Pencarian

Balada Di Karang Sewu 3

Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu Bagian 3


logam ke arah Gon-
dam. Begitu cepat gerakan wanita ini. Sehingga
ketika uang logam itu melayang, Gondam hanya
mampu terperangah. Tak pelak lagi wajah Gondam
pecah, tertembus kepingan logam. Tubuh laki-laki
itu pun terjajar ke dinding. Matanya terbelalak
mengerikan. Lalu tubuhnya merosot ke lantai, tak
bernyawa lagi. Tampak darah meleleh dari wajah-
nya. Sementara si bayi terbangun dan menangis.
Retno segera mengambil, dan membelai-belainya.
Ditimang-timangnya bayi itu.
"Diam, sayang... ini bibimu. Kau telah sela-
mat, sayang...," bujuk Retno dengan mata berkaca-
kaca. Retno mendongak ke atas, pikirannya me-
nerawang, mengingat saudara kembarnya, "Sung-
guh malang nasibmu, Kak Ranti. Tapi aku berjanji
akan menuntut balas, walaupun Kakek Ramulan
melarangku!" kata Retno mengandung dendam
membara. * * * Suara tangis bayi itu terus menggema, ter-
bawa angin sehingga, sampai di telinga Pendekar
Gila yang memang mengenali suara itu.
"Hah..."! Seperti suara tangis adik manisku.
Ya, bayi itu,..!" seru Sena. Lalu Pendekar Gila melompat mendekati gubuk yang
letaknya terpencil di
desa ini. Sementara tangis bayi masih terdengar,
namun sudah pelan. Begitu Sena sampai langsung
mendobrak pintu gubuk. Dan Retno yang sedang
menggendong bayi, jadi kaget setengah mati. Seke-
tika bayi itu dipeluknya erat-erat. Malah seketika itu pula Retno langsung saja
melemparkan kepingan logam-logam yang masih tersisa ke arah Sena.
Untung Pendekar Gila cepat melompat ke samping,
hingga uang logam tak mengenai sasaran.
"Huh...! Edan!" rutuk Sena sambil terus
mengelak, karena Retno masih saja melancarkan
serangan. Dan begitu mendapat kesempatan, tiba-tiba
Retno kabur melompat jendela sambil membawa
bayi itu. "Hei! Tunggu...!" cegah Sena berseru.
Namun Retno tak meladeni. Gadis itu ber-
kelebat cepat Sena hanya bisa menggeleng-gelengkan ke-
pala. Hatinya begitu kesal.
"Huh! Kenapa bisa begini..."! Bodoh sekali
aku ini. Dasar wanita iblis barangkali tadi...!" rutuk Pendekar Gila lalu
melesat pergi mengejar Ret-
no. Gerakan Retno sungguh luar biasa, cepat,
dan nyaris tak menimbulkan suara. Malah Pende-
kar Gila yang sudah mengerahkan ilmu lari 'Sapta
Bayu'-nya belum dapat mengejar Retno. Dan ham-
pir saja Sena bisa menyusul, mendadak saja tu-
buh gadis itu berbalik. Lalu, seketika tangan Retno mengibas ke arah Pendekar
Gila. Zing! Zingng! Serangkum serangan kilat dilancarkan Ret-
no, berupa lontaran uang logam.
"Heit! Edan...!" gerutu Sena, langsung melenting ke udara untuk mengelakkan
serangan. Dan pada saat Pendekar Gila sudah menda-
rat, gadis itu pun sudah tak ada lagi. Menghilang
bagai siluman. "Benar-benar bandel wanita ayu itu!
Awas...!" gumam Sena, kembali meleset mengejar Retno.
* * * Malam bertambah larut. Pendekar Gila ma-
sih saja mencari Retno yang membawa bayi Nyi
Ranti. Murid Singo Edan ini nampak sedikit bin-
gung, hingga menggaruk-garuk kepala.
"Edan! Mana sudah malam lagi! Ke mana
aku harus mencarinya" Oh, adik manis. Di mana
kau" Maafkan aku, adik manis...," ucap Sena dengan wajah kesal, agak keras.
Tak jauh dari tempat Sena, Retno yang ber-
sembunyi di atas pohon menahan tawa menden-
garnya. Agar tak bersuara mulutnya ditutup.
"Pemuda itu cukup tampan juga. Mungkin
dialah yang pernah diceritakan Kak Sumarni bebe-
rapa bulan yang lalu. Ilmunya sangat tinggi. Bebe-
rapa kali seranganku dapat dielakkan dengan mu-
dah. Siapa sebenar-nya dia?" tanya Retno dalam hati. Gadis itu terus mengamati
gerak-gerik Sena
dari atas pohon.
"Aku tahu, dia telah menyelamatkan bayi
ini. Tapi aku harus menyerahkan bayi ini pada
Kakek Ramulan lebih dulu, agar aku tidak dis-
alahkan," kata Retno dalam hati.
Mata gadis itu menatap bayi dalam gendon-
gannya. Anehnya, bayi itu nampak diam, tidur
dengan nyenyaknya. Mungkin dia merasakan, ada
kesamaan antara, darah Retno dengan Nyi Ranti,
kembaran ibunya itu. Sehingga, seakan bayi itu
seperti berada dalam gendongan ibu kandungnya.
Retno tersenyum. Namun matanya merem-
bang. "Kau akan bertemu buyutmu, Ponakanku
Sayang...," gumam Retno, lirih. Lalu diciuminya bayi itu berulang kali.
Sementara itu, di bawah Sena sudah tak ke-
lihatan lagi. Entah ke mana. Sedangkan malam
semakin sunyi dan larut. Retno dengan ilmu me-
ringankan tubuh yang sangat sempurna, segera
melomat turun. Ringan sekali gerakannya. Seben-
tar saja, tubuhnya telah melesat pergi. Hilang ditelan gelapnya malam.
* * * Retno sangat terkejut begitu tiba-tiba saja di
hadapannya telah berdiri sosok menghadang sam-
bil tertawa-tawa mengejek dan menggaruk-garuk
kepala. "Ilmu meringankan tubuhmu sungguh luar biasa. Tapi kali ini kau tidak
mungkin bisa lolos
lagi. Serahkan bayi itu padaku...," tegas sosok berambut gondrong itu.
Wajah sosok itu masih tak jelas. Begitu juga
wajah Retno, yang hanya kelihatan hitam bagai
bayangan. Memang, malam ini bulan hanya nam-
pak sepotong, tertutup awan hitam.
"Ha ha ha... enak saja kau! Lagak caramu
seperti orang yang paling jago saja! Langkahi
mayatku dulu, jika kau inginkan bayi ini," kata Retno ganti mengejek.
"Edan! Perempuan ini ternyata bernyali be-
sar...!" gumam sosok itu sambil menggaruk-garuk kepala, sambil tertawa-tawa.
Pada saat itu sekilas cahaya rembulan men-
garah ke wajah Retno. Dan pada saat itu pula so-
sok, yang tak lain Pendekar Gila sedang menatap
tajam ke arahnya.
"Hah..."! Ranti..."!" gumam Sena kaget, melihat wajah Retno yang mirip Nyi
Ranti. "Bukankah... kau sudah mati..."!"
Di tengah keterkejutan Pendekar Gila, Retno
mengambil kesempatan tepat untuk kembali mele-
sat kabur dari hadapan Sena.
Kembali Sena jadi menggerutu kesal sambil
menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya mirip
orang gila. "Salah apa aku ini" Kok, jadi bodoh begi-
ni.,.!" gerutu Sena dengan wajah kesal. "Tapi, apakah dia rohnya Nyi Ranti.
Atau...?" Pendekar Gila berpikir sejenak, lalu segera
melesat mencari Retno kembali.
Pagi telah menjelang. Matahari baru saja
mengintip di ufuk sebelah timur. Sinarnya keema-
san menerangi alam semesta. Dari arah barat,
nampak seorang wanita muda menggendong seo-
rang bayi tengah melesat cepat, keluar dari hutan.
Sejenak wanita muda berpakaian serba un-
gu yang tak lain Retno, menghentikan larinya. Ma-
tanya yang indah menyapu keadaan sekelilingnya.
Tatapannya menyelidik, takut kalau-kalau ada
yang mengikuti.
"Pemuda yang bertingkah mirip orang edan
itu tak akan bisa lagi menemukanku," gumam
Retno. Namun baru saja Retno selesai dengan ka-
limat terakhir, tiba-tiba....
"Ha ha ha... Lucu sekali. Sepagi ini ada wa-
nita sudah keluyuran di tempat yang cukup ang-
ker...." Mendadak terdengar sebuah suara yang disusul dengan berkelebatnya sosok
tubuh ke hadapan Retna. Kini terlihat jelas, siapa sosok itu.
Dia tak lain dari seorang pemuda yang berpakaian
rompi kulit ular. Rambutnya gondrong bertampang
ganteng dan gagah.
Retno yang tak menduga sama sekali, jadi
terkejut setengah mati.
"Hah..."! Edan" Aneh, bagaimana dia bisa
tahu dan bisa mengejarku sampai di sini...?" gumam Retno lirih, seperti bicara
pada dirinya sendi-ri.
Gadis itu kemudian bergerak ke samping,
sambil menatap pemuda berpakaian rompi kulit
ular yang bertingkah konyol.
"Kau memang tak tahu malu mengikuti wa-
nita. Apa urusanmu dengan bayi ini"!" tanya Retno agak ketus.
"Aha! Rupanya kau bisa marah juga. Tapi,
aku senang. Dan kalau kau mau tahu urusanku
dengan bayi itu, baiklah." Sejenak pemuda itu menggaruk-garuk kepala. "Kau harus
tahu, aku telah berjanji pada ibu bayi itu untuk menyerahkan
bayi ini pada ayahnya. Maka kuharap kau serah-
kan saja bayi itu padaku."
Retno sejak semula sudah menduga kalau
pemuda yang ada di hadapannya adalah orang
yang diceritakan Sumarni. Tapi, dia masih belum
yakin betul. "Ha ha ha. Kau bisa saja membuat cerita
lucu. Jangan coba-coba mengelabuiku. Siapa kau
sebenarnya..."!" tanya Retno, bernada penuh selidik. "Ha ha ha.... Kau mau tahu
namaku" Baik.
Aku Sena Manggala. Panggil saja Sena. Puas..."!"
sahut pemuda yang memang Sena diiringi tingkah
lakunya yang konyol.
Kening Retno berkerut. Diamatinya Sena
dari atas sampai bawah. Lalu pandangannya ter-
henti pada Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang Pendekar Gila.
"Heh..."!" desah Retno pendek. Wajah gadis itu tiba-tiba berubah. Seakan mulai
mengingat sesuatu. "Apakah pemuda ini yang disebut Pendekar Gila..."! Kakek
Ramulan pernah menceritakan padaku tentang seorang pendekar yang bertingkah
seperti orang gila. Dia memiliki senjata sakti yang berkepala Naga. Senjata itu
disebut Suling Naga
Sakti...!" kata Retno dalam hati.
"Hei..."! Kenapa bengong..."!" tanya Sena ti-ba-tiba, membuat Retno jadi kaget.
Seketika dia sadar dari lamunannya.
"Tidak..., tidak!" sahut Retno gagap sambil beringsut ke samping. Sementara bayi
dalam gendongannya terus di dekapnya.
"Bagaimana" Kau sudah tahu namaku. Dan
aku juga telah menjelaskan semuanya, Ranti...?"
tanya Sena memancing perasaan Retno yang wa-
jahnya mirip Nyi Ranti. "Ranti! Kau juga jangan membohongi aku, dengan pura-pura
mati...." Retno yang mendengar nama Nyi Ranti dis-
ebut, seketika wajahnya berubah kaget. Keningnya
berkerut. Dipandanginya lagi Sena lapat-lapat. Ka-
kinya lantas melangkah ke depan dua tindak.
"Hei...! Kau jangan bicara ngelantur...!" bentak Retno.
Pada saat itu, tiba-tiba bayi menangis dan
meronta-ronta. Kaki dan tangannya seperti akan
mencakar dada Retno.
"Susuilah, mungkin dia lapar...!" ujar Sena, lalu tertawa-tawa dan menggaruk-
garuk kepala. Retno salah tingkah. Wajahnya yang cantik
persis Nyi Ranti, namun tindak-tanduknya sangat
berbeda. Retno pemberani. Pandangan matanya
pun tajam berkesan galak. Sedangkan Nyi Ranti
sebaliknya. Retno memandang Sena sejenak. Lalu wa-
jahnya dipalingkan sambil tersenyum, tersipu ma-
lu. Segera dicoba mendiamkan bayi yang masih
menangis. Namun tangis bayi malah makin keras.
"Ha ha haaa.... Adik Manis, kasihan kau.
Cepat susui dia. Nanti bisa masuk angin," ujar Se-na diiringi tawa cengengesan.
Sementara Retno
mulai kebingungan.
"Kenapa bukan kau saja?" kata Retno, asal nyeplos. Paling tidak hanya untuk
menutupi ke-bingungannya.
"Lho"! Kau ini bagaimana, sih"! Mana
mungkin" Aku kan, laki-laki. Hi hi hi.... Lucu kau ini," jawab Sena dengan tawa
geli. Gadis itu pun sebenarnya merasa geli den-
gan ucapannya sendiri. Namun dia mencoba me-
nahannya dengan memalingkan muka ke samping
sambil menutup rapat mulutnya.
"Aku belum pernah punya bayi!" kata Retno tiba-tiba.
"Tapi, tak apa kan kalau bayi itu minta dis-
usui. Ranti...!" kata Sena kembali memancing perasaan Retno.
"Aku bukan Ranti...! Aku... aku... ahh, su-
dahlah!" seru Retno agak gugup.
"Ha ha ha.... Kau tambah cantik kalau ma-
rah begitu. Maaf, tapi wajahmu mengingatkan aku
pada Ranti yang bernasib malang," tutur Sena kemudian penuh perasaan.
Kata-kata Pendekar Gila membuat Retno
terdiam. Wajahnya mendadak berubah. Kalau tadi
Retno marah, namun kini matanya nampak berka-
ca-kaca dan sayu. Kepalanya menunduk, meman-
dang bayi yang masih menangis.


Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmmm.... Aku yakin, dia saudara kembar
Nyi Ranti. Tapi, kenapa sifatnya begitu berbeda"!"
kata Sena dalam hati saat melihat perubahan di
wajah Retno. Pendekar Gila terus menatap Retno yang
kini nampak gundah.
"Kalau aku jadi kau, bayi itu sudah kususui
sejak tadi. Apakah kau tidak kasihan...?" kata Se-na lagi, sengaja menyentuh
perasaan Retno.
"Kau pikir setiap perempuan bisa menyu-
sui?" sahut Retno cepat sambil menatap Sena tajam. Sena hanya nyengir sambil
menggaruk- garuk kepala. Tingkah lakunya konyol sekali.
8 Suasana hening tiba-tiba kembali bising
oleh tangis bayi itu. Rupanya bayi itu kencing.
Retno kaget dan mendekap bayi itu agak kuat.
Sena kaget. Seketika dia melompat ke arah
Retno bermaksud ingin membantu. Tapi Retno ce-
pat pula menepis tangan Pendekar Gila yang me-
megang lengannya. Lalu ditamparnya pipi pemuda
itu. Plakkk! "Auww...!" Sena memekik sambil memegangi pipi kirinya, pura-pura kesakitan.
Tindakannya memang sengaja, agar Retno senang.
"Kau rupanya ingin mencari kesempatan
dalam kesempitan, ya..."! Genit!" bentak Retno dengan mata melotot
"Maaf. Aku tidak bermaksud buruk, Nisa-
nak yang manis. Aku hanya ingin membantumu,
dan ingin menanyakan kenapa bayi itu nangis la-
gi," jelas Sena sambil masih memegangi pipi kirinya yang ditampar Retno tadi.
"Dasar laki-laki! Kau anggap aku ini perem-
puan apa"! Sudah! Sekali lagi berbuat macam-
macam, awas!" ancam Retno dengan wajah cembe-
rut sambil mengacungkan tangan kanan ke arah
Sena. Pendekar Gila hanya cengengesan.
"Tapi, aku tahu. Kau pun sebetulnya sayang
kepada bayi itu. Demikian juga aku," kata Pendekar Gila.
Retno menghela napas dalam-dalam, lalu
melangkah ke samping. Dipandanginya bayi dalam
pelukannya. Dan bayi itu tiba-tiba mulai diam.
"Kau seperti ahli nujum saja. Tapi semua ini
sebagai bukti, bahwa naluri kewanitaanku masih
belum pudar, bukan?" kata Retno mulai sedikit lunak. "Masih kuragukan! Karena
hati perempuan terlalu sulit diduga!" jawab Sena seenaknya sambil cengengesan.
Retno kaget. Kepalanya langsung berpaling
memandangi Sena. Gadis itu lalu tertawa lepas.
Namun tawanya tiba-tiba terhenti ketika melihat
sesosok bayangan berkelebat di udara. Setelah
berputaran dua kali, kakinya berpijak di antara
Sena dan Retno.
"Kakak...!" seru Retno dengan wajah gembi-
ra. Orang yang dipanggil kakak itu segera meng-
hambur ke arah Retno, seakan tak mempedulikan
Pendekar Gila yang kaget dan terbengong, semen-
tara wanita itu kini berpelukan dengan Retno, lalu menciumi bayi dalam
gendongan. "Aku yakin ini bayi Ranti...," gumam wanita berpakaian silat serba merah.
"Marni..."! Sumarni! Kaukah itu..."!" sebut Sena, begitu wanita berpakaian serba
merah hati itu berpaling ke arahnya.
Kening Retno berkerut, ketika mendengar
teguran Sena pada wanita yang memang Sumarni.
Dan gadis itu memang pernah ditolong Sena bebe-
rapa waktu yang lalu.
"Tuan Pendekar, kau tidak salah. Aku Su-
marni yang pernah kau selamatkan dari cengke-
raman maut. Dan ini, Retno saudara sepupuku...,"
kata Sumarni diiringi senyum kebahagiaan.
Lalu gadis itu mendekati Sena. "Aha! Aku
jadi seperti mimpi. Sudah hampir setahun aku tak
bertemu denganmu, sejak kau menghilang. Kita,
tahu-tahu bertemu di tempat ini, berbarengan pa-
da saat aku sedang ingin menyelamatkan bayi
itu.... Aneh! Seperti dalam mimpi saja...!" kata Se-na sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk ke-
pala. Sumarni tertawa-tawa. "Retno.... Kau masih beruntung tak sampai bertarung
dengannya. Pemuda inilah yang pernah diceritakan Kakek Guru
Ramulan. Kau masih ingat kan, pada seorang pen-
dekar bijaksana dan berbudi luhur yang sakti
mandraguna.... Inilah Pendekar Gila dari Goa Se-
tan itu," jelas Sumarni pada Retno.
"Sudah kuduga, Kak. Aku pun sudah men-
duga.... Tapi, aku terus terang tadi masih ragu.
Karena dia menginginkan bayi ini...," ujar Retno malu-malu dan agak gugup.
Sementara itu Pendekar Gila hanya diam
dan cengar-cengir. Tingkahnya mirip orang gila.
Acuh dengan semua ucapan Sumarni dan Retno.
"Maafkan saudara sepupuku ini, Tuan Pen-
dekar.... Tapi aku kini merasa bahagia, karena da-
pat kembali bertemu denganmu," kata Sumarni la-gi.
"Aah...! Jangan panggil aku dengan sebutan
tuan. Panggil saja Sena, Marni... Aku tak suka di-
panggil demikian, karena sama saja seperti ka-
lian," pinta Sena pada Sumarni.
Retno tersenyum-senyum. Gadis ini mulai
tertarik pada Sena yang memang tampan dan ga-
gah. "Nah, sekarang semuanya sudah nyata.
Apakah kau masih tidak sudi menyerahkan bayi
itu padaku...?" tanya Sena pada Retno.
Retno menoleh pada Sumarni yang berdiri
di sisi kirinya, seperti minta pendapat.
"Kak Sena. Bukannya aku tak mau menye-
rahkan bayi ini padamu. Tapi, ini juga tanggung
jawabku. Karena, bayi ini anak saudara kembarku,
Kak Ranti," tutur Retno dengan mata berkaca-
kaca. Pendekar Gila yang kini semakin yakin ka-
lau Retno saudara kembar Nyi Ranti menjadi lega.
Ditariknya napas panjang dari dihembuskannya
perlahan. Matanya menatap penuh kasih pada
Retno. Sesaat mereka tak berbicara. Hanya pera-
saan hati masing-masing yang berkecamuk. Se-
mentara angin semilir bertiup menyejukkan tubuh.
"Benar, Kak Sena. Retno ini adik kandung
Nyi Ranti yang kau kenal itu. Kasihan. Sungguh
malang, Ranti...," desah Sumarni, sedih.
"Nada suaranya memang agak mirip. Kecua-
li, sifatnya yang berbeda. Seperti antara bumi dan langit," ujar berseloroh.
Retno hanya tersenyum sambil membelai
bayi dalam gendongannya.
"Mungkin dikarenakan naluri kewanitaanku
sudah pudar. Begitu, kan...?" sahut Retno dengan matanya yang bening
dibelalakkan. Sumarni hanya tersipu-sipu menyaksikan
Retno, yang dianggapnya terkadang masih seperti
anak-anak. 'Tidak! Saat ini kau telah memilikinya lagi!"
jawab Sena, tegas.
Retno menjadi tersenyum manis. Hatinya
sangat senang mendengar ucapan Sena, tetapi
hanya sesaat. Kembali dibelainya si bayi.
"Setelah Mang Jarot menemuiku dan mem-
beritahu tentang rencana busuk Nyi Ageng terha-
dap Kak Ranti dan bayinya, aku bergegas pulang.
Tapi, terlambat. Ayahku telah tewas. Segera Raden
Panji kuberitahu. Lalu aku mencari Kak Ranti dan
bayinya. Aku gagal. Tapi, aku bersyukur karena
kau telah menyelamatkan mereka...," tutur Retno, menceritakan semua sepak
terjangnya. "Hm.... Kau kenal kepala bajingan itu?"
tanya Sena. "Gondam! Dia satu perguruan denganku.
Tetapi, kemudian dia jadi sesat," jelas Retno. Matanya masih berkaca-kaca.
"Lalu, bagaimana kau bisa menemukan
aku" Bahkan bisa mencuri bayi itu?" tanya Sena menyelidik.
Retno sejenak menatap Sena, lalu terse-
nyum. Sementara Sumarni masih diam menden-
garkan cerita Retno. Namun, dendamnya pada Nyi
Ageng apalagi pada Sengkala Sekti yang kini men-
jadi Raden Kowara, masih melekat di hatinya.
"Aku berpura-pura bersedia bekerja sama
ketika Gondam mengajakku! Aku sudah tahu, di-
alah yang membunuh ayahku, melalui jejak yang
ditinggalkannya. Juga, bekas pukulan pada tubuh
ayahku. Dia kini sudah menerima bagiannya! Tapi,
sakit hatiku belum hilang, jika belum dapat mem-
bunuh Nyi Ageng!" tutur Retno, panjang lebar.
Sena menghela napas lega disertai anggu-
kan kepala. Dia lantas menoleh ke arah Sumarni
yang nampak terharu mendengar cerita Retno.
"Aku pun ingin membalas dendamku terha-
dap Sengkala Sekti, yang kini mengaku sebagai
Raden Kowara! Mati pun aku rela, jika sudah da-
pat membalas dan membunuhnya!" tandas Su-
marni, geram. "Hm.... Jangan menaruh dendam pada la-
wanmu. Tapi, aku bisa mengerti perasaan kalian
berdua. Aku pun sudah berjanji pada Nyi Ranti,
akan menyerahkan anaknya pada Raden Panji...
Maka jika kau tak keberatan, aku ingin bersama
kalian untuk menyerahkan bayi itu pada Raden
Panji," jelas Sena.
"Alangkah bahagianya aku, jika kau mau
membantu kami. Tanpamu, mungkin kami akan
mengalami kesulitan untuk melawan manusia-
manusia serakah dan berhati iblis itu," sahut Retno.
"Itu sudah kewajibanku, Retno. Aku pun
sangat gembira bisa bertemu kau dan Sumarni,"
kata Sena, polos sambil cengar-cengir.
"Bagaimana kalau kita tak usah lama-lama
di tempat ini. Kita harus mencari tempat yang le-
bih aman, untuk merencanakan langkah selanjut-
nya?" usul Sumarni tiba-tiba.
"Itu usul yang tepat! Tapi, jangan kau kabur
lagi dariku, Marni. Bikin aku pusing dan merasa
berdosa...!" seloroh Sena.
Sumarni pun tertawa lebar. Lalu mereka
bertiga mulai meninggalkan tempat.
* * * Sementara itu di tempat kediaman Nyi
Ageng dan Raden Kowara, kelihatannya tenang-
tenang saja. Namun di sebuah ruangan yang agak
rahasia, kelihatan Raden Kowara dan Nyi Ageng
seperti gelisah. Mereka ditemani seorang pengawal
yang berbadan tinggi besar dengan dada berbulu.
Kumisnya melintang, bersenjatakan kelewang be-
sar di tangan kanan. Dia berdiri di dekat pintu
masuk. Raden Kowara nampak mondar-mandir di
ruangan yang penuh perabotan indah dan cukup
luas. Sementara Nyi Ageng sendiri duduk tenang di
singgasananya. "Kau tak usah cemas, Kowara. Kukira se-
muanya berjalan lancar. Tak lama lagi kita akan
menguasai kekayaan ini. Ha ha ha.... Hi hi hi. ..
Kini hanya aku satu-satunya pewaris kekayaan
yang berlimpah di sekelilingku. Ha ha ha...!" kata Nyi Ageng.
"Diam...!" bentak Raden Kowara alias Sengkala Sekti.
Nyi Ageng kontan terdiam. Dan dia kaget
melihat sikap Raden Kowara. Wanita bertubuh in-
dah dan cukup cantik namun berhati iblis ini ber-
diri menghampiri Raden Kowara.
"Kau mulai berani membentakku"! Kau kira
aku takut denganmu" Bukankah semua ini adalah
rencanamu..."! Jangan coba-coba berlaku kasar
padaku, Kowara!" dengus Nyi Ageng dengan mata mendelik dan berkacak pinggang.
"Dan kau juga jangan menganggap cita-
citamu akan bisa berhasil, jika semua rencana ku-
batalkan. Kau akan menyesal, Nyi!" sahut Raden Kowara sengit dan keras sambil
menuding. Mendengar ancaman Raden Kowara, Nyi
Ageng khawatir juga. Karena dia sendiri merasa,
tanpa Raden Kowara atau si Sengkala Sekti yang
pura-pura diaku sebagai pamannya, tak akan
mampu meraih cita-citanya.
Nyi Ageng diam tak berkata apa-apa lagi.
Wanita telengas ini lalu kembali duduk dan terce-
nung lesu, penuh penyesalan dan kekhawatiran
mendalam. Memang, jika Raden Kowara mening-
galkannya, pasti semua yang dilakukan terhadap
Nyi Ranti akan terbongkar.
"Maafkan aku, Kowara. Aku terlalu terbawa
perasaanku...," ucap Nyi Ageng, setelah merenung beberapa saat
Sengkala Sekti menghela napas panjang.
Lalu diperintahkannya pengawal yang berbadan
besar itu pergi dari ruangan itu.
"Perasaanku sejak semalam tak tenang.
Pasti akan terjadi sesuatu yang tidak kita ingin-
kan. Untuk itu, kau harus mengerti," kata Raden Kowara setelah pengawal itu tak
kelihatan lagi.
Nyi Ageng jadi mulai cemas mendengar
ucapan Sengkala Sekti. Wanita yang bermata galak
itu mulai tak tenang, terus mendesah.
"Tapi, mudah-mudahan mimpiku tak akan
menjadi kenyataan. Yang penting, kau harus sela-
lu luwes dan seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Jangan cemas mendengar keteranganku ini. Kita
harus melawan mereka. Siapa pun orangnya!" tandas Raden Kowara, geram.
Sesaat kemudian menjadi hening. Nyi Ageng
menghela napas panjang. Matanya menatap tajam


Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke arah Sengkala Sekti yang masih berdiri di ha-
dapannya. "Mudah-mudahan Gondam tak mendapat
kesulitan. Tapi, kenapa dia terlambat datang..."!"
desah Nyi Ageng, seperti bicara pada diri sendiri.
Raden Kowara bergegas keluar dari ruangan
dengan langkah lebar. Rupanya lelaki bermuka ke-
ras itu merasakan sesuatu.
Nyi Ageng kaget melihat sikap Raden Kowa-
ra. Dia pun segera keluar dari ruangan rahasia ini.
* * * Sementara itu Pendekar Gila yang kini me-
mondong bayi Nyi Ranti, telah tiba di lembah ka-
rang bersama Retno dan Sumarni. Namun baru
saja salah seorang hendak angkat bicara, tiba-tiba dari atas pepohonan dan dari
balik batu-batu karang bermunculan orang-orang bertelanjang dada.
Wajah mereka tertutup topeng berwarna pucat. Di
tangan mereka tergenggam bermacam-macam sen-
jata. "Hah..."! Mau apa tikus-tikus ini...!" gumam
Sena sambil mendekap bayi dalam gendongannya.
"Manusia-manusia keparat! Aku yakin me-
reka orang-orang bayaran Nyi Ageng!" dengus Retno penuh kegeraman. Gadis cantik
itu segera menggerakkan kedua tangan, membuka jurus si-
latnya. "Ya! Mereka harus segera dihabisi. Aku tak ingin berlama-lama dengan
kunyuk-kunyuk busuk
ini!" sahut Sumarni, juga membuka sebuah jurus silatnya langsung dia mengambil
tempat dengan mengadu punggung pada Retno.
Sementara itu sebanyak lima belas orang
bertopeng pucat telah mengurung Sena, Retno,
dan Sumarni. "Aha! Rupanya kita akan bermain-main se-
jenak dengan kecoa-kecoa ini. Hi hi hi...!" ejek Pendekar Gila dengan nada
tinggi, bertingkah aneh
seperti orang gila.
Dan saat selanjutnya....
"Seraaang...!" seru salah seorang pengepung
yang berpakaian serba hitam. Rupanya, dialah
yang menjadi pimpinan pengeroyok ini.
"Heaaa...!"
"Heaaatt...!"
"Yeaaa...!"
"Heit...!" Pendekar Gila melenting ke udara sambil bersalto menghindari
serangan. Sementara Retno dengan ganas langsung
mengibaskan tangannya. Maka seketika melesat
beberapa benda keperakan ke arah empat orang
sekaligus. Jlep, jlep! "Aaaa...!"
Empat penyerang seketika ambruk sambil
menjerit, dengan kening tertancap senjata Retno
yang berupa uang logam.
Sedangkan Sumarni yang lebih tua dari
Retno, bergerak agak lamban namun terlihat man-
tap. Sekali kebut pedangnya mampu membinasa-
kan empat orang lawan.
Crass! Crasss! "Aaawww...!"
Pekik kematian terdengar susul-menyusul
dari orang-orang bertopeng, terbabat pedang Su-
marni. Sementara itu, Pendekar Gila hanya mampu
meliuk-liukkan tubuhnya mengelakkan serangan.
Baru kemudian, tubuhnya, berkelebat dengan
sambaran tangan kanan ke arah kepala lawan.
Prak! Prakkk! Lima orang sekaligus ambruk di hajar Pen-
dekar Gila tanpa mampu berkutik lagi. Mereka
mati bersimbah darah.
Pertarungan berjalan semakin seru. Teru-
tama ketika melesatnya sosok hitam yang lang-
sung menggempur Sumarni. Sumarni terdesak.
"Heaaa...!"
"Yeaaatt...! Huh"!"
Sumarni terpekik sambil mundur, ketika
satu cakaran tangan kanan sosok berbaju hitam
itu hampir saja merusak wajahnya.
Dia memang pimpinan pengeroyok yang
berkepandaian cukup lumayan. Tak heran kalau
Retno yang baru saja merobohkan seorang lawan-
nya, segera melompat ke arah pimpinan orang ber-
topeng yang mencecar Sumarni. Dan tanpa banyak
bicara langsung dihajarnya orang itu dengan ten-
dangan kaki kanan ke arah kepala.
Desk! "Aaaakh...."
Terdengar pekikan panjang, begitu kepala
laki-laki berbaju hitam itu terhantam tendangan
Retno. Tubuhnya kontan melintir lalu ambruk tak
berkutik lagi. Retno dengan wajah puas memandang la-
wannya yang terkapar di tanah bermandikan da-
rah. Sementara Sumarni bergerak bangun. Semen-
tara Pendekar Gila juga sudah menyelesaikan per-
tarungannya. Dalam waktu singkat, lima belas
orang bertopeng itu sudah terkapar.
Sena segera menghampiri Retno dan Su-
marni. "Kalian ternyata memiliki ilmu yang cukup hebat. Aku kagum," puji Sena
sambil mengacungkan jempol.
"Tapi, kita berdua belum ada apa-apanya
kalau dibanding Kak Sena," kata Retno merendah, sambil mengelap kening dengan
lengan baju. "Ah! Jangan memuji. Ayo kita harus cepat
pergi dari sini. Bayi ini harus diselamatkan dulu.
Raden Panji pasti sudah tak tenang," ajak Sena.
Lalu ketiga anak muda itu melanjutkan per-
jalanan menuju Rajamandala.
* * * Di Rajamandala, Raden Panji nampak se-
dang murung, duduk di dalam rumahnya yang ter-
letak di tengah perkebunan luas. Raden Panji
nampak begitu lesu. Dia masih berduka atas peris-
tiwa kematian Nyi Ranti. Bahkan dia terus memi-
kirkan keadaan bayinya yang tak jelas kabar beri-
tanya. "Oh, Gusti.... Lindungi anakku, kalau memang masih hidup. Mudah-mudahan
ada orang yang menyelamatkannya," desah Raden Panji lirih, seakan bicara pada diri
sendiri. Pada saat itu, tiba-tiba muncul seorang le-
laki setengah baya.
"Maaf, Raden.... Ada tamu," lapor laki-laki setengah baya itu.
Raden Panji bergegas bangkit, kemudian
melangkah ke arah pintu.
Ternyata, di depan terlihat Pendekar Gila
yang menggendong bayi. Di sisinya, tampak Retno
dan Sumarni. "Retno...! Kau..."!" tegur Raden Panji, serak.
Dipandanginya Sena yang cengar-cengir.
Retno langsung menghambur ke arah Ra-
den Panji, lalu memeluknya. Sementara Raden
Panji masih terbengong di tempatnya.
"Kakang Panji.... Aku datang membawa
bayimu...," ujar Retno dengan suara seperti akan menangis.
Pendekar Gila lantas melangkah mendekati
Raden Panji yang masih berpelukan dengan Retno.
Suami Nyi Ranti itu lalu melepas pelukan adiknya
perlahan. Kemudian dengan langkah perlahan,
mendekati Sena yang menggendong bayi.
"Oh, anakku! Kau tentu sangat menderita.
Maafkan ayahmu yang terlalu lemah.... Oh, Gusti.
Terima kasih, terima kasih...."
Raden Panji langsung memeluk dan men-
cium anaknya berulang kali. Matanya berkaca-
kaca, terdorong rasa haru dan bahagia atas kese-
lamatan putranya.
"Kau sudah melihat perbedaannya, bukan"
Itulah ayah sejati," bisik Sena pada Retno yang sudah berdiri di sampingnya.
Retno yang masih berkaca-kaca itu terse-
nyum. Tangannya lantas mengelap air mata yang
mengembang di kelopak mata.
Sementara, Sumarni sudah tak tahan. Ga-
dis itu menangis melihat semua peristiwa yang
menyedihkan dan juga membahagiakan ini. Baha-
gia karena bersama Retno dan Sena dapat melak-
sanakan tugas dengan baik. Sedih, karena sadar
kalau dirinya kini sebatang kara seperti halnya
Retno. Tak ada ayah dan ibu lagi.
Raden Panji masih menggendong bayinya.
Sebentar-sebentar diciumnya dengan penuh kasih
sayang. Retno, Sumarni, dan Sena yang melihat-
nya jadi trenyuh. Mereka kini duduk bersila di
ruangan yang cukup luas.
"Tidak pernah kusangka, ternyata aku telah
memelihara ular-ular berbisa di rumahku! Kasihan
Dinda Ranti. Karena kebodohanku, dia jadi kor-
ban," sesal Raden Panji tiba-tiba.
Sejenak, Raden Panji terdiam menahan ke-
pedihannya. Tangannya tak henti-henti membelai
kepala bayinya yang tergolek tidur di pangkuan.
"Aku benar-benar sangat berterima kasih
pada, Kisanak. Hanya Tuhanlah yang dapat mem-
balas kebaikanmu, Sena," ucap Raden Panji.
"Tuhan juga maha pengasih. Dia akan men-
guatkan dan menghibur hati Raden Panji. Yang ja-
hat pasti dihukum-Nya," jawab Sena polos dan tegas. Sesaat suasana hening,
karena semuanya
terdiam. Masing-masing dengan perasaan dan pi-
kirannya. "Sejak kedatangan pamannya yang bernama
Kowara, Nyi Ageng jadi berubah! Aku tidak tahu,
dialah dalang dari semua ini. Ternyata, dia me-
mang ingin menguasai seluruh hartaku! Sumarni
dan Retno-lah yang memberitahuku. Tapi, semua-
nya sudah terlambat. Aku benar-benar orang bo-
doh dan tak mempunyai keberanian...," tutur Raden Panji, memecah kesunyian.
"Tidak ada yang terlambat, Kakang Panji.
Aku telah bersumpah akan membuat perhitungan
pada manusia-manusia licik dan jahat itu," sahut Retno geram. Jari-jari tangan
kanan dan kirinya
mengepal kuat-kuat.
"Ya! Aku pun akan menuntut balas atas
kematian kedua orangtuaku. Kowara alias Sengka-
la Sekti itu harus kubunuh! Nyawa kupertaruh-
kan!" tambah Sumarni tak kalah sengitnya.
Sementara Pendekar Gila hanya cengar-
cengir mendengarkan ucapan Retno dan Sumarni.
Tak lupa, kepalanya digaruk-garuk.
"Kita harus mengatur siasat...," kata Su-
marni lagi. "Ya! Mereka tentu akan menanyakan Gon-
dam. Dan mereka akan curiga pada kita semua,"
tambah Retno. "Aku punya akal. Kowara tentunya menge-
nalku," kata Sumarni kemudian. "Lantas?" tanya Retno. "Biarlah Kak Sena membawa
bayi pada mereka, sambil menyanderaku. Seakan, Kak Sena
yang menangkapku.... Aku yakin, mereka akan
percaya," kata Sumarni penuh keyakinan.
"Boleh juga. Aku kagum padamu, Kak. Tapi,
aku sendiri bagaimana?" tanya Retno ingin tahu.
"Kau harus menutupi wajahmu dengan ca-
dar, agar mereka tak mengenalimu. Kau datang
dengan Kak Sena...."
"Aha! Rupanya kau cukup cerdik, Marni.
Dan rencanamu cukup ampuh. Sebaiknya kita se-
gera berangkat. Di mana mereka kini berada?"
tanya Sena, memotong kata-kata Sumarni.
Mereka sengaja tinggal di Karang Sewu. Dan
itu permintaan mereka padaku, dengan alasan Nyi
Ageng ingin menenangkan diri di daerah yang
sunyi dan agak terpencil. Aku mengizinkannya,
karena sudah muak melihat mereka," tutur Raden Panji. Sumarni yang mendengar itu
bertambah terbakar hatinya.
"Penipu-penipu itu harus segera dile-
nyapkan! Mereka sudah keterlaluan. Kalau Kakang
Panji ingin tahu siapa sebenarnya Kowara, jawa-
bannya nanti"
"Apa maksudmu, Marni" Apakah yang kau
maksud Kowara...?" tanya Raden Panji.
Sena dan Retno menjadi kaget melihat Su-
marni yang begitu marah dan hampir tak bisa
mengendalikan diri. Raden Panji pun menjadi se-
makin cemas. Sebenarnya, lelaki ini sudah mem-
punyai firasat, bahwa Raden Kowara yang diaku
paman oleh Nyi Ageng istri pertamanya, memiliki
gerak-gerik tak wajar. Namun karena tak ingin ter-
jadi sesuatu, apalagi saat itu Nyi Ranti sedang hamil tua, maka dia tak
bertindak apa-apa.
Suasana menjadi hening beberapa saat Su-
marni nampak mulai menyesal atas ucapannya ta-
di. Dia merasa bersalah, hingga membuat Raden
Panji menjadi cemas kembali.
"Aha! Aku rasa semuanya tak perlu dibica-
rakan lagi. Lebih baik kita segera berangkat. Lebih cepat, lebih baik. Dan
kuharap rencana ini akan
berjalan lancar," kata Sena tiba-tiba sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar! Kalau begitu, izinkan kami berang-
kat sekarang, Kakang Panji," tambah Retno.
"Baik. Doaku untuk kalian. Hati-hati, Ret-


Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

no, Marni. Aku telah banyak membuat kalian su-
sah. Tuan Pendekar, tolong bantu mereka...," ucap Raden Panji dengan suara serak
agak lemah. "Itu sudah kewajibanku. Dan aku merasa
lega bisa bertemu Raden Panji...," jawab Sena polos.
* * * Para penjaga bangunan megah berpagar
tembok tinggi, menghadang Sena yang menggen-
dong bayi dan Retno yang bercadar. Kedua anak
muda itu menggiring Sumarni yang sengaja dibuat
kotor wajahnya. Tangan Sumarni seakan terikat di
belakang. "Berhenti! Siapa kalian..."!" bentak penjaga berkumis tebal dan bermuka garang.
"Aku membawa wanita ini untuk kuserah-
kan pada juraganmu Raden Kowara dan Nyi
Ageng. Sekaligus, menyerahkan bayi ini," jawab Sena dengan tegas dan kemudian
cengar-cengir. Kening penjaga yang berkumis tebal jadi
berkerut menoleh kepada kawannya yang ada di
sebelah kiri. Dia berbisik sejenak, lalu salah seorang berlari masuk ke dalam.
Sena berpaling ke arah Retno yang memakai
cadar hitam. Tak beberapa lama, orang yang masuk ke
dalam keluar lagi. Dan dia segera berbisik pada la-ki-laki berkumis tebal.
"Kalian boleh masuk. Tapi, jangan berbuat
macam-macam kalau ingin selamat," kata orang
berkumis tebal, dengan sombong.
"Orang ini perlu kupatahkan lehernya nan-
ti," gumam Retno perlahan sambil melangkah masuk diikuti Sena yang menggiring
Sumarni. Di depan bangunan megah, sudah menung-
gu Raden Kowara dan Nyi Ageng. Kedua orang itu
menatap kedatangan Sena, Retno, dan Sumarni
dengan kening berkerut. Lalu mereka saling pan-
dang. Retno yang berada paling depan sambil
menggendong bayi, segera menjura. Demikian juga
Sena. Raden Kowara dan Nyi Ageng hanya men-
ganggukkan kepala.
"Siapa kalian...?" tanya Raden Kowara penuh selidik. Suaranya terdengar berat.
Sena lantas menarik Sumarni ke depan.
Raden Kowara yang langsung mengenali wa-
jah Sumarni, jadi kaget. Matanya terbelalak, mena-
tap tajam pada gadis itu.
"Kau...!"
"Ya! Kau tentunya mengenal wanita ini. Dia
telah membunuh Gondam, orang bayaranmu. Dan
kebetulan, aku dan temanku ini lewat. Segera wa-
nita ini kutangkap, ketika mencoba kabur dengan
bayi ini. Dan ketika kami desak, wanita ini baru
mengaku. Terus terang, aku orang perantau dan
perlu perbekalan. Dan akan menyerahkan bayi ini
pada Tuan, tapi aku perlu ini...," kata Retno sambil menggerakkan jari
tangannya. Raden Kowara lalu menoleh ke arah Nyi
Ageng yang nampak sudah tak sabar dan cemas.
Wanita itu lantas menganggukkan kepala tanda
setuju. "Bawa ke sini bayi itu...," ujar Nyi Ageng ti-ba-tiba.
Retno yang bercadar membawa bayi yang
terbungkus rapat, hendak melangkah. Tapi Raden
Kowara cepat mengangkat tangannya.
"Tunggu! Aku ingin melihat wajahmu. Baru
aku akan memberi upah sekantong uang emas,"
ujar Raden Kowara.
"Ha ha ha.... Kau memang Manusia Bu-
suk...!" seru Retno sambil membuka cadarnya.
Langsung gadis itu menyerang Raden Kowa-
ra dengan pukulan tangan kanan. Raden Kowara
yang tak menduga sama sekali, langsung terkejut.
Namun dia masih sempat mengelak dengan memi-
ringkan tubuhnya ke samping. Pada saat itu pula
Sena dan Sumarni mulai bertindak.
"Kepung!" seru Raden Kowara.
Seketika puluhan penjaga mengepung tiga
anak muda itu. Wajah Nyi Ageng mendadak pucat. Dia be-
rusaha kabur masuk ke dalam.
Sementara, Raden Kowara kini ganti men-
cecar Retno dengan tendangan dan pukulan kilat-
nya. Sampai pada satu kesempatan, tendangannya
mengenai bungkusan bayi.
Prakkk! Ternyata dalam bungkusan itu bukan bayi,
melainkan buah labu besar. Melihat hal ini Raden
Kowara semakin marah!
"Kurang ajar! Kalian telah menipuku. Maka
terimalah hukuman kalian. Heaaa...!"
Raden Kowara alias si Sengkala Sekti lang-
sung melancarkan serangan kilat dengan jurus-
jurus mautnya. Wutt, wuttt! "Uts!"
Sampai sejauh ini Retno masih mampu
menghindar dengan lentingan tubuhnya. Namun
Sengkala Sekti tidak tinggal diam. Begitu gadis itu
mendarat di tanah, cepat dilepaskannya pukulan
mautnya. "Heaaa...!"
Tak ada kesempatan bagi Retno, selain me-
mapak dengan tangannya.
Plak, plakk! "Huh..."!"
"Hebat juga bocah ingusan ini. Kini terima-
lah ini. Heaaa,..!"
Begitu serangannya gagal, Raden Kowara ti-
ba-tiba melenting ke udara. Dan setelah bersalto di udara, tubuhnya cepat
menukik bagai burung
elang ke arah Retno.
Retno yang melihat itu bermaksud mengejar
ke udara. Namun belum sempat melompat, caka-
ran Sengkala Sekti lebih cepat menghajar pung-
gungnya, Crasss! "Aaakh...!" Retno memekik dengan tubuh
terhuyung-huyung.
Sementara, Sumarni yang sedang mengha-
dapi tiga pengawal langsung saja melompat ke
arah Retno hendak menolong. Pada saat yang sa-
ma Raden Kowara yang telah mendarat, kembali
menyerang. Sumarni yang sudah dendam pada la-
ki-laki itu, segera memapak serangan dengan ba-
batan pedangnya.
Wess, wesss! Desk. Desk! "Aaakh...!" Sumarni menjerit. Sungguh tak disangka, ternyata Raden Kowara lebih
cepat dan lebih cerdik dari Sumarni. Seketika dada gadis itu
tersambar cakar Raden Kowara yang berilmu ting-
gi. Seketika dari mulut Sumarni keluar darah se-
gar. Tubuhnya kontan ambruk celentang di tanah
sambil meringis kesakitan. Dadanya membiru dan
ada tanda cakar jari-jari tangan Raden Kowara.
Itulah jurus 'Cakar Iblis Mencabut Nyawa'!
Pendekar Gila yang baru saja merobohkan
enam orang sekaligus, kaget melihat Sumarni dan
Retno dalam bahaya. Segera Pendekar Gila meng-
hajar empat orang dengan tendangan, lalu melom-
pat ke arah Retno dan Sumarni untuk melindungi.
Pada saat itu, Raden Kowara sedang membuka ju-
rus mautnya, 'Seribu Bayangan'! Sementara, Retno
pun telah mengerahkan kembali tenaga dalamnya
untuk menghilangkan rasa sakitnya. Namun baru
beberapa saat, tubuhnya kembali lemas.
Sedangkan Sena nampak tenang-tenang sa-
ja. Segera dia menyelamatkan Sumarni lebih dulu
yang wajahnya semakin pucat.
"Kau harus bertahan, Marni. Coba hilang-
kan rasa nyeri pada lukamu. Makanlah obat ini,"
ujar Pendekar Gila sambil cepat memberikan obat
yang diambil dari kantong kecil di dalam ikat pinggangnya. Dan Sumarni pun
segera menelannya.
Lalu Pendekar Gila melesat ke arah Retno. Lang-
sung diberikannya obat itu, Retno pun segera me-
nelannya. Tepat ketika Pendekar Gila berdiri tegak
menghadap Sengkala Sekti, lelaki itu telah nam-
pak menjadi banyak. Dan dia seperti berlarian,
mengelilingi Pendekar Gila dan Retno.
"Edan! Dia mengerahkan ilmu 'Seribu
Bayangan...!" dengus Sena sambil menggaruk-
garuk kepala, "Retno, jaga Marni. Hati-hati. Ka-caukan dia. Biar aku yang
mencari aslinya."
Pendekar Gila segera membuka ajian 'Inti
Brahma Api'. "Ha ha ha.... Keluarkan semua ilmu sakti-
mu, Anak Muda. Kalian tak akan bisa keluar dari
lingkaran ini.... Ha ha ha!" ejek Raden Kowara.
Sementara para pengawal hanya menyaksi-
kan penuh keheranan. Tentu saja mereka tak ingin
mati konyol bila mendekati sekitar pertarungan.
Dan malah ada yang kabur untuk menyelamatkan
diri. Bayangan tubuh Raden Kowara terus men-
gepung tiga anak muda ini. Dan Pendekar Gila
pun mulai menghajar satu persatu bayangan Ra-
den Kowara menggunakan aji 'Inti Brahma Api'.
Seketika itu pula, Pendekar Gila menghentakkan
tangannya ke depan, ke arah bayangan-bayangan
Raden Kowara. Maka dari telapak tangan pemuda
itu melesat bola-bola api mencari sasaran.
Wusss! Blarrr...! Beberapa bayangan Raden Kowara kontan
terbakar terkena bola-bola api yang dilepaskan
Pendekar Gila. Dalam sekejap puluhan bayangan
Raden Kowara lenyap. Namun sungguh tak dis-
angka, bayangan itu muncul lagi hingga berulang
kali. Retno dan Sumarni yang telah kembali se-
hat, ikut melancarkan serangan. Retno dengan ke-
pingan-kepingan uang logamnya menghajar kepa-
la bayangan jelmaan Raden Kowara, hingga terbe-
lah dua hingga meledak dan hilang.
"Ha ha ha...! Hebat juga kalian. Tapi, kini
kalian akan kukirim ke neraka...! Heaaa...!"
Raden Kowara kembali melancarkan seran-
gan menggunakan ilmu sihirnya. Kedua telapak
tangannya dihentakkan. Maka seketika tanah yang
diinjak Pendekar Gila, Retno, dan Sumarni jadi
lautan lumpur yang kental sekali. Sehingga kaki-
kaki mereka sukar diangkat.
"Edan ilmu sihir lagi! Retno, Marni, hilang-
kan perasaan kalian. Hanya dengan jalan itu, ka-
lian bisa terlepas dari ilmu sihirnya," ujar Sena disertai pengerahan tenaga
dalam. Lalu Pendekar Gila mengangkat kedua tan-
gannya ke atas kepala. Kemudian dengan cepat
pula, Suling Naga Saktinya dicabut. Seketika itu
pula Suling Naga Sakti dihentakkan ke lumpur
maut Blarrr! Seketika terjadi ledakan. Bahkan lumpur
maut itu hilang, berubah jadi tanah lagi. Seperti
semula. Raden Kowara kaget setengah mati dengan
mata terbelalak lebar. Giginya gemeretakan me-
nandakan amarahnya yang semakin memuncak.
"Aku tak ingin ada orang yang bisa melebi-
hiku. Tapi, benda yang digenggam pemuda gon-
drong yang bertingkah aneh itu sungguh dahsyat!"
Raden Kowara bergumam lirih bicara pada dirinya
sendiri. Sepertinya, dia mengenali Suling Naga
Sakti milik Pendekar Gila. "Celaka! Jangan-jangan
pemuda inilah yang berjuluk Pendekar Gila"!"
Raden Kowara membuka gerakan silatnya.
Wajahnya mulai nampak tegang, ketika segera me-
lihat Pendekar Gila, Retno, dan Sumarni kini ber-
balik mengepung.
"Aha! Kenapa kau terdiam seperti tikus ter-
cebur kali?" ejek Sena.
"Kak Sena, biar aku yang meringkus Manu-
sia Iblis itu!" seru Sumarni, langsung menyerang
Raden Kowara dengan babatan pedangnya.
Namun Sengkala Sekti cepat melontarkan
senjata rahasianya yang berbentuk segi tiga dari
logam. Zing, zingng!
Sumarni bertindak cepat. Langsung pe-
dangnya dibabatkan ke arah senjata rahasia yang
meluncur ke arahnya.
Trang! Salah satu senjata Raden Kowara menghan-
tam pedang Sumarni, hingga patah jadi dua. Dan
bersamaan dengan itu, sebuah senjata rahasia
Raden Kowara menyerempet di lengan kiri Sumar-
ni. "Hah"! Kak Marni...!" teriak Retno.
Saat itu juga Retno melancarkan serangan
dengan melemparkan kepingan uang ke arah Ra-
den Kowara. Sehingga, si Sengkala Sekti ini tak
menyerang lagi.
"Kau tidak apa-apa, Kak?" tanya Retno
sambil berjongkok, untuk memeriksa luka Sumar-
ni.

Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Hanya nyeri sedikit.... Lengan kiri-
ku. Uh...," desah Sumarni.
Gadis itu segera menggerakkan kedua tan-
gannya, seperti sedang mengerahkan tenaga da-
lam. Namun baru akan melangkah, tubuhnya ro-
boh lagi. "Kak..."! Kuatkan. Tahan, Kak. Kurang
ajar!" dengus Retno, begitu geram.
Sementara itu, Pendekar Gila sudah melesat
cepat menghadapi Raden Kowara. Maka terjadilah
perkelahian seru antara Pendekar Gila melawan
Raden Kowara. "Heaaa...!" "Hiaaa...!"
Plakk, plakkk! Desk, desk! Kedua orang berilmu tinggi itu saling pukul
dan tendang di udara. Pendekar Gila tampak tak
begitu mendapat kesulitan kalau menghadapi Ra-
den Kowara yang nampak mulai kecut, setelah ya-
kin kalau yang dihadapinya adalah Pendekar Gila,
murid si Singo Edan.
Pendekar Gila kini mendarat mulus di ta-
nah. Dan dengan gerakan cepat, dilancarkannya
serangan kilat menggunakan pukulan jarak jauh
ke arah Raden Kowara.
Sengkala Sekti cepat melenting ke udara
dan bersalto dua kali. Lalu dengan ringan, kakinya mendarat di atas tembok pagar
gedung rumah, seraya melontarkan senjata-senjata rahasia lagi ke
arah Pendekar Gila.
Namun dengan tenang, Pendekar Gila me-
nangkis dengan Suling Naga Saktinya.
Tring, tring! Dua senjata rahasia itu berbalik ke arah
Raden Kowara. Kedua mata Raden Kowara terbela-
lak, karena tak menduga akan terjadi serangan ba-
lik. Cepat-cepat laki-laki itu melompat sambil bersalto. Namun salah satu benda
berbentuk segi ti-
ga, masih sempat menancap di paha sebelah ki-
rinya. "Aaa...!" pekik Raden Kowara keras. Tubuhnya kontan jatuh ke tanah.
Sementara itu, Retno yang melihat Sumarni
semakin lemah keadaannya segera bangkit. Den-
gan wajah merah membara, segera dia melesat me-
lompat sambil bersalto di udara menuju ke arah
Raden Kowara yang masih terduduk ditanah.
"Yeaaa...!"
Retno cepat melontarkan kepingan-
kepingan uang ke arah Raden Kowara.
Zwing zwing zwingng!
Tapi Raden Kowara cepat mengelak dengan
bergulingan di tanah. Lalu tubuhnya melesat ke
udara lagi, sambil mencoba untuk kabur.
Retno terus mengejarnya. Sedangkan Sena
segera menghampiri Sumarni, yang nampak se-
makin parah. "Marni, Marni..."!"
Sena mencoba menggerak-gerakkan tubuh
Sumarni yang sudah mulai membiru.
"Tahan, Marni. Racun itu akan segera ke-
luar. Cepat telan obat ini!" ujar Sena sambil mene-kankan telapak tangannya ke
luka di tangan kiri
Sumarni. Sekejap tubuh Sumarni yang tadi pucat
mulai agak segar. Dan luka di lengan kirinya mulai mengeluarkan darah segar.
"Oh, Gusti. Terima kasih..., Kak Sena, teri-
ma kasih...," ucap Sumarni lemah.
"Jangan bergerak terlalu banyak. Tunggu di
sini dan bersembunyilah. Aku akan membantu
Retno dulu," ujar Pendekar Gila, lalu melesat pergi.
* * * Sementara itu Retno yang sudah berada da-
lam bangunan megah segera mencari-cari Raden
Kowara yang kabur dan menghilang. Dan ketika
sampai di sebuah ruangan, dia melihat tetesan da-
rah segar di lantai ruangan.
Dengan penuh kewaspadaan gadis itu me-
langkah perlahan ke arah ceceran darah, menuju
ke salah satu pintu.
"Yeaaa...!
Sambil bergulingan di lantai, Retno melem-
parkan kepingan-kepingan uang ke arah dalam
ruangan, yang ternyata kamar tidur.
Namun, gadis itu tak menemukan Raden
Kowara di situ. Retno Jadi kesal. Dan dia amat
terkejut ketika melihat sesosok tubuh mulus ter-
gantung di tengah ruangan.
"Ya, Gusti...!" pekik Retno.
Ternyata, Nyi Ageng yang gantung diri di
ruangan ini. Lidahnya tampak terjulur keluar,
dengan mata mendelik.
"Rupanya dia memilih bunuh diri, karena
dosa-dosanya. Tapi...."
Baru saja Retno akan melangkah, tiba-tiba
saja sebuah pukulan dan tendangan keras meng-
hajarnya dari arah belakang.
"Aaaakh...!"
Retno kontan menjerit dan roboh di tempat
tidur dalam keadaan telentang.
"Ha ha ha...! Kini kau akan menyusul sau-
dara kembarmu, Bocah Ayu...! Tapi sebelum kuki-
rim ke neraka, aku ingin menikmati dulu keinda-
han tubuhmu. He he he...," kata pembokong yang ternyata Raden Kowara.
Sementara, Retno tak sadarkan diri telen-
tang di tempat tidur. Dan Raden Kowara segera
menindihnya. Langsung disobeknya pakaian ba-
gian atas gadis itu.
Brettt! Saat itu juga terpampanglah dua bukit mu-
lus terbungkus kulit putih bersih, sehingga mem-
buat mata Raden Kowara berbinar-binar. Air liur-
nya pun mulai menetes. Wajahnya yang bertam-
bah angker, mulai menciumi dada Retno. Dan....
Ketika Raden Kowara baru saja hendak melepas
celana Retno, tiba-tiba....
Plakk! Plakkk! "Aaaakh...!"
Raden Kowara tiba-tiba menjerit sambil
memegang kepalanya. Tubuhnya segera dicobanya
untuk mengerahkan tenaga dalam, langsung ter-
guling jatuh ke lantai ingin mengeluarkan sebuah
jurus. Raden Kowara mencoba bangkit berdiri,
namun pada saat itu juga, sebuah tendangan ke-
ras kaki kanan seorang pemuda berpakaian kulit
ular, menghajarnya bertubi-tubi.
Des! Dugb! Derrr...!
Raden Kowara kembali terguling di tanah.
Kepalanya langsung hancur. Raden Kowara ma-
tanya melotot. Dari seluruh kepalanya mengucur
darah segar. Rupanya, tadi Sengkala Sekti ini juga terhantam Suling Naga Sakti
Pendekar Gila. Sosok yang ternyata Sena menghela napas
lega segera didekatinya Retno untuk menutupi ba-
gian tubuhnya yang terbuka. Baru setelah itu,
Pendekar Gila memeriksa luka Retno, akibat han-
taman Raden Kowara tadi.
Sena segera meletakkan telapak tangannya
di luka Retno untuk menyalurkan hawa murni.
Asap mulai mengepul dari telapak tangan Sena.
Tak lama, tubuh Retno yang tadi seperti mati, kini bergerak-gerak. Tak lama,
tampak seluruh tubuhnya sudah berkeringat. Dan Sena pun mengangkat
telapak tangannya, menunggu perkembangan Ret-
no selanjutnya.
"Oh... oh...! Kak Sena...!" sebut Retno setelah sadar. Segera gadis itu
merapikan pakaiannya
yang telah sobek, kemudian memeluk Sena erat-
erat. "Semuanya sudah berlalu, Retno...," ucap Sena kalem.
Perlahan Sena melepaskan pelukan Retno,
lalu membawanya keluar dari kamar terkutuk ini.
Sementara itu, Sumarni dengan langkah
lemah mendekati Sena dan Retno. Mereka bertiga
berpelukan, sambil melangkah-perlahan.
"Mereka telah menerima ganjaran yang se-
timpal atas dosa-dosanya. Dan Nyi Ageng sendiri
terjebak oleh setan yang telah bersarang dalam ji-
wa dan tubuhnya. Sehingga, dia ketakutan sendiri
dan mengambil jalan pintas. Bunuh diri!" tutur Sena. Pendekar Gila kembali
melangkah sambil
merangkul Retno, keluar dari bangunan yang kini
menjadi sepi bagai rumah hantu.
Langit pun mulai gelap. Suasana saat ini
bertambah sunyi.
SELESAI Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Hamukti Palapa 11 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Pendekar Pemanah Rajawali 39
^