Pencarian

Pedang Penyebar Maut 3

Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut Bagian 3


Saat Pengemis Tempurung Sakti berjalan
menembus curahan air hujan, tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya yang tertutup
oleh alis putih lebat, membelalak ketika melihat seseorang berpakaian putih
berdiri sekitar lima tombak di depannya dalam curahan air hujan.
Perlahan-lahan matanya mengawasi dari bawah ke
atas, berusaha melihat orang yang menghadang perjalanannya. Dan betapa terkesiap
hatinya keti mengenali sosok berpakaian putih itu.
"Bidadari Pencabut Nyawa!" desis Pengemis Tempurung Sakti terkejut.
"Lama kutunggu kemunculanmu, Pengemis Setan!
Kau telah membunuh Nyi Bangil dan Lira Kanti.
Nyawamu tak akan kuampuni!" dengus Mei Lie dengan mata memandang tajam penuh
kebencian pada Pengemis Tempurung Sakti.
"Kau" Aku tak punya urusan denganmu," sanggah Pengemis Tempurung Sakti, berusaha
mengelak dari tuduhan Mei Lie.
Mei Lie hanya tersenyum sinis. Kakinya melangkah setapak demi setapak mendekati
Pengemis Tempurung Sakti.
Srrrt! Tangan Mei Lie menarik Pedang Bidadari dari sarungnya. Sinar merah kekuning-
kuningan seketika terpancar menyilaukan mata, menerangi tempat itu
"Kau boleh mengelak dari dosamu, Pengemis Setan! Tapi nanti di akhirat sana!"
dengus Mei Lie dengan gusar. Kakinya terus melangkah maju.
Tubuh lelaki tua itu menyurut mundur dua langkah.
Matanya memandang Mei Lie dengan tajam.
Sementara gadis itu telah siap dengan pedangnya.
"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" bentak Mei Lie sambil menggerakkan
pedangnya ke samping. Dengan sinar mata menusuk, Mei Lie terus melangkah maju. Siap menyerang
dengan jurus pertamanya 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut'.
Melihat lawan telah membuka serangan, Pengemis Tempurung Sakti tak tinggal diam.
Meski mengetahui siapa lawan yang hendak dihadapi, tapi sebagai tokoh
persilatan yang telah banyak makan asam garam, dia tak mau menunjukkan rasa
takutnya. Tongkatnya segera digerakkan dengan cepat, membentuk sebuah putaran.
Jurus itu bernama 'Lingkaran Angin Sewu'
"Kau sudah siap, Pengemis Setan"!"
"Hm...," gumam Pengemis Tempurung Sakti.
Tangannya masih menggerakkan tongkat kayu
hitamnya dengan cepat.
"Bersiaplah! Yiaaat...!"
Dengan jurus 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut', Mei Lie bergerak menyerang. Pedang
di tangannya memburu ke arah lawan dengan tusukan dan
sabetan yang sangat cepat.
"Yeaaa...!"
Menyaksikan lawan menyerang, Pengemis
Tempurung Sakti segera menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.
"Hait!"
Trak! Terdengar suara dua senjata beradu. Diikuti oleh pekikan keduanya saat melakukan
serangan. Suasana perbatasan Desa Kemurang yang riuh
diguyur hujan, semakin bertambah hiruk-pikuk oleh pertarungan mereka. Tanah
becek di tempat mereka bertarung berhamburan. Rerumputan banyak yang mati,
tergasak kaki mereka. Daun pepohonan
berhamburan, terkena sabetan pedang dan tongkat keduanya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!"
Pedang di tangan Mei Lie bergerak dengan cepat menusuk ke dada lawan. Pengemis
Tempurung Sakti berkelit ke samping dengan kaki sedikit ditekuk.
Kemudian dengan cepat pula, dia balas menyerang
dengan sambaran tongkatnya dalam satu jurus
'Lingkaran Angin Sewu', yang dilajutkan dengan jurus
'Hantaman Badai Selatan'.
"Yeaaat..!"
Tongkat kayu hitam di tangan Pengemis
Tempurung Sakti bergerak mencecar lawan dengan ganas. Angin pukulannya menderu-
deru, menimbulkan hembusan yang sangat keras. Ujung tongkat yang runcing
berusaha membelah dada lawan.
Wut! "Uts! Yeaaa...!"
Dengan gerakan yang lincah serta cepat, Mei xlei segera mengelakkan serangan
yang dilancarkan lawan. Setelah menghindari serangan, dengan sigap Mei Lei
kembali menggebrak dengan serangan yang tidak kalah hebat. Pedang di tangannya
membentuk sebuah garis mendatar. Lalu pedangnya bergerak menyilang bergantian
dari kanan bawah ke kiri, atau sebaliknya.
"Heaaa...!"
Dengan jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah Awan' Mei Lie kembali bergerak
menyerang. Pedangnya membelah ke arah yang berlawanan
dengan cepat, diikuti oleh laju tubuhnya yang memburu tak kalah cepatnya ke arah
lawan. "Yiaaat..!"
Pengemis Tempurung Sakti menggeser kaki kiri agak membuka. Kaki kanannya sedikit
ditekuk. Sedangkan tubuhnya agak dimiringkan, mengelitkan serangan lawan ke belakang.
Lalu dengan cepat, tongkatnya digerakkan untuk menangkis.
Trak! Prak! "Ukh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh.
Mulutnya meringis. Sedangkan tangannya gemetar kesemutan setelah beradu senjata
dengan Mei Lei.
Seperrinya gadis Cina itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat.
Tidak kusangka ilmunya sangat tinggi. Puji
Pengemis Tempurung Sakti dalam hati, mengakui kehebatan tenaga dalam lawan.
Tidak disangkanya kalau ilmu tenaga dalam lawan ternyata berada dua tingkat di
atasnya. Mei Lie tersenyum sinis menyaksikan kekagetan lawan dari wajahnya yang pucat.
Matanya kian tajam memandang Pengemis Tempurung Sakti.
Hujan masih mengguyur, seakan sengaja dicurahkan dari langit untuk menyemaraki
pertempuran itu.
Angin bertiup laksana membadai, semakin membuat rasa dingin yang menyekat.
"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" dengus Mei Lie dengan nada gusar.
Tangannya kembali menggerakkan pedang dengan cepat, menyilang dan menusuk.
Langkah kakinya pelan beraturan dengan gerakan yang aneh. Itulah jurus pamungkas
'Tebasan Pedang Batin'.
"Baiklah, aku akan mengadu jiwa denganmu!
Hiaaat..!" teriak Pengemis Tempurung Sakti seraya melesat melakukan serangan.
Tempurung saktinya dilemparkan ke arah Mei Lie. Sedangkan tubuhnya melesat
menyerang dengan sambaran tongkat kayu hitamnya.
Swing! "Hiaaa...!"
Mei Lie segera mengangkat Pedang Bidadari,
memapaki serangan tempurung sakti lawan.
Brak! Ledakan dahsyat terdengar, diiringi oleh hancurnya
tempurung lawan. Tempurung itu berhamburan
menjadi serpihan debu. Pohon yang dekat dengan tempat mereka bertarung, turut
terbakar hangus.
Tanah yang dipijak oleh Pengemis Tempurung Sakti bergetar bagai terkena gempa.
Hal itu membuat Pengemis Tempurung Sakti tersentak dengan mata membelalak.
Segera serangannya ditarik, lalu mencelat ke belakang dengan wajah menggambarkan
rasa kaget "Kurang ajar! Kau telah menghancurkan
tempurungku! Kau harus mampus! Yeaaa...!"
Dengan jurus 'Sapuan Kilat Maut' Pengemis
Tempurung Sakti kembali meluruk. Tongkat kayu hitam di tangannya menderu-deru
bagai topan serta mengeluarkan sinar membara laksana kilat.
Mei Lie segera mengerahkan tenaga dalamnya, kemudian dengan mata terpejam
tubuhnya bergerak memapaki serangan lawan. Tangannya menebas ke lengan lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaah...!"
Wut! Trak! Cras! "Wuaaa...!"
Pengemis Tempurung Sakti memekik keras.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata membelalak. Matanya memandang
kedua tangannya yang tadi dirasakan terkena penggalan pedang lawan. Namun kedua
tangannya masih
tampak utuh, seperti tidak mengalami apa-apa.
Itulah kehebatan jurus 'Tebasan Pedang Batin'
Lawan tidak merasakan apa-apa, bahkan tidak mengalami apa pun. Semua anggota
tubuh kelihatan
masih utuh, tak ada tanda-tanda bekas tebasan pedang. Setelah beberapa saat
kemudian, kejadian yang aneh pun terjadi. Tubuh yang terkena babatan pedang
seakan berubah menjadi debu dan
beterbangan ditiup angin.
Baru saja Pengemis Tempurung Sakti terheran-heran menyaksikan tangannya bagai
tak terluka, tiba-tiba kejadian yang menggiriskan dialaminya. Ketika angin
berhembus menerpanya, kedua tangannya hancur menjadi debu. Tak ada darah yang
keluar. Begitu juga dengan tongkat kayu hitamnya. Tongkat itu terbakar menjadi debu.
"Wuaaa...! Tobaaat...!" pekik Pengemis Tempurung Sakti ketakutan setelah
menyaksikan kedua
tangannya telah menghilang tanpa bekas.
"Hi hi hi...! Kau harus mampus, Pengemis Setan!
Bersiaplah! Hiaaa...!"
Mei Lie yang sudah demikian benci pada orang-orang yang dianggapnya telah
membunuh Nyi Bangil dan Lira Kanti, kembali melabrak lawan dengan tebasan
menyilang. "Tidak! Jangan...!" ratap Pengemis Tempurung Sakti ketakutan.
Namun Mei Lie rupanya tidak menghiraukan
jeritan itu. Dia terus bergerak menyerang dengan tebasan-tebasan menyilang ke
tubuh lawan. Bret, bret! Cras! "Aaa...!" jerit kematian yang melengking terdengar.
Tubuh Pengemis Tempurung Sakti tergetar dahsyat.
Matanya melotot. Kemudian diam mematung tanpa nyawa. Tubuhnya berhamburan ketika
angin menerpanya. "Nyi Bangil, Lira Kanti! Kini semuanya telah
terbalaskan! Tenanglah kalian di alam sana," desis Mei Lie.
Mei Lie hendak berlalu meninggalkan tempat itu, ketika terdengar suara orang
berseru mencegahnya.
"Tunggu...!"
Mei Lie menghentikan langkahnya, lalu
memandang ke arah suara itu. Nampak olehnya para pendekar telah berada di tempat
itu. Hal itu membuat Mei Lie mengerutkan kening, tak mengerti mengapa para
pendekar berdatangan dan mengepungnya.
"Mei Lie, kau kami tangkap!" seru Arya Parasu.
"Ditangkap" Apa salahku...?" tanya Mei Lie.
"Nanti kami jelaskan! Yang pasti kau harus ikut kami!" jawab Arya Parasu.
Mei Lie terdiam sesaat, namun akhirnya menurut.
Setelah memasukkan Pedang Bidadari ke sarungnya, dengan tenang Mei Lie
menghampiri para pendekar.
Dan dia pun menurut ketika para pendekar
mengajaknya ke Perguruan Semeru.
*** Mei Lie tersentak setelah mendengar penjelasan tentang alasan dirinya ditangkap
dari Arya Parasu.
Mata Mei Lie yang indah dan bening itu membelalak menatap dengan tajam pada para
pendekar yang diam membisu. Sepertinya mereka pun merasakan getaran yang aneh,
atau takut menyaksikan Bidadari Pencabut Nyawa mendengus.
"Fitnah! Jelas ini fitnah. Tentunya ada seseorang yang bermaksud memecah belah
para pendekar,"
dengus Mei Lie dengan lantang.
"Sabar, Mei Lie. Kami pun ragu kalau kau yang telah membunuh murid Perguruan
Semeru dan Ki Galiwang. Sena telah menyelidiki semuanya. Agar para pendekar dapat
membuktikannya, sementara waktu kau biar di sini. Kalau semuanya sudah jelas,
kmia akan melepaskanmu," urai Arya Parasu, salah seorang dari Tiga Malaikat Suci.
"Hm...," gumam Mei Lie tak jelas. "Apakah kalian tidak memberi aku kesempatan
untuk membuktikan kebenaran. Aku bersumpah, akan menangkap hidup atau mati orang
yang telah memfitnahku."
Semua terdiam, sepertinya tengah berpikir apakah hendak meluluskan permintaan
Mei Lie. Kini Pandangan para pendekar yang berada di Perguruan Semeru tertuju ke arah Tiga
Malaikat Suci. Secara tak langsung mereka meminta pendapat tiga lelaki tua yang
dianggap sebagai sesepuh para pendekar di wilayah timur.
"Kau bersungguh-sungguh, Mei Lie?" tanya Arya Parasu.
"Ya!"
"Sulit. Apakah kau bisa membuktikan bahwa kau tidak membunuh para pendekar?"
tanya Arya Parasu.
Mei Lie menghela napas panjang. Memang sulit untuk membuktikan semuanya. Namun
seketika dia teringat akan keampuhan Pedang Bidadari jika mengenai tubuh lawan.
"Apakah korban hancur menjadi debu?" tanya Mei Lie.
"Hancur menjadi debu"!" pekik semua pendekar kaget dengan mata membelalak.
"Apa maksudmu, Mei Lie?" tanya Arya Parasu dengan kening berkerut, tak mengerti
dengan pertanyaan yang baru saja diajukan Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa.
"Siapa pun yang terkena Pedang Bidadari dengan
menggunakan jurus 'Tebasan Pedang Batin' orang itu akan menjadi debu. Apakah
kalian tadi tidak melihat kematian Pengemis Tempurung Sakti?"
Semua terdiam dengan mata tak berkedip. Mereka seperti baru menyadari kekeliruan
dan kecerobohan-nya. Hati mereka membenarkan kata-kata Mei Lie.
Ya, semua korban Mei Lie memang tak ada
bekasnya. Semua menjadi debu!
"Bisa kau membuktikannya, Mei Lie?" tanya Ki Malawa kemudian.
"Hm.... Dengan apa?" tanya Mei Lie.
"Sebentar!"
Kemudian Ki Malawa berlalu dari ruangan itu.
Tidak lama kemudian, dia telah kembali dengan membawa seorang murid Perguruan
Semeru. "Dengan ini," kata Ki Malawa, membuat semua mata para pendekar membelalak kaget.
Mereka tak mengira kalau Ki Malawa akan mengorbankan nyawa manusia untuk
membuktikan kebenaran ucapan Mei Lie.
"Malawa, apa-apaan kau"!" bentak Arya Parasu.
"Dia manusia!"
"Benar! Dan kalau dia bukan orang jahat, pantang bagiku membunuhnya," sambung
Mei Lie. Ki Malawa tersenyum tenang. Bahkan memandang dengan sinis pada muridnya yang
semakin tegang ketakutan.
"Dia pengkhianat di Perguruan Semeru. Untuk itulah, apa tidak sebaiknya Bidadari
Pencabut Nyawa yang menghukumnya. Sekaligus membuktikan
kebenaran semuanya. Bagaimana...?" tanya Ki Malawa masih bersikap tenang.
Semua pendekar masih terdiam. Belum ada yang mengerti dengan maksud Ketua
Perguruan Semeru
itu, termasuk Tiga Malaikat Suci. Semua menunggu dengan hati berdebar. Sesekali
mata mereka

Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang tegang ke arah calon korban. Kemudian beralih memandang Mei Lie yang
juga merasa tegang.
"Lakukanlah, Mei Lie," perintah Arya Parasu akhirnya.
"Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan." Mei Lie segera mengeluarkan Pedang
Bidadari dari sarungnya. Kemudian dengan mata terpejam, pedangnya digerakkan
menyilang, lalu dihunus tegak lurus.
Dengan gerakan halus, Mei Lie membabatkan
pedangnya ke tangan korban.
Cras! "Aaa...!"
Lelaki muda yang mendapat hukuman itu
memekik. Tapi seketika matanya membelalak,
menyaksikan kedua tangannya masih utuh.
Bukan hanya lelaki muda yang mendapat
hukuman yang kaget menyaksikan kejadian aneh itu, tapi semua pendekar di tempat
itu turut membelalakkan mata.
"Hah"! Apakah kau tidak melakukannya, Mei Lie?"
tanya Arya Parasu.
"Sudah," jawab Mei Lie tenang.
"Tapi..."
Belum habis ucapan Arya Parasu, tiba-tiba Mei Lie meniup ke arah tangan lelaki
muda itu. Kejadian aneh kembali terjadi. Tangan korban seketika beterbangan
menjadi debu. Semakin membelalak mata semua pendekar
menyaksikan bagaimana hebatnya ilmu pedang
Bidadari Pencabut Nyawa itu. Kini semuanya
berdecak kagum. Hati mereka berkata lirih. Kalau saja Mei Lie mau, tentunya dia
akan mampu membantai semua yang ada di tempat ini.
"Ck ck ck...! Sungguh bukan ilmu pedang sembarangan," Gumam Arya Parasu. "Kalau
kau mau, kami tak mungkin dapat menandingimu, Mei Lie. Kini kami yakin, bahwa
kau tidak bersalah. Tapi kau harus dapat menangkap hidup atau mati orang yang
telah memfitnahmu."
"Terima kasih, aku akan berusaha menangkapnya."
"Ya. Semua demi nama baikmu, Mei Lie. Juga ketenangan dunia persilatan," kata
Arya Parasu. "Apakah aku diperkenankan mencarinya
sekarang?" tanya Mei Lie.
"Apakah kau tak ingin menunggu Sena?" balik Arya Parasu bertanya.
Mei Lie terdiam. Dia memang ingin bertemu
pemuda itu. Namun bagaimanapun juga, tugas jauh lebih utama dibanding
kepentingannya. Dihelanya napas panjang-panjang.
"Biarlah aku harus menunaikan tugasku dulu.
Sampaikan salamku pada Sena jika dia datang," ucap Mei Lie.
Kemudian setelah menjura hormat, Mei Lie pun meninggalkan Perguruan Semeru
diikuti pandangan penuh kekaguman dari para pendekar yang kini percaya kalau Mei
Lie bukan pembunuh murid
Perguruan Semeru dan Ki Galiwang.
"Kuharap dia segera berhasil," gumam Ai Parasu.
"Ya! Semoga dia cepat berhasil, sehingga semuanya akan terungkap. Begitu juga
dengan Pendekar Gila, semoga dia segera membuka tabir semuanya, "
tambah Ki Malawa.
Langit sore kini nampak cerah, terhias oleh pelangi yang indah di sebelah timur.
Para pendekar berharap,
semua akan berakhir.
Mei Lie terus melangkah, menapakkan kakinya untuk mencari orang yang telah
mencemarkan nama baiknya.
*** 8 Malam telah menyelimuti bumi dengan kegelapannya yang terasa mencekam. Angin
malam yang dingin berhembus perlahan, meniup debu dan menggesek dedaunan.
Desa Jatiwangi tempat Padepokan Sawo Jajar yang dipimpin oleh Ki Swarna Bayu
berada, tampak sepi.
Tak terlihat seorang pun yang keluyuran. Semua seperti terbuai oleh desau angin
malam, meringkuk di atas pembaringan masing-masing.
Dari arah barat di mana Hutan Wadas Gering
berada, saat itu muncul sesosok bayangan putih berkelebat memasuki perbatasan
Desa Jatiwangi.
Diikuti oleh kemunculan beberapa sosok tubuh yang terbungkus pakaian hitam.
Wajah mereka tertutup oleh kain hitam. Hanya mata mereka saja yang terlihat.
Sosok berbaju putih memakai caping daun pandan itu melesat menuju Padepokan Sawo
Jajar. Kemudian dengan berdiri di depan padepokan, sosok berbaju putih itu berseru
lantang. "Swarna Bayu, keluarlah!"
Murid-murid Padepokan Sawo Jajar tersentak
mendengar seruan itu. Bergegas mereka bangun. Dan langsung terkejut, ketika
beberapa bayangan hitam tiba-tiba berkelebat menyerang.
"Padepokan diserang musuh...!" teriak salah seorang murid padepokan, yang
membuat semua orang Padepokan Sawo Jajar terjaga dari tidurnya.
Begitu juga dengan Ki Swarna Bayu. Lelaki tua itu berusia sekitar enam puluh
tahun, dengan wajah menggambarkan ketenangan.
"Kurang ajar! Siapa yang telah lancang membuat keonaran!" bentak Ki Swarna Bayu
marah. Matanya menyapu ke sekelilingnya, di mana orang-orang bertopeng hitam
telah mengepung padepokannya.
"Aku!"
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih.
Dilihat dari tubuhnya yang ramping, jelas bayangan putih itu seorang wanita
muda. Sayang wajahnya yang tertutup caping daun pandan tidak begitu jelas,
membuat Ki Swarna Bayu tak dapat mengenali
wajahnya. "Siapa kau"!" bentak Ki Swarna Bayu.
"Aku Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa," jawab gadis itu, membuat mata Ki
Swarna Bayu membelalak.
"Bedebah! Aku tak percaya! Bidadari Pencabut Nyawa bukan orang dari golongan
hitam. Dia tidak pernah membuat keonaran sepertimu!" dengus Ki Swarna Bayu
gusar. "Ha ha ha...! Terserah kau saja, Ki. Yang pasti aku datang untuk mencabut
nyawamu! Bersiaplah
Yeaaa...!"
Melihat lawan telah menyerang, Ki Swarna Bayu tak mau tinggal diam. Dia pun
segera melompat untuk menghadapi serangan lawan. Kedua kakinya digenjotkan,
sedangkan tangannya bergerak
membentuk sebuah kebutan dan cakaran yang keras.
"Yeaaa!"
Tangan Ki Swarna Bayu mencengkeram ke arah
lawan. Namun dengan cepat wanita bercaping daun pandan yang mengaku Mei Lie
mengelakkannya.
Kakinya digeser ke samping, lalu dengan cepat balik menyerang dengan tendangan.
Ki Swarna Bayu menarik cengkeramannya. Dengan berputar, dia membalas serangan
lawan. Kakin bergerak menendang, diteruskan dengan pukulan tangan kanan ke dada
lawan. Suasana Padepokan Sawo Jajar yang semula
tenang dan sepi, kini menjadi riuh. Pertarungan antara para penyerang yang
memakai topeng hitam melawan murid-murid Ki Swarna Bayu berjalan dengan seru.
Jeritan kematian memecah kesunyian malam, diiringi cipratan darah.
Ki Swarna Bayu terus menggebrak dengan
serangan-serangan keras yang merupakan serangan inti. Jurus-jurus tingkat tinggi
'Badai Samudera-Utara'
dan 'Gelombang Laut Utara' dikeluarkannya susul-menyusul.
Melihat serangan lawan yang telah menggunakan jurus-jurus inti, lawannya yang
tak lain Sarah Dita tidak mau tinggal diam. Segera pedangnya dicabut dari
sarungnya. Srrrt! "Heaaat..!"
Dengan pedang di tangan, Sarah Dita balas
menyerang. Pedangnya bergerak membabat dan
menusuk ke tubuh lawan dengan ganas, diikuti oleh pukulan dan tendangannya yang
juga berbahaya.
Dengan jurus 'Lingkaran Maut' andalannya, Sarah Dita berusaha mendesak lawan.
Pedangnya menderu-deru, menebas dan menusuk ke tubuh lawan.
"Hiaaat..!"
Ki Swarna Bayu terkesiap. Matanya membelalak menyaksikan serangan lawan yang
sangat cepat. Sepertinya lawan tidak ingin memberi kesempatan
sedikit pun, bahkan sekadar untuk menarik napas.
Pedang di tangan lawan tidak ubahnya malaikat maut yang terus mencari mangsa.
"Celaka!" pekik Ki Swarna Bayu dengan mata semakin membesar tegang, mendapati
serangan lawan yang susul-menyusul tiada putusnya.
Ki Swarna Bayu berusaha mengelakkan serangan lawan yang gencar. Namun pedang di
tangan lawan bagai memiliki mata saja.
Wut, wut..! Pedang di tangan Sarah Dita terus mencecar
Ketua Padepokan Sawo Jajar itu dengan tebasan-tebasan yang membahayakan. Hal itu
membuat Ki Swarna Bayu semakin terdesak. Dan....
Cras! "Aaakh...!"
Ki Swarna Bayu memekik keras, ketika dadanya tersayat pedang lawan. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang dengan mata membelalak.
"Hiaaat..!"
Sarah Dita tak puas sampai di situ, meski lawan dalam keadaan sekarat. Pedang di
tangannya memburu ke arah Ki Swarna Bayu, siap merenggut nyawa orang tua itu. Namun pada
saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat menangkis
kelebatan pedang Sarah Dita.
Trang! "Ukh!" Sarah Dita mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata
membelalak, memandang sosok wanita berpakaian putih bergaya gadis Cina. Pedang di tangan
gadis Cina itu bersinar merah kekuning-kuningan.
"Rupanya kau yang telah membuat fitnah keji atas diriku"!" dengus Mei Lie
setelah menemukan orang
yang selama ini telah membuat namanya tercemar.
"Ya!" sahut Sarah Dita sinis, dengan sikap menantang.
"Bedebah! Rupanya kau sengaja melakukannya!
Katakan, siapa yang mendalangimu"!" bentak Mei Lei.
"Itu urusanku!" sahut Sarah Dita, tak kalah sengit.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit!
Bersiaplah!"
"Hm...!"
Dua gadis cantik jago pedang itu kini saling berhadap-hadapan. Satu memegang
pedang bersinar merah kekuning-kuningan. Yang lain memegang pedang bersinar
putih keperakan. Mata mereka yang indah, saling menatap tajam.
Dua ilmu pedang sakti akan saling bertarung untuk menentukan siapa di antara
mereka yang paling hebat. Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang satunya Pedang
Titisan Iblis. "Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Mei Lie membuka jurus pertama dengan jurus
'Tarian Bidadari Membelah Langit'. Pedang di tangannya bergerak cepat, dari
bawah ke atas. Seakan pedang itu berusaha membelah langit.
Sementara itu, Sarah Dita tidak mau tinggal diam.
Segera digunakannya jurus pembuka yang tidak kalah hebat. Jurus 'Sapuan Kabut
Maut' dilancarkannya.
Pedangnya bergulung cepat membuat sinar putih laksana kabut yang menutupi
tubuhnya. "Hiaaat..!"
"Yeaaah...!"
Trang! Denting dua pedang beradu terdengar. Tubuh
keduanya melompat ke belakang, kemudian dengan sigap kembali menyerang. Pedang
di tangan mereka bagai memiliki mata, bergerak ke sana kemari, memburu tubuh
lawan. Pertarungan seru dua gadis yang memiliki ilmu pedang tingkat tinggi itu terus
berlangsung, membuat semua murid Padepokan Sawo Jajar dan anak buah Sarah Dita
seketika menghentikan pertarungan.
Mereka kini terpaku, menyaksikan pertarungan hebat antara dua gadis cantik
bersenjata pedang.
Mei Lie kembali membuka jurus. Kali ini dengan jurus 'Tebasan Pedang Bidadari
Membelah Gunung'.
Pedangnya bergerak mendatar, kemudian diangkat tinggi-tinggi, lalu diteruskan
dengan sabetan ke arah bawah.
Sekeliling tempat itu seketika menjadi terang oleh sinar merah kekuning-kuningan
yang keluar dari Pedang Bidadari di tangan Mei Lie.
"Yeaaa!"
"Hiaaat..!"
Keduanya kembali berkelebat, bergerak
menyerang dengan babatan dan tusukan pedang.
Gerakan mereka sangat cepat, rasanya sulit untuk diikuti mata. Kini yang tampak
hanya sinar merah kekuning-kuningan yang berbaur dengan sinar putih keperakan.
Trang, trang! Wut! "Hiaaat..!"
Beberapa kali pedang di tangan mereka saling beradu. Tubuh keduanya sesaat
melompat ke belakang. Mata keduanya saling pandang dengan tajam. Kemudian didahului pekikan
menggelegar, keduanya kembali menyerang dengan sabetan
pedang. "Yeaaah...!"
"Hiaaat...!"
Mei Lie kali ini telah mengeluarkan jurus
pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus sakti yang sangat dahsyat. Orang
yang terkena babatan pedangnya akan mengalami keanehan.
Tubuhnya tak menampakkan luka. Tapi jika tertiup oleh angin, maka tubuhnya akan
lebur menjadi debu yang beterbangan.
Sarah Dita tersentak menyaksikan jurus yang aneh dan terkenal itu. Agak tegang
juga dia menyaksikan jurus yang tengah diperagakan Mei Lie. Nyalinya seketika
menciut, jika ingat akan korban jurus yang tengah diperagakan Mei Lie.
"Tunggu!" seru Sarah Dita.
"Hm.... Ada apa" Apakah kau akan menyerahkan diri dan mau bertanggung jawab atas
semuanya?"
tanya Mei Lie. "Ya. Hentikan jurus itu. Aku terima kalah."
"Baik. Ikut aku!"
Dengan gerak cepat, Mei Lie berkelebat menotok jalan darah Sarah Dita. Gadis itu
seketika kaku bagai patung.
"Kalian orang-orang Gerombolan Lowo Ireng.
Hentikan! Kalau tidak, aku tak akan segan-segan menghabisi nyawa kalian!" seru
Mei Lie. Semua anggota Gerombolan Lowo Ireng
menghentikan pertarungan.
"Bubar kalian! Katakan pada pimpinan kalian, aku akan ke sana!" seru Mei Lie
lantang. Semua anggota Gerombolan Lowo Ireng tak ada yang membantah, mereka lari
terbirit-birit. Mei Lie pun segera melesat pergi, membawa tubuh Sarah Dita.
*** Sementara itu, di markas Gerombolan Lowo Ireng, tampak seorang pemuda tampan
berpakaian rompi kulit ular tengah mengamuk. Pemuda tampan yang tidak lain
Pendekar Gila, kini benar-benar marah, setelah tahu dalang semua kerusuhan di
rimba persilatan.


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hi hi hi...! Ayo, biar kalian kujadikan perkedel! Ha ha ha...!"
Dengan tingkah laku seperti orang gila, Pendekar Gila terus bergerak menyerang
ke sana kemari. Suling Naga Sakti di tangannya, tak henti-hentinya meminta
korban. Setiap kali sulingnya bergerak, jeritan kematian menyapu malam yang
sepi. Sejauh itu, pertarungan tampak belum akan
berakhir. Para pemimpin Gerombolan Lowo Ireng pun belum menampakkan batang
hidungnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin mengamuk ganas.
Dengan berteriak-teriak seperti orang kebakaran jenggot, Sena berusaha memanggil
orang-orang itu.
"Pimpinan Gerombolan Lowo Ireng, keluarlah kalian!" serunya menantang sambil
terus melabrak Gerombolan Lowo Ireng.
Sementara itu, di dalam bangunan besar markas Gerombolan Lowo Ireng, Selendra
dan Daeng Ampra tengah membicarakan jalan yang harus mereka tempuh. Baru
Pendekar Gila saja yang datang, mereka telah dibikin repot. Apalagi jika yang
lainnya muncul.
"Celaka! Dia memang bukan pendekar
sembarangan. Baru dia yang datang, kita telah kerepotan begini," gerutu Daeng
Ampra. "Tak ada waktu bagi kita untuk meladeninya. Apalagi jika Mei
Lie datang. Celakalah kita."
"Tapi, Guru...," selak Selendra.
"Ada apa, Selendra?"
"Bagaimana kalau aku menghadapinya?"
"Apa"! Jangankan kau, aku pun belum tentu mampu menghadapinya. Percuma saja!
Kita harus menyingkir dari sini."
"Tidak! Aku akan menghadapinya!" kata Selendra seraya berkelebat keluar.
"Selendra, tunggu!" cegah Daeng Ampra. Namun tubuh Selendra telah melesat
meninggalkan tempat itu. "Anak total! Rupanya dia mencari mampus!"
Daeng Ampra segera melesat keluar lewat pintu belakang, meninggalkan tempat itu.
Dia melihat keadaan yang tidak memungkinkan untuk diladeni.
Pertarungan semakin seru dengan kemunculan.
Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Selendra yang
bernafsu hendak mengalahkan Pendekar Gila
langsung menyerauak ke dalam kancah pertempuran.
Dan menyerang Pendekar Gila dengan jurus
'Bayangan Kelelawar Hitam dari Neraka'.
Tubuh Selendra laksana menghilang, yang terlihat hanya bayangannya saja. Hal itu
membuat Pendekar Gila tersentak kaget, dia berusaha memusatkan kekuatan
batinnya. Namun anak buah Selendra tengah menggempurnya. Mau tak mau,
perhatiannya terpecah lagi. Dengan mendengus marah serta bertingkah laku seperti
orang gila, Pendekar Gila mengamuk. Suling Naga Sakti digerakkan ke segenap
penjuru memukul ke kepala lawan.
"Hiaaat..!"
Jerit kematian terdengar susul-menyusul dari mulut anak buah Selendra. Pada saat
itu, Selendra menendang pundak Pendekar Gila dengan telak.
Duk! "Ukh!" Sena mengeluh. Tubuhnya berguling bawah.
Salendra kembali berkelebat, menyerang ke arah Pendekar Gila. Namun dengan cepat
Pendekar Gila kembali berguling ke samping, lalu dengan cepat sulingnya
dibabatkan. "Heaaa...! Hih!"
Trak! "Ukh!" Selendra mengeluh. Kakinya terpincang-pincang terkena sabetan Suling Naga
Sakti. Pendekar Gila yang telah kalap segera bangkit.
Lalu dengan cepat pukulan sakti 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dihantamkan ke
arah anak buah Selendra.
"Heaaa...!"
Wusss! "Wuaaa...!"
"Aaakh...!"
Anak buah Selendra yang hendak menyerang
Pendekar Gila berhamburan. Tubuh mereka terpental dengan keadaan mengerikan.
Angin puting beliung yang keluar dari telapak tangan Pendekar Gila menyapu
mereka sampai jauh.
"Hi hi hi...! Tunjukkan wujudmu, Setan!" bentak Sena pada Selendra sambil
berjingkrakan seperti monyet "Ha ha ha! Ayo, tunjukkan wujudmu!"
"Jangan sombong, Pendekar Gila! Mari kita bertarung sampai mati!" dengus
Selendra, dibarengi dengan kemunculannya yang langsung menyerang.
"Uts! Licik! Heaaa...!"
Pendekar Gila segera bergerak meliukkan tubuh, mengelakkan serangan lawan dengan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Kemudian dengan cepat, Suling Naga Sakti
dihantamkan ke arah lawan.
Wut! Selendra tersentak, mendapatkan serangan lawan yang mengeluarkan hawa panas
laksana api. Suling Naga Sakti menderu tajam di depan wajahnya. Cepat-cepat
Selendra membuang tubuh ke belakang, lalu dengan cepat melepas pukulan dengan
jurus 'Kepakan Sayap Kelelawar'
Wrrrt! "Weh!" pekik Pendekar Gila kaget, ketika tangan lawan menepis pundaknya.
Seketika, pundaknya terasa panas. Hal itu membuatnya bertambah marah.
"Wrrr...!"
Dengan menggeram marah, Pendekar Gila segera menghantamkan sulingnya ke arah
lawan. Disusul oleh serangan-serangan gencar dengan jurus 'Si Gila Membelah
Awan'. Gabungan serangan yang begitu cepat dan aneh, cukup menyentakkan lawan. Selendra
berusaha mengelakkan serangan-serangan gencar yang
dilancarkan Pendekar Gila. Namun nampaknya
Pendekar Gila tak mau memberi kesempatan yang ketiga kali bagi lawan untuk
menyerang. Dengan gempuran gencar susul-menyusul, Pendekar Gila terus mengincar
lawan. Sampai lawan tak punya kesempatan untuk balas menyerang.
"Heaaa...!"
"Serang dia!" seru Selendra memerintahkan anak buahnya untuk menyerang.
Namun belum juga Gerombolan Lowo Ireng
membantu, dari kejauhan terdengar suara para pendekar berdatangan. Hal itu
membuat Selendra semakin kebingungan. Dia berusaha lari, tapi Sena dengar cepat
menghadangnya. "Mau lari ke mana, Iblis"!"
"Bedebah! Kau harus mampus, Pendekar Gila Yeaaa...!"
Dengan nekat Selendra merangsek, berusaha
menjatuhkan Pendekar Gila. Namun karena terlalu bernafsu, hanya dengan
memiringkan tubuh ke samping Pendekar Gila berhasil mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan cepat, Suling Naga Sakti dihantamkan ke batok
kepala lawan. Wut! Prak! "Aaakh...!"
Selendra menjerit keras, kepalanya hancur terkena hantaman Suling Naga Sakti.
Tubuhnya terjajar ke belakang dalam keadaan mengerikan, lalu ambruk dengan nyawa
melayang. Melihat para pendekar berdatangan, Pendekar Gila segera menghampiri. Betapa
gembira hatinya ketika melihat Mei Lie bersama mereka.
"Mei Lie...!"
"Sena!"
Mei Lie segera lari ke arah Pendekar Gila dan memeluk erat tubuh pemuda itu. Mei
Lie berlinang air mata. Gadis itu menangis, merasakan keharuan dan kesyahduan
setelah keduanya begitu lama berpisah.
"Maafkan aku, Sena. Aku tak dapat menahan mosi waktu itu," desis Mei Lie lirih.
"Sudahlah, kita bantu para pendekar. Nanti kita bisa bercerita lagi, bukan?"
bujuk Sena berusaha menghibur.
Mei Lie tersenyum lepas bersama tetes lembut di kedua pipinya.
Para pendekar yang rata-rata berilmu tinggi, tidak menghadapi kesulitan dalam
menumpas sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng yang masih mencoba
mengadakan perlawanan. Dalam sekejap saja, sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng dapat
ditaklukkan. "Di mana guru Gerombolan Lowo Ireng?" tanya Arya Parasu.
"Jadi ada yang masih sisa?" tanya Sena sambil cengengesan. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, baru merasa sadar kalau dedengkot Gerombolan Lowo Ireng ternyata
masih hidup. "Ya! Justru dia orang utama di Gerombolan Lowo Ireng. Dia bernama Daeng Ampra,
lelaki tua berjubah hitam dengan rambut panjang berwarna putih," tukas Arya
Parasu, orang tertua dari Tiga Malaikat Suci.
"Perkenalkan, ini dari Sulawesi. Dia datang dari jauh kemari untuk menangkap
Daeng Ampra."
Lelaki berpakaian kuning keemasan melangkah ke arah Pendekar Gila. Lelaki itu
belum begitu tua, hanya berkisar tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.
Wajahnya nampak tenang, dengan kumis tipis
menghiasi atas bibirnya. Kepalanya ditutup oleh adat orang Sulawesi, berbentuk
persegi tiga den runcing ke ujung berwarna kuning emas. Di pinggangnya melilit
kain coklat semu kuning keemasan.
"Aku Daeng Lonto, menghaturkan sembah," ujar lelaki tua itu seraya menjura pada
Pendekar Gila. "Aha, mengapa begitu" Tak usahlah begitu. Panggil saja namaku, Sena," kata
Pendekar Gila sam membalas menjura. "Kalau boleh kutahu, apa yang telah terjadi
di Sulawesi?"
Daeng Lonto menceritakan semua kejadian yang terjadi lima belas tahun yang silam
di Pulau Sulawesi.
Di sana dulu ayahnya menjadi ketua adat. Daeng Ampra dan Dewi Sandang yang
merupakan saudara sepupu menjadi orang-orang yang namanya kondang di daerah itu.
Ayah Daeng Lonto yang bernama Daeng Marhabu menjadi pemimpin adat yang
dikhianati kedua saudara sepupunya. Daeng Marhabu dibunuh oleh Daeng Ampra dan
Dewi Sandang. Hal itu membuat semua pendekar marah. Dipimpin oleh Daeng Ponte,
para pendekar berusaha menangkap Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Namun mereka
licik. Keduanya dapat meloloskan diri dan lari ke tanah Jawa Dwipa.
"Begitulah ceritanya, Sena. Aku diutus dan dipercaya oleh para pendekar di tanah
Sulawesi untuk menangkap keduanya hidup atau mati," jabar Daeng Lonto dengan
mimik wajah penuh kegeraman.
"Kurang ajar! Coba aku periksa ke dalam," ujar Sena segera mencelat masuk ke
dalam untuk memeriksa bangunan bekas markas Gerombolan
Lowo Ireng. Namun di sana tidak ditemukannya siapa-siapa lagi.
Sena keluar kembali dengan mulut nyengir serta tangan kanan menggaruk-garuk
kepala, membuat Mei Lie merengut. Antara senang dan sebal beraduk menjadi satu
di hatinya. Sedang Sarah Dita tersipu-sipu. Hati gadis cantik itu merasakan
getaran aneh jika memandang wajah Pendekar Gila.
Oh! Beruntung sekali kau, Mei Lie. Gumam Sarah Dita dalam hati. Matanya tak
lepas memandang Sena yang tampan dan membuat hatinya berdebar-debar.
"Bagaimana, Sena" Apa ada?"
"Mungkin dia melarikan diri, Daeng," jawab Sena.
"Hm, kalau begitu kita harus mengejarnya," kata Daeng Lonto. "Kalau keduanya
tidak segera ditangkap, bisa-bisa dunia persilatan akan selalu resah."
"Kalau begitu, kita harus segera mengejarnya,"
ucap Sena tegas. Kemudian ditatapnya Sarah Dita
yang saat itu tengah tersipu-sipu malu. "Nona, tentunya kau tahu di mana mereka
berada?" Mei Lie yang menyaksikan tingkah laku Sarah Dita, seketika merengut. Hatinya
dibakar cemburu, melihat kelakuan gadis itu di hadapan lelaki pujaannya.
"Baiklah, aku akan memberitahukan kalian. Tentu Daeng Ampra mendatangi guruku
Dewi Sandang...,"
tutur Sarah Dita.
"Di mana gurumu tinggal?" tanya Arya Parasu.
"Di Goa Sandang, di kaki Gunung Arjuna," jawal Sarah Dita menerangkan tempat
gurunya berada.
"Terima kasih, Nona. Kalau begitu, apa tidak sebaiknya kita ke sana?" ajak Daeng
Lonto pada Pendekar Gila.
"Ayolah, jangan buang-buang waktu lagi," sambut Pendekar Gila.
"Mari, kami permisi dulu," pamit Daeng Lonto.
"Sena, aku ikut," pinta Mei Lie, membuat Pendekar Gila hanya mampu menggaruk-
garuk kepa1a, dengan mulut nyengir. Hal itu membuat Mei Lie lagi-lagi merengut.
Sena tak dapat berbuat apa-apa lagi
"Ayolah," jawab Sena.
Ketiganya pun segera meninggalkan markas
gerombolan Lowo Ireng, sekaligus meninggalkan para pendekar yang masih berada di
tempat itu, untuk menentukan hukuman bagi Sarah Dita. Walaupun Sarah Dita telah
insyaf dan sadar, namun dia harus mendapatkan hukuman atas tindakannya. Sarah
Dita harus menjalani hukuman penjara di Perguruan Semeru selama tujuh puluh
purnama. *** 9 Seorang lelaki tua berjubah hitam dengan rambut putih terurai, serta berbadan
kurus tampak berlari membelah hutan belantara. Lelaki tua yang tak lain Daeng
Ampra itu, sesekali menengok ke belakang.
Khawatir kalau Pendekar Gila mengejarnya. Bukan dia gentar menghadapi Pendekar
Gila yang tersohor itu, namun keadaan terlalu mendesak. Dia belum siap untuk
menghadapinya. "Huh, kalau saja aku telah merampungkan ajian
'Sasra Jingga', kuhadapi kau, Pendekar Gila!" geram Daeng Ampra bersungut-sungut
sambil terus berlari.
Napasnya yang tersengal-sengal tak dihiraukannya.
Dia tidak ingin dapat dikejar oleh Pendekar Gila.
Daeng Ampra akhirnya sampai juga ke tempat
yang dituju, di Goa Sandang. Sesaat matanya menyapu ke sekelilingnya, takut
kalau ada yang memergokinya. Setelah merasa yakin tak ada siapa-siapa, tubuh
Daeng Ampra mencelat, menerobos masuk ke dalam goa.
"Daeng, kau datang" Ada apa...?" tanya seorang wanita berusia sekitar enam puluh
tahun dengan hidung mancung. Matanya tersirat nakal saat memandang. Bibirnya
tipis dengan alis mata tebal.
Tubuh wanita yang tentunya Dewi Sandang itu tinggi dan agak kurus, terbalut oleh
pakaian yang sangat minim. Hanya buah dada dan bagian terlarang yang ditutupi
dengan secarik kain berwarna hitam.
Rambutnya terurai lepas, panjang sampai ke pantat.
Dewi Sandang bangkit dari duduknya. Kemudian kakinya melangkah menghampiri
saudara seperguruannya yang terengah-engah dengan kening berkerut
"Celaka, Sandang. Celaka...!"
"Ada apa?" tanya Dewi Sandang masih belum mengerti. "Apanya yang celaka?"
"Markas Gerombolan Lowo Ireng diobrak-abrik Pendekar Gila," tutur Daeng Ampra.
Dewi Sandang tersentak mendengar ucapan
saudara seperguruannya. Rahangnya mengejang, menahan amarah yang tak terkira.
"Mengapa tidak kau hadapi" Mengapa kau lari"!"
tanya Dewi Sandang agak jengkel. "Hanya menghadapi bocah gila itu saja kau
lari!" "Tapi, Sandang! Dia bukan sembarangan bocah.
Namanya saja sudah membubung tinggi. Apalagi dengan Suling Naga Saktinya yang
mampu mengeluarkan sinar maut. Juga suaranya yang mampu membuat orang terbawa
alunannya," kilah Daeng Ampra beralasan.
"Huh, pengecut! Percuma kau mendapat julukan daeng!" dengus Dewi Sandang. "Lalu,
bagaimana dengan muridku?"
Daeng Ampra terdiam. Dia tidak tahu bagaimana nasib Sarah Dita. Juga dengan
Selendra, muridnya.
Entah keduanya mati atau hidup.
"Kenapa diam, Daeng"!" desak Dewi Sandang dengan mata melotot.
"Entahlah, Sandang. Mungkin keduanya tewas di tangan Pendekar Gila."
"Kau yakin itu?" tanya Dewi Sandang dengai wajah masih menunjukkan
ketidaksenangan. Napasnya turun-naik, dihela rasa marah. Tangannya mengepal,
lantas memukul-mukul telapak tangan kiri. "Kurang ajar! Kalau benar muridku
sampai tewas, tak akan kuampuni bocah gila itu!"
Ketika keduanya tengah bercakap-cakap, tiba-tiba mereka tersentak oleh suara
tawa yang menggelegar.


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara tawa itu seakan-akan mampu meruntuhkan dinding-dinding goa.
"Ha ha ha...! Rupanya dua tikus tua bersembunyi di dalam goa. Takut sama
kucing.... Ha ha ha...!"
"Pendekar Gila!" pekik Daeng Ampra dengan mata membelalak.
"Dari mana dia tahu kita di sini, Daeng"!" tanya Dewi Sandang.
"Mana aku tahu" Mungkin muridmu masih hidup, Sandang."
"Kurang ajar! Rupanya bocah gila itu mencari mampus!"
"Ha ha ha...! Kenapa bersembunyi, Tikus Tua"!
Keluarlah!" seru Sena sambil tertawa tergelak-gelak.
Kemarahan Dewi Sandang memuncak mendengar
kata-kata Pendekar Gila. Tanpa memperhitungkan lagi, tubuhnya segera mencelat ke
luar, diikuti Daeng Ampra.
Dewi Sandang dan Daeng Ampra terperanjat ketika melihat seorang lelaki tampan
berusia sekitar tiga puluh lima tahun mengenakan pakaian kuning
keenasan yang bersama Pendekar Gila. Dari mulut keduanya terdengar ucapan,
menyebut nama lelaki tampan itu.
"Daeng Lonto...!"
Daeng Lonto tersenyum. Pembawaannya nampak
tenang, seperti berusaha menunjukkan jiwa
kedaengannya, sebagai pemimpin adat yang arif dan bijaksana.
"Daeng Ampra, dan kau Dewi Sandang, kuharap menyerahlah!" pinta Daeng Lonto
dengan tenang. Matanya tajam, memandang kedua orang tua yang telah mengkhianati ayahnya.
"Huh, kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Lonto!
Tidakkah kau tahu aku pamanmu"!" bentak Daeng Ampra.
Daeng Lonto hanya tersenyum mendengar ucapan Daeng Ampra.
"Kalian memang paman dan bibiku. Tapi
pantaskah aku membela orang jahat" Apalagi kalian telah membunuh ayahku," kata
Daeng Lonto. "Nah, Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Kuharap kalian menyerah," tambah Sena.
"Cuih! Lancang mulut kalian! Jangan kira karena namamu membubung sampai langit,
Daeng Ampra akan takut!" dengus Daeng Ampra yang ditujukan pada Pendekar Gila.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa-tawa dengan tubuh melompat-lompat seperti kera.
Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir. "Aha, aku aku tidak
menyuruhmu takut, Daeng. Tapi aku hanya menyuruh kau dan Dewi Sandang sadar.
Usia kalian sudah lapuk."
"Bocah edan! Tutup mulutmu!" bentak Dewi Sadang. "Kalau tidak, kuremukkan batok
kepalamu!"
"Weh, galak sekali kau, Nyi" Ah, sungguh malang nian kepalaku," seloroh Sena
sambil mengelus kepalanya. Sementara Mei Lie hanya menautkan alis menyaksikan
tingkah konyol pemuda pujaannya.
"Bedebah! Kurobek mulut usilmu, Pendekar Gila Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Dewi Sandang yang ingin menjajaki kehebatan ilmu Pendekar
Gila melesat menyerang. Tangan kirinya bergerak mencakar, sedang tangan kanannya memukul ke
dada lawan dengan jurus 'Lampus Ganyang'. Sebuah jurus yang mirip dengan gerakan
seekor kucing berkelahi.
Melihat Dewi Sandang telah menyerang Pendekar Gila, Daeng Ampra tidak tinggal
diam. Dia segera membuka serangan dengan jurus 'Sandung
Bangkala'. Gerakan tangan kakinya seperti seekor musang yang berusaha menangkap
seekor ayam. Kini dia menyerang Daeng Lonto dan Mei Lie.
"Hiaaat..!"
Menyaksikan lawan menyerang, tubuh Daeng
Lonto dan Mei Lie segera melompat ke samping untuk mengelakkan serangan tangan
Daeng Ampra. Kemudian dengan cepat keduanya balas menyerang.
Daeng Lonto dengan jurus 'Palangan Rajawali'nya, sedangkan Mei Lie dengan jurus
'Bidadari Kencana Mukti'.
Tangan Mei Lie bergerak lincah laksana seorang putri yang menari-nari. Kakinya
bergerak dengan irama yang teratur dan indah. Namun jurus itu sesungguhnya bukan
jurus sembarangan. Jurus itu sangat berbahaya jika diimbangj oleh Pedang
Bidadari yang berada di punggungnya.
"Heaaat..!"
Mei Lie dan Daeng Lonto menyerang bersamaan dengan jurus-jurus andalan dari
kanan dan kiri tubuh Daeng Ampra. Hal itu membuat Daeng Ampra sedikit kerepotan.
Lawan yang menyerangnya ternyata bukan orang sembarangan. Dia sebenarnya tahu
akan hal itu. tapi keadaannya sudah terjepit. Sulit baginya untuk dapat
meninggalkan pertarungan.
Tangan Mei Lie bergerak menyambar ke kepala Daeng Ampra dengan cepat. Segera
Daeng Ampra merundukkan kepalanya dengan merendahkan
tubuh. Kaki kanannya ditekuk, sedang kaki kirinya diluruskan mendatar. Namun
belum juga dia bisa menghela napas lega, Daeng Lonto telah menyerang ke wajah
dan dadanya. "Hiaaat..!"
"Uts!"
Daeng Ampra berusaha berkelit, tetapi Mei Lie dengan cepat melakukan serangan
susulan dengan kaki menendang ke tulang rusuk lawan.
Daeng Ampra harus bergerak cepat menghadapi dua lawan yang berilmu tinggi.
Untung saja Mei Lie tidak menggunakan pedangnya. Kalau saja Mei Lie menggunakan
pedang, tentu Daeng Ampra akan mati kutu.
Kini Daeng Ampra menarik kaki kiri melebar ke samping, kemudian dengan cepat
bergerak menyerang dengan kedua telapak tangan ke arah kanan dada Mei Lie.
"Yiaaat..!"
Mei Lie tersentak. Cepat kakinya ditarik mundur dua langkah ke belakang.
Kemudian tubuhnya
diputar setengah lingkaran untuk mengelakkan serangan lawan. Tangan kanannya
dihantamkan ke tangan lawan yang mengancam.
Melihat Mei Lie dalam kesulitan, Daeng Lonto tak mau tinggal diam. Dia
berkelebat mencabik dengan cengkeraman rajawalinya ke arah Daeng Ampra.
Melihat itu, Daeng Ampra jadi mengurungkan niatnya untuk menyerang Mei Lie. Kini
dia berbalik menyerang Daeng Lonto.
"Yeaaa...!"
Tangan Daeng Ampra menghentak ke wajah lawan, mengejutkan Daeng Lonto. Dia
berusaha menarik
serangannya. Tapi karena gerakan Daeng Ampra begitu tiba-tiba, membuat
langkahnya mati seketika.
Terpaksa Daeng Lonto memapaki serangan lawan.
"Yeaaa...!"
Blarrr! Dua telapak tangan beradu. Daeng Lonto terpental beberapa tombak ke belakang.
Sedangkan Daeng Ampra tersurut tiga langkah ke belakang. Namun Daeng Ampra cepat
bangkit, dia kembali melabrak Daeng Lonto. Tampaknya Daeng Ampra bermaksud
membunuh Daeng Lonto secepatnya.
"Mampuslah kau, Lonto! Hiaaat..!"
Daeng Lonto yang belum bisa berbuat apa-apa, kini hanya mampu membelalakkan
mata. Sulit baginya untuk mengelakkan serangan lawan.
Melihat hal itu, dengan cepat Mei Lie mencabut Pedang Bidadarinya. Dengan
pekikan menggelegar, tubuhnya berkelebat memapaki serangan Daeng Ampra yang
meluncur ke arah Daeng Lonto. Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Arah
Angin', Mei Lie membabatkan pedangnya ke tangan lawan.
"Hiaaa...!"
Wut! *** Daeng Ampra tersentak seketika, melihat pedang bersinar merah kekuning-kuningan
menebas tangannya. Dia segera menarik kedua tangannya.
Lalu dengan bersalto, dia berusaha mengelakkan serangan lawan.
Mei Lie yang masih dendam pada orang-orang
persilatan aliran hitam tak berhenti sampai di situ.
Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung
Karang' dia kembali memburu Daeng Ampra.
Wut! "Uts! Celaka...!" pekik Daeng Ampra semakin terdesak oleh babatan Pedang
Bidadari di tangan Mei Lie. Wajahnya agak pucat, menyaksikan jurus pedang yang
dilancarkan Mei Lie. Jurus itu bukan jurus sembarangan. Jurus 'Pedang Bidadari'
yang dikuasai Mei Lie, merupakan jurus sakti yang sulit untuk dielakkan.
Daeng Ampra terus berusaha mengelak, dengan sesekali melancarkan serangan
balasan. Dengan menggunakan jurus 'Landung Gampyar' Daeng Ampra berusaha menekan
balik Mei Lie. Sementara itu, Sena yang menghadapi Dewi
Sandang masih bertingkah laku konyol. Mulutnya berteriak-teriak manakala Dewi
Sandang menyerang dengan tongkat berkepala tengkorak. Dari kepala tongkat itu,
keluar asap putih kehitam-hitaman yang mengandung racun.
Beruntung sekali Sena telah kebal dari segala macam jenis racun, sehingga dia
tidak terpengaruhi oleh asap beracun yang keluar dari kepala tongkat Dewi
Sandang. Melihat lawan mampu bertahan terhadap
racunnya, Dewi Sandang bertambah marah. Dengan mendengus, dilancarkannya jurus
'Patik Sewu'nya.
Tongkatnya bergerak buas dan bertambah cepat hingga tampak menghilang.
"Ha ha ha...! Mengapa kau seperti orang kesurupan, Nyi" Hi hi hi...!" seloroh
Sena sambil berjingkrak mengelakkan sambaran kepala tongkat lawan.
"Remuk batok kepalamu! Hiaaat...!"
"Uts! Belum, Nyi. Aduh.... Galak sekali," gumam
Sena sambil melompat ke samping dengan tangan memegangi kepala.
Kemudian dengan tingkah laku seperti kera,
Pendekar Gila balas menyerang dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Kedua
tangannya laksana melempr batu dengan cepat, hingga menimbulkan deru angin
kencang. "Jurus edan!" maid Dewi Sandang gusar, karena serangannya seketika terhenti oleh
hembusan angin yang tercipta dari jurus yang dilakukan Sena.
Bergegas tongkatnya diputar, lalu dari putaran itu bertiup angin yang keras.
Itulah jurus 'Baling-baling Pusar Angin'.
Wut! "Kini kuremukkan kepalamu, Bocah Edan!
Yeaaah...!"
"Hi hi hi...! Kalau kau marah, wajahmu seperti kambing tercebur di comberan,
Nyi," ejek Sena sambil mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat'. Dan diteruskan dengan jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Lagi-lagi Dewi Sandang tersentak kaget mendapat serangan yang begitu dahsyat.
Setiap jurus yang dilakukan oleh Pendekar Gila terlihat lamban dan lemah, tapi
kenyataannya sangat luar biasa dan mengandung hawa panas disertai hembusan angin
kencang. "Ilmu edan!" maki Dewi Sandang seraya ber-lompatan ke kanan dan kiri, berusaha
mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang melihat lawan kebingungan, segera mencabut Suling Naga
Saktinya. Kemudian dengan cepat serangannya ditarik, lalu diganti dengan tiupan
maut sulingnya.
Suara Suling Naga Sakti melengking keras. Sena mengarahkan kepala naga ke tubuh
Dewi Sandang. namun tiba-tiba niatnya diurungkan, manakala teringat kalau Dewi Sandang adalah
urusan Daeng Lonto.
"Menyerahlah, Nyi. Semoga kau akan mendapat ampunan!" kata Pendekar Gila,
berusaha menyadarkan wanita tua berpakaian minim itu.
"Cuih! Pantang bagi Dewi Sandang menyerah! Kita tentukan, siapa di antara kita
yang akan mampus!
Terimalah ajian 'Karang Jalna'ku. Hiaaat...!"
Wusss! Dari telapak tangan Dewi Sandang, membersit selarik sinar pelangi ke arah
Pendekar Gila. Sinar itu bergulung-gulung dengan cepat, berusaha membungkus
tubuh Pendekar Gila.
Melihat hal itu, Sena segera meniup sulingnya.
Kepala naga di Suling Naga Sakti diarahkan ke sinar pelangi yang hendak
melumpuhkannya. Dari
sepasang mata kepala naga itu, seketika melesat dua sinar merah ke arah sinar
yang dikerahkan oleh Dewi Sandang.
Glarrr...! "Ukh...!" Dewi Sandang mengeluh pendek.
Seketika tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Dan tak berapa
lama kemudian.... "Hoeeek...!" Dewi Sandang memuntah-kan darah hitam. Wajahnya
menjadi pucat pasi.
Sedangkan matanya membelalak tegang.
"Kuharap kau mau menyerah, Nyi," kata Sena berusaha menyadarkan Dewi Sandang.
"Kurang ajar! Kau harus mampus! Hiaaa...!"
Dengan nekat Dewi Sandang kembali menyerang Pendekar Gila dengan ajian
pamungkasnya yang
bernama 'Karang Jalna'.
Menyaksikan kenekatan wanita tua itu, bergidik juga hati Pendekar Gila.
Sebenarnya kematian wanita tua itu tidak dikehendakinya. Tapi jika dia hanya
diam, maka dialah yang akan tewas. Terpaksa Pendekar Gila menyambutnya.
"Pukulan 'Inti Salju'. Heaaa...!"
Wusss! Sena merentangkan tangannya lebar-lebar. Lalu dengan jari-jari tangan membuka,
tangannya digerakkan ke atas seperti mengumpulkan sesuatu.
Saat itu langit seketika mendung dan gelap. Ketika tangan Sena mendorong ke
depan, salju turun dari atas dengan deras. Anehnya, salju itu hanya menghujani
tubuh Dewi Sandang. Tanpa ampun, tubuh Dewi Sandang membeku ketika tertutup oleh
es yang memadat.
Di sisi lain, Mei Lie yang menyerang Daeng Ampra semakin marah karena sejak tadi
serangannya belum juga mendapatkan hasil. Dengan jurus pamungkas yang bernama
'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie kembali menyerang.
"Hiaaa...!"
Pedang di tangan Mei Lie bergerak cepat,
menyilang ke samping kanan, kemudian lurus ke depan. Dilanjutkan dengan
menyilang ke kiri, lalu lurus lagi. Pada saat dekat dengan tubuh lawan, Mei Lie
mengangkat pedangnya tanggi-tinggi. Dan....
Wut! Srrrt! "Aaa...!"
Daeng Ampra memekik ketika dari kepala sampai ke bawah tubuhnya dibelah oleh
Pedang Bidadari dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Sesaat tubuh
Daeng Ampra mematung. Tubuhnya masih utuh bagai tidak terkena tebasan. Hal itu
membuat Daeng Lonto dan Sena membelalakkan mata. Keduanya malah terbengong-
bengong menyaksikan kejadian yang aneh itu.
Belum juga hilang rasa kaget Sena dan Daeng Lonto, untuk kedua kalinya mereka
dibuat terpana.
Ketika angin bertiup kencang, tiba-tiba tubuh Daeng Ampra beterbangan bagai
tepung! "Wah"!" seru Sena dengan mulut menganga bodoh.
"Ck ck ck...! Bukan sembarangan ilmu pedang,"
puji Daeng Lonto sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Maaf, aku terpaksa," sesal Mei Lie.
"Tak apa, Mei Lie. Mungkin hanya kematianlah yang bisa menghentikan mereka,"
kata Daeng Lonta
"Semua tugasku telah selesai. Aku harus segera pulang ke Sulawesi. Kuharap
kalian bisa bertandang ke sana."
"Semoga, Daeng. Jika ada umur panjang," ucap Pendekar Gila dan Mei Lie
berbareng. "Sampaikan salamku pada semua pendekar di tanah Jawa Dwipa ini, Sena. Aku mohon
pamit" Daeng Lonto menjura, dibalas oleh Sena dan Mei Lie. Kemudian, Daeng Lonto pun
meninggalkan kedua muda-mudi yang mengikutinya dengan pandangan mata penuh
persahabatan.

Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika tubuh Daeng Lonto memupus di titik
pandang terjauh, mentari telah tersungkur di pangkuan senja. Dan satu kejadian
dalam lembaran waktu telah usai, sementara dua insan yang terpatri dalam
kesatuan kasih tengah berdiri tanpa kata.
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya menatap penuh arti pada Mei Lie yang segera memeluk tubuh pemuda pujaan
hatinya. Perlahan-lahan wajah keduanya mendekat dan
semakin dekat, lalu Mei Lie merebahkan kepalanya di dada Sena. Kedua insan itu
kemudian menyatu dalam debar cinta, melebur dalam denting dawai asmara.
SELESAI Created ebook by
Sean & Conyert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Kisah Sepasang Rajawali 9 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Hati Budha Tangan Berbisa 8
^