Pencarian

Pemburu Dosa Leluhur 2

Pendekar Cambuk Naga 15 Pemburu Dosa Leluhur Bagian 2


Kartika yang telanjang bulat saat ditarik ke atas dan meraba-raba mencari
pakaiannya. "Kartika, kau tidak main-main?"
Kartika hanya menangis dengan panik, ia berseru
menjerit-jerit, "Aku buta...! Oh, aku buta..."! Klowor aku bagaimana ini" Mataku
tak bisa melihat apa-apa la-giii...!"
Maka, tangisnya pun menjadi terisak-isak sementara
Klowor memberikan pakaian Kartika dengan tidak ber-
pikir soal kemulusan tubuh yang telanjang itu. Kalau
saja tidak dalam keadaan panik, mungkin Klowor akan
tidak berkedip memandang tubuh Kartika yang telan-
jang dan menggiurkan itu. Namun, karena dalam kea-
daan tegang, mengharukan, maka tak ada pikiran Klo-
wor ke arah negatip. Ia hanya kebingungan mengetahui
keadaan Kartika yang menjadi buta akibat mandi di air telaga itu.
"Astaga..."! Kau benar-benar buta, Kartika...!" kata Klowor setelah mencobanya
berulangkali menggerak-gerakkan tangannya di depan mata Kartika, dan Kartika
diam saja kecuali menangis dan menangis lagi. Klowor
pun kemudian memeluk Kartika yang belum sempat
mengenakan pakaian, sekalipun pakaian sudah berada
di tangan Kartika.
"Bagaimana dengan nasibku ini, Klowor..."! Mengapa aku jadi buta"! Ooh... telaga
keparat! Telaga setan!"
"Tenang, Tika. Tenang. Tabahkan hatimu. Ini bukan kecelakaan untuk selamanya.
Kita masih bisa berusaha
untuk membuatmu melihat kembali." Klowor membujuk Kartika yang menangis terisak-
isak dalam pelukannya.
"Kenakan dulu pakaianmu. Kenakan dulu, baru kita ca-ri jalan keluarnya."
Telaga yang menyegarkan, telaga yang menggiurkan
karena kebeningan airnya itu, ternyata telah merubah
nasib hidup perempuan cantik seperti Kartika. Mata
yang semula mampu memandang tajam dan awas sekali
itu, kini menjadi buta, sekalipun mata itu masih utuh.
Tanpa ada cacadnya sedikit pun. Ini sungguh menghe-
rankan dan sekaligus memukul jiwa Kartika. Klowor
sendiri yang tidak ikut menderita, bisa merasakan beta-pa sedihnya jika ia yang
mengalami hal itu. Sebab itu, Klowor tahu, apa yang dibutuhkan Klowor untuk saat
ini; ialah penghiburan, dan ketenangan. Klowor harus
bisa membuat Kartika tenang, untuk kemudian bisa
berpikir mencari jalan keluar bagi penyembuhan mata
itu. "Aku sudah kehilangan segala-galanya, Klowor..." bisik Kartika dalam
tangisnya. "Tidak, Tika. Kau masih punya banyak kesempatan, punya banyak teman yang bisa
menolongmu, dan...."
"Oh, aku tidak percaya kalau ada teman yang bisa menolongku menyembuhkan
kebutaan ini. Aku bagai
telah terkena kutukan yang amat keji! Telaga keparat
itu telah menjebakku dan aku sendiri... oh, Klowor, aku lebih baik mati daripada
harus menanggung siksaan
seperti ini...."
"Mati itu bukan jalan satu-satunya, Tika. Masih banyak jalan yang bisa kita
tempuh, selain mati."
Tangis Kartika masih meratap-ratap, dan Klowor
memakluminya. Klowor hanya bisa memeluk Kartika
sambil mengusap-usap rambutnya untuk sekedar
memberi penghiburan hati Kartika. Sampai lama mere-
ka sama-sama bungkam, kecuali suara tangis Kartika
yang kian lama kian mereda.
Mata Raden Klowor memandang air telaga yang ben-
ing dan menyegarkan. Terbayang ada maut di balik ke-
beningan telaga itu. Klowor jadi merinding seketika,
membayangkan betapa mengerikan jika seseorang se-
makin lama terendam di dalam telaga tersebut.
"Mari kita tinggalkan goa keparat ini, Tika."
"Tidak! Aku akan tinggal di dalam goa ini, sampai aku memperoleh kesembuhan
mataku ini," Kartika putus asa. "Kalau perlu, biarkan aku mati di sini.
Biarkan!" "Kartika, mari kita berpikir secara dewasa dan kesa-tria. Masalahmu ini, adalah
masalah yang harus kita
hadapi, yang tidak boleh kita tinggal lari begitu saja. Ini adalah tantangan
bagi jiwamu. Aku yakin, kau pasti bi-sa pulih seperti sedia kala! Aku yakin,
Tika! Hanya saja, kau harus tabah dan tangguh dalam menopang penderitaan seperti
ini. Jangan mau kalah oleh nasib, Kartika.
Tetapi, berjuanglah menggeluti nasibmu sendiri. Karena manusia tidak bisa lepas
dari segala penderitaan, kalau dia sendiri tidak gigih memperjuangkan kebaikan
hi-dupnya sendiri! Jangan bergantung pada nasib semata,
tetapi bergantunglah pada perjuangan diri kita masing-masing."
Banyak hal yang dikatakan Klowor, banyak hal yang
diungkapkan Klowor untuk memulihkan jiwa yang gun-
cang. Andai Klowor tidak pandai-pandai mengukuhkan
jiwa Kartika, mungkin perempuan itu sudah nekad un-
tuk bunuh diri atau mengerjakan kebodohan lainnya.
Setelah melalui bujukan, akhirnya Kartika berhenti
menangis, dan mulai berpikir dengan sehat. Klowor lega dan senang jika Kartika
sudah mulai menggunakan
otak warasnya. "Aku punya perasaan ngeri kalau keluar dari goa ini."
kata Kartika masih sesekali tersengguk.
"Mengapa harus ngeri?"
"Banyak orang yang ingin membunuhku."
Klowor menghela napas, sedikit berat, merasa iba
mendengar kata-kata itu. Kartika melanjutkan kata,
"Kalau aku tidak dalam keadaan buta begini, mung-
kin aku masih berani menghadapi siapa pun yang ingin
membunuhku. Tetapi, dalam keadaan aku tidak bisa
melihat apa-apa begini, apa yang bisa kulakukan untuk mempertahankan serangan
dari mereka?"
Setelah bungkam sesaat, Klowor pun bertanya:
"Mengapa banyak yang ingin membunuhmu" Apa-
kah kau punya banyak kesalahan kepada mereka?"
Kartika menggeleng. Klowor berkerut dahi, tak jelas
maksudnya. Tetapi, beberapa saat kemudian Kartika
menjelaskan: "Aku tidak merasa berdosa kepada mereka, tapi mereka merasa berhutang nyawa
kepadaku, sehingga me-
reka merasa perlu membinasakan aku."
"Mengapa begitu, Tika" Dan, apakah Ki Punggo itu termasuk orang yang ingin
membunuhmu atas dasar
yang sama?"
"Ya. Ki Punggo, orang-orang yang menyerangku di
tebing karang itu, serta beberapa dari mereka yang berkuda itu, semuanya ingin
membunuhku."
"Kenapa bisa terjadi begitu?"
"Mereka menyimpan dendam. Orang-orang dari We-
tan, khususnya para tetua dari Wetan, semua ingin
membunuhku. Sejak usia sebelas tahun aku selalu di-
kejar-kejar oleh mereka, sampai usiaku 25 tahun sebe-
sar ini, mereka masih mengejarku untuk membinasa-
kannya. Dan... ini semua sebenarnya dikarenakan den-
dam." "Dendam"!"
"Ya. Dendam mereka kepada ayahku." Kartika berusaha menenangkan jiwa dengan
menghirup nafas pan-
jang-panjang. Klowor diam, masih dicekam haru meli-
hat mata indah Kartika berkedip-kedip dalam kebutaan.
Ah, kasihan sekali perempuan cantik ini.
"Apakah ayahmu banyak berbuat dosa terhadap me-
reka?" Klowor mulai penasaran dan ingin mengetahui
segalanya. Kartika hanya menjawab dengan suara lirih:
"Memang. Ayahku dulu, adalah orang jahat. Penga-nut aliran hitam. Tetapi, ia
sendiri juga membunuh
orang-orang dari partai hitam. Mungkin kau pernah
mendengar nama ayahku, karena namanya dan kega-
nasannya itu sudah menyebar mungkin sampai ke selu-
ruh pelosok dunia."
"Siapa ayahmu itu, Kartika"!"
"Mahesa Abang, atau yang bergelar Iblis Telapak Darah."
"Ooo..."!" Klowor manggut-manggut.
"Kau pernah mendengar nama itu dan kekejaman-
nya, bukan?"
"Belum. Mungkin nama itu termasuk nama tokoh
lama di rimba persilatan."
"Yah, memang ayahku itu tokoh lama di rimba persilatan. Tokoh jahat yang tak
pernah pandang bulu kalau mau membunuh lawannya."
"Lalu, apa hubungannya orang-orang itu hendak
membunuhmu" Apakah karena kau mengikuti jejak
ayahmu?" Dengan hati perih dan mata buta yang berkedip-
kedip itu, Kartika menuturkan kisahnya secara singkat.
"Banyak orang yang menyangka begitu. Memang,
aku belajar segala ilmu yang dimiliki oleh ayahku. Tetapi, aku sendiri tidak
setuju dengan cara hidup ayahku.
Aku mengakui, bahwa ayahku itu sangat kejam. Il-
munya hebat, sehingga tak ada yang mampu menan-
dinginya. Dengan kehebatan ilmunya itu, ayahku men-
jadi orang takabur dan sombong. Cuma aku dalam ke-
luarga yang tidak setuju dengan cara hidup ayah. Ia
merampok, merampas hak orang lain, membunuh den-
gan seenaknya dan hal-hal lain yang ia lakukan meru-
gikan orang lain. Tetapi, aku tidak berani menyatakan pertentanganku dengannya.
Diam-diam aku hanya me-
nerima segala ilmunya tanpa sifat-sifatnya. Lalu, pada suatu hari, ayahku
terperosok dan jatuh ke jurang yang curam, lalu jasadnya hilang. Ia mati di
Tebing Neraka. Saat itu adalah kesempatan bagi mereka untuk memba-
las dendam. Empat saudaraku dibantai oleh mereka,
dan ibuku sendiri disiksa, lalu dibunuh secara beramai-ramai. Dan, aku yang
waktu itu masih ingusan sudah
dikejar-kejar oleh mereka...."
"Gila!"
"Mereka menganggap, bahwa anak orang jahat, pasti akan menjadi jahat pula
seperti leluhurnya. Maka, mereka berusaha membinasakan semua keluarga ayahku.
Pada waktu itu, ada seorang guru yang menyelamatkan
aku dan aku dibawanya ke suatu tempat yang sunyi, la-
lu dijadikan aku muridnya. Tak ada orang yang berani
mendekatiku, karena guruku itu orang yang disegani
mereka, baik dari golongan hitam maupun dari golon-
gan putih."
"Siapa gurumu itu?"
"Resi Garba... Kau pernah mendengar nama itu?"
"Belum."
"Dia punya satu murid yang cukup sakti pula, na-
manya: Ludiro."
"Hah..."! Ludiro" Paman Ludiro"! Oh, aku kenal dengan beliau. Kenal sekali!"
"Sungguh?"
"Ya. Dulu, dialah yang diberi hak menerima pusaka Cambuk Naga, tetapi kini dia
memilih menjadi petani
biasa, dan Cambuk Naga ada di tanganku. Cuma, aku
tidak tahu kalau Paman Ludiro punya guru yang ber-
nama Resi Garba."
"Kapan-kapan, kalau umurku panjang, bawalah aku
kepadanya, seumur-umur aku belum pernah bertemu
dengannya. Karena ketika guruku mengangkat aku se-
bagai muridnya, ia baru saja melepas kepergian murid
tertuanya: yaitu Ludiro."
"Ooo... begitu...."
"Tetapi, menurut guruku, Eyang Resi Garba, tidak semua anak akan mewarisi sifat
orang tuanya. Ada
anak orang baik-baik, tapi ia menjadi anak yang berpe-rangai buruk. Ada ayah
seorang pendiam, mempunyai
anak yang cerewet. Jadi, tidak semua orang jahat akan mempunyai anak yang jahat
pula. Dan, hal semacam
itu tidak bisa dimengerti oleh para pengejarku. Ketika aku lepas dari
perguruanku, aku langsung disambut
oleh serangan mereka. Jelas, mereka berani menye-
rangku, sebab Resi Garba guruku sudah wafat. Tak ada
lagi yang ditakuti oleh mereka, sehingga mereka merasa bebas membunuhku. Itulah
sebabnya aku ingin lari dan
bergabung dengan Nyai Katri untuk minta perlindun-
gan." Klowor menggumam panjang sambil manggut-
manggut. Kartika menampakkan kesedihannya kembali,
namun tidak sampai menangis tersedu-sedu seperti ta-
di. Ia berkata lirih:
"Sekarang, keadaanku semakin lemah. Mereka ma-
sih mengejarku, sedangkan aku kini telah menjadi buta.
Aku tidak akan tahu kalau ada orang yang kusangka
baik, ternyata ia sedang mempersiapkan pedang untuk
membunuhku. Inilah sebabnya aku menjadi takut ke-
luar dari dalam goa ini."
"Kau tidak perlu takut, Kartika."
"Bagaimana aku tidak takut" Mereka yang bernafsu membunuhku itu bukan orang-
orang tanpa ilmu, melainkan orang-orang yang punya ilmu tinggi. Kau tahu
sendiri kehebatan Ki Punggo atau pelempar senjata ra-
hasia itu, bukan?"
Sekali lagi Klowor menggumam, tapi pendek saja.
Sebab, ia segera bertanya kepada Kartika:
"Aku heran melihat pertarungan kemarin; mengapa
Ki Punggo tidak mau menggunakan pukulan jarak
jauhnya" Padahal kalau dia mau menggunakan puku-
lan jarak jauhnya, kau pasti bisa lebih celaka dan...."
"Dia tidak akan bisa," sahut Kartika. Ia mulai menga-lihkan pikiran, dan ini
adalah tujuan Klowor, mengapa ia tiba-tiba bertanya tentang Ki Punggo.
"Mengapa ia tidak bisa melakukannya, Tika?"
"Karena pukulan Sabrang Gendeng itu hanya bisa dilancarkan dalam jarak beberapa
ratus tombak. Kalau
tidak salah harus dilancarkan dari jarak dua ratus tombak jauhnya. Tetapi, dalam
jarak dekat ilmu itu tidak bisa dipakai. Itulah kelemahan ilmu Sabrang Gendeng.
Semakin jauh, semakin ampuh, semakin dekat semakin
tidak bisa dipakai."
"Ooo... jadi, kalau...."
Tiba-tiba goa itu bergemuruh. Tanahnya bergerak-
gerak. Klowor dan Kartika sama tegangnya. Ada bebera-
pa batuan cadas berukuran kecil yang berjatuhan dari
langit-langit goa itu. Wah, gawat...! Kalau goa itu runtuh, maka terkuburlah
Kartika dengan Klowor di da-
lamnya. "Ada gempa...!" Klowor terlihat begitu tegang. Ia berdiri dengan mata
membelalak. Air telaga itu bergolak.


Pendekar Cambuk Naga 15 Pemburu Dosa Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bunyi gemuruh makin jelas.
"Kartika, lekas kita keluar dari sini...! Lekas...!"
"Tidak. Biarkan aku di sini. Biarkan aku mati bersama telaga ini, kalau memang
langit-langit goa akan runtuh."
"Kartika, jangan menjadi bodoh lagi. Bertahanlah menjadi orang pandai, supaya
kamu tidak gampang celaka!"
Klowor menggeret tangan Kartika. Kartika berjalan
dengan sesekali terkantuk batu-batu kecil.
"Cepat, Kartika...! Kurasa goa ini sebentar lagi akan tertutup dan hilang dari
pandangan mata kita!"
"Aku ingin di sini saja, Klowor!"
"Jangan begitu, Kartika!"
"Aku tidak mau mati di tangan musuh-musuhku!"
"Kau tidak akan mati!" seru Klowor dengan jengkel.
"Bagaimana mungkin aku bisa melawan mereka
dengan mata gelap begini, Klowor?"
"Aku ada di sampingmu, kan" Apakah kau sangsi
terhadap kepandaianku melumpuhkan lawan?"
"Tapi... tapi aku memang belum pernah melihat kau bertarung dengan seseorang."
"Apakah itu berarti aku tidak bisa melindungimu?"
Gemuruh semakin jelas. Guncangan pada tanah dan
dinding-dinding goa semakin nyata. Banyak reruntuhan
dari bagian atap goa, dan hal itu menambah Klowor se-
makin tegang. Ia segera menyeret Kartika untuk mema-
suki lorong licin itu. Ia sangat hati-hati membawa Kartika ke luar.
"Jangan berjalan ke arah lain. Rasakan saja tarikan tanganku ini. Ikutilah
dengan menjaga keseimbangan
tubuh. Ayo, lekas Kartika! Lekas keluar dan jangan mau mati diurug bebatuan
cadas ini...!"
"Klowor, kau benar-benar mau berjanji untuk melindungi aku selama aku menjadi
buta begini"!"
"Aku berjanji!" Sambil Klowor bergerak pelan melalui lorong licin itu. "Aku
berjanji akan menjagamu, semasa aku sendiri masih hidup!"
"Apakah kau tidak ingin menyerahkan kepalaku ke-
pada Prabu Umbarpati...?"
"Siapa Prabu Umbarpati itu?"
"Seorang raja di daerah Wetan yang menyediakan
hadiah, bagi siapa saja yang bisa menyerahkan kepala-
ku di depan mejanya. Itu sebabnya mereka yang ingin
membunuhku semakin banyak jumlahnya!"
"Ayo, lekas... lekas...! Kau tak perlu berkeyakinan begitu, Kartika. Kau harus
percaya, bahwa tak ada seo-
rang yang kubiarkan menyentuh kulit tubuhmu, apalagi
ia mau membunuhmu, oh... mungkin ia harus melom-
pati mayatku dulu!"
Memang kalimat-kalimat Klowor sempat melegakan
hati Kartika, dan membuat hati itu pula bagai melayang tinggi. Klowor siap
melindunginya. Klowor siap mati untuk Kartika. Semua itu jauh dari dugaan
Kartika sendi-ri. Ia mulanya mengira Raden Klowor adalah sebagian
dari orang-orang yang punya selera untuk membunuh-
nya, ternyata dugaannya salah.
Sorot matahari di luar goa tidak membuat Kartika si-
lau. Ia berjalan melangkah sedikit cepat dengan ban-
tuan Klowor. Ia tak bisa jauh-jauh dari Klowor, karena ia belum terbiasa
berjalan dalam kegelapan mata seperti itu. "Klowor..." bisik Kartika. "Aku
mendengar suara seseorang sedang bertarung di arah kanan kita."
"Ya, aku juga mendengar. Tapi, agaknya mereka jauh dari kita, kok. Tenang saja,
Tika. Aku selalu ada di
sampingmu. Tenang saja...!"
"Apa kau bisa melihatnya; siapa yang bertarung itu?"
"Mereka cukup jauh, Tika. Dan, kurasa kita tidak perlu mengetahui siapa mereka.
Nanti malah kita terlibat urusan mereka."
"Blegaarr...!" Terdengar suara ledakan membahana.
Lalu, tanah menjadi guncang beberapa saat. Klowor
sendiri nyaris terpelanting jatuh karena guncangan bu-mi yang dipijaknya.
Kartika buru-buru berpegangan pa-
da pundak Klowor dengan rasa cemas yang menegang-
kan. "Rupanya akibat ilmu kedua orang yang bertarung
itulah, yang membuat kita tadi ketakutan di dalam goa, Klowor."
"Ya. Benar. Yang membuat goa seperti mau runtuh
itu adalah ilmu-ilmu yang dipakai dalam pertarungan
mereka." "Maka, periksalah dulu, Klowor. Periksalah dulu, kalau ternyata mereka tokoh
sakti, mungkin kita bisa
memohon bantuan untuk mengembalikan penglihatan-
ku, Klowor."
Setelah mempertimbangkan sesaat, Klowor pun ber-
kata: "Baiklah! Mari kita mendekati mereka. Tapi, ingat...!
Kau tidak boleh terlalu dekat. Kau harus berada di tempat yang terlindung,
sedangkan aku akan mengintipnya
dari atas pohon. Kalau memang mereka yang menang
adalah tokoh sakti, maka aku akan memintakan pe-
nyembuhan matamu kepadanya."
Kartika menyetujui perjanjian itu. Karenanya, ketika
ia ditinggal naik ke atas pohon oleh Klowor, setelah mereka berjarak dekat
dengan pertarungan itu, maka Kar-
tika hanya diam saja ketika tubuhnya yang jongkok itu ditutup dengan berbagai
daun oleh Klowor.
"Astaga...!" gumam Klowor di atas pohon. Matanya melihat pertarungan yang cukup
seru, yaitu seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba merah dengan ikat
kepala yang botak berwarna biru tua, sedang bertand-
ing dengan tokoh botak pula, tanpa ikat kepala dan masih ada sisa sedikit rambut
di bagian tepian kepala.
Yang membuat Klowor kaget adalah usia mereka.
Mereka itu sudah sama-sama tuanya. Sama-sama ber-
jenggot putih, dan sama-sama mengenakan pakaian
semacam jubah. Yang satu berwarna merah, yang satu
berwarna hijau tua. Keduanya bertarung dengan sama
kuat, sama-sama punya ilmu yang dahsyat untuk me-
nyerang maupun menangkis.
"Klowor...!" seru Kartika dengan bingung menentu-kan pohon yang digunakan
memanjat oleh Klowor. Ru-
panya Kartika tidak betah ditutup dedaunan. Gatal se-
mua tubuhnya. Melihat keadaan Kartika yang berjalan
dengan meraba-raba, Klowor segera turun.
"Tika..."! Ada apa kau" Kenapa tidak diam dalam
persembunyian" Kalau ada musuhmu yang kebetulan
lewat sini, bisa-bisa kau celaka tanpa setahu aku, Kartika."
"Aku cuma ingin tahu, siapa mereka itu?"
"Yang bertarung itu, seorang lelaki botak berambut tipis pada bagian tepiannya,
berpakaian jubah hijau
dan bersenjata sebuah tongkat. Sedangkan lawannya,
berpakaian merah dengan ikat kepala warna biru tua. Ia bersenjatakan sebuah
kalung bermanik-manik besar."
"Orang itu berkepala botak dan jenggot putihnya
panjang?" "Ya. Ya, benar! Kau mengenalnya?"
"Ya, ampuuun...! Mengapa aku harus bertemu den-
gan Ketua Perguruan Kumbang Laga"!"
"Apa itu bahaya?"
"Jelas. Karena dialah kaki tangan Prabu Umbarpati!
Ia yang mempunyai tugas utama untuk menangkap
atau membunuhku!"
"Wah, lantas bagaimana kalau sudah begini"!"
* * * 5 Bumi ini bagi Kartika, adalah ladang pembantaian.
Di mana dia berada, di situ selalu terjadi pembantaian.
Dirinya sendiri adalah salah satu sasaran dari pembantaian yang tak kenal lelah.
Ia diburu dan dijadikan sasaran panah dendam bagi mereka yang membenci Iblis
Telapak Darah, ayah Kartika. Padahal, Kartika sendiri tidak pernah merasa bangga
mempunyai ayah seorang
pembantai yang keji. Tetapi, dosa orang tuanya telah
memercik ke dalam kehidupan Kartika, sehingga ia di-
jadikan sasaran pelimpahan dendam leluhur.
Beruntung sekali, Kartika bisa bertemu dengan Ra-
den Klowor yang masih hijau, namun punya kekuatan
yang sudah cukup matang. Klowor bertindak sebagai
pelindung, lantaran dia tahu, bahwa Kartika bukan
manusia berdosa seperti almarhum ayahnya. Klowor in-
gin menegakkan keadilan dan mencelikkan mata mere-
ka yang tertutup nafsu membunuh.
Sehingga, dengan susah payah, Klowor tetap mem-
bawa lari Kartika, mencari tempat berlindung sebelum
ia berhasil membawa Kartika kepada gurunya: Lanang-
seta. "Apakah kau yakin kalau Lanangseta gurumu itu bi-sa menyembuhkan kebutaanku"!"
tanya Kartika seraya dituntun untuk menjauhi pertarungan Ketua Perguruan
Kumbang Laga. "Pasti bisa!" jawab Klowor meyakinkan. "Guru Lanangseta banyak kesaktian, sebab
dengar-dengar, dia
itu sudah diberi wewenang sama dengan seorang dewa,
karenanya ia bergelar Malaikat Pedang Sakti. Ini menurut cerita bibi guru yang
kudengar pada suatu mimpi."
"Bagaimana kalau ternyata gurumu itu tidak bisa
menyembuhkan kebutaanku, Klowor?"
"Sesuatu yang diusahakan terus menerus, tidak
mungkin akan selalu gagal. Pasti akan tiba saatnya untuk berhasil. Percayalah,
Tika... aku tetap akan berusaha mencari jalan bagi kesembuhanmu!"
Klowor terus melangkah, menuntun Kartika dengan
sabar dan hati-hati. Perasaan haru masih terselip di ha-ti Klowor melihat
Kartika berjalan dengan susah payah, meraba-raba dan sesekali tersandung akar
maupun ba-tu. "Tika, awaaas...!" Klowor segera menarik tangan Kar-
tika ke bawah, hingga tubuh mereka merendah, karena
pada saat itu, sebuah tombak melesat dari arah depan
Klowor dan nyaris menghunjam ke dada Raden Klowor.
"Klowor..."! Ada apa"!" Kartika gugup.
"Seseorang telah menyerang kita, Tika...!"
Pada saat itu pula, sebuah tawa terdengar terbahak-
bahak. Ada juga tawa yang terkekeh di samping kiri mereka, dan ada pula gumam
memanjang di samping ka-
nan mereka. O, tiga orang brewok telah mengepung
Klowor dan Kartika dari tiga arah: depan, kiri dan kanan. Semuanya berwajah
bengis, brewokan dan berba-
dan tegap. "Tiga orang brewok menghadang kita," bisik Klowor.
"Gawat. Mereka yang bergelar Tiga Brewok Pencabut Uban. Mereka cukup berbahaya,
Klowor." "Apa kelebihan mereka, Tika?" bisik Klowor sambil memandang ketiga calon
lawannya dengan curiga.
"Jurusnya selalu dilancarkan secara berkaitan, be-runtun. Hati-hati, Klowor.
Jangan sampai ada satu
uban atau satu rambut pun yang tercabut oleh mereka.
Rambut kita sehelai adalah nasib nyawa kita. Kalau
rambut kita diputuskan maka saat itulah nyawa kita
melayang. Mereka adalah tokoh aliran hitam yang me-
nyimpan dendam kesumat pada ayahku."
"Di mana kelemahannya?"
"Cari tahu yang bernama Somali, itulah pusat kekuatan mereka. Kalau Somali
dilumpuhkan, maka jiwa me-
reka berdua jatuh. Kalau kau bisa membunuh Somali,
maka yang dua akan bertekuk lutut kepadamu. Itu me-
nurut cerita ayah, dulu."
"Ayam kampung...!" seru seseorang yang ada di kanan. "Menyingkirlah kau, Ayam
Kampung. Jangan
menghalangi kami. Kami punya urusan dengan perem-
puan kudis itu!"
"Apa maksud kalian menghadang kami"!" Klowor
bersikap tegar dan tenang.
"Kami tidak menghadang kamu," kata brewok yang di depan. "Kami hanya ingin
membunuh biang penyakit yang ada di belakangmu itu!"
"Mengapa Kartika harus dibunuh"!"
"Ha, ha, ha... Maruto, jelaskan kepada Ayam Kam-
pung itu!" kata seorang yang ada di depan kepada orang yang berada di samping
kanan. Maka, Klowor pun men-catat dalam hati, o... yang ada di sebelah kanan
berna-ma Maruto.
Maruto berkata dengan suaranya yang berat, sedikit
serak: "Ketahuilah, Ayam Kampung, perempuan itu adalah
keturunan iblis pelalap dosa! Bapaknya setan! Keluar-
ganya juga setan! Kalau kau melindungi dia, berarti kau termasuk keluarga setan!
Tahu"!"
Klowor terus memancing pertanyaan sebelum ia
menghadapi ketiga brewok itu. Hanya satu nama lagi
yang ia butuhkan untuk mengetahui, yang mana yang
bernama Somali.
"Kalian picik! Salah pengertian!" kata Klowor. "Tidak semua anak akan menjadi
pewaris sifat orang tuanya!
Dan, tidak semua anak berhak menanggung dosa lelu-
hurnya. Kalian ini kelihatannya orang-orang berilmu
tinggi, tapi mengapa berpikiran dangkal"!"
"Maruto, serang dia!"
"Tunggu!" Klowor bersiap siaga dengan tangan bermaksud menahan gerakan mereka.
Ia mencoba mengu-
lur waktu: "Jelaskan dulu, apa sebab kalian mendendam kepa-
da ayah Kartika" Barangkali kalau menurut kalian be-
nar, maka aku pun akan melepaskan perempuan ini
untuk menebus dosa!"
Orang yang ada di samping kanan berseru kepada
yang da di depan Klowor.
"Dubang, ceritakan kematian teman-teman kita ka-
rena pembantaian yang dilakukan oleh Iblis Telapak
Darah!" Dalam hati Klowor berkata, "O, yang ada di depanku itu bernama Dubang. Berarti
yang punya nama Somali
itu orang yang ada di sebelah kananku. Bagus!"
"Ayam Kampung, coba kau pikir, bagaimana kami tidak sakit hati dan menyimpan
dendam kepada ayah pe-
rempuan itu, jika pada suatu hari...."
"Cukup!" Klowor memutus pembicaraan Dubang, sebab ia sudah tahu, yang mana yang
bernama Somali.
Klowor sempat berbisik kepada Kartika, "Usahakan jangan sampai mereka tahu kalau
kau buta. Cabut pedangmu, dan cobalah menggunakan perasaan dalam
bergerak. Awas, hati-hati... jangan sampai pedangmu
membabat aku."
"Ya, aku mengerti..." balas Kartika dalam berbisik.


Pendekar Cambuk Naga 15 Pemburu Dosa Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu, Klowor berkata kepada mereka, "Aku sudah be-rembuk dengan Kartika, bahwa
kami siap menghadapi
tuntutan dendam kalian. Tapi, jangan salahkan kami
kalau kalian bertiga mati dengan cara kurang nyaman.
Mengerti"!"
Dubang tertawa keras. "Ayam Kampung mau unjuk
kekuatan" Hah, bunuh sekalian dia!"
"Heaaaatt...!"
Maruto menyerang dengan lompatan kaki terarah
pada Klowor, Somali bersalto di udara menyerang Karti-ka. Pada saat itu, Klowor
pun melompat dan menyong-
song Somali, supaya ia gagal menyerang Kartika. Puku-
lan Somali diadu dengan kepalan tangan Klowor di uda-
ra, dan kaki Klowor sempat bertabrakan dengan kaki
Somali. Keduanya sama-sama terpental ke belakang.
Namun, Klowor lebih naas. Ia jatuh disambut dengan
tendangan kaki Maruto, sehingga punggungnya terasa
mau patah rasanya.
"Hiaaat...!" Dubang menyerang Kartika dengan senjata pedang gandanya, satu di
tangan kiri, satu di tangan kanan. Klowor melihat hal itu menjadi cemas. Kartika
menebaskan pedangnya ke segala arah, membabi buta.
Salah satu gerakan pedangnya ada yang mengenai pe-
dang Dubang, sehingga Kartika tahu sasaran. Maka ka-
kinya segera menghentak ke depan, agak ke bawah.
"Aaauww...!" Dubang menjerit karena kemaluannya terkena tendangan Kartika.
Somali segera mencabut
kampaknya. Pada saat itu, Klowor dihantam oleh Maru-
to hingga dadanya terasa mau jebol. Klowor hanya ber-
teriak: "Kartika, awas samping kananmu...!"
Dengan menggunakan kedua tangan, Kartika meme-
gangi pedangnya dengan meliuk-liukkan tubuh sambil
menebaskan pedangnya ke arah kanan. Ia tak tahu ka-
lau Somali melompat ke atas kepalanya dan kakinya
menendang kepala Kartika hingga Kartika jatuh tergul-
ing-guling. Suara pekikan Kartika membuat Klowor se-
makin berang. Maruto yang hendak menerjang Kartika
dengan senjata mirip tombak sepanjang lengan itu, se-
gera diterjang oleh Klowor.
Tendangan ke arah punggung Maruto membuat
orang itu terpental dan menabrak Somali, hingga kedu-
anya berguling-guling. Sementara itu, Dubang sempat
menendang wajah Kartika dengan keras, kemudian pe-
dang kirinya menyabet ke bawah dan mengenai paha
Kartika. "Aaahhh...! Aku kena, Klowor...!"
"Bangsat brewok, kubunuh kau...!" teriak Klowor yang siap menusukkan pedang
kanannya ke bawah, ke
arah perut Kartika. Tetapi, gerakan itu belum sempat
terjadi karena dengan cepat kaki Klowor menendang be-
runtun dalam satu lompatan salto, dan tepat mengenai
pelipis Dubang. Orang itu terpental ke samping, kemu-
dian sebelum pedangnya sempat berkelebat, Klowor te-
lah lebih dulu menghentakkan pukulan ke arah leher
Dubang. Akibatnya Dubang memekik tertahan dengan
tubuh berguling menjauh.
Kartika bingung, karena pedangnya lepas dari tan-
gan. Ia meraba-raba mencari pedangnya. Pada saat itu, Maruto segera berteriak:
"Hei, ternyata perempuan jalang itu buta...! Dia bu-ta!" "Ha, ha, ha...! Dia
buta! Benar!" Somali kegirangan, juga yang lain. Tetapi, Klowor menjadi cemas,
mereka sudah mengetahui kelemahan Kartika, dan itu adalah
bahaya. "Klowor... mana pedangku?" bisik Kartika sambil me-rangkak menggapai-gapai
pedangnya yang ada di ba-
gian kaki. Klowor segera mengambil pedang Kartika dan membantu Kartika berdiri.
"Uuh... pahaku terluka dalam, sakit sekali...!" Kartika jatuh lagi, terduduk.
Saat itu, Dubang segera menyerang bersamaan dengan Somali. Satu menyerang Klo-
wor, satu lagi menyerang Kartika. Somali yang menye-
rang Kartika dengan senjata kampaknya yang berba-
haya. "Kibaskan pedangmu ke kiri...!" teriak Klowor sambil ia menangkis dan menghindar
serangan Dubang. Kakinya sempat masuk menjejak dada Dubang dengan
buas, Dubang terlempar lagi, sekalipun betis Klowor
sempat tergores pedang yang ada di tangan kiri Dubang.
Traang...! Untung-untungan pedang Kartika mampu
menangkis kampak Somali. Tetapi, ia tak tahu kalau
tangan kiri Somali segera menghantam wajahnya hingga
mata Kartika pun mengeluarkan darah. Kemudian,
kampak Somali diangkat dan siap membelah kepala
Kartika. Pada saat itu, Klowor melompat, menubruk
Somali hingga keduanya bergulingan.
"Aaahh...!" Klowor memekik, dadanya sempat tergores kampak Somali. Namun, ia
tidak perdulikan, ka-
rena ia melihat Maruto melemparkan senjatanya yang
mirip tombak runcing ke arah Kartika.
"Serangan dari depan, Tika...! Kibaskan pedang,
aah...!" Klowor menjerit kesakitan sebab kaki Somali mengenai wajah dan
mulutnya. Tapi, Kartika sempat
mengibaskan pedang ke arah depan beberapa kali, se-
hingga senjata yang meluncur itu berhasil ditangkisnya.
Hanya saja, ia tak tahu kalau kibasan pedang segera dilancarkan oleh Dubang dari
samping kanannya. Klowor
yang melihat sekelebat hal itu segera melemparkan batu ke arah Dubang.
"Aaaow...!" Dubang menjerit, karena mulutnya tepat dihantam oleh batu sebesar
jempol kakinya. Akibatnya
kibasan pedang ke pundak kanan Kartika tidak begitu
telak mengenai sasaran. Namun, sempat merobek
punggung Kartika yang kanan. Kartika menjerit dan
mengejang ke depan.
"Taar...!"
Klowor mengambil cambuk dan mengibaskannya ke
udara. Letupan cambuk itu sendiri telah membuat hati
ketiga musuhnya menjadi tersentak seketika. Semua
mata memandang Klowor, dan sikap mereka mulai hati-
hati. "Itu Cambuk Naga..."!" teriak Dubang. Klowor memutar-mutar cambuk ke atas kepala
sambil berjalan men-
dekati Kartika yang mengerang kesakitan. Somali dan
Maruto mengambil jarak agar tak terjangkau oleh cam-
buk itu. Dubang segera menggerakkan kedua pedang-
nya bersimpang siur di depan wajahnya, membuat sua-
tu gerakan jurus perisai pedang. Ia siap menangkis serangan cambuk bila sewaktu-
waktu dilecutkan ke
arahnya. "Klowor... aku tidak kuat..." Kartika meratap pelan,
lalu tangannya memegangi kaki Klowor sebagai tempat
untuk bersandar. Ia memeluk kaki itu dengan lemas.
Darah masih meleleh dari sudut mata kirinya. Luka di
punggung dekat pangkal lengan itu pun cukup lebar
dan sakit sekali. Klowor membiarkan Kartika memeluk
kaki kanannya. Menurutnya itu lebih baik, supaya ia tidak terpancing oleh lawan
untuk bergerak menjauhi
Kartika. "Kalau kalian masih berkeras kepala menuntut balas kepada Kartika, maka cambukku
ini yang akan bicara
tanpa ampun lagi. Ku usulkan, kita berdamai saja!" ka-ta Klowor.
"Kami lupa bagaimana caranya berdamai...!" kata Dubang.
"Baik. Kalau begitu aku juga lupa bagaimana cara membiarkan kalian hidup."
Mendadak, Maruto berteriak, "Tiga pusaran angin...!"
Klowor tidak tahu apa artinya, namun ia segera me-
lihat ketiga manusia brewok itu bergerak berjajar di depan Klowor. Masing-masing
siap dengan senjatanya, po-
sisi mereka berdiri menyamping dengan kaki kanan ma-
ju ke depan. Gerakan tangan kanan mereka sama; ke
atas kepala mengacungkan senjata. Kemudian Somali
yang ada di tengah segera berteriak:
"Seraaang...!"
Mereka melompat bersamaan. Bersalto dalam satu
gerakan ke arah Klowor. Tetapi, beberapa saat sebelum mereka mencapai Klowor,
posisi mereka telah terpecah
menjadi tiga arah. Dubang membelok ke arah kanan,
Maruto ke arah kiri, sedangkan Somali lurus ke atas
kepala Klowor. Jurus ini memang sempat membingung-
kan Klowor. Namun, dengan gerakan cepat, Klowor
mengibaskan cambuknya ke udara, berputar satu kali
dengan menimbulkan letupan dan nyala api pada ba-
gian ujung cambuk. Letupan itu seakan mengeluarkan
tenaga dalam yang cukup kuat sehingga membuat tiga
lawannya terpental ke arah masing-masing.
Somali jatuh di belakang Klowor, membentur pohon.
Sementara Dubang dan Maruto terguling-guling di se-
mak berduri. Kesempatan itu digunakan oleh Klowor
untuk menghantam Somali dari tempatnya berdiri. Ia
menghantam dengan lecutan Cambuk Naga yang tepat
dalam satu jangkauan.
"Taar...!" Ujung cambuk yang mengeluarkan nyala api itu mengenai paha Somali,
dan saat itu pula Somali memekik sekeras-kerasnya.
"Aaaaoohhh...!"
Paha itu terpotong dari pangkalnya dengan darah
memancar dari luka potongan. Somali menjerit-jerit kesakitan, karena ia telah
kehilangan satu kaki.
Klowor memperhatikan Dubang dan Maruto, ternya-
ta mereka sangat ketakutan dan menjadi gugup. Klowor
tahu, mereka berdua mulai panik.
"Somaliii...! Somali kau terluka..."!" teriak Maruto.
"Dia terpotong kakinya!" balas Dubang yang kebingungan dan kelihatan sadis
sekali. Benar juga kata Kartika, apabila Somali dilumpuh-
kan kekuatannya, maka Maruto dan Dubang pun akan
turun mentalnya, dan menjadi ciut nyalinya.
"Hantam terus Somali..." bisik Kartika dalam erangan kesakitannya.
Klowor segera mengibaskan cambuknya sekali lagi
dengan gerakan memutar-mutar cambuk lebih dulu di
atas kepala, baru kemudian dilecutkan.
"Taaar...! Deeer...!"
"Somaliiiiii...!" teriak Dubang dan Maruto bersamaan.
Mereka segera menghambur ke tempat Somali dan ke-
bingungan di sana, sebab tubuh Somali telah hancur
menjadi serpihan-serpihan daging berlumur darah. Tu-
buh Somali bagai meledak, lalu hancur akibat terkena
jurus Naga Penjilat Nyawa.
Dubang dan Maruto menangis meraung-raung den-
gan kebingungan ingin memunguti daging-daging serpi-
han tubuh Somali. Klowor memejamkan mata. Sebe-
narnya ia tak tega melakukan hal itu. Tetapi, gerakan tangannya seakan tidak
pernah ia sadari. Seakan bergerak sendiri dan menggunakan jurus maut yang ia
sendi- ri belum mengetahuinya. Bahkan, kali ini ia sendiri bingung, mengapa tangannya
yang menggenggam Cambuk
Naga yang hitam berserat putih itu kembali memutar-
mutar di atas kepala.
Hal itu membuat Dubang menjadi sangat ketakutan,
demikian juga Maruto. Ia segera membuang senjatanya,
dan Dubang sendiri melemparkan kedua pedangnya
sambil bersujud mencium tanah, sementara mereka
berseru sambil meraungkan tangis atas kematian So-
mali. "Ampunilah kami...! Ampunilah kami...! Jangan bunuh kami seperti saudara tertua
kami itu...! Oh, ampunilah kami. Jangan bunuh kami...!"
Suara mereka bersahut-sahutan dalam erangan tan-
gis seperti seorang anak kecil. Dan, Klowor segera
menghentikan gerakan cambuknya. Itupun ia sendiri ti-
dak tahu, mengapa tiba-tiba tangannya ingin berhenti
dan menggulung tali cambuk yang terbuat dari serat sutra putih.
"Nyawa kalian ada di mulut Kartika," kata Klowor.
"Kalau Kartika memerintahkan kalian harus dibunuh, maka cambuk ini pun akan
segera melesat dan membuat kalian seperti Somali."
"Aduuuh... ampunilah kami, Kartika...! Ampuni-
lah...!" rengek Maruto tanpa tahu malu lagi. Ia benar-benar seperti anak kecil.
"Kami memang salah! Kami memang picik dan bo-
doh. Ampunilah kami, Kartika...! Oh, kasihanilah kami
berdua ini...!"
Klowor bicara dengan tegas, sementara Kartika ma-
sih memeluk kaki Klowor dengan lemas.
"Bagaimana, Kartika" Apakah mereka harus dibu-
nuh sekalian..."!"
Kartika diam. Maruto dan Dubang semakin ampun-
ampun. Mereka juga menunggu keputusan Kartika
dengan tegang. Dan, setelah beberapa saat kemudian,
Kartika pun berkata:
"Bebaskan mereka...!"
"Baik. Kalian bebas! Dan, pergilah yang jauh sana!"
seru Klowor. Kemudian Maruto dan Dubang semakin
tak kenal malu, mereka menangis sambil berpelukan.
Klowor ingin tertawa dalam hati, namun ia merasakan
sakit pada dadanya yang terkena goresan kampak So-
mali. "Terima kasih...! Terima kasih, Kartika...!" Dubang membungkuk-bungkuk dengan
hormat di dekat Kartika. Demikian juga Maruto, yang mengangguk-angguk
sambil mengucapkan kata terima kasih berulang-ulang.
Kemudian, Klowor segera mengusir mereka untuk ce-
pat-cepat pergi. Dan, mereka pun pergi dengan berlari terbirit-birit.
"Klowor... aku lemas...!"
"Kartika, bertahanlah...!" Kemudian Klowor mengangkat tubuh Kartika yang mulai
membiru. Mungkin
ada racun dari senjata lawan yang membaur di dalam
darah Kartika, sehingga tubuh itu menjadi pucat, bah-
kan membiru dan dingin. Klowor sangat cemas. Lu-
kanya sendiri tidak dihiraukan. Ia segera membawa
pergi Kartika dengan tujuan yang satu. Langkah Klowor sendiri menjadi gontai. Ia
terseok-seok, terhuyung-huyung, karena lukanya sendiri terasa perih.
Ketika tiba di pematang sawah, Klowor tak tahan. Ia
jatuh terkulai bersama Kartika yang sudah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Seorang petani menjerit melihat Klowor dan Kartika dalam
keadaan bermandi darah.
Kemudian dua orang petani lainnya datang dan segera
memberi pertolongan. Mereka membawa Kartika dan
Klowor ke perkampungan mereka. Lalu, kampung itu
pun menjadi heboh, keadaan Klowor dan Kartika men-


Pendekar Cambuk Naga 15 Pemburu Dosa Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi bahan pembicaraan mulut-mulut kampung yang ti-
dak tahu masalahnya. Mereka hanya menduga-duga
dan saling mengarang cerita sendiri-sendiri.
Entah berapa lama Klowor pingsan, ketika ia si-
uman, ia sudah berada di sebuah rumah berdinding
papan. Seorang lelaki beruban yang mengaku bernama
Pak Kiswo, berdiri di samping tempat tidur bambu,
tempat Klowor dibaringkan. Sedangkan istri Pak Kiswo
itu sebentar-sebentar membasuh darah yang masih
mengucur dari luka-luka Raden Klowor. Ada semacam
ramuan lembut yang dilumurkan pada luka-luka Klo-
wor, namun hal itu tidak membuat darah menjadi ber-
henti. Klowor mengerang karena merasakan sekujur
badannya menjadi panas sekali.
"Bertahanlah, Anak muda," kata Pak Kiswo. "Sebentar lagi rasa sakit dan panas
akan hilang. Paling tidak akan berkurang. Bertahanlah...."
"Ooh... terima kasih atas pertolongan bapak. Tapi...
tapi di manakah saya saat ini, Pak?"
"Di rumah saya. Nama saya Kiswo, dan ini istri saya.
Saya yang menemukan kamu bersama teman perem-
puanmu di pematang sawah dalam keadaan berlumur
darah." "Ooh... uuuh...!" Klowor mengerang. "Lalu... lalu di mana teman perempuanku
itu..." Di mana, Pak?"
"Tadi pagi seseorang mengambilnya."
"Hah..."!" Klowor mendelik. Tegang.
"Dia mengaku saudara dari teman perempuanmu
itu." "Siapa namanya"!"
"Entah. Tetapi, dia tampaknya seorang yang sakti. Ia mengenakan jubah merah,
berkepala gundul dengan
ikat kepala biru tua. Ia membawa tasbih, kalung besar dan...!"
"Celaka! Itu musuh kami. Itu Ketua Perguruan Kumbang Laga. Ooh... Kartika, kau
pasti diserahkan kepada Prabu Umbarpati...! Celaka! Celaka sekali...!"
* * * 6 Klowor tidak memperdulikan kesehatannya. Ia segera
berlari menyusul kepergian Kepala Perguruan Kumbang
Laga. Ia harus bisa merebut kembali Kartika, sebelum
perempuan cantik itu diserahkan kepada Prabu Um-
barpati. Sesuai dengan petunjuk beberapa orang yang meli-
hat kepergian mereka, Klowor berlari terus tiada henti, mengejar waktu yang
cukup mendebarkan itu. Beruntung sekali utusan Prabu Umbarpati tidak mengambil
pusaka Cambuk Naga dan pedang milik Kartika, se-
hingga Klowor masih merasa mempunyai kekuatan un-
tuk mengalahkan orang tua berkepala botak itu.
"Kacau! Ke mana mereka perginya ya" Tak ada jejak yang bisa dipakai tanda,"
gumam Klowor ketika sampai di tengah hutan yang tandus. Banyak pepohonan yang
kering, tumbang atau pun mati sama sekali. Pandangan
Klowor memang sedikit bebas, tetapi ia sangat menyesal karena ia tidak tahu ke
mana arah kepergian utusan
Prabu Umbarpati itu.
Ada sebuah bukit. Bukit cadas tanpa tanaman. Klo-
wor segera naik mendaki. Barangkali di atas bukit itu Klowor bisa melihat
kelebat seseorang berbaju merah
yang membawa Kartika. Tetapi harapannya itu sia-sia.
Ia menjadi kebingungan di puncak bukit cadas itu. Ke
mana arah yang harus dituju" Ke Selatan" Utara" Ba-
rat" Atau Timur"
O, ya. Timur. Sebab, Klowor ingat kata-kata Kartika,
bahwa Prabu Umbarpati itu adalah raja di daerah We-
tan. Sedangkan Wetan, berarti Timur.
Luka di dada masih ternganga. Sedikit perih, tapi
sudah tidak sepanas tadi. Klowor pun tidak memperdu-
likan lagi. Yang ia perhatikan kini suara derap kaki ku-da yang datang dari arah
Timur. Derap kaki kuda itu
semakin menjauh. Itu tandanya mereka sedang menuju
arah Timur juga. Entah derap kaki kuda milik orang-
orang yang dikatakan Kartika sebagai kaum pemakan
daging manusia, atau derap kaki kuda dari kelompok
lain, yang jelas Klowor harus menyelidikinya.
Dengan menggunakan Lindung Bumi, Klowor amblas
ke dalam tanah dan melakukan pengejaran ke arah de-
rap kaki kuda itu. Satu kelebihan jurus Lindung Bumi, adalah dapat bergerak
lebih cepat ketimbang harus berlari di atas permukaan tanah. Karena itu, Klowor
dalam waktu singkat bisa mencapai di belakang derap kaki
kuda yang bergemuruh seperti datangnya rombongan
badai itu. Derap kaki kuda itu berhenti. Di dalam tanah Klowor
pun berhenti, menyimak suara yang ada. Oh, telah ter-
jadi pertempuran di atas permukaan tanah itu. Suara
pekik dan teriakan yang ganas terdengar susul menyu-
sul. Klowor mulai menjauh dari bawah tanah tempat
berhentinya kaki-kaki kuda itu. Di tempat yang diperkirakan sepi itu, Klowor
melesat dari dalam tanah bersa-ma hamburan pasir tanah yang jebol diterjang
lompatan tubuhnya.
O, rupanya ia berada di kaki sebuah bukit, tepi hu-
tan. Ada suara debur ombak di kejauhan. Berarti tem-
pat itu tidak seberapa jauh dari pantai laut.
Tetapi, yang paling menarik bagi Klowor adalah se-
jumlah pasukan berkuda yang membuat suatu lingka-
ran. Ada orang yang dikepung oleh mereka. Orang itu
mengenakan pakaian komprang model jubah berwarna
merah, kepalanya botak diikat kain biru tua. Tak salah lagi, dialah Ketua
Perguruan Kumbang Laga. Perempuan yang tergeletak di kakinya itu berpakaian
kuning gading. Dan, itulah Kartika. Rupanya utusan Prabu
Umbarpati sedang berebut Kartika dengan orang-orang
berkuda. Utusan itu memperhatikan Kartika, sekalipun
ia diserang oleh tiga orang bertampang menyeramkan
dan ganas-ganas.
Apakah Klowor harus segera turut campur merebut
Kartika" O, tidak. Klowor akan menunggu, sampai ke-
tahuan siapa yang unggul dalam pertarungan tersebut.
Lama kelamaan, timbul rasa was-was di hati Raden
Klowor. Ada beberapa orang dari rombongan berkuda
yang secara diam-diam berusaha menggaet kaki Kartika
yang agaknya tak sadarkan diri itu. Apabila utusan
Prabu Umbarpati melihatnya, segera kaki dan tangan-
nya bekerja untuk menghantam orang yang berusaha
menggaet tubuh Kartika. Tetapi, pada saat itu juga, datang serangan dari orang
yang berada dalam arena, dan membuat manusia botak berjubah merah itu terjungkal
tak sempat menangkis dan menghindar.
"Kalau begini caranya, bisa-bisa Kartika diserobot oleh mereka dan dijadikan
santapan yang lezat saat itu juga. Wah, bahaya kalau begini caranya! Aku harus
bisa segera menyerobot Kartika lebih dulu." Klowor menggumam, berpikir dan
mencari-cari tempat yang strate-
gis. Tak jauh dari tempatnya mengintai, Klowor melihat
ada sebuah pohon besar yang berongga. Mirip goa.
Akarnya yang berbentuk pipih menyerupai dinding pe-
nyekat kamar. Rasa-rasanya tempat itu cukup lumayan
untuk menyembunyikan Kartika. Tapi, bagaimana cara
menyerobot Kartika supaya bisa berhasil dengan mu-
dah" "Cambuk Naga harus bicara lagi! Kubuat habis pe-
nunggang kuda yang mengurung Kartika dan utusan
Prabu Umbarpati itu. Ah, tetapi... jangan-jangan kekua-tanku yang bisa membuat
pasukan berkuda berantakan
itu malah dimanfaatkan oleh lelaki botak untuk mem-
bawa kabur Kartika. Bisa-bisa aku berurusan dengan
mereka, sementara lelaki botak itu dengan bebas mem-
bawa kabur Kartika. Wah, jangan! Jangan mengguna-
kan cara itu..." celoteh Klowor sendirian.
Tak jauh dari arena itu, ada gundukan tanah yang
tinggi. Klowor harus bisa berdiri di sana. Tapi, untuk mencari tanah gundukan
itu, ia harus melalui tempat
lapang yang besar kemungkinan bisa diketahui para
pasukan berkuda. Satu-satunya jalan, ia harus meng-
gunakan jalan bawah tanah. Sekali lagi ia mengguna-
kan jurus Lindung Bumi untuk mencapai gundukan ta-
nah itu. "Blees...!" Klowor berjalan di dalam tanah, seperti berjalan di alam
bebas, hanya saja cahayanya
menjadi merah namun tidak mengganggu mata. Dan,
kini ia berhasil muncul di balik gundukan tanah itu. Pelan-pelan ia merayap dan
mencapai bagian atas gundu-
kan tanah tersebut.
Raden Klowor berdiri tegap di atas gundukan tanah
itu. Ia akan menggunakan jurus Tapak Sembrani, yang
pernah digunakan dalam merebut sebuah selendang
(dalam kisah: PRAHARA RADEN KLOWOR). Kali ini, ia
berusaha menyedot tubuh Kartika dari jarak jauh. Ia
cepat-cepat memperagakan jurus tersebut sebelum pa-
sukan berkuda itu mengetahui gelagatnya.
Klowor mengejangkan kedua tangannya. Nafasnya
ditahan beberapa saat. Kedua tangan itu segera berge-
rak kaku, telapak tangan saling merapat di depan dada.
Keras sekali, sampai tubuhnya pun ikut bergetar. Lalu, kedua tangan itu
dihentakkan ke depan dalam keadaan
lurus, dan kedua telapak tangan dalam posisi tengku-
rap. Mata Klowor tertuju pada Kartika yang tergeletak di
tanah. Kedua tangannya bergetar dengan nafas tertahan sejak tadi. Dan tiba-tiba
tubuh Kartika bergerak-gerak.
Mereka yang melihat menyangka Kartika sadar dari
pingsannya. Namun, mata mereka menjadi terbelalak
kaget, ketika tubuh Kartika melayang di udara dalam
keadaan berbaring seperti semula.
"Huuuuuuoow...!" Hampir semua mulut berseru kagum melihat tubuh Kartika melesat
terbang dan tahu-
tahu sudah berada di atas gundukan tanah. Klowor
berdiri sambil memapah tubuh Kartika yang membiru
kaku. "Perempuan itu dicurinya...!" teriak mereka.
"Kejaaar...!"
Raden Klowor segera melarikan diri sambil menggen-
dong Kartika. Sementara itu, lelaki botak berjubah merah jadi terbengong melihat
Kartika sudah tidak ada di tempat semula. Ia tidak melihat keajaiban yang
dilakukan oleh Raden Klowor, karena ia sibuk bertarung
menghadapi tiga lawan yang mewakili pasukan berku-
da. Kini, utusan Prabu Umbarpati itu pun ikut mengejar Raden Klowor dan berusaha
mendului para penunggang
kuda. Namun, sebelum mereka semua sempat menca-
pai Klowor, murid Jaka Bego itu sudah lebih dulu me-
nyembunyikan tubuh Kartika di dalam pohon berongga
besar. Ia berdiri di depan rongga pohon itu untuk memberi perlindungan, dan
menghalau siapa saja yang hen-
dak mengambil tubuh Kartika.
"Serahkan perempuan itu!" teriak utusan Prabu Umbarpati. "Perempuan itu harus
menanggung dosa ayahnya!"
"Hei, tua bangka yang bodoh, dosa ayahnya bukan merupakan dosa pribadinya! Kau
jangan mau dibodohi
oleh dendam tuamu!" Klowor dengan berani, sementara pasukan berkuda telah mulai
mengepungnya. "Serahkan dia, atau kucincang bacotmu, hah"!"
"Sebelum kau cincang bacotku, mungkin gundulmu
sudah retak lebih dulu!"
"Biadab, hiaaatt...!" Sebuah tendangan berputar dilancarkan oleh lelaki botak
berjubah merah. Klowor tak sempat menangkis tendangan yang kedua, sehingga
wajahnya telak dihentak kaki lawannya hingga darah
mengucur dari hidung. Klowor menggeram kesakitan,
dan menggerutu dalam hati:
"Gawat, belum-belum hidungku sudah bocor...!"
Klowor buru-buru menjaga keseimbangan dalam
berdiri. Ia terpaksa merendahkan badan karena kalung
bermanik-manik besar itu menyambar kepalanya. Den-
gan tubuh merendah begitu, Klowor segera berputar
dan melancarkan serangan dengan jurus Turangga Su-
jud. Kedua tangan menapak di tanah, dan kedua kaki
menghentak ke belakang, tepat mengenai dada lawan-
nya yang botak. Orang itu terjengkang ke belakang.
Kemudian, salah seorang dari penunggang kuda hendak
melemparkan tombak kepada Klowor, tetapi dicegah
oleh pimpinan mereka.
"Tunggu, lihat dulu siapa yang menang, baru kita bantai beramai-ramai!"
Kalau saja Klowor mau berpindah tempat, ia akan
mendapat ruang gerak yang lebih leluasa. Tapi, kalau ia berpindah tempat, maka
Kartika akan diserobot oleh
para penunggang kuda. Jadi, sekalipun tempatnya
sempit, terbatas oleh semak berduri di kanan kiri, tapi Klowor harus bertahan di
depan rongga pohon itu. Ia
harus menjadi benteng bagi siapa saja yang hendak me-
rebut Kartika. "Hiaaatt...!" Lawan menyerang dengan kibasan kalung yang memercikkan bunga api
berwarna biru keme-
rahan-merahan. Klowor berguling ke samping, percikan
api mengenai batang pohon bagian atas rongga, dan ba-
tang pohon itu menjadi hangus seketika, membentuk
sebuah garis hitam.
Merasa dirinya dalam bahaya, Klowor tidak mau
main coba-coba. Ia bisa kehabisan tenaga, salah-salah ia bisa lengah, dan
mengancam keselamatan jiwanya,
juga mengancam keselamatan Kartika. Maka, segera ia
menggunakan cambuk pusakanya.
Pada waktu itu, tepat lawan yang botak kepalanya
itu, menyerang Klowor dengan memutar-mutarkan ka-
lungnya yang bermanik-manik batu besar. Klowor tahu,
kalau kalung itu disabetkan, pasti akan mengakibatkan bahaya besar baginya.
Maka, sebelum hal itu terjadi,
Klowor segera melecutkan cambuknya ke udara.
"Taaar...!"
Tali cambuk membelit di kalung itu. Lawan terperan-
gah sesaat. Kemudian, Klowor menghentakkan cambuk
dengan kekuatan keras, dan kalung itu pun hancur
berkeping-keping bagai sebuah batu yang rompal akibat benturan keras.
"Biadab haram...! Kau benar-benar mencari mam-
pus! Hiaaat...!" Lawan yang botak itu menerjang Klowor dengan tendangan
melayang. Ketika itu, Klowor menge-lakkan ke kanan, dan kaki lawan menjejak
pohon, lalu membalik dengan bersalto dan mengenai punggung


Pendekar Cambuk Naga 15 Pemburu Dosa Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kartika. "Huugh...!" Klowor berguling-guling akibat tendangan itu. Posisinya membuka
rongga penyimpanan tubuh
Kartika. Maka, lawan botak itu segera menghampiri tu-
buh perempuan cantik itu dan hendak membawanya la-
ri. "Lancang kau...!" teriak Klowor sambil mengibaskan cambuknya dalam posisi
setengah terlentang di tanah.
"Taaar...!" Jurus Cambuk Kelabang Murka dilancarkan tanpa ampun lagi. Lecutan
itu mengenai punggung
lawan berjubah merah. Punggung itu bolong seketika.
Orang tersebut memekik kesakitan sambil oleng men-
jauhi rongga pohon. Klowor buru-buru berdiri dan
menghantamkan cambuknya sekali lagi ke arah kepala
orang itu. "Taaar...! Deeer...!"
"Huuuuuuh..."!" Semua orang berteriak kagum dan ngeri melihat tubuh lelaki botak
itu meledak dan hancur berkeping-keping. Serpihan-serpihan daging tubuh-
nya berhamburan ke mana-mana membuat yang me-
mandang menjadi memejamkan mata. Tak ada lagi ujud
lelaki botak berjubah merah, yang ada hanya cuilan-
cuilan daging yang menjijikkan.
Klowor sendiri sempat bergidik, karena beberapa
orang dari penunggang kuda itu ada yang turun dan
memunguti cuilan daging tersebut, lalu dimakannya,
dikunyahnya dengan girang hati. Pimpinan mereka yang
berkumis tebal dan bermata merah itu menghampiri
pemakan daging itu, lalu menamparnya kuat-kuat.
"Goblok...! Kan ada daging yang lebih lezat dari itu"!
Serang dia! Cincang keduanya dan habisi sekarang ju-
ga!" "Seraaaang...!"
Mereka turun dari kuda dan mengacungkan senjata.
Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali menghancur-
kan mereka secepatnya. Karena itu, Klowor pun segera
memutar-mutar cambuknya di atas kepala. Kemudian
bunyi letupan dan nyala api terjadi beberapa kali. "Tar...
taarr... tarr...!"
"Aaaahhh...! Aaauuh...!"
Mereka mencengkeram kejang dan menjerit-jerit ka-
rena tubuh mereka mulai dibakar api. Seperti ada kilatan cahaya petir yang
menyambar-nyambar mengenai
tubuh mereka. Bahkan beberapa pohon pun ikut terba-
kar. Kuda-kuda meringkik dan berlarian dengan binal.
Kuda-kuda yang mengamuk itu pun sempat menginjak-
injak beberapa orang penunggang kudanya sendiri.
"Lariii...! Lekas lariii...!" teriak pimpinan mereka yang bermata merah. Sempat
sang pimpinan memandang
Klowor beberapa saat, kemudian dari sorot matanya itu keluar sinar berwarna
merah tua tertuju pada Raden
Klowor. "Hiaaaat...!" Klowor melompat ke samping, sambil mengibaskan cambuknya ke arah
kepala pimpinan mereka. Ujung cambuk yang menimbulkan suara ledakan
itu tepat mengenai pelipis orang tersebut, dan pecahlah kepala itu menjadi
berkeping-keping.
Taaar...! Taaar...!
Cambuk Naga beraksi terus. Beberapa orang pe-
nunggang kuda itu lari tunggang langgang dengan tu-
buh terbakar api yang susah dipadamkan. Bau sangit
mengabar. Jerit dan pekik saling bersahut-sahutan ba-
gai irama neraka. Sementara itu beberapa pohon telah
terbakar dan menjadi berkobar.
Angin berhembus cukup kencang. Angin itu juga
akibat dari putaran cambuk yang bagai kipas angin di
atas kepala Klowor. Tak satu pun dari mereka ada yang lolos dari api. Semuanya
terbakar dengan keadaan
mengerikan. Ada yang sambil berlari-lari mencari tem-
pat air, ada yang berguling-guling sambil berteriak. Ada pula yang hanya diam
saja, tahu-tahu rubuh dan menjadi hangus. Kuda-kuda yang terbakar pun meringkik
mengerikan sambil menggelepar-gelepar di rerumputan.
Namun, ada pula kuda yang lolos dari senjata api cam-
buk dan berlari ketakutan sambil menabrak beberapa
orang dari mereka.
Hutan jadi terbakar. Apinya berkobar-kobar. Klowor
jadi kebingungan sendiri. Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali membawa lari
Kartika, menjauhi hutan
yang sudah terlanjur terbakar itu. Dengan menggen-
dong Kartika di pundaknya, Klowor terus berlari me-
ninggalkan jerit kematian dan kobaran api yang kian
mengganas itu. Entah ke mana Klowor harus lari, tetapi begitu ia sa-
dari, ia sudah berada di sebuah pantai. Nafasnya terengah-engah, matanya
memandang kanan kiri dengan
panik. Oh, ternyata ia sampai di tebing karang, tempat pertama kali ia bertemu
dengan Kartika.
"Kartika...! Kartika..."!"
Perempuan cantik yang membiru itu tidak bersuara
lagi. Keadaannya benar-benar parah. Klowor menjadi
gusar, dan kepanikannya meningkat. Haruskah Kartika
mati di tempat pertama kali mereka berjumpa" O, tidak!
Kartika yang sudah terlanjur buta itu harus sembuh. Ia sudah berjanji, bahwa ia
akan mencarikan jalan untuk
kesembuhannya. Tapi, dalam keadaan begini, apakah mungkin Klowor
mampu melarikan Kartika ke Puri Bukit Bulan, tempat
Lanangseta dan Kirana hidup bersuami istri itu" Apa-
kah ada cukup waktu untuk membawa Kartika ke sa-
na" Klowor menempelkan telinganya ke dada Kartika. Ya, ampun! Detak jantungnya
sangat lemah. Sebentar lagi
pasti Kartika akan mati. Ia harus segera ditolong. Harus, ya, tapi bagaimana
caranya"! Bagaimana"! Klowor
benar-benar gusar dalam kebingungannya.
Ada sebuah ingatan yang mengharukan hati Klowor,
yaitu pada saat Kartika dalam keadaan pingsan dan terluka bagian dalamnya akibat
pertarungannya dengan Ki
Punggo. Ia pada waktu itu berhasil menyelamatkan jiwa Kartika. Lalu, Klowor
ditampar, lalu Kartika menyesal, lalu Kartika meminta maaf, kemudian mereka
masuk ke dalam goa. Aaah... kenangan itu sungguh menggoda ha-
ti Klowor. "Hei, mengapa aku tidak melakukan penyembuhan
seperti yang kulakukan di goa itu?" pikir Klowor. Ia ingat, saat ia
menghembuskan nafas bantuan ke dalam
mulut Kartika, ternyata membuat Kartika sehat kemba-
li. Waktu itu, Klowor sebenarnya cukup bangga pada dirinya sendiri. Tetapi,
bagaimana dengan tamparan Kar-
tika dan tuduhan Kartika tentang kekurangajaran Klo-
wor" "Ah, masa bodo! Dia mau menuduhku lagi, mau me-
namparku lagi, mau berterima-kasih padaku... itu uru-
san nanti. Yang penting sekarang aku harus memberi-
kan nafas bantuan ke dalam mulutnya. Guru pernah
berpesan begitu!"
Maka, dengan tanpa ragu-ragu lagi, Raden Klowor
mengecup bibir Kartika yang membiru itu. Ia meniup
mulut itu beberapa, kali. Bahkan tangannya sempat
membuka mulut Kartika untuk melakukan pemberian
nafas bantuan dengan lebih leluasa lagi.
Kepala Klowor jadi pusing sendiri. Ia banyak meng-
hembuskan nafas lewat mulut ke mulut Kartika, namun
Kartika belum sadar dari pingsannya. Ia hampir putus
asa. Sekali lagi ia mencoba meniup mulut Kartika bagai sedang meniup api di
dalam tungku memakai corong
bambu. Lama-lama, ia melihat tanda-tanda kehidupan. Dada
Kartika mulai berdegub jelas. Lalu, ada nafas pelan
yang terhembus dari hidung Kartika.
"Tika..."! Tika..."! Sadarlah, Kartika..."!" Klowor bersemangat dan mulai
berdebar-debar. Ia tersenyum-
senyum dalam keharuan. Ia mengusap-usap wajah itu
dengan penuh rasa sayang.
Sesaat kemudian terdengar suara erangan yang lirih.
Kartika merintih. Sekali pun masih merintih, namun
Klowor sudah cukup lega, sebab dengan demikian maka
Kartika ada harapan untuk bisa hidup kembali.
"Tika..." Kartika..." Kau dengar suaraku..."!"
"Ooh... di mana aku..."!"
"Kita... kita berada di pantai, Kartika. Kita telah berhasil lolos dari buruan
orang-orang pemakan daging
manusia, dan... dan Ketua Perguruan Kumbang Laga
itu telah berhasil ku binasakan, Kartika. Kita aman di sini... Di pantai tempat
kita pertama kali berjumpa, Ti-ka...!"
Kartika mengerjap-ngerjapkan mata. Ia masih men-
geluh dan mengerang dengan lemas.
"Klowor... aku sakit...!"
"Kau akan sembuh, Tika. Akan sembuh...!" Klowor girang sekali. "Aku telah
memberikan pernafasan bantuan lewat mulutmu, seperti dulu, sewaktu di dalam
goa itu...."
"Ooh... kau..." Suara Kartika lemah. Kini Klowor mengangkat kepala Kartika dan
meletakkan dalam
pangkuannya. Ombak masih menderu dan memercik-
kan buih-buihnya ke pantai.
"Bagaimana kalau kulakukan lagi, Tika?"
"Apa...?" tanya Kartika dengan lirih dan parau.
"Bagaimana kalau kutiup lagi mulutmu..."!"
"Ah..." Kartika sempat mencubit hidung Klowor dengan tawa yang tersimpan, karena
kesehatannya belum
pulih sama sekali.
Tetapi, pada saat ia berhasil mencubit hidung Klo-
wor, matanya menjadi membelalak dan berkedip-kedip.
"Klowor..."! Ooh... aku bisa melihat lagi..."!"
"Apa..."! Kau bisa melihat lagi"!"
"Ya. Aku... aku... oh, aku bisa melihat lagi, Klowor...!"
Kartika memeluk Raden Klowor dengan tangis kebaha-
giaannya. Rupanya tiupan nafas yang dilakukan Klowor
itu telah membuat segala penyakit sirna, baik penyakit di luar tubuh maupun di
dalam tubuh. Dan, yang sangat di luar dugaan adalah, kebutaan mata itu sendiri
jadi ikut terobati secara tidak sengaja. Rupanya itulah salah satu kehebatan
Klowor yang tidak pernah disadari selama ini, bahwa nafasnya mampu menyembuhkan
segala macam penyakit.
Luka lain pada diri Kartika pun berangsur-angsur hi-
lang. Lalu, Kartika pun tampil kembali sebagai sosok
perempuan cantik yang mempunyai ilmu tidak mudah
disepelekan. Kini, ia selalu bersamaan dengan Raden
Klowor, terutama dalam misinya mencari Pulau Kramat
yang hilang. SELESAI Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
* * * 2 * * * 3 * * * 4 * * * 5 * * * 6 SELESAI Pedang Angin Berbisik 3 Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Hong Lui Bun 7
^