Pemburu Mahkota Dara 1
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara Bagian 1
1 LANGIT mendung disertai hembusan angin
kencang merupakan pertanda akan datangnya hujan
di siang itu. Para penduduk desa mulai mengemasi ba-
rang-barangnya yang ada di luar rumah. Padi-padi
yang dijemur segera dimasukkan, genteng-genteng
yang dibuka segera ditutup, Jemuran-jemuran segera
diangkat walau masih lembab, dan bocah-bocah yang
keluyuran segera disuruh pulang orang tuanya. Tiap
orang meramalkan, tak lama lagi hujan akan turun
dengan deras. Ki Samekta, pemilik kedai terlaris di desa itu,
sebenarnya ingin menutup kedainya. Tapi karena ma-
sih ada beberapa orang yang makan di kedai itu, ter-
paksa rencana menutup kedai ditangguhkan dulu. Sa-
lah satu dari pengunjung kedainya itu adalah seorang
pemuda yang sibuk menghabiskan nasi pecelnya. Pe-
muda tampan berbaju buntung warna putih seperti
warna celananya itu sejak tadi menikmati nasi pecel
tanpa tengok kanan-kiri. Agaknya ia benar-benar la-
par, sehingga mampu melahap nasi pecel sebanyak
dua piring. Pemuda tampan berambut lurus sepundak
dengan tubuh tinggi, gagah, dan kekar itu bagaikan
tak peduli dengan lirikan beberapa pengunjung kedai.
Ia tahu orang-orang itu heran melihatnya makan se-
banyak itu, tapi ia tidak pedulikan keheranan orang
lain. Dengan satu kaki dinaikkan ke bangku dan pe-
dang kristalnya digeletakkan di meja sebelah kiri, pemuda itu menyantap
makanannya dengan cuek sekali.
"Tambah separo lagi, Paman!" ujar pemuda itu kepada si pemilik kedai; Ki
Samekta. Seseorang berbisik kepada temannya, "Bocah
itu habis diuber setan, kali. Lihat saja, makannya heboh sekali. Sudah habis dua
piring masih tambah se-
paro lagi."
"Mungkin habis disuruh gali sumur oleh mer-
tuanya," ujar sang teman.
"Yang ku herankan, perutnya terbuat dari apa,
sehingga mampu menelan santapan sebanyak itu?"
"Mungkin perutnya dari karet, jadi bisa melar
kalau menampung makanan banyak."
"Benar-benar tak seimbang dengan ketampa-
nannya. Ganteng-ganteng makannya sebanyak itu.
Pasti yang jadi calon mertuanya bakalan tekor."
Pemuda berpedang kristal itu tak lain adalah
Pendekar Kembar bungsu yang dikenal dengan nama:
Soka Pura. Dia memang rada konyol, rada cuek, dan
rada bandel. Berbeda dengan kakaknya; Raka Pura,
yang tenang, kalem, dan punya rasa malu jika makan
di tempat umum sampai habis sebanyak itu. Sayang
sekali Raka Pura tidak ada di kedai Ki Samekta. Jika saat itu Raka ada di kedai
tersebut, pasti ia akan melarang adiknya minta tambah nasi lagi kepada pemilik
kedai. Selesai menghabiskan dua setengah piring nasi pecel, Soka Pura menyambar
tahu bacam dan dicap-loknya tanpa ragu lagi. Duduknya sedikit santai, tidak
seserius tadi. Matanya memandang ke arah luar kedai
melalui jendela lebar yang penutupnya diganjal seba-
tang bambu biar tetap terbuka. Sambil menikmati lalu-
lalang para penduduk desa yang sibuk menghadapi
kedatangan sang hujan, Soka Pura menyambar sepo-
tong tempe goreng untuk disikatnya tanpa pandang
bulu lagi. Tentu saja kelahapannya itu menimbulkan
suara desak keheranan dari beberapa orang yang ada
di kedai tersebut.
"Jangan-jangan bocah itu kesurupan"! Yang
makan bukan dia sendiri, tapi setan yang merasukinya
ikut makan juga?" gumam seorang pengunjung kedai kepada temannya. Sekalipun
suara gumam itu pelan,
namun sebenarnya Soka Pura mendengar dengan jelas
apa yang dikatakan orang tersebut, namun ia tetap ti-
dak peduli. Ia dan kakaknya dipanggil oleh Ki Lurah Mujo,
kepala desa tersebut, untuk diminta bantuannya me-
nyembuhkan sakit ibu Ki Lurah Mujo yang sudah ber-
bulan-bulan tak bisa bangun dari tempat tidur. Bagi
Pendekar Kembar, penyakit itu adalah penyakit yang
ringan. Karenanya, Soka menyerahkan urusan terse-
but kepada kakaknya. Kini kakaknya masih berada di
rumah Ki Lurah Mujo, sedangkan ia santai di kedai Ki
Samekta. Suasana santai dan tenang itu tiba-tiba beru-
bah menjadi sedikit tegang. Soka Pura hentikan ku-
nyahan makanannya, dahinya segera berkerut tajam,
matanya kian dipertajam pula memandang ke arah ja-
lanan desa yang terlihat dari tempat duduknya. Ada
sesuatu yang menarik perhatian Soka Pura, dan sesu-
atu yang menarik perhatian itu cukup mengejutkan
bagi si Pendekar Kembar bungsu.
Seorang gadis cantik diikat kedua tangannya
dan ditarik-tarik agar mengikuti langkah seorang lelaki berpakaian biru. Di
belakang gadis itu ada dua lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang
mendorong-dorong tubuh si gadis dengan kasar. Ketiga lelaki itu bersenjata
golok, yang dua sudah dihunus dari sarungnya.
"Ayo, cepat jalannya! Cepat!" sentak si lelaki berpakaian hitam sambil mendorong
gadis itu dengan
kasar, hingga langkah si gadis tersentak nyaris jatuh tersungkur.
Gadis yang kedua tangannya diikat ke depan
dan dituntun seperti seekor kambing mau disembelih
itu, mempunyai wajah yang cantik mungil berambut
pendek. Ia kenakan pakaian kuning gading dengan
ikat kepala pita merah. Soka Pura sangat mengenal
gadis itu, sehingga ia menggumam lirih seperti bicara pada diri sendiri.
"Bunga Dewi..."! Oh, ada apa dengan dirinya"!"
Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu
memang si Bunga Dewi alias Srigita, cucu dari Nyai
Gantari dan adik dari Panji Doyok. Pendekar Kembar
pernah selamatkan gadis itu dan Nyai Gantari alias si Tupai Siluman dari
pengejaran orang-orang kadipaten,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:" Korban Kitab Leluhur"). Peristiwa
itu belum lama terjadi, sehingga ingatan Soka tentang si mungil cantik Bunga
Dewi itu masih cukup segar.
Sementara itu, Soka juga mendengar dua orang
pengunjung kedai yang melihat ke arah jalanan dan
memperhatikan ke arah Bunga Dewi. Salah seorang
dari mereka terdengar berkata kepada temannya.
"Ada apa lagi dengan orang Perguruan Tengko-
rak Sungsang itu"!"
"Mungkin mau memperkosa gadis itu. Kasihan!"
Rupanya tiga lelaki yang menangkap Bunga
Dewi itu orang Perguruan Tengkorak Sungsang. Agak-
nya Bunga Dewi sendiri telah melakukan perlawanan
saat mau ditangkap, sehingga sudut mulutnya tampak
berdarah sedikit, dan pelipisnya memar. Tak jelas apa persoalannya, yang pasti
Soka Pura tak bisa melihat
gadis itu diperlakukan dengan kasar dan ditarik-tarik seperti seekor kambing mau
disembelih. Mereka yang
menuju perbatasan desa segera dikejar oleh Soka Pura
yang bergegas bangkit, lompati jendela kedai, dan lari ke arah Bunga Dewi.
"Hei, Nak...! Jangan pergi, bayar dulu maka-
nannya!" teriak Ki Samekta. Soka Pura tak hiraukan seruan itu, ia tetap berlari
cepat mengejar tiga orang murid Perguruan Tengkorak Sungsang itu.
"Edan bocah itu! Makan habis banyak main ka-
bur saja!" omel Ki Samekta. "Apa dikiranya kedai ini milik nenek moyangnya"!
Huuh, ku sumpahi biar bu-sung perutnya!"
Orang-orang di kedai sibuk bicarakan tiga lelaki
dari Perguruan Tengkorak Sungsang dan gadis cantik
itu. Mereka saling menduga-duga nasib buruk yang
akan dialami oleh si gadis tersebut. Omelan Ki Samek-
ta hanya didengar oleh mereka secara sepintas, namun
tak ada yang memberi komentar terhadap gerutu dan
omelan Ki Samekta itu.
Sebenarnya Soka Pura tidak bermaksud kabur
dari kedai Ki Samekta itu. Ia hanya ingin menyela-
matkan Bunga Dewi sebentar, lalu kembali lagi ke ke-
dai dan menyelesaikan urusannya dengan Ki Samekta.
Sebab menurut firasat Soka Pura, tiga orang dari Per-
guruan Tengkorak Sungsang itu tampaknya akan
memperlakukan Bunga Dewi dengan semena-mena.
Dilihat dari tampang mereka yang kusam dan berke-
san bengis, pasti mereka bukan orang-orang dari ali-
ran putih. Nama perguruan 'Tengkorak Sungsang' saja
sudah menjadi jaminan atas kesesatan aliran silat me-
reka. Dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai' yang
mampu bergerak cepat melebihi kecepatan badai be-
sar, Pendekar Kembar berhasil menghadang langkah
ketiga orang berwajah kusam itu. Tentu saja mereka
tidak melihat saat Soka Pura melintas di samping me-
reka, karena kecepatan gerak dari Jurus 'Jalur Badai'
memang sulit ditangkap oleh penglihatan mata normal.
Mereka hentikan langkah sebelum mencapai
perbatasan desa. Mereka menatap seorang pemuda
yang berdiri di tengah jalan dengan kedua tangan ber-
sidekap, sedangkan pedang kristalnya yang tampak
bagus dan mewah itu terselip di pinggang kanan. Den-
gan menyelipkan pedang di pinggang kanan, maka So-
ka Pura akan mudah mencabut pedang itu sewaktu-
waktu memakai tangan kirinya. Tiga orang berwajah
kusam itu belum tahu bahwa Pendekar Kembar bung-
su itu adalah pendekar bertangan kidal. Makan saja
pakai tangan kiri, salaman juga pakai tangan kiri, sehingga sering membingungkan
orang yang diajak ber-
jabat tangan olehnya.
"Soka..."!" ucap Bunga Dewi dengan wajah ber-seri ceria, namun ucapan itu hanya
sebatas desahan
napas. Ia tak mau ketiga orang itu mendengar nama
Soka disebutkan.
"Hei, mau apa kau berdiri dl tengah jalan begi-
tu"!" hardik si baju biru yang memegangi tali ikatan tangan Bunga Dewi. Soka
Pura sunggingkan senyum.
Ia melangkah maju dengan kedua tangan masih bersi-
dekap di dada. "Aku hanya ingin mentraktir makan gadis itu,"
ujar Soka dengan nada konyol. Bunga Dewi tersenyum
geli mendengar ucapan Soka. Tapi tiga orang Pergu-
ruan Tengkorak Sungsang itu menjadi dongkol men-
dengar kata-kata tersebut.
Dua orang yang berpakaian hitam segera maju
ke depan si baju biru. Mereka berdiri dalam jarak dua langkah ke samping, dan
tiga langkah di depan Pendekar Kembar bungsu. Di tangan mereka masing-masing
masih memegang golok putih berkilap menampakkan
ketajamannya. "Jangan bercanda dengan kami, Bocah Ingu-
san! Kau belum tahu siapa kami?"
"Orang dari Perguruan Tengkorak Sungsang,
bukan?" jawab Soka sambil tetap menghiasi wajahnya
dengan senyum tipis yang kurang disukai oleh ketiga
lelaki berwajah kusam itu.
"Bagus! Kau sudah tahu siapa kami. Jadi ku-
harap kau segera menyingkir dan jangan bercanda
dengan kami! Golokku bisa merobek mulutmu jika kau
masih bercanda dengan kami!"
"Aku tidak bercanda. Aku benar-benar ingin
mentraktir gadis itu, yaah... sekadar makan-minum
secukupnya dan itu pun bayar sendiri-sendiri."
Tentu saja ketiga orang tersebut tak percaya
bahwa Soka ingin mentraktir Bunga Dewi. Ketiga orang
itu yakin bahwa Soka ingin merebut tawanannya. Ka-
rena itu, yang berbaju biru segera berseru kepada ke-
dua temannya yang berpakaian serba hitam itu.
"Sikat dia! Jangan biarkan menjadi perintang
langkah kita!"
Kedua orang berpakaian hitam segera menye-
rang Soka Pura dengan membabatkan golok mereka
dari dua arah. Wut, wut...! Soka Pura sengaja melom-
pat mundur selangkah untuk hindari kelebatan golok
lawan. Dengan cepat kakinya menendang ke arah kiri
kanan secara cepat dan berturut-turut. Bet, bet...!
Plak, plak...! Tendangan itu kenai tangan mereka masing-
masing. Tendangan tersebut mempunyai kekuatan te-
naga dalam yang cukup lumayan besarnya, sehingga
kedua orang itu merasa tangannya dihantam dengan
besi besar. "Auuh...!" salah seorang terpekik kesakitan. Golok mereka lepas dan jatuh di
tanah. Mereka sama-
sama menyeringai sambil mendekap tangan masing-
masing. "Keparat! Pergelangan tanganku terasa remuk!"
ujar salah seorang dalam hatinya. Sementara itu, Soka Pura segera bersikap
tenang lagi dengan kedua tangan
masih tetap bersidekap di dada.
Namun agaknya dua orang berpakaian hitam
tak mau menyerah begitu saja. Salah seorang segera
memungut goloknya. Tapi Soka Pura cepat-cepat laku-
kan satu lompatan dan menyentakkan kakinya ke de-
pan. Buuhk...! Tendangan itu kenai pundak orang
yang memungut goloknya. Orang itu pun terpental dan
jatuh berguling-guling.
Satu orang lagi sedang melepaskan tendangan
pula ke arah kepala Soka. Wuuut...! Kaki panjang itu
berkelebat cepat, hampir saja kenai kepala Soka kalau pemuda tampan itu tidak
segera merundukkan kepala.
Kedua tangannya yang saling terlipat di dada
segera dilepaskan. Tangan kiri itu pun menyentak ke-
samping kanan dengan badan sedikit berputar dan sa-
tu kaki berlutut di tanah. Beet...! Sodokan telapak tangan itu bukan jurus
'Kobra Liar'. Jika sodokan itu adalah jurus 'Kobra Liar', maka lambung orang
yang gagal menendangnya itu akan robek seketika.
Sekalipun begitu, namun sodokan telapak tan-
gan yang tepat kenai lambung itu berhasil membuat
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan terpental ke belakang. Ia jatuh terjungkal dua
kali, bagai habis diseruduk anak kerbau.
"Uuhkk...! Muleeess...!" rintihnya dengan suara tertahan sehingga mirip suara
seorang kakek. Pendekar Kembar bungsu segera berdiri tegak
lagi dengan senyum tipis yang makin menjengkelkan si
baju biru. Orang itu hanya bisa memandang dengan
suara menggeram. Ia tak bisa menyerang Soka karena
harus pegangi tali pengikat tangan Bunga Dewi. Se-
dangkan jarak Soka darinya lebih dari satu jangkauan
kaki. Satu-satunya cara untuk melepaskan serangan
ke arah pemuda tampan itu hanya dengan melepaskan
pukulan tenaga dalam jarak jauh.
Wuuut...! Orang berbaju biru itu sentakkan
tangan kirinya dan seberkas sinar merah kecil berben-
tuk seperti kemiri itu melesat ke arah dada Soka Pura.
Pendekar Kembar bungsu tak mau buang-
buang tenaga, maka sinar merah itu hanya dihindari
dengan cara menyentakkan badan separo putaran
sambil miring ke kiri. Wuuut...!
Duaaarr...! Sebatang pohon di belakang Soka
menjadi sasaran. Pohon itu rusak berserat-serat, tapi tak sampai hancur ataupun
tumbang. Kejap berikutnya, Soka berdiri tegak kembali,
tenang dan tampak waspada dalam senyum tipisnya.
Matanya memandang ke arah si baju biru yang sempat
tertegun sekejap melihat gerakan gesit Soka yang
mampu hindari sinar merahnya tadi.
Pada saat itu, Bunga Dewi sentakkan kedua
tangannya hingga tali yang dipegang orang berbaju bi-
ru itu terlepas. Sluup...! Kedua tangannya masih terikat, namun gadis itu segera
lompat sedikit dan me-
layangkan tendangannya ke wajah si baju biru yang
terkejut menatapnya itu. Bet...! Plook...!
Baju biru terpelanting dan terhuyung-huyung
mundur. Bunga Dewi segera berlari ke arah Soka Pura.
Kedua orang berpakaian hitam ingin mengejar, namun
terhenti seketika karena Bunga Dewi sudah berada di
belakang Soka Pura. Mereka takut diterjang Soka Pu-
ra. "Setan keparat!" geram si baju biru. "Rupanya kau ingin cepat menemukan liang
kuburmu, hah"!"
"Apakah Kau tuli, Sobat" Dari tadi sudah kuka-
takan aku ingin mentraktir makan gadis ini! Bukan
mencari liang kuburku!"
"Grrmm...!" si baju biru menggeram penuh ke-jengkelan. "Dia tawanan kami, Jangan
coba-coba mengusik tawanan kami jika tak ingin cepat mati!"
"Mengapa gadis ini menjadi tawanan kalian"!
Apa kesalahannya"!" tanya Soka setelah melirik si cantik mungil itu sekejap.
"Dia... dia mencuri!"
"Mencuri apa?" desak Soka Pura.
"Mencuri... mencuri pusaka milik perguruan
kami. "Pusaka apa"!"
Bunga Dewi berbisik, "Bohong! Aku tidak men-
curi!" "Pusaka apa yang dicurinya, hah?" Soka agak membentak orang itu.
Tapi orang itu diam sesaat, hanya menggeram
sambil menatap Bunga Dewi. Kejap berikutnya ia men-
cabut goloknya yang dari tadi masih bertengger di
pinggang kiri itu.
"Dia mencuri pisau pusaka milik Guru kami!"
Pendekar Kembar bungsu melirik Bunga Dewi.
Di pinggang gadis itu memang ada sebilah pisau ber-
gagang gading. Soka pun tahu bahwa Bunga Dewi be-
rasal dari Tanah Keramat. Seluruh penduduk Tanah
Keramat adalah pencuri, pencopet, perampok, dan ada
juga yang berprofesi sebagai pelacur amatir. Bahkan
ketika Soka bertemu dengan Bunga Dewi yang pertama
kali, gadis itu habis mencuri kotak bermata bersama
neneknya; Nyai Gantari, si Tupai Siluman itu.
Pandangan mata Soka kali ini mengandung ra-
sa percaya kepada apa yang dikatakan si baju biru itu.
Bunga Dewi segera ngotot dengan wajah gusar.
"Aku tidak mencuri apa-apa dari mereka! Tu-
duhan itu fitnah semata, Soka!"
"Kau memang mencuri pisau pusaka Guru ka-
mi!" seru orang berpakaian hitam yang tadi tak sempat dibuat mules oleh serangan
Soka. Tetapi pandangan mata Soka yang tertuju lagi
ke pisau di pinggang Bunga Dewi itu menimbulkan ke-
bimbangan dalam hatinya. Setahu Soka, pisau berga-
gang gading itu dari dulu sudah dilihatnya berada di
pinggang Bunga Dewi. Apakah pisau itu adalah pisau
curian atau asli milik Bunga Dewi, Soka tak dapat
memastikan. Soka pun tak bisa mengerti, mana yang
harus dipercaya; tuduhan orang-orang itu atau penga-
kuan Bunga Dewi.
"Pisau ini pemberian dari nenek. Kalau tak per-
caya, tanyakan kepada nenekku sendiri!" ujar Bunga Dewi kepada Soka yang tampak
curiga pada pisau ga-dingnya itu.
"Bocah kurapan!" seru si baju biru, "Kalau kau tak mau serahkan pencuri itu, aku
terpaksa akan me-misahkan kepalamu dari lehernya!"
Bunga Dewi bicara kepada Soka sebelum pe-
muda itu serukan kata kepada si baju biru.
"Dia ingin menjual ku! Beberapa gadis juga
akan mereka jual kepada Penguasa Bukit Maut! Aku
berhasil lolos dari penjara. Mereka sedang mengum-
pulkan beberapa gadis untuk dijual ke Bukit Maut!"
Mendengar kata-kata itu, kebimbangan Soka
berkurang. Sementara itu, si baju biru menjadi sema-
kin berang kepada Bunga Dewi.
"Dasar mulut gadis busuk! Heeaah...!"
Baju biru melompat ingin menebaskan golok-
nya ke wajah Bunga Dewi. Tetapi kaki Soka segera
menendang sebongkah batu di depannya. Batu sebesar
satu genggaman itu segera melayang cepat bagaikan
bola. Wuuut...! Pitok...!
"Aaow...!" si baju biru memekik keras sambil tersentak mundur dan jatuh terduduk
dengan hempa-san kuat. Biuuk...!
"Aaauuu...!"
Jidat orang itu bocor akibat terkena tendangan
batu. Darahnya mengalir deras membasahi seluruh
wajahnya. Pandangan matanya menjadi buram karena
saraf matanya ada yang rusak akibat benturan batu
sekeras tadi. "Kita pulang saja! Adukan pemuda itu kepada
Guru! Biar Guru yang menghajarnya!" seru orang berbaju hitam yang tak sempat
mules itu. "Awas kau! Tunggu pembalasan dari kami,
Bangsat...!!" teriak si baju biru sambil diseret pergi oleh kedua temannya.
Mereka segera berlari tinggalkan tempat dengan diikuti pandangan mata Soka Pura.
Setelah ketiganya menghilang dari pandangan
mata, Soka pun berbalik menatap si mungil Bunga
Dewi. Gadis itu sedang sunggingkan senyum kecil ke
arah kepergian tiga orang itu.
"Benarkah kau tidak mencuri apa-apa dari me-
reka"!" "Belum!" jawab gadis itu tenang sekali. "Kudengar kau ingin mentraktir
ku makan" Kapan itu terjadi, Soka?" Pendekar Kembar bungsu tersenyum geli. "Kita
ke kedai sekarang juga!" sambil mengawali langkahnya dengan mencekal lengan
Bunga Dewi. "Soka, kau pikir aku dapat makan dalam kea-
daan kedua tangan terikat begini?"
Soka Pura tertawa semakin geli. Gadis itu min-
ta dilepaskan tali pengikat kedua tangannya, tapi Soka sengaja menggoda dengan
membiarkan tangan itu tetap terikat.
"Kalau kau tak mau melepaskan tail pengikat
ini, lebih balk kita tak Jadi makan saja!" si gadis cemberut, dan Soka Pura suka
melihat wajah cantik mun-
gil itu cemberut.
"Kau cantik kalau cemberut terus begitu," ujar Soka makin menggoda.
"Kau suka kalau aku cepat tua"!"
"Orang sepertimu tak akan cepat tua, Bunga!"
sambil Soka tetap melangkah ke arah kedai Ki Samek-
ta. "Heii...! Buka dulu ikatan ku ini!" desak Bunga Dewi dengan nada sewot.
"Sebelum aku yakin kau tidak mencuri pisau
pusaka itu, aku tak akan melepaskan tali pengikat di
tanganmu itu!"
"Jadi kau masih tak percaya bahwa pisau di
pinggangku ini adalah pisau pemberian nenek"!" Gadis itu hentikan langkah dengan
wajah protes. Ia menyambung kata, "Bukankah sejak kita
bertemu beberapa waktu yang lalu, kau pernah memu-
ji keindahan pisauku ini?"
"Ya. Aku memang pernah memuji keindahan
pisau mu itu. Tapi... mungkin saja waktu itu pisau ini belum lama kau curi dari
pemiliknya"!"
"Soka" Setega itukah kau menuduhku"!" si gadis mulai bernada sedih. Soka Pura
menjadi tak tega
dan diliputi kebimbangan kembali.
* * * 2 ORANG-ORANG kedai masih sibuk membicara-
kan tentang si gadis yang tertangkap orang Perguruan
Tengkorak Sungsang itu. Sesaat kemudian, Raka Pura
segera masuk ke kedai tersebut. Urusannya dengan Ki
Lurah Mujo telah selesai. ibu Ki Lurah Mujo telah se-
hat secara ajaib, karena Raka lakukan penyembuhan
memakai Jurus 'Sambung Nyawa' yang menjadi anda-
lannya dalam tiap mengobati luka dan penyakit siapa
pun itu. Mata si Pendekar Kembar sulung memandangi
tiap wajah orang yang ada di kedai. Dalam hatinya
berkata, "Katanya dia mau makan di kedai ini" Tapi ke mana si konyol itu"!"
Rupanya ia mencari Soka Pura yang berjanji akan menunggunya di kedai tersebut.
Hati pun sempat dongkol karena sang adik tidak tam-
pak di situ. "Pasti sedang tergiur senyuman janda genit!
Hmmm... kutunggu saja di sini sambil mengisi perut.
Aku juga lapar!"
Orang-orang kedai beralih perhatian kepada
pemuda tampan berpedang kristal itu. Raka Pura tak
peduli diperhatikan mereka, karena ia sudah sering
menerima tatapan mata dari sekelompok orang yang
merasa kagum atau merasa asing kepadanya.
Beberapa orang mulai berkasak-kusuk membi-
carakan si pemuda tampan.
"Itu dia pemuda yang makannya banyak sekali
tadi!" "Iya. Kusangka ia akan kabur selamanya."
"Rupanya dia merasa punya tanggung jawab
juga atas makanan yang dihabiskannya tadi!" ujar mereka yang menyangka Raka
adalah Soka Pura. Mereka
tidak tahu bahwa Soka mempunyai saudara kembar
yang wajah dan penampilannya serupa persis, sehing-
ga sukar dibedakan.
Raka segera duduk di bangku, secara kebetulan
ia duduk di bangku yang tadi dipakai duduk Soka Pu-
ra. "Lapar-lapar begini makan nasi pecel pasti enak
sekali!" pikirnya. Kemudian ia memesan nasi pecel kepada pelayan yang datang
mendekatinya. "Nasi pecel satu dan... teh manis!"
"Hahh...?" mereka terperanjat heran dengan
mulut terbengong. Hampir semua yang ada dl kedai
dan yang tadi melihat Soka makan banyak itu terbela-
lak memandangi Raka Pura.
"Gila! Dia masih mau makan nasi pecel lagi"!"
"Ck, ck, ck, ck...."
"Dasar perut kebo"!" gumam mereka terheran-
heran. Raka menyambar sepotong tahu bacam yang
tersedia di piring khusus lauk pauk. Tanpa ragu-ragu
ia mencaplok tahu bacam itu dengan cabe rawitnya.
Sekalipun ia tahu diperhatikan oleh mereka, tapi ia tetap tak peduli. Hanya
sedikit heran dan bertanya da-
lam hati, "Mengapa mereka memandangi ku dengan
terbengong begitu, ya?"
Ki Samekta yang tadi ada di dapur, kini muncul
setelah diberi tahu oleh pelayannya tentang si pemuda yang tadi melarikan diri
itu. Ki Samekta segera dekati Raka Pura dengan wajah ketus.
"Kau pesan apa lagi?"
"Oh, hmmm...," Raka memberi senyuman ra-
mah. "Aku hanya pesan nasi pecel dan teh manis saja, Pak Tua!"
"Boleh saja. Tapi bayar dulu!"
"Hei, kenapa harus begitu" Apakah kau tak
percaya padaku, Pak Tua?"
"Tidak! Aku tidak bisa percaya lagi pada anak
muda berandalan sepertimu! Bayar dulu, baru ma-
kan!" Raka Pura bertahan untuk tetap sabar, walau sebenarnya hatinya tersinggung
oleh sikap Ki Samekta
yang menyangka Raka adalah Soka Pura. Raka segera
mengeluarkan uangnya, karena ia habis mendapat ha-
diah dari Ki Lurah Mujo atas keberhasilannya me-
nyembuhkan Ibu si kepala desa itu. Walau Raka sudah
menolak, tapi Ki Lurah Mujo tetap mendesaknya agar
uang itu diterima sebagai bekal dl perjalanan nanti.
Sekarang uang itu sengaja dipamerkan di de-
pan Ki Samekta. Setumpuk uang dl tangan Raka
membuat Ki Samekta terbelalak dan orang-orang yang
memperhatikan juga mendelik kagum.
"Mungkin dia tadi lari untuk mencopet uang
orang. Setelah hasil copetannya diperoleh, ia kembali lagi kemari untuk melunasi
hutangnya kepada Ki Samekta," bisik salah seorang dari mereka.
"Berapa aku harus membayarnya, Pak Tua"!".
"Delapan sikal!"
"Hahh..."! Banyak sekali"!" Raka Pura pun terkejut mendengar nilai uang sebanyak
itu. Kira-kira kalau dikurs-kan ke masa sekarang, Raka harus mem-
bayar delapan belas ribu rupiah untuk pesanan satu
piring nasi pecel dan secangkir teh manis. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan
dan ditentang oleh Raka
Pura. "Pak Tua, sebenarnya kau mau dagang nasi
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau mau merampok orang"! Masa' sepiring nasi pecel
dan teh manis, ditambah sepotong tahu bacam har-
ganya segitu mahal"!"
"Untuk pesanan sepiring nasi pecel, secangkir
teh manis, sepotong tahu bacam, memang tak mahal!
Tapi kau harus bayar biaya makanmu tadi! Dan jan-
gan coba-coba kabur lagi kalau tak ingin kuserampang
pakai sabit ini!" sambil Ki Samekta mengeluarkan sabit yang ternyata sejak tadi
sudah dibawanya dan disem-bunyikan ke belakang.
Melihat dirinya diancam dengan sabit, Raka Pu-
ra mulai curiga dan bersikap hati-hati. "Pasti terjadi salah paham!" pikirnya
sambil garuk-garuk kepala.
Ki Samekta berkata, "Biar usiaku sudah setua
ini, tapi dulu aku bekas pelempar pisau tercepat di antara dua saudaraku! Kalau
kau berani kabur lagi, ku-
serampang perutmu pakai sabit ini! Akan kuambil lagi
apa yang sudah kau telan dari sini!"
"Pak Tua, kurasa kau salah paham."
"Tidak! Tidak ada istilah salah paham bagi Ki
Samekta!" sambil ia menepuk dada sendiri. "Biar sudah tua, tapi aku belum pikun!
Dan semua orang di
desa ini tahu, bahwa aku tidak akan segan-segan me-
nindak siapa pun yang makan tidak bayar langsung
kabur seperti yang kau lakukan tadi!"
Raka Pura berkerut dahi memandang tajam
pada Ki Samekta.
"Aku baru datang, Pak Tua!"
"Jangan berlagak bodoh, Nak! Cepat bayar ma-
kananmu yang tadi!"
Salah seorang dari pengunjung kedai itu ada
yang berseru, "Iya, sudah bayar sajalah! Kasihan Ki Samekta. Jangan begitu,
Kawan! Kalau habis makan di
kedai, ya harus bayar. Kecuali kedainya milik mertua-
mu!" "Hah, hah, hah, haa...!" mereka menertawakan celetukan orang itu.
"Ini pasti kekonyolan Soka Pura! Brengsek anak
itu!" geram Raka dalam hatinya.
"Pak Tua, perlu kau ketahui, bahwa yang tadi
makan di sini dan pergi itu adalah adik kembar ku.
Bukan aku!"
"Hueh, hehh, hehh, hehh...!" Ki Samekta Justru tertawa terkekeh-kekeh dalam
makna meremehkan
pengakuan Raka. Ki Samekta berkata kepada orang-
orang di sekitarnya.
"Sekarang dia mengaku punya adik kembar"!
Hmmm... mana mungkin! Dia pikir kita akan men-
ganggapnya sebagai si Pendekar Kembar yang budi-
man itu"! Pulh...!"
Orang-orang tertawa lagi. Raka Pura menjadi
malu, karena sekarang ia tahu ada kasus 'mabur' ha-
bis makan kabur.
"Hei, Sobat...!" seru salah seorang pemuda sebaya yang juga sedang makan di
kedai itu. "Kalau mau jadi penipu, jadilah penipu yang
rapi. Tak usah mengaku-ngaku punya saudara kembar
segala, nanti kau dianggap menjatuhkan nama besar si
Pendekar Kembar itu!"
Salah seorang menyahut, "Pendekar Kembar
sedang ada di rumah Ki Lurah! Kalau mereka menden-
gar pengakuanmu, bisa-bisa wajahmu penyok ke sana-
sini dihajar mereka!"
Kini Raka Pura sedikit tersenyum karena geli
mendengar celoteh mereka. Mereka belum tahu siapa
orang yang dinasihati itu.
Mau tak mau Raka Pura harus memaklumi ke-
salahpahaman itu. Akhirnya ia mengalah, memberikan
sejumlah uang yang diminta Ki Samekta sebagai pem-
bayaran makannya Soka tadi. Raka pun merasa sia-sia
jika ngotot mengaku sebagai Pendekar Kembar. Belum
tentu membuat mereka percaya, namun justru akan
membuatnya ditertawakan mereka.
"Aku yakin si konyol itu pasti kembali ke sini!
Ayah tak pernah mendidik kami menjadi orang curang
begitu! Pasti ada sesuatu yang membuat Soka sekonyol
ini! Jika perlu dia harus kuberi pelajaran supaya lain kali tak bertindak
sebodoh ini! Hmm... benar-benar
memalukan sekali!" gumam Raka dalam hatinya.
Angin kencang yang tadi berhembus ternyata
justru menyingkirkan mendung. Hari tak jadi hujan.
Soka Pura tak terlalu terburu-buru membawa Bunga
Dewi ke kedai Ki Samekta. Namun akhirnya mereka
sampai juga di kedai itu dalam keadaan kedua tangan
Bunga Dewi masih terikat. Tentu saja si gadis cembe-
rut terus, dan kecantikannya semakin menggemaskan
hati Soka Pura.
Begitu mereka masuk ke kedai, orang-orang
memandangnya dengan mata terbuka dan mulut ter-
bengong. Kemudian mata mereka memandang secara
bergantian antara Soka dan Raka yang duduk me-
munggungi pintu masuk. Tapi Raka tadi sudah melihat
saat Soka menuju ke kedai bersama Bunga. Hati Raka
sempat diliputi keheranan melihat Bunga Dewi bersa-
ma Soka. Namun rasa kesal Raka terhadap adiknya
masih menggeramkan hati.
Orang-orang yang kebingungan melihat ke-
munculan Soka bersama Bunga Dewi itu nyaris tak
memperhatikan si gadis, tapi kesamaan rupa dan pe-
nampilannya dengan Raka itulah yang menjadi pusat
perhatian mereka, termasuk Ki Samekta yang ada di
balik meja nasi itu.
"Busyet! Rupanya mereka benar-benar anak
kembar"!" gumam salah seorang. "Yang melarikan diri tadi yang mana, ya?"
"Kurasa yang baru datang bersama gadis itu,"
bisik teman orang tersebut. Tak satu pun dari mereka
ada yang berani bercuit atau celetuk-celetuk seperti
tadi. Mereka menjadi mengkerut, seperti jangkrik men-
dengar suara langkah kaki manusia.
Soka Pura tersenyum girang melihat kakaknya
sudah ada di situ, ia segera hampiri sang kakak yang
telah berdiri bagai mau menyambut kedatangannya.
"Raka, lihat siapa yang kubawa ini"! Dia tadi...."
Plaak...! Raka Pura menampar adiknya cukup keras.
Suara tamparannya bagai menggema di dalam kedai,
semua orang mendengarnya. Mereka sama-sama terke-
jut melihat Soka ditampar oleh kakaknya yang berwa-
jah dingin menandakan sedang memendam kemara-
han itu. Soka Pura mundur dua langkah sambil bersun-
gut-sungut dan mengusap-usap pipinya.
"Kenapa kau ini"! Kesurupan, ya"!" Soka sewot seperti waktu masih bocah dulu.
"Lain kail kalau kau lakukan tindakan yang
memalukan lagi, kuhajar kau!" ancam kakaknya dengan wajah tanpa senyum sedikit
pun. Soka mendekat dengan nada protes. "Apa mak-
sudmu berkata begitu"! Mengapa kau tiba-tiba me-
namparku dan...." Plaak...!
Raka menyampluk wajah adiknya dengan kiba-
san tangan. Tapi dengan cekatan kibasan tangan sang
kakak ditangkisnya. Hanya saja, Soka segera berlari
menjauh sambil cemberut seperti anak kecil takut ke-
pada kakaknya. Bunga Dewi jadi ikut-ikutan Jauhi
Raka. "Gila kau ini!" sentak Soka.
"Pak Tua... apakah anak itu yang tadi makan
tidak bayar dan segera kabur"!" seru Raka kepada Ki Samekta.
"Hmm, ehh... iya!" jawab Ki Samekta dengan gugup. "Tapi... tapi sudahlah. Jangan
bertengkar di si-ni!"
"Dia adik kembar ku! Sekarang kau percaya,
Pak Tua"!"
"Iya... aak... aku percaya, Nak. Sudahlah, Jan-
gan berkelahi!"
"Biar dia adikku kalau tindakannya memalukan
tetap harus kuhajar!"
"Bukan begitu... soalnya kalau kalian berkelahi
di sini, daganganku hancur, lalu siapa yang mau kasih ganti rugi"! Sudahlah,
damai-damai saja...!" bujuk Ki Samekta yang mulai merasa bersalah karena telah
mempermalukan Raka di depan orang banyak.
"Sini kau...!" panggil Raka kepada adiknya.
"Aku pindah kedai saja!" ujar Soka dengan
cemberut. "Memangnya yang Jualan nasi pecel hanya di kedai ini"!"
"Sini kau, Soka!"
"Malas!" bentak Soka sambil melangkah mun-
dur dekati pintu, wajahnya masih bersungut-sungut
penuh kedongkolan.
Raka menyambar pedangnya yang tadi digele-
takkan di meja. Soka pun mencabut seluruh pedang
dan sarungnya dari pinggang. Bunga Dewi menjerit ke-
ras-keras. "Aaaaaaaaaaa...!!"
Kedua pemuda kembar itu segera tersentak dan
menatap Bunga Dewi. Mereka bergegas hampiri Bunga
Dewi yang berdiri di dekat Ki Samekta.
"Ada apa, Bunga..."!" tanya Raka dan Soka ber-samaan.
"Berkelahinya nanti saja! Sekarang lepaskan
dulu tali pengikat tanganku ini!"
Akhirnya kedua pemuda kembar itu sama-
sama saling hembuskan napas, mengendurkan kete-
gangan mereka. Mereka justru saling pandang, lalu
melirik ikatan di tangan Bunga Dewi, saling tatap lagi, akhirnya Raka berkata
sambil kembali ke tempat duduknya.
"Lepaskanlah dia, Soka!"
"Kau saja...," seraya Soka ikut ke tempat duduk kakaknya.
"Mengapa kau ikat tangan si Bunga"!"
"Bukan aku yang mengikatnya!"
"Lalu siapa"!"
"Orang-orang Perguruan Tengkorak Sungsang
itu!" "Mengapa dia diikat?" "Karena dia ditangkap!"
"Iya. Maksudku mengapa dia ditangkap orang-
orang itu?"
"Dituduh mencuri!"
"Hah..."!" Raka menatap Bunga Dewi. Kemu-
dian ia melambaikan tangan. "Bunga, sini duduk...!"
Bunga Dewi mendekat dengan cemberut.
Orang-orang saling berkasak-kusuk membicarakan
rupa kembar itu dan keadaan si gadis yang masih teri-
kat. Lalu segera muncul seorang lelaki kurus yang di-
kenal oleh mereka sebagai pelayannya Ki Lurah Mujo.
Pelayan itu menggeragap sebentar, matanya meman-
dang ke sana-sini, kemudian tersenyum girang ketika
menemukan Raka duduk di depan jendela kedai.
"Nah, kebetulan Tuan Raka masih ada di sini!"
ujar si pelayan Ki Lurah Mujo seraya mendekat, mem-
bawa bungkusan dari daun pisang berminyak.
Raka Pura segera bersikap ramah kepada pe-
layan Ki Lurah Mujo itu.
"Ada yang tertinggal, Tuan Raka! Hmm... ini, ti-
tipan dari Nyai Lurah. Ketan uli. Lumayan buat bekal
di perjalanan nanti!"
"Seharusnya Mak Nyai tidak perlu repot-repot
begin!. Tapi... sampaikan saja pada beliau, aku banyak haturkan terima kasih
atas perhatiannya yang besar
Ini!" ujar Raka kepada sang pelayan itu.
Orang tersebut segera pamit. Tapi sebelum ke-
luar dari kedai, Ki Samekta sempat bertanya kepa-
danya. "Siapa pemuda yang dapat bingkisan dari Nyai Lurah itu"!"
"O, dia tadi sembuhkan ibu Ki Lurah. Mereka
berdua itulah yang berjuluk Pendekar Kembar!"
"Haahh..."!" Ki Samekta dan beberapa orang
yang mendengarnya terperangah kaget.
"Apa kalian belum pada tahu kalau mereka itu
Pendekar Kembar"! Uuh... payah kalian! Kuno! Keting-
galan zaman!" sambil si pelayan berlalu keluar dari ke-
dai. Mereka masih tertegun bengong dengan wajah te-
gang, merasa takut akan cemoohan yang tadi mereka
lontarkan kepada Raka Pura itu. Sedangkan Raka
hanya tersenyum kecil seraya menatap Ki Samekta
yang pucat. Perhatian Raka Pura segera beralih pada tan-
gan Bunga Dewi yang masih terikat. Soka melarang
Raka melepaskan tali pengikat itu, walaupun Bunga
Dewi sudah mendesak beberapa kali.
"Sebelum aku yakin betul bahwa kau tidak ber-
salah, tidak mencuri pisau pusaka itu, aku belum in-
gin membuka ikatan mu!"
"Harus dengan cara apa aku membuktikan-
nya"!" Ki Samekta mendekat, "Mau makan apa, No-na?" "Nasi rawon!" jawab Bunga
Dewi dengan cepat sambil cemberut.
"Tuduhan itu hanya sebagai alasan saja bagi
mereka agar bisa menangkapku dan menjual ku kepa-
da...." "Minumnya apa, Nona?"
"... kepada air jeruk!" lanjut Bunga Dewi menjadi kacau karena Ki Samekta
menyela dalam pembica-
raan itu. Mereka bicara terus tentang kejujuran si gadis.
Sementara itu, hidangan yang dipesan oleh si gadis telah disajikan. Mau tak mau
si gadis protes karena tak bisa makan dalam keadaan kedua tangan diikat.
Akhirnya, si pemuda tampan yang konyol itu mendulang
Bunga Dewi sambil bicara kepada kakaknya tentang
pengakuan Bunga Dewi.
"Di Sana ada lima gadis sebayaku yang siap di-
jual ke Bukit Maut!" ujar Bunga Dewi yang segera menerima suapan nasi dari Soka
Pura. Ia bicara kepada
Raka, dan Raka tampak menyimak betul pengakuan
itu. "Untuk apa mereka menjual gadis-gadis ke Bu-
kit Maut?" tanya Raka.
"Entahlah. Aku tak jelas maksud mereka. Tapi
kurasa yang dibutuhkan oleh penguasa Bukit Maut itu
adalah keperawanan seorang gadis."
"Siapa penguasa Bukit Maut itu?"
"Darah Kula!" jawab si gadis dan suaranya yang agak keras itu membuat orang-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang di sekitarnya
hentikan suara, hentikan gerakan, semua menatap
Bunga Dewi. Tatapan mata mereka tampak mengan-
dung ketegangan yang menyeramkan hati masing-
masing. "Hati-hati menyebut nama itu, Nona," kata Ki Samekta yang tampak
ketakutan juga.
"Mengapa harus hati-hati, Pak Tua?" tanya Ra-ka, namun Ki Samekta justru pergi,
sepertinya tak be-
rani jelaskan tentang nama Darah Kula itu. Kepergian
tersebut membuat Raka dan Soka sama-sama heran
dan menyimpan rasa ingin tahu lebih banyak lagi ten-
tang si Darah Kula itu.
* * * 3 BUNGA Dewi dalam perjalanan ke Pantai Sintar
untuk menemui seorang sahabatnya. Ketika ia mele-
wati lembah curam, tiba-tiba disergap oleh empat
orang lelaki bertampang sangar namun rata-rata ber-
tubuh kurus. Pertarungan pun terjadi. Dengan mudah
mereka dapat lumpuhkan Bunga Dewi. Gadis itu sege-
ra dibawa ke Perguruan Tengkorak Sungsang. Ketua
perguruan itu bernama Jagat Lancang; bertubuh ku-
rus, bermata cekung, berkepala gundul, mirip tengko-
rak hidup. Bunga Dewi dimasukkan dalam sebuah kamar
yang sudah berisi lima orang gadis sebayanya. Lima
orang gadis itu juga tawanan si Jagat Lancang. Mereka sudah tiga hari disekap di
situ, bahkan ada yang sudah lima hari.
"Kita akan dijual ke Bukit Maut. Di sana sudah
ada orang yang akan membeli kita, yaitu penguasa Is-
tana Merah di bukit itu yang bernama Darah Kula,"
ujar gadis yang sudah lima hari disekap di situ.
"Dari mana kau tahu?" tanya Bunga Dewi.
"Kemarin kudengar percakapan dua penjaga
yang lewat di depan kamar ini. Mereka mengumpulkan
gadis-gadis sebaya kita sampai sepuluh orang, baru
dibawa ke Bukit Maut."
Pada suatu kesempatan, Bunga Dewi berhasil
lolos dari pertahanan mereka dan melarikan diri mele-
wati desa tempat Ki Samekta buka kedai Itu. Tapi ia
segera tertangkap kembali oleh anak buah si Jagat
Lancang itu. "Bagaimana kau bisa tetap membawa pisaumu
itu?" tanya Soka setelah selesai mendengarkan penjelasan lengkap dari Bunga
Dewi. "Kebetulan penjaga yang ku lumpuhkan perta-
ma kali adalah orang yang menyimpan pisauku ini!
Maka kuambil pisau ini dan aku segera meloloskan diri dari benteng perguruan
tersebut."
"Semudah itukah kau lolos"!" tanya Raka agak sangsi. "Tentu saja tidak semudah
itu. Aku mendekam di dalam kandang kambing sampai petang tiba. Dari
situ aku bisa lolos keluar dengan memanjat sebuah
pohon. Tapi gerakanku ada yang melihatnya, lalu aku
dikejar dan berhasil bersembunyi di salah satu rumah
penduduk desa ini!"
"Tentunya kau bisa melawan dengan pisaumu
saat dikejar oleh tiga orang yang menangkapmu lagi
itu," pancing Soka.
"Memang. Tapi sebelum ku cabut pisauku, me-
reka sudah membuatku tak berdaya. Serangan mereka
datang bertubi-tubi dan sukar ku hindari. Ilmuku ka-
lah tinggi dengan ilmu mereka bertiga. Apakah kau tak melihat sudut bibirku ini
sedikit robek"!" Bunga Dewi menunjukkan luka di sudut mulutnya. Raka Pura
manggut-manggut dalam gumam.
"Lepaskan saja ikatannya!" kata Raka kepada adiknya. "Kujamin ceritanya memang
benar!" "Dari mana kau bisa tahu kalau ceritanya me-
mang benar"!"
Raka berbisik pada Soka, "Kuperhatikan sejak
tadi, Ki Samekta menyimak percakapan kita. Ia tam-
pak cemas sekali mendengarkan cerita Bunga. Agak-
nya ia menyimpan rahasia tentang Darah Kula."
"Itu bukan alasan yang cukup untuk memper-
cayai kata-kata Bunga!" Soka ganti berbisik.
"Lihat tepian kaki si Bunga, masih ada sisa ko-
toran kambing. Apakah kau tak mencium baunya?"
Ternyata apa yang dibisikkan Raka itu memang
benar. Ada sisa kotoran kambing sedikit di tepian kaki Bunga Dewi, sebagai tanda
bahwa ia memang bersembunyi cukup lama di kandang kambing. Aroma bau
kambing pun masih tercium samar-samar dari pakaian
si gadis. Aroma bau kambing itu baru disadari oleh
Soka setelah ia nekat mencium rambut Bunga Dewi.
Bunga menyangka Soka ingin berbuat jahil ke-
padanya hingga ia mendesah dan mengelak. Tapi bau
kambing itu sudah cukup tercium oleh hidung Soka,
sehingga akhirnya Soka pun melepaskan tali pengikat
kedua tangan Bunga Dewi.
Ketika kedai mulai sepi, mereka bertiga belum
beranjak dari tempatnya. Sore mulai datang, dan me-
reka memang menunggu saat-saat sepi seperti itu.
Raka Pura segera memanggil Ki Samekta den-
gan lagak ingin membayar seluruh biaya makan-
minum mereka di situ.
Ketika Ki Samekta mendekat, Raka menyuruh-
nya duduk. Sejumlah uang dipaksakan agar tergeng-
gam oleh Ki Samekta.
"Terlalu banyak uang ini, Nak. Jauh lebih cu-
kup untuk membayar semua biaya makan-minum ka-
lian." "Kau bisa menyimpan sisanya, Pak Tua."
"Ooh, terima kasih, terima kasih...." Ki Samekta tampak girang. Namun si
Pendekar Kembar sulung bu-ru-buru berkata lebih pelan lagi.
"Sebagai imbalan dari uang lebihan itu, aku in-
gin mendapat penjelasan darimu tentang Darah Kula!"
"Hmm, eeh, ooh, anu... aku tak berani, Nak!"
"Apa yang membuatmu takut menjelaskan ten-
tang Darah Kula"! Apakah di sini ada mata-matanya
Darah Kula"!" desak Soka membantu bujukan kakak-
nya. Ki Samekta tampak gelisah sekali.
"Hmmm... aku tak tahu apakah di sini ada ma-
ta-matanya atau tidak. Tapi... tapi aku tak sanggup
menjelaskan tentang orang keji itu."
"Apa yang membuatmu tak sanggup?"
"Aku...," wajah Ki Samekta menjadi semakin mendung. Tampaknya ia menyimpan
kesedihan yang cukup besar dalam hatinya. Tapi karena Soka dan Ra-
ka mendesaknya terus-menerus secara bergantian dan
dengan tutur kata yang lembut, maka akhirnya Ki Sa-
mekta pun kemukakan alasannya.
"Sebab... sebab jika aku mendengar nama Da-
rah Kula, aku ingat dengan nasib anak gadisku yang
bernama Supami."
"Apa yang terjadi atas diri Supami, Pak Tua?"
tanya Raka setelah melirik Bunga Dewi sebentar. Gadis yang dilirik itu sengaja
diam saja karena ingin menyimak baik-baik apa yang akan diutarakan oleh Ki Sa-
mekta. "Supami.... Supami adalah putri bungsu ku.
Usianya sekitar... yah, sebaya denganmu, Nona!" sambil mata Ki Samekta ditujukan
kepada Bunga Dewi.
"Di mana Supami sekarang?" tanya Bunga De-
wi, Ikut memancing penjelasan lebih lanjut.
"Dia... dia sudah empat purnama tidak kembali.
Semula ia diajak pergi oleh kekasihnya yang menjadi
murid Perguruan Tengkorak Sungsang itu. Bukan
hanya Supami saja yang pergi, namun kedua sahabat-
nya yang masih gadis juga diajak pergi oleh Wiloka,
kekasihnya Supami.itu. Menurut Wiloka, anakku akan
dicarikan kerja di kotaraja dengan penghasilan tinggi.
Tapi ternyata...."
Pemilik kedai itu diam sesaat. Segumpal duka
menyesal di dada dan menghambat pernafasannya. Ia
terpaksa tarik napas panjang-panjang, setelah itu lanjutkan ceritanya dengan
suara bergetar menahan ke-
sedihan. "Tapi ternyata mereka dijual kepada Darah Ku-
la melalui sekutunya; si Jagat Lancang. Hal itu kuke-
tahui setelah salah satu sahabat anakku berhasil me-
larikan diri dalam keadaan luka-luka berat. Dialah
yang menceritakan segalanya tentang si Darah Kula.
Tapi... anak itu akhirnya tak kuat menahan luka-
lukanya, sehari kemudian ia meninggal."
"Apa saja yang diceritakan oleh gadis itu, Pa-
man?" tanya Soka setelah Ki Samekta membisu terlalu
lama. "Darah Kula adalah manusia pengisap darah perawan."
"Ooh..."!" Bunga Dewi terperanjat tegang.
"Para gadis yang dijual kepadanya bukan untuk
diperkosa atau dijadikan budak, namun diisap darah-
nya hingga terkuras habis. Darah Kula adalah manu-
sia keturunan Iblis. Ia tidak bisa hidup dari makanan dan minuman yang layaknya
kita nikmati ini. Kekuatannya pada darah perawan."
"Menyeramkan sekali!"* gumam Bunga Dewi
sambil bergidik merinding.
"Jika dalam satu hari Darah Kula tak memi-
num darah perawan, maka tubuhnya akan menjadi
lemah. Semakin banyak darah perawan dihirupnya,
semakin tinggi daya kesaktiannya," tutur Ki Samekta menyambung penjelasannya
tadi. "Lalu, menurut gadis yang berhasil pulang ke
rumah itu, apakah Supami juga diperlakukan demi-
kian?" "Semua gadis yang dijual Jagat Lancang mengalami nasib demikian. Setelah
darahnya dihirup ha-
bis, gadis itu dibunuh dan... dan entah dikubur di ma-na mayatnya. Sampai
sekarang aku tak pernah tahu di
mana mayat anakku dimakamkan oleh mereka," Ki
Samekta semakin parau.
"Apakah kau tahu tentang kesaktian dan kele-
mahan si Darah Kula, Paman?" tanya Soka.
Ki Samekta menatap Soka, lalu gelengkan ke-
pala dengan lemah. Ia menunduk lagi, tapi kali ini suaranya kembali terdengar
agak parau. "Jika kau ingin tahu tentang Darah Kula, pergi-
lah ke Lembah Semangit, carilah orang yang bernama
Resi Bayakumba."
"Nama yang masih asing bagi kami, Paman."
"Resi Bayakumba adalah sahabatku. Dulu ia
pernah singgah kemari dan menyebut-nyebut nama
Darah Kula yang bangkit dari kematiannya. Tapi cerita itu terpotong oleh
kehadiran tamu lain, sehingga sampai Resi Bayakumba pulang, aku tak mendengar
lagi cerita tentang Darah Kula!"
"Hmmm... kalau begitu kita harus segera temui
Resi Bayakumba itu, Raka!"
"Ya. Tapi di mana letak Lembah Semangit"!"
"Jika kalian berjalan lurus ke timur dari desa
ini, maka kalian akan menemukan sungai di tepi hu-
tan. Di situlah Resi Bayakumba tinggal bersama murid
tunggalnya," ujar Ki Samekta.
"Aku tak mau ikut jika kalian ke sana!" sergah Bunga Dewi dengan menarik badan
hingga duduknya
yang semula maju ke depan menjadi tegak kembali.
"Mengapa kau tak mau ikut ke sana"!" tanya
Soka Pura yang agaknya sedikit keberatan jika Bunga
Dewi tak ikut dalam perjalanannya. Karena gadis can-
tik itu sebenarnya menyenangkan hati Soka, enak di-
pandang, enak digoda dan enak dibentak-bentak.
"Aku tak mau," Bunga Dewi gelengkan kepala
lagi. "Sebab kalau kita ke timur lagi, berarti kita akan sampai ke perguruannya
si Jagat Lancang. Aku tak
mau tertangkap oleh mereka."
Gadis itu bergidik lagi. Tentu saja ia semakin
ngeri setelah mendengar cerita Ki Samekta tentang na-
sib Supami itu.
"Kalian jangan berjalan lurus ke timur," ujar Ki Samekta. "Kalian bisa membelok
ke kiri begitu menemukan gundukan tanah cadas yang sebesar rumahku
ini. Jika kalian membelok ke kanan, berarti ke kan-
dangnya si Jagat Lancang. Tapi jika ke kiri, kalian
akan menemukan anak sungai berair dangkal. Ikuti
saja sungai itu sampai akhirnya kalian nanti akan me-
nemukan sebuah pondok berdinding kayu-kayu hutan.
Itulah tempat kediaman Resi Bayakumba!"
Mendengar semangatnya Ki Samekta dalam
memberikan penjelasan tersebut, Raka Pura pun ak-
hirnya tersenyum dan berujar kepada si pemilik kedai
tersebut. "Tampaknya kau ingin sekali agar kami berte-
mu dengan Resi Bayakumba, Pak Tua"!"
"Karena... karena aku berharap kalian akan
hancurkan si pengisap darah perawan itu! Aku yakin,
sebagai Pendekar Kembar, kalian punya keberanian
untuk berhadapan dengan tokoh keturunan iblis itu!
Aku pun berharap kalian akan unggul melawannya.
Hancurkan dia! Hancurkan sampai seluruh pengikut-
nya!" geram Ki Samekta dengan gigi menggeletuk pertanda menyimpan dendam cukup
besar. Tentu saja
dendam itu timbul akibat dari nasib malang anaknya
yang sudah bisa dipastikan menjadi korban keganasan
si Darah Kula itu.
Karena hari semakin sore, akhirnya mereka
bermalam di rumah Ki Samekta yang bagian depannya
dijadikan kedai itu. Bunga Dewi ribut tak mau tidur
dalam sekamar dengan Raka maupun Soka. Padahal
kamar yang tersedia hanya satu. Akhirnya kedua pe-
muda kembar itu mengalah tidur di bangku kedai,
sambil melanjutkan perbincangannya dengan Ki Sa-
mekta, sementara Bunga Dewi tidur di kamar itu sen-
dirian. Sebelum matahari pagi semakin meninggi, Pen-
dekar Kembar rencanakan berangkat ke Lembah Se-
mangit. Tapi sampai embun pagi telah mengering,
Bunga Dewi belum keluar dari kamarnya. Raka Pura
menjadi kesal dan menggerutu di samping Soka.
"Cantik-cantik kalau tidur seperti kerbau! Ban-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gunkan si perawan kesiangan itu, Soka!"
"Sabarlah, jadi orang itu jangan cepat marah,"
ujar Soka pelan sambil bergegas penuhi perintah ka-
kaknya. "Terlalu sabar bisa bikin dia jadi gadis manja!"
"Manja sedikit tak apalah...," gumam Soka masih terdengar, sehingga Raka
menyahutnya. "Tak ada manja-manjaan kalau mau ikut ber-
samaku! Biar cantik kalau manja akan ku banting
dia!" Soka Pura memang tak segusar kakaknya, karena ia suka memanjakan seorang
gadis, terlebih gadis yang cantik. Tapi Raka Pura memang kurang berminat
untuk mendekati seorang gadis, sehingga ia benci den-
gan kemanjaan. Tiba-tiba dari depan kamar Bunga Dewi, sang
adik kembar itu berseru kepada Raka dengan wajah
tegang. "Raka, Bunga sudah tak ada di kamarnya!"
"Minggat ke mana anak itu"!"
"Kurasa... oh, cobalah kemari sebentar!" seru Soka yang memancing minat Ki
Samekta untuk ikut
datang ke kamar gadis itu.
Raka Pura dan Ki Samekta sama-sama diam
tertegun memperhatikan kamar yang kosong, tapi jen-
dela dalam keadaan terbuka. Bunga Dewi telah hilang
dari kamarnya. Mereka tak tahu persis, ke mana per-
ginya gadis itu.
"Apakah dia diculik oleh orangnya Jagat Lan-
cang"!" tanya Ki Samekta kepada Raka Pura.
"Diculik atau kabur dengan sendirinya"!" Raka ganti bertanya, tapi hanya berupa
gumam, sepertinya
ia bertanya pada diri sendiri.
"Jika ia kabur sendiri, apa alasannya"!" ujar Soka Pura menyatakan keraguannya.
"Jika diculik, mengapa kamar ini masih rapi"
Tentunya Bunga lakukan perlawanan."
"Bagaimana jika penculiknya menotok Bunga
lebih dulu pada saat Bunga masih tertidur"! Tentu saja keadaan di kamar ini
tetap rapi karena tak ada perlawanan."
Pendekar Kembar segera memeriksa keadaan
sekeliling, termasuk keadaan di luar rumah. Repotnya, tak ada tanda-tanda yang
membuat mereka yakin antara diculik dan kabur sendiri.
"Bagaimana dengan alas kakinya"! Mengapa
alas kakinya tak tertinggal jika ia diculik?" ujar Raka Pura, sepertinya ia
cenderung beranggapan bahwa
Bunga Dewi kabur dengan sendirinya. Tetapi Soka
cenderung berpendapat bahwa gadis itu diculik oleh
pihaknya Jagat Lancang.
"Bunga mengenakan sandal berikat sampai ke
betis. Mungkin ia tetap mengenakan sandal itu dalam
keadaan tidur. Bisa saja dia terlalu capek, sehingga tak sempat melepas alas
kakinya, langsung tertidur. Dengan begitu jika ia diculik, tentu saja alas
kakinya ikut diculik juga!"
Raka Pura segera dekati Ki Samekta.
"Apakah tadi malam kau memeriksa jendela
sudah terkunci atau belum?"
"Hmmm, eeh... aku tak sempat memeriksanya,
Raka. Kupikir jika jendela sudah tertutup, berarti sudah terkunci."
"Siapa yang menutup jendela kamar ini pada
awalnya?" "Bukankah si gadis itu sendiri yang menutup-
nya ketika ia ribut ingin menempati kamar ini sendi-
rian"!" ujar Ki Samekta.
"Benar juga!" gumam Raka pelan.
"Kurasa ia memang diculik oleh orang-orangnya
Jagat Lancang itu, Raka," ujar Soka Pura. "Jendela lu-pa tidak dikunci, sehingga
penculiknya tak perlu repot-repot merusak jendela itu untuk masuk kemari!"
"Dari mana mereka tahu kalau bunga ada di si-
ni, bermalam di rumah ini" Dan berada di kamar ini"!"
"Kurasa... kurasa ada seseorang yang mengeta-
huinya. Mungkin di desa ini ada mata-matanya Darah
Kula, ada pula mata-matanya Jagat Lancang!"
Raka Pura hanya menghembuskan napas pan-
jang. Tampaknya ia merasa jengkel dengan keadaan
yang membuatnya harus berpikir keras itu. Ia sempat
menggerutu menyalahkan adiknya yang datang ke ke-
dai membawa Bunga Dewi bersama persoalannya. Me-
nurut Raka, itu hanya cari penyakit dan cari susah sa-ja.
"Kalau begitu, biar aku sendiri yang pergi ke
Perguruan Tengkorak Sungsang untuk bebaskan Bun-
ga Dewi!" "Jangan sembarangan bertindak, Soka! Bagai-
mana jika penculiknya bukan dari pihaknya si Jagat
Lancang"!"
"Aku yakin dialah dalang penculikan itu. Se-
bab... sebab Bunga Dewi agaknya sangat diincar dan
menurut mereka bisa laku lebih mahal dari gadis-gadis lainnya."
Baru saja Raka ingin bicara, tapi Soka sudah
pergi lebih dulu dengan melompati jendela kamar itu.
"Soka, tunggu...!"
Seruan sang kakak tidak dihiraukan. Soka be-
nar-benar mengkhawatirkan keselamatan Bunga Dewi,
sehingga ia tak peduli dengan seruan kakaknya atau
peringatan dari sang kakak tadi. Sementara itu, Pen-
dekar Kembar sulung merasa cemas pula melihat Pen-
dekar Kembar bungsu pergi sendiri ke sarang musuh.
Mau tak mau ia pun akhirnya menyusul sang adik
dengan gerutuan yang tiada habisnya.
* * * 4 GUGUSAN cadas setinggi rumah yang dikata-
kan Ki Samekta sebagai patokan jalan pemisah itu ma-
sih jauh dari langkah Pendekar Kembar. Namun lang-
kah kakak-beradik itu terpaksa dihentikan sejenak ka-
rena si adik melihat sekelebat bayangan melintas di se-la-sela semak sebelah
kiri mereka. "Siapa orang itu"!" sentak Soka Pura dalam na-da bisik sambil tangannya menunjuk
ke arah bayan- gan yang berkelebat cepat.
"Ikuti saja dia. Siapa tahu dia orang yang mem-
bawa lari Bunga Dewi!" ujar sang kakak yang akhirnya mendukung pendapat Soka
Pura, bahwa Bunga Dewi
diculik seseorang. Hanya saja, dalam hati kecil Raka
masih belum yakin, apakah si penculiknya dari Pergu-
ruan Tengkorak Sungsang atau dari pihak lain.
Wes, wes...! Mereka memburu bayangan yang di
curigai. Ternyata bayangan itu juga sedang mengejar
bayangan lain yang tak bisa tertangkap penglihatan
Pendekar Kembar dengan jelas. Bahkan ketika mereka
tiba di bawah tanah menanjak, mereka sempat kehi-
langan arah. "Ke mana bayangan yang kita ikuti tadi"!" tanya Soka dengan mata lebar memandang
ke sana-sini. "Kurasa ia membelok balik batu besar itu! Kita ke sana saja!" Wes, wes...!
Pendekar Kembar berkelebat lagi dengan kecepatan cukup tinggi. Akhirnya langkah
me- reka terhenti di balik semak-semak yang tumbuh di
bawah pohon besar. Soka Pura yang mengawali ber-
henti, sehingga Raka pun ikut-ikutan berhenti.
"Ssstt...!" Soka Pura memberi isyarat dengan te-lunjuk ditempelkan di depan
mulut. Dari sana mereka dapat mengintai pertemuan
tiga orang yang saling tak dikenal oleh Pendekar Kem-
bar. Dua orang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, dan seorang gadis
berusia sekitar dua puluh ti-ga tahun.
Melihat posisi si gadis ada di tengah, di antara
kedua lelaki yang sama-sama mengenakan ikat kepala
merah itu, maka Soka Pura dapat menyimpulkan bah-
wa gadis itu terkepung langkahnya hingga berhenti di
sana. "Kau kenal salah satu dengan mereka?" bisik Raka Pura.
Suka menggeleng. "Tapi agaknya mereka ber-
siap lakukan pertarungan satu lawan dua."
"Ya, kurasa si gadis akan berhadapan dengan
dua orang kurus itu."
"Yang kita ikuti tadi lelaki yang berbaju hijau
itu! Kurasa dia tadi mengejar si gadis."
"Lalu, lelaki yang berpakaian abu-abu itu da-
tang dari mana?"
"Ia menghadang si gadis. Mungkin ia ambil ja-
lan pintas untuk lakukan penghadangan."
"Hmmm...," Raka Pura manggut-manggut. "Kelihatannya dua orang kurus itu bukan
dari aliran pu-
tih. Wajah mereka tampak licik-licik dan...."
"Ssst...!" potong Soka. "Dengarkan percakapan mereka itu!"
Dua lelaki berusia sebaya itu tersenyum-
senyum sinis. Mereka mondar-mandir di tempatnya
masing-masing. Yang berbaju hijau berkumis tipis,
yang berpakaian abu-abu tidak berkumis sedikit pun.
Tetapi dari sorot mata mereka, kentara sekali bahwa
mereka bukan orang baik-baik.
"Biar kau lari ke lubang semut pun, kami tetap
akan berhasil menangkapmu, Bulan Berkabut!" seru lelaki berbaju hijau sambil
mengusap-usap kumisnya.
"Lebih baik menyerah saja, Bulan Berkabut!
Untuk apa kau buang-buang tenaga dengan lari sana-
sini, akhirnya akan bertemu juga denganku. Dunia ini
sempit, Bulan Berkabut!" timpal orang yang berpakaian abu-abu itu.
"Sebenarnya aku enggan berlumur darah. Tapi
jika kalian menghendaki begitu, terpaksa kulayani ke-
hendak kalian! Cabutlah senjatamu, Marambang!" ujar si gadis kepada yang
berpakaian abu-abu. Ternyata
orang bersenjata cambuk itu bernama Marambang.
Orang itu berseru kepada yang berbaju hijau,
"Lumpuhkan dia secepatnya, Randu Alas!"
"Baik, Tapi berjaga-jagalah, Marambang. Yang
satu ini licin bagaikan belut. Bersiaplah menyergapnya jika ia mau kabur lagi!
Heh, heh, heh, heh!"
Randu Alas yang berbaju hijau itu tertawa. Su-
aranya sama sekali tak enak didengar dan lagaknya
sangat memuakkan bagi si gadis yang mengenakan ba-
ju buntung warna merah tua dengan celananya yang
ketat warna serupa.
Gadis cantik yang bernama Bulan Berkabut itu
mempunyai rambut pendek seperti potongan lelaki, ta-
pi bagian depannya agak panjang. Sebagian rambut
depannya merawis di sekitar kening. Bulan Berkabut
mengenakan giwang merah tua juga sebesar kacang
tanah. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang
sensual itu sempat membuat Soka Pura berdesir-desir
indah. Dengan baju buntung yang dililit sabuk hitam
dan celana ketat yang panjangnya separo betis, Bulan
Berkabut tampak seksi sekali. Ditambah lagi dengan
tubuhnya yang termasuk tinggi dan sekal, padat berisi, belahan dadanya tampak
sebagian, walau tak terlalu
montok namun cukup menantang, ia benar-benar ga-
dis yang mampu membuat hati lelaki berdebar-debar.
Kulitnya yang kuning langsat tampak mulus, ter-
bayang lembut dan halus jika disentuh.
Ia menyandang pedang di punggungnya. Pe-
dang itu mirip sebuah samurai dilapisi kulit binatang tanpa bulu warna hitam.
Gagangnya yang juga terbungkus kulit hitam itu diberi hiasan ronce-ronce be-
nang merah. Pedang itu belum dicabut. Bulan Berkabut in-
gin coba lumpuhkan lawannya dengan tangan kosong.
Maka ketika Randu Alas melesat tinggi sebatas pun-
daknya, gadis itu segera sentakkan kedua tangan me-
nyilang di depan kepala.
Wuut, plaaark...! Tendangan kaki Randu Alas
berhasil ditangkis dengan tangan menyilang. Namun di
luar dugaan, tubuh Randu Alas melintir dalam puta-
ran cepat dan kaki yang satu menyambar wajah Bulan
Berkabut. Wees...! Plaak...!
Bulan Berkabut yang segera memiringkan ba-
dannya itu tetap terkena tendangan kaki lawan di ba-
gian ujung pundaknya. Ia terpelanting nyaris jatuh,
namun cepat-cepat jaga keseimbangan dan tegak kem-
bali. "Satu Jurus lagi harus selesai, Randu Alas!
Jangan buang-buang waktu!" seru Marambang sambil berjalan berkeliling menjaga
kemungkinan lolosnya si
gadis cantik berpinggul menantang itu.
"Heeaahh...!"
Randu Alas kerahkan tenaganya. Kedua tangan
bergerak cepat ke berbagai arah, lalu diam seketika
dengan tangan membuka ke atas dan ke bawah dan
kaki kiri lurus ke belakang, kaki kanan merendah ko-
koh. Bulan Berkabut juga mainkan jurusnya dengan
cepat dan lincah. Dalam sekejap berikutnya, Bulan
Berkabut sentakkan kakinya hingga tubuh terangkat
ke atas, karena pada saat itu Randu Alas menyampar-
kan kakinya secara berturut-turut dengan gerakan
memutar rendah.
Wes, wes, wes...!
Lompatan gadis itu cukup tinggi. Tangannya
berhasil mencapai dahan pohon yang terjulur di atas-
nya. Teeb...! Maka tubuh pun diayunkan sesaat, lalu
tiba-tiba ia melayang dalam gerakan bersalto cepat.
Wees...! Wuk, wuk, wuk...!
Sepertinya ia tak mengarah kepada Randu Alas.
Tapi tiba-tiba kedua kakinya merentang lebar dalam
satu sentakan. Seet...!
Plook...! Pelipis kiri Randu Alas terkena tendangan lebar
yang menyentak di luar dugaan itu. Randu Alas terpe-
lanting ke samping dan terhuyung-huyung. Pada saat
itu, Bulan Berkabut telah daratkan kakinya ke bumi.
Satu sentakan ujung kaki membuatnya melesat lagi
dan menerjang Randu Alas yang masih menggeragap
itu. Wuuut, dees...!
"Aaoow...!"
Randu Alas memekik keras sambil jatuh ter-
banting ke samping. Tendangan kaki Bulan Berkabut
disaluri kekuatan tenaga dalam, hingga pelipis Randu
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alas terasa retak. Ada darah yang mengalir dari telinga Randu Alas.
Melihat lawannya jatuh dan menyeringai kesa-
kitan, Bulan Berkabut segera pergunakan senjatanya.
Pedang itu dicabut dalam satu gerakan tangan yang
hampir tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Srriing...!
Bunyi mata pedang bergeser saat dicabut itulah
yang membuat Marambang tahu bahwa temannya da-
lam ancaman bahaya. Maka, sebelum pedang Bulan
Berkabut menyabet ke bawah, Marambang segera le-
paskan pukulan jarak jauh dari arah belakang si gadis.
Tangannya yang menggenggam tiba-tiba menyentak ke
depan dengan telapak tangan terbuka lurus. Wuuut...!
Buuuhk...! Terdengar suara punggung bagai
dihantam dengan sepotong balok kayu cukup besar.
Bulan Berkabut tersentak dengan tubuh melengkung
ke depan, wajah terdongak menyeringai menahan sa-
kit. Nafasnya tersentak dalam bentuk suara berat.
"Hhheeekh...!"
Kesempatan itu digunakan oleh Randu Alas un-
tuk segera berguling ke kiri satu kali, kemudian me-
lompat dan berguling lagi, sampai akhirnya ia berdiri dengan berpegangan pada
pohon, enam langkah dari
tempat Bulan Berkabut terhenyak dl tempat.
Bertepatan dengan itu pula, Marambang ber-
guling maju dalam satu lompatan. Begitu ia bangkit
dengan satu kaki berlutut di belakang Bulan Berkabut, kedua tangannya menotok
pinggang kanan-kirinya lawan. Dess, dess...!
"Ahkk...!" Bulan Berkabut tersentak lagi dengan tubuh terbungkuk, kemudian ia
Jatuh terkulai ketika
ingin melangkah. Tubuhnya ambruk bagaikan tak ber-
tulang sama sekali. Totokan itu membuat Bulan Ber-
kabut tak bisa bergerak, namun keadaannya masih
sadar. Matanya masih terbuka, mulutnya pun tern-
ganga, hanya saja mata itu tak dapat bergerak ke kiri atau ke kanan dan mulut
itu tak bisa menelan ludah
kecuali napas tipis.
"Curang sekali si Marambang itu!" geram Raka
di samping adiknya yang jongkok di depannya. Sang
adik masih diam saja, sepertinya asyik mengikuti ade-
gan selanjutnya.
Marambang segera hampiri Randu Alas yang
sibuk membersihkan darah dari telinganya. Sementara
itu, si gadis dibiarkan terkulai di tanah tanpa rasa
khawatir kalau akan melarikan diri lagi.
"Bagaimana" Parah"!" tanya Marambang den-
gan mata memancarkan kemarahan yang mulai surut.
"Untuk apa pergi ke sawah"!" ujar Randu Alas dengan suara berat karena menahan
rasa sakit di telinganya.
"Siapa yang mau mengajak mu ke sawah" Ku-
tanya, apakah lukamu parah"!" tegas Marambang.
"Oh, tidak! Aku masih kuat!"
"Kerjamu terlalu lamban, Randu Alas! Lihat,
hanya dengan dua jurus, gadis itu bisa kulumpuhkan!"
"Jangan disembuhkan dulu! Kita bawa saja dia
dalam keadaan seperti itu."
"Siapa yang mau sembuhkan dia"! Ah, bicara-
mu mulai ngacau, Randu Alas!"
"Jadi kau tadi bilang apa"!"
"Dia bisa ku lumpuhkan!" suara Marambang
agak keras. Rupanya telinga Randu Alas menjadi bu-
dek akibat terluka bagian dalamnya, sehingga ia selalu salah dengar jika
Marambang bicara padanya.
"Sebaiknya kita bawa pulang saja gadis itu se-
karang juga! Kurasa ketua sudah menunggu-nunggu
hasil kerja kita. Bulan Berkabut adalah gadis yang
cantik dan berdarah segar. Si Darah Kula pasti me-
nyukainya. Dia bisa laku mahal, Randu Alas!"
"Siapa yang jual mahal"! Dia..."!"
"Laku mahal!" ulang Marambang dengan keras
dan bernada Jengkel. "Kenapa kau jadi budek begitu"!"
Di sisi lain, Raka Pura berbisik kepada adiknya,
"Rupanya mereka orangnya Jagat Lancang! Gadis itu akan dijual kepada Darah
Kula!" "Kita harus bertindak secepatnya! Kau lum-
puhkan dua orang itu, aku akan mengobati si Bulan
Berkabut!"
"Mengapa bukan kau saja yang melumpuhkan
Marambang dan Randu Alas"!"
"Sudahlah, jangan banyak berdebat! Nanti ga-
dis itu telanjur dibawa pergi oleh mereka!"
Raka Pura ingin ucapkan kata lagi, tapi sang
adik sudah lebih dulu bergerak keluar dari persembu-
nyian. Mau tak mau Raka mengikutinya walau dalam
hatinya, ia menggerutu sendiri.
"Giliran mengobati gadis cantik, dia yang tan-
gani! Aku disuruh hadapi kedua orang itu. Tapi kema-
rin ketika harus mengobati ibunya Ki Lurah Mujo, dia
tak mau campur tangan. Huhh...! Dasar bulus konyol!"
Soka Pura muncul dengan senyum ceria dan
berkesan cengar-cengir. Kemunculannya disertai se-
ruan sok akrab dengan Marambang dan Randu Alas.
"Hoii...! Bagaimana" Beres..."!"
Tentu saja kemunculan Pendekar Kembar
membuat Marambang dan Randu Alas curiga. Mereka
memandang dengan dahi berkerut karena merasa tak
mengenal kedua pemuda kembar itu. Walaupun Soka
menyapa dengan sok akrab, tapi Marambang dan Ran-
du Alas tak memberi balasan.
Soka Pura semakin nyengir begitu tiba di depan
Marambang dan Randu Alas.
"Kalian orang Perguruan Tengkorak Sungsang,
bukan"!"
"Ya. Siapa kalian berdua"!" jawab Marambang dengan nada ketus dan ganti bertanya
penuh curiga. "Apa kalian belum mengenal kami" Kami murid
baru di perguruan itu!"
Marambang menggeram tak bersahabat.
"Omong kosong! Guru sudah tak menerima murid baru sejak setengah tahun yang
lalu!" "Mau apa kalian sebenarnya"!" Randu Alas
paksakan diri untuk menggertak.
"Mau ambil gadis ini!" jawab Soka enak saja.
"Eit, nanti dulu!" Marambang mengangkat tangannya, ia mendekati Soka yang sudah
ada di samping Bulan Berkabut.
"Jangan coba-coba berani sentuh gadis itu!"
ancam Marambang. "Jika ada yang menyentuhnya
akan kubunuh seketika itu juga!"
"Kalau begitu, hadapi saja kakakku ini! Sudah
lama dia kepingin dibunuh!" ujar Soka seenaknya saja.
Kemudian ia membungkuk dan mengangkat Bulan
Berkabut untuk dipindahkan ke tempat yang teduh.
"Kurang ajar! Hiaaaat...!" Marambang hendak melepaskan tendangan sampingnya ke
arah Soka Pu-ra. Tapi dengan gerakan cepat Raka maju menghadang
serangan Marambang. Tangannya dikibaskan ke samp-
ing, dan beradu dengan tulang kering Marambang.
Prak...! Suara tulang kering beradu dengan tulang lengan terdengar cukup keras.
Tapi Soka Pura cuek saja.
Ia tetap memindahkan Bulan Berkabut ke tempat yang
teduh. Sementara itu, Marambang menyeringai kesaki-
tan tanpa suara, karena tulang keringnya seperti di-
hantam dengan sepotong besi baja.
Pada saat itu, Raka Pura masih setengah me-
munggungi Marambang. Ketika Randu Alas mencabut
goloknya dan ingin membabat pundak Raka dengan
satu lompatan, tubuh Raka tiba-tiba dijatuhkan dalam
keadaan tengkurap. Tapi kedua telapak tangannya di-
pakai untuk menapak, sehingga kakinya pun mening-
gi. Kaki itu menjejak ke belakang secara beruntun te-
pat kenai paha dan perut Randu Alas.
Wuut, plak...! Plok, plok, buuhk...!
Tubuh kurus si Randu Alas akhirnya terlempar
ke belakang dan jatuh terbanting dengan pelipis kiri
membentur batu sebesar nangka. Duuhk...!
"Aaaah...!" Randu Alas memekik lebih keras dan lebih panjang. Pelipis yang sudah
memar dengan telinga berdarah, kini semakin bonyok akibat membentur
batu dengan keras. Perut pun mual seketika. Napas
menjadi sesak, sehingga Randu Alas mulai tersengal-
sengal. Marambang segera menyentakkan tangannya
yang tergenggam dan terbuka seketika. Suuut...! Tena-
ga dalam yang tadi dipakai menghantam Bulan Berka-
but dari belakang, kini digunakan lagi untuk menye-
rang Raka Pura dari belakang Juga. Marambang belum
tahu bahwa Raka Pura bukan Bulan Berkabut...
Datangnya hawa padat menghangat itu dirasa-
kan Raka sebelum bahaya itu tiba. Maka dengan sen-
takkan kaki lembut, tubuh Pendekar Kembar sulung
melesat ke atas dan bersalto ke belakang. Wut,
wuuus...! Gerakan melambung ke belakang itu mele-
wati atas kepala Marambang.
Tentu saja Marambang kaget melihat lawannya
mampu berkelit sedemikian cepat dan tahu-tahu su-
dah ada di atas kepalanya. Ketika Marambang ingin
sentakkan tangan ke atas, kaki Pendekar Kembar su-
lung menghentak ke bawah kuat-kuat. Deess...!
"Aaahk...!" Ujung jempol kaki itu mempunyai kekuatan tenaga dalam. Jempol kaki
si Pendekar Kembar sulung bagaikan menotok ubun-ubun Marambang.
Tentu saja Marambang memekik sambil pegangi kepala
dan kedua tangannya. Ia terhuyung-huyung sesaat,
karena ubun-ubunnya terasa seperti kejatuhan linggis.
Seketika itu pula pandangan mata Marambang menja-
di gelap. Rasa sakitnya menjalar di sekujur tubuh,
sampai ke telapak kaki. Darah keluar dari telinga dan hidung Marambang.
Sementara itu, Pendekar Kembar sulung berha-
sil mendarat dengan tegak dan memperhatikan lawan-
nya meraung-raung kesakitan dalam keadaan mengge-
loyor ke sana-sini.
"Wadooow...! Waadoow, mati akuu...! Mati aku,
Maaak...! Wadoow...!"
Pukulan tenaga dalam Marambang tadi Justru
menghantam Randu Alas yang baru berusaha bangkit
dari jatuhnya sambil tarik napas tersengal-sengal, ta-hu-tahu ia merasa seperti
diterjang seekor banteng
yang mengamuk. Bruuusk...! Randu Alas gelagapan
sebentar, kemudian jatuh terkapar tak sadarkan diri.
Karenanya ia tak bisa membantu Marambang ketika
Marambang meraung berkepanjangan sampai berlutut
di tanah dengan memegangi kepalanya yang terasa in-
gin meledak itu.
Pendekar Kembar sulung segera pandangi
adiknya di bawah pohon rindang. Ia menggeram jeng-
kel melihat Soka Pura belum selesaikan pekerjaannya.
Soka masih pandangi kecantikan Bulan Berkabut den-
gan senyum penuh kekaguman. Bahkan tangan Soka
Pura ikut-ikutan konyol dengan mengusap-usap pipi
Bulan Berkabut, sesekali mengelus rambut gadis itu
dengan sentuhan penuh perasaan. Pandangan ma-
tanya pun lebih sering tertuju ke belahan baju si gadis, karena di sana ia
menemukan sisi dua gumpalan padat yang halus mulus menantang selera.
Si gadis diam saja walau matanya terbuka. Ia
memang tak bisa bergerak apa-apa, namun ia merasa-
kan sentuhan tangan Soka dan mendengar decak serta
Pendekar Tongkat Dari Liongsan 2 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta 15
1 LANGIT mendung disertai hembusan angin
kencang merupakan pertanda akan datangnya hujan
di siang itu. Para penduduk desa mulai mengemasi ba-
rang-barangnya yang ada di luar rumah. Padi-padi
yang dijemur segera dimasukkan, genteng-genteng
yang dibuka segera ditutup, Jemuran-jemuran segera
diangkat walau masih lembab, dan bocah-bocah yang
keluyuran segera disuruh pulang orang tuanya. Tiap
orang meramalkan, tak lama lagi hujan akan turun
dengan deras. Ki Samekta, pemilik kedai terlaris di desa itu,
sebenarnya ingin menutup kedainya. Tapi karena ma-
sih ada beberapa orang yang makan di kedai itu, ter-
paksa rencana menutup kedai ditangguhkan dulu. Sa-
lah satu dari pengunjung kedainya itu adalah seorang
pemuda yang sibuk menghabiskan nasi pecelnya. Pe-
muda tampan berbaju buntung warna putih seperti
warna celananya itu sejak tadi menikmati nasi pecel
tanpa tengok kanan-kiri. Agaknya ia benar-benar la-
par, sehingga mampu melahap nasi pecel sebanyak
dua piring. Pemuda tampan berambut lurus sepundak
dengan tubuh tinggi, gagah, dan kekar itu bagaikan
tak peduli dengan lirikan beberapa pengunjung kedai.
Ia tahu orang-orang itu heran melihatnya makan se-
banyak itu, tapi ia tidak pedulikan keheranan orang
lain. Dengan satu kaki dinaikkan ke bangku dan pe-
dang kristalnya digeletakkan di meja sebelah kiri, pemuda itu menyantap
makanannya dengan cuek sekali.
"Tambah separo lagi, Paman!" ujar pemuda itu kepada si pemilik kedai; Ki
Samekta. Seseorang berbisik kepada temannya, "Bocah
itu habis diuber setan, kali. Lihat saja, makannya heboh sekali. Sudah habis dua
piring masih tambah se-
paro lagi."
"Mungkin habis disuruh gali sumur oleh mer-
tuanya," ujar sang teman.
"Yang ku herankan, perutnya terbuat dari apa,
sehingga mampu menelan santapan sebanyak itu?"
"Mungkin perutnya dari karet, jadi bisa melar
kalau menampung makanan banyak."
"Benar-benar tak seimbang dengan ketampa-
nannya. Ganteng-ganteng makannya sebanyak itu.
Pasti yang jadi calon mertuanya bakalan tekor."
Pemuda berpedang kristal itu tak lain adalah
Pendekar Kembar bungsu yang dikenal dengan nama:
Soka Pura. Dia memang rada konyol, rada cuek, dan
rada bandel. Berbeda dengan kakaknya; Raka Pura,
yang tenang, kalem, dan punya rasa malu jika makan
di tempat umum sampai habis sebanyak itu. Sayang
sekali Raka Pura tidak ada di kedai Ki Samekta. Jika saat itu Raka ada di kedai
tersebut, pasti ia akan melarang adiknya minta tambah nasi lagi kepada pemilik
kedai. Selesai menghabiskan dua setengah piring nasi pecel, Soka Pura menyambar
tahu bacam dan dicap-loknya tanpa ragu lagi. Duduknya sedikit santai, tidak
seserius tadi. Matanya memandang ke arah luar kedai
melalui jendela lebar yang penutupnya diganjal seba-
tang bambu biar tetap terbuka. Sambil menikmati lalu-
lalang para penduduk desa yang sibuk menghadapi
kedatangan sang hujan, Soka Pura menyambar sepo-
tong tempe goreng untuk disikatnya tanpa pandang
bulu lagi. Tentu saja kelahapannya itu menimbulkan
suara desak keheranan dari beberapa orang yang ada
di kedai tersebut.
"Jangan-jangan bocah itu kesurupan"! Yang
makan bukan dia sendiri, tapi setan yang merasukinya
ikut makan juga?" gumam seorang pengunjung kedai kepada temannya. Sekalipun
suara gumam itu pelan,
namun sebenarnya Soka Pura mendengar dengan jelas
apa yang dikatakan orang tersebut, namun ia tetap ti-
dak peduli. Ia dan kakaknya dipanggil oleh Ki Lurah Mujo,
kepala desa tersebut, untuk diminta bantuannya me-
nyembuhkan sakit ibu Ki Lurah Mujo yang sudah ber-
bulan-bulan tak bisa bangun dari tempat tidur. Bagi
Pendekar Kembar, penyakit itu adalah penyakit yang
ringan. Karenanya, Soka menyerahkan urusan terse-
but kepada kakaknya. Kini kakaknya masih berada di
rumah Ki Lurah Mujo, sedangkan ia santai di kedai Ki
Samekta. Suasana santai dan tenang itu tiba-tiba beru-
bah menjadi sedikit tegang. Soka Pura hentikan ku-
nyahan makanannya, dahinya segera berkerut tajam,
matanya kian dipertajam pula memandang ke arah ja-
lanan desa yang terlihat dari tempat duduknya. Ada
sesuatu yang menarik perhatian Soka Pura, dan sesu-
atu yang menarik perhatian itu cukup mengejutkan
bagi si Pendekar Kembar bungsu.
Seorang gadis cantik diikat kedua tangannya
dan ditarik-tarik agar mengikuti langkah seorang lelaki berpakaian biru. Di
belakang gadis itu ada dua lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang
mendorong-dorong tubuh si gadis dengan kasar. Ketiga lelaki itu bersenjata
golok, yang dua sudah dihunus dari sarungnya.
"Ayo, cepat jalannya! Cepat!" sentak si lelaki berpakaian hitam sambil mendorong
gadis itu dengan
kasar, hingga langkah si gadis tersentak nyaris jatuh tersungkur.
Gadis yang kedua tangannya diikat ke depan
dan dituntun seperti seekor kambing mau disembelih
itu, mempunyai wajah yang cantik mungil berambut
pendek. Ia kenakan pakaian kuning gading dengan
ikat kepala pita merah. Soka Pura sangat mengenal
gadis itu, sehingga ia menggumam lirih seperti bicara pada diri sendiri.
"Bunga Dewi..."! Oh, ada apa dengan dirinya"!"
Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu
memang si Bunga Dewi alias Srigita, cucu dari Nyai
Gantari dan adik dari Panji Doyok. Pendekar Kembar
pernah selamatkan gadis itu dan Nyai Gantari alias si Tupai Siluman dari
pengejaran orang-orang kadipaten,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:" Korban Kitab Leluhur"). Peristiwa
itu belum lama terjadi, sehingga ingatan Soka tentang si mungil cantik Bunga
Dewi itu masih cukup segar.
Sementara itu, Soka juga mendengar dua orang
pengunjung kedai yang melihat ke arah jalanan dan
memperhatikan ke arah Bunga Dewi. Salah seorang
dari mereka terdengar berkata kepada temannya.
"Ada apa lagi dengan orang Perguruan Tengko-
rak Sungsang itu"!"
"Mungkin mau memperkosa gadis itu. Kasihan!"
Rupanya tiga lelaki yang menangkap Bunga
Dewi itu orang Perguruan Tengkorak Sungsang. Agak-
nya Bunga Dewi sendiri telah melakukan perlawanan
saat mau ditangkap, sehingga sudut mulutnya tampak
berdarah sedikit, dan pelipisnya memar. Tak jelas apa persoalannya, yang pasti
Soka Pura tak bisa melihat
gadis itu diperlakukan dengan kasar dan ditarik-tarik seperti seekor kambing mau
disembelih. Mereka yang
menuju perbatasan desa segera dikejar oleh Soka Pura
yang bergegas bangkit, lompati jendela kedai, dan lari ke arah Bunga Dewi.
"Hei, Nak...! Jangan pergi, bayar dulu maka-
nannya!" teriak Ki Samekta. Soka Pura tak hiraukan seruan itu, ia tetap berlari
cepat mengejar tiga orang murid Perguruan Tengkorak Sungsang itu.
"Edan bocah itu! Makan habis banyak main ka-
bur saja!" omel Ki Samekta. "Apa dikiranya kedai ini milik nenek moyangnya"!
Huuh, ku sumpahi biar bu-sung perutnya!"
Orang-orang di kedai sibuk bicarakan tiga lelaki
dari Perguruan Tengkorak Sungsang dan gadis cantik
itu. Mereka saling menduga-duga nasib buruk yang
akan dialami oleh si gadis tersebut. Omelan Ki Samek-
ta hanya didengar oleh mereka secara sepintas, namun
tak ada yang memberi komentar terhadap gerutu dan
omelan Ki Samekta itu.
Sebenarnya Soka Pura tidak bermaksud kabur
dari kedai Ki Samekta itu. Ia hanya ingin menyela-
matkan Bunga Dewi sebentar, lalu kembali lagi ke ke-
dai dan menyelesaikan urusannya dengan Ki Samekta.
Sebab menurut firasat Soka Pura, tiga orang dari Per-
guruan Tengkorak Sungsang itu tampaknya akan
memperlakukan Bunga Dewi dengan semena-mena.
Dilihat dari tampang mereka yang kusam dan berke-
san bengis, pasti mereka bukan orang-orang dari ali-
ran putih. Nama perguruan 'Tengkorak Sungsang' saja
sudah menjadi jaminan atas kesesatan aliran silat me-
reka. Dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai' yang
mampu bergerak cepat melebihi kecepatan badai be-
sar, Pendekar Kembar berhasil menghadang langkah
ketiga orang berwajah kusam itu. Tentu saja mereka
tidak melihat saat Soka Pura melintas di samping me-
reka, karena kecepatan gerak dari Jurus 'Jalur Badai'
memang sulit ditangkap oleh penglihatan mata normal.
Mereka hentikan langkah sebelum mencapai
perbatasan desa. Mereka menatap seorang pemuda
yang berdiri di tengah jalan dengan kedua tangan ber-
sidekap, sedangkan pedang kristalnya yang tampak
bagus dan mewah itu terselip di pinggang kanan. Den-
gan menyelipkan pedang di pinggang kanan, maka So-
ka Pura akan mudah mencabut pedang itu sewaktu-
waktu memakai tangan kirinya. Tiga orang berwajah
kusam itu belum tahu bahwa Pendekar Kembar bung-
su itu adalah pendekar bertangan kidal. Makan saja
pakai tangan kiri, salaman juga pakai tangan kiri, sehingga sering membingungkan
orang yang diajak ber-
jabat tangan olehnya.
"Soka..."!" ucap Bunga Dewi dengan wajah ber-seri ceria, namun ucapan itu hanya
sebatas desahan
napas. Ia tak mau ketiga orang itu mendengar nama
Soka disebutkan.
"Hei, mau apa kau berdiri dl tengah jalan begi-
tu"!" hardik si baju biru yang memegangi tali ikatan tangan Bunga Dewi. Soka
Pura sunggingkan senyum.
Ia melangkah maju dengan kedua tangan masih bersi-
dekap di dada. "Aku hanya ingin mentraktir makan gadis itu,"
ujar Soka dengan nada konyol. Bunga Dewi tersenyum
geli mendengar ucapan Soka. Tapi tiga orang Pergu-
ruan Tengkorak Sungsang itu menjadi dongkol men-
dengar kata-kata tersebut.
Dua orang yang berpakaian hitam segera maju
ke depan si baju biru. Mereka berdiri dalam jarak dua langkah ke samping, dan
tiga langkah di depan Pendekar Kembar bungsu. Di tangan mereka masing-masing
masih memegang golok putih berkilap menampakkan
ketajamannya. "Jangan bercanda dengan kami, Bocah Ingu-
san! Kau belum tahu siapa kami?"
"Orang dari Perguruan Tengkorak Sungsang,
bukan?" jawab Soka sambil tetap menghiasi wajahnya
dengan senyum tipis yang kurang disukai oleh ketiga
lelaki berwajah kusam itu.
"Bagus! Kau sudah tahu siapa kami. Jadi ku-
harap kau segera menyingkir dan jangan bercanda
dengan kami! Golokku bisa merobek mulutmu jika kau
masih bercanda dengan kami!"
"Aku tidak bercanda. Aku benar-benar ingin
mentraktir gadis itu, yaah... sekadar makan-minum
secukupnya dan itu pun bayar sendiri-sendiri."
Tentu saja ketiga orang tersebut tak percaya
bahwa Soka ingin mentraktir Bunga Dewi. Ketiga orang
itu yakin bahwa Soka ingin merebut tawanannya. Ka-
rena itu, yang berbaju biru segera berseru kepada ke-
dua temannya yang berpakaian serba hitam itu.
"Sikat dia! Jangan biarkan menjadi perintang
langkah kita!"
Kedua orang berpakaian hitam segera menye-
rang Soka Pura dengan membabatkan golok mereka
dari dua arah. Wut, wut...! Soka Pura sengaja melom-
pat mundur selangkah untuk hindari kelebatan golok
lawan. Dengan cepat kakinya menendang ke arah kiri
kanan secara cepat dan berturut-turut. Bet, bet...!
Plak, plak...! Tendangan itu kenai tangan mereka masing-
masing. Tendangan tersebut mempunyai kekuatan te-
naga dalam yang cukup lumayan besarnya, sehingga
kedua orang itu merasa tangannya dihantam dengan
besi besar. "Auuh...!" salah seorang terpekik kesakitan. Golok mereka lepas dan jatuh di
tanah. Mereka sama-
sama menyeringai sambil mendekap tangan masing-
masing. "Keparat! Pergelangan tanganku terasa remuk!"
ujar salah seorang dalam hatinya. Sementara itu, Soka Pura segera bersikap
tenang lagi dengan kedua tangan
masih tetap bersidekap di dada.
Namun agaknya dua orang berpakaian hitam
tak mau menyerah begitu saja. Salah seorang segera
memungut goloknya. Tapi Soka Pura cepat-cepat laku-
kan satu lompatan dan menyentakkan kakinya ke de-
pan. Buuhk...! Tendangan itu kenai pundak orang
yang memungut goloknya. Orang itu pun terpental dan
jatuh berguling-guling.
Satu orang lagi sedang melepaskan tendangan
pula ke arah kepala Soka. Wuuut...! Kaki panjang itu
berkelebat cepat, hampir saja kenai kepala Soka kalau pemuda tampan itu tidak
segera merundukkan kepala.
Kedua tangannya yang saling terlipat di dada
segera dilepaskan. Tangan kiri itu pun menyentak ke-
samping kanan dengan badan sedikit berputar dan sa-
tu kaki berlutut di tanah. Beet...! Sodokan telapak tangan itu bukan jurus
'Kobra Liar'. Jika sodokan itu adalah jurus 'Kobra Liar', maka lambung orang
yang gagal menendangnya itu akan robek seketika.
Sekalipun begitu, namun sodokan telapak tan-
gan yang tepat kenai lambung itu berhasil membuat
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan terpental ke belakang. Ia jatuh terjungkal dua
kali, bagai habis diseruduk anak kerbau.
"Uuhkk...! Muleeess...!" rintihnya dengan suara tertahan sehingga mirip suara
seorang kakek. Pendekar Kembar bungsu segera berdiri tegak
lagi dengan senyum tipis yang makin menjengkelkan si
baju biru. Orang itu hanya bisa memandang dengan
suara menggeram. Ia tak bisa menyerang Soka karena
harus pegangi tali pengikat tangan Bunga Dewi. Se-
dangkan jarak Soka darinya lebih dari satu jangkauan
kaki. Satu-satunya cara untuk melepaskan serangan
ke arah pemuda tampan itu hanya dengan melepaskan
pukulan tenaga dalam jarak jauh.
Wuuut...! Orang berbaju biru itu sentakkan
tangan kirinya dan seberkas sinar merah kecil berben-
tuk seperti kemiri itu melesat ke arah dada Soka Pura.
Pendekar Kembar bungsu tak mau buang-
buang tenaga, maka sinar merah itu hanya dihindari
dengan cara menyentakkan badan separo putaran
sambil miring ke kiri. Wuuut...!
Duaaarr...! Sebatang pohon di belakang Soka
menjadi sasaran. Pohon itu rusak berserat-serat, tapi tak sampai hancur ataupun
tumbang. Kejap berikutnya, Soka berdiri tegak kembali,
tenang dan tampak waspada dalam senyum tipisnya.
Matanya memandang ke arah si baju biru yang sempat
tertegun sekejap melihat gerakan gesit Soka yang
mampu hindari sinar merahnya tadi.
Pada saat itu, Bunga Dewi sentakkan kedua
tangannya hingga tali yang dipegang orang berbaju bi-
ru itu terlepas. Sluup...! Kedua tangannya masih terikat, namun gadis itu segera
lompat sedikit dan me-
layangkan tendangannya ke wajah si baju biru yang
terkejut menatapnya itu. Bet...! Plook...!
Baju biru terpelanting dan terhuyung-huyung
mundur. Bunga Dewi segera berlari ke arah Soka Pura.
Kedua orang berpakaian hitam ingin mengejar, namun
terhenti seketika karena Bunga Dewi sudah berada di
belakang Soka Pura. Mereka takut diterjang Soka Pu-
ra. "Setan keparat!" geram si baju biru. "Rupanya kau ingin cepat menemukan liang
kuburmu, hah"!"
"Apakah Kau tuli, Sobat" Dari tadi sudah kuka-
takan aku ingin mentraktir makan gadis ini! Bukan
mencari liang kuburku!"
"Grrmm...!" si baju biru menggeram penuh ke-jengkelan. "Dia tawanan kami, Jangan
coba-coba mengusik tawanan kami jika tak ingin cepat mati!"
"Mengapa gadis ini menjadi tawanan kalian"!
Apa kesalahannya"!" tanya Soka setelah melirik si cantik mungil itu sekejap.
"Dia... dia mencuri!"
"Mencuri apa?" desak Soka Pura.
"Mencuri... mencuri pusaka milik perguruan
kami. "Pusaka apa"!"
Bunga Dewi berbisik, "Bohong! Aku tidak men-
curi!" "Pusaka apa yang dicurinya, hah?" Soka agak membentak orang itu.
Tapi orang itu diam sesaat, hanya menggeram
sambil menatap Bunga Dewi. Kejap berikutnya ia men-
cabut goloknya yang dari tadi masih bertengger di
pinggang kiri itu.
"Dia mencuri pisau pusaka milik Guru kami!"
Pendekar Kembar bungsu melirik Bunga Dewi.
Di pinggang gadis itu memang ada sebilah pisau ber-
gagang gading. Soka pun tahu bahwa Bunga Dewi be-
rasal dari Tanah Keramat. Seluruh penduduk Tanah
Keramat adalah pencuri, pencopet, perampok, dan ada
juga yang berprofesi sebagai pelacur amatir. Bahkan
ketika Soka bertemu dengan Bunga Dewi yang pertama
kali, gadis itu habis mencuri kotak bermata bersama
neneknya; Nyai Gantari, si Tupai Siluman itu.
Pandangan mata Soka kali ini mengandung ra-
sa percaya kepada apa yang dikatakan si baju biru itu.
Bunga Dewi segera ngotot dengan wajah gusar.
"Aku tidak mencuri apa-apa dari mereka! Tu-
duhan itu fitnah semata, Soka!"
"Kau memang mencuri pisau pusaka Guru ka-
mi!" seru orang berpakaian hitam yang tadi tak sempat dibuat mules oleh serangan
Soka. Tetapi pandangan mata Soka yang tertuju lagi
ke pisau di pinggang Bunga Dewi itu menimbulkan ke-
bimbangan dalam hatinya. Setahu Soka, pisau berga-
gang gading itu dari dulu sudah dilihatnya berada di
pinggang Bunga Dewi. Apakah pisau itu adalah pisau
curian atau asli milik Bunga Dewi, Soka tak dapat
memastikan. Soka pun tak bisa mengerti, mana yang
harus dipercaya; tuduhan orang-orang itu atau penga-
kuan Bunga Dewi.
"Pisau ini pemberian dari nenek. Kalau tak per-
caya, tanyakan kepada nenekku sendiri!" ujar Bunga Dewi kepada Soka yang tampak
curiga pada pisau ga-dingnya itu.
"Bocah kurapan!" seru si baju biru, "Kalau kau tak mau serahkan pencuri itu, aku
terpaksa akan me-misahkan kepalamu dari lehernya!"
Bunga Dewi bicara kepada Soka sebelum pe-
muda itu serukan kata kepada si baju biru.
"Dia ingin menjual ku! Beberapa gadis juga
akan mereka jual kepada Penguasa Bukit Maut! Aku
berhasil lolos dari penjara. Mereka sedang mengum-
pulkan beberapa gadis untuk dijual ke Bukit Maut!"
Mendengar kata-kata itu, kebimbangan Soka
berkurang. Sementara itu, si baju biru menjadi sema-
kin berang kepada Bunga Dewi.
"Dasar mulut gadis busuk! Heeaah...!"
Baju biru melompat ingin menebaskan golok-
nya ke wajah Bunga Dewi. Tetapi kaki Soka segera
menendang sebongkah batu di depannya. Batu sebesar
satu genggaman itu segera melayang cepat bagaikan
bola. Wuuut...! Pitok...!
"Aaow...!" si baju biru memekik keras sambil tersentak mundur dan jatuh terduduk
dengan hempa-san kuat. Biuuk...!
"Aaauuu...!"
Jidat orang itu bocor akibat terkena tendangan
batu. Darahnya mengalir deras membasahi seluruh
wajahnya. Pandangan matanya menjadi buram karena
saraf matanya ada yang rusak akibat benturan batu
sekeras tadi. "Kita pulang saja! Adukan pemuda itu kepada
Guru! Biar Guru yang menghajarnya!" seru orang berbaju hitam yang tak sempat
mules itu. "Awas kau! Tunggu pembalasan dari kami,
Bangsat...!!" teriak si baju biru sambil diseret pergi oleh kedua temannya.
Mereka segera berlari tinggalkan tempat dengan diikuti pandangan mata Soka Pura.
Setelah ketiganya menghilang dari pandangan
mata, Soka pun berbalik menatap si mungil Bunga
Dewi. Gadis itu sedang sunggingkan senyum kecil ke
arah kepergian tiga orang itu.
"Benarkah kau tidak mencuri apa-apa dari me-
reka"!" "Belum!" jawab gadis itu tenang sekali. "Kudengar kau ingin mentraktir
ku makan" Kapan itu terjadi, Soka?" Pendekar Kembar bungsu tersenyum geli. "Kita
ke kedai sekarang juga!" sambil mengawali langkahnya dengan mencekal lengan
Bunga Dewi. "Soka, kau pikir aku dapat makan dalam kea-
daan kedua tangan terikat begini?"
Soka Pura tertawa semakin geli. Gadis itu min-
ta dilepaskan tali pengikat kedua tangannya, tapi Soka sengaja menggoda dengan
membiarkan tangan itu tetap terikat.
"Kalau kau tak mau melepaskan tail pengikat
ini, lebih balk kita tak Jadi makan saja!" si gadis cemberut, dan Soka Pura suka
melihat wajah cantik mun-
gil itu cemberut.
"Kau cantik kalau cemberut terus begitu," ujar Soka makin menggoda.
"Kau suka kalau aku cepat tua"!"
"Orang sepertimu tak akan cepat tua, Bunga!"
sambil Soka tetap melangkah ke arah kedai Ki Samek-
ta. "Heii...! Buka dulu ikatan ku ini!" desak Bunga Dewi dengan nada sewot.
"Sebelum aku yakin kau tidak mencuri pisau
pusaka itu, aku tak akan melepaskan tali pengikat di
tanganmu itu!"
"Jadi kau masih tak percaya bahwa pisau di
pinggangku ini adalah pisau pemberian nenek"!" Gadis itu hentikan langkah dengan
wajah protes. Ia menyambung kata, "Bukankah sejak kita
bertemu beberapa waktu yang lalu, kau pernah memu-
ji keindahan pisauku ini?"
"Ya. Aku memang pernah memuji keindahan
pisau mu itu. Tapi... mungkin saja waktu itu pisau ini belum lama kau curi dari
pemiliknya"!"
"Soka" Setega itukah kau menuduhku"!" si gadis mulai bernada sedih. Soka Pura
menjadi tak tega
dan diliputi kebimbangan kembali.
* * * 2 ORANG-ORANG kedai masih sibuk membicara-
kan tentang si gadis yang tertangkap orang Perguruan
Tengkorak Sungsang itu. Sesaat kemudian, Raka Pura
segera masuk ke kedai tersebut. Urusannya dengan Ki
Lurah Mujo telah selesai. ibu Ki Lurah Mujo telah se-
hat secara ajaib, karena Raka lakukan penyembuhan
memakai Jurus 'Sambung Nyawa' yang menjadi anda-
lannya dalam tiap mengobati luka dan penyakit siapa
pun itu. Mata si Pendekar Kembar sulung memandangi
tiap wajah orang yang ada di kedai. Dalam hatinya
berkata, "Katanya dia mau makan di kedai ini" Tapi ke mana si konyol itu"!"
Rupanya ia mencari Soka Pura yang berjanji akan menunggunya di kedai tersebut.
Hati pun sempat dongkol karena sang adik tidak tam-
pak di situ. "Pasti sedang tergiur senyuman janda genit!
Hmmm... kutunggu saja di sini sambil mengisi perut.
Aku juga lapar!"
Orang-orang kedai beralih perhatian kepada
pemuda tampan berpedang kristal itu. Raka Pura tak
peduli diperhatikan mereka, karena ia sudah sering
menerima tatapan mata dari sekelompok orang yang
merasa kagum atau merasa asing kepadanya.
Beberapa orang mulai berkasak-kusuk membi-
carakan si pemuda tampan.
"Itu dia pemuda yang makannya banyak sekali
tadi!" "Iya. Kusangka ia akan kabur selamanya."
"Rupanya dia merasa punya tanggung jawab
juga atas makanan yang dihabiskannya tadi!" ujar mereka yang menyangka Raka
adalah Soka Pura. Mereka
tidak tahu bahwa Soka mempunyai saudara kembar
yang wajah dan penampilannya serupa persis, sehing-
ga sukar dibedakan.
Raka segera duduk di bangku, secara kebetulan
ia duduk di bangku yang tadi dipakai duduk Soka Pu-
ra. "Lapar-lapar begini makan nasi pecel pasti enak
sekali!" pikirnya. Kemudian ia memesan nasi pecel kepada pelayan yang datang
mendekatinya. "Nasi pecel satu dan... teh manis!"
"Hahh...?" mereka terperanjat heran dengan
mulut terbengong. Hampir semua yang ada dl kedai
dan yang tadi melihat Soka makan banyak itu terbela-
lak memandangi Raka Pura.
"Gila! Dia masih mau makan nasi pecel lagi"!"
"Ck, ck, ck, ck...."
"Dasar perut kebo"!" gumam mereka terheran-
heran. Raka menyambar sepotong tahu bacam yang
tersedia di piring khusus lauk pauk. Tanpa ragu-ragu
ia mencaplok tahu bacam itu dengan cabe rawitnya.
Sekalipun ia tahu diperhatikan oleh mereka, tapi ia tetap tak peduli. Hanya
sedikit heran dan bertanya da-
lam hati, "Mengapa mereka memandangi ku dengan
terbengong begitu, ya?"
Ki Samekta yang tadi ada di dapur, kini muncul
setelah diberi tahu oleh pelayannya tentang si pemuda yang tadi melarikan diri
itu. Ki Samekta segera dekati Raka Pura dengan wajah ketus.
"Kau pesan apa lagi?"
"Oh, hmmm...," Raka memberi senyuman ra-
mah. "Aku hanya pesan nasi pecel dan teh manis saja, Pak Tua!"
"Boleh saja. Tapi bayar dulu!"
"Hei, kenapa harus begitu" Apakah kau tak
percaya padaku, Pak Tua?"
"Tidak! Aku tidak bisa percaya lagi pada anak
muda berandalan sepertimu! Bayar dulu, baru ma-
kan!" Raka Pura bertahan untuk tetap sabar, walau sebenarnya hatinya tersinggung
oleh sikap Ki Samekta
yang menyangka Raka adalah Soka Pura. Raka segera
mengeluarkan uangnya, karena ia habis mendapat ha-
diah dari Ki Lurah Mujo atas keberhasilannya me-
nyembuhkan Ibu si kepala desa itu. Walau Raka sudah
menolak, tapi Ki Lurah Mujo tetap mendesaknya agar
uang itu diterima sebagai bekal dl perjalanan nanti.
Sekarang uang itu sengaja dipamerkan di de-
pan Ki Samekta. Setumpuk uang dl tangan Raka
membuat Ki Samekta terbelalak dan orang-orang yang
memperhatikan juga mendelik kagum.
"Mungkin dia tadi lari untuk mencopet uang
orang. Setelah hasil copetannya diperoleh, ia kembali lagi kemari untuk melunasi
hutangnya kepada Ki Samekta," bisik salah seorang dari mereka.
"Berapa aku harus membayarnya, Pak Tua"!".
"Delapan sikal!"
"Hahh..."! Banyak sekali"!" Raka Pura pun terkejut mendengar nilai uang sebanyak
itu. Kira-kira kalau dikurs-kan ke masa sekarang, Raka harus mem-
bayar delapan belas ribu rupiah untuk pesanan satu
piring nasi pecel dan secangkir teh manis. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan
dan ditentang oleh Raka
Pura. "Pak Tua, sebenarnya kau mau dagang nasi
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau mau merampok orang"! Masa' sepiring nasi pecel
dan teh manis, ditambah sepotong tahu bacam har-
ganya segitu mahal"!"
"Untuk pesanan sepiring nasi pecel, secangkir
teh manis, sepotong tahu bacam, memang tak mahal!
Tapi kau harus bayar biaya makanmu tadi! Dan jan-
gan coba-coba kabur lagi kalau tak ingin kuserampang
pakai sabit ini!" sambil Ki Samekta mengeluarkan sabit yang ternyata sejak tadi
sudah dibawanya dan disem-bunyikan ke belakang.
Melihat dirinya diancam dengan sabit, Raka Pu-
ra mulai curiga dan bersikap hati-hati. "Pasti terjadi salah paham!" pikirnya
sambil garuk-garuk kepala.
Ki Samekta berkata, "Biar usiaku sudah setua
ini, tapi dulu aku bekas pelempar pisau tercepat di antara dua saudaraku! Kalau
kau berani kabur lagi, ku-
serampang perutmu pakai sabit ini! Akan kuambil lagi
apa yang sudah kau telan dari sini!"
"Pak Tua, kurasa kau salah paham."
"Tidak! Tidak ada istilah salah paham bagi Ki
Samekta!" sambil ia menepuk dada sendiri. "Biar sudah tua, tapi aku belum pikun!
Dan semua orang di
desa ini tahu, bahwa aku tidak akan segan-segan me-
nindak siapa pun yang makan tidak bayar langsung
kabur seperti yang kau lakukan tadi!"
Raka Pura berkerut dahi memandang tajam
pada Ki Samekta.
"Aku baru datang, Pak Tua!"
"Jangan berlagak bodoh, Nak! Cepat bayar ma-
kananmu yang tadi!"
Salah seorang dari pengunjung kedai itu ada
yang berseru, "Iya, sudah bayar sajalah! Kasihan Ki Samekta. Jangan begitu,
Kawan! Kalau habis makan di
kedai, ya harus bayar. Kecuali kedainya milik mertua-
mu!" "Hah, hah, hah, haa...!" mereka menertawakan celetukan orang itu.
"Ini pasti kekonyolan Soka Pura! Brengsek anak
itu!" geram Raka dalam hatinya.
"Pak Tua, perlu kau ketahui, bahwa yang tadi
makan di sini dan pergi itu adalah adik kembar ku.
Bukan aku!"
"Hueh, hehh, hehh, hehh...!" Ki Samekta Justru tertawa terkekeh-kekeh dalam
makna meremehkan
pengakuan Raka. Ki Samekta berkata kepada orang-
orang di sekitarnya.
"Sekarang dia mengaku punya adik kembar"!
Hmmm... mana mungkin! Dia pikir kita akan men-
ganggapnya sebagai si Pendekar Kembar yang budi-
man itu"! Pulh...!"
Orang-orang tertawa lagi. Raka Pura menjadi
malu, karena sekarang ia tahu ada kasus 'mabur' ha-
bis makan kabur.
"Hei, Sobat...!" seru salah seorang pemuda sebaya yang juga sedang makan di
kedai itu. "Kalau mau jadi penipu, jadilah penipu yang
rapi. Tak usah mengaku-ngaku punya saudara kembar
segala, nanti kau dianggap menjatuhkan nama besar si
Pendekar Kembar itu!"
Salah seorang menyahut, "Pendekar Kembar
sedang ada di rumah Ki Lurah! Kalau mereka menden-
gar pengakuanmu, bisa-bisa wajahmu penyok ke sana-
sini dihajar mereka!"
Kini Raka Pura sedikit tersenyum karena geli
mendengar celoteh mereka. Mereka belum tahu siapa
orang yang dinasihati itu.
Mau tak mau Raka Pura harus memaklumi ke-
salahpahaman itu. Akhirnya ia mengalah, memberikan
sejumlah uang yang diminta Ki Samekta sebagai pem-
bayaran makannya Soka tadi. Raka pun merasa sia-sia
jika ngotot mengaku sebagai Pendekar Kembar. Belum
tentu membuat mereka percaya, namun justru akan
membuatnya ditertawakan mereka.
"Aku yakin si konyol itu pasti kembali ke sini!
Ayah tak pernah mendidik kami menjadi orang curang
begitu! Pasti ada sesuatu yang membuat Soka sekonyol
ini! Jika perlu dia harus kuberi pelajaran supaya lain kali tak bertindak
sebodoh ini! Hmm... benar-benar
memalukan sekali!" gumam Raka dalam hatinya.
Angin kencang yang tadi berhembus ternyata
justru menyingkirkan mendung. Hari tak jadi hujan.
Soka Pura tak terlalu terburu-buru membawa Bunga
Dewi ke kedai Ki Samekta. Namun akhirnya mereka
sampai juga di kedai itu dalam keadaan kedua tangan
Bunga Dewi masih terikat. Tentu saja si gadis cembe-
rut terus, dan kecantikannya semakin menggemaskan
hati Soka Pura.
Begitu mereka masuk ke kedai, orang-orang
memandangnya dengan mata terbuka dan mulut ter-
bengong. Kemudian mata mereka memandang secara
bergantian antara Soka dan Raka yang duduk me-
munggungi pintu masuk. Tapi Raka tadi sudah melihat
saat Soka menuju ke kedai bersama Bunga. Hati Raka
sempat diliputi keheranan melihat Bunga Dewi bersa-
ma Soka. Namun rasa kesal Raka terhadap adiknya
masih menggeramkan hati.
Orang-orang yang kebingungan melihat ke-
munculan Soka bersama Bunga Dewi itu nyaris tak
memperhatikan si gadis, tapi kesamaan rupa dan pe-
nampilannya dengan Raka itulah yang menjadi pusat
perhatian mereka, termasuk Ki Samekta yang ada di
balik meja nasi itu.
"Busyet! Rupanya mereka benar-benar anak
kembar"!" gumam salah seorang. "Yang melarikan diri tadi yang mana, ya?"
"Kurasa yang baru datang bersama gadis itu,"
bisik teman orang tersebut. Tak satu pun dari mereka
ada yang berani bercuit atau celetuk-celetuk seperti
tadi. Mereka menjadi mengkerut, seperti jangkrik men-
dengar suara langkah kaki manusia.
Soka Pura tersenyum girang melihat kakaknya
sudah ada di situ, ia segera hampiri sang kakak yang
telah berdiri bagai mau menyambut kedatangannya.
"Raka, lihat siapa yang kubawa ini"! Dia tadi...."
Plaak...! Raka Pura menampar adiknya cukup keras.
Suara tamparannya bagai menggema di dalam kedai,
semua orang mendengarnya. Mereka sama-sama terke-
jut melihat Soka ditampar oleh kakaknya yang berwa-
jah dingin menandakan sedang memendam kemara-
han itu. Soka Pura mundur dua langkah sambil bersun-
gut-sungut dan mengusap-usap pipinya.
"Kenapa kau ini"! Kesurupan, ya"!" Soka sewot seperti waktu masih bocah dulu.
"Lain kail kalau kau lakukan tindakan yang
memalukan lagi, kuhajar kau!" ancam kakaknya dengan wajah tanpa senyum sedikit
pun. Soka mendekat dengan nada protes. "Apa mak-
sudmu berkata begitu"! Mengapa kau tiba-tiba me-
namparku dan...." Plaak...!
Raka menyampluk wajah adiknya dengan kiba-
san tangan. Tapi dengan cekatan kibasan tangan sang
kakak ditangkisnya. Hanya saja, Soka segera berlari
menjauh sambil cemberut seperti anak kecil takut ke-
pada kakaknya. Bunga Dewi jadi ikut-ikutan Jauhi
Raka. "Gila kau ini!" sentak Soka.
"Pak Tua... apakah anak itu yang tadi makan
tidak bayar dan segera kabur"!" seru Raka kepada Ki Samekta.
"Hmm, ehh... iya!" jawab Ki Samekta dengan gugup. "Tapi... tapi sudahlah. Jangan
bertengkar di si-ni!"
"Dia adik kembar ku! Sekarang kau percaya,
Pak Tua"!"
"Iya... aak... aku percaya, Nak. Sudahlah, Jan-
gan berkelahi!"
"Biar dia adikku kalau tindakannya memalukan
tetap harus kuhajar!"
"Bukan begitu... soalnya kalau kalian berkelahi
di sini, daganganku hancur, lalu siapa yang mau kasih ganti rugi"! Sudahlah,
damai-damai saja...!" bujuk Ki Samekta yang mulai merasa bersalah karena telah
mempermalukan Raka di depan orang banyak.
"Sini kau...!" panggil Raka kepada adiknya.
"Aku pindah kedai saja!" ujar Soka dengan
cemberut. "Memangnya yang Jualan nasi pecel hanya di kedai ini"!"
"Sini kau, Soka!"
"Malas!" bentak Soka sambil melangkah mun-
dur dekati pintu, wajahnya masih bersungut-sungut
penuh kedongkolan.
Raka menyambar pedangnya yang tadi digele-
takkan di meja. Soka pun mencabut seluruh pedang
dan sarungnya dari pinggang. Bunga Dewi menjerit ke-
ras-keras. "Aaaaaaaaaaa...!!"
Kedua pemuda kembar itu segera tersentak dan
menatap Bunga Dewi. Mereka bergegas hampiri Bunga
Dewi yang berdiri di dekat Ki Samekta.
"Ada apa, Bunga..."!" tanya Raka dan Soka ber-samaan.
"Berkelahinya nanti saja! Sekarang lepaskan
dulu tali pengikat tanganku ini!"
Akhirnya kedua pemuda kembar itu sama-
sama saling hembuskan napas, mengendurkan kete-
gangan mereka. Mereka justru saling pandang, lalu
melirik ikatan di tangan Bunga Dewi, saling tatap lagi, akhirnya Raka berkata
sambil kembali ke tempat duduknya.
"Lepaskanlah dia, Soka!"
"Kau saja...," seraya Soka ikut ke tempat duduk kakaknya.
"Mengapa kau ikat tangan si Bunga"!"
"Bukan aku yang mengikatnya!"
"Lalu siapa"!"
"Orang-orang Perguruan Tengkorak Sungsang
itu!" "Mengapa dia diikat?" "Karena dia ditangkap!"
"Iya. Maksudku mengapa dia ditangkap orang-
orang itu?"
"Dituduh mencuri!"
"Hah..."!" Raka menatap Bunga Dewi. Kemu-
dian ia melambaikan tangan. "Bunga, sini duduk...!"
Bunga Dewi mendekat dengan cemberut.
Orang-orang saling berkasak-kusuk membicarakan
rupa kembar itu dan keadaan si gadis yang masih teri-
kat. Lalu segera muncul seorang lelaki kurus yang di-
kenal oleh mereka sebagai pelayannya Ki Lurah Mujo.
Pelayan itu menggeragap sebentar, matanya meman-
dang ke sana-sini, kemudian tersenyum girang ketika
menemukan Raka duduk di depan jendela kedai.
"Nah, kebetulan Tuan Raka masih ada di sini!"
ujar si pelayan Ki Lurah Mujo seraya mendekat, mem-
bawa bungkusan dari daun pisang berminyak.
Raka Pura segera bersikap ramah kepada pe-
layan Ki Lurah Mujo itu.
"Ada yang tertinggal, Tuan Raka! Hmm... ini, ti-
tipan dari Nyai Lurah. Ketan uli. Lumayan buat bekal
di perjalanan nanti!"
"Seharusnya Mak Nyai tidak perlu repot-repot
begin!. Tapi... sampaikan saja pada beliau, aku banyak haturkan terima kasih
atas perhatiannya yang besar
Ini!" ujar Raka kepada sang pelayan itu.
Orang tersebut segera pamit. Tapi sebelum ke-
luar dari kedai, Ki Samekta sempat bertanya kepa-
danya. "Siapa pemuda yang dapat bingkisan dari Nyai Lurah itu"!"
"O, dia tadi sembuhkan ibu Ki Lurah. Mereka
berdua itulah yang berjuluk Pendekar Kembar!"
"Haahh..."!" Ki Samekta dan beberapa orang
yang mendengarnya terperangah kaget.
"Apa kalian belum pada tahu kalau mereka itu
Pendekar Kembar"! Uuh... payah kalian! Kuno! Keting-
galan zaman!" sambil si pelayan berlalu keluar dari ke-
dai. Mereka masih tertegun bengong dengan wajah te-
gang, merasa takut akan cemoohan yang tadi mereka
lontarkan kepada Raka Pura itu. Sedangkan Raka
hanya tersenyum kecil seraya menatap Ki Samekta
yang pucat. Perhatian Raka Pura segera beralih pada tan-
gan Bunga Dewi yang masih terikat. Soka melarang
Raka melepaskan tali pengikat itu, walaupun Bunga
Dewi sudah mendesak beberapa kali.
"Sebelum aku yakin betul bahwa kau tidak ber-
salah, tidak mencuri pisau pusaka itu, aku belum in-
gin membuka ikatan mu!"
"Harus dengan cara apa aku membuktikan-
nya"!" Ki Samekta mendekat, "Mau makan apa, No-na?" "Nasi rawon!" jawab Bunga
Dewi dengan cepat sambil cemberut.
"Tuduhan itu hanya sebagai alasan saja bagi
mereka agar bisa menangkapku dan menjual ku kepa-
da...." "Minumnya apa, Nona?"
"... kepada air jeruk!" lanjut Bunga Dewi menjadi kacau karena Ki Samekta
menyela dalam pembica-
raan itu. Mereka bicara terus tentang kejujuran si gadis.
Sementara itu, hidangan yang dipesan oleh si gadis telah disajikan. Mau tak mau
si gadis protes karena tak bisa makan dalam keadaan kedua tangan diikat.
Akhirnya, si pemuda tampan yang konyol itu mendulang
Bunga Dewi sambil bicara kepada kakaknya tentang
pengakuan Bunga Dewi.
"Di Sana ada lima gadis sebayaku yang siap di-
jual ke Bukit Maut!" ujar Bunga Dewi yang segera menerima suapan nasi dari Soka
Pura. Ia bicara kepada
Raka, dan Raka tampak menyimak betul pengakuan
itu. "Untuk apa mereka menjual gadis-gadis ke Bu-
kit Maut?" tanya Raka.
"Entahlah. Aku tak jelas maksud mereka. Tapi
kurasa yang dibutuhkan oleh penguasa Bukit Maut itu
adalah keperawanan seorang gadis."
"Siapa penguasa Bukit Maut itu?"
"Darah Kula!" jawab si gadis dan suaranya yang agak keras itu membuat orang-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang di sekitarnya
hentikan suara, hentikan gerakan, semua menatap
Bunga Dewi. Tatapan mata mereka tampak mengan-
dung ketegangan yang menyeramkan hati masing-
masing. "Hati-hati menyebut nama itu, Nona," kata Ki Samekta yang tampak
ketakutan juga.
"Mengapa harus hati-hati, Pak Tua?" tanya Ra-ka, namun Ki Samekta justru pergi,
sepertinya tak be-
rani jelaskan tentang nama Darah Kula itu. Kepergian
tersebut membuat Raka dan Soka sama-sama heran
dan menyimpan rasa ingin tahu lebih banyak lagi ten-
tang si Darah Kula itu.
* * * 3 BUNGA Dewi dalam perjalanan ke Pantai Sintar
untuk menemui seorang sahabatnya. Ketika ia mele-
wati lembah curam, tiba-tiba disergap oleh empat
orang lelaki bertampang sangar namun rata-rata ber-
tubuh kurus. Pertarungan pun terjadi. Dengan mudah
mereka dapat lumpuhkan Bunga Dewi. Gadis itu sege-
ra dibawa ke Perguruan Tengkorak Sungsang. Ketua
perguruan itu bernama Jagat Lancang; bertubuh ku-
rus, bermata cekung, berkepala gundul, mirip tengko-
rak hidup. Bunga Dewi dimasukkan dalam sebuah kamar
yang sudah berisi lima orang gadis sebayanya. Lima
orang gadis itu juga tawanan si Jagat Lancang. Mereka sudah tiga hari disekap di
situ, bahkan ada yang sudah lima hari.
"Kita akan dijual ke Bukit Maut. Di sana sudah
ada orang yang akan membeli kita, yaitu penguasa Is-
tana Merah di bukit itu yang bernama Darah Kula,"
ujar gadis yang sudah lima hari disekap di situ.
"Dari mana kau tahu?" tanya Bunga Dewi.
"Kemarin kudengar percakapan dua penjaga
yang lewat di depan kamar ini. Mereka mengumpulkan
gadis-gadis sebaya kita sampai sepuluh orang, baru
dibawa ke Bukit Maut."
Pada suatu kesempatan, Bunga Dewi berhasil
lolos dari pertahanan mereka dan melarikan diri mele-
wati desa tempat Ki Samekta buka kedai Itu. Tapi ia
segera tertangkap kembali oleh anak buah si Jagat
Lancang itu. "Bagaimana kau bisa tetap membawa pisaumu
itu?" tanya Soka setelah selesai mendengarkan penjelasan lengkap dari Bunga
Dewi. "Kebetulan penjaga yang ku lumpuhkan perta-
ma kali adalah orang yang menyimpan pisauku ini!
Maka kuambil pisau ini dan aku segera meloloskan diri dari benteng perguruan
tersebut."
"Semudah itukah kau lolos"!" tanya Raka agak sangsi. "Tentu saja tidak semudah
itu. Aku mendekam di dalam kandang kambing sampai petang tiba. Dari
situ aku bisa lolos keluar dengan memanjat sebuah
pohon. Tapi gerakanku ada yang melihatnya, lalu aku
dikejar dan berhasil bersembunyi di salah satu rumah
penduduk desa ini!"
"Tentunya kau bisa melawan dengan pisaumu
saat dikejar oleh tiga orang yang menangkapmu lagi
itu," pancing Soka.
"Memang. Tapi sebelum ku cabut pisauku, me-
reka sudah membuatku tak berdaya. Serangan mereka
datang bertubi-tubi dan sukar ku hindari. Ilmuku ka-
lah tinggi dengan ilmu mereka bertiga. Apakah kau tak melihat sudut bibirku ini
sedikit robek"!" Bunga Dewi menunjukkan luka di sudut mulutnya. Raka Pura
manggut-manggut dalam gumam.
"Lepaskan saja ikatannya!" kata Raka kepada adiknya. "Kujamin ceritanya memang
benar!" "Dari mana kau bisa tahu kalau ceritanya me-
mang benar"!"
Raka berbisik pada Soka, "Kuperhatikan sejak
tadi, Ki Samekta menyimak percakapan kita. Ia tam-
pak cemas sekali mendengarkan cerita Bunga. Agak-
nya ia menyimpan rahasia tentang Darah Kula."
"Itu bukan alasan yang cukup untuk memper-
cayai kata-kata Bunga!" Soka ganti berbisik.
"Lihat tepian kaki si Bunga, masih ada sisa ko-
toran kambing. Apakah kau tak mencium baunya?"
Ternyata apa yang dibisikkan Raka itu memang
benar. Ada sisa kotoran kambing sedikit di tepian kaki Bunga Dewi, sebagai tanda
bahwa ia memang bersembunyi cukup lama di kandang kambing. Aroma bau
kambing pun masih tercium samar-samar dari pakaian
si gadis. Aroma bau kambing itu baru disadari oleh
Soka setelah ia nekat mencium rambut Bunga Dewi.
Bunga menyangka Soka ingin berbuat jahil ke-
padanya hingga ia mendesah dan mengelak. Tapi bau
kambing itu sudah cukup tercium oleh hidung Soka,
sehingga akhirnya Soka pun melepaskan tali pengikat
kedua tangan Bunga Dewi.
Ketika kedai mulai sepi, mereka bertiga belum
beranjak dari tempatnya. Sore mulai datang, dan me-
reka memang menunggu saat-saat sepi seperti itu.
Raka Pura segera memanggil Ki Samekta den-
gan lagak ingin membayar seluruh biaya makan-
minum mereka di situ.
Ketika Ki Samekta mendekat, Raka menyuruh-
nya duduk. Sejumlah uang dipaksakan agar tergeng-
gam oleh Ki Samekta.
"Terlalu banyak uang ini, Nak. Jauh lebih cu-
kup untuk membayar semua biaya makan-minum ka-
lian." "Kau bisa menyimpan sisanya, Pak Tua."
"Ooh, terima kasih, terima kasih...." Ki Samekta tampak girang. Namun si
Pendekar Kembar sulung bu-ru-buru berkata lebih pelan lagi.
"Sebagai imbalan dari uang lebihan itu, aku in-
gin mendapat penjelasan darimu tentang Darah Kula!"
"Hmm, eeh, ooh, anu... aku tak berani, Nak!"
"Apa yang membuatmu takut menjelaskan ten-
tang Darah Kula"! Apakah di sini ada mata-matanya
Darah Kula"!" desak Soka membantu bujukan kakak-
nya. Ki Samekta tampak gelisah sekali.
"Hmmm... aku tak tahu apakah di sini ada ma-
ta-matanya atau tidak. Tapi... tapi aku tak sanggup
menjelaskan tentang orang keji itu."
"Apa yang membuatmu tak sanggup?"
"Aku...," wajah Ki Samekta menjadi semakin mendung. Tampaknya ia menyimpan
kesedihan yang cukup besar dalam hatinya. Tapi karena Soka dan Ra-
ka mendesaknya terus-menerus secara bergantian dan
dengan tutur kata yang lembut, maka akhirnya Ki Sa-
mekta pun kemukakan alasannya.
"Sebab... sebab jika aku mendengar nama Da-
rah Kula, aku ingat dengan nasib anak gadisku yang
bernama Supami."
"Apa yang terjadi atas diri Supami, Pak Tua?"
tanya Raka setelah melirik Bunga Dewi sebentar. Gadis yang dilirik itu sengaja
diam saja karena ingin menyimak baik-baik apa yang akan diutarakan oleh Ki Sa-
mekta. "Supami.... Supami adalah putri bungsu ku.
Usianya sekitar... yah, sebaya denganmu, Nona!" sambil mata Ki Samekta ditujukan
kepada Bunga Dewi.
"Di mana Supami sekarang?" tanya Bunga De-
wi, Ikut memancing penjelasan lebih lanjut.
"Dia... dia sudah empat purnama tidak kembali.
Semula ia diajak pergi oleh kekasihnya yang menjadi
murid Perguruan Tengkorak Sungsang itu. Bukan
hanya Supami saja yang pergi, namun kedua sahabat-
nya yang masih gadis juga diajak pergi oleh Wiloka,
kekasihnya Supami.itu. Menurut Wiloka, anakku akan
dicarikan kerja di kotaraja dengan penghasilan tinggi.
Tapi ternyata...."
Pemilik kedai itu diam sesaat. Segumpal duka
menyesal di dada dan menghambat pernafasannya. Ia
terpaksa tarik napas panjang-panjang, setelah itu lanjutkan ceritanya dengan
suara bergetar menahan ke-
sedihan. "Tapi ternyata mereka dijual kepada Darah Ku-
la melalui sekutunya; si Jagat Lancang. Hal itu kuke-
tahui setelah salah satu sahabat anakku berhasil me-
larikan diri dalam keadaan luka-luka berat. Dialah
yang menceritakan segalanya tentang si Darah Kula.
Tapi... anak itu akhirnya tak kuat menahan luka-
lukanya, sehari kemudian ia meninggal."
"Apa saja yang diceritakan oleh gadis itu, Pa-
man?" tanya Soka setelah Ki Samekta membisu terlalu
lama. "Darah Kula adalah manusia pengisap darah perawan."
"Ooh..."!" Bunga Dewi terperanjat tegang.
"Para gadis yang dijual kepadanya bukan untuk
diperkosa atau dijadikan budak, namun diisap darah-
nya hingga terkuras habis. Darah Kula adalah manu-
sia keturunan Iblis. Ia tidak bisa hidup dari makanan dan minuman yang layaknya
kita nikmati ini. Kekuatannya pada darah perawan."
"Menyeramkan sekali!"* gumam Bunga Dewi
sambil bergidik merinding.
"Jika dalam satu hari Darah Kula tak memi-
num darah perawan, maka tubuhnya akan menjadi
lemah. Semakin banyak darah perawan dihirupnya,
semakin tinggi daya kesaktiannya," tutur Ki Samekta menyambung penjelasannya
tadi. "Lalu, menurut gadis yang berhasil pulang ke
rumah itu, apakah Supami juga diperlakukan demi-
kian?" "Semua gadis yang dijual Jagat Lancang mengalami nasib demikian. Setelah
darahnya dihirup ha-
bis, gadis itu dibunuh dan... dan entah dikubur di ma-na mayatnya. Sampai
sekarang aku tak pernah tahu di
mana mayat anakku dimakamkan oleh mereka," Ki
Samekta semakin parau.
"Apakah kau tahu tentang kesaktian dan kele-
mahan si Darah Kula, Paman?" tanya Soka.
Ki Samekta menatap Soka, lalu gelengkan ke-
pala dengan lemah. Ia menunduk lagi, tapi kali ini suaranya kembali terdengar
agak parau. "Jika kau ingin tahu tentang Darah Kula, pergi-
lah ke Lembah Semangit, carilah orang yang bernama
Resi Bayakumba."
"Nama yang masih asing bagi kami, Paman."
"Resi Bayakumba adalah sahabatku. Dulu ia
pernah singgah kemari dan menyebut-nyebut nama
Darah Kula yang bangkit dari kematiannya. Tapi cerita itu terpotong oleh
kehadiran tamu lain, sehingga sampai Resi Bayakumba pulang, aku tak mendengar
lagi cerita tentang Darah Kula!"
"Hmmm... kalau begitu kita harus segera temui
Resi Bayakumba itu, Raka!"
"Ya. Tapi di mana letak Lembah Semangit"!"
"Jika kalian berjalan lurus ke timur dari desa
ini, maka kalian akan menemukan sungai di tepi hu-
tan. Di situlah Resi Bayakumba tinggal bersama murid
tunggalnya," ujar Ki Samekta.
"Aku tak mau ikut jika kalian ke sana!" sergah Bunga Dewi dengan menarik badan
hingga duduknya
yang semula maju ke depan menjadi tegak kembali.
"Mengapa kau tak mau ikut ke sana"!" tanya
Soka Pura yang agaknya sedikit keberatan jika Bunga
Dewi tak ikut dalam perjalanannya. Karena gadis can-
tik itu sebenarnya menyenangkan hati Soka, enak di-
pandang, enak digoda dan enak dibentak-bentak.
"Aku tak mau," Bunga Dewi gelengkan kepala
lagi. "Sebab kalau kita ke timur lagi, berarti kita akan sampai ke perguruannya
si Jagat Lancang. Aku tak
mau tertangkap oleh mereka."
Gadis itu bergidik lagi. Tentu saja ia semakin
ngeri setelah mendengar cerita Ki Samekta tentang na-
sib Supami itu.
"Kalian jangan berjalan lurus ke timur," ujar Ki Samekta. "Kalian bisa membelok
ke kiri begitu menemukan gundukan tanah cadas yang sebesar rumahku
ini. Jika kalian membelok ke kanan, berarti ke kan-
dangnya si Jagat Lancang. Tapi jika ke kiri, kalian
akan menemukan anak sungai berair dangkal. Ikuti
saja sungai itu sampai akhirnya kalian nanti akan me-
nemukan sebuah pondok berdinding kayu-kayu hutan.
Itulah tempat kediaman Resi Bayakumba!"
Mendengar semangatnya Ki Samekta dalam
memberikan penjelasan tersebut, Raka Pura pun ak-
hirnya tersenyum dan berujar kepada si pemilik kedai
tersebut. "Tampaknya kau ingin sekali agar kami berte-
mu dengan Resi Bayakumba, Pak Tua"!"
"Karena... karena aku berharap kalian akan
hancurkan si pengisap darah perawan itu! Aku yakin,
sebagai Pendekar Kembar, kalian punya keberanian
untuk berhadapan dengan tokoh keturunan iblis itu!
Aku pun berharap kalian akan unggul melawannya.
Hancurkan dia! Hancurkan sampai seluruh pengikut-
nya!" geram Ki Samekta dengan gigi menggeletuk pertanda menyimpan dendam cukup
besar. Tentu saja
dendam itu timbul akibat dari nasib malang anaknya
yang sudah bisa dipastikan menjadi korban keganasan
si Darah Kula itu.
Karena hari semakin sore, akhirnya mereka
bermalam di rumah Ki Samekta yang bagian depannya
dijadikan kedai itu. Bunga Dewi ribut tak mau tidur
dalam sekamar dengan Raka maupun Soka. Padahal
kamar yang tersedia hanya satu. Akhirnya kedua pe-
muda kembar itu mengalah tidur di bangku kedai,
sambil melanjutkan perbincangannya dengan Ki Sa-
mekta, sementara Bunga Dewi tidur di kamar itu sen-
dirian. Sebelum matahari pagi semakin meninggi, Pen-
dekar Kembar rencanakan berangkat ke Lembah Se-
mangit. Tapi sampai embun pagi telah mengering,
Bunga Dewi belum keluar dari kamarnya. Raka Pura
menjadi kesal dan menggerutu di samping Soka.
"Cantik-cantik kalau tidur seperti kerbau! Ban-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gunkan si perawan kesiangan itu, Soka!"
"Sabarlah, jadi orang itu jangan cepat marah,"
ujar Soka pelan sambil bergegas penuhi perintah ka-
kaknya. "Terlalu sabar bisa bikin dia jadi gadis manja!"
"Manja sedikit tak apalah...," gumam Soka masih terdengar, sehingga Raka
menyahutnya. "Tak ada manja-manjaan kalau mau ikut ber-
samaku! Biar cantik kalau manja akan ku banting
dia!" Soka Pura memang tak segusar kakaknya, karena ia suka memanjakan seorang
gadis, terlebih gadis yang cantik. Tapi Raka Pura memang kurang berminat
untuk mendekati seorang gadis, sehingga ia benci den-
gan kemanjaan. Tiba-tiba dari depan kamar Bunga Dewi, sang
adik kembar itu berseru kepada Raka dengan wajah
tegang. "Raka, Bunga sudah tak ada di kamarnya!"
"Minggat ke mana anak itu"!"
"Kurasa... oh, cobalah kemari sebentar!" seru Soka yang memancing minat Ki
Samekta untuk ikut
datang ke kamar gadis itu.
Raka Pura dan Ki Samekta sama-sama diam
tertegun memperhatikan kamar yang kosong, tapi jen-
dela dalam keadaan terbuka. Bunga Dewi telah hilang
dari kamarnya. Mereka tak tahu persis, ke mana per-
ginya gadis itu.
"Apakah dia diculik oleh orangnya Jagat Lan-
cang"!" tanya Ki Samekta kepada Raka Pura.
"Diculik atau kabur dengan sendirinya"!" Raka ganti bertanya, tapi hanya berupa
gumam, sepertinya
ia bertanya pada diri sendiri.
"Jika ia kabur sendiri, apa alasannya"!" ujar Soka Pura menyatakan keraguannya.
"Jika diculik, mengapa kamar ini masih rapi"
Tentunya Bunga lakukan perlawanan."
"Bagaimana jika penculiknya menotok Bunga
lebih dulu pada saat Bunga masih tertidur"! Tentu saja keadaan di kamar ini
tetap rapi karena tak ada perlawanan."
Pendekar Kembar segera memeriksa keadaan
sekeliling, termasuk keadaan di luar rumah. Repotnya, tak ada tanda-tanda yang
membuat mereka yakin antara diculik dan kabur sendiri.
"Bagaimana dengan alas kakinya"! Mengapa
alas kakinya tak tertinggal jika ia diculik?" ujar Raka Pura, sepertinya ia
cenderung beranggapan bahwa
Bunga Dewi kabur dengan sendirinya. Tetapi Soka
cenderung berpendapat bahwa gadis itu diculik oleh
pihaknya Jagat Lancang.
"Bunga mengenakan sandal berikat sampai ke
betis. Mungkin ia tetap mengenakan sandal itu dalam
keadaan tidur. Bisa saja dia terlalu capek, sehingga tak sempat melepas alas
kakinya, langsung tertidur. Dengan begitu jika ia diculik, tentu saja alas
kakinya ikut diculik juga!"
Raka Pura segera dekati Ki Samekta.
"Apakah tadi malam kau memeriksa jendela
sudah terkunci atau belum?"
"Hmmm, eeh... aku tak sempat memeriksanya,
Raka. Kupikir jika jendela sudah tertutup, berarti sudah terkunci."
"Siapa yang menutup jendela kamar ini pada
awalnya?" "Bukankah si gadis itu sendiri yang menutup-
nya ketika ia ribut ingin menempati kamar ini sendi-
rian"!" ujar Ki Samekta.
"Benar juga!" gumam Raka pelan.
"Kurasa ia memang diculik oleh orang-orangnya
Jagat Lancang itu, Raka," ujar Soka Pura. "Jendela lu-pa tidak dikunci, sehingga
penculiknya tak perlu repot-repot merusak jendela itu untuk masuk kemari!"
"Dari mana mereka tahu kalau bunga ada di si-
ni, bermalam di rumah ini" Dan berada di kamar ini"!"
"Kurasa... kurasa ada seseorang yang mengeta-
huinya. Mungkin di desa ini ada mata-matanya Darah
Kula, ada pula mata-matanya Jagat Lancang!"
Raka Pura hanya menghembuskan napas pan-
jang. Tampaknya ia merasa jengkel dengan keadaan
yang membuatnya harus berpikir keras itu. Ia sempat
menggerutu menyalahkan adiknya yang datang ke ke-
dai membawa Bunga Dewi bersama persoalannya. Me-
nurut Raka, itu hanya cari penyakit dan cari susah sa-ja.
"Kalau begitu, biar aku sendiri yang pergi ke
Perguruan Tengkorak Sungsang untuk bebaskan Bun-
ga Dewi!" "Jangan sembarangan bertindak, Soka! Bagai-
mana jika penculiknya bukan dari pihaknya si Jagat
Lancang"!"
"Aku yakin dialah dalang penculikan itu. Se-
bab... sebab Bunga Dewi agaknya sangat diincar dan
menurut mereka bisa laku lebih mahal dari gadis-gadis lainnya."
Baru saja Raka ingin bicara, tapi Soka sudah
pergi lebih dulu dengan melompati jendela kamar itu.
"Soka, tunggu...!"
Seruan sang kakak tidak dihiraukan. Soka be-
nar-benar mengkhawatirkan keselamatan Bunga Dewi,
sehingga ia tak peduli dengan seruan kakaknya atau
peringatan dari sang kakak tadi. Sementara itu, Pen-
dekar Kembar sulung merasa cemas pula melihat Pen-
dekar Kembar bungsu pergi sendiri ke sarang musuh.
Mau tak mau ia pun akhirnya menyusul sang adik
dengan gerutuan yang tiada habisnya.
* * * 4 GUGUSAN cadas setinggi rumah yang dikata-
kan Ki Samekta sebagai patokan jalan pemisah itu ma-
sih jauh dari langkah Pendekar Kembar. Namun lang-
kah kakak-beradik itu terpaksa dihentikan sejenak ka-
rena si adik melihat sekelebat bayangan melintas di se-la-sela semak sebelah
kiri mereka. "Siapa orang itu"!" sentak Soka Pura dalam na-da bisik sambil tangannya menunjuk
ke arah bayan- gan yang berkelebat cepat.
"Ikuti saja dia. Siapa tahu dia orang yang mem-
bawa lari Bunga Dewi!" ujar sang kakak yang akhirnya mendukung pendapat Soka
Pura, bahwa Bunga Dewi
diculik seseorang. Hanya saja, dalam hati kecil Raka
masih belum yakin, apakah si penculiknya dari Pergu-
ruan Tengkorak Sungsang atau dari pihak lain.
Wes, wes...! Mereka memburu bayangan yang di
curigai. Ternyata bayangan itu juga sedang mengejar
bayangan lain yang tak bisa tertangkap penglihatan
Pendekar Kembar dengan jelas. Bahkan ketika mereka
tiba di bawah tanah menanjak, mereka sempat kehi-
langan arah. "Ke mana bayangan yang kita ikuti tadi"!" tanya Soka dengan mata lebar memandang
ke sana-sini. "Kurasa ia membelok balik batu besar itu! Kita ke sana saja!" Wes, wes...!
Pendekar Kembar berkelebat lagi dengan kecepatan cukup tinggi. Akhirnya langkah
me- reka terhenti di balik semak-semak yang tumbuh di
bawah pohon besar. Soka Pura yang mengawali ber-
henti, sehingga Raka pun ikut-ikutan berhenti.
"Ssstt...!" Soka Pura memberi isyarat dengan te-lunjuk ditempelkan di depan
mulut. Dari sana mereka dapat mengintai pertemuan
tiga orang yang saling tak dikenal oleh Pendekar Kem-
bar. Dua orang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, dan seorang gadis
berusia sekitar dua puluh ti-ga tahun.
Melihat posisi si gadis ada di tengah, di antara
kedua lelaki yang sama-sama mengenakan ikat kepala
merah itu, maka Soka Pura dapat menyimpulkan bah-
wa gadis itu terkepung langkahnya hingga berhenti di
sana. "Kau kenal salah satu dengan mereka?" bisik Raka Pura.
Suka menggeleng. "Tapi agaknya mereka ber-
siap lakukan pertarungan satu lawan dua."
"Ya, kurasa si gadis akan berhadapan dengan
dua orang kurus itu."
"Yang kita ikuti tadi lelaki yang berbaju hijau
itu! Kurasa dia tadi mengejar si gadis."
"Lalu, lelaki yang berpakaian abu-abu itu da-
tang dari mana?"
"Ia menghadang si gadis. Mungkin ia ambil ja-
lan pintas untuk lakukan penghadangan."
"Hmmm...," Raka Pura manggut-manggut. "Kelihatannya dua orang kurus itu bukan
dari aliran pu-
tih. Wajah mereka tampak licik-licik dan...."
"Ssst...!" potong Soka. "Dengarkan percakapan mereka itu!"
Dua lelaki berusia sebaya itu tersenyum-
senyum sinis. Mereka mondar-mandir di tempatnya
masing-masing. Yang berbaju hijau berkumis tipis,
yang berpakaian abu-abu tidak berkumis sedikit pun.
Tetapi dari sorot mata mereka, kentara sekali bahwa
mereka bukan orang baik-baik.
"Biar kau lari ke lubang semut pun, kami tetap
akan berhasil menangkapmu, Bulan Berkabut!" seru lelaki berbaju hijau sambil
mengusap-usap kumisnya.
"Lebih baik menyerah saja, Bulan Berkabut!
Untuk apa kau buang-buang tenaga dengan lari sana-
sini, akhirnya akan bertemu juga denganku. Dunia ini
sempit, Bulan Berkabut!" timpal orang yang berpakaian abu-abu itu.
"Sebenarnya aku enggan berlumur darah. Tapi
jika kalian menghendaki begitu, terpaksa kulayani ke-
hendak kalian! Cabutlah senjatamu, Marambang!" ujar si gadis kepada yang
berpakaian abu-abu. Ternyata
orang bersenjata cambuk itu bernama Marambang.
Orang itu berseru kepada yang berbaju hijau,
"Lumpuhkan dia secepatnya, Randu Alas!"
"Baik, Tapi berjaga-jagalah, Marambang. Yang
satu ini licin bagaikan belut. Bersiaplah menyergapnya jika ia mau kabur lagi!
Heh, heh, heh, heh!"
Randu Alas yang berbaju hijau itu tertawa. Su-
aranya sama sekali tak enak didengar dan lagaknya
sangat memuakkan bagi si gadis yang mengenakan ba-
ju buntung warna merah tua dengan celananya yang
ketat warna serupa.
Gadis cantik yang bernama Bulan Berkabut itu
mempunyai rambut pendek seperti potongan lelaki, ta-
pi bagian depannya agak panjang. Sebagian rambut
depannya merawis di sekitar kening. Bulan Berkabut
mengenakan giwang merah tua juga sebesar kacang
tanah. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang
sensual itu sempat membuat Soka Pura berdesir-desir
indah. Dengan baju buntung yang dililit sabuk hitam
dan celana ketat yang panjangnya separo betis, Bulan
Berkabut tampak seksi sekali. Ditambah lagi dengan
tubuhnya yang termasuk tinggi dan sekal, padat berisi, belahan dadanya tampak
sebagian, walau tak terlalu
montok namun cukup menantang, ia benar-benar ga-
dis yang mampu membuat hati lelaki berdebar-debar.
Kulitnya yang kuning langsat tampak mulus, ter-
bayang lembut dan halus jika disentuh.
Ia menyandang pedang di punggungnya. Pe-
dang itu mirip sebuah samurai dilapisi kulit binatang tanpa bulu warna hitam.
Gagangnya yang juga terbungkus kulit hitam itu diberi hiasan ronce-ronce be-
nang merah. Pedang itu belum dicabut. Bulan Berkabut in-
gin coba lumpuhkan lawannya dengan tangan kosong.
Maka ketika Randu Alas melesat tinggi sebatas pun-
daknya, gadis itu segera sentakkan kedua tangan me-
nyilang di depan kepala.
Wuut, plaaark...! Tendangan kaki Randu Alas
berhasil ditangkis dengan tangan menyilang. Namun di
luar dugaan, tubuh Randu Alas melintir dalam puta-
ran cepat dan kaki yang satu menyambar wajah Bulan
Berkabut. Wees...! Plaak...!
Bulan Berkabut yang segera memiringkan ba-
dannya itu tetap terkena tendangan kaki lawan di ba-
gian ujung pundaknya. Ia terpelanting nyaris jatuh,
namun cepat-cepat jaga keseimbangan dan tegak kem-
bali. "Satu Jurus lagi harus selesai, Randu Alas!
Jangan buang-buang waktu!" seru Marambang sambil berjalan berkeliling menjaga
kemungkinan lolosnya si
gadis cantik berpinggul menantang itu.
"Heeaahh...!"
Randu Alas kerahkan tenaganya. Kedua tangan
bergerak cepat ke berbagai arah, lalu diam seketika
dengan tangan membuka ke atas dan ke bawah dan
kaki kiri lurus ke belakang, kaki kanan merendah ko-
koh. Bulan Berkabut juga mainkan jurusnya dengan
cepat dan lincah. Dalam sekejap berikutnya, Bulan
Berkabut sentakkan kakinya hingga tubuh terangkat
ke atas, karena pada saat itu Randu Alas menyampar-
kan kakinya secara berturut-turut dengan gerakan
memutar rendah.
Wes, wes, wes...!
Lompatan gadis itu cukup tinggi. Tangannya
berhasil mencapai dahan pohon yang terjulur di atas-
nya. Teeb...! Maka tubuh pun diayunkan sesaat, lalu
tiba-tiba ia melayang dalam gerakan bersalto cepat.
Wees...! Wuk, wuk, wuk...!
Sepertinya ia tak mengarah kepada Randu Alas.
Tapi tiba-tiba kedua kakinya merentang lebar dalam
satu sentakan. Seet...!
Plook...! Pelipis kiri Randu Alas terkena tendangan lebar
yang menyentak di luar dugaan itu. Randu Alas terpe-
lanting ke samping dan terhuyung-huyung. Pada saat
itu, Bulan Berkabut telah daratkan kakinya ke bumi.
Satu sentakan ujung kaki membuatnya melesat lagi
dan menerjang Randu Alas yang masih menggeragap
itu. Wuuut, dees...!
"Aaoow...!"
Randu Alas memekik keras sambil jatuh ter-
banting ke samping. Tendangan kaki Bulan Berkabut
disaluri kekuatan tenaga dalam, hingga pelipis Randu
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alas terasa retak. Ada darah yang mengalir dari telinga Randu Alas.
Melihat lawannya jatuh dan menyeringai kesa-
kitan, Bulan Berkabut segera pergunakan senjatanya.
Pedang itu dicabut dalam satu gerakan tangan yang
hampir tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Srriing...!
Bunyi mata pedang bergeser saat dicabut itulah
yang membuat Marambang tahu bahwa temannya da-
lam ancaman bahaya. Maka, sebelum pedang Bulan
Berkabut menyabet ke bawah, Marambang segera le-
paskan pukulan jarak jauh dari arah belakang si gadis.
Tangannya yang menggenggam tiba-tiba menyentak ke
depan dengan telapak tangan terbuka lurus. Wuuut...!
Buuuhk...! Terdengar suara punggung bagai
dihantam dengan sepotong balok kayu cukup besar.
Bulan Berkabut tersentak dengan tubuh melengkung
ke depan, wajah terdongak menyeringai menahan sa-
kit. Nafasnya tersentak dalam bentuk suara berat.
"Hhheeekh...!"
Kesempatan itu digunakan oleh Randu Alas un-
tuk segera berguling ke kiri satu kali, kemudian me-
lompat dan berguling lagi, sampai akhirnya ia berdiri dengan berpegangan pada
pohon, enam langkah dari
tempat Bulan Berkabut terhenyak dl tempat.
Bertepatan dengan itu pula, Marambang ber-
guling maju dalam satu lompatan. Begitu ia bangkit
dengan satu kaki berlutut di belakang Bulan Berkabut, kedua tangannya menotok
pinggang kanan-kirinya lawan. Dess, dess...!
"Ahkk...!" Bulan Berkabut tersentak lagi dengan tubuh terbungkuk, kemudian ia
Jatuh terkulai ketika
ingin melangkah. Tubuhnya ambruk bagaikan tak ber-
tulang sama sekali. Totokan itu membuat Bulan Ber-
kabut tak bisa bergerak, namun keadaannya masih
sadar. Matanya masih terbuka, mulutnya pun tern-
ganga, hanya saja mata itu tak dapat bergerak ke kiri atau ke kanan dan mulut
itu tak bisa menelan ludah
kecuali napas tipis.
"Curang sekali si Marambang itu!" geram Raka
di samping adiknya yang jongkok di depannya. Sang
adik masih diam saja, sepertinya asyik mengikuti ade-
gan selanjutnya.
Marambang segera hampiri Randu Alas yang
sibuk membersihkan darah dari telinganya. Sementara
itu, si gadis dibiarkan terkulai di tanah tanpa rasa
khawatir kalau akan melarikan diri lagi.
"Bagaimana" Parah"!" tanya Marambang den-
gan mata memancarkan kemarahan yang mulai surut.
"Untuk apa pergi ke sawah"!" ujar Randu Alas dengan suara berat karena menahan
rasa sakit di telinganya.
"Siapa yang mau mengajak mu ke sawah" Ku-
tanya, apakah lukamu parah"!" tegas Marambang.
"Oh, tidak! Aku masih kuat!"
"Kerjamu terlalu lamban, Randu Alas! Lihat,
hanya dengan dua jurus, gadis itu bisa kulumpuhkan!"
"Jangan disembuhkan dulu! Kita bawa saja dia
dalam keadaan seperti itu."
"Siapa yang mau sembuhkan dia"! Ah, bicara-
mu mulai ngacau, Randu Alas!"
"Jadi kau tadi bilang apa"!"
"Dia bisa ku lumpuhkan!" suara Marambang
agak keras. Rupanya telinga Randu Alas menjadi bu-
dek akibat terluka bagian dalamnya, sehingga ia selalu salah dengar jika
Marambang bicara padanya.
"Sebaiknya kita bawa pulang saja gadis itu se-
karang juga! Kurasa ketua sudah menunggu-nunggu
hasil kerja kita. Bulan Berkabut adalah gadis yang
cantik dan berdarah segar. Si Darah Kula pasti me-
nyukainya. Dia bisa laku mahal, Randu Alas!"
"Siapa yang jual mahal"! Dia..."!"
"Laku mahal!" ulang Marambang dengan keras
dan bernada Jengkel. "Kenapa kau jadi budek begitu"!"
Di sisi lain, Raka Pura berbisik kepada adiknya,
"Rupanya mereka orangnya Jagat Lancang! Gadis itu akan dijual kepada Darah
Kula!" "Kita harus bertindak secepatnya! Kau lum-
puhkan dua orang itu, aku akan mengobati si Bulan
Berkabut!"
"Mengapa bukan kau saja yang melumpuhkan
Marambang dan Randu Alas"!"
"Sudahlah, jangan banyak berdebat! Nanti ga-
dis itu telanjur dibawa pergi oleh mereka!"
Raka Pura ingin ucapkan kata lagi, tapi sang
adik sudah lebih dulu bergerak keluar dari persembu-
nyian. Mau tak mau Raka mengikutinya walau dalam
hatinya, ia menggerutu sendiri.
"Giliran mengobati gadis cantik, dia yang tan-
gani! Aku disuruh hadapi kedua orang itu. Tapi kema-
rin ketika harus mengobati ibunya Ki Lurah Mujo, dia
tak mau campur tangan. Huhh...! Dasar bulus konyol!"
Soka Pura muncul dengan senyum ceria dan
berkesan cengar-cengir. Kemunculannya disertai se-
ruan sok akrab dengan Marambang dan Randu Alas.
"Hoii...! Bagaimana" Beres..."!"
Tentu saja kemunculan Pendekar Kembar
membuat Marambang dan Randu Alas curiga. Mereka
memandang dengan dahi berkerut karena merasa tak
mengenal kedua pemuda kembar itu. Walaupun Soka
menyapa dengan sok akrab, tapi Marambang dan Ran-
du Alas tak memberi balasan.
Soka Pura semakin nyengir begitu tiba di depan
Marambang dan Randu Alas.
"Kalian orang Perguruan Tengkorak Sungsang,
bukan"!"
"Ya. Siapa kalian berdua"!" jawab Marambang dengan nada ketus dan ganti bertanya
penuh curiga. "Apa kalian belum mengenal kami" Kami murid
baru di perguruan itu!"
Marambang menggeram tak bersahabat.
"Omong kosong! Guru sudah tak menerima murid baru sejak setengah tahun yang
lalu!" "Mau apa kalian sebenarnya"!" Randu Alas
paksakan diri untuk menggertak.
"Mau ambil gadis ini!" jawab Soka enak saja.
"Eit, nanti dulu!" Marambang mengangkat tangannya, ia mendekati Soka yang sudah
ada di samping Bulan Berkabut.
"Jangan coba-coba berani sentuh gadis itu!"
ancam Marambang. "Jika ada yang menyentuhnya
akan kubunuh seketika itu juga!"
"Kalau begitu, hadapi saja kakakku ini! Sudah
lama dia kepingin dibunuh!" ujar Soka seenaknya saja.
Kemudian ia membungkuk dan mengangkat Bulan
Berkabut untuk dipindahkan ke tempat yang teduh.
"Kurang ajar! Hiaaaat...!" Marambang hendak melepaskan tendangan sampingnya ke
arah Soka Pu-ra. Tapi dengan gerakan cepat Raka maju menghadang
serangan Marambang. Tangannya dikibaskan ke samp-
ing, dan beradu dengan tulang kering Marambang.
Prak...! Suara tulang kering beradu dengan tulang lengan terdengar cukup keras.
Tapi Soka Pura cuek saja.
Ia tetap memindahkan Bulan Berkabut ke tempat yang
teduh. Sementara itu, Marambang menyeringai kesaki-
tan tanpa suara, karena tulang keringnya seperti di-
hantam dengan sepotong besi baja.
Pada saat itu, Raka Pura masih setengah me-
munggungi Marambang. Ketika Randu Alas mencabut
goloknya dan ingin membabat pundak Raka dengan
satu lompatan, tubuh Raka tiba-tiba dijatuhkan dalam
keadaan tengkurap. Tapi kedua telapak tangannya di-
pakai untuk menapak, sehingga kakinya pun mening-
gi. Kaki itu menjejak ke belakang secara beruntun te-
pat kenai paha dan perut Randu Alas.
Wuut, plak...! Plok, plok, buuhk...!
Tubuh kurus si Randu Alas akhirnya terlempar
ke belakang dan jatuh terbanting dengan pelipis kiri
membentur batu sebesar nangka. Duuhk...!
"Aaaah...!" Randu Alas memekik lebih keras dan lebih panjang. Pelipis yang sudah
memar dengan telinga berdarah, kini semakin bonyok akibat membentur
batu dengan keras. Perut pun mual seketika. Napas
menjadi sesak, sehingga Randu Alas mulai tersengal-
sengal. Marambang segera menyentakkan tangannya
yang tergenggam dan terbuka seketika. Suuut...! Tena-
ga dalam yang tadi dipakai menghantam Bulan Berka-
but dari belakang, kini digunakan lagi untuk menye-
rang Raka Pura dari belakang Juga. Marambang belum
tahu bahwa Raka Pura bukan Bulan Berkabut...
Datangnya hawa padat menghangat itu dirasa-
kan Raka sebelum bahaya itu tiba. Maka dengan sen-
takkan kaki lembut, tubuh Pendekar Kembar sulung
melesat ke atas dan bersalto ke belakang. Wut,
wuuus...! Gerakan melambung ke belakang itu mele-
wati atas kepala Marambang.
Tentu saja Marambang kaget melihat lawannya
mampu berkelit sedemikian cepat dan tahu-tahu su-
dah ada di atas kepalanya. Ketika Marambang ingin
sentakkan tangan ke atas, kaki Pendekar Kembar su-
lung menghentak ke bawah kuat-kuat. Deess...!
"Aaahk...!" Ujung jempol kaki itu mempunyai kekuatan tenaga dalam. Jempol kaki
si Pendekar Kembar sulung bagaikan menotok ubun-ubun Marambang.
Tentu saja Marambang memekik sambil pegangi kepala
dan kedua tangannya. Ia terhuyung-huyung sesaat,
karena ubun-ubunnya terasa seperti kejatuhan linggis.
Seketika itu pula pandangan mata Marambang menja-
di gelap. Rasa sakitnya menjalar di sekujur tubuh,
sampai ke telapak kaki. Darah keluar dari telinga dan hidung Marambang.
Sementara itu, Pendekar Kembar sulung berha-
sil mendarat dengan tegak dan memperhatikan lawan-
nya meraung-raung kesakitan dalam keadaan mengge-
loyor ke sana-sini.
"Wadooow...! Waadoow, mati akuu...! Mati aku,
Maaak...! Wadoow...!"
Pukulan tenaga dalam Marambang tadi Justru
menghantam Randu Alas yang baru berusaha bangkit
dari jatuhnya sambil tarik napas tersengal-sengal, ta-hu-tahu ia merasa seperti
diterjang seekor banteng
yang mengamuk. Bruuusk...! Randu Alas gelagapan
sebentar, kemudian jatuh terkapar tak sadarkan diri.
Karenanya ia tak bisa membantu Marambang ketika
Marambang meraung berkepanjangan sampai berlutut
di tanah dengan memegangi kepalanya yang terasa in-
gin meledak itu.
Pendekar Kembar sulung segera pandangi
adiknya di bawah pohon rindang. Ia menggeram jeng-
kel melihat Soka Pura belum selesaikan pekerjaannya.
Soka masih pandangi kecantikan Bulan Berkabut den-
gan senyum penuh kekaguman. Bahkan tangan Soka
Pura ikut-ikutan konyol dengan mengusap-usap pipi
Bulan Berkabut, sesekali mengelus rambut gadis itu
dengan sentuhan penuh perasaan. Pandangan ma-
tanya pun lebih sering tertuju ke belahan baju si gadis, karena di sana ia
menemukan sisi dua gumpalan padat yang halus mulus menantang selera.
Si gadis diam saja walau matanya terbuka. Ia
memang tak bisa bergerak apa-apa, namun ia merasa-
kan sentuhan tangan Soka dan mendengar decak serta
Pendekar Tongkat Dari Liongsan 2 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta 15