Pencarian

Banjir Darah Bojong Gading 3

Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading Bagian 3


tinggi besar bercambang bauk lebat dan berpakaian seragam Panglima.
"Benarkah kau dari Perguruan Naga Api?" tanya Panglima yang bernama Jumali itu
ketika sampai di depan pintu gerbang. Sepasang matanya menatap tajam sosok tubuh
yang berdiri di hadapannya.
"Benar, Panglima. Hamba bernama Sentanu," jelas pemuda itu. Tak berani Sentanu
memanggil orang yang berdiri di hadapannya dengan panggilan keakraban. Bagaimana
pun juga, dia adalah seorang Panglima kerajaan, dan kali ini berada di depan
prajurirnya. Harus dijaga martabat orang itu, meskipun juga berasal dari
Perguruan Naga Api.
"Sentanu" Kau adik seperguruan Adi Branta?"
tanya Panglima Jumali mulai teringat. Memang dia pernah kenal orang yang bernama
Sentanu, tapi itu lima tahun yang lalu. Wajar kalau sekarang telah agak lupa.
"Benar, Panglima," sahut Sentanu.
"Ahhh...! Silakan masuk, Adi Sentanu. Dan tidak usah terlalu banyak peradatan.
Panggil saja aku seperti layaknya seseorang memanggil kakak seperguruannya.
Mari!...! Mari, silakan masuk...!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi Panglima Jumali menarik tangan Sentanu dan membawanya
masuk. Panglima itu tahu kalau pemuda di hadapannya ini pasti membawa berita yang
sangat penting. Kalau tidak, mana mungkin datang menemuinya tengah malam begini.
Sentanu melangkah mengikuti Panglima itu yang sudah berjalan cepat menuju
bangunan tempat untuk menerima tamu penting.
"Sekarang katakan, apa maksudmu datang menemuiku malam-malam begini, Adi
Sentanu," tagih Panglima itu tidak sabar begitu mereka telah duduk di dalam.
Wajah Sentanu berubah muram.
"Bencana menimpa perguruan Kita, Kang" tutur Sentanu, yang kini tidak ragu-ragu
lagi memanggil Panglima itu dengan panggilan kekerabatan.
"Bencana" Apa maksudmu. Adi Sentanu. Aku masih tidak mengerti!" tegas Panglima
itu, langsung berkernyit dahinya.
"Perguruan Naga Api sekarang telah musnah, Kang," sahut Sentanu. Perlahan sekali
suaranya seperti mendesah, tapi akibatnya bagi Panglima Jumali tidaklah
demikian. "Apa"!" pekik Panglima itu. Tubuhnya sampai terlonjak dari duduknya. "Apa
katamu, Adi Sentanu"!"
Sentanu menundukkan kepalanya, tidak sanggup melihat wajah kakak seperguruannya
yang begitu tegang. Bahkan suaranya terdengar gemetar.
"Guru dan semua murid perguruan telah tewas, Kang. Hanya aku yang selamat. Dan
itu pun karena melarikan diri. Namun demikian, berat rasanya hatiku berbuat ini.
Tapi terpaksa, Kang. Aku harus memberitahukan berita ini padamu."
"Ya Tuhan...!" keluh Panglima Jumali. Kedua tangannya ditekapkan ke wajah, dan
sesaat kemudian diturunkan kembali. Terdengar suara ber-gemeretak keras ketika Panglima
ini mengepalkan kedua tangannya.
"Betapa berdosanya aku. Di sini aku enak-enakan saja, dan tak pernah menengok
perguruan. Sementara Guru dan yang lainnya dibunuh orang.
Hhh...! Murid macam apa aku ini!"
Sentanu membiarkan saja. Dia tahu kalau
Panglima Jumali tengah terpukul.
"Katakan, Adi Sentanu! Siapa yang melakukan perbuatan keji itu"!" desak Panglima
itu. Ada ancaman hebat yang tersembunyi dalam kata-katanya.
"Perguruan Garuda Sakti, Kang...."
"Apa"! Sentanu! Sadarkah kau akan apa yang telah kau ucapkan itu"!"
"Aku sadar, Kang. Dan semula pun aku ragu. Tapi kejadian kemarin malam telah
menghapus semua keragu-raguanku."
Kemudian Sentanu menceritakan semua yang
terjadi. Panglima Jumali mendengarkan penuh seksama.
Wajahnya sebentar pucat, sebentar kemudian memerah mendengar hal-hal yang
menggiriskan. Baru setelah Sentanu menyelesaikan ceritanya, Panglima ini menarik
napas panjang. "Kita harus membalas dendam, Adi Sentanu!"
desis Panglima itu tajam. "Jaladi!" teriaknya keras.
Sesaat kemudian terdengar derap langkah
mendekat, lalu muncul seorang pengawal yang segera memberi hormat padanya.
"Panglima memanggilku?" tanya pengawal yang bernama Jaladi itu.
"Ya! Berikan surat ini pada Panglima Gotawa dan Panglima Mantaya! Cepat..!"
perintah Panglima Jumali sambil memberikan surat yang saat itu juga dibuatnya.
"Baik, Panglima," sahut prajurit itu sambil menerima surat yang disodorkan
Panglima Jumali.
"Sekarang mari Kita berangkat, Adi Sentanu. Kita basmi Perguruan Garuda Sakti.
Aku rela, sekalipun
akibat perbuatanku ini harus dihukum oleh raja!"
*** "Biadab! Terkutuk! Harus kubalaskan perbuatan keji ini!" teriak Panglima Jumali.
Begitu melihat keadaan markas Perguruan Naga Api yang kini telah menjadi puing-
puing. "Benar, Kang," sahut Panglima Gotawa yang juga bekas murid Perguruan Naga Api.
"Kita harus hancurkan Perguruan Garuda Sakti!"
sambut Panglima Mantaya, juga bekas murid
Perguruan Naga Api.
"Mari berangkat! Kita hancurkan markas mereka seperti mereka menghancurkan
perguruan Kita!"
Setelah berkata demikian, rombongan yang
dipimpin tiga orang Panglima itu segera bergerak.
Jumlah mereka ratusan orang, dan kini bergerak menuju markas Perguruan Garuda
Sakti. Menjelang pagi, rombongan itu telah tiba di tujuan.
Dan tanpa bicara apa-apa, pasukan itu langsung menyerbu.
Tentu saja murid-murid Perguruan Garuda Sakti menjadi terkejut bukan kepalang
melihat serbuan pasukan Kerajaan Bojong Gading. Tapi terpaksa mereka melawan,
karena tidak ingin mati konyol.
Sebentar saja, terjadilah pertempuran massal.
Tapi karena jumlah mereka yang hanya sekitar tiga puluh lima orang, sementara
jumlah pasukan penyerbu itu tidak kurang dari dua ratus orang, maka dalam waktu
sebentar saja mereka sudah terdesak hebat. Apalagi di antara para penyerbu
terdapat bekas murid Perguruan Naga Api.
Bagi yang berhadapan dengan prajurit masih
untung. Tapi siallah bagi mereka yang bertemu Panglima Jumali, Panglima Gotawa,
maupun Panglima Mantaya. Ketiga Panglima itu adalah bekas murid kepala Perguruan Naga
Api. Dan walaupun telah lama keluar, mereka tetap rajin melatih diri.
Sehingga, tidak aneh kalau kepandaian mereka semakin lihai karenanya. Ke mana
saja ketiga Panglima ini bergerak, pasti ada satu tubuh yang roboh ke tanah.
Dan mendadak saja sepak terjang Panglima-
Panglima ini tertahan, ketika bertemu dua orang murid kepala Perguruan Garuda
Sakti. "Apa maksudmu menyerang perguruan kami, Panglima Jumali"!" tanya salah seorang
dari dua orang murid kepala yang berkulit wajah kuning. Keras nada suaranya.
"Tidak usah berpura-pura bodoh...!" sentak Panglima Jumali. "Aku datang untuk
membalaskan dendam Guru dan adik-adik seperguruanku yang kalian bantai!"
"Apa"! Gilakah kau, Jumali?" sergah salah seorang lagi yang berkulit muka merah.
"Tidak usah banyak bacot! Awas serangan...!" selak Panglima Gotawa seraya
menusukkan tombak
pendeknya ke perut si wajah kuning.
Wut..! Si muka kuning tidak bisa berkata apa-apa lagi Cepat-cepat dielakkan serangan
tombak itu dengan menggeser kaki. Kemudian dibalasnya serangan itu dengan
menyabetkan pedang secara mendatar ke leher Panglima itu.
Melihat kawannya sudah menyerang, Panglima Jumali pun tidak tinggal diam. Cepat
diputar pedangnya laksana baling-baling. Kemudian secara
tidak terduga-duga, ditusukkan ke arah kerongkongan si muka merah.
Si muka merah cepat menarik kepalanya ke
belakang. Golok yang sejak tadi sudah terhunus di tangannya, segera disabetkan
ke tangan Panglima Jumali yang menghunus pedang.
"Eh...!"
Panglima Jumali berseru kaget. Cepat-cepat ditarik pulang serangannya. Tak lupa,
dilontarkannya tendangan lurus ke arah perut lawan.
Si muka merah melompat ke belakang seraya
mengirimkan serangan yang tak kalah dahsyatnya.
Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat pertempuran sengit, dan berjalan
seimbang. Sedangkan pertempuran antara murid-murid Perguruan Garuda Sakti
melawan pasukan kerajaan berlangsung berat sebelah. Dan tampak, satu demi satu
mereka roboh. Sudah dapat dipastikan kalau tak lama lagi mereka semua akan tewas di tangan
pasukan kerajaan itu.
Mendadak saja terdengar suara sorak sorai, disusul munculnya pasukan kerajaan di
bawah pimpinan Panglima Jatalu. Tanpa bicara apa-apa, pasukan itu segera
menyerbu pasukan yang tengah membantai murid-murid Perguruan Garuda Sakti.
Panglima Mantaya kaget. Dia tahu, siapa Panglima Jatalu itu. Seorang Panglima
bekas murid kepala Perguruan Garuda Sakti. Rupanya berita penyerbuan ke
perguruan ini sampai juga ke telinganya. Maka dia langsung buru-buru membawa
pasukan untuk membela perguruannya.
Tak dapat dihindarkan lagi, terjadilah pertempuran antara kedua pasukan dari
kerajaan yang sama, Kerajaan Bojong Gading. Panglima Mantaya tanpa ragu-ragu
lagi segera menyongsong datangnya
Panglima Jatalu. Dan sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertempuran
sengit. Dan kini, kembali korban berjatuhan.
Tapi sebelum pertempuran semakin berlarut-larut Terdengar bentakan nyaring.
"Hentikan pertempuran...!"
Belum lagi gema suara bentakan itu lenyap, melesat dua sosok tubuh ke arena
pertempuran. Sosok tubuh berwarna ungu dan kuning. Rupanya bentakan yang dikeluarkan disertai
pengerahan tenaga dalam itu, membuat semua orang yang ada di situ terpaku. Dada
mereka semua terasa tergetar.
Bahkan lutut pun terasa lemas
Seketika itu juga pertarungan terhenti. Begitu juga pertarungan antara dua
Panglima melawan dua murid kepala Perguruan Garuda Sakti. Dari suara bentakan,
keempat orang itu sudah bisa memperkirakan kesaktian pemiliknya. Segera semua
mata tertuju pada asal suara itu.
Di tengah-tengah arena pertempuran, telah berdiri dua sosok tubuh. Yang pertama
adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun dan berambut putih keperakan, yang
tak lain adalah Dewa Arak.
Sedangkan yang seorang lagi adalah kakek berpakaian kuning berwajah tirus mirip
tikus. Siapa lagi kalau bukan Ki Temula.
Memang, semula kedua orang sakti ini menunggu kembalinya Ki Kerpala. Tapi
setelah lelah menunggu, sampai hari menjelang pagi, tidak juga nampak ada tanda-
tanda kemunculannya. Dan pada saat itulah mereka malah mendengar suara denting
senjata dan lengking kematian di kejauhan.
Ki Temula dan Dewa Arak menjadi curiga. Suara ribut-ribut itu sepertinya berasal
dari sekitar Perguruan Garuda Sakti. Maka, cepat mereka melesat meninggalkan tempat itu
menuju ke sana.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kedua orang sakti ini, melihat
pertempuran massal yang terjadi di situ. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
Dewa Arak segera berteriak mencegah pertempuran itu berlanjut.
"Keparat..!" teriak Panglima Jumali ketika mengenali salah satu dari dua orang
yang baru datang itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil bertenak melengking nyaring, panglima itu menyerang kakek kecil kurus
itu. Pedang di tangannya melesat cepat menusuk lurus ke arah ulu hati.
"Sabar dulu, Panglima. Tahan dulu amarahmu,"
desah kakek itu lirih seraya menggerakkan tangannya mendorong ke depan.
Wuuussa...! Serangkum angin keras berhembus ke arah tubuh Panglima Jumali. Dan tusukan
pedang itu pun melenceng arahnya, seperti tertahan oleh dinding yang tidak
nampak. Tubuh Panglima Jumali terhuyung. Meskipun
demikian, Panglima ini tidak putus asa. Disadari kalau kakek di hadapannya ini
bukan tandingannya.
Tapi hal itu tidak membuatnya menjadi gentar.
Namun sebelum Panglima itu kembali menyerang, Dewa Arak telah melangkah maju dan
berdiri di tengah-tengah, di antara panglima itu dan Ki Temula.
"Sabar, Panglima," bujuk Arya pelan.
"Siapa kau"! Mengapa mencampuri urusanku!"
Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!"
"Namaku Arya, Panglima. Kehadiranku di sini
hanya untuk menghilangkan kesalahpahaman yang terjadi," jelas Dewa Arak, masih
tetap tenang suaranya.
"Arya"!" kata Panglima itu mengulang perkataan Dewa Arak. Keningnya berkernyit.
Nama itu seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana" Dia terus
mengingat-ingatnya Dan sekarang dia ingat, karena pernah mendengarnya dari mulut
Sentanu. Arya inilah yang telah dua kali menyelamatkan murid-murid Perguruan Naga Api.
"Benar, Panglima. Mengapa?"
Panglima Jumali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak! Tidak apa-apa. Hm.... bukankah kau yang telah menolong murid-murid
Perguruan Naga Api dari ancaman maut orang-orang jahat ini" Tapi kenapa sekarang
kau malah bersama dengan gembong
penjahat ini?" tanya Panglima Jumali sambil menunjuk Ki Temula. Dia benar-benar
tidak mengerti.
Dewa Arak menganggukkan kepalanya. "Menolong murid-murid Perguruan Naga Api
memang benar. Tapi Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti bukanlah
orang jahat Panglima."
Wajah Panglima Jumali berubah. "Ucapan apa ini"!
Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti telah membumihanguskan
Perguruan Naga Api. dan membunuh Ki Santa! Itu bukan perbuatan jahat katamu,
Arya"! Lalu, perbuatan manakah yang kau anggap jahat?"
"Apa"! Benarkah apa yang kau ucapkan itu, Panglima" Benarkah Perguruan Naga Api
telah dibumihanguskan"!" tanya Dewa Arak. Wajah pemuda ini memancarkan
keterkejutan yang amat sangat.
Sementara Ki Temula hanya berdiri terpaku, tak tahu
harus berbuat apa.
Panglima Jumali hanya tersenyum sinis. Tak dijawabnya pertanyaan Dewa Arak.
Sebaliknya perhatiannya malah dialihkan pada rombongan prajurit di belakangnya.
"Sentanu...! Kemari kau!" teriak Panglima Jumali sambil melambaikan tangannya.
Pemuda berhidung besar itu melangkah maju.
"Nah, Dewa Arak. Inilah satu-satunya murid Perguruan Naga Api yang berhasil
lolos dari pembantaian Ki Temula dan orang-orang Perguruan Garuda Sakti!
Sentanu! Ceritakanlah apa yang kau alami! Agar Dewa Arak tidak tertipu oleh
penjahat culas itu!" teriak Panglima Jumali sambil menuding Ki Temula.
"Tutup mulutmu, Panglima Jumali!" teriak Panglima Jatalu keras. Tidak senang
hatinya melihat gurunya berkali-kali dihina Panglima Jumali. Kalau tidak segan
pada gurunya, sudah diterjangnya Panglima itu.
"Tenanglah, Jatalu," bujuk Ki Temula, pelan sekali.
Memang, berita yang didengarnya dari mulut Panglima Jumali terlalu mengejutkan
hatinya, sehingga membuatnya agak terpukul.
Panglima Jatalu pun terdiam. Bisa dimaklumi kata-kata gurunya. Kalau perasaan
harinya dituruti, bisa jadi persoalan ini akan menjadi kian kusut. Padahal,
gurunya telah bersusah-payah berusaha meluruskan persoalan.
"Maafkan aku, Guru," ucap Panglima Jatalu pelan.
7 Dewa Arak menatap tajam. langsung ke bola mata Sentanu. Pemuda berambut putih
keperakan ini mengenali pemuda berhidung besar ini sebagai salah seorang yang
pernah menyerbu Perguruan Garuda Sakti.
"Benar yang dikatakan Panglima Jumali, Sentanu?"
tanya Dewa Arak. Sepasang matanya yang tajam mencorong dan bersinar kehijauan
merayapi sekujur wajah pemuda di hadapannya.


Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sentanu bergidik melihat sorot mata Dewa Arak.
Sepasang mata di hadapannya seolah-olah bukan mata manusia saja, tapi lebih
cocok mata harimau!
"Semua yang dikatakan Panglima Jumali benar.
Semalam, Ki Temula bersama tiga puluh murid Perguruan Garuda Sakti menyerbu. Ki
Santa tewas di tangannya. Sementara, semua murid Perguruan Naga Api, tewas pula
di tangan murid-murid Perguruan Garuda Sakti. Tidak itu saja yang dilakukan,
mereka juga membakar habis bangunan perguruan kami!"
Dewa Arak tepekur. Terasa ada kesedihan yang mendalam pada suara pemuda di
hadapannya. Dia tahu Sentanu berkata benar. Tapi, Ki Temula juga tidak salah.
Yang masih menjadi tanda tanya baginya, siapa puluhan orang yang diyakini
Sentanu sebagai murid-murid Perguruan Garuda Sakti"
Dengan pandang mata penuh pertanyaan,
ditatapnya wajah Ki Temula. Sementara yang ditatap tengah tercenung bingung.
Keningnya berkernyit dalam Kakek ini memang tengah berpikir keras.
"Kau yakin kalau orang-orang itu adalah murid-murid Perguruan Garuda Sakti,
Sentanu?" tanya Dewa Arak lagi meminta ketegasan.
Sentanu menatap tajam wajah Dewa Arak. "Jangan salah paham, Sentanu. Yakinkah
kau kalau mereka bukan orang-orang persilatan golongan hitam?"
"Hhh...!" Sentanu menghela napas panjang. "Kau tidak mempercayaiku, Dewa Arak?"
tanya Sentanu. Nada suaranya terdengar kesal.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya. Mulutnya menyunggingkan senyum.
"Aku mempercayaimu. Sentanu. Hanya saja, aku butuh keterangan yang sejelas-
jelasnya. Maka, aku mohon agar kau bersedia memberikan keterangan yang jelas,"
tegas Arya. Mendengar ucapan Dewa Arak, wajah Sentanu
kembali berseri.
"Aku tidak akan begitu sembarangan menuduh, Arya. Orang orang yang menyerbu
Perguruan Naga Api semalam berseragam kuning, dan di dada kiri ada sulaman
gambar kepala seekor burung garuda.
"Hanya itu saja, Sentanu?" tanya Dewa Arak seraya mengernyitkan keningnya. Dan
memang, kalau hanya atas dasar itu saja, betapa kerdilnya wawasan pemuda ini
Sentanu menggelengkan kepalanya.
"Tidak hanya itu saja, Arya. Mereka juga memainkan semua ilmu Perguruan Garuda
Sakti, kecuali ilmu 'Cakar Garuda' Kepandaian mereka rata rata tinggi, sehingga
tidak aneh kalau semua murid perguruan kami semuanya terbantai. Tingkat
kepandaian mereka rata-rata setingkat dengan Kakang Prawira."
"Ahhh...!" desah Arya terkejut bukan main.
Ditatapnya wajah Ki Temula tajam. Sudah dapat diduga kalau orang-orang itu
adalah didikan Ki Kerpala. Dan mendengar kelihaian mereka, sudah bisa
diperkirakan kalau Ki Kerpala telah lama men-didiknya. Luar biasa! Sekian tahun
Ki Kerpala telah mampu keluar tanpa diketahui Ki Temula. Diam-diam Dewa Arak
menyalahkan keteledoran Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu.
"Bagaimana, Dewa Arak. Masih tidak percaya akan semua ucapannya" Cepat
Menyingkirlah dari situ, Dewa Arak. Sebelum kakek licik itu membokongmu!"
tegas Panglima Jumali.
Dewa Arak tersenyum.
"Terima kasih atas nasihatmu, Panglima. Aku percaya akan keterangan Sentanu,
Tapi, ketahuilah Aku telah lama menyelidiki peristiwa ini."
"Lalu bagaimana akhirnya, Dewa Arak?" tanya Panglima Jumali penuh gairah dan
berusaha melunakkan hatinya.
"Aku berhasil menemukan pelaku semua
kejahatan ini."
"Siapa dia, Dewa Arak" Ki Temula kan?" tebak Panglima itu langsung.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya
"Bukan, Panglima. Bukan Ki Temula pelakunya."
"Ahhh...!" terdengar seruan-seruan terkejut dari mulut Panglima Jumali, Panglima
Gotawa, Panglima Mantaya dan Sentanu.
"Bukan dia pelakunya" Lalu, siapa?" desak Panglima Jumali keras.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat menjawab,
seorang prajurit berseru keras.
"Panglima, istana kerajaan diserbu!"
"Apa"!" teriak Panglima Jumali, Panglima Gotawa,
Panglima Mantaya dan Panglima Jatalu berbareng.
Bagai berlomba mereka berlari ke arah prajurit yang berteriak itu. Dan apa yang
dikatakan prajurit itu memang benar. Dari ketinggian lereng gunung, nampak
terlihat serombongan orang bergerak cepat menuju Istana Kerajaan Bojong Gading.
"Cepat kembali ke istana!"
Serentak seluruh rombongan bergerak menuruni lereng menuju Kotaraja Kerajaan
Bojong Gading. *** Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang Kerajaan Bojong Gading mengernyitkan
kening, melihat di kejauhan debu tebal mengepul tinggi di udara.
"Apa itu, Badrun?" tanya salah seorang dari mereka.
Orang yang dipanggil Badrun menyipitkan
matanya. "Astaga...! Itu serombongan pasukan berkuda!"
"Apa"!" sahut temannya kaget "Mengapa prajurit penjaga perbatasan tidak memberi
kabar?" Setelah berkata demikian, kawan Badrun itu berlari masuk memberitahukan hal itu.
Sesaat kemudian, gegerlah suasana dalam istana.
Apalagi tatkala diketahui, pasukan prajurit di bawah pimpinan empat orang
Panglima tidak berada di tempat. Yang tinggal hanya sepasukan prajurit di bawah
pimpinan Panglima Dampu.
Memang, pasukan berkuda itu tak lain dari
pasukan prajurit Kadipaten Tasik, dibantu murid-murid Ki Kerpala dan tak
ketinggalan pula Peri Muka Seratus. Mereka memang bermaksud mengadakan
pemberontakan di bawah pimpinan Adipati Tasik,
Pradipta. Di bawah pimpinan Panglima Dampu dan Patih Rantaka, prajurit Kerajaan Bojong
Gading berusaha keras mempertahankan istana. Satu keuntungan bagi pasukan
Kerajaan Bojong Gading adalah, mereka mempunyai tempat berlindung yang amat
kuat. Dan kelebihan itu dimanfaatkan oleh mereka. Segera saja dipersiapkan
pasukan panah untuk mencegah
pasukan penyerang mendekati istana.
Dan siasat itu berhasil baik. Pasukan pemberontak yang mencoba maju segera
berguguran dibantai pasukan panah, sebelum sempat mendekat. Berkali-kali mereka
maju, tapi berkali-kali terpaksa mundur kembali dengan membawa banyak korban.
"Keparat!" Peri Muka Seratus menggeram melihat banyaknya korban di pasukan
mereka. "Kakang Kerpala, lebih baik kita yang lebih dulu masuk ke sana. Kita
hancurkan dulu pasukan panah itu. Karena kalau tidak, sampai kapan pun pasukan
Kita tidak akan mampu masuk!"
"Usulmu baik sekali, Komala. Mari Kita habisi mereka!" sahut Ki Kerpala gembira.
Maka kedua tokoh sakti ini segera melesat ke arah benteng Istana Bojong Gading.
Pasukan panah prajurit Bojong Gading yang
memang sejak tadi sudah siap siaga, segera menjepretkan gendewanya begitu
melihat dua sosok tubuh melesat cepat mendekati benteng.
Twang...! Twang...!
Puluhan batang anak panah melesat menyambar ke arah Ki Kerpala dan Peri Muka
Seratus. Tapi kali ini yang menjadi sasaran anak panah itu bukanlah tokoh yang
gampang tewas begitu saja, melainkan dua tokoh tingkat tinggi. Maka begitu
melihat sambaran puluhan anak panah yang melesat ke arah mereka, keduanya tidak menjadi
gugup. Peri Muka Seratus segera mencabut pedangnya, kemudian memutar-mutarnya laksana
baling baling. Trang...! Trang...! Trang...!
Akibatnya, puluhan anak panah yang menyambar ke arahnya, kandas di tengah jalan.
Tak satu pun yang mampu mengenai sasarannya. Memang hebat tindakan Peri Muka
Seratus! Tapi, masih lebih hebat lagi apa yang dilakukan Ki Kerpala! Kakek ini
sama sekali tidak menggunakan senjata. Dibiarkan saja hujan anak panah yang
menyambar tubuhnya.
Tasss...! Tasss !
Puluhan anak panah yang menyambar sekujur
tubuhnya meleset begitu mengenai sasaran. Seolah-olah yang dipanah itu bukanlah
tubuh manusia, melainkan batang logam yang licin! Inilah
keistimewaan aji 'Welut Putih' milik kakek kecil kurus ini.
Sementara anak panah yang menyambar ke arah matanya, ditepis dengan tangan
kosong. Maka, kontan anak-anak panah itu berpentalan dalam keadaan patah. Dari
peragaan ini saja, sudah bisa diperkirakan kedahsyatan tenaga dalam yang
dimiliki kakek ini.
"Hup...!"
Tanpa mengalami halangan yang berarti, Ki
Kerpala mendaratkan kedua kakinya di atas tembok benteng itu.
"Hup...!"
Peri Muka Seratus pun menyusul tiba. Tak ada sedikit pun bagian tubuhnya yang
terluka. Jangankan terluka. Lecet pun tidak.
Dan begitu berhasil mendarat, kedua tokoh tingkat
tinggi itu segera mengamuk dahsyat. Setiap kali tangan atau kaki mereka
bergerak, sudah dapat dipastikan akan ada tubuh yang rubuh dalam keadaan tidak
bernyawa lagi. Jerit lengking kematian terdengar saling susul. Dalam sekejap
mata saja, lebih dari separuh pasukan panah itu yang tewas.
Dan di saat itulah pasukan pemberontak itu maju menyerbu. Kali ini, tanpa ada
penghalang mereka dapat mencapai pintu gerbang. Adipati Pradipta adalah orang
yang pertama kali mencapai pintu gerbang istana. Laki-laki setengah baya itu
terdiam sejenak di depan pintu gerbang istana yang tertutup rapat. Seluruh
tenaga dalamnya kini dikumpulkan.
Sambil mengeluarkan pekik nyaring, Adipati Pradipta memukulkan kedua tangannya
ke depan. "Hiyaaa...!"
Brakkk...! Terdengar suara keras ketika pintu gerbang itu hancur berantakan. Dan begitu
pintu gerbang itu hancur, pasukan pemberontak itu pun maju
menyerbu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan liar.
Maka tak dapat dicegah lagi, pertempuran massal pun terjadi. Pasukan Kerajaan
Bojong Gading di bawah pimpinan Panglima Dampu dan Patih Rantaka, mati-matian
melawan. Tapi karena di pihak lawan banyak terdapat tokoh cukup tinggi ilmunya yang
merupakan murid Ki Kerpala, maka sebentar saja pasukan kerajaan sudah terdesak
hebat. Satu persatu mereka berguguran.
Adipati Pradipta tertawa tergelak. Dengan
perasaan tak sabar dia terus bergerak mendahului pasukannya menuju istana.
Hatinya benar-benar tak sabar lagi untuk segera masuk ke dalam istana itu, dan
membunuh Raja Bojong Gading, Prabu Nalanda.
Tapi di saat-saat gawat bagi keutuhan Kerajaan Bojong Gading, terdengar derap
langkah kuda. Itu pun masih disusul dengan munculnya, pasukan kerajaan yang
dipimpin empat orang Panglima.
Munculnya bantuan tak terduga-duga ini, tentu saja mengejutkan pihak Adipati
Pradipta. Tapi sebaliknya, menggembirakan pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Dewa Arak dan Ki Temula tanpa membuang-buang waktu lagi segera menerjang Ki
Kerpala dan Peri Muka Seratus yang tengah menyebar maut.
Ki Temula segera menghadang Ki Kerpala,
sementara Dewa Arak menghadang Peri Muka
Seratus. "Cukup, Kakang! Hentikan semua kekejaman ini Tanganmu sudah terlalu banyak
berlumur darah!"
geram kakek kecil kurus bermuka tikus ini pelan tapi penuh wibawa.
Ki Kerpala menghentikan gerakannya. Ditatapnya wajah adik seperguruannya tajam-
tajam. "Menyingkirlah, Temula. Aku tidak ingin mem-bunuhmu. Jangan sampai pikiranku
berubah!" "Aku bersedia menyingkir. Tapi dengan satu syarat!
Kau harus ikut aku. Kita kembali ke Perguruan Garuda Sakti!" tandas Ki Temula
tegas. "Keparat..! Rupanya kau memilih mati, Temula!
Kalau begitu, mampuslah!"
Setelah berkata demikian, Ki Kerpala melompat menerjang. Jari-jari tangannya
terkembang membentuk cakar garuda. Serangannya lurus ke arah kepala dengan
tangan kiri, sementara tangan kanan menyilang di depan dada.
Wut...! Ki Temula mendoyongkan tubuhnya ke belakang.
Tangan kanannya digerakkan dari dalam ke luar untuk menangkis serangan itu.
Sadar kalau lawan di hadapannya ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, tanpa
sungkan-sungkan lagi dikeluarkannya ilmu
'Cakar Garuda' Takkk...! "Akh...!"
Ki Temula terpekik kaget. Sekujur tangannya terasa sakit-sakit. Bahkan seluruh
tubuhnya pun tergetar hebat. Belum lagi kekagetannya hilang, kaki kanan kakak
seperguruannya lelah menyusul tiba-tiba dengan sebuah tendangan miring ke arah
kepala. Cepat-cepat Ki Temula merendahkan tubuhnya membentuk kuda-kuda rendah, sehingga
serangan itu lewat di atas kepalanya. Beberapa saat kemudian, kedua kakak
beradik seperguruan ini sudah terlibat pertempuran sengit. Pertempuran yang
hampir seimbang karena satu sama lain telah mengetahui ilmu masing-masing.
8 Sementara di tempat terpisah. Peri Muka Seratus menatap Arya lekat-lekat. Tokoh
hitam yang ahli dalam penyamaran ini teringat akan cerita Ki Kerpala.
"Hm..., kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?" tanya perempuan itu sambil
tersenyum sinis.
Tapi Dewa Arak sama sekali tidak mempedulikan ucapan lawannya. Dengan sikap
tenang, diambilnya guci yang tersampir di punggung. Kemudian diangkatnya ke atas
kepala, dan dituangkan ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki kerongkongannya. Sesaat
kemudian, hawa yang hangat pun mulai naik dari perut dan terus ke atas
kepalanya. Peri Muka Seratus geram bukan kepalang melihat sikap Dewa Arak yang seperti
tidak mempedulikannya Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, diterjangnya
pemuda berambut putih keperakan di depannya. Pedang di tangannya menusuk cepat
ke arah leher. Tapi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', mudah saja bagi Dewa Arak untuk
mengelakkan serangan itu. Bahkan sekaligus berbalik mengancam lawannya. Sesaat
kemudian keduanya sudah terlibat pertarungan cukup sengit.
Tapi lama kelamaan, nampaklah keunggulan Dewa Arak. Dan pertarungan pun
berlangsung berat sebelah. Kepandaian yang dimiliki Peri Muka Seratus
itu sebenarnya tinggi. Tapi lawan yang dihadapinya adalah Dewa Arak, seorang
pendekar muda yang memiliki ilmu lebih tinggi. Dengan keistimewaan ilmu
'Delapan Langkah Belalang', setiap serangan perempuan yang bernama asli Komala
itu kandas percuma. Sebaliknya setiap serangan Dewa Arak membuatnya terpontang-
panting menyelamatkan diri.
Tak heran belum sampai tiga puluh jurus, Peri Muka Seratus sudah terdesak hebat.
Dan sudah dapat dipastikan kalau tak lama lagi tokoh hitam yang ahli dalam
penyamaran ini akan roboh di tangan Arya.
Berbeda dengan keadaan Dewa Arak yang berada di atas angin, keadaan Ki Temula
malah sebaliknya.
Kakek ini malah terdesak hebat. Ki Kerpala dengan keistimewaan aji 'Welut
Putih', membuat Ketua Perguruan Garuda Sakti itu terdesak hebat.
"Haaat..!"
Ki Temula berteriak nyaring. Dengan kuda-kuda rendah dan saling bersilang,
tangan kanannya menyambar deras ke arah ulu hati lawannya. Dan sungguh di luar
dugaan, Ki Kerpala sama sekali tidak mempedulikan serangan itu. Dibiarkan saja
serangan itu, dan sebaliknya kaki kanannya menendang ke arah lutut adik
seperguruannya.
Prattt..! Rrrttt..! Tukkk...!
"Akh...!"
Kejadian yang berlangsung terlalu cepat. Serangan cakar Ki Temula yang tepat
mengenai ulu hati langsung meleset seperti menghantam sebuah benda licin. Tak


Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit pun jari-jari tangan yang biasanya mampu menembus baru karang keras itu
mampu melukai kulit Ki Kerpala. Tangan itu langsung terpeleset membawa serta
baju kakak seperguruannya yang koyak terkena cakaran tangan.
Sebaliknya tendangan Ki Kerpala tak mampu
dielakkan Ki Temula. Telak dan keras sekali tendangan itu mengenai lutut.
Seketika itu juga sambungan tulang lutut Ki Temula terlepas dan tubuhnya kontan
terhuyung. "Hiyaaa...!"
Ki Kerpala melompat memburu. Tangan kanannya menyampok deras ke arah pelipis.
Wajah Ki Temula pucat. Disadari kalau dirinya tidak akan mungkin mampu mengelak
atau menangkis serangan itu. Yang dapat dilakukannya hanya membelalakkan sepasang
matanya sambil menanti datangnya maut.
Sementara itu, Dewa Arak yang bertanding dengan Peri Muka Seratus, sesekali
perhatiannya terarah pada pertarungan Ki Temula melawan kakak
seperguruannya. Maka begitu melihat ancaman maut yang mengancam laki-laki
berwajah tirus itu, Arya langsung menghentikan desakan pada lawannya.
"Hih...!"
Dewa Arak memekik keras sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan,
mengerahkan jurus
'Pukulan Belalang' yang jarang digunakannya.
Wuttt...! Serangkum angin berhawa panas menyembur
keras mencegat tubuh Ki Kerpala yang tengah memburu Ki Temula. Maka laki-laki
berwajah hitam itu kaget bukan main. Dia sadar betul kalau pukulan jarak jauh
itu begitu dahsyat. Segera diurungkan serangannya, kemudian langsung dibanting
tubuhnya ke tanah dan bergulingan menjauh.
Peri Muka Seratus tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Begitu melihat lawan perhatiannya terpecah, segera wanita licik
ini melompat menerjang.
Pedang di tangannya diayunkan membacok kepala Dewa Arak dari atas ke bawah.
Tapi Peri Muka Seratus kecelik. Sungguh tidak dikira kalau Dewa Arak telah
memperhitungkan hal itu. Arya segera membalikkan tubuh dan menghentakkan kedua
tangannya menyambut serangan Peri Muka Seratus.
Wusss...! Bressss...!
"Aaa...!"
Peri Muka Seratus melengking panjang. Serangan jurus 'Pukulan Belalang' yang
dilontarkan Dewa Arak telak menghantam dadanya. Seketika itu juga. Tubuhnya yang
tengah berada di udara terpental jauh ke belakang. Sekujur tubuh wanita sesat
ini hangus. Tampak cairan merah berhamburan keluar dari mulut, hidung, dan telinganya.
Tamatlah riwayat Peri Muka Seratus.
"Jahanam...!" Ki Kerpala menggeram hebat melihat kematian bekas kekasihnya.
Memang puluhan tahun yang lalu. Peri Muka Seratus adalah kekasih Ki Kerpala.
Tanpa mempedulikan adik seperguruannya lagi, tubuh Ki Kerpala melesat ke arah
Arya. Kakek ini melambung tinggi ke udara. Kemudian dari atas tubuhnya menukik
turun, menyerang ubun-ubun Dewa Arak dengan jari-jari tangan terpentang lebar.
Karena tak ada kesempatan mengelak, Dewa Arak terpaksa menangkisnya. Sadar akan
kesaktian lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi dikerahkan seluruh tenaga dalamnya
yang telah mencapai taraf
kesempurnaan. Plak...! Maka benturan dua buah tangan yang sama-sama memiliki tenaga dalam tinggi
terjadi. Tubuh Ki Kerpala
terpental balik ke udara. Sedangkan Dewa Arak tidak bergeming sedikit pun, tapi
kedua kakinya menimbulkan jejak cukup dalam di tanah. Rupanya tekanan dari atas
yang terlalu berat, tak dapat ditahan tanah.
"Hiyaaa...!"
Dewa Arak segera bergerak mendahului. Guci yang tadi digenggamnya, kini telah
kembali tersampir di punggung. Kedua tangannya yang berisi ilmu
'Belalang Sakti', bergerak-gerak aneh, dan secara tidak terduga-duga menyerang
lawannya yang kini telah melayang turun.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya menapak tanah, secepat itu pula Ki Kerpala menggerakkan
tangan menangkis serangan itu. Kakek ini masih merasa penasaran bukan main.
Benturan tenaga dalam sebelumnya masih belum membuatnya puas. Mungkinkah Dewa
Arak mampu menandingi tenaga dalam yang
dimilikinya"
Dan kini, tak pelak lagi benturan antara sepasang tangan yang sama-sama memiliki
tenaga dalam tinggi, tidak tercegah lagi.
Plakkk...! Baik tubuh Dewa Arak maupun tubuh Ki Kerpala sama-sama terhuyung mundur dua
langkah ke belakang. Keduanya merasakan sekujur tangan mereka sakit dan nyeri.
Dewa Arak kaget bukan main. Sungguh tidak
disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki kakek berwajah hitam ini setingkat
dengannya. Padahal, selama ini Dewa Arak tidak pernah lalai berlatih. Baik
berlatih dengan cara bersemadi maupun pernapasan untuk menambah kekuatan tenaga
dalamnya. Dan pemuda ini juga tahu pasti kalau tenaga dalam yang dimilikinya kini telah maju
pesat. Jauh lebih kuat daripada saat pertama kali terjun ke dunia persilatan.
Tapi sekarang kenyataannya" Kakek ini mampu membendungnya!
Tapi kekagetan yang dialami Dewa Arak, tidak separah yang dialami Ki Kerpala.
Kakek ini kaget sekaligus terpukul bukan main, melihat kenyataan kalau lawannya
yang masih sangat muda itu mampu mengimbangi tenaga dalamnya. Padahal sejak
dikurung gurunya, dia selalu berlatih.
Tanpa diketahui kedua orang adik seper-
guruannya, Ki Kerpala terus berlatih keras. Baik semadi, pernapasan, bahkan
ilmu-ilmu hitam.
Dugaannya, kini tidak akan ada seorang pun yang mampu menandingi kekuatan tenaga
dalamnya. Tapi kenyataannya" Lawan yang masih muda itu mampu mengimbangi!
Tapi perasaan amarah Ki Kerpala ketika teringat kematian kekasihnya, telah
mengusir perasaan terkejut itu. Dengan amarah meluap-luap, kembali diterjang
lawannya. Sedangkan Arya tanpa sungkan sungkan lagi cepat menyambut tenangan
itu. Sesaat kemudian keduanya sudah lertibat dalam pertarungan sengit.
Melihat kakak seperguruannya telah bertarung melawan Dewa Arak, Ki Temula segera
melangkah menghampiri Prabu Nalanda. Raja Bojong Gading ini kini sudah tidak
khawatir lagi. Sementara itu pertempuran antara pasukan
pemberontak dengan pasukan Kerajaan Bojong Gading telah berakhir. Dengan
datangnya bantuan pasukan dari empat orang Panglima itu, pasukan pemberontak
pimpinan Adipati Pradipta berhasil
dilumpuhkan. Bahkan sang adipati sendiri tewas.
Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima Mantaya, dan Panglima Jatalu, segera
menjatuhkan diri di hadapan Prabu Nalanda.
"Kami siap menerima hukuman atas kesalahan kami, Gusti Prabu." ucap mereka
serentak. Prabu Nalanda tersenyum.
"Semula aku marah sekali atas tindakan kalian ini.
Tapi, Ki Temula telah menceritakan semuanya pada ku. Dan aku memakluminya.
Kalian semua ku-maafkan. Bangkitlah..." tutur Prabu Nalanda bijaksana.
"Ahhh...! Terima kasih, Gusti Prabu," sahut keempat Panglima itu sambil bangkit
berdiri. "Jadi, pemuda itukah orang yang kau ceritakan itu, Ki?" tanya Prabu Nalanda
sambil menatap Dewa Arak yang tengah bertarung melawan Ki Kerpala. Dan kini
semua pasang mata tertuju pada pertarungan antara Dewa Arak melawan kakek
bermuka hitam itu.
"Benar, Gusti Prabu." sahut Ki Temula. Memang, laki-laki berwajah tirus itu
sudah menceritakan pada Prabu Nalanda, mengenai semua kesalahpahaman yang
terjadi. Demikian pula tentang kerja keras Dewa Arak untuk menyelesaikan
pertikaian itu.
"Rasanya tidak pantas kalau Kita tidak membalas semua jasa-jasanya yang besar
ini, Ki. Dialah yang telah menyelamatkan Kerajaan Bojong Gading dari
kehancuran," tegas Prabu Nalanda lagi. Pelan suaranya.
Ki Temula mengernyitkan alisnya.
"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba tidak setuju.
Tapi sepengetahuan hamba, pemuda itu benar-benar tidak suka jika pertolongannya
itu dianggap jasa-jasa yang perlu dibalas," bantah Ki Temula dengan nada
halus. "Kita kan punya akal untuk mengatasinya, Ki,"
tegas Prabu Nalanda kalem, seraya tersenyum.
"Maksud, Gusti Prabu?" tanya Ki Temula, masih belum dapat menangkap maksud
ucapan Prabu Nalanda. "Sudahlah, Ki. Serahkan saja semuanya padaku,"
potong Raja Bojong Gading itu cepat sambil mengulapkan tangan.
Ki Temula tidak bisa membantah lagi, dan hanya mengalihkan pandangannya ke arah
pertempuran. Tampak gigi Dewa Arak bergemeletuk. Seluruh kemampuannya telah dikeluarkan, tapi
tak juga mampu mendesak kakek di hadapannya ini. Seratus jurus telah berlalu,
tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih
berlangsung seimbang.
Sebetulnya dengan keistimewaan Jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak
beberapa kali hampir berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan ke sekujur
tubuh lawan. Dan memang, setiap pukulan itu selalu meleset dan tergelincir
setiap mengenai sasaran. Itulah keistimewaan aji 'Welut Putih' yang mampu
membuat kulit tubuh menjadi licin sekali.
Prabu Nalanda mengerutkan alisnya. Kecepatan gerak kedua tokoh sakti itu,
membuatnya tidak dapat melihat jelas jalannya pertarungan. Yang terlihat
hanyalah kelebatan bayangan keunguan dan
kekuningan yang kadang saling belit, tapi kadang terpisah.
Ki Temula sejak tadi tengah menunggu-nunggu Ki Kerpala menggunakan ilmu 'Sirna
Raga'. Tapi, sampai sekian lamanya menanti, ternyata tak juga nampak ada tanda-
tanda akan dikeluarkan. Jadi, rupanya
kakak seperguruannya ini tidak berhasil mendapat-kan ilmu dahsyat itu.
"Bagaimana, Ki" Siapa kira-kira yang akan menang?" tanya Prabu Nalanda sambil
menolehkan kepalanya menatap Ki Temula.
"Dewa Arak memang luar biasa," desah kakek kecil kurus itu sambil menggeleng-
gelengkan kepala, penuh kekaguman.
"Jadi, kakak seperguruanmu itu akan dapat dikalahkannya?" tanya Prabu Nalanda
berseri-seri. Ada nada kekaguman dalam nada suaranya. Prabu Nalanda sukar membayangkan, sampai
di mana ketinggian ilmu pemuda yang berjuluk Dewa Arak itu.
Padahal Ki Temula saja tidak mampu menghadapi Ki Kerpala.
"Sebenarnya Dewa Arak memang mampu
mengalahkannya. Gusti Prabu. Tapi kakak seperguruan hamba memiliki aji 'Welut
Putih'. Sehingga, setiap pukulan atau tendangan Dewa Arak tidak berarti apa-
apa," jelas Ki Temula."Jadi... bagaimana, Ki?"
Ki Temula menghela napas panjang.
"Rasanya sulit bagi pemuda itu untuk mengalahkannya. Sayang, dia masih kurang
berpengalaman dalam menghadapi ilmu-ilmu aneh, Gusti. Padahal, dia memiliki ilmu
yang dapat melumpuhkan aji 'Welut Putih' itu."
"Ahhh..., jadi ..." suara Prabu Nalanda terputus di tengah jalan.
"Yahhh.... Kita hanya tinggal menunggu waktu saja, Gusti. Mudah-mudahan Dewa
Arak berhasil menemukan caranya. Kalau tidak, mungkin dia akan tewas di tangan
kakak seperguruan hamba. Lambat laun Dewa Arak akan kelelahan karena setiap
serangannya hanya sia-sia. Sementara kakak seperguruan hamba nampaknya menyimpan
tenaga, karena jarang melakukan serangan. Hamba dapat menduga siasatnya. Dia menunggu
Dewa Arak kelelahan, lalu baru turun tangan Dan saat itu, tidak begitu sulit untuk
menjatuhkan Dewa Arak"
"Kau tahu, bagaimana seharusnya Dewa Arak menghadapi lawannya, Ki?" tanya Prabu
Nalanda yang gelisah mendengar uraian panjang lebar kakek kecil kurus itu.
Ki Temula menganggukkan kepalanya, "Cepat beritahukan padanya, Ki," pinta Prabu
Nalanda penuh gairah.
"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba membantah perintah Gusti. Tapi hamba tidak
bisa bersikap seperti itu. Biar mereka bertarung secara jantan."
"Ahhh...!" Prabu Nalanda menghela napas. Alasan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu
memang bisa diterima dan masuk akal. Maka, raja ini tidak mendesak lagi.
Dialihkan pandangannya ke depan, ke arah pertarungan.
Sementara itu pertarungan sudah berlangsung hampir seratus tujuh puluh lima
jurus. Dan selama itu, entah berapa kali pukulan, tendangan, dan gebukan guci
Dewa Arak bersarang di sekujur tubuh Ki Kerpala, namun tanpa hasil apa-apa.
Sementara setiap serangan Ki Kerpala, belum ada satu pun yang mengenai
sasarannya. Memang dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang'-nya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan
setiap serangan itu.
Pada jurus keseratus delapan puluh, Dewa Arak melentingkan tubuhnya ke belakang
dan bersalto beberapa kali di udara. Sementara Ki Kerpala yang sejak menginjak
jurus keseratus tujuh puluh lima,
telah merasakan kalau serangan-serangan Dewa Arak telah mengendur, segera
melompat memburu. Tidak dibiarkan lawannya memulihkan tenaga.
"Hiyaaa...!"
Tapi Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu.
Sengaja sekarang ini serangannya agak dikendurkan, supaya lawan mengira dirinya
lelah. Padahal, berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Arya hampir tidak
pernah lelah. Setiap kali tenaganya mengendur, dia segera meminum araknya, dan
seketika itu juga pulih kembali. Dia berlaku seperti itu untuk menghilangkan
kewaspadaan lawan.
Ternyata usahanya berhasil, karena Ki Kerpala sudah mulai terpancing dan
memburunya penuh emosi. Di saat itulah, kedua tangan Dewa Arak dihentakkan ke
depan, menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'!
Wuuusss...! Angin berhawa panas berhembus keras ke arah tubuh Ki Kerpala yang tengah berada
di udara. Kakek berwajah hitam ini berteriak ngeri. Dan....
Bresss...! "Aaa...!"
Pukulan jarak jauh itu telak bersarang di dada Ki Kerpala. Seketika itu juga
tubuhnya terhempas jauh ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam keadaan
tanpa nyawa. Sekujur tubuhnya hangus.
Tampak darah bercucuran dari mulut, hidung, dan telinganya.
"Hhh...!" Arya menghela napas lega. Diangkatnya guci arak yang sejak tadi
digenggam ke atas kepala, lalu dituangkan arak itu ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki
tenggorokannya.
Prabu Nalanda dan Ki Temula bergegas meng-
hampiri Dewa Arak.
"Terima kasih atas semua pertolonganmu, Arya,"
ucap Prabu Nalanda tanpa ragu-ragu.
"Ah! Jangan berterima kasih padaku, Gusti Prabu.
Berterima kasihlah pada Gusti Allah," elak Dewa Arak.
Memang pemuda ini sudah bisa menduga kalau orang yang berdiri di hadapannya ini
adalah seorang raja.
"Apa yang kau katakan tidak salah, Arya. Tapi, sebagai seorang yang telah
menerima pertolongan begitu besar, wajar kalau aku memberi sesuatu, sebagai
tanda syukurku atas pertolongan Gusti Allah,"
ujar Prabu Nalanda, sambil tersenyum lebar.
"Tapi, Gusti.. ," Arya mencoba membantah.
"Kau harus menerimanya, Arya. Atau kau ingin mempermalukanku di hadapan seluruh
prajuritku?"
Dewa Arak tidak bisa membantah lagi.
"Nah! Sebagai tanda terima kasihku pada Gusti Allah, kau akan kunikahkan dengan
putriku, Arya,"
tegas Prabu Nalanda penuh wibawa, namun
terdengar buru-buru.
"Hah..."!" Dewa Arak melengak kaget. Ucapan Prabu Nalanda itu tak ubahnya petir
di tengah hari.


Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi, Gusti Prabu..."
"Ingat, Arya. Jangan membantah perintah seorang raja...!" potong Prabu Nalanda
cepat. Dewa Arak tertegun kebingungan. Dengan
pandangan mata seperti orang bodoh, ditatapnya Ki Temula. Tapi kakek itu malah
mengangkat bahu, lalu menghindari pandangan mata Dewa Arak.
Di saat gawat itu, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh, dan tahu-tahu di dekat
mereka telah berdiri
seorang gadis berpakaian putih. Wajahnya tampak cantik laksana dewi. Rambutnya
panjang terurai.
"Ayahanda..." sapa gadis itu lirih sambil memberi hormat pada Raja Bojong Gading
itu. Prabu Nalanda menoleh ke arah Ki Temula.
"lnilah wanita yang kuceritakan itu, Ki. Wanita perkasa yang telah
menyelamatkanku beberapa minggu lalu, dari tangan maut Peri Muka Seratus ketika
aku tengah berburu." jelas Raja Bojong Gading itu. "Sebagai tanda terima
kasihku, kujadikan dia anakku."
"Melati...," desah Dewa Arak terkejut. Sepasang matanya terbelalak melihat gadis
yang dicintainya itu telah menjadi putri seorang raja.
"Inilah putriku yang akan kujodohkan denganmu, Arya. Bagaimana, kau suka?" tanya
Prabu Nalanda sambil tersenyum dikulum. Dia telah tahu ada pertalian cinta
antara Melati, anak angkatnya dengan si Dewa Arak. Maka dia memang tidak ragu-
ragu lagi untuk memutuskan demikian.
Wajah Dewa Arak seketika memerah. Sungguh
terbuka sekali Prabu Nalanda mengajukan
pertanyaan seperti itu. Bahkan Melati sendiri sampai menundukkan wajahnya yang
mendadak menyem-burat merah.
"Itu..., eh! Anu... terserah Gusti Prabu saja...," jawab Dewa Arak terbata-bata.
"Jawablah sebagaimana seorang lelaki memberi jawaban, Arya," tegur Prabu Nalanda
dengan suara penuh wibawa.
Kian merah wajah Dewa Arak
"Hamba setuju, Gusti Prabu." tegas Arya Buana
"Bagus! itu baru jawaban seorang lelaki sejati!" puji Raja Bojong Gading ini
dengan wajah berseri-seri.
"Tapi hamba punya satu permintaan, Gusti,"
sambung Dewa Arak cepat.
"Apa itu, Arya" Katakan saja, jangan malu-rnalu."
"Hamba ingin usul agar pernikahan dilaksanakan nanti saja. Masih banyak tugas
yang harus kukerjakan, Gusti Prabu."
Prabu Nalanda mengernyitkan keningnya, tapi sesaat kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Disadari banyak orang yang membutuhkan pertolongan Dewa Arak.
"Aku tidak keberatan, Arya."
"Ayahanda...," ucap Melati yang sejak tadi menundukkan kepalanya. Suaranya pelan
sekali. "Ada apa, Anakku," sahut Prabu Nalanda.
"Maafkan Ananda, Ayahanda. Ananda datang terlambat sehingga tidak bisa membantu
Ayahanda menghadapi para pengacau itu "
"Tidak mengapa, Anakku. Ayah pun memakluminya," jawab Prabu Nalanda sambil
tersenyum. Memang, Raja Bojong Gading ini tahu kalau selama ini Melati sibuk mencari Dewa
Arak, setelah didengarnya Arya ada di Kotaraja Kerajaan Bojong Gading ini.
"Terima kasih, Ayahanda," ucap Melati seraya memberi hormat. "Ayahanda...."
"Ada apa lagi, Anakku" Katakanlah...," tegas Prabu Nalanda, masih dengan senyum
di bibir. "Hamba mohon pamit, Ayahanda. Hamba khawatir akan keselamatan guru hamba."
Prabu Nalanda tersenyum maklum. Diusap-
usapnya rambut Melati yang hitam tebal itu.
"Pergilah, Anakku. Tapi ingat, jangan lupakan Ayahmu ini. Sekali-sekali
mampirlah kemari."
"Akan kuusahakan, Ayahanda," sambut Melati
gembira mendapat persetujuan itu.
"Hamba juga mohon diri, Gusti Prabu," pamit Dewa Arak pula.
"Silakan, Arya. O, ya. Kalau sempat, sering-seringlah datang kemari!"
Dewa Arak hanya menganggukkan kepalanya, lalu segera melesat dari situ bersama
Melati. Dalam sekejap saja tubuh keduanya sudah lenyap
meninggalkan para prajurit dan perwira Kerajaan Bojong Gading.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari, Melati?"
tanya Dewa Arak yang agak bingung melihat
kemunculan Melati di sini.
Melati menghela napas. Wajahnya yang semula cerah, mendadak muram. Tentu saja
hal ini membuat Arya merasa tidak enak.
"Sejak kita datang waktu itu, sebenarnya Kakek sudah terluka dalam. Tapi, Kakek
tidak ingin aku mengetahuinya. Sampai akhirnya aku mengetahuinya sendiri. Maka
cepat-cepat aku pergi mencarimu, karena kaulah yang telah membawa obat pulung
itu." Arya terdiam. Ingatannya melayang pada Ki Julaga yang selalu dipanggil kakek
oleh gadis itu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak, dalam episode "Cinta Sang
Pendekar") Perlahan diambilnya sebuah gulungan kain dari jepitan sabuk di
pinggangnya, kemudian diberikan pada Melati.
"O ya, Kang. Kita kan sekarang sudah
dijodohkan!?" ujar Melati, tak tahan menyimpan perasaannya sejak tadi.
Ditatapnya lekat-lekat wajah Dewa Arak.
"Benar! Seharusnya aku berterima kasih pada Prabu Nalanda. Kalau saja tidak ada
beliau, mungkin aku belum resmi dijodohkan denganmu," goda Arya.
"Apa"!" pekik Melati. Sepasang matanya melotot
"Enaknya!"
Setelah berkata demikian, dicubitnya pinggang Arya, namun tidak keras. Arya
malah membiarkannya dan menangkap tangan gadis itu. Pelahan dibawanya tangan itu
ke mulutnya, dan dikecup lembut. Lama sekali baru dilepaskan kecupan itu.
"Pergilah, Melati. Kakek menantikanmu," ucap Arya pelan, namun cukup jelas
terdengar. "Tapi aku masih kangen, Kang," rajuk Melati sambil merangkul pinggang Arya.
"Ya. Tapi di lain saat Kita kan masih bisa bertemu lagi," bujuk Arya dengan
perasaan haru melihat Melati sangat membutuhkannya.
Setelah puas melepas kerinduan, akhirnya Melati meninggalkan tempat itu.
"Nanti kau mampir ya, Kang...," teriak Melati di kejauhan.
"Pasti..., pasti Melati," teriak Arya pula sambil memperhatikan kepergian gadis
yang disayanginya itu.
Setelah bayangan Melati lenyap di kejauhan, Arya baru melangkahkan kakinya untuk
menyongsong tugas-tugas lain yang telah menunggunya. Tugas selaku seorang
pendekar pembela keadilan.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Kereta Berdarah 1 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Memanah Burung Rajawali 2
^