesaba-
rannya itu, tanpa basa-basi lagi langsung menerjang lawan-lawannya. Dalam waktu
sekejap, tubuhnya sudah berkelebat-kelebat, serangan-serangan gencar dia
kirimkan secara bertubi-tubi. Mengetahui Luluh telah bergebrak mendahului, maka
akhirnya pendekar Hina Kelana pun tak tinggal diam. Tubuhnya nampak melesat,
mencoba untuk membantu Luluh. Tetapi, dari samping kiri si Jubah Merah dan Jubah
Biru telah meng-hadangnya.
"Engkau harus berhadapan dengan kami, sayang!" tukas gadis Jubah Merah begitu
genitnya. Sialan...!" maki Hina Kelana
sambil kirimkan satu pukulan gencar, kedua murid Majikan Gagak Hitam itu segera
memapaki. "Plak! Duk! Duk!"
Beradunya tiga kekuatan tenaga
sakti, membuat gadis Jubah Merah dan gadis Jubah Biru tergetar tubuhnya.
Sedangkan Hina Kelana merasakan dadanya sesak, dan kedua tangan kesemutan.
Sebentar kemudian pendekar Hina
Kelana sudah menggelar jurus-jurus andalan, yaitu berupa jurus Membendung
Gelombang Menimba Samudra dan jurus Si Gila Mengamuk. Sementara lawan-lawannya
lebih awal lagi sudah memainkan variasi jurus-jurus Gagak Hitam Menebar Maut.
Maka sebentar saja pertarungan
menjadi semakin seru, bahkan kini sudah berlangsung lebih dari lima belas jurus
Beberapa saat kemudian secara
serentak, gadis Jubah Merah dan gadis Jubah Biru nampak menyerang si pemuda
secara berbarengan. Dengan kedua tangan terpentang menyerupai cakar-cakar maut,
sementara kaki kanan membentuk satu sapuan mengarah pada bagian kaki lawannya.
Orang ini melengking dahsyat. Lalu secara beruntun dan tiada berkesudahan,
memukul lawannya dari dua arah.
Pendekar Hina Kelana menyadari,
bahwa pihak lawan telah mengerahkan tiga seperempat tenaga dalamnya. Seandainya
dia memapaki, selain belum da-
pat memastikan kekuatan pihak lawan secara pasti, setidak-tidaknya dia akan
kehilangan tenaga lebih hesar, tak ada pilihan lain. Begitu serangan beruntun
itu datang membadai, dia berkelit ke samping. Tetapi gerakannya masih kurang
cepat. Akibatnya cakaran tangan lawannya masih menyerempet.
"Breet! Breeet!"
Tubuh Hina Kelana terjengkang.
Darah meleleh dari kedua bibirnya. Sementara bagian depan dan belakang ba-junya
nampak robek selebar dua jengkal. Jubah Merah dan Jubah Biru tertawa mengekeh.
Kemudian ucapnya dengan penuh kemenangan.
"Sudah kubilang sebaiknya engkau manut saja, pemuda tampan! Kami pasti dapat
membuatmu bahagia...!" ejek si Jubah Biru.
"Jahanam racun dunia! Aku belum kalah!" geram pendekar Hina Kelana sambil
berusaha bangkit kembali.
"Ah! Brengsek betul engkau
ini... kami bukan racun dunia, melain-kan sorga dunia, tolol...!"
Bukan main gusarnya pendekar
ini, tak pelak lagi. Setelah dia kembali dengan posisinya dia sudah nampak
bersiap-siap dengan pukulan andalannya, Empat Anasir Kehidupan. Sesungguhnya
andai saat itu dia berkehendak, detik itu juga dia sudah mencabut pusaka Golok
Buntung ataupun Cambuk Ge-
lap Sayuto. Yaitu senjata pamungkas yang paling sangat dia andalkan dan sudah
sangat kesohor akan kehebatan-nya. Tetapi andai senjata itu dia pergunakan untuk
menumpas lawan-lawannya, sudah barang tentu dia sendiri akan mengalami banyak
kesulitan untuk mela-cak sarang persembunyian Majikan Gagak Hitam. Lebih dari
itu, tugasnya malah akan bertambah sulit dalam usaha mengambil kitab pusaka
Jurus Bayangan milik Mambang Pitutur. Dan kesulitan lainnya adalah, apakah
murid-murid Pulau Bayangan seperti yang dikatakan oleh si Jubah Merah. Memang
benar-benar berada dalam cengkraman mereka atau tidak. Itulah sebabnya walaupun
dia menjadi pecundang untuk sementara waktu. Tidak menjadi soal, asalkan semua
tugas-tugasnya dapat dia selesai-kan dengan baik.
Semua kejadian yang menimpa si
pemuda kiranya tak terlepas dari perhatian Luluh. Yang memang benar-benar jatuh
cinta pada si pemuda dan nampak mengkhawatirkan keselamatannya selalu.
Sesungguhnya ilmu silat dan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki oleh gadis,
murid dari Pulau Bayangan itu, beberapa tingkat di atas lawan-lawannya. Tetapi
karena perhatiannya terbagi-bagi antara pertarungan dan kekhawatirannya terhadap
keselamatan pemuda yang sangat dikasihinya. Mau tak mau beberapa
kali, nyaris dapat dipecundangi oleh lawan-lawannya.
Satu kesempatan, gadis Jubah
Kuning, Hitam, Ungu dan Hijau. Secara bersama-sama membuka jurus, Gagak Hitam
Menyambar Bangkai. Jurus ini merupakan tingkatan ketujuh hasil ciptaan Majikan
Gagak Hitam. Mempergunakan jurus ini tujuan utamanya adalah menipu dan menyerang
lawan secepat-cepatnya.
Demikianlah begitu orang-orang
ini keluarkan jeritan tinggi melengking tahu-tahu tubuh mereka berkelebat lenyap
hingga tinggal merupakan bayangan-bayang saja. Sungguhpun jurus-
jurus hasil ciptaan Majikan Gagak Hitam ini di dalamnya mengandung unsur yang
keji. Tetapi yang membuat Luluh merasa heran dan hampir tak percaya adalah
karena jurus yang dimainkan oleh lawan-lawannya hampir-hampir mirip dengan jurus
Bayangan Bidadari yang pernah diciptakan oleh gurunya Mambang Pitutur. Timbul
pula pertanyaan dalam hatinya. Mungkinkah Majikan Gagak Hitam masih mempunyai
hubun-gan yang sangat erat dengan gurunya"
Kalau dugaannya ini benar itu berarti Majikan Gagak Hitam sesungguhnya masih
merupakan adik seperguruan Mambang Pitutur. Dwi Keadilan! Yang terusir dari
Pulau Bayangan karena perbuatan se-satnya. Sampai pada kesimpulan itu, tak salah
kalau pada akhirnya Dwi Kea-
dilan mengutus muridnya untuk mencuri kitab pusaka hasil ciptaan Mambang
Pitutur. Dalam hati, tiba-tiba mengeluh.
Tak dinyana kiranya lawan yang bakal dihadapinya tak lain merupakan bibi gurunya
sendiri Mengingat sampai di situ, tiba-
tiba dia malah berubah geram. Secepatnya dia putar Seruling Sakti pemberian
gurunya ke segala arah. Seruling itu memperdengarkan bunyi mendengung-dengung.
Laksana badai topan di samudra yang luas. Satu saat berikutnya, pukulan yang
dilancarkan oleh lawan-lawannya menderu dan menyambar ke arah tubuhnya dengan
ganas. Laksana kilat serulingnya berkiblat ke segala arah.
Tak pelak lagi:
"Tak! Plak! Bumm!"
Tubuh Luluh terbuntang lalu ber-
gulingan dengan seruling masih tergenggam di tangannya. Sementara lawan-lawannya
ada yang terjengkang, terguling-guling, bahkan beberapa orang


Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lainnya meskipun tubuh mereka dapat tegak berdiri, tetapi nampak tergetar.
Tangan-tangan mereka yang sempat ber-benturan dengan seruling di tangan murid
dari Pulau Bayangan itu terasa bagai remuk dan nyeri luar biasa.
Luluh cepat-cepat bangkit, begi-
tu juga halnya dengan lawan-lawannya.
Wajah perempuan-perempuan itu nampak pucat, tetapi tak mengurangi semangat
mereka dalam melanjutkan pertarungan.
Serta merta gadis Jubah Hitam, menerjang kembali mendahului kawan-kawannya yang
lainnya. Luluh tertawa mengekeh, lalu pu-
tar serulingnya memapaki datangnya serangan si Jubah Hitam yang gencar dan
ganas. Begitu serangan yang dilancarkan si Jubah Hitam satu jengkal lagi menerpa
wajah dan perutnya, gadis dari Pulau Bayangan itu memutar tubuh dan berkelit.
Serangan ganas yang dilancarkan oleh si gadis menerpa tempat yang kosong, Luluh
bertindak tidak tanggung-tanggung. Dia langsung kibaskan Seruling Sakti di
tangannya. "Ngung!"
"Prokk!"
Laksana setan gila, gadis Jubah
Hitam meraung setinggi langit, kepalanya nampak rengkah dilanda senjata di
tangan lawannya, darah memuncrat ke mana-mana. Tubuh gadis cantik itu nampak
terhuyung-huyung bagai orang bin-gung. Tak berapa lama kemudian ambruk
bermandikan darah. Hanya beberapa saat saja, tubuh wanita malang itu
berkelojotan, untuk kemudian terdiam untuk selama-lamanya.
Kembrat-kembratnya di samping
terkejut luar biasa, tetapi dilanda kemarahan yang meluap-luap. Sedikit pun
mereka tiada pernah mengira, kalau lawannya sampai turun tangan sekejam
itu. "Perempuan sial! Kami tak akan puas sebelum menyeretmu ke depan guruku. Betapa
engkau akan menerima hukuman yang teramat pedih karena perbuatanmu itu...!"
kertak si Jubah Kuning nampak gusar sekali. Kemudian dia berteriak memberi
komando pada kawan-
kawannya. "Kawan-kawan, ringkus betina
ini! Kalau perlu lemparkan asap pembius...!" perintahnya. Geram.
Tanpa banyak cakap lagi, tiga
orang murid-murid Majikan Gagak Hitam langsung mengepung gadis murid Mambang
Pitutur. Sekejap kemudian!
"Bum! Bum! Bum!"
Asap pembius yang dilemparkan
oleh lawan-lawannya segera bereaksi, akibatnya sungguh hebat. Suasana di
sekitarnya menjadi gelap berselimut asap tebal, ketika Luluh berusaha keluar
dari kepungan asap. Sayangnya dia sempat menghirup asap pembius tersebut. Dia
nampak terbatuk-batuk dan tubuhnya pun menjadi limbung kemudian ambruk ke bumi.
Bukan main terkejutnya pendekar
Hina Kelana, begitu melihat keadaan Luluh yang begitu mudahnya dapat diringkus
oleh lawan-lawannya. Tetapi timbul pula fikirannya, semoga si Jubah Merah dan si
Jubah Biru mempergunakan asap pembius pula.
Sementara pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang dilepas oleh pendekar ini telah membuat lawan-lawannya terjungkal
tunggang langgang.
Agaknya apa yang telah diduga
oleh pendekar Hina Kelana pada akhirnya menjadi kenyataan juga. Gadis Jubah
Merah dan Jubah Biru nampak bersurut empat langkah. Mereka nampak saling lirik
memberi isyarat. Tak lama kemudian segera merogoh sesuatu dari dalam baju mereka
yang tipis 10 Mengetahui apa yang akan dilaku-
kan oleh lawan-lawannya, pendekar Hina Kelana tergelak-gelak. Lalu dia menyela:
"Ha... ha... ha! Engkau mau merobohkan aku dengan asap pembius itu.
Huh! Lakukanlah kalau kalian mampu.
Tapi menurutku, asap pembiusmu itu masih kalah hebat dengan kentut gajah.
Nah, kalau kalian bisa kentut seperti gajah. Ada kemungkinan aku akan takluk di
tangan kalian...!" kata Buang Sengketa mencemooh.
Malu bercampur marah, gadis Ju-
bah Merah dan Jubah Biru mendapat eje-kan dari si pemuda. Gadis Jubah Biru
membentak. "Jangan sombong dulu kunyuk tam-
pan! Kita lihat saja siapa yang lebih unggul!"
Bersamaan dengan itu, baik Jubah
Merah maupun Jubah Biru secara serentak kembali melakukan serangan-
serangan lebih dahsyat lagi. Karena memang pada dasarnya pemuda itu memang
menghendaki dirinya diringkus. Sebagai taktik akalnya belaka. Maka mendapat
serangan sedemikian rupa, dia berpura-pura tunggang langgang sambil mengelak
sekenanya. Akibatnya begitu serangan yang dilancarkan oleh lawan-lawan menderu
ke arah tubuhnya, dia hanya mengerahkan seperempat tenaganya untuk melindungi
tubuhnya dari benturan yang bisa berakibat sangat fatal.
"Wut! Buk! Buk!"
"Gusraaak!"
Tubuh pemuda itu terjungkal me-
nubruk kotoran babi hutan. Baunya yang minta ampun mengakibatkan pendekar ini
mencaci maki habis-habisan.
"Bangsat betul monyet betina
ini! Mampuslah...!"
"Hi... hi... hi...! Mengapa" Me-nubruk kue serabi ya...,"!" ejek gadis Jubah
Biru. Si Jubah Merah menyambung.
"Bau yang lumayan itu hanya sekejap, karena tak lama lagi engkau segera
tertidur, monyet tampan...."
Begitu selesai dengan ucapannya,
kedua orang itu langsung melemparkan asap pembius.
"Bum! Bum!"
Buang Sengketa pura-pura terba-
tuk. Asap tebal nampak menyelimuti alam sekitarnya. Walaupun pemuda ini tidak
mempan dengan segala yang bersi-fat racun, akan tetapi tak urung dia menjadi
gelagapan juga.
"Bruggkh!"
Tubuh pendekar Hina Kelana ter-
hempas ke tanah. Bukan main girangnya si Jubah Merah dan lain-lainnya, begitu
melihat pemuda itu ambruk tak sadarkan diri.
"Hi... hi... hi...! Kali ini ki-ta mendapat kelinci yang luar biasa tampannya,
kawan-kawan...!" ujar si Jubah Biru tersenyum puas.
"Guru pasti merasa senang dan puas dengan hasil buruan kita...!" si Jubah Merah
menimpali. "Lalu bagaimana ini" Apakah kita harus membawa serta kelinci betina tiada guna
itu...?" tanya si Jubah Kuning.
"Oh! Itu harus, bukankah dia telah membunuh saudara kita si Jubah Hitam...?"
menyela yang lainnya.
"Kalau begitu mari kita berangkat sekarang...!" perintah si Jubah Merah.
Kemudian tanpa banyak kata la-gi, mereka ini dengan sigap segera menggotong
lawan-lawannya. Tak keting-galan, tubuh si Jubah Hitam yang sudah menjadi mayat
mereka bawa serta.
* * * Siang tengah hari. Majikan Gagak
Hitam baru saja keluar dari dalam kerangkeng tempat memenjarakan Eka Dawana.
Wajah perempuan itu kelihatan sangat murung sekali. Apalagi dilihatnya, kini Eka
Dawana tak ubahnya bagai seorang pesakitan saja layaknya. Bagai seekor macan tua
yang sudah tiada memiliki gairah untuk melahap mangsanya.
Nampak enggan bahkan semakin lamban.
Sama tak ubahnya seperti orang-orang pikun yang kini nampak berjemur di luar
kerangkeng lainnya. Mengingat sampai di situ, tiba-tiba timbul keinginannya
untuk segera membunuh mereka semua. Tetapi hatinya menjadi bimbang!
Bimbang karena dia maupun para murid-muridnya belum mendapatkan mangsa yang
baru. Lalu dengan gontai setelah men-gunci kembali pintu kerangkeng Eka Dawana,
Dwi Keadilan segera melangkah menuju pintu rumah besar yang berkesan sangat
menyeramkan itu. Akan tetapi begitu sampai di depan pintu, mendadak dia
mengurungkan niatnya begitu dia mendengar suara riuh di jalan setapak menuju
tempat tinggalnya. Begitu dia menoleh, dia melihat para murid-muridnya telah
kembali dengan membawa tiga sosok tubuh, yang seorang di antaranya memang dia
kenali, tetapi ti-
dak untuk dua orang lainnya.
Dalam pada itu, gadis Jubah Me-
rah nampak berlari-lari kecil menghampirinya. Setelah menjura hormat beberapa
kali, gadis yang selalu menjadi andalannya untuk mencari mangsa baru itu pun
melapor. "Guru! Murid kembali dengan membawa kelinci jantan dan kelinci betina yang
sangat luar biasa bagusnya...!"
kata gadis Jubah Merah takjim.
"Hemm. Untuk apa kelinci betina kalian bawa pulang...?" bentak Dwi Keadilan
nampak sangat marah.
"Tetapi dia telah membunuh si Jubah Hitam, guru...!" jawab si Jubah Merah.
"Hoho... membunuh! Kalau begitu dia akan mendapat hukuman yang sangat
menyakitkan dariku!" kata Dwi Keadilan geram.
Kemudian Majikan Gagak Hitam me-
merintah. "Coba kalian bawa ke mari, kelinci jantan dan kelinci betina yang berhasil
kalian jaring itu!"
"Baik, guru...!"
Usai dengan ucapannya. Maka si
Jubah Merah segera memberi isyarat pa-da kawan-kawannya yang lain. Perempuan-
perempuan itu pun dengan begitu ringannya menggotong tubuh gadis dari Pulau
Bayangan yang benar-benar dalam keadaan tidak sadarkan diri sekaligus
menggotong tubuh pendekar Hina Kelana yang cuma berpura-pura klenger. Orang-
orang itu kemudian meletakkan tubuh si pemuda dan tubuh si gadis persis di depan
tempat gurunya berdiri.
Dwi Keadilan berseru kaget ber-
campur gembira begitu melihat wajah pendekar Hina Kelana yang sangat tampan. Dia
nampak benar-benar terpesona.
Kemudian setelah puas memandangi wajah si pemuda, kini beralih pula pada si
gadis. Tanpa sadar dia bergumam
"Dua-duanya sama bagusnya! Tetapi kelinci betina itu harus mampus be-sok pagi,
sedangkan yang jantan...!"
Walaupun Majikan Gagak Hitam tak
melanjutkan kata-katanya, tetapi murid-muridnya tahu ke mana arah pembi-caraan
gurunya. "Mereka ini sepasang kekasih, guru!" gadis Jubah Biru tiba-tiba menyela.
Kedua mata Dwi Keadilan agak me-
nyipit begitu mendengar penjelasan salah seorang muridnya. Mendadak dia tertawa
mengekeh. "Hi... hi... hi...! Sepasang kekasih" Bagus, aku paling suka dengan keadaan itu,
tapi bukankah kalian telah membiusnya"!" tanya perempuan iblis itu tiba-tiba.
"Benar...!" menjawab gadis Jubah Merah.
"Hmmm... bagus. Itu berarti se-
hari lagi mereka baru sadar... kalau begitu untuk beberapa hari kurung mereka
dalam satu kamar. Tetapi jangan lupa, kunci kerangkengnya kuat-kuat...!"
perintah Majikan Gagak Hitam berwibawa.
"Tetapi, Guru...!"
Dwi Keadilan membentak.
"Jangan membantah... orang-orang ini di mataku tak ada apa-apanya...
bawa saja ke sana lekas...!"
"Ba... baik, guru!" jawab para muridnya serentak.
Para muridnya itu sudah bermak-
sud melaksanakan perintah Majikan Gagak Hitam, ketika perempuan itu menyela.
"Eee... sebentar lagi hari me-rembang malam! Masih ada waktu bagi kalian untuk
menguburkan mayat Jubah Hitam... kerjakanlah secepatnya!" perintah Dwi Keadilan.
Lalu tanpa menjawab lagi, orang-orang ini pun langsung mengerjakan perintahnya.
Sementara Majikan Gagak Hitam, kembali memasuki rumahnya.
Ketika pendekar Hina Kelana mem-
buka kedua matanya, suasana di sekitarnya sudah nampak gelap gulita. Tiada apa
pun terlihat di sana. Hanya ke-gelapan dan sunyi. Kemudian dia bangkit berdiri,
hanya kedua tangannya yang mencari-cari di mana posisi Luluh. Tak lama kemudian
dia sudah mene-
mukan di mana adanya posisi murid Mambang Pitutur berada.
Seketika lamanya dia memeriksa
keadaan gadis itu, benar seperti apa yang dikatakan oleh Dwi Keadilan, sampai
saat itu si gadis belum juga sadarkan diri. Keadaan sudah sangat mendesak. Tak
ada pilihan lain kecuali menyelamatkan diri secepatnya. Lalu cepat-cepat dia
mengurut-urut bagian urat sadar di tubuh si gadis. Hanya cara itulah yang dia
kira dapat menya-darkan si cadis secepatnya. Tak begitu lama kemudian gadis itu
pun nampak menggeliat dan merintih-rintih. Si gadis tersentak kaget dan hampir
saja berteriak andai pendekar Hina Kelana tidak segera menempelkan jari telun-
juknya di bibir gadis itu. Kemudian Huang Sengketa berkata lirih:
"Ssst! Jangan berteriak atau pun menimbulkan suara yang mencurigakan.
Rencana kita bisa berantakan semuanya!" bisik si pemuda.
"Kita di mana...?" tanya si gadis sambil berusaha duduk.
"Dalam kurungan milik Majikan Gagak Hitam...!"
"Apa yang telah terjadi...?"
tanya si gadis setengah mengeluh.
Yang ditanya nampak menarik na-
fas pendek! Tetapi beberapa saat kemudian dia sudah menyahut.
Agaknya Luluh nampak terkejut
sekali, tanpa sadar dia langsung memeluk si pemuda begitu erat sekali.
"Kelana, aku takut sekali! Bagaimana kalau mereka itu malam ini ju-ga datang
untuk membunuh kita...?"
tanya si gadis dengan suara gemetaran.
Dengan halus pendekar Hina Kela-
na berusaha melepaskan rangkulan si gadis.
"Mereka hanya ingin membunuhmu, bukan membunuhku...!" kata si pemuda dengan
senyum dikulum. Dan tentu saja dalam suasana gelap itu si gadis tidak dapat
melihatnya "Jadi, jadi, mereka hanya ingin membunuhku..."!" tanya si gadis ter-sendat.
"Mengapa harus takut" Tokh setiap orang akan mengalami mati. Lebih dari itu
waktunya masih lama. Kita masih punya kesempatan dan waktu untuk keluar dan
kerangkeng mesum ini...!"
jawab si pemuda.
Nampaknya Luluh sangat terperan-
jat sekali. Cepat-cepat dia menyela:
"Kelana, apa maksudmu..." Adakah juga kakang Eka Dawana juga berada di tempat
ini...?" tanya si gadis penasaran sekali.
Orang-orang itu mereka perangkap
hanya untuk kepentingan mereka. Mungkin juga orang-orang utusan gurumu itu
berada di sekitar kerangkeng ini...!"
jelas pendekar Hina Kelana
"Kalau begitu kita harus membebaskan mereka...!" menyela gadis itu tiba-tiba.
Pendekar Hina Kelana nampak men-
desah. "Tidak, hal itu dapat kita lakukan kemudian. Untuk sementara ini kita harus
membebaskan diri kita. Setelah itu kita hancurkan mereka...!" ujar si pemuda.
"Mengapa" Bukankah kalau kita bebaskan terlebih dahulu kakang Eka Dawana berarti
kita akan mendapat tam-bahan tenaga...?" tanya Luluh tak mengerti.
Pendekar ini nampak mengeluh.
Dia tahu kalau sesungguhnya gadis yang polos ini tidak begitu tahu apa
sesungguhnya yang sedang terjadi di tempat itu. Beberapa saat kemudian dia
berkata. "Luluh, persoalannya jadi tidak semudah itu. Eka Dawana yang dulu lain dengan
Eka Dawana yang sekarang. Kita tak bisa berharap banyak pada orang itu" ucap si
pemuda penuh prihatin.
"Apa maksudmu...?"
"Nantinya engkau akan tahu sendiri. Yang penting kita harus terbebas dari tempat
ini...!" jawab pendekar Hina Kelana sambil melangkah menghampiri pintu
kerangkeng

Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian pemuda dari
negeri Bunian ini nampak sedang beru-
saha membuka pintu kerangkeng. Tetapi tidak semudah seperti apa yang diduga oleh
pemuda ini. 11 Pintu kerangkeng itu terikat
begitu kuatnya. Pemuda itu nampak mencaci maki dalam hati.
"Bagaimana, Kelana...?" tanya Luluh sesudah berada di samping si pemuda.
"Sial betul. Orang-orang itu kiranya telah membuat segala sesuatunya dengan
rencana yang cukup matang...!"
keluh pendekar Hina Kelana.
"Apakah engkau benar-benar tak bisa membukanya...?"
"Dengan cara lain mungkin bisa, tetap hal itu malah akan menimbulkan kecurigaan
bagi orang-orang yang berada di dalam rumah itu...!"
"Lalu bagaimana...?" tanya si gadis cemas.
"Menunggu sampai hari esok. Dengan sangat terpaksa kita harus berpura-pura tetap
tidak sadarkan diri...!"
jawab pendekar Hina Kelana memutuskan.
"Mana mungkin...?"
"Mungkin saja kalau kita mau, tokh sejak siang tadi aku bisa melakukannya dengan
sangat baik...."
Kemudian tiada kata-kata lagi,
kedua orang itu kembali pada posi-
sinya, malam yang sunyi itu terus berlalu tanpa kejadian apa pun. Ketika
keesokan harinya mereka masih tetap pada keadaannya.
Sinar surya nampak bersinar ce-
rah, kesibukan di pagi itu pun berlanjut kembali. Sementara itu dari dalam rumah
yang berkesan angker yang menyerupai tempat tinggal Majikan Gagak Hitam, nampak
keluar lima orang murid-murid utamanya. Orang-orang ini dengan langkah terburu-
buru segera menuju ke arah kerangkeng tempat di mana Luluh dan Buang Sengketa
dikurung. Karena sesungguhnya jarak antara kerangkeng dengan rumah huni tidak
begitu berjau-han, maka dalam waktu sekejap saja, mereka sudah sampai di tempat
itu. Seketika lamanya, orang-orang
itu nampak memeriksa keadaan kerangkeng. Lalu gadis-gadis itu saling berkata
sesamanya: "Aku kuatir kalau kelinci-kelinci kita ini malah tak sadarkan diri
untuk selama-lamanya...!"
berkata si Jubah Merah seperti pada dirinya sendiri.
"Tetapi kita kan hanya mempergunakan asap pembius biasa..."!" menyela si Jubah
Kuning. "Asap pembius biasa apa! Tokh aku malah mempergunakan lebih dari sekedar itu..."
ucap si Jubah Biru pula.
Begitu mendengar ucapan si Jubah
Biru, yang lain-lainnya nampak saling berpandangan sesamanya.
"Mengapa itu kau lakukan...?"
bentak si Jubah Merah menegur.
Yang ditegur malah tersenyum si-
nis. "Aku begitu kesal, karena mereka telah membunuh Jubah Hitam...!" sahut Jubah
Biru seadanya. "Engkau ini tolol sekali. Kalau kelinci jantan itu sampai mati, guru pasti
sangat kecewa. Dan kita semua segera mendapat hukuman yang berat...!" bentak si
Jubah Merah mulai hilang kesabarannya.
"Sudahlah, untuk apa kita saling berbantahan! Bukankah lebih baik kalau kita
periksa keadaan mereka...?" kata Jubah Ungu menengahi.
Nampak mereka menurut. Kemudian
tanpa banyak kata lagi, orang-orang ini segera menghampiri pintu kerangkeng dan
berusaha membukanya.
Sementara itu, baik pendekar Hi-
na Kelana maupun Luluh yang nampak meringkuk di dalam kerangkeng itu. Secara
diam-diam mulai bersiap-siap untuk melakukan serangan.
Tak ayal lagi, begitu pintu ke-
rangkeng terbuka dan orang-orang itu mulai saling berebutan untuk saling
mendahului. Secara tiba-tiba, dengan mempergunakan dua sepertiga dari tenaga
dalamnya, pemuda ini nampak memba-
likkan badannya begitu cepat. Kemudian pukulkan kedua tangannya mengarah pada
lawan-lawannya. Empat larik sinar Ultra Violet, laksana kilat nampak melesat
sedemikian cepatnya. Pihak lawan yang tiada pernah menyangka akan diserang
sedemikian rupa, nampak sangat terkejut dan sangat gugup. Tetapi tiada
kesempatan bagi mereka untuk memapaki terkecuali mengelak sebisa-
bisanya. Tak ayal lagi gelombang pukulan yang berkekuatan sangat dahsyat itu
menghantam tubuh lawan-lawannya yang tidak sempat mengelakkan diri.
"Blaaar! Blaaar! Blaaar!"
Laksana terguncang gempa bumi
yang dahsyat pukulan yang dilepaskan oleh pendekar Hina Kelana menggetarkan
daerah di sekitarnya. Beberapa orang di antaranya nampak terpelanting,
hingga tubuh mereka menabrak jeruji kerangkeng yang terbuat dari batangan kayu.
Kerangkeng kayu itu hancur berkeping-keping. Dua jeritan yang sangat memilukan
terdengar. Jubah Ungu dan Jubah Hijau yang paling telak terkena pukulan Empat
Anasir Kehidupan, tubuhnya nampak terhempas dalam keadaan hangus dan nyawa
melayang. Sementara tiga orang sisanya yang hanya terkena angin sambarannya
saja, kini nampak tertatih-tatih dengan tubuh gemetar dan wajah pucat pasi.
Sedikit pun mereka tiada menyangka kalau tawanan me-
reka bisa sadar secepat itu. Dan pukulan maut yang dilepaskan oleh pemuda itu
sekarang benar-benar membuat nyali ketiga orang itu menjadi semakin ciut.
Diikuti oleh Luluh di belakang-
nya, kini pendekar Hina Kelana melangkah ke luar dan kerangkeng melalui dinding-
dindingnya yang berantakan.
Setelah berada di luar kerangkeng.
Langkahnya nampak terhenti. Lalu dipandanginya wajah ketiga gadis itu silih
berganti. Kini sepasang matanya nampak memerah saga, rahang bergemele-tukkan.
Nyatalah kalau pemuda ini sedang berusaha meredam kemarahannya yang meledak-
ledak. Beberapa saat kemudian dengan
suara dingin dia membentak:
"Hemm! Sudah kukatakan, hanya kentut gajah saja yang mampu merobohkan aku. Tapi
kalian tak pernah percaya. Kini segalanya terlambat sudah, nama Majikan Gagak
Hitam berikut kroco-kroconya sudah kuputuskan untuk ku-gusur ke liang kubur hari
ini ju- ga...!" geram si pemuda.
Meskipun nyali ketiga orang itu
sudah lumer. Tetapi sebagai murid-
murid yang tak kenal menyerah. Salah seorang di antaranya balas membentak.
"Kelinci-kelinci sial. Kalau ta-hu begini jadinya, tidak tadinya kalian kami
biarkan hidup...!"
Pendekar Hina Kelana tertawa
mengekeh. "Ha... ha... ha...! Kalau kalian bakal tahu hari ini kalian mati, sudah barang
tentu sejak kemarin kalian telah mempersiapkan kubur kalian...!"
menyela pemuda ini
"Kelana! Mengapa harus banyak basa basi, kita gebuk saja mereka
ini!" tukas Luluh sudah tak sabar lagi
"Hem. Benar sekali ucapanmu, memang sebaiknya kita gebuk saja mere-ka...!" sahut
si pemuda. Dalam pada itu, gadis Jubah Me-
rah nampak memberi isyarat pada si Jubah Kuning untuk segera memberi kabar pada
guru mereka yang kini sedang berada di Bukit Gagu bersama Purwaningsih.
Nampaknya si Jubah Kuning mengerti akan makna isyarat tersebut. Lalu tanpa
membuang-buang waktu lagi, gadis Jubah Kuning laksana kilat segera melesat
pergi. Gadis dari Pulau Bayangan itu pun berseru menegur.
"Mengapa engkau biarkan betina itu pergi?" protesnya nampak tak senang.
Pendekar Hina Kelana tersenyum
getir "Biarkan saja, dia sedang memberi kabar tentang berita gembira ini pada
gurunya si Majikan keparat...!"
ucapnya sinis. "Kalau begitu dua kunyuk betina ini kita gebuk bersama-sama...!"
Belum lagi gadis itu usai dengan
ucapannya, si Jubah Merah dan Jubah Biru telah melabrak mereka dengan kirimkan
serangan-serangan gencar.
Tidak sungkan-sungkan lagi.
Orang-orang ini pun segera pula melakukan serangan balasan. Dalam waktu sekejap
saja pertarungan sudah menjadi seru. Satu lawan satu. Si pemuda berhadapan
dengan si Jubah Merah, sementara Luluh berhadapan dengan si Jubah Biru.
Satu ketika, si Jubah Merah ki-
rimkan pukulan Gagak Hitam Menyambar Bangkai. Satu gelombang sinar berwarna
hitam pekat melesat cepat ke arah si pemuda. Dan sudah barang tentu dia yang
memang sudah mengetahui kekuatan pukulan itu sebelumnya tak ingin membiarkan
kesempatan itu lewat begitu saja. Kemudian lebih cepat lagi dia kiblatkan kedua
tangannya untuk memapaki datangnya serangan yang membadai.
Dari kedua belah tangannya melesat pu-la selarik sinar yang hampir tak terlihat
kasat mata. Kemudian gelombang sinar yang berwarna panas itu menderu dan
timbulkan suara bergemuruh. Tak pelak lagi dua kekuatan sakti itu pun saling
bertubrukan. "Bumm!"
Bumi terasa bagai dilanda
selaksa gempa, tubuh pendekar Hina Kelana nampak terhuyung. Sementara gadis
Jubah Merah nampak terjengkang lalu
muntah darah. Akan tetapi sungguh hebat daya tahan murid Majikan Gagak Hitam
ini. Bagai tak mengenal rasa sakit, secepat dia jatuh, secepat itu pula dia
bangkit dan kembali membangun serangan-serangan yang lebih gencar.
Lebih dari itu ternyata murid-
murid dari Dwi Keadilan ternyata dalam pertarungan sepenuhnya hanya
mempergunakan ilmu silat tangan kosong.
Dengan sesungging senyum sinis,
Buang Sengketa membentak.
"Jubah Merah. Kalau engkau punya senjata cabutlah... andai tidak, engkau akan
menyesal selama-lamanya...!"
kata si pemuda memperingati.
Gadis Jubah Merah mendengus!
"Dalam pertarungan antara hidup dan mati! Selamanya kami tidak pernah
mempergunakan senjata apa pun. Nih, makanlah pukulanku...!"
"Haes!"
Pendekar Hina Kelana berkelit,
dan keluarkan suara tawa.
"Bagus. Kesombonganmu itu memang pantas cepat-cepat kau bawa mati...!"
maki pendekar ini.
"Wut!"
Pukulan yang dilancarkan oleh
gadis Jubah Merah, kembali menyambar kemudian disusul dengan pukulan berikutnya.
"Desss!"
"Wuaah...!"
Buang Sengketa menggerung begitu
pukulan yang dilepaskan oleh Jubah Merah menyambar pundaknya. Tubuhnya
terpelanting dan terguling-guling. Nyeri sekali rasanya bagian yang terkena
sambaran pukulan si gadis. Dia bangkit kembali, sekejap dia gerak-gerakkan
pundaknya yang terasa kaku. Belum lagi dia dapat berbuat sesuatu. Agaknya gadis
Jubah Merah yang sudah sangat ka-lap itu bermaksud untuk selalu mendahului
lawannya dalam melancarkan pukulan. Kini dia berkelebat lagi dan kirimkan satu
rangkaian berantai.
Buang Sengketa bergerak lebih
cepat lagi, dia yang sudah sangat marah ini segera berkelebat cepat. Dari selah-
selah bibirnya keluar bunyi mendesis, mirip suara seekor ular Piton yang sedang
marah. Lalu lebih cepat lagi dia keluarkan pusaka Golok Buntung. Pukulan-pukulan
maut yang dilancarkan oleh gadis Jubah Merah beru-langkali nampak selalu
dikandaskan oleh kilatan cahaya merah menyala yang terpancar dari golok yang
berada dalam genggaman si pemuda. Dalam pada itu, udara di sekitarnya mendadak
berubah dingin. Bahkan Jubah Biru yang sedang bertarung mati-matian melawan
Luluh nampak sangat terkejut sekali. Begitu juga halnya dengan murid dari Pulau
Bayangan itu. Tak lama setelahnya, pendekar
Hina Kelana berteriak nyaring. Tubuhnya melesat sedemikian cepatnya. Sekejap
gadis Jubah Merah sudah sangat terdesak sekali. Dalam keadaan seperti itu, golok
di tangan si pemuda nampak berkelebat mengarah pada bagian leher si Jubah Merah.
"Craaas!"
Tiada suatu lolongan yang ter-
dengar karena sesungguhnya kerongkon-gan gadis malang itu telah terputus menjadi
dua. Gadis Jubah Merah melotot matanya. Kedua tangan menekap bagian leher yang
memancarkan darah. Sekejap saja tubuh yang sudah nampak pucat dan limbung karena
mulai kehabisan darah.
Setelah terhuyung-huyung seketika lamanya tubuh gadis itu pun nampak mene-kuk
dan kemudian ambruk tanpa dapat berkutik lagi.
Semua yang terjadi begitu cepat-
nya itu kiranya tak terlepas dari perhatian Luluh, yang nampak terkagum-kagum
bercampur ngeri. Dan yang paling kecut akibat dari semua tindakan si pemuda
adalah gadis Jubah Biru. Gadis itu nampak sangat ketakutan sekali.
Tubuhnya nampak pucat dan keluarkan keringat dingin. Semua itu sudah barang
tentu sangat berpengaruh dalam pertarungan. Bahkan kini dia hanya dapat mengelak
dan bertahan. Berulang kali seruling di tangan Luluh nyaris menghantam tubuhnya.
Untung dia masih
dapat mengelak dengan gesit, satu saat dia nampak kirimkan satu serangan kilat.
Jemari tangannya melancarkan satu tusukan mengarah pada bagian mata lawan,
sedangkan tangan lainnya mengi-rimkan satu jotosan ke arah bagian da-da. Sudah
barang tentu permainan silat Jubah Biru yang hampir mirip dengan permainan silat
Mambang Pitutur sedikit banyak sudah dapat dibaca oleh si gadis. Begitu
sejengkal lagi serangan itu hampir mencapai sasarannya, Luluh menangkis
sekaligus menggerakkan Serulingnya.
"Deess! Prook!"
Gadis Jubah Biru mengeluarkan
jeritan lirih, kedua kakinya nampak tertekuk. Darah nampak meleleh dan
menyembur-nyembur ke luar, hanya beberapa saat saja tubuh gadis itu berkelejat-
kelejat. Lalu diam dengan nyawa meninggalkan badan.
Hampir bersamaan dengan tewasnya
gadis Jubah Biru. Dari atas Bukti
Gamping yang mengapit tempat tinggal Majikan Gagak Hitam dan murid-muridnya,
nampak melayang turun tiga sosok bayangan.
Mereka ini tak lain adalah Dwi
Keadilan, Purwaningsih dan juga Jubah Kuning. Yang tadinya memberi laporan pada
sang guru. Kedatangan mereka ternyata me-
mang sangat terlambat, karena memang
begitu mereka sampai di tempat itu.
Empat orang murid-muridnya telah tewas semuanya dalam keadaan yang sangat me-
nyedihkan. Tanpa menghiraukan pendekar Hina
Kelana dan Luluh, ketiga orang itu langsung memeriksa mayat si Jubah Bi-ru,
Jubah Merah, Ungu dan Hijau.
Sedih bercampur amarah orang-
orang ini segera berbalik dan membentak gusar.
"Ho... ho... ho...! Kelinci-
kelinci keparat, betapa keji perbuatan kalian. Kalian telah membantai murid-
muridku sedemikian rupa! Apa salah mereka dan salah kami..."!" maki Dwi Keadilan
sambil menangisi kematian murid-muridnya.
Pada saat itu Purwaningsih dan
Jubah Kuning telah mengurung mereka berdua.
"Sial betul! Bukankah engkau ini Dwi Keadilan... dan kau...!" bentak Luluh
sambil menunjuk pada Purwaningsih. "Bukankah engkau murid bangsat Purwaningsih
yang telah membawa lari kitab Jurus Bayangan milik guruku...?"
Agaknya Purwaningsih masih men-
genali siapa adanya gadis yang memben-taknya itu, kemudian dia pun menyela:
"Kalau benar engkau bisa berbuat apa, murid bungsu tolol" Apakah engkau hendak


Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengandalkan budak gembel
itu...?" katanya mencemooh.
"Keparat...! Kami memang sengaja datang ke mari untuk menghancurkan maling
pengecut dan sekalian mencabut nyawa Dwi Keadilan yang brengsek dan cabul...!"
kertak Luluh gusar sekali.
"Bocah pentil! Siapakah engkau ini...!" menyela Dwi Keadilan tiba-tiba.
"Guru... cunguk betina ini merupakan murid dari musuh besarmu si Mambang
Pitutur...!" kata Purwaningsih memberi penjelasan. Betapa terkejutnya Majikan
Gagak Hitam ini begitu mendengar ucapan Purwaningsih muridnya. Betapa tidak, beberapa orang murid tertua Mambang
Pitutur semuanya telah masuk ke dalam perangkapnya tanpa dapat melakukan
perlawanan yang berarti bahkan semua itu hanya cukup dikerjakan oleh para murid-
muridnya. Tetapi kini kehadiran murid bungsu, yang menurut selayaknya hanya
memiliki kepandaian jauh di bawah kepandaian para pendahulunya, kok malah
membuat semuanya jadi berantakan.
12 Sudah sewajarnya kalau hatinya
diliputi oleh tanda tanya besar. Lalu tanpa sadar tiba-tiba dia berkata:
"Jadi engkau ini muridnya si setan suci itu. Hi... hi... hi... kukira tanpa
bantuan pemuda gembel ini. Tentu
nasibmu malah lebih buruk dari saudara-saudara seperguruanmu yang sudah tiada
guna itu...!"
Sesaat Luluh tersentak, dia su-
dah dapat menduga-duga apa arti ucapan Dwi Keadilan. Kakak seperguruannya pasti
sudah menjadi korban nafsu bi-adab perempuan jalang ini.
"Hari ini kami akan menghancurkan sebuah kesombongan dan juga meng-hapuskan
sebuah nama besar yang paling kotor di atas dunia ini...!" bentak Luluh sangat
marahnya. Baik Purwaningsih maupun Dwi
Keadilan, dua-duanya sama tertawa mengekeh.
"Jangan mimpi, sebaliknya kalian berdua dengan segera akan kami kirim ke
akhirat!" "Luluh! Semuanya sudah jelas.
Engkau hadapilah si Jubah Kuning itu.
Biar dua orang ini menjadi bagian-
ku...!" Tidak seperti biasanya, kini
pendekar Hina Kelana sudah sejak awal telah melakukan serangan terlebih du-lu.
Menyadari dua orang lawan sudah dapat dipastikan merupakan lawan yang sangat
tangguh. Maka begitu melakukan serangan dia langsung mempergunakan pukulan yang
paling ampuh. Begitu juga halnya dengan Luluh.
Gadis ini nampaknya tak ingin bertindak tanggung-tanggung. Saat mana si
Jubah Kuning datang menerjang, dia segera pergunakan jurus-jurus Seruling
Bayangan tingkat yang paling tinggi.
Baik tubuh maupun seruling di tangannya nampak berkelebat sedemikian cepatnya
sehingga gerakan-gerakannya yang sedemikian ringan, membuat lawannya harus
mengerahkan segenap kemam-puannya.
Di lain pihak, saat itu pendekar
Hina Kelana meski pun saat itu sudah mempergunakan pukulan Empat Anasir
Kehidupan. Tetapi nampaknya tidak berarti banyak bagi pihak lawan. Serangan-
serangan itu selalu luput dari sasarannya, hal ini sudah barang tentu membuat si
pemuda menjadi uring-uringan. Betapa tidak! Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang
dia pergunakan sudah sampai pada tingkat yang paling tinggi. Selama ini belum
ada seorang lawan pun yang mampu bertahan hidup sampai pada tingkat kedua
sekalipun. Akan tetapi kini Majikan Gagak Hitam beserta muridnya malah mampu mengelakkan
pukulan ampuh itu sampai pada
tingkat yang paling tinggi! Hal ini sudah barang tentu di luar perhitun-gannya.
Dalam hati pemuda ini mengeluh. Lalu timbul pula pertanyaan, mungkin kitab
Pusaka Jurus Bayangan yang terkenal sangat dahsyat itu telah berhasil dikuasai
oleh lawan-lawannya"
Kalau dugaannya itu ternyata benar,
maka akan terasa sangat sulitlah baginya untuk mencari titik kelemahan para
lawannya. Pada saat itu, Majikan Gagak Hi-
tam dan muridnya nampak mulai mendesak dan melakukan pukulan-pukulan jarak jauh,
secara beruntun bahkan berkepanjangan. Sedapat-dapatnya pendekar ini berusaha
mengelak. Tubuhnya melompat-lompat mirip seekor monyet hutan yang setengah gila.
Tetapi walaupun caranya mengelak dan berkelit sudah sedemikian cepat luar biasa.
Satu saat dia keco-longan juga.
"Bum! Bum!"
Tubuh pendekar Hina Kelana ter-
pelanting roboh, darah berlelehan dari hidung dan bibir. Dadanya bagai remuk,
secepatnya dia berusaha bangkit. Tetapi kedua kakinya goyah dan rasanya tiada
bertenaga. Saat itu pihak lawan yang sudah kesetanan ini, nampak terus memburu
dan kirimkan satu pukulan Gagak Maut.
Buang menggerutu. Selarik sinar
hitam pekat datang membadai dan menderu-deru ke arahnya. Sementara itu dari arah
lain Purwaningsih melepaskan pukulan yang sama. Buang Sengketa berusaha mengelak
dengan cara berguling, namun hasilnya tetap saja.
"Blam!"
Bukan main parah luka yang dide-
rita oleh pemuda ini, dia terbatuk-
batuk, lalu darah menggelogok dari mulutnya. Luluh nampak menjerit tertahan
begitu menyaksikan keadaan yang dide-rita oleh pemuda yang telah menjatuhkan
hatinya ini. Tetapi untuk memberikan pertolongan tak mungkin, sebab dia sendiri
kini sedang berusaha mendesak lawannya untuk segera mengakhiri pertarungan.
Gadis itu nampak sangat marah sekali. Sebagai pelampiasannya dia putar
serulingnya lebih sebat. Sehingga dalam waktu sekejap membuat lawannya pontang-
panting dalam mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkannya.
Dalam pada itu, Majikan Gagak
Hitam dan muridnya nampak tertawa tergelak-gelak. Mereka sudah begitu sangat
yakin bahwa kemenangan berada di pihaknya.
Sambil menyiapkan pukulan Gagak
Maut tingkat paling tinggi dia berkata penuh kemenangan:
"Bocah gembel! Mulanya aku bermaksud membuatmu bahagia, tetapi karena engkau
begitu kejam telah membunuhi murid-muridku. Sebagai balasannya engkau pun harus
menerima kematian dengan cara yang sangat mengerikan dariku...!"
Pendekar Hina Kelana tak menya-
hut, sebaliknya dia segera mencabut Golok Buntung yang terselip di ping-gangnya.
Terasa ada aliran hangat yang menjalari pori-pori tubuhnya. Begitu
senjata itu berada dalam genggamannya.
Rasa sakit di dalam rongga dadanya secara perlahan terasa mulai sirna walau
tidak bisa dibilang sembuh secara keseluruhan. Kini secara perlahan kedua mata
pemuda itu yang tadinya nampak terkatup rapat sudah mulai nampak membuka. Kedua
matanya yang nampak memerah itu nampak menatap tajam pada guru dan murid secara
silih berganti. Sesungging seringai maut sekejap kemudian membekas di wajahnya
yang mulai kembali seperti sediakala. Tiba-tiba ia membentak!
"Manusia-manusia budak iblis, kalau hari ini aku tak dapat membunuh kalian
berdua. Lebih baik kutebus dengan kematianku sendiri...!" mengerang pendekar ini
bagai harimau terluka.
Dwi Keadilan nampak mencemooh, tetapi begitu dia melihat senjata di tangan
lawannya nampak mengeluarkan sinar merah menyala, tak urung hatinya keder juga.
Tetapi kemudian dia berseru lantang.
"Budak... nyawamu sudah berada di ambang maut! Tetapi engkau masih juga jual
lagak di depan kami...!"
bentak Majikan Gagak Hitam.
Kemudian secara bersamaan, Dwi
Keadilan dan Purwaningsih melepaskan pukulan mautnya. Dua gelombang sinar hitam
berkekuatan sangat besar kembali bergulung-gulung mengarah pada pende-
kar Hina Kelana. Kini dengan senjata di tangannya pendekar ini tanpa sungkan-
sungkan lagi langsung saja memapaki.
"Breess!"
"Breess!"
Dua tenaga besar yang dilepas
oleh lawan-lawannya, langsung amblas tersedot senjata pendekar Hina Kelana.
Dan bukan main terkejutnya mereka ini, begitu menyadari tubuh mereka terasa
terbetot sebuah kekuatan raksasa.
Buang Sengketa tampak diam tidak
bergeming, sementara tubuh lawan-
lawannya terus terseret mendekati senjata di tangan si pemuda. Tetapi sebagai
orang yang berpengalaman, Dwi Keadilan tentu tidak bodoh. Dia menyadari selama
mereka masih mengerahkan tenaga mereka, maka selama itu pula senjata di tangan
lawannya tetap mem-betot tubuh mereka. Untuk mengatasi keadaan seperti itu satu-
satunya cara adalah menarik balik tenaga dalam yang mereka kerahkan. Untuk itu
dia berteriak pada muridnya.
"Purwaningsih" Jangan engkau kerahkan tenaga dalammu...!" perintahnya.
Lalu secara bersamaan pula mere-
ka menarik balik tenaganya.
"Hiat! Hiat!"
Tubuh mereka nampak berjumpali-
tan tetapi sebelum kaki-kaki mereka
dapat berpijak di atas tanah, Buang Sengketa sudah lambaikan Pecut Gelap Sayuto.
"Ctar Ctarr...! Ctarrr...!"
Bukit yang mengapit tempat ke-
diaman Majikan Gagak Hitam nampak run-tuh seketika itu juga, batu-batu di
atasnya nampak berjatuhan. Mendadak langit menjadi gelap gulita disertai hujan
petir yang sambung menyambung.
Terkecuali pendekar ini, semua yang hadir di tempat itu nampak terkesima.
Bukan main terkejutnya hati mereka de-mi melihat kejadian ini. Tetapi tidak
begitu halnya dengan pendekar Hina Kelana yang sudah bagai dirasuki setan ini.
Tanpa sepatah kata pun tubuhnya berkelebat, pecut di tangan kirinya kembali
menyambar-nyambar dan timbulkan suara bergemuruh, suasana di sekitarnya semakin
bertambah gelap gulita.
Dalam keheran-heranan itu, tiba-tiba Golok Buntung di tangan pemuda ini
mendengung dua kali.
"Crat! Craaaas...!"
Baik tubuh Dwi Keadilan maupun
tubuh muridnya, nampak berputar-putar begitu senjata di tangan pendekar itu
membabat batang leher mereka. Sebelum mereka menyadari apa sesungguhnya yang
telah terjadi, nyawa mereka telah ke-buru melayang. Beberapa saat kemudian tubuh
yang terputar-putar dengan darah menyembur itu pun langsung ambruk ke
bumi. Berkelojotan, lalu diam untuk selama-lamanya.
Sementara pada saat yang hampir
bersamaan Luluh telah pula menyelesai-kan tugasnya. Gadis Jubah Kuning, seperti
yang lain-lainnya tewas di tangan Luluh dengan luka yang sangat me-nyedihkan.
Dalam pada itu pendekar Hina Ke-
lana nampak sedang memeriksa tubuh Purwaningsih. Begitu dia tak mendapati kitab
pusaka Jurus Bayangan di bagian tubuh gadis sesat ini, maka dia beralih pada
Majikan Gagak Hitam yang nampak menggeletak tak jauh dari mayat muridnya.
Barulah setelah memeriksa mayat Dwi Keadilan di sana sini, Pendekar ini
mendapati sebuah kitab yang sesungguhnya sangat tipis sekali. Sesaat lamanya,
dia nampak memperhatikan sampul kitab tersebut. Kemudian dia menoleh, tetapi dia
tak melihat adanya Luluh di tempat itu.
Pendekar Hina Kelana mencari-
cari, lalu tatkala dia mendengar suara isak tangis dari arah sebuah kerangkeng.
Maka dengan sangat tergesa-gesa dia mengayunkan langkah ke sana.
Bila pemuda itu telah sampai di
tempat itu, dilihatnya Luluh nampak terisak-isak sambil memeluki tubuh seorang
laki-laki yang sudah kaku mem-beku.
"Kakang Eka Dawana... hu...
huuu.., huu! Akhirnya engkau pergi ju-ga. Guru pasti akan kehilangan engkau,
kakang...!" sesalnya terisak-isak.
Dalam pada itu, meskipun hati si
pemuda ikut terharu, tetapi pada akhirnya dia menyela:
"Dari tiada, kemudian ada, lalu kembali ke tiada. Itu adalah hal yang sangat
wajar. Kita juga bakal mengalami nasib seperti dia, hanya tinggal tunggu waktu
saja. Daripada menangis dan bersedih, lebih baik kita rawat mayat Eka Dawana
saudara seperguruanmu itu...!" desah si pendekar tampan ini berusaha menghibur.
Beberapa saat kemudian, Luluh
hentikan tangisnya. Serta merta dia beranjak ke luar dari kerangkeng.
Meskipun hatinya masih bersedih, namun dipandanginya pemuda ini tanpa berkedip
sedikitpun. Sepanjang matanya yang berbinar-binar indah nampak menyi-ratkan
cinta kasihnya yang mendalam.
Tiba-tiba dia mendekat dan berkata:
"Engkau benar-benar seorang pendekar sejati, aku kagum dengan kesaktian yang
engkau miliki. Lebih dari itu, semua keluarga Pulau Bayangan merasa sangat
berhutang budi padamu...!"
ucap Luluh sambil tetap memandang penuh arti.
Sebentar Buang Sengketa menun-
dukkan kepalanya, lalu berkata pelan:
"Lupakan semua itu, semua itu
sesungguhnya satu kewajiban belaka...!
Oh ya, ini kitab milik gurumu, engkau bisa menyerahkan padanya, nanti...!"
kata si pemuda sembari menyerahkan kitab tersebut pada Luluh. Gadis itu me-
nerimanya, tetapi ia masih bertanya.
"Apakah engkau tidak mau singgah ke Pulau Bayangan...?" tanya si gadis resah.
Buang Sengketa tersenyum maklum,
lalu dipegangnya bahu si gadis, kemudian seketika lamanya mereka saling
berpandangan lalu wajah mereka saling mendekat. Sekejap mereka saling berpa-
gutan, hanyut dan mesra. Hanya sebatas itu. Ketika mereka teringat akan mayat
Eka Dawana. Maka Luluh pun dengan wajahnya yang kemerahan karena menahan rasa
malu menyela. "Engkau belum menjawab perta-
nyaanku...! Dan kita belum mengubur mayat Eka Dawana, kakang sepergurua-nku...!"
ucapnya bertubi-tubi.
Pendekar Hina Kelana menganggu-
kan kepala pelan.
"Aku tak mau dengan jawaban seperti itu...!" kata Luluh mengajuk.
Rewel amat gadis ini. Batinnya.
"Baiklah aku bersedia mengantar-mu ke Pulau Bayangan. Sekalian mengurus mayat
Eka Dawana terlebih dahulu!"
jawab si pemuda.
Gadis murid Pulau Bayangan itu
nampak tersenyum puas begitu mendengar
jawaban Pendekar Hina Kelana. Kemudian segera melakukan pekerjaannya tanpa
bicara sepatah kata pun.
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 18 Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah 13
^