Pencarian

Banjir Darah Di Bukit Siluman 1

Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman Bagian 1


BANJIR DARAH DI BUKIT SILUMAN
Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Gambar Sampul oleh David
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Banjir Darah Di Bukit Si-
luman 1 Mudah-mudahan Ratih dan keempat ka-
wannya dapat meloloskan diri dari kepungan ini. Aku
tak tahu seberapa banyak jumlah mereka" Tapi aku
tak mau perduli dengan semua yang bakal akan terja-
di, apapun dan siapa pun mereka itu, yang pasti kedatangan mereka dengan membawa
maksud-maksud yang tak baik. Setidak-tidaknya aku harus bertahan di sini selama mungkin, kalau
pun mereka mengetahui
keberadaanku aku hanya berharap perhatian mereka
hanya tertuju padaku, sehingga Ratih punya kesempa-
tan untuk meloloskan diri. Batin pemuda berkuncir itu sembari memandang ke
sekeliling bukit yang saat itu
telah di penuhi dengan cahaya obor para pengepung-
nya Setindak demi setindak pemuda keturunan Ba-
ja negeri Bunian ini melangkah undur mendekati pa-
depokan. Sepasang matanya menatap liar menjaga se-
tiap kemungkinan. Semakin lama tubuhnya pun se-
makin dekat dengan pondok yang sudah tidak ber-
penghuni itu. Dia terus merapat ke dinding, dengan
maksud bergerak ke bagian belakang. Tapi akhirnya
dia menghentikan langkah saat mana kaki kirinya me-
nyentuh sesuatu di depannya. Sejenak pemuda berwa-
jah tampan itu memperhatikan sosok yang tergeletak
di depannya. Begitu dia memeriksa, betapa terperan-
jatnya pemuda itu setelah memeriksa sosok tubuh
yang tergeletak tadi.
"Celaka... orang-orang ini ternyata murid-murid padepokan" Mereka tewas di depan
hidungku, bahkan
di luar sepengetahuanku pula! Lalu siapa keempat
orang yang pergi bersama Dewi Ratih tadi" Tololnya la-gi Ratih pun pasti tidak
tahu dengan siapa dia pergi.
Kalau begitu dia benar-benar berada dalam keadaan
bahaya...!" Katanya pula seorang diri. Dalam pada itu orang-orang yang mengepung
padepokan itu semakin
dekat jaraknya dengan posisi si pemuda berkuncir
atau yang lebih di kenal dengan Pendekar Hina Kelana.
Bahkan suara-suara teriakan mulai pula berkuman-
dang. Satu-satunya suara pengepung itu yang sampai
begitu jelas di telinga Buang Sengketa adalah suara
yang datangnya dari bagian Utara bukit itu. Suara
orang itu parau dan bahkan mendekati sengau. Dari
suaranya yang begitu keras, Buang Sengketa dapat
memperhitungkan bahwa pemiliknya pastilah seorang
tinggi besar dan memiliki tenaga dalam yang cukup
tinggi. "Kepada orang-orang yang berada di dalam padepokan, menyerahlah kalian
secara baik-baik. Pade-
pokan ini sudah terkepung...!" Begitu teriakan keras itu merobek keheningan
malam, maka suasana di sekelilingnya mendadak saja berobah menjadi sunyi sepi.
Tiada sahutan apa pun dari Buang, sebaliknya para
pengepung yang jumlahnya tak kurang dari empat pu-
luh orang ini, si pemuda dapat memastikan mereka ki-
ranya terdiri dari berbagai golongan rimba persilatan.
"Orang-orang yang ada di padepokan, kalian ti-
dak memiliki waktu banyak untuk berpikir, lebih baik menyerah untuk menerima
hukuman setimpal atas
ulah Sepasang Walet Merah yang kami tahu masih me-
rupakan orang-orangmu...!" Teriak suara perempuan yang berada di bagian sebelah
Barat. "Hemmm. Kiranya mereka mencari Sepasang
Walet Merah berarti kedatangan mereka hanyalah in-
gin meminta pertanggung jawaban...!" Pendekar Hina Kelana lagi-lagi bergumam di
dalam hati. "Aku tak ta-hu sudah berapa banyak korban jatuh di tangan Dewi
Ratih Juwita dan Bagas Salaya. Apa pun yang menjadi
sasaran dari pembunuhan-pembunuhan mereka yang
jelas ke dua murid terkutuk itu benar-benar telah
mencemarkan nama baik padepokan bukit berkabung
yang hampir tiada memiliki kekuatan apa-apa...!" Sejenak lamanya pemuda berwajah
tampan itu memperhi-
tungkan segala sesuatunya untuk mengambil langkah
lebih lanjut. "Jumlah mereka cukup banyak tak
mungkin aku menghadapi mereka tanpa menimbulkan
korban yang sebenarnya tak perlu ada. Tapi kalau ti-
dak dari sekarang aku berusaha menjelaskan duduk
persoalan yang sesungguhnya. Semuanya tidak dapat
dianggap selesai begitu saja...!" Ketika Buang sedang mempertimbangkan segala
sesuatunya itu, tiba-tiba
kembali terdengar bentakan menggeledek, "Manusia-manusia keparat! Kalau kalian
tidak mematuhi seruan
kami, jangan salahkan andai sekejap lagi padepokan
yang sudah tiada guna itu kami bakar menjadi de-
bu...!" Teriak suara yang berada di posisi bagian Barat.
Tiga tindak pemuda negeri bunian itu melangkahkan
kaki. Setelah memandang ke sekelilingnya, maka tan-
pa mengerahkan tenaga dalam dia pun menjawab.
"Tuan-tuan terhormat! Datang malam-malam
begini ada keperluan apakah?" Tanya si pemuda. Dengan adanya jawaban Buang
Sengketa, tanpa di sangka-
sangka orang-orang yang mengepung padepokan, itu-
pun berlarian mendekati si pemuda dengan posisi te-
tap mengurung. Semakin mereka mendekat ke pade-
pokan maka semakin bertambah jelaslah sosok tubuh
berpakaian merah kumal ini. Buang angkat sebelah
tangan menutupi sebagian wajah untuk menghindari
silau cahaya obor yang sangat banyak itu. Selain orang kebanyakan yang rata-rata
membawa berbagai jenis
senjata, pertama-tama yang dia lihat datang mendekat adalah seorang perempuan
setengah baya berpakaian
kelabu, berambut kelabu dengan ikat kepala, berwarna
kelabu pula. Sedangkan di tangan nenek ini tergeng-
gam sebuah tongkat berwarna kuning, dan dibagian
ujung tongkat itu terdapat sebuah ukiran bergambar
kepala burung Rangko. Kemudian dari bagian lain
muncul pula seorang kakek tinggi besar berhidung
bengkok mirip paruh burung kakak tua. Walau pun
kakek ini sudah berusia lanjut, namun tubuhnya ma-
sih kelihatan kekar berotot, tak terdapat senjata lainnya di bagian tubuhnya
terkecuali sebuah gada beru-
kuran tak lebih besar dari ibu jari. Kemudian dari
samping kanan Pendekar Hina Kelana menyeruak pula
sosok tubuh yang tingginya tak lebih satu meter, berpakaian warna hitam dengan
kumis dan jenggot yang
dibiarkan tumbuh memanjang sampai sebatas pusar.
Dibandingkan dengan dua orang tokoh lainnya maka
penampilan kakek berkumis panjang ini selintas mem-
beri kesan lucu, apalagi dengan dua buah senjatanya
yang sangat mirip dengan pemukul gong. Penampilan-
nya lebih cenderung berkesan seorang badut ketim-
bang seorang tokoh persilatan. Walau pun begitu ka-
langan persilatan tak berani bertindak sembarangan
dengan kakek berpenampilan lucu ini. Sebab selain
memiliki senjata andalan yang mirip dengan pemukul
gong tadi kakek berkumis panjang itu juga memiliki
pukulan sakti yang mampu membuat roboh puluhan
orang pihak lawan dengan sekali gebrak saja. Kalan-
gan persilatan mengenalnya sebagai 'Si Kumis Panjang Gong Akherat'. Sedangkan
perempuan berambut serta
berpakaian kelabu dengan tongkatnya berkepala bu-
rung Rangko itu di kalangan persilatan lebih di kenal dengan julukan "Si Tongkat
Maut Dari Lembah Panggang". Sesuai dengan julukannya selama ini perempuan
berpakaian kelabu ini tinggal di lembah Pang-
gang bersama dengan beberapa orang muridnya
Sedangkan kakek tinggi besar berhidung beng-
kok dalam rimba persilatan lebih di kenal dengan julukan si 'Gada Wisa', tak
jauh menyimpang dari julu-
kannya. Maka senjatanya yang berupa gada sebesar
ibu jari itu memiliki racun yang sangat ganas, belum pernah dalam sejarahnya
selama malang melintang di
rimba persilatan pihak lawan mampu bertahan hidup
apabila sampai tersentuh gada beracun itu, jangankan lagi sampai terpukul.
Selama ini Gada Wisa atau Gusti Durjana berkuasa di Belantara Maliau dan Taruak.
Dia juga merupakan pemimpin tertinggi dalam Gerombolan
Sinar Kayangan (Untuk lebih jelasnya dalam episode
Kisah Sepasang Walet Merah). Yang jelas hanya rom-
bongan yang di pimpin oleh si tinggi hidung bengkok
sajalah yang merupakan rombongan beraliran sesat,
sedangkan rombongan yang dipimpin oleh si rambut
kelabu atau Sumirah dan si Kumis Panjang Gong Ak-
herat merupakan dua rombongan yang beraliran putih.
Hanya secara kebetulan sajalah mereka bertemu da-
lam perjalanan, dan entah mengapa dua golongan yang
saling bertentangan itu secara sepakat sama mendaki
bukit berkabung. Mungkin karena secara kebetulan
mereka memiliki tujuan yang sama saja.
Saat itu Buang Sengketa dengan sangat teliti
memperhatikan ketiga orang ini satu demi satu. Tapi
sekejap kemudian sebelum dia berkomentar apa-apa
kembali terdengar bentakan si tinggi besar.
"Hemm! Kurasa kuping mu belum tuli untuk
mendengar apa yang kukatakan di bawah sana tadi!"
Dalam keadaan terkepung seperti itu, Buang Sengketa
masih juga sempat cengar cengir kayak seekor monyet
yang baru saja habis pacaran. Tapi itu pun hanya berlangsung sekejap saja,
karena kemudian dia sudah be-
rucap: "Maaf, aku memang tidak tuli! Tapi sama sekali aku tak tahu apa yang anda
katakan itu!" Katanya dengan nada bersungguh-sungguh. Si tinggi besar hi-
dung bengkok kepalkan tangannya. Dia tampaknya
merasa sangat tersinggung sekali dengan jawaban si
pemuda. "Bicaramu seperti monyet cacingan, cepat se-
rahkan kawanmu, atau engkau menghendaki supaya
aku berbuat kasar?" makinya dengan geraham berge-meletukan.
"Aku tak tahu apa yang kau maksudkan orang
tua...!" "Kalau kau tak tahu, suruh si Girinda mene-muiku...!" perintahnya
dengan mata melotot.
"Maaf orang yang kau maksudkan telah pulang
menutup mata beberapa hari yang lalu." kata si pemuda dengan wajah menunduk
sedih (Mengenai sebab-
sebab kematian Eyang Girinda terdapat dalam Episode
Kisah Sepasang Walet Merah). Bukan si kakek tinggi
besar saja yang merasa terkejut demi mendengar ke-
matian Girinda, namun perempuan rambut kelabu
pun keli-hatannya sama-sama terperanjat.
"Menyesal kami tak dapat melihatmu pada saat
hari terakhirmu, sobat...!" Kata kedua tokoh itu secara hampir bersamaan. Dari
nada ucapan dua tokoh itu
tampaknya Buang dapat menyimpulkan bahwa si
Rambut kelabu dan si Kakek Panjang Kumis masih
mempunyai hubungan persahabatan dengan Eyang
Girinda. Lain lagi halnya dengan si Gada Wisa, begitu dia mendengar tentang
kematian sesepuh Padepokan
Bukit Berkabung langsung saja meledak tawanya.
"Haha... huaahaha... ha...! Akhirnya kau mam-
pus juga Girinda! Heh... dulu kau boleh tertawa atas kekalahanku melawan ayahmu,
tapi seandainya kau
masih hidup sampai kini kaupun tak luput dari hu-
kumanku karena muridmu telah membunuh Sudiro
dan kawan-kawannya," katanya. Mendadak pandangan matanya berubah liar, si Gada
Wisa sejenak lamanya
memperhatikan ke arah bagian rumah padepokan
yang gelap gulita, kemudian kembali berpaling pada
Buang. "Huh, sekarang kau mau mengatakan bahwa
muridnya yang berjuluk Sepasang Walet Merah juga
sedang tak berada di rumah...?" tukas si tinggi besar mengejek.
Pendekar Hina Kelana sejak dari tadi memang
berusaha menahan diri untuk tidak larut dalam emosi, namun lama-kelamaan dia
muak juga melihat tampang dan lagu ketua gerombolan Sinar Kayangan yang
sangat angkuh itu, apalagi ketika dia teringat saat ma-na dia melintasi hutan
Maliau dan Taruak beberapa
pekan yang lalu. Mau tak mau kini dia harus bersikap tegas juga.
"Orang yang memiliki julukan Sepasang Walet
Merah bukanlah murid Padepokan Bukit Berkabung.
Kalau pun ada dua orang murid terkutuk itu sekarang
bukan lagi merupakan murid padepokan ini. Mereka
telah terusir sejak lama, nah kalau orang-orangmu
terbunuh di tangan mereka, bukan di tempat ini kalian harus mencari...!"
"Kurang ajar, gembel amoh! Aku tau kau bu-
kanlah murid Girinda, kuperintahkan jangan ikut
campur urusan kami. Menyingkir! Kami mau geledah
rumah itu...!" Teriakan yang di sertai dengan pengerahan tenaga dalam itu dengan
maksud untuk membuka
mata bagi si pemuda yang belum di kenalnya. Si tinggi besar berharap agar orang
yang berdiri di hadapannya itu tau siapa sesungguhnya manusia yang memiliki
julukan 'si Gada Wisa'.
Kenyataannya Buang memang merasa-kan be-
tapa tubuhnya tergetar ketika mendengar ucapan
orang ini, namun dengan sedikit mengerahkan tenaga
saktinya, maka pengaruh bentakan itu pun lenyap se-
ketika. Kejut di hati Gada Wisa bukan alang kepalang,
sedikit pun dia tiada menyangka, bahwa pemuda gem-
bel yang berdiri di hadapannya itu memiliki kepan-


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daian yang belum dia ketahui betapa tingginya.
"Menyingkir kataku...!" Bentak si kakek berhidung bengkok mengulangi
perintahnya. "Baiknya kau menyingkir orang muda! Kami
memang ingin memeriksa kediaman Girinda untuk
mencari kepastian apakah orang yang telah membu-
nuh murid-murid kami berdua ada di tempat atau ti-
dak...!" Menimpali si Kakek Panjang Kumis dan si perempuan rambut kelabu.
"Sudah kukatakan bahwa orang yang kalian ca-
ri, yaitu si murid terkutuk itu tak ada di tempat, kalau pun kalian memaksa
juga, maka aku tak akan mem-biarkannya begitu saja. Sebab keutuhan padepokan ini
merupakan amanah yang perlu kukerjakan dari Eyang
Girinda...!" kata si pemuda begitu tegas. Si rambut kelabu dan si panjang kumis
tampaknya tidak bereaksi
apa-apa atas pernyataan yang diucapkan oleh Buang
Sengketa. Dan yang sebenarnya mereka sudah dapat
mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Sepenuh
hati mereka percaya dengan kejujuran ucapan pemuda
itu. Bagi mereka tak ada jalan lain selain meninggalkan tempat itu. Mengingat
persahabatan mereka den-
gan sesepuh padepokan yang kini telah mereka sama
ketahui meninggal pula. Lalu mereka memutuskan un-
tuk mencarinya di tempat lain. Itu sebabnya beberapa saat kemudian si rambut
kelabu dan si Kakek Panjang
Kumis beserta murid-muridnya segera beranjak menu-
runi puncak padepokan.
Lain lagi halnya dengan pemimpin gerombolan
Sinar Kayangan, kata-kata Buang yang bernada me-
nantang ini merupakan sebuah pengalaman baru yang
selama malang melintang dalam dunia persilatan be-
lum pernah terjadi. Dia beranggapan kalau pun tadi
pemuda ini mampu mengatasi serangan tenaga da-
lamnya, itu bukan berarti dia harus mengurungkan
niatnya untuk mengobrak abrik padepokan bukit Ber-
kabung. Mengingat selain murid-muridnya sempat te-
was di tangan Sepasang Walet Merah, terlebih-lebih
pabila terkenang pada kekalahannya dulu. Maka siapa
pun adanya pemuda berperiuk ini dia sudah tidak per-
duli lagi. "Bocah! Masih jugakah kau pada pendirian-
mu...?" Bertanya si Gada Wisa dengan sikap sangat penasaran.
"Selamanya aku tak pernah merobah segala apa
yang pernah kuucapkan...!" jawab Buang Sengketa dengan sikap waspada. Semakin
bertambah panas hati
ketua gerombolan Sinar Kayangan ini, kemudian dia
memberi tanda pada murid-muridnya untuk menyerbu
ke dalam padepokan. Sementara dia sendiri ingin men-
jajal sampai di mana kehebatan pemuda yang belum di
kenalnya itu. "Anak-anak! Cari bangsat pembunuh itu di pa-
depokan, biar aku meremukkan batok kepala bocah
konyol ini...!" teriaknya tak sabaran lagi.
"Beet!"
Buang melompat lima tindak ke belakang, sorot
matanya liar mengawasi setiap gerakan yang akan ter-
jadi. Lalu sebelum gerombolan Sinar Kayangan bertin-
dak lebih jauh. Dia pun mengerahkan tenaga dalam
untuk melepas ilmu 'Lengkingan Pemenggal Roh'.
"Tak akan kubiarkan setan manapun memasu-
ki padepokan...!"
"Jangan hiraukan ocehannya! Cepat bertin-
dak...!" bentak kakek tinggi besar demi melihat keragu-raguan membayang di wajah
murid-muridnya. Akhir-
nya orang-orang berangasan itu mulai bertindak.
"Heeiiikgh...!"
Laksana merobek keheningan malam lengkin-
gan Ilmu Pemenggal Roh terlepas dari mulut si pemu-
da, tujuh dari duapuluh orang murid Gada Wisa ter-
jengkang menemui ajal dengan telinga mengalirkan
banyak darah. Tanah di sekitar tempat mereka terasa
bagai di guncang tangan-tangan raksasa. Mereka yang
masih sempat menutup indera pendengarnya tampak
tergetar tubuhnya. Begitupun rasa sakit di bagian da-da masih begitu menggigit.
Sedangkan si kakek berhi-
dung bengkok sendiri meskipun tidak menerima akibat
yang sangat patal karena dia pun melindungi diri dengan pengerahan tenaga sakti.
Namun tetap harus
mengakui bahwa selama ini dia belum pernah melihat
seorang pemuda bertampang gembel seperti orang
yang berpakaian merah di hadapannya memiliki ilmu
aneh yang mampu membunuh lawan-lawannya hanya
dengan sekali jeritan melengking itu.
Saat itu Pendekar Hina Kelana sedikit demi se-
dikit mulai membuka matanya yang terpejam. Melalui
cahaya obor yang berserakan di atas tanah, dia dapat melihat wajah Gada Wisa,
sebentar memerah dan di
lain saat berubah pucat. Hal itu tidak begitu lama berlangsung, sebab detik
selanjutnya wajah itu telah
kembali pada keadaannya yang asli. Dingin menye-
ramkan. "Hebat! Baru kali ini aku melihat dengan mata
kepala sendiri ada ilmu segila itu. Hemm. Pantasan
kau berani bertingkah di depan mataku! Bagus, kalau
kau tak menghendaki aku mendobrak padepokan milik
Girinda, maka pertama-tama yang akan kulakukan
adalah mendobrak nyawamu hingga terbang ke nera-
ka...!" Kakek tinggi besar ini kemudian mengerang bagai harimau terluka, dengan
di sertai ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah sangat sempurna dia melaku-
kan satu tubrukan di depan.
*** 2 Buang Sengketa nampaknya sudah memperhi-
tungkan apa yang bakal di lakukan oleh pihak lawan-
nya. Sekali ini dia ingin menjajaki sejauh mana tenaga dalam yang dimiliki oleh
pihak lawannya. Dengan sedikit menggeser tubuhnya, maka dengan mempergu-
nakan jurus 'Membendung Gelombang Menimba Sa-
mudra' kedua tangannya dia putar sedemikian rupa
sehingga membentuk sebuah perisai yang sangat ko-
koh. Pakaian yang menempel di tubuh si tinggi besar
tampak berkibar-kibar di terpa angin yang ditimbulkan akibat putaran kedua
tangan si pemuda. 'Gada Wisa'
hanya sesaat saja tersentak. Satu tenaga dorongan
dengan mengandalkan setengah dari tenaga dalamnya
membuat tubuh kakek tinggi besar ini melesat ke de-
pan dengan sangat sebat sekali.
"Weees! Duuuk!"
"Ahh...!" Satu benturan telak terjadi, Buang Sengketa tergetar tubuhnya. Telapak
tangan yang saling berbenturan itu terasa sakit. Sukur dia kebal dengan segala
bentuk racun, andai tidak sejak benturan
tadi sudah barang tentu jiwanya melayang. Sebab se-
lain pada senjatanya, tangan kakek ini juga mengan-
dung racun yang jahat.
Di pihak Gada Wisa hanya terhuyung saja satu
tindak, namun dia tidak merasakan apapun akibat
benturan tenaga dalam tadi. Merasa dirinya berada di atas angin, maka tiada
tertahankan lagi, laki-laki berusia enam puluhan ini pun tergelak-gelak.
"Sekejap lagi, kau benar-benar mampus sobat
kecil...!" geramnya sembari menyerang Buang dengan jurus-jurus silat tangan
kosong yang dimilikinya. Pendekar Hina Kelana tidak mau mengalah begitu saja,
apalagi bila dia mengingat akan keselamatan Dewi Ra-
tih yang masih berada dalam tanggung jawabnya.
Bahkan kini dia merasa tak perlu berlama-lama ber-
hadapan dengan gerombolan Sinar Kayangan. Apa
yang dia sadari belakangan adalah menyelamatkan Ra-
tih terlebih dahulu. Toh kalau pun terjadi sesuatu
dengan padepokan belakang hari masih dapat diper-
baiki. Mengingat sampai sejauh itu tiba-tiba mengutu-ki dirinya sendiri yang
terlalu tolol. Pada gebrakan selanjutnya Buang merasa tak
perlu melayani si Gada Wisa dengan jurus silat tangan kosong. Cepat sekali dia
mempersiapkan pukulan 'Si
Hina Kelana Merana' yaitu satu pukulan puncak yang
dimilikinya. "Heaaat...!"
Setengah berputar tubuh Pendekar Hina Kelana
meletik ke udara. Tampaknya si Kakek Tinggi Besar
menyadari kalau si pemuda tidak melayaninya dengan
jurus silat tangan kosong. Tidak membuang waktu se-
detik setelah pukulan Si Hina Kelana Merana dile-
paskan oleh Buang. Maka diapun melepas pukulan
'Topan Gunung' yang sudah barang tentu mengandung
unsur racun ganas. Serangkum gelombang sinar me-
rah yang mengandung hawa panas datang menggebu,
tak kalah rendah pukulan Topan Gunung berwarna
dingin datang menyambut.
"Blaaar!"
Terdengar satu ledakan keras saat kedua puku-
lan sakti itu saling bertemu di tengah-tengah perjalanan. Kakek tinggi besar
terjengkang tubuhnya, seba-
liknya Buang sendiri dengan sangat bersusah payah
cepat-cepat merangkak bangun, lalu tanpa menghi-
raukan darah yang meleleh, pemuda ini sudah menge-
rahkan ilmu lari cepatnya 'Ajian Sepi Angin'. Kejab
kemudian pemuda itu telah lenyap dalam kegelapan
malam, satu tujuan yang ada dalam benak si pemuda
bahwa dia harus mencari jejak ke arah di mana le-
nyapnya Dewi Ratih beserta keempat orang yang se-
mula dianggapnya sebagai sisa-sisa murid padepokan.
Dalam pada itu si Gada Wisa demi mengetahui
musuhnya telah lenyap dari depan mata, menjadi san-
gat marah sekali. Dia menyadari pukulan yang menda-
tangkan hawa panas yang telah di lancarkan oleh si
pemuda memang sempat menggoyahkan pertahanan-
nya. Bahkan akibat benturan tenaga sakti tadi dia merasakan dadanya masih terus
berdenyut-denyut, darah
meleleh dari celah bibir dan lubang hidung. Ini me-
nandakan pihak lawan tidak berada di bawahnya, tapi
yang membuat dia heran adalah justru pada saat ke-
dua tangan mereka berbenturan, si pemuda tampak-
nya tidak menerima akibat apa-apa. Padahal pada ba-
gian tangannya juga memiliki racun ganas yang sangat cepat reaksinya. Mungkinkah
gembel berperiuk itu
kebal ter-hadap racun miliknya" Kakek tinggi besar itu tampaknya merasa sangat
penasaran sekali. Lalu dia
menoleh pada murid-murid yang kini hanya tinggal
sembilan orang itu.
"Cepat kalian geledah seisi padepokan...!" bentaknya berang.
"Baik, guruuu...!"
Serentak kesembilan orang muridnya bergerak
cepat, sebentar saja mereka sudah mendobrak pintu
padepokan lalu menyeruak masuk. Setelah menggele-
dah setiap kamar yang ada dan tak mendapati sesuatu
apa pun. Maka kesembilan orang itu kembali keluar
dari dalamnya. Seorang di antara mereka memberi la-
poran. "Padepokan kosong! Tak seorang pun ada di da-
lamnya...!"
"Sialan! Kalau begitu bocah gembel itu tidak
berbohong. Tak ada jalan lain, bakar sarang kutu ku-
pret itu...!" perintahnya. Tanpa menunggu lebih lama beberapa orang murid kakek
tinggi besar langsung melemparkan beberapa obor di tangan mereka. Sekejap
kemudian api pun berkobar. Semakin lama bertambah
membesar dan membubung tinggi. Lalu keadaan di se-
kelilingnya berobah menjadi terang benderang. Dalam
keadaan terang seperti itu, pandangan mata si Gada
Wisa yang jeli melihat adanya sosok mayat tergeletak tidak begitu jauh dari
tempat dia berada. Cepat-cepat dia melakukan pemeriksaan, setelah meneliti
beberapa saat lamanya tahulah dia bahwa keempat mayat itu
merupakan murid-murid Padepokan Bukit Berkabung.
Merasa kesal di tendangnya keempat mayat itu hingga
melayang ke bagian bawah kaki bukit. Namun begitu
dia menoleh ke jurusan lain, dia melihat adanya sosok lainnya yang juga dalam
keadaan tergeletak kaku.
"Melihat pakaiannya, rasa-rasanya mayat yang
satu itu tidak asing bagiku! Ada baiknya kalau aku
memeriksanya...!" menggumam Gada Wisa seorang di-ri. Dengan langkah lambat-
lambat, dia hampiri sosok tubuh yang terbujur kaku di depannya. Mendadak
langkahnya terhenti, hatinya terasa tercekat.
"Gajah Mungkur!" desisnya tanpa sadar. "Aku tak tahu apakah pemuda yang memiliki
ilmu aneh itu telah membunuhmu! Oh... Gajah Mungkur saha-
batku...! Tak pernah kusangka kau bisa tewas di tan-
gan bocah gembel itu, padahal ilmu kepandaianmu ti-
dak begitu beda dengan kepandaian yang ku miliki.
Sahabat... sahabatku telah pergi!" katanya lirih.
"Keparaaat...! Siapa pun adanya bocah gembel
itu, aku bersumpah, selain membunuh Sepasang Wa-
let Merah, pemuda itu juga tak akan luput dari tan-
ganku...!" geramnya marah.
"Anak-anak!" Sembilan Orang muridnya begitu dipanggil langsung datang
menghampiri. "Ada apa, Guru...?" tanya mereka hampir bersamaan.
"Cepat kalian kuburkan kawanku ini sekarang
juga!" perintahnya sambil berusaha memendam kema-rahannya.
"Baik, Guru...!"
Dengan cepat mereka mengerjakan apa yang
diperintahkan oleh gurunya, sementara Gada Wisa
sendiri tampak sedang memperhatikan kobaran api
yang terus melahap padepokan. Tak lama setelah pe-
kerjaan murid-muridnya selesai, maka bergeraklah
Gada Wisa beserta murid-muridnya menuruni lereng
bukit Berkabung. Di belakang mereka tampak padepo-
kan yang pernah mencapai jaman keemasan itu kini
hanya tinggal bara api menganga berselimutkan abu
yang masih hangat.
*** Sekarang marilah kita lihat dulu perjalanan
Dewi Ratih beserta empat orang lainnya yang turut
serta dalam pelarian itu. Setelah berlari-lari kencang dengan mengerahkan


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segenap kemampuan yang dimilikinya, tak sampai seperempat jam kemudian mereka
sudah berada jauh dari Padepokan Bukit Berkabung.
Suasana di sekitarnya dalam keadaan gelap gulita se-
hingga Ratih tiada melihat dengan jelas keempat orang yang menyertainya. Bahkan
dia pun sampai tak ingat
mengapa keempat orang itu kalaulah memang benar
murid-murid padepokan dapat mengikuti lari cepat-
nya. Padahal dia tahu bahwa keempat murid itu bera-
da jauh di bawahnya dalam berbagai kepandaian ilmu
yang di milikinya. Saat itu apa yang ada dalam piki-
rannya adalah mengenai keselamatan Buang Sengketa,
yang pasti akan menghadapi keroyokan sekian banyak
orang yang berada di lereng bukit. Entah mengapa dia lebih mencemaskan
keselamatan pemuda tampan berpakaian kumuh itu ketimbang keselamatan dirinya
sendiri. Bahkan dia merasa sangat menyesal membiar-
kan pemuda itu seorang diri menghadapi keroyokan
yang mungkin saja akan terjadi. Seandainya dia tidak menuruti segala apa yang
diperintahkan pemuda itu
kepadanya. Setidak-tidaknya dia dapat membantu si
pemuda, seandainya harus mati sekalipun dia merasa
rela untuk mati bersama-sama. Ingin rasanya dia ber-
balik langkah mendaki Bukit Berkabung yang telah dia tinggalkan itu, dia merasa
tak perlu cemas dengan segala apa yang bakal terjadi.
Namun apabila akal sehatnya telah bicara, ma-
ka dia menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh si
pemuda semua itu semata-mata hanyalah demi kese-
lamatan Batu Walet Merah yang ada pada dirinya. "Tak mengapa, moga-moga saja
Kakang Kelana selalu dalam
lindungan Sang Hyang Widi!" batinnya mencoba
menghibur diri. Dalam kegelapan tanpa cahaya rembu-
lan itu, mendadak dia berpaling pada keempat orang
yang berada begitu dekat dengan dirinya. Dalam keke-
rasannya dia pun bertanya:
"Ehh... kalian bagaimana mungkin bisa begitu
cepat menyusulku...!?"
"Kami mengerahkan segenap kemampuan yang
kami miliki, Kak Ratih...!" jawab salah seorang dianta-ra mereka.
"Kak Ratih...?" Membatin Dewi Ratih sembari mengingat-ingat sesuatu. Rasa-
rasanya suara itu tak
pernah di kenalnya. Suara berat dan parau, keempat
orang murid padepokan tak ada yang memiliki suara
seperti itu. Lalu pabila dia mencoba meneliti orang
yang baru saja menjawab pertanyaannya tadi. Dia tak
dapat melihat dengan jelas, hanya samar-samar saja.
Tapi ada bayangan menyeramkan dari sosok manu-
sianya. Satu demi satu si gadis berusaha meneliti wajah ke empat orang yang
menyertainya. Dua orang di
antaranya seperti dia kenal, namun pabila dia menga-
jukan pertanyaan pada orang itu, tak satu pun ada
yang menjawabnya. Mendadak pucatlah wajah Dewi
Ratih, kemudian dengan suara bergetar dia menyela;
"Ka... kalian bukan empat murid Padepokan Bukit Berkabung...!" bentaknya. Yang
di bentak pun tiada mengeluarkan suara apa-apa. Hanya orang pertama
yang buka suara tadilah yang bicara:
"Hemmm... membuang-buang waktu saja.
Ringkusss...!" perintah si suara serak sembari memberi aba-aba pada seorang
kawannya. Dua orang ini cepat
bergerak dan keluarkan sesuatu dari balik bajunya.
Sedangkan dua orang lainnya hanya diam menonton,
kemungkinan juga mereka merupakan pimpinan. Dewi
Ratih demi melihat gelagat yang tak baik ini nampak-
nya berusaha menghindari sergapan yang dilakukan
oleh lawannya. Tapi di luar dugaan si gadis sama seka-li kedua orang ini
melemparkan sesuatu yang diambil
dari balik bajunya tadi dari delapan penjuru.
"Buuumm!"
Terdengar delapan kali ledakan, asap mengepul
dan menyelimuti tubuh Dewi Ratih. "Asap pembius...!"
Menyadari adanya bahaya seperti itu secepat-
nya dia berusaha membebaskan diri dari kungkungan
asap pembius tadi. Malangnya dia sempat menghirup
asap yang menyelimuti dirinya. Nafas terasa sesak, kepala berdenyut-denyut di
sertai pandangan matanya
yang langsung mengabur.
"Bruuuk...!"
Ratih jatuh terduduk dan tak ingat apa-apa la-
gi. "Cepat ambil cincin batu yang ada di jarinya...!"
kata salah seorang yang dari tadi hanya menonton sa-
ja. "Cincinnya tak ada di bagian tangannya...!" desis si pemeriksa memberi laporan
pada si pemberi pe-
rintah. "Kalau begitu periksa seluruh tubuhnya...!" perintahnya lagi.
"Jangan dia yang memeriksa! Biar aku yang
melakukannya...!" sergah yang berada di sebelah pemberi perintah. Dengan cepat
orang itu bertindak meng-gerayangi tubuh Ratih. Dan ternyata Batu Walet Merah
dia dapatkan di bagian belahan dada si gadis yang ha-lus mulus. Tapi si
pemeriksa tidak menampakkan
reaksi apa-apa terkecuali mengambil cincin itu. Se-
mentara dua orang yang merobohkan Dewi Ratih den-
gan asap pembius tampak leletkan lidah.
"Kalian tak punya hak berbuat kurang ajar pa-
da seorang gadis yang tidak sadarkan diri, ini perin-tahku...!" kata orang itu
sembari menimang-nimang cincin Batu Walet Merah di tangannya.
"Kami mengerti juragan! Kalau juragan sudah
beri perintah begitu, seujung rambut pun kami tak
akan mengganggunya...!" janji kedua orang bertampang seram pada orang di
depannya. "Sekarang kita tinggalkan tempat ini secepat-
nya...!" kata orang itu.
"Lalu bocah pemalas ini bagaimana...?"
"Tinggalkan saja, dia akan siuman dengan sen-
dirinya...!" perintah si pemegang cincin Batu Walet Merah. Tanpa berani
membantah lagi, dengan sekeleba-
tan saja keempat orang itu pun telah lenyap dari tem-
pat itu. Tinggallah Ratih seorang diri yang masih tetap tidak sadarkan diri.
*** 3 Ketika matahari mulai menampakkan diri di
ufuk Timur, Pendekar Hina Kelana yang merasa kehi-
langan jejak Dewi Ratih tampak masih berputar dan
mengelilingi seputar hutan pinus. Dia merasakan tu-
buhnya sangat lelah, mata perih karena memang ham-
pir semalaman dia tidak tidur walau barang sepicing
pun. Tanpa menghiraukan rasa letih bercampur ngan-
tuk yang mendera dirinya, dia terus berputar-putar
mencari. Sampai pada akhirnya dia merasa hampir pu-
tus asa dan merencanakan untuk mencari di tempat
lain. Satu dua tindak dia melangkah, sampai pada ak-
hirnya dia melihat rumput-rumput berserakan seperti
bekas terinjak-injak sosok yang berat. Tak lama setelahnya pandangannya yang
awas itu melihat adanya
sosok menggeletak berpakaian hijau merah dan berikat kepala merah pula.
"Ratih...!" gumamnya lalu memburu ke arah
tempat Dewi Ratih berada. Di balikkannya tubuh yang
tertelungkup itu, dengan seksama dia memeriksa. Ti-
dak terdapat bekas luka atau sejenisnya. Cepat-cepat dia memeriksa denyut nadi
di bagian pergelangan tangan. "Dia hanya pingsan! Mungkin juga sedang terkena
sejenis obat pembius yang dapat melenyapkan
kesadaran untuk beberapa waktu lamanya." ucapnya berusaha menarik kesimpulan.
Lalu tanpa komentar
lagi dia memeriksa pada bagian mata. "Hemm... tepat
seperti apa yang kuduga, dia terkena asap pembius
yang keras daya kerjanya. Kalau kubiarkan menunggu
dia sadar, barangkali sampai sore nanti belum tentu
dia sudah sadar. Cara satu-satunya adalah dengan
menyalurkan hawa hangat lewat bagian dadanya. Ta-
pi...!" Pemuda itu meragu, apa nanti kata Ratih andai sampai dia mengetahui cara
pertolongan yang dia lakukan itu. Tentu si gadis akan mengatakannya sebagai
pemuda yang sangat kurang ajar, atau bahkan dia malah akan membenci dirinya
untuk selama-lamanya.
Lama sekali dia memutar pikiran untuk menentukan
jalan terbaik dalam menentukan pertolongan yang
akan dia berikan.
"Kalau kusalurkan hawa murni melalui bagian
perutnya, mungkin dia tak akan begitu marah. Kalau
pun harus marah, tokh akhirnya harus di sadarinya
juga bahwa cara apapun yang kulakukan semata-mata
hanya untuk membantunya untuk memulihkan kea-
daan!" batinnya lagi. Selanjutnya dengan wajah mero-na merah dan tangan
gemetaran dia menyingkap pa-
kaian Ratih pada bagian perut, kemudian sembari
memalingkan muka, tangan yang gemetaran itu me-
nyelinap di balik pakaian si gadis. Secara perlahan dia mulai mengerahkan hawa
murni. Hawa hangat mulai
menjalar dari bagian perut, terus merata ke seluruh
bagian tubuh lainnya. Gadis itu mulai menggeliat, secara perlahan mengerjabkan
matanya yang terasa be-
rat. Secepatnya ketika melihat si gadis mulai sadar, Buang Sengketa menarik
balik tangannya. Tapi terlambat, Dewi Ratih sempat melihatnya.
"Splaaak...!"
Dua tamparan bertubi-tubi mendarat di pipi ki-
ri Pendekar Hina Kelana. Si pemuda yang pada saat itu dalam posisi berjongkok,
langsung saja jatuh terduduk. Tamparan Dewi Ratih sungguh pun tidak disertai
dengan pengerahan tenaga dalam, namun karena da-
lam keadaan marah sudah jelas begitu keras. Bahkan
bekas tamparan itu sendiri meninggalkan bekas tela-
pak tangan Ratih yang memerah di pipi si pemuda.
"Kurang ajar... begitu tingkah seorang pendekar terhadapku, Kakang...!" bentak
si gadis sambil berusaha menahan air mata yang hampir saja menggelinding.
"Maaf! Kau salah pengertian Ratih... aku....!"
"Aku apa! Kau hanya bermaksud berbuat ku-
rang ajar padaku, bukan...?" teriak Dewi Ratih semakin bertambah memuncak
emosinya. Sementara wajah
si pemuda semakin bertambah memerah karena me-
nanggung rasa malu.
"Ratih! Memang kau justru berpikir yang bu-
kan-bukan, aku tadi hanya bermaksud membantumu
agar cepat sadar, tak ada maksud-maksud yang
lain...!" bantah si pemuda setengah kesal. Dewi Ratih terdiam, dia akhirnya
memang menyadari selama beberapa jam terakhir ini dia tak dapat mengingat apa-
apa. Hanya satu yang masih samar, di dalam ingatan-
nya adalah tentang keempat orang yang telah melaku-
kan penyergapan secara curang atas dirinya. Lalu pa-
bila dia teringat pada Batu Walet Merah yang tersem-
bunyi, di bagian dadanya, secara cepat dia membalik-
kan badan dan melihat kenyataan bahwa batu itu su-
dah tak ada lagi di tempat
"Kakang...! pekiknya setengah menyesali atas
perbuatannya. "Kakang maafkan atas kesalahanku."
"Tak mengapa, sudah selayaknya engkau ma-
rah. Tapi mengapa tiba-tiba saja wajahmu berubah se-
perti itu...?"
"Batu itu Kakang...! Batu Walet Merah telah di-
larikan oleh orang-orang yang tak kukenal...!" ucapnya sedih. "Sudah kuduga...!"
"Bagaimana kakang dapat mengetahuinya..."!"
tukas si gadis berusaha mencari jalan lewat tatapan
sepasang mata Buang Sengketa.
"Sebelum para pengepung itu benar-benar
sampai di padepokan, aku melihat mayat keempat mu-
rid menggeletak tidak begitu jauh dari depan pintu. Di situ baru kusadari kalau
empat orang yang pergi ber-samamu itu bukanlah murid padepokan yang sesung-
guhnya!" "Lalu bagaimana keadaan di padepokan dan
bagaimana pula kau bisa sampai ke sini Kakang...?"
tanya Dewi Ratih keheranan.
"Dua partai di antaranya ternyata masih meru-
pakan sahabat baik eyangmu, begitu mereka selesai
mendengar penjelasanku langsung meninggalkan pa-
depokan untuk mencari si Walet Merah di tempat yang
lain. Sedangkan partai lainnya adalah Gerombolan Si-
nar Kayangan yang ternyata selain murid-muridnya
terbunuh oleh Sepasang Walet Merah, juga punya
dendam pribadi dengan Padepokan Bukit Berkabung.
Hanya sekejap saja aku terlibat bentrok dengan mere-
ka, setelah itu aku berusaha menyusulmu menelusuri
jalan yang sama. Menurutku Padepokan Bukit Berka-
bung mungkin sudah mereka bakar! Maaf aku tak bisa
mencegah karena aku justru menghkawatirkan kese-
lamatanmu dan Batu Walet Merah...!" desah si pemuda dengan wajah tertunduk.
Sedih! Dewi Ratih semakin
kalut hatinya bila mengenang semua kejadian yang,
berlalu begitu cepat. Dengan suara tersendat kemu-
dian dia berkata.
"Kakang, ternyata Batu Walet Merah tidak da-
pat kupertahankan. Padepokan berantakan menjadi
debu, rasa-rasanya sudah habis segala apa yang kumi-
liki, Kakang...!" kata si gadis disertai derai air mata.
Pendekar Hina Kelapa menarik nafas pendek.
"Tidak! Segalanya tidak berakhir sampai di situ saja. Masih ada yang kau miliki
dan tak pernah hilang dalam hidupmu...!"
"Apakah yang Kakang maksudkan?"
"Sebuah semangat untuk memulai segala-
galanya dengan cara baru...!" jawab si pemuda pasti.
"Tapi kita tak memiliki kekuatan untuk mencari
Batu Walet Merah yang berada di tangan saudara-
saudaraku...!" ujar Ratih dengan wajah membayangkan rasa putus asa yang dalam.
Buang hanya terse-
nyum tawar, entah mengapa dia merasa begitu iba pa-
da gadis berambut panjang dan berikat kepala merah
itu. "Ratih!" panggilnya lirih. "Masih banyak cara untuk mendapatkan Batu Walet Merah
yang telah membuat susah bagi banyak orang. Sedangkan batu
yang ada padamu itu cepat atau lambat kita pasti da-
pat mengetahui siapa sesungguhnya yang menjadi
pencurinya...!"
"Kalau batu yang satunya saja tidak mampu ki-
ta menjaga keamanannya, bagaimana mungkin kita
memiliki kemampuan untuk merebut yang satunya la-


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gi! Keadaan kita sekarang ini benar-benar dalam situa-si yang sangat sulit,
Kakang...!"
"He... he...he...! Untuk melaksanakan amanah
gurumu, aku rela berkorban apa saja demi mempero-
lehnya kembali...!" kata si pemuda seperti sedang ber-janji pada dirinya
sendiri. "Benarkah itu Kakang!?" tanya si gadis seolah tak percaya dengan apa yang di
katakana oleh pemuda
itu. "Aku telah mengatakannya padamu, itu berarti
aku akan melaksanakan segala apa yang kukatakan
tadi!" "Terima kasih, Kakang...!"
Buang Sengketa hanya mengangguk-angguk,
namun kemudian dia melanjutkan ucapannya
"Ada baiknya kalau sekarang juga kita mulai
melakukan perjalanan. Kalau nasib kita memang baik,
tentu kita akan mendapatkan dan menghancurkan Se-
pasang Walet Merah yang telah begitu berani membo-
bol pintu makam leluhurnya sendiri!" rutuknya dalam kemarahan yang terpendam.
(Untuk lebih jelasnya dalam Episode Kisah Sepasang Walet Merah). Kemudian
melangkahlah kedua muda mudi ini dengan perasaan
mantap dan dalam satu tujuan yang pasti mencari Ba-
tu Walet Merah yang telah dilarikan orang dan mem-
bunuh Sepasang Walet Merah yang masih merupakan
saudaranya sendiri.
*** 4 Satu purnama setelah kepergiannya ke Bukit
Berkabung si Tongkat Maut dari lembah Panggang
yang bernama Sumirah itu kembali memutuskan un-
tuk mencari Sepasang Walet Merah yang pernah terli-
bat kasus pembunuhan beberapa orang muridnya
yang saat itu sedang melakukan perjalanan untuk me-
nemui sesepuh Padepokan Bukit Berkabung yang ma-
sih merupakan sahabat baiknya selama ini. Tak lama
setelah pembunuhan keji itu terjadi si Rambut Kelabu memutuskan untuk menuntut
balas dan meminta per-tanggungjawaban Eyang Girinda. Seperti yang dia ke-
tahui selama puluhan tahun, bahwa siapa pun manu-
sianya yang menamakan dirinya sebagai Walet Merah
jelas memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ke-
turunan Bukit Berkabung. Tapi ketika secara kebetu-
lan si rambut kelabu ini bertemu dengan sahabat la-
manya yaitu si Panjang Kumis dari lembah Putus Nya-
wa, dan Gerombolan Sinar Kayangan yang dipimpin
langsung oleh kakek hidung bengkok Gada Wisa. Dia
menjadi prihatin dan kecewa, karena sahabatnya
Eyang Girinda telah pula menutup mata. Sekemba-
linya dari Bukit Berkabung dia mulai memikirkan jalan terbaik untuk menghentikan
sepak terjang Sepasang
Walet Merah yang kononnya mulai menyusun kekua-
tan yang terdiri dari golongan sesat untuk membangun sebuah perserikatan yang
sangat besar dalam rimba
persilatan. Rencana gila-gilaan itu sudah barang tentu membuat kalangan
persilatan golongan putih menjadi
gempar. Sebab seperti yang mereka ketahui Sepasang
Walet Merah merupakan keturunan tokoh persilatan
golongan putih, mendapat didikan dengan cara-cara
golongan putih pula. Kalau mereka menyimpang dari
per-aturan kehidupan golongannya, itu sama artinya
Sepasang Walet Merah benar-benar membuat malu go-
longan sendiri. Hal itu tak boleh terjadi! Batin penguasa Lembah Panggang.
Demikianlah pagi itu dengan disertai tiga orang
murid pilihan Si Tongkat Maut dari Lembah Pangrongo
ini tampak meninggalkan lembah, kembali menuju ke
dunia bebas untuk mencari Sepasang Walet Merah
yang dia anggap telah murtad dari golongannya sendi-
ri. Seiring dengan perjalanan yang mereka tempuh,
sang waktu pun bergulir tanpa terasa. Menjelang ten-
gah hari perempuan berpenampilan serba kelabu ini
telah pula melalui beberapa desa yang sangat padat
penduduk. Dari keterangan-keterangan yang didapat
dari penduduk desa, ternyata sepak terjang Sepasang
Walet Merah semakin merajalela sampai ke berbagai
pelosok rimba persilatan. Korban kebiadaban Walet
Merah berge-limpangan di mana-mana. Pengejaran
dan berburu Walet Merah pun dilakukan oleh berbagai
kalangan dari pihak-pihak yang merasa telah dirugi-
kan oleh Sepasang Walet Merah. Namun sejauh ini me-
reka hanya menemui kematian secara sia-sia. Sepa-
sang Walet Merah yang mencuat namanya dengan Ba-
tu Walet Merah yang menyimpan kekuatan sangat
dahsyat itu, untuk yang kedua kalinya dalam sejarah-
nya telah meminta korban yang tidak sedikit.
Kini bukan pihak si Tongkat Maut dari Lembah
Panggang saja yang memburu Walet Merah, tetapi juga
si Panjang Kumis dan berbagai partai lainnya ikut pula mengambil bagian dalam
melacak keberadaan
'Sepasang Walet Merah' yang sangat ganas akan sepak
terjangnya itu. Namun di luar sepengetahuan siapa
pun, sesungguhnya dari pihak golongan hitam banyak
yang mensyukuri tentang kehadiran sepasang pende-
kar yang berasal dari golongan putih namun segala
tindak tanduknya lebih cenderung mengarah, pada
kaum sesat ini.
Di antara mereka itu adalah kakak beradik be-
rasal dari puncak Gunung si Beruk, yang menamakan
dirinya sebagai 'Dua Bersaudara Monyet Hitam'. Mere-
ka ini sudah hampir lebih dari empat purnama meng-
gabungkan diri dengan Walet Merah. Mereka juga me-
rupakan tokoh persilatan golongan sesat yang paling
pertama menggabungkan diri. Kelihaian maupun ju-
rus-jurus sakti Monyet Hitam yang tinggi dan keah-
liannya dalam mempergunakan segala macam jenis ra-
cun penghilang kesadaran membuat mereka dalam
waktu sekejap saja telah mendapat kepercayaan seba-
gai tangan kanan si Walet Merah. Kemudian tokoh-
persilatan yang menggabungkan diri dengan Walet Me-
rah adalah Sepasang suami istri Maling Durjana. Me-
reka ini masih merupakan saudara seperguruan den-
gan Kakek Hidung Bengkok yang berkuasa di Rimba
Belantara Maliau dan Taruak. Sungguh pun mereka ini
sama-sama segolongan dan berasal dari satu pergu-
ruan. Tetapi sepasang suami istri Maling Durjana tidak pernah mengalami
kecocokan dengan saudaranya 'si
Gada Wisa' yang mereka kenal sebagai orang yang
sangat angkuh dan bahkan pernah membunuh gu-
runya sendiri, hanya karena demi senjata beracun
yang diberi nama 'Gada Wisa' itu. Selain tidak pernah memiliki keinginan untuk
bergabung dengan "si Gada Wisa", Maling Durjana juga mempunyai niat untuk
membalas dendam atas kematian guru mereka. Tetapi
niat itu masih belum kesampaian karena selain si Hi-
dung Bengkok memiliki senjata rampasan 'Gada Wisa'
yang sangat berbahaya itu juga ilmu mereka masih be-
rada satu tingkat di bawah saudaranya yang paling
tua. Itulah sebabnya ketika mereka mendengar adanya
sepasang pendekar muda yang menamakan dirinya
dengan julukan 'Sepasang Walet Merah' suami istri
Maling Durjana kemudian menyatakan diri untuk ber-
gabung dengan kedua tokoh muda yang memiliki sen-
jata sangat istimewa itu, yaitu berupa sebuah batu
cincin Walet Merah yang memiliki daya kekuatan tidak meragukan.
Di pihak Walet Merah sendiri bukanlah manu-
sia bodoh, setiap kalangan persilatan yang menyata-
kan diri untuk bergabung dengan mereka harus mela-
lui syarat-syarat tertentu. Adapun salah satu syarat yang harus mereka kerjakan
adalah menemukan atau
setidak tidaknya merampas Batu Walet Merah yang
jantannya dari tangan murid Padepokan Bukit Berka-
bung yang bernama Dewi Ratih. Mengapa berita ten-
tang keberadaan Batu Walet Merah yang jantannya
sampai di ketahui oleh Sepasang Walet Merah" Ketika
Dewi Ratih Juwita dan Bagas Salaya yang kemudian
muncul di kalangan persilatan dengan julukan Sepa-
sang Walet Merah, baru saja meninggalkan Bukit Si-
luman setelah berhasil mencuri Batu Walet Merah be-
tina yang tersimpan di antara peti-peti mayat leluhurnya, dalam perjalanannya
untuk memulai sepak ter-
jang bersama-sama kekasihnya, yang juga masih me-
rupakan saudara tirinya sendiri. Secara kebetulan mereka melintasi bukit Begal
Sewu. Dalam pada itu me-
reka melihat adanya beberapa puluh orang perampok
sedang melakukan pengeroyokan terhadap sebuah ke-
reta kuda yang saisnya merupakan seorang pemuda
tampan berpakaian gembel dan belum pernah mereka
kenal. Tetapi mereka kenal dengan seorang gadis yang bernama Dewi Ratih, yang
tak lain masih adik kandung Bagas Salaya dan merupakan adik tiri Dewi Rat-
na Juwita. Kemunculan mereka dengan maksud me-
nuju Bukit Siluman sudah barang tentu merupakan
perhatian sepasang kekasih terkutuk itu. Sebab seperti mereka ketahui, Bukit
Siluman pantang dijarah oleh
siapa pun terkecuali dengan satu keperluan. Yaitu
mengubur atau mengantarkan salah seorang jenazah
kerabatnya. Selidik punya selidik tahulah mereka,
bahwa saat itu adik mereka sedang mengantarkan
Eyang Girinda untuk, dikuburkan di Bukit Siluman
yang semasa hidupnya dulu pernah mengusir mereka
berdua dari padepokan Bukit Berkabung, karena men-
getahui hubungan percintaan antara sesama saudara
tirinya. Sudah jelas akibat pencegatan yang dilakukan oleh para perampok,
kejadian lebih lanjut mereka ingin mengetahuinya. Bahkan diapun ingin mengetahui
siapa sesungguhnya pemuda aneh berperiuk yang menja-
di kusir kereta kuda yang membawa peti mati kakek
mereka itu. Tetapi pada akhirnya pertarungan si pe-
muda melawan keroyokan begal-begal itu menjadi ti-
dak menarik perhatian mereka, ketika kedua orang itu
melihat Dewi Ratih mengeluarkan Batu Walet Merah
lainnya, yang selama ini mereka ketahui berada di
Sungai Banyu Urip. (Untuk lebih jelasnya dalam epi-
sode Kisah Sepasang Walet Merah)
Setelah kematian kepala begal yang tewas seke-
tika akibat terhantam sinar merah yang berasal dari
batu cincin Walet Merah di tangan Ratih, secara diam-diam mereka meninggalkan
tempat itu, sambil berpi-
kir-pikir mencari cara terbaik untuk merampas Batu
Walet Merah yang berada di tangan adiknya. Satu pur-
nama setelah melakukan pengembaraan dengan mem-
buat teror di mana-mana, mereka kemudian bertemu
dengan 'Dua Bersaudara Monyet Hitam' berasal dari
Gunung Beruk yang menyatakan diri ingin bergabung
dengan mereka. Akhirnya mereka menerima kehadiran
dua bersaudara itu setelah sebelumnya menunjukkan
segala kebolehannya di depan 'Sepasang Walet Merah'.
Satu purnama kemudian datang pula suami istri Mal-
ing Durjana, yang juga menyatakan diri untuk berga-
bung dibawah perintah Sepasang Walet Merah. Nah,
melalui tangan-tangan mereka inilah akhirnya pasan-
gan Walet Merah menyerahkan tugas untuk mendaki
di Bukit Berkabung dalam usaha merampas Batu Wa-
let Merah yang jantannya, dan semua itu sudah ba-
rang tentu dalam pengawasan Dewi Ratna Juwita dan
Bagas Salaya. Kebetulan saat itu dari berbagai arah
muncul berpuluh-puluh obor menuju Padepokan Bukit
Berkabung yang hanya memiliki sisa murid empat
orang itu. Mempergunakan kesempatan yang sangat
singkat. Di luar padepokan keempat orang utusan ini
membunuh keempat orang murid padepokan. Dalam
keadaan terkepung seperti itu, mujur dan merupakan
kemudahan bagi mereka, pemuda berkuncir yang
mengemban tugas dari almarhum Eyang Girinda
memberi perintah pada Dewi Ratih untuk meninggal-
kan padepokan bersama empat murid lainnya. Kesem-
patan itu tentu tidak disia-siakan oleh keempat orang suruhan Walet Merah.
Hingga akhirnya di sebuah
tempat yang sunyi, mereka berhasil merampas Batu
Walet Merah yang jantannya dari tangan Ratih setelah terlebih dahulu melumpuhkan
si gadis dengan asap
pembius. Kini kedua Batu Walet Merah benar-benar telah
berada di tangan Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita.
Dengan kedua batu tangan mereka teror demi teror
mereka lakukan. Sementara tugas demi tugas yang di-
bebankan pada keempat orang pembantunya tidak
kunjung henti. Saat itu Sepasang Walet Merah yang
memiliki markas berpindah-pindah ini memberi perin-
tah pada dua Bersaudara Monyet Hitam dan suami is-
tri Maling Durjana untuk mengobrak abrik kekuasaan
Rambut Kelabu di lembah Panggang. Menerima tugas-
tugas rutin seperti itu, sudah barang tentu keempat
orang ini sedikit pun tiada pernah merasa keberatan.
Sungguh pun orang yang memberi perintah pada
keempatnya berusia jauh lebih muda dari mereka. Ka-
rena selain dijanjikan akan mendapat kedudukan yang
layak seandainya rencana mereka berhasil kelak, tetapi juga dalam setiap
melakukan tugas mereka di beri
upah uang emas yang sangat cukup. Demikianlah ke-
tika menjelang tengah hari, dua Monyet Hitam Bersau-
dara beserta suami istri Maling Durjana telah sampai di sebuah perbukitan
berbatu cadas dan sangat langka dengan berbagai macam tumbuh-tumbuhan itu. Tapi
mereka tiada menghiraukan keadaan di sekelilingnya.
Terus saja melangkah, dan sekali-kali mengerahkan
ilmu lari cepat mereka. Begitulah keadaan keempat
orang kepercayaan itu, tampaknya saling menunjuk-
kan kebolehannya masing-masing. Namun sejauh itu
mereka kelihatan akur-akur saja.
Tak sampai setengah jam kemudian mereka
sudah melewati sebuah tikungan tajam yang lebih di-
kenal dengan nama Tikungan Seribu Jalan Kematian.
Pada saat itu dari arah yang berlawanan, muncul pula si Rambut Kelabu dengan
tiga orang muridnya. Kehadiran empat orang golongan sesat itu tentu tidak asing
lagi bagi si Tongkat Maut dari Lembah Panggang ini.


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi selama ini mereka tak pernah terlibat permusu-
han apa pun, karena pada dasarnya mereka saling tak
mau usil dengan segala macam urusan orang lain. Tapi kini begitu mereka saling
berpapasan, Dua Bersaudara Monyet Hitam langsung menyelak: "Tunggu dulu
sobat...! Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu!"
Berkata salah seorang si Monyet Hitam berbadan pen-
dek sambil menyunggingkan seulas senyum. Si Tong-
kat Maut dari Lembah Panggang hentikan langkah dan
putar badan, hingga kini benar-benar telah berhada-
pan dengan manusia berkulit hitam legam yang di se-
kujur tubuhnya ditumbuhi dengan bulu-bulu lebat
kayak lutung. "Ada perlu apakah engkau menghentikan perja-
lanan orang lain yang tak punya urusan denganmu, Ki
Sanak?" tukas Sumirah merasa kurang sreg berlamalama bertanya jawab dengan
manusia golongan sesat
itu. "Sungguh pun kita dari golongan yang berbeda,
berbincang bersama-sama rasanya tak ada salahnya,
Nyi Sumirah...!" kata istri Maling Durjana ikut menimpali. "Dua tokoh sesat yang
satu dari Selatan yang lainnya dari Tenggara, bisa bersatu dan melakukan
Jago Kelana 12 Lauw Pang Vs Hang Ie Kejatuhan Dinasti Cin Dan Kebangkitan Dinasti Han Kedele Maut 14
^