Pencarian

Sepasang Walet Merah 2

Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah Bagian 2


Kuburan Iblis itu tak mungkin pernah percaya andai
tidak menyaksikannnya sendiri.
Apapun ilmu gila yang dimiliki oleh lawannya
dia sudah tidak perduli lagi. Kepalang tanggung. Kem-
bali dia memberi isyarat pada Puteri Gagu, lalu dengan disertai jeritan tinggi
melengking tubuh kedua manusia buruk rupa itu telah berkelebat menyambar-
nyambar. Sesekali dengan kecepatan yang sangat sulit
diikuti oleh kasat mata, Nyai Plasik dan Puteri Gagu
menyerang Buang Sengketa dengan senjata rahasianya
yang berupa Paku Beracun berwarna hitam.
Pada dasarnya tokoh sesat ini sangat dikenal
dengan pukulan 'Jari Iblisnya, satu-satunya senjata
yang mereka andalkan adalah senjata rahasia yang be-
rupa jarum beracun itu.
Pendekar Hina Kelana sungguhpun baru sekali
ini bertemu dengan lawan yang menamakan dirinya
sebagai dedengkot dari Kuburan Iblis, tapi dapat me-
nyadari, bahwa senjata rahasia yang disambitkan se-
cara cepat oleh kedua lawannya itu sesungguhnya le-
bih berbahaya lagi daripada menghadapi sepuluh mata
pedang. Itulah sebabnya dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh dan kecepatan gerakan tubuh, si
pemuda secara silih berganti memainkan jurus-jurus
silatnya. Pertama-tama dia mempergunakan Jurus
'Membendung Gelombang Menimba Samudra', mem-
pergunakan jurus ini dia hanya mampu bertahan se-
bentar, karena di pihak lawan ternyata telah pula me-
mainkan Jurus 'Mayat Iblis' sembari menyambitkan
paku-paku beracunnya. Lalu Buang mengalihkan ju-
rus silat pertama dengan Jurus 'Si Gila Mengamuk',
setelah pertarungan mencapai tiga puluh lima jurus di muka, maka terlihatlah
posisi si pemuda mulai keteter.
Dan saat itu tampaknya Buang Sengketa me-
mang sudah tak dapat lagi mengendalikan emosinya
sebagai manusia. Terlebih-lebih ketika dua buah paku
beracun sempat menghantam betisnya. Maka detik be-
rikutnya nalurinya sebagai titisan Raja Siluman lah
yang bicara. Apabila Nyai Plasik yang sedang terkekeh meli-
hat lawannya yang terpincang-pincang itu memandang
ke arah wajah si pemuda, tersentaklah dia. Detik itu
juga dia telah hentikan tawanya. Dia melihat kedua
mata pemuda itu sekarang telah memerah saga, dari
celah bibirnya yang dipenuhi lelehan darah kering, keluarkan bunyi mendesis-
desis bagai ular piton yang
sedang marah. Wajah Buang Sengketa tampak tegang
sekali. "Nguuung...!" Satu kali kelebatan maka menderu selaksa gelombang angin
menyertai berkelebatnya
sinar merah yang ditimbulkan oleh senjata yang bera-
da dalam genggaman Buang Sengketa. Pucat pasi wa-
jah Nyai Plasik dan muridnya, menggigil tubuh mereka
di dera rasa kecut dan hawa dingin menusuk yang di-
timbulkan oleh Pusaka Golok Buntung yang tergeng-
gam erat di tangan si pemuda.
"Golok Buntung... ka... kau Pendekar Golok
Buntung...!" desis Nyai Plasik yang pernah mendengar kehebatan pendekar dari
paparan Sahul ini. Namun si
pemuda sudah tiada menjawab lagi. Sebaliknya den-
gan mempergunakan jurus si 'Jadah Terbuang', tubuh
Buang Sengketa berkelebat lenyap. Hanya kelebat-
kelebatan sinar merah menyala saja yang merupakan
satu tanda bahwa saat itu secara rapat Pendekar Hina
Kelana telah mengurung kedua lawannya dengan sam-
baran-sambaran ganas Golok Buntung di tangannya.
Sejauh itu menyadari adanya bahaya yang se-
dang mengancam jiwanya, tampaknya Nyai Plasik dan
muridnya tiada pilihan lain terkecuali terus menyam-
bitkan senjata rahasia demi menghindari pertarungan
jarak dekat. "Cring! Traaang!" Terdengar suara nyaring saat mana golok di tangan Buang
Sengketa membabat run-tuh paku beracun yang disambitkan oleh pihak lawan-
nya. Mempergunakan kesempatan yang hanya bebera-
pa detik, dengan gerakan udang meletik tubuh si pe-
muda melesat ke udara.
*** 7 Secepat gerakannya mumbul ke atas, lebih ce-
pat lagi tubuhnya meluncur ke bawah. Satu sabetan
dia lakukan. Nyai Plasik membuang tubuhnya ke
samping. Tapi golok buntung di tangan Buang menca-
pai sasaran disebelahnya.
"Brebet...!"
"Arghk...!"
Bagian dada Puteri Gagu terbelah memanjang
sampai pada bagian perutnya. Usus terburai disertai
semburan darah dari bagian jantungnya yang sempat
tergores ketajaman golok lawannya. Hanya sekejap sa-
ja tubuh nan ramping itu berputar dan meliuk-liuk.
Kemudian jatuh tersungkur dengan jiwa melayang. Ke-
jut bercampur marah Nyai Plasik, demi melihat nasib
yang dialami oleh muridnya. Satu bentakan menggele-
dek kemudian menyertai serangan-serangan mautnya
yang didasari oleh pelampiasan emosi.
"Kubunuh engkau, keparaaaat...!" teriaknya
sembari melancarkan pukulan maut bertubi-tubi. Na-
mun sejauh apapun perempuan muka rusak itu beru-
saha mengimbangi gempuran lawannya. Tapi dengan
adanya senjata maut di tangan si pemuda, secara lam-
bat laun akhirnya dia kepepet dan tak mampu berbuat
banyak ketika golok di tangan Buang menderu ke ba-
gian kepalanya.
"Croook...!" terdengar suara lolongan panjang pada saat senjata itu membelah
batok kepala Nyai Plasik. Darah meleleh bercampur dengan cairan otak yang
berwarna putih kecoklatan. Tak lama setelahnya tubuh
Nyai Plasik menggelosoh di atas tanah berdebu. Tiada
berkutik karena pada saat Golok Buntung membelah
kepalanya. Sedetik setelahnya jiwanya telah berangkat meninggalkan badan
kasarnya. Pendekar Hina Kelana menarik napas lega, se-
cara perlahan dia menoleh setelah sebelumnya menye-
lipkan golok di bagian pinggangnya. Begitu matanya
tertumbuk pada kerumunan murid-murid padepokan
yang hanya tinggal lima orang, enam dengan seorang
gadis yang belum dikenalnya. Maka disitulah dia teringat pada Eyang Girinda yang
sedang menderita luka
dalam cukup parah. Bergegas pemuda ini datang
menghampiri, melihat kehadiran si pemuda, kelima
murid padepokan memberi jalan. Tanpa berkata apa-
apa, Buang langsung jongkok di sisi kakek tua. Lebih
cepat lagi dia memeriksa keadaan yang diderita oleh
kakek itu. "Luka beracun yang di deritanya sudah sangat
parah, bahkan kini telah menjalar sampai kebagian
jantung. Mungkin Golok Buntung mampu menyedot
habis racun yang mengendap di dalam tubuhnya. Tapi
dia sudah tidak memiliki kemampuan untuk berta-
han...!" ucap si pemuda setelah melihat gadis berpakaian merah biru
memperhatikan dirinya dengan per-
tanyaan lewat matanya.
"Jadi eyangku tidak bisa disembuhkan...!"
tanya si gadis tampak cemas.
"Lukanya benar-benar sangat parah, kalau pun
aku berhasil mengeluarkan racun itu dari dalam tu-
buhnya, tapi aku tak bisa jamin keselamatannya...!"
"Kalau saudara memang mampu mengeluarkan
racun yang mengeram di tubuh eyangku, cepat laku-
kanlah...!" perintahnya.
Buang Sengketa memang tak ingin mengecewa-
kan hati gadis yang belum dikenalnya itu. Maka dia
baru hendak mencabut Golok Buntung yang terselip di
pinggangnya ketika terdengar suara erangan lirih, me-
manggil! "Dew... Dewi Ratih cucuku!" Ucapnya lemah sekali. Gadis baju hijau lumut yang
kemudian di kenal
oleh pemuda sebagai Dewi Ratih beringsut mendekat.
"Saya, Eyang..." sahutnya dengan hati gundah.
Sedih melihat keadaan eyangnya yang sangat menge-
naskan. Eyang Girinda mengerjab-kerjabkan matanya,
tapi hanya mampu terbuka sedikit. Melihat tatapan
mata si orang tua yang kosong, tahulah Buang Sengke-
ta, bahwa ajal bagi orang tua itu sudah berada di am-
bang pintu. "Mm... manakah pemuda yang telah menolong-
ku tadi...!" tanyanya lirih.
"Aku di sini, orang tua...!" si pemuda menyahu-
ti. Mendengar suara Buang Sengketa Eyang Girinda
yang sedang meregang ajal itu bermaksud menoleh,
tapi tak mampu. Ganti si pemuda yang semakin be-
ringsut mendekat.
"Kau sungguh pun aneh, tapi pemuda yang ju-
jur dan memiliki kesaktian yang tiada terduga oleh
siapa pun. Menjelang akhir hidupku, maukah kau me-
luluskan permintaanku andai aku mohon pertolongan
padamu...?"
"Selama pertolongan itu sanggup aku kerjakan,
maka dengan senang hati aku akan mengerjakan-
nya...!" sahut Buang Sengketa pasti.
"Terima kasih! Permintaanku hanya satu, to-
long lindungilah padepokan Bukit Berkabung ini dari
kemusnahan. Dan... cucuku ini kutitipkan padamu,
sampai menjelang dia mampu berdiri sendiri...!"
"Tap...!" Buang Sengketa tak dapat melanjutkan ucapannya, karena detik kemudian
Eyang Girinda telah tiada bernyawa lagi. Dewi Ratih dan kelima murid
yang ditinggalkan meskipun merasa sangat terpukul
dan sedih, namun tak sampai keluarkan isak tangis.
"Dia sudah pergi!" desah Dewi Ratih di sela-sela kesedihannya.
"Sebagaimana dirinya, kita pun pada saatnya
akan kembali juga kepangkuan Sang Hyang Widi. Ada
baiknya kalau kita urus jenazah mereka dan jenazah
eyangmu untuk dikuburkan...!" kata Buang coba me-nasehati.
"Saudara siapakah...?"
"Aku hanya seorang pengelana, namaku Buang
Sengketa!" Meskipun masih dalam keadaan bersedih hati, namun saat si pemuda
menyebutkan namanya,
sepasang matanya yang indah itu membelalak lebar.
"Nama yang sangat aneh, tapi aku tahu situ
seorang pemuda yang berkepandaian tinggi...!"
"Ah... ah... jangan pakai situ atau segala pera-
datan, panggil saja aku, Kelana sudah cukup...!" tukas si pemuda. Dewi Ratih
tampak memerah parasnya, ta-pi kemudian dia mengangguk. Sementara Buang Seng-
keta sendiri segera mengusung mayat Kakek Girinda
menuju ruangan depan padepokan. Lima orang murid
padepokan juga melakukan hal yang sama.
* * * Pagi menjelang siang, suasana di Bukit Silu-
man tampak tiada berubah sebagaimana hari-hari
yang telah berlalu. Tapi ada yang tidak sebagaimana
biasanya, yaitu pintu gua tempat penyimpanan mayat
itu kini telah terbuka lebar. Di luar pintu gua keadaan sepi. Namun di ruangan
dalam yang penuh sesaki teri-si peti mati, tampak dua orang muda mudi sedang me-
nelusuri sepanjang lorong gua yang berudara pengap
dan terasa sangat menyesakkan pernapasan. Tapi
tampaknya kedua orang itu tiada perduli dengan situ-
asi seperti itu. Tetap saja mereka melangkah dalam ke-remangan gua sambil
membolak-balik peti-peti itu
hingga jadi berantakan. Tubuh mereka sudah mulai
basah oleh keringat, sampai kemudian sampai di
ujung lorong gua dua orang muda mudi yang tak lain
Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya masih belum ju-
ga menemukan apa yang di cari-carinya.
"Bagaimana Kak Dewi" Semua peti mata telah
kita bongkar, tapi kita tak menemukan Batu Walet Me-
rah seperti yang pernah kakak katakan itu...!" sela Bagas Salaya sembari
menyandarkan tubuhnya pada
dinding gua. "Hi... hi... hi...!" si gadis tertawa genit. "Kita belum melihat sebuah ruangan
kecil yang terletak di su-
dut itu...!" Ringan sekali Dewi Ratna Juwita men-
gayunkan langkahnya. Bagas Salaya masih berada pa-
da tempatnya. Saat itu si gadis telah sampai di depan pintu ruangan yang hanya
berukuran tak lebih setengah meter. Baik besar maupun panjangnya juga sama.
Dengan hati berdebar-debar, Dewi mulai membuka
pintu penutupnya. Begitu pintu penutup itu terbuka
maka terlihatlah sebuah cincin Batu Walet Merah yang
memancarkan cahaya merah berkilauan. Gadis itu
berseru kegirangan. Sudah tentu suara Dewi yang se-
dikit keras ini membuat Bagas Salaya menjadi terhe-
ran-heran. Bergegas dia pun datang menghampiri.
"Batu Walet Merah... hi... hi... hi...! Kita akan menjadi penguasa atas semua
perguruan silat yang
ada di kolong langit ini...!" suara teriakan yang berupa luapan rasa kegembiraan
itu menggema di seantero
dinding gua. Dengan sikap pongah yang berlebih-
lebihan, Dewi Ratna Juwita cepat-cepat mengenakan
cincin Batu Walet Merah ke bagian jari manisnya. Na-
mun mendadak saja dia merasakan tubuhnya mengge-
letar, kedua mata memandang sendu pada Bagas Sa-
laya yang berada tidak begitu jauh dari dirinya. Bagas Salaya sendiri tidak
menyadari perubahan apa yang
sedang terjadi atas diri kakak tirinya. Tanpa sadar dia pun melangkah
menghampiri Dewi Ratna Juwita dan
memegang tangannya.
"Ada apa, Kakak...!" tanyanya gemetar. Saat itu dia pun merasakan adanya hawa
hangat yang menjalar
lewat tangan Dewi. Si gadis yang sudah dirasuki oleh
perasaan aneh akibat pengaruh Cincin Batu Walet Me-
rah ini sudah tiada kuasa untuk menjawab pertanyaan
adik tirinya yang sekaligus merupakan kekasihnya pu-


Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

la. Begitu tangan Bagas Salaya menggenggam lebih
erat tangan Dewi, maka dengan cepat gadis itu mende-
kapnya, secara perlahan namun cukup pasti. Bagas
Salaya juga kiranya merasakan apa yang sedang dira-
sakan oleh Dewi. Sesungguhnya tanpa mereka sadari
pengaruh Batu Walet Merah itu membangkitkan gelora
nafsu sebagaimana yang pernah dialami oleh para
pendahulunya. Namun hal itu masih dapat dikendalikan andai
saja bagi siapapun yang menguasai batu itu telah me-
miliki tenaga dalam yang sudah sangat sempurna.
Sebagaimana sifat yang dimiliki oleh batu itu
sendiri, mempunyai daya tarik antara yang ada satu
dengan yang lainnya. Dan andai saja batu yang di tan-
gan Dewi jumlahnya ada sepasang. Maka kejadian se-
perti apa yang sedang mereka lakukan itu tak mung-
kin pernah ada.
Kembali pada kedua insan yang berlainan jenis
dan sedang terlibat pergumulan asmara di dalam
ruangan gua tempat penyimpanan mayat-mayat para
leluhurnya sendiri ini. Tampaknya mereka sudah tiada
perduli lagi dengan perbuatan terkutuk yang mereka
lakukan. Tubuh keduanya telah bermandikan kerin-
gat, pakaian berserakan entah ke mana. Kejadian ter-
kutuk yang telah sama-sama mereka lakukan itu ber-
langsung sangat cepat sekali. Hingga pada akhirnya
tubuh yang saling tindih itu melengguh tertahan. Dan
secara perlahan hawa hangat yang mengalir lewat Batu
Walet Merah itu pun sudah sirna sama sekali.
"Adik Bagas...! Kita... oh, di makam leluhur
sendiri kita telah melakukan hubungan terkutuk
itu...!" rintih Dewi Ratna Juwita merasakan sakit di bagian bawah perutnya.
"Aku yakin, semua ini akibat pengaruh Batu
Walet Merah, Kak Dewi...!" desah Bagas Salaya cepat-cepat membetulkan pakaiannya
kembali. "Tapi itu tak jadi soal, bukankah diantara kita sama-sama saling
mencinta" Pula di sini atau di tempat lain sama saja, tokh Eyang Girinda tak
pernah merestui hubungan
cinta kita!"
"Para Dewa pasti mengutuk perbuatan kita,
Adik Bagas...!" sela si gadis was-was. Bagas Salaya tiada menjawab. Sebaliknya
malah membelai-belai ram-
but kekasihnya sembari menutunnya pergi meninggal-
kan tempat itu. Semakin jelaslah kini, setelah Batu
Walet Merah berada di tangan salah seorang di antara
mereka. Perbuatan keduanya semakin jauh tersesat.
*** 8 Kereta kuda itu tampak melaju dengan kecepa-
tan tinggi, karena keempat ekor kuda yang menariknya
terdiri dari kuda-kuda pilihan dan berbadan sehat ke-
limis. Seorang kusir yang terus sibuk mencambuki ku-
da-kuda itu kelihatan masih begitu muda, mengena-
kan sebuah topi caping sebagai pelindung panas ma-
tahari. Melihat caranya mengendalikan kuda penarik
kereta, nyata sekali bahwa pemuda itu tak memiliki
pengalaman apa-apa dalam hal pekerjaan ini. Sesekali
kuda-kuda itu meringkik keras, berlari tersendat-
sengat, hingga membuat para penumpangnya tergun-
cang-guncang. "Pelan-pelan, Kakang...!" terdengar sebuah suara yang begitu merdu, namun tidak
menyembunyikan perasaan berkabung. Si kusir menoleh ke belakang se-
jenak. Dengan suara pelan dia pun menyahut.
"Aku sedang berusaha bagaimana caranya agar
kuda-kuda itu tidak melonjak-lonjak binal. Kau pegan-
gi lah peti itu jangan sampai terguling...!" kata si pemuda berpakaian merah
kumal sambil membuang
pandangan matanya jauh-jauh ke depan. Sementara
itu lima orang penunggang kuda lainnya tampak men-
giringi kereta di depannya dalam jarak tak lebih dari tiga tombak.
"Masih jauh Bukit Siluman dari sini...?" bertanya pemuda berkuncir yang tak lain
adalah Pende- kar Hina Kelana.
"Tidak, mungkin sekitar setengah jam lagi kita
sudah sampai ke sana...!" ujar suara merdu yang di kenal sebagai murid bungsu
padepokan Bukit Berkabung. Sebenarnya apa yang di muat dalam kereta kuda
itu tak lain adalah sebuah peti berisikan jenazah
Eyang Girinda yang telah siap dimakamkan di dalam
goa Bukit Siluman. Sedangkan murid-murid padepo-
kan yang juga gugur dalam pertempuran melawan de-
dengkot persilatan dari 'Kuburan Iblis.' yaitu Nyai Plasik dan Putri Gagu. Sore
itu atas kesepakatan bersama cukup dikuburkan di halaman belakang padepokan
Bukit Berkabung. Sedangkan malamnya Ratih sempat
pula bertutur banyak tentang kemelut yang terjadi di
padepokan itu. Tak lupa juga tentang lawan-lawan me-
reka yang masih berkeliaran di rimba persilatan bebe-
rapa di antaranya adalah, Gajah Mungkur dan juga ge-
rombolan yang sangat kuat yang bernama Gerombolan
Sinar Kayangan.
Tentang kehadiran gerombolan itu tentu saja
Buang Sengketa yang pernah bertemu dengan mereka
bertanya-tanya tentang siapa dan apa-apa saja tujuan
mereka bermusuhan dengan padepokan Bukit Berka-
bung! Dan jawaban yang diberikan oleh Dewi Ratih
sungguh sangat mengejutkan dirinya. 'Batu Permata
Walet Merah', seumur hidup baru kali ini si pemuda
mendengar tentang adanya batu yang menyimpan ke-
kuatan yang sangat luar biasa. Dan si pemuda malah
bertambah terkejut lagi saat mana Ratih memperli-
hatkan salah satu batu berbentuk cincin yang baru sa-
ja didapatnya dari Sungai Banyu Urip.
"Batu ini bisa berakibat malapetaka, bagi pemi-
liknya terlebih-lebih bagi orang lain...!" ujar Buang Sengketa saat merasakan
getaran halus yang bersumber dari batu yang tergenggam di tangannya. Kejab
kemudian dia telah mengembalikan batu itu pada Ra-
tih yang duduk tidak begitu jauh darinya.
"Apa maksudmu, Kakang...?" tanya si gadis lu-gu tiada mengerti. Buang gelengkan
kepala pelan. "Batu itu bersumber dari tenaga asmara yang
sangat tinggi. Aku yakin siapa pun orangnya yang
memegang cincin batu ini tidak memiliki tenaga dalam
yang cukup tinggi, maka hidupnya akan menjadi bu-
lan-bulanan nafsu yang ditimbulkan oleh batu yang
kau miliki sekarang...!" Keterangan Buang benar-benar membuat kejut di hati
Ratih, hal seperti yang dikatakan oleh si pemuda. Juga pernah dia rasakan di
dalam gua saat mana pertama kali dia berusaha mengenakan
batu itu di bagian jemari tangannya. Tapi saat itu, badan halus Eyang Buyut Resi
Mamba telah memberikan
sesuatu, yaitu berupa pakaian merah biru dan sebuah
ikat kepala yang berwarna merah. Gejala aneh itu ti-
dak pernah dia rasakan lagi, cuma terkadang saja
apabila dia berganti pakaian selain dari pakaian pem-
berian Eyang Buyut Resi Mamba, dia merasakan gejala
aneh itu timbul kembali. Mungkinkah pakaian pembe-
rian Eyang Buyut Resi Mamba merupakan penangkal
dari kejadian yang tidak diinginkan akibat pengaruh
Batu Walet Merah" Membatin Dewi Ratih. Kalau me-
mang benar adanya itu berarti dia harus mengenakan
baju itu sepanjang hari, minggu, bulan, bahkan tahun.
Dan yang pasti apa yang dikatakan oleh Pendekar Hina
Kelana benar adanya. Ratih jadi bergidik tubuhnya tak berani membayangkan apa
yang bakal terjadi andai
tanpa pakaian pemberian Eyang Buyut Resi Mamba.
"Kakang Kelana bagaimana bisa tahu tentang
akibat-akibat yang ditimbulkan batu ini?" Tanya si gadis menyelidik.
"Aku merasakannya! Batinku mengatakan ada
hawa dendam asmara dan hawa siluman bersatu di
sana. Tapi yang ku herankan sepertinya kau tidak ter-
pengaruh dengan tenaga gaib yang bersumber dari ba-
tu itu. Tenaga dalammu belum cukup tinggi, orang-
orang yang tidak dapat dipengaruhi batu itu hanyalah
orang-orang yang sudah memiliki tenaga dalam yang
sudah mencapai taraf sempurna... dan kau...!" desah titisan Raja Ular Piton
Utara itu merasa yakin ada sesuatu yang melindungi diri si gadis. Apapun yang
ada dalam dugaan Buang Sengketa, semua jawabannya
hanya Ratihlah yang tahu.
"Kakang tak perlu merisaukan keadaanku, tapi
aku selalu risau tentang dua orang saudaraku yang
lain...!" "Maksudmu tentang Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya yang di usir oleh
eyangmu karena mereka terlibat hubungan cinta...!"
"Ya...! Aku takut mereka mendapatkan Batu
Walet Merah yang betinanya. Kalau batu itu benar-
benar telah mereka dapatkan, bukan kita saja yang
bakal celaka, tapi rimba persilatan juga bakal dilanda malapetaka besar!"
katanya tanpa mampu menyembunyikan rasa cemasnya.
"Bagaimana kau bisa berpikir sampai sejauh
itu...?" Dewi Ratih tampak tercenung beberapa saat lamanya, sorot matanya
menatap hampa pada nyala
pelita yang bergoyang-goyang terhembus angin. Tapi
kemudian setelah menarik nafas pendek, sangat lirih
sekali dia berucap;
"Selain saudaraku itu memiliki jiwa yang se-
nantiasa memberontak, namun juga langkah mereka
senantiasa cenderung ke arah sesat. Bahkan Kak Dewi
mempunyai watak telengas...!"
"Tapi mereka kan tak tahu di mana Batu Walet
Merah yang satunya disembunyikan?"
"Mudah-mudahan saja begitu!" ucap Dewi Ra-
tih. "Itu bisa kita pikirkan nanti, yang penting be-
sok pagi kita harus berangkat ke Bukit Siluman untuk
menguburkan jenazah eyangmu...!" ujar si pemuda
menutup pembicaraannya.
Kini kita kembali pada Buang Sengketa dan
Dewi Ratih serta kelima orang murid padepokan Bukit
Berkabung yang sedang melakukan perjalanan menuju
Bukit Siluman. Dalam perjalanan panjang dan cukup
melelahkan itu, setelah melewati beberapa tikungan
dan hutan-hutan gundul yang terdapat di kanan kiri
jalan itu, kini sampailah mereka di kaki bukit yang
sangat curam yang lebih di kenal dengan 'Bukit Begal
Sewu', dinamakan Bukit Begal Sewu dikarenakan di
bukit itulah sering terjadi perampokan bagi mereka
yang sedang melakukan perjalanan jauh, dan ber-
akhir dengan pembantaian yang sangat keji.
Melintasi daerah yang terkenal rawan ini, em-
pat ekor kuda penarik kereta tampak meringkik keras.
Bagi Buang Sengketa yang tiada mengetahui tentang
keangkeran bukit yang mengapit jalanan ini, ringkikan kuda-kuda itu baginya
sudah cukup mengisyaratkan
adanya satu bahaya yang mengancam mereka. Tapi
nalurinya sebagai keturunan siluman membuat dia
tampak tenang-tenang saja.
"Kakang, kita telah memasuki wilayah 'Bukit
Begal Sewu' berhati-hatilah...!" kata Ratih dari dalam kereta memperingatkan.
"Hemm, sebuah nama yang cukup menyeram-
kan!" Gumam si pemuda. "Tapi mengapa harus perduli dengan segala monyet begal,
tokh kita tak membawa
emas permata atau barang berharga lainnya...!" ucapnya lagi sembari menyeringai
dan tepuk-tepuk periuk-
nya hingga menimbulkan bunyi cempreng dan bising.
"Kakang! Jangan bicara sembarangan, bisa-bisa
kita celaka...!" dari nada ucapnya tampak sekali kalau si gadis benar-benar
mengkhawatirkan sesuatu. Buang
Sengketa menanggapi dengan tawanya yang lepas.
"Dunia ini memang banyak pekerjaan yang
aneh-aneh, para pembesar kota raja yang korupsi, pa-
ra pengemis di pasar-pasar, juga tikus-tikus begal
yang sangat menjijikkan.... Tak ada yang lebih mulia
selain dari pekerjaan seorang petani yang membanting
tulang untuk anak bini. Kau lihatlah... para begal celaka itu sekarang sudah
mulai berkasak-kusuk di
tempatnya. Agaknya mereka lamur, bahwa mahkluk
yang sedang mereka intai itu ternyata hanya seorang
gembel yang tiada memiliki harta benda atau barang
ber-harga lainnya...!" Dalam berkata tadi, sengaja Buang mengeraskan suaranya
agar di dengar oleh
orang-orang bertampang kasar yang bersembunyi di
kanan kiri bukit.
"Awas kakang...!" teriak Dewi Ratih begitu menangkap berkelebatnya empat sosok
bayangan hitam,
dua dari samping kanan dan dua lainnya dari bagian
kiri. "Aku sudah melihatnya...!"
"Des.... Des...!" Gerakan yang sangat cepat itu memang benar-benar sangat sulit
diikuti kasat mata
dan tahu-tahu, keempat orang penyerang yang ber-
maksud membacok sang kusir, sudah terjengkang
dengan batok kepala rengkah.
"Heaaa... heaaaa...!" Mengetahui keempat kawannya tewas hanya dengan sekali
bergebrak, maka
kawan-kawannya yang lain berserabut keluar dari
tempat persembunyiannya. Cepat sekali gerakan me-
reka, hingga detik selanjutnya Buang Sengketa dan ke-
lima penunggang kuda lainnya telah berada dalam po-
sisi terkurung.
Si pemuda menarik kendali kudanya, hingga
kuda-kuda itu berhenti sama sekali. Masih dengan ter-
senyum-senyum dia menyapu pandang pada puluhan
orang pengepungnya. Sementara itu Dewi Ratih pun
sudah keluar dari dalam kereta, langsung melompat
turun. Sejenak lamanya mereka saling berpandang-
pandangan. Tiba-tiba salah seorang dari para begal itu membentak marah: "Bocah!
Kau telah membunuh
orang-orangku, sungguh kau orang yang telah begitu
berani mencari penyakit di wilayah ku...!" kata si kumis tebal berkulit putih
itu sembari pelototkan ma-
tanya. "Siapa bilang ini wilayah mu, jalan ini milik orang ramai, Siapa pun
berhak melewatinya...!"


Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ratih yang sudah muak melihat tampang si
kumis tebal tiba-tiba saja menyelak. Kata-katanya
memang terdengar ketus, hingga membuat berpasang-
pasang mata mengalihkan perhatiannya pada gadis
berwajah ayu ini. Yang di pandang tampak memerah
parasnya. Lain lagi halnya dengan si kumis tebal yang di kalangan persilatan di
kenal sebagai 'Singa Hitam'.
Laki-laki yang memiliki nama asli Gendam Lukito ini
tampak tersenyum-senyum penuh arti pada Ratih.
"Kunyuk kumis tebal. Simpan senyum mu yang
mirip seringai kuda...!" bentaknya pula.
"Bueh...! Kalau tidak mengingat pada wajahmu
yang cantik, sudah sejak tadi aku pecahkan mulutmu
yang sangat menghina itu! Tapi... he... he... sudah
sangat lama aku hidup menyendiri, hangatnya tidur
bersama seorang perawan cantik pun aku tak tau ba-
gaimana rasanya... ha... ha... ha...! Sungguh pun galak aku sangat menyukaimu.
Biarlah hari ini kami tidak
mendapatkan hasil rampokan harta, tapi aku harus
dapat menangkapmu...!" menggeram Gendam Lukito,
kemudian dia berpaling pada si pemuda sebentar.
"Karena kau telah membunuh empat orang ka-
wanku, maka kau berikut empat orang kawanmu yang
lain sudah selayaknya mampus!" bentak si kumis tebal yang memiliki julukan
'Singa Hitam' itu marah.
Hanya sekali saja dia memberi tanda pada ka-
wannya yang berjumlah dua puluh lima orang. Maka
secara serentak orang-orang bertampang kasar itu se-
cara serentak menyerang Buang Sengketa dan kelima
murid padepokan Bukit Berkabung. Sementara Gen-
dam Lukito sebagai ketuanya sudah sejak awal telah
berusaha meringkus Dewi Ratih.
Gadis itu juga tidak tinggal diam, begitu tan-
gan-tangan yang bermaksud mencengkeram itu berge-
rak menyambar, maka Ratih berkelit dan langsung ca-
but pedangnya yang berwarna kuning keperak-
perakan. Serangan pertama yang mengalami kegagalan
ini membuat Gendam Lukito menjadi sadar saat itu
mereka sedang berhadapan dengan orang yang memi-
liki kepandaian tinggi. Waktu selanjutnya, Gendam
Lukito sudah tak ingin main-main dan sungkan lagi.
Dengan mempergunakan Jurus 'Begal Bayangan Me-
nyergap Dewa Rembulan', detik berikutnya tubuhnya
telah berkelebat lenyap, tak ayal Ratih pun mulai mengeluarkan jurus silat 'Dewa
Berkabung' yang pernah
dipelajari dari Eyang Girinda. Tak dapat disangkal pertarungan yang terjadi
selanjutnya merupakan perta-
rungan yang sangat seru dan menegangkan.
Di lain pihak Buang Sengketa dan kelima ka-
wannya yang sedang berhadapan dengan belasan bah-
kan puluhan anak buah Dendam Lukito tampaknya
masih memberi angin pada orang-orang itu. Ini terbuk-
ti dia hanya mengelak dan menangkis setiap serangan
yang datang. *** 9 Tapi ketika pada gebrakan selanjutnya dia
mendengar jeritan panjang dari salah seorang murid
padepokan Bukit Berkabung. Maka menggeletarlah tu-
buhnya, unsur kesabaran yang berusaha dia praktek-
kan lewat jurus-jurus Koreng Seribu, ilmu warisan te-
rakhir mendiang gurunya sudah tak dapat dia perta-
hankan lagi. Ini bukan berarti sama sekali dia tak dapat mengendalikan diri
karena adanya unsur siluman
di dalam tubuhnya. Tapi semata-mata di masih terin-
gat kematian belasan murid-murid padepokan Bukit
Berkabung yang dibantai oleh Nyai Plasik dan murid-
nya. Pula perjalanan yang mereka tempuh saat itu
adalah perjalanan duka mengantarkan jenazah Eyang
Girinda" Dengan kematian murid padepokan yang
hanya lima orang itu, sama saja artinya dia menambah
jumlah mayat yang harus di usung. Wajarlah kalau
Buang Sengketa harus marah pada saat seperti ini.
Sembari berkelebat menghindari tusukan dan babatan
pedang yang terus mencecar ke arahnya, pemuda ini
mulai bersiap-siap mengeluarkan ajian 'Pemenggal
Roh'. "Heiiiiiik...!" Suara teriakannya bagai halilintar menyambar di siang
hari, mengejutkan semua orang
yang hadir di situ, tak terkecuali Dewi Ratih dan Gendam Lukito yang sedang
terlibat pertarungan. Bebera-
pa orang anggota begal terkapar tewas dengan telinga
mengalirkan darah. Bahkan beberapa orang lainnya
yang masih dapat bertahan dari pengaruh lengkingan
ilmu Pemenggal Roh, tampak berputar-putar tubuh-
nya, berteriak. Bagai orang yang kurang waras. Semen-
tara sisanya yang hanya merasakan sakit pada bagian
dadanya terus saja mencecar si pemuda dengan jurus-
jurus pedang andalan. Begitulah kenyataannya, mere-
ka sebenarnya bukan tidak keder setelah menerima
akibat yang ditimbulkan oleh suara lengkingan 'Ilmu
Pemenggal Roh' namun sudah menjadi prinsip bagi
kaum begal. Bahwa mereka lebih baik mati dalam per-
tarungan daripada harus menyerah begitu saja, apala-
gi kabur. Karena memang pada hakekatnya para begal
itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mau
tak mau Buang harus mempergunakan pukulan anda-
lannya 'Empat Anasir Kehidupan' tak salah lagi.
"Hiaaat...!" Mempergunakan gerakan udang meletik, tubuhnya mencelat ke udara,
saat mana tubuh-
nya kembali menungkik ke bawah, tangan kanannya
pun bergerak memukul.
"Weees!" Satu gelombang sinar ultra violet menebarkan hawa panas tiada
tertahankan langsung
menghantam orang-orang yang berada di bawahnya.
Yang sempat merasakan sambaran angin pukulan ce-
pat-cepat putar pedang ditangannya membentuk peri-
sai diri, tapi celakalah bagi mereka yang tidak menyadari adanya ancaman bahaya
itu. "Bluaaar...!"
"Argggkh...!" Tanah di sekitarnya bergetar hebat, lebih kurang tujuh orang
anggota begal terpelanting roboh dengan tubuh hangus dan jiwa melayang.
Sementara itu beberapa orang anggota begal masih
dapat menyelamatkan diri, walaupun harus menderita
luka dalam yang cukup parah. Semua yang terjadi atas
diri anggota para begal itu kiranya tak luput dari perhatian ketuanya, Gendam
Lukito, tapi dia juga tak
mampu berbuat banyak karena saat itu dia masih te-
rus berusaha meringkus Dewi Ratih dan bermaksud
membawanya kabur. Tapi kenyataannya gadis yang
dihadapinya ini juga selain memiliki ilmu mengentengi tubuh yang lumayan
ternyata juga memiliki kepandaian silat tinggi sehingga dia selalu mengalami
kesulitan untuk meringkusnya dalam keadaan tanpa cedera.
Pertarungan yang mereka lakukan telah berlangsung
lebih empat puluh jurus. Tapi masih belum ada tanda-
tanda bagi Gendam Lukito mampu mengatasi lawan-
nya, pertarungan itu boleh dikata berlangsung seim-
bang. Padahal sampai saat itu laki-laki berkumis tebal ini telah mengerahkan
jurus 'Menangkap Capung Men-gejar Belalang' yaitu sebuah jurus menangkap lawan
yang penuh dengan tipu-tipu. "Heeees...!"
"Hiaat...!" Dewi Ratih membanting tubuhnya ke samping kiri pada saat tangan-
tangan yang kokoh dan
berbulu lebat itu berusaha mencengkeram bagian
pinggangnya. Satu tendangan kilat masih sempat dila-
kukan oleh Ratih mengarah pada bagian perut gendut
lawannya. "Deeess!"
"Wuaaa...!" Gendam Lukito menggerung semba-
ri memegangi bagian perutnya yang terasa mules dan
melilit-lilit. "Bocah kampret! Diajak berdamai tidak mau,
bahkan kawanmu bocah gembel itu telah membunuhi
orang-orangku dengan ilmu gilanya!"
"Sriiing...!" Gendam Lukito cabut senjatanya yang berbentuk sebuah kaitan namun
tajam di bagian
sisinya. "Tiada yang paling baik jalan untukmu terkecuali mati...!" teriak laki-
laki berkumis tebal itu sembari lancarkan satu tusukan satu babatan.
"Bagus, aku pun jadi ingin menjajal sampai di
mana kehebatan Batu Walet Merah yang pernah
menghebohkan itu!" Berkata Dewi Ratih sambil putar pedangnya membentuk sebuah
perisai yang sangat
kokoh. Kejut hati Gendam Lukito begitu melihat se-
buah cincin yang melingkar di jari manis Ratih. Aneh-
nya begitu si gadis mengerahkan tenaga dalamnya ke
arah bagian Batu Walet Merah di jarinya, laksana kilat selarik sinar pipih
berwarna merah bara melesat dari
padanya. Masih untung secara reflek Gendam Lukito
mampu mengkelit serangan itu dengan cara berjumpa-
litan. Sinar merah itu terus men-deru hebat dan
menghantam lereng bukit yang ada di belakangnya.
Saat itu tidak begitu jauh jaraknya dari perta-
rungan tampak tiga orang berpakaian hitam lainnya
terus mengawasi jalannya pertarungan. Ketiga orang
itu menjadi terkejut saat mana Dewi Ratih mempergu-
nakan Batu Walet Merah untuk menyerang lawannya.
Sebab seperti yang mereka ketahui, batu Walet Merah
selama puluhan tahun terakhir telah menghilang dan
menurut kabarnya batu Walet Merah yang jantan di
buang di Sungai Banyu Urip oleh Eyang Buyut Resi
Mamba, sedangkan yang betinanya tidak di ketahui
entah berada di mana. Bagi ketiga orang pengintai itu apa yang mereka saksikan
merupakan sebuah kabar
yang sangat perlu untuk di sampaikan kepada ketua
mereka di Rimba Maliau dan Taruak. Pada akhirnya
mereka tidak menyaksikan pertempuran yang terjadi
sampai pada titik klimaknya. Bergegas para pengintai
itu meninggalkan lereng bukit 'Begal Sewu' di luar sepengetahuan mereka yang
sedang terlibat pertarungan.
Kembali pada pertarungan Buang Sengketa
dengan anggota para begal yang sudah mencapai pun-
caknya. Para begal itu kini hanya bersisa empat orang saja, dan lima beserta
Gendam Lukito yang sedang be-
rusaha mati-matian menyelamatkan diri menghindari
terjangan sinar merah yang bertubi-tubi menghajar.
Saat seperti itu si pemuda penyandang periuk itu
membentak pada ketiga orang lawannya: "Kuberi kesempatan pada kalian untuk
meninggalkan tempat ini,
kalau kalian tetap bersikeras, jangan kalian salahkan aku...!" "Jangan coba-coba
menggertak kami, Pendekar Golok Buntung! Kami akan mengadu jiwa denganmu
sampai titik darah terakhir!" selak salah seorang diantaranya dan langsung
menerjang dengan senjata ter-
hunus. "Mampuslah.... Caaaaat...!" Gusar sekali Buang mendengar jawaban yang
diberikan oleh anggota begal
itu, tanpa ampun hantamkan tangan kanan ke depan.
Serangkum gelombang angin berhawa panas datang
menggebu menyongsong orang itu, si orang nekad yang
tiada menyangka Buang Sengketa mampu melakukan
gerak memukul secepat itu, masih juga berusaha
membuang tubuhnya. Tapi pukulan 'Si Hina Kelana
Merana' telah menghajarnya. Tubuh laki-laki itu ter-
sentak ke belakang dan terpelanting roboh. Tewas se-
ketika itu juga. Dua orang lainnya semakin terbelalak matanya dan langsung kabur
tunggang langgang. Pada
saat kedua orang itu kabur meninggalkan mayat-
mayat kawannya, terdengar pula jerit Gendam Lukito.
Begitu Buang Sengketa menoleh, dilihatnya tubuh la-
ki-laki kumis tebal itu telah terkapar. Tubuhnya men-
gejang sekarang. Dua kali le-satan sinar merah yang
memancar dari Batu Walet Merah di tangan Dewi Ratih
telah membuat Gendam Lukito tergeletak untuk sela-
ma-lamanya. Si pemuda melirik pada Dewi Ratih, memperha-
tikan sekilas terus berkata: "Batu Walet Merah hebat, tapi aku malah khawatir
akan menimbulkan bencana
di mana-mana...!" desahnya lesu.
"Apa katamu, Kakang...!?"
"Kubilang, ada baiknya kalau kita cepat-cepat
tinggalkan tempat ini!" kata Buang tanpa bermaksud menyinggung perasaan Ratih.
Akhirnya setelah memberi perintah pada keempat murid padepokan untuk
mengusung mayat salah seorang kawannya yang te-
was. Rombongan kereta kuda itu melanjutkan perjala-
nannya kembali. Sepanjang perjalanan menuju Bukit
Siluman baik Buang Sengketa maupun Dewi Ratih
sama-sama saling diam membisu.
Memasuki daerah bukit kapur, kesunyian me-
nyambut kehadiran mereka. Saat itu bagai orang men-
gantuk Buang Sengketa yang bertindak sebagai kusir
tampak menoleh ke belakang.
"Tanah berkapur, bukit bahkan sisi jalan kanan
kiri! Inikah yang kau maksudkan Bukit Siluman itu,
Adik Ratih...?" tanya Buang Sengketa coba-coba men-gitarkan pandangan matanya.
"Ya... kita memang sudah sampai di Bukit Si-
luman, Kakang...! Satu belokan di depan kita pasti sudah tiba di depan sebuah
gua tempat penyimpangan
peti mati para leluhur ku...!" jawab Dewi Ratih lalu me-longokkan kepalanya
lewat jendela kereta bagian de-
pan. "Tempat yang tenang, sayangnya berkesan angker...!" "Namanya juga
kuburan...!" kata Ratih menim-pali. Kereta kuda terus berjalan perlahan, hingga
akhirnya membelok di sebuah tikungan yang sangat ta-
jam, hingga tak lama kemudian sampailah mereka per-
sis di depan pintu gua tempat penguburan para lelu-
hur padepokan Bukit Berkabung. Ratih melompat tu-
run dari kereta kuda yang membawanya, begitu dia
melihat pintu gua yang senantiasa terkunci itu terbu-
ka, wajahnya tiba-tiba saja berubah pucat.
"Kakang... gua itu telah terbuka...!" serunya.
Tanpa sadar dia menghambur ke depannya. Namun
dia tampak terbelalak kaget begitu melihat sebilah pedang pendek yang telah
rusak terletak tak begitu jauh dari kakinya. Cepat-cepat dia memungutnya.
"Kalau tak salah pedang ini milik Kakang Bagas


Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Salaya. Celaka dia pasti telah mengambil Batu Walet
Merah yang terletak di dalam gua ini...!" serunya, lalu berlari cepat memasuki
ruangan gua. Tak ketinggalan
Pendekar Hina Kelana pun mengekor dibelakangnya.
Benar seperti apa yang ada dalam dugaan Ratih, peti-
peti mati dalam gua itu tampak berantakan. Apabila
gadis itu memeriksa ke bagian sudut, maka sebuah
ruangan kecil ber-ukuran setengah meter itu pun telah terbuka pintunya.
"Jangan-jangan disinilah di simpan Batu Walet
Merah. Kalau begitu Kakang Bagas Salaya telah mela-
rikannya!" desahnya lemah dengan tubuh gemetaran.
"Ancaman baru bagi dunia persilatan! Tapi
mungkin kita masih dapat melacak ke mana perginya
orang itu!"
"Tapi kakang...!"
"Sudahlah, lebih baik kita rapikan peti-peti ini, setelah itu kita angkat peti
jenazah eyangmu dan seorang kawanmu. Masih banyak waktu untuk menda-
patkan batu itu lagi...!" berucap si pemuda sambil melangkah keluar.
*** 10 Sejak hadirnya sepasang tokoh muda yang me-
namakan dirinya sebagai 'Sepasang Walet Merah', du-
nia persilatan mulai kacau karena kehadirannya. Ke-
mana pun kedua tokoh muda ini hadir, maka di sana-
lah mereka mulai menyebar maut. Sudah tidak terhi-
tung beberapa tokoh persilatan baik dari golongan
muda maupun kalangan tua tewas di tangan mereka
dengan keadaan sangat menggenaskan. Dengan men-
gandalkan batu Walet Merah serta kepandaian silat
yang mereka miliki, kedua orang itu mulai malang me-
lintang di dunia ramai. Dua orang tokoh muda yang
namanya mulai menghebohkan itu tak lain adalah De-
wi Ratna Juwita dan Bagas Salaya.
Sudah barang tentu berita mengenai sepasang
Walet Merah dengan batu sakti yang dimilikinya mem-
buat gempar berbagai tokoh golongan persilatan. Teru-
tama kalangan tua yang dulu sempat pernah merasa-
kan bagaimana hebatnya Batu Walet Merah ketika
Eyang Buyut Resi Mamba sempat mempergunakannya
ketika terlibat pertarungan besar di Bukit Siluman. Secara pelan namun cukup
pasti, dedengkot-dedengkot
persilatan yang telah lama mengasingkan diri di berbagai tempat, sekarang mulai
bermunculan. Sebagaima-
na halnya di siang yang sangat terik itu, tampak se-
rombongan orang-orang berkuda memasuki Dusun
Genter yang memiliki penduduk rapat. Melihat cara
mereka memacu kuda tunggangan nampak sekali ka-
lau rombongan penunggang kuda dan berpakaian bi-
ru-biru ini dalam keadaan sangat tergesa-gesa. Sema-
kin ke dalam memasuki desa Genter, rombongan ber-
kuda itu tampak berhenti di sebuah warung yang se-
dang ramai pengunjung. Rombongan penunggang ku-
da yang berjumlah tujuh orang ini, begitu menghenti-
kan kudanya langsung melompat, dan dengan sangat
tergesa-gesa memasuki warung tadi. Beberapa orang
yang berada di dalamnya tampak menyingkir atau
bahkan buru-buru meninggalkan warung itu saat me-
lihat kehadiran orang-orang bertampang sangar ini.
Tak lama setelahnya salah seorang diantara mereka
menghampiri si pemilik warung itu.
"Pak tua...!" panggilnya dengan suara cukup keras. Dengan tergopoh-gopoh dan
tubuh gemetar pemilik warung yang berusia sekitar lima puluh enam
tahun ini datang menghampiri.
"Sa... saya... tuan...! Tuan-tuan mau pesan
apa...!" tanyanya terbata-bata. Laki-laki yang bertanya tadi langsung menggebrak
meja. Meja yang berada di
depannya hancur berantakan.
"Gooblook...! Aku bukan mau pesan maka-
nan...!" bentaknya. Kemudian sekali saja tangannya yang kokoh terulur, maka krah
baju yang di pakai oleh pemilik warung itu tercengkeram erat. Dengan satu
sentakan keras, maka terangkatlah tubuh pemilik wa-
rung itu terangkat tinggi-tinggi. Laki-laki tua itu ketakutan setengah mati.
Apalagi ketika disadarinya laki-
laki berpakaian biru tersebut mulai mengguncang-
guncangkan tubuhnya.
"Ampun tuan, maafkanlah saya...!"
"Coba kau katakan padaku, pernahkah kau
mendengar tentang sepasang tokoh muda yang mena-
makan dirinya Sepasang Walet Merah?" bentaknya lagi sembari mempererat
cengkeramnya. "Sa... saya memang pernah mendengarnya
tuan! Tapi orangnya saya belum pernah berjumpa...!"
jawab si pemilik warung bertambah menggigil ketaku-
tan. "Aku tak butuh jawaban seperti itu, tolol! Yang
aku ingin ketahui, pernahkah Sepasang Walet Merah
melintas di desamu ini...!"
"Belum, Tuan...!"
"Gabruuuk...!" Tubuh pemilik waning dicam-
pakkan begitu saja oleh laki-laki berbaju biru tadi, dan ketika dia menoleh dan
hendak berbalik langkah. Ma-ka dilihatnya seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang berusia sekitar dua puluh satu tahun tampak
berdiri di depan pintu warung itu.
"Kalian siapakah" Sehingga mencari-cari ka-
mi...?" tanya salah seorang yang berdiri di depan itu merasa curiga
"Kami dari anggota gerombolan Sinar Kayan-
gan! Benarkah kalian yang berjuluk Sepasang Walet
Merah?" Kedua muda mudi yang tak lain Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya tampak
saling berpandangan
seketika lamanya.
"Kalau benar kalian mau apa...?" tanya Bagas Salaya dengan sesungging senyum
sinis. Mendengar
pengakuan Bagas Salaya, bukan main gembiranya hati
mereka. Tanpa sadar mereka pun tergelak-gelak.
"Bocah ingusan seperti inikah yang telah men-
gangkat dirinya sebagai Sepasang Walet Merah?" ejek pimpinan rombongan yang
bernama Sudiro.
"Tak salah...!" tukas Dewi Ratna Juwita sambil maju dua langkah.
"Kalau begitu serahkan Batu Walet Merah yang
ada di jarimu itu...!" perintahnya, serta merta mereka mencabut senjatanya yang
berupa golok panjang namun bengkok di bagian ujungnya.
"Itukah keinginan kalian?" bentak Bagas Sa-
laya, lalu menatap tajam pada ketujuh penunggang
kuda berpakaian biru itu.
"Kami hanya menjalankan perintah ketua kami
dari Maliau dan Taruak...!" sentak Sudiro.
"Ha... ha... ha...! Ha... hi... hi...! Kalau begitu berangkatlah kalian ke
neraka mendahului ketua-mu...!" teriak Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita hampir
bersamaan. "Kurang ajar! Anak-anak cincang kedua bocah
ingusan itu sekarang juga...!" perintah Sudiro. Tak dapat di hindari terjadilah
pertarungan seru di tempat
itu. Tujuh orang utusan gerombolan Sinar Kayangan
ternyata memiliki kepandaian yang cukup lumayan.
Bahkan permainan golok panjang mereka juga sangat
berbahaya bagi pihak lawan, apalagi semua itu diba-
rengi dengan kerjasama yang sangat baik. Tak heran
kalau mereka dalam waktu sekejap saja sudah mulai
mendesak kedua lawannya. Sebaliknya pasangan Wa-
let Merah juga tidaklah memiliki kepandaian yang ren-
dah. Jurus silat sempurna. Apalagi ketika tinggal di
padepokan Bukit Berkabung mereka ini merupakan
murid pertama dan kedua. Sudah barang tentu setelah
gurunya, maka merekalah yang memiliki kepandaian
tinggi. Secara silih berganti mereka ini terus berusaha membubarkan gulungan
sinar golok yang mengung-kung tubuh mereka.
"Hiaaa...! Sriiing.... Sriiing...!" Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya cabut
pedangnya, begitu senjata
itu telah berada di dalam genggamannya maka men-
gamuklah kedua orang itu bagai benteng terluka.
Menggunakan jurus pedang 'Menggapai Langit Me-
rengkuh Bintang', senjata mereka memapaki setiap
sambaran golok lawan yang datangnya bertubi-tubi.
Tak pelak lagi denting beradunya senjata tajam terdengar tiada henti.
"Heaaa... heaaa...!"
"Traaang...!" terlihat bunga api berpijar ketika benturan keras terjadi. Utusan
gerombolan Sinar
Kayangan yang bernama Sudiro terhuyung-huyung,
bibirnya menyeringai menahan sakit. Sementara di pi-
hak Bagas Salaya hanya tergetar saja bagian tangan-
nya. Dari beradunya senjata mereka tadi, nyatalah ba-
gi Bagas Salaya kalau lawannya yang bernama Sudiro
itu ternyata memiliki tenaga dalam yang tidak rendah.
Selanjutnya dia pun lipat gandakan tenaganya.
"Arrgkh...!" Salah seorang dari enam orang yang sedang mengkerubuti Dewi Ratna
Juwita menjerit tertahan ketika pada satu kesempatan yang sangat baik
senjata di tangan gadis itu berhasil menghunjam ke
bagian lambungnya sebelah kiri. Laki-laki berpakaian
biru ini terbanting keras, menggelepar kemudian tewas seketika. Melihat kematian
kawannya lima orang lainnya tampak sangat marah sekali, selanjutnya tanpa
membuang-buang waktu lagi, satu serangan kilat yang
di dahului dengan bentakan-bentakan menggelegar
mereka lakukan secara berbarengan.
"Bet! Bet!"
"Ah...!" Dewi Ratna Juwita mengeluh, serangan kilat yang memiliki kerja sama
yang terbina dengan
baik ini membuat dia tidak mampu melakukan seran-
gan balasan terkecuali hanya mengelak dan menang-
kis. Tapi dalam keadaan terdesak seperti itu, si gadis malah tersenyum penuh
kelicikan. Sambil terus mengelakkan setiap serangan-serangan yang datang diam-
diam dia mulai mengerahkan sebagian tenaga dalam-
nya ke bagian tangan, begitu tenaga dalam tadi telah
sampai ke sana, tiba-tiba cincin Batu Walet Merah
mengeluarkan cahaya merah berkilauan.
"Hiaaat...!"
"Weeer.... Weeer...!" Begitu Dewi Ratna Juwita mengarahkan batu cincinnya kepada
lawan-lawannya.
Dua larik cahaya merah tampak melesat menghajar
dua orang lawan yang berada paling dekat dengannya.
"Argggk...!" Dua jeritan maut terdengar bertu-
rut-turut. Tubuh dua orang utusan gerombolan Sinar
Kayangan itu terpelanting roboh, kulit tubuh yang te-
lah tewas itu melepuh dan berubah menjadi biru. Na-
mun gadis itu tidak ingin berhenti sampai di situ saja, dia terus melabrak
lawannya dengan mengumbar sinar
maut yang bersumber dari cincin batu Walet Merah di
tangannya. Keadaan kini benar-benar telah berbalik,
posisi utusan gerombolan Sinar Kayangan benar-benar
menjadi kacau akibat serangan itu. Tak ada pilihan
lain bagi mereka terkecuali bertahan sebisa-bisanya
demi menyelamatkan selembar nyawanya.
"Hi... hi... hi...! Sial betul kalian jadi manusia!
Mampuslah...!" jerit gadis itu, dan kembali selarik sinar merah datang bertubi-
tubi mencecar lawannya.
Tunggang langgang utusan gerombolan Sinar Kayan-
gan berusaha mengelakkannya, tapi pada kesempatan
berikutnya, tak terelakkan lagi.
"Blaar...! Blaar...!"
"Wuaaa...!" Dua orang diantara tiga orang itu langsung menjerit, lalu roboh
tanda jiwa telah merat
dari badan kasarnya. Tapi Dewi Ratna Juwita tidak in-
gin memberi jalan hidup pada yang satunya lagi. Kem-
bali terlihat dua kali sinar merah melesat dari batu
cincin Walet Merah di tangan si gadis. Utusan Gerom-
bolan Sinar Kayangan yang sedang berhadapan den-
gan gadis telenggas itu terperangah, namun masih te-
tap berusaha memutar goloknya.
"Breess...!" Tiada lolongan yang terdengar, laki berpakaian biru itu terjengkang
tewas dalam keadaan
masih tetap memegangi golok. Dewi Ratna Juwita
hanya tersenyum sinis. Dan apabila dia memandang
pada Bagas Salaya yang sedang bertarung melawan
Sudiro, maka dia pun mencibir;
"Adik Bagas! Menghadapi seekor bandot saja
sedari tadi kau tak mampu merobohkannya! Nih ku-
bantu...!" Perempuan itu mengarahkan batu Walet Merah pada Sudiro yang sedang
berada dalam posisi ter-
jepit. "Weeer.... Weeer...!"
"Ihh...!" Sudiro cepat-cepat buang tubuhnya ke samping kiri begitu merasakan
adanya sambaran hawa
panas di belakangnya. Serangan pertama luput, tapi
celakanya dia tak mampu mengelakkan serangan ke-
dua yang bertenaga berlipat ganda.
"Auugghk...!" Sudiro meraung keras, tubuhnya terjerembab ke depan. Berkelojotan
sebentar, kemudian meregang ajal dengan kedua bola mata melotot.
Sepasang Walet Merah sama-sama tersenyum
puas. Lalu tanpa menghiraukan orang-orang yang ha-
dir di situ, keduanya pun cepat-cepat berkelebat pergi.
*** 11 Sejak kematian Eyang Girinda dan sebagian
besar murid-murid padepokan Bukit Berkabung.
Hampir setiap malamnya suasana di sekitar padepo-
kan itu terasa sunyi mencekam. Tak terlihat seorang
pun penjaga di luar padepokan itu, tidak sebagaimana
biasanya, ruangan depan tampak gelap, hanya di
ruangan tengah saja terlihat nyala pelita yang di letakkan persis di tengah-
tengah tikar pandan. Dan di se-
tiap sudut pintu ruangan itulah keempat murid pade-
pokan berjaga-jaga. Sementara di tengah-tengah ruan-
gan di atas tikar pandan tampak Pendekar Hina Kela-
na dan Dewi Ratih sedang duduk mengelilingi lampu.
Saat itu diantara mereka sama-sama saling diam den-
gan wajah tertunduk. Tampaknya kematian Eyang Gi-
rinda benar-benar masih mendera batin gadis itu. Lain lagi halnya dengan Buang
Sengketa, justru dia menyadari dengan adanya pesan Eyang Girinda menjelang
kematiannya beberapa minggu yang lalu membuat di-
rinya tak dapat bergerak ke mana-mana. Bahkan kini
pun disadarinya dengan adanya Batu Walet Merah di
tangan Ratih, cepat atau lambat pasti akan mengun-


Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dang perhatian tokoh-tokoh persilatan dari berbagai
golongan. Hal itu merupakan sebuah kenyataan yang
tidak disangkal oleh siapa pun. Sebab sepanjang seja-
rahnya sepasang Batu Walet Merah, keberadaannya
selalu diperebutkan oleh banyak tokoh. Entah sudah
beratus jiwa yang melayang hanya karena mempere-
butkan dua batu yang memiliki kekuatan gaib yang
luar biasa ini. Bahkan ketika Resi Mamba masih hidup
dulu sampai membuang batu itu, juga karena dia tak
ingin jatuhnya korban-korban lebih banyak lagi. Pe-
nyesalannya telah membunuh istrinya sendiri yang le-
bih cenderung berpihak pada golongan sesat itu, telah membuatnya menjadi putus
asa. Itulah sebabnya ketika istrinya dulu tewas di tangannya. Resi Mamba lang-
sung berada di dalam gua tempat penyimpanan jena-
zah di dalam sebuah ruangan kecil yang berada di da-
lam gua tempat penyimpanan jenazah para leluhur.
Dan sebelum Resi Mamba meninggal dunia dia pun te-
lah memutuskan untuk membuang Batu Walet Merah
jantan miliknya. Siapa kira kemudian muncul Dewi
Ratih yang punya ambisi untuk mengembalikan jaman
kejayaan padepokan Bukit Berkabung.
"Kita tak mungkin tetap tinggal di sini sela-
manya, apalagi dua orang saudaramu kini dengan Ba-
tu Walet Merah mulai menyebar malapetaka di mana-
mana...!" ucap Buang Sengketa memecah keheningan suasana. Suaranya yang lirih,
cukup membuat Ratih
tersentak dari lamunannya. Sejenak dipandanginya
wajah pemuda di depannya dengan sudut matanya
yang indah. "Maksud kakang bagaimana...!" tanya gadis
berpakaian merah biru dengan ikat kepala merah ini
penuh perhatian.
Si pemuda tak segera menjawab, sebaliknya di-
buangnya pandangan mata jauh-jauh sambil menarik
nafas pendek, dan menghembuskannya kembali. Maka
dia pun menyahut.
"Mestinya kita mulai bergerak meninggalkan
padepokan ini, atau paling tidak mengosongkan pade-
pokan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu andai
saja dunia persilatan tau bahkan apabila dua orang
saudaramu tahu bahwa kau ada memiliki Batu Walet
Merah yang satunya lagi. Maka aku punya keyakinan
mereka tak terkecuali saudaramu pasti segera membu-
rumu...!" ujar si pemuda was-was.
Dewi Ratih tampak angguk-anggukkan kepa-
lanya. "Menurutmu apakah kita mampu mengambil
Batu Walet Merah betina yang kini berada di tangan
Kakang Bagas Salaya, Kakang...?"
Buang Sengketa hanya tersenyum saja men-
dengar kata-kata Dewi Ratih yang agaknya tak tau ba-
nyak tentang kemelut yang sedang terjadi di rimba
persilatan. "Kau bilang pemilik pedang itu Bagas Salaya?"
tanyanya setengah tertegun.
"Ya... ada tanda dari pedang yang menggeletak
di depan pintu gua...!" ujar Ratih merasa sangat yakin.
Pendekar Hina Kelana hanya manggut satu kali.
"Kalau pun memang benar apa yang kau kata-
kan itu, yang jelas dia datang kesana tentulah bersama dengan kakak tuamu, Dewi
Ratna Juwita...!"
Tersentak Dewi Ratih mendengar apa yang baru
saja dikatakan oleh pemuda tampan yang duduk di
hadapannya. "Bagaimana kakang bisa mengetahui-nya...?"
"Apakah beberapa hari ini kau tidak mendengar
adanya berita tentang sepak terjang tokoh muda yang
menamakan dirinya sebagai Sepasang Walet Merah"
Kalau sudah dibilang sepasang itu berarti dua orang,
yang jelas laki-laki dan seorang perempuan...!"
"Apakah orang itu juga memiliki batu cincin se-
perti yang ada padaku ini?" tanya si gadis pilon. Buang Sengketa tampak garuk-
garuk kepalanya.
"Justru batu itulah yang telah banyak menim-
bulkan jatuhnya korban dimana-mana...!"
"Kalau begitu kita harus bisa menghentikan-
nya, Kakang...!" tukas Ratih. Si pemuda menanggapi dengan sesungging senyum
kecut. "Memang kenapa, Kakang Kelana...!"
"Yang ingin kita buru adalah Batu Walet Merah,
sedangkan yang memburu juga memiliki batu yang
sama. Pernahkah terlintas di dalam hatimu bahwa kita
pun punya kemungkinan besar untuk diserbu oleh
orang lain, atau bahkan saudara-saudaramu juga ma-
lah berbalik memburumu...?" tanya Pendekar Hina Kelana seperti pada dirinya
sendiri. "Betul juga katamu kakang...! Tapi mungkinkah
kita mendapatkan kembali Batu Walet Merah yang be-
tinanya, jika kita menghadapi dua orang saudaraku itu hanya mengandalkan
tenagamu..."!"
"Kemungkinan itu selalu ada, asal saja kita tau
selanya...!"
"Tapi kehebatan Batu Walet Merah tak bisa di-
anggap main-main, Kakang...! Bahkan kakang sendiri
pernah menyaksikannya ketika kita terlibat pertarun-
gan dengan Gendam Lukito...!"
"Aku hanya memberi usul, Adik Ratih... jika
kau keberatan itu berarti segala resiko apapun kita
sudah siap menghadapinya...!" katanya. "Pula yang akan merintangi jalan di depan
sana bukanlah saudaramu saja, masih banyak tokoh persilatan yang lain
yang mungkin juga berambisi untuk mengangkangi
kedua batu itu...!"
"Menurutmu bagaimana, Kakang...!"
"Kalau menurut aku, ada baiknya Batu Walet
Merah yang berada di tanganmu itu disembunyikan di
suatu tempat!" ujarnya berbisik-bisik.
"Apa disembunyikan" Justru dengan cara dis-
embunyikan seperti itu aku merasa kurang yakin akan
keselamatan...!"
"Bagaimana kalau tidak kau pakai di jari, tapi
di bungkus dengan sebuah kain kemudian kau sem-
bunyikan di salah satu saku bajumu...!" katanya lagi memberi pandangan yang
lain. Sekejap Dewi Ratih berusaha memahami apa yang di katakan oleh Buang
Sengketa. Lalu tak lama setelahnya dia pun sudah
mengangguk setuju.
Dalam kesempatan itu, sebelum keduanya
mengambil langkah lebih lanjut, dari luar padepokan
dalam suasana kegelapan terdengar suara tawa seseo-
rang yang disertai tenaga dalam tinggi. Padepokan
tempat di mana orang itu berada terasa tergetar, bah-
kan keempat orang murid padepokan terpaksa harus
menutupi kedua telinganya. Tak lama suara tawa tadi
berlangsung disambung dengan kata-katanya.
"Kalau kalian berdua selalu merasa was-was
dengan keselamatan Batu Walet Merah itu, alangkah
baiknya kalau kalian serahkan padaku. Percayalah
aku pasti mampu menjaganya dari tangan orang-orang
yang punya niat tak baik...!" Dengan mempergunakan obor di tangan, Dewi Ratih
tanpa banyak suara langsung melompat ke luar lalu diikuti pula oleh Buang
Sengketa. Begitu mereka sampai di luar tak seorang
pun terlihat di sana. Tapi naluri kependekaran Buang
mengatakan bahwa sesosok tubuh dalam kegelapan
itu tidak jauh jaraknya dari mereka berdua.
"Siapa pun adanya orang tua di dalam kegela-
pan! Ku mohon tunjukkan rupa, dan katakan apa tu-
juan sehingga malam-malam begini keluyuran sampai
ke padepokan Bukit Berkabung...!"
"Tak banyak keperluan datang ke tempatmu ini
orang muda, pertama aku ingin turut mengatakan
berduka cita atas meninggalnya Girinda! Yang kedua
aku ingin menagih hutang nyawa atas diri Nyai Plasik
bekas istriku dan seorang muridnya. Tapi sebelum se-
mua yang kukatakan itu kulaksanakan, maka aku
minta agar Batu Walet Merah di serahkan padaku...!"
Baik Dewi Ratih maupun Pendekar Hina Kelana
sudah barang tentu sangat terkejut sekali mendengar
permintaan yang sangat gila-gilaan ini. Mereka menjadi penasaran tentang
keberadaan si suara di kegelapan
yang belum jelas rupanya ini. Dengan gusar Ratih pun
tak ketinggalan membentak;
"Enak saja, begitu mudahkah kau meminta ba-
rang milik orang lain begitu saja, seolah engkaulah
yang paling berkuasa atas diri orang lain."
"Hek... hek... hek...!" tawanya sumbang. "Sudah kukatakan bahwa kedatanganku
kemari adalah untuk
menagih hutang nyawa kawanku, tapi karena kulihat
juga kalian merasa kebingungan untuk menyimpan
Batu Walet Merah yang hampir saja membuat aku
mampus dulu. Maka kuperintahkan agar batu itu di
serahkan padaku dengan sukarela!"
"Kalau kami tak mau...!" tukas si pemuda.
"Maka aku akan memaksanya..."!"
"Mampukah kau...!"
"Hek... he... hek... he...!" tawanya lagi. "Semu-
dah aku membalikkan telapak tanganku bocah-bocah
ingusan...!"
"Besar mulut...!" cibir si gadis. Tiada terdengar jawaban apapun, tapi saat
kemudian keduanya terpaksa harus membuang tubuhnya ke samping dan
berguling-guling saat mana satu pukulan mematikan
di lancarkan oleh orang yang berada di dalam kegela-
pan itu. "Sompreet...!" maki Buang Sengketa sembari bangkit berdiri.
"Jleeegkh...!" Ketika Buang dan Ratih baru saja bersiap-siap dengan posisinya,
maka sosok bayangan
yang telah memukulnya dengan pukulan jarak jauh
tadi telah berdiri dihadapannya. Satu seringai lebar
mengawali kehadirannya.
"Ka... kau... siapakah kau ini...?" tanya Buang Sengketa begitu melihat seorang
kakek berkepala gundul dengan pakaian warna cokelat menyelempang ke
bagian sebelah dada sehingga mirip sekali dengan pa-
kaian seorang pendeta. Selain Buang Sengketa, rasa-
rasanya Dewi Ratih pun baru kali ini melihat kehadi-
ran laki-laki berkepala botak macam tuyul ini. Cuma
ada keanehan yang lainnya adalah karena kakek ber-
kepala botak itu tiada henti-hentinya tertawa-tawa.
"Hek... hek... hek...! Kalau kalian ingin kenal
denganku, akulah si Gajah Mungkur...!" bentaknya sambil terus mengumbar tawanya
tanpa henti. Suara
tawa Gajah Mungkur terasa benar bagi Buang meru-
pakan satu ejekan yang sangat meremehkan sekali,
itulah makanya sebelum dia bergebrak dia pun tak in-
gin mau kalah. "Bangsat! Kiranya setan berkepala botak ini,
Gajah Bengkak namanya! Kaukah saudaranya Nyai
Plasik atau bandot simpanannya" Hhh... bibirmu yang
selalu tersenyum-senyum itu memang tak ubahnya
bagai seekor bandot ketemu betinanya! Alangkah lebih
baik kalau kuberi engkau ganjaran yang setimpal atas
segala tingkahmu yang punya niat untuk menguasai
Batu Walet Merah...!" teriak Buang Sengketa, selanjutnya dia memberi isyarat
pada Dewi Ratih dan keempat
murid padepokan untuk menyingkir dari tempat itu.
"Hek... hek... hek.... Hoeek...! Tiada guna kau
menyuruh adikmu minggat dari tempat ini bocah gem-
bel! Lihatlah tak sampai satu jam di depan, padepokan Bukit Berkabung segera
terkepung dari segala penjuru.
Percuma... percuma... kalangan persilatan sudah tau,
bahwa saudaramu yang lain telah berani pamer di du-
nia ramai dengan mengandalkan Batu Walet Merah.
Mereka pasti marah, bocah...! Tapi sebelum mereka
datang melabrakmu itu makanya aku datang lebih aw-
al, menyerahlah...!" perintah Gajah Mungkur yang sudah barang tentu menganggap
Buang Sengketa masih
merupakan murid padepokan Bukit Berkabung.
Sementara itu apapun yang bakal terjadi, seda-
patnya Pendekar Hina Kelana telah memberi jalan bagi
Dewi Ratih dan keempat orang muridnya untuk kabur
dari tempat itu. Mulanya Ratih merasa bimbang den-
gan keselamatan Buang yang selama ini bertindak se-
bagai pelindungnya. Tapi karena secara terus menerus
Pendekar Hina Kelana mendesaknya maka dengan be-
rat hati dia dan kawannya terpaksa meninggalkan
tempat itu. Keadaan seperti itu tidak dikehendaki oleh Gajah Mungkur, dia
berusaha mencegah namun
Buang Sengketa merintanginya. Tanpa tercegah lagi,
Gajah Mungkur menjadikan si pemuda sebagai tempat
pelampiasan kemarahannya. Mulanya dia mengira
dengan sekali gebuk mempergunakan senjata mautnya
yang berupa pecut dari ekor ikan hiu maka binasalah
pemuda berperiuk itu di tangannya. Tapi akhirnya dia
harus kecewa setelah melihat kenyataan yang terjadi
bahwa pemuda yang dianggapnya hanya memiliki ilmu
kepandaian tidak seberapa ini ternyata mampu menge-
lakkan cambukan pecutnya yang sangat luar biasa ce-
pat ini. "Keparat...! Kebisaanmu bertingkah di depanku benar-benar harus kau
tebus dengan kematian yang
mengertikan...!" Gajah Mungkur lagi-lagi membentak, selanjutnya dia ayunkan
pecutnya yang memiliki berat
hampir satu kwintal itu.
*** 12 "Jder.... Jdeeer.... Jdeeer...!" suara pecut di tangan Gajah Mungkur meledak-
ledak mencecar lawan-
nya. Tapi Buang Sengketa telah berkelebat cepat.
Mempergunakan jurus silat 'Membendung Gelombang
Menimba Samudra', kedua tangannya dia putar sede-
mikian rupa sehingga membentuk sebuah pertahanan
yang sangat kokoh sekali. Sekali dua lecutan cambuk
di tangan Gajah Mungkur dengan nekad dia pakai di
tengah jalan dengan mempergunakan jurus si Gila
Mengamuk. Namun ternyata cambuk yang terbuat dari
ekor ikan hiu itu selain memiliki berat yang luar biasa juga dialiri dengan


Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga dalam yang cukup tinggi.
Hingga mau tak mau Buang terpaksa menarik pulang
tangannya, saat dia merasakan tangan kanan yang dia
pergunakan untuk memapaki serangan cambuk itu
kesemutan dan berdenyut-denyut sakit.
"Sekejap lagi engkau harus terima mampus,
bocah...!" teriak Gajah Mungkur sambil melipat gandakan tenaganya sehingga
membuat cambuk di tangan-
nya meledak-ledak bagai sebuah senjata yang sangat
ringan sekali. "Dwwuueer...!"
"Kampret...!" maki Pendekar Hina Kelana saat cambuk di tangan Gajah Mungkur
hampir saja mende-ranya. Angin sambaran cambuk yang dilecutkan oleh
Gajah Mungkur terasa sangat panas menyambar ba-
gian kepalanya, kini sadarlah dia bahwa ujung cambuk
selain memiliki berat yang luar biasa kiranya mengan-
dung racun yang jahat. "Aku harus lebih cepat dalam bertindak, kalau tidak
tubuhku bisa hancur berkeping
dilanda cambuk sialan itu!" gumam si pemuda dalam hati. "Caiiit...!"
mempergunakan jurus si 'Gila Mengamuk' secara mendadak tubuh Buang Sengketa ber-
gerak lambat, meliuk-liuk, terhuyung ke depan dan ke
belakang bagai orang yang sedang mabuk. Inilah yang
merupakan ciri khas dari jurus si Gila Mengamuk yang
di mainkan oleh Buang Sengketa. Sungguhpun gera-
kan silat si pemuda menjadi kacau tak beraturan,
akan tetapi sampai sejauh ini cambuk di tangan Gajah
Mungkur secepat apapun berkelebat menyambar ma-
sih tetap saja dapat dielakkan oleh pihak lawannya.
Selaku tokoh silat, bahkan boleh dikata dedengkotnya
kaum persilatan golongan hitam yang sudah banyak
makan asam garam pengalaman. Sudah barang tentu
keadaan seperti itu tak dapat dibiarkan terus berlan-
jut. Maka tanpa banyak komentar lagi, dia pun cepat-
cepat robah jurus silatnya dengan tingkatan yang lebih tinggi. 'Gajah Buta
Menendang Serigala', mempergunakan jurus ini, tubuh Gajah Mungkur yang sangat
ge- muk luar biasa tampak bergerak lebih cepat lagi dari
yang sudah-sudah. Cambuk di tangan tiada henti-
henti melecut ke arah bagian tubuh lawannya. Gera-
kan tubuh Gajah Mungkur yang sedemikian cepat,
membuat Buang Sengketa mulai kehilangan ruangan
gerak. Hingga satu kesempatan pihak lawan lancarkan
satu sodokan keras ke arah bagian perut. Buang me-
nangkisnya dengan kibaskan tangan kanan, sementara
tangan kirinya menghajar bagian dada Gajah Mung-
kur. "Buuuuk!" Gajah Mungkur mengeluh dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang,
tapi di luar du-gaannya pecut di tangannya menghajar bagian pung-
gung Buang Sengketa.
"Breet! Ahhkh...!" tubuh pemuda keturunan ra-ja para siluman itu terguling-
guling roboh. Dia mera-
sakan bagian punggungnya seperti remuk, bajunya
pun robek hampir sepanjang punggung belakangnya.
Tertatih-tatih, pemuda itu berusaha bangkit, sementa-
ra bagian punggung yang terkena itu telah mulai men-
geluarkan darah, hingga menimbulkan rasa perih yang
tiada tertahankan.
"Mampuslah, kau bocah...!" teriak Gajah Mungkur. Sambil melecutkan cambuknya dia
kirimkan satu pukulan maut yang tak kalah hebatnya dengan cam-
buk ditangannya. Begitu tangan kirinya mendorong ke
depan, maka tak pelak lagi selarik sinar berwarna pu-
tih tampak melesat dari bagian telapak tangannya.
Buang Sengketa sama sekali tiada menduga akan
adanya bahaya yang datang secara bersamaan ini. Dia
tiada memiliki pilihan lain terkecuali memapaki puku-
lan lawan dengan pukulan si Hina Kelana Merana, se-
dangkan lecutan cambuk di tangan Gajah Mungkur
dia atasi dengan mempergunakan Jurus Koreng Seri-
bu. "Blaaam! Creep!" sesungguhnya tubuh masing-
masing lawan sama-sama terpental pada saat dua ke-
kuatan sakti itu saling berbenturan. Tapi karena ter-
lanjur ujung cambuk milik Gajah Mungkur terpegang
oleh si pemuda. Maka begitu tubuh mereka tersentak
ke belakang, secara tak terduga mereka malah terpe-
lanting ke depan. Masih untung Buang Sengketa ce-
pat-cepat menarik balik daya sedot Jurus Koreng Seri-
bu yang telah dia lancarkan andai tidak dapat dipastikan dialah yang paling
parah menderita luka dalam.
Gajah Mungkur yang terlempar tubuhnya ke
samping kiri, ternyata juga merupakan orang yang
sangat kedot luar biasa. Terbukti sampai sejauh itu
tiada perubahan yang terjadi pada dirinya. Padahal
saat itu Buang Sengketa sendiri sudah menderita luka
dalam yang tidak ringan, bahkan dari hidung dan bibir si pemuda mulai nampak
mengalir darah kental.
"Bocah! Tiga pukulan di depan, nyawamu akan
terbang ke neraka! Kuperingatkan padamu, cabutlah
senjatamu andai memang benar kau memiliki senjata
yang dapat kau andalkan, cepatlah...!" teriak Gajah Mungkur. Saat itu dia sudah
putar-putar cambuknya
tepat di bagian atas kepalanya.
"Botak keparat, tak perlu kau beri peringatkan!
Andai memang telah tiba waktumu untuk mampus,
maka tak apalah kau perintah sekalipun aku akan ca-
but senjataku...!" Kata Buang Sengketa, seraya menggerung marah. Dalam keadaan
seperti itu, manusia
berbadan besar yang menjadi lawannya telah pula
memburunya dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan
juga mengandalkan cambuk di tangannya. Buang
Sengketa merasa tak perlu mengulang kebodohannya
untuk yang kedua kalinya. Begitu tubuhnya berkele-
bat, maka tangan kanannya sudah pula mencabut pu-
saka Golok Buntung yang selalu terselip di bagian
pinggangnya. Dengan mempergunakan golok itu Buang
sudah merasa cukup untuk menandingi lawannya, tak
perlu mempergunakan Cambuk Gelap Sayuto yang
sangat luar biasa itu.
"Heeeiiik...!"
"Nguuung...!" saat Buang Sengketa mengelua-
rkan jeritan tertahan, maka tubuhnya berkelebat cepat mengiringi melesatnya
sinar merah menyala yang memancar dari pusaka Golok Buntung yang berada da-
lam genggaman si pemuda. Dingin angin malam sema-
kin bertambah dingin, saat senjata maut itu menyam-
bar-nyambar bagian tubuh lawannya. Gajah Mungkur
sudah barang tentu merasa terkejut bukan alang kepa-
lang. Apalagi ketika melihat berkelebatnya sinar merah menyala di tangan
lawannya. Dan dia menjadi lebih
terperanjat lagi saat dia merasakan udara dingin yang hebat mendera tubuhnya.
Perobahan yang sangat tiba-tiba itu memang membuat Gajah Mungkur menjadi
lengah sedikit.
"Siiing!" golok di tangan lawan menyambar dekat sekali dengan bagian dadanya.
Setengah tergagap
dia sabetkan cambuknya.
"Ctar.... Criiing...!" lecutan cambuk di sambut dengan ketajaman golok, tak ayal
lagi cambuk itu pun
terpotong menjadi beberapa bagian. Gajah Mungkur
tanpa senjata andalan di tangan tampaknya menjadi
semakin kelabakan. Pendekar Hina Kelana terus mem-
burunya tanpa memberi peluang lagi pada lawannya
untuk berbuat lebih banyak.
"Caaait...! Hiaaa...!"
"Creees...!"
"Argk...!" Gajah Mungkur menjerit setinggi langit pada saat senjata di tangan
Buang Sengketa berha-
sil menyambar bagian ulu hatinya. Tubuh Gajah
Mungkur terhuyung-huyung, tangan menekan bagian
yang terluka. Tapi karena darah yang keluar terus me-
nerus memancar tiada henti. Maka tak lama kemudian
tubuhnya ambruk tiada berkutik lagi. Hanya sebentar
saja Buang Sengketa memperhatikan keadaan mayat
lawannya, kemudian barulah dia memperhatikan ke
sekelilingnya. Maka padepokan Bukit Berkabung dari
jarak yang tidak begitu jauh telah di kelilingi oleh obor dari berbagai penjuru.
Bahkan sayup-sayup dia mendengar suara orang-orang itu meneriakkan kata "Walet
Merah." Tak salah semua golongan persilatan memang ingin memiliki batu Walet
Merah. Mampukah Dewi Ratih menyelamatkan batu Walet Merah di tangannya"
Bagaimana halnya dengan Pendekar Hina Kelana yang
terkepung" Lalu siapa pula ketua Gerombolan Sinar
Kayangan" Untuk mengetahui jawabnya ada pada ju-
dul "Banjir Darah Di Bukit Siluman".
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Misteri Bayangan Setan 1 Kedele Maut Karya Khu Lung Pedang Langit Dan Golok Naga 12
^