Pencarian

Pedang Penyebar Maut 2

Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut Bagian 2


"Itu lebih bagus. Kau dan anak buahmu, sebisanya memancing Pendekar Gila agar
penyamaran Sarah Dita tidak terbuka, Selendra."
"Akan kuusahakan, Guru," jawab Selendra.
Daeng Ampra mengangguk-angguk. Wajahnya yang semula murung, kini nampak berbinar
puas. Sepertinya dia tidak merasa khawatir Pendekar Gila
akan membongkar rahasia tentang dirinya. Kini murid dan kemenakan muridnya telah
siap untuk menghadapi Pendekar Gila dan mengacaukan rimba
persilatan. Dengan begitu, semua tokoh persilatan akan menuduh Mei Lie.
"Kini kalian mengemban tugas berat. Kuharap kalian berhati-hati," pesan Daeng
Ampra mengingatkan. "Lawan-lawan yang akan kalian hadapi buka lawan sembarangan.
Dan yang perlu kalian perhitungkan adalah Pendekar Gila dan Mei Lie."
"Akan kami usahakan," sahut Sarah Dita dan Selendra serempak.
"Nah! Kini kalian berangkatlah. Ingat pesanku.
Kau, Sarah Dita, harus bisa menjaga penyamaranmu.
Dan kau, Selendra, sebisanya menarik perhatian Pendekar Gila agar tidak bisa
dekat dengan Sarah Dita. Usahakan Sarah Dita jangan sampai bentrok dengan Mei
Lie." "Paman, kalau boleh saya tahu, apa ciri-ciri Pedang Bidadari yang berada di
tangan Mei Lie?" tanya Sarah Dita.
"Pedang itu mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan. Jika Mei Lie telah
menguasai jurus pamungkas yang bernama 'Tebasan Pedang Batin', sulit bagi para
pendekar pedang mengalahkannya.
Untuk itu kalian harus berhati-hati," tutur Daeng Ampra menerangkan.
"Baik, Paman. Aku mohon pamit untuk menjalankan tugas," kata Sarah Dita. Setelah
memberi hormat, gadis cantik itu pun keluar meninggalkan markas gerombolan Lowo
Ireng. Sepeninggal Sarah Dita, Daeng Ampra tampak
masih bercakap-cakap dengan murid tunggalnya yang memimpin Gerombolan Lowo
Ireng. "Selendra, kau harus bisa membantu Sarah Dita.
Kerahkan anak buahmu. Namun kau mesti ingat, tujuan kita yang utama adalah
mempersatukan tokoh rimba hitam di tanah Jawa Dwipa ini, agar
keberadaan kita semakin kuat," kata Daeng Ampra.
"Saya mengerti, Guru."
"Setelah Sarah Dita menjalankan tugasnya, panggil para tokoh rimba hitam
kemari," lanjut Daeng Ampra memerintah. "Setelah mereka tunduk pada kita, maka
gerombolan kita akan semakin jaya. Tak akan ada yang mampu menandingi Gerombolan
Lowo Ireng." Selendra tersenyum senang. Dadanya dibusungkan. Dia merasa bangga atas ucapan
gurunya. Bagaimanapun juga, dialah Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Maka, jika Gerombolan
Lowo Ireng maju dan menjadi partai yang paling besar, namanyalah yang akan di
kenal. Pendekar Gila harus disingkirkan! Tekad Selendra dalam hati.
"Selendra."
"Saya, Guru," sahut Selendra.
"Aturlah anak buahmu. Biar mereka bekerja seperti biasanya. Sementara itu,
bawalah be berapa anak buahmu untuk memancing Pendekar Gila."
"Baik, Guru."
Setelah menyembah, Selendra pun bergegas meninggalkan tempat itu untuk
menjalankan rencana-nya. Sedangkan Daeng Ampra kini melangkah
meninggalkan tempat itu, masuk ke kamar tempatnya biasa melakukan semadi.
*** 4 Suasana di Desa Landung Sari malam ini terlihat sepi.
Angin yang berhembus terasa dingin. Padahal pada malam-malam biasa masih ada
beberapa orang hilir-mudik di desa yang menjadi persinggahan para pelancong itu.
Paling tidak, untuk menikmati keindahan panorama pesisir pantai di malam hari
yang dekat dengan Desa Landung Sari. Namun
malam ini desa tersebut terlihat lengang. Penduduk-nya sudah terlelap alam
buaian mimpi. Sejak kehadiran pendekar wanita yang diberi gelar Bidadari Pencabut Nyawa, warga
Desa Landung Sari merasa tenang. Karena para bajingan, perampok, atau penyamun
yang biasanya menjarah desa
mereka, kini agak menghilang. Nampaknya mereka takut oleh kediran Bidadari
Pencabut Nyawa yang sepak terjangnya senantiasa memusuhi orang-orang aliran
sesat. Saat ketenangan menyelimuti Desa Landung Sari, dari ujung desa tiba-tiba
terdengar jerit kematian yang menyayat dan riuh rendah teriakan panik.
"Aaa...!"
"Tolong, rampok...!"
Penduduk Desa Landung Sari yang tengah ter-
hanyut mimpi seketika bangun. Mereka tersentak kaget, tak menyangka kalau
penyamun akan kembali hadir, menjarah desa mereka.
"Rampok! Tolong...!"
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya terdengar saling sahut-menyahut. Saat itu pula
warga Desa Landung Sari dengan senjata seadanya bergegas keluar.
Mereka memburu ke arah datangnya jeritan
"Itu rampoknya! Tangkap...!" seru lelaki bertubuh gemuk dengan kumis melintang.
Matanya kelihatan garang. Wajahnya bulat dengan hidung besar. Dan berpakaian
kuning keemasan, menunjukkan kalau dia orang berada. Rambutnya tidak terlalu
panjang, terurai lepas sebatas bahu. Di tangan lelaki itu tergenggam keris yang
telah terhunus. Dialah Ki Marta Pari, Kepala Desa Landung Sari.
Di sampingnya, berdiri seorang lelaki ber-
perawakan tinggi kekar. Kumis melintang, hidung besar serta mata tajam. Ikat
kepalanya berwarna hitam, berpakaian lengan panjang tanpa leher berwarna hitam
dan putih seperti pakaian orang Madura.
Dia adalah Ki Capir Sumpit, pengawal Ki Marta Pari.
"Tangkap perampok-perampok itu!" seru Ki Capir Sumpit seraya berkelebat mengejar
para perampok yang menjarah desa.
Ki Capir Sumpit segera merangsek ke arah para perampok, mendahului kepala
desanya, untuk membantu penduduk yang sedang bertarung menghadapi perampok yang
berjumlah dua puluh orang itu.
Warga Desa Landung Sari yang tidak suka desanya dijarah, dengan nekat menyerang
para perampok yang berpakaian hitam. Wajah mereka juga ditutupi kain hitam.
Hanya terlihat dua lubang di bagian mata mereka.
Melihat penduduk Desa Landung Sari dan kepala desanya menyerbu, para perampok
yang tak lain Gerombolan Lowo Ireng itu dengan sigap
menyambutinya. Maka, pertarungan pun tak dapat
dielakkan. "Bantai mereka!" seru Ki Marta Pari.
"Hadang mereka...!" seru pemimpin perampok sambil berkelebat menghadang Ki Marta
Pari. "Menyerahlah, Ki! Berikan semua harta yang ada di desamu pada kami!"
"Huh, jangan kira aku takut padamu. Meski namamu lebih menakutkan dari hantu,
Marta Pati tak akan gentar!" dengus Ki Marta Pari dengan lantang.
Matanya yang lebar, memandang penuh kebencian ke arah sosok hitam di depannya.
"Ha ha ha...! Perutmu buncit. Bagaimana kau akan bisa menghadapiku"!" ejek
pemimpin perampok yang bernama Sengkolo.
Di dalam Gerombolan Lowo Ireng, terdapat
sepuluh orang yang memimpin bagian-bagian
gerombolan yang tersebar di seluruh tanah Jawa Dwipa. Kesepuluh pemimpin itu
antara lain, Sarwono, memimpin begal-begal di hutan dekat markas
mereka. Sengkolo, memimpin para perampok yang bertugas di daerah timur, dan kini
menjarah Desa Landung Sari. Samilun, memimpin barisan laut atau sering disebut
Bajak Laut selat Madura. Kane-kane, seorang wanita yang memimpin di kotaraja.
Sedangkan yang kelima sampai kesepuluh,
semuanya bertugas menjadi pemimpin yang mengawasi keadaan dunia persilatan.
Namun setiap waktu mereka bisa diperbantukan pada keempat pemimpin lain yang
membutuhkan. Keenam pemimpin itu adalah, Segatra, Prabasu, Mantraka, Krada, Bradalupa dan
Damar Wangis. Sama dengan yang lainnya, mereka pun berwatak kasar dan bengis. Tak pernah ada
kata ampun bagi lawan atau korbannya.
Mendengar ejekan Sengkolo, kemarahan Ki Marta Pari berkobar seketika. Dengan
mendengus, lelaki gemuk itu segera meluruk maju. Keris di tangannya bergerak
menusuk ke dada lawan dengan jurus
'Sampar Grana'.
"Tembus dadamu, Iblis! Hiaaat..!"
"Uts! Belum, Kerbau Dungu!" ledek Sengkolo sambil berkelit mengelakkan serangan
yang dilancarkan Ki Marta Pari.
Kemudian dengan cepat Sengkolo balas
menyerang. Tangan kirinya memukul ke arah pundak lawan. Sedangkan golok di
tangan kanannya menebas leher lawan.
"Putus lehermu!"
Wut! Ki Marta Pari terkesiap, merasakan desingan angin yang keluar dari tebasan golok
di tangan lawan.
Cepat-cepat Ki Marta Pari bergerak mengelit ke samping dengan tubuh agak
dirundukkan. Lalu dengan cepat, kerisnya ditusukkan ke perut lawan.
Sementara itu tangan kirinya bergerak memukul ke selangkangan lawan dengan jurus
'Tapak Getih'. Kali ini Sengkolo yang tersentak kaget, menyaksikan jurus lawan yang dahsyat.
Dari angin pukulannya saja, tergambar bagaimana kekuatan pukulan yang terasa
panas menyengat, memaksa tubuh Sengkolo untuk segera mencelat ke belakang.
"Hm.... Rupanya kau mencari mampus, Kerbau Dungu! Baik, bersiaplah untuk
mampus!" geram Sengkolo
Dalam keadaan masih memasang kuda-kuda
Sengkolo memasukkan golok ke sarungnya, lalu tangannya disatukan di depan wajah.
Setelah itu, telapak tangan kiri dan kanan digesekkan satu sama
lain. Wusss! Telapak tangan Sengkolo mengepulkan asap
hitam. Bersamaan dengan itu, tangannya menghitam bagai arang. Itulah ajian yang
dimiliki pemimpin wilayah Gerombolan Lowo Ireng. Ajian sesat itu bernama
'Warangga Geni'.
"Hiaaat..!"
"Yaaat..!"
Baik Ki Marta Pari maupun Sengkolo kini telah mengeluarkan ajian tingkat tinggi.
Ki Marta Pari dengan 'Tapak Getih'nya, sedangkan Sengkolo dengan 'Warangga
Geni'nya. Tubuh keduanya mencelat cepat ke udara dengan tangan siap melontarkan pukulan
masing-masing. Jarak mereka bertambah dekat. Ketika bentrokan dahsyat akan terjadi, tiba-tiba
sebuah bayangan putih bergerak membabatkan pedang yang berwarna
merah kekuning-kuningan ke arah Sengkolo yang tersentak dan berkelit di udara.
Wut! Di udara malam yang gelap dan menusuk rulang, sinar itu membentuk garis terang
pada saat bayangan putih tadi membabatkan pedangnya. Jelas itu sangat
mengejutkan kedua lelaki yang sedang bertempur.
Saat kedua kaki lelaki itu menjejak tanah, telah berdiri dengan gagah seorang
gadis cantik berpakaian putih dengan dua gelung rambut di atas kepalanya. Bola
mata gadis itu bening, namun pandangannya tajam, menatap penuh kebengisan kepada
Sengkolo. "Siapa kau"! Mengapa kau ikut campur urusanku"!" bentak Sengkolo memberanikan
diri, meski dia telah tahu siapa sebenarnya gadis Cina yang sepak
terjangnya membuat tokoh-tokoh rimba hitam agak kewalahan.
"Hhh...!" dengus gadis cantik yang tak lain Mei Lie itu. Matanya menatap penuh
kebencian pada Sengkolo. "Selama aku masih hidup, tak aka kubiarkan orang-orang sepertimu
berlaku sewenang-wenang."
Sengkolo terbeliak. Dia memang telah memahami benar siapa gadis Cina itu, yang
diberi gelar oleh orang-orang persilatan sebagai Bidadari Pencabut Nyawa. Sebuah
gelar yang menyeramkan bagi tokoh persilatan golongan hitam termasuk Sengkolo.
"Kaukah Mei Lie"!"
"Ya!"
"Bagus! Pucuk dicinta ulam tiba! Kami memang sengaja mencarimu!"
Mei Lie tersenyum sinis, mendengar ucapan
Sengkolo. Matanya masih menatap tajam ke arah Sengkolo. Kemudian kepalanya
ditolehkan ke belakang, ke arah Ki Marta Pari.
"Ini urusanku, Ki. Bantulah wargamu memberantas Gerombolan Lowo Ireng yang
hendak menjarah harta penduduk," pinta Mei Lie.
"Ba... baik, Nyi Pendekar."
Sengkolo tertawa terbahak-bahak, berusaha
menutupi rasa gentarnya menghadapi Mei Lie. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh
menunjukkan rasa takut pada gadis itu, meski julukan gadis Cina di hadapannya
bukan nama kosong. Buktinya Tiga Setan Rambut Api dapat ditumpas seperti me-
musnahkan alang-alang
"Tak kusangka Bidadari Pencabut Nyawa ini masih bocah bau kecur. Hm.... Kuharap
kau berpikir seribu kali untuk berhadapan denganku!" kata Sengkolo,
masih berusaha menenangkan hatinya, menghilangkan rasa takut yang berdenyut-
denyut di dadanya.
"Hm.... Untuk iblis sepertimu, untuk apa aku harus berpikir?" sergah Mei Lie
dengan nada mencemooh.
"Bedebah! Rupanya kau menganggap Gerombolan Lowo Ireng tak ada artinya, Bocah!"
hardik Sengkolo marah. Gigi-giginya bergemeletuk keras. Walau begitu, dia masih
belum mau menyerang. Bagaimanapun juga, Sengkolo harus berpikir dulu untuk
menghadapi Bidadari Pencabut Nyawa.
"Sama sekali tak ada. Bahkan Gerombolan Lowo Ireng tak lebih dari sekumpulan
anjing-anjing kurap yang mengotori dunia!" sahut Mei Lie dengan senyum sinis
melekat di bibirnya.
"Bedebah! Kulumat tubuhmu! Heaaa...!"
Dengan nekat, akhirnya Sengkolo merangsek
maju. Tangannya dengan cepat menarik golok yang tadi berada di sarungnya.
Srrrt! Dengan jurus 'Lowo Ireng Merentang Sayap
Menyambar Mangsa', Sengkolo melabrak. Tangannya membentang lebar, tubuhnya
melayang laksana terbang. Kemudian dengan cepat tangannya bergerak. Tangan kanan
membacokkan golok ke kepala Mei Lie, sedangkan yang kiri menghantam dengan
pukulan sakti 'Warangga Geni'.
"Hiaaat..!"
*** Melihat lawan telah melesat menyerang, Mei Lie segera menggeser kaki kanan agak
membuka. Ditekuknya kaki kanan membentuk siku. Tangan kiri digerakkan ke atas, lalu
ditarik ke bawah dan
dilecutkan di depan dada. Sedangkan Pedang
Bidadari di tangannya disabetkankan miring ke samping, lalu ditarik lurus di
depan dada. Kemudian, dilanjutkan dengan gerakan memutar di depan tubuh.
Disambung lagi lengan gerakan berbareng antara pukulan tangan kiri dan tebasan
pedang. "Heaaa...!"
Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Menusuk Gunung Karang', Mei Lie memapaki serangan
lawan. Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat, memburu tubuh lawan.
"Yiaaat...!"
Trang! Plak! "Ukh!" Sengkolo mengeluh. Cepat-cepat tubuhnya dilontarkan ke belakang,
menghindar dari tusukan pedang lawan yang cepat dan garang. Golok di tangannya
telah patah menjadi tiga bagian, terbabat Pedang Bidadari di tangan Mei Lie.
Mata Sengkolo membelalak. Baru kali ini disaksi-kannya jurus pedang yang sangat
cepat dan mematikan. Rasanya selama ini belum ada pendekar pedang yang mampu
melakukan gerakan menyerang dengan begitu cepat dan keras.
"Kurang ajar!" maki Sengkolo marah, mendapatkan kenyataan kalau ilmu lawan
ternyata berada sampai tiga tingkat di atasnya. Namun begitu, sebagai pemimpin


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari salah satu Gerombolan Lowo Ireng, dia tidak boleh menunjukkan rasa takut
meski lawan yang dihadapinya sangat tangguh.
"Hm, itu baru golokmu, Iblis! Kini giliran nyawamu...!" dengus Mei Lie, disusul
oleh gerakan pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan. Membuat
keadaan di sekitar tempat itu
menjadi terang.
"Bangsat! Jangan harap kau mampu membunuh-ku! Hiaaat..!" Sengkolo dengan nekat
kembali menyerang. Pukulan sakti yang dimilikinya dikerahkan habis-habisan.
Tangannya kini berubah hitam pekat Menyaksikan lawan kembali merangsek, Mei Li
secepat kilat memapakinya dengan jurus 'Pukulan Bidadari Menjebol Benteng'.
"Yiaaat..!"
Tubuh Mei Lie melayang deras dengan tangan kiri menggenggam, memukul lurus ke
arah lawan. Sedangkan pedang di tangan kanannya membersit ke arah lawan. Matanya terpejam
dan gerakan pedangnya nampak aneh. Terlihat pelan dan lambat, namun sesungguhnya
gerakan itu mengandung kekuatan yang besar. Itulah jurus 'Pedang Tebasan Batin',
jurus pamungkas yang sangat dahsyat.
Sengkolo yang sudah mata gelap tak meng-
hiraukan apa yang akan terjadi. Dia berkeyakinan kalau pukulan saktinya akan
mampu meremukkan tubuh lawan. Tubuhnya masih melesat cepat, dengan tangan
bergerak bergantian ke wajah.
"Hiaaat..!"
"Heaaa...!"
Wut! Srrt! "Ukh!"
Dari mulut Sengkolo terdengar jerit tertahan ketika pedang di tangan Mei Lie
membabat tangan
kanannya. Sedangkan tangan kiri Mei Lie yang berisi pukulan 'Bidadari Menjebol
Benteng' menghantam telak dadanya.
Begk! "Ngk! Uhk...!"
Tubuh Sengkolo teriungkir ke belakang. Dia berusaha bangkit dengan sempoyongan.
Tangan kanannya yang terbabat, terlihat masih utuh, seakan tak terkena babatan
pedang lawan. Darah meleleh dari sela-sela bibirnya.
Mei Lie terdiam sesaat, mengatur pernapasan setelah mengerahkan tenaga dalam.
Matanya memandang Sengkolo yang kelihatan pucat, dengan kening berkerut Sengkolo tak
mengerti mengapa tangannya masih utuh. Padahal tadi dilihatnya terbabat pedang
lawan. Merasa tidak mengalami apa-apa, Sengkolo
hendak menyerang kembali. Namun baru saja
kakinya melangkah setindak, tiba-tiba tangan kanannya berhamburan menjadi debu.
Tanpa darah setetes pun.
"Aaa.... Tidak...!" pekik Sengkolo histeris. Matanya membesar nyaris keluar, tak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
Mei Lie tersenyum sinis.
"Itu baru tanganmu, Iblis! Kini bersiaplah, nyawamu akan segera kukirim ke
neraka!" ancam Mei Lie. Lalu dengan cepat, pedangnya digerakkan kembali.
Sengkolo yang kini nyalinya ciut, semakin
ketakutan. Dia telah merasakan bagaimana
kehebatan ilmu pedang lawan. Dia bermaksud lari, namun dengan cepat Mei Lie
telah menghadangnya.
"Mau ke mana, iblis"!"
"Oh, tidak! Ampunilah nyawaku. Jangan bunuh aku," ratap Sengkolo sambil
menangis, mengharap Mei Lie mau mengampuninya.
Mei Lie terdiam. Matanya masih memandang
tajam pada Sengkolo yang meratap tersedu-sedu,
mengharap ampunannya.
"Baik, kali ini kuampuni. Sekarang pergilah!"
bentak Mei Lie.
Sengkolo menurut, dia bangun dari sujudnya.
Namun ketika Mei Lie lengah, dengan licik Sengkolo melepaskan pukulan saktinya
ke arah Mei Lie.
"Mampuslah kau, hiaaat...!"
Mei Lie yang sudah menduga tabiat lelaki tinggi besar yang sekujur tubuhnya
tertutup oleh kain hitam itu dengan cepat membuang tubuh ke samping dan bersalto
beberapa kali. Dengan cepat pedangnya dibabatkan ke arah lawan.
"Rupanya kau harus mampus, Iblis! Heaaa...!"
Wut! Srrrt! "Aaa...! Sengkolo kembali memekik, ketika pedang di
tangan Mei Lie menebas tangan kirinya. Dan seperti kejadian sebelumnya, tangan
kirinya bagai tak terkena apa-apa. Namun ketika angin bertiup, tangan kirinya
tiba-tiba hancur jadi debu!
Belum juga habis kengerian Sengkolo, Mei Lie kembali menyabetkan pedangnya
secara menyilang, dan menebas tubuh Sengkolo.
Wut, wut..! "Wuaaa...!"
Sengkolo menjerit dalam satu lengkingan panjang yang menggiriskan. Matanya
membeliak. Sesaat dia mematung di tempat itu, kemudian tubuhnya lebur jadi debu.
Menyaksikan pemimpinnya hancur jadi debu, anak buah Sengkolo kocar-kacir seperti
anak ayam kehilangan induk. Mereka kini semakin terdesak.
Penduduk Desa Landung Sari yang melihat gelagat
baik itu, tak menyia-nyiakannya. Dipimpin oleh Ki Capir Sumpit yang menjadi
tangan kanan Ki Marta Pati, mereka menggasak sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng.
"Habisi mereka...!" seru Ki Marta Pari.
"Ayo, jangan biarkan mereka hidup!" sambung Ki Capir Sumpit sambil berkelebat
memimpin penduduk yang segera menyertainya melakukan serangan terhadap sisa-sisa
Gerombolan Lowo Ireng.
Suara-suara marah berhambur dari mulut
penduduk Desa Landung Sari.
Sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng semakin
ketakutan menghadapi amarah penduduk. Terlebih di situ ada Bidadari Pencabut
Nyawa. Penduduk desa yang kalap, dengan ganas membabat sisa-sisa Gerombolan Lowo
Ireng. Mei Lie yang menyaksikan kejadian itu hanya menghela napas. Sebelum semua
penduduk menghentikan pelampiasan amarahnya terhadap sisa-sisa Gerombolan Lowo
Ireng, Mei Lie telah melesat pergi.
*** 5 Nama Bidadari Pencabut Nyawa semakin tersohor, setelah Gerombolan Lowo Ireng
yang menjarah Desa Landung Sari dapat ditumpas. Malah pemimpin gerombolan itu
hilang tak berbekas, seakan raib ditelan bumi. Hanya penduduk Desa Landung Sari
saja yang tahu, kalau pemimpin Gerombolan Lowo Ireng itu musnah menjadi debu,
tertebas Pedang Bidadari di tangan Bidadari Pencabut Nyawa.
Angin pagi bertiup semilir, diiringi sinar mentari yang bergerak lamban di kaki
langit sebelah timur.
Desau angin lembut, senandung burung dan kokok ayam jantan, menyatu dalam satu
irama tertentu.
Dari kejauhan di dalam Hutan Selo Kamal
terdengar suara nyanyian merdu. Nyanyian itu diselingi tiupan suling yang
mendayu, seperti menikmati indahnya pagi.
Samar-samar di kejauhan, tampak seorang
pemuda tampan dengan suling emas berkepala naga di tangannya, tengah melangkah
sambil bernyanyi.
Pakaian pemuda itu terbuat dari kulit ular sanca.
Begitu juga ikat kepalanya.
Pemuda tampan yang tengah bernyanyi-nyanyi
sambil meniup suling itu, tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Didengar
dari syair lagunya, tampaknya Sena tengah merasakan kerinduan pada seorang gadis
yang dicintainya. Dan tentunya gadis itu adalah Mei Lie.
Duh, alam yang indah
Di mana mentari senantiasa hadir
Mengusir embun yang dingin
Telah jauh kakiku melangkah
Tuk mencari permata hati
Namun sejauh ini
Belum juga kutemui....
Setelah berdendang, Sena pun duduk di sebatang pohon yang tumbang. Suling Naga
Sakti diselipkan pada ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-tawa, kepalanya
digaruk sambil menatap burung-burung yang bernyanyi riang.
"Hi hi hi...! Kau begitu gembira, Burung! Aha, kau meledekku. Tak apa. Kuakui
memang aku sedang bingung...," kata Sena berbicara seorang diri. "Aha, tentunya
kau yang bisa terbang tahu di mana kini Mei Lie berada, Burung?"
"Cit, ciiit...!"
Sena melompat-lompat sambil tertawa-tawa
mendengar suara burung mencuit.
"Aha, rupanya kau tahu. Di mana dia, Burung Cantik?"
"Cuit, cuit..!"
Sena mengangguk-angguk sambil cengengesan.
Lalu dengan tetap tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, Sena bangkit
dari duduknya. Wajahnya menengadah ke langit ketika burung-burung pemakan bangkai beterbangan
dengan pekikan yang keras.
"Oh, ada apa dengan burung-burung itu" Bukankah mereka burung pemakan bangkai?"
gumam Sena dengan kening berkerut .
Dengan mulut masih cengengesan Sena kembali
duduk. Matanya beredar ke sekeliling tempat ya ditumbuhi pepohonan hijau
menggapai cakrawala.
Kresek! Bibir Sena tersenyum ketika telinganya
menangkap suara kaki menginjak daun kering.
Dengan acuh sambil tersenyum-senyum, dia bersila.
Tangan kanannya menopang dagu seperti sedang merenung.
"Hi hi hi...! Rupanya ada juga tikus yang bersembunyi," ucap Sena tenang.
Matanya memandang redup dan mulutnya masih cengengesan. Sedangka tangan kirinya
menepuk-nepuk paha.
Swing, swing...!
Tiba-tiba puluhan senjata rahasia melesat ke arah Sena yang masih duduk bersila.
"Aha! Ada juga tikus yang pandai bercanda!" Sena sambil berjumpalitan di udara.
Bersamaan dengan itu, segera dihantamkannya pukulan 'Inti Bayu' ke arah senjata
rahasia yang meluncur ke arahnya.
"Hi hi hi..! Ini mainan kalian kukembalikan!"
Wusss! Swing, swing...! Crab, Crab...!
"Aaakh...!"
Dari balik semak-semak yang jaraknya sekitar lima belas tombak terdengar jeritan
kematian. Kemudian tampak lima orang dengan wajah ditutupi kain hitam meregang.
Di leher mereka tertancap lima buah senjata rahasia yang tentunya milik mereka.
Kemudian tubuh mereka ambruk dengan nyawa
melayang. "Ha ha ha...! Lucu sekali! Lucu...!" seru Sena sambil berjingkrak-jingkrak
seperti kera kegirangan.
"Kurang ajar! Serang dia...!"
Dari balik semak-semak, terdengar perintah
seseorang untuk menyerang. Bersamaan dengan itu, muncul puluhan orang-orang
berpakaian hitam dengan wajah tertutup kain hitam. Mereka langsung mengurung
Sena yang masih tertawa-tawa sambil melompat-lompat seperti kera.
"Ha ha ha...! Monyet-monyet hitam! Ha ha ha...!"
"Bedebah! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-orang berpakaian serba hitam yang
segera dipatuhi anak buahnya.
"Hiaaat...!"
"Wadauw! Mengapa ganas sekali"!" tanya Sena, sambil memegangi kepalanya.
Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan.
"Pecah kepalamu, Pemuda Edan!" bentak pemimpin para penyerang sambil menebaskan
goloknya ke kepala Sena.
"Wadauw, aku tidak mau!" teriak Sena sambil meliukkan tubuhnya dengan kaki agak
merentang. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena mementahkan serangan yang
datang ke arahnya.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, dan sesekali tangannya bergerak seperti
menepuk. "Hi hi hi...! Rasakan kue apemku! Nih...!"
Tangan Sena menepuk ke dada seorang lawan
yang menyerang ke arahnya. Tubuhnya masih meliuk-liuk, serta sedikit membungkuk.
Degk! "Wuaaa...!"
Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila
seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke belakang, melayang laksana terbang.
Tubuh orang itu baru berhenti, ketika menabrak sebatang pohon yang cukup besar.
Brak! "Aaakh!"
Orang itu menjerit. Kain penutup kepalanya
bersimbah darah. Tentunya kepala orang itu pecah akibat benturan keras dengan
pohon besar tadi.
Hutan yang semula tenang dan asri, seketika riuh dan porak-poranda. Banyak pohon
yang tumbang oleh hantaman pukulan mereka. Rumput-rumput yang mulanya segar,
kini banyak yang layu terinjak-injak.
Hewan-hewan hutan seketika berserabutan
ketakutan. "Hi hi hi...! Siapa lagi yang mau kue apem..."'"
tanya Sena sambil bergerak seperti seekor kera.
Tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya masih meliuk-liuk laksana menari,
mengelakkan serangan lawan.
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-orang berpakain serba hitam
yang tentunya dari Gerombolan Lowo Ireng. Tubuh pemimpin
gerombolan itu tidak terlalu besar. Suaranya juga bukan suara lelaki. Tentunya
dia Kane-kane, wanita yang memimpin Gerombolan Lowo Ireng di kotapraja.
"Cincang dia!" sambut anak buahnya.
Serentak mereka kembali menyerang dengan
membabatkan golok di tangan masing-masing.
Namun dengan cepat Sena kembali bergerak
mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat.
Tubuhnya dibungkukkan ke bawah.
"Wah! Ganas sekali tikus betina ini?" ucap Sena sambil terus bergerak mengelak.
Pantatnya sengaja ditunggingkan ke arah Kane-kane, yang membuat wanita dari
Gerombolan Lowo Ireng itu bertambah marah.
"Haiiit..!"
Kane-kane membabatkan goloknya ke pantat
Sena. "Wadauw! Jangan, Nyi! Pantatku bisulan! Hi hi hi...!"
Sambil ber kata begitu, Sena kembali mengelak cepat. Kemudian tangannya menepuk
dua orang yang berada di depan dan sampingnya.
Degk! "Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Dua orang korban sasaran pukulan Pendekar Gila memekik. Tubuh mereka terpental
deras ke belakang seperti dua batang ranting kering. Lalu menghantam pohon
disertai pekikan kematian. Kemudian tubuh keduanya ambruk dengan napas putus.
"Bangsat...! Minggir! Biar kuhadapi dia!" seru Kane-kane kalap, merasa lawannya
terlalu berbahaya untuk dihadapi anak buahnya. Bisa habis satu persatu anak
buahnya di tangan pemuda tampan yang bertingkah seperti orang gila itu.
Setelah anak buahnya mundur teratur, dengan cepat Kane-kane melabrak maju.
Matanya yang nampak dari lubang di kain penutup wajahnya, melotot garang pada
Sena yang masih cengar-cengir.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila"!" bentak Kane-kane.
"Hi hi hi...! Dari mana kau tahu, Tikus Betina" Ha ha ha...!" Sena tertawa


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbahak-bahak dengan tubuh berjingkrakan seperti kera. Tangannya menggaruk-
garuk kepala. "Namamu cukup kondang, Pendekar Gila! Hm, aku datang untuk menantangmu!"
Sena kembali tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali! Lucu sekali omonganmu, Tikus Betina. Mengapa kau menantangku?"
tanya Sena masih bergerak-gerik seperti kera.
"Karena kau penghalang kami!"
"Oh, kurasa kalau kalian bermaksud baik, aku tak akan menghalanginya. Ah ah
ah.... Tentunya maksud kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi hi.
Atau kalian tak punya hidung"!" ledek Sena yang membuat Kane-kane semakin
membelalak garang.
"Bedebah! Apa pun yang akan kami lakukan, urusan kami! Kau memang harus
disingkirkan, karena kau penghalang utama. Nah, bersiaplah!"
bentak Kane-kane sengit
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut
cengengesan. "Aha, kalau memang itu maumu, baiklah. Aku akan melayanimu."
"Hiaaat...!"
Kane-kane segera melompat dengan terkaman
tangan yang membentuk cakaran. Dengan jurus
'Kelelawar Menyambar Serangga' Kane-kane
menyerang. Tangannya bergerak menyilang, lalu mencengkeram lurus ke arah
Pendekar Gila. "Hi hi hi...! Lucu sekali gerakanmu, Nyi."
Sena segera menundukkan kepala, lalu dengan cepat tubuhnya bergerak mengelak
sambil berguling.
Kakinya menendang ke atas, di mana tubuh Kai kane berada.
"Hi hi hi...! Ini tendangan kuda binal, Nyi!"
Kane-kane tersentak kaget mendapatkan
serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangannya berusaha ditarik. Tapi
tubuhnya yang sudah melayang sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang.
Sehingga... Degk! "Hukh!"
Tubuh Kane-kane terlontar ke depan, lalu tersuruk
mencium tanah. "Ha ha ha...! Mengapa kau mencium tanah, Nyi?"
tanya Sena sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya menepuk-nepuk pantat dan
menggaruk-garuk kepala sambil melompat-lompat kegirangan. Hal itu membuat Kane-
kane semakin marah.
"Kurang ajar! Bunuh monyet gila itu!" perintah Kane-kane pada anak buahnya yang
langsung bergerak mengurung Pendekar Gila yang masih melompat-lompat seperti kera.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya!" seru Kane-kane bertambah murka, menyaksikan tingkah Pendekar
Gila yang kian menjengkelkan.
"Hiaaa...!"
"Yeaaah...!"
Anak buah Kane-kane langsung menyerbu dengan babatan dan tusukan golok ke tubuh
Sena. Mereka nempaknya bernafsu sekali untuk segera menghabisi nyawa pemuda
berpakaian rompi kulit ular itu.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gila bukannya takut, malah tingkahnya
kian menggila. Dengan berjingkrak-jingkrak seperti kera, Sena mengelakkan serangan-serangan
lawannya. Tubuhnya meliuk-liuk bagai sedang menari. Kemudian tangannya bergerak
ke beberapa jurusan, menghantam dengan tepukan-tepukan yang kelihatannya pelan
ke dada lawan. "Hea...!"
Plak! "Wuaaa...!"
Satu orang lagi terkena hantaman tepukan tangan Pendekar Gila. Seperti tiga
temannya, tubuh orang ini pun melayang jauh ke belakang. Dan baru berhenti
ketika membentur pohon dengan kepala pecah.
Pendekar Gila yang sudah tahu kalau mereka
adalah para bajingan, kini tak mau diam dan membiarkan mereka lolos. Tubuhnya
bergerak cepat, meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
disusul dengan jurus yang semakin membuat lawan-lawannya bertambah kalang-kabut
Jurus 'Si Gila Menyapu Kabut'.
Wusss...! Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar angin deras menghantam ke arah
lawan. Para pengeroyoknya seketika terdorong keras. Bahkan pakaian Kane-kane terlepas.
Tubuhnya kini tak tertutup sehelai benang pun. Ternyata dia seorang wanita muda
yang cantik dengan rambut terurai lepas. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis.
Hal itu membuat Sena mengerutkan kening sesaat. Tak menyangka kalau gadis
secantik Kane-kane ter-jerumus dalam kegelapan dunia hitam.
"Aha, rupanya tikus betina ini cantik?" gumam Sena. "Sayang sekali tindakannya
telengas."
Kane-kane kelabakan menutupi auratnya dengan kedua tangan. Wajahnya merah
terbakar karena malu Dia kini tak dapat berbuat banyak. Pilihan yang dimilikinya
hanya pergi meninggalkan tempat itu sambil meneriakkan ancaman.
"Pendekar Gila! Kali ini aku kalah! Namun kelak, aku akan kembali membuat
perhitungan denganmu!"
Sena hanya menggeleng sambil tersenyum. Lalu melangkah meninggalkan Hutan Selo
Kamal. *** Hutan Gandring nampak damai dan asri, dengan barisan pohon menghijau dan subur.
Burung-burung berkicau dengan riang. Terasa damai suasana di Hutan Gandring
siang itu. Angin bertiup dengan alunan yang membuat mata ngantuk.
Hutan yang indah dan asri, seketika berubah mendadak. Banyak pepohonan yang
rusak. Kicau burung tidak terdengar lagi. Rumput banyak yang layu. Kedamaian
hutan itu terpecah oleh suara teriakan-teriakan orang yang tengah bertarung.
Dua orang lelaki berpakaian pendekar berwarna jingga nampak tengah bertarung
menghadapi wanita bercaping daun pandan dengan pakaian putih seperti pakaian
gadis Cina. Kedua lelaki muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu bertubuh
tinggi dan kekar. Wajah mereka tampan dengan kumis tipis menghiasi atas
bibirnya. Kedua lelaki itu bernama Gupala dan Gupali.
Mereka berasal dari Perguruan Semeru. Rambut mereka agak ikal terurai panjang,
berikat kepala jingga pula. Hidung mereka mancung dengan mata tajam laksana mata
seekor elang. "Mei Lie, antara kita tak ada sangkut paut apa-apa, mengapa tiba-tiba kau
menyerang kami?" tanya Gupala tak mengerti mengapa Mei Lie yang bergelar
Bidadari Pencabut Nyawa menyerang mereka.
Padahal mereka dari golongan putih.
Gadis cantik yang sosok tubuh dan wajahnya mirip Mei Lie itu tak berkata. Gadis
yang tak lain Sarah Dita itu terus menyerang kedua kakak-beradik yang berkelit
dengan terheran-heran.
"Kakang, jelas dia tidak main-main! Kita harus nenghadapinya dengan tidak main-
main pula!"
dengus Gupali, setelah tubuh mereka menjauh lima
tombak di depan gadis itu.
"Benar, Dimas. Aku heran, bagaimana mungkin Mei Lie yang kita dengar membela
kebenaran dan keadilan menyerang kita," gumam Gupala.
"Jangan banyak omong! Kalian memang harus mampus! Hiaaat..!" bentak Sarah Dita
seraya menerjang dengan membabatkan pedang ke arah lawan-lawannya.
Wut! "Hati-hati, Kakang! Dia benar-benar ingin membunuh kita!" kata Gupali
mengingatkan. "Kita tak tinggal diam terus. Kita sebaiknya melawan."
"Ayolah! Kita gunakan jurus 'Dwi Sangkur Dewa'!"
Setelah mempertimbangkan masak-masak, kini
kakak-beradik tersebut bergerak menyerang. Pisau kembar yang menjadi senjata
andalan mereka, berdesing tajam ke arah lawan. Hal itu membuat Sarah Dita
tersentak. Dia berusaha mengelitkan serangan lawan, kemudian dengan cepat pula
balas menyerang dengan jurus andalan 'Sambutan Sampar Kabut'.
Pedang di tangan Sarah Dita bergerak cepat
hingga bagai menghilang. Yang nampak hanya kabut putih yang menutupi tubuh gadis
cantik itu. "Hiaaat..!"
Wut! Gupala dan Gupali tersentak kaget, menyaksikan jurus pedang lawan yang cepat.
Kini keduanya tak mampu melihat sosok tubuh lawan lagi karena tertutup oleh
sinar berkabut yang keluar dari pedang lawan.
"Celaka! Dia benar-benar hendak membunuh kita!"
seru Gupali tegang, menyaksikan jurus lawan yang cepat dan membahayakan dengan
sasaran yang mematikan ke jantungnya.
"Kurasa dia bukan Mei Lie, Dimas."
"Entahlah. Siapa pun dia, kita tak boleh lengah Kakang. Ilmu pedangnya bukan
sembarangan."
"Kita gempur dengan 'Sapuan Sangkur' Heaaat..!"
"Yiaaat..!"
Dengan sigap Gupala dan Gupali melemparkan
pisau-pisau kecil mereka ke arah gumpalan sinar putih yang menutupi tubuh lawan.
Swing, swing...!
Lima bilah pisau melesat cepat ke arah lawan.
Namun dengan tangkas, Sarah Dita mampu
merontokkannya. Pisau-pisau yang dilemparkan oleh kakak beradik itu tak ada satu
pun yang mampu menembus pertahanannya.
Trang, trang...!
Pluk, pluk...! "Celaka! Dia bukan sembarangan jago pedang, Kakang!"
"Ya!" sahut Gupala dengan mata memandang tegang, menyaksikan senjata-senjata
mereka dengan mudah dirontokkan. Namun sebagai pendekar,
keduanya tidak mau mengalah begitu saja. Keduanya kembali melemparkan pisau-
pisaunya ke arah lawan.
"Hiaaat!"
Swing, swing...!
Enam pisau kembali melesat cepat ke arah Sarah Dita.
"Hait!" Sarah Dita segera memutar pedangnya dengan cepat, menangkis pisau-pisau
lawan. Tring, tring...!
Kembali pisau-pisau itu berguguran, terkena babatan pedang di tangan Sarah Dita.
Bahkan kini tubuh gadis itu melesat maju lalu membabat lawan
dengan pedangnya.
"Kalian harus mampus! Hiaaa...!"
"Awas, Kakang!" seru Gupali sambil membuang tubuhnya ke samping, mengelakkan
babatan pedang lawan. Kemudian dengan cepat tangannya memukul ke tubuh lawan.
Tapi rupanya Sarah Dita mengetahui kalau serangan yang dilancarkan lawan dari
sebelah kanan. Dengan cepat pedangnya dibabatkan ke tangan lawan yang menyerang.
Wut! Gupali tersentak kaget Dia berusaha menarik serangannya. Tapi babatan pedang
lawan ternyata lebih cepat. Sehingga Gupali. tak mampu untuk mengelakkannya.
Hingga.... Cras! "Aaa...!" Gupali memekik. Tangan kanannya putus terkena babatan pedang lawan.
"Dimas!" seru Gupala kaget, menyaksikan keadaan adiknya. Belum juga Gupali
sempat bergerak untuk mengelak, Sarah Dita telah lebih dulu membabatkan pedang
ke dadanya. Diteruskan ke lehernya yang tidak mampu mengelak sama sekali.
Wut! Cras, cras! Kali ini Gupali tak sempat memekik. Lehernya putus dan kepalanya lepas dari
tubuh. "Dimas...!"
Kembali Gupala memekik keras dengan mata
membelalak, menyaksikan kematian adiknya yang mengenaskan.
"Iblis! Tunggu pembalasanku!"
Sebelum Sarah Dita sempat mengejar, tubuh
Gupala telah melesat meninggalkan tepian Hutan Gandring. Nampaknya Sarah Dita
memang sengaja membiarkan lawan pergi. Dengan begitu, Gupala akan menceritakan kejadian itu
pada para pendekar.
Dan tentu Mei Lie yang akan menjadi sasarannya.
Sarah Dita tersenyum puas, kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
*** 6 Berita tentang Mei Lie yang membunuh salah seorang murid Perguruan Semeru di
pinggir Hutan Gandring, membuat para pendekar kebingungan. Dunia
persilatan dibebani pertanyaan yang memusingkan karena kejadian itu. Hampir
semua orang, baik dari dunia persilatan maupun dari kalangan biasa bertanya-
tanya. Bagaimana mungkin Bidadari Pencabut Nyawa kini membunuh salah seorang
dari murid Perguruan Semeru"
Perdebatan antara pihak yang yakin kalau Mei Lie yang melakukannya dengan pihak
yang tidak percaya, menjamur di mana-mana. Mereka pada umumnya
tidak percaya dengan berita itu. Malah ada yang menuduh Gupala hanya membuat-
buat cerita untuk menjatuhkan nama baik Mei Lie.
Siang itu, tiga orang lelaki tua dengan jubah berwarna putih melangkah menuju
sebuah bangunan besar yang berada di Gunung Semeru. Tiga lelaki tua berjubah
putih dengan rambut putih terurai itu adalah tiga tokoh sakti dari aliran lurus.
Ketiganya sering disebut Tiga Malaikat Suci. Sampai setua ini, mereka tidak
menikah. Jiwa dan raga mereka senantiasa diserahkan pada Hyang Widhi. Di samping
itu, mereka berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan.
Kedatangan Tiga Malaikat Suci ke Perguruan Semeru, semata-mata atas undangan
Ketua Perguruan
Semeru yang juga mengundang para pendekar di wilayah Jawa Dwipa bagian timur.
Dua prajurit jaga
yang melihat Tiga Malaikat Suci segera menyambut mereka dengan menjura hormat
"Selamat datang ke Perguruan Semeru."
"Hm.... Terima kasih. Katakan pada ketua kalian kami datang," kata salah seorang
dari Tiga Malaikat Suci yang berjalan di tengah.
"Baik! Silakan Eyang sekalian menunggu sebentar," kata penjaga. Kemudian salah
seorang dari mereka bergegas masuk untuk memberitahukan pada ketuanya kalau
orang yang ditunggu telah datang.
Tiga Malaikat Suci merupakan tiga saudara
seperguruan yang ilmu kesaktiannya tinggi. Orang pertama yang berdiri paling
kanan bernama Arya Parasu. Yang kedua bernama Arya Somala dan yang ketiga nama
Arya Narasi. Ketiganya terkenal arif dan bijaksana da lam menangani segala
masalah. Untuk itulah, Ketua Perguruan Semeru mengundang
mereka. Tidak lama kemudian, dari dalam muncul murid Perguruan Semeru tadi diikuti oleh
ketua mereka. "Selamat datang ke Perguruan Semeru, Eyang,"
sambut Ki Malawa. Lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun dengan tubuh
tegap dan sorot mata tajam itu menjura. Wajahnya nampak tenang dan ramah.
Meski salah seorang murid utamanya tewas, namun tampaknya Ketua Perguruan Semeru
yang mengenakan jubah warna kuning dengan pakaian dalam warna coklat muda ini tetap
bersikap tenang.
"Hm.... Terima kasih," sahut ketiganya bersamaan.
"Ada apa sampai kau memanggil kami, Malawa?"
tanya Arya Parasu.
"Ya. Ada apa kau memanggil kami...?" sambun Arya Somala.
"Silakan Eyang bertiga masuk dulu. Di dalam telah banyak para pendekar
menunggu."
Tiga Malaikat Suci saling pandang, mendengar para pendekar telah diundang pula
oleh Ki Malawa.
Hati mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan Ketua Perguruan Semeru
itu memanggil para pendekar.


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Silakan, Eyang."
Tiga Malaikat Suci akhirnya menurut masuk.
Diiringi oleh Ki Malawa, mereka masuk ke sebuah ruangan lebar tempat para
pendekar dari wilayah timur berkumpul. Di situ ada Ki Bagel Kara, Nyi Palayuan,
Ki Sampra Wika, Dewi Bayangan Bidadari, Ki Naga Kadra serta seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular yang tingkah lakunya persis orang gila.
Tiga Malaikat Suci yang melihat pemuda itu sudah dapat menebak, siapa sebenarnya
pemuda yang cengengesan dan bertingkah laku konyol itu.
"Hm.... Rupanya Pendekar Gila ada di sini," ucap Arya Parasu sambil menjura
hormat, diikuti oleh kedua adik seperguruannya. Hal itu membuat Sena segera
bangun dan membalas penghormatan
mereka. "Aha, rupanya aku tak sopan," kata Sena.
"Seharusnya aku yang menjura pada kalian. He he he...!"
"Tidak ada salahnya, Pendekar Gila. Kami memang harus menghormati tamu yang
datang lebih dahulu...," tukas Arya Narasi.
"Ah ah ah... Kalian orang tua bijak. Tidak sepantasnya aku menerima penghormatan
kalian. Malah arusnya aku yang menghormati kalian," sergah Sena sambil cengengesan.
"Sudahlah. Tak perlu kita perdebatkan masalah ini," Arya Parasu menengahi.
"Malawa, katakanlah ada apa kau memanggil kami dan para pendekar ke tempat ini?"
"Silakan duduk dulu, Eyang," kata Ki Malawa mempersilakan ketiga orang tua itu
duduk. Setelah ketiganya duduk, Ki Malawa meneruskan ucapannya.
"Memang sengaja aku mengundang Eyang bertiga datang kemari, juga para sahabat
semua. Hal ini berkaitan dengan terbunuhnya salah seorang murid Perguruan Semeru
oleh gadis Cina."
Beberapa pendekar yang belum mendengar berita itu menjadi tersentak. Terlebih
Sena yang amat tahu siapa gadis berpakaian putih gaya Cina yang tak lain Mei
Lie. "Mei Lie"!" seru beberapa tamu serentak.
"Benar!" jawab Ki Malawa tegas.
"Bagaimana mungkin Mei Lie yang terkenal dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa
bertindak seperti itu?" tanya Ki Sampra Wika. Mata lelaki berumur sekitar enam
puluh tahun dengan rambut ikal ini tampak terbelalak. Seperti tidak percaya.
Bahkan lelaki tua berbaju merah dadu ini
memandang Pendekar Gila.
"Itu sebabnya aku mengundang kalian."
"Hm...," gumam Sena tak jelas. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
nyengir. "Kurasa kita tidak bisa menuduh sembarangan, Ki. Kita harus memiliki
bukti kuat. Siapa tahu ada orang lain yang melakukan semua ini dengan
mengatasnamakan Mei Lie."
"Tidak mungkin!" bantah Ki Bagel Kara. "Jelas dia Mei Lie."
"Aha, jangan lekas menuduh begitu, Ki. Apa kau
punya saksi?" tanya Sena masih berusaha membela kekasihnya. Nada suaranya
terdengar tidak senang atas tuduhan yang dilontarkan Ki Bagel pada kekasihnya.
"Ada!" sahut Nyi Palayuan.
"Hm...," gumam Sena lirih. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir. "Aha, bagaimana kalau saksi itu tidak jelas benar melihatnya?"
"Tidak mungkin. Dia berhadap-hadapan langsung dengan Mei Lie. Bahkan dia
bertarung dengan Mei Lie waktu itu bersama adiknya," tukas Ki Naga Badra.
Lelaki berusia sekitar empat puluh delapan tahun yang wataknya masih agak keras.
"Sabar!" kata Arya Parasu. "Untuk memecahkan masalah ini, kita jangan saling
bantah-membantah dengan kepala panas. Seakan sifat kependekaran kita tak ada
lagi." Semua terdiam, tak ada seorang pun yang
membuka suara. Hanya Sena yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nah, kini bawa saksi mata kemari," pinta Arya Parasu.
"Baik, Eyang," sahut Ki Malawa. Kemudian dengan memberi isyarat pada muridnya,
Ki Malawa memerintahkan untuk menjemput Gupala.
Tidak berapa lama kemudian, muncul Gupala
menghadap ke tempat itu. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu segera memberi
hormat pada para pendekar yang berkumpul di ruangan tersebut.
"Ada apa Guru memanggil saya?" tanya Gupala pada Ki Malawa.
"Gupala, coba kau jelaskan bagaimana
kejadiannya sampai kau dan adikmu bertempur dengan gadis Cina itu," pinta Arya
Parasu. Gupala menjura, kemudian dengan singkat dan jelas dia menceritakan tentang
kejadian yang dialaminya.
"Kami baru saja pulang untuk menyerahkan undangan dari guru pada Perguruan
Kencana Mukti dan Padepokan Randu Kembar dalam rangka
mengundang para pemimpin perguruan untuk
mengadakan pertemuan untuk membahas masalah persilatan. Pertemuan yang telah
sering diadakan di perguruan kami. Ketika kami melintas di Hutan Gandring, kami
di hadang oleh seorang gadis cantik bercaping daun pandan. Gadis itu berpakaian
putih dan bersenjatakan pedang. Dia mengaku bernama Mei Lie. Mulanya kami ragu
dan tak percaya kalau gadis itu Bidadari Pencabut Nyawa. Namun ketika dia
menyerang dengan pedangnya yang dahsyat, barulah kami mempercayainya."
Sena menghela napas. Tingkah lakunya tetap
seperti orang gila.
"Aha, tentunya kau melihat pedangnya, Ki," kata Sena.
"Benar, Tuan Pendekar."
"Bagus. Apakah pedang itu bersinar merah kekuning-kuningan?" tanya Sena.
Gupala sesaat terdiam, berusaha mengingat-ingat pedang di tangan gadis cantik
yang mengaku Mei Lei.
"Tidak. Pedang di tangan gadis cantik itu berwarna putih," jawab Gupala.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak bagai tidak dapat menahan rasa gelinya.
"Ah, kini apa kalian masih yakin kalau gadis itu Mei Lie?" tanyanya sambil
menggaruk-garuk kepala
"Ya!" Jawab Ki Sampra Wika.
"Aha, bagaimana kalian bisa yakin?"
"Sena, Mei Lie bukanlah gadis sembarangan setelah memiliki Pedang Bidadari dan
menguasai 'Ilmu Pedang Bidadari'. Siapa pun akan takut untuk mengaku-aku sebagai dirinya,"
tutur Ki Bagel Kara.
"Benar! Malah semua tokoh hitam dibuat gentar dengan kemunculannya. Kurasa,
kalau dia memang tidak bersalah, dia akan datang untuk membuktikan dirinya
memang tidak bersalah," sambung Nyi Palayuan.
Sena menggaruk-garuk kepala, seperti bingung mendapatkan kenyataan itu.
Bagaimanapun juga, nama baik dan keberadaan Mei Lie kini terancam.
Kalau Mei Lie tidak muncul juga, maka para pendekar tentu akan semakin yakin
kala pelakunya adalah Mei Lie. Dan tentunya pula, orang yang telah berbuat akan
semakin senang, karena secara tidak langsung dia dapat mengadu domba orang-orang
persilatan golongan lurus.
Ingatan Sena melayang kembali pada peristiwa di Lembah Lamur. Di sana Mei Lie
juga dituduh melakukan hal yang tak pantas bagi seorang
pendekar aliran putih. Begitu pula dengan gurunya, Singo Edan. Malah dia pun
sempat menuduh kalau gurunya telah meracuninya (Untuk jelasnya, silakan baca
serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").
Mungkinkah sekarang Mei Lie ada yang
mempengaruhi" Tanya Sena dalam hati. Biar
bagaimanapun juga, aku harus bisa membongkar teka-teki ini!
"Bagaimana, Pendekar Gila?" tanya Arya Parasu.
"Baiklah! Semua kuserahkan pada kalian," jawab Sena.
"Kalau begitu, untuk menyelidiki masalah ini
bagaimana kalau Pendekar Gila kita tugaskan untuk menyelidikinya?" tanya Arya
Parasu. "Dengan senang hati," jawab Sena.
"Kini semua telah selesai. Kita tinggal menunggu Kedatangan Mei Lie. Kalau dia
datang, kita akan bisa membuktikan kebenarannya. Apakah dia bersalah atau tidak.
Tapi kalau dia belum juga datang dalam tujuh hari, maka kita akan mencarinya,"
tutur Arya Somala.
"Bagaimana?" tanya Arya Narasi.
"Setuju...!" sahut para pendekar.
"Kini kau harus menyelidikinya, Pendekar Gila."
"Aku akan segera menjalankan tugas yang telah kalian amanatkan. Aku mohon
pamit." Sena pun segera menjura, kemudian bergegas
meninggalkan Perguruan Semeru.
*** Pendekar Gila benar-benar tak mengerti dengan
semuanya. Dia tak habis pikir, mengapa Mei Lie selalu mendapat kemalangan. Dari
pertama kali ke tanah Jawa Dwipa bersama ayahnya, gadis itu sudah dilanda nasib
sial. Ayahnya tewas di tangan anak buah Segoro Wedi. Kemudian setelah berpisah
lama dengan Pendekar Gila, muncul Houw San atau Kauw Cien Lung. Baru bertemu,
kembali Mei Lie harus menelan kepahitan menjadi sandera Dewi Pemuja Setan. Dan
kini, Mei Lie harus menjadi korban fitnah orang (Untuk mengetahui semua kisah
Mei Lie, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Suling Naga Sakti", "Singa Jantan dari Cina", dan
'Titisan Dewi Kuan Im").
Sena melangkah menyelusuri jalanan di Lembah
Pakuan dengan pikiran yang masih melayang pada Mei Lie, gadis Cina yang telah
menawan hatinya.
Gadis yang selama keberadaannya di tanah Jawa Dwipa ini senantiasa mendapatkan
penderitaan. Seakan telah digariskan oleh Hyang Widhi, kalau Mei Lie harus menerima semua
kenyataan itu. "Kasihan, Mei Lie," desah Sena lirih.
Ketika Sena melangkah menyelusuri Lembah
Pakuan, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bertarung. Didengar dari
suaranya, sepertinya ada beberapa orang yang teriibat pertarungan di balik bukit
sebelah selatan.
"Heaaat..!"
"Hait!"
Trang!" "Hai, ada orang bertarung rupanya," gumam Sena sambil memasang pendengarannya
lebih tajam, agar suara pertarungan itu lebih jelas. "Ah, benar.
Kudengar suara senjata beradu. Aku akan melihat."
Dengan cepat Sena menjejakkan kaki ke atas. Lalu dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuh, Sena berusaha melihat apa yang terjadi di balik bukit Matanya
membelalak, menyaksikan seorang gadis bercaping daun pandan dengan pakaian yang
sama persis dengan Mei Lie tengah bertarung melawan seorang lelaki berbaju
coklat "Mei Lie?" gumam Sena, menyaksikan gaya gadis itu yang sama persis dengan Mei
Lie. "Ah, tidak mungkin. Dia bukan Mei Lie. Tentunya gadis ini yang telah
membunuh murid Perguruan Semeru." .
Belum juga Sena selesai meyakinkan dirinya kalau gadis yang tengah bertarung itu
bukan Mei Lie, dari arah lain tiba-tiba mendesing puluhan senjata rahasia ke
arahnya. Swing, swing...!
"Eit! Aha, ada yang main-main rupanya!" gumam Sena sambil melenting, mengelakkan
serangan puluhan senjata rahasia. Tubuhnya bersalto di udara beberapa kali,
kemudian dengan cepat menepis beberapa senjata rahasia dan membalikkannya ke
arah senjata-senjata itu berasal.
"Heaaa...!"
Swing, swing...!
Senjata-senjata rahasia itu berbalik ke asalnya.
Dan tidak lama kemudian terdengar suara hunjaman senjata-senjata itu disertai
jeritan kematian.
Jlep, jlcp...! "Wuaaa...!"
"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan tubuh berjingkrakan seperti
kera. Tangannya tak lepas menggaruk-garuk kepala.
"Serang...!"
Seketika terdengar suara perintah seseorang dari balik bukit sebelah kiri Sena.
Swing, swing...!
Puluhan anak panah tiba-tiba menderu ke arah Sena. Hal itu membuatnya segera
merundukkan tubuh ke bawah, lalu dengan cepat berguling lemah ke sawah. Sengaja
hal itu dilakukan. Dengan harapan orang-orang yang bersembunyi di balik bukit
akan muncul. Satu anak panah ditangkapnya, lalu diseli-kan di ketiaknya.
Berpura-pura terhunjam sebatang anak panah tadi.
Benar juga apa yang diduganya. Dari balik bukit muncul puluhan orang bertopeng
hitam dengan di tangan mereka. Mata orang-orang memandang tajam ke arahnya,
seakan meyakinkan kalau pemuda itu telah tewas.
Saat itulah Sena segera melontarkan pukulan 'Inti Bayu' andalannya.
"Heaaa...!"
Wusss! Angin kencang menderu keras ke arah orang-orang bertopeng yang berdiri di atas
bukit. "Awas...!" seru pemimpin orang-orang bertopeng mengingatkan anak buahnya.
Namun terlambat! Angin kencang laksana topan yang dilancar kan Sena tak dapat
dielakkan oleh beberapa orang bertopeng itu. Seketika tubuh mereka terpental,
tersapu topan yang keluar dari tangan Sena.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrak-jingkrak senang.
Tangan kanannya kembali menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya
menepuk-nepuk pantat. "Lucu! Lucu sekali kalian! Ayo, turunlah!"
Mendengar tantangan Pendekar Gila, orang-orang bertopeng yang tak lain
Gerombolan Lowo Ireng itu meluruk turun untuk menyerang.
"Serang...! Habisi dia...!" perintah pemimpinnya.
"Heaaat..!"
"Ciaaat..!"
Lembah Pakuan yang semula sepi, kini riuh oleh akan Gerombolan Lowo Ireng yang
hendak menyerang Sena. Dengan golok terhunus di tangan, mereka menyerbu ke arah Sena.
"Cincang tubuhnya!"
"Yeaaah...!"
Melihat lawan menyerang, Sena tak tanggung-
tanggung menghadapinya. Dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dipapakinya
serangan mereka.
Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke sana kemari.
Pukulannya yang disertai angin topan, membuat beberapa lawan terpelanting.
"Heaaa...!"
Sena tak mau berhenti sampai di situ. Dia terus bergerak menyerang dengan
garang. Tingkah-lakunya seperti orang gila, dipadu dengan pukulan-pukulan maut
yang dahsyat. Prak! "Wuaaa!"
Satu lagi korban menjerit. Tubuhnya terpental jauh dan hancur berkeping-keping
terhantam pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Serang terus!" seru pemimpin gerombolan.
"Cincang tubuhnya!"
"Yiaaat..!"
Sena terus bergerak cepat. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan
serangan-serangan lawan dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Setelah itu dilanjutkan dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya
bergerak memukul arah lawan-lawannya.
"Heaaa...!"
Begk, begk...! "Wuaaa...!"
Tiga orang langsung memekik keras dengan dada hancur. Tubuh mereka terlempar
jauh, kemudian jatuh dengan keadaan menyedihkan. Meski begitu, nampaknya para
penyerang tidak mau berhenti sampai di situ. Mereka terus saja melabrak dengan
nekat, bagai tidak mengenal rasa takut sedikit pun.
Wut! Golok menderu keras di atas kepala Sena yang
menunduk sambil meliukkan tubuh. Kemudian


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cepat kakinya menendang ke arah
selangkangan lawan.
Prat! "Aduuuh...!"
Orang yang terkena tendangan memekik. Matanya melotot. Kedua tangannya mendekap
kemaluannya yang pecah dan meneteskan darah. Sesaat tubuhnya mengejang dan
berputar-putar meregang nyawa. Lalu ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Ayo, siapa lagi yang ingin telur puyuhnya kupecahkan"!" seru Sena
sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera. Tubuhnya mencelat ke atas kemudian
menukik sambil melepaskan pukulan.
Kedua kakinya tak tinggal diam, menjejak dan menendang ke arah lawan.
Melihat Pendekar Gila menyerang dari atas,
Gerombolan Lowo Ireng mengarahkan goloknya ke atas. Hal itu membuat Pendekar
Gila mendapat keuntungan. Dengan begitu, serangan kini terpusat ke satu titik.
"Pukulan 'Inti Brahma'. Heaaa...!"
Wusss...! Api keluar dari tangan Pendekar Gila, melesat ke arah Gerombolan Lowo Ireng.
Mereka terkejut dan berusaha mengelakkan serangan ganas yang
dilancarkan Sena. Namun api yang bergulung-gulung itu lebih cepat melalap tubuh
mereka. Sehingga...
Blup! "Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Orang-orang yang terkena api seketika menjerit.
Tubuh mereka berguling-guling, berusaha memadam-kan api. Tapi api yang tercipta
dari pukulan 'Inti
Brahma' tampaknya sangat sulit dipadamkan.
Terlebih di lembah itu tak ada air. Tubuh mereka hangus terbakar, mati menjadi
arang hitam. Pemimpin Gerombolan Lowo Ireng tersentak
menyaksikan beberapa anak buahnya hangus
terbakar. Ciut juga nyalinya menyaksikan kejadian itu.
Tanpa menunggu Pendekar Gila menyerangnya,
pemimpin gerombolan Lowo Ireng itu segera melesat pergi, diikuti anak buahnya
yang masih hidup.
"Hei, tunggu!" seru Sena seraya mengejar. Tapi mereka bagai menghilang seketika.
Sena tertawa terpingkal-pingkal. Tapi segera tawa-nya dihentikan, manakala
teringat akan pertarungan lelaki tua berpakaian coklat melawan gadis yang
berpakaian mirip Mei Lie. Ketika Sena menengok ke arah pertarungan tadi
berlangsung, dia hanya melihat lelaki tua itu tergeletak sekarat. Sedangkan
gadis yang menyerupai Mei Lie telah tiada.
Sena segera berlari mendekati tubuh lelaki yang berlumuran darah dengan sayatan
pedang menganga di dadanya.
"Ukh!" lelaki tua berpakaian coklat itu mengeluh.
"Oh, siapa kau, Anak Muda?"
"Aku Sena, Ki. Dan siapa kau?" tanya Sena.
"Kau..., kaukah Pendekar Gila itu?" tanyanya putus-putus.
"Benar, Ki," sahut Sena.
"Aku Galiwang. Di..., dia memang hebat...," keluh Ki Galiwang.
"Dia siapa, Ki?"
"Dia..., dia Bidadari Pencabut Nyawa. Oh...."
Kepala Ki Galiwang terkulai, pertanda nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
"Mei Lie...," desis Sena lirih. "Mungkinkah Mei Lie?"
Sena masih bertanya-tanya pada diri sendiri. Dia belum yakin kalau gadis
bercaping daun pandan itu Mei Lie. Dengan lesu, Sena meninggalkan tempat itu.
Pikirannya semakin kusut memikirkan semuanya.
"Benarkah dia Mei Lie" Lalu, siapa orang-orang bertopeng hitam tadi?" gumam
Sena. "Aku harus mengetahui siapa orang-orang bertopeng hitam itu,"
Dengan hati yang gundah, Sena melesat me-
ninggalkan tempat itu untuk menyelidiki siapa orang-orang bertopeng hitam yang
menurutnya pasti berhubungan dengan semua kejadian itu.
*** 7 Sore itu hujan lebat mengguyur Desa Kemurang.
Tampak lelaki tua berpakaian compang-camping dengan tongkat kayu hitam melangkah
di jalan setapak yang digenangi air hujan. Lelaki tua yang menggenggam tempurung
itu ternyata Pengemis Tempurung Sakti.
Saat itu Pengemis Tempurung Sakti tengah
berjalan di selatan Desa Kamurang untuk menuju Gunung Bromo di sebelah timur.
Tapi bukan ke gunung itu tujuannya, melainkan ke Hutan Warang Belang yang
menjadi markas Gerombolan Lowo Ireng.
Jarak yang harus ditempuhnya masih agak jauh, kira-kira sepuluh mil lagi.
Pengemis Tempurung Sakti bagai tak menghiraukan hujan deras yang mengguyur
tubuhnya. Tidak dipedulikannya air hujan yang tercurah dari langit. Dia hanya
peduli pada keselamatannya, setelah
kemunculan Bidadari Pencabut Nyawa. Sengaja dia datang dari jauh untuk mencari
perlindungan pada Gerombolan Lowo Ireng, yang dianggap cukup
mampu melindungi dirinya.
Eng Djiauw Ong 30 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Si Pemanah Gadis 11
^