Pencarian

Neraka Karang Hantu 1

Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu Bagian 1


NERAKA KARANG HANTU
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Karya : D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 005 :
Neraka Karang Hantu
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Rimba belantara Bukit Manoreh masih berselimut kabut tebal di pagi itu. Hujan deras yang turun sejak dua hari yang
lalu, membuat tanah di sekitar perbukitan menjadi longsor di sana sini.
Tiada terdengar kicauan burung-burung,
tiada pula suara lenguh terompet gajah. Hanya desau angin dan gemuruh suara
hujan yang tiada henti. Udara terasa dingin menggigit, tanah dataran di
sekitarnya semakin lembab. Hutan Rimba Manoreh memang tampak memberi kesan
angker pada siapa pun. Akan tetapi biar pun begitu, agaknya hal itu tidak
berlaku bagi kedua orang ini.
Tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya
mereka terus berlari menuruni lekuk lengkung tanah-tanah berbukit di bawah
pohon-pohon yang telah berumur ratusan tahun
Beberapa saat kemudian tatkala mereka
sampai di sebuah bukit paling tinggi kedua orang ini
hentikan langkahnya.
Sekilas dua orang perempuan berbadan katai ini memandang berkeliling. Suasana sunyi sepi! Sejurus mereka saling berpandangan sesamanya.
Ada rasa saling curiga membayang di wajah kedua orang ini.
Wajah perempuan katai berjubah kulit macan tiba-tiba saja memucat. Kemudian
tanpa basa basi lagi tubuh yang hanya tujuh puluh senti itu melesat ke atas
pohon, kemudian berloncatan bagai seekor tupai dari pohon yang satu ke pohon
yang lainnya. Dalam waktu sekejab mereka sudah berlalu jauh meninggalkan Bukit Manoreh.
Kini sampailah mereka di sebuah dataran
rendah lainnya. Dataran rendah ini banyak di kenal orang sebagai Rawa Kematian.
Tanah yang luasnya ribuan tombak ini sesungguhnya merupakan tanah gambut yang apabila satu
sisinya tersentuh oleh kaki makhluk apapun mengakibatkan timbulnya getaran di
sana sini. Tidak ubahnya sebuah ombak yang saling menyambung tiada henti. Kalau hal itu tentu makhluk buas dan reptil lainnya yang
mendiami dasar rawa-rawa itu sudah dapat di pastikan segera bangkit dan
menyerang makhluk apa saja yang berada di atasnya. Agaknya mereka ini juga tahu
akan bahaya yang mengancam mereka andai
keduanya dengan nekad melakukan penyeberangan, terbukti sejak mereka melompat turun dari sebuah pohon terakhir
orang ini masih saja tercenung di pinggiran rawa-rawa itu.
"Sampai mampus sekalipun kalau kita cuma termenung di sini tak bakal sampai ke
seberang sana Jola...!" rutuk salah seorang dari mereka yang bernama Losi.
Perempuan katai yang satunya nampak terdiam, kedua bola matanya yang besar
sebelah dan membangkitkan rasa ciut bagi lawan-lawannya nampak menatap lurus
ketengah-tengah rawa.
"Lagi pula aku tak percaya kalau rawa-rawa ini dapat membahayakan kita!" sambung
si Katai Losi mencemooh.
"Mulutmu terlalu sombong, Kakang Mbok.
Aku pernah sampai di sini belasan tahun yang lalu.
Saat itu murid-murid dari berbagai perguruan mencoba menyeberangi rawa ini. Akan
tetapi pemandangan
yang terjadi sungguh sangat mengerikan sekali. Ratusan orang lenyap tanpa bekas, mereka terkubur di dalam
rawa penghisap di tengah-tengah sana. Atau mungkin juga jasad mereka terkubur di
dalam perut makhluk penghuni rawa-rawa ini...!" kata si Katai Jola terkenang
masa lalu. Si Katai Losi kerutkan kening,
seingatnya saat itu dia memang belum pernah bertemu dengan saudara kandungnya
Jola. Karena memang dengan tekunnya dia mempelajari ilmu sakti yang diberi nama
Mulih Pati yang terkenal dahsyat. Itulah sebabnya meski pun di dalam perguruan
Sangga Langit, dia merupakan murid paling tua, akan tetapi malang melintang di
rimba persilatan dia tergolong masih miskin pengalaman, walaupun begitu dalam
hal sepak terjangnya menghadapi lawan-lawannya sudah barang tentu Jola masih
jauh di bawah tingkatannya. Apalagi kini dengan ilmu baru yang sangat di
yakininya itu. Mulih Pati! Sebuah ilmu langka yang hampir lima tahun terakhir menggetarkan kaum
persilatan bagian Selatan. Siapa yang tak kenal si Katai Jola dan Losi. Tokoh-
tokoh persilatan sering merasa enggan berurusan dengan mereka ini. Dua orang
dedengkot persilatan golongan setan tak segan-segan membunuh lawan-lawannya
hanya dengan sekedipan mata saja. Tak perduli apakah lawan di pihak yang benar
apalagi di pihak yang salah.
Dengan ilmu Mulih Pati, yang dapat membuat layu pohon kayu sebesar apa pun,
beratus-ratus jiwa
telah melayang di tangannya hanya dengan sekali sentil.
Kalau hari ini kedua perempuan katai ini
sampai di Rawa Kematian yang berada di wilayah Bukit Manoreh. Hal ini adalah
semata-mata hanya demi menemukan kembali Pedang Pusaka Belibis Sakti milik
perguruan mereka yang telah di curi oleh si maling arif yang bernama Bosa. Kini
kembali pada si Katai Jola dan Losi yang sudah mulai mencak-mencak tak sabar
melihat tingkah adiknya yang cuma duduk ongkang-ongkang di pinggiran rawa-rawa
itu, "Jola! Kalau begini terus aku sudah tak kanti lagi. Mestinya kau juga harus
turut memikirkan bagaimana caranya agar kita dapat sampai ke tempat kediaman
maling Bosa...!" bentak Losi kesal.
"Aku harus berbuat apa Kakang Mbok! jalan satu-satunya
yang paling tepat dan tidak membahayakan keselamatan kita hanyalah dengan cara menunggu Si Maling Bosa
keluar dari rumahnya di tengah rawa ini. Atau setidak-tidaknya kita harus mengetahui jalan
rahasia yang sering di lewati maling Bosa setiap harinya...!" Losi agaknya
kurang setuju dengan keputusan yang
diambil oleh adiknya, maka dengan cepat dia menyela:
"Selamanya
aku paling tak menyukai pekerjaan yang bertele-tele. Gagasan yang kau katakan
itu tak lebih merupakan sebuah kepengecutan dari seorang yang berjiwa rendah.
Aku tak menyukainya...!" Si Katai Jola tersenyum getir, dalam hati benar dia
mengakui akan keberanian yang dimiliki oleh kakaknya. Akan tetapi
keberanian yang gegabah tanpa memperhitungkan untung ruginya, biasanya selalu berakibat fatal.
"Kakang Mbok! Berpikir sebelum bertindak hal itu malah lebih baik daripada
sekedar menuruti hawa nafsu...!" Si Katai Losi yang hanya memiliki satu mata ini
nampak menjadi berang, kedua rahangnya terkatup rapat dan menimbulkan suara
bergemeletukan.
"Huh. Aku tak butuh khotbahmu, sekarang engkau mau ikut denganku atau cuma
sekedar ingin menonton dari pinggir rawa-rawa ini?" Si Katai Losi menyela marah.
Agaknya saudara seperguruan yang satu ini termasuk orang yang sangat
sabar melihat kemarahan kakak seperguruannya dia masih bisa bersikap tenang-
tenang saja. Dengan suaranya yang selalu terdengar lirih dia pun berucap:
"Aku tidak mengatakan tidak ikut. Kalau aku berniat demikian tentu sudah sejak
dari perguruan kita hal itu kulakukan. Tapi sebelum aku dan engkau memutuskan
untuk menyeberangi tanah hidup ini, alangkah lebih baik kalau engkau melihat
dulu apakah tempat ini benar-benar berbahaya seperti yang pernah kulihat dulu
atau tidak...!"
Usai berkata begitu, si Katai Jola memungut sebuah batu besar yang terdapat
tidak begitu jauh dari tempat dia duduk. Setelah menimang-nimang batu
ditangannya itu untuk beberapa saat lamanya. Si Katai Jola langsung melemparkan batu tersebut ke arah rawa.
"Buk!"
"Blung!" Air disekitar tanah gambut itu beriak seketika. Tak terlihat reaksi
apapun dari dalamnya. Si Katai Losi hampir saja membuka mulutnya
untuk melabrak adiknya, namun akhirnya urung begitu dia melihat air di dalam rawa bergolak, kemudian
bermunculan makhluk-makhluk
berbisa yang jumlahnya mencapai puluhan ribu ekor. Binatang-binatang itu dengan
ganas menyerang batu yang sudah tenggelam di dasar rawa berkedalaman hampir lima
meter. "Huh! Benar-benar makhluk keparat yang
sangat mejijikan...!" Serunya memandang jijik.
"Nasib kita tidak terbayangkan andai kita nekad melintasi rawa-rawa terkutuk
ini, Kakang Mbok...!" Si Katai Jola menyela. Perempuan yang bernama Losi itu
mengerutkan alisnya yang sudah mulai tampak memutih di sana-sini. Lalu dia
berucap: "Kita harus mencari jalan keluar! Dan andai saja pedang Pusaka Belibis Sakti itu
dapat kurebut kembali dari tangan Maling Bosa, hal itu tidak akan mempengaruhi
maksudku untuk membunuhnya..!"
ucap si Katai Losi sangat geramnya.
"Untuk itulah aku sedang memikirkan jalan keluarnya!"
"Sedari tadi hanya itu saja yang kau katakan, tapi mana hasilnya..."!" Si Katai
Jola usap-usap rambutnya yang tebal namun sudah memutih
keseluruhannya.
Sesungguhnya dia sudah sangat kesal dengan ulah saudara seperguruannya itu, akan tetapi dia tidak punya keberanian untuk membantah
terkecuali mengurut dadanya yang kerempeng.
"Kakang Mbok! Dalam masalah ini kita tak bisa bertindak tergesa-gesa. Maling
Bosa bukanlah orang yang bodoh. Mungkin saja dia sengaja memancing kita untuk
meluruk ke sarangnya.
Kalau kita tak sabar menunggu, bisa mungkin ini merupakan
satu kesempatan baginya untuk memusnahkan kita tanpa ambil resiko apa pun...!"
jelas si Katai Jola secara panjang lebar. Si Katai Losi terdiam untuk beberapa
saat lamanya, kemudian dengan suara lirih dia menyahut:
"Kau benar juga! Kalau begitu mari kita cari jalan lainnya, Maling Bosa sudah
pasti memiliki jalan rahasia untuk sampai ke rumahnya di tengah rawa-rawa
itu...."

Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu mari kita mulai!" Si Katai Jola menyahuti. Selang beberapa saat
kemudian kedua perempuan katai
itu telah berkelebat
pergi mengelilingi pinggiran Rawa Kematian.
* * * 2 Maling Bosa atau yang lebih dikenal dengan julukan si Maling Arif Bosa, siang
itu nampak sedang asyik menikmati sebumbung tuak di salah satu kedai makanan
yang terletak di sebuah desa yang bernama Hutan Panjang. Sementara itu di kanan
kirinya duduk pula beberapa orang laki-laki berpakaian gembel. Mereka ini
sesungguhnya Ketua Pengemis Partai Tenggara, yang juga merupakan sahabat Maling
Bosa selama hampir belasan tahun terakhir. Belakangan ini ketiga orang
itu memang kerap kali mengadakan pertemuan, terlebih-lebih dengan semakin banyaknya tuduhan dari berbagai partai persilatan berkenaan dengan hilangnya
senjata pusaka milik perguruan mereka.
Karena rata-rata, ketua dari berbagai perguruan yang merasa kehilangan lebih cenderung menuduh bahwa Maling Bosalah yang telah menjadi biang keladi dalam
berbagai aksi pencurian itu. Sudah barang tentu Arya Pasangran yaitu ketua
Pengemis Partai Tenggara tidak ingin
membiarkan sahabat karibnya mengalami berbagai kesulitan. Arya Pasangran
menyadari meski pun sahabatnya si Maling Bosa, sesuai julukannya memang benar
merupakan seorang pencuri ulung.
Akan tetapi ruang lingkup kegiatannya hanya berkisar mencuri harta benda para
saudagar kaya yang teramat pelit dan tidak mau ambil peduli dengan penderitaan
rakyat kecil. Lebih dari itu, sebagaimana
kebiasaannya setiap hasil pencuriannya selalu di bagi-bagikan pada kaum rakyat jelata. Itulah sebabnya
mengapa kaum persilatan memberi julukan si Maling Arif Bosa.
Kalau kini hampir semua ketua berbagai
perguruan mengacungkan terunjuk dan menuduh Maling Bosa lah yang telah melakukan
berbagai aksi pencurian senjata perguruan, sebagai sahabat terdekat tentu Arya
Pasangran akan membelanya mati-matian. Demikianlah sambil menikmati tuak yang
enak dan wangi mereka terus bercakap-cakap.
"Kakang Bosa! Hari-hari terakhir ini berbagai partai perguruan nampaknya
cenderung menuduh bahwa engkaulah yang telah mencuri pusaka perguruan mereka.
Meski pun aku percaya bahwa hal itu bukan merupakan pekerjaanmu! Akan
tetapi bagaimana mungkin mereka bisa percaya?"
Kata ketua pengemis partai
Tenggara coba menasihati. Si Maling Bosa yang berbadan gemuk dan berkumis tebal itu, tampak
mengerutkan alisnya. Dalam hati dia tak habis bertanya-tanya, mengapa justru
lenyapnya senjata-senjata pusaka milik berbagai perguruan di kaitkan dengan
dirinya. Padahal selama ini belum pernah sekali pun mencuri pusaka lambang
kebesaran perguruan manapun. Kalau mencuri harta benda milik para saudagar pelit
memang iya! Akan tetapi hasilnya bukanlah untuk dirinya, harta curian itu selalu
dia bagikan pada rakyat yang benar-benar tidak mampu. Jika sekarang ini tokoh-
tokoh persilatan menuduh bahkan mencari dirinya untuk di bunuh dengan dasar
alasan hilangnya pusaka-pusaka yang bagi dirinya sendiri tak ada guna. Hal ini
benar-benar sangat keterlaluan sekali! Dia harus menerangkan duduk persoalan
yang sebenarnya, bahkan kalau perlu dia pun akan turun tangan mencari siapa
sebenarnya yang telah melakukan pencurian pusaka-pusaka tersebut!
"Maksudmu aku harus mengakui semua
tuduhan mereka walau yang sesungguhnya aku tidak tahu menahu dengan berbagai
pusaka yang tiada guna itu...?" Si Maling Bosa menyela setelah beberapa
saat lamanya terdiam dalam lamunannya. Arya Pasangran gelengkan kepala, kemudian
dengan sangat berhati-hati dia bergumam. "Maaf Kang! Jangan salah sangka. Bagiku apa pun, yang akan terjadi Perkumpulan
Kaum Partai Pengemis Tenggara,
tetap berada di pihakmu!" Kata Arya Pesangran. Kemudian dengan lebih berhati-hati lagi dia
menyambung: "Tapi menurut pendapatku, alangkah lebih baik lagi jika Kakang tidak terlalu
sering muncul di dunia ramai sehingga perse-lisihan paham dapat di hindari...!"
Menden-gar ucapan Arya Pasangran memerah lah wajah si Maling Bosa, di tatapnya
wajah Ketua Perkumpulan Partai Pengemis Tenggara lekat-lekat. Seolah dia tak percaya dengan apa yang baru saja di
dengarnya. "Maksudmu aku haru menetap di Rawa
Kematian" Huh! Sekali pun nyawaku harus
melayang, aku tak akan bertindak sepengecut itu...!" dengus si Maling Bosa
dengan mata melotot. Mengetahui sahabat karibnya nampak sangat
tersinggung karena
salah pengertian,
cepat-cepat Arya Pasangran meralat ucapannya:
"Ee... maksudku begini Kakang! Semua itu demi menjaga nama baik Kakang Bosa
sendiri...!"
Belum lagi Arya Pasangran usai dengan kata-katanya, tiba-tiba Maling Bosa
tergelak-gelak, matanya yang memang sipit itu bertambah
menyipit. "Adi Pasangran! Nama baik apakah yang kau maksud, bukankah aku sendiri seorang
maling" Kalau sudah maling, mana ada yang baik!" Si Maling Bosa mencela.
"Kakang tak mengerti maksudku...!" "Tak usah kau jelaskan aku pun sudah tahu
Arya Pasangran! Kau fikirlah sendiri. Kalau aku menuruti nasehatmu,
pandangan tengik-tengik yang kehilangan pusaka itu sudah barang tentu menjadi lain.
Berarti mereka mengganggap bahwa sangkaan mereka itu benar adanya, aku ngumpet mereka lantas menuduhku bahwa
memang aku malingnya...!"
"Jadi apa rencana Kakang selanjutnya...?"
tanya Arya Pasangran mengalah. Si Maling Bosa terdiam untuk beberapa saat
lamanya, dielusnya kumis tebal yang tak pernah terawat itu berulang-ulang,
kemudian: "Cgluuk... cgluuk... cgluu...!" Dengan tiga kali teguk tuak di dalam bumbung
bambu yang tinggal setengah itu pun tuntas. Kedua bola mata Maling Bosa kini
sudah semakin bertambah merah.
Akan tetapi meski pun dia sudah menghabiskan lebih dari em pat bumbung tuak,
tapi masih belum ada tanda-tanda dirinya mulai mabuk.
"Untuk diriku sendiri aku telah memikirkan jalan yang terbaik...!" kata si
Maling Bosa penuh keyakinan.
"Maksudmu...?"
tanya Arya Pasangran penuh keingin tahuan.
"Aku akan menjumpai mereka-mereka yang kehilangan pusakanya, kemudian aku
jelaskan duduk persoalan yang sebenarnya...!" Ketua Partai Pengemis Tenggara itu
menyadari tak akan ada gunanya menasihati si Maling Bosa yang keras kepala.
Untuk menghindari suasana yang tidak enak, akhirnya dia cuma mampu geleng-geleng
kepala. Sementara itu tanpa mereka sadari sudah
sejak tadi ada orang lain yang juga berada di kedai itu ikut mendengarkan
pembicaraan mereka.
Mengetahui semuanya sudah jelas, kini orang itu dengan
langkah mantap nampak berjalan menghampiri si Maling Bosa dan dua kawannya dari partai pengemis. Begitu sampai
di depan ketiga
orang ini, langsung saja si gadis membentak: "Pencuri Bosa berlumur dosa! Didunia ini mana ada seorang maling yang mau
mengakui perbuatannya. Baru saja engkau tadi malam menyantroni Perguruan Nganti
Mulih dan mencuri Pusaka Keris Kencana, masihkah engkau mau mungkir...!" Gadis
itu menyela dengan sikap menuduh! Bagai disengat kala jengking, bukan main
terperanjatnya si Maling Bosa dan dua orang Ketua Partai Pengemis Tenggara ini.
Meski pun dia seorang pencuri yang sangat lihai, namun di tuduh sedemikian rupa
oleh seorang gadis yahg masih sangat muda belia. Di samping tuduhan itu pun
tidak beralas-an, maka marahlah si Maling Bosa.
"Bocah! Melihat tampang dan nama perguruanmu saja baru kali ini, datang-datang kau menuduhku dengan kata-kata
yang tak patut oleh seorang gadis secantik engkau...!" kata si Maling Bosa
berusaha meredam kemarahannya. Sebaliknya si gadis malah bertolak pinggang.
"Maling celaka masih juga kau mungkir! aku tak butuh sanjungan dari mulutmu yang
busuk itu. Sekarang kembalikan Keris Pusaka milik perguruan kami setelah itu kau potonglah
sebelah tanganmu, mudah-mudahan aku tidak akan memperpanjang persoalan ini...!"
Wajah Maling Bosa berubah kelam membesi, kemarahannya memang sudah
sampai pada puncaknya. Biar pun dia seorang pencuri
ulung, baginya lebih baik diberaki wajahnya dari pada dimaki sedemikian rupa oleh seorang gadis yang masih ingusan.
"Bocah! Lancang sekali mulutmu! Tidakkah kau dengar tadi bahwa aku sendiri
merasa di fitnah dengan hilangnya berbagai pusaka dari perguruan Setan Belang?"
Bentak si Maling Bosa saking kesalnya.
"Maling terkutuk! Agaknya aku harus memaksamu baru kemudian engkau mau mengakui semua perbuatan busukmu...!" Tukas si gadis kesal, dan tak begitu lama
kemudian dia sudah melolos sebilah pedang yang sangat tajam.
Arya Pasangran yang sejak tadi diam saja, kini demi mengetahui gelagat yang
kurang baik langsung saja beranjak dari tempatnya, kemudian langsung melangkah ke hadapan si
gadis. Setelah menjura hormat dia langsung bertanya:
"Nona! Siapakah gerangan nona ini, datang-datang langsung marah-marah begini.
Bukankah anda sebaiknya bertanya dulu dan menjelaskan persoalan yang
sebenarnya...!" ucapnya dengan nada kurang senang!
Si gadis sejenak memandang sinis pada
Ketua Perkumpulan Pengemis Tenggara. Begitu mengetahui siapa adanya orang yang
sedang dihadapinya, gadis berpakaian kuning gading itu pun tersenyum mencemooh.
"Huh! Engkau rupanya Ketua Perkumpulan Gembel dari Tenggara! Minggir! Engkau tak
perlu ikut campur...!"
Dengus si gadis sambil memandang remeh. Arya Pasangran seorang laki-laki setengah baya yang terkenal
sangat penyabar walaupun begitu di rendahkan oleh seorang gadis yang agaknya
memang sedikit sinting sampai saat itu masih dapat menahan kesabarannya. Dengan
suara masih merendah dia kembali bertanya:
"Nona, jelaskan dulu siapa dirimu kemudian kita bisa bersama-sama mencari siapa
sebenarnya yang
telah mencuri senjata pusaka milik perguruanmu itu...!"
"Bangsat! Pencurinya saja sudah jelas-jelas berada di pelupuk mata, masih juga


Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau berpura-pura...?"
"Bocah semakin kurang ajar saja mulutmu, gurumu Palingga saja masih menaruh
hormat padaku, engkau sebagai muridnya tidak punya peradatan! Sangat disayangkan
Perguruan Nganti Mulih yang terkenal itu mempunyai seorang murid berpandangan
sepicik engkau...!" Si gadis yang sesungguhnya bernama Dewi Sekar Tanjung ini
beberapa saat lamanya sempat di buat terperangah, dia tak pernah menyangka kalau Ketua Perkumpulan Partai Pengemis
Tenggara mengenal nama gurunya. Meskipun begitu, si gadis yang memang keras
kepala itu mana mau mengalah begitu saja. Meskipun pada akhirnya dia tahu bahwa
Ketua Pengemis Partai Tenggara ini sesungguhnya merupakan sahabat baik gurunya
sendiri. "Ketua Partai Pengemis Tenggara!" Kata Dewi Sekar Tanjung dengan sedikit lirih.
Arya Pasangran gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Tidak cah ayu! Sebagaimana hubunganku dengan Palingga gurumu, dengan saudara
Bosa aku pun bersahabat sudah sangat lama, aku dapat
memastikan bahwa Kakang Bosa tak mungkin mau mencuri pusaka milik perguruan
Nganti Mulih, sebab Kakang Bosa masih bersahabat dengan gurumu!" Ujar Arya
Pasangran menjelaskan.
* * * 3 Demi mendengar keputusan Arya Pasangran, semakin bertambah gusarlah Dewi Sekar Tanjung di buatnya.
"Hmmm... Kalau engkau memang berniat melindungi
maling terkutuk itu jangan kau salahkan aku! Hari ini juga segala pengemis hina akan kuenyahkan dari permukaan
bumi ini, Sheaat...!" Dengan pedang terhunus Dewi Sekar Tanjung langsung menerjang .Arya
Pasangran dan seorang kawannya. Pedang di tangan murid
perguruan Nganti Mulih itu menderu dan berkelebat-kelebat menyambar ke berbagai arah dari pertahanan yang rawan.
Ruangan di dalam kedai tuak itu sebentar saja menjadi berantakan.
Sementara itu mengetahui Arya Pasangran dan kawannya sudah turun tangan, sudah
barang tentu si
Maling Bosa yang sesungguhnya masih merupakan tokoh persilatan golongan putih tidak mau main keroyokan. Apalagi
lawan yang mereka hadapi itu sesungguhnya masih merupakan anak murid sahabatnya
sendiri. Pertarungan sengit itu pun dalam waktu
Sekejab telah mencapai belasan jurus. Arya Pasangran dan kawannya Luki Denta
dalam menghadapi serangan si gadis kini telah mempergunakan jurus Pengemis Meminta Sedekah. Akan tetapi jurus-jurus pedang yang di mainkan
si gadis bukanlah jurus-jurus sembarangan. Bidadari Menyergap Pengintip itu adalah sebuah jurus pedang yahg
intinya saja terdiri dari sembilan bagian. Jurus ini dulu pernah menggegerkan
dunia persilatan ketika pada jaman jayanya Palingga, yaitu ketua perguruan
Nganti Mulih yang sekarang. Kini meski pun sepuluh jurus inti "Bidadari
Menyergap Pengintip" dimainkan oleh seorang gadis yang terhitung masih sangat
muda, akan tetapi Arya Pasangran dan Luki Denta tidak dapat memandang remeh,
terlebih Dewi Sekar Tanjung memiliki kesempurnaan dalam hal ilmu mengentengi
tubuh. Sudah barang tentu Arya Pasangran dan Luki Denta yang bertahan dengan
tangan kosong mulai dibuat kewalahan.
Beberapa jurus di muka Arya Pasangran dan Luki Denta mulai jatuh di bawah angin.
Dewi Sekar Tanjung
agaknya sudah tidak memberi kesempatan lagi pada ketua pertai pengemis ini,
sambil mengirimkan satu tusukan ganas dia berteriak lantang:
"Ketua Partai Pengemis Tenggara, cabutlah senjata kalian! Kalau tidak kalian
berdua akan menyesal seumur-umur!"
"Kami tidak mempunyai permusuhan! Untuk itu kedua tangan kami ini pun sudah
dapat kami pergunakan
sebagai senjata...!"
tukas Arya Pasangran coba berkelit dari tusukan pedang lawannya. Tubuh Arya Pasangran
melesat ke udara, sementara itu dengan senjatanya berupa sebuah toya, Luki Denta
mencoba memapaki
serangan pedang lawannya. Dengan gerakan
memutar Kendi Membalikkan Isi. Toya di tangan Luki Denta menderu dan menimbulkan
suara bercuit-an. Senjata di tangannya terus berputar ber-ubah laksana puluhan baling-
baling. Tatkala pada satu saat, kedua orang itu sudah tidak mungkin lagi dapat
menahan senjata masing-masing yang terus meluruk sementara yang
lainnya terus berputar.
"Crak!"
"Trang! Trang!"
Percikan bunga api berpijar, Luki Denta
terpelanting bebarapa
tombak dengan tubuh menabrak segala perabotan kedai yang ada di sekitarnya. Secepat dia tercengkang
maka secepat itu pula dia bangkit kembali. Sementara itu Dewi Sekar Tanjung yang
cuma tergetar beberapa saat dengan tangan bagai kesemutan segera memapaki
serangan tangan kosong yang dilancarkan oleh Arya Pasangran.
Ketika Arya Pasangran bermaksud lancarkan satu totokan pada bagian leher Dewi
Sekar Tanjung, gadis itu nampak tergagap, dia mencoba untuk mengkelit serangan
tersebut. Akan tetapi jemari tangan Arya Pasangran bagai bermata saja terus
memburunya. Dalam keadaan terjepit seperti itu, Dewi Sekar Tanjung kiblatkan
pedangnya. Arya Pasangran yang sudah hampir berhasil dengan usahanya sempat
menarik kembali tangannya. Dia nampak gugup, akan tetapi semuanya sudah
terlambat. "Crees!" Ketua perkumpulan Partai Pengemis Tenggara itu menjerit tertahan,
jemari tangannya berjatuhan. bagai ranting-ranting kering ke segala arah. Dengan
cepat dia totok jalan darah.
Sementara itu Luki Denta begitu melihat ketuanya kena di kerjain oleh gadis dari
perguruan Nganti Mulih, Dengan kemarahan yang meluap-luap dia
bermaksud menyerang Dewi
Sekar Tanjung. Mendadak terdengar suara bentakan.
"Mundur kalian semuanya!"
Bersamaan dengan suaranya, hanya dengan sekali lompat, Maling Bosa yang sejak tadi hanya
memperhatikan pertarungan itu kini benar-sudah berhadapan dengan Dewi Sekar
Tanjung. Untuk sesaat lamanya Maling Bosa
memperhatikan gadis itu.
Dihatinya ada perasaan sesal yang terasa menghimpit, Dia menyayangkan mengapa Palingga yaitu Ketua
Perguruan Nganti Mulih secara serampangan saja
mengutus muridnya
yang tampak kurang dewasa dalam bertindak. Kalau saja dia tak memandang muka pada
Palingga sahabatnya itu. Sudah pasti dia tidak akan bertindak setengah-setengah
untuk menurunkan tangan jahat. Berfikir sampai kesitu, si Maling Bosa diam-diam
menarik nafasnya yang terasa semakin menyesak.
"Bocah! Sungguh keterlaluan sekali kau dalam bertindak! Dia sama sekali tidak
punya urusan denganmu. Tapi kau malah bertindak telenggas...!" kata si Maling
Bosa dengan nada suaranya tertahan. Memerahlah paras gadis itu, kedua bola
matanya mendelik dan memandang
penuh kebencian pada Maling Bosa. Kemudian dengan bentakan tinggi melengking dia
berkata: "Maling Bosa pengecut-pengecut! Sedari tadi kau hanya nonton kawan-kawanmu. Kini
engkau malah menuduhku bertindak telenggas, siapa suruh dia mencampuri
urusanku?" Kata Gadis berkulit putih itu dengan sesungging senyum mengejek.
Dengan tiada peduli, lagi-lagi dengan sikap sabar si Maling Bosa menyela.
"Kawanku itu hanya ingin kau mengerti tentang persoalan yang sebenarnya! Lagi
pula kalau engkau menuduhku bahwa aku yang telah mencuri keris pusaka kebesaran
perguruan, hal itu tak beralasan sama sekali...!" Dewi Sekar Tanjung nampak
mendengus begitu mendengar pengakuan si Maling Bosa.
"Mengapa harus dia, bukan engkau saja sekalian yang maju...!" bentak
Dewi Sekar Tanjung semakin bertambah marah.
"Aku tak punya kesalahan dengan perguruan Nganti Mulih! Untuk apa aku melayani
bocah tengik sepertimu...?" kata si Maling Bosa mulai tak dapat menahan
kesabarannya. "Jahanam! Maling busuk, masih juga kau tidak mau mengakui perbuatanmu...!" Kini
Dewi Sekar Tanjung kembali menghunus pedangnya. Si Maling
Bosa nampak tersenyum sinis. Sesungguhnya dalam gertakan pendahuluan dia memang sudah tahu kalau ilmu pedang
si gadis bengal itu tidak dapat dibuat sembarangan, akan tetapi Maling Bosa
bukanlah seorang tokoh yang bisa di pandang enteng. Kepandaian silatnya sudah
jelas di atas ketua perkumpulan partai Tenggara.
Atau mungkin juga setarap dengan kepandaian yang dimiliki oleh Palingga, guru si
gadis urakan itu.
"Sudah kubilang, aku tak tahu menahu akan hilangnya
berbagai pusaka milik banyak perguruan. lagipula aku tak membutuhkan segala jenis harta kebesaran seperti
yang diributkan tikus-tikus comberan...!" bentak Maling Bosa saking kesalnya.
"Kalau begitu mampuslah kau...!"
"Hiaaa...! Ciaaat...!" Dengan pedangnya Dewi Sekar Tanjung melabrak si Maling
Bosa, segera saja maling berewokan ini pun berjumplitan menjauh, beberapa saat
kemudian tubuhnya tanpa menimbulkan suara sudah nampak berdiri di luar halaman
kedai itu. Dewi Sekar Tanjung mengira si
Maling Bosa hendak kabur, maka dengan cepat dia pun memburu lawannya.
"Maling keparat, jangan coba-coba mengelabuhi aku...!" Bentak si gadis dengan kemarahan yang meluap-luap. Melihat
kenekatan Dewi Sekar Tanjung semakin bertambah gusarlah laki-laki berewokan ini
dibuatnya. "Budak sialan! Mengadulah pada gurumu!
Kalau kau tidak segera pergi dari hadapanku. Aku pasti
akan memenjarakanmu di Rawa Kematian...!"
ancam si Maling Bosa hilang kesabarannya. "Kentut busuk! Kau penjara di neraka sekalipun siapa takut?" Dewi Sekar Tanjung
menggerendek. Sebentar kemudian dia telah melakukan serangan-serangan gencar
kembali. Pedang ditangannya bergerak sebat, dengan ilmu mengentengi tubuh yang sudah
mencapai tarap sempurna, tubuhnya berkelebat dengan cepatnya.
Meskipun begitu, Maling Bosa adalah seorang tokoh persilatan yang sudah kenyang
makan asam garam dunia persilatan. Apalagi sebelum dulu mereka
mengikat tali persahabatan dengan Palingga, dia pernah bentrok dengan laki-laki yang merupakan guru si gadis.
Sedikit banyaknya tentu
dia sudah dapat membaca permainan pedang
lawannya. Meskipun tusukan dan sabetan pedang di tangan lawan terkenal cepat dan
ganas, akan tetapi si Maling Bosa dengan begitu mudahnya dapat mengelakkan
setiap serangan. Menghadapi kenyataan itu mendidihlah darah si gadis. Kini dia
semakin meningkatkan permainan pedangnya.


Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhnya berkelebat laksana kilat, dalam waktu sekejap si Maling Bosa sudah
terkurung rapat.
Agaknya si gadis yang sangat menggiurkan itu telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Sejauh itu si Maling Bosa dengan masih mempergunaan jurus Maling Menidurkan Majikan nampak berkelit kian kemari. Hingga
sampai pada puncaknya, laki-laki itu balik lancarkan serangan.
Dengan mempergunakan ilmu totokan si Jari Maut dia bermaksud segera merobohkan
si gadis tanpa melukai
tubuhnya. Sekali lagi tubuhnya berkelebat-kelebat, secepat kilat dengan satu sentilan yang sangat pelan saja.
"Tess!"
"Blugk!" Dewi Sekar Tanjung yang mempunya wajah dan bentuk tubuh yang sangat
menggiurkan memperdengarkan suara mengeluh untuk kemudian jatuh terguling-gu-
ling tanpa daya. Si Maling Bosa tersenyum mengejek, tak berapa
lama kemudian dia menoleh pada sahabatnya. "Adi Arya Pasangran dan adi Luki Denta!
Sesuai dengan janjiku, aku akan memenjarakan gadis bengal ini di Rawa
Kematian...!" Mendengar ucapan si Maling Bosa, pucatlah wajah Dewi Sekar Tanjung
bagaikan kapas. Dalam keadaan tertotok seperti itu sudah jelas dia tak mampu
berbuat banyak. Jangankan untuk bergerak, menjerit pun dia sudah tak mampu,
Maling Bosa pun kiranya telah menotok jalan darahnya pula. Meskipun dia
merupakan seorang gadis pemberani, tak urung tubuhnya menggigil juga
membayangkan apa yang akan menimpa dirinya di Rawa Kematian nanti.
Belum lagi pupus bayangan kengerian
dari benaknya tiba-tiba si Maling Bosa sudah menyambar tubuh tanpa daya itu untuk kemudian segera berkelebat pergi.
Sepeninggalnya Maling Bosa, Arya Pasangran dan Luki Denta nampak saling pandang.
Beberapa saat berikutnya kedua orang itu pun melangkah pergi meninggalkan warung
tuak yang porak peranda.
4 Dengan tubuh basah kuyup pemuda itu kini
kembali mengenakan pakaiannya yang dia tinggalkan di tepi pantai utara selama hampir lebih dua
belas jam. Usai berpakaian pemuda berpakaian merah dengan rambutnya yang dikuncir sebatas bahu itu segera menyambar sebuah periuk besar yang selalu dia
bawa kemana pun dia pergi. Tak lama kemudian dari dalamnya dia sudah keluarkan
beberapa potong dendeng ikan lumba-lumba. Secara perlahan namun rakus, potongan
demi potongan dendeng ikan itu pun lenyap tak tersisa. Kini kedua bola matanya
memandang ke laut lepas, dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba dia teringat akan gurunya si Bangkotan Koreng Seribu yang sudah sekian lama di tinggalkannya. Udara laut yang
terasa menusuk dan selalu berherumbus keras, membangkitkan kenangannya pada
saat-saat latihan dulu, di Pantai Karang Tanjung Api. Dia berfikir! Andai saja
hidup bisa terulang, dan jika boleh memilih. Sudah barang pasti dia tidak akan
meninggalkan tempat
kediaman gurunya di Pantai Karang Tanjung Api, yang kini telah berjarak lebih
dari delapan ratus purnama perjalanan. Di sana akan merawat guru yang sekaligus
merupakan orang tua angkatnya, hingga orang tua yang sangat sakti itu menutup
mata. Hatinya semakin kecewa, terlebih-lebih dalam usaha mencari orang tua kandungnya, yaitu si Piton Utara hingga detik itu
belum juga membuahkan hasil. Bahkan sejak tadi pagi dia sudah menyelam sampai ke
dasar laut demi
menemukan letak tapa ayahandanya si Raja
Negeri Bunian yang berwujud seekor Ular Piton raksasa. Akan tetapi selama hampir
dua belas jam dia hilang timbul di bawah permukaan air, bahkan sampai ke relung
yang paling dalam dan gelap di dasar sana, sejauh itu masih belum ada tanda-
tanda di mana ayahandanya berada. Si pemuda yang
sesungguhnya pendekar Hina Kelana, nampak tepuk-tapuk jidatnya yang terasa berat.
Tiba-tiba saja dia bergumam:
"Mungkin ini sudah merupakan suratan nasibku! Di lahirkan membawa mati emak,
bapak demi menebus kesalahannya malah bertapa dan mengasingkan diri di dasar
laut. Ayahanda seorang
raja, akan tetapi raja yang berbuntut dan bersisik.
Laut luas, sungai panjang. Di laut yang mana aku harus
mencari seekor ular raksasa yang sesungguhnya merupakan ayahanda kandungku.
Di dasar sana tadi aku jumpa banyak ular, ular kecil, bersisik kecil. Mana
mungkin ayahanda sebesar itu!" Pendekar Hina Kelana mengomel seorang diri bagai
seorang tolol yang sedang menghitung laba rugi. Lagi-lagi dia tepuk-tepuk
keningnya.. "Mengapa akau harus secengeng ini! Si Bangkotan Koreng Seribu pasti akan marah
bila melihat muridnya mempunyai hati lemah seperti aku. Dasar nasib apek bau
terasi...!" Selesai dengan sumpah serapah. Buang Sengketa segera menyambar
periuknya. Dengan sekali genjot lenyaplah tubuh pemuda berwajah sangat tampan
itu ditelan kegelapan senja yang sudah merembang malam. Dan apabila malam telah
datang, maka pemuda itu pun melewatkan
kesunyian malam di sembarang tempat. Terkadang bila dia mau maka dia pun tidur di cabang-cabang pohon, di tengah
belukar di ladang, atau pun di gubuk reot yang sudah ditinggalkan oleh
pemiliknya. Ketika keesokan paginya Pendekar dari
Negeri Bunian itu kembali melanjutkan perjalanannya. Suasana pagi yang cerah, burung-burung bernyanyi di ranting nan
hijau. Udara yang bertiup sepoi-sepoi sesekali menyibakkan anak rambutnya yang
dibiarkan memanjang sampai sebatas alis matanya. Langkah pemuda itu kini sudah
semakin bertambah menjauh, hingga pada suatu tempat yang agak berbukit pemuda
itu mendadak hentikan langkahnya. Bahkan kini dia berusaha bersembunyi pada
rumpun semak-semak yang terdapat tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri. Dan
kini melalui celah-celah dedaunan dengan pandangan curiga di perhatikannya sosok
tubuh yang semakin lama semakin mendekat. Tak lama
setelah orang itu mendekat maka terkesiaplah darah Pendekar Hina Keiana. Kini jarak mereka hanya sepulu tombak,
dengan jeias dia melihat seorang laki-laki berusia berkisar empat puluh tahun
nampak sedang memondong satu buntalan besar di bagian punggungnya.
Buang Sengketa menduga bahwa mungkin saja orang yang kini nampak sedang duduk
berleha-leha itu merupakan seorang pedagang berbagai peralatan
dapur, dan sedang melakukan perjalanan yang sangat jauh. Akan tetapi naluri hewannya mengatakan, tidak
mungkin laki-laki itu memperjual belikan pisau dapur atau pun golok penjagal
babi. Sebab melihat rupa dagang di antara barang-barang yang tersembul itu,
sudah jelas merupakan jenis pusaka
yang sangat berharga, tidak mungkin barang-barang itu diperjual belikan.
Kini pendekar Hina Kelana lebih terkesiap lagi begitu secara sekilas dia sempat
melihat rupa dari laki-laki itu. Sosok wajah yang sangat mengerikan, dengan
bekas-bekas luka yang masih belum kering secara keseluruhan. Agaknya wajah orang
itu, bekas di cakar-cakar makhluk yang sangat buas, atau mungkin pula bekas
terhempas dari atas sebuah jurang yang mengerikan. Wajah laki-laki
itu benar-benar sangat rusak dan menjijikkan. Bahkan terlalu buruk dari makhluk apapun. Apakah yang telah terjadi
pada laki-laki bertampang sadis dan sangat rusak itu" Buang Sengketa bertanya-
tanya, dan tanpa dia sadari bulu kuduknya merinding. Sesaat kemudian dia sudah
bermaksud meninggalkan tempat itu ketika secara tiba-tiba laki-laki berwajah
rusak itu tertawa tergelak-gelak bagai orang yang sedang
kesurupan. Terkesiaplah darah Pendekar Hina Kelana begitu menyadari bahwa suara
tawa laki-laki itu sesungguhnya mengandung tenaga dalam yang sangat sempurna.
Dari niatnya untuk berlalu meninggalkan tempat itu, kini Buang Sengketa malah
bermaksud ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang laki-laki itu. Dengan
sangat hati-hati dia
mulai mengendap-endap
menghampiri sebatang pohon yang hanya berjarak satu tombak dari
tempatnya semula. Semakin bertambah
jelaslah wajah dari laki-laki itu, sebentar kemudian angin Barat Daya berhembus
kencang, segera bau yang tak sedap terasa menusuk hidung si pemuda mendadak
perutnya terasa bagai di aduk-aduk, mual dan ingin muntah. Buang Sengketa
berusaha agar jangan sampai semua isi perutnya ke luar.
Sebab andai saja hal itu sampai terjadi, sudah barang tentu perbuatannya yang
kurang terpuji itu sudah jelas segera di ketahui oleh laki-laki yang kini masih
terus tertawa-tawa bagai orang gila.
Tak lama kemudian laki-laki berwajah buruk itu hentikan tawanya, rupanya yang
dipenuhi dengan goresan-goresan luka yang mengerikan nampak tertunduk, mendadak
dia menangis menggerung bagai seorang bocah ditinggal mati emak dan
bapaknya. Suara tangis itu terasa demikian sedih dan menyayat, bahkan kini dia
sudah ngedeprok di atas tanah yang lembab. Kaki berkelojotan, tangan memukul-
mukul bagian dadanya, semakin lama suara tangisnya semakin menjadi-jadi. Mungkin
saja laki-laki itu sedang mengalami guncangan batin yang hebat, atau pula dia
orang yang kurang waras. Demikianlah Buang Sengketa mereka-reka.
Hanya beberapa saat sesudahnya, laki-laki buruk rupa itu pun hentikan tangisnya.
Seketika pandangan matanya berubah nanar dan buas, dia langsung berdiri.
Kemudian dengan suaranya yang berat dan parau dia berteriak seorang diri.
"Kenapa nasib yang tidak pernah berpihak! Engkau telah mencampakkan aku pada
jurang yang paling menyakitkan. Lorong-lorong nista dan terkutuk yang pernah
digali oleh ayah kandungku sendiri, mengapa
aku yang harus terperangkap di dalamnya" Puih! Aku tak terima, aku telah berkorban untuk seluruh hidup ku
karena luka yang terkutuk ini. Kini aku sudah bertindak, setiap perguruan pasti
akan saling bunuh,
karena kehilangan pusaka! Celakalah bagimu hai Maling Bosa. Celaka... karena kau tidak
tahu akal muslihatku...!" Usai berkata begitu, laki-laki buruk
rupa itu meraba bungkusan yang menggelantung di punggungnya.
"Ha... ha... ha...! Hu... hu... hu...!" Laki-laki berwajah


Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buruk itu kembali tergelak-gelak!
Wajahnya membiaskan kelicikan jiwanya.
"Dengan senjata pusaka kebesaran dari berbagai perguruan di tanganku ini secara
tidak langsung aku telah merajai dunia persilatan dari berbagai
golongan. Tidak percuma... tidak percuma!" Dengus Nyaur Pati dengan kesombongan yang sangat
berlebihan. Demi mendengar ucapan laki-laki yang berjuluk Nyaur Pati itu, mendidihlah darah
Pendekar Hina Kelana ini. Secara tidak langsung dia sudah mengadu domba satu
perguruan dengan perguruan lain.
Bahkan dengan tindakannya itu, dunia persilatan akan saling curiga mencurigai,
bahkan akan bertarung
sesamanya. Hal itu akan sangat mengerikan sekali akibatnya. Akan bagaimana jadinya dengan nasib si Maling Bosa
seperti yang disebut-sebut oleh Nyaur Pati si buruk rupa itu"
Kalau tidak di cegah tentu Maling Bosa yang belum di kenal oleh Buang Sengketa
akan mengalami nasib yang sangat menyedihkan. Semula dia menyangka kalau laki-
laki buruk rupa itu adalah
pedagang pisau dapur atau golok jagal babi. Tak dinyata kiranya seorang keluarga
iblis yang kesasar di daerah itu. Pendekar Hina Kelana nampak gusar sekali.
Kedua bibirnya terkatup rapat, rahang bergemeletukan menahan marah.
Akhirnya tanpa dapat di cegah lagi tubuhnya berkelebat seringan kapas. Tahu-tahu
dia sudah berdiri dihadapan si Buruk Rupa.
Laki-laki berwajah buruk itu sangat terkejut sekali, begitu melihat kehadiran
Pendekar Hina Kelana yang tidak disangka-sangka. Meskipun Nyaur Pati menyadari
kalau pemuda yang kini berdiri di hadapannya itu sedikit banyaknya tentu
berkepandaian, akan tetapi dengan gusar dia membentak:
"Hem! Rupanya ada juga anjing geladak berkeliaran di tempat yang sesunyi
ini...?" ucapnya dingin. Tanpa menjawab Buang Sengketa menatap tajam pada sosok
wajah yang menjijikkan dan mengeluarkan bau yang sangat busuk.
"Bocah pentil! Tahukah engkau bahwa siapa pun yang pernah bertemu dengan si
Nyaur Pati, jiwanya tak akan terampuni lagi!" Kata laki-laki berwajah
sangat buruk itu mengancam. Mendengar ancaman itu Pendekar Hina Kelana
leletkan lidah, lalu garuk-garuk pantatnya yang tidak gatal. Dengan cengegesan
dia menjawab: "Tahuku, namamu Nyaur Utang! Hutang-
hutangmu akan semakin bertumpuk kalau tidak engkau bayar dari saat sekarang...!"
kata Buang Sengketa mencemooh. Wajah Nyaur Pati nampak menegang begitu mendengar
ucapan Pendekar Hina Kelana. Bersamaan dengan kemarahannya yang meluap-luap,
puluhan belatung dari celah-celah lukanya yang membusuk berjatuhan ke tanah.
Diam-diam si pemuda mengkirik. Ironisnya lagi, begitu belatung-belatung itu
menggeliat-geliat di atas tanah, si buruk rupa segera memungutnya, kemudian satu
demi satu belatung-belatung itu di kremusnya. Tanpa menghiraukan Buang Sengkata
dia bergumam seorang diri.
"Karena engkau telah memakan dagingku!
Maka kini aku harus memakan dagingmu pula!"
Seusai dengan ucapannya itu, dengan cepat dia kembali memandang si pemuda,
beberapa kali dia meludah,
laki-laki buruk rupa itu terus menyambung: "Bocah! Bicaramu terlalu sombong, tahukah engkau bahwa sebentar lagi engkau akan
menjadi budakku di belantara Karang Hantu?"
"Hak.. hak... hak...!" Pendekar Hina Kelana tergelak-gelak.
"Manusia iblis budak setan! Jangan banyak tingkah, lebih baik kau tinggal
senjata pusaka milik berbagai
perguruan itu. Kemudian menggelindinglah dari hadapanku!" Bentak si pemuda.
* * * 5 "Budak hina! Besar sekali nyalimu, ketahuilah biar pun engkau punya sepuluh tangan sepuluh kaki.
Engkau tidak bakalan unggul menghadapi Majikan Karang Hantu!"
"Pencuri tengik, jangak banyak cingcong!
Tinggalkan pusaka-pusaka itu, atau tubuh busukmu akan berkubang darah...!" bentak Buang Sengketa sudah sangat marah
sekali. "Kalau begitu aku membatalkan niatku untuk mengangkatmu menjadi budak! Dan
sebagai gantinya
kau harus mampus...!"
Bersamaan dengan ucapannya itu, Nyaur Pati melambaikan tangannya. Meskipun gerakan tangan
itu seperti hanya
bermain-main, akan tetapi akibatnya sungguh sangat luar biasa. Sesaat kemudian badai angin Puting Beliung menderu,
laksana kilat meluruk ke arah Pendekar Hina Kelana. Pemuda itu nampak tersentak
kaget untuk beberapa saat lamanya. Akan tetapi begitu menyadari akan bahaya
besar yang mengancam jiwanya, dengan pergunakan pukulan Empat Anasir Kehidupan
tangannya cepat berkiblat memapaki. Selarik gelombang Ultra
Violet melesat lebih cepat menyongsong datangnya pukulan Badai Puting Beliung. Benturan tenaga sakti itu
pun tak terelakan lagi.
"Blaam!" Bumi tergetar hebat, langit seakan runtuh! Tubuh Pendekar Hina Kelana
terlempar dua tombak. Dari hidung dan bibirnya meleleh darah kental. Pemuda itu
segera atur nafasnya yang terasa menyesak! Tak begitu lama kemudian dia sudah
bangkit kembali. Sementara itu di pihak lawan, tubuh Nyaur Pati hanya bergetar
sedikit, kedua kakinya amblas ke bumi sampai sebatas tumit. Meskipun begitu dia
masih merasakan hawa panas
dari pukulan lawan, masih terasa menyelimuti tubuhnya. Sadarlah dia bahwa pemuda berpakaian lusuh dengan rambut dikuncir ini merupakan seorang lawan yang
memiliki kepandaian tinggi. Meskipun begitu masih dengan senyum mencibir dia
menyela: "Bagus! Kiranya kau berkepandaian juga rupanya. Pantas saja engkau berani jual
lagak di depan hidungku...!"
Buang Sengketa tersenyum kecut, dalam
hati dia sangat menyayangkan si Buruk Rupa
kiranya mempunyai perangai lebih buruk dari wajahnya yang memang ancur-ancuran.
Manusia berilmu sangat tinggi seperti dirinya menempuh cara hidup yang sangat
sesat dan tercela.
"Bangsat Muka Setan, aku masih belum kalah! Majulah... aku tidak akan pernah
mundur menghadapi iblis sepertimu...!" Tiba-tiba saja Buang Sengketa menyela.
Mendengar tantangan si pemuda, Nyaur Pati tertawa ganda.
"Kau benar-benar mencari penyakit bocah pentil! Keluarkanlah segala ilmu
simpananmu, sebelum aku benar-benar mengirimmu ke liang kubur...!"
"Bangsat terkutuk! Mampuslah...!" Diiringi dengan teriakan menggelepar, Pendekar
Hina Kelana langsung menerjang. Dan langsung pula pergunakan
jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra. Maka dalam waktu sekejap tubuh si pemuda sudah berkelebat
sedemikian cepatnya.
Akan tetapi Nyaur Pati bukanlah manusia berkepandaian rendah, bagi pembunuh berdarah dingin ini, bertarung
dengan memainkan jurus-jurus hanyalah merupakan pekerjaan yang bertele-tele dan
menyita banyak waktu. Meskipun dia menyadari bahwa apa yang ditampilkan oleh si
pemuda sesungguhnya memang permainan silat tingkat yang sangat tinggi. Akan
tetapi dia mempunyai pilihan yang sangat tepat untuk menyeret lawannya pada
pertarungan tingkat yang paling tinggi. Tiada pilihan terbaik terkecuali mengadu
kesaktian dan kelebihan pukulan-pukulan simpanannya.
Buang Sengketa terus memperhebat serangan-serangannya,
sebaliknya Nyaur Pati dengan penuh tipu muslihat malah menyurut langkah. Dengan cepat, dia gosok-
gosokkan kedua tangannya. Dari tangan yang menyatu rapt itu beberapa saat
kemudian telah mengepulkan uap biru yang menyebarkan bau sangat busuk. Buang
Sengketa baru menyadari kalau Nyaur Pati sedang bersiap-siap melepaskan pukulan
maut kepadanya.
Sontak dia langsung hentikan serangannya. Seketika itu juga dia siapkan pukulan Empat Anasir Kehidupan tingkat kedua.
Setengah dari tenaganya kini tertumpu pada kedua tangannya. Tubuh Nyaur Pati
kini sepenuhnya telah terbungkus kabut biru, bau tak sedap mulai menyebar di
mana-mana. Dan sesungguhnya pula saat itu laki-laki buruk rupa itu telah
menghimpun tenaga sakti yang diberi nama Selaksa Hantu Menyebar Maut. Yang
memang telah banyak memakan korban. Tak begitu lama kemudian,
tiba-tiba Nyaur Pati melengking dahsyat. Tubuhnya lenyap seketika itu juga.
Bangsat Ilmu Siluman!
Buang Sengketa mengeluh di dalam hati. Dia merasakan desakan angin kencang
menyambar berseliweran di atas kepalanya. Semakin lama semakin terasa deras dan
bertambah banyak. Buang Sengketa
nampak kebingungan. Tubuhnya berputar-putar mencari di mana posisi lawan yang sesungguhnya. Dalam posisi yang
mungkin tidak menguntungkan
bagi keselamatan dirinya, Pendekar Hina Kelana membagi-bagi pukulan mautnya pada delapan penjuru mata
angin. "Blar! Blar! Blar! Blar...!" Terdengar tawa mengekeh begitu pukulan Pendekar
Hina Kelana terlepas. Tanpa mencapai sasaran. Pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang dilancarkannya menghantam pohon-pohon di sekelilingnya. Bunyi bergemuruh
dari rubuhnya pohon-pohon itu membuat binatang-binatang di sekitarnya berlarian tunggang langgang. Sementara
itu Nyaur Pati yang pada saat Buang Sengketa lancarkan serangan memang
tidakherada di posisi sasaran. Kini semakin tergelak-gelak. Keadaan itu memang
sangat di kehendakinya. Setelah lawan lepaskan pukulan baru kemudian dia
memukul. Inilah saat yang
sangat tepat. Diiringi dengan tawa kemenangan dia lepaskan pukulannya.
"Mampuslah! Hait...! Hiaa...!"
"Wer! Wer!" Secepat kilat pukulan yang memancarkan cahaya kebiru-biruan itu
melesat dan mengisyaratkan hawa kematian. Celakalah bagi Buang Sengketa yang
saat itu masih belum siap pada posisinya. Pukulan maut yang dilepaskan oleh
Nyaur Pati dan berkelebat demikian cepatnya sudah tak mungkin terelakkan lagi.
Secara reflek dia meraba punggungnya, akan tetapi sudah tidak keburu. Pukulan
yang di lepaskan oleh nyaur Pati langsung melabrak tubuhnya.
"Blam!" Tanpa ampun lagi tubuh si pemuda langsung terpelanting dan menabrak
pohon yang berada di belakangnya. Andai saja bukan Pendekar Hina Kelana yang
terkena pukulan itu sudah dapat di pastikan tewas seketika itu juga dengan
keadaan tubuh

Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hangus membiru. Karena sesungguhnya pukulan Selaksa Hantu Menyebar Maut itu
merupakan pukulan beracun yang sangat keji. Dan masih merupakan keuntungan pula bagi si pemuda bahwa tubuhnya
kebal terhadap segala macam racun. Meskipun begitu darah segar berhamburan dari mulut
Buang Sengketa, dada laksana remuk, pandangan matanya nanar. Bahkan kepalanya berdenyut sakit pusing dan mau muntah.
Secepatnya dia menyeka darah yang berlelehan di celah-celah bibirnya.
Lebih cepat lagi dia himpun hawa murninya.
Sebentar kemudian wajahnya yang pucat pasi itu, kini telah kembali kemerah-
merahan. Akan tetapi belum lagi dia beringsut dari tempatnya. Nyaur Pati demi
mengetahui lawannya tidak mampus oleh pukulan saktinya nampak marah sekali dan
kini lancarkan serangan jarak jauh yang lebih besar dan ganas. Kembali seberkas
sinar warna biru menyala meluruk si pemuda.
Buang Sengketa yang sudah merasa sangat
geram melihat keganasan pukulan yang telah dilancarkan lawannya, sudah jelas tak
mau ambil resiko. Secepat sinar maut itu menderu, dua kali lebih cepat pendekar
Hina Kelana mencabut pusaka Golok Buntungnya. Laksana auman ratusan Harimau yang
sedang kelaparan senjata di tangan si pemuda menderu dahsyat.
"'Tes!" Pukulan Selaksa Hantu Menyebar Maut yang dilancarkan oleh si buruk rupa
disambut oleh kedahsyatan pusaka Golok Buntung. Anehnya begitu pukulan maut itu membentur
pusaka di tangan Buang Sengketa, Nyaur Pati merasakan tubuhnya terbetot dan
bagai sebuah magnet tubuh si buruk rupa bagai disentakkan ribuan tangan-tangan
setan. Nyaur Pati bertahan mati-matian demi membuyarkan daya tarik senjata di
tangan lawanya yang begitu hebat. Keringat dingin mulai meleleh membasahi
wajahnya yang semakin menimbulkan bau busuk di sekelilingnya. Dalam detik-detik yang sangat
menegangkan itu, agaknya Nyaur Pati sudah semakin tak berani mengadu tenaga
dalam. Kalau pun hal itu sangat terpaksa harus dia lakukan sudah barang tentu
dia akan mengalami nasib yang konyol. Sifat dari pusaka Golok Buntung adalah
menyedot tenaga inti sang lawan, andai pun dia berani melakukan tindakan itu.
Ini berarti dia hanya menjadi penyumbang tenaga sakti pada pihak lawan. Kiranya
Buang Sengketa dapat membaca apa yang sedang di pikirkan oleh pihak lawannya.
Untuk menyudahi pertarungan bagi si pemuda terasa sangat mudah!
Akan tetapi sudah menjadi pantangannya untuk tidak bermain kotor. Meskipun
sesungguhnya dia menyadari bahwa lawannya hanyalah seorang
tokoh dari golongan hitam yang sewaktu-waktu dapat bertindak licik. Masih dalam
posisi semula, ketika si Hina Kelana lontarkan satu pukulan Empat Anasir
Kehidupan terhadap si Buruk Muka.
Selarik gelombang yang teramat panas menderu dan langsung menghajar tubuh Nyaur
Pati yang masih dalam posisi bertahan. Laki-laki bertampang amburadul itu
terpekik keras sewaktu sinar Ultra Violet menabrak tubuhnya, secara praktis
Nyaur Pati terlepas dari pengaruh daya tarik Golok Buntung di tangan Buang
Sengketa. Laki-laki majikan Karang Hantu itu terbanting keras di atas batu-batu
cadas yang berada di sekitar tempat itu.
Akan tetapi ternyata Nyaur Pati memiliki daya tahan yang sangat luar biasa
hebatnya. Si buruk muka hanya terbatuk beberapa kali. Kemudian dia seka
hidungnya yang tampak mengalirkan darah kental. Meskipun begitu tidak sedikit
pun wajah yang sangat rusak itu membayangkan rasa takut, apalagi jera. Pendekar
Hina Kelana melangkah hampir di depan Nyaur Pati yang kini sudah mulai berdiri,
meskipun dengan kaki sedikit gemetaran.
Saat itu Buang Sengketa sudah siap-siap dengan pukulan kedua. Dalam pada itu
tiba-tiba Nyaur Pati menyela:
"Bocah keparat! Siapakah engkau ini...! Ilmu pukulanmu seperti pernah aku
kenal!" Ujar Nyaur Pati berusaha mengingatingat. Pendekar Hina Kelana tertawa
ganda. "Manusia edan muka hantu, lebih baik kau serahkan bungkusan pusaka yang telah
kau colong dari berbagai perguruan! Sebab aku takut engkau tak keburu mendengar
apa yang akan kukatan nanti...!"
"Bangsat sombong! Terimalah...!" Berkata begitu Nyaur Pati lemparkan satu benda
ke arah Pendekar Hina Kelana dan begitu tangan si pemuda menyampoknya, benda itu
meledak dan menyebarkan asap yang sangat tebal. Tahulah si pemuda bahwa Nyaur
Pati berusaha melarikan diri dengan asap penghilang jejak tersebut. Buang
Sengketa kebut-kebutkan tangannya, takut kalau-kalau asap yang menyebar ke mana-
mana itu mengandung racun yang ganas. Dalam pada itu terdengar pula suara Nyaur
Pati yang sudah sangat jauh:
"Budak Hina! Kalau kau memang benar-
benar seorang kesatria. Kutunggu engkau di Neraka Karang Hantu...!" Demikianlah
begitu kabut asap itu lenyap sama sekali, Nyaur Pati
benar-benar telah merat dari tempat itu. Pendekar Hina Kelana nampak sangat
kesal sekali. Sial! Aku tak tahu kearah mana larinya si wajah berantakan itu! Rutuknya panjang
pendek. Dengan menyimpan kedongkolan yang di dalam hati, tak lama kemudian pemuda itu
kembali meneruskan perjalananya. Dengan satu tujuan, mencari si Maling Bosa yang
malang itu. * * * 6 Matahari sudah hampir condong ke ufuk
Barat, ketika kedua manusia Katai itu menelusuri jalan setapak menuju kota
Paring Katon. Wajah mereka yang nampak lusuh, membayangkan hati yang dalam.
Berhari-hari mereka mengitari Rawa-rawa Kematian, hanya demi menemukan si Maling
Bosa yang mereka duga telah melarikan pedang Pusaka Belibis Sakti milik
perguruan Sangga Langit yang juga masih merupakan perguruan mereka.
Seperti di ceritakan, kedua perempuan Katai itu mengalami kesulitan untuk
menjarah tempat kediaman si Maling Bosa yang terletak di tengah-tengah Rawa
Kematian, dikarenakan Rawa-rawa itu dipenuhi dengan berbagai binatang berbisa
yang terkenal sangat ganas. Sementara itu usaha mereka mencari jalan rahasia
untuk sampai di tengah Rawa juga mengalami jalan buntu. Tak ada tanda-tanda
jalan yang sering dipergunakan si Maling Bosa untuk mencapai tempat tinggalnya.
Tak ada pilihan lain terkecuali kembali atau mencari si Maling Bosa di tempat
lain. Tanpa berkata-kata mereka terus menelusuri jalan setapak, sampai pada akhirnya membelok di sebuah tikungan yang sempit. Begitu
tiba dijalan yang lurus kedua perempuan Katai itu melihat dua sosok manusia
berlari-lari kecil menyongsong kehadiran mereka. Agaknya si Katai ini mengenali
dua laki-laki yang dalam suasana tergesa. Tanpa menghiraukan si Katai, kedua
laki-laki yang sesungguhnya Arya Pasangra dan Luki Denta, dengan sikap acuh
terus melewati mereka. Tentu saja perempuan Katai ini merasa kurang senang, diri
mereka di remehkan seperti itu. Tiba-tiba tanpa menoleh tangan kiri si Katai
bergerak ringan ke arah belakang.
"Wuut!" Meskipun mereka berlari-lari kecil, agaknya Arya Pasangra menyadari
kalau kedua orang Katai itu punya maksud-maksud tertentu terhadap mereka, Itulah
sebabnya begitu dia merasakan angin pukulan menyambar ke arah Arya Pasangra,
tangan kanannya dengan cepat menangkis:
"Plak!" Bukan main terkejutnya kedua perempuan Katai itu. Mulanya mereka
menyangka bahwa dua orang Ketua Partai Perkumpulan
Pengemis Tenggara ini akan tersungkur jatuh
begitu pukulan gelap yang mereka lancarkan melabrak tubuh Arya Pasangra. Tidak
dinyana, ternyata Ketua Partai Pengemis ini cukup berisi juga. Arya Pasangra dan
Luki Denta balikkan langkah. Kedua perempuan Katai itu memandang sinis pada
mereka. "Dua kunyuk gembel tak tahu adat! Kalian sungguh-sungguh tidak memandang muka
pada kami, berjalan seenaknya bagai dua ekor anjing geladak!" Maki si Katai
Losi, menuding dengan jari telunjuknya
yang buntek. Mendapat makin sedemikian rupa,
sudah barang tentu Arya Pasangra dan Luki Denta menjadi marah. Arya Pasangra maju setindak.
"Manusia kerdil kesasar! Siapa salah. Jalan ini milik orang banyak, untuk apa
harus memakai segala peradatan...!" Si katai Jola mendengus, wajahnya berubah
merah padam. Begitu sinis dia memandang
wajah Ketua Pengemis Partai Tenggara. "Bagus! Bangsanya pengemis memang tak pernah mengenal peradatan...!"
"Katai sialan, kau bukanlah seorang raja.
Bukan pula seorang majikanku, untuk apa harus memakai segala peradatan
segala..."!"
"Kakang! Mungkin mereka sengaja mencari gara-gara pada kita...!" Luki Denta
menyela. Arya Pasangra anggukkan kepala.
"Bagus kalau kalian sudah mengetahui tujuan kami! Untuk itu andai kalian masih
sayangkan nyawa. Kami mau kalian menjawab bebarapa pertanyaan kami!" kata si
katai Losi. "Manusia kerdil dari perguruan Sangga Langit!
Selamanya kaum pengemis Partai Tenggara tak mempunyai persoalan apa pun
dengan perguruan kalian. Akan tetapi jika kalian menghendaki jawaban dari kami,
sebelumnya kami harus mengetahui pertanyaan apa yang harus kami jawab...!" kata
Arya Pasangra dengan nada sedikit lunak. Kedua orang perempuan kerdil itu
tertawa rawan. "Pertanyaannya tidak terlalu sulit! Akan tetapi
jika kalian tidak benar memberikan keterangan, jiwa kalian pasti melayang." Kata si Katai Jola peruh ancaman.
"Bicara saja muter-muter! Katakan saja dengan jelas bangsat busuk...!" Bentak
Luki Denta sudah tak sabaran. Lagi-lagi kedua perempuan katai itu tersenyum
penuh kelicikan.
"Bukankah kalian berdua merupakan sahabatnya si Maling Bosa?" Pancing si Katai Losi.
Mendapat pertanyaan seperti itu Arya Pasangra maupun Luki Denta sudah dapat
meraba kemana arahnya
pertanyaan-pertanyaan
selanjutnya. Ketua partai kaum pengemis ini menyadari bahwa malapetaka besar bakal menimpa
diri sahabatnya.
Tanpa sadar kedua laki-laki itu saling pandang. Si Katai mengekeh kedua orang
itu merasa yakin kalau Arya Pasangra dan Luki Denta mengetahui di mana
sesungguhnya Maling Bosa berada. Tak lama kemudian si katai Losi menyambung:
"Kalau kalian tak ingin cepat-cepat masuk ke liang kubur, cepat katakan di mana
si Maling terkutuk itu bersembunyi...!" Bentaknya dengan sesungging
senyum maut. Arya Pasangra terkekeh! Cepat-cepat dia menyahuti:
"Kalian berdua juga pasti menuduh bahwa si Maling Bosalah yang
telah mencuri senjata kebesaran milik perguruan kalian...!" Kata laki-laki itu menduga-duga.
"Bagus sekali kalau kalian benar-benar sudah
mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya! Kami tidak usah bersusah payah memberi penjelasan pada kalian
berdua...." Arya
Pasangra gelengkan kepala." Tidak! Maling Bosa bukanlah manusia yang rakus akan
senjata pusaka. Tuduhan itu sama sekali tidak beralasan...."
"Jahanam...
kalian rupanya sengaja bersekutu dengan maling terkutuk itu. Kalau begitu celakalah bagi kalian
berdua...!" Kata si katai Jola sangat marah sekali. Arya Pasangra meskipun
merasa tersinggung, akan tetapi dia malah tertawa tergelak-gelak. Dalam hati dia
bertanya-tanya, mengapa di kolong langit ini, masih banyak terdapat orang
berkepandaian tinggi namun berpandangan sangat picik. Arya Pasangra bertolak
pinggang, kemudian beliakkan mata pada si Katai Mata Picak dan juga rekannya
yang bermata satu.
"Bangsat kerdil! Sesuai dengan keadaan tubuhmu, kiranya kalian pun berpandangan
kerdil dan cetek! Meskipun si Maling Bosa seorang pencuri ulung, kiranya masih
lebih baik dari kalian yang mengaku dari golongan bersih. Catatlah dalam otak
kalian, andai pun kami sebangsanya pengemis. Tidak nantinya kami bersekutu
dengan iblis!" Dihina sedemikian rupa semakin bertambah gusarlah, kedua
perempuan katai ini.
"Bangsat! Rupanya kalian lebih pantas
mampus...!" Belum lagi si Katai Jola usai dengan kata-katanya, tiba-tiba si
Katai Losi yang sudah tidak
dapat menahan kemarahannya sudah lambaikan tangannya meng-arah pada Arya Pasangra dan Luki Denta. Ketua Partai Pengemis dari Tenggara yang memang sudah


Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersikap waspada sejak semula. Begitu melihat si Katai pukulkan tangannya ke arah mereka,
dengan cepat pula menghindar. Pukulan maut pertama dapat dielakkan dengan baik
oleh kedua laki-laki itu. Si Katai Losi tergelak-gelak. Padahal hatinya sangat
mendongkol! Tanpa memberi kesempatan lagi, kembali dia lancarkan pukulan. Arya
Pasangra segera mencabut sebilah pedang pendek yang terselip di pinggangnya,
sementara Luki Denta dengan cepat pula memutar Toya di tangannya.
Meskipun begitu, kedua orang ini nampak tergetar hebat ketika pukulan yang
dilancarkan oleh si katai Losi melabrak pertahanan mereka. Luki Denta mengeluh,
Arya Pasangra memerah parasnya.
Meskipun dia sudah memutar pedang untuk
melindungi diri ternyata pukulan yang dilancarkan manusia kerdil itu masih
sempat menyambar bahu kirinya. Bajunya sampai robek sebatas dada. Si
Katai Losi yang sudah kalap tidak memberinya kesempatan
lagi. Kembali dia mengumbar pukulan-pukulan mautnya.
Maklum bahwa tenaga dalam lawan hebat
luar biasa, baik Luki Denta maupun Arya Pasangra cepat-cepat menghindar sewaktu
angin pukulan kearah mereka. Dengan jurus Pengemis Meminta Sedekah, kedua orang
ini kembali menyerbu. Si Katai Losi tidak sempat melihat gerakan kedua orang
ini, tahu-tahu tubuhnya sudah berada sangat dekat sekali dengan mata pedang
maupun Toya di tangan lawan-lawannya. Hanya tiga seperempat detik si Katai Losi
terkesiap melihat pedang yang sudah begiti dekat dengan lehernya.
Sementara senjata Toya di tangan Luki Denta dengan gembar menyambar ke arah
bagian kaki. Sesaat kemudian tangan kanannya sudah bergerak menangkis serangan Toya,
sedangkan bagian badannya mengkelit mata pedang yang hampir saja memapras batang
lehernya. Si Katai Losi nampak berjumpalitan ke belakang begitu merasa terbebas
dari ancaman senjata di tangan lawan-lawannya Sementara itu si Katai Jola yang
sedari tadi hanya menonton pertarungan itu nampak tersenyum-senyum. Dia merasa
tak perlu turun
tangan. Bagaimana pun dia merasa tak perlu turun tangan. Bagaimana dia merasa
sangat yakin dengan
kemampuan yang dimiliki saudara seperguruan yang seperti diketahui memang lebih tinggi dari dirinya sendiri.
Pertarungan terus berlangsung, Arya Pasangra dan Luki Denta terus memburu lawan-lawanya tanpa ampun. Si katai Losi
leletkan lidah, dia mencaci maki panjang pendek. Dalam pada itu tiba-tiba
terdengar seruan si Katai Jola:
"Kakang Mbok, mengapa begitu bodoh!
Bertarung dengan cara seperti itu hanya memperpanjang umur kunyuk-kunyuk sialan itu bertambah beberapa menit. Alangkah
baiknya jika kau pergunakan ajian Mulih Pati...!" Kata si Katai Jola
menyela. Mendengar teguran adik seperguruannya, sambil melayani lawan-lawannya si Katai Losi terkekeh:
"Hik... hik... hik...! Ajian Mulih Pati, hi... hi...
hi... Ajian Mulih Pati! Mengapa tak sedari tadi aku pergunakan ajian itu" Benar-
benar aku yang tolol...!" Demi mendengar disebut-sebutnya ajian Mulih Pati,
tersiraplah darah Arya Pasangra dan Luki Denta. Sepengetahuan Ketua Partai
Pengemis Tenggara, ajian Mulih Pati merupakan sebuah ilmu
yang terkenal ganas dan dahsyat. Makhluk apa pun, bila tersentuh ajian yang
sangat langka ini, akan tewas seketika itu juga dengan keadaan tubuh mengering
dan layu. Dulu ajian ini pernah digunakan malang melintang oleh datuk sesat si
Dewa Gila Akan tetapi, pamor tokoh sesat itu kemudian runtuh di tangan tokoh
maha sakti yang namanya sudah melegenda di rimba persilatan yaitu Si Bangkotan
Koreng Seribu. Bahkan konon begitu geramnya si Bangkotan Koreng Seribu sampai-
sampai beliau mencapkakan mayat si Dewa Gila ke dalam Kawah Pitulaya. Bagaimana
mungkin perempuan kerdil itu bisa mendapatkan ilmu yang kabarnya sudah sejak
ratusan tahun yang lalu lenyap dari permukaan bumi ini. Andai pun mungkin masih
ada, bagaimana mungkin bisa secepat itu si kerdil ini menguasainya. Meskipun
hatinya masih diliputi keraguan, tak urung dia memperingati Luki Denta:
"Adik Luki Denta, berhati-hati! Jangan sampai tubuhmu tersentuh tangan manusia dajal ini!" ucapnya dengan suara
tergetar. Dalam pada itu, nampaknya si Katai Losi
sedang merapal mantra ajian Mulih Pati. bibirnya nampak komat-kamit, sesekali
terdengar gerengan
suara anjing gila yang terluka. Tak lama kemudian kedua mata yang terkatup itu
kini secara perlahan mulai membuka. Nampaknya kedua bola matanya yang memerah
saga, api kematian memancar pula dari kedua mata yang setengah picak itu.
* * * 7 Mungkin hanya dengan jurus Pengemis
Lontarkan Tongkatlah kedua laki-laki ini mampu mengatasi serangan si Katai Losi. Arya Pasangra langsung memberi isyarat pada Luki
Denta untuk mempergunakan jurus-jurus ini. Dengan diiringi teriakan membahana si
Katai Losi langsung menyerang Arya Pasangra dan Luki Denta. Tanpa ampun Ketua
Pengemis Partai Tenggara dengan sebat putar pedangnya kesegala arah. Begitu pun
halnya dengan Luki Denta. Toya di tangannya berputar laksana baling-baling.
Sambaran angin yang
ditimbulkan oleh senjata di tanganya menimbulkan suara bersiuran. Daun-daun kering beterbangan, dalam waktu sekejab,
tubuh ketua pengemis Partai Tenggara ini nampak lenyap tergulung putaran senjata
masing-masing. Si Katai Losi yang hampir saja memukul kedua lawannya dengan
tangan kiri nampak menarik balik serangan-serangannya. Kemudian dengan gerakan memutar dia bermaksud menyerang
lawannya bagian belakang yang nampak rawan pertahanannya, dengan sebat dia memukul pada bagian punggung pihak lawan. Namun
pada saat yang kritis bagi Luki Denta, kiranya Arya Pasangra mengetahui maksud
licik si Katai Losi. Dengan membentak marah dia babatkan pedangnya ke arah
tangan kiri si Katai Losi yang hampir saja berhasil menyentuh punggung Luki
Denta. ' "Bet!" Si Katai Losi yang tak menyangka gerakan
pedang di tangan Arya Pasangra berkelebat secepat itu nampak berseru tertahan.
Andai sepersepuluh detik saja dia terlambat menarik balik tangan kirinya, sudah
dapat di pastikan tangan itu sudah putus tersambat ketajaman pedang di tangan
lawannya. Cepat-cepat si Katai Losi menyurut beberapa tidak. Caci maki
berhamburan dari mulutnya yang senantiasa bau jengkol.
"Goblok! Aku tak inginkan uluran tanganmu...!" Si Katai Losi nampak marah sekali, baginya
membunuh Ketua Pengemis Partai Tenggara sama mudahnya dengan membalikkan telapak
tangan. Meskipun Arya Pasangran
memiliki jurus-jurus pedang yang tinggi, hal itu bukan berarti banyak bagi si
Katai ini. Sejauh itu dia sesungguhnya ingin mengetahui lebih banyak
lagi sampai di mana sesungguhnya kehebatan pamor yang dimiliki oleh Arya
Pasangran mau pun Luki Denta.
"Tapi Kakang Mbok nampaknya memberi
angin pada kedua bangsat kunyuk itu. Mereka bisa besar kepala, Kakang Mbok...?"
Tukas si Katai Jola memprotes.
"Diam! Ini urusanku...!" Bentak si katai Losi semakin
bertambah-tambah
kegusarannya. Pertarungan berlangsung sangat cepat, tanpa terasa sudah memakan puluhan jurus.
Akan tetapi beberapa saat kemudian setelah mengetahui kelemahan-kelemahan ilmu
silat lawan-lawannya, si
Katai Losi nampak menyeringai penuh kemenangan. Segalanya tiba-tiba berubah sangat cepat. Si katai Losi kemudian
merubah jurus-jurus silatnya. Dan secara diam-diam pula dengan kekuatan yang
berlipat ganda, kembali dia mengerahkan ajian Mulih Pati. Beberapa saat setelah itu, dengan menggembor bagai
kerbau yang terluka. Tubuh si Katai Losi sedemikian cepatnya dan langsung
kirimkan satu pukulan ganas kepada Luki Denta, satu pukulan pancingan dia
lepaskan. Luki Denta memutar Toyanya lebih sebat lagi. Agaknya Luki Denta
terpengaruh dengan pukulan tipuan yang sesungguhnya merupakan muslihat si Katai Losi untuk melakukan pukulan yang sesungguhnya
dengan telak. Luki Denta terpancing jauh. Tatkala tangan kiri si Katai Losi
sudah begitu dekat di depan hidungnya, dia menyambut dengan Toyanya. Pada saat
itulah tangan kanan manusia kerdil itu berkelebat sedemikian cepatnya ke dada
lawannya yang terbuka. Ketika Arya Pasangran menyadari akan bahaya yang
mengancam Luki Denta, dia sudah tak dapat berbuat banyaknya. Jarak diantara
mereka benar-benar di luar jangkauan kemampuannya. Luki Denta melolong setinggi langit, begitu pukulan Mulih Pati yang dilancarkan
si Katai Losi menghantam dengan telak tubuhnya. Orang kedua dalam perkumpulan
Partai Pengemis Tenggara itu terbanting puluhan tombak. Kedua bola matanya
terbelalak bagai mau meloncat ke luar, dalam waktu singkat tubuh laki-laki
malang itu nampak membiru
layu dan kering bagai ikan asin terpanggang terik
matahari. Arya Pasangran nampak terbelalak tak percaya, kejadian itu benar-benar terasa sangat meng-
Rajawali Emas 7 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Tongkat Rantai Kumala 9
^