Pencarian

Pedang Bulan Madu 1

Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu Bagian 1


1 JIKA angin bergerak, maka dedaunan pun akan
mengikuti iramanya. Tetapi jika dedaunan bergerak tidak sesuai dengan irama
angin, itu pertanda bahaya di balik dedaunan itu. Setidaknya ada sesuatu yang
patut dicurigai.
Tentu saja hal itu membuat sepasang mata
bening dan teduh milik seorang pemuda tampan ter-
paksa memperhatikan dengan sedikit mengecil. Pemu-
da tampan berbaju buntung warna putih dan celana
yang juga berwarna putih itu segera mundur dua langkah. Gerakan daun ilalang
yang tidak sesuai dengan
hembusan angin telah membuatnya memasang kewas-
padaan penuh siaga.
Pemuda berambut lurus sepundak tanpa ikat
kepala itu membatin dalam hatinya, "Ada apa di balik semak ilalang itu" Macan,
musang, rusa, kelinci, atau buaya?" Si pemuda bertubuh kekar dan gagah itu tak
lain adalah salah satu dari Pendekar Kembar. Melihat pedang kristalnya yang
bernama Pedang Tangan Malaikat itu ada di pinggang kanan, berarti dia adalah si
Pendekar Kembar kidal, yang menggunakan pedang
dengan tangan kirinya, karena itu diselipkan di pinggang kanan. Bagi orang yang
sudah mengetahuinya,
Pendekar Kembar bertangan kidal tak ada lain kecuali si Soka Pura yang konyol
itu. Karena ia punya sifat konyol, penuh selera
canda, maka gerakan daun ilalang yang mencurigakan
itu hanya ditertawakan dalam hati. Yang terlihat padanya hanya seulas senyum
geli dengan sorot pandan-
gan mata tetap mengarah penuh waspada.
"Rupanya ada orang yang ingin berbuat ma-
cam-macam padaku. Dia menghadangku di sana.
Hrnmm... sebaiknya aku pura-pura tak tahu saja!"
ujar Soka dalam hatinya.
Benar juga, Soka berlagak tidak mengetahui
ada sesuatu di balik semak ilalang tersebut. Ia sengaja melangkah lebih dekat
lagi. Bahkan kali ini ditambah dengan siulan santai, seakan sedang menikmati
pemandangan di sekitar tempat itu.
ilalang yang tingginya melebihi orang dewasa
itu justru tidak bergerak ketika Soka lewat di depannya. Semakin bertambah
curiga lagi hati Pendekar
Kembar bungsu itu. Ekor matanya memperhatikan
semak ilalang itu.
Ternyata dugaan Soka memang benar, ada ba-
haya di balik semak ilalang tinggi itu. Karena tiba-tiba ia melihat sekeping
logam melesat dengan memantulkan cahaya matahari yang berkerilap. Ziing...!
Soka Pura meliukkan badan ke belakang.
Weess,..! Benda itu melesat lewat depan hidungnya
yang mancung kemudian menancap pada sebatang
pohon seberangnya. Jeeeb...! Ziiing...!
"Eh, datang lagi"!"
Wuuut! Soka Pura memutar tubuh setengah
lingkaran. Benda itu lewat di depan dadanya dan jatuh di semak-semak seberang.
Senyum Soka pun tampak
mengembang dengan mata menatap ke arah semak-
semak yang dicurigai.
Senjata rahasia yang ketiga melesat lagi dalam
jumlah dua keping logam putih mengkilap. Ziiing,
ziing...! Keduanya dihindari oleh Soka dengan lakukan sentakan napas yang
membuat tubuhnya melayang ke
atas bagaikan roket. Weees...! Jurus peringan tubuh yang dinamakan 'Badai
Terbang' itu membuat gerakan
Soka Pura lebih cepat dari gerakan dua senjata rahasia tersebut. Akibatnya kedua
senjata yang berbentuk se-
perti daun bergerigi itu menancap pada dua pohon
yang saling berdekatan. Jeb, jeb...!
Kejap berikutnya Pendekar Kembar bungsu te-
lah menapakkan kakinya dengan tegak dan kokoh. Se-
nyumnya masih mengembang bikin lawan dongkol dan
penasaran. "Habiskan semua senjata rahasiamu, bila perlu
bikin dulu sebanyak-banyaknya. Kutunggu kau di sini, Sobat!" seru Pendekar
Kembar bungsu dengan wajah berkesan cengengesan.
Lawan yang tersembunyi itu makin dongkol.
Maka ia pun melepaskan kembali empat senjata raha-
sia yang sama bentuk dan rupanya dengan tiga senjata yang sudah dilemparkan
tadi. Zrriing...! "Eit, rombongan..."!" seru Soka Pura sambil meliukkan badan ke kiri, lalu
menyentakkan kaki dan tubuhnya melayang dalam keadaan telentang dan sedikit
melengkung, mirip atlet lompat tinggi yang sedang melintasi gawang. Weees...!
Tapi pada saat itu tangan Soka Pura sempat
pula menyambar ke atas, dan ternyata ia menangkap
salah satu dari keempat senjata rahasia tersebut.
Teeeb...! Sekeping logam putih berbentuk daun bergerigi itu kini terjepit di
sela-sela jari tangan kirinya. Gerakannya dilanjutkan dengan bersalto satu kali,
kemudian menapakkan kakinya ke bumi dengan tegak
dan kokoh. Jleeg...!
"Hei, Sobat...! Kudapatkan salah satu senjata
mu! Bagaimana jika kukembalikan biar kau bisa me-
lemparkannya kembali dengan benar"!"
Tangan kiri itu segera berkelebat melemparkan
senjata tersebut dari arah pundak kanan ke depan.
Zuiiing...! Lemparan itu sangat cepat dan nyaris tak terli-
hat. Untung lawan yang ada di balik semak ilalang itu mempunyai pandangan mata
yang tajam, sehingga pa-da kejap berikutnya terdengar suara pedang dicabut.
Srraang...! Disusul dengan suara denting logam bera-du. Trring...!
Wees, pluk...! Senjata rahasia itu kembali ke
arah Soka, namun tak sampai kenai dada Soka sudah
jatuh ke tanah depan kaki pemuda tampan.
Rupanya daya pantul senjata tersebut tak terla-
lu kuat hingga tak sampai melewati tempat Soka berdi-ri.
"Hah, hah, hah, hah...! Senjatamu melempem
begitu mengenaliku, Sobat!" ejek Soka Pura sengaja memancing kemarahan orang
misterius itu agar keluar dari semak ilalang.
"Mengapa hanya senjata rahasiamu yang kau
lemparkan padaku, Sobat"! Ada baiknya kalau celana
mu pun ikut kau lemparkan padaku, barangkali bisa
kujual ke tukang loak buat sarapan esok pagi. Heh,
heh, heh, heh!"
"Hiaaaat...!"
Weeesss...! Tiba-tiba dari semak ilalang itu
muncul sesosok tubuh yang melesat bagaikan terbang.
Kecepatannya cukup mengagetkan Soka Pura bersama
teriakannya yang nyaring itu. Namun si Pendekar
Kembar bungsu segera sentakkan kedua tangannya ke
depan dalam keadaan menggenggam kuat. Genggaman
tangan itu mengeluarkan tenaga dalam besar yang di-
namakan jurus 'Tangan Batu'. Wuuukks...!
Jika jurus 'Tangan Batu' bisa dipakai untuk
menumbangkan pohon dari jarak sepuluh langkah,
maka sudah tentu jurus itu pun dapat melemparkan
orang yang ingin menerjangnya dengan kecepatan
tinggi itu. Baaaakh...!
"Ooukh...!" Orang itu memekik karena merasa
seperti membentur tembok baja yang amat tebal.
Hampir saja pedangnya yang terhunus itu patah jika
tidak segera disentakkan ke atas.
Brrukk...! Orang itu jatuh terbanting dengan
suara keras dan memprihatinkan sekali. Soka Pura
sempat pejamkan mata sekejap ketika mendengar sua-
ra bergedebuk cukup keras itu. Karena ia dapat mem-
bayangkan betapa sakitnya tubuh yang terbanting se-
keras itu setelah ditabrak tenaga dalam yang menye-
rupai dinding baja tadi. Setidaknya tulang-tulang tubuh akan merasa seperti
remuk bagai ditimpa gunung.
Tetapi ternyata orang yang jatuh terbanting itu
hanya mengerang sebentar sambil memaki tak jelas,
kemudian ia segera bangkit kembali dengan pedang
dimainkan ke kanan kiri. Wiiik, wiik, wiik...! Ia hentikan gerakan dengan
memasang kuda-kuda siap se-
rang. Pedangnya diangkat hingga melintang di atas kepala, kedua kakinya
merendah, salah satu ditarik ke belakang.
Soka terkesiap memandang lawannya yang ter-
nyata adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun. Sesuatu yang
membuat Soka menjadi terperanjat adalah wajah si gadis yang ternyata heboh
sekali. Maksudnya, cantik sekali. Wajah itu mirip wajah bidadari yang pulang
dari kursus kecantikan. Benar-benar mengagumkan sekaligus mendebarkan hati.
Maka dengan sangat terpaksa Soka Pura pun
mengendurkan kuda-kudanya dan bersikap lebih ka-
lem dari sebelumnya. Pandangan mata si Pendekar
Kembar bungsu itu juga semakin tidak menampakkan
permusuhannya. Dengan langkah tenang, gadis itu di-
dekatinya. Si gadis berjubah buntung warna ungu bintik-bintik kuning itu segera
bergerak mengubah posisi kuda-kudanya. Pedangnya berkelebat cepat dan kini
sudah berada di samping pundak, sedikit ke atas. Sea-
kan siap di hujamkan ke tubuh kekar yang berhenti
dalam jarak lima langkah itu.
"Rupanya seorang bidadari yang menyerangku
dengan membabi buta tadi" Duhai... alangkah bodoh-
nya aku. Mengapa aku tidak membiarkan tubuhku di-
terjang oleh senjata rahasia itu biar puas hati mu. No-na! Maafkan aku!"
Si gadis menggeram lirih, giginya menggeletuk
sebagai tanda bahwa ia tak tertarik dengan kata-kata Soka tadi. Pandangan
matanya semakin memancarkan
dendam dan kebencian.
Si gadis segera bergerak ingin menyerang, tapi
Soka Pura segera menahan dengan gerak mundur se-
langkah dan mengangkat tangan se dada.
"Tunggu dulu, Nona!"
Gadis itu hentikan gerakannya.
"Boleh saja kau menyerangku, tapi sebutkan
dulu apa alasanmu! Seingatku kita tak pernah saling jumpa dan bikin perkara,
mengapa kau begitu rajin
menyerangku, Nona"!"
"Jangan banyak mulut!" geram si gadis. "Kau pasti orang Istana Bara! Sebelum kau
menangkap ku, lebih baik kukirim dulu kau ke alam kubur!"
"Sadis," gumam Soka sambil tertawa pendek. Ia tetap kalem dan murah senyum.
"Kurasa kau salah sangka, Nona! Aku bukan
orang Istana Bara. Bahkan baru sekarang ku tahu
nama istana itu. Di mana letaknya, Nona"!"
"Hmmm!" si gadis mencibir sinis. "Tak perlu berlagak bodoh kau, Setan neraka!
Terima saja pedang penjemput ajal ini! Hiaaah...!"
"Eee, eiit...! Sabar!" sergah Soka Pura sambil semakin mundur. "Kalau aku mau,
mudah sekali membuatmu tunggang langgang seperti tadi, Nona! Ta-
pi aku tak ingin kita saling menyakiti, karena aku ya-
kin kau pasti salah duga! Aku bukan orang Istana Ba-ra! Aku berasal dari Gunung
Merana. Namaku... Soka
Pura. Kakakku sedang pergi ke sungai seberang sana.
Dia bernama Raka Pura. Kami...."
"Cukup!" bentak si gadis dengan suara keras.
"Kau pikir aku mudah percaya dengan bualan mu"!"
"Oh, aku tidak pernah membual, Nona... kecua-
li jika kepepet! Tapi sekarang aku belum merasa kepepet, sehingga tak perlu
membual di depanmu! Ku mo-
hon, jangan teruskan murkamu itu padaku, karena ji-
ka aku mati dl tanganmu kau akan menyesal, dan jika kau mati di tanganku aku
yang akan menyesal!"
"Hmmm...!" si gadis mendengus sambil mengubah posisi pedangnya ke samping kanan.
"Boleh ku tahu namamu, Nona?" Dengan nada sesumbar gadis itu menjawab seraya
menepuk dada. "Perlu kau ketahui, akulah yang bernama Pur-
baweni, murid Eyang Pancadira, dari Bukit Selayang!
Aku yang akan datang ke Istana Bara untuk hancur-
kan istanamu itu jika kakakku tak kau bebaskan!"
"Kakakmu..."!" Soka Pura kerutkan dahi. "Siapa yang kau maksud dengan kakakmu
itu"!"
"Nalapraya...!" jawab Purbaweni dengan tegas.
Wajah pemuda tampan di depannya bertambah
heran dan bingung.
"Nalapraya..."!" gumamnya lirih. "Siapa Nalapraya itu"!"
"Kakakku!"
"Iya, aku tahu. Tapi maksudku... aku tidak
mengenal nama itu. Sama sekali tidak ku kenal sedikit pun! Karena... yah, karena
aku memang bukan orang
Istana Bara, jadi tentu saja aku tak mengenalnya.
Hmmm... di mana dia sekarang?"
"Dasar tuli! Tadi sudah kubilang, aku akan
membebaskan kakakku dari penjara Istana Bara!"
"Ooo, ya, ya... aku tahu. Jadi kakakmu ditawan di Istana Bara dan kau menyangka
diriku sebagai orang Istana Bara" Pantas kau tampak benci sekali
padaku!" Soka Pura tertawa pelan.
Tawa itu mendadak sirna ketika Soka melihat
seberkas sinar hijau melesat seperti meteor. Sinar hijau itu datang dari atas
pohon arah kiri Purbaweni.
Slaaap...! Pendekar Kembar bungsu cepat-cepat sentak-
kan tangan kirinya dalam bentuk cakar tengkurap.
Dari tangan itu segera melesat sinar putih berbentuk mata pisau yang segera
melesat ke arah sinar hijau ta-di. Claaap...! Kedua sinar itu bertabrakan di
pertengahan jarak antara Purbaweni dengan pohon yang men-
geluarkan sinar hijau itu.
Blegaaarrr...! Purbaweni kaget dan melompat ke samping ka-
nan. Ia sempat terpelanting karena terkena hempasan angin gelombang ledakan
dahsyat tadi. Soka Pura cepat-cepat bertindak untuk yang
kedua kalinya. Setelah tadi ia gunakan jurus 'Cakar Matahari', kini ia gunakan
jurus 'Tangan Batu' dengan mengepalkan kedua tangan dan disentakkan bersama
ke arah atas pohon tersebut. Wuuut...! Hawa padat da-ri tenaga dalamnya meluncur
cepat sekali dan meng-
hantam orang yang ada di atas pohon tersebut.
Bruuuss...! "Aaaakh...!"
Brrruuk...! Orang yang melepaskan sinar hijau tadi jatuh
dari atas pohon setelah terkena pukulan tenaga dalam jarak jauhnya Pendekar


Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembar bungsu. Begitu orang
itu jatuh dan menyeringai kesakitan, Soka Pura cepat-cepat berkelebat
menghampirinya dengan mengguna-
kan jurus 'Jalur Badal'-nya, yang mampu bergerak se-
cepat badal yang paling cepat.
Wuuuz...! Dalam sekejap, Soka Pura seperti
menghilang dan tahu-tahu sudah berada di dekat
orang yang jatuh dari pohon. Purbaweni memandang-
nya dengan mata setengah melebar karena kagum dan
tak menyangka pemuda tampan itu mempunyai kece-
patan gerak segila itu.
Orang yang jatuh dari atas pohon itu ternyata
seorang lelaki bertubuh agak pendek dengan usia sekitar empat puluh tahun. Ia
berkumis tipis dan beram-
but ikal, dengan mata kecil dan dagu datar. Soka Pura segera mencengkeram baju
hitam orang itu dan men-gangkatnya dengan satu tangan. Sebelum orang itu
bergerak meronta, Soka Pura sudah lebih dulu melem-
parkan tubuh orang tersebut bagai membuang bangkai
anjing. Wuuus...!
"Huuaaa...!"
Brruukk...! "Aaaakh...!" Orang itu memekik lagi ketika melayang dan jatuh di depan
Purbaweni. Gadis itu me-
mandang dengan lebih terperanjat lagi, karena ternya-ta ia sangat kenal dengan
orang yang mau membu-
nuhnya itu. Kegeraman Purbaweni pindah ke orang
bertubuh kurus itu. Tapi sebelum Purbaweni bersuara, Soka Pura lebih dulu
perdengarkan suaranya dengan
senyum tetap mengembang di bibirnya.
"Apakah kau kenal dengannya, Purbaweni"!"
Purbaweni tidak menjawab pertanyaan terse-
but, namun ia segera menegur orang berpakaian serba hitam itu dengan suara
lantang. "Kedung Boyo" Rupanya kau masih penasaran
denganku dan ingin membunuhku secara licik, hah"!"
Lelaki yang ternyata bernama Kedung Boyo itu
segera berdiri, walau pinggangnya masih terasa sakit akibat jatuh, tapi ia
paksakan diri untuk menjadi tegak
di depan Purbaweni.
"Sebelum aku bisa membalas kekalahan ku tiga
purnama yang lalu, kau masih tetap dalam incaran ku, Purbaweni! Terlebih
sekarang aku dibayar oleh Ratu
Rias Rindu untuk membunuhmu, kurasa cukup kuat
alasan ku mengapa aku menyerangmu secara licik!
Persetan dengan penilaianmu itu, licik atau tidak, demi upah yang akan kuterima
dari Ratu Rias Rindu, kau
harus mati sekarang juga, Purbaweni!"
"O, jadi sekarang kau berada di pihak Istana
Bara?" "Kurasa tak perlu ku jelaskan lagi, yang pent-ing, bersiaplah untuk
menghadapi ajalmu, Purbaweni!
Heeeaah...!"
Kedung Boyo segera mencabut goloknya dan
melompat menerjang Purbaweni dengan tebasan golok
diarahkan ke leher gadis itu. Wuuut...!
Traaang...! Buuukh...!
Purbaweni menangkis tebasan golok itu dengan
mengibaskan pedangnya. Begitu pedang berhasil me-
nahan gerakan golok, kaki gadis itu menendang ke
samping dengan sedikit memutar tubuh. Tendangan
cepat tak diduga itu tepat kenai perut Kedung Boyo.
Akibatnya lelaki kurus itu terlempar ke belakang sejauh lima langkah dan jatuh
terduduk dengan henta-
kan keras. Bluuuk...!
Soka Pura memejamkan mata sekejap, karena
ia dapat rasakan betapa sakitnya tulang ekor si Ke-
dung Boyo saat terhempas di tanah berbatu itu. Tak
heran jika Kedung Boyo menyeringai kesakitan.
Namun sebelum Kedung Boyo sempat berdiri,
Purbaweni telah datang menyerangnya dengan tendan-
gan berkelebat ke arah wajah lelaki kurus itu.
Wuuut...! Mau tak mau Kedung Boyo segera terdorong
dan berjingkat ke belakang ketika terjangan kaki Pur-
baweni berhasil lolos dari wajahnya.
Begitu Kedung Boyo selesai berjungkal ke bela-
kang, ia segera menyabetkan goloknya ke arah bela-
kang. Kaki Purbaweni dijadikan sasaran utama golok
tajam berkilat itu. Wees...! Purbaweni cukup sigap dan sudah menduga akan
diserang kakinya, sehingga ia
pun sentakkan kedua kaki ke tanah dan tubuhnya me-
luncur naik sedikit dengan gerakan bersalto balik
Wuuut...! Begitu tubuhnya hendak menapak ke tanah
lagi, kaki kanannya sempat menendang ke depan bagai sedang menendang bola.
Wuuus, proook..!
"Aaaoww...!" Kedung Boyo yang kecele itu segera memekik, karena wajahnya terkena
telak tendangan kaki lawan dengan keras. Mulutnya sempat robek dengan gigi patah
satu. Mulut itu berdarah dan lubang hidung pun mimisan. Rupanya tendangan itu
bukan se- kadar tendangan biasa, namun disertai dengan cura-
han tenaga dalam yang cukup besar, sehingga Kedung
Boyo merasa seperti di sambar batu gunung sebesar
anak kerbau. Purbaweni berdiri tegak dan menampakkan ke-
tegarannya. Pedang yang masih di tangan segera diputar sebagai permainan jurus
baru yang akan diguna-
kan untuk serangan selanjutnya. Matanya melirik se-
kejap ke arah Soka Pura. Ternyata pemuda itu hanya
diam saja, berdiri dengan lengan kanan bersender pa-da sebatang pohon dan
matanya memperhatikan ke
arah Purbaweni. Pandangan mata yang saling bertemu
membuat Purbaweni menggeragap kecil dan cepat-
cepat alihkan pandangan ke lawannya.
Perhatian itu terlambat, karena pada waktu
Purbaweni melirik ke arah Soka, sang lawan segera keluarkan pisau simpanannya
dari balik baju. Pisau kecil itu segera dilemparkan ke arah Purbaweni.
Wuuut...! Jubb...!
"Aaaakh...!" Purbaweni memekik dengan tubuh segera terbungkuk. Pisau itu
menancap tepat di bawah betis kanannya. Kesempatan itu digunakan oleh Kedung
Boyo untuk segera menyerang dengan goloknya
dengan cara mengerahkan sisa tenaganya yang masih
ada. Wuuut...! Wees...! Bukhh...!
"Aaaakh...!" Kedung Boyo terpental ke samping dan jatuh berguling-guling.
Pinggang kanannya seperti diterjang seekor banteng liar yang sedang mengamuk.
Ternyata terjangan itu berasal dari pukulan tenaga dalam jarak jauh yang
dilepaskan oleh Soka Pura untuk selamatkan Purbaweni dari ancaman maut golok
Kedung Boyo. Wuuuuz...! Dalam setengah kejap Soka Pura
sudah berada di depan Purbaweni yang menyeringai
kesakitan karena terkena pisau beracun. Soka sengaja membelakangi Purbaweni
karena khawatir datang serangan tiba-tiba dari Kedung Boyo.
"Kurasa kalian sudah sama-sama terluka, se-
baiknya hentikan saja pertarungan ini!" ujar Soka Pura yang mencemaskan nasib
Purbaweni jika racun pada
pisau itu cukup ganas.
Tetapi seruan Soka itu tidak dihiraukan oleh
Kedung Boyo. Lelaki itu segera bangkit dari jatuhnya, memainkan jurus golok
sebentar, kemudian lakukan
lompatan bersalto satu kali ke arah Soka Pura.
Wuuuk...! Soka Pura agak jengkel. "Dilerai tak mau ber-
henti malah ingin menyerangku" Hmm... maaf saja ka-
lau aku terpaksa membuat isi perutmu keluar lewat
mulut, Kedung Boyo!"
Wuuut...! Kedua tangan Soka menggenggam la-
gi dan menyentak ke depan lagi. Pada saat itu, hawa
padat dari tenaga dalam jurus Tangan Batu' telah kenai dada Kedung Boyo dengan
sangat keras. Bhaaaakh...! "Huuukh...!" Kedung Boyo mendelik sambil tubuhnya terlempar ke belakang. Begitu
jatuh ke tanah dalam keadaan duduk, mulutnya segera memuntah-kan hampir seluruh
isi perut. Bahkan muntahan itu
bercampur dengan darah segar yang mengerikan.
"Edan! Dadaku seperti ditibani dengan batu la-
har yang sangat panas. Oouh...! Tak kuat aku kalau
begini! Uuhf...! Benar-benar remuk tulang dadaku jika begini caranya!" pikir
Kedung Boyo. "Sebaiknya ku tinggalkan saja dulu si Purbaweni! Aku harus mencari
siasat lain untuk menyerahkannya kepada Ratu Rias
Rindu dan ditukar dengan sejumlah uang sesuai yang
dijanjikan oleh sang Ratu!"
Blas, blaaas...! Kedung Boyo segera berkelebat
pergi, tak tinggalkan pesan dan tak pamit sedikit pun.
Agaknya ia lebih butuhkan obat pengering luka da-
lamnya itu ketimbang harus berhadapan dengan Pur-
baweni dan pemuda asing yang belum dikenalnya itu.
"Tunggu kau, Kedung Boyo!" teriak Purbaweni dengan berang, ia segera berusaha
mengejarnya walau kakinya terluka oleh pisau beracun itu.
* * * 2 KALAU saja Purbaweni tidak dicegah oleh Soka
Pura, maka Kedung Boyo akan dikejarnya sampai da-
pat, dan urusannya akan diselesaikan sampai tuntas.
Tapi karena tangannya segera dicekal oleh Soka Pura,
maka Purbaweni pun urungkan niatnya untuk menge-
jar Kedung Boyo.
"Kakimu terluka," ujar Soka. "Tampaknya pisau itu beracun. Lihat, dl sekeliling
lukamu telah membiru selebar itu. Berbahaya sekali untuk kesehatan nyawamu,
Purbaweni."
Purbaweni memandangi lukanya di bawah be-
tis. Badannya memang terasa mulai panas dingin, pertanda racun pisau itu mulai
bekerja ke seluruh tubuh.
Tapi Purbaweni masih berusaha menahan rasa sakit
yang membuatnya berkeringat dingin itu. Ia menarik
napas panjang-panjang sambil menatap Soka Pura.
Mereka beradu pandangan mata selama dua helaan
napas. "Ternyata dia memang bukan orang Istana Ba-ra," pikir Purbaweni.
"Terbukti ia melindungiku dari ancaman maut si Kedung Boyo! Kalau tak ada dia,
mungkin aku sudah tidak bernyawa sejak Kedung
Boyo lepaskan pukulan dari atas pohon tadi. Hmmm...
apa yang harus kulakukan jika sudah telanjur begini.
Meminta maaf padanya" Ah, malu!"
Soka Pura bagai tak mengerti isi hati Purbawe-
ni, sehingga pertanyaan yang diajukan sama sekali tak ada hubungannya dengan
luka di kaki kiri Purbaweni
itu. "Apakah kau tak percaya kalau pisau itu bera-
cun"!" sambil Soka Pura menuding pisau yang telah dicabut oleh Purbaweni dan
dibuang di tanah tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Ya, aku tahu! Lalu bagaimana"!" ujar Purbaweni masih bernada ketus untuk
menampakkan harga
dirinya sebagai gadis yang punya harga diri di mata lelaki. "Bagaimana kalau ku
sembuhkan" Kau tidak keberatan?" Soka Pura masih gunakan tutur kata yang
lembut dan penuh keramahan. Senyumnya tetap
menghiasi bibir dan memperkuat sikap ramahnya.
Purbaweni sempat bingung menjawab sesaat.
Tapi matanya sudah tak menatap Soka Pura. Mata itu
menatap luka sambil perdengarkan suaranya.
"Apakah kau bisa?"
"Kurasa tak ada salahnya jika ku coba."
"Hmm, cobalah!" sambil Purbaweni menahan
tubuh yang seharusnya gemetar karena rasa sakitnya.
"Duduklah di batu itu," perintah Soka Pura sambil menunjuk sebongkah batu di
bawah pohon teduh. Purbaweni melangkah, kali ini ia terpincang-
pincang karena rasa sakit pada lukanya sudah menja-
lar ke seluruh tubuh. Dengan tanpa sungkan-sungkan
Soka Pura menuntun gadis itu. Lengannya dipegangi
dan dibawa menuju ke batu tersebut dengan pelan-
pelan. Sepasang mata pemuda tampan itu menatap
dada Purbaweni yang mengenakan pinjung penutup
dada warna putih. Dada itu memang tidak montok dan
seronok, namun cukup sekal dan tampak mulus di ba-
gian tepian dua bukitnya.
"Boleh ku tempelkan tanganku di bagian atas
dadamu?" ujar Soka Pura, sok sopan.
"Hei, yang terluka adalah kakiku, bukan dada-
ku! Mengapa kau ingin menempelkan tanganmu ke
dadaku"!" sambil Purbaweni mengatupkan jubahnya di bagian dada.
Soka Pura tersenyum kalem.
"Jurus pengobatan ku ini dinamakan jurus
'Sambung Nyawa'. Cara pengobatannya adalah me-
nyentuhkan telapak tanganku ke dada orang yang sa-
kit tanpa ada selembar benang pembatas."
"Cabul sekali kau"!" kecam Purbaweni.
Soka Pura angkat pundak. "Memang begitu ca-
ranya. Kalau kau keberatan, aku tak akan memaksa.
Tapi, yaaah... berarti aku tak bisa menolongmu!"
Purbaweni diam sesaat, agaknya gadis itu
mempertimbangkan cara yang dianggapnya seronok
dan kurang sopan itu. Soka Pura diam menunggu. Da-
lam hatinya sempat tertawa geli, karena jurus
'Sambung Nyawa' dapat dilakukan dengan menempel-
kan telapak tangan bukan hanya di bagian dada saja.
Namun bisa pula dilakukan melalui telapak kaki, telapak tangan, lengan, tengkuk,
dan sebagainya, asal tidak terhalang oleh selembar benang pun.
"Kalau kau mempermainkan diriku, pedangku
akan memenggal kepalamu!" ancam Purbaweni sambil mengangkat pedangnya.
"Aku tak keberatan! Kalau aku gagal mengobati
lukamu, kau boleh penggal leherku. Tapi bagaimana
kalau aku berhasil mengobati lukamu?"
"Hmmm... hmmm... kau boleh penggal leherku
juga!" "Lalu untuk apa kuobati lukamu kalau akhirnya harus memenggal lehermu?"
sambil Soka Pura tertawa geli, namun tak sampai terbahak-bahak. Purba-
weni sendiri menjadi geli setelah memikirkan bahwa
ucapan dan perjanjian itu sebenarnya memang tidak
masuk akal. Gadis secantik bidadari itu akhirnya
sunggingkan senyum malu yang segera disembunyikan
dengan buang muka ke arah kiri.
"Kalau aku berhasil sembuhkan lukamu, kau
harus mau berdamai denganku dan menganggapku
bukan orang Istana Bara. Bagaimana" Setuju"!" ujar Soka. "Baik. Aku setuju."


Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka si gadis pun mulai membuka jubah yang
menutupi dadanya. Wajahnya tetap dipalingkan ke
arah lain, karena ia merasa malu dipegang bagian atas
dadanya, dekat leher. Soka Pura segera menempelkan
telapak tangannya pelan-pelan. Si gadis memejamkan mata, karena Soka Pura pun
juga memejamkan mata.
Namun ketika dirasakan ada hawa sejuk mere-
sap masuk melalui telapak tangan Soka Pura, si gadis penasaran dan melirik
sebentar. "Ooh..."! Tangannya memancarkan cahaya un-
gu?" ujar hati Purbaweni.
Telapak tangan Soka memang memancarkan
cahaya ungu, seperti besi membara tapi berwarna un-
gu. Makin lama tubuh Purbaweni pun ikut-ikutan
memancarkan cahaya ungu hingga seluruh tubuh. Ke-
tika telapak tangan itu diangkat, tidak menempel lagi di dada Purbaweni,
ternyata tubuh Purbaweni masih
saja memancarkan cahaya ungu. Hati gadis itu sempat waswas.
Namun ia juga merasakan kesejukan yang lain
dari kesejukan biasanya. Kesejukan itu membawa ke-
tenangan, kedamaian, dan kesegaran. Purbaweni kem-
bali pejamkan mata untuk resapi hawa sejuk yang
aneh itu.. Beberapa saat kemudian, cahaya ungu itu le-
nyap dari tubuh Purbaweni. Si gadis kembali bertubuh seperti semula, putih
mulus. Tapi ia masih memejamkan mata dan meresapi hawa sejuk yang sangat mene-
nangkan jiwanya yang tadi sempat berang itu. Ia tak tahu kalau Soka Pura sudah
berada agak jauh darinya, berdiri di pohon depan dengan punggung ber-
sandar dan kedua tangan terlipat di dada.
"Jangan terlalu lama memejamkan mata, nanti
kau tertidur, Nona!" ujar Soka Pura. Purbaweni buru-buru membuka mata dengan
rasa malu. Ketika ia memandangi lukanya, ia menjadi ka-
get bercampur heran, karena luka itu telah lenyap. Tak tersisa sedikit pun
kecuali darah di sekitarnya yang ju-
ga telah ikut mengering. Sedangkan tempat yang ta-
dinya terluka itu telah menjadi rapat dan utuh seperti sediakala. Kulit betis
tetap tampak putih sedikit kuning.
"Ajaib sekali!" gumamnya lirih, walau sebenarnya sempat didengar oleh Soka Pura.
Pemuda itu hanya sunggingkan senyum semakin lebar ketika Pur-
baweni menatapnya dengan terperangah.
"Kau seorang tabib rupanya?"
Soka Pura kembali angkat bahu sambil le-
paskan tangannya yang tadi bersedekap itu.
"Mungkin juga aku ini tabib. Tapi aku tidak
merasa menjadi tabib."
Purbaweni segera memasukkan pedangnya ke
sarung pedang. Setelah itu melangkah dekati Soka Pu-ra.
"Jika kau bukan orang Istana Bara, lalu men-
gapa kau ada di sini"!"
"Apakah tak boleh"!"
"Ini tanah perbatasan Istana Bara!"
"Oo..."!" Soka Pura sedikit terperanjat.
"Sungai yang ada di seberang sana adalah garis batas wilayah. Kau telah memasuki
tanah wilayah istana Bara!"
"Aku... aku tak sengaja memasuki wilayah ini!
Aku dan kakakku sedang dalam perjalanan menuju ke
Bukit Garang. Lalu, kakakku tiba-tiba merasa sakit
perut dan sekarang sedang menuju ke sungai sana.
Aku disuruh menunggu di sini. Nanti kami akan lan-
jutkan perjalanan lagi ke Bukit Garang. Jadi, kami tak sengaja kalau memasuki
batas wilayah istana Bara.
Kami pikir, jalan ini adalah jalan pintas untuk mencapai Bukit Garang."
Pendekar Kembar bungsu menjelaskan dengan
menampakkan kesungguhannya. Ia dan kakaknya
memang sedang dalam perjalanan ke Bukit Garang un-
tuk menemui Anggani. Karena mereka berdua berjanji
setelah selesaikan urusan mencari Daun Astagina, mereka akan kembali ke
pondoknya si Hantu Muka Tem-
bok di Bukit Garang untuk menemui Anggani, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Perawan Bukit Jalang" dan "Korban Kitab
Leluhur").
Tetapi karena Raka Pura, si Pendekar Kembar
sulung merasa sakit perut, akibat kebanyakan makan
sambal sewaktu mereka singgah di sebuah kedai, ma-
ka Raka pun sempatkan diri untuk ke sungai mengu-
ras sakit perutnya, sementara sang adik disuruh me-
nunggu di tempat itu. Sampai akhirnya Soka diserang oleh senjata rahasia milik
Purbaweni itu. "Jika begitu," ujar Purbaweni setelah menyimak seluruh penjelasan Soka,
"Kusarankan sebaiknya kau dan kakakmu itu lekas-lekas keluar dari wilayah istana
Bara ini. Sebab jika tidak, maka kau akan ditangkap oleh Ratu Rias Rindu seperti
kakakku; Nalapraya.
Kalian pasti akan dianggap mata-mata dari pihak la-
wan! Mungkin juga kalian akan menerima siksaan se-
begitu berat agar mengakui sebagai mata-mata pihak
lawan." Soka Pura justru tersenyum, berkesan mere-mehkan saran tersebut.
"Apakah Kedung Boyo tadi juga orangnya Ratu
Rias Rindu"!"
"Bukan. Kedung Boyo adalah orang Lereng Ajal,
yang beberapa waktu yang lalu pernah bentrok den-
ganku gara-gara ia tidak kuizinkan menemui guruku.
Hal itu kulakukan karena aku tahu orang Lereng Ajal adalah orang-orang licik
yang mengincar tanah subur, seperti di tempatku. Dia sempat ku tumbangkan dan
lari dengan luka parah. Rupanya ia masih penasaran
padaku, ingin membalas kekalahannya waktu itu. Tapi
rupanya pula dendamnya itu dimanfaatkan untuk
mencari keuntungan sendiri. Ia bersedia menjadi orang bayaran Ratu Rias Rindu
untuk membunuhku!"
Soka Pura manggut-manggut dalam gumam ke-
cil. Kejap berikutnya ia ajukan tanya lagi dengan suara lebih pelan dan serius.
"Mengapa Ratu Rias Rindu ingin membunuh
mu"!" "Karena ia tahu hanya aku yang bisa membebaskan kakakku."
"O, begitu"! Hanya begitu saja dia sampai me-
nyewa orang untuk membunuhmu?"
Si gadis sedikit gelisah, tapi akhirnya menyam-
bung jawabannya yang agaknya tadi bermaksud dira-
hasiakan. "Kurasa... kurasa Ratu Rias Rindu ingin me-
maksa kakakku agar mau mengatakan di mana kubu-
ran eyang buyutku: Si Sabandanu. Dengan membunuh
ku, lalu mayatku ditunjukkan kepada Nalapraya, ma-
ka sang Ratu berharap Nalapraya merasa takut jika
adikku pun: si Windamurni dibunuh juga jika ia tak
mau sebutkan di mana makam Eyang Buyut Saban-
danu." Pemuda tampan berpedang kristal yang tampak mewah itu segera kerutkan
dahi. Ada sesuatu yang
mengganjal di hatinya dan perlu ditanyakan kepada
Purbaweni. "Mengapa Ratu Rias Rindu ingin mengetahui
makam eyang buyut mu"!"
"Aku tak bisa katakan!" jawab Purbaweni pelan, sepertinya berat sekali
mengucapkan kata-kata itu.
"Katakan saja, Purbaweni! Aku bukan pihak
musuhmu. Aku juga bukan orang jahat, seperti Ke-
dung Boyo tadi. Sudah kukatakan, aku dan kakakku
dari Gunung Merana dan dalam perjalanan ke Bukit
Garang. Jadi aku tak punya maksud jahat apa-apa
padamu, atau pada keluargamu."
"Soka, ini rahasia keluarga. Aku tak bisa men-
gatakannya."
Soka Pura penasaran sekali jadinya.
"Ratu Rias Rindu pasti mengetahui rahasia ma-
kam itu. Jika Ratu Rias Rindu sudah mengetahuinya,
apakah hai itu akan menjadi rahasia lagi" Bukankah
Ratu Rias Rindu pasti akan bicara lebih dari sepuluh orang" Dengan begitu makam
tersebut bukan rahasia
lagi bagi siapa saja!"
Purbaweni menjadi bimbang, bahkan tampak
resah: Pandangan matanya memandang ke sana-sini.
Benaknya mempertimbangkan desakan Soka Pura itu.
Akhirnya ia berkata, "Kurasa aku harus segera
lanjutkan perjalananku yang tinggal sedikit lagi ini!"
"Kau mau ke mana"!" sergah Soka Pura.
"Ke Istana Bara! Aku harus bisa bebaskan ka-
kakku!" tegas Purbaweni.
"Apakah kau yakin dapat hadapi benteng per-
tahanan Ratu Rias Rindu hanya seorang diri begini"!"
"Tak ada pihak lain yang mau membantuku,
karena mereka tahu siapa Ratu Rias Rindu itu! Mereka tak ingin mengorbankan
nyawanya untuk sekadar
membebaskan Nalapraya."
Setelah berkata begitu, Purbaweni langkahkan
kakinya dengan cepat Namun suara Soka Pura buru-
buru terdengar dengan jelas sekali.
"Bagaimana jika aku berada di pihakmu"!"
Kata-kata itu membuat Purbaweni hentikan
langkah, tapi belum menengok ke arah Soka Pura. Ju-
stru pemuda itu yang mendekati Purbaweni dan me-
nyambung ucapannya tadi.
"Aku akan membantumu membebaskan Nala-
praya. Tapi aku harus tahu, ada apa dengan makam
eyang buyut mu itu?"
Kini si gadis cantik bak bidadari itu meman-
dang tak berkedip ke wajah Soka Pura. Ia diam bebe-
rapa saat, Soka pun diam. Mereka hanya saling pan-
dang hingga tiga helaan napas. Setelah itu, Purbaweni perdengarkan suaranya
dengan pelan namun punya
kesan tegas dan bersungguh-sungguh.
"Apakah kau bisa menyimpan sebuah raha-
sia"!" "Jika kau butuhkan dengan bertaruh nyawaku, maka akan ku pertaruhkan
nyawaku demi terjaganya
rahasia itu, Purbaweni."
Mendengar pernyataan tersebut, hati Purbawe-
ni mulai berdebar-debar bangga. Ia menilai Soka Pura pemuda bengal namun punya
kesungguhan dalam
bersikap. Jarang sekali ia temukan pemuda bengal
yang bisa meyakinkan diri sebagai pemuda yang ber-
tanggung jawab. Purbaweni sendiri tak tahu, mengapa hatinya begitu yakin dengan
ucapan Soka Pura itu,
padahal biasanya ia tak mudah percaya dengan kata-
kata seorang lelaki, terlebih sekonyol Soka Pura.
Mungkin cara Soka bicara, cara Soka memandang, dan
sebagainya, dapat timbulkan rasa percaya diri pada
Purbaweni, sehingga gadis itu beranggapan demikian.
"Sebuah pusaka yang sudah lama tak pernah
diperebutkan di dunia persilatan, sekarang mulai di usik lagi oleh Ratu Rias
Rindu," ujar Purbaweni mulai menjelaskan.
"Pusaka apa itu?" tanya Soka semakin ingin ta-hu.
"Pedang Bulan Madu."
Pendekar Kembar bungsu hampir tertawa men-
dengar nama pusaka tersebut. Namun tawanya berha-
sil dipendam dalam hati, dan diwujudkan dalam se-
nyum lebar. Purbaweni tampak sedikit tersinggung
dengan senyum geli itu. Karenanya, Soka Pura buru-
buru bersikap serius kembali dan segera ajukan tanya.
"Apa hubungannya antara Pedang Bulan Madu
dengan makam eyang buyut mu itu?"
"Pedang itu ada di dalam makam Eyang Buyut
Sabandanu," Jawab Purbaweni. Soka Pura menggu-
mam dan manggut-manggut. Purbaweni menyambung
kata-katanya tadi.
"Sebelum Eyang Buyut Sabandanu wafat, be-
liau telah tinggalkan wasiat kepada para anak-cucunya agar tidak mengusik
ketenangan pedang pusaka tersebut. Beliau ingin dimakamkan dengan pedang pusaka
itu dan siapa pun tak diizinkan untuk mengambilnya.
Ia merasa lebih baik terkubur bersama Pedang Bulan Madu." "O, Jadi sekarang Ratu
Rias Rindu ingin mengambil pedang pusaka tersebut?"
"Tepatnya, ia ingin memiliki pedang tersebut.
Tapi ia tak tahu di mana makam Eyang Buyut, sehing-
ga ia menangkap kakakku yang tentunya akan dipaksa
agar tunjukkan di mana makam itu."
"Mengapa Ratu Rias Rindu mengetahui bahwa
di dalam makam tersebut ada pusaka Pedang Bulan
Madu"! Dari mana ia memperoleh penjelasan tentang
hai itu?" "Nyai Cemeti Langit adalah ibu dari Ratu Rias
Rindu. Dulu, Nyai Cemeti Langit adalah murid dari
Eyang Buyut Sabandanu. Dan Nyai Cemeti Langit
mengetahui tentang terkuburnya Pedang Bulan Madu
bersama jasad Eyang Buyut. Kurasa, mendiang Nyai
Cemeti Langit beberkan rahasia pedang pusaka itu kepada Ratu Rias Rindu sebelum
ia tewas."
Soka Pura manggut-manggut lagi, kali ini gu-
mamnya lirih sekali. Penjelasan itu direnungkan beberapa saat, kemudian ia
segera ajukan tanya lagi kepa-
da Purbaweni. "Lalu... di mana makam Eyang Buyut Saban-
danu itu berada"!"
Purbaweni membuka mulut sedikit, mau je-
laskan tentang hai itu, namun tiba-tiba niatnya untuk berucap dibatalkan, karena
tiba-tiba matanya melihat sekelebat bayangan putih menyelinap di balik pohon
agak jauh di belakang Soka Pura. Purbaweni terperanjat dan sempat tegang. Ia
segera mencabut pedangnya.
Hal itu membuat Soka Pura yakin ada sesuatu yang
tak beres di belakangnya. Namun ia sengaja tak me-
nengok ke belakang, bahkan bertanya dalam nada bi-
sik. "Ada apa di belakangku"!"
"Seseorang ingin menyadap pembicaraan kita.
Kurasa dia adalah mata-mata Ratu Rias Rindu!"
"Oh..."! Di mana ia berada?"
"Tiga pohon di belakangmu, agak ke kanan se-
dikit!" bisik Purbaweni lagi dengan suara pelan sekali.
"Kalau begitu, biar ku tangani orang itu!" bisik Soka Pura, lalu bersikap tenang
kembali, seakan tak ada bahaya yang mengancam.
Namun ia segera melangkah mundur sedikit
demi sedikit sambil bicara soal lain kepada Purbaweni.
Gadis itu sendiri segera mengambil sikap tenang, agar siasat Soka Pura yang


Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentunya akan lepaskan serangan mendadak itu tidak mencurigakan bagi bayangan
putih di balik pohon itu.
* * * 3 HAMPIR saja Soka Pura melepaskan pukulan
mautnya yang dapat menumbangkan pohon yang men-
jadi tempat persembunyian si bayangan putih itu. Beruntung sekali si bayang
putih segera muncul dari balik pohon tersebut dengan senyum mentah yang mem-
buat Soka Pura hempaskan napas panjang, membuang
rasa kesal dan menikmati rasa lega di hati. Karena
orang yang muncul dari balik pohon itu tak lain adalah kakak kembarnya sendiri;
Raka Pura, si Pendekar
Kembar sulung. Purbaweni terperanjat sekali melihat kemuncu-
lan Raka. Matanya sempat tak berkedip selama tiga
helaan napas. Ia tak menduga sedikit pun kalau Soka Pura ternyata mempunyai
kakak kembar yang sulit dibedakan.
"Keduanya sama-sama tampan," gumam hati
Purbaweni. "Sama-sama berbadan tegap, tingginya sama, potongan rambutnya sama,
potongan pakaian,
dan warna pakaian juga sama, bahkan pedangnya pun
sama bentuk dan rupanya. Ooh... gawat! Bagaimana
aku bisa membedakan keduanya jika begini"!"
Sementara Soka Pura menjelaskan kepada ka-
kaknya perihal Purbaweni dan pusaka Pedang Bulan
Madu, gadis yang cantiknya mirip bidadari pulang dari salon itu memandangi Soka
dan Raka secara bergantian. Hati gadis itu pun sibuk berkecamuk sendiri
mengomentari kesamaan rupa yang sulit dibedakan
itu. "Keduanya juga sama-sama punya senyum
yang membuat hatiku berdesir-desir. Lagak lagunya ji-ka berjalan juga sama
persis. Hmmm... bisa-bisa aku salah duga terus jika mereka tak memberi tanda
untuk membedakan yang mana Soka yang mana Raka"! Me-
mang senyum Soka tampaknya lebih ceria dan lebih
diobral. Tapi bagaimana kalau mereka sedang tidak
tersenyum" Dari mana ku bedakan diri mereka berdua
ini" Tahi lalat pun tak ada pada mereka. Sialan! Tampaknya aku harus hati-hati
jika bertemu dengan salah satu dari mereka; harus kutanyakan dulu siapa yang
berhadapan denganku: Raka atau Soka" Tapi bagai-
mana jika Raka mengaku Soka atau sebaliknya, toh
aku akan percaya saja."
Setelah beberapa saat memperhatikan kedua
pemuda kembar itu, akhirnya Purbaweni temukan ca-
ra membedakan mereka berdua.
"Hmmmm... ya, ya! Sekarang aku tahu cara
membedakan yang mana Raka dan yang mana Soka.
Letak pedang mereka berbeda. Raka di sebelah kiri,
sedangkan Soka menyelipkan pedangnya di sebelah
kanan. Ah, beres sudah! Aku tak akan terkecoh oleh kesamaan mereka. Dan,
astaga ..! Baru sekarang kuin-gat cerita dari teman-temanku tentang munculnya
Pendekar Kembar yang ilmunya cukup dahsyat itu.
Apakah mereka berdua ini yang bergelar Pendekar
Kembar" Tapi mengapa Soka tidak menyebut dirinya
Pendekar Kembar"!"
Agaknya Raka Pura terpaksa menyetujui ren-
cana adiknya, membantu Purbaweni membebaskan
Nalapraya dari Istana Bara. Sebenarnya Raka Pura kurang tertarik dengan
persoalan tersebut. Tetapi ketika Soka Pura jelaskan bahwa persoalan itu
menyangkut tentang pedang pusaka yang dapat menggegerkan du-
nia persilatan, maka Raka Pura pun akhirnya mendu-
kung rencana sang adik.
"Dunia persilatan akan menjadi gempar dan
mungkin juga akan menjadi kacau balau jika pedang
pusaka itu ada di tangan Ratu Rias Rindu. Keberadaan
kita sebagai Pendekar Kembar yang dihormati di rimba persilatan akan dikecam
habis oleh para tokoh jika ki-ta tidak bisa selamatkan pedang pusaka tersebut.
Ra-ka. Aku lebih baik berhenti jadi pendekar jika tak be-cus menyelamatkan
pedang pusaka tersebut. Lebih
baik aku jadi kusir delman sajalah, tak perlu jadi pendekar!" "Hei, tadi kusuruh
kau menungguku di samping gubuk itu, bukan kusuruh mencari perkara!" ujar Raka
dengan agak dongkol.
"Ah, kau ini...!" Soka sempat bersungut-sungut segala. "Kalau kau tak mau
membantunya, ya sudah.
Biar aku sendiri yang membantu Purbaweni!" bisik So-ka dalam kasak-kusuknya.
"Aku tidak bilang begitu, Soka! Aku hanya ingin tahu, sehebat apakah Pedang
Bulan Madu itu" Seberapa besar bahaya yang ditimbulkan dari pedang ter-
sebut jika jatuh di tangan Ratu Rias Rindu"!"
Soka Pura sentakkan pundak, tanda tak men-
gerti. "Kurasa kau bisa tanyakan sendiri kepada si bidadari itu."
"Bidadari yang mana"!"
"Purbaweni itu, maksudku! Tolol!" gerutu Soka.
Raka tersenyum tipis sambil geleng-geleng ke-
pala. Kecamannya pun terdengar sangat pelan, dan
hanya adiknya yang bisa mendengar kecaman terse-
but. "Soka, Soka... tiap ada perawan cantik kau bilang 'bidadari'. Padahal di
bumi ini gadis cantik lebih dari seribu orang. Lalu, alangkah banyaknya bidadari
turun dari kayangan" Mau apa mereka" Mau arisan di
bumi"!" Raka Pura tak setuju jika Purbaweni dijuluki
'bidadari', karena menurut Raka kecantikan itu wajar-
wajar saja. Barangkali karena Raka memang kurang
hobi mengagumi seorang wanita, kurang berminat
menggandrungi para gadis, maka menurut penilaian-
nya Purbaweni adalah gadis yang punya kecantikan
biasa, tidak seperti kecantikan bidadari.
Pendekar Kembar sulung memang sulit tertarik
kepada seorang wanita. Bahkan sering merasa takut
jika ada wanita yang mendekatinya, lebih-lebih terhadap yang mendekati sambil
membawa kegenitannya.
Kadang Raka bukan saja takut, namun juga menjadi
muak. Berbeda dengan adiknya yang mudah tertarik
dengan seorang wanita, sehingga tanpa disambar pun
ia akan menyambar sendiri setiap ada kesempatan da-
lam kesempitan.
Kalau bukan karena desakan adiknya, Raka
Pura lebih suka lanjutkan perjalanan ke pondoknya
Hantu Muka Tembok daripada harus menemani gadis
cantik itu ke Istana Bara. Sekalipun demikian, Raka pun akhirnya tunjukkan sikap
persahabatannya pada
Purbaweni, sehingga dalam perjalanan menuju ke Is-
tana Bara, tak segan-segan ia tanyakan beberapa hai tentang pusaka Pedang Bulan
Madu itu. "Sebetulnya, Pedang Bulan Madu itu tak terlalu istimewa," ujar Purbaweni sambil
melangkah di antara Soka dan Raka. "Pedang itu hanya bisa membakar lawan jika
lawan terkena pantulan sinar matahari dari pedang itu. Api dari pantulan sinar
matahari pada pedang itu tak dapat dipadamkan sebelum sesuatu yang
di bakarnya habis menjadi arang."
"Selain itu?" pancing Raka.
"Selain itu...," Purbaweni tampak sedang memikirkan sesuatu. Beberapa saat
kemudian ia menyam-
bung kata-katanya tadi.
"Selain itu, pedang tersebut juga bisa dipakai membelah baja setebal apa pun."
"Hanya itu keistimewaannya?"
"Ya, hanya itu," jawab Purbaweni.
"Hmmmm... tak terlalu istimewa sebenarnya,"
gumam Raka terang-terangan.
"Memang tak terlalu istimewa," timpal Purbaweni. "Tapi aku sendiri tak tahu
mengapa pedang itu dulu pernah diperebutkan dan membuat geger dunia
persilatan. Bahkan sekarang Ratu Rias Rindu meng-
hendaki pedang tersebut. Padahal menurutku, tanpa
Pedang Bulan Madu pun Ratu Rias Rindu Sudan cu-
kup hebat. Ilmunya bukan ilmu murahan dan rendah.
Buktinya ia dapat gulingkan kekuasaan Raja Amuk
Jagal dan merebut istana serta wilayah kekuasaan Ra-ja Amuk Jagal di Lembah
Gerhana ini!"
"O, jadi semula Lembah Gerhana ini dalam ke-
kuasaan Raja Amuk Jagal"!" sela Pendekar Kembar bungsu. "Lalu sekarang apakah
Raja Amuk Jagal sudah tewas"!"
"Belum. Raja Amuk Jagal melarikan diri ke Pu-
lau Kancil."
Raka Pura baru ingin bicara, tiba-tiba di depan
langkah mereka, sekitar sepuluh langkah dari tempat mereka berada, telah berdiri
seorang kakek berjenggot panjang warna putih. Kumis, alis, dan rambutnya yang
panjang juga berwarna putih. Mereka bertiga terkejut, sehingga mulut Raka Pura
masih tetap ternganga dengan mata pandangi si kakek berjubah biru muda itu.
Di tangan sang kakek menggenggam tongkat yang ba-
gian atasnya berbentuk kepala kobra.
Kedua tangan Purbaweni segera mencekal tan-
gan Raka dan Soka yang ada di tangan kirinya. Gadis itu seakan memberi isyarat
agar kedua pemuda kembar itu jangan melangkah lagi dan lebih baik mundur
beberapa langkah. Pendekar Kembar yang merasa lebih heran lagi dengan cekalan
tangan Purbaweni itu
segera menatap gadis itu. Wajah si gadis tampak sangat tegang, seakan ia melihat
hantu berkeliaran di
siang hari. "Celaka!" geram Purbaweni dengan suara berge-tar, tampak sekali rasa takutnya
terhadap kakek jubah biru yang usianya sekitar sembilan puluh tahun.
"Mengapa kau ketakutan sekali, Purbaweni"!"
bisik Soka. "Sebaiknya kita kembali ke arah semula. Kita
lewat jalan lain saja!" sambil Purbaweni menarik tangan Pendekar Kembar dengan
langkah mundur.
"Hei, tunggu dulu!" sergah Raka Pura. "Siapa kakek tua itu dan mengapa kita
harus kembali ke arah semula"!"
"Dewa Perintang!" bisik Purbaweni. "Apakah kalian belum pernah mendengar tentang
Dewa Perin- tang"!" "Jelaskanlah!" desak Raka.
"Tapi tidak di sini! Kita segera pergi dari sini!
Akan ku jelaskan setelah kita jauh dari si Dewa Perintang itu! Lekaslah...!"
Blaaas...! Purbaweni bergegas pergi lebih dulu
dengan gerakan cepat dari jurus peringan tubuhnya.
Rasa penasaran dan kebingungan membuat Pendekar
Kembar sama-sama mengikuti langkah Purbaweni, wa-
lau sebenarnya Pendekar Kembar ingin berhadapan
dengan kakek berjenggot sepanjang dada itu.
Dalam waktu sangat singkat, Pendekar Kembar
sudah bisa samai langkahnya dengan Purbaweni. Ga-
dis itu kembali berada di tengah-tengah, di antara dua pemuda tampan yang
bersikap melindunginya. Langkah itu pun diperlambat, karena mereka sudah cukup
jauh dari Dewa Perintang.
"Purbaweni, berhentilah dulu. Jelaskan tentang kakek itu tadi!" desak Raka Pura
sambil mencekal len-
gan Purbaweni, hingga langkah si gadis menjadi tertahan. Akhirnya mereka
berhenti di bawah gugusan bu-
kit cadas yang tidak begitu tinggi itu.
"Purbaweni, baru saja kukenal dirimu tapi aku
sudah menjadi ikut-ikutan bodoh dan pengecut seper-
timu!" ujar Raka Pura agak kesal, tapi tak tahu harus dilampiaskan kepada siapa
rasa kesalnya itu.
"Katakan alasanmu, mengapa kita harus lari
begitu kakek berjubah biru tadi muncul dl depan ki-
ta"!" "Dewa Perintang bukan manusia biasa," ujar Purbaweni sambil bernada
tegang. "Dia seorang petapa sakti yang usianya sudah cukup banyak. Kerjanya
merintangi tujuan seseorang. Siapa pun yang bertemu
dengannya, pasti akan menemui kegagalan. Sekecil-
kecilnya kegagalan dalam mencapai tujuan, tapi bisa jadi akan mati di tangannya
jika Dewa Perintang tidak merestui tujuan orang tersebut."
"Aneh!" gumam Soka Pura. "Apa maksudnya Dewa Perintang ikut campur dalam urusan
tiap orang yang punya tujuan"!"
"Entahlah! Yang jelas, menurut cerita kakekku, dan beberapa pengalaman yang
pernah ku alami, jika
kita bertemu dengan Dewa Perintang, berarti kita harus mengubah haluan. Kalau
kita nekat, maka kita
akan mengalami bencana yang bisa saja akibat dari
ulahnya atau dari hal-hal lain!"
Raka Pura hembuskan napas. Ia menyesal
mengapa harus ikut lari dari hadapan Dewa Perintang.
Seharusnya ia tadi tak perlu ikut lari dengan Purbaweni. Seharusnya ia tadi
mendekati Dewa Perintang
dan menanyakan apa maksud kakek tua itu mengha-
dang di depan langkahnya.
Soka Pura pun mempunyai pemikiran serupa
dengan kakaknya. Bahkan menurut Soka Pura, ke-
munculan Dewa Perintang tidak perlu membuatnya la-
ri dan ketakutan. Bila perlu Soka ingin singkirkan si Dewa Perintang agar tak
merintangi langkahnya.
"Bodoh amat aku ini!" gumam Raka dengan na-da geram, seakan ia bicara pada diri
sendiri. Purbaweni mulai paham maksud hati kedua
pemuda kembar itu. Ia tahu bahwa kedua pemuda
kembar itu merasa malu jika harus menyingkir dari
hadapan Dewa Perintang. Tapi Purbaweni segera me-
maklumi, karena Pendekar Kembar belum mengetahui
kehebatan si Dewa Perintang tadi.
"Tak pernah ada orang yang mampu menerobos
Dewa Perintang. Jika ia bilang 'jangan teruskan lang-kahmu' maka kita pun
seharusnya tidak teruskan
langkah kita," ujar Purbaweni memberi penjelasan lebih lengkap lagi.
"Jika kita nekat teruskan langkah, ia akan
menghalangi dan tak seorang pun bisa lolos darinya.
Seandainya ia sudah berkata begitu, tapi orang tersebut nekat ingin lanjutkan
perjalanan, lalu ia menyingkir dan membiarkan orang itu melanjutkan langkah-
nya, maka dalam beberapa waktu orang itu akan me-
nemui halangan yang lebih berbahaya; jatuh ke jurang, dibunuh seseorang, atau
digigit binatang berbisa,"
tambah Purbaweni dengan berapi-api.
"Apakah dalam hal ini, Dewa Perintang ada di
pihak Ratu Rias Rindu"!" tanya Soka kepada Purbaweni.
Gadis itu diam sebentar, berkerut dahi tajam-
tajam, sepertinya ada sesuatu yang baru terlintas dalam benaknya. Ia pun segera
memandang Soka Pura
dengan wajah tampak menjadi tegang lagi.
"Kurasa... dugaanmu itu ada benarnya, Soka!
Ratu Rias Rindu telah menyewa Dewa Perintang untuk
merintangi siapa saja yang ingin mencampuri urusan-
nya dalam hal memburu Pedang Bulan Madu itu!"
"Apakah seorang petapa sakti bersedia disewa


Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk tujuan jahat"!" ujar Soka kepada Purbaweni.
"Aku tak tahu maksud hati Dewa Perintang. Tapi Firasat ku tiba-tiba mengatakan
begitu; Dewa Perintang telah berhasil dibujuk dan disewa untuk
memihak Ratu Rias Rindu!" tegas gadis cantik itu. "Sebab... kurasa Dewa
Perintang Juga mengetahui ten-
tang Pedang Bulan Madu, karena beliau kenal dengan
eyang buyut ku, Juga sering didatangi oleh Nyai Ceme-ti Langit, semasa ibu Ratu
Rias Rindu itu masih hi-
dup." "Jika benar begitu, mengapa tidak kita singkirkan saja si Dewa Perintang
itu"!" ujar Raka yang masih berdiri di bawah pohon dengan satu tangan bersandar
pada pohon tersebut.
Tapi kemunculan Dewa Perintang tadi belum je-
las maksudnya, bukan"! Belum tentu dia bermaksud
menghalangi langkah kita menuju istana Bara. Mung-
kin justru dia ingin membantu membebaskan kakak-
mu, Purbaweni!"
"Ya, kemungkinan itu masuk akal sekali, Soka!"
timpal Raka Pura.
"Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!" bantah Purbaweni. "Menurut cerita mendiang
kakekku, Eyang Buyut Sabandanu pernah bentrok dengan Dewa Perintang, entah
perkara apa. Yang jelas bukan tentang Pedang Bulan Madu. Jadi... kurasa tak
mungkin ia me- mihakku!" Kedua kakak-beradik kembar rupa itu sama-
sama menghela napas panjang. Setelah mereka saling
membisu sesaat, Soka Pura segera perdengarkan sua-
ranya lagi yang ditujukan kepada Purbaweni.
"Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan,
Purbaweni"! Membatalkan rencana semula"!"
"Tidak! Apa pun yang terjadi, siapa pun orang
andalan Ratu Rias Rindu, aku tetap harus bebaskan
Nalapraya! Kita bisa lewat selatan, sedikit memutar tak apa, tapi terhindar dari
si Dewa Perintang."
"Begini saja," ujar Raka mengajukan usul. "Kau dan Soka lewat selatan, sedangkan
aku akan lewat jalan tadi. Aku ingin tahu, apa maksud si Dewa Perin-
tang menghadang langkah kita tadi!"
"Jangan bodoh, Raka! Kau akan mati sia-sia ji-
ka nekat temui si Dewa Perintang."
"Setidaknya aku harus minta penjelasan kepa-
danya tentang maksud kemunculannya itu!"
Soka Pura dekati kakaknya dan berkata pelan,
"Apakah kau sudah tahu letak Istana Bara?"
"Belum!" jawab Raka dengan tegas. Soka Pura mendorong punggung kakaknya sambil
bersungut-sungut. "Belum tahu kok mau ke sana sendiri"! Bisa nyasar ke pasar
hewan kau!"
"Mungkin Dewa Perintang bisa menjadi peman-
du ku untuk menuju ke Istana Bara!" ujar Raka agak ngotot. "Dia akan memandu mu
ke neraka!" sahut Purbaweni dengan nada suara menakut-nakuti. Tapi uca-
pan itu justru membuat Raka Pura tersenyum tawar.
"Kita coba saja dulu bagaimana jadinya jika ki-ta berhadapan dengan Dewa
Perintang! Jangan ciut
nyali dulu, Purbaweni!"
Soka menyahut, "Aku setuju dengan usulmu,
Raka! Kau lewat jalan yang tadi dan aku akan lewat selatan bersama Purbaweni!"
"Baik! Kalau begitu, kita berpisah di sini saja!
Sampai bertemu di depan Istana Bara!" ujar Raka Pu-ra, kemudian segera bergegas
pergi, "Rakaaa...!" seru Purbaweni mengejar, ia tam-
pak cemas sekali. Tetapi Soka Pura segera menahan
gerakan Purbaweni.
"Biarkan saja! Kakakku orang yang mudah pe-
nasaran! Kalau rasa penasarannya belum terjawab, ia tak akan bisa tidur walau
sampai tujuh hari tujuh malam." "Tapi... tapi dia dalam bahaya besar jika nekat
menerobos perintangnya si petapa sakti itu, Soka! Kau akan kehilangan kakakmu!"
"Jika begitu, mungkin aku terpaksa beli kakak
yang baru!" jawab Soka Pura dengan konyol, karena ia yakin Raka mampu atasi Dewa
Perintang dengan Pedang Tangan Malaikat-nya.
Kelakar itu justru membuat Purbaweni men-
dengus kesal. Agaknya gadis itu benar-benar mence-
maskan diri Raka Pura. Sikap itu membuat Soka sedi-
kit iri dengan kesal. Akhirnya ia berkata kepada Purbaweni. "Kalau kau masih tak
percaya dengan kemampuan kakakku, sebaiknya kau ikut dia saja, dan aku
akan memutar lewat selatan!"
Purbaweni semakin bingung menentukan lang-
kahnya. * * * 4 MENURUT Purbaweni, belum pernah ada orang
yang senekat Raka Pura. Berani menghampiri Dewa
Perintang adalah perbuatan gila bagi Purbaweni. Pada umumnya, orang merasa
sangat beruntung jika ia bisa
hindari pertemuan dengan si Dewa Perintang. Tapi si Pendekar Kembar sulung itu
benar-benar orang yang
urat takutnya sudah putus, menurut Purbaweni.
Sedangkan yang bersangkutan sendiri tak per-
nah membayangkan risiko besar atau bahaya maut
yang akan datang menyerangnya. Raka Pura mengang-
gap si Dewa Perintang hanyalah manusia lanjut usia
yang patut dihormati sebagai orang yang lebih tua darinya. Tak ada yang lebih
pada diri Dewa Perintang ba-gi Raka Pura. Karena itulah ia melangkah melewati
tempat semula dengan hati tenang, namun tetap pe-
nuh kewaspadaan.
"Ke mana si kakek berjenggot tadi?" gumam ha-ti Raka Pura ketika tiba di tempat
munculnya Dewa Perintang tadi.
"Aku yakin di sinilah tempatnya si kakek ber-
jenggot tadi muncul tepat di depanku. Hmm... tapi ke-lihatannya tempat ini sepi-
sepi saja. Apakah ia pergi ke tempat lain" Atau kembali ke istana Bara.
Jika memang benar ia orang sewaan Ratu Rias
Rindu"!"
Pandangan mata Raka menyapu seluruh alam
sekitarnya. Setiap semak belukar diperhatikan baik-
baik. Bahkan ia pun memandangi hampir tiap atas po-
hon yang diperkirakan layak sebagai tempat persem-
bunyian. Ternyata kakek berjubah biru dengan tongkat kepala kobra itu tidak
tampak batang hidungnya.
"Mungkin dia pergi ke tempat lain, merintangi
orang lain lagi! Sebaiknya ku tengok lewat atas pohon biar lebih leluasa," pikir
Raka, maka dalam sekejap tubuh Pendekar Kembar sulung itu sudah berada di atas
sebatang pohon tinggi. Dengan menggunakan Jurus
peringan tubuhnya yang dinamakan 'Badai Terbang', ia meluncur naik bagaikan
menghilang dari tempatnya
berpijak. Dari atas pohon tinggi itu, pandangan mata
Raka Pura dibentangkan lebih lebar lagi. Ia mampu
memandang keadaan yang lebih jauh dari jarak pan-
dang saat berada di bawah tadi. Tapi ia tidak melihat sekelebat bayangan biru
atau kibaran jenggot dan
rambut putih si Dewa Perintang.
"Kurasa ia memang sudah tidak ada di tempat
ini. Untuk apa masih kucari Juga" Sebaiknya ku lan-
jutkan perjalananku menuju ke Istana Bara, su-
paya...." Ucapan batin Raka Pura itu terhenti seketika,
karena pandangan matanya menemukan sesuatu yang
perlu dicurigai. Kedua mata teduhnya yang mengecil
untuk memperjelas apa yang dilihatnya.
"Hei, siapa itu yang terhuyung-huyung di dekat gugusan cadas sebelah sana"!
Hmmm... tampaknya
orang itu sedang mabuk. Eh, bukan... sepertinya... sepertinya orang itu dalam
keadaan menderita"! Oooh...
rupanya ia juga harus bersembunyi"! Pasti ada orang yang mengejarnya! Sebaiknya
aku berada di pohon
bercabang dua itu biar lebih jelas lagi melihat wajahnya!" Wuuuzz, wuuuzz...!
Dalam beberapa kejap saja Raka Pura sudah
berada di pohon besar bercabang dua. Pohon itu letaknya sangat dekat dengan
gugusan cadas yang ting-
ginya seukuran sebuah pendopo. Dari pohon itu, Raka dapat melihat orang yang
tadi di incarnya dari kejauhan. Orang itu adalah pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahun, mengenakan pakaian merah yang
sudah robek-robek. Agaknya pakaian itu rusak karena dicabik-cabik binatang buas
atau sesuatu yang telah menyerangnya. Wajah pemuda yang termasuk tampan
itu kelihatan bengkak dl sisi tulang pipinya yang kiri.
Ada memar membiru di beberapa tempat, termasuk di
rahang. Pemuda tersebut bersembunyi dibalik gumpa-
lan cadas setinggi dua tombak. Gumpalan cadas itu
membentuk celah, dan pemuda itu masuk ke dalam
celah tersebut. Nafasnya tampak terengah-engah, dengan wajah penuh luka dalam
keadaan tegang.
"Kasihan sekali dia! Agaknya ia habis lakukan
pertarungan yang tak seimbang," ujar batin Raka. "Ia tidak membawa senjata.
Hmmm... kurasa senjatanya
tertinggal atau hancur oleh serangan lawannya. Oh,
dadanya koyak dan berdarah"! Hmmm... sepertinya
luka itu bekas luka cambukan. Bilur-bilur yang melintang dari kening ke pipinya
itu juga seperti bilur-bilur cambukan. Tapi siapa dia sebenarnya" Aku tak pernah
jumpa dengan pemuda itu!"
Raka Pura sengaja masih tetap berada di tem-
pat pengintaiannya, karena ia yakin pasti ada orang yang memburu pemuda itu.
Raka ingin tahu, siapa
pemburunya. "Apakah si Dewa Perintang"!" tanyanya dalam hati sendiri.
Tiba-tiba seberkas sinar merah sebesar bola te-
nis melesat dari arah timur. Sinar merah itu menghantam bagian atas gugusan
cadas yang membentuk celah
dan dipakai bersembunyi oleh si pemuda berbaju me-
rah itu. Weesss...! Blegaaarrr...!
"Aaaa...!" Pemuda itu berteriak sambil lompat keluar dari celah gugusan cadas
tersebut. Ia berteriak karena terkejut sekali begitu mendengar suara ledakan
dahsyat yang menghancurkan gugusan cadas tersebut.
Raka Pura sendiri juga terkejut dan hampir saja jatuh dari atas dahan pohon
tempatnya berpijak.
"Kutu kupret! Hampir aku jatuh dari tempat
sebegini tinggi!" gerutu hati Raka. "Gila! Pukulan jarak jauh siapa tadi yang
membuat cadas sebesar itu menjadi remuk semua"! Kurasa dia orang yang berilmu
tinggi. Hei... mana tadi si pemuda malang itu"!" Raka Pura segera mencari dengan
pandangan matanya.
"Oh, itu dia..."!" sambil matanya memandang ke arah si pemuda berbaju merah yang
terengah-engah di balik sebatang pohon besar. Ia bersembunyi di sana, merapatkan
badan dengan akar-akar pohon yang berbentuk pipih seperti dinding pemisah.
Pemuda itu tampak gemetar dan ketakutan sendiri. Jaraknya se-
makin dekat dengan pohon tempat Raka mengintai.
Tiba-tiba mata Pendekar Kembar sulung meli-
hat sekelebat bayangan datang dari arah timur.
Wuus...! Disusul dengan dua bayangan lain yang juga datang dari arah timur.
Wees, weess...!
"Ooh, itu dia pengejarnya!" gumam hati Raka dengan kepala sedikit geser ke kanan
agar pandangan matanya tidak terhalang dedaunan.
Pemuda berbaju merah itu terperanjat dan nya-
ris terpekik, karena tiga orang itu tiba-tiba muncul di depannya. Tiga orang itu
terdiri dari seorang perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dan dua
orang lelaki berusia sekitar tiga puluhan tahun.
Kedua lelaki itu sama-sama bertampang bengis,
dan sama-sama mengenakan rompi hijau, celana hi-
jau, badannya kekar, dan gempal. Salah satu dari
mereka berkumis, sedangkan yang satunya tak
memiliki selembar kumis pun. Yang berkumis menge-
nakan ikat kepala merah, yang tidak berkumis berikat kepala biru. Di pinggang
mereka tergantung pedang lebar, menyerupai pedang pemenggal leher yang mem-
punyai pengait kecil khusus untuk digantungkan pada sabuk hitam mereka.
Sedangkan perempuan yang agaknya menjadi
pimpinan kedua lelaki berambut lurus dan kaku se-
panjang pundak itu mengenakan jubah kuning ber-
bunga-bunga merah. Cerah dan meriah. Rambutnya
yang panjang disanggul naik dengan tusuk konde dari logam perak berbatu merah
kecil-kecil. Perempuan
yang bertubuh semok dan berdada montok itu menge-
nakan pinjung penutup dada warna merah jambu den-
gan kain bawahan Juga merah jambu.
Perempuan berwajah cantik itu mempunyai se-
pasang mata yang dingin, berkesan angkuh dan sinis.
Caranya memandang pemuda buruannya tampak se-
kali bahwa ia tak segan-segan mencabut nyawa lawan-
nya. Sekalipun ia termasuk perempuan berwajah can-
tik, namun di balik kecantikannya itu ia menyembu-
nyikan kebengisan yang tiada kenal pandang bulu.
"Haruskah aku turun tangan"!" pikir Raka
sambil tetap memperhatikan ketiga orang itu. "Ah, kurasa tak perlu! itu urusan
mereka. Jika aku meli-
batkan diri, mungkin akan berbuntut panjang. Se-
baiknya kuperhatikan saja tingkah mereka terhadap
pemuda itu. Tapi... kasihan juga pemuda itu Jika tidak
ditolong. Ia dalam keadaan lemah dan sepertinya su-
dah tak mampu lakukan pertarungan melawan ketiga
orang itu."
Ucapan batin Raka dihentikan karena ia ingin
menyimak suara si perempuan yang mempunyai pe-
dang bergagang perak dan sarung pedangnya juga dari perak ukir. Perempuan itu
bicara kepada si pemuda
baju merah yang sudah gemetaran berhadapan den-
gannya. "Ke mana pun kau lari, jalan sudah tertutup untukmu! Semakin kau nekat,
semakin dekat liang
kuburmu! Karenanya, supaya kau masih bisa berumur
panjang, sebaiknya menyerahlah! Jangan coba-coba
melarikan diri lagi!"
"Aku tak sudi menyerah!" sentak pemuda itu masih membandel juga. Rupanya ia
seorang pemuda yang pantang menyerah. Terbukti ia berkata lagi kepa-da perempuan itu.
"Lebih baik aku mati di tanganmu daripada kau
tangkap lagi, Kembang Setaman!"
Perempuan itu sunggingkan senyum sinis. Ra-
ka Pura membatin dalam hatinya, "O, perempuan itu bernama Kembang Setaman! Lalu,
siapa dua orang dl
belakangnya itu?"
Kembang Setaman tarik napas, tampak me-
mendam kemarahan atas kebandelan pemuda berbaju


Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah itu. Akhirnya ia perintahkan kepada dua orang yang ada di belakangnya itu.
"Bandra...!"
"Ya...!" sahut si pria berkumis yang ternyata bernama Bandra. "Dan kau, Ubaya!"
"Hmmm...!" orang bertampang bengis yang tidak berkumis itu hanya menggumam,
menyerupai ge- ram keganasan. Rupanya dia bernama Ubaya.
"Seret dia! Bawa ke istana!"
"Apakah tak sebaiknya kita bunuh saja, Kem-
bang Setaman"!" usul Ubaya.
"Dia masih kita butuhkan, jadi jaga nyawanya
jangan sampai minggat dari raganya! Setelah tidak kita butuhkan, baru kau boleh
habisi masa hidupnya se-sukamu!"
Raka Pura sempat membatin, "Mau dibawa ke
Istana..."! Apakah maksud mereka adalah Istana Ba-
ra"! Oh, kalau begitu dia tawanan yang lolos dari penjara Istana Bara"!" Raka
mencoba menyimpulkan sendiri. Yang bernama Bandra dan Ubaya segera maju
dekati pemuda berbaju merah itu. Tapi si pemuda se-
gera pasang kuda-kuda. Agaknya ia masih tetap ingin lakukan pemberontakan walau
sudah banyak kehilangan tenaga. Ketika Ubaya ingin mencekal tangannya,
pemuda itu segera gulingkan badan ke samping. Ia cepat bangkit dengan satu kaki
berlutut, kemudian tangannya menyodok pinggang Ubaya dengan keras.
Buuukh...! "Uuukh...!" Ubaya yang tak menduga bahwa
lawannya masih punya tenaga simpanan, segera terpe-
kik kaget dan terdorong ke samping beberapa langkah.
"Bocah Iblis!" geram Bandra, kemudian ia melompat dengan cepat lakukan
terjangan. Kakinya ber-
kelebat cepat kenai wajah pemuda tersebut. Prrok...!
"Aaauh...!" pemuda itu terjungkal ke belakang.
Belum sempat bangkit sudah dihajar dengan tendan-
gan Bandra lagi. Prrrook...!
Ia terhempas membentur pohon. Ubaya berke-
lebat ke arahnya. Tangan kiri Ubaya menjambak ram-
but pemuda itu, tangan kanannya menghantam wajah
si pemuda dengan keras. Plook...!
"Oowh...!" Pemuda itu mengerang kesakitan sambil terhempas ke belakang, jatuh
terkapar sebentar, lalu menggeliat bersama suara erangan yang lirih.
Hidung dan mulutnya mulai berdarah.
Raka Pura tak tega melihat keadaan si pemuda
yang tersiksa seberat itu. Sudah tak berdaya, masih saja dihajar terus oleh
Ubaya dan Bandra. Hati kecil Raka mendesak untuk memberikan bantuan kepada
pemuda yang tersiksa itu.
Namun sebelum Raka bertindak, tiba-tiba
Kembang Setaman berseru kepada Bandra dan Ubaya.
Seruan itu membuat Raka Pura menahan gerakan un-
tuk sesaat. "Buntungi saja kaki dan tangannya, tapi jaga
supaya ia tetap hidup!"
Bandra dan Ubaya segera mengambil pedang
lebarnya. Bandra ingin membuntungi kaki pemuda itu, sedangkan Ubaya tampak
bersiap membuntungi kedua
tangan si pemuda.
Namun sebelum mereka bergerak lebih lanjut,
Raka Pura turun dari atas pohon dengan gerakan se-
perti seekor camar menyambar mangsanya. Wuuuz..!
Jurus 'Jalur Badal' dipergunakan, sehingga Raka
mampu bergerak cepat dan nyaris tak terlihat lawan.
Tahu-tahu kedua orang berompi itu terpental dan saling bertumpang tindih.
Brrruuuk...! "Aaaakh...!"
Ubaya memekik panjang, karena ia yang ada di
bawah. Bandra jatuh menimpanya dalam keadaan
ujung pedangnya terbenam di perut Ubaya tanpa sen-
gaja. "Ubaya..."! Ubayaaa..."!" teriak Bandra dengan kaget dan mata melotot
seperti mau lompat dari rong-ganya. Kembang Setaman juga tertegun sesaat dengan
mata melebar begitu melihat Ubaya terkapar dalam
keadaan perutnya berlumur darah. Darah perempuan
itu kontan mendidih, terutama setelah melihat wajah Ubaya menjadi pucat seperti
mayat dan nafasnya tersentak-sentak. Pedang milik Bandra segera dicabut
oleh pemiliknya dengan hati sedih dan gusar. Cuuur...!
Darah menyembur dari perut Ubaya hingga membasa-
hi sekujur tubuhnya.
"Ub... Ubayaaa...!" Bandra tampak menyesal sekali melihat temannya terkena
senjatanya sendiri, ia segera memandang ke arah pemuda berpakaian putih
yang berdiri di samping pemuda berpakaian merah.
Pemuda berpakaian merah itu masih dalam keadaan
terkapar kehabisan tenaga, namun ia tampak berusa-
ha untuk bangkit dan memandang ke arah orang yang
telah gagalkan pembuntungan itu.
Kembang Setaman pun memandang dengan be-
rang kepada Raka Pura. Tapi yang dipandang tetap tenang dan kalem, seakan merasa
tak bersalah sedikit
pun. Ketenangan Raka itu semakin membakar darah
mereka, membuat Bandra segera berteriak liar dan melompat untuk tebaskan
pedangnya ke leher Raka.
"Bangsaaaat...!"
Wuuut...! Weeess...!
Pedang pemenggal leher itu ternyata tak berha-
sil kenai sasaran, karena Raka Pura tiba-tiba seperti lenyap. Tahu-tahu ia sudah
berada dl sisi lain, berdiri dengan kaki sedikit merenggang dan tetap tenang.
Pandangan matanya melirik ke arah Bandra dan Kem-bang Setaman secara bergantian.
"Jangan lari kau, Jahanaammm...! Heeeaaat...!"
Bandra mengamuk, kini ia menyerang Raka
kembali dengan pedangnya yang ditebaskan dari ka-
nan ke kiri, seakan ingin merobek perut Raka tanpa
ampun lagi. Namun gerakannya segera terhenti, kare-
na Raka Pura lepaskan pukulan Tangan Batu'-nya.
Dua tangan yang menggenggam itu disodokkan ke de-
pan, tenaga dalam yang keluar dari kedua tangan itu cukup besar dan menumbangkan
tubuh Bandra yang
besar dan kekar. Tubuh itu terlempar dan jatuh ter-
banting tepat di depan kaki Kembang Setaman.
Brruuuk...! "Hiaahhhkkk...!" Bandra memekik kesakitan dengan mata mendelik.
Kembang Setaman menggeram penuh keben-
cian. Pandangan matanya menatap tajam bagaikan
mata pedang. Tapi Raka Pura justru sunggingkan se-
nyum tipis kepada perempuan itu untuk membuat hati
si perempuan semakin terbakar.
"Keparat kau! Rupanya kau belum tahu siapa
aku, hah"! Berani-beraninya kau berbuat lancang di
depan Kembang Setaman ini"!"
"Acara membuntungi itu acara yang kejam. Bu-
kan acara yang seru dan meriah, Kembang Setaman!"
ujar Raka Pura seenaknya saja. "Terus terang, aku hanya tak tega jika pemuda
yang sudah tak berdaya
itu kalian buntungi! Karenanya aku terpaksa mence-
gah tindakan keji itu."
"Siapa kau sebenarnya"!"
"Raka Pura, namaku!"
"Hmmmm... pendatang baru rupanya"!" gumam Kembang Setaman sambil melangkah ke
samping, seakan mencari kelengahan lawannya.
Bandra berhasil berdiri kembali walau dengan
menahan rasa sakit di bagian dadanya. Kembang Se-
taman segera serukan perintah kepada Bandra, setelah terlebih dulu melirik Ubaya
yang masih dalam keadaan sekarat itu.
"Bandra, bawa pulang Ubaya! Biar aku yang
menangani kutu busuk ini dan tawanan kita itu!"
"Tapi aku belum...."
"Bawa pulang Ubaya! Lekas!" bentak Kembang Setaman. Bandra tak berani ngotot
lagi. Maka dengan menyimpan dendam dalam hatinya, tubuh Ubaya yang
sudah berlumur darah itu segera dipanggul dan diba-
Alap Alap Laut Kidul 13 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Tapak Tapak Jejak Gajahmada 9
^