Pencarian

Petaka Seorang Pendekar 1

Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar Bagian 1


PETAKA SEORANG PENDEKAR Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Petaka Seorang Pendekar
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Suasana di Ibukota Kerajaan Bumi Segara
tampak berbeda dengan hari-hari biasanya. Di tepi sepanjang jalan utama menuju
istana kerajaan
terpancang beraneka warna bendera dan umbul-
umbul. Pada setiap mulut jalan atau gang kecil di-hiasi gapura-gapura indah dari
dedaunan dan bunga-bungaan. Seolah kota itu tengah menyam-
but tamu agung.
Keadaan di dalam kota tampak sepi dari ke-
giatan sehari-hari penduduknya. Ternyata, di ista-na kerajaan tengah
dilangsungkan suatu upacara
adat pertunangan antara Putri Sekar Arum, anak
Raja Galih Kertarejasa, dengan Pangeran Danu-
wirya putra mahkota dari Kerajaan Tanjung Anom.
Upacara itu berlangsung cukup meriah. Tidak
hanya para pembesar istana dan prajurit kerajaan
yang menyaksikan upacara kebesaran yang baru
kali ini dilaksanakan selama masa pemerintahan
Raja Galih Kertarejasa. Banyak warga kota yang
menyempatkan diri turut melihatnya.
Alunan suara gamelan mengiringi tembang
yang menyiratkan makna penyambutan bagi para
tamu agung istana. Upacara itu dilaksanakan di
Pendopo Agung yang bernama Balai Paseban. Yai-
tu, tempat penyambutan dan perjamuan bagi ta-
mu-tamu istimewa kerajaan,
Rombongan tamu yang menyertai Pangeran
Danuwirya semua duduk bersila di lantai sebelah
kanan, berhadapan dengan para undangan serta
pembesar-pembesar istana. Sementara di tengah
agak ke belakang, kursi-kursi berukir indah didu-
duki oleh sepasang calon pengantin yang didam-
pingi kedua orangtua masing-masing.
Setelah upacara pertunangan dan jamuan
makan bagi semua undangan, acara dilanjutkan
dengan suguhan hiburan. Empat orang gadis can-
tik dengan gemulai menari di tengah para tamu.
Sesekali terdengar tepuk tangan memberi sambu-
tan, meningkahi alunan gamelan yang mengiringi
para penari. Bahkan ada yang ikut menggerak-
gerakkan kepala atau pundaknya. Namun, tak ada
yang berani tampil di depan untuk turut menari,
seperti layaknya hiburan ronggeng atau tayub.
Di tengah-tengah rombongan yang menyer-
tai Pangeran Danuwirya tampak seorang pemuda
tampan berambut ikal dan gondrong sampai ke
pundak. Warna dan jenis pakaiannya terlihat me-
nyolok. Rombongan itu mengenakan pakaian sera-
gam istana Kerajaan Tanjung Anom. Sementara
pemuda tampan yang sejak tadi tersenyum-
senyum sendiri berpakaian rompi terbuat dari ku-
lit ular. "Hi hi hi...! Kalau saja tidak di dalam istana tentu aku sudah turun
menari. Hmmm. Cantiknya
para penari istana itu!" ujar pemuda berpakaian rompi dari kulit ular sambil
menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa cekikikan. Sebentar kemudian,
ia menggaruk-garuk rambutnya yang awut-
awutan. Gadis cantik berpakaian putih yang duduk
bersila di sebelah kiri pemuda itu melotot. Dengan
gemas disikutnya pinggang si pemuda.
Beberapa tamu tampak memperhatikan
tingkah laku pemuda berpakaian kulit ular. Ada
yang menggeleng-geleng karena merasa heran dan
lucu. Ada pula yang tersenyum sinis dan men-
ganggap pemuda itu tidak tahu sopan santun.
Melihat sikap kawannya tidak berubah,
bahkan kelihatan semakin konyol, gadis berpa-
kaian putih segera mencubit keras-keras pinggang
si pemuda. "Aaauw...!"
Pemuda berpakaian rompi kulit ular kontan
menjerit kesakitan. Orang-orang yang tengah asyik menyaksikan tarian langsung
menoleh kaget ke
arah pemuda itu. Namun seperti tak peduli, pe-
muda yang di pinggangnya terselip sebuah suling
berkepala naga tetap tertawa cengengesan. Hal itu tentu saja membuat gadis
berpakaian putih semakin jengkel.
"Ah ah ah...! Mau ke mana kau, Mei...?"
tanya pemuda itu sambil tertawa. Lalu, dia meno-
leh ke kanan "Dogol, kau ikuti Mei Lie!" perintah-nya kepada pemuda bertubuh
gemuk di samping-
nya. "Baik, Kang Sena," jawab pemuda gemuk itu seraya bangkit dari duduknya.
Bergegas ditinggal-kannya tempat itu mengikuti gadis berpakaian pu-
tih yang bernama Mei Lie.
Sementara itu pemuda berpakaian rompi
kulit ular yang tak lain Pendekar Gila tetap me-
nyaksikan para penari melenggak-lenggok di pen-
dopo. Mulutnya terus cengengesan dengan sesekali
tangannya menggaruk-garuk kepala seolah merasa
gatal. * * * Di saat pagelaran tari itu berlangsung, ten-
gah terjadi suatu pembicaraan antara keluarga Ke-
rajaan Bumi Segara dengan keluarga dari Tanjung
Anom. Mereka mengambil tempat di sebuah ruan-
gan dalam istana.
Raja Galih Kertarejasa dan permaisurinya
menerima dengan senang hati usulan Prabu Wira-
buana, ayahanda Pangeran Danuwirya. Mereka
sepakat akan mengadakan pesta perkawinan Putri
Sekar Arum dengan Pangeran Danuwirya pada
dua purnama mendatang.
"Baik. Kalau rencana kita memang begitu,
pekan ini juga kita harus segera menyebarkan un-
dangan itu," ujar Prabu Wirabuana dengan tersenyum bahagia.
"Ya, ya. Paling tidak kita mesti mengundang
lima kerajaan mancanegara yang terdekat, Kakan-
da Prabu," ujar Raja Galih Kertarejasa. "Kurasa peristiwa seperti ini sangat
tepat bagi kita untuk saling menjalin persahabatan dan persaudaraan. Bu-
kan begitu?"
Mendengar ucapan Raja Galih Kertarejasa,
yang lain menganggukkan kepala membenarkan.
"Tapi...." Tiba-tiba penguasa tertinggi Kerajaan Bumi Segara itu mengeryitkan
kening. "Hmm.
Kakanda Prabu, siapa pemuda berpakaian rompi
kulit ular dan kedua kawannya yang turut bersa-
ma rombonganmu itu?" tanya Raja Galih Kertarejasa kemudian
"Wah, wah! Sampai aku terlupa, Dinda. Aku
sungguh merasa kedatangan tamu penting dalam
upacara pertunangan putraku ini. Dialah pendekar
yang membantu kami menumpas para pemberon-
tak dua pekan lalu. Tanpa kehadiran Pendekar Gi-
la dan kedua kawannya itu mungkin kerajaan
akan banyak kehilangan putra-putra terbaiknya,
Dinda...."
"Pendekar Gila"!" Terkejut juga Raja Galih Kertarejasa mendengar nama pemuda
yang sejak tadi menarik perhatiannya. "Hmm. Jadi dia pendekar muda itu" Aku memang pernah
mendengar nama itu," ujarnya kemudian seraya mengangguk-angguk.
Kedua pemimpin kerajaan itu pun membi-
carakan Pendekar Gila sesekali keduanya terse-
nyum ketika melihat tingkah laku Pendekar Gila
yang lucu. Tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya
yang semua terdiri dari para pembesar istana,
Pendekar Gila tersenyum-senyum dan tertawa ce-
kikikan sendiri. Kelakuannya itu membuat Mei Lie, kekasihnya, jengkel dan
meninggalkannya.
Sementara itu tak jauh dari arena tempat
pagelaran tari tampak Senapati Saka Bawana,
Panglima Ganjar Seta, dan beberapa panglima
tinggi lainnya duduk dengan tenang. Kewibawaan
mereka sebagai prajurit utama kerajaan jelas ter-
pancar dari sinar mata dan garis wajah yang te-
nang dan dingin. Di antara mereka tampak seo-
rang lelaki tua berjenggot putih mengenakan pa-
kaian lurik lengan panjang. Kepalanya yang be-
rambut putih tertutup blangkon lurik hitam.
Lelaki tua berjenggot putih yang adalah
mertua Raja Galih Kertarejasa tak henti-hentinya
memperhatikan Pendekar Gila. Sesekali mulutnya
yang tipis menyunggingkan senyum, merasa geli
dengan tindakan Sena. Ayahanda Permaisuri Ayu
Mustika ini sebenarnya seorang kepala desa. Meski putrinya telah terpilih
menjadi istri Raja Galih Kertarejasa, dirinya tetap setia memimpin Desa Tingal.
Tiba-tiba Kepala Desa Tingal itu menge-
rutkan kening ketika dilihatnya seorang prajurit
menghampiri Pendekar Gila. Prajurit itu membi-
sikkan sesuatu ke telinga Sena yang masih asyik
menonton tarian. Setelah mengangguk beberapa
kali, pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
bangkit dari duduknya. Lalu, melangkah mengiku-
ti prajurit yang memanggilnya.
Ternyata Sena dibawa menuju tempat per-
temuan Raja Galih Kertarejasa dengan calon be-
sannya, Prabu Wirabuana.
"Ah, Sena! Sengaja kau kami undang kema-
ri. Raja Galih ingin sekali berkenalan dengan-
mu...," sambut Prabu Wirabuana ketika Sena masuk ke ruangan.
"Wah, ampunkan hamba, Kanjeng Gusti se-
kalian!" ujar Sena dengan tersenyum.
"Hm. Pendekar Gila," ujar Raja Galih Kertarejasa. Diperhatikannya Sena lekat-
lekat. "Kami sangat bergembira dapat berjumpa denganmu.
Sudah lama sebenarnya aku mendengar namamu,
tapi baru kali ini dapat bertatap muka denganmu.
Sungguh tak menduga aku dapat berjumpa den-
gan seorang pendekar sejati sepertimu, Sena."
"Ah ah ah...." Sena tertawa. Tak ada perubahan pada sikapnya, meski yang
dihadapinya itu
seorang raja. "Kanjeng Gusti terlalu memuji hamba," ujarnya sambil tersenyum.
"Mungkin saat ini tidak ada orang yang tak
mengenal namamu, Sena," sahut Raja Galih Kertarejasa. "Bahkan, di kalangan
rakyat biasa namamu telah mereka kenal. Maka kebetulan sekali kau turut datang
menyaksikan pertunangan kedua pu-
tra-putri kami. Secara pribadi aku mengundang-
mu, sempatkan datang pula pada pesta pernika-
han mereka kelak!"
"Terima kasih. Terima kasih, Kanjeng Gusti.
Ini suatu kehormatan yang terlalu tinggi bagi
hamba. Mendapat undangan langsung dari seo-
rang raja seperti Raja Galih."
Pendekar Gila mengangguk-anggukkan ke-
pala dengan tersenyum.
Matahari telah condong ke arah barat. Si-
narnya tak terasa menyengat lagi. Alunan gamelan
dari istana Kerajaan Bumi Segara masih terdengar.
Namun para penarinya sudah tak ada di pendopo.
Para tamu pun sudah meninggalkan tempat itu.
Rombongan yang menyertai Pangeran Danuwirya
dan Prabu Wirabuana telah diantarkan ke tempat
peristirahatan. Malam ini mereka akan menginap
di istana dan esok pagi akan kembali ke Kerajaan
Tanjung Anom. Dua hari dua malam perjalanan telah mem-
buat para prajurit Kerajaan tanjung Anom kelela-
han. Apalagi mereka tidak beristirahat sama seka-
li. Ketika tiba di istana Kerajaan Bumi Segara,
upacara pertunangan segera dilaksanakan. Keda-
tangan mereka ternyata terlambat dari rencana.
Mestinya mereka datang sehari sebelum upacara
dilangsungkan. Sehingga, ketika malam belum larut mereka
semua telah tertidur lelap. Begitu pula dengan
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Dogol yang masing-
masing mendapatkan kamar sendiri.
Semua merasa tenang dan puas. Upacara
pertunangan itu terlaksana dengan lancar tanpa
mendapat hambatan apa pun.
2 Pernikahan agung yang telah direncanakan
itu pun berlangsung dengan segala kemeriahan.
Pesta besar yang dihadiri para pembesar istana
dan tamu-tamu dari kerajaan mancanegara dilak-
sanakan tepat sesuai dengan rencana. Siang hari
diadakan acara perjamuan di Pendopo Agung yang
merupakan Balai Paseban. Rumah yang diguna-
kan untuk menjamu tamu-tamu agung. Malam
harinya berlangsung suguhan hiburan berupa ke-
senian. Namun, ada sesuatu yang aneh dan menge-
jutkan. Pernikahan itu ternyata antara Putri Sekar Arum dengan Pendekar Gila!


Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang pendekar
muda yang saat ini tengah menjadi pembicaraan di
kalangan dunia persilatan.
Tanpa meninggalkan sikap konyolnya,
meskipun tengah duduk berdampingan dengan
Putri Sekar Arum sebagai sepasang pengantin, Se-
na Manggala tetap tersenyum-senyum sendirian.
Bagaimana hal itu bisa terjadi" Tak seorang
pun yang tahu. Semua menerima peristiwa ini se-
bagai sesuatu yang mesti terjadi. Meskipun semua
tamu menggelengkan kepala penuh keheranan dan
bertanya-tanya dalam hati. Tak satu pun di antara mereka yang berani melontarkan
pertanyaan. Suasana aneh melingkupi ruang pesta istana.
Undangan yang tersebar sampai pada raja-
raja dan pembesar istana mancanegara adalah
pernikahan antara Putri Mahkota Sekar Arum
dengan Pangeran Danuwirya, putra Prabu Wirabu-
ana dari Kerajaan Tanjung Anom. Lalu, bagaimana
peristiwa yang mestinya suatu aib bagi keluarga
Istana Kerajaan Bumi Segara ini bisa terjadi" Bu-
kankah Pendekar Gila telah memiliki kekasih seo-
rang pendekar wanita yang berjuluk Bidadari Pen-
cabut Nyawa" Apakah Pangeran Danuwirya dan
keluarga besar Istana Kerajaan Tanjung Anom ti-
dak marah atas kejadian ini" Bukankah mereka
telah meminang Putri Sekar Arum dua purnama
yang lalu"
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya dipendam
dalam benak para undangan. Mereka benar-benar
tak mengerti menghadapi kejadian aneh ini.
Pendekar Gila sendiri sebagai mempelai la-
ki-laki tampaknya tak menghiraukan keheranan
para tamu. Dengan tertawa-tawa dia terus mera-
patkan tubuhnya ke tubuh Putri Sekar Arum yang
cantik jelita. Sungguh sangat menyolok pemandangan
yang terlihat di atas kursi singgasana. Seorang putri raja cantik jelita duduk
berdampingan dengan
seorang pemuda berambut gondrong awut-awutan.
Pakaiannya yang berupa rompi dari kulit ular tetap dikenakannya.
Tidak diganti dengan pakaian pengantin se-
bagaimana mestinya. Sikapnya yang konyol seperti
orang gilapun tak bisa dihilangkannya selama du-
duk di tengah pesta itu.
Hingga pesta pernikahan agung itu usai,
para tamu meninggalkan istana dengan berbagai
pertanyaan yang mengusik hati.
Beberapa hari kemudian sebagai lanjutan
dari rangkaian upacara pernikahan, kedua mem-
pelai mengadakan perjalanan menuju suatu pulau.
Mereka akan menyeberang lautan dalam rangka
berbulan madu. Tanpa suatu upacara, Putri Sekar Arum
dan Pendekar Gila dilepas oleh Raja Galih Kertarejasa dan Permaisuri Ayu Mustika
di pelabuhan. Belasan perahu layar besar dan kecil telah siap
mengantarkan keberangkatan mereka.
Ketika matahari baru sepenggalah ting-
ginya, rombongan itu pun berangkat. Putri Sekar
Arum duduk berdampingan dengan suaminya,
Pendekar Gila, di sebuah perahu layar khusus. Di
dalam perahu itu turut pula para dayang penga-
suh Putri Sekar Arum dan beberapa pengawal pili-
han. Di belakang perahu mereka tampak belasan
perahu layar yang membawa para prajurit pen-
gawal. Mereka siap menjaga dan mengamankan
kalau terjadi sesuatu hal yang tak diharapkan,
Tak lama kemudian rombongan itu telah
sampai di tengah lautan. Angin yang bertiup ken-
cang dan ombak yang tidak terlalu besar membuat
perahu-perahu terus melaju mendekati pulau.
Pendekar Gila tampak bahagia sekali. Wa-
jahnya cerah ceria dan selalu memperlihatkan se-
nyumnya yang lucu.
"Aha, Diajeng Sekar. Apa yang akan kita la-
kukan sesampainya di pulau itu?" tanya Sena
dengan tersenyum-senyum memandangi pulau
yang sudah tampak di hadapannya.
"Kita akan bersenang-senang di sana," jawab Putri Sekar Arum dengan tersenyum
menggo- da. "Kau akan melihat sesuatu yang belum pernah kau jumpai di dunia ini, Kakang
Sena Manggala. Kita akan merasakan kebahagiaan surga dunia...."
"Hi hi hi...! Benarkah begitu, Diajeng?"
tanya Sena tertawa.
"Ceburkan aku ke laut, dan biarkan aku di-
telan ombak kalau aku berdusta, Kakang Sena!
Pulau itu adalah milik kerajaan yang berarti milik ayahku. Di sana akan kita
nikmati pemandangan
yang sangat indah dan menakjubkan. Istana indah
dan megah dengan sebuah taman sebagai tempat
bercengkerama keluarga istana."
Namun belum selesai Putri Sekar Arum
menggambarkan pulau impian itu, tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan.
Sebuah perahu layar
tanpa penumpang mendadak muncul di depan pe-
rahu yang ditumpangi Putri Sekar Arum dan Pen-
dekar Gila. Perahu itu seolah keluar dari dalam
air. Belum sempat Pendekar Gila menyadari apa
yang terjadi, perahu tanpa penumpang itu melun-
cur ke arah perahunya.
Snaattts! Braakkk! Pendekar Gila melesat ke udara dan tak
sempat menolong Putri Sekar Arum. Dengan cepat
dia hinggap di atas perahu aneh yang menabrak-
nya. Sedangkan perahu yang tadi ditumpanginya
hancur berkeping-keping. Para dayang dan prajurit pengawal kerajaan tewas
tercebur ke laut yang ti-ba-tiba berombak besar.
Suasana kacau tak terelakkan. Para prajurit
yang berada di perahu-perahu layar ke belakang
berteriak-teriak ketakutan. Mereka segera menga-
rahkan perahu mendekati tempat kejadian. Na-
mun sia-sia. Putri Sekar Arum telah lenyap ditelan air laut.
Pendekar Gila berdiri termangu penuh ke-
heranan menyaksikan kejadian yang tak terduga
itu. Dia masih berpegangan erat pada tiang layar
perahu aneh yang menabrak perahunya.
* * * "Kang Sena...! Kakang Sena...!"
Terdengar suara lembut seorang wanita
memanggil Pendekar Gila. Wanita itu menepuk-
nepuk pundak Sena yang tengah terbaring di tem-
pat tidur. "Heh"! Mana Putri Sekar Arum" Sekar
Arum!" teriak Sena sambil melompat bangkit dari tidurnya.
"Hei..., ini aku! Aku Mei Lie, Kakang Sena!
Hi hi hi...! Kau pasti bermimpi," ujar Mei Lie dengan cekikikan. Dipandanginya
Sena yang kebin-
gungan. "Astaga...! Aku bermimpi buruk, Mei."
Sena membelalakkan mata dan menggaruk-
garuk kepalanya.
"Enak sekali rupanya tidurmu, Kakang,"
ujar Mei Lie. "Lihat matahari di sebelah timur!
Mentang-mentang tidur di dalam istana kerajaan
sampai tak ingat pagi...."
Sena tak memperhatikan ucapan kekasih-
nya. Matanya tak berkedip memandang ke luar
kamar. Hatinya merasa bingung dan aneh. Piki-
rannya masih diliputi oleh kejadian yang baru saja dialami dalam mimpinya.
"Mei, firasatku mengatakan ada sesuatu
yang akan terjadi," ujar Sena bersungguh-
sungguh. "Bahkan, mungkin akan menyangkut
keselamatan diriku..."
"Ada apa sebenarnya" Apa yang kau lihat
dalam mimpimu, Kang Sena?" Mei Lie langsung
menanggapi ketika melihat kesungguhan kekasih-
nya. Tidak biasanya Sena bersikap seperti itu.
"Tidak hanya melihat, Mei. Aku mengalami
sendiri dalam mimpiku tadi," jawab Sena masih dengan wajah bersungguh-sungguh.
Tak tampak senyum konyol seperti biasanya jika berhadapan
dengan Mei Lie.
Sena pun menceritakan semua kejadian da-
lam mimpinya. Dari mulai pesta perkawinan yang
aneh sampai hilangnya Putri Sekar Arum yang tak
diketahui di mana rimbanya. Padahal, semua
dayang dan prajurit yang berada satu perahu den-
gan Sena ada dan terapung di air.
"Alaah..., itu kan hanya kembang tidurmu
saja, Kakang!" sahut Mei Lie tidak percaya. "Kita baru saja menghadiri pesta
pertunangan Pangeran
Danuwirya dengan Putri Sekar Arum. Kau tentu
kesengsem lalu terbawa sampai ke dalam tidurmu.
Lagi pula, mana ada mimpi di pagi hari seperti itu membawa suatu firasat!"
Mei Lie ternyata tetap tak percaya. Diang-
gapnya Sena hanya ingin menggodanya. Mereka
kemarin memang bersenda gurau menyinggung
masalah perkawinan yang akan berlangsung anta-
ra kedua putra mahkota itu.
"Sudahlah! Mari kita segera pergi ke Balai
Paseban! Rombongan Pangeran Danuwirya akan
kembali ke Tanjung Anom siang ini juga. Bukan-
kah kita telah sepakat untuk mengikuti mereka
sampai Tanjung Anom?" ujar Mei Lie mengin-
gatkan. Tanpa menjawab Sena bergegas mengikuti
langkah Mei Lie menuju Balai Paseban. Sesam-
painya di sana Mei Lie dan Pendekar Gila bertemu
dengan Dogol yang rupanya telah sampai lebih du-
lu. "Kang Sena," sapa Dogol dengan mengga-
ruk-garuk perutnya yang buncit.
"Dogol, kita akan menyertai rombongan
Pangeran Danuwirya kembali ke Tanjung Anom,"
ujar Mei Lie mendahului Sena. Sebab, dilihatnya
Sena tampak masih memikirkan mimpinya.
Melihat wajah Pendekar Gila yang muram,
Dogol mengerutkan kening. Ingin hatinya ber-
tanya, tapi rasa takut mencegahnya. Akhirnya ia
hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Tak lama kemudian kereta yang membawa
Pangeran Danuwirya dan Prabu Wirabuana serta
permaisurinya berangkat meninggalkan istana Ke-
rajaan Bumi Segara. Para anggota rombongan ber-
jalan beriringan ke belakang. Mei Lie, Sena, dan
Dogol pun melangkah mengikuti mereka
Beberapa prajurit Kerajaan Bumi Segara
mengantarkan mereka sampai ke tapal batas kota.
Sebelum mereka kembali ke istana, Patih Abiyasa
yang memimpin para prajurit itu sempat menyapa
Pendekar Gila. "Sudilah kiranya Tuan Pendekar menghadiri
pernikahan mereka...!"
"Terima kasih, Kanjeng Patih. Semoga tidak
ada aral melintang hingga kami dapat datang nan-
ti," sahut Sena seraya memandangi lelaki bertubuh gagah yang duduk di punggung
kuda putih itu.
Patih Abiyasa tersenyum mendengar jawa-
ban Sena. Lalu, segera digebahnya kudanya me-
ninggalkan tapal batas kota dan kembali ke istana.
Sementara rombongan Pangeran Danuwirya telah
jauh meninggalkan kotaraja.
* * * Setelah melakukan perjalanan selama seha-
ri semalam, Pangeran Danuwirya dan rombongan
sampai di Istana Kerajaan Tanjung Anom. Begitu
pula Pendekar Gila, Mei Lie, dan Dogol yang senga-ja menyertai mereka.
Setelah beristirahat beberapa saat, Pende-
kar Gila mohon diri untuk meninggalkan Kerajaan
Tanjung Anom. Mereka bertiga akan melanjutkan
perjalanan ke arah timur. Tujuan mereka sebenar-
nya adalah menuju kediaman Singo Edan, guru
Pendekar Gila. Sudah lama Sena tidak berjumpa
dengan gurunya. Mungkin sejak kejadian menge-
naskan yang hampir merenggut jiwa Sena, yaitu
peristiwa peti mati itu. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar Gila
dalam episode: "Peti Mati Untuk Pendekar Gila").
"Wah, kenapa terburu-buru sekali, Tuan
Pendekar?" sambung Pangeran Danuwirya men-
dengar permohonan Sena. "Kenapa tidak berma-
lam dulu di sini. Bukankah perjalanan kita cukup
melelahkan...?"
"Aha, perjalanan seperti ini sudah menjadi
pekerjaan kami, Kanjeng Pangeran," ujar Sena sambil cengengesan dan menggaruk-
garuk kepalanya. "Benar, Tuan Pendekar. Tapi, adakah sesuatu yang sangat penting
sehingga kalian tergesa-
gesa seperti ini?" ujar Prabu Wirabuana yang duduk di samping putranya. Wajahnya
tersenyum penuh kewibawaan memandangi Sena, Mei Lie,
dan Dogol. "Ah ah ah...! Apalah yang bisa dianggap
penting bagi para pengembara seperti kami ini,
Kanjeng Prabu, " sahut Sena ringan. Meskipun saat itu berhadapan dengan seorang
penguasa tertinggi di Kerajaan Tanjung Anom, sikap pemuda
itu tak bisa lepas dari kelucuannya.
"Baiklah, kalau begitu," Prabu Wirabuana manggut-manggut. "Selamat jalan! Sekali


Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi kami atas nama seluruh rakyat dan negeri Tanjung
Anom mengucapkan ribuan terima kasih atas ban-
tuan Tuan, menumpas para pemberontak tempo
hari," ujarnya dengan sikap penuh wibawa dan hormat kepada Pendekar Gila.
"Aha, sekali lagi, Kanjeng Prabu. Pekerjaan
seperti itu sudah menjadi kewajiban kami. Tolong-
menolong seperti itu adalah tugas kita sebagai
manusia," ujar Sena berdalih.
"Ya, ya. Tapi kami masih mempunyai per-
mintaan kepada kalian. Sudilah Tuan Pendekar
datang dalam upacara pernikahan putra kami
nanti!" pinta Prabu Wirabuana.
"Tentu. Tentu saja. Mudah-mudahan tidak
ada aral melintang. Kami akan berusaha datang
pada pernikahan Kanjeng Pangeran Danuwirya...."
Pangeran Danuwirya tersenyum gembira.
Begitu pula ibu dan ayahandanya yang duduk
mendampinginya.
"Sekarang kami mohon diri, Kanjeng."
"Selamat jalan, Tuan Pendekar!"
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Dogol mening-
galkan Istana Kerajaan Tanjung Anom. Prabu Wi-
rabuana, permaisuri, dan Pangeran Danuwirya
serta beberapa orang panglima tinggi turut me-
nyertai mereka sampai di pintu gerbang istana.
Dengan wajah menggambarkan kekaguman mere-
ka memandangi Mei Lie, Pendekar Gila, dan Dogol
sampai ketiganya lenyap di belokan jalan utama
kotaraja. 3 Bulan muda merangkak perlahan di angka-
sa, seolah hendak menghindari awan kelabu yang
berarak-arak mengejarnya. Cahayanya yang redup
tak sampai ke pemukaan bumi sehingga menim-
bulkan suasana gelap. Angin bertiup keras meng-
hempaskan dedaunan. Terdengar suara gemeri-
siknya yang ditingkahi bebunyian binatang-
binatang malam.
Namun, mendadak bunyi belalang dan
jangkrik itu terhenti ketika sesosok bayangan berkelebat. Sosok bayangan yang
tidak jelas itu melesat melintasi tapal batas kotaraja Kerajaan Bumi
Segara. Malam telah larut. Suasana di kota kerajaan tampak sepi dan lengang. Tak
seorang pun terlihat berada di luar rumah kecuali di sebuah kedai makan yang
memang buka sampai pagi. Namun tak
seorang pun yang melihat ketika sosok bayangan
itu melesat di jalan utama kota yang menuju ista-
na. Padahal, kedai makan itu terletak di tepi jalan utama tak jauh dari tapal
batas. Sosok bayangan itu berhenti tak jauh dari
pintu gerbang istana.
"Hh.... Aku harus berhasil menyelinap di is-
tana tanpa menimbulkan keributan. Tapi penja-
gaan tampaknya sangat ketat," gumam sosok
bayangan itu. Ia ternyata seorang pemuda beram-
but ikal sampai ke pundak. Ikat kepalanya terbuat dari kulit ular. Sama dengan
pakaian rompi yang
dikenakannya. Sebuah suling berwarna kuning
keemasan dan berkepala naga terselip di ikat pinggangnya.
Agak lama pemuda itu mengawasi pintu
gerbang yang dijaga enam prajurit bersenjata lengkap. Mereka tengah mengobrol di
gardu yang terle-
tak di samping kanan pintu gerbang.
"Sampai di mana kira-kira rombongan Kan-
jeng Pangeran Danuwirya, Kang Marjan?" tanya salah seorang prajurit yang
terdengar di telinga
pemuda berompi kulit ular.
"Kalau mereka tak mendapat hambatan,
tentu sekarang tadi sudah sampai di Kerajaan
Tanjung Anom. Apalagi mereka semua menung-
gang kuda," jawab prajurit bernama Marjan.
"Eh, tapi bagaimana dengan Pendekar Gila
dan kedua kawannya itu" Mereka akan jalan ka-
ki?" timpal prajurit lain yang berdiri di depan gardu.
"Tanpa kendaraan pun Pendekar Gila dan
kawannya dapat mengikuti mereka. Hanya, entah-
lah kalau si gendut yang berperut buncit itu," sahut yang lain.
Seketika mereka tertawa teringat lelaki gen-
dut kawan Pendekar Gila. Yang dimaksud mereka
tentu si Dogol. Mereka pasti tak mengira kalau si Dogol yang selalu tampak lucu
dan seperti orang
bloon itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh.
Selama mengikuti pengembaraan Pendekar Gila,
Dogol sempat belajar ilmu meringankan tubuh ke-
pada tuannya, Sena Manggala. Memang itulah
yang diharap-harapkan selama perjalanannya
dengan Pendekar Gila, semenjak peristiwa di Kuta-
reja dulu. (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Gila dalam episode:
"Serikat Serigala Me-rah").
Ketika para prajurit jaga tertawa-tawa, pe-
muda berpakaian rompi kulit ular melenting ke
udara dan hinggap di atas tembok benteng istana.
Kemudian, melompat turun dengan ringan dan
tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Dilihat dari gerakannya yang begitu ringan
dan cekatan pemuda ini jelas memiliki ilmu tinggi.
Setidak-tidaknya dalam hal ilmu meringankan tu-
buh. Tak satu pun prajurit jaga yang mendengar
langkahnya apalagi melihatnya.
Pemuda itu terus menyelinap dengan cepat
menuju bangunan utama istana. Ketika sampai di
depan serambi istana langkahnya membelok ke
kanan. Melewati depan bangsal tempat tinggal pa-
ra prajurit kerajaan, pemuda itu terus melesat ke arah belakang istana. Yang
dituju adalah bangunan indah yang terletak di sebelah kanan belakang istana.
Rumah ini merupakan tempat tinggal putri
raja. Sampai di depan bangunan keputren ka-
kinya berhenti melangkah. Sebentar kedua tan-
gannya bergerak ke atas kepala. Lalu, kedua tela-
pak tangannya ditarik sampai ke depan dada. Se-
raya menghembuskan napas dari mulutnya kedua
telapak tangannya dihentakkan perlahan ke de-
pan. Krettt! Tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka se-
cara perlahan. Pemuda itu pun melangkah masuk
tanpa ragu-ragu. Seakan telah paham benar kea-
daan setiap ruangan yang ada di rumah itu. Ka-
kinya langsung menuju kamar tidur Putri Sekar
Arum. Hanya dengan meniupkan hawa dari mu-
lutnya dia berhasil kembali membuka pintu kamar
yang semula terkunci.
Sebuah tempat tidur berukir dan bertilam
kain halus berwarna putih tampak di depan mata.
Di atasnya sesosok tubuh wanita cantik jelita tengah tertidur lelap dengan tubuh
telentang. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu sempat membelalakkan mata dan
menelan ludah ketika melihat
tubuh mulus Putri Sekar Arum. Apalagi ketika ma-
tanya menatap paha sang putri yang sedikit ter-
singkap dari pakaian tidurnya.
Pemuda itu mendengus seolah hendak
membuang perasaan yang mengganggunya ketika
teringat tujuannya memasuki kamar Putri Sekar
Arum. Tanpa membuang-buang waktu, dia cepat-
cepat menotok tubuh Putri Sekar Arum. Setelah
itu diangkatnya tubuh molek itu dan segera diba-
wa melesat keluar.
Namun, belum sempat langkahnya sampai
di pintu depan muncul seorang dayang wanita.
"Hah"! Aaaa...!" Wanita setengah tua itu kontan berteriak sejadi-jadinya melihat
tuannya terkulai di atas pundak seorang pemuda yang be-
lum dikenalnya. "Tolong! Tolong...!"
Sebelum melanjutkan larinya, pemuda itu
berbalik dan menotok tubuh dayang wanita hingga
terkulai jatuh ke lantai.
Namun, teriakan dayang itu sempat terden-
gar oleh para prajurit jaga. Baik yang berada di
pintu gerbang maupun mereka yang berjaga di se-
putar istana. Bahkan prajurit yang berada di
bangsal-bangsal berlarian menuju rumah Putri
Sekar Arum. Mereka langsung mengeroyok pemu-
da berpakaian rompi yang masih memanggul tu-
buh putri junjungannya. Pertempuran satu lawan
puluhan prajurit itu pun terjadi.
Hiruk-pikuk jeritan para prajurit yang ter-
kena serangan pemuda itu memecah keheningan
malam. Pemuda itu ternyata memiliki kepandaian
tinggi. Setiap pukulan atau babatan pedang penge-
royoknya dapat ditangkis hanya dengan tangan
kosong. Dalam sekejap saja beberapa orang praju-
rit telah berjatuhan.
Sementara itu seorang prajurit berlari me-
nuju bangunan tempat kediaman Patih Abiyasa
yang tidak begitu jauh dari bangunan utama ista-
na. Orang nomor dua di Kerajaan Bumi Segara
yang merupakan wakil raja itu rupanya belum
mendengar keributan di depan istana.
Tok, tok, tok! "Kanjeng Patih, Kanjeng Patih!" teriak prajurit itu.
Patih Abiyasa keluar dengan tergesa-gesa.
Lelaki gagah berpakaian hitam ketat itu menatap
heran wajah prajurit di depannya.
"Hmm. Ada apa malam-malam begini kau
membangunkan aku, Prajurit?" tanya Patih Abiyasa.
"Ampun, Kanjeng Patih! Putri Sekar Arum
diculik seseorang!"
"Heh"!"
Patih Abiyasa langsung melesat mendahului
prajurit itu menuju depan istana. Sementara pe-
muda berpakaian rompi kulit ular yang menculik
Putri Sekar Arum tengah menghadapi Senapati
Saka Bawana dan Panglima Ganjar Seta. Mereka
adalah prajurit-prajurit gagah yang merupakan
panglima tinggi kerajaan.
Dua pukulan jarak jauh yang dilancarkan
Senapati Saka Bawana dan Panglima Ganjar Seta
berhasil dielakkan dengan baik oleh penculik itu.
Bahkan, ketika melenting di udara ia dapat meng-
hantamkan serangan jarak jauhnya. Serangkum
angin kencang melesat dan mengenai tubuh kedua
panglima itu. Kedua prajurit gagah itu pun menjerit ke-
ras. Tubuhnya terpental sampai beberapa tombak
ke belakang. Setelah berhasil menjatuhkan kedua
lawannya pemuda itu melesat cepat. Gerakannya
yang ringan tak terkejar lagi oleh para prajurit lain.
Dalam sekejap tubuhnya telah melompat keluar
dari benteng istana kerajaan. Kemudian, lenyap di telan kegelapan malam.
Beberapa orang prajurit yang mencoba
mengejar penculik itu tidak berhasil. Kecepatan la-ri mereka tak mampu
menandinginya. Mereka pun segera kembali untuk mengu-
rusi kawan-kawan mereka yang tewas dan terluka
parah. Korban-korban itu dibawa ke bangsal pra-
jurit untuk mendapat perawatan.
Kejadian yang begitu cepat itu tak sempat
disaksikan Raja Galih Kertarejasa. Meskipun sebe-
lum pemuda penculik itu melesat kabur sang raja
telah keluar dari istana.
Sementara Patih Abiyasa yang menyaksikan
pertarungan antara Panglima Ganjar Seta dan Se-
napati Saka Bawana melawan si penculik, hanya
berdiri termangu-mangu.
* * * Beberapa saat kemudian, Patih Abiyasa dan
Senapati Saka Bawana menghadap Raja Galih Ker-
tarejasa. "Ampun, Kanjeng Gusti! Kami tak dapat
menangkap penculik itu. Kejadian ini begitu cepat dan sungguh tak terduga sama
sekali," lapor Patih Abiyasa. "Tapi, menurut penglihatan hamba juga laporan
beberapa prajurit yang bertarung, penculik itu ternyata Pendekar Gila...."
"Hehhh"!" Raja Galih Kertarejasa terkejut bukan main mendengar laporan patihnya.
Hampir tak percaya hatinya mendengar penculik putrinya
ternyata Pendekar Gila. "Mana mungkin Pendekar Gila melakukan semua ini"!"
"Tapi begitulah kenyataannya, Kanjeng Gus-
ti," sahut Senapati Saka Bawana. Ia yakin benar penculik yang tadi dihadapinya
adalah Pendekar
Gila. "Hamba tidak salah lihat, Kanjeng Gusti. Kemarin kami sempat berbincang-
bincang dengan pendekar itu. Jadi, hamba jelas dapat membeda-
kan Pendekar Gila atau bukan. Dan, penculik itu
memang Pendekar Gila. Kami semua yakin benar,
Kanjeng." Dengan penuh keyakinan Senapati Saka Bawana menuturkan kesaksiannya.
Wajah Raja Galih Kertarejasa langsung me-
merah. Matanya membelalak lebar. Ia belum per-
caya benar dengan laporan kedua bawahannya.
Namun apa yang bisa diungkapkan untuk mem-
bantah kenyataan itu. Semua prajurit yakin bahwa
si penculik itu tak lain Pendekar Gila.
"Apa yang diinginkan pendekar itu" Hh...
mungkin benar laporan mereka, sebab kemarin
pendekar itu telah mengetahui banyak seluk-beluk
istana. Bahkan mungkin keikutsertaannya kemari
dalam rangka usahanya untuk menculik putriku.
Hhh... aku tak mengerti kejadian ini...."
Begitulah yang terlintas di benak Raja Galih
Kertarejasa. Semakin kalut pikirannya memikirkan
kejadian itu. Beberapa saat lamanya dia tak mam-
pu mengambil keputusan. Sehingga, para pangli-
ma yang menghadap hanya terdiam dengan bin-


Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gung. Namun, tiba-tiba....
"Senapati Saka Bawana, malam ini juga
kumpulkan semua bala tentara. Adakan pengeja-
ran! Mungkin dia belum jauh meninggalkan kera-
jaan," perintah Raja Galih Kertarejasa dengan sua-
ra bergetar, menahan amarah yang tiba-tiba mun-
cul dalam hatinya.
"Daulat, Kanjeng Gusti. Hamba laksanakan
perintah Kanjeng Gusti sekarang juga...."
Setelah memberi hormat, Senapati Saka
Bawana segera beranjak dari depan Raja Galih
Kertarejasa. Lelaki setengah baya bertubuh gagah
itu sebenarnya masih merasakan sakit di tubuh-
nya akibat pukulan jarak jauh Pendekar Gila. Na-
mun, tugas tetap harus dilaksanakan.
Malam itu juga seluruh prajurit berkumpul
di halaman pendopo agung. Setelah mendapat pe-
rintah dari Senapati Saka Bawana, mereka segera
berangkat meninggalkan istana untuk melakukan
pengejaran. Mereka terbagi menjadi delapan ke-
lompok yang masing-masing dipimpin oleh seorang
panglima. Mereka menyebar menuju tempat yang
telah ditentukan.
Hingga fajar menyingsing para prajurit yang
mengejar penculik Putri Sekar Arum tetap tak
mendapat hasil. Mereka semua akhirnya kembali
dengan tangan kosong.
4 "Kurang ajar! Pendekar Gila ternyata pen-
dekar keparat! Apa yang diinginkannya dengan
menculik putriku"!"
Raja Galih Kertarejasa yang sudah kalut
dan diliputi rasa cemas tak mampu lagi menahan
kemarahannya. Dua hari sudah para prajurit kera-
jaan melacak jejak penculik itu. Namun usaha me-
reka sia-sia. Sementara Permaisuri Ayu Mustika, ibun-
danya Putri Sekar Arum, telah mengurung diri.
Kecemasan dan ketakutannya membuat wanita itu
putus asa. Ia tak ingin ditemui siapa pun. Segenap keluarga istana merasa
bersedih. Mereka tak habis pikir dengan kejadian yang menimpa Putri Sekar
Arum. Betapa tidak" Putri mahkota itu telah men-
dapat pinangan dari Pangeran Danuwirya. Bah-
kan, rencana pernikahan mereka telah disepakati
dan akan dilangsungkan dua purnama menda-
tang. "Senapati, aku setuju dengan usulmu kemarin. Sekarang segera sebarkan
pariwara itu ke
segenap kadipaten sampai ke desa-desa!" perintah Raja Galih Kertarejasa kepada
Senapati Saka Bawana yang saat itu datang menghadap bersama
Patih Abiyasa dan beberapa panglima tinggi kera-
jaan. "Ampun, Kanjeng Gusti! Tapi bukankah hal itu dapat membawa pengaruh buruk
terhadap ki-ta" Kita akan dituduh memusuhi pendekar keso-
hor itu. Para tokoh persilatan golongan putih yang merasa memiliki Pendekar Gila
akan turun tangan.
Mereka pasti melindungi pemuda itu dari orang-
orang yang memburunya...."
"Memang itulah yang kumaksudkan, Patih
Abiyasa. Kalau memang dialah pelakunya, aku in-
gin para tokoh persilatan turut campur tangan
menyelesaikan masalah ini," sahut Raja Galih Kertarejasa.
Mendengar ucapan Raja Galih Kertarejasa,
Patih Abiyasa mengerutkan kening. Ada perasaan
khawatir tergambar di wajahnya. Sementara Sena-
pati Saka Bawana segera menjura hormat dan me-
ninggalkan Raja Galih Kertarejasa, diikuti bebera-pa anak buahnya.
Sesampainya di luar istana, Senapati Saka
Bawana memberi perintah kepada Panglima Gan-
jar Seta dan yang lain-lainnya agar segera menye-
barkan utusan untuk menyampaikan berita itu.
Pagi itu juga puluhan prajurit kerajaan be-
rangkat dengan membawa gulungan kulit yang
bertuliskan pengumuman.
* * * "Sebenarnya aku kurang yakin dengan beri-
ta itu, Kakang Kebo Kluwuk," ujar seorang lelaki berpakaian ungu yang duduk
berdampingan dengan kawannya di dalam sebuah kedai makan.
"Aku pun begitu, Sambar Wulung," sambut lelaki berpakaian longgar berwarna abu-
abu yang dipanggil Kebo Kluwuk. "Tapi, nyatanya kabar dari para prajurit kerajaan yang
bertarung dengan penculik itu mengatakan kalau pelakunya Pendekar
Gila." Hampir semua pengunjung kedai ternyata tengah membicarakan peristiwa
penculikan Putri
Sekar Arum. Bahkan, dari kemarin sore orang-
orang yang berdatangan dan singgah di sana telah
membicarakannya. Padahal penyebaran pengu-
muman yang akan dilakukan oleh para prajurit be-
lum sampai di sana. Mereka mendengar desas-
desus itu dari para prajurit yang ditugaskan men-
cari jejak selama dua hari terakhir ini.
"Kalau benar penculik putri Raja Galih Ker-
tarejasa ternyata Pendekar Gila, ini merupakan
sebuah aib besar bagi kalangan tokoh-tokoh persi-
latan golongan putih. Rimba persilatan akan gem-
par. Bukan tak mungkin ini akan dimanfaatkan
oleh orang-orang golongan hitam untuk menga-
caukan keadaan."
Ketika mereka tengah asyik membicarakan
masalah itu, tiba-tiba datang dua orang penung-
gang kuda menuju kedai. Kedua penunggang kuda
itu prajurit Kerajaan Bumi Segara. Mereka turun
dari punggung kuda lalu menempelkan selembar
kulit pada sebuah pepohonan.
Orang-orang segera menghampiri pengu-
muman itu. Tak terkecuali Kebo Kluwuk dan Sam-
bar Wulung. Salah seorang pengunjung kedai
membaca pengumuman yang mengatasnamakan
Raja Galih Kertarejasa itu. Yang lain hanya men-
dengarkannya penuh perhatian.
Atas kejadian yang menimpa putri kami, pi-
hak Istana Kerajaan Bumi Segara menyelenggarakan sebuah sayembara. Barang siapa
mengetahui atau dapat menangkap Pendekar Gila akan mendapat anugerah dan
diangkat menjadi pamong pra-ja, atau jabatan tinggi lain di istana.
Raja Galih Kertarejasa
Satu-persatu orang-orang yang berkerumun
itu pun kembali ke kedai. Ada pula yang langsung
meninggalkan tempat itu.
"Apalagi yang kau ragukan, Sambar Wu-
lung" Berita itu dibuat oleh Raja Galih Kertarejasa.
Mereka telah yakin benar Pendekar Gila yang me-
lakukan penculikan itu. Sebentar lagi dunia persilatan akan gempar...."
Sambar Wulung dan Kebo Kluwuk bergegas
melesat meninggalkan kedai makan.
5 Matahari baru saja masuk ke peraduannya.
Cahaya kemerahan masih membias di kaki langit
sebelah barat. Suasana di sekitar Pegunungan
Menoreh mulai gelap.
Tiga sosok tubuh tampak berjalan agak ter-
gesa-gesa memasuki mulut Desa Japuan.
"Hh.... Rupanya kita harus bermalam di De-
sa Japuan, Mei," ujar sosok pemuda berpakaian rompi dari kulit ular yang tak
lain Pendekar Gila.
Matanya sejenak memandangi tulisan yang tertera
pada gapura di mulut desa.
"Berapa jauh lagi kita sampai di Alas Men-
taok, Kakang Sena?" tanya gadis cantik berpakaian longgar putih yang dipundaknya
tersampir sebilah
pedang besar. Wanita berambut panjang yang juga berju-
luk Bidadari Pencabut Nyawa itu terus melangkah
ke samping Sena Manggala. Sementara Dogol
mengikuti mereka di belakang. Perutnya yang
buncit bergoyang-goyang ke kanan ke kiri seperti
hendak lepas dari tubuhnya. Pemuda berpipi tem-
bem dan bertubuh tambun itu sejak tadi hanya
berdiam diri. Sesekali dia mengusap-usap pusar-
nya yang tak tertutup karena pakaiannya kekeci-
lan. "Ah, masih cukup jauh," jawab Sena sambil menoleh kepada Dogol di
belakangnya. "Kalau tak salah desa ini letaknya di ujung tenggara Kerajaan Bumi
Segara. Jadi, baru besok malam kita sampai
di sana. Mudah-mudahan Ki Ageng Mantingan ju-
ga berada di Alas Mentaok. Dia turut mengawasi
para prajurit dan penduduk Kerajaan Pajang yang
tengah membabat Hutan Alas Mentaok untuk di-
jadikan desa."
Ketiga orang itu terus melangkah menyusu-
ri jalan utama desa yang sepi. Hari semakin gelap.
Tak seorang pun yang tampak berada di luar. Pin-
tu-pintu rumah penduduk tertutup rapat. Hanya
lampu-lampu pelita yang terlihat menyala di depan rumah di tepi jalan tanah
berdebu itu. Tak lama kemudian ketiganya sampai di
depan sebuah kedai makan yang cukup besar. Di
sebelah kanan kedai berdiri rumah penginapan.
Beberapa orang lelaki tampak tengah duduk me-
nikmati hidangan. Mungkin mereka orang-orang
yang menginap di rumah penginapan.
Seorang lelaki tua yang bertubuh agak
bongkok keluar menyambut Mei Lie yang telah
sampai di depan pintu kedai.
"Selamat malam, silakan Tuan-tuan!" ujar lelaki tua itu dengan ramah.
Mei Lie mengangguk dan tersenyum ramah.
Gadis itu melangkah masuk diikuti Sena dan Do-
gol. Ketiganya menuju meja dan kursi yang masih
kosong. Mei Lie dan Sena duduk berdampingan sa-
tu bangku. Sedangkan Dogol sendirian bersebe-
rangan meja dengan mereka.
Orang-orang yang tengah menikmati maka-
nan tampak memandangi mereka bertiga. Teruta-
ma pada Sena yang sejak memasuki kedai tertawa-
tawa sendirian sambil menggaruk-garuk kepa-
lanya. Tentu saja orang-orang yang berada di kedai merasa heran. Tingkah laku
Sena persis orang
yang kurang waras.
Di sudut sebelah kanan dua orang lelaki se-
tengah baya memandangi Sena dengan tatapan ta-
jam. Salah satu dari mereka, yang mengenakan
pakaian hitam, sampai berhenti dari makannya.
Sesaat kemudian, dia berdiri dari tempat duduk-
nya, dan memberi isyarat kepada kawannya.
"Ki Marta!" Sosok berpakaian hitam itu memanggil pemilik kedai.
Dengan tergopoh-gopoh lelaki bongkok ber-
nama Ki Marta bergegas menghampirinya. Lelaki
berpakaian hitam memberikan beberapa keping
uang logam dan segera pergi keluar kedai.
"Lho, kenapa tidak dihabiskan makannya?"
tanya Ki Marta. Tapi tidak dijawab oleh kedua lela-ki itu. Mereka segera
melangkah pergi tanpa meno-
leh-noleh lagi "Maaf, Tuan!" ujar pemilik kedai setelah mendekati meja Sena dan Mei Lie. "Kami
tidak bisa mengabaikan permintaan mereka. Mereka harus
selalu didahulukan...."
"Aha... tak apalah, Ki. Sekarang bawakan
kami makanan," pinta Sena sambil tertawa.
"Baik, baik, Tuan." Pemilik kedai itu, memanggil seorang pelayan dan mengatakan
apa yang dipesan Sena.
Tak lama pelayan itu kembali dengan mem-
bawa beberapa macam makanan dan minuman.
Hidangan itu diletakkan di meja Sena dan Mei Lie.
Dogol yang tampaknya tak mampu menahan rasa
lapar menyantapnya dengan lahap.
"Maaf, Kang Sena, Nini Mei. Aku tak tahan.
Sudah lapar benar nih perutku," ujar Dogol di se-la-sela mengunyah makanan.
"Ya, ya. Aku tahu. Aku juga sudah lapar se-
kali...," sahut Mei Lie. Diambilnya sepotong daging ayam panggang dan
menyantapnya. Sena pun sudah mulai makan.
Belum selesai mereka bertiga makan, lelaki
bongkok pemilik kedai datang menghampiri.
"Tambah lagi, Tuan?"
"Ah, cukup-cukup. Kamu Dogol, tambah?"
Tanya Sena kepada Dogol yang baru saja menyele-
saikan makannya.
Pemuda berperut gendut itu manggut-
manggut seraya menatap pemilik kedai. Ki Marta
pun segera memberi isyarat kepada pelayannya.
Sesaat kemudian, seorang pelayan datang mem-
bawakan makanan untuk Dogol.
"Ngm... Ki Marta, apakah kau juga menye-
diakan tempat untuk menginap?" tanya Mei Lie,
"Ada. Ada, Nona Ah, kebetulan sekali ada
beberapa kamar yang kosong." Dengan gembira
pemilik kedai itu menjawab pertanyaan Mei Lie.
"Ee, ke mana sebenarnya tujuan Kisanak sekalian hingga kemalaman di sini?"
tanyanya kemudian.
Mei Lie sekilas menoleh kepada kekasihnya.
"Kami hendak ke Alas Mentaok," jawabnya.
"Wah, wah... jauh sekali rupanya perjalanan
Tuan-tuan. Bukankah sekarang tengah ada peker-
jaan besar di sana" Kabarnya hutan itu dihadiah-
kan kepada Ki Ageng Pamanahan, seorang penasi-
hat Kerajaan Pajang," ujar Ki Marta yang tampaknya senang sekali berbicara.
"Kalau begitu, silakan Tuan-tuan diantar pelayan kami!"
Pendekar Gila bangkit berdiri dari tempat
duduknya. Seorang pelayan datang untuk men-
gantarkan mereka menuju kamar penginapan. Se-
telah membayar ongkos penginapan dan makanan,
ketiga orang muda itu mengikuti si pelayan menu-
ju rumah penginapan yang letaknya di sebelah ka-
nan kedai.

Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rumah itu memiliki beberapa kamar. Mei
Lie mendapat kamar di depan. Sedang Sena dan
Dogol satu kamar bersebelahan dengan kamar Mei
Lie. Baru saja Sena dan Dogol merebahkan tu-
buh di pembaringan terdengar pintu kamar dike-
tuk. "Dogol, buka pintu!" perintah Sena sambil bangkit dari tidurnya.
Ternyata seorang wanita pelayan kedai yang
mengetuknya. Wanita itu mengangguk ramah ke-
pada Sena lalu melangkah masuk. Ia membawa
minuman dan beberapa makanan kecil di atas
nampan. "Ki Marta menyuruhku mengantarkan ini
untuk Tuan," ujar wanita itu sambil meletakkan poci teh di meja dekat tempat
tidur Sena. "Aha terima kasih. Bukankah kami sudah
makan dan minum tadi di kedai?" sahut Dogol tertawa. Gayanya mengikuti Sena,
menggaruk-garuk
kepalanya yang agak botak. Padahal, biasanya pe-
rutnya yang digaruk-garuk.
"Sudah menjadi kebiasaan setiap tamu yang
menginap di sini mendapat jatah minum dan ma-
kanan kecil seperti ini. Semua tamu yang lain pun begitu." Wanita itu tersenyum
genit kepada Dogol yang berdiri di sampingnya.
Setelah wanita cantik itu keluar, Dogol sege-
ra saja menuangkan air dari poci ke cangkir kecil.
Lalu, meminumnya. "Kakang Sena mau minum?"
tanyanya. "Nanti saja. Biar kutuang sendiri kalau aku
mau minum."
Namun tiba-tiba, ketika Dogol hendak me-
langkah ke tempat tidurnya.....
"Aduuh..., kepalaku! Mataku, mataku ge-
lap!" Sena kaget mendengar rintihan Dogol. Serta merta dia melompat bangkit dari
tidurnya. Tetapi
terlambat. Dogol telah terjatuh ke lantai.
"Dogol! Dogol!" Sena berjongkok memegangi kepala Dogol yang terkulai lemas.
"Hh... racun!"
gumamnya. Sena segera melesat keluar teringat keka-
sihnya yang berada di kamar-sebelah. Ketika dia
berusaha membuka kamar Mei Lie ternyata pin-
tunya dikunci dari dalam.
"Mei Lie! Mei Lie...!" Sena mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan keras.
Brrakk! Karena tak sabar dan tak mendengar jawa-
ban Mei Lie, Sena mendobrak pintu kamar hingga
terbuka. Dilihatnya Mei Lie terkulai di lantai. Gadis itu tampaknya juga telah
meminum racun. Tanpa pikir panjang lagi, Sena mengangkat
tubuh Mei Lie dan dibawa ke kamarnya. Gadis itu
dibaringkan di atas pembaringan. Lalu, diangkat-
nya pula si Dogol dan dibaringkan ke tempat tidur yang lain.
"Hh.... tikus busuk mana malam-malam be-
gini mengganggu orang tidur?" gumam Sena dengan hati dongkol. Dia mengerahkan
tenaga dalam untuk menyalurkan hawa murni. Sena ingin
membebaskan kekasihnya dari pengaruh racun
ganas. Namun, niat itu segera diurungkan ketika
muncul rasa khawatir di hatinya. "Tak mungkin aku menyembuhkan mereka di tempat
ini...," gumamnya lirih.
Segera diangkatnya tubuh Mei Lie dan Do-
gol. Mei Lie diletakkan di pundak kanan sedang-
kan Dogol dikepit di lengan kiri.
Namun baru saja Sena melangkah dua tin-
dak dari pintu....
Singng! Singng!
"Hih, hups!"
Terdengar desingan nyaring dari pintu bela-
kang rumah penginapan. Dengan cepat Sena
Manggala menjatuhkan diri ke lantai. Sehingga,
Dogol terlepas dari tangannya. Setelah itu tubuh-
nya bergulingan kembali masuk ke kamar. Sena
meletakkan tubuh Mei Lie di lantai. Kemudian,
menarik kaki Dogol yang masih berada di luar ka-
mar. Matanya yang tajam melihat dua buah pisau
kecil menancap di tembok rumah.
Brrakk! Belum sempat Sena menutup pintu kamar-
nya, sebuah serangan jarak jauh menghantam pin-
tu depan penginapan hingga terbuka.
* * * "Aaa.... Tolong...!"
"Perampok...!"
Orang-orang yang menginap di rumah itu
berlarian sambil berteriak-teriak ketakutan. Se-
mentara kedai baru saja tutup karena malam telah
larut Dari balik pepohonan yang ada di kanan-
kiri rumah penginapan berkelebatan beberapa so-
sok bayangan. Mereka mengepung rumah dan ke-
dai milik Ki Marta.
"Ha ha ha,..! Mana hidungnya si Pendekar
Gila yang telah menculik Putri Sekar Arum dari
Kerajaan Bumi Segara"! Ayo, keluar kau, murid
Singo Edan!"
Sosok lelaki setengah baya bertubuh gagah
dan besar serta mengenakan pakaian coklat tua
berteriak memanggil Pendekar Gila. Di belakang le-
laki berkumis tebal ini berdiri sekitar lima belas lelaki dengan senjata
terhunus. Ki Marta yang baru saja keluar dari kedai
tampak kaget menyaksikan kejadian di rumahnya.
"Kau tua bangka pemilik kedai dan pengi-
napan?" tanya lelaki berpakaian coklat seraya menatap wajah Ki Marta yang
seketika berubah pu-
cat. "I... i... iya. Ada apa ini?" Dengan gugup Ki Marta balik bertanya.
"Kenapa kau izinkan penculik putri Raja
Galih menginap di rumahmu" Tidakkah kau mem-
baca pengumuman kerajaan tentang Pendekar Gila
yang telah menculik Putri Sekar Arum?" tanya lelaki berpakaian coklat dengan
mata tajam, mena-
tap Ki Marta yang didampingi dua orang pelayan-
nya. "A... a... aku mendengar kabar itu. Tapi aku tidak tahu yang mana Pendekar
Gila. Terus terang
aku belum pernah melihatnya."
"Ha ha ha...! Kau berpura-pura atau me-
mang tidak tahu, Pak Tua" Atas nama kerajaan
aku harus menghukummu!"
Belum sempat pemilik kedai mengucapkan
sesuatu untuk menanggapi, beberapa lelaki den-
gan senjata terhunus telah menangkapnya. Lelaki
tua bongkok itu tak mampu melawan. Kedua tan-
gannya dipegang erat oleh dua orang berpakaian
serba hitam. "Ah ah ah...! Buruk benar nasibmu, Ki Mar-
ta...." Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dari rumah penginapan. Disusul
dengan melesatnya
sesosok bayangan menuju halaman kedai. Semua
terkejut melihat gerakan yang begitu ringan itu.
Tak terkecuali lelaki berpakaian coklat. Apalagi ketika sosok bayangan itu
mendarat dua tombak di
depannya. "Pendekar Gila!"
"Hi hi hi...! Dari mana kau bisa menuduhku
menculik Putri Sekar Arum?" tanya Sena yang
tampak penasaran mendengar tuduhan itu.
"Jangan banyak bacot! Tangkap dia...!" teriak sosok lelaki gagah itu kepada anak
buahnya. Tanpa mendengar perintah untuk kedua ka-
linya, lima belas lelaki berpakaian hitam langsung merangsek Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sambil melompat menghindari serangan musuh-musuhnya, Sena tertawa
cekikikan. "Untuk apa aku menculik Putri Sekar Arum?"
tanyanya. Tiba-tiba.... Plakkk! Bukkk! Dua orang lelaki berpakaian hitam terpental
ke belakang dengan mulut memuntahkan darah
segar. Keduanya mengerang-erang kesakitan sam-
bil memegangi dadanya yang terkena pukulan te-
lapak tangan Pendekar Gila.
Melihat dua orang kawannya terluka, yang
lain bukannya merasa takut. Mereka dengan ge-
ram melancarkan serangan secara serentak. Hal
itu cukup membuat Sena sedikit kelabakan.
"Bunuh penculik keparat itu!"
"Pendekar apaan kau, Bocah Edan"!"
"Tak seharum namamu yang ditakuti orang
banyak. Huh! Mampus kau! Heaaa...!"
Sambil berusaha mengelakkan setiap se-
rangan lawan yang kian ganas dan membabi buta,
Sena merasa heran. Berdasarkan apa mereka
menjatuhkan tuduhan kepadanya" Dirinya saja
sampai saat ini belum mendengar kabar tentang
diculiknya Putri Sekar Arum.
Wuttt! "Haiiitt!"
Sebuah babatan pedang hampir saja me-
nyambar tubuh Sena. Dengan cepat Sena melen-
tingkan tubuhnya hingga pedang itu menyambar
tempat kosong. Ketika berhasil mendarat, sebuah
tendangan lawan meluncur datang. Cepat tubuh-
nya didoyongkan ke belakang seraya mengibaskan
tangan kanan. Hingga....
Plakkk! Pekikan kaget keluar dari mulut. Dengan
langkah pincang lelaki itu mengerang kesakitan.
Tangkisan keras Pendekar Gila tampaknya dike-
rahkan dengan tenaga dalam. Itu terlihat jelas ketika lelaki berpakaian hitam
yang menendangnya
tak mampu bangkit berdiri.
Sementara itu tiga pengeroyok lainnya
membabatkan pedang secara bersamaan. Satu
mengarah ke kepala, dua lagi mengancam perut
dan dada Sena. Namun kali ini pemuda berpa-
kaian rompi dari kulit ular itu tak ingin mem-
buang-buang waktu. Ia teringat Mei Lie dan Dogol
yang masih pingsan akibat racun ganas yang di-
minumnya. Ketika berhasil berkelit dari sabetan pedang
yang menuju perutnya, Sena langsung melancar-
kan sebuah pukulan keras. Satu orang lawannya
terjengkang ke belakang. Mulutnya mengeluarkan
darah segar. Bahkan, lelaki berpakaian hitam itu
langsung tak berkutik.
Tepat ketika Sena hendak melancarkan pu-
kulan 'Si Gila Melempar Batu' lelaki berpakaian
coklat yang merupakan pimpinan pengeroyok me-
lancarkan serangan. Hal itu tak sempat diketahui
oleh Sena. Namun ketika sambaran angin keras
pukulannya terasa, pemuda berpakaian rompi ku-
lit ular itu melempar tubuhnya ke belakang. Sete-
lah bergulingan beberapa kali di atas tanah, ia
bergegas melompat bangkit. Seketika itu pula di-
lancarkan sebuah pukulan jarak jauh.
Wusss! Dengan gerakan mirip seekor monyet me-
lempar batu, dari tangan Pendekar Gila melesat
serangkum angin keras. Seketika terdengar teria-
kan keras dari mulut beberapa lawannya. Tubuh
mereka berpentalan deras ke belakang terhantam
pukulan dahsyat itu. Dua orang mengerang kesa-
kitan setelah menabrak dinding kedai. Tiga orang
lagi menghantam pepohonan di samping rumah
penginapan. "Kurang ajar!" dengus lelaki berpakaian coklat. Cepat pedang panjang di tangan
kanannya di- putar. Wukk! Wukkk!
Dengan wajah diliputi kemarahan lelaki
berpakaian coklat merangsek maju. Namun, hanya
dengan menghentakkan kedua tangannya Sena
berhasil membuat lawannya terjengkang ke bela-
kang. Ketika tubuhnya hendak bangkit berdiri,
Sena telah lebih dahulu melompat dan melancar-
kan totokan. Seketika tubuh lelaki besar itu terkulai lemas di tanah.
Beberapa orang anak buahnya yang masih
hidup melesat kabur bersamaan dengan jatuhnya
lelaki berpakaian coklat.
"Aha, kuharap kau bisa memberitahukan
kepadaku. Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Sena dengan cengengesan.
"Huh! Pendekar tidak waras sepertimu se-
bentar lagi akan mendapat hukuman sesuai den-
gan perbuatanmu, Pendekar Gila!" dengus lelaki berpakaian coklat
"Hi hi hi...! Kudengar kalian menyebut-
nyebut penculik putri raja. Siapa yang menculik-
nya, heh"!"
"Hampir semua orang di Kerajaan Bumi Se-
gara ini tahu. Kaulah yang telah menculik Putri
Sekar Arum. Bahkan, berita itu telah tersebar
sampai di kerajaan. Kini semua tokoh persilatan
sedang mencarimu untuk memperebutkan hadiah
dari Kanjeng Gusti Galih."
Terkejut Sena mendengar penjelasan lelaki
berpakaian coklat. Tanpa melanjutkan perta-
nyaannya Sena segera berlari masuk ke rumah
penginapan. Beberapa orang yang menginap di tempat
itu heran melihat Pendekar Gila. Bagi mereka ten-
tu nama pendekar muda itu sudah tak asing lagi.
Namun baru kali ini mereka melihatnya.
Sementara itu Ki Marta, pemilik kedai dan


Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penginapan, buru-buru mengikuti Sena. Sampai di
depan pintu dia bertemu Sena yang tengah me-
manggul Mei Lie dan Dogol. Lelaki tua itu keliha-
tan terkejut. "Tuan..." Dengan mata terbelalak Ki Marta memandang Sena.
"Ada berapa orang pelayanmu, Ki," tanya Sena. "Kenapa, Tuan" Kami punya tiga
orang pelayan. Lelaki semua."
Sena mengangguk-angguk. Sejak kedatan-
gannya itu ia memang hanya melihat tiga orang
pelayan lelaki. Maka, tadi ia sedikit merasa heran ketika seorang wanita
mengantarkan makanan ke
kamarnya dan mengaku sebagai pelayan Ki Marta.
"Terima kasih atas pelayananmu, Ki."
Pendekar Gila segera melesat meninggalkan
kedai Ki Marta. Sekejap saja tubuhnya yang me-
manggul Dogol dan Mei Lie telah lenyap ditelan kegelapan malam.
6 Lima sosok bayangan berkelebat di jalan
kecil sebelah barat Desa Nariban. Mereka melesat
menuju arah timur dan terus menyusuri jalan
utama desa yang tampak sepi. Malam telah larut.
Mestinya bulan yang belum begitu bundar bersinar
terang. Namun karena langit diselimuti mendung
tebal, malam itu menjadi kelam.
Kelima sosok bayangan itu bergerak menuju
rumah Kepala Desa Nariban. Sesampainya di de-
pan rumah besar dan megah milik Ki Lurah Saro-
ga, mereka berhenti.
"Kau Badri dan Sulung, jaga di luar. Aku,
Sarjan, dan Sudra akan masuk ke rumah," ujar salah seorang dari mereka yang
mengenakan ikat
kepala kain lurik. Sebagian wajahnya tertutup
kain hitam. Hanya matanya saja yang terlihat.
Keempat kawannya yang juga mengenakan
penutup wajah menganggukkan kepala menyetu-
jui. "Hei, Kang Talib, ingat rencana kita se-
mua...!" ujar Sulung memperingatkan. "Seperti yang kemarin, Kang."
Lelaki berkumis dan bercambang bauk yang
dipanggil Talib hanya menggumam dan mengang-
gukkan kepala. Tubuhnya segera bergerak menuju
pintu pagar halaman rumah itu. Keempat kawan-
nya segera mengikuti. Dua orang di antara mereka
terus menyertai Talib masuk ke serambi rumah.
Sedangkan yang lain tinggal untuk berjaga-jaga di halaman.
Namun baru saja Talib hendak mengetuk
pintu rumah....
"Hei... siapa di situ"!" Terdengar bentakan dari bangunan kecil yang berada di
samping kanan rumah Ki Lurah.
Mendengar suara bentakan yang cukup ke-
ras, Sulung dan Badri langsung melesat menuju
rumah kecil itu. Seketika terdengar suara samba-
ran golok di tangan Sulung yang sudah melayang
lebih dulu. Jrabbb! Terdengarlah keluhan pendek. Disusul den-
gan jatuhnya tubuh lelaki setengah baya yang ter-
nyata penjaga keamanan rumah kepala desa.
Terkena kilatan cahaya pelita dari dalam
rumah kecil, golok di tangan Sulung tampak ber-
lumuran darah. Lelaki setengah baya itu berkelojotan sebentar kemudian tewas
dengan dada men-
gucurkan darah. Lelaki bernasib sial ini tampak-
nya tak sempat berbuat sesuatu ketika Sulung
dengan cepat menebaskan goloknya.
Dok! Dok! Dok! Talib mengetuk pintu rumah Ki Lurah Saro-
ga. Beberapa kali dilakukan, tapi tak terdengar jawaban dari dalam.
Brakk! Sarjan yang merasa tidak sabar segera me-
nendang keras pintu itu. Sekali tendang daun pin-
tu pun jebol. Terdengar jeritan keras seorang pe-
rempuan berusia tiga puluh tahunan. Matanya
membelalak kaget bercampur takut. Wanita itu
bersandar di dinding rumah.
"Siapa kalian..."!"
Ki Lurah Saroga yang baru saja keluar dari
kamar tidur menatap tajam Sarjan dan Talib yang
telah masuk ke rumahnya. Tanpa memberikan ja-
waban atas pertanyaan Ki Lurah Saroga, Sarjan
langsung melompat sambil menusukkan golok be-
sarnya. "Hei, Keparat!" bentak Ki Lurah Saroga.
Bergegas ia melompat mengelakkan serangan go-
lok Sarjan. Lelaki berusia lima puluhan itu ternya-ta memiliki gerakan yang
gesit dan cepat. Tangan
kanannya mencabut keris yang terselip di samping
pintu kamar. Melihat kepala desa itu telah menggenggam
senjata, Talib tak mau tinggal diam. Tubuhnya
ikut melompat hendak membantu Sarjan. Dengan
golok terhunus dia memburu Ki Lurah Saroga
yang bergerak mundur ke ruang belakang.
Sementara itu Nyi Saroga yang ketakutan
terus berteriak-teriak. Ia khawatir suaminya akan terluka. Atau, bahkan terbunuh
di tangan ketiga
orang yang belum dikenalnya itu.
"He he he...! Kau bagianku, Nyi," ujar Sudra terkekeh. Dia mendekati wanita tiga
puluh tahun yang tampak masih segar dan cantik.
Dengan kasar dan bengis ditariknya tangan
perempuan itu hampir terjatuh. Seketika tubuh
Nyi Saroga berada dalam pelukan Sudra yang ber-
tubuh besar dari kekar. Perempuan itu meronta-
ronta hendak melepaskan diri. Apalah dayanya
seorang perempuan seperti dirinya. Semakin kuat
Nyi Saroga meronta semakin kuat pelukan tangan
Sudra. "He he he...! Masih segar dan sintal tubuhmu, Nyi. Ayolah. Jangan
bersikap seperti ini pada-ku. He he he...!"
Tanpa mempedulikan betapa marah dan
sewotnya Nyi Lurah, Sudra mendesak-desakkan
mulutnya ke dada dan leher wanita itu. Tentu saja wanita berwajah cantik dan
berkulit kuning lang-
sat itu tak tinggal diam. Ditamparnya dengan ke-
ras pipi Sudra.
Merasa jengkel atas sikap Nyi Saroga, Sudra
langsung melancarkan totokan ke tubuh wanita
itu. Seketika perempuan cantik itu melenguh den-
gan tubuh melorot. Namun dengan sigap Sudra
menahannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dan
dibawanya masuk ke sebuah kamar.
Istri muda kepala desa itu tak mampu ber-
buat apa-apa kecuali menjerit-jerit tertahan. Tubuhnya yang sintal dan padat
dibaringkan di ran-
jang. Ia tak mampu menolak atau memberontak
lagi ketika Sudra menciumi pipi dan lehernya. La-
lu, turun ke dadanya yang putih dan mulus.
Perlahan-lahan, tanpa dengan sikap kasar,
Sudra membuka kebaya yang dikenakan wanita
cantik itu. Kainnya ditarik lepas hingga tak ada
sehelai benang pun yang melekat di tubuh mulus
Nyi Saroga. Melihat betapa segar dan sintalnya tubuh
istri muda kepala desa, Sudra tak mampu mena-
han nafsunya. Napasnya tersengal-sengal ketika
tubuhnya menindih tubuh Nyi Lurah Saroga.
Sementara itu Sarjan dan Talib masih den-
gan bengis hendak membunuh Ki Lurah Saroga.
Keduanya mendapat perlawanan cukup berarti da-
ri lelaki setengah baya itu.
Beberapa kali Ki Lurah Saroga berhasil me-
nangkis dan mengelakkan serangan kedua lawan-
nya. Padahal, tubuhnya yang terbalut pakaian
abu-abu telah dibasahi darah dari luka sabetan
golok lawan. Hingga pada satu ketika, sebuah ba-
batan golok Sarjan melesat ke arah perutnya.
Bett! Sabetan itu berhasil dielakkan dengan lom-
patan tinggi. Kedua kaki Ki Lurah Saroga menda-
rat di atas balai bambu dekat pintu dapur. Namun
ketika kedudukannya belum begitu seimbang, Ta-
lib yang tengah menunggu-nunggu kesempatan,
cepat menyapu kaki Ki Lurah Saroga dengan ten-
dangan keras kaki kanan. Hingga....
Brrakkk! "Hukh!"
Tubuh Ki Lurah Saroga terbanting di atas
balai bambu. Kepalanya terkulai hampir menyen-
tuh lantai. Sarjan pun melompat sambil mene-
baskan goloknya ke perut. Darah segar muncrat ke
balai-balai bambu.
Setelah berkelojotan sebentar tubuh Ki Lu-
rah Saroga menggelinding ke lantai. Mulutnya
mengerang lirih menahan rasa sakit. Di saat-saat
terakhir hidupnya Kepala Desa Nariban masih
mendengar tawa Talib.
"He he he...! Ki Saroga, aku dan kawan-
kawan hanya menjalankan perintah Pendekar Gila.
Kami harus menguras harta bendamu...."
Usai berkata demikian, Talib memberi isya-
rat kepada Sarjan. Keduanya segera membuka le-
mari dan peti tempat menyimpan uang dan per-
hiasan. Tentu saja mereka mendapat banyak hasil
rampokan. Korbannya selain seorang lurah juga
saudagar kaya raya.
Tiga buntalan kain berisi harta benda beru-
pa perhiasan emas dan kepingan uang berhasil di-
kumpulkan dari dua lemari dan sebuah peti di da-
lam kamar Ki Lurah Saroga.
"Heh, ke mana si Sudra?" tanya Sarjan seraya mengangkat dua buntalan besar.
"Biarkan saja dia menikmati tubuh Nyi Sa-
roga yang cantik itu...," ujar Talib. Kepalanya dige-rakkan ke arah kamar yang
tadi dimasuki Sudra.
Saat itu memang terdengar dengusan-
dengusan napas dari kamar sebelah.
"Sudra!" teriak Sarjan. Ditendangnya pintu kamar itu. "Ikut pulang atau mau
tidur di sini kau..."!"
Sementara Sulung dan Badri telah masuk
dan mengambil alih barang yang dibawa Talib.
"He he he.... Maaf. Aku mendapat bagian
membereskan istri lurah itu...," ujar Sudra melangkah keluar kamar. Tubuhnya
tampak basah bersimbah peluh. "Hehh.... Hangat sekali tubuhnya Nyi Saroga, Kang Talib,"
lanjutnya sambil membenahi celana.
"Kau ini tak pernah puas-puasnya dengan
perempuan! Nih, bawa!" dengus Sarjan yang tampak kesal. Tapi, tak sedikit pun
ada kebencian di wajahnya terhadap Sudra.
Sambil masih tertawa cengengesan Sudra
menangkap buntalan kain berisi emas dan perhia-
san. Kelima perampok itu segera melesat pergi
meninggalkan rumah Ki Lurah Saroga.
7 Fajar menyingsing. Cahaya kemerahan
membias di ufuk timur. Di sebuah hutan lebat
yang masih tersaput kabut terdengar sayup-sayup
alunan suara suling. Iramanya yang merdu men-
dayu-dayu memecah keheningan pagi. Bunyi itu
seolah menyiratkan lagu kesedihan, atau mungkin
perasaan kecewa.
Sesosok pemuda berpakaian rompi dari ku-
lit ular tengah duduk di atas sebatang pohon besar yang tumbang. Ternyata dari
sinilah suara suling
itu berasal. Di depan pemuda berambut gondrong yang
tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila tampak
Dogol dan Mei Lie terkulai lemas di atas rerumpu-
tan. Semalam aku terbaring di sini terbungkus kegelapan dan dinginnya malam.
Kurenungi kembali nasib hidup manusia. Ke-
ras. Penuh kedurjanaan dan keangkaramurkaan.
Jemariku meregang keras. Aku hendak ber-
lari. Berlari atau menerjang.
Kenapa hatiku memilih untuk bernyanyi"
Melepas segala rasa dendam....
Begitulah gumaman yang keluar dari mulut
Pendekar Gila setelah menyelipkan kembali su-
lingnya ke pinggang. Dia teringat mimpinya bebe-
rapa hari yang lalu ketika bermalam di istana Ke-
rajaan Bumi Segara. Hatinya mulai yakin bahwa
mimpi itu bukan kembang tidur semata. Ada pera-
saan aneh yang terus menyelubungi hatinya. Di-
tambah lagi dengan keadaan semalam. Sekelom-
pok orang yang mengatasnamakan Kerajaan Bumi
Segara hendak menangkapnya.
"Uuuhh...!"
Terdengar lenguhan panjang dari mulut Do-
gol. Pemuda bertubuh tambun dan berperut bun-
cit itu menggeliat.
"Aha, jangan terburu-buru bangun, Dogol!"
ujar Sena seraya turun dari batang kayu besar itu.
"Keadaan tubuhmu masih lemah."
"Huekhh...!"
Dogol rupanya tak mendengarkan larangan
Sena. Ketika tubuhnya bangkit dari terbaring, tiba-tiba dia muntah. Keluarlah
cairan merah kehita-
man. "Bagus! Bagus! Biarkan racun itu keluar sampai tuntas! Sebentar lagi
tubuhmu akan pulih,
Gol." Pendekar Gila tersenyum menyaksikan kawan baiknya tampak ketakutan.
"Ha.... Sebentar lagi kau akan pulih. Semalam kau sulit sekali memuntahkan
cairan itu, Gol," ujarnya seraya menepuk-nepuk tengkuk Dogol.
Dogol tidak bisa menjawab. Ia hanya men-


Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gangguk-angguk memegangi perutnya yang buncit
Mei Lie pun menggeliat dan bangkit dari ti-
durnya. Gadis cantik berambut panjang itu duduk
dengan wajah pucat. Tubuhnya masih lemas. Ra-
cun ganas telah membuat wanita berjuluk Bidada-
ri Pencabut Nyawa itu seperti kehabisan tenaga.
"Baiklah. Kalian boleh perlahan-lahan men-
gatur pernapasan untuk mengembalikan tenaga.
Sebentar lagi matahari memancarkan sinarnya.
Kalian akan pulih kembali." Sena tersenyum-
senyum memandangi kedua kawannya.
Mei Lie dan Dogol pun segera melaksanakan
saran Pendekar Gila. Keduanya duduk bersila me-
nunggu terbitnya sang surya.
"Aha, perut kalian tentu merasa lapar. Tapi
jangan khawatir. Aku telah sediakan sarapan pagi
untuk kalian berdua."
Pendekar Gila melompati batang pohon
tumbang yang tadi didudukinya. Ternyata di balik
pohon itu dia telah membakar tiga ekor ayam hu-
tan. Diangkatnya ketiga daging ayam yang sudah
matang itu. Dogol membelalak heran bercampur gembi-
ra. Sebentar lagi perut gendutnya akan segera
mendapatkan santapan lezat.
"Di tengah hutan belantara seperti ini, asal kita mau, tak mungkin akan
kelaparan, Gol," ujar Sena melangkah mendekati Mei Lie dan Dogol.
Ketiganya segera menyantap daging ayam
panggang. Dengan lahap Dogol menggigiti daging
ayam hutan itu.
Ketika mereka selesai makan, sebenarnya
matahari telah sepenggalah tingginya. Namun ka-
rena pepohonan di hutan itu sangat lebat serta
kabut tebal menyelimutinya, cahaya sang surya
tak mampu menerobos tempat itu. Saat mereka te-
lah keluar dari dalam hutan Dogol tampak agak
terkejut. Suasana telah terang dengan cahaya ma-
tahari yang hangat. Bagi Mei Lie dan Pendekar Gila hal itu tidaklah terlalu
aneh. Bukan baru kali ini keduanya mendapati kejadian seperti itu. Bermalam di
tengah hutan sudah merupakan hal biasa
bagi mereka. * * * Senapati Saka Bawana turun dari kudanya.
Di belakangnya, Ki Lurah Brajanala yang menaiki
kuda hitam ikut turun. keduanya melangkah me-
masuki istana. Raja Galih Kertarejasa dan permaisurinya
tengah menunggu kedatangan lelaki tua itu. Begi-
tu melihat mertuanya datang, Raja Galih Kertare-
jasa langsung berdiri menyambutnya.
"Ayah, sengaja kami utus Senapati Saka
Bawana menjemputmu." Raja Galih Kertarejasa
menjabat tangan Ki Lurah Brajanala. Dipersila-
kannya ayah mertuanya duduk.
Setelah Permaisuri Ayu Mustika, anaknya,
menyalaminya tanpa mengeluarkan sepatah kata
pun Ki Lurah Brajanala segera duduk di kursi.
Bersamaan dengan itu muncul Patih Abiyasa. Ia
duduk bersila di samping kanan Senapati Saka
Bawana setelah menjura hormat kepada Raja Ga-
lih Kertarejasa dan Ki Lurah Brajanala
"Sebagai orangtua yang pernah lama berki-
prah di rimba persilatan mungkin Ayah bisa mem-
beri petunjuk untuk mencari Pendekar Gila."
Semua terdiam ketika sang raja mengu-
capkan kata-kata itu. Ki Lurah Brajanala yang
mengenakan jubah coklat muda menatap lurus ke
depan. Mata tuanya terhias alis tebal berwarna putih. Mata itu memancarkan sinar
penuh kewiba- waan. Meskipun hanya sebagai seorang lurah, wi-
bawanya tidak kalah dengan para adipati atau tu-
menggung. Tidak perlu memandang dirinya yang
merupakan ayah mertua Raja Galih Kertarejasa.
Lelaki tua itu pada zamannya memang pernah
menyandang nama besar.
Hanya ketika putri tunggalnya terpilih men-
jadi permaisuri, Ki Lurah Brajanala segera memu-
tuskan untuk mengundurkan diri dari dunia persi-
latan. Apalagi saat itu dirinya dipercaya oleh warga Desa Tingal untuk menjadi
lurah. "Hhh.... Sebenarnya sudah agak terlambat,"
gumam Ki Lurah Brajanala tanpa mengalihkan
pandangannya dari jendela istana yang mengha-
Kasih Diantara Remaja 5 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Tamu Aneh Bingkisan Unik 1
^