Pencarian

Tiga Iblis Pulau Berhala 2

Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala Bagian 2


menyakiti penduduk!
Anjing-anjing suruhan itulah yang sering melakukan pembunuhan...!" '
"Kalau memang jiwa kalian tiada harganya!
Maka aku akan segera mengirimnya ke neraka...!"
Buang Sengketa menyela dengan tatapan mata dingin.
"Tuan ampunilah jiwa kami! Semua ini kami lakukan karena sangat terpaksa
sekali...!". Sura ikut menimpali.
Putri Permata Ningrum menoleh pada si
pemuda, tatapan matanya seperti memberi isyarat bahwa kedua orang itu merupakan
bawahan yang bisa dipercaya. Tak lama kemudian dia kembali lagi pada Sena dan
Sura. "Baik kuampuni jiwa kalian! Sekarang ikut bersama kami...!" perintah Putri
Permata Ningrum pada bekas abdinya.
"Terima kasih atas kemurahan hati tuan Putri!
Dengan penuh suka cita kami siap menjalankan perintah yang mulia...!" ucap kedua
orang itu hampir bersamaan.
"Berapa orang kawan-kawanmu orang tolol...!" tiba-tiba saja Buang Sengketa menyela.
"Mereka tinggal delapan orang lagi tuan...!"
jawab Sura dengan tubuh masih gemetaran.
"Anjing-anjing
sialan itu memang perlu digebuk. Suruh mereka keluar...!" bentak Pendekar Hina Kelana mendadak menjadi
bengis. "Ka... kami takut Tuan...!" jawab Sena semakin bertambah menggigil ketakutan.
"Goblok! Terhadap anjing dungu saja kalian takut...!"
Pendekar Hina Kelana merasa sangat kesal
sekali. Tak lama kemudian dia sudah berseru lantang:
"Perampok-perampok sial yang ada di dalam rumah! Cepat keluar...!"
Dari sebuah pintu jendela, salah seorang di antara mereka melongokkan kepalanya.
Sebentar kemudian telah lenyap kembali.
"Bangsat! Haruskah aku yang datang menyeret kalian...!"
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja seorang laki-laki berbadan pendek kurus
melesat dari dalam jendela diikuti oleh beberapa orang lainnya.
"Hemm... kiranya kunyuk-kunyuk macam ini yang telah bikin onar di mana-mana?"
kata Buang Sengketa dingin.
Tanpa memperdulikan Buang Sengketa laki-
laki berbadan pendek kurus malah menyela:
"Kawan-kawan! Kiranya Sena dan Sura mau membelok kembali pada majikannya!
Sungguh bangsat tak tahu diuntung, diberi kehidupan yang
enak kini kalian berdua telah pula menjadi pengkhianat...!"
"Kakang Cindek! Bukankah gadis jelita itu bekas anak raja yang sudah mampus itu!
Benar-benar pucuk dicinta ulam tiba...!" salah satu orang lainnya yang berbadan
gempal ikut menyela.
"Hak... hak... hak...! Kalau kita tangkap dia, pasti kita akan mendapat hadiah
yang sangat besar...!"
Pendekar Hina Kelana yang sejak tadi membiarkan tingkah mereka,
kini nampaknya sangat gusar. "Manusia-manusia terkutuk! Kalian memang lebih pantas mampus...!"
Bersamaan dengan kata-katanya, secepat
kilat pemuda itu kiblatkan tangan kanannya. Tak ayal lagi Buang Sengketa telah
lepaskan pukulan andalam Empat Anasir Kehidupan Selarik sinar yang hampir-hampir
tak dapat dilihat dengan kasat mata melesat, lalu menderu meluruk ke arah
mereka. Udara di sekitarnya terasa panas luar biasa.
Sampai-sampai Putri Permata Ningrum yang berdiri di samping pemuda itu menjerit
kaget. Para perampok yang tak mengira bahwa
pemuda gembel yang mereka anggap tak memiliki kepandaian apa-apa, nampak
terkesiap. Namun sebelum mereka menyadari apa sesungguhnya yang terjadi pukulan
yang dilancarkan Pendekar Hina Kelana telah melabrak. Tubuh orang-orang itu
berpelantingan roboh, untuk kemudian tidak bangun untuk selama-lamanya.
Dari sekian banyaknya anggota perampok,
hanya si pendek kurus dan yang berbadan gempal saja
yang dapat menyelamatkan diri. Untuk beberapa saat lamanya, mereka nampak terkesima.
Perasaan kecut nampak membayang di wajah
mereka. "Hahaha... hahaha...! Kroco-kroco sialan...
malang sekali nasib kalian hari ini. Sekali kalian bertemu denganku, menyesal
pun sudah tiada guna melolonglah seperti anjing kalau kalian ingin aku
mengampuninya...!"
Pendekar Hina Kelana membentak dengan tatapan mata dingin.
Dua orang kepala perampok ini meskipun
sudah merasa jerih melihat sepak terjang
Pendekar Hina Kelana. Akan tetapi demi
menjaga gengsi, tak urung si Cindek tertawa mencibir.
"Gembel kesasar! Meskipun kepandaianmu setinggi gunung, tidak nantinya kami
merengek minta ampun padamu."
"Bagus! Manusia-manusia semacam kalian memang lebih pantas mampus...!"
Belum lagi Buang Sengketa selesai de-ngan
kata-katanya, tiba-tiba kedua orang ini dengan nekat telah menerjang terlebih
dulu. Sena dan Sura segera membawa majikannya
menyingkir ke tempat yang aman. Pertarungan seru
pun segera terjadi. Dalam waktu sekejap si Cindek dan si Gempal telah keluarkan
jurus-jurus yang paling sangat mereka andalkan. Dengan gerakan-gerakan yang
sangat teratur dari dua arah kedua orang ini menggempur Buang Sengketa. Sesuai
dengan pekerjaannya, kedua perampok ini telah mempergunakan jurus Rampok Hutan
Menyergap Mangsa. Buang Sengketa memang pantas memuji kehebatan jurus-jurus yang
mereka ma-inkan.
Gempuran dahsyat yang bertubi-tubi, serangan gencar yang selalu mengarah pada
bagian-bagian yang mematikan, semua itu bisa membuat lawan menjadi kalang kabut.
Akan tetapi agaknya hal itu tidak berlaku bagi Pendekar Hina Kelana. Yang sejak
kecil telah mendapat gemblengan berbagai ilmu kanuragan dari seorang kakek sakti
si Bangkotan Koreng Seribu.
Dengan mempergunakan jurus si Hina Mengusir Lalat dia putar kedua tangannya untuk melindungi diri. Tubuh si pemuda
berkelebat cepat kian ke mari. Hal ini benar-benar membuat kedua lawannya
menjadi kebingungan. Pertarungan sudah memakan puluhan jurus, sejauh itu si
Cindek dan si Gempal masih belum berhasil memukul lawannya.
Usapkan sampai memukul sedang menyentuh
kulitnya pun belum dapat.
Mendadak Buang Sengketa segera rubah
permainan silatnya. Tubuhnya bergerak tak beraturan, sekali tangannya memukul ke depan,
kaki terangkat ke atas bagai seorang yang terpeleset kulit pisang, di lain saat terhuyung-huyung bagai pemabukan, meskipun
begitu dengan mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk ini. Tubuh si pemuda itu
semakin terasa sulit untuk mereka sergap.
Agaknya Si Cindek dan si Gempal sudah tak
dapat lagi menguasai emosi. Kedua orang itu segera cabut senjatanya yang berupa
sebuah golok besar dan sebilah pedang berwarna kuning.
Dengan senjata ini mereka mencecar habis-
habisan Pendekar Hina Kelana. Pertarungan menjadi semakin mendebarkan, apa lagi
pedang dan golok di tangan lawannya berkelebat menyambar-nyambar ke segala arah.
Mau tak mau pendekar dari negeri Bunian ini segera merubah jurus-jurus silatnya
dengan Membendung Gelombang Menimba Samudra. Dari gerakan pelan seperti orang pemabukan kini berubah menjadi cepat luar biasa.
Tubuhnya berkelebat bahkan terkadang lenyap dari pandangan lawannya.
Hal ini sudah barang tentu kembali membuat bingung lawannya, tak lama kemudian
sambil terus melancarkan serangan si Gempal menyela:
"Manusia siluman! Kau benar-benar seorang pengecut, berani bertarung tapi hanya
main kucing-kucingan...!" kata si Gempal marah.
"Jligk!"
Tanpa menimbulkan suara, kini pemuda itu
sudah berdiri lagi di hadapan mereka, "Manusia tiada guna! Supaya kalian tidak
mati penasaran, sekarang aku tak akan mengelak lagi. Kuberi kesempatan pada
kalian dan pergunakan dengan baik. Tunggu apa lagi, cepat serang...!" bentak
Pendekar Hina Kelana, tanpa maksud mengelakkan serangan lawannya.
Melihat kenekatan Buang Sengketa, pucatlah wajah Putri Permata Ningrum dan juga
kedua abdinya. Mereka berfikir selain senjata-senjata di tangan kepala perampok
itu sangat tajam, bukan tidak mungkin senjata itu juga sangat berbisa.
Sebaliknya si Cindek dan si Gempal ini beranggapan dengan sekali tusuk tamatlah
riwayat pemuda gembel di depanny a. Semua orang yang hadir di tempat itu nampak
memejamkan matanya, begitu si Cindek dan si Gempal membabatkan pedangnya ke
seluruh bagian tubuh Pendekar Hina Kelana. Dengan diiringi teriakan dahsyat, ker
dua orang itu secara hampir
bersamaan membabatkan pedang dan
goloknya. "Ciaaat! Haiiit!"
"Crak! Crak!"
Bagai membabat sebuah batu gunung senjata
mereka menghantam tubuh si pemuda. Tapi sedikitpun tubuh yang tertebas pedang maupun golok, tak terluka. Hanya pakaian
si pemuda nampak terobek di beberapa bagian. Si Cindek dan
si Gempal terkejut bukan alang kepalang. Tanpa sadar mereka berseru:
"Ilmu Setan...!"
Buang Sengketa tergelak-gelak.
Namun beberapa saat kemudian tanpa terduga, kedua orang itu segera berbalik langkah dan bermaksud langkah seribu.
Pemuda ini sudah tidak kasih kesempatan lagi.
Selanjutnya dengan mengerahkan sepertiga
bagian tenaganya. Dia pukulkan kedua tangannya ke depan.
"Mampuslah kalian...!" Dengusnya. Selarik sinar Ultra Violet berkelebat cepat
untuk kemudian melabrak tubuh lawan-lawannjra.
"Blaar!"
Tubuh kedua orang itu terpelanting puluhan tombak, tanpa sempat menjerit atau
melolong, mereka terkapar dengan nyawa melayang.
Buang Sengketa menarik nafas pendek, sementara Putri Permata Ningrum nampak berlari-lari menghampirinya.
"Kau tak apa-apa Kelana...?" tanya Permata Ningrum kuatir. Buang Sengketa
gelengkan kepala, lalu katanya: "Mari kita pergi dari sini...!"
Dengan mempergunakan kuda milik perampok, keempat orang itu berlalu meninggalkan kota Palang Sejajar.
* * * 8 Matahari sore sudah tenggelam di kaki bukit, di langit lepas awan hitam nampak
semakin menebal. Tak lama kemudian angin dari arah Barat Daya
terasa berhembus kencang. Bersamaan dengan bertiupnya angin kencang, di atas langit mendung sudah mulai meneteskan
air. Suasana di pinggiran hutan seketika berobah gelap gulita. Tiada rumah
penduduk di sekitar hutan itu. Pendekar Hina Kelana menghentikan kuda, pandangan
matanya menoleh kanan kiri.
"Alamat mandi hujanlah kita malam ini?"


Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gumamnya. Tiba-tiba Sena yang berada paling belakang berkata pelan.
"Tuan... ketika kami melewati hutan ini kemarin. Kami lihat tidak begitu jauh di
depan sana ada sebuah kuil yang kosong. Siapa tahu masih bisa kita
manfaatkan...!"
"Hemm... mengapa tidak bilang sejak tadi...!"
Berkata begitu Buang Sengketa segera menarik tali kekang kudanya. Sebentar kemudian mereka sudah bergerak kembali.
Memang benar seperti apa yang dikatakan oleh Sena, setelah beberapa saat mereka
memacu kuda. Di pinggiran hutan itu terdapat sebuah kuil yang memang sudah
kosong. Segera setelah menambatkan kudanya, mereka bergegas memasuki kuil itu.
Baru beberapa saat lamanya mereka berada dalam kuil. Hujan deraspun turun.
Sena dan Sura segera membersihkan kuil itu dari kotoran dan debu. Tak lama
kemudian setelah melewatkan
makan malam seadanya Buang Sengketa nampak berbincang-bincang dengan Putri Permata Ningrum.
Sementara Sena dan Sura nampak berjaga-
jaga di ruangan depan. Terkadang kesunyian malam dipecahkan oleh suara kedua
abdi yang masih sangat
setia pada putri junjungan mereka. Pembicaraan mereka berkisar tentang kehebatan si pemuda yang telah menyelamatkan
mereka bertiga.
Pada saat yang sama di ruangan dalam, tanpa mengenal bosan Putri Permata Ningrum
tak henti-hentinya memandangi Pendekar Hina Kelana yang semakin membuatnya kagum
dan menarik hatinya.
"Sudah malam Ning...!" ucap Pendekar Negeri Bunian itu menyebut panggilan akrab
Putri Permata Ningrum.
"Aku tidur di sini dan engkau tidur di ruangan yang berpintu itu...!"
Putri Permata Ningrum tak menyahut, sepasang bola matanya yang indah memandang sendu pada Pendekar Hina Kelana.
Sebagai orang yang sudah dewasa sedikit
banyaknya Buang Sengketa tahu kalau Putri
Permata Ningrum sudah jatuh hati padanya. Akan tetapi
sebagai seorang pengembara dan menghormati lawan jenisnya dia tak ingin memberi harapan apapun pada putri
Kedatuan Khalayan ini, apalagi mengingat dia hanya pemuda biasa yang tidak
memiliki orang tua pula. Si Hina Kelana yang papa.
"Ningrum...!" panggilnya lagi.
Putri Permata Ningrum mendesah perlahan,
ada sesuatu yang ingin dikatakannya tapi akhirnya urung.
"Jangan kau fikirkan masa lalumu! Hal itu malah akan membuatmu sedih!" kata
Pendekar Hina Kelana berpura-pura tolol.
Putri Permata Ningrum menggeleng pelan.
"Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, andai nantinya Kedatuan Khalayan kembali
ke dalam pangkuanku...!" ujar Putri Permata Ningrum berusaha menutupi
perasaannya. Buang Sengketa kerutkan kening, lalu menoleh pada Permata Ningrum untuk beberapa saat lamanya.
"Hmm... kau ini lucu! Walaupun kau seorang wanita tapi sudah menjadi kewajibanmu
untuk meneruskan tahta pemerintahan." Pendekar Hina Kelana menyela.
"Justru itu yang mungkin tak mampu untuk kulakukan! Aku tak becus apa-apa."
kata-nya polos.
Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang
tak gatal. Sebab sesungguhnya dia sendiri pun tak tahu dengan tetek bengek yang
berhubungan dengan pemerintahan.
"Kalau begitu kau harus mencari seorang putra
mahkota yang mengerti dalam urusan pemerintahan...!" tanpa sadar Pendekar Hina Kelana berucap. Dan kesempatan
itulah yang sesungguhnya sangat dinanti-nantikan oleh Putri Permata Ningrum
untuk memulai pembicaraan.
"Itu mungkin saja terjadi! Tapi persoalannya tak semudah seperti apa yang kau
katakan...!"
"Maksudmu..."!" tanya Buang Sengketa tak mengerti.
Putri Permata Ningrum terdiam untuk beberapa saat lamanya. Kemudian dia menyela:
"Pengalaman
yang pernah menimpa keluargaku terlalu sulit untuk kulupakan, aku tak ingin peristiwa buruk itu
terulang kembali dalam hidupku. Untuk itu aku tidak melulu berpatokan.
bahwa calon suamiku itu mesti seorang keturunan raja. Siapapun orangnya baru
pantas menjadi suamiku apabila orang itu memiliki kepandaian seperti engkau...!"
Aku Putri Permata Ningrum tanpa malu-malu.
Pendekar Hina Kelana tersenyum kecut.
Agaknya dia merasa geli dengan keganjilan watak Putri Khalayan ini. Bayangkan,
cukup banyak manusia di kolong langit ini selalu menilai seseorang
dengan pangkat dan jabatan atau dengan kaya miskinnya. Akan tetapi Putri Permata
Ningrum malah bersikap sebaliknya.
"Kau kok malah mentertawaiku seperti seekor monyet
begitu...!"
Putri Permata Ningrum mengajuk. "Engkau sungguh aneh sekali...!"
"Apanya yang aneh!"
"Banyak orang di dunia ini dalam memilih jodoh selalu memandang tinggi rendahnya
derajat seseorang, tetapi kau...!"
Putri Permata Ningrum makin cemberut.
"Peduli apa! Itu urusan mereka! Toh aku sedang membicarakan diriku sendiri".
Melihat gelagat yang kurang mengenakkan,
Buang Sengketa segera mengalah.
"Baiklah...
baiklah! Bicara padamu aku memang tak pernah menang!"
"Habisnya kau memang tolol..!"
"Aku memang tolol! Tapi yang terpenting bagiku, aku butuh istirahat, perjalanan
ke Khalayan masih satu hari lagi! Engkau boleh tidur di kamar yang tertutup
itu!" Nampaknya Putri Permata Ningrum menurut,
tak lama kemudian dia sudah berada dalam kamar lain yang terdapat di dalam kuil
itu. Buang Sengketa segera mematikan lampu
minyak yang terletak tidak begitu jauh darinya.
Sebentar saja Pendekar dari Negeri Bunian ini sudah tertidur pulas. Pada saat
itu Sena dan Sura yang
berjaga-jaga di ruangan depan masih terdengar berbicara sesamanya.
Malam terasa semakin sunyi.
Sementara dalam ruangan lain Putri Permata Ningrum nampak gelisah tidak dapat
memejamkan mata. Fikirannya kacau,. entah mengapa dia selalu teringat pada
Pendekar Hina Kelana yang sudah tertidur di ruangan tengah. Pemuda perkasa itu
benar-benar telah meluluhkan hatinya. Andai saja Kedatuan Khalayan memiliki
orang berkepandaian tinggi seperti Pendekar Hina Kelana, tentu setiap saat
hatinya tidak tercekam rasa was-was lebih dari itu peristiwa mengerikan tidak
akan pernah terjadi.
Fikirnya. Fikiran seperti itu semakin membuat hatinya resah, kemudian dia telah
melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Agaknya Buang Sengketa yang sudah
tertidur itu sudah tak menyadari kalau Putri Permata Ningrum sudah kembali ke
ruangan itu. Permata Ningrum segera duduk di sisi Pendekar Hina Kelana dengan penerangan ala kadarnya itu dipandanginya wajah tuan
penolongnya tanpa mengenal rasa puas. Wajah si pemuda
meskipun agak kotor, namun sedikit pun tak mengurangi ketampanannya. Tubuhnya
yang kekar berotot, tidak sedikit pun menyiratkan sebuah
kesombongan. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih keras, wajahnya yang
jelita itu agak memerah.
Lalu dikecupnya kening Pendekar Hina Kelana, kemudian bibirnya. Merasakan ada
sesuatu yang menempel pada wajahnya. Pendekar Hina Kelana menggeliat lalu
terjaga dari tidurnya.
Pemuda lugu ini sangat terkejut begitu
melihat Putri Permata Ningrum sudah berada di sisinya, bahkan wajah mereka
sangat berdekatan sekali.
"Putri Ningrum apa yang telah kau lakukan!"
tegurnya dengan suara lirih.
Wajah Putri Permata Ningrum tertunduk dan
memerah. "Aku tak berani tidur di sana sendirian Kelana!" kilahnya.
"Bukankah ada penjaga di luar dan aku menjaga di sini!" kata Buang Sengketa
pilon. "Hi... hi... hi...! Sedari tadi engkau sudah mendengkur, kau bilang menjagaku...!"
Setelah berkata begitu, tiba-tiba Putri Permata Ningrum memeluk Pendekar Hina Kelana erat-erat. Pemuda ini nampak
kelabakan. Buru-buru dia menyela:
"Putri apa-apaan ini...!"
"Kelana! A... aku suka padamu, aku mencintaimu...!" ucap Permata Ningrum terbata.
"Hei... tidak kau lihatkah siapa aku ini...?"
"Aku tahu, kau seorang pengelana yang telah menjadi tuan penolongku...?" kata
Putri Permata Ningrum sambil membenamkan wajahnya di dada Pendekar Hina Kelana.
Gadis Putri raja itu kini menangis.
"Ning... kau tak boleh bicara begitu! Kau seorang calon raja, aku ini hanya
manusia Hina...!"
Buang Sengketa menjadi serba salah.
"Aku tidak perduli Kelana!" sela Permata Ningrum. "Apakah kau tidak menaruh
perasaan apa-apa padaku...?"
Buang Sengketa terdiam.
"Kalau kau tidak mencintaiku lebih baik tak usah
menolongku...!"
Putri Permata Ningrum mengajuk. Didesak seperti itu, tiba-tiba Buang Sengketa mendapat akal.
"Putri... tidurlah, malam sudah larut! Lagipula kalau sampai didengar abdimu
rasanya tidak baik...!" kata Buang Sengketa pelan.
"Jawab dulu pertanyaanku...!"
"Baiklah! Kalau kau mencintai aku, aku pun mencintaimu...!" jawab Buang Sengketa
konyol. "Benarkah... benarkah kanda Kelana?" Putri Permata Ningrum girangnya nggak
karuan. Buang Sengketa mengangguk sambil menahan geli.
"Sekarang engkau harus tidur! Biar aku yang berjaga-jaga!" ucap Pendekar Hina
Kelana. Setelah mencium kening si gadis, Pendekar Hina Kelana
segera melangkah keluar. Tak lama kemudian suasana sepi kembali menyelimuti kuil
itu. * * * 9 "Hampir dua hari dua malam! Hh. Kemana saja perginya si Cidek dan si Gempal"
Jangan-jangan malah ngerampok anak bini orang. Ini benar-benar keterlaluan.
Kalau saja tugas yang kuberikan pada tidak membawa hasil, orang-orang itu harus
mendapat hukuman yang setimpal dariku!"
Laki-laki bungkuk dari Pulau Berhala itu agaknya sudah tak sabar menunggu
kepulangan Orang-orang suruhannya.
Dari jendela rumah yang berlapis emas, si
Bungkuk Ludra tongolkan kepala, clingak clinguk bagai monyet tua yang
ditinggalkan kerabatnya.
Sampai saat itu masih belum ada tanda-tanda kehadiran si Cindek dan si Gempal.
Si Bungkuk Ludra yang memang sudah sangat kesal banting-banting kakinya yang
cuma sebesar kaki sapi.
Baru saja hendak melangkah ke pintu depan, tiba-tiba dia mendengar suara
seseorang yang sangat di kenalnya.
"Juragan... juragan! Oh celaka juragan...!"
Dengan langkah tergesa-gesa, si Bungkuk


Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ludra membuka pintu. Laki-laki setengah baya itu nampak terperangah begitu
melihat Sena dengan langkah
terhuyung-huyung
menghampirinya.
Sebelum dia sampai di depan dedengkot Pulau
Berhala dia sudah jatuh terjerembab tanpa dapat berkutik lagi.
"Hahahah... hahaha! Bongkok unta yang malang,
hari ini berakhirlah sudah petualanganmu...!"
Bersamaan dengan ambruknya Sena, telah
hadir seorang pemuda berpakaian merah darah. Tak asing lagi, dialah Pendekar
Hina Kelana. Sesaat lamanya si Bungkuk Ludra menatap tajam pada si pemuda.
"Bangsat Hina, kaukah yang telah membunuh Sena?" tanya si Bungkuk Ludra geram.
"Bukan cacing tiada guna itu saja yang telah kubunuh! Bahkan semua orang-orangmu
sudah kukirim ke Neraka semuanya...!"
"Bangsat gila! Apa alasanmu hingga kau berani membuat urusan dengan majikan
Pulau Berhala..."!" gertak si Bungkuk Ludra nampak-marah.
"Dosamu sudah melebihi takaran! Masihkah kau mau mungkir...?"
"Jahanam! Melihat tampangmu saja baru kali ini, kiranya kau cuma ingin mencari
gara-gara saja rupanya...!"
"Tua bangka sialan. Catat dalam otakmu, pekerjaanmu merampoki harta benda
penduduk itu saja
sudah merupakan dosa
yang tak akan kuampuni belum lagi pemberontakan yang telah
kalian lakukan. Dewa sekalipun akan memenggal kepalamu...!"
"Jahanam! Kiranya kau sengaja mencari mampus. Rupanya kau belum tahu dengan
siapa kau berhadapan...?" bentak si Bungkuk Ludra.
Pendekar Hina Kelana tersenyum mengejek:
"Terhadap kembratnya tiga iblis cacingan dari Pulau Berhala, siapa takut!"
Terkejutlah si Bungkuk Ludra! Tak disangka kiranya, pemuda penyandang periuk dan
berpakaian gembel ini mengetahui pula asal usulnya. Begitu pun dia masih
membentak: "Bagus! Kiranya kau sudah tahu siapa aku, Sekarang berlututlah minta ampun,
siapa tahu aku cuma ingin mengambil sebelah tanganmu saja...!"
"Punggung unta goblook! Apakah kembratmu si gila perempuan belum memberi kabar
padamu bahwa sebelah tangannya telah kuambil...?" ejek Buang Sengketa.
Si Bungkuk Ludra bagai tersengat ratusan
kala terlonjak tubuhnya. Dia tidak percaya kalau Karpala sampai mengalami nasib
apes seperti itu.
Seperti diketahui Karpala sesungguhnya merupakan orang kedua dalam persekutuan
Tiga Iblis Pulau Berhala. Berkepandaian sangat tinggi dan pada saat-saat
tertentu dia bisa berubah wujud menjadi beruang. Dan pemuda gembel yang masih
sangat hijau ini mengaku bahwa dia telah memotong sebelah tangan kawannya. Siapa
mau percaya pada
ucapan pemuda yang agaknya kurang waras. Laki-laki bungkuk ini kemudian
memandang sinis, dan tertawa tergelak-gelak:
"Bocah edan! Karpala bukanlah orang sembarangan yang bisa dikerjai oleh bocah ingusan sepertimu. Jangan coba-coba
mengelabuhi aku...!"
Buang Sengketa mendengus. Agaknya dia
sudah begitu muak malihat si Bungkuk Ludra ini.
"Bungkuk keparat! Bersiap-siaplah, aku akan segera mengirimmu ke Neraka...!"
"Mampuslah...!" teriak Pendekar Hina Kelana langsung kirimkan satu pukulan
dahsyat pada si Bungkuk Ludra. Namun agaknya dedengkot dari Pulau
Berhala ini sudah memperhitungkan
kemungkinan ini. Dengan gerakan yang sangat gesit si Bungkuk Ludra berkelit ke
samping, kemudian kirimkan satu totokan pada bagian yang sangat mematikan.
Jemari tangan si Bungkuk terpentang bagaikan
sebuah cakar burung elang, terus meluncur laksana kilat. Meskipun serangan pertama yang dilancarkan oleh Pendekar
Hina Kelana dapat dielakkan dengan baik oleh lawannya. Namun serangan berikutnya
kembali meluruk.
Apabila tubuh si pemuda telah berkelebat, jika mulutnya
telah mengeluarkan suara mendesis
seperti seekor ular Piton yang sedang marah, dengan nekad dia langsung memapaki
jemari tangan lawan yang bermaksud melakukan satu totokan.
"Plak!"
Dua kekuatan berisi tenaga dalam bertemu, si Bungkuk
Ludra menjerit kesakitan. Tubuhnya tersurut beberapa langkah ke belakang. Sementara Buang Sengketa nampak tergetar,
tangan terasa kesemutan. Dalam hati dia memuji tenaga dalam lawannya yang sudah
sangat sempurna sekali. Tapi begitu menoleh dan memandang pada tangan si Bungkuk
Ludra, mendadak dia tertawa panjang-panjang. Kiranya tangan si Bungkuk Ludra
telah terpuntir ke belakang. Sehingga sepintas lalu memberi kesan lucu.
Dedengkot Pulau Berhala ini nampak pencongkan bibir menahan rasa sakit. Dengan cepat dia berusaha meluruskan tangan
kirinya yang terkilir, namun usaha itu agaknya tidak membawa hasil, sebaliknya
malah menjerit-jerit kesakitan.
"Ha... ha... ha...!" Pendekar Hina Kelana tergelak-gelak kembali. "Manusia
sesat, setelah kupelintir
tanganmu tak lama lagi menyusul kepalamu pula...!"
Si Bungkuk Ludra menyeringai. Kedua bibirnya kemudian terkatup rapat, setelah itu dengan pandangan penuh kebencian,
dedengkot dari Pulau Berhala ini menggeram:
"Pemuda hina! Aku belum kalah, jangan sombong dulu...."
"Aku sombong katamu! Kau salah besar
punggung unta. Dari jauh aku datang ke mari justru ingin melenyapkan
kesombonganmu."
"Keparat pendusta! Kau kira aku bisa dikelabuhi oleh orang gila semacammu...."
Pendekar Hina Kelana keluarkan suara mengekeh. Dalam hatinya mencaci maki habis-babisan.
Tak lama kemudian si Bungkuk sudah keluarkan sebuah tongkat yang sesungguhnya merupakan
sebuah senjata yang sangat dibanggakan oleh si Bungkuk. Begitu Buang Sengketa mengetahui si Bungkuk keluarkan tongkat yang sudah sangat jelek
rupanya. Pendekar Hina Kelana menyela.
"Hemm... hanya sebuah tongkat pemukul anjing saja kau pamerkan di depan
hidungku...!"
kata Buang Sengketa sambil tertawa mengejek.
"Benar... karena kau yang menjadi anjingnya maka bersiap-siaplah untuk
kugebuk...."
Usai berkata begitu, dengan tongkat di
tangannya si Bungkuk Ludra langsung menyerbu.
Tongkat di tangan si Bungkuk berke-lebat menyambar kian ke mari. Sementara itu dengan tak kalah gesitnya Buang Sengketa
segera gunakan jurus si Hina Mengusir Lalat.
Sebentar saja tubuh Buang Sengketa nampak
lenyap terbungkus berkelebatnya kedua tangan yang berputar cepat laksana sebuah
baling-baling. Pertarungan sudah mencapai puluhan jurus, keringat mulai menetes di tubuh si Bungkuk, sebentar kemudian tubuhnya telah
basah oleh keringatnya sendiri. Sementara Buang Sengketa hanya sekali saja
menyeka peluh yang terkadang meleleh di pipinya.
Sebentar kemudian si Bungkuk Ludra mencelat beberapa tombak, tangan kiri menyilang di depan dada. Tangan kanan
dengan memegangi
tongkat terangkat tinggi-tinggi ke atas.
Pendekar Hina Kelana tak tahu apa yang bakal dilakukah oleh lawannya. Tapi walau
bagaimana dia sudah dapat menduga bahwa si Bungkuk Ludra setidak-tidaknya bakal
melancarkan satu pukulan yang sangat dahsyat. Dengan cepat dia segera
mempersiapkan segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Memang benar seperti apa yang diduga oleh
Pendekar Hina Kelana. Bahwa sesungguhnya pada saat itu si Bungkuk Ludra sedang
bersiap-siap untuk melancarkan sebuah pukulan jarak jauh yang diberi nama
Berhala Mencabut Nyawa, yang intinya
berpangkal pada sumber suara. Kalau dihitung-hitung kesaktian itu hampir tidak
jauh beda dengan Ilmu Pemenggal Roh yang dimiliki oleh Buang Sengketa.
Beberapa saat kemudian diiringi dengan
jeritan tinggi melengking yang datangnya sambung
menyambung tiada henti. Si Bungkuk Ludra lancarkan serangan ganas.
Daun-daun beterbangan, si Bungkuk Ludra
terus lipat gandakan suaranya. Semakin lama semakin memekakkan. Buang Sengketa
yang sudah sejak semula telah bersiap-siap agaknya mulai terpengaruh. Gerakan-
gerak-an silatnya nampak kacau. Sementara itu Putri Permata Ningrum dan Sura
yang bersembunyi tidak begitu jauh dari tempat itu sebagaimana telah diajarkan
oleh Buang Sengketa segera menyumbat telinga mereka dengan dedaunan.
Kini si Bungkuk Ludra benar-benar merasa di atas angin, beberapa kali tongkat di
tangannya sempat
menggebuk tubuh lawannya. Buang Sengketa mengeluh panjang pendek. Sejauh itu nampaknya Pendekar Hina Kelana
masih memberi angin pada lawannya yang terus mencecarkan tanpa ampun.
Puluhan jurus sudah terlewati, agaknya Pendekar Hina Kelana sudah cukup memberi waktu pada lawannya, satu saat kemudian
dengan diawali suara mendesis bagai seekor ular Piton yang sedang marah.
"Heiiiik!"
Sebuah ilmu kesaktian Berhala Mencabut
Nyawa bertemu dengan Ilmu Sakti Pemenggal Roh.
Bumi seakan runtuh. Rumah dan pohon-pohon yang berada di sekitarnya nampak
bergetar hebat.
Sementara itu tubuh si Bungkuk Ludra amblas ke dalam tanah sampai sebatas
pinggang. Darah kental kehitam-hitaman meleleh dari kuping, hidung dan mulut si
Bungkuk Ludra. Buang Sengketa sendiri kakinya sampai amblas beberapa senti. Dia segera tarik kakinya yang sempat nyungsep ke dalam
tanah, begitu sinis dipandanginya si
Bungkuk Ludra yang masih
berusaha keluar dari timbunan tanah yang menghimpit bagian pinggangnya.
Tak lama kemudian dedengkot dari Pulau


Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berhala yang gila harta ini pun telah keluar dari tempatnya.
Segera dia himpun hawa murni, sebentar kemudian wajahnya yang pucat telah kembali
seperti sediakala. Si Bungkuk Ludra tersenyum kecut, lalu menyela:
"Budak Hina! Ada hubungan apakah kau
dengan tokoh sakti yang pernah hidup ratusan tahun yang lalu itu...?"
"Agaknya nyalimu mulai ciut...!" Pendekar Hina Kelana mencibir.
"Kau memang hebat orang muda! Mati pun aku di tanganmu aku puas. Namun jawablah
dulu pertanyaanku...!" bentak si Bungkuk Ludra.
* * * 10 Pendekar Negeri Bunian ini kembali terkekeh, kemudian keluarkan suara lantang.
"Nama guruku tidak boleh disebut oleh sembarangan orang, apalagi pada manusia
budak iblis sepertimu...!"
"Bangsat! Kau kira kehebatan si Bangkotan Koreng
Seribu dapat membuatku takut menghadapimu?"
Buang Sengketa nampak terkejut sekali begitu si Bungkuk Ludra menyebut-nyebut nama gurunya. Padahal wilayah Khalayan
merupakan sebuah daerah yang terletak jauh di tanah air bagian Timur. Sedemikian
hebatnya sepak terjang gurunya
yang pemurung itu sehingga nama besarnya dikenal di mana-mana. Yang lebih membuat Buang Sengketa terheran-heran adalah pengetahuan si Bungkuk Ludra yang
begitu luas. Sampai-sampai dia bisa mengenali ilmu Sakti Pemenggal Roh dapat dia kenali.
Buang Sengketa tidak dapat berfikir panjang karena beberapa saat kemudian
dedengkot dari Pulau Berhala ini sudah menyela kembali.
"Bocah gila Teluk Belanga, meskipun engkau tidak mengakuinya itu tak menjadi
soal. Agaknya aku perlu memaksamu untuk mengeluarkan cambuk
Gelap Sayuto yang pernah menggegerkan dunia itu...."
Lagi-lagi Buang Sengketa di buat terperangah.
"Bagaimana orang ini bisa tahu banyak tentang gurunya?"
"Bagus, kau telah tahu segala-galanya.
Sebentar lagi kau akan segera tahu bagaimana hebatnya cambuk Gelap Sayuto!"
Pendekar Hina Kelana mendengus.
"Ha... ha... ha...!"
Si Bungkuk Ludra tertawa panjang-panjang.
"Dulu persekutuan manusia iblis milik kakek buyutku telah diobrak abrik oleh
setan keparat itu.
Bahkan dia membunuhi kakek dan nenekku pula!
Bertahun-tahun aku mencarinya untuk membalas dendam tapi tidak juga berhasil.
Karena kau muridnya manusia sadis itu, maka kau harus membayar lunas semua
hutang gurumu berikut bunganya...!"
"Hmmm! Besar sekali nyalimu. Agaknya hari ini aku pun harus menyelesaikan
pekerjaan guruku yang masih belum sempurna. "Mampuslah!"
Si Bungkuk Ludra kembali bergerak. Kini
setelah segala-galanya menjadi jelas dedengkot dari Pulau
Berhala ini segera keluarkan segala kemampuannya. Api dendam di hati si Bungkuk Ludra berkobar-kobar kini, kenyataan
itu sudah barang tentu membangkitkan semangatnya yang hampir saja padam.
Buang Sengketa pun tak ingin bertindak
setengah-setengah. Tidak ada pilihan lain lagi baginya kecuali segera menyudahi
pertarungan dalam waktu sesingkat mungkin.
Karena masing-masing keluarkan jurus-jurus yang paling mereka andalkan, maka
pertarungan yang sedang berlangsungpun benar-benar sangat menegangkan. Berpuluh-
puluh jurus mereka saling lancarkan serangan-serangan ganas. Sejauh itu masih
belum ada tanda siapa yang bakal menjadi pemenang dalam pertarungan itu.
Beberapa saat kemudian Buang Sengketa
segera merubah jurus-jurus silatnya. Tubuhnya berkelebat
lenyap ditelan bayang-bayangnya
sendiri. Tak pelak lagi Buang Sengketa kiranya telah pergunakan jurus si Jadah
Terbuang. Namun pada saat itu lebih cepat lagi si Bungkuk Ludra telah kirimkan
pukulan Berhala Gila Menggapai Bulan.
Dari tangan si Bungkuk Ludra menderu selarik sinar berwarna biru dan menebarkan
hawa dingin meluruk ke arah Pendekar Hina Kelana.
Terkesiaplah pemuda ini, sebelum gulungan-
gulungan sinar warna biru itu benar-benar melumat tubuhnya. Buang Sengketa
kiblatkan tangannya.
Empat Anasir Kehidupan tak salah lagi! Selarik sinar Ultra Violet melesat lebih
cepat lagi. "Blaar!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana terpental beberapa tombak, dari celah bibirnya meleleh pula darah segar. Buang Sengketa
tarik nafas pendek.
Sementara itu si Bungkuk Ludra hanya terhuyung beberapa tindak ke belakang,
tubuh tergoyang-goyang sedikit, tapi segera tersenyum.
"Empat Anasir Kehidupan benar-benar ilmu pukulan yang hebat! Tetapi ternyata
tidak ada apa-apanya. Barangkali cambuk Gelap Sayuto yang banyak digembar-
gemborkan orang itu juga cuma merupakan berita bohong belaka!"
Si Bungkuk Ludra tersenyum mengejek.
"Manusia sombong! Kau benar-benar akan sangat menyesal...!" kata Pendekar Hina
Kelana mengigit bibir.
"Hak... hak... hak...! Bocah sinting murid-nya orang gila, kalau kau punya
seribu senjata cepat-cepatlah kau cabut! Kalau tidak, kau benar-benar akan
menyesal sampai ke liang kubur...!"
"Bagus! Sebuah kesombongan dan
satu kejahatan hari ini memang benar-benar harus kulenyapkan dari kolong langit
ini...." Dengan diawali satu bentakan tinggi melengking kini Buang Sengketa telah melabrak terlebih dahulu.
Dedengkot dari Pulau Berhala menggerung
bagai harimau terluka, dengan tongkat di tangan yang menyambar-nyambar ke segala
arah. Agaknya Buang Sengketa sudah tak ingin lagi memberi kesempatan pada
lawannya. Kini kembali terdengar jeritan melengking disertai bunyi mendesis
bagai Ular Piton yang sedang marah, tubuhnya berkelebat, sebentar kemudian:
"Haiiit!"
"Ctar! Ctaar! Ctaar!"
Seusai dengan lecutan pecutnya ke udara,
menderulah gelombang angin topan yang ma-ha dahsyat. Batu dan pasir
berterbangan, sebentar saja langit menjadi gelap. Suasana di sekitar tempat itu
benar-benar telah berubah gelap gulita. Terkesiaplah si Bungkuk Ludra demi menghadapi keanehan ini. Tiba-tiba hatinya
menjadi bimbang, akan tetapi itu tidak berlangsung lama. Segera dia mendengar
suara lawannya menyela:
"Bungkuk keparat! Kini kau benar-benar telah menyaksikan apa yang kau minta.
Seperti janjiku, aku memang tidak akan mengampunimu...!"
Dalam keadaan gelap gulita bahkan batang
hidung sendiri pun tak tampak, kata-kata Buang Sengketa yang bernada mengancam
itu benar-benar membuat nyali si Bungkuk Ludra menciut.
Tiba-tiba, dedengkot Pulau Berhala itu melihat sinar merah tak jauh di depannya,
sinar itu berkilau-kilau menyinari sebagian wajah Pendekar Hina Kelana yang
nampak memandang dingin padanya.
"Golok Buntung!"
Si bungkuk Ludra berseru kaget. Kini dia
benar-benar telah menyaksikannya sendiri tentang apa yang sering didengarnya
dari orang-orang yang
lalu lalang tentang sepak terjang seorang pemuda dengan pusaka golok Buntungnya
yang dahsyat itu.
"Jadi kaulah orangnya Pendekar Golok Buntung itu...!" tanya si Bungkuk Ludra undur beberapa langkah.
Buang Sengketa memandang sinis.
"Semuanya sudah terlambat Ludra! Kau sudah terlanjur mengetahui segala-
galanya...!"
"Bersiap-siaplah untuk mampus."
Tubuh Buang Sengketa berkelebat, Pusaka
Golok Buntung di tangannya menderu sinar merah menyala berkiblat-kiblat laksana
meteor. Keadaan yang gelap gulita karena pengaruh cambuk Gelap Sayuto ditambah
lagi dengan rasa dingin yang sangat luar biasa karena pengaruh pusaka golok
Buntung. membuat si Bungkuk Ludra tidak begitu leluasa dalam bergerak.
Tubuh Buang Sengketa terus berkelebat.
"Cras! Cras!"
"Arrghk!"
Golok di tangan Pendekar Hina
Kelana merobek bagian lambung dan dada si Bungkuk Ludra. Dedengkot dari Pulau Berhala
itu menjerit setinggi langit. Untuk kemudian ambruk ke bumi dengan tubuh
bersimbah darah.
Buang Sengketa segera simpan kedua senjatanya. Bersamaan dengan itu kegelapan di sekitarnya secara perlahan mulai
sirna dan kembali pada keadaan semula.
Buang Sengketa melirik pada tubuh Sena
yang masih tergeletak di tempatnya.
"Sena! Apakah kau mau sampai tua tetap berpura-pura mati seperti itu?" Buang
Sengketa menyela.
Cepat-cepat Sena bangun dari tempatnya,
kemudian dengan perasaan penuh kagum.
"Tuan Pendekar benar-benar hebat! Bahkan lebih hebat dari yang hamba duga
sebelumnya...!"
ujar Sena lalu menjura hormat.
"Panggil Putri Permata Ningrum! Kita akan segera
meninggalkan tempat ini secepatnya!"
perintah Pendekar Hina Kelana.
Begitu Sena hendak melangkah, dia melihat
Putri Permata Ningrum dan Sura telah menghampiri mereka.
Dengan pandangan mata berseri-seri Putri
Permata Ningrum menghampiri Pendekar dari Negeri Bunian ini. Andai saja di
tempat itu tidak ada orang lain, sudah barang tentu Putri Permata Ningrum
langsung memeluk Pendekar yang telah meluluhkan hatinya itu.
"Kau benar-benar hebat, Kelana...!" serunya memuji.
Buang Sengketa tersenyum tipis. Tapi kemudian dia kerutkan kening. "Ada apa?" tanya Putri Permata Ningrum. "Sebaiknya
Putri tinggal saja di istana bekas milik si Bungkuk Ludra ini,
untuk sementara waktu...!" sela Pendekar Hina Kelana berubah fikiran.
"Mengapa harus begitu...!"
'Di Khalayan terlalu banyak lawan-lawan
tangguh yang mungkin saja dapat mengancam
keselamatanmu. Bertarung melawan mereka tidak selamanya aku bisa mengawasi
keselamatanmu...!"
"Bukankah ada Sena dan Sura yang bisa menjaga keselamatanku...?"
"Aku meragukan kemampuan mereka! Tapi seandainya dalam waktu tiga hari aku tidak
kembali ke sini kalian sudah bisa menyusulku ke sana!" jelas Buang Sengketa.
Sesaat Putri Permata Ningrum nampak meragu. Tetapi kemudian dia mengangguk.
"Aku hanya dapat mendoakan keselamatanmu Tuan Pendekar!" ucapnya sambil melirik
penuh arti. "Bagus kalau kau bisa mengerti."
Usai berkata begitu Buang Sengketa sudah
berbalik langkah. Sekejap kemudian tubuhnya telah berkelebat
pergi

Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan lenyap dari
pandangan mereka. * * * 11 Hampir setengah hari melakukan perjalanan
sampailah Pendekar Hina Kelana di pinggiran Kotaraja Kedatuan Khalayan. Di kanan
kiri jalan yang dia lalui, keadaan sunyi sepi, pintu rumah-rumah penduduk
tertutup rapat. Warung-warung jalanan tak satu pun yang buka. Hal ini agaknya
hal baru yang sangat menarik perhatian si pemuda.
Setelah clingak clinguk bagai si monyet katisan, pemuda itu kembali meneruskan
langkahnya. Kira-kira sepeminum teh, tiba-tiba dia melihat di depan tak jauh
darinya serombongan orang berkuda yang berjumlah lebih kurang enam orang nampak
menuju ke arahnya.
Dengan cermat Buang Sengketa memperhatikan si
penunggang yang kelihatan
dalam keadaan tergesa-gesa. Pendekar Buang Sengketa tersenyum mencibir begitu
mengenali salah seorang di antara mereka yang tak lain Si Gila Karpala adanya.
Kemudian pemuda itu dengan sengaja duduk
di tengah-tengah jalan sambil palangkan kedua kakinya. Dengan sikap pura-pura
tertidur dia telungkupkan wajah, si rombongan berkuda makin lama semakin dekat.
Hingga pada jarak hampir
enam tombak laki-laki
yang berada di atas punggung kuda menghentikan tunggangannya.
"Orang gila dari mana yang berani sekali tidur di jalanan?" bentak salah seorang
di antara mereka yang berbadan tinggi dengan cambang dan bawuk yang tak tercukur
rapi. "Tabrak saja panglima! Biar mampus sekalian...!" ucap salah seorang di sebelah laki-laki itu. Dan tentu saja
Buang Sengketa sangat
mengenali pemilik suara itu yang tak lain si Keparat Karpala.
"Manusia Hina! Minggir atau kutendang. Nih panglimamu mau lewat!!" bentak laki-
laki itu bengis.
"Panglima kentut bau! Segala iblis dari Pulau Berhala siapa takut...!" Masih
dalam posisinya Buang Sengketa balas membentak.
Karpala dan Sigalumet saling pandang. Mereka nampak terheran-heran, bagaimana si gembel
jalanan itu bisa
tahu kalau mereka
dedengkot dari Pulau Berhala"
"Manusia hina segera tunjukkan muka, agar kami tak salah tangan...!" bentak
Sigalumet marah sekali.
"Sebelah tangan kawanmu yang kubuntungi, itu saja sudah cukup untuk mengenal
siapa adanya aku ini...!" Usai berkata Buang Sengketa langsung berdiri.
Tiba-tiba Karpala terlonjak dan berseru marah. "Kakang! Dialah si bangsat sialan yang kita cari-cari itu...!"
Sigalumet kertakkan rahang:
"Oh, kiranya inilah kunyuk yang telah memapras tanganmu itu adi Karpala?"
"Benar, kakang! Tak salah lagi dialah orangnya!"
Sigalumet sejenak lamanya nampak memperhatikan Buang Sengketa dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Budak
penyandang periuk berjelaga, masih begini sangat muda. Akan tetapi mengapa
adiknya Karpala yang punya berbagai ilmu kesaktian dan bahkan bisa malih sampai
dapat dibuat tak berdaya" Sungguh Sigalumet tak dapat mempercayai cerita Karpala
dengan kenyataan yang ada.
"Budak Hina! Siapakah engkau dan dari mana pula asal usulmu...!" tanya
Sigalumet. Agaknya dia ingin tahu banyak tentang siapa dan dari mana asal muasal
si pemuda. Ditanya seperti itu pendekar Hina Kelana
mendengus. "Dulu aku sering berkata, apa artinya sebuah nama!
Orang kemudian menanyaiku dengan pertanyaan yang sama-sama membosankan untuk kujawab. Tapi kiranya tak salah bila
kujawab pertanyaan orang-orang yang akan mampus! Agar kalian tidak mati
penasaran. Catat dalam otakmu, aku si Hina Kelana datang dari sebuah negeri yang
tak bisa dilihat oleh kasat mata. Sengaja datang untuk mencabuti nyawa anjing-
anjing pembuat sengsara masyarakat...!"
Begitu mendengar kata-kata Pendekar Hina
Kelana, Sigalumet dan kawan-kawannya tergelak-gelak.
"Tikus sial! Sombong sekali mulutmu! Tidak tahu betapa tingginya gunung yang
kini tegak di hadapanmu...!" kata
Sigalumet dengan wajah memerah. "Aku tahu gunung memang tinggi! Tetapi terhadap iblis-iblis pendukung
pemberontakan tak seorang pun yang akan kubiarkan hidup...!" ejeknya pula.
Sigalumet mendengus:
"Puih! Besar sekali nyalimu. Berhadapan dengan salah seorang di antara kami saja
engkau belum dapat menang, apalagi bila kami mengeroyokmu...?"
Pendekar Hina Kelana nampak tergelak-gelak begitu melihat Sigalumet yang
nampaknya sangat meremehkan dirinya.
"Kakang! Orang yang mau mampus biasanya banyak tingkah!" Karpala ikut menyela.
"Kalian terlalu menjunjung diri setinggi langit iblis bau! Padahal sebuah
kesombongan sangat sering menjerumuskan diri seseorang pada lembah kehancuran.
Bagiku Tiga Iblis dari Pulau Berhala, hanyalah sebuah nama kosong melompong...!"
"Sialan keparat! Bersiap-siap untuk mampus...!"
Belum lagi Sigalumet selesai dengan kata-
katanya, serentak dia melompat dari punggung kudanya dengan diikuti oleh yang
lainnya. "Bagus.... Kiranya kalian sudah semakin tak sabaran untuk menyusul si Bungkuk
Ludra yang telah terlebih dahulu berangkat ke liang kubur...!"
Lagi-lagi Pendekar dari lembah Bunian ini
mendengus. Bukan alang kepalang terkejutnya keenam
orang ini, bagaimana bisa dipercaya kalau si Bungkuk Ludra sampai tewas di
tangan pemuda gembel ini"
"Bangsat pembual! Mulutmu benar-benar sudah rusak...!"
Tak lama kemudian Sigalumet. Segera memberi isyarat pada keempat anak buahnya Tanpa menunggu diperintah dua kali,
dengan cepat keempat orang itu segera menyerang Buang
Sengketa. Sambil membuka jurus-jurus silatnya, si
pemuda berseru lantang:
"Iblis gila kedudukan dan iblis gila perempuan mengapa tanggung-tanggung,
sekalian saja kalian maju berbareng...!"
"Terhadap empat orang-orangku saya kau belum tentu unggul! Hadapilah mereka
terlebih dahulu...!"
Sigalumet mencemooh, sepasang matanya
mulai tertuju pada pertempuran yang tengah berlangsung.
Saat itu, keempat orang anak buah Sigalumet, sudah mengepung Buang Sengketa dari empat
penjuru. Keempat orang ini dengan bersenjatakan pedang, langsung mencecar Pendekar Hina Kelana tanpa memberi
sedikit pun kesempatan pada lawannya. Pedang-pedang di tangan mereka menderu,
membabat, menusuk dari berbagai arah.
Menghadapi serangan lawannya yang datang bagai turunnya air hujan. Buang
Sengketa pergunakan jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra.
Meskipun begitu pemuda ini nampaknya masih kewalahan juga. Satu saat salah
seorang dari lawan kirimkan satu tusukan satu babatan, serangan itu begitu
sangat cepatnya. Pemuda itu secepatnya berusaha berkelit ke samping. Serangan
lawan hanya beberapa senti saja hampir menembus
batang hidungnya.
Pendekar Hina Kelana memaki habis-habisan, namun baru saja dia berhasil
menghindari serangan lawan yang berada di depannya, dari arah belakang menyusul
sabetan pedang dan dari samping kiri pula.
"Breet!"
"Breet!"
Pedang di tangan lawannya berhasil menggores sekaligus merobek kulit dan pakaian si
Hina Kelana pada bagian lengan kiri dan punggung belakang. Tak jauh dari tempat
itu Sigalumet dan Karpala
yang terus menyaksikan jalannya pertarungan diam-diam berseru memuji keberhasilan anak buahnya.
"Agaknya sebentar lagi budak Gombal amoh itu segera mampus di tangan orang-orang
kita adik Karpala...!" ucap Sigalumet dengan sesungging senyum penuh kelicikan.
"Kita lihat saja perkembangan selanjutnya Kakang...!" jawab Karpala yang sudah
sangat tahu tentang kehebatan lawannya.
Sigalumet menoleh pada kembratnya begitu
mendengar jawaban Karpala yang kurang mengenakkan fikirannya.
"Sepertinya
kau tidak yakin dengan kemampuan orang-orang kita, adik Karpala...?"
tegurnya. "Kakang belum tahu bagaimana sepak terjang pemuda itu! Masakkan kalau dia benar-
benar tidak berisi
aku kena dikerjainya...!"
kata Karpala berusaha meyakinkan.
Sigalumet nampak manggut-manggut. Dalam
hati dia membenarkan apa yang baru saja dikatakan oleh kembratnya. Akan tetapi
kemudian dia nampak meragu.
"Apakah benar seperti yang dia katakan, bahwa adik Bungkuk Ludra telah
dibunuhnya..,?"
Karpala yang hanya tinggal memiliki sebelah tangan itu nampak kerutkan kening.
Seharusnya si Bungkuk Ludra telah bergabung dengan mereka tadi malam. Bukankah
mereka sudah berencana untuk mencari Pendekar Hina Kelana untuk membalaskan
sakit hati. Karena pemuda itu telah membuntungi tangan Karpala. Tapi ternyata
setelah ditunggu-tunggu si Bungkuk Ludra tidak muncul juga hingga mereka
bermaksud datang menyusuli. Siapa kira kalau di jalanan mereka bertemu dengan
musuh yang akan mereka cari!
"Mengapa engkau diam saja adik Karpala?"
Suara Sigalumet membuat Karpala tersentak


Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari lamunannya.
"Eee... aku cuma berfikir, mungkin saja apa yang dikatakan oleh budak hina itu
ada juga kebenarannya."
Merahlah wajah Sigalumet begitu mendengar
jawaban kembratnya, dia berprasangka bahwa Karpala sesungguhnya sudah merasa
jerih untuk berhadapan dengan pemuda gembel yang kini
sedang bertarung.
"Agaknya kau merasa gentar untuk ber-
hadapan dengan budak itu kembali!" kata Sigalumet menyindir.
"Ah! Kakang terlalu berprasangka yang bukan-bukan. Selama nyawaku masih melengket di badanku, selama itu pula aku akan
menghadapi siapa pun. Tokh bocah itu bukanlah anak dewa...!"
jawab Karpala menutupi perasaannya.
"Benar adik Karpala, dia bukan manusia setengah Dewa.,.!" Sigalumet manggut-
manggut. "Kakang! Meskipun dia bapak moyangnya dewa, aku pun tak akan pernah takut!" ucap
Karpala berusaha menyenangkan hati Sigalumet.
Mendengar jawaban Karpala kini Sigalumet
tertawa-tawa. Senang!
"Bagus! Majikan Pulau Berhala memang tidak boleh mundur terhadap lawan yang
bagaimana pun hebatnya. Apalagi kalau cuma berhadapan dengan lawan seperti si
gembel itu."
Belum lagi Sigalumet selesai dengan segala pujiannya,
mendadak dari dalam pertarungan terdengar jeritan yang menyayat.
"Crar! Cras!"
"Arghk...!"
Dua orang pengeroyok terpelanting roboh
dengan keadaan leher hampir putus. Karpala dan Sigalumet terperangah kaget.
Dan belum lagi hilang keterkejutan di hati mereka, terdengar pula jeritan dua
orang lainnya. Sama seperti pendahulunya. Orang ini pun mengalami nasib yang sama. Di antara dua orang dedengkot iblis Pulau Berhala
ini. Sigalumet lah yang dibuat paling terkejut, hanya dalam waktu singkat saja
si pemuda sudah merobohkan empat
orang pilihan. Bahkan tadi dia sempat melihat berkelebatnya golok Buntung di
tangan si pemuda.
"Apa kubilang, pemuda itu benar-benar sangat hebat, Kakang...!" Karpala mengingatkan.
"Kentut! Aku paling benci pada orang yang sangat
pengecut!"
kata Sigalumet kemudian melangkah dari tempatnya berdiri. Kini laki-laki itu telah benar-benar berdiri
di depan Buang Sengketa.
Dengan kemarahan yang luar biasa dia
membentak Pendekar Hina Kelana.
"Budak iblis! Kau harus membayar mahal atas perbuatanmu itu...!"
Pendekar Hina Kelana tergelak-gelak.
"Wuaah... ada maling teriak maling! Kau pun harus segera mampus."
Segera saja Buang Sengketa lancarkan pukulan Empat Anasir Kehidupan terhadap dua orang
lawan-lawannya.
Begitu pula dengan Sigalumet dan Karpala.
Dengan dua kaki satu tangan Karpala yang
begitu mendendam pada Pendekar Hina Kelana, nampak begitu rakus merangsak
lawannya dengan pukulan-pukulan
Kala Birunya. Sementara itu Sigalumet tak mau kalah dengan kembratnya yang satu ini. Dengan pukulan Berhala
Memukul Naga, dia
terus mengumbar serangan-serangannya.
Pertarungan dengan mempergunakan pukulan sakti, lalu ditandingi dengan pukulan
sakti pula, dalam waktu sekejap benar-benar telah menguras tenaga
inti. Sejauh itu baik dedengkot dari Pulau Berhala maupun di pihak Buang
Sengketa sendiri masih belum mampu menghancurkan pertahanan lawan.
Beberapa saat kemudian Sigalumet
dan Karpala pada saat yang hampir bersamaan kirimkan satu rangkaian pukulan Kala
Biru pada lawannya.
Seberkas sinar berwarna kebiruan nampak melesat sedemikian cepatnya ke arah
Pendekar Hina Kelana.
Menghadapi serangan beruntun dari dua arah, yang masing-masing sama berbahaya,
Buang Sengketa yang memang kebal terhadap segala macam racun berbisa ini
nampaknya memang tidak berusaha menghindar.
Dengan kedua tangan terpentang secara
berlawanan dan masing-masing telah terisi tenaga dalam pula, dengan nekad dia
memapaki datangnya kedua pukulan tersebut.
* * * 12 Bertemunya tiga tenaga sakti sudah tak dapat dihindari lagi.
"Blaar!" "Blaar!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana amblas ke dalam tanah sampai sebatas pinggang, dia
merasakan dadanya sesak luar biasa. Sementara darah segera meleleh dari hidung
dan bibir. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murni, tak lama kemudian rasa sesak
itu pun berangsur angsur lenyap.
Belum lagi dia bangkit dari tempatnya,
Sigalumet dan Karpala yang tadinya hanya mengalami guncangan sedikit akibat berbenturan pukulan mereka. Saat itu sudah
meluruk lagi dengan pedang dan payung terhunus.
Senjata di tangan lawan-lawannya menderu
dan timbulkan suara bercuitan. Pada saat itu mereka sudah dapat memastikan bahwa
lawannya yang masih terbenam tubuhnya setengah badan sudah tak mungkin dapat
mengelak lagi. Senjata di tangan mereka terns meluncur begitu cepatnya.
Pada saat-saat yang sangat kritis itu di luar dugaan musuh-musuhnya.
Buang Sengketa kerahkan segenap kemampuannya untuk segera dapat keluar dari dalam tanah yang menghimpit
tubuhnya. Dengan diiringi teriakan menggelegar, tiba-tiba saja tubuh pemuda itu telah
melesat ke udara.
Tubuh pemuda itu berjumpalitan beberapa
kali, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah, tubuhnya berkelebat kembali.
Baik Sigalumet dan Karpala yang sudah
kirimkan satu tusukan satu babatan nampak sangat kecewa karena pedang dan payung
ditangan masing-masing telah mengenai tempat yang kosong. Saat keduanya nampak kebingungan mencari-
cari posisi lawannya. Pada saat itu terdengar desis suara seekor Ular Piton yang
sedang marah. Udara di sekitar tempat itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi
dingin, sementara di tangan Buang Sengketa telah tergenggam Pusaka Golok Buntung yang memancarkan cahaya yang
berwarna merah menyala.
Kini terkesiapkan Wajah mereka begitu melihat senjata yang tergenggam di tangan si pemuda. Akan tetapi hanya sesaat
itu saja, karena tak berapa lama kemudian mereka harus melindungi diri dari
sambaran golok di tangan lawannya.
Berkelebatnya golok pusaka di tangan Buang Sengketa menimbulkan badai pasir yang
sangat besar. Bahkan salah seorang di antara mereka sudah ada yang kelilipan.
Buang Sengketa agaknya sudah tidak memberi ampun lagi, dengan sangat cepat Pendekar
dari Negeri Bunian ini melabrak seorang lawan yang berada paling dekat
dengannya. "Craas!"
"Arrghk!"
Karpala melolong setinggi langit, sebagian isi perutnya terburai keluar dari
badannya. Tubuh Karpala hampir putus terbagi dua terbabat golok milik Pendekar
Hina Kelana. Tubuh Karpala langsung terlipat dua. Sedangkan kedua bola matanya
nampak melotot seakan tak percaya dengan apa yang telah dia alami. Darah semakin
banyak yang keluar, secara perlahan tubuh yang sudah tak bernyawa itu nampak
melorot untuk kemudian ambruk ke bumi.
Tinggallah Sigalumet seorang diri yang nampak terdiam dengan mulut menganga. Mungkin melihat kenyataan yang terjadi,
nyalinya mulai kedodoran, meskipun begitu dengan membentak dahsyat dia kembali
menyerang Buang Sengketa.
Akan tetapi agaknya karena sangat terpengaruh dengan kematian kawannnya. Kini serangan-serangan yang dia lancarkan
sudah mulai kacau balau. Sebaliknya Buang Sengketa dengan gencar
melakukan serangan-serangan
balasan semakin lama Sigalumet tampak semakin terdesak.
Hingga tak begitu lama dia benar-benar sampai pada posisi yang sangat
membahayakan dirinya sendiri. Lagi-lagi senjata di tangan Pendekar Buang
Sengketa mencari sasaran.
"Brebet!"
"Craas!"
Golok di tangan Buang Sengketa berhasil
melubangi tenggorokan Sigalumet. Darah memancar dari luka yang menganga. Tiada
kata yang terucap dari mulut Dedengkot Pulau Berhala ini, kecuali suara dengkur
nafas bagai kerbau yang disembelih.
Masih dengan memegangi lehernya yang berlubang, tubuh Sigalumet nampak tergetar
beberapa saat lamanya. Darah semakin lama semakin berkurang yang keluar dari
luka itu. Seiring dengan tetesan darah yang terakhir, tubuh Sigalumet limbung
dan untuk kemudian terjengkang dengan nyawa putus.
Habislah sudah sekutu-sekutu pemberontak
Runa. Buang Sengketa menarik nafas panjang.
Pemuda itu sudah bermaksud meninggalkan tempat itu ketika sepasang matanya yang
setajam mata elang itu melihat dua orang penunggang kuda yang tengah menuju ke
arahnya. Pendekar Hina Kelana urungkan niatnya, dua orang penunggang kuda itu makin lama
makin dekat, Pendekar ini kernyitkan alisnya begitu melihat pakaian yang
dikenakan oleh orang-orang itu. Kalau melihat dandanan yang mereka pakai sudah
barang tentu dua orang ini merupakan seorang raja dan patihnya. Akan tetapi
hendak kemanakah mereka" Batin Pendekar Hina Kelana dalam hati.
Hanya beberapa saat kemudian dua orang
penunggang kuda ini sudah sampai di depan
Pendekar Hina Kelana.
Laki-laki setengah tua yang mengenakan
pakaian raja bermaksud memerintahkan si Hina Kelana supaya minggir, karena
memang kedua orang itu bermaksud menuju ke rumah kediaman salah seorang
sekutunya. Si Bungkuk Ludra! Akan tetapi kiranya tanpa di sengaja dia melirik ke
arah kanan kiri jalan.
Begitu mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan terbelalaklah mata kedua orang itu, karena mayat-mayat yang
berlumuran darah itu tak lain merupakan mayat para sekutu-sekutunya.
"Yang mulia Kanda Raja... bukankah mayat-mayat itu merupakan mayat orang
kita...?" sentak laki-laki di sebelahnya yang berpakaian kepatihan.
"Hmm... benar sekali adik Patih! Bangsat manakah yang telah berani membuat
urusan dengan pemerintahan Khalayan!" geram si Raja.
Kedua matanya memandang pada Buang Sengketa seolaholah menuduh.


Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Hina Kelana tahu bahwa mungkin
dua orang inilah yang telah melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan raja yang sah.
"Kunyuk-kunyuk
keparat! Kaliankah yang bernama Runa dan Wara Wiri...?"
Dibentak sedemikian rupa sudah barang tentu kedua orang yang berpakaian
kebesaran kerajaan itu sangat marah sekali.
"Siapakah kau, berani sekali menghina Raja Khalayan! Kau benar-benar seekor
anjing yang tak tahu adat!" kata laki-laki yang berpakaian patih menyela. Lalu
segera kedua orang itu melompat dari punggung kudanya.
"Terhadap bangsat-bangsat pemberontak, tak perlu memakai segala peradatan!"
"Jahanan! Berarti budak gembel inilah yang telah membunuh orang-orang kita Yang
Mulia Kanda Raja...!" kata Patih Wara Wiri. Pendekar Hina Kelana tergelak-gelak:
"Patih dan raja keparat! Bukan iblis-iblis itu saja yang kukirim ke neraka! Tapi
sebentar lagi kalian pun akan kugusur ke Liang kubur...!"
"Jahanam terkutuk!" bentak Runa geram.
"Hmm! Cabutlah senjata kalian, sebab hari ini juga kekuasaan kalian sudah
berakhir...!" kata Pendekar Hina Kelana mencemo-oh.
"Kalau begitu, kalau begitu kaulah yang harus segera mampus...!"
Seusai berkata begitu kedua orang ini langsung cabut senjatanya, lalu secara serentak menyerang Buang Sengketa dengan
jurus-jurus pedang yang ganas. Hanya dalam waktu sekejap saja pertarungan seru
pun terjadi, Buang Sengketa yang memang menaruh kebencian pada Wara Wiri dan
Runa nampak kerahkan jurus-jurus andalannya.
Masing-masing lawan yang memang sudah
dirasuki nafsu membunuh, kelihatan saling mendahului dan secepatnya pula menjatuhkan pihak lawan.
Beberapa saat kemudian pertarungan sudah
mencapai puluhan jurus. Walaupun begitu Wara Wiri dan Runa masih belum berhasil
menjatuhkan lawannya. Dan sesungguhnya pula Wara Wiri dan Runa bagi Pendekar Hina Kelana
merupakan dua lawan yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh di bawah Tiga
Iblis dari Pulau Berhala. Bahkan kalau dia mau sudah sejak tadi Runa maupun Wara
Wiri sudah kena dikerjainya. Akan tetapi dia ingin tahu sejauh mana ilmu
kepandaian pemberontak ini.
Setelah pertarungan mencapai puluhan jurus, tahulah pemuda ini bahwa kekuatan mereka dalam memberontak Khanyalan karena atas
dukungan Tiga Dedengkot dari Pulau Berhala.
Empat puluh jurus telah berlalu, tetap saja keadaan tak berubah. Wara Wiri dan
Runa bahkan nampak kelabakan begitu Buang merubah jurus-jurus silatnya dengan
jurus Si Jadah Terbuang.
Bahkan beruiang kali Buang Sengketa berhasil mendaratkan pukulannya dengan
sangat telak di tubuh lawannya. Hingga tak begitu lama kemudian batas
kesabarannya pun pupuslah sudah. Sekali saja tubuh pemuda itu melesat ke udara,
begitu menukik ke bawah dia telah lepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan
dengan menggunakan setengah tenaganya. Selarik sinar dengan gelombang Ultra Violet menderu dahsyat meluruk
pada kedua orang itu. Agaknya mereka tidak menyadari apa yang sedang terjadi
sesungguhnya. Akan tetapi begitu mereka merasakan adanya hawa pukulan yang
melongok ke atas. Pucatlah paras keduanya.
Mengelak sudah tak mungkin lagi. Tiada pilihan lain kecuali memapasinya dengan
sabetan pedang. Tak ayal lagi:
"Blaark"
Tubuh Wara Wiri dan Runa terpental berpuluh-puluh tombak lalu terhempas pada sebatang pohon yang sangat besar. Tiada jerit kematian. Tubuh yang dalam keadaan
hangus itu remuk menghantam pohoh. Sebelum kedua orang itu menyadari apa yang
sedang tejadi pada diri mereka, dua lembar nyawa telah melayang dari jasadnya.
Begitu Buang Sengketa hendak putar langkah, telinganya sempat mendengar
panggilan merdu si Jelita Putri Permata Ningrum. Begitu hampir di depan Pendekar
Hina Kelana Putri Permata Ningrum langsung menghambur kedalam pelukan tangan-
tangan Pendekar perkasa ini.
"Kanda Kelana kau telah berhasil!" ucapnya sambil menjatuhkan ciuman-ciuman
hangat pada wajah si pemuda dari Negeri Bunian itu. Merasa jengah pemuda itu
cepat-cepat menoleh kanan kiri,
tapi dia tak melihat adanya Sena dan Sura di tempat itu.
"Kemana Sena dan Sura?" tanya pemuda itu heran.
"Mereka sudah kusuruh ke Kedatuan Khalayan terlebih dulu!" ujar Putri Permata
Ningrum sambil bergelayut manja pada Buang Sengketa.
"Kalau begitu kita susul mereka!"
Kemudian keduanya nampak menelusuri jalan
raja menuju istana Kedatuan. Tidak henti-hentinya Putri Permata Ningrum memuji
kehebatan pemuda yang telah membuatnya tergila-gila. "Biarlah!" batin Pendekar
Hina Kelana. Toh setelah itu dia harus kembali pada dunianya masing-masing.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Sepasang Garuda Putih 4 Pendekar Kembar Karya Gan K L Pendekar Buta 15
^