Pemburu Mahkota Dara 2
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara Bagian 2
gumam kekaguman Soka terhadapnya. Bulan Berka-
but hanya bisa menggeram dongkol dan memaki pe-
nuh gerutu dalam hati saja.
Pendekar Kembar sulung segera hampiri Pen-
dekar Kembar bungsu. Kepala sang adik disodok den-
gan dua jari. Duus, wuut...! Soka Pura terantuk ke depan, lalu segera sadar dan
nyengir memandangi ka-
kaknya yang sudah ada di belakang.
"Bukannya disembuhkan malah dibuat mai-
nan"! Dasar buaya norak!" omel Raka Pura dengan bersungut-sungut.
"Hmmm, eeh... dia cantik sekali, Raka! Kulitnya
halus, seperti kulit bayi, dan...."
"Cepat bebaskan totokannya!" sentak Raka Pu-ra.
Namun pada saat itu mereka segera mendengar
suara langkah orang berlari-lari menuju ke tempat tersebut. Langkah itu agaknya
bukan datang dari satu
orang saja. Diperkirakan ada tiga-empat orang yang
berlari menuju ke tempat tersebut. Soka dan Raka sal-
ing berpandangan tegang sesaat, kemudian meman-
dang ke arah datangnya suara orang berlari secara
grabak-grubuk itu.
"Soka, bawa dia pergi dari sini! Lekas...!" suara Raka membisik, dan sang adik
pun segera lakukan perintah tersebut.
"Jangan ladeni mereka! Ikutlah pergi, Raka!"
sambil Soka Pura memondong Bulan Berkabut, kemu-
dian melesat ke balik semak-semak dan menghilang di
kerimbunan pepohonan.
Raka Pura memang segera melesat pergi, na-
mun tak cepat-cepat susul adiknya. Ia ingin tahu dulu, siapa yang datang ke
tempat itu. Ternyata mereka terdiri dari lima orang kurus
berwajah kusam. Kelima orang itu tersentak kaget me-
lihat Randu Alas terkapar dan Marambang masih me-
raung-raung sambil berguling ke sana-sini, memegangi
kepala dengan kedua tangan.
"Marambang! Apa yang terjadi"! Mana si Bulan
Berkabut tadi?" seru salah seorang dari mereka.
Raka Pura cukup puas, karena sekarang ia ta-
hu bahwa lima orang itu adalah teman-teman Maram-
bang dari Perguruan Tengkorak Sungsang. Raka mera-
sa tak perlu mengusik mereka lagi, ia cepat-cepat su-
sul adiknya dengan menggunakan gerakan cepat yang
menyerupai badai melesat itu. Wuuzzz...!
* * * 5 SETELAH Soka Pura membebaskan totokan
Bulan Berkabut, gadis itu sempat ngomel-ngomel ka-
rena kenakalan tangan Soka di saat ia tak berdaya ta-
di. Pendekar Kembar sulung segera redakan omelan
Bulan Berkabut dengan kesabarannya, sampai akhir-
nya gadis itu pun menyadari bahwa ia telah di sela-
matkan oleh sepasang pemuda kembar yang tampan,
gagah, dan mempunyai daya tarik tersendiri dalam ha-
tinya, terutama setelah Pendekar Kembar perkenalkan
diri sebagai Raka Pura dan Soka Pura.
Bulan Berkabut sempat terperanjat. "Beberapa
tokoh di rimba persilatan sering menyebut dua nama
itu sebagai nama Pendekar Kembar," ujarnya.. "Apakah kalian memang Pendekar
Kembar"!"
"Dugaanmu tak salah, Bulan Berkabut. Semula
kami tidak bermaksud mencampuri urusanmu dengan
kedua orangnya Jagat Lancang itu," ujar Raka Pura yang berdiri lebih dekat
ketimbang Soka Pura.
"Semula aku dan adikku hanya mencari seo-
rang gadis, sahabat kami, yang tiba-tiba menghilang
dari kamar tidurnya. Dugaan kami ia diculik oleh
orang-orangnya Jagat Lancang. Tapi setelah kami tahu
Marambang dan Randu Alas ingin menjadikan mu se-
bagai tawanan mereka yang nantinya akan dijual ke-
pada Darah Kula, maka kami pun terpaksa turun tan-
gan menyelamatkan dirimu!" tambah Raka dalam penjelasannya.
"Terima kasih atas bantuanmu," ujar Bulan
Berkabut. "Apakah gadis yang kau cari itu berwajah cantik, mungil, mengenakan
pakaian kuning gading
dan...." "Benar! Dialah yang bernama Bunga Dewi!" sahut Soka Pura sambil maju
selangkah lagi.
Bulan Berkabut menggumam dan manggut-
manggut. "Ya, aku kenal dengannya. Bunga Dewi adalah
pencuri cantik dari Tanah Keramat!" sambil Bulan Berkabut bertolak pinggang dan
melangkah mondar-mandir bagaikan sedang gusar.
"Dia memang pencuri, tapi dalam peristiwa ini,
dia tidak mencuri. Dia lolos dari tawanan si Jagat Lancang, karena Bunga Dewi
termasuk gadis yang akan
dijual kepada Darah Kula!" sambung Soka dengan bersemangat.
"Kami menduga, Bunga Dewi diculik oleh
orang-orangnya Jagat Lancang," timpal Pendekar
Kembar sulung. "Tidak!" Bulan Berkabut menyangkal tegas-
tegas. "Bunga Dewi tidak diculik oleh mereka. Sema-lam kulihat ia bersama
seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun berambut pendek tegak-tegak
seperti durian. Mereka menuju selatan, ke Candi Apung."
"Seorang lelaki berambut tegak..."!" Soka Pura
menggumam dengan dahi berkerut, mata memandang
ke arah kakaknya. Si kakak hanya melirik sekejap
sambil menarik napas.
"Kau tahu siapa lelaki berambut tegak itu, Bu-
lan Berkabut"!"
"Ya, aku kenal dengan lelaki itu! Dia adalah
orang Kedai Iblis yang bernama Batara Jabrik!"
"Ooh..." Batara Jabrik"!" Pendekar Kembar terperangah kaget, karena mereka pun
mengenal nama Batara Jabrik. Mereka pernah bertemu dengan Batara Jabrik
ketika orang itu menjadi pembunuh bayaran atas tu-
gas dari Dewi Ambari untuk melenyapkan Wisnu Ga-
lang. Tapi akhirnya Batara Jabrik tak berani lakukan
tugasnya, karena ia tahu Wisnu Galang sahabat Pen-
dekar Kembar. Bahkan ia sempat kagum dan ingin be-
lajar ilmu-ilmunya Raka Pura, namun Raka tak berse-
dia menurunkan ilmunya, sehingga Batara Jabrik ak-
hirnya pulang ke Kedai Iblis, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: Cumbuan Menjelang Ajal").
Raka dan Soka sama-sama tertegun sesaat, ka-
rena mereka tak menyangka Bunga Dewi bersahabat
dengan Batara Jabrik. Bahkan saat itu Bulan Berka-
but memberi penjelasan lebih lengkap lagi.
"Beberapa waktu yang lalu, aku sempat berke-
nalan dengan Bunga Dewi dan Batara Jabrik, karena
mereka pernah kubayar untuk mencarikan Lebah Ken-
cana di dalam Hutan Karang."
"Lebah Kencana"!" Soka menggumam karena
merasa asing dengan nama Lebah Kencana.
"Lebah Kencana adalah benar-benar lebah yang
berwarna kuning keemasan. Lebah itu kugunakan un-
tuk mengobati seseorang yang terkena racun dari la-
wannya. Sejak itulah kami berkenalan, dan beberapa
hari yang lalu aku mendengar kesepakatan Bunga
dengan Batara Jabrik yang akan mencari Permata Ma-
nik Jingga yang tersimpan di Candi Apung."
"Edan gadis itu! Kecil-kecil semangat nyolong-
nya tinggi juga"!" gumam Soka Pura seakan ditujukan kepada kakaknya. Tapi sang
kakak diam saja, karena
sedang memperhatikan ucapan Bulan Berkabut.
"Tiga hari yang lalu, aku bertemu Batara Jabrik
yang mencari Bunga Dewi. Ia meminta tolong padaku
untuk mencarikan gadis itu, karena ia mendapat kabar
dari seorang temannya, bahwa Bunga Dewi tertangkap
oleh orang-orangnya Jagat Lancang, sehingga gadis itu tak sampai di rumahnya.
Aku tak menyanggupi per-mohonan Batara Jabrik, karena aku punya urusan
sendiri dengan seorang pemuda yang bernama Wiloka."
Pendekar Kembar sama-sama terkesiap men-
dengar nama Wiloka.
"Kalau tak salah Wiloka adalah bekas kekasih-
nya Supami, anak Ki Samekta itu!" ujar Raka Pura, dan si Pendekar Kembar bungsu
mengangguk membe-narkan. Bulan Berkabut lanjutkan kata-katanya lagi.
"Aku sedang mencari Wiloka untuk bikin perhi-
tungan sendiri denganku. Terus terang saja, aku sem-
pat tertarik dengannya. Tapi ternyata kebaikannya itu sebuah jebakan yang akan
membuatku celaka di tangan Jagat Lancang, gurunya! Aku hampir terjebak ma-
suk ke Perguruan Tengkorak Sungsang. Kupikir Wilo-
ka bukan orang perguruan itu. Rupanya ia bermaksud
menjebakku agar aku bisa dijual oleh pihaknya ke Bu-
kit Maut. Aku pun melarikan diri, sambil mencari Wi-
loka. Sebab sejak itu, aku tak pernah melihat Wiloka
keluar-masuk ke gerbang perguruan tersebut. Namun
teman-temannya merasa seperti menemukan emas be-
gitu melihatku. Tanpa kusadari, mereka ternyata ma-
sih memburu ku."
"Jahanam juga yang bernama Wiloka itu ru-
panya"!" geram Soka sambil memandang kakaknya.
Sang kakak hanya menggumam dan manggut-
manggut. Si gadis pun lanjutkan kata-katanya kemba-
li. "Kemarin sore aku bertemu dengan Batara Ja-
brik. Akhirnya kami sepakat untuk saling membantu.
Batara Jabrik membantuku mencarikan Wiloka, aku
membantunya mencarikan Bunga Dewi. Batara Jabrik
sempat jelaskan rencananya mencuri Permata Manik
Jingga dari Candi Apung. Ia berharap aku mau berga-
bung dengannya. Tapi tawaran itu kutolak mentah-
mentah, karena aku bukan seorang pencuri dan bukan
pembunuh bayaran."
"Untuk apa mereka mencari Permata Manik
Jingga?" "Batara Jabrik belum mau jelaskan kegunaan
benda itu. Aku sendiri tak banyak tahu tentang Perma-
ta Manik Jingga. Tapi ada seseorang yang mengetahui
tentang benda yang tersimpan di dalam Candi Apung
itu. Jika kalian ingin menanyakannya, aku bisa mem-
bawa kalian kepada orang tersebut."
"O, tidak! itu bukan urusan kami," sela Pendekar Kembar sulung. "Jika memang
Bunga Dewi sudah pergi bersama Batara Jabrik, biarlah mereka pergi, karena
mereka bukan tanggung jawab kami...."
"Kurasa Bunga benar-benar keluar sendiri dari
kamar dan mencari Batara Jabrik. Dugaanmu memang
benar, Raka," sela Pendekar Kembar bungsu dalam bi-sikan. "Karena aku masih
punya otak."
"Aku juga punya!" gerutu Soka sambil bersungut-sungut, merasa dianggap sudah
tidak punya otak.
Raka Pura bicara lagi kepada Bulan Berkabut,
"Tujuan utama kami sebenarnya ingin menemui seseo-
rang di Lembah Semangit...."
Bulan Berkabut terkesip, namun tetap membi-
su tanpa gumam sedikit pun.
"Kami mencari sebuah pondok milik seorang
resi yang tinggal di sana," lanjut Raka. "Kami perlu bertemu dengan tokoh tua
yang bernama Resi Bayakumba itu."
"Untuk apa"!" tanya Bulan Berkabut dengan
pandangan berkesan curiga.
"Menurut seorang pemilik kedai yang bernama
Ki Samekta, jika kami ingin mengetahui banyak-
banyak tentang Darah Kula, alias manusia pengisap
darah perawan itu, kami harus menanyakannya kepa-
da Resi Bayakumba. Kata pemilik kedai itu, sang Resi
mengetahui banyak tentang si Darah Kula."
"Apakah kalian ingin bergabung dengan pihak
Darah Kula"!"
"O, tidak. Itu dugaan paling buruk yang pernah
kami dengar, Bulan!" sahut Soka Pura. "Justru kami ingin hancurkan si Darah Kula
itu agar tak timbulkan
korban lebih banyak lagi. Kasihan para gadis, seperti-mu juga, jika Darah Kula
tetap hidup. Lama-lama
penghuni bumi kehilangan gadis-gadisnya, yang tersi-
sa hanya kaum lelaki dan nenek-nenek jompo."
Setelah diam sesaat, Bulan Berkabut pun te-
gaskan kata, "Aku bisa mengantar kalian ke Lembah Semangit."
"Oh, terima kasih atas kesediaanmu," Soka Pu-ra tersenyum girang. "Tapi bisakah
kau mengantarkan kami ke pondok yang kami maksud itu"!"
"Bisa! Ikuti aku!" tegas Bulan Berkabut, kemudian ia lebih dulu bergerak menuju
ke Lembah Seman-
git. Pendekar Kembar saling pandang sebentar, lalu
bergegas mengikuti langkah si cantik bertubuh sintal
dan berwajah cantik menghebohkan hati Soka.
Perjalanan menuju Lembah Semangit ditempuh
waktu tak sampai setengah hari. Bahkan seperempat
hari kurang. Mereka bergerak cepat. Ternyata Bulan
Berkabut pun mampu berlari cepat, walau tidak sece-
pat jurus 'Jalur Badal'-nya Pendekar Kembar. Andai
saja tadi saat ia dikejar oleh Randu Alas tidak terhadang oleh Marambang,
mungkin Randu Alas akan ke-
hilangan jejak dan tak sanggup menandingi kecepatan
larinya si cantik berambut pendek itu.
Seperti yang dikatakan Ki Samekta, mereka ha-
rus menelusuri tepian sungai untuk menemukan pon-
dok Resi Bayakumba. Ternyata gadis cantik itu juga
menelusuri tepian sungai, sehingga Pendekar Kembar
merasa tak akan disesatkan oleh si cantik bermata in-
dah itu. Bahkan dengan mudahnya pondok tersebut
ditemukan oleh mereka. Pendekar Kembar merasa le-
ga, juga memendam rasa bangga atas bantuan Bulan
Berkabut dalam menemukan pondok Resi Bayakumba.
Pondok itu memang terbuat dari kayu-kayu hu-
tan yang hanya dibelah menjadi dua bagian. Berkesan
kokoh dan damai, karena suasana di sekitarnya sangat
sepi. Pagar yang mengelilingi pondok dua lantai itu
hanya setinggi dada, terbuat dari batangan kayu-kayu
bundar sebesar betis yang ditata rapat dan rata. Pon-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dok itu juga dikelilingi pohon-pohon besar yang ber-
daun rindang, sehingga halaman pondok tersebut di-
taburi oleh daun-daun kering, serupa daun beringin.
"Masuklah...!" Bulan Berkabut mempersilakan kedua pemuda tampan itu masuk ke
dalam pondok setelah ia membukakan pintunya.
Pendekar Kembar sama-sama berkerut dahi,
merasa heran atas kelancangan Bulan Berkabut yang
berani membuka pintu sendiri dan mempersilakan me-
reka untuk masuk. Keduanya tertegun di depan pintu,
menatap nanap ke wajah Bulan Berkabut.
"Masuklah dulu! Aku akan mencari Eyang
Guru di sekitar sini. Kurasa beliau sedang sibuk den-
gan empang ikannya di bawah sana."
"Eyang Guru..."!" Soka Pura bergumam heran
mendengar Bulan Berkabut menyebut 'eyang guru'.
"Jadi... jadi kau muridnya Resi Bayakumba"!"
tanya Raka Pura.
Gadis itu sunggingkan senyum kecil. Duhai...
cantiknya bukan main jika tersenyum. Jantung Soka
terasa ingin pecah melihat senyuman itu, karena de-
bar-debar yang hadir semakin kuat dan menggelitik ta-
jam. "Sialan! Ternyata dia murid sang Resi sendiri!
Mengapa dia tidak bilang dari tadi saja, ya"!" ujar Raka Pura kepada adiknya.
Sang adik masih diam terbengong dengan mulut sedikit ternganga. Matanya me-
mandang ke arah kepergian Bulan Berkabut. Mereka
memilih menunggu di luar pondok sambil menikmati
hembusan angin pembawa udara sejuk itu.
"Soka, apa yang terbayang dalam benakmu se-
telah tahu bahwa Bulan Berkabut adalah murid sang
Resi?" "Dia benar-benar cantik sekali."
Wuuut, dees...!
Raka Pura mendorong kepala adiknya yang bi-
cara seperti orang terkesima itu. Sang adik menggera-
gap sebentar sambil mengusap-usap kepalanya.
"Kenapa kau marah".!"
"Pikiranmu soal kecantikan melulu! Tak bisa-
kah kau berpikir selain kecantikan"!" sentak Raka Pu-ra.
Pendekar Kembar bungsu pun menerawang la-
gi, lalu berujar seperti orang mengigau, "Tubuhnya benar-benar elok dan
menggairahkan!"
Wuut, dees...! Kepala Soka didorong lagi oleh kakaknya den-
gan sentakan agak keras. Soka sempat tersentak satu
langkah ke depan. Ia kembali bersungut-sungut sambil
usap-usap kepalanya.
"Kenapa kau ini"! Katamu aku tak boleh berpi-
kir tentang kecantikan saja"!"
"Iya! Tapi memikirkan kemolekan tubuhnya
sama saja memuakkan hatiku!"
"Yah, kalau kau muak tak perlu ikut berpikir-
lah! Biar aku saja yang memikirkan kecantikan dan
kemolekan tubuhnya!" ujar Soka dengan nada menggerutu, kemudian ia berpindah
tempat, duduk di atas
sebatang kayu yang agaknya sering dipakai sebagai
tempat kongkow-kongkow oleh sang Resi dan murid
tunggalnya itu. Akhirnya Raka Pura pun ikut duduk di
tempat itu dengan kedongkolan sudah berkurang.
Mereka saling membisu sampai beberapa saat
lamanya. Setelah mereka merasa jenuh dengan kebi-
suan, Soka Pura mengawali perdengarkan suaranya
yang pelan, setengah berbisik.
"Raka... ada sesuatu yang ingin kukatakan pa-
damu, tapi aku takut kau marah padaku."
"Kalau begitu lebih baik aku marah dulu, sete-
lah itu baru kau katakan hal itu!"
"Ah, Raka... aku bersungguh-sungguh!" sang
adik merengut bernada manja.
Soka Pura memang sering bermanja kepada
kakaknya, terutama jika tidak ada orang ketiga. Tapi di balik kemanjaan itu,
sebenarnya Soka Pura hanya ingin melampiaskan rasa sayangnya kepada sang kakak,
yang dianggap sebagai tempatnya mengadu se-
gala keluh kesah hatinya. Sebaliknya, Raka Pura me-
mang sering marah kepada Soka. Bahkan tampaknya
mudah tersinggung oleh sikap dan kata-kata Soka. Ta-
pi hal itu hanyalah sebagai ungkapan rasa kasih
sayang Raka kepada sang adik, di mana ia merasa
menjadi pelindung dan pengayom, seperti pesan ayah
angkat mereka; si Pawang Badai.
Kedua anak kembar itu memang sering ber-
tengkar, kadang menggunakan kekuatan fisik. Saling
pukul dan saling menyerang. Tapi mereka cepat ber-
damai kembali. Dan jika kekuatan mereka sudah ber-
satu, maka lawan setangguh apa pun mampu ditum-
bangkan oleh mereka dalam waktu singkat.
"Aku bersungguh-sungguh, Raka. Aku ingin ka-
takan sesuatu padamu!" Soka Pura meyakinkan ka-
kaknya sekali lagi. Akhirnya Raka tersenyum geli sen-
diri. Ia menepuk punggung adiknya.
"Katakan apa yang ingin kau katakan."
"Tapi berjanjilah kalau kau tak akan marah pa-
daku!" Raka hembuskan napas satu kail. "Yaah...!
Baiklah, aku berjanji!"
"Sumpah, tak akan marah"!"
"Sumpah!" sambil Raka mengangguk.
"Berani disambar seribu tombak jika kau ma-
rah"!" Raka mendengus jengkel. "Kalau kau bertele-tele aku akan marah lebih
dulu!" ancam Raka. Soka hanya nyengir.
"Raka...," Pendekar Kembar bungsu bergeser
lebih dekat lagi pada kakaknya. Sang kakak menatap,
tapi sang adik justru tak berani menatap. Ia meman-
dang ke arah perginya Bulan Berkabut, kemudian sua-
ranya terdengar bagai berbisik.
"Aku suka sekali padanya, Raka."
"Maksudmu kepada Resi Bayakumba"!"
"Kepada muridnya, Tolol!" sentak Soka dengan kesal, tubuh kakaknya didorong
dalam satu sentakan.
Raka hampir jatuh, namun justru tertawa geli.
"Raka, aku tidak main-main. Aku suka sama
Bulan Berkabut! Aku tertarik sekali padanya."
"Kambing diberi bedak pun akan membuatmu
tertarik, Soka!"
"Ayolah, jangan begitu, Raka! Aku sendiri tak
tahu mengapa hatiku tertarik sekali begitu memperha-
tikan dia dalam keadaan masih tertotok tadi!"
"Kau boleh saja tertarik padanya, tapi dia be-
lum tentu tertarik padamu!"
"Perlu ada pendekatan lebih akrab lagi, Raka."
"Hmm!" Raka mencibir menyepelekan ucapan
adiknya. "Lalu, apa maksudmu bilang begitu padaku"!"
"Bagaimana jika urusan si Darah Kula kau tan-
gani sendiri, aku akan lakukan pendekatan lebih dekat lagi kepada si Bulan
Berkabut"!"
"Dan kalau aku mati di tangan Darah Kula, lalu
aku akan mendekati siapa"!"
"Di alam kubur kan banyak peri atau kuntila-
nak," jawab Soka Pura sambil tertawa geli, sedangkan sang kakak hanya bersungut-
sungut dengan gerutu
tak jelas. "Raka, aku sungguh-sungguh tertarik olehnya.
Aku tak tahu harus berbuat apa dalam keadaan seper-
ti ini, Raka! Ku rasakan dalam hatiku... Bulan Berka-
but punya sesuatu yang aneh, yang menawan sekali,
dan yang tidak dimiliki oleh gadis lain!"
"Nafsumu lebih besar daripada cinta mu, Soka!
Kekanglah sedikit!"
"Ini bukan semata-mata nafsu, tapi...."
"Selesaikan dulu urusan kita dengan Darah Ku-
la!" potong Raka dengan tegas, membuat Soka Pura mulai murung.
"Kalau sudah kita selesaikan urusan ini, kau
bisa bebas menemui Bulan Berkabut kapan saja kau
mau! Kita sudah telanjur masuk dalam persoalan ini,
Soka! Kalau kita mundur, lalu siapa yang akan maju"!"
Soka ingin katakan sesuatu lagi, tapi niatnya
itu terpaksa ditunda, karena mereka segera melihat
kehadiran seorang kakek berambut putih tak rata,
pendek tanpa ikat kepala. Kakek itu mengenakan baju
tanpa lengan warna putih, dan celananya warna coklat
muda. Tubuhnya tak seberapa tinggi, namun juga ti-
dak terlalu pendek. Sedikit gemuk, tapi bukan berarti gendut. Kakek itu
mempunyai brewok abu-abu dengan
alis mata tebal berwarna abu-abu pula. Diperkirakan
ia sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tapi langkahnya masih tegap dan
gagah, seperti berusia empat
puluh tahunan. Kakek itu segera temui Pendekar Kembar, se-
mentara sepasang anak muda kembar itu menyimpan
tanda tanya dalam hatinya, "Benarkah ini yang bernama Resi Bayakumba"! Lalu,
mengapa pulang sendi-
rian" Ke mana si Bulan Berkabut tadi!"
Si kakek segera menegurnya dengan suara agak
berat. Berkesan wibawa.
"Kalian ingin bertemu denganku"!"
"Kami ingin bertemu dengan Eyang Resi Baya-
kumba!" "Akulah orang yang kalian cari. Masuklah!"
sang Resi mengangkat tangan, mempersilakan Pende-
kar Kembar untuk masuk ke pondoknya lebih dulu.
Mau tak mau Pendekar Kembar segera melangkah ma-
suk ke pondok tersebut.
Begitu mereka melangkah masuk, mereka ter-
kejut sekali, karena si brewok abu-abu itu sudah ada
di dalam, duduk bersila di atas balai-balai bambu,
seakan sedang menunggu kedatangan tamunya. Di be-
lakangnya tergantung jubah coklat yang saat itu se-
dang tidak dikenakan.
"Silakan duduk, Pendekar Kembar!"
"Gila! Tahu-tahu dia sudah ada di dalam! Pa-
dahal tadi di belakang kita!" bisik Soka Pura. Raka memberi isyarat dengan
colekan tangannya agar Soka
tidak berkasak-kusuk. Karena Raka khawatir apa yang
diucapkan dalam batinnya dapat didengar oleh sang
Resi. "Maaf, Eyang Resi...," ujar Soka dengan sopan sekali sebelum ia naik ke
balai-balai dan duduk bersila seperti kakaknya.
"Jika boleh aku bertanya, di mana Bulan Ber-
kabut" Sebab tadi dia bilang mau susul Eyang Resi di
empang pinggir sungai itu!"
"Bulan Berkabut kuutus ke Bukit Maut!" jawab sang Resi yang membuat kedua pemuda
kembar itu terperanjat kaget.
"Bukit Maut..."! Bukankah tempat itu adalah
kekuasaannya si Darah Kula, Eyang"!" ujar Soka dengan wajah cemas.
"Benar! Darah Kula berkuasa di bukit itu. Sen-
gaja kuutus muridku untuk berada di Bukit Maut,
mendahului kalian!"
"Dengan maksud apa Eyang mengutusnya ke
sana?" Raka Pura pun akhirnya ajukan tanya karena rasa herannya mengganjal di
hati. "Jika muridku ada di Bukit Maut, maka kalian
berdua akan lebih bersemangat untuk tiba di sana, te-
rutama si bungsu ini!" sambil sang Resi menunjuk So-ka, tapi bicaranya kepada
Raka Pura. Kedua pemuda
itu saling beradu pandang. Sang Resi perdengarkan
suaranya lagi. "Jika Bulan Berkabut berada di sini, maka se-
mangat mu untuk pergi ke Bukit Maut menjadi ken-
dor, Nak!".
Soka Pura tersipu-sipu, ia sedikit menunduk-
kan kepala walau sudah duduk bersila di samping ka-
kaknya. Rupanya Resi Bayakumba sudah mengetahui
isi hati Raka yang tertarik kepada Bulan Berkabut.
Kakek tua itu bagaikan telah mendengar percakapan
kedua pemuda kembar tadi, sehingga ia segera men-
gambil tindakan untuk memancing semangat Soka Pu-
ra. Agaknya aku harus bersikap baik-baik saja di
depan Resi Bayakumba. Orang ini punya ilmu yang
tergolong tinggi, sehingga bisa mengetahui apa yang
kurencanakan dalam benak dan hatiku," ujar Soka dalam hatinya yang diliputi
keresahan. Sebab saat itu ia mulai khawatir akan keselamatan Bulan Berkabut jika
pergi ke Bukit Maut seorang diri.
Dalam benak Soka berkesimpulan, "Jika mela-
wan dua orangnya Jagat Lancang saja Bulan Berkabut
bisa dilumpuhkan begitu, apalagi jika harus berhada-
pan dengan orang-orangnya Darah Kula?"
* * * 6 RESI Bayakumba punya rasa bangga dalam ha-
tinya melihat dua pemuda gagah duduk bersila di de-
pannya. Sejak dulu sebenarnya Resi Bayakumba ingin
mempunyai murid segagah Raka dan Soka. Tetapi ia
selalu gagal mendapatkan calon murid yang berpera-
wakan seperti Pendekar Kembar itu. Akhirnya dipu-
tuskan untuk mengangkat gadis kecil sebagai murid
tunggalnya. Gadis kecil itu tumbuh dengan dewasa se-
lama dua-tiga belas tahun bersamanya, dan kini men-
jadi gadis cantik yang lincah dan berani. Dialah.... Bulan Berkabut.
"Aku sudah bosan melawan Darah Kula," ujar
sang Resi dalam pembicaraan mereka. "Dua kali aku berhasil membunuh Darah Kula,
tapi lima tahun kemudian ia selalu bangkit lagi, mencari mangsa lagi,
dan bikin kekacauan di sana-sini!"
"Jadi setiap lima tahun dia bangkit lagi,
Eyang?" Soka bernada heran.
Resi Bayakumba anggukkan kepala.
"Dia mempunyai ilmu 'Pancawarsa' yang tidak
dimiliki orang lain."
"Ilmu apa itu, Eyang?" tanya Raka Pura.
"Ilmu 'Pancawarsa' adalah ilmunya raja iblis, di mana si pemilik ilmu itu akan
mati selama lima tahun
kalau dibunuh orang. Kalau tidak dibunuh, tentunya
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mati-mati."
"Masuk akal sekali itu, Eyang," ujar Soka sambil melirik kakaknya dan menutupi
senyum dengan tangannya. "Jadi, siapa pun yang memiliki ilmu
'Pancawarsa' dia mempunyai jatah mati selama lima
tahun. Setelah lima tahun hidup kembali."
"Dengan lain perkataan, Darah Kula tidak bisa
mati secara awet, ya Eyang"!"
"Benar, Soka!" tegas Resi Bayakumba yang jika bicara alunan katanya pelan-pelan,
sehingga tiap kata yang diucapkan bisa didengar dengan jelas dan mudah
diingat oleh siapa pun yang mendengarnya.
"Darah Kula itu sebenarnya anak iblis!" lanjut sang Resi. "Mendiang ibunya kawin
dengan raja dari kerajaan iblis di alam gaib sana. Lahirlah si Darah Ku-la. Jadi
sebenarnya Darah Kula adalah seorang pange-
ran, sebab ia anak raja. Tapi raja iblis!"
Soka Pura mengulum senyum geli. Resi Baya-
kumba jika bicara memang begitu; tegas, mantap,
mengayun, berkesan lucu. Tapi sebenarnya ia serius.
"Kesaktian yang dimiliki Darah Kula tentunya
titisan dari ayahnya; si raja iblis itu," sambung Resi Bayakumba. "Karena itu
kekuatannya pada darah. Darah perawan akan membuat kesaktian dan kekuatan-
nya tetap langgeng."
"Apakah tak ada kelemahannya, Eyang?" tanya Raka Pura.
"Kelemahannya baru kuketahui beberapa wak-
tu yang lalu. Lima tahun yang silam, aku berhasil
membunuh Darah Kula. Tapi sebulan yang lalu, dia
bangkit lagi dan mencari korban darah perawan. Dua
bulan yang lalu, ketika aku bersemadi, aku berhasil
menemui mendiang guruku. Lalu kutanyakan tentang
kelemahan si Darah Kula itu. Ternyata kelemahannya
ada pada sebatang bambu."
Pendekar Kembar sama-sama kerutkan dahi.
Mereka merasa aneh dan ragu-ragu menangkap arti
kata 'sebatang bambu' itu.
"Maksudnya bagaimana, Eyang Resi?" Raka Pu-
ra ajukan tanya, karena tak mau menahan rasa ingin
tahunya terlalu lama.
"Darah Kula bisa mati selama-lamanya, tak
akan bangkit lagi dan tak akan lahir lagi ke bumi, apa-bila ia dibunuh dengan
'Bambu Gading Mandul'...."
Soka sempat tertawa pelan dan buru-buru me-
nutup mulutnya dengan tangan sambil melengos ke
samping. Raka Pura sempat melirik dengan cemberut,
karena ia tak suka adiknya bercanda dalam keadaan
seperti seserius itu.
"Mengapa tertawa, Soka?" tegur Resi Bayakum-ba.
"Hmm... anu, Eyang... nama bambu itu lucu
sekali menurutku. Namanya sangat aneh: 'Bambu
Gading Mandul'. Apa tidak ada nama lain, Eyang"!"
"Dari sananya memang namanya sudah begitu!"
ujar Resi Bayakumba.
"Jangan bercanda, Soka!" hardik Raka, lalu bicara kepada Resi Bayakumba, "Maaf,
Eyang.... Soka memang mudah tertawa dengan hal-hal aneh."
"Tak apa. Waktu kudengar nama itu pun aku
juga tertawa," sambil sang Resi tersenyum. Maka Raka Pura pun berani sunggingkan
senyum geli dengan ta-wa mirip orang menggumam.
"Bambu itu berwarna kuning, makanya dina-
makan bambu gading."
"Mengapa pakai mandul segala, Eyang?" tanya Soka. "Karena bambu itu tumbuh
secara tunggal! Ar-tinya, di sekitarnya tidak akan ada bambu serupa itu.
Tunasnya tidak bisa beranak, karena itulah dikatakan
'Bambu Gading Mandul'. Dan pohon bambu seperti itu
hanya ada satu di seluruh dunia. Ia tumbuh lurus ba-
gaikan baja kuning, tidak mempunyai cabang kecuali
tunas-tunas kecil yang menempel pada batangnya.
Tunas-tunas itu akan mengering, lalu terkelupas dan
tumbuh tunas baru. Jadi bambu itu tidak pernah mati
walaupun dalam cuaca segersang apa pun."
"Jadi si Darah Kula akan mati selama-lamanya
jika digebuk pakai bambu itu, Eyang?"
"Bukan digebuk!" ujar Resi Bayakumba. "Ambil beberapa jengkal batang bambu itu,
dibuat runcing,
dan ditusukkan ke tubuh Darah Kula! Entah terkena
kakinya, tangannya, dadanya atau apa saja, asal da-
rahnya terkena bambu itu, maka ia akan mati selama-
lamanya." Pendekar Kembar manggut-manggut sambil
menyimpan keheranan dalam hati mereka. Soka Pura
segera ajukan tanya setelah saling membisu selama ti-
ga helaan napas.
"Lalu, di mana pohon 'Bambu Gading Mandul'
itu bisa kami temukan, Eyang"!"
"Di lereng Gunung Mercapada!" jawab sang Resi tegas. "Hanya di lereng gunung
itulah bambu tersebut tumbuh. Di tempat lain tak ada."
"Kalau begitu, Raka...," ujar Soka kepada kakaknya. "Kita harus ke Gunung
Mercapada dulu untuk mencari bambu tersebut."
"Ya," Raka manggut-manggut. "Eyang... apakah Darah Kula tak bisa dibunuh dengan
pedang kami ini"!" sambil Raka tunjukkan pedang kristalnya yang digeletakkan di samping
kanan. Resi Bayakumba tersenyum. "Aku tahu keam-
puhan pedang itu. Aku ingat waktu itu aku masih re-
maja dan melihat dua pemuda kembar yang kesohor
namanya itu membawa Pedang Tangan Malaikat itu."
"Tahu juga dia, ya?" bisik Soka, tapi Raka
hanya mendesis menyuruh Soka diam saja.
"Pedang kalian itu memang bisa untuk membe-
lah baja, tapi tidak bisa untuk membunuh Darah Kula.
Memang sebenarnya bisa saja Darah Kula mati oleh
pedang itu, tapi lima tahun kemudian dia akan bangkit lagi," ujar sang Resi.
"Kalau begitu, Eyang...," sela Raka. "Ilmu
'Panca warsa' itu akan lenyap jika si pemiliknya dilukai dengan 'Bambu Gading
Mandul' itu"!"
"Benar, Raka! Tanpa menggunakan bambu itu,
Darah Kula akan menganggap kematiannya adalah li-
bur panjang saja. Libur selama lima tahun!"
"Tetapi bambu itu sendiri bisa kita potong pakai senjata apa pun, Eyang?" tanya
Soka. "Bisa! Bambu itu seperti bambu biasa, walau
sebenarnya kekuatannya seperti besi. Tapi jika pedang atau golok kita memang
tajam, bisa saja untuk merun-cingi bambu itu."
"Jika begitu, Eyang... sebaiknya kami harus se-
gera pergi ke Gunung Mercapada sekarang juga,
Eyang," ujar Raka Pura penuh semangat. "Tapi kami tidak tahu di mana arah Gunung
Mercapada itu. Mohon diberi petunjuk sekalian, Eyang."
"Pergilah ke arah selatan. Kalian akan mene-
mukan tiga gunung bersebelahan. Yang tengah lebih
tinggi dari kedua gunung kanan kirinya. Itulah Gu-
nung Mercapada."
Sebenarnya Raka Pura menghendaki segera be-
rangkat siang itu juga ke Gunung Mercapada. Tetapi
Resi Bayakumba menahan mereka karena rasa simpa-
tinya terhadap kedua pemuda kembar itu. Mau tak
mau Pendekar Kembar bermalam di pondok sang Resi,
sambil sang Resi membagi pengetahuan dan pengala-
man yang dimilikinya selama berkelana di rimba persi-
latan. Esoknya, pagi-pagi sekali, Pendekar Kembar
bergegas berangkat menuju arah selatan, mencari
'Bambu Gading Mandul'. Soka Pura tampak semangat
sekali dan kelihatannya tak sabar ingin lekas menda-
patkan bambu aneh itu, karena dalam hatinya ia men-
cemaskan nasib Bulan Berkabut yang sudah menung-
gu di sekitar wilayah Bukit Maut. Ternyata pancingan
Resi Bayakumba berhasil kenai sasaran, yaitu mem-
buat Soka Pura bersemangat melumpuhkan si anak ib-
lis; Darah Kula.
Namun sebelum Pendekar Kembar terlalu jauh
meninggalkan Lembah Semangit, tiba-tiba sebatang
pohon besar tumbang menghalangi langkah mereka.
Krraak...! Brruuuuuk!
Soka Pura mencekal lengan kakaknya yang
nyaris nyelonong maju, sehingga sang kakak pun ter-
henti seketika. Andai saja Raka tidak ditahan oleh
adiknya, ia akan tertimpa pohon besar tersebut.
Keduanya buru-buru melompat mundur den-
gan mata memandang sekeliling penuh waspada. Me-
nurut mereka, pohon itu tidak tumbang dengan sendi-
rinya, tetapi ada yang menumbangkannya dengan se-
buah ilmu dari jarak jauh. Pohon itu tidak jebol se
akar-akarnya, melainkan patah bagian batangnya, se-
kitar satu hasta dari tanah.
"Ada pihak yang ingin mencelakai kita, Raka!"
bisik Pendekar Kembar bungsu.
"Aku curiga pada pohon sebelah kanan kita itu!
Daunnya rimbun, sulit ditembus pandangan mata dari
sini. Jangan-jangan orang itu ada di sana!"
"Pohon yang mana" Ada beberapa pohon yang
berdaun rindang."
"Salah satu dari pohon-pohon itu! Entah yang
mana." "Kalau begitu hantam saja dengan jurus gabungan!"
"Baik! Aku gunakan jurus 'Cakar Matahari'!"
Raka Pura segera sentakkan tangannya ke de-
pan membentuk cakar tengkurap. Dari tangan itu ke-
luarlah sinar putih berbentuk seperti pisau runcing.
Claap...! Soka Pura menggunakan jurus 'Cakar Bumi'
dengan menyentakkan tangan ke depan dalam kea-
daan telapak tangan terbuka. Wuut...l Telapak tangan
itu keluarkan sinar merah seperti piring bergerigi dengan percikan bunga api di
tepiannya. Claaap...!
Kedua sinar itu melesat cepat ke arah pohon
berdaun rimbun itu. Ketika hendak menerobos dedau-
nannya, kedua sinar itu saling berbenturan.
Blaaam, blegaaarrr...!
Seberkas cahaya merah berkerlip dengan san-
gat lebar. Cahaya merah itu bukan hanya menghantam
pohon itu saja, namun tiga-empat pohon di sekitarnya
juga terkena bias cahaya tersebut. Dalam sekejap be-
berapa pohon di sekitar situ menjadi hitam kering dan berasap. Lebih dari
delapan pohon yang mengalami
nasib seperti itu akibat terkena hawa panas dari Jurus gabungan tadi. Beberapa
pohon ada yang langsung
tumbang dalam keadaan sudah menjadi arang bera-
sap. Ledakan yang terjadi tadi sangat dahsyat. Geta-
rannya merambat ke mana-mana. Daun-daun pohon
yang tidak terkena kerliapan cahaya merah tadi men-
jadi rontok, berguguran. Tanah pun terasa oleng se-
saat. Batu-batu bersusun saling berjatuhan, bahkan
batu besar yang tinggi sempat menjadi retak karena
gelombang ledakan yang menyebar luas itu.
Tetapi sebelum kedua sinar tadi bertabrakan,
Pendekar Kembar sempat melihat sekelebat bayangan
yang melesat dari atas pohon yang dituju. Bayangan
itu berkelebat sangat cepat dan menerabas daun-daun
pohon lainnya. Zrra, zrrak, zraak...! Pendekar Kembar hanya bisa ikuti dengan
pandangan mata sesaat. Setelah ledakan terjadi, mereka berkelebat mengejar
bayangan yang keluar dari pohon tersebut. Mereka
mengejar dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai',
sehingga dalam beberapa saat saja mereka berhasil
menghadang gerakan bayangan tersebut. Soka Pura
justru menerjang langsung kelebatan orang yang mela-
rikan diri itu, sehingga orang tersebut terpental dan jatuh terbanting setelah
membentur pohon. Brruus...!
Bruuuk...! Soka Pura sendiri juga terpental ke belakang
dan jatuh terhempas dengan berguling-guling. Ma-
kiannya keluar secara beruntun walaupun tak ada
yang memperhatikan makian itu.
Kejap berikut, Raka Pura segera berhadapan
dengan orang yang dikejarnya. Sementara itu, Soka
menggeliat bangkit dengan menyeringai karena pung-
gungnya terganjal batu ketika jatuh terhempas tadi.
Namun setelah Soka melihat siapa orang yang
keterjangnya tadi, matanya menjadi terbelalak dan
mulutnya terperangah. Rasa sakitnya nyaris hilang be-
gitu pandangan matanya menatap seraut wajah cantik
berhidung mancung dan berbibir menggairahkan. Wa-
jah cantik itu milik seorang perempuan bertubuh sek-
al, dengan dadanya yang montok tertutup kutang be-
ludru warna hijau muda. Kain penutup bawahnya
berwarna merah jambu, jubah lengan panjangnya juga
berwarna merah jambu. Tampaknya pakaian itu ter-
buat dari kain cukup mahal.
Perempuan cantik berambut panjang disanggul
rapi, dengan hiasan semacam mahkota kecil dari emas
berbatu mirah delima itu, mengenakan kalung dan ge-
lang dari emas dan batuan permata. Dilihat dari pe-
nampilannya, perempuan berusia sekitar dua puluh
delapan tahun itu tampaknya bukan perempuan biasa.
Aroma wewangiannya yang menyebar dan terhirup
oleh hidung kedua pemuda tampan itu menampakkan
sebagai wewangian berkelas ningrat, bukan wewangian
perempuan desa.
Soka Pura juga memperhatikan sabuk perem-
puan itu yang terbuat dari logam emas berhias batuan
permata. Pada sabuk itu terdapat sebilah pedang pen-
dek yang bersarung dan bergagang logam lapis emas
berukir, dengan hiasan batu-batu mirah delima sebe-
sar biji jagung.
Pendekar Kembar merasa belum mengenal pe-
rempuan itu, sehingga Raka Pura segera perdengarkan
suaranya dengan nada tegas dan berwibawa.
"Kita belum saling mengenal, tapi mengapa kau
sudah berani mencoba ingin mencelakai kami" Apa sa-
lah kami terhadapmu"!"
"Jika kau tanyakan kesalahanmu, kembalikan
ingatanmu pada sebuah pusaka yang bernama Pedang
Bulan Madu!" jawab perempuan bermata sedikit sayu itu.
Raka Pura dan Soka Pura saling beradu pan-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang dengan dahi berkerut. Dalam benak mereka sege-
ra terlintas tentang pusaka yang sempat diperebutkan
antara pihak keluarga Nalapraya dengan Ratu Rias
Rindu. Pada akhirnya, pusaka tersebut berhasil dicuri oleh Sampurgina, namun
Pendekar Kembar segera
berhasil merampas pedang tersebut, (Baca serial Pen-
dekar Kembar dalam episode: "Pedang Bulan Madu").
Soka Pura segera maju satu langkah dan bicara
kepada perempuan cantik yang sejak tadi lebih banyak
memperhatikan dirinya ketimbang memperhatikan Ra-
ka. "Apakah kau yang bernama Ratu Rias Rindu"!"
Senyum tipis berkesan angkuh mekar di bibir
yang bikin hati lelaki gemas itu.
"Kau cukup cerdas rupanya! Memang akulah
yang bernama Ratu Rias Rindu! Kurasa kalian sudah
sering mendengar namaku disebut-sebut oleh bebera-
pa orang."
Raka Pura menggumam dan manggut-manggut
kecil. Sikapnya masih tetap tegar.
"Lalu, apa maksudmu menumbangkan pohon
di depan kami"!"
"Pukulanku terlalu cepat, sehingga sebelum ka-
lian melintas melangkah di bawahnya, pohon itu su-
dah tumbang lebih dulu! Mestinya kalian berdua mati
tergencet pohon besar Itu! Karena, kematian kalian
adalah pembalasan yang setimpal!"
Ratu Rias Rindu berkata dengan mengecilkan
matanya, sebagai tanda kebencian dan dendam yang
menyatu dalam hatinya. Namun ia sendiri juga bersi-
kap tenang dan penuh waspada. Karena pada saat itu,
Pendekar Kembar mulai merenggangkan jarak; Raka
ke kiri dan Soka ke kanan. Sang Ratu merasa akan
diserang dari dua arah, sehingga bola matanya selalu
melirik ke kanan dan ke kiri bergantian.
"Rupanya kau ingin membalas dendam atas
kematian Kembang Setaman; orang andalanmu itu"!"
ujar Raka Pura.
"Pembalasanku bukan saja untuk kematian
Kembang Setaman dan Udaya...."
?"O, jadi Udaya akhirnya tewas juga?" pikir Ra-ka Pura dalam hati, yang kala itu
memang menyerang
Udaya hingga orang tersebut terluka parah.
Sang Ratu menyambung ucapannya yang ber-
nada geram itu.
"Setelah Bandra menyebutkan ciri-ciri orang
yang menyerang Udaya, aku menarik kesimpulan
bahwa orang itu adalah Pendekar Kembar, entah yang
mana!" "Kembang Setaman bukan mati di tanganku, Nyai Ratu!"
"Terserah pembelaanmu!" ujar Ratu Rias Rindu dengan nada datar. "Yang jelas,
kehancuran istana Ba-ra membuatku harus lakukan pembalasan kepada ka-
lian!" "Kami tidak menghancurkan istana Bara!"
sanggah Soka tiba-tiba.
"Kami justru baru tahu sekarang kalau istana
Bara hancur!" timpal Raka Pura.
"Tak perlu berlagak bodoh, Pendekar Kembar!"
sentak Ratu Rias Rindu. "Kalian menyerang istanaku malam-malam, setelah itu
kabur entah ke mana! Para
pengikutnya banyak yang tewas, istana Bara sendiri
hancur, kalian ratakan dengan tanah. Untung aku
masih bisa selamatkan diri dan bersembunyi untuk
mengobati lukaku. Tapi sekarang aku sudah sehat dan
harus lakukan pembalasan kepada kalian!"
Tiba-tiba kedua tangan Ratu Rias Rindu me-
nyentak ke kanan-kiri dengan telapak tangan berjari
rapat lurus ke depan. Suuut...! Dari ujung jari-jarinya keluar dua larik sinar
merah yang semakin jauh makin
melebar. Satu sinar merah mengarah kepada Raka, sa-
tu lagi mengarah kepada Soka. Slaap, slaap...!
Pendekar Kembar sempat terkejut, karena tak
disangka-sangka sang Ratu akan menyentakkan kedua
tangannya yang semula kelihatan tenang-tenang saja
itu. Maka dengan cepat Pendekar Kembar sentakkan
napas yang tertahan, suuut...! Jurus 'Badai Terbang'
membuat keduanya meluncur ke atas bagaikan roket.
Wuut, wuuut...! Kedua sinar merah yang melebar da-
lam bentuk pipih itu akhirnya menghantam pohon-
pohon di belakang Pendekar Kembar. Clas, clas, clas,
clas...! Lebih dari delapan pohon tumbang seketika itu juga karena diterjang
sinar merah. Pohon-pohon itu
bagaikan terpotong dengan senjata yang amat tajam,
sehingga potongannya tampak rapi sekali.
Pendekar Kembar yang meluncur turun segera
sama-sama lepaskan jurus 'Cakar Matahari'-nya. Dari
tangan mereka masing-masing melesat sinar putih se-
perti pisau runcing. Clap, claap...! Sebelum kaki mere-ka menampak ke bumi lagi,
kedua sinar putih itu telah menghantam Ratu Rias Rindu.
Tetapi perempuan itu tak mau tinggal diam. Si-
nar-sinar putih itu dihantam dengan sinar merah bun-
dar seperti telur burung puyuh yang keluar dari mas-
ing-masing telapak tangannya. Clap, clap...!
Blegaaarr...! Blegaaarrr...!
Gelombang ledakan menyentak kuat ke berba-
gai penjuru, menyebarkan udara panas yang membuat
kulit-kulit pohon terkelupas dan berkerut. Sentakan
gelombang ledakan itu telah membuat tubuh Ratu Rias
Rindu terlempar ke belakang dan jatuh di tumpukan
akar-akar pohon yang mirip tambang itu. Wuuut...!
Bruuuk...! Rupanya kekuatan perempuan itu belum bisa
kalahkan kekuatan sinar putihnya Pendekar Kembar.
Gelombang ledakannya lebih banyak menghempas ke
arah Ratu Rias Rindu. Tak heran jika Pendekar Kem-
bar hanya terdorong ke belakang beberapa langkah,
tapi tak sampai jatuh. Sedangkan hawa yang mener-
jang mereka adalah hawa hangat, tak sepanas yang
menerjang Ratu Rias Rindu.
"Keparat kalian!" geram Ratu Rias Rindu penuh murka. Ia berusaha bangkit dengan
cepat dan menahan rasa panas di sekujur tubuhnya. Kulit tubuh yang
kuning langsat itu sekarang berubah menjadi keme-
rah-merahan mirip udang rebus. Keadaan itu mem-
buatnya semakin murka kepada Pendekar Kembar, se-
hingga ia merasa perlu mencabut pedangnya. Sreet...!
"Hiaaaahih...!" sang Ratu berteriak keras-keras sambil lakukan lompatan ke
depan. Ia bagaikan terbang dengan cepat. Pedangnya diarahkan ke depan
dan ditujukan kepada Raka Pura.
Sret, sret...! Pendekar Kembar pun segera men-
cabut Pedang Tangan Malaikat-nya yang terbuat dari
beling kristal itu. Raka Pura sengaja diam di tempat
hadapi kedatangan lawannya, tapi Soka Pura berkele-
bat menerjang dari samping lawan. Wuuuz...!
Begitu melihat kelebatan dari arah samping,
Ratu Rias Rindu cepat-cepat sentakkan pedangnya ke
pohon yang dilintasinya. Tuubs...! Pedang itu bagaikan pegas yang dapat
memantulkan gerakan pemiliknya.
Gerakan terbang sang Ratu pun akhirnya ber-
pindah arah. Ia melambung dalam gerakan bersalto ke
arah samping. Akibatnya terjangan Soka Pura mene-
mui tempat kosong. Bruuus...!
"Aaow...!" Soka Pura memekik kesakitan karena ia menabrak pohon yang ditusuk
dengan pedangnya
sang Ratu. Melihat adiknya kecele oleh gerak tipuan sang
Ratu, Raka Pura segera berkelebat menyusul sang Ra-
tu yang sedang melambung turun dari ketinggiannya.
Wees...! Weess...!
Raka Pura terkejut, karena pada saat itu ada
bayangan lain yang berkelebat juga bersimpang arah
dengannya. Bayangan itu bergerak lebih cepat, sehing-
ga lebih dulu menerjang Ratu Rias Rindu di udara.
Tubuh sang Ratu bagai terbawa ke arah lain bersama
bayangan yang menerjangnya itu, sedang Raka Pura
menerjang tempat kosong. Namun ia tak sampai ke-
cele, menabrak pohon seperti Soka Pura tadi.
Terdengar suara aneh yang mengejutkan Pen-
dekar Kembar. Trak, trak, blaaammm, blegaaaar...!
"Aaah...!" terdengar suara pekikan perempuan yang pendek dan hanya sekilas itu.
Kejap berikut, So-ka Pura yang sudah berdiri kembali sambil mengusap-
usap kepalanya yang membentur pohon itu segera ter-
belalak melihat Ratu Rias Rindu terkapar di bawah
pohon dalam keadaan setengah bersandar pada batang
pohon tersebut. Mulutnya keluarkan darah kental wa-
lau tak banyak. Tapi kulit tubuhnya semakin tampak
merah bagai tersiram air mendidih. Raka Pura yang
sudah berdiri tegak di sebelah sana juga terperanjat
melihat keadaan sang Ratu yang kulit tangannya ter-
kelupas mengerikan itu.
Raka Pura dan Soka Pura sama-sama terperan-
gah setelah mengetahui munculnya sosok lain yang
berada tak jauh dari Ratu Rias Rindu. Sosok lain itu
adalah bayangan yang tadi menerjang sang Ratu. Ter-
nyata dia adalah seorang kakek berjenggot panjang pu-
tih dengan rambut, kumis, dan alisnya serba putih.
Tokoh tua itu mengenakan jubah biru muda dan
membawa tongkat hitam berhias kepala ular kobra.
Pendekar Kembar tak asing lagi dengan wajah tua itu
yang tak lain adalah Dewa Perintang.
"Teruskan perjalanan kalian. Biar kuurus pe-
rempuan sesat ini!" ujar Dewa Perintang kepada Pendekar Kembar.
"Baik, Eyang...!" Jawab Raka Pura, lalu meng-hormat dengan sedikit bungkukkan
badan, demikian
pula yang dilakukan oleh Soka. Pedang mereka yang
berkilauan cahaya ungu seperti cahaya fosfor itu sege-ra dimasukkan ke dalam
sarung. Pada saat itu, Ratu Rias Rindu berusaha bang-
kit dengan menahan rasa sakit. Agaknya ia masih te-
tap penasaran kepada Pendekar Kembar dan tak mau
pedulikan si Dewa Perintang.
Pikirnya, "Sebelum aku mati di tangan Dewa
Perintang, mereka berdua harus mati lebih dulu!"
Dewa Perintang berseru kepada sang Ratu, "Ji-
ka kau ingin menuntut balas atas kehancuran istana-
mu dan kematian orang andalanmu; si Kembang Se-
taman, tuntutlah aku! Karena akulah yang lakukan
semua itu, Rias Rindu! Pendekar Kembar hanya me-
lumpuhkan Sampurgina, yang mencuri Pedang Bulan
Madu dari makam sahabatku: Sabandanu!"
"Heeaaaat...!" Ratu Rias Rindu semakin liar dan ganas. Ia melompat kembali
dengan pedang sentakkan
ke depan. Ujung pedang itu keluarkan sinar biru lurus ke arah Raka Pura.
Slaaap...! Tapi Dewa Perintang segera patahkan sinar biru
itu dengan menyodokkan tongkatnya dan dari ujung
tongkat yang berhias kepala ular kobra itu keluar sinar merah sekecil lidi.
Claap...! Sinar merah itu menghadang gerakan sinar biru dari pedangnya Ratu Rias
Rindu. Deeebbs...! Sinar biru itu padam seketika tanpa timbulkan ledakan
menggelegar. Sinar merah yang melesat dari tongkat Dewa Perintang segera kembali
ke arah semula, bagaikan terisap oleh tongkat Dewa Pe-
rintang, masuk ke ukiran mulut ular kobra tersebut.
Syuuurrb...l "Jahanam kau, Dewa Perintang! Hiaaah...!" teriak Ratu Rias Rindu yang
mengandalkan jurus-jurus
bersinarnya. Ia sentakkan tangan kirinya, dan ,dari telapak tangan kiri melesat
sinar biru juga yang berbentuk seperti telur burung puyuh. Sinar itu menyerang
Dewa Perintang. Tapi si Dewa Perintang hanya diam di
tempat, matanya memandang tajam pada sinar biru
Itu. Tiba-tiba sinar biru tersebut berhenti di udara setengah kelap, kemudian
melesat berbalik arah meng-
hantam Ratu Rias Rindu. Claap...!
"Hahhh..."!" Ratu Rias Rindu terkejut melihat sinarnya berbalik menyerangnya. Ia
segera lepaskan
sinar kedua yang sama besar dan sama warnanya. Si-
nar kedua dari telapak tangannya itu belum sempat
melesat, baru menggumpal di telapak tangan sudah
dihantam sinar pertama. Blaaar...!
"Aaaaa...!" Ratu Rias Rindu memekik histeris dengan tubuh terlempar sejauh
delapan langkah.
Brruuk...! Tubuhnya membentur pohon dengan keras.
Ia mengerang kesakitan di sana. Tangan kirinya men-
jadi hitam hangus dan tak bisa digerakkan lagi. Si De-wa Perintang berjalan
menghampirinya dengan lang-
kah tegas. "Celaka! Aku harus kabur dari sini! Tak mung-
kin aku bisa hadapi si tua bangka itu!" pikir Ratu Rias Rindu. Maka ia pun
bergegas bangkit dengan kerahkan
tenaganya. Kemudian pergi dengan lompatan cepat
menerjang semak ilalang. Blaaas...! Gusraaak...!
Dewa Perintang tak banyak bersuara. Lelaki tua
itu tahu-tahu lenyap dari pandangan mata Pendekar
Kembar. Gerakannya yang teramat cepat itu mem-
buatnya seperti menghilang. Tapi Pendekar Kembar
sempat melihat kilatan bayangan kecil yang melesat
mengejar Ratu Rias Rindu.
"Habis sudah!" gumam Soka Pura. "Riwayat hidup perempuan itu habis sudah
diterjang kesaktian
Eyang Dewa Perintang!"
"Ya, sayangnya kita tak bisa melihat kematian
si Ratu Rias Rindu itu! Kita harus lanjutkan langkah
kita, sesuai pesan Eyang Dewa Perintang tadi, Soka!"
Pendekar Kembar bungsu hanya sentakkan ke-
dua pundak pertanda setuju untuk lanjutkan langkah.
Tapi sebelum mereka jauh dari tempat pertarungan,
tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan yang me-
manjang dan memilukan hati.
"Aaaaaaa...!!"
Pendekar Kembar terkejut serentak, lalu mere-
ka saling pandang dengan wajah sedikit tegang.
"Apakah itu kematian Ratu Rias Rindu"!" tanya Soka. "Kurasa bukan! Suaranya
tidak mirip suara perempuan tadi. Kurasa... itu suara seorang gadis! Bu-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan perempuan seusia Ratu Rias Rindu!"
"Celaka! Jangan-jangan si Bulan Berkabut"!"
ujar Soka Pura semakin tegang. Kemudian ia melesat
pergi ke arah datangnya jeritan menyayat hati tadi.
Raka Pura pun segera mengikutinya. Wuuuuzzz,
wuuuzzz...! * * * 7 KEDUA pemuda tampan kembar rupa itu tiba
di tepi kubangan besar. Kubangan besar itu semula
adalah sebuah telaga yang sudah mengering. Bagian
dasar telaga sudah ditumbuhi oleh rumput dan tana-
man liar lainnya. Kedalamannya tak seberapa, dapat
dijangkau dengan satu kali lompatan saja.
Di dasar bekas danau yang luasnya hampir
menyamai lapangan bola itu, Pendekar Kembar melihat
jelas seorang gadis yang sedang dipaksa melayani em-
pat lelaki kurus berwajah angker. Gadis itu tak dikenal oleh Soka maupun Raka,
namun hati mereka tergerak
melihat pemerkosaan tersebut.
Si gadis hanya bisa menangis dan pasrah, ka-
rena seseorang tadi telah melukai lengannya ketika ia menolak melayani nafsu
binatang keempat orang kurus itu. Mereka merobek-robek pakaian si gadis, hingga
gadis itu menjadi seperti bayi baru lahir. Tubuhnya
yang terkapar diciumi oleh seseorang yang berambut
panjang sepundak. Ciuman itu merayap dengan ganas
di sekujur tubuh si gadis, sementara yang lain menon-
ton dan menertawakan.
Gumpalan dada si gadis segera disambar oleh
orang berbaju biru, sementara orang berambut sepun-
dak menciumi sekitar betis sampai paha si gadis.
Agaknya gadis itu sudah kehabisan tenaga karena me-
ronta sejak tadi dan tak pernah berhasil melawan ke-
kuatan keempat lelaki kurus itu. Maka dengan mu-
dahnya dua orang tadi menggerayangi tubuh si gadis
sampai akhirnya yang berambut sepundak tak kuat
menahan diri, maka temannya yang mendusal-dusal di
dada si gadis disingkirkan.
"Minggir, aku dulu yang ingin berlayar!"
"Hah, hah, hah, hah...! Kau sudah tak kuat lagi
rupanya!" teman-temannya menertawakan, tapi mere-ka mundur selangkah untuk beri
kesempatan kepada
si rambut sepundak itu untuk berlayar lebih dulu. Ba-
ju pun dilepaskan, dan lelaki berusia sekitar dua pu-
luh delapan tahun itu segera menerkam si gadis den-
gan luapan gairahnya yang menyerupai binatang. Si
gadis sampai tersentak-sentak oleh guncangan ganas
orang tersebut, suara rintihannya adalah rintihan ke-
hancuran, bukan rintihan kenikmatan.
"Aauh, aaauh, aaauh...!" si lelaki mengerang-ngerang dengan kepala terdongak dan
mata terpejam. Mereka benar-benar liar dan berjiwa iblis.
Pada saat itulah, Pendekar Kembar yang sem-
pat terpukau di tempat segera sadar. Sekalipun mere-
ka sangat terkejut hingga membuat Raka sempat sedi-
kit shock, namun akhirnya Soka Pura yang sadar lebih
dulu dengan apa yang terjadi dl depan matanya, segera mengawali gerakannya
sambil berteriak dan melesat
menggunakan jurus 'Jalur Badai'.
"Hentikaaaaaann...!!" Wuuuzz...!
Dalam sekejap Soka Pura berhasil menerjang
lelaki yang sedang asyik menikmati pelampiasan gai-
rahnya di atas si gadis. Bruuus...! Lelaki itu terlempar karena terjangan Soka
Pura, terpisah dari si gadis.
Sementara si gadis sendiri sempat tersentak dan
menggelinding ke samping dengan jerit ketakutan lebih terdengar serak.
"Uuhk...!" lelaki yang tadi diterjang Soka Pura segera mengerang dan menggeliat
untuk bangkit. Sementara itu, tiga temannya menjadi murka dan mas-
ing-masing mencabut senjata mereka berupa golok be-
raneka bentuk. "Bangsat! Siapa dia, berani mengacaukan ren-
cana kita?" teriak salah seorang.
"Habisi dia!" seru yang satunya.
"Heeaaat...!"
Wus, wus, wus, wus, wus...!
Soka Pura diserang tiga orang yang memba-
batkan goloknya secara bertubi-tubi. Soka hindari te-
basan-tebasan yang bersimpang siur di sekitarnya
dengan tubuh meliuk ke sana-sini.
Pada saat itu, lelaki yang terhalang kepuasan-
nya tadi segera bangkit dan mengambil goloknya yang
di geletakkan di rerumputan samping kaki si gadis. Setelah mengencangkan tali
celananya, lelaki yang belum sempat mengenakan bajunya itu segera menebaskan
senjatanya ke punggung Soka.
Melihat Pendekar Kembar bungsu ingin dilukai
lawan licik itu, Pendekar Kembar sulung tak tinggal di-am. Dari atas kubangan
itu ia lepaskan Jurus 'Tangan
Batu'nya yang mengandung kekuatan tenaga dalam
sangat besar itu. Wuuut...!
Bruuus...! "Aaahh...!" orang yang mau menebaskan golok ke punggung Soka itu terlempar
sejauh lima langkah
dari tempatnya. Kepalanya membentur sebongkah ba-
tu sebesar kambing.
Prrook...! "Aaaakh...!" orang itu memekik tersendat, kepalanya berlumur darah, tubuhnya
terkulai di tempat
dan menggeliat-geliat tanpa bisa bersuara lagi.
Wuuuz...! Raka Pura segera turun ke dasar ku-
bangan besar itu. Ia menyambar si gadis dan segera
dibawa menjauh, naik ke atas kubangan.
Si gadis menangis terisak-isak. Raka Pura mele-
takkannya di bawah pohon. Tapi ia segera mundur
dengan wajah terkejut tegang, karena ia baru sadar
bahwa pakaian si gadis masih tertinggal di dasar ku-
bangan sana. Sekalipun pakaian itu sudah rusak, tapi
sebenarnya masih bisa untuk menutupi tubuh si ga-
dis. "Gawat!" geram hati Raka Pura. Maka ia segera kembali ke dasar kubangan untuk
mengambil sisa pakaian si gadis. Jantungnya sempat berdetak-detak ce-
pat karena masih terbayang keadaan si gadis yang bu-
gil. Ia selalu merasa malu dan takut pada diri sendiri jika melihat 'perabot'
lawan jenisnya.
Ketika Raka mengambil pakaian si gadis, ter-
nyata Soka Pura sudah berhasil tumbangkan dua
orang yang mengeroyoknya. Satu orang masih belum
tumbang, walau sudah terluka memar di bagian dagu
dan telinganya berdarah.
Jleeg...! Orang berbaju biru yang masih bisa
berdiri itu terkejut melihat kemunculan Raka Pura
yang kembar dengan Soka itu. Ia segera teringat ten-
tang Pendekar Kembar yang sering dibicarakan oleh
teman-temannya.
Maka serta-merta orang berbaju biru itu mele-
sat pergi tinggalkan teman-temannya. Ia tampak keta-
kutan sekali dan tak mau peduli lagi nasib ketiga te-
mannya yang sekarat itu.
"Soka, gadis itu kubawa ke atas! Ini pakaian-
nya! Urus dia, aku akan mengejar orang yang berbaju
biru itu!"
"Tak perlu!" ujar Soka sambil terengah-engah.
"Biarkan dia lari! Aku tahu dia orangnya Jagat Lancang!" "Dari mana kau tahu?".
"Dia salah satu orang yang menangkap Bunga
Dewi. Biarkan dia lapor pada ketuanya! Jika perlu, kita hadapi sekalian si Jagat
Lancang itu!" ujar Soka masih tampak diliputi kemarahan. Namun akhirnya mereka
berdua sama-sama naik untuk mengurus si gadis.
Hanya saja, ketika mereka tiba di tempat si ga-
dis, tiba-tiba tempat itu dikepung oleh orang-orang
bertubuh kurus dan berwajah kusam. Dari tubuh ku-
rus mereka, Soka segera dapat menyimpulkan bahwa
mereka adalah orang Perguruan Tengkorak Sungsang.
Sebab menurut keterangan Bunga Dewi, orang Pergu-
ruan Tengkorak Sungsang bertubuh kurus semua, tak
ada yang gemuk sedikit pun.
"Cepat kenakan pakaianmu!" ujar Soka kepada gadis itu. Pakaian tersebut segera
dilemparkan ke tubuh si gadis yang gemetar dan sangat ketakutan.
Raka Pura pandangi orang-orang yang mengeli-
linginya. Mereka terdiri dari delapan orang. Salah satu ada yang berkepala
gundul, bermata cekung, bertubuh
jangkung, dan mengenakan rompi hitam tepian kun-
ing. Orang yang mirip tengkorak hidup itu menggeng-
gam tongkat berujung tiga mata pisau dalam bentuk
seperti garpu. "Pucuk di cinta ulam tiba!" ujar orang gundul berusia sekitar lima puluh tahun
itu. "Kalian pasti yang bergelar Pendekar Kembar!"
"Benar! Lalu, mau apa kau"!" tanya Soka dengan nada ketus.
"Siapa kau sebenarnya"!" Raka menyela dengan pertanyaan pula.
Orang gundul itu masih tampak tenang. Se-
nyumnya lebih pantas dikatakan sebagai seringai iblis.
Setidaknya senyum itu adalah senyum tengkorak yang
kegelian. "Perlu kalian ketahui, akulah ketua dan guru di
Perguruan Tengkorak Sungsang! Aku yang dikenal
dengan nama Jagat Lancang!"
"O, kau...?" sahut Soka dengan semakin sinis.
"Kalian kucari ke mana-mana, hampir saja aku
ke pondoknya si Bayakumba untuk mencari kalian.
Tapi ternyata kalian ada di sini. Dan kulihat murid-
muridku kalian buat sekarat di bawah sana!"
"Karena murid-muridmu hendak memperkosa
gadis itu!" sahut Soka Pura yang tampak bernafsu sekali untuk menghajar si Jagat
Lancang. "Gadis itu tidak laku dijual!" ujar Jagat Lancang. "Kami salah tangkap. Ternyata
dia sudah tidak perawan lagi. Maka kulepaskan dia, dan tak ada laran-gan bagi
murid-muridku yang ingin menikmati hiburan
alakadarnya. Mengapa kau mengusik urusan kami,
Pendekar Kembar"! Kami tidak pernah mengusik uru-
san kalian!"
"Tindakanmu sangat tak manusiawi, Jagat
Lancang!" geram Raka Pura. "Kau perdagangkan gadis-gadis ini, seperti kau jualan
kacang rebus saja!"
"O, itu urusanku, Nak!" ujar si Jagat Lancang dengan senyum sinis. "Kalau kau
mau jualan kacang rebus, silakan! Aku akan jualan barang lain. Seharusnya kalian
tak perlu mengusik urusanku, Pendekar
Kembar. Laporan dari beberapa anak buahku menga-
takan bahwa kau sepertinya merasa iri karena tak bisa menjual kesucian kepada
Darah Kula!"
"Kami tak akan lakukan perbuatan sehina itu,
Jagat Lancang!" sahut Raka Pura dengan tegas.
"Kalau begitu kalian tak perlu ikut campur
urusanku."
Jagat Lancang berpaling ke belakang, bicara
dengan muridnya.
"Urus mereka yang ada di bawah. Bawa pulang
secepatnya! Aku akan beri pelajaran sebentar kepada
anak-anak bodoh ini!"
Tiga orang bergegas pergi ke bawah kubangan.
Jagat Lancang melangkah pelan ke samping dengan
mata melirik Pendekar Kembar.
"Kalian harus kuberi pelajaran agar tahu adat
se dikit terhadap urusan orang lain!"
Pendekar Kembar merenggangkan jarak. Tan-
gan mereka sudah saling meremas geram, sepertinya
tak sabar ingin segera menghajar Jagat Lancang.
"Kalau ku ajukan muridku untuk melawan ka-
lian, itu terlalu buang-buang waktu," ujar si gundul Jagat Lancang. "Jadi
bersiaplah menerima pelajaran langsung dariku, Anak-anak Bodoh!"
Soka Pura melirik kakaknya. Yang dilirik juga
segera membalas lirikan. Soka Pura memberi isyarat
dengan anggukkan kepala kecil. Tangan mereka mulai
pegangi gagang pedang dan siap cabut.
Tapi tiba-tiba Jagat Lancang sentakkan tong-
katnya ke depan. Wuuut...! Clap, clap, clap...! Tiga sinar biru bagaikan kilat
berkerilap menyambar Raka
dan Soka. Gerakan ketiga sinar itu melesat ke sana-
sini membingungkan Pendekar Kembar.
Raka Pura segera melompat ke samping dan
berguling di tanah, maka seberkas sinar biru berkelok-kelok itu melesat di
sampingnya, lenyap di udara belakang Raka.
Sementara itu, Soka Pura segera berkelit meli-
ukkan badannya dengan kedua kaki merendah, karena
dia diserang dua sinar biru berkelok-kelok. Salah sa-
tunya berhasil menyambar lengan kanannya. Cras...!
"Aaow...!" Soka memekik kesakitan. Lengannya segera koyak panjang dan
menimbulkan luka bakar
yang menghangus, mengepulkan asap tipis. Soka me-
nyeringai menahan lukanya.
"Itu pelajaran pertama!" ujar Jagat Lancang.
"Jika kalian bisa lolos dari lima pelajaran ku, maka kalian boleh bebaskan
gadis-gadis yang sedang menung-
gu saat pengiriman ke Bukit Maut itu! Heh, heh, heh,
heh...." Melihat adiknya terluka, Raka Pura menjadi marah, dan segera lakukan
penyerangan. Ia berkelebat
menerjang Jagat Lancang. Wuuuz...! Tapi si gundul
kurus itu ternyata cukup lincah. Dengan melompat se-
dikit ke samping, ia berhasil kibaskan tongkatnya.
Wut, cras...! Lalu ia berputar memunggungi Raka dan
sodokkan ujung tongkat bagian bawah ke belakang.
Dees...! "Aahk...!" Raka Pura bagai diseruduk empat ekor kerbau. Tubuhnya
terpental nyaris Jatuh ke kubangan besar itu. Untung ada sebongkah batu yang
menahannya, walau untuk itu ia harus menahan sakit
karena punggungnya membentur batu tersebut.
Raka Pura terperanjat sekejap melihat perge-
langan tangannya berdarah. Rupanya tiga mata pisau
di ujung tongkat lawan berhasil melukai pergelangan
tangannya yang segera menjadi hitam dan berbusa.
Asap tipis mengepul dari luka tersebut.
"Celaka! Senjata itu mempunyai racun yang
berbahaya bagi darahku!" geram Raka Pura dalam hatinya. "Raka...!" seru Soka
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pura dengan mata terbelalak melihat kakaknya terluka. Tapi sebelum Soka ber-
gerak dekati kakaknya, sang kakak sudah bangkit dan
berseru dengan suara menggeram.
"Soka, lepaskan 'Cakar Matahari!"
Maka Pendekar Kembar bungsu pun segera le-
paskan jurus 'Cakar Matahari' yang mampu keluarkan
sinar putih berbentuk pisau itu. Soka Pura keluarkan
kekuatan jurus itu secara beruntun dan mengarah ke
sekitar betis dan paha si Jagat Lancang.
Clap, clap, clap, clap...!
Melesatnya sinar putih yang begitu cepat itu se-
lalu berhasil ditangkis dengan kibasan tongkat si Jagat Lancang. Setiap benturan
sinar putih dengan tiga mata pisau menimbulkan ledakan yang tak seberapa besar.
Duaar, duaar, duaar, duaaar...!
Pada saat Jagat Lancang sibuk hindari sinar-
sinar putih tersebut, Raka Pura segera melesat ke uda-ra dan berjungkir balik ke
arah lawan. Tubuh Pende-
kar Kembar sulung itu melayang di atas kepala Jagat
Lancang. Orang gundul itu terdesak mundur oleh seran-
gan sinar putih beruntun, sehingga ia tak sempat per-
hatikan bagian atasnya. Tahu-tahu kedua tangan Raka
Pura menggeprak kepala gundul si Jagat Lancang se-
perti menepuk seekor nyamuk. Praak...!
Jurus 'Tapak Sunyi' dipergunakan oleh Pende-
kar Kembar sulung dalam keadaan tubuh menukik tu-
run dari ketinggiannya. Para murid si Jagat Lancang
terperanjat melihat kepala gundul gurunya dikeprak
oleh lawan. Namun mereka menjadi lega, karena si Ja-
gat Lancang masih tetap berdiri dengan senyum sinis-
nya. Serangan Soka pun berhenti begitu melihat ka-
kaknya sudah berhasil menggeprak kepala lawan. Ra-
ka Pura sempat pergunakan kepala itu untuk tum-
puan dua jarinya yang membuat tubuhnya melenting
ke arah depan dalam gerakan bersalto. Wuuk...!
Jleeg...! Ia berdiri di samping Pendekar Kembar bung-
su. Keduanya sama-sama menatap Jagat Lancang.
Ketua perguruan itu masih berdiri dengan kaki
sedikit merenggang. Tegak dan tampak menyungging-
kan senyum sinis. Namun kejap berikutnya, para mu-
rid yang semula merasa lega karena menyangka gu-
runya tidak mengalami cedera apa pun, tiba-tiba harus terbelalak tegang dan
gemetaran. Karena kepala gundul sang Guru tiba-tiba menjadi retak, darah merem-
bas melalui garis keretakan itu.
Brruuk...! "Ooh..."! Guru...?""!!" teriak para murid.
Tentu saja si Jagat Lancang tak hiraukan se-
ruan tegang para muridnya itu, karena kepalanya telah pecah dan nyawanya pun
melayang bergentayangan di
alam bebas. Melihat gurunya ditumbangkan oleh Pen-
dekar Kembar, maka para murid pun akhirnya melari-
kan diri dan tak ada yang mau mengalami nasib seper-
ti sang Guru. Mereka masih ingin punya kepala utuh
dan bisa untuk menggeleng atau mengangguk.
"Pemburu mahkota dara itu telah tewas, Raka!
Apa yang harus kita lakukan sekarang"!"
"Obati luka kita dulu, baru bebaskan para ga-
dis yang ditawan mereka!" jawab Raka Pura, kemudian melirik gadis yang tadi
diselamatkan. "Aku tahu tempat mereka disekap! Aku akan
bantu kalian!" ujar si gadis dengan suara masih bergetar.
Setelah mengobati luka dengan jurus pengoba-
tan yang disebut jurus 'Sambung Nyawa' itu, Pendekar
Kembar akhirnya pergi ke pusat Perguruan Tengkorak
Sungsang. Gadis yang nyaris diperkosa oleh empat
orang itu memandu perjalanan mereka. Namun ketika
mereka tiba di sana, ternyata para murid perguruan
tersebut sedang sibuk mengungsi untuk hindari ben-
cana yang diperkirakan akan datang dari sepasang
pemuda kembar itu. Mereka segera bubar begitu meli-
hat kedatangan Raka dan Soka. Masing-masing me-
nyelamatkan diri sendiri-sendiri.
Para tawanan cantik itu akhirnya dibebaskan
oleh Pendekar Kembar. Mereka gagal dijadikan barang
dagangan yang akan dijual kepada Darah Kula. Tetapi
bukan berarti Pendekar Kembar sudah berhasil sela-
matkan para gadis di muka bumi, namun masih ada
ancaman maut bagi gadis-gadis lainnya. Karena si
anak iblis itu tetap akan membutuhkan darah perawan
semasa ia masih hidup dan belum ada yang bisa mem-
buatnya mati abadi.
Hanya dengan 'Bambu Gading Mandul', si anak
Iblis itu bisa dibunuh dan mati secara abadi. Tapi apakah Pendekar Kembar akan
berhasil dapatkan 'Bambu
Gading Mandul' itu, Jika ternyata bambu itu hanya
ada satu dan mungkin saja sudah ditebang orang yang
tak mengerti khasiat gaib bambu tersebut"
SELESAI Segera menyusul:
TUMBAL ASMARA BUTA
E-Book by Abu Keisel - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Tangan Geledek 18 Pendekar Aneh Dari Kanglam Karya Sin Liong Pedang Langit Dan Golok Naga 24
gumam kekaguman Soka terhadapnya. Bulan Berka-
but hanya bisa menggeram dongkol dan memaki pe-
nuh gerutu dalam hati saja.
Pendekar Kembar sulung segera hampiri Pen-
dekar Kembar bungsu. Kepala sang adik disodok den-
gan dua jari. Duus, wuut...! Soka Pura terantuk ke depan, lalu segera sadar dan
nyengir memandangi ka-
kaknya yang sudah ada di belakang.
"Bukannya disembuhkan malah dibuat mai-
nan"! Dasar buaya norak!" omel Raka Pura dengan bersungut-sungut.
"Hmmm, eeh... dia cantik sekali, Raka! Kulitnya
halus, seperti kulit bayi, dan...."
"Cepat bebaskan totokannya!" sentak Raka Pu-ra.
Namun pada saat itu mereka segera mendengar
suara langkah orang berlari-lari menuju ke tempat tersebut. Langkah itu agaknya
bukan datang dari satu
orang saja. Diperkirakan ada tiga-empat orang yang
berlari menuju ke tempat tersebut. Soka dan Raka sal-
ing berpandangan tegang sesaat, kemudian meman-
dang ke arah datangnya suara orang berlari secara
grabak-grubuk itu.
"Soka, bawa dia pergi dari sini! Lekas...!" suara Raka membisik, dan sang adik
pun segera lakukan perintah tersebut.
"Jangan ladeni mereka! Ikutlah pergi, Raka!"
sambil Soka Pura memondong Bulan Berkabut, kemu-
dian melesat ke balik semak-semak dan menghilang di
kerimbunan pepohonan.
Raka Pura memang segera melesat pergi, na-
mun tak cepat-cepat susul adiknya. Ia ingin tahu dulu, siapa yang datang ke
tempat itu. Ternyata mereka terdiri dari lima orang kurus
berwajah kusam. Kelima orang itu tersentak kaget me-
lihat Randu Alas terkapar dan Marambang masih me-
raung-raung sambil berguling ke sana-sini, memegangi
kepala dengan kedua tangan.
"Marambang! Apa yang terjadi"! Mana si Bulan
Berkabut tadi?" seru salah seorang dari mereka.
Raka Pura cukup puas, karena sekarang ia ta-
hu bahwa lima orang itu adalah teman-teman Maram-
bang dari Perguruan Tengkorak Sungsang. Raka mera-
sa tak perlu mengusik mereka lagi, ia cepat-cepat su-
sul adiknya dengan menggunakan gerakan cepat yang
menyerupai badai melesat itu. Wuuzzz...!
* * * 5 SETELAH Soka Pura membebaskan totokan
Bulan Berkabut, gadis itu sempat ngomel-ngomel ka-
rena kenakalan tangan Soka di saat ia tak berdaya ta-
di. Pendekar Kembar sulung segera redakan omelan
Bulan Berkabut dengan kesabarannya, sampai akhir-
nya gadis itu pun menyadari bahwa ia telah di sela-
matkan oleh sepasang pemuda kembar yang tampan,
gagah, dan mempunyai daya tarik tersendiri dalam ha-
tinya, terutama setelah Pendekar Kembar perkenalkan
diri sebagai Raka Pura dan Soka Pura.
Bulan Berkabut sempat terperanjat. "Beberapa
tokoh di rimba persilatan sering menyebut dua nama
itu sebagai nama Pendekar Kembar," ujarnya.. "Apakah kalian memang Pendekar
Kembar"!"
"Dugaanmu tak salah, Bulan Berkabut. Semula
kami tidak bermaksud mencampuri urusanmu dengan
kedua orangnya Jagat Lancang itu," ujar Raka Pura yang berdiri lebih dekat
ketimbang Soka Pura.
"Semula aku dan adikku hanya mencari seo-
rang gadis, sahabat kami, yang tiba-tiba menghilang
dari kamar tidurnya. Dugaan kami ia diculik oleh
orang-orangnya Jagat Lancang. Tapi setelah kami tahu
Marambang dan Randu Alas ingin menjadikan mu se-
bagai tawanan mereka yang nantinya akan dijual ke-
pada Darah Kula, maka kami pun terpaksa turun tan-
gan menyelamatkan dirimu!" tambah Raka dalam penjelasannya.
"Terima kasih atas bantuanmu," ujar Bulan
Berkabut. "Apakah gadis yang kau cari itu berwajah cantik, mungil, mengenakan
pakaian kuning gading
dan...." "Benar! Dialah yang bernama Bunga Dewi!" sahut Soka Pura sambil maju
selangkah lagi.
Bulan Berkabut menggumam dan manggut-
manggut. "Ya, aku kenal dengannya. Bunga Dewi adalah
pencuri cantik dari Tanah Keramat!" sambil Bulan Berkabut bertolak pinggang dan
melangkah mondar-mandir bagaikan sedang gusar.
"Dia memang pencuri, tapi dalam peristiwa ini,
dia tidak mencuri. Dia lolos dari tawanan si Jagat Lancang, karena Bunga Dewi
termasuk gadis yang akan
dijual kepada Darah Kula!" sambung Soka dengan bersemangat.
"Kami menduga, Bunga Dewi diculik oleh
orang-orangnya Jagat Lancang," timpal Pendekar
Kembar sulung. "Tidak!" Bulan Berkabut menyangkal tegas-
tegas. "Bunga Dewi tidak diculik oleh mereka. Sema-lam kulihat ia bersama
seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun berambut pendek tegak-tegak
seperti durian. Mereka menuju selatan, ke Candi Apung."
"Seorang lelaki berambut tegak..."!" Soka Pura
menggumam dengan dahi berkerut, mata memandang
ke arah kakaknya. Si kakak hanya melirik sekejap
sambil menarik napas.
"Kau tahu siapa lelaki berambut tegak itu, Bu-
lan Berkabut"!"
"Ya, aku kenal dengan lelaki itu! Dia adalah
orang Kedai Iblis yang bernama Batara Jabrik!"
"Ooh..." Batara Jabrik"!" Pendekar Kembar terperangah kaget, karena mereka pun
mengenal nama Batara Jabrik. Mereka pernah bertemu dengan Batara Jabrik
ketika orang itu menjadi pembunuh bayaran atas tu-
gas dari Dewi Ambari untuk melenyapkan Wisnu Ga-
lang. Tapi akhirnya Batara Jabrik tak berani lakukan
tugasnya, karena ia tahu Wisnu Galang sahabat Pen-
dekar Kembar. Bahkan ia sempat kagum dan ingin be-
lajar ilmu-ilmunya Raka Pura, namun Raka tak berse-
dia menurunkan ilmunya, sehingga Batara Jabrik ak-
hirnya pulang ke Kedai Iblis, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: Cumbuan Menjelang Ajal").
Raka dan Soka sama-sama tertegun sesaat, ka-
rena mereka tak menyangka Bunga Dewi bersahabat
dengan Batara Jabrik. Bahkan saat itu Bulan Berka-
but memberi penjelasan lebih lengkap lagi.
"Beberapa waktu yang lalu, aku sempat berke-
nalan dengan Bunga Dewi dan Batara Jabrik, karena
mereka pernah kubayar untuk mencarikan Lebah Ken-
cana di dalam Hutan Karang."
"Lebah Kencana"!" Soka menggumam karena
merasa asing dengan nama Lebah Kencana.
"Lebah Kencana adalah benar-benar lebah yang
berwarna kuning keemasan. Lebah itu kugunakan un-
tuk mengobati seseorang yang terkena racun dari la-
wannya. Sejak itulah kami berkenalan, dan beberapa
hari yang lalu aku mendengar kesepakatan Bunga
dengan Batara Jabrik yang akan mencari Permata Ma-
nik Jingga yang tersimpan di Candi Apung."
"Edan gadis itu! Kecil-kecil semangat nyolong-
nya tinggi juga"!" gumam Soka Pura seakan ditujukan kepada kakaknya. Tapi sang
kakak diam saja, karena
sedang memperhatikan ucapan Bulan Berkabut.
"Tiga hari yang lalu, aku bertemu Batara Jabrik
yang mencari Bunga Dewi. Ia meminta tolong padaku
untuk mencarikan gadis itu, karena ia mendapat kabar
dari seorang temannya, bahwa Bunga Dewi tertangkap
oleh orang-orangnya Jagat Lancang, sehingga gadis itu tak sampai di rumahnya.
Aku tak menyanggupi per-mohonan Batara Jabrik, karena aku punya urusan
sendiri dengan seorang pemuda yang bernama Wiloka."
Pendekar Kembar sama-sama terkesiap men-
dengar nama Wiloka.
"Kalau tak salah Wiloka adalah bekas kekasih-
nya Supami, anak Ki Samekta itu!" ujar Raka Pura, dan si Pendekar Kembar bungsu
mengangguk membe-narkan. Bulan Berkabut lanjutkan kata-katanya lagi.
"Aku sedang mencari Wiloka untuk bikin perhi-
tungan sendiri denganku. Terus terang saja, aku sem-
pat tertarik dengannya. Tapi ternyata kebaikannya itu sebuah jebakan yang akan
membuatku celaka di tangan Jagat Lancang, gurunya! Aku hampir terjebak ma-
suk ke Perguruan Tengkorak Sungsang. Kupikir Wilo-
ka bukan orang perguruan itu. Rupanya ia bermaksud
menjebakku agar aku bisa dijual oleh pihaknya ke Bu-
kit Maut. Aku pun melarikan diri, sambil mencari Wi-
loka. Sebab sejak itu, aku tak pernah melihat Wiloka
keluar-masuk ke gerbang perguruan tersebut. Namun
teman-temannya merasa seperti menemukan emas be-
gitu melihatku. Tanpa kusadari, mereka ternyata ma-
sih memburu ku."
"Jahanam juga yang bernama Wiloka itu ru-
panya"!" geram Soka sambil memandang kakaknya.
Sang kakak hanya menggumam dan manggut-
manggut. Si gadis pun lanjutkan kata-katanya kemba-
li. "Kemarin sore aku bertemu dengan Batara Ja-
brik. Akhirnya kami sepakat untuk saling membantu.
Batara Jabrik membantuku mencarikan Wiloka, aku
membantunya mencarikan Bunga Dewi. Batara Jabrik
sempat jelaskan rencananya mencuri Permata Manik
Jingga dari Candi Apung. Ia berharap aku mau berga-
bung dengannya. Tapi tawaran itu kutolak mentah-
mentah, karena aku bukan seorang pencuri dan bukan
pembunuh bayaran."
"Untuk apa mereka mencari Permata Manik
Jingga?" "Batara Jabrik belum mau jelaskan kegunaan
benda itu. Aku sendiri tak banyak tahu tentang Perma-
ta Manik Jingga. Tapi ada seseorang yang mengetahui
tentang benda yang tersimpan di dalam Candi Apung
itu. Jika kalian ingin menanyakannya, aku bisa mem-
bawa kalian kepada orang tersebut."
"O, tidak! itu bukan urusan kami," sela Pendekar Kembar sulung. "Jika memang
Bunga Dewi sudah pergi bersama Batara Jabrik, biarlah mereka pergi, karena
mereka bukan tanggung jawab kami...."
"Kurasa Bunga benar-benar keluar sendiri dari
kamar dan mencari Batara Jabrik. Dugaanmu memang
benar, Raka," sela Pendekar Kembar bungsu dalam bi-sikan. "Karena aku masih
punya otak."
"Aku juga punya!" gerutu Soka sambil bersungut-sungut, merasa dianggap sudah
tidak punya otak.
Raka Pura bicara lagi kepada Bulan Berkabut,
"Tujuan utama kami sebenarnya ingin menemui seseo-
rang di Lembah Semangit...."
Bulan Berkabut terkesip, namun tetap membi-
su tanpa gumam sedikit pun.
"Kami mencari sebuah pondok milik seorang
resi yang tinggal di sana," lanjut Raka. "Kami perlu bertemu dengan tokoh tua
yang bernama Resi Bayakumba itu."
"Untuk apa"!" tanya Bulan Berkabut dengan
pandangan berkesan curiga.
"Menurut seorang pemilik kedai yang bernama
Ki Samekta, jika kami ingin mengetahui banyak-
banyak tentang Darah Kula, alias manusia pengisap
darah perawan itu, kami harus menanyakannya kepa-
da Resi Bayakumba. Kata pemilik kedai itu, sang Resi
mengetahui banyak tentang si Darah Kula."
"Apakah kalian ingin bergabung dengan pihak
Darah Kula"!"
"O, tidak. Itu dugaan paling buruk yang pernah
kami dengar, Bulan!" sahut Soka Pura. "Justru kami ingin hancurkan si Darah Kula
itu agar tak timbulkan
korban lebih banyak lagi. Kasihan para gadis, seperti-mu juga, jika Darah Kula
tetap hidup. Lama-lama
penghuni bumi kehilangan gadis-gadisnya, yang tersi-
sa hanya kaum lelaki dan nenek-nenek jompo."
Setelah diam sesaat, Bulan Berkabut pun te-
gaskan kata, "Aku bisa mengantar kalian ke Lembah Semangit."
"Oh, terima kasih atas kesediaanmu," Soka Pu-ra tersenyum girang. "Tapi bisakah
kau mengantarkan kami ke pondok yang kami maksud itu"!"
"Bisa! Ikuti aku!" tegas Bulan Berkabut, kemudian ia lebih dulu bergerak menuju
ke Lembah Seman-
git. Pendekar Kembar saling pandang sebentar, lalu
bergegas mengikuti langkah si cantik bertubuh sintal
dan berwajah cantik menghebohkan hati Soka.
Perjalanan menuju Lembah Semangit ditempuh
waktu tak sampai setengah hari. Bahkan seperempat
hari kurang. Mereka bergerak cepat. Ternyata Bulan
Berkabut pun mampu berlari cepat, walau tidak sece-
pat jurus 'Jalur Badal'-nya Pendekar Kembar. Andai
saja tadi saat ia dikejar oleh Randu Alas tidak terhadang oleh Marambang,
mungkin Randu Alas akan ke-
hilangan jejak dan tak sanggup menandingi kecepatan
larinya si cantik berambut pendek itu.
Seperti yang dikatakan Ki Samekta, mereka ha-
rus menelusuri tepian sungai untuk menemukan pon-
dok Resi Bayakumba. Ternyata gadis cantik itu juga
menelusuri tepian sungai, sehingga Pendekar Kembar
merasa tak akan disesatkan oleh si cantik bermata in-
dah itu. Bahkan dengan mudahnya pondok tersebut
ditemukan oleh mereka. Pendekar Kembar merasa le-
ga, juga memendam rasa bangga atas bantuan Bulan
Berkabut dalam menemukan pondok Resi Bayakumba.
Pondok itu memang terbuat dari kayu-kayu hu-
tan yang hanya dibelah menjadi dua bagian. Berkesan
kokoh dan damai, karena suasana di sekitarnya sangat
sepi. Pagar yang mengelilingi pondok dua lantai itu
hanya setinggi dada, terbuat dari batangan kayu-kayu
bundar sebesar betis yang ditata rapat dan rata. Pon-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dok itu juga dikelilingi pohon-pohon besar yang ber-
daun rindang, sehingga halaman pondok tersebut di-
taburi oleh daun-daun kering, serupa daun beringin.
"Masuklah...!" Bulan Berkabut mempersilakan kedua pemuda tampan itu masuk ke
dalam pondok setelah ia membukakan pintunya.
Pendekar Kembar sama-sama berkerut dahi,
merasa heran atas kelancangan Bulan Berkabut yang
berani membuka pintu sendiri dan mempersilakan me-
reka untuk masuk. Keduanya tertegun di depan pintu,
menatap nanap ke wajah Bulan Berkabut.
"Masuklah dulu! Aku akan mencari Eyang
Guru di sekitar sini. Kurasa beliau sedang sibuk den-
gan empang ikannya di bawah sana."
"Eyang Guru..."!" Soka Pura bergumam heran
mendengar Bulan Berkabut menyebut 'eyang guru'.
"Jadi... jadi kau muridnya Resi Bayakumba"!"
tanya Raka Pura.
Gadis itu sunggingkan senyum kecil. Duhai...
cantiknya bukan main jika tersenyum. Jantung Soka
terasa ingin pecah melihat senyuman itu, karena de-
bar-debar yang hadir semakin kuat dan menggelitik ta-
jam. "Sialan! Ternyata dia murid sang Resi sendiri!
Mengapa dia tidak bilang dari tadi saja, ya"!" ujar Raka Pura kepada adiknya.
Sang adik masih diam terbengong dengan mulut sedikit ternganga. Matanya me-
mandang ke arah kepergian Bulan Berkabut. Mereka
memilih menunggu di luar pondok sambil menikmati
hembusan angin pembawa udara sejuk itu.
"Soka, apa yang terbayang dalam benakmu se-
telah tahu bahwa Bulan Berkabut adalah murid sang
Resi?" "Dia benar-benar cantik sekali."
Wuuut, dees...!
Raka Pura mendorong kepala adiknya yang bi-
cara seperti orang terkesima itu. Sang adik menggera-
gap sebentar sambil mengusap-usap kepalanya.
"Kenapa kau marah".!"
"Pikiranmu soal kecantikan melulu! Tak bisa-
kah kau berpikir selain kecantikan"!" sentak Raka Pu-ra.
Pendekar Kembar bungsu pun menerawang la-
gi, lalu berujar seperti orang mengigau, "Tubuhnya benar-benar elok dan
menggairahkan!"
Wuut, dees...! Kepala Soka didorong lagi oleh kakaknya den-
gan sentakan agak keras. Soka sempat tersentak satu
langkah ke depan. Ia kembali bersungut-sungut sambil
usap-usap kepalanya.
"Kenapa kau ini"! Katamu aku tak boleh berpi-
kir tentang kecantikan saja"!"
"Iya! Tapi memikirkan kemolekan tubuhnya
sama saja memuakkan hatiku!"
"Yah, kalau kau muak tak perlu ikut berpikir-
lah! Biar aku saja yang memikirkan kecantikan dan
kemolekan tubuhnya!" ujar Soka dengan nada menggerutu, kemudian ia berpindah
tempat, duduk di atas
sebatang kayu yang agaknya sering dipakai sebagai
tempat kongkow-kongkow oleh sang Resi dan murid
tunggalnya itu. Akhirnya Raka Pura pun ikut duduk di
tempat itu dengan kedongkolan sudah berkurang.
Mereka saling membisu sampai beberapa saat
lamanya. Setelah mereka merasa jenuh dengan kebi-
suan, Soka Pura mengawali perdengarkan suaranya
yang pelan, setengah berbisik.
"Raka... ada sesuatu yang ingin kukatakan pa-
damu, tapi aku takut kau marah padaku."
"Kalau begitu lebih baik aku marah dulu, sete-
lah itu baru kau katakan hal itu!"
"Ah, Raka... aku bersungguh-sungguh!" sang
adik merengut bernada manja.
Soka Pura memang sering bermanja kepada
kakaknya, terutama jika tidak ada orang ketiga. Tapi di balik kemanjaan itu,
sebenarnya Soka Pura hanya ingin melampiaskan rasa sayangnya kepada sang kakak,
yang dianggap sebagai tempatnya mengadu se-
gala keluh kesah hatinya. Sebaliknya, Raka Pura me-
mang sering marah kepada Soka. Bahkan tampaknya
mudah tersinggung oleh sikap dan kata-kata Soka. Ta-
pi hal itu hanyalah sebagai ungkapan rasa kasih
sayang Raka kepada sang adik, di mana ia merasa
menjadi pelindung dan pengayom, seperti pesan ayah
angkat mereka; si Pawang Badai.
Kedua anak kembar itu memang sering ber-
tengkar, kadang menggunakan kekuatan fisik. Saling
pukul dan saling menyerang. Tapi mereka cepat ber-
damai kembali. Dan jika kekuatan mereka sudah ber-
satu, maka lawan setangguh apa pun mampu ditum-
bangkan oleh mereka dalam waktu singkat.
"Aku bersungguh-sungguh, Raka. Aku ingin ka-
takan sesuatu padamu!" Soka Pura meyakinkan ka-
kaknya sekali lagi. Akhirnya Raka tersenyum geli sen-
diri. Ia menepuk punggung adiknya.
"Katakan apa yang ingin kau katakan."
"Tapi berjanjilah kalau kau tak akan marah pa-
daku!" Raka hembuskan napas satu kail. "Yaah...!
Baiklah, aku berjanji!"
"Sumpah, tak akan marah"!"
"Sumpah!" sambil Raka mengangguk.
"Berani disambar seribu tombak jika kau ma-
rah"!" Raka mendengus jengkel. "Kalau kau bertele-tele aku akan marah lebih
dulu!" ancam Raka. Soka hanya nyengir.
"Raka...," Pendekar Kembar bungsu bergeser
lebih dekat lagi pada kakaknya. Sang kakak menatap,
tapi sang adik justru tak berani menatap. Ia meman-
dang ke arah perginya Bulan Berkabut, kemudian sua-
ranya terdengar bagai berbisik.
"Aku suka sekali padanya, Raka."
"Maksudmu kepada Resi Bayakumba"!"
"Kepada muridnya, Tolol!" sentak Soka dengan kesal, tubuh kakaknya didorong
dalam satu sentakan.
Raka hampir jatuh, namun justru tertawa geli.
"Raka, aku tidak main-main. Aku suka sama
Bulan Berkabut! Aku tertarik sekali padanya."
"Kambing diberi bedak pun akan membuatmu
tertarik, Soka!"
"Ayolah, jangan begitu, Raka! Aku sendiri tak
tahu mengapa hatiku tertarik sekali begitu memperha-
tikan dia dalam keadaan masih tertotok tadi!"
"Kau boleh saja tertarik padanya, tapi dia be-
lum tentu tertarik padamu!"
"Perlu ada pendekatan lebih akrab lagi, Raka."
"Hmm!" Raka mencibir menyepelekan ucapan
adiknya. "Lalu, apa maksudmu bilang begitu padaku"!"
"Bagaimana jika urusan si Darah Kula kau tan-
gani sendiri, aku akan lakukan pendekatan lebih dekat lagi kepada si Bulan
Berkabut"!"
"Dan kalau aku mati di tangan Darah Kula, lalu
aku akan mendekati siapa"!"
"Di alam kubur kan banyak peri atau kuntila-
nak," jawab Soka Pura sambil tertawa geli, sedangkan sang kakak hanya bersungut-
sungut dengan gerutu
tak jelas. "Raka, aku sungguh-sungguh tertarik olehnya.
Aku tak tahu harus berbuat apa dalam keadaan seper-
ti ini, Raka! Ku rasakan dalam hatiku... Bulan Berka-
but punya sesuatu yang aneh, yang menawan sekali,
dan yang tidak dimiliki oleh gadis lain!"
"Nafsumu lebih besar daripada cinta mu, Soka!
Kekanglah sedikit!"
"Ini bukan semata-mata nafsu, tapi...."
"Selesaikan dulu urusan kita dengan Darah Ku-
la!" potong Raka dengan tegas, membuat Soka Pura mulai murung.
"Kalau sudah kita selesaikan urusan ini, kau
bisa bebas menemui Bulan Berkabut kapan saja kau
mau! Kita sudah telanjur masuk dalam persoalan ini,
Soka! Kalau kita mundur, lalu siapa yang akan maju"!"
Soka ingin katakan sesuatu lagi, tapi niatnya
itu terpaksa ditunda, karena mereka segera melihat
kehadiran seorang kakek berambut putih tak rata,
pendek tanpa ikat kepala. Kakek itu mengenakan baju
tanpa lengan warna putih, dan celananya warna coklat
muda. Tubuhnya tak seberapa tinggi, namun juga ti-
dak terlalu pendek. Sedikit gemuk, tapi bukan berarti gendut. Kakek itu
mempunyai brewok abu-abu dengan
alis mata tebal berwarna abu-abu pula. Diperkirakan
ia sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tapi langkahnya masih tegap dan
gagah, seperti berusia empat
puluh tahunan. Kakek itu segera temui Pendekar Kembar, se-
mentara sepasang anak muda kembar itu menyimpan
tanda tanya dalam hatinya, "Benarkah ini yang bernama Resi Bayakumba"! Lalu,
mengapa pulang sendi-
rian" Ke mana si Bulan Berkabut tadi!"
Si kakek segera menegurnya dengan suara agak
berat. Berkesan wibawa.
"Kalian ingin bertemu denganku"!"
"Kami ingin bertemu dengan Eyang Resi Baya-
kumba!" "Akulah orang yang kalian cari. Masuklah!"
sang Resi mengangkat tangan, mempersilakan Pende-
kar Kembar untuk masuk ke pondoknya lebih dulu.
Mau tak mau Pendekar Kembar segera melangkah ma-
suk ke pondok tersebut.
Begitu mereka melangkah masuk, mereka ter-
kejut sekali, karena si brewok abu-abu itu sudah ada
di dalam, duduk bersila di atas balai-balai bambu,
seakan sedang menunggu kedatangan tamunya. Di be-
lakangnya tergantung jubah coklat yang saat itu se-
dang tidak dikenakan.
"Silakan duduk, Pendekar Kembar!"
"Gila! Tahu-tahu dia sudah ada di dalam! Pa-
dahal tadi di belakang kita!" bisik Soka Pura. Raka memberi isyarat dengan
colekan tangannya agar Soka
tidak berkasak-kusuk. Karena Raka khawatir apa yang
diucapkan dalam batinnya dapat didengar oleh sang
Resi. "Maaf, Eyang Resi...," ujar Soka dengan sopan sekali sebelum ia naik ke
balai-balai dan duduk bersila seperti kakaknya.
"Jika boleh aku bertanya, di mana Bulan Ber-
kabut" Sebab tadi dia bilang mau susul Eyang Resi di
empang pinggir sungai itu!"
"Bulan Berkabut kuutus ke Bukit Maut!" jawab sang Resi yang membuat kedua pemuda
kembar itu terperanjat kaget.
"Bukit Maut..."! Bukankah tempat itu adalah
kekuasaannya si Darah Kula, Eyang"!" ujar Soka dengan wajah cemas.
"Benar! Darah Kula berkuasa di bukit itu. Sen-
gaja kuutus muridku untuk berada di Bukit Maut,
mendahului kalian!"
"Dengan maksud apa Eyang mengutusnya ke
sana?" Raka Pura pun akhirnya ajukan tanya karena rasa herannya mengganjal di
hati. "Jika muridku ada di Bukit Maut, maka kalian
berdua akan lebih bersemangat untuk tiba di sana, te-
rutama si bungsu ini!" sambil sang Resi menunjuk So-ka, tapi bicaranya kepada
Raka Pura. Kedua pemuda
itu saling beradu pandang. Sang Resi perdengarkan
suaranya lagi. "Jika Bulan Berkabut berada di sini, maka se-
mangat mu untuk pergi ke Bukit Maut menjadi ken-
dor, Nak!".
Soka Pura tersipu-sipu, ia sedikit menunduk-
kan kepala walau sudah duduk bersila di samping ka-
kaknya. Rupanya Resi Bayakumba sudah mengetahui
isi hati Raka yang tertarik kepada Bulan Berkabut.
Kakek tua itu bagaikan telah mendengar percakapan
kedua pemuda kembar tadi, sehingga ia segera men-
gambil tindakan untuk memancing semangat Soka Pu-
ra. Agaknya aku harus bersikap baik-baik saja di
depan Resi Bayakumba. Orang ini punya ilmu yang
tergolong tinggi, sehingga bisa mengetahui apa yang
kurencanakan dalam benak dan hatiku," ujar Soka dalam hatinya yang diliputi
keresahan. Sebab saat itu ia mulai khawatir akan keselamatan Bulan Berkabut jika
pergi ke Bukit Maut seorang diri.
Dalam benak Soka berkesimpulan, "Jika mela-
wan dua orangnya Jagat Lancang saja Bulan Berkabut
bisa dilumpuhkan begitu, apalagi jika harus berhada-
pan dengan orang-orangnya Darah Kula?"
* * * 6 RESI Bayakumba punya rasa bangga dalam ha-
tinya melihat dua pemuda gagah duduk bersila di de-
pannya. Sejak dulu sebenarnya Resi Bayakumba ingin
mempunyai murid segagah Raka dan Soka. Tetapi ia
selalu gagal mendapatkan calon murid yang berpera-
wakan seperti Pendekar Kembar itu. Akhirnya dipu-
tuskan untuk mengangkat gadis kecil sebagai murid
tunggalnya. Gadis kecil itu tumbuh dengan dewasa se-
lama dua-tiga belas tahun bersamanya, dan kini men-
jadi gadis cantik yang lincah dan berani. Dialah.... Bulan Berkabut.
"Aku sudah bosan melawan Darah Kula," ujar
sang Resi dalam pembicaraan mereka. "Dua kali aku berhasil membunuh Darah Kula,
tapi lima tahun kemudian ia selalu bangkit lagi, mencari mangsa lagi,
dan bikin kekacauan di sana-sini!"
"Jadi setiap lima tahun dia bangkit lagi,
Eyang?" Soka bernada heran.
Resi Bayakumba anggukkan kepala.
"Dia mempunyai ilmu 'Pancawarsa' yang tidak
dimiliki orang lain."
"Ilmu apa itu, Eyang?" tanya Raka Pura.
"Ilmu 'Pancawarsa' adalah ilmunya raja iblis, di mana si pemilik ilmu itu akan
mati selama lima tahun
kalau dibunuh orang. Kalau tidak dibunuh, tentunya
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mati-mati."
"Masuk akal sekali itu, Eyang," ujar Soka sambil melirik kakaknya dan menutupi
senyum dengan tangannya. "Jadi, siapa pun yang memiliki ilmu
'Pancawarsa' dia mempunyai jatah mati selama lima
tahun. Setelah lima tahun hidup kembali."
"Dengan lain perkataan, Darah Kula tidak bisa
mati secara awet, ya Eyang"!"
"Benar, Soka!" tegas Resi Bayakumba yang jika bicara alunan katanya pelan-pelan,
sehingga tiap kata yang diucapkan bisa didengar dengan jelas dan mudah
diingat oleh siapa pun yang mendengarnya.
"Darah Kula itu sebenarnya anak iblis!" lanjut sang Resi. "Mendiang ibunya kawin
dengan raja dari kerajaan iblis di alam gaib sana. Lahirlah si Darah Ku-la. Jadi
sebenarnya Darah Kula adalah seorang pange-
ran, sebab ia anak raja. Tapi raja iblis!"
Soka Pura mengulum senyum geli. Resi Baya-
kumba jika bicara memang begitu; tegas, mantap,
mengayun, berkesan lucu. Tapi sebenarnya ia serius.
"Kesaktian yang dimiliki Darah Kula tentunya
titisan dari ayahnya; si raja iblis itu," sambung Resi Bayakumba. "Karena itu
kekuatannya pada darah. Darah perawan akan membuat kesaktian dan kekuatan-
nya tetap langgeng."
"Apakah tak ada kelemahannya, Eyang?" tanya Raka Pura.
"Kelemahannya baru kuketahui beberapa wak-
tu yang lalu. Lima tahun yang silam, aku berhasil
membunuh Darah Kula. Tapi sebulan yang lalu, dia
bangkit lagi dan mencari korban darah perawan. Dua
bulan yang lalu, ketika aku bersemadi, aku berhasil
menemui mendiang guruku. Lalu kutanyakan tentang
kelemahan si Darah Kula itu. Ternyata kelemahannya
ada pada sebatang bambu."
Pendekar Kembar sama-sama kerutkan dahi.
Mereka merasa aneh dan ragu-ragu menangkap arti
kata 'sebatang bambu' itu.
"Maksudnya bagaimana, Eyang Resi?" Raka Pu-
ra ajukan tanya, karena tak mau menahan rasa ingin
tahunya terlalu lama.
"Darah Kula bisa mati selama-lamanya, tak
akan bangkit lagi dan tak akan lahir lagi ke bumi, apa-bila ia dibunuh dengan
'Bambu Gading Mandul'...."
Soka sempat tertawa pelan dan buru-buru me-
nutup mulutnya dengan tangan sambil melengos ke
samping. Raka Pura sempat melirik dengan cemberut,
karena ia tak suka adiknya bercanda dalam keadaan
seperti seserius itu.
"Mengapa tertawa, Soka?" tegur Resi Bayakum-ba.
"Hmm... anu, Eyang... nama bambu itu lucu
sekali menurutku. Namanya sangat aneh: 'Bambu
Gading Mandul'. Apa tidak ada nama lain, Eyang"!"
"Dari sananya memang namanya sudah begitu!"
ujar Resi Bayakumba.
"Jangan bercanda, Soka!" hardik Raka, lalu bicara kepada Resi Bayakumba, "Maaf,
Eyang.... Soka memang mudah tertawa dengan hal-hal aneh."
"Tak apa. Waktu kudengar nama itu pun aku
juga tertawa," sambil sang Resi tersenyum. Maka Raka Pura pun berani sunggingkan
senyum geli dengan ta-wa mirip orang menggumam.
"Bambu itu berwarna kuning, makanya dina-
makan bambu gading."
"Mengapa pakai mandul segala, Eyang?" tanya Soka. "Karena bambu itu tumbuh
secara tunggal! Ar-tinya, di sekitarnya tidak akan ada bambu serupa itu.
Tunasnya tidak bisa beranak, karena itulah dikatakan
'Bambu Gading Mandul'. Dan pohon bambu seperti itu
hanya ada satu di seluruh dunia. Ia tumbuh lurus ba-
gaikan baja kuning, tidak mempunyai cabang kecuali
tunas-tunas kecil yang menempel pada batangnya.
Tunas-tunas itu akan mengering, lalu terkelupas dan
tumbuh tunas baru. Jadi bambu itu tidak pernah mati
walaupun dalam cuaca segersang apa pun."
"Jadi si Darah Kula akan mati selama-lamanya
jika digebuk pakai bambu itu, Eyang?"
"Bukan digebuk!" ujar Resi Bayakumba. "Ambil beberapa jengkal batang bambu itu,
dibuat runcing,
dan ditusukkan ke tubuh Darah Kula! Entah terkena
kakinya, tangannya, dadanya atau apa saja, asal da-
rahnya terkena bambu itu, maka ia akan mati selama-
lamanya." Pendekar Kembar manggut-manggut sambil
menyimpan keheranan dalam hati mereka. Soka Pura
segera ajukan tanya setelah saling membisu selama ti-
ga helaan napas.
"Lalu, di mana pohon 'Bambu Gading Mandul'
itu bisa kami temukan, Eyang"!"
"Di lereng Gunung Mercapada!" jawab sang Resi tegas. "Hanya di lereng gunung
itulah bambu tersebut tumbuh. Di tempat lain tak ada."
"Kalau begitu, Raka...," ujar Soka kepada kakaknya. "Kita harus ke Gunung
Mercapada dulu untuk mencari bambu tersebut."
"Ya," Raka manggut-manggut. "Eyang... apakah Darah Kula tak bisa dibunuh dengan
pedang kami ini"!" sambil Raka tunjukkan pedang kristalnya yang digeletakkan di samping
kanan. Resi Bayakumba tersenyum. "Aku tahu keam-
puhan pedang itu. Aku ingat waktu itu aku masih re-
maja dan melihat dua pemuda kembar yang kesohor
namanya itu membawa Pedang Tangan Malaikat itu."
"Tahu juga dia, ya?" bisik Soka, tapi Raka
hanya mendesis menyuruh Soka diam saja.
"Pedang kalian itu memang bisa untuk membe-
lah baja, tapi tidak bisa untuk membunuh Darah Kula.
Memang sebenarnya bisa saja Darah Kula mati oleh
pedang itu, tapi lima tahun kemudian dia akan bangkit lagi," ujar sang Resi.
"Kalau begitu, Eyang...," sela Raka. "Ilmu
'Panca warsa' itu akan lenyap jika si pemiliknya dilukai dengan 'Bambu Gading
Mandul' itu"!"
"Benar, Raka! Tanpa menggunakan bambu itu,
Darah Kula akan menganggap kematiannya adalah li-
bur panjang saja. Libur selama lima tahun!"
"Tetapi bambu itu sendiri bisa kita potong pakai senjata apa pun, Eyang?" tanya
Soka. "Bisa! Bambu itu seperti bambu biasa, walau
sebenarnya kekuatannya seperti besi. Tapi jika pedang atau golok kita memang
tajam, bisa saja untuk merun-cingi bambu itu."
"Jika begitu, Eyang... sebaiknya kami harus se-
gera pergi ke Gunung Mercapada sekarang juga,
Eyang," ujar Raka Pura penuh semangat. "Tapi kami tidak tahu di mana arah Gunung
Mercapada itu. Mohon diberi petunjuk sekalian, Eyang."
"Pergilah ke arah selatan. Kalian akan mene-
mukan tiga gunung bersebelahan. Yang tengah lebih
tinggi dari kedua gunung kanan kirinya. Itulah Gu-
nung Mercapada."
Sebenarnya Raka Pura menghendaki segera be-
rangkat siang itu juga ke Gunung Mercapada. Tetapi
Resi Bayakumba menahan mereka karena rasa simpa-
tinya terhadap kedua pemuda kembar itu. Mau tak
mau Pendekar Kembar bermalam di pondok sang Resi,
sambil sang Resi membagi pengetahuan dan pengala-
man yang dimilikinya selama berkelana di rimba persi-
latan. Esoknya, pagi-pagi sekali, Pendekar Kembar
bergegas berangkat menuju arah selatan, mencari
'Bambu Gading Mandul'. Soka Pura tampak semangat
sekali dan kelihatannya tak sabar ingin lekas menda-
patkan bambu aneh itu, karena dalam hatinya ia men-
cemaskan nasib Bulan Berkabut yang sudah menung-
gu di sekitar wilayah Bukit Maut. Ternyata pancingan
Resi Bayakumba berhasil kenai sasaran, yaitu mem-
buat Soka Pura bersemangat melumpuhkan si anak ib-
lis; Darah Kula.
Namun sebelum Pendekar Kembar terlalu jauh
meninggalkan Lembah Semangit, tiba-tiba sebatang
pohon besar tumbang menghalangi langkah mereka.
Krraak...! Brruuuuuk!
Soka Pura mencekal lengan kakaknya yang
nyaris nyelonong maju, sehingga sang kakak pun ter-
henti seketika. Andai saja Raka tidak ditahan oleh
adiknya, ia akan tertimpa pohon besar tersebut.
Keduanya buru-buru melompat mundur den-
gan mata memandang sekeliling penuh waspada. Me-
nurut mereka, pohon itu tidak tumbang dengan sendi-
rinya, tetapi ada yang menumbangkannya dengan se-
buah ilmu dari jarak jauh. Pohon itu tidak jebol se
akar-akarnya, melainkan patah bagian batangnya, se-
kitar satu hasta dari tanah.
"Ada pihak yang ingin mencelakai kita, Raka!"
bisik Pendekar Kembar bungsu.
"Aku curiga pada pohon sebelah kanan kita itu!
Daunnya rimbun, sulit ditembus pandangan mata dari
sini. Jangan-jangan orang itu ada di sana!"
"Pohon yang mana" Ada beberapa pohon yang
berdaun rindang."
"Salah satu dari pohon-pohon itu! Entah yang
mana." "Kalau begitu hantam saja dengan jurus gabungan!"
"Baik! Aku gunakan jurus 'Cakar Matahari'!"
Raka Pura segera sentakkan tangannya ke de-
pan membentuk cakar tengkurap. Dari tangan itu ke-
luarlah sinar putih berbentuk seperti pisau runcing.
Claap...! Soka Pura menggunakan jurus 'Cakar Bumi'
dengan menyentakkan tangan ke depan dalam kea-
daan telapak tangan terbuka. Wuut...l Telapak tangan
itu keluarkan sinar merah seperti piring bergerigi dengan percikan bunga api di
tepiannya. Claaap...!
Kedua sinar itu melesat cepat ke arah pohon
berdaun rimbun itu. Ketika hendak menerobos dedau-
nannya, kedua sinar itu saling berbenturan.
Blaaam, blegaaarrr...!
Seberkas cahaya merah berkerlip dengan san-
gat lebar. Cahaya merah itu bukan hanya menghantam
pohon itu saja, namun tiga-empat pohon di sekitarnya
juga terkena bias cahaya tersebut. Dalam sekejap be-
berapa pohon di sekitar situ menjadi hitam kering dan berasap. Lebih dari
delapan pohon yang mengalami
nasib seperti itu akibat terkena hawa panas dari Jurus gabungan tadi. Beberapa
pohon ada yang langsung
tumbang dalam keadaan sudah menjadi arang bera-
sap. Ledakan yang terjadi tadi sangat dahsyat. Geta-
rannya merambat ke mana-mana. Daun-daun pohon
yang tidak terkena kerliapan cahaya merah tadi men-
jadi rontok, berguguran. Tanah pun terasa oleng se-
saat. Batu-batu bersusun saling berjatuhan, bahkan
batu besar yang tinggi sempat menjadi retak karena
gelombang ledakan yang menyebar luas itu.
Tetapi sebelum kedua sinar tadi bertabrakan,
Pendekar Kembar sempat melihat sekelebat bayangan
yang melesat dari atas pohon yang dituju. Bayangan
itu berkelebat sangat cepat dan menerabas daun-daun
pohon lainnya. Zrra, zrrak, zraak...! Pendekar Kembar hanya bisa ikuti dengan
pandangan mata sesaat. Setelah ledakan terjadi, mereka berkelebat mengejar
bayangan yang keluar dari pohon tersebut. Mereka
mengejar dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai',
sehingga dalam beberapa saat saja mereka berhasil
menghadang gerakan bayangan tersebut. Soka Pura
justru menerjang langsung kelebatan orang yang mela-
rikan diri itu, sehingga orang tersebut terpental dan jatuh terbanting setelah
membentur pohon. Brruus...!
Bruuuk...! Soka Pura sendiri juga terpental ke belakang
dan jatuh terhempas dengan berguling-guling. Ma-
kiannya keluar secara beruntun walaupun tak ada
yang memperhatikan makian itu.
Kejap berikut, Raka Pura segera berhadapan
dengan orang yang dikejarnya. Sementara itu, Soka
menggeliat bangkit dengan menyeringai karena pung-
gungnya terganjal batu ketika jatuh terhempas tadi.
Namun setelah Soka melihat siapa orang yang
keterjangnya tadi, matanya menjadi terbelalak dan
mulutnya terperangah. Rasa sakitnya nyaris hilang be-
gitu pandangan matanya menatap seraut wajah cantik
berhidung mancung dan berbibir menggairahkan. Wa-
jah cantik itu milik seorang perempuan bertubuh sek-
al, dengan dadanya yang montok tertutup kutang be-
ludru warna hijau muda. Kain penutup bawahnya
berwarna merah jambu, jubah lengan panjangnya juga
berwarna merah jambu. Tampaknya pakaian itu ter-
buat dari kain cukup mahal.
Perempuan cantik berambut panjang disanggul
rapi, dengan hiasan semacam mahkota kecil dari emas
berbatu mirah delima itu, mengenakan kalung dan ge-
lang dari emas dan batuan permata. Dilihat dari pe-
nampilannya, perempuan berusia sekitar dua puluh
delapan tahun itu tampaknya bukan perempuan biasa.
Aroma wewangiannya yang menyebar dan terhirup
oleh hidung kedua pemuda tampan itu menampakkan
sebagai wewangian berkelas ningrat, bukan wewangian
perempuan desa.
Soka Pura juga memperhatikan sabuk perem-
puan itu yang terbuat dari logam emas berhias batuan
permata. Pada sabuk itu terdapat sebilah pedang pen-
dek yang bersarung dan bergagang logam lapis emas
berukir, dengan hiasan batu-batu mirah delima sebe-
sar biji jagung.
Pendekar Kembar merasa belum mengenal pe-
rempuan itu, sehingga Raka Pura segera perdengarkan
suaranya dengan nada tegas dan berwibawa.
"Kita belum saling mengenal, tapi mengapa kau
sudah berani mencoba ingin mencelakai kami" Apa sa-
lah kami terhadapmu"!"
"Jika kau tanyakan kesalahanmu, kembalikan
ingatanmu pada sebuah pusaka yang bernama Pedang
Bulan Madu!" jawab perempuan bermata sedikit sayu itu.
Raka Pura dan Soka Pura saling beradu pan-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang dengan dahi berkerut. Dalam benak mereka sege-
ra terlintas tentang pusaka yang sempat diperebutkan
antara pihak keluarga Nalapraya dengan Ratu Rias
Rindu. Pada akhirnya, pusaka tersebut berhasil dicuri oleh Sampurgina, namun
Pendekar Kembar segera
berhasil merampas pedang tersebut, (Baca serial Pen-
dekar Kembar dalam episode: "Pedang Bulan Madu").
Soka Pura segera maju satu langkah dan bicara
kepada perempuan cantik yang sejak tadi lebih banyak
memperhatikan dirinya ketimbang memperhatikan Ra-
ka. "Apakah kau yang bernama Ratu Rias Rindu"!"
Senyum tipis berkesan angkuh mekar di bibir
yang bikin hati lelaki gemas itu.
"Kau cukup cerdas rupanya! Memang akulah
yang bernama Ratu Rias Rindu! Kurasa kalian sudah
sering mendengar namaku disebut-sebut oleh bebera-
pa orang."
Raka Pura menggumam dan manggut-manggut
kecil. Sikapnya masih tetap tegar.
"Lalu, apa maksudmu menumbangkan pohon
di depan kami"!"
"Pukulanku terlalu cepat, sehingga sebelum ka-
lian melintas melangkah di bawahnya, pohon itu su-
dah tumbang lebih dulu! Mestinya kalian berdua mati
tergencet pohon besar Itu! Karena, kematian kalian
adalah pembalasan yang setimpal!"
Ratu Rias Rindu berkata dengan mengecilkan
matanya, sebagai tanda kebencian dan dendam yang
menyatu dalam hatinya. Namun ia sendiri juga bersi-
kap tenang dan penuh waspada. Karena pada saat itu,
Pendekar Kembar mulai merenggangkan jarak; Raka
ke kiri dan Soka ke kanan. Sang Ratu merasa akan
diserang dari dua arah, sehingga bola matanya selalu
melirik ke kanan dan ke kiri bergantian.
"Rupanya kau ingin membalas dendam atas
kematian Kembang Setaman; orang andalanmu itu"!"
ujar Raka Pura.
"Pembalasanku bukan saja untuk kematian
Kembang Setaman dan Udaya...."
?"O, jadi Udaya akhirnya tewas juga?" pikir Ra-ka Pura dalam hati, yang kala itu
memang menyerang
Udaya hingga orang tersebut terluka parah.
Sang Ratu menyambung ucapannya yang ber-
nada geram itu.
"Setelah Bandra menyebutkan ciri-ciri orang
yang menyerang Udaya, aku menarik kesimpulan
bahwa orang itu adalah Pendekar Kembar, entah yang
mana!" "Kembang Setaman bukan mati di tanganku, Nyai Ratu!"
"Terserah pembelaanmu!" ujar Ratu Rias Rindu dengan nada datar. "Yang jelas,
kehancuran istana Ba-ra membuatku harus lakukan pembalasan kepada ka-
lian!" "Kami tidak menghancurkan istana Bara!"
sanggah Soka tiba-tiba.
"Kami justru baru tahu sekarang kalau istana
Bara hancur!" timpal Raka Pura.
"Tak perlu berlagak bodoh, Pendekar Kembar!"
sentak Ratu Rias Rindu. "Kalian menyerang istanaku malam-malam, setelah itu
kabur entah ke mana! Para
pengikutnya banyak yang tewas, istana Bara sendiri
hancur, kalian ratakan dengan tanah. Untung aku
masih bisa selamatkan diri dan bersembunyi untuk
mengobati lukaku. Tapi sekarang aku sudah sehat dan
harus lakukan pembalasan kepada kalian!"
Tiba-tiba kedua tangan Ratu Rias Rindu me-
nyentak ke kanan-kiri dengan telapak tangan berjari
rapat lurus ke depan. Suuut...! Dari ujung jari-jarinya keluar dua larik sinar
merah yang semakin jauh makin
melebar. Satu sinar merah mengarah kepada Raka, sa-
tu lagi mengarah kepada Soka. Slaap, slaap...!
Pendekar Kembar sempat terkejut, karena tak
disangka-sangka sang Ratu akan menyentakkan kedua
tangannya yang semula kelihatan tenang-tenang saja
itu. Maka dengan cepat Pendekar Kembar sentakkan
napas yang tertahan, suuut...! Jurus 'Badai Terbang'
membuat keduanya meluncur ke atas bagaikan roket.
Wuut, wuuut...! Kedua sinar merah yang melebar da-
lam bentuk pipih itu akhirnya menghantam pohon-
pohon di belakang Pendekar Kembar. Clas, clas, clas,
clas...! Lebih dari delapan pohon tumbang seketika itu juga karena diterjang
sinar merah. Pohon-pohon itu
bagaikan terpotong dengan senjata yang amat tajam,
sehingga potongannya tampak rapi sekali.
Pendekar Kembar yang meluncur turun segera
sama-sama lepaskan jurus 'Cakar Matahari'-nya. Dari
tangan mereka masing-masing melesat sinar putih se-
perti pisau runcing. Clap, claap...! Sebelum kaki mere-ka menampak ke bumi lagi,
kedua sinar putih itu telah menghantam Ratu Rias Rindu.
Tetapi perempuan itu tak mau tinggal diam. Si-
nar-sinar putih itu dihantam dengan sinar merah bun-
dar seperti telur burung puyuh yang keluar dari mas-
ing-masing telapak tangannya. Clap, clap...!
Blegaaarr...! Blegaaarrr...!
Gelombang ledakan menyentak kuat ke berba-
gai penjuru, menyebarkan udara panas yang membuat
kulit-kulit pohon terkelupas dan berkerut. Sentakan
gelombang ledakan itu telah membuat tubuh Ratu Rias
Rindu terlempar ke belakang dan jatuh di tumpukan
akar-akar pohon yang mirip tambang itu. Wuuut...!
Bruuuk...! Rupanya kekuatan perempuan itu belum bisa
kalahkan kekuatan sinar putihnya Pendekar Kembar.
Gelombang ledakannya lebih banyak menghempas ke
arah Ratu Rias Rindu. Tak heran jika Pendekar Kem-
bar hanya terdorong ke belakang beberapa langkah,
tapi tak sampai jatuh. Sedangkan hawa yang mener-
jang mereka adalah hawa hangat, tak sepanas yang
menerjang Ratu Rias Rindu.
"Keparat kalian!" geram Ratu Rias Rindu penuh murka. Ia berusaha bangkit dengan
cepat dan menahan rasa panas di sekujur tubuhnya. Kulit tubuh yang
kuning langsat itu sekarang berubah menjadi keme-
rah-merahan mirip udang rebus. Keadaan itu mem-
buatnya semakin murka kepada Pendekar Kembar, se-
hingga ia merasa perlu mencabut pedangnya. Sreet...!
"Hiaaaahih...!" sang Ratu berteriak keras-keras sambil lakukan lompatan ke
depan. Ia bagaikan terbang dengan cepat. Pedangnya diarahkan ke depan
dan ditujukan kepada Raka Pura.
Sret, sret...! Pendekar Kembar pun segera men-
cabut Pedang Tangan Malaikat-nya yang terbuat dari
beling kristal itu. Raka Pura sengaja diam di tempat
hadapi kedatangan lawannya, tapi Soka Pura berkele-
bat menerjang dari samping lawan. Wuuuz...!
Begitu melihat kelebatan dari arah samping,
Ratu Rias Rindu cepat-cepat sentakkan pedangnya ke
pohon yang dilintasinya. Tuubs...! Pedang itu bagaikan pegas yang dapat
memantulkan gerakan pemiliknya.
Gerakan terbang sang Ratu pun akhirnya ber-
pindah arah. Ia melambung dalam gerakan bersalto ke
arah samping. Akibatnya terjangan Soka Pura mene-
mui tempat kosong. Bruuus...!
"Aaow...!" Soka Pura memekik kesakitan karena ia menabrak pohon yang ditusuk
dengan pedangnya
sang Ratu. Melihat adiknya kecele oleh gerak tipuan sang
Ratu, Raka Pura segera berkelebat menyusul sang Ra-
tu yang sedang melambung turun dari ketinggiannya.
Wees...! Weess...!
Raka Pura terkejut, karena pada saat itu ada
bayangan lain yang berkelebat juga bersimpang arah
dengannya. Bayangan itu bergerak lebih cepat, sehing-
ga lebih dulu menerjang Ratu Rias Rindu di udara.
Tubuh sang Ratu bagai terbawa ke arah lain bersama
bayangan yang menerjangnya itu, sedang Raka Pura
menerjang tempat kosong. Namun ia tak sampai ke-
cele, menabrak pohon seperti Soka Pura tadi.
Terdengar suara aneh yang mengejutkan Pen-
dekar Kembar. Trak, trak, blaaammm, blegaaaar...!
"Aaah...!" terdengar suara pekikan perempuan yang pendek dan hanya sekilas itu.
Kejap berikut, So-ka Pura yang sudah berdiri kembali sambil mengusap-
usap kepalanya yang membentur pohon itu segera ter-
belalak melihat Ratu Rias Rindu terkapar di bawah
pohon dalam keadaan setengah bersandar pada batang
pohon tersebut. Mulutnya keluarkan darah kental wa-
lau tak banyak. Tapi kulit tubuhnya semakin tampak
merah bagai tersiram air mendidih. Raka Pura yang
sudah berdiri tegak di sebelah sana juga terperanjat
melihat keadaan sang Ratu yang kulit tangannya ter-
kelupas mengerikan itu.
Raka Pura dan Soka Pura sama-sama terperan-
gah setelah mengetahui munculnya sosok lain yang
berada tak jauh dari Ratu Rias Rindu. Sosok lain itu
adalah bayangan yang tadi menerjang sang Ratu. Ter-
nyata dia adalah seorang kakek berjenggot panjang pu-
tih dengan rambut, kumis, dan alisnya serba putih.
Tokoh tua itu mengenakan jubah biru muda dan
membawa tongkat hitam berhias kepala ular kobra.
Pendekar Kembar tak asing lagi dengan wajah tua itu
yang tak lain adalah Dewa Perintang.
"Teruskan perjalanan kalian. Biar kuurus pe-
rempuan sesat ini!" ujar Dewa Perintang kepada Pendekar Kembar.
"Baik, Eyang...!" Jawab Raka Pura, lalu meng-hormat dengan sedikit bungkukkan
badan, demikian
pula yang dilakukan oleh Soka. Pedang mereka yang
berkilauan cahaya ungu seperti cahaya fosfor itu sege-ra dimasukkan ke dalam
sarung. Pada saat itu, Ratu Rias Rindu berusaha bang-
kit dengan menahan rasa sakit. Agaknya ia masih te-
tap penasaran kepada Pendekar Kembar dan tak mau
pedulikan si Dewa Perintang.
Pikirnya, "Sebelum aku mati di tangan Dewa
Perintang, mereka berdua harus mati lebih dulu!"
Dewa Perintang berseru kepada sang Ratu, "Ji-
ka kau ingin menuntut balas atas kehancuran istana-
mu dan kematian orang andalanmu; si Kembang Se-
taman, tuntutlah aku! Karena akulah yang lakukan
semua itu, Rias Rindu! Pendekar Kembar hanya me-
lumpuhkan Sampurgina, yang mencuri Pedang Bulan
Madu dari makam sahabatku: Sabandanu!"
"Heeaaaat...!" Ratu Rias Rindu semakin liar dan ganas. Ia melompat kembali
dengan pedang sentakkan
ke depan. Ujung pedang itu keluarkan sinar biru lurus ke arah Raka Pura.
Slaaap...! Tapi Dewa Perintang segera patahkan sinar biru
itu dengan menyodokkan tongkatnya dan dari ujung
tongkat yang berhias kepala ular kobra itu keluar sinar merah sekecil lidi.
Claap...! Sinar merah itu menghadang gerakan sinar biru dari pedangnya Ratu Rias
Rindu. Deeebbs...! Sinar biru itu padam seketika tanpa timbulkan ledakan
menggelegar. Sinar merah yang melesat dari tongkat Dewa Perintang segera kembali
ke arah semula, bagaikan terisap oleh tongkat Dewa Pe-
rintang, masuk ke ukiran mulut ular kobra tersebut.
Syuuurrb...l "Jahanam kau, Dewa Perintang! Hiaaah...!" teriak Ratu Rias Rindu yang
mengandalkan jurus-jurus
bersinarnya. Ia sentakkan tangan kirinya, dan ,dari telapak tangan kiri melesat
sinar biru juga yang berbentuk seperti telur burung puyuh. Sinar itu menyerang
Dewa Perintang. Tapi si Dewa Perintang hanya diam di
tempat, matanya memandang tajam pada sinar biru
Itu. Tiba-tiba sinar biru tersebut berhenti di udara setengah kelap, kemudian
melesat berbalik arah meng-
hantam Ratu Rias Rindu. Claap...!
"Hahhh..."!" Ratu Rias Rindu terkejut melihat sinarnya berbalik menyerangnya. Ia
segera lepaskan
sinar kedua yang sama besar dan sama warnanya. Si-
nar kedua dari telapak tangannya itu belum sempat
melesat, baru menggumpal di telapak tangan sudah
dihantam sinar pertama. Blaaar...!
"Aaaaa...!" Ratu Rias Rindu memekik histeris dengan tubuh terlempar sejauh
delapan langkah.
Brruuk...! Tubuhnya membentur pohon dengan keras.
Ia mengerang kesakitan di sana. Tangan kirinya men-
jadi hitam hangus dan tak bisa digerakkan lagi. Si De-wa Perintang berjalan
menghampirinya dengan lang-
kah tegas. "Celaka! Aku harus kabur dari sini! Tak mung-
kin aku bisa hadapi si tua bangka itu!" pikir Ratu Rias Rindu. Maka ia pun
bergegas bangkit dengan kerahkan
tenaganya. Kemudian pergi dengan lompatan cepat
menerjang semak ilalang. Blaaas...! Gusraaak...!
Dewa Perintang tak banyak bersuara. Lelaki tua
itu tahu-tahu lenyap dari pandangan mata Pendekar
Kembar. Gerakannya yang teramat cepat itu mem-
buatnya seperti menghilang. Tapi Pendekar Kembar
sempat melihat kilatan bayangan kecil yang melesat
mengejar Ratu Rias Rindu.
"Habis sudah!" gumam Soka Pura. "Riwayat hidup perempuan itu habis sudah
diterjang kesaktian
Eyang Dewa Perintang!"
"Ya, sayangnya kita tak bisa melihat kematian
si Ratu Rias Rindu itu! Kita harus lanjutkan langkah
kita, sesuai pesan Eyang Dewa Perintang tadi, Soka!"
Pendekar Kembar bungsu hanya sentakkan ke-
dua pundak pertanda setuju untuk lanjutkan langkah.
Tapi sebelum mereka jauh dari tempat pertarungan,
tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan yang me-
manjang dan memilukan hati.
"Aaaaaaa...!!"
Pendekar Kembar terkejut serentak, lalu mere-
ka saling pandang dengan wajah sedikit tegang.
"Apakah itu kematian Ratu Rias Rindu"!" tanya Soka. "Kurasa bukan! Suaranya
tidak mirip suara perempuan tadi. Kurasa... itu suara seorang gadis! Bu-
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan perempuan seusia Ratu Rias Rindu!"
"Celaka! Jangan-jangan si Bulan Berkabut"!"
ujar Soka Pura semakin tegang. Kemudian ia melesat
pergi ke arah datangnya jeritan menyayat hati tadi.
Raka Pura pun segera mengikutinya. Wuuuuzzz,
wuuuzzz...! * * * 7 KEDUA pemuda tampan kembar rupa itu tiba
di tepi kubangan besar. Kubangan besar itu semula
adalah sebuah telaga yang sudah mengering. Bagian
dasar telaga sudah ditumbuhi oleh rumput dan tana-
man liar lainnya. Kedalamannya tak seberapa, dapat
dijangkau dengan satu kali lompatan saja.
Di dasar bekas danau yang luasnya hampir
menyamai lapangan bola itu, Pendekar Kembar melihat
jelas seorang gadis yang sedang dipaksa melayani em-
pat lelaki kurus berwajah angker. Gadis itu tak dikenal oleh Soka maupun Raka,
namun hati mereka tergerak
melihat pemerkosaan tersebut.
Si gadis hanya bisa menangis dan pasrah, ka-
rena seseorang tadi telah melukai lengannya ketika ia menolak melayani nafsu
binatang keempat orang kurus itu. Mereka merobek-robek pakaian si gadis, hingga
gadis itu menjadi seperti bayi baru lahir. Tubuhnya
yang terkapar diciumi oleh seseorang yang berambut
panjang sepundak. Ciuman itu merayap dengan ganas
di sekujur tubuh si gadis, sementara yang lain menon-
ton dan menertawakan.
Gumpalan dada si gadis segera disambar oleh
orang berbaju biru, sementara orang berambut sepun-
dak menciumi sekitar betis sampai paha si gadis.
Agaknya gadis itu sudah kehabisan tenaga karena me-
ronta sejak tadi dan tak pernah berhasil melawan ke-
kuatan keempat lelaki kurus itu. Maka dengan mu-
dahnya dua orang tadi menggerayangi tubuh si gadis
sampai akhirnya yang berambut sepundak tak kuat
menahan diri, maka temannya yang mendusal-dusal di
dada si gadis disingkirkan.
"Minggir, aku dulu yang ingin berlayar!"
"Hah, hah, hah, hah...! Kau sudah tak kuat lagi
rupanya!" teman-temannya menertawakan, tapi mere-ka mundur selangkah untuk beri
kesempatan kepada
si rambut sepundak itu untuk berlayar lebih dulu. Ba-
ju pun dilepaskan, dan lelaki berusia sekitar dua pu-
luh delapan tahun itu segera menerkam si gadis den-
gan luapan gairahnya yang menyerupai binatang. Si
gadis sampai tersentak-sentak oleh guncangan ganas
orang tersebut, suara rintihannya adalah rintihan ke-
hancuran, bukan rintihan kenikmatan.
"Aauh, aaauh, aaauh...!" si lelaki mengerang-ngerang dengan kepala terdongak dan
mata terpejam. Mereka benar-benar liar dan berjiwa iblis.
Pada saat itulah, Pendekar Kembar yang sem-
pat terpukau di tempat segera sadar. Sekalipun mere-
ka sangat terkejut hingga membuat Raka sempat sedi-
kit shock, namun akhirnya Soka Pura yang sadar lebih
dulu dengan apa yang terjadi dl depan matanya, segera mengawali gerakannya
sambil berteriak dan melesat
menggunakan jurus 'Jalur Badai'.
"Hentikaaaaaann...!!" Wuuuzz...!
Dalam sekejap Soka Pura berhasil menerjang
lelaki yang sedang asyik menikmati pelampiasan gai-
rahnya di atas si gadis. Bruuus...! Lelaki itu terlempar karena terjangan Soka
Pura, terpisah dari si gadis.
Sementara si gadis sendiri sempat tersentak dan
menggelinding ke samping dengan jerit ketakutan lebih terdengar serak.
"Uuhk...!" lelaki yang tadi diterjang Soka Pura segera mengerang dan menggeliat
untuk bangkit. Sementara itu, tiga temannya menjadi murka dan mas-
ing-masing mencabut senjata mereka berupa golok be-
raneka bentuk. "Bangsat! Siapa dia, berani mengacaukan ren-
cana kita?" teriak salah seorang.
"Habisi dia!" seru yang satunya.
"Heeaaat...!"
Wus, wus, wus, wus, wus...!
Soka Pura diserang tiga orang yang memba-
batkan goloknya secara bertubi-tubi. Soka hindari te-
basan-tebasan yang bersimpang siur di sekitarnya
dengan tubuh meliuk ke sana-sini.
Pada saat itu, lelaki yang terhalang kepuasan-
nya tadi segera bangkit dan mengambil goloknya yang
di geletakkan di rerumputan samping kaki si gadis. Setelah mengencangkan tali
celananya, lelaki yang belum sempat mengenakan bajunya itu segera menebaskan
senjatanya ke punggung Soka.
Melihat Pendekar Kembar bungsu ingin dilukai
lawan licik itu, Pendekar Kembar sulung tak tinggal di-am. Dari atas kubangan
itu ia lepaskan Jurus 'Tangan
Batu'nya yang mengandung kekuatan tenaga dalam
sangat besar itu. Wuuut...!
Bruuus...! "Aaahh...!" orang yang mau menebaskan golok ke punggung Soka itu terlempar
sejauh lima langkah
dari tempatnya. Kepalanya membentur sebongkah ba-
tu sebesar kambing.
Prrook...! "Aaaakh...!" orang itu memekik tersendat, kepalanya berlumur darah, tubuhnya
terkulai di tempat
dan menggeliat-geliat tanpa bisa bersuara lagi.
Wuuuz...! Raka Pura segera turun ke dasar ku-
bangan besar itu. Ia menyambar si gadis dan segera
dibawa menjauh, naik ke atas kubangan.
Si gadis menangis terisak-isak. Raka Pura mele-
takkannya di bawah pohon. Tapi ia segera mundur
dengan wajah terkejut tegang, karena ia baru sadar
bahwa pakaian si gadis masih tertinggal di dasar ku-
bangan sana. Sekalipun pakaian itu sudah rusak, tapi
sebenarnya masih bisa untuk menutupi tubuh si ga-
dis. "Gawat!" geram hati Raka Pura. Maka ia segera kembali ke dasar kubangan untuk
mengambil sisa pakaian si gadis. Jantungnya sempat berdetak-detak ce-
pat karena masih terbayang keadaan si gadis yang bu-
gil. Ia selalu merasa malu dan takut pada diri sendiri jika melihat 'perabot'
lawan jenisnya.
Ketika Raka mengambil pakaian si gadis, ter-
nyata Soka Pura sudah berhasil tumbangkan dua
orang yang mengeroyoknya. Satu orang masih belum
tumbang, walau sudah terluka memar di bagian dagu
dan telinganya berdarah.
Jleeg...! Orang berbaju biru yang masih bisa
berdiri itu terkejut melihat kemunculan Raka Pura
yang kembar dengan Soka itu. Ia segera teringat ten-
tang Pendekar Kembar yang sering dibicarakan oleh
teman-temannya.
Maka serta-merta orang berbaju biru itu mele-
sat pergi tinggalkan teman-temannya. Ia tampak keta-
kutan sekali dan tak mau peduli lagi nasib ketiga te-
mannya yang sekarat itu.
"Soka, gadis itu kubawa ke atas! Ini pakaian-
nya! Urus dia, aku akan mengejar orang yang berbaju
biru itu!"
"Tak perlu!" ujar Soka sambil terengah-engah.
"Biarkan dia lari! Aku tahu dia orangnya Jagat Lancang!" "Dari mana kau tahu?".
"Dia salah satu orang yang menangkap Bunga
Dewi. Biarkan dia lapor pada ketuanya! Jika perlu, kita hadapi sekalian si Jagat
Lancang itu!" ujar Soka masih tampak diliputi kemarahan. Namun akhirnya mereka
berdua sama-sama naik untuk mengurus si gadis.
Hanya saja, ketika mereka tiba di tempat si ga-
dis, tiba-tiba tempat itu dikepung oleh orang-orang
bertubuh kurus dan berwajah kusam. Dari tubuh ku-
rus mereka, Soka segera dapat menyimpulkan bahwa
mereka adalah orang Perguruan Tengkorak Sungsang.
Sebab menurut keterangan Bunga Dewi, orang Pergu-
ruan Tengkorak Sungsang bertubuh kurus semua, tak
ada yang gemuk sedikit pun.
"Cepat kenakan pakaianmu!" ujar Soka kepada gadis itu. Pakaian tersebut segera
dilemparkan ke tubuh si gadis yang gemetar dan sangat ketakutan.
Raka Pura pandangi orang-orang yang mengeli-
linginya. Mereka terdiri dari delapan orang. Salah satu ada yang berkepala
gundul, bermata cekung, bertubuh
jangkung, dan mengenakan rompi hitam tepian kun-
ing. Orang yang mirip tengkorak hidup itu menggeng-
gam tongkat berujung tiga mata pisau dalam bentuk
seperti garpu. "Pucuk di cinta ulam tiba!" ujar orang gundul berusia sekitar lima puluh tahun
itu. "Kalian pasti yang bergelar Pendekar Kembar!"
"Benar! Lalu, mau apa kau"!" tanya Soka dengan nada ketus.
"Siapa kau sebenarnya"!" Raka menyela dengan pertanyaan pula.
Orang gundul itu masih tampak tenang. Se-
nyumnya lebih pantas dikatakan sebagai seringai iblis.
Setidaknya senyum itu adalah senyum tengkorak yang
kegelian. "Perlu kalian ketahui, akulah ketua dan guru di
Perguruan Tengkorak Sungsang! Aku yang dikenal
dengan nama Jagat Lancang!"
"O, kau...?" sahut Soka dengan semakin sinis.
"Kalian kucari ke mana-mana, hampir saja aku
ke pondoknya si Bayakumba untuk mencari kalian.
Tapi ternyata kalian ada di sini. Dan kulihat murid-
muridku kalian buat sekarat di bawah sana!"
"Karena murid-muridmu hendak memperkosa
gadis itu!" sahut Soka Pura yang tampak bernafsu sekali untuk menghajar si Jagat
Lancang. "Gadis itu tidak laku dijual!" ujar Jagat Lancang. "Kami salah tangkap. Ternyata
dia sudah tidak perawan lagi. Maka kulepaskan dia, dan tak ada laran-gan bagi
murid-muridku yang ingin menikmati hiburan
alakadarnya. Mengapa kau mengusik urusan kami,
Pendekar Kembar"! Kami tidak pernah mengusik uru-
san kalian!"
"Tindakanmu sangat tak manusiawi, Jagat
Lancang!" geram Raka Pura. "Kau perdagangkan gadis-gadis ini, seperti kau jualan
kacang rebus saja!"
"O, itu urusanku, Nak!" ujar si Jagat Lancang dengan senyum sinis. "Kalau kau
mau jualan kacang rebus, silakan! Aku akan jualan barang lain. Seharusnya kalian
tak perlu mengusik urusanku, Pendekar
Kembar. Laporan dari beberapa anak buahku menga-
takan bahwa kau sepertinya merasa iri karena tak bisa menjual kesucian kepada
Darah Kula!"
"Kami tak akan lakukan perbuatan sehina itu,
Jagat Lancang!" sahut Raka Pura dengan tegas.
"Kalau begitu kalian tak perlu ikut campur
urusanku."
Jagat Lancang berpaling ke belakang, bicara
dengan muridnya.
"Urus mereka yang ada di bawah. Bawa pulang
secepatnya! Aku akan beri pelajaran sebentar kepada
anak-anak bodoh ini!"
Tiga orang bergegas pergi ke bawah kubangan.
Jagat Lancang melangkah pelan ke samping dengan
mata melirik Pendekar Kembar.
"Kalian harus kuberi pelajaran agar tahu adat
se dikit terhadap urusan orang lain!"
Pendekar Kembar merenggangkan jarak. Tan-
gan mereka sudah saling meremas geram, sepertinya
tak sabar ingin segera menghajar Jagat Lancang.
"Kalau ku ajukan muridku untuk melawan ka-
lian, itu terlalu buang-buang waktu," ujar si gundul Jagat Lancang. "Jadi
bersiaplah menerima pelajaran langsung dariku, Anak-anak Bodoh!"
Soka Pura melirik kakaknya. Yang dilirik juga
segera membalas lirikan. Soka Pura memberi isyarat
dengan anggukkan kepala kecil. Tangan mereka mulai
pegangi gagang pedang dan siap cabut.
Tapi tiba-tiba Jagat Lancang sentakkan tong-
katnya ke depan. Wuuut...! Clap, clap, clap...! Tiga sinar biru bagaikan kilat
berkerilap menyambar Raka
dan Soka. Gerakan ketiga sinar itu melesat ke sana-
sini membingungkan Pendekar Kembar.
Raka Pura segera melompat ke samping dan
berguling di tanah, maka seberkas sinar biru berkelok-kelok itu melesat di
sampingnya, lenyap di udara belakang Raka.
Sementara itu, Soka Pura segera berkelit meli-
ukkan badannya dengan kedua kaki merendah, karena
dia diserang dua sinar biru berkelok-kelok. Salah sa-
tunya berhasil menyambar lengan kanannya. Cras...!
"Aaow...!" Soka memekik kesakitan. Lengannya segera koyak panjang dan
menimbulkan luka bakar
yang menghangus, mengepulkan asap tipis. Soka me-
nyeringai menahan lukanya.
"Itu pelajaran pertama!" ujar Jagat Lancang.
"Jika kalian bisa lolos dari lima pelajaran ku, maka kalian boleh bebaskan
gadis-gadis yang sedang menung-
gu saat pengiriman ke Bukit Maut itu! Heh, heh, heh,
heh...." Melihat adiknya terluka, Raka Pura menjadi marah, dan segera lakukan
penyerangan. Ia berkelebat
menerjang Jagat Lancang. Wuuuz...! Tapi si gundul
kurus itu ternyata cukup lincah. Dengan melompat se-
dikit ke samping, ia berhasil kibaskan tongkatnya.
Wut, cras...! Lalu ia berputar memunggungi Raka dan
sodokkan ujung tongkat bagian bawah ke belakang.
Dees...! "Aahk...!" Raka Pura bagai diseruduk empat ekor kerbau. Tubuhnya
terpental nyaris Jatuh ke kubangan besar itu. Untung ada sebongkah batu yang
menahannya, walau untuk itu ia harus menahan sakit
karena punggungnya membentur batu tersebut.
Raka Pura terperanjat sekejap melihat perge-
langan tangannya berdarah. Rupanya tiga mata pisau
di ujung tongkat lawan berhasil melukai pergelangan
tangannya yang segera menjadi hitam dan berbusa.
Asap tipis mengepul dari luka tersebut.
"Celaka! Senjata itu mempunyai racun yang
berbahaya bagi darahku!" geram Raka Pura dalam hatinya. "Raka...!" seru Soka
Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pura dengan mata terbelalak melihat kakaknya terluka. Tapi sebelum Soka ber-
gerak dekati kakaknya, sang kakak sudah bangkit dan
berseru dengan suara menggeram.
"Soka, lepaskan 'Cakar Matahari!"
Maka Pendekar Kembar bungsu pun segera le-
paskan jurus 'Cakar Matahari' yang mampu keluarkan
sinar putih berbentuk pisau itu. Soka Pura keluarkan
kekuatan jurus itu secara beruntun dan mengarah ke
sekitar betis dan paha si Jagat Lancang.
Clap, clap, clap, clap...!
Melesatnya sinar putih yang begitu cepat itu se-
lalu berhasil ditangkis dengan kibasan tongkat si Jagat Lancang. Setiap benturan
sinar putih dengan tiga mata pisau menimbulkan ledakan yang tak seberapa besar.
Duaar, duaar, duaar, duaaar...!
Pada saat Jagat Lancang sibuk hindari sinar-
sinar putih tersebut, Raka Pura segera melesat ke uda-ra dan berjungkir balik ke
arah lawan. Tubuh Pende-
kar Kembar sulung itu melayang di atas kepala Jagat
Lancang. Orang gundul itu terdesak mundur oleh seran-
gan sinar putih beruntun, sehingga ia tak sempat per-
hatikan bagian atasnya. Tahu-tahu kedua tangan Raka
Pura menggeprak kepala gundul si Jagat Lancang se-
perti menepuk seekor nyamuk. Praak...!
Jurus 'Tapak Sunyi' dipergunakan oleh Pende-
kar Kembar sulung dalam keadaan tubuh menukik tu-
run dari ketinggiannya. Para murid si Jagat Lancang
terperanjat melihat kepala gundul gurunya dikeprak
oleh lawan. Namun mereka menjadi lega, karena si Ja-
gat Lancang masih tetap berdiri dengan senyum sinis-
nya. Serangan Soka pun berhenti begitu melihat ka-
kaknya sudah berhasil menggeprak kepala lawan. Ra-
ka Pura sempat pergunakan kepala itu untuk tum-
puan dua jarinya yang membuat tubuhnya melenting
ke arah depan dalam gerakan bersalto. Wuuk...!
Jleeg...! Ia berdiri di samping Pendekar Kembar bung-
su. Keduanya sama-sama menatap Jagat Lancang.
Ketua perguruan itu masih berdiri dengan kaki
sedikit merenggang. Tegak dan tampak menyungging-
kan senyum sinis. Namun kejap berikutnya, para mu-
rid yang semula merasa lega karena menyangka gu-
runya tidak mengalami cedera apa pun, tiba-tiba harus terbelalak tegang dan
gemetaran. Karena kepala gundul sang Guru tiba-tiba menjadi retak, darah merem-
bas melalui garis keretakan itu.
Brruuk...! "Ooh..."! Guru...?""!!" teriak para murid.
Tentu saja si Jagat Lancang tak hiraukan se-
ruan tegang para muridnya itu, karena kepalanya telah pecah dan nyawanya pun
melayang bergentayangan di
alam bebas. Melihat gurunya ditumbangkan oleh Pen-
dekar Kembar, maka para murid pun akhirnya melari-
kan diri dan tak ada yang mau mengalami nasib seper-
ti sang Guru. Mereka masih ingin punya kepala utuh
dan bisa untuk menggeleng atau mengangguk.
"Pemburu mahkota dara itu telah tewas, Raka!
Apa yang harus kita lakukan sekarang"!"
"Obati luka kita dulu, baru bebaskan para ga-
dis yang ditawan mereka!" jawab Raka Pura, kemudian melirik gadis yang tadi
diselamatkan. "Aku tahu tempat mereka disekap! Aku akan
bantu kalian!" ujar si gadis dengan suara masih bergetar.
Setelah mengobati luka dengan jurus pengoba-
tan yang disebut jurus 'Sambung Nyawa' itu, Pendekar
Kembar akhirnya pergi ke pusat Perguruan Tengkorak
Sungsang. Gadis yang nyaris diperkosa oleh empat
orang itu memandu perjalanan mereka. Namun ketika
mereka tiba di sana, ternyata para murid perguruan
tersebut sedang sibuk mengungsi untuk hindari ben-
cana yang diperkirakan akan datang dari sepasang
pemuda kembar itu. Mereka segera bubar begitu meli-
hat kedatangan Raka dan Soka. Masing-masing me-
nyelamatkan diri sendiri-sendiri.
Para tawanan cantik itu akhirnya dibebaskan
oleh Pendekar Kembar. Mereka gagal dijadikan barang
dagangan yang akan dijual kepada Darah Kula. Tetapi
bukan berarti Pendekar Kembar sudah berhasil sela-
matkan para gadis di muka bumi, namun masih ada
ancaman maut bagi gadis-gadis lainnya. Karena si
anak iblis itu tetap akan membutuhkan darah perawan
semasa ia masih hidup dan belum ada yang bisa mem-
buatnya mati abadi.
Hanya dengan 'Bambu Gading Mandul', si anak
Iblis itu bisa dibunuh dan mati secara abadi. Tapi apakah Pendekar Kembar akan
berhasil dapatkan 'Bambu
Gading Mandul' itu, Jika ternyata bambu itu hanya
ada satu dan mungkin saja sudah ditebang orang yang
tak mengerti khasiat gaib bambu tersebut"
SELESAI Segera menyusul:
TUMBAL ASMARA BUTA
E-Book by Abu Keisel - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Tangan Geledek 18 Pendekar Aneh Dari Kanglam Karya Sin Liong Pedang Langit Dan Golok Naga 24