Pencarian

Banjir Darah Bojong Gading 2

Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading Bagian 2


dilepaskan Ki Temula. Tapi begitu jarum-jarum itu jatuh ke tanah, kakek kecil
kurus itu telah lenyap dari situ.
Dewa Arak memang tidak berniat mengejarnya, karena disadari kalau hal itu tidak
ada gunanya. Hutan ini cukup lebat, lagi pula lawannya telah lenyap. Merupakan suatu
pekerjaan amat sulit dan berbahaya jika melakukan pengejaran, karena lawan dapat
saja membokongnya dari belakang!
*** Ki Santa memandang takjub terhadap Dewa Arak Dari adu tenaga tadi, dan pukulan
berhawa panas yang dilepaskan, dapat diketahui kalau pemuda berambut putih
keperakan ini memiliki kepandaian tinggi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak,"
ucap Ki Santa. Walaupun kakek ini belum pernah melihat Arya, tapi dia segera dapat
mengenalinya. Memang, nama besar Dewa Arak telah sampai ke Kerajaan Bojong
Gading. Kini rasa lelahnya telah menghilang. "Kalau tidak ada dirimu, mungkin
hari ini aku hanya tinggal nama saja," sambung Ki Santa merendah.
"Ah! Jangan berterima kasih kepadaku, Ki.
Berterima kasihlah pada Gusti Allah. Aku hanya perantara-Nya. Gusti Allah-lah
yang telah menuntun langkahku kemari."
Ki Santa tersenyum. Kekagumannya pada Dewa Arak pun semakin bertambah tebal.
Jelas, pemuda ini tidak mempunyai sifat sombong! Ini nampak dari tindak-
tanduknya. "Kau benar, Dewa Arak," dukung Ki Santa. "Hhh...!
Sungguh tidak kusangka kalau Ki Temula bisa sekeji ini..."
"Maaf, Ki Aku tidak sependapat denganmu,"
sergah Arya pelan, seraya mengerutkan keningnya.
"Aku yakin bukan Ki Temula pelaku semua pembunuhan keji ini. Masalahnya belum
lama ini aku juga habis dari Perguruan Garuda Sakti dan berbincang-bincang
dengan Ki Temula."
Mendengar pernyataan ini, Ki Santa tersentak.
Rasanya memang ada yang tak beres dalam
persoalan ini. Ingatan laki-laki beralis putih itu tiba-
tiba terarah pada seorang tokoh hitam yang menjadi musuh Ki Gayadi, adik
seperguruannya itu. Namun di lain hal, dia malah jadi sangsi. Ya! Mengapa orang
itu begitu sempurnanya memainkan ilmu 'Cakar
Garuda'" Sungguh suatu persoalan yang rumit!
"Hhh.. !" Ki Santa menghela napas. "Bisa kuterima ketidakpercayaanmu, Dewa Arak.
Semula aku juga tidak percaya ketika mendengar berita itu dari Branta.
Bahkan Branta juga telah melarang mereka untuk bertindak brutal seperti ini.
Tapi sungguh tidak kusangka kalau mereka pergi juga secara sembunyi-sembunyi.
Khawatir masalah itu akan bertambah runyam, maka aku segara menyusul kemari.
Untung saja kedatanganku tepat pada waktunya. Kalau tidak..., hhh...! Sukar
dpercaya ..."
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Tadi, Aki mengatakan kalau mulanya tidak percaya bahwa pembunuh Ki Gayadi itu
adalah Ki Temula?"
"Benar," jawab kakek berahs putih itu singkat "Apa alasannya untuk tidak
mempercayai?" kejar Dewa Arak lagi.
"Karena aku tahu kalau Ki Temula adalah sahabat akrab adik seperguruanku "
"Hanya itu saja, Ki?"
"Masih ada satu alasan lagi, Dewa Arak," sahut Ki Santa sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya
"Apa itu, Ki," desak Dewa Arak penuh gairah.
"Kami. Maksudku, Ki Gayadi dan Ki Temula dulu mempunyai musuh yang mempunyai
keahlian menyamar. Sudah lama dia mendendam pada kedua orang itu, tapi tidak pernah
berhasil terlampiaskan"
"Siapa dia, Ki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Peri Muka Seratus."
"Peri?" kening Dewa Arak berkernyit.
"Benar!" tegas kakek beralis putih itu. "Kabarnya dulu dia adalah seorang wanita
berwajah cantik, sehingga orang memberi julukan peri."
"Hm...," gumam Dewa Arak. Kepalanya terangguk-angguk. "Lalu mengapa sekarang
pendirianmu berubah, Ki" Maaf, bukannya aku sok tahu. Tapi dari nada bicaramu,
sepertinya kini kau percaya kalau pembunuh Ki Gayadi justru adalah Ki Temula."
Ki Santa menatap wajah Dewa Arak tajam-tajam.
Sepasang bola matanya merayapi sekujur wajah pemuda tampan berambut putih
keperakan yang berdiri di hadapannya ini.
"Peri Muka Seratus memang memiliki kepandaian tinggi. Tapi rasanya tidak mungkin
kalau sampai menguasai ilmu milik Perguruan Garuda Sakti.
Apalagi memainkan ilmu 'Cakar Garuda' begitu sempurna. Menyamar wajah orang dia
memang bisa. Tapi memainkan ilmu orang yang disamarinya dengan begitu sempurna, jelas tidak
mungkin dapat dilakukannya!" tandas Ki Santa.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Perlu kau ketahui, Dewa Arak," sambung kakek alis putih itu lagi. "Hanya ada
dua orang yang menguasai Ilmu 'Cakar Garuda'. Yang pertama Ki Matija, dan kedua
Ki Temula! Sementara, orang yang tadi bertempur denganku mempergunakan Ilmu
'Cakar Garuda'. Dan memainkannya demikian sempurna.
Nah! Dari pertempuran tadi, aku yakin kalau Ki Temula pembunuh adik
seperguruanku!"
Dewa Arak menghela napas panjang. Memang dia sendiri pun tadi melihat jelas
kalau orang yang menyerang Ki Santa adalah Ki Temula. Tapi, bukankah belum lama
ini dia habis berbincang-
bincang dengan Ki Temula" Dan kelihatannya, kakek muka tirus itu menolak mentah-
mentah jika dituduh membunuh Ki Gayadi.
"Prawira...'" panggil Ki Santa keras.
"Ya, Paman Guru," sahut pemuda bertahi lalat itu cepat, seraya melangkah
mendekati kakek beralis putih itu.
"Kau dan Sentanu kembali ke perguruan. Katakan pada Branta agar segera kemari
bersama seluruh murid. Kita akan menyerbu Perguruan Garuda Sakti untuk membalas
dendam!" "Ki..!" teriak Arya kaget. Ditatapnya tajam-tajam wajah kakek berahs putih itu.
Tapi Ki Santa sama sekali tidak mempedulikannya.
"Cepat, Prawira...!" perintah Ki Santa lagi.
Pemuda bertahi lalat ini tidak bisa membantah.
Bersama Sentanu, dia segera melesat meninggalkan tempat itu. Tapi belum begitu
jauh mereka pergi, tiba-tiba sesosok bayangan ungu melesat menghadang.
Sesaat kemudian, di hadapan kedua orang muda itu telah berdiri Dewa Arak.
"Tunggu sebentar...!" seru Dewa Arak mencegah.
Kedua tangannya diulurkan ke depan.
Seketika Prawira dan Sentanu menahan langkahnya. Dengan pandangan meminta
pertimbangan, mereka menoleh ke arah Ki Santa. Kakek beralis putih ini melangkah
maju. "Kuakui, aku dan seluruh murid Perguruan Naga Api yang ada di sini, berhutang
nyawa padamu, Dewa Arak. Tapi, hal itu tidak berarti kau seenaknya ikut campur
urusan ini! Ini urusan dalam perguruan, Dewa Arak. Urusan kehormatan! Kehormatan
bagi kami lebih daripada nyawa. Aku berjanji, atas nama Perguruan Naga Api, akan
membalas budimu!"
Keras dan tajam sekali kata-kata yang keluar dari mulut kakek beralis putih itu.
Bahkan wajah Dewa Arak pun jadi merah padam. Arya memang paling tidak suka kalau
ada orang yang mengungkit-ungkit pertolongan yang diberikan tanpa pamrih itu.
Apalagi dengan nada kasar begitu!
"Aku kecewa sekali melihat sikapmu, Ki. Jadi memang pantas kalau adik
seperguruanmu yang menjadi Ketua Perguruan Naga Api, dan bukan dirimu! Sebab,
wawasan pikiranmu terlalu sempit!
Hanya amarah dan dendam saja yang kau ikuti! Kau tentu tahu, Akibat apa yang
terjadi karena keputusanmu ini. Perang saudara! Apakah kau ingin hal itu
terjadi" Kalau ingin, silakan! Silakan turuti amarahmu itu! Dan si pembunuh
sebenarnya, pasti akan bersorak-sorak di belakang tengkukmu!"
Napas Dewa Arak terengah-engah. Ucapan yang didorong karena harga dirinya
tersinggung, dan kecemasan akan terjadinya sesuatu yang mengeri-kan, membuat
ucapannya begitu berapl-api. Bahkan terdengar kasar dan keras.
Kepala Ki Santa bagai tersiram seember air es.
Ucapan Dewa Arak menyadarkan dan meredakan amarahnya yang menggelegak. Amarahnya
memang telah sampai ke ubun-ubun. Ditariknya napas panjang-panjang, dan
dihembuskannya kuat-kuat untuk mendinginkan kepalanya yang dirasakan panas
terbakar amarah.
"Jadi menurutmu..., kudiamkan saja semua peng-hinaan yang dilakukan Ki Temula
itu padaku"!"
Dewa Arak tersenyum pahit.
"Jangan salah mengerti, Ki. Terus terang kukatakan padamu, aku tidak membela
pihak mana pun dalam hal ini Aku hanya ingin meluruskan
keadaan yang sebenarnya. Kalau ternyata terbukti Ki Temula yang bersalah,
terserah tindakanmu. Kau berhak melakukan pembalasan, dan aku akan berada di
belakangmu! Tapi dalam persoalan ini. aku melihat adanya banyak kejanggalan.
Terutama pertarungan-mu dengan orang yang kau anggap sebagai Ki Temula!"
"Kejanggalan"!" tanya Ki Santa. Kening kakek ini berkernyit dalam. "Boleh
kutahu, di mana kejang-galannya, Dewa Arak?"
"Tentu saja, Ki, Malah kau harus tahu. Karena kaulah orang yang paling
berkepentingan dalam hal ini!"
Kakek beralis putih itu hanya tersenyum hambar.
"Boleh kutahu, sudah berapa jurus kau dan Ki Temula bertempur?"
Ki Santa mengerutkan alisnya yang putih. Nampak jelas kakek ini tengah
mengingat-ingat.
"Kira-Kira... seratus jurus."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Waktu yang cukup lama. Apalagi, sebelum bertempur denganmu pembunuh itu juga
telah bertempur dengan murid-muridmu. Berarti sudah lama sekali dia berada di
sini. Padahal.... aku baru saja pamit pada Ki Temula untuk mencoba menyingkap
rahasia ini."
Wajah Ki Santa seketika berubah hebat.
"Jadi..., kau baru saja dari sana, Dewa Arak"!"
"Benar!"
"Lalu..., kalau bukan Ki Temula, siapa orang yang membunuh adik seperguruanku
dan murid-muridnya?" tanya kakek beralis putih ini. Kedengarannya, memang bodoh
sekali pertanyaan itu.
"itulah yang harus kita selidiki, Ki!" sahut Dewa
Arak tegas. "Sekarang kau bisa memaklumi tindakanku yang mencegah keputusanmu
tadi, Ki?"
"Hhh...!" Ki Santa menghela napas panjang.
"Maafkan atas kekasaran ucapanku tadi, Dewa Arak."
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Tidak ada yang perlu di maafkan, Ki. Seharusnya akulah yang meminta maaf
padamu. Ucapanku terlalu kasar tadi."
"Tapi, kadang-kadang sikap kasar pun diperlukan juga, Dewa Arak."
"Ya, Kira-Kira begitu...," desah Arya. "O, ya.
Sekarang, apa yang hendak kau lakukan, Ki?"
Ki Santa termenung beberapa saat lamanya.
"Menyuruh semua muridku kembali ke perguruan dan tidak melakukan perbuatan apa
pun sampai keadaan menjadi tenang. Hhh...! Terpaksa aku harus turun tangan untuk
menyingkap rahasia ini."
"Apakah tidak sebaiknya diwakilkan padaku, Ki?"
tanya Dewa Arak menawarkan bantuan.
"Bersantai-santai saja di perguruan, sementara kau bersusah payah
menyelidikinya" Tidak, Dewa Arak! Sudah terlalu banyak kau menanam budi pada
kami! Dan, aku tidak ingin menumpuk budimu, sehingga kami tidak mampu
membayarnya."
Dewa Arak menghembuskan napas panjang. "Aku mohon, jangan sebut-sebut lagi
tentang budi, Ki! Aku menolong secara sukarela, tanpa pamrih!" tandas Arya
tegas. Ki Santa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ditepuk-tepuknya bahu Dewa Arak.
"Sikapmu inilah yang lebih menimbulkan kekaguman di hatiku daripada kepandaian
yang kau miliki, Dewa Arak. Jarang orang seusiamu yang memiliki kepandaian
tinggi dan sekaligus mempunyai
sifat arif sepertimu!" puji kakek beralis putih itu.
"Ah! Kau memang pandai sekali memuji orang, Ki,"
elak Arya malu-malu. "O, ya. Aku pergi dulu, Ki!"
Setelah berkata demikian, Dewa Arak meng-
gerakkan tubuhnya. Kelihatannya seperti melangkah saja. Tapi hebatnya, dalam
sekejap mata saja tubuhnya sudah berada lebih sepuluh tombak dari tempat semula.
Sesaat kemudian, tubuhnya sudah lenyap ditelan kerimbunan semak-semak dan
pepohonan yang lebat.
"Bukan main...!" desah Ki Santa dengan mata memancarkan kekaguman. Sepasang
matanya masih saja menatap lurus ke depan, sekalipun tubuh Dewa Arak telah tidak
terlihat lagi. "Pemuda luar biasa...," desah kakek itu lagi sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sebentar kemudian, Ki Santa telah memerintahkan murid-murid Perguruan Naga Api
yang masih tersisa untuk menguburkan eman teman mereka yang tewas. Dan setelah
pekerjaan itu selesai. Ki Santa dan murid-muridnya pun berkelebat meninggalkan
tempat itu. 4 Siang baru saja merambat menuju senja, ketika sosok bayangan ungu berkelebat
cepat menyusuri Lereng Gunung Munjul. Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan, tidak berapa lama kemudian bayangan ungu yang
ternyata Dewa Arak sudah berada di depan pintu gerbang Perguruan Garuda Sakti.
Dan tentu saja kedatangannya segera diketahui oleh dua orang murid perguruan
yang tengah berjaga-jaga.
"Ah...! Kiranya Dewa Arak. .," desah salah seorang penjaga. Nada suaranya
menyiratkan perasaan lega.
Memang, semula begitu melihat sesosok tubuh yang melesat cepat ke arah
perguruan, hati dua orang murid ini sudah merasa tegang. Tidak aneh, karena baru
saja perguruan mereka telah diserbu.
"Ki Temula ada?" tanya Arya cepat.
"Ada Silakan masuk, Dewa Arak." sahut salah seorang penjaga, kemudian
mengantarkan Arya ke dalam. Mereka lalu bersama-sama menuju ruang utama
perguruan. Tentu saja kedatangan Dewa Arak mengejutkan Ki Temula, yang saat itu tengah
duduk menyendiri di ruang utama. Sebuah ruangan yang tertata apik, walaupun
berdinding papan. Pada tiap sisi dinding, dihiasi senjata-senjata kebanggaan
perguruan. Sementara itu, Ki Temula bergegas menghampiri Dewa Arak dengan benak dipenuhi
tanda tanya. Masalahnya, pemuda berambut keperakan itu belum lama pamit dari sini. Dan
sekarang, dia kembali lagi.
Apakah ada sesuatu yang tertinggal"
"Ada apa, Arya" Bukankah..."
"Aku ingin bicara, Ki. Ada persoalan yang amat penting," potong Dewa Arak,
melihat keheranan yang membayang di wajah kakek kecil kurus itu tatkala melihat
kedatangannya. "Mari. Kita bicara di dalam," ajak Ketua Perguruan Garuda Sakti ini seraya
melangkah masuk lebih dulu.
Tanpa banyak bicara, Arya segera mengikutinya.
"Sekarang katakan apa yang ingin kau bicarakan, Arya?" tanya Ki Temula setelah
mereka duduk berdua di sebuah ruangan dalam yang sepi. Dewa Arak memang telah
meminta agar kakek kecil kurus itu memanggil nama saja, bukan julukannya.
Dewa Arak mendehem sebentar, kemudian
menceritakan peristiwa yang terjadi di hutan di kaki Gunung Munjul ini. Dari
mulai pertarungan antara Ki Santa dengan kakek kecil kurus yang wajahnya mirip
Ki Temula, sampai pada keputusan Ki Santa yang hendak menyerang markas Perguruan
Garuda Sakti secara besar-besaran. Untunglah niatan itu berhasil dicegahnya.
"Ahhh...!" desah Ki Temula.
Perasaan kaget yang amat sangat nampak jelas di wajah laki-laki berwajah tikus
itu. Tapi meskipun demikian, sorot matanya memancarkan kegembiraan.
Bukankah kini dia telah bebas dari tuduhan"
"Sungguh tidak kusangka, persoalan telah menjadi segawat ini.... Untung ada kau,


Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arya. Sehingga, kesalahpahaman ini dapat diatasi. Bukankah dari kejadian ini
mereka tahu kalau aku bukan pelaku pembunuhan itu?" lanjut Ki Temula.
"Memang, kecurigaan mereka padamu sudah agak pupus, Ki. Tapi, tetap saja masih
ada satu ganjalan
lagi yang membuatku dan Ki Santa merasa heran...,"
ujar Arya seraya mengerutkan keningnya.
"Apa itu, Arya" Katakanlah...! Barangkali saja dapat kubantu," pinta Ki Temula.
Kembali perasaan tidak enak melanda hatinya. Sikap Dewa Arak itulah yang
membuatnya demikian.
Dewa Arak menatap kakek kecil kurus di depannya tajam-tajam. Sepasang matanya
merayapi sekujur wajah kakek itu, seolah-olah dengan cara begitu masalah yang
membingungkan hatinya bisa ter-singkap.
"Pembunuh itu menguasai seluruh ilmu perguruanmu, Ki. Bahkan ilmu 'Cakar Garuda'
pun dikuasainya. Padahal Ki Santa mengatakan bahwa hanya kau dan adik
seperguruanmu yang menguasai ilmu itu. Ini yang masih menjadi teka-teki buatku,
Ki." "Benar kata-katamu ini, Arya?" tanya kakek kecil kurus ini meminta kepastian.
Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Tidak enak hatinya mendapat pertanyaan
seperti itu. Terasa seperti adanya nada ketidakpercayaan dalam suara kakek itu.
"Perlukah bersumpah, Ki?" sindir Dewa Arak Wajah Ki Temula memerah. Bisa
dimaklumi ketidaksenangan hati pemuda di hadapannya ini.
"Maaf, Arya. Tentu saja tidak perlu sampai seberat itu. Ahhh...! Tapi....
maksudku. kuharap kau bisa memakluminya. Berita yang kudengar ini terlalu
mengejutkan hatiku "
"Jadi, benar yang dikatakan Ki Santa itu, Ki?"
desak Dewa Arak.
Perlahan-lahan kepala Ki Temula mengangguk.
"Jadi..., Kini tinggal Ki Matijalah sebagai tertuduh itu, Ki," ujar Dewa Arak.
"Bisa kumaklumi kecurigaanmu itu, Arya," ucap kakek itu pelan.
"Ada satu hal lagi yang membuatku curiga pada nya, Ki!" sambung Arya.
"Apa itu, Arya. Katakan saja, jangan ragu-ragu...,"
desak Ki Temula.
"Sikap Ki Matija yang terlalu telengas! Aku melihat sendiri, Ki. Betapa mudahnya
dia menurunkan tangan maut pada murid-murid Perguruan Naga Api!"
"Memang sudah menjadi sifatnya, Arya," jelas Ki Temula. "Adik seperguruanku itu
memang mempunyai sifat aneh. Apabila orang berbuat baik padanya, dia akan
membalas dengan kebaikan melebihi yang diterimanya. Demikian pula jika orang
menyakitinya, pembalasan yang dilakukannya lebih pula. Dia mempunyai sifat
angin-anginan. Mudah marah, tapi mudah pula memaafkan orang."
"Jadi..., dengan kata lain... Aki tidak sependapat denganku?" tanya Dewa Arak
meminta ketegasan.
Ki Temula termenung sejenak.
"Yahhh.... Kira-kira begitu, Arya. Tidak mungkin kalau Matija adalah pelaku
semua pembunuhan keji itu," Jawab Ki Temula tegas.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang dan berat, dan keningnya berkernyit. Ketegasan
kata-kata kakek kecil kurus itu membuatnya agak bingung.
"Kalau bukan Aki atau Ki Matija..., lalu siapa lagi"
Masih adakah orang lain yang menguasai ilmu 'Cakar Garuda' selain dirimu dan Ki
Matija, Ki?"
Ki Temula menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada. Hanya aku dan Matija yang menguasai ilmu 'Cakar Garuda'. Eh,
tapi..!" "Ada apa, Ki?" tanya Dewa Arak. Kaget juga
pemuda ini, melihat kakek kecil kurus ini menghentikan ucapannya begitu tiba-
tiba. Wajah Ki Temula berubah dan keningnya berkernyit dalam. Rupanya memang ada
sesuatu yang tengah dipikirkannya.
Ki Temula menatap tajam Dewa Arak. Sedangkan yang ditatap bersikap tenang-tenang
saja. "Kau mau berjanji untuk tidak memberitahukan pada orang lain, Arya?" tanya kakek
kecil kurus itu.
Pelan sekali suaranya.
Dewa Arak tercenung sebentar. Dibalasnya
pandang mata Ketua Perguruan Garuda Sakti ini tak kalah tajam. Ada perasaan
curiga di hatinya, melihat sikap Ki Temula yang seperti menyembunyikan sesuatu.
Sementara itu Ki Temula juga menyadari adanya kecurigaan pemuda berambut putih
keperakan di depannya.
"Jangan salah paham, Arya. Bukan maksudku ingin menyembunyikan sesuatu. Tapi...,
ini lain... Rahasia perguruan. Tanpa adanya janjimu, aku terpaksa tidak berani
mengatakannya."
"Meskipun karena sikapmu itu akan semakin banyak korban berjatuhan, Ki?" sindir
Dewa Arak. Ki Temula tersentak sehingga mengerutkan alisnya.
"Korban"! Apa maksudmu, Arya?" tanya Ki Temula.
Sepasang matanya merayapi wajah Dewa Arak penuh selidik.
"Maaf, Ki. Tanpa Aki teruskan pun sudah dapat kuduga bahwa ada orang ketiga yang
menguasai ilmu-ilmu Perguruan Garuda Sakti, termasuk 'Cakar Garuda'! Dan orang
itu adalah, apa yang dijadikan sebagai rahasia perguruan," tebak Arya. "Bukan
tidak mungkin kalau orang ketiga itulah yang memfitnah Aki selama ini!"
"Tidak mungkin!" bantah Ki Temula keras seraya bangkit dari duduknya.
"Mengapa tidak mungkin" Aki terlalu menutup-nutupi persoalan. Padahal masalah
ini sudah terlalu berlarut-larut. Bahkan pertumpahan darah hanya tinggal
menunggu waktu saja. Pembunuh itu jelas, orang dalam Perguruan Garuda Sakti!"
tegas Dewa Arak bernada menuduh.
"Jaga mulutmu, Dewa Arak!" teriak Ki Temula keras. Sepasang mata kakek ini
berkilat-kilat memancarkan sinar kemarahan. Dalam kemarahannya, Ki Temula tidak
memanggil pemuda di
hadapannya dengan namanya.
"Lalu kalau bukan orang dalam Perguruan Garuda Sakti, siapa lagi yang mampu
memainkan semua ilmu perguruan ini" Terutama sekali ilmu 'Cakar Garuda'!
Pikirlah, Ki!" balas Dewa Arak tak kalah keras.
Ki Temula terdiam. Perlahan-lahan kakek kecil kurus ini kembali duduk di
tempatnya. "Bukan hanya kau yang bingung, Arya. Aku pun dilanda perasaan yang sama," keluh
Ki Temula, mulai reda amarahnya.
"Hanya dengan keterusterangan Aki, persoalan ini mungkin bisa terungkapkan.
Mengapa Aki yakin kalau orang ketiga ini tidak mungkin melakukannya?" tanya Dewa
Arak. Juga lunak dan pelan suaranya.
Ki Temula menghela napas panjang. Nampak jelas kakek ini merasa berat untuk
menjawab pertanyaan itu.
"Baiklah, Ki. Aku berjanji tidak akan memberitahukan cerita ini kepada siapa
pun," desah Dewa Arak mengalah.
Ki Temula tersenyum mendengar janji Dewa Arak.
"Puluhan tahun yang lalu," tutur kakek itu memulai
ceritanya. "Guruku mempunyai tiga orang murid.
Kerpala sebagai murid tertua, lalu aku, dan Matija.
Kami bertiga memang memiliki bakat menonjol. Tak aneh, kalau semua ilmu guru
bisa dikuasai dengan cepat. Tapi sayang, Kakang Kerpala tergelincir ke jalan
sesat, sehingga Guru terpaksa mengutusku dan Matija untuk membawanya pulang.
Hanya sayang Kakang Kerpala waktu itu menolak, sehingga terpaksa aku dan Matija
membawanya pulang dengan kekerasan. Maka Guru pun menghukumnya dengan hukuman
seumur hidup."
"Jadi...," gumam Dewa Arak yang mulai paham keadaan sebenarnya.
"Ya. Sampai sekarang dia masih berada dalam ruang hukuman," keluh Ki Temula.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Itulah sebabnya, mengapa aku tidak percaya ketika kau menyatakan kecurigaanmu
padanya," sambung kakek itu lagi
"Bisa kulihat ruang hukuman itu, Ki?" tanya Arya meminta.
Ki Temula tersentak kaget dan beberapa saat lamanya termenung. Tampak jelas
kalau kakek ini tengah menimbang-nimbang. Ditatapnya lagi wajah Dewa Arak tajam-
tajam, kemudian pelahan tapi pasti kepalanya terangguk pelan.
"Mari kuantar ke sana, Arya," ajak Ki Temula pada pemuda berambut putih
keperakan itu sambil bangkit dari duduknya. Maka Dewa Arak pun bangkit dan
berjalan mengikuti Ki Temula.
*** "Inilah ruang tahanan itu, Arya," jelas Ki Temula menunjukkan sebuah ruangan
berukuran dua tombak kali dua tombak yang terpisah jauh dari bangunan-bangunan
lainnya. Dinding-dindingnya terbuat dari batu cadas yang amat tebal. Sementara
pintunya terbuat dari batangan baja bulat sebesar paha.
Dewa Arak memperhatikan ruang tahanan ini.
Ruang tahanan ini ternyata tidak dibuat manusia, melainkan secara alami. Hanya
pintu ruang tahanan itu saja yang dibuat tangan manusia.
Setelah memeriksa beberapa saat, tahulah Dewa Arak kalau tidak mungkin membobol
ruang tahanan ini dengan kekerasan. Dinding ruang itu terlalu tebal, dan tak
akan mungkin dapat dihancurkan tangan manusia.
Begitu pula pintunya yang terbuat dari baja yang amat kuat. Mungkin orang yang
memiliki tenaga dalam tinggi bisa mendobraknya. Hanya saja, sebelum pintu ini
didobrak, terlebih dahulu atap ruangan itu yang runtuh. Dan, orang yang hendak
menjebol pintu itu lebih dulu akan mati terkubur.
Perhatian Dewa Arak ini. Kini beralih pada jeruji-jeruji baja itu. Dengan
seksama, diamat-amatinya jeruji-jeruji itu karena barangkali ada tanda-tanda
pernah dibengkokkan secara paksa. Tapi kembali Arya kecewa. Ternyata batang-
batang jeruji itu mulus semua, tidak ada tanda-tanda pernah dibengkokkan secara
paksa. Di dalam ruang tahanan yang lebih patut disebut gua tahanan itu, tampak
meringkuk seorang kakek kecil kurus. Wajahnya berwarna hitam. Dan tangan dan
kakinya terlilit gelang-gelang baja yang disambung dengan rantai baja yang besar
dan kuat. Sepertinya, yang diikat itu bukan manusia melainkan
binatang tak berdaya.
"Bagaimana, Arya?" tanya Ki Temula yang sejak tadi memperhatikan Dewa Arak
meneliti tempat itu.
Ada nada kemenangan dalam suaranya.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang.
"Rasanya memang tidak mungkin Ki Kerpala bisa keluar dari sini...."
"Itulah sebabnya mengapa aku tidak sependapat denganmu, Arya!"
"O ya, Ki. Apakah kau sering menjenguknya?" tanya Dewa Arak tiba-tiba.
Ki Temula mengerutkan alisnya.
"Tidak. Aku datang menjenguknya tiga hari sekali.
Itu pun hanya untuk membawakan makanan."
"Kapan, Ki?" kejar Dewa Arak lagi.
"Malam atau siang?"
"Pagi," jawab kakek itu singkat.
Sekali lagi Dewa Arak menatap ke dalam ruang tahanan. Tampak kakek kecil kurus
berwajah hitam itu masih saja memejamkan mata. Mungkin sedang tidur.
"Aku rasa sudah cukup, Ki," ucap Dewa Arak "Dan terima kasih atas kesediaan Aki
memenuhi per-mintaanku."
"Tidak perlu berterima kasih, Arya. Seharusnya aku yang berterima kasih padamu.
Kau yang sama sekali tidak mempunyai sangkut-paut dalam hal ini, tapi secara
suka rela campur tangan...," sergah Ki Temula sambil menggoyang-goyangkan
tangannya. "Memang itu sudah menjadi tekadku sejak mempelajari ilmu silat, Ki," jelas Dewa
Arak "Ha ha ha...!" Ki Temula tertawa terbahak-bahak.
"Kau luar biasa, Arya. Sebenarnya bukan hanya kau saja yang mempunyai tekad
seperti itu. Tapi
sayangnya begitu telah merasa cukup, mereka pun lupa akan tekadnya!"
Dewa Arak hanya tersenyum saja.
"Aku pergi dulu, Ki," pamit Dewa Arak. Lama-lama rasanya memang risih juga
dipuji terus-menerus.
Seketika tubuhnya pun melesat. Cepat bukan main gerakannya, sehingga dalam
sekejap saja yang terlihat hanya sebuah titik yang semakin lama semakin mengecil
dan akhirnya lenyap di kejauhan.
*** Malam mulai jatuh menyelimuti bumi ketika dari lereng Gunung Munjul, melesat
sesosok bayangan kuning. Cepat sekali gerakannya, sehingga yang terlihat hanya
kelebatan bayangan kuning yang bergerak cepat ke kaki gunung.
Suasana malam yang gelap membuat wajah sosok bayangan kuning itu sukar dikenali.
Yang terlihat hanyalah tubuhnya yang kecil kurus.
Cukup lama juga tubuh kecil kurus ini berlari, sehingga hutan di kaki Gunung
Munjul pun telah jauh di belakangnya. Dan tiba-tiba larinya dihentikan di depan
sebuah rumah berdinding bilik. Kemudian dilangkahkan kakinya mendekati pintu
rumah itu. Tapi baru saja kakinya melangkah masuk sebuah suara telah menyambutnya.
"Mengapa lama sekali, Kakang?"
Sosok tubuh kecil kurus itu menatap ke arah pemilik suara. Tampak seorang wanita
setengah baya berpakaian biru tengah duduk di sebuah bangku.
Rambutnya digelung ke atas, dan di punggungnya tersampir sebatang pedang. Orang
itu dikenal betjuluk Peri Muka Seratus. Di samping wanita itu
juga duduk seorang laki-laki.
"Keadaan menghendaki demikian, Komala," jawab laki-laki kurus itu sambil
memandang Peri Muka Seratus. Wanita itu memang mempunyai nama asli Komala.
Kemudian sepasang matanya beralih, pada seorang laki-laki berusia tiga puluh
lima tahun dan berpakaian indah. Dia juga tengah duduk di sebelah Peri Muka
Seratus. "Bagaimana usahamu, Kang" Berhasil...?" tanya laki-laki berpakaian indah itu,
sambil menatap sosok tubuh kecil kurus yang kemudian duduk di
hadapannya. Laki-laki kecil kurus hanya menghela napas panjang.
"Sayang sekali, Adi Pradipta," desah laki-laki kurus yang ternyata seorang
kakek, pelan bernada keluhan.
Wajah laki-laki setengah baya yang dipanggil Pradipta seketika berubah. Dia
adalah seorang adipati di Kadipaten Tasik.
"Jadi..., usahamu gagal, Kang?" terdengar ada nada kekecewaan dari ucapan
Pradipta. "Gagal sih, tidak. "
"Lalu...?" desak Pradipta.
"Tidak berjalan sesuai rencana kita," jelas kakek kecil kurus.
"Hm...," gumam Adipati Pradipta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Seseorang telah ikut campur tangan dalam urusan ini! Kalau tidak, mungkin semua
berjalan sesuai rencana!" tambah si kakek kecil kurus.
"Keparat!" maki Peri Muka Seratus. "Siapa orang yang usilan itu, Kang" Sudah kau
singkirkan dia?"
"Belum, Komala," jawab kakek kecil kurus itu seraya menggelengkan kepalanya.
"Mengapa, Kang"! Bereskan saja orang itu, sebelum mengacaukan rencana Kita
selanjutnya!"
selak Pradipta.
"Orang itu memiliki kepandaian tinggi, Adi. Aku sendiri ragu, apakah sanggup
menghadapinya."
"Kau kenal orang itu, Kang?" tanya Pradipta. Mulai melunak suaranya.
"Kenal sih, tidak. Tapi berita mengenai kepandaiannya yang tinggi, sudah sering
kudengar,"
jelas kakek itu,
"Jadi, kau belum pernah bertempur dengannya, Kang"!"
"Sudah! Satu kali. Dan kabar itu tidak berlebihan.
Tenaga dalam yang dimilikinya cukup tinggi!"
"Ah...!" keluh Pradipta kaget. "Kalau begitu orang itu hebat sekali! Siapa dia,
Kang"!"
Kakek kecil kurus itu bangkit berdiri, lalu melangkah pelahan ke arah jendela.
Pandangannya menatap kosong ke luar beberapa saat lamanya.
Baru setelah itu dibalikkan tubuhnya.
"Dewa Arak...!" jawab kakek kurus itu lambat-lambat tapi penuh tekanan.
"Dewa Arak..."!" ulang Pradipta dan Peri Muka Seratus terkejut. Memang nama
besar Dewa Arak sudah sering terdengar, sebuah julukan yang telah menggoncangkan
dunia persilatan, dengan banyak tewasnya tokoh sakti di tangannya.
"Ya! Dewa Arak...!" tegas kakek itu lagi. Kemudian diceritakan pertarungannya
waktu menghadapi Dewa Arak, selagi dia hampir berhasil membasmi murid-murid
Perguruan Naga Api.


Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampak jelas Pradipta kebingungan mendengar berita itu. Adipati ini melangkah
mondar-mandir di ruangan itu. Keningnya berkernyit dalam dan rupanya
tengah berpikir keras.
"Aku ada usul, Kang...!" ucap adipati itu keras.
Sepasang matanya nampak berseri-seri.
Melihat sikap adipati itu, kakek kecil kurus menatap tajam ke arah laki-laki
berusia tiga puluh lima tahun itu. Ada rasa keingintahuan yang mendalam pada
sorot matanya. "Coba kemukakan usulmu, Adi Pradipta," pinta kakek itu penuh gairah.
Adipati Pradipta berdehem sebentar.
"Tidak ada jalan lain lagi, Kakang. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk
segera merebut Istana Bojong Gading. Kita langsung saja pada puncak rencana,"
tegas Adipati Pradipta.
"Maksudmu bagaimana, Pradipta?" tanya Peri Muka Seratus. Wanita licik ini memang
masih belum mengerti.
"Ya, Adi. Aku dan gurumu belum paham
maksudmu," tambah kakek kecil kurus itu. Memang, Peri Muka Seratus adalah guru
Adipati Pradipta.
"Begini, Kang. Kakang dan seluruh murid kakang malam ini juga menyerbu Perguruan
Naga Api. Bantai semua yang ada di sana, tapi sisakan seorang saja.
Sudah bisa kuperkirakan kalau orang yang tak terbunuh itu pasti ingin mengadakan
pembalasan. Dugaanku, kalau tidak ke Panglima Jumali, dia tentu mengadu ke Panglima Gotawa.
Dan paling tidak, pasti panglima itu membalas dendam dengan membawa pasukannya.
Bila ini benar, aku akan mengutus anak buahku untuk memberitahu Panglima Jatalu.
Maka dapat dipastikan akan terjadi bentrok antar pasukan.
Bagaimana, Kang" Bisa kau terima usulku ini?" jelas adipati itu. Ada senyum
terkembang di bibirnya.
Kakek kecil kurus ini mengacungkan ibu jarinya.
Bahkan Peri Muka Seratus pun tersenyum lebar.
"Dan selagi mereka semua saling bentrok, Kita akan menyerbu Istana Bojong
Gading. Begitu bukan maksudmu, Pradipta?" tebak Peri Muka Seratus.
"Benar, Guru."
"Otakmu memang selalu cemerlang, Adi," puji kakek berpakaian kuning itu. "Memang
mulanya sudah terpikir olehku untuk segera memajukan rencana Kita, lebih cepat
dari semula. Hanya saja, aku tidak tahu dari mana harus memulai. Kau memang
cerdik, Adi Pradipta!"
"Ha ha ha...!" Adipati Pradipta tertawa terbahak-bahak. "Tak lama lagi Kerajaan
Bojong Gading akan jatuh ke tanganku! Ha ha ha...!"
Kakek kecil kurus berpakaian kuning itu
mengerutkan alisnya ketika teringat sesuatu.
"Tunggu, Adi. Bagaimana dengan seragam Perguruan Garuda Sakti untuk murid-
muridku?" Adipati Pradipta tersenyum lebar.
"Tidak perlu kau pusingkan masalah itu, Kang.
Semuanya sejak jauh-jauh hari sudah kupersiapkan.
Kakang tinggal menyuruh mereka untuk mengena-kannya. Dan..., menghancurkan
Perguruan Naga Api!"
"Ha ha ha...!"
Suara gelak tawa langsung pecah dari rumah kecil berdinding bilik. Mereka memang
tidak pertu merasa khawatir terdengar orang, karena tempat itu letaknya amat
jauh dari tempat lainnya.
5 Glaar...! Kembali untuk yang kesekian kalinya halilintar menggelegar di angkasa. Beberapa
saat lamanya, suasana malam yang tersetimut awan hitam dan tebal sehingga
menutupi bulan, menjadi terang benderang. Titik-titik hujan pun pelahan-lahan
turun membasahi bumi, diiringi hembusan angin dingin membekukan tulang.
Dalam suasana malam seperti itu, rasanya orang lebih suka tinggal di dalam
rumah. Tapi, tidak demikian halnya dengan sosok bayangan serba kuning yang
tengah berkelebatan. Tubuhnya kecil kurus, namun gerakannya cepat bukan main.
Glarr...! Halilintar menggelegar lagi. Untuk beberapa saat lamanya keadaan kembali menjadi
terang benderang.
Cahaya terang yang sekilas itu cukup untuk menerangi wajah sosok bayangan kuning
yang ternyata seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun dan berwajah mirip
tikus. Dan ternyata tidak hanya kakek kecil kurus berpakaian kuning itu saja yang
berkeliaran di malam gelap dan dingin itu. Di belakangnya juga berkelebat
puluhan sosok tubuh berpakaian kuning yang bergerak gesit bukan main. Rupanya
kakek kecil kurus berpakaian kuning itu adalah pemimpin orang berseragam kuning
yang mengikuri di belakangnya.
Tak lama kemudian kakek kecil kurus itu menghentikan gerakannya, dan cepat
menyelinap ke batik
sebatang pohon. Kepalanya ditolehkan ke belakang, melihat rombongan orang
berseragam kuning yang masih berlarian agak jauh di belakang.
Sebentar kemudian, sepasang matanya dialihkan ke depan, menatap sebuah bangunan
besar dan megah yang dikelilingi pagar kayu bulat yang kelihatan kokoh kuat Pada
bagian atas pintu gerbang, terpampang sebuah papan tebal berukir yang
bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi, Perguruan Naga Api.
Tak lama kemudian, rombongan orang berseragam kuning itu pun tiba. Mereka pun
bergerombol bersembunyi. Sementara kakek kecil kurus berpakaian kuning itu
segera membalikkan tubuhnya, menghadap mereka yang jumlahnya tak kurang dari
tiga puluh orang.
"Ingat! Jangan kalian bunuh semua! Sisakan satu orang, agar mengabarkan
penyerbuan Kita! Kalian mengerti"!" desis kakek pakaian kuning seraya menatap
tajam. "Mengerti...!" desah mereka serempak.
"Bagus! Mari Kita mulai!"
Tanpa diperintah dua kali, puluhan sosok tubuh itu berkelebat cepat menuju
markas Perguruan Naga Api.
Sementara itu, kakek berpakaian kuning telah terlebih dulu melesat pergi.
Keadaan alam saat itu memang menguntungkan orang-orang berseragam kuning.
Laksana iblis bergentayangan, mereka berkelebatan cepat mendekati sasaran.
Kakek berpakaian kuning merupakan orang
pertama yang telah mendekati pintu gerbang. Cepat laksana kilat, sebelum kedua
penjaga itu menyadari, tubuhnya telah melesat cepat ke arah mereka.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian panjang seketika terdengar susul-menyusul mengikuti robohnya dua
sosok penjaga itu ke tanah. Karuan saja jeritan itu menyentakkan suasana yang
semula hening itu. Dan suara jeritan yang memang sudah keras, jadi bertambah
keras. Seketika suasana di perguruan itu menjadi gempar.
Sesaat kemudian, dari dalam bangunan-bangunan yang terdapat dalam markas
Perguruan Naga Api, berkelebatan beberapa orang yang bergerak cepat ke arah asal
jeritan tadi. Tapi, belum juga mereka mencapai tempat itu, sosok-sosok bayangan
kuning berkelebatan cepat menghadang.
Di antara mereka yang berkelebat keluar, tampak Prawira dan Sentanu. Mereka
nampak geram dihadang orang-orang berseragam kuning itu. Sinar lampu obor yang terpancang
hampir di setiap tempat, cukup untuk menerangi halaman luas itu, sehingga mereka
dapat melihat jelas orang-orang yang menghadang.
"Keparat..! Kalian murid-murid Perguruan Garuda Sakti...!" sentak Prawira kaget
melihat orang-orang itu berseragam kuning.
Dan seketika itu juga, orang-orang berseragam kuning serentak menyerang. Maka,
denting senjata beradu pun mulai menyemaraki suasana malam yang semula hening
dan sunyi mencekam itu. Sesekali diselingi jerit tertahan orang yang terkena
serangan lawan.
Tampak kakek berpakaian kuning dan bertubuh kecil kurus tengah mengamuk hebat.
Ke mana saja tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan di situ ada
tubuh yang roboh tanpa nyawa.
Sehingga dalam sebentar saja, sudah lima orang
tewas di tangannya.
Murid-murid Perguruan Naga Api yang kepandaiannya jauh di bawah kakek itu,
terdesak hebat. Apalagi ditambah para pengikutnya memang dalam hal jumlah tidak
kalah. Tapi banyak hal yang merugikan mereka. Salah satu di antaranya adalah
ketidak-siapan dalam menghadapi lawan yang tidak disangka-sangka itu. Apalagi
ketika beberapa saat kemudian, terbukti bahwa rata-rata kepandaian orang-orang
Perguruan Garuda Sakti di atas mereka.
Tampak satu persatu murid Perguruan Naga Api berguguran. Apalagi yang dihadapi
kini juga kakek kecil kurus berpakaian kuning. Keadaan mereka tak ubahnya semut-
semut menerjang api yang langsung roboh tanpa daya.
"Keparat..! Temula, akulah lawanmu!"
Berbareng selesainya ucapan itu, sesosok tubuh berjubah putih masuk ke tengah
arena dan langsung menerjang kakek berpakaian kuning yang ternyata Ki Temula.
Dia mengenal serangan yang berbahaya itu.
Cepat-cepat Ki Temula melompat mundur ke
belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong.
"Mengapa tidak sejak tadi kau keluar, Santa"!"
ejek kakek berwajah tirus tajam.
Tapi si penyerang yang ternyata Ki Santa tidak mempedulikan ejekan Ki Temula,
dan cepat menyerang lawannya. Amarahnya memang sudah sejak tadi berkobar-kobar, melihat
banyak murid Perguruan Naga Api yang tergeletak tanpa nyawa.
Jari-jari tangannya terkembang membentuk cakar naga. Tangan kanannya meluruk
deras ke arah ulu hati, sementara cakar tangan kiri menempel di pergelangan
tangan kanan. Posisi tangan itu ter-
palang di depan dada.
Ki Temula yang sudah tahu kelihaian kakek beralis putih itu, tanpa sungkan-
sungkan lagi mengeluarkan ilmu andalannya. 'Cakar Garuda'. Ibu jari dan
kelingkingnya dilipat ke dalam, membentuk cakar garuda. Tanpa sungkan-sungkan
lagi, dipapaknya serangan cakar itu.
Prattt ! Tubuh Ki Santa terdorong dua langkah, sementara Ki Temula hanya terhuyung satu
langkah ke belakang.
Tapi, begitu daya dorong yang membuat tubuh mereka terhuyung habis, mereka pun
saling gebrak kembali.
Ki Santa bertarung bagai macan luka. Kemarahan yang amat sangat berkobar-kobar
dalam hatinya. melihat satu persatu murid Perguruan Naga Api berguguran.
"Aaakh...!"
Kembali terdengar jeritan menyayat. Kali ini terdengar dari mulut Prawira!
Pemuda bertahi lalat besar ini berdiri tertatih-tatih sambil memegangi perutnya
yang robek memanjang. Darah mengalir deras dari luka lewat sela-sela jarinya.
Kemudian, tubuhnya roboh untuk selama-lamanya. Mati.
Gigi Ki Santa bergemeletuk menahan geram. Pilu hatinya melihat murid-muridnya
terbantai di depan mata tanpa dia mampu berbuat apa-apa. Maka kemarahannya pun
ditumpahkan pada Ki Temula.
Namun walau kakek beralis putih ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang
dimiliki, tetap saja tidak mampu mendesak lawannya.
Memasuki jurus ketujuh puluh, Ki Santa mulai terdesak. Sampai akhirnya pada
jurus ke tujuh puluh tiga, sebuah pukulan Ki Temula telak bersarang di
perutnya. "Hukh...!" keluh Ki Santa tertahan dan tubuhnya kontan terbungkuk. Di saat
itulah, kembali kaki kakek kecil kurus itu bergerak menendang.
Prak...! Terdengar suara berderak keras ketika tendangan itu menghantam kepala Ki Santa.
"Aaakh...!"
Kakek beralis putih itu memekik tertahan.
Beberapa saat lamanya tubuh Ki Santa terhuyung-huyung, sebelum akhirnya roboh ke
tanah dengan kepala pecah. Ki Santa tewas seketika itu juga.
"Ha ha ha...!" tawa bergelak penuh kemenangan terdengar dari mulut Ki Temula.
"Bakar habis semua bangunan ini...!" Tanpa diperintah dua kali, orang-orang
berseragam kuning itu melemparkan beberapa obor ke arah bangunan. Tak lama
kemudian, api pun mulai berkobar melahap bangunan Perguruan Naga Api.
"Ada yang berhasil meloloskan diri?" tanya kakek berpakaian kuning itu pada
salah seorang anak buahnya.
"Ada, Guru," jawab orang itu.
"Bagus...! Dan kita hanya tinggal menunggu api pertempuran meletus. Sebentar
lagi, Kerajaan Bojong Gading akan Kita kuasai. Bojong Gading akan dibanjiri
darah!" desis kakek kecil kurus itu tajam.
"Benar, Guru...," sahut si murid membenarkan.
"Kumpulkan mereka semua cepat, dan segera pergi dari sini! Api itu akan menarik
perhatian orang untuk menuju kemari! Cepat laksanakan!"
"Baik, Guru...!" sahut murid itu. Segera kawan-kawannya diperintahkan untuk
meninggalkan tempat itu. Sementara si kakek kecil kurus telah lebih dulu
melesat dari situ.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di luar pagar yang mengelilingi
bangunan Perguruan Naga Api. Tapi baru saja kakinya akan melangkah, sebuah
teguran telah menyapanya.
"Mau ke mana, Kang?"
Kakek berwajah tirus mirip tikus itu seketika mengangkat kepalanya. Di depannya
dalam jarak sekitar tiga tombak, berdiri seorang kakek berpakaian kuning dan
wajahnya mirip kuda. Siapa lagi kalau bukan Ki Matija.
"Matija...," desis kakek bertubuh kurus itu.
"Ya. Aku, Kang," desah Ki Matija pelan.
"Mau apa kau kemari, Matija"!" tanya Ki Temula.
Keras dan tajam nada suaranya.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Kang.
Apa yang kau lakukan di Perguruan Naga Api"!
Sungguh tidak kusangka kalau memang kaulah pelakunya!" tandas kakek beimuka kuda
itu seraya tersenyum mengejek.
Ki Temula menghela napas panjang.
"Kau salah paham, Matija. Perlu kau ketahui, aku...
eh...! Matija! Awas di belakangmu...!" teriak Ki Temula kalap.
Ki Matija terkejut bukan main mendengar
peringatan itu. Secepat kilat dibalikkan tubuhnya ke belakang, bersiap untuk
menghadapi segala kemungkinan. Tapi ternyata di belakangnya tidak ada apa-apa.
Sadarlah Ki Matija, kalau dirinya tertipu.
Buru-buru Ki Matija berbalik, tapi terlambat! Ki Temula yang telah menemukan
kesempatan, tidak menyia-nyiakannya begitu kakek muka kuda itu membalikkan
tubuh. Cepat laksana Kilat, dia
melompat menerjang. Dikerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya dalam penyerangan ini.
Prattt..! "Aaakh...!"
Ki Matija memekik tertahan. Serangan Ki Temula dalam jurus 'Cakar Garuda', telah
menghantam pelipisnya. Tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang ke belakang dengan
tulang pelipis retak. Ki Matija tewas, setelah meregang nyawa sebentar. Darah
segar langsung membasahi bumi.
"Ha ha ha...!"
Kembali tawa kemenangan terdengar dari mulut Ki Temula. Kemudian diangkatnya
tubuh kakek muka kuda itu, lalu dilemparkan ke dalam api yang tengah berkobar.
Tanpa ampun lagi, tubuh wakil ketua Perguruan Garuda Sakti segera dilalap api.
Sementara Ki Temula segera melesat kabur dari situ.
"Sayang waktuku tidak banyak, Matija! Kalau saja waktuku banyak, tak akan
kubiarkan kau mati secara demikian enak," desah kakek berwajah tirus itu
pelahan. Setelah berkata demikian, tubuh Ki Temula
melesat dari situ. Dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
ditelan kegelapan malam.
*** Sesosok bayangan ungu melesat cepat mendaki Lereng Gunung Munjul. Gerakannya
gesit bukan main. Suasana malam begitu gelap, sehingga wajahnya tersembunyikan.
Dan yang terlihat hanyalah sekelebat sinar ungu dan putih keperakan.
Rupanya bayangan itu menuju ruang tahanan
tempat Ki Kerpala berada. Ya, dia memang menuju
ruang tahanan yang lebih mirip gua itu. Langkahnya terhenti di sebuah ruang yang


Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depannya berjeruji besi baja bulat, dan berdinding baru cadas yang amat tebal.
Jelas, itu adalah ruang tahanan untuk Ki Kerpala.
Glarrrr...! Halilintar menggelegar kembali. Sesaat sinarnya yang terang menyinari bumi. Tapi
waktu yang hanya sesaat itu, sudah cukup untuk menerangi wajah bayangan ungu itu
dan ruang tahanan Ki Kerpala.
"Kosong...," desis si bayangan ungu yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa
Arak. Ruangan tahanan itu memang kosong, tak ada seorang pun di dalamnya. Yang
ada hanya rantai-rantai baja yang berserakan di lantai.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak melesat dari situ. Dikerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki, sehingga yang terlihat hanya bayangan ungu saja yang
berkelebatan cepat. Dan tak lama kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu
gerbang Perguruan Garuda Sakti.
"Ki Temula ada?" tanya Arya pada murid Perguruan Garuda Sakti yang menjaga pintu
gerbang. "Ada. Silakan masuk, Dewa Arak!" ucap salah seorang di antara mereka.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya
melangkah masuk dengan diantar salah seorang dari dua penjaga pintu gerbang itu.
Dan kini mereka tiba di ruang semadi Ki Temula. Penjaga itu lalu meninggalkan
Dewa Arak. Setelah mengetuk pintu sebentar, Arya segera masuk ketika mendapat
sahutan dari dalam.
"Arya! Silakan masuk," kata Ki Temula, seraya berdiri menyambut Arya.
"Aku membawa berita buruk untukmu, Ki," jelas Arya.
"Penting sekalikah berita itu, Arya" Sehingga di malam selarut ini kau datang
mengunjungiku?" tanya Ki Temula begitu mereka berdua telah berada di dalam ruang
semadinya. "Sangat penting, Ki," sahut Arya cepat.
Ki Temula mengerutkan alisnya.
"Hm..., urusan orang yang menyamar sebagai aku kan?" tebak kakek berwajah tirus
itu. "Benar, Ki. Dan aku telah tahu sekarang, siapa orang yang telah memfitnahmu
itu!" tandas Dewa Arak.
Wajah Ki Temula berubah. Sepasang matanya
menyipit merayapi wajah Dewa Arak.
"Benarkah apa yang kau katakan, Arya. Yakinkah kau kalau kali ini dugaanmu tidak
meleset?" tanya Ki Temula kurang yakin.
"Yakin, Ki," sahut Arya seraya menganggukkan kepalanya.
"Siapa orang itu, Arya?" tanya kakek kecil kurus itu.
Agak bergetar suaranya karena perasaan tegang yang melanda hatinya.
"Hhh...!" desah Dewa Arak sebelum memulai ucapannya. "Orang itu adalah..., Ki
Kerpala, Ki."
"Tidak mungkin!" sentak Ki Temula. Sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan.
"Tarik kembali ucapanmu, Arya! Atau..., terpaksa Kita berhadapan sebagai musuh!"
Dewa Arak menatap tajam Ki Temula.
"Apakah memang sudah menjadi sifatmu untuk tidak mempercayai ucapan setiap
orang, Ki?" sindir Arya tajam. "Apakah kau tidak berkeinginan untuk membuktikan
kebenaran berita yang kubawa ini. Mari
Kita cepat melihat ruang tahanan itu, Ki. Aku berani mempertaruhkan kepalaku
seandainya ucapanku tidak benar!"
"Baik! Mari Kita melihatnya! Dan ingat, Dewa Arak.
Kalau ternyata terbukti kata-katamu itu tidak benar.
Enyahlah kau dari sini, dan jangan injak tempatku lagi!"
"Baik! Mari Kita buktikan! Cepat, sebelum dia kembali lagi ke sana!"
Setelah berkata demikian, tubuh Dewa Arak
melesat Cepat bukan main gerakannya. Ki Temula tentu tak mau kalah. Tubuhnya
berkelebat cepat menyusul Dewa Arak yang telah melesat lebih dulu.
*** "Mustahil...!" teriak Ki Temula ketika melihat ruang tahanan sudah kosong, dan
rantai-rantai baja yang berserakan di lantai dalam keadaan utuh. Bergegas
diambilnya kunci pintu jeruji baja itu, kemudian dibukanya.
Dewa Arak tidak berkata apa-apa dan hanya
mengikuti tubuh Ketua Perguruan Garuda Sakti yang telah masuk ke dalam ruangan
itu. Ki Temula membungkukkan tubuh, memungut gelang-gelang baja yang melilit
pergelangan tangan dan kaki Ki Kerpala. Diperhatikannya sejenak, kemudian diper-
lihatkan pada Arya.
"Tidak ada tanda-tanda dibuka dengan kekerasan,"
desah Dewa Arak. Alisnya berkerut pertanda tengah berpikir keras. Memang Arya
telah mendengar, bahkan telah menjumpai tokoh-tokoh yang memiliki berbagal ilmu
yang aneh. Tapi, penemuannya kali ini membuat Dewa Arak bingung.
Ki Temula tampak tercenung. Wajahnya
menyorotkan penyesalan yang mendalam. Ditatapnya lagi seruruh ruangan tahanan
itu. "Hhh...!" kakek kecil kurus ini menghela napas panjang. "Maafkan atas kekasaran
sikapku, Dewa Arak. Ahhh..., betapa tololnya aku! Padahal dulu telah kuketahui
kalau Kakang Kerpala gemar mempelajari ilmu-ilmu hitam. Tak salah lagi, ilmu
yang digunakannya untuk membuat tangan dan kakinya lolos dari gelang-gelang baja
itu pastilah aji 'Welut Putih'. Tapi, ilmu apa yang membuatnya mampu menerobos
sela-sela jeruji baja ini" Hhh...! Kecerobohanku telah menyebabkan peristiwa ini
terjadi." "Sudahlah, Ki. Tidak ada gunanya lagi menyesal dan mengeluh sekarang. Yang harus
Kita lakukan adalah mencegah terjadinya peristiwa selanjutnya,"
usul Dewa Arak.
Ki Temula menatap tajam Dewa Arak.
"Apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah, Arya. Tapi, pelaksanaan ucapan
itu yang sulit. Apalagi kau sama sekali belum mengetahui kelihaian Kakang
Kerpala. Dulu sewaktu aku dan Adi Matija
menangkapnya, dia tengah mempelajari ilmu 'Sirna Raga'. Hhh...! Aku khawatir
kalau sekarang ilmu itu telah sempurna dikuasainya. Entah bagaimana
menghadapinya...," ujar Ketua Perguruan Garuda Sakti itu bernada mengeluh.
'"Sirna Raga'"!" tanya Dewa Arak Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang amat
sangat. Telah didengarnya kehebatan ilmu 'Sirna Raga' itu. Dengan ilmu itu,
seseorang akan mampu menghilang. Jadi bagaimana caranya menghadapi ilmu seperti
itu" "Yang masih kubingungkan. Dengan ilmu apa dia sanggup meloloskan diri dari
celah-celah jeruji baja
yang sempit ini" Mungkinkah dengan aji 'Welut Putih'
juga?" tanya Ki Temula seperti untuk dirinya sendiri.
Dewa Arak tercenung. Keistimewaan aji 'Welut Putih' memang sudah pernah
didengarnya. Ilmu itu mampu membuat tubuh si pemilik aji itu selicin belut, dan
mampu membuat tubuh seolah tak bertulang.
Memang sukar bagi lawan untuk menyarangkan serangan karena kelicinan kulitnya
itu. "Sudahlah, Ki. Lagi pula bukan maksudku membuat pusing Aki dengan menunjukkan
hal ini. Aku hanya ingin memberitahu ada orang yang telah mencemarkan nama Aki."
Ki Temula sama sekali tidak menyahut. Kakek ini masih dibingungkan dengan
lolosnya Ki Kerpala dari dalam kurungan itu.
"Lebih baik Kita tunggu saja, Ki. Bukan tidak mungkin, setelah selesai dengan
aksinya Ki Kerpala akan kembali kemari. Dengan demikian Kita berdua bisa mencoba
untuk menangkapnya," usul Dewa Arak.
"Hhh...!" Lagi-lagi Ki Temula menghela napas panjang. "Jadi merepotkanmu saja,
Arya." "Sama sekali tidak, Ki," sergah Dewa Arak cepat
"Memang sudah menjadi sifatku yang suka menyelesaikan urusan yang tidak wajar."
"Terima kasih, Arya," ucap kakek itu pelahan.
"Lupakanlah, Ki," sahut Dewa Arak risih.
Setelah itu suasana pun hening. Tidak terdengar lagi ada yang berbicara.
Keduanya tenggelam dalam lamunan masing-masing. Tapi meskipun demikian, sepasang
mata dan pendengaran mereka dipasang tajam-tajam, menunggu kembalinya Ki Kerpala
ke dalam kurungan.
6 Seorang pria berseragam putih-putih melangkah tersuruk-suruk menembus kepekatan
malam yang gelap gulita.
Glaar...! Ketika kilat menyambar dan menerangi bumi, tampaklah kalau sosok tubuh itu
adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Di baju bagian dada
kirinya yang putih, tersulam gambar kepala seekor naga yang tengah menyemburkan
api. Dari sini sudah bisa ditebak kalau pemuda ini adalah salah seorang murid
Perguruan Naga Api.
Memang, pemuda itu adalah Sentanu yang sengaja dibiarkan lolos oleh kawanan
penyerang berseragam kuning, tanpa setahu pemuda itu sendiri.
"Hhh... hhh... hhh...!"
Napas Sentanu nampak terengah-engah, tapi
sama sekali tidak dipedulikannya. Terus saja kakinya berlari menuju Kotaraja
Kerajaan Bojong Gading.
Setelah cukup jauh dari bangunan perguruannya, Sentanu menolehkan kepala. Dan
terkejutlah hati pemuda ini ketika melihat api membumbung tinggi dari arah yang
ditinggalkannya. Tanpa ke sana pun pemuda ini sudah tahu kalau tempat yang
tengah dilalap oleh api itu adalah bangunan perguruannya.
Dada Sentanu seketika sesak oleh rasa amarah dan haru yang mendalam. Kalau
menuruti perasaan hatinya, ingin rasanya dia kembali ke sana dan mengadu nyawa
dengan orang-orang yang telah membumi-hanguskan perguruannya. Tapi kalau diri-
nya juga tewas, siapa yang akan membalas kekejian ini"
Entah berapa lama Sentanu berlari, dan pemuda ini tidak mempedulikannya.
Langkahnya semakin dipercepat ketika tak jauh di depannya sudah nampak sebuah
bangunan besar dan megah.
Halamannya luas, dan dikurung pagar tembok yang tinggi dan kokoh.
"Berhenti...! Siapa kau"!" cegat salah seorang penjaga pintu gerbang, begitu
melihat Sentanu bergerak menuju pintu gerbang yang dijaganya.
Tombak di tangannya ditodongkan ke perut Sentanu.
Sentanu mengatur napasnya sejenak
"Tolong... tolong antarkan aku menghadap Panglima Jumali," pinta Sentanu terengah-
engah. "Ada urusan apa hendak menemui beliau?" tanya penjaga itu. Todongan tombaknya
tidak juga dijauh-kan dari tubuh Sentanu. Sementara, sepasang matanya merayapi
wajah pemuda di hadapannya, dalam keremangan cahaya obor yang terpancang dekat
situ. "Aku adalah adik seperguruannya. Katakan saja pada Panglima Jumali bahwa ada
murid Perguruan Naga Api yang ingin bertemu."
"Ahhh...!" seru penjaga itu terkejut. Dijauhkannya todongan tombaknya dari perut
Sentanu. Penjaga itu rupanya tahu kalau Panglima Jumali adalah murid Perguruan
Naga Api. "Maaf... aku tidak tahu."
"Tidak mengapa...," desah Sentanu. Dimakluminya perlakuan penjaga itu padanya.
"Kalau begitu, harap Kisanak menunggu sebentar."
Setelah berkata demikian, penjaga itu berlari masuk ke dalam. Sedangkan Sentanu
berdiri di depan pintu gerbang ditemani seorang penjaga lain.
Tak lama kemudian, penjaga yang melapor itu telah kembali bersama seorang pria
Tusuk Kondai Pusaka 12 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Jodoh Rajawali 28
^