Pencarian

Cinta Sang Pendekar 1

Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar Bagian 1


CINTA SANG PENDEKAR
Oleh Aji Sa ka Cetakan pertama Penerbit
Cintamedia, Ja ka r ta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro' s
Hak cipta pada Pener bit
Dilarang mengcopy atau m em per ba nya k
sebagian atau seluruh isi buku ini
ta npa izin tertulis dari pener bit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Cinta Sang Pendekar
128 haL ; 12 x 18 cm
1 "Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras yang memecah
kesunyian di pagi ini. Sesosok tubuh berkulit hitam yang tengah bersemadi,
membuka sepasang matanya dan memandang ke arah asal suara itu.
Suara tawa yang menggelegar, membuat isi
dadanya terasa bergetar. Suatu bukti nyata ketinggian tenaga dalam pemillk suara
itu. Sekitar tiga tombak di hadapan laki-laki
berkulit hitam itu, berdiri
seorang pemuda berwajah tampan. Bibirnya tampak tersenyum sinis, dan sepasang matanya berkilat
tajam. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua
tahun. Kulitnya berwarna kecoklatan, seperti ju ga warna pakaiannya. Di kanan-
kiri pingga n gn ya terselip sebatang kapak berwarna perak m engkila t.
"Kaget, Ular Hitam?" tanya pemuda itu mengejek. Sikapnya terlihat memandang
renda h kepada orang di depannya.
Orang tua berjuluk Ular Hitam itu, bangkit dari semadinya dengan sikap waspada.
Pameran tenaga dalam yang disalurkan lewat suara tadi membuatnya berhati-hati.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Ular Hitam tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda
itu. Seketika sepasang m a ta pem u da berpakaian serba coklat itu berkilat, kar ena pertanyaannya sama sekali tidak
dipedu lika n kakek di hadapannya. Raut wajahnya terpancar kemarahan.
"Kau kenal Ki Jatayu?" tanya pemuda itu.
Dingin dan datar suaranya.
"Hah..."! Apa hubunganmu dengannya...?"
tanya Datuk Barat ini dengan jantung berdebar keras. Wajah Ular
Hitam langsung berubah
mendengar nama yang disebut pemuda itu. Dia kenal betul siapa Ki Jatayu. Salah
seorang pelayan kakaknya yang kabur membawa kitab pusaka.
"Aku muridnya...," pelan dan tenang suara pemuda itu.
"Apa"!"
sepasang mata Ular Hitam terbelalak bagaikan melihat hantu.
"Kau terkejut, Ular Hitam" Aku yakin
sekarang kau tentu sudah tahu maksud kedatanganku ke sini, bukan?"
Belum juga gema ucapannya habis, murid
Ki Jatayu itu telah melesat menerjang Ular Hitam.
Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus. Tangan kanannya bergerak menusuk ke
arah leher, sementara tangan kiri terpalang di depan dada.
Angin berdecit tajam, berdesing dan mengaung, seolah-olah sebatang pedang yang amat tajam mengibas-ngibas mencari
sasaran. Sebagai datuk yang telah puluhan tahun
malang-melintang di dunia persilatan, Ular Hitam mengenal betul serangan
berbahaya. Maka, buru-buru digeser kakinya ke samping.
Sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di depan
tubuhnya. Tetapi sesuatu yang mengejutkan
kakek itu terjadi.
Brettt...! Baju di bagian dadanya robek memanjang,
seperti tersayat pisau atau pedang tajam. Tentu saja hal ini membuat Datuk Barat
ini kaget bukan main! Padahal kakek ini tahu pasti kalau serangan itu telah
dielakkan sebelum sempat mengenainya.
Jadi, angin serangan itulah yang telah menyerempet bajunya.
Seketika Ular Hitam tersentak ketika ter inga t akan ilmu yang mempunyai akibat begitu dahysat itu.
'"Tangan Pedang'...!" teriak Datuk Barat itu keras.
'Tangan Pedang' adalah salah satu ilmu
milik Ki Gering Langit yang mempunyai keistimewaan membuat tangan setajam pedang!
Bahkan bagi yang telah memiliki tenaga dalam tinggi,
angin serangannya pun
tak kalah dahsyatnya dibanding babaran pedang tajam!
"Rupanya matamu belum lamur, Ular
Hitam!" ejek pemuda berpakaian coklat itu.
Ular Hitam menggeram. Terdengar suara
bergemeletuk keras dari sekujur tulang-tulang tubuhnya. Ketika amarahnya meluap-
luap, kakek ini mengeluarkan ilmu andalannya. ilmu 'Ular Terbang'. Kedua
tangannya yang membentuk
kepala ular, berkelebatan cepat melakukan sodokan-sodokan tak terduga ke bagian ulu hati dan tenggorokan.
Angin berdecit keras mengiringi tibanya
serangan serangan Ular Hitam itu. Suatu tanda kalau serangannya ditunjang tenaga
dalam tinggi. Tetapi pemuda berbaju coklat itu hanya tersenyum mengejek. Dengan gerakan yang
tak kalah cepat, dijegalnya serangan-serangan yang mengancam lewat tebasan-
tebasan dengan sisi tapak tangan miring. Takkk! Takkk!
Benturan antara dua tangan yang sama-
sama memiliki tenaga dalam tinggi pun tak
terhindari lagi. Tubuh Ular Hitam terhuyung dua langkah ke belakang, sementara
tubuh pemuda murid Ki Jatayu hanya bergetar saja.
Ular Hitam terperanjat melihat kenyataan
ini. Memang sudah diduga kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda sombong di
hadapannya cukup tinggi. Namun sungguh di luar dugaan kalau sampai begitu
tinggi, sehingga tidak kalah dahsyat dengan yang dimiliki anak asuhnya, si Dewa
Arak. Rasa perih yang melanda, membuat kakek
itu melirik kedua tangannya yang tadi berbenturan dengan sisi tangan pemuda itu. Pucat wajah Ular Hitam ketika melihat
lengan bajunya robek seperti tersayat pedang. Bahkan sepasang tangannya pun
nampak bergaris tipis memanjang, yang pelahan namun pasti muncul bintik-bintik
merah. Darah! Tapi kakek ini tidak mempedulikan. Kembali diterjangnya murid Ki Jatayu itu dengan
segenap kemampuan yang dimiliki. Tentu saja pemuda berbaju coklat itu tidak
tinggal diam. Langsung dibalasnya serangan dahsyat itu dengan tak kalah dahsyat.
Baik Ular Hitam maupun murid Ki Jatayu,
sama-sama memiliki gerakan yang amat cepat.
Sehingga tidak aneh, kalau yang nampak hanyalah dua buah bayangan berwarna hitam dan coklat yang saling sambar, dan
terkadang saling terpental.
Dalam waktu sebentar saja pertarungan itu
telah berlangsung lebih dari sepuluh jurus. Dan selama itu, beberapa kali sosok
bayangan hitam terpental keluar dari arena pertarungan. Tapi, hal itu
berlangsung hanya sekejap saja karena sosok bayangan coklat kemudian memburunya.
Maka kembali kedua bayangan itu saling sambar.
Suara mendesing dan mengaung menyemaraki pertarungan antara kedua orang sakti itu. Pepohonan bertumbangan,
batu-batu besar maupun kecil beterbangan. Dan debu pun ikut mengepul tinggi ke
udara. Pada jurus kelima puluh tujuh, untuk yang
kesekian kalinya, sosok bayangan hitam kembali terpental ke belakang. Tapi kali
ini lebih parah dari sebelumnya. Sosok bayangan memang adalah Ular Hitam,
terjengkang dan terguling-guling di tanah. Namun dengan sigap laki-laki tua itu
mematahkan daya guling, kemudian melompat
bangkit dan kembali bersiap siaga.
Keadaan kakek ini sungguh mengenaskan!
Seluruh pakaiannya koyak bagai tersayat-sayat pedang. Bahkan pada beberapa
bagian tubuhnya terdapat garis memanjang samar-samar!
Ular Hitam sekarang menyadari kalau
pemuda di hadapannya ini tidak mungkin dapat dikalahkan. Maka kakek itu
memutuskan untuk bertindak nekad. Pemuda ini akan diajaknya mengadu nyawa!
"Ha ha ha...!"
Untuk yang kesekian kalinya, pemuda
berpakaian coklat itu tertawa terbahak-bahak.
Sebuah tawa kemenangan. Sem e nta ra
Datuk Barat itu hanya menatap tanpa berkedip, penuh kewaspadaan. Seluruh panca
inderanya terpusat penuh.Tiba-tiba telinganya menangkap suara langkah-langkah
kaki mendekat dari belakangnya.
Sambil tetap ta k melepaskan pengawasan terhadap pemuda di hadapannya, kakek ini
menengok ke belakang.
Beberapa tombak di belakangnya tertihat
seorang wanita setengah baya. Pakaiannya serba kuning, dan di bagian dada
sebelah kiri terdapat sulaman bunga mawar berwarna merah. Dia
berjalan menghampirinya. Wanita itu adalah Nyi Sani, ibu Arya Buana atau Dewa
Arak "Sani! Cepat pergi dari sini! Cepat...!" teriak Ular Hitam kalap.
Setelah berkata demikian, kakek itu segera menerjang pemuda berbaju coklat di
hadapannya dengan serangan-serangan
yang mematikan. Tujuannya jelas untuk mengalihkan perhatian pemuda itu dari Nyi Sani.
Nyi Sani adalah seorang wanita cerdik. Ia
tahu, Ular Hitam tak akan menyuruhnya pergi dengan nada begitu keras, kalau
tidak ada sesuatu yang berbahaya. Itulah sebabnya bergegas dibalikkan
tubuhnya dan berlari ke arah kedatangannya tadi.
Tapi baru beberapa langkah, wanita itu
teringat sesuatu.
"Bagaimana dengan Aki sendiri"!" tanya Nyi Sani sambil mengerahkan tenaga dalam.
Sehingga, suaranya terdengar keras mengatasi bisingnya suara pertempuran.
"Jangan pikirkan aku! Aku akan menyusul belakangan!"
Untuk sesaat Nyi Sani terdiam. Bekas
Ketua Perguruan Mawar Merah ini bimbang. Berat rasanya meninggalkan kakek itu
sendirian yang menghadapi lawan tangguh. Digigit bibirnya untuk menguatkan hati,


Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru setelah itu dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, sambil tetap
melakukan desakan-desakan, tangan
pemuda berbaju coklat yang bernama Darba ini sudah menyelusup ke balik pinggang.
Sementara Ular Hitam hanya dapat mundur dan bertahan.
Dengan kecepatan gerak yang sukar diikuti
mata, tangan itu telah keluar lagi, lalu menyambar cepat ke arah Ular Hitam.
Wuttt...! Datuk Barat ini kaget bukan kepalang.
Sekelebatan terlihat seleret sinar berwarna keperakan menyambar ke arahnya. Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan
lagi, maka untung-untungan sinar itu ditangkis dengan tangannya.
"Akh...!"
Seketika Ular Hitam menjerit kesakitan.
Darah langsung muncrat dari tangan kanannya yang buntung sebatas pergelangan.
Rupanya seleret sinar keperakan itu adalah kapak mengkilat yang tergantung di pinggang pemuda itu.
Belum lagi kakek ini sempat berbuat
sesuatu, kaki kiri Darba telah kembali melayang.
Rasanya kibasan kaki itu memang sulit dihindari.
Buk! "Hugh...!"
Dengan telak dan keras, kaki itu menghantam perut Datuk Barat
Kakek itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk. Ada cairan merah menitik di sudut
bibirnya. Jelas kalau Ular Hitam terluka dalam.
Dan belum lagi kakek itu mampu berbuat
sesuatu, kembali tangan murid Ki Jatayu yang memegang kapak keperakan itu
berkelebat cepat bagai kilat
Crakkk...! "Akh...!"
Ular Hitam memekik sesaat, sebelum
akhirnya ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher! Datuk ini tewas
seketika. Dan rupanya kapak di tangan Darba tidak
bertugas sampai di situ saja. Kembali tangan pemuda ini bergerak, mengayunkan
kapak perak itu.
Singgg...! Seleret sinar keperakan melesat ke arah
Nyi Sani yang tengah berlari. Ibu Dewa Arak ini mencoba berkelit, tapi sayang
terlambat! Crakkk...! "Akh...!"
Nyi Sani memekik tertahan. Tanpa ampun
lagi, kapak itu menembus punggungnya. Langkah kakinya pun langsung terhenti
seiring dengan lenyapnya nyawa dari badan. Seketika tubuh yang bersimbah darah
itu ambruk ke tanah.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa kemenangan dan kepuasan
yang berkepanjangan menggema di sekitar tempat itu. Dengan cepat, pemuda itu
melesat cepat meninggalkan tempat pembantaian. Suara itu pelahan lenyap seiring
lenyapnya tubuh Darba di kejauhan.
"Tidaaak...!"
Jeritan keras melengking terdengar memecah ke sunyian malam. Seorang pemuda
berwajah jantan dan berambut putih keperakan,
tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Napasnya terengah-engah seperti habis berlari jauh.
Wajah pemuda berpakaian ungu itu basah
oleh keringat. Di dalam mimpi tadi, pemuda itu melihat ada banjir besar yang
tiba-tiba melanda tempat tinggal pembimbingnya, Ular Hitam. Kakek itu dan ibunya
pun tak luput dari a mukan air bah.
Betapapun kedua orang yang disayanginya itu mencoba bertahan, tapi air itu
terlalu kuat buat mereka. Maka keduanya hanyut dilanda air bah itu!
"Ah...!" pelahan pemuda itu mengeluh.
Kedua tangannya ditekapkan ke wajah. Beberapa saat lamanya, dibiarkan kedua
tapak tangannya hinggap di sana. Kemudian pelahan-lahan diusap keringat yang
membasahi wajah.
"Mimpi itu lagi...," keluh pemuda itu lagi pelan. "Mimpi yang sama. Aneh!
Ataukah ini merupakan suatu petunjuk dari Gusti Allah?"
duga pemuda itu tiba-tiba.
Teringat hal itu, pemuda yang tak lain
adalah Arya Buana atau berjuluk Dewa Arak
bergegas bangkit dari pembaringan. Pemuda ini berbaring di sebuah dipan
beralaskan tikar butut.
Ia memang tidak berada di dalam kama r sebuah rumah penginapan, melainkan di
sebuah gubuk kecil. Rupanya gubuk kecil itu memang tidak terpakai lagi, dan
terletak di tengah sawah.
Diraihnya guci yang diletakkan di sampingnya, lalu didekatkan ke mulutnya. Dituangkan arak itu ke dalam mulutnya. Seketika
tubuh Dewa Arak terasa hangat. Baru kemudian guci itu diikat di punggungnya.
Kini pemuda itu bergegas
bangkit melangkahkan kakinya menghampiri pintu.
Begitu pintu terbuka, tampak hamparan
tanaman padi yang telah mengering, menyambutnya di tengah keredupan malam yang hanya diterangi bulan sepotong.
Arya melangkahkan kakinya melalui pematang-pematang
sawah. Fikir a nnya terus menerawang memikirkan mimpi-mimpi yang sama dan
senantiasa mengganggu tidurnya setiap
malam. Malam hari itu juga, Arya Buana melanjutkan perjalanannya. Mimpi-mimpi yang sama
dan berturut-turut dialami, membuat perasaannya tidak enak. Dia merasakan ada hal-hal yang tidak beres terjadi pada
diri Ula r Hitam dan ibunya.
Dewa Arak segera menuju ke arah Barat.
Karena pemuda itu mendengar dari pa ra perantau, kalau di sana terjadi tindak
kekacauan dan kejahatan. Karena mungkin saja Ular Hitam dan ibunya memerlukan
pertolongan saat ini, maka pemuda ini memutuskan untuk menunda dulu
urusannya mencari Melati.
Arya yang tengah gelisah memikirkan nasib
ibunya dan Ular Hitam, melakukan perjalanan dengan cepat, tanpa menghentikan
langkahnya sekali pun. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang sudah
mencapai tingkat tinggi,
menjelang siang hari, Arya sudah tiba di sebuah tanah lapang yang luas. Tanah di
daerah ini kering, bahkan pecah-pecah. Tak ada satu pun tanaman yang tumbuh di
sana. "Hhh...!"
Arya menghela napas panjang. Panas
matahari mulai terasa menyengat kulitnya. Matanya beredar ke sekelilingnya. Tak nampak apa apa kecuali hamparan tanah
lapang yang luas. Tidak nampak satu pohon pun untuk
berteduh dari sengatan panas yang amat terik ini.
Tenga h pemuda berpakaian
ungu ini termenung bimbang, pendengarannya yang tajam menangkap
suara derap kaki kuda di belakangnya. Dengan perasaan harap-harap cemas, Dewa Arak menolehkan kepalanya ke belakang.
Dia khawatir kalau suara itu tercipta karena khayalannya semata-mata.
Tapi ternyata tidak. Ternyata agak jauh di depan sana, tampak seekor kuda coklat
yang menarik sebuah gerobak. Setelah yakin dengan penglihatannya,
Dewa Arak ini segera membalikkan tubuhnya. Dihadapkan wajah dan tubuhnya ke arah kereta kuda itu
berasal. Semakin lama kereta kuda itu semakin
dekat jaraknya dari tempat Arya berada. Dan begitu berjarak sekitar lima tombak,
pemuda berambut putih
keperakan ini melambaikan
tangannya. "Hooop...!"
Seketika si kusir menarik tali kekang
kudanya, maka kuda berwarna coklat kehitaman yang sejak tadi memang berjalan
lambat-lambat kontan berhenti. Arya menghampiri kusir kereta kuda itu. Dalam
jarak sekitar tiga tombak tadi, Dewa Arak segera dapat mengetahui kalau kusir
itu masih amat muda. Dan setelah melangkah mendekati, jelas terlihat kalau wajah
kusir itu sungguh tampan.
Kusir yang ternyata seorang pria berusia
sekitar sembilan belas tahun itu berkulit putih, halus, dan mulus. Rasanya
terlalu tampan untuk seorang lelaki. Hidungnya mancung, dan bibirnya merah.Kalau
saja Arya tidak melihat sebaris kumis tipis yang bertengger di atas bibirnya,
pasti pemuda ini menduga kalau kusir itu seorang wanita. Dandanan rambutnya
digelung ke atas.
Pakaiannya serba hitam, sehingga terlihat kontras sekali dengan kulitnya yang
putih. "Mengapa kau memandangiku seperti itu, Kisanak?" tegur kusir itu, yang merasa
jengah dipandangi Arya Buana terus-menerus.
"Ah...! Eh..., maaf. Maksudku, aku hanya terpana saja. Maaf," ucap Arya gugup.
Kini pemuda berpakaian ungu ini menyadari betapa tidak sopan sikapnya barusan.
"Ha ha ha...!" pemuda tampan itu ter ta wa.
"Boleh aku mengenal namamu" Namaku Gu m a la ."
Arya tersenyum simpul. Entah kenapa ia
merasa suka sekali kepada pemuda tampan ini.
Mungkin karena sikapnya yang lucu, atau karena hal-hal lain yang kurang
diketahuinya secara pasti. Yang jelas, ia merasa tertarik pada pemuda tampan di
hadapannya ini.
"Boleh saja...," sahut Dewa Arak.
"Benar?"
tanya Gumala meminta ketegasan. "Tentu saja!"
tegas Arya. ' Tapi ada syaratnya.... '
Wajah Gumala yang tadinya berseri-seru
kontan berubah.
"Untuk mengenal namamu
saja, ada syaratnya?"


Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

' Tentu!" jawab Arya dengan wajah dibuat sungguh-sungguh. Dia memang mencoba
untuk memancing pemuda itu.
"Apa syaratnya?"
tanya pemuda yang
mengaku bernama Gumala lagi. Wajahnya yang tadi ceria kini terlihat muram.
"Kau memberikan tumpangan di keretamu!
Bagaimana?"
"Ha ha ha...!" Gumala tertawa. Wajahnya kembali berseri. "Kukira apa "! Tidak
tahunya itu syaratnya! Kalau hanya itu, dengan senang hati kuterima syaratmu!
Nah, sekarang perkenalkan siapa dirimu?"
"Namaku Arya Buana. Orang-orang yang
dekat denganku biasa memanggil Arya."
"Arya Buana" Cukup gagah namamu!" puji Gumala.
"Tentu saja!" potong Arya cepat "Nama harus disesuaikan dengan orangnya!"
"Ah! Bisa saja kau ini!" cibir Gumala. Tapi tiba-tiba
dahinya berkerut seperti tengah mengingat-ingat. "Eh, tunggu dulu. Arya Buana....
Sering kudengar, kalau or a ng
membicarakan namamu. Apakah kau or a ngn ya yang
selalu diperbincangkan itu" Kaukah yang dijuluki Dewa Arak itu" Kalau melihat ciri-ciri
yang ada, aku yakin kaulah orang yang berjuluk Dewa Arak."
"Begitulah orang menjulukiku. Tapi, aku lebih suka kau memanggilku Arya saja,"
tegas Arya Buana, disertai helaan napas.
Gumala manggut-manggut. "Oh ya, berapa sih..., umurmu?"
"Heh"! Mau apa tanya-tanya umur segala"
Atau... barangkali kau ingin menjodohkan aku dengan adik atau kakakmu" Sayang
sekali, aku sudah punya kekasih!" tegas Arya menggoda sambil tertawa.
Tapi tawa Arya secara mendadak berhenti,
karena melihat wajah Gumala berubah hebat!
Sekilas tadi rasanya sepasang mata pemuda itu mencorong tajam. Ataukah ia salah
lihat" "Ha ha ha...!"
Sekarang ganti Gumala yang tertawa melihat tawa pemuda berambut putih keperakan itu yang lenyap secara mendadak.
Sementara Arya yang tadi sudah merasa
cemas melihat perubahan wajah pemuda itu jadi ikut tertawa juga.
"Kau ini kelihatannya terlalu genit. Kau tahu, maksudku bertanya demikian adalah
untuk mengetahui, siapa di antara kita yang lebih tua.
Umurku sembilan belas tahun...."
"Aku dua puluh...," jawab A rya setengah hati.
"Nah! Kalau begitu, bagaimana kalau aku memanggilmu
Kakang Arya?" usul pemuda tampan mirip wanita itu.
"Boleh saja,"
sahut Arya. "Dan aku memanggilmu Adi Gumala."
"Ya! Bagus, bukan?"
Arya hanya tersenyum saja. Sungguhpun
sebenarnya perasaan bingung berkecamuk di
benaknya. Rasanya dia seperti pernah melihat wajah, mata maupun bibir pemuda
itu. Tapi Arya lupa, kapan dan di mana"
"Ayo, Kang Arya. Naiklah cepat! Atau, kau memang senang tertawa-tawa di situ
terus sampai kulit
dan rambutmu hitam terbakar sinar matahari?" ledek Gumala memenggal lamunan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa banyak cakap lagi, Arya segera naik
ke atas kereta. Pemuda itu duduk di samping Gumala, seketika Gumala menyentak
tali kekang kudanya. Mulutnya mendecak pelan, dan kudanya pun berjalan pelahan
meninggalkan tanah lapang yang luas itu.
"Kau mau ke Barat juga, Adi Gumala?"
tanya Dewa Arak.
"Ya. Tak ada salahnya kalau kita melakukan perjalanan bersama, bukan?"
"Tentu saja tidak!"
*** 2 Sebuah kereta kuda yang ditumpangi dua
orang pemuda yang sama-sama tampan melaju
pelahan-lahan memasuki pintu
gerbang Desa Jipang. Mereka adalah Arya Buana dan kawan barunya,
Gumala. Selama beberapa hari menempuh perjalanan bersama Gumala. Pemuda berambut putih keperakan ini banyak
melihat keanehan terhadap pemuda itu.
Pernah suatu ketika mereka singgah di
penginapan, Gumala tidak menyewa satu kamar.
Dia selalu memaksa untuk menyewa dua buah
kamar. Alasannya, karena tidak biasa tidur berdua. Sejak kecil sampai dewasa
pemuda itu terbiasa tidur sendiri. Apabila dipaksa tidur berdua, matanya tak
akan bisa terpejam sampai pagi hari. Begitu alasannya jika didesak Arya.
Mendengar alasan pemuda itu, Arya tentu
saja tidak ingin memaksa. Dan yang lebih
mengherankan, Arya Buana sering memergoki
Gumala tengah menatapnya dengan sinar mata aneh. Sampai saat ini kelakuan Gumala
memang menjadi beban pikiran Dewa Arak itu.
Dan sekarang ini Dewa Arak memperhatikan ke adaan sekelilingnya. Sepi.
Dalam hati pemuda ini mulai timbul rasa curiga.
Timbullah satu pertanyaan, mengapa Desa Jipang begini sepi"
Belum juga pemuda ini mendapat jawaban
dari pertanyaan ya ng
bergayut di benaknya,
penglihatannya yang tajam menangkap banyak kelebatan gerakan tubuh, di balik
pepohonan yang berjajar di kanan kiri jalan utama desa ini. Kontan seluruh urat
syaraf di sekujur tubuh Arya
menegang waspada. Dugaannya sebentar lagi pasti akan terjadi pertempuran.
Dan memang, dugaan Dewa Arak tidak
meleset. Belum berapa jauh kereta kuda yang ditumpangi memasuki desa, terdengar
suara berdesing nyaring.
Cappp! Sebatang tombak menancap tepat di depan
kereta kuda itu. Kontan kuda itu menjadi terkejut, meringkik
keras sambil mengangkat kedua kakinya ke atas.
"Keparat...!" Gumala berteriak memaki.
Pemuda itu bergegas menenangkan kudanya. Dan begitu kuda coklat kehitaman itu sudah tenang, tubuhnya pun melesat
keluar dari kereta. Gerakannya gesit dan indah. Arya sendiri jadi terkejut
dibuatnya. Baru saja kedua kaki pemuda tampan itu
mendarat di tanah, di depannya telah bermunculan banyak sekali laki-laki berwajah kasar dengan senjata terhunus di
tangan. "Siapa kalian"! Mengapa menghadang perjalanan kami"! Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!" ucap pemuda berbaju hitam ini keras.
Ternyata pertanyaan Gumala dijawab dengan serbuan belasan sosok tubuh itu. Mereka menerjang pemuda tampan itu
dengan senjata terhunus. Seketika terdengar suara desing pedang dan golok yang
berkelebatan menyambar Gumala bagai hujan.
Tapi pemuda yang wajahnya bagai wanita
itu hanya tersenyum mengejek. Dengan enaknya dielakkan setiap serangan yang
menyambar ke arahnya. Tubuh Gumala menyelinap cepat di balik kelebatan babatan
sinar pedang dan golok.
Arya yang semula sudah bersiap-siap
membantu bila kawan ba runya ini terancam
bahaya, segera mengurungkan niatnya begitu melihat gerakan kawannya. Sekali
lihat saja, pemuda berambut putih keperakan ini segera tahu bahwa Gumala sulit
untuk dapat dicelakakan lawan-lawannya.
Apa yang diperkirakan Dewa Arak ini
memang tidak salah. Ketika Gumala balas
menyerang, satu demi satu lawannya berjatuhan.
Ke mana saja tangan atau kaki pemuda itu
bergerak, di situ pasti ada saja yang rubuh.
"Akh...!"
"Ugh...!"
Terdengar jerit kesakitan saling sambut.
Maka tidak sampai delapan jurus, sembilan
penghadang itu sudah bergeletakan di tanah. Ada yang patah kakinya, ada yang
patah tangannya, dan ada yang bocor kepalanya. Yang jelas, tidak ada satu pun di
antara mereka yang terluka parah.
Plok! Plok! Plok!
Suara tepuk tangan
terdengar seiring
rubuhnya penghadang terakhir. Gumala memandang ke arah kereta. Ditatapnya Arya yang tengah duduk sambil bertepuk
tangan. Dikebut-kebutkannya tangan dan pakaiannya sebelum
berjalan menghampiri kereta.
' Tidak kusangka kau selihai itu, Adi
Gumala!" puji Arya tulus.
"Kau ini memuji atau meledek, Kang Arya!
Apa sih artinya kepandaian yang kumiliki bila dibandingkan dengan kepandaianmu"!
Siapa yang tidak kenal Dewa Arak yang telah menewaskan banyak lawan tangguh?" sergah Gumala
sedikit merah wajahnya.
Kontan wajah Arya memerah. "Ah! Sudahlah, Adi Gumala! Lebih baik kita lanjutkan perjalanan ini. Kurasa ada
sesuatu yang tengah terjadi di desa ini. Rasanya aku harus berbuat sesuatu."
"Sekarang akan ke mana, Kang Arya?"
tanya Gumala setelah duduk di samping pemuda berambut
putih keperakan itu, seraya menggenggam tali kekang kuda.
"Jalan saja terus, nanti kutunjukkan
jalannya!"
Gumala menghela tali kekang kudanya.
Mulutnya berdecak pelan. Dan
ku da coklat kehitaman itu pun melangkah pelahan meninggalkan tempat itu. Meninggalkan sosok-sosok tu bu h
yang bergelimpangan di tanah
merintih-rintih.
*** "Hooop...!"
Gumala menarik tali kekang kudanya,
ketika Arya memberitahukan untuk berhenti. Dan tepat di depan sebuah kedai,
kereta kuda itu berhenti. Arya
lalu melompat turun diikuti Gumala. Ringan sekali gerakan tubuh mereka.
Secara beriringan keduanya berjalan memasuki kedai itu. Suasana kedai tampak


Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepi-sepi saja.
Arya berjalan menghampiri sebuah meja yang kosong, kemudian duduk di situ.
Gumala pun mengi-kuti.
Pemilik kedai itu terkejut bukan main
melihat k-datangan Arya Buana. Tergopoh-gopoh ia berlari menyambut.
"Arya...!" teriak laki-laki tua pemilik kedai itu gembira. "Syukur pada Gusti
Allah kau datang kemari."
"Memangnya ada apa, Ki?" tanya Arya.
Tenang saja terdengar suaranya.
Kakek pemilik kedai itu merenung sebentar. Dia memang telah kenal betul dengan Arya. Karena pemuda ini pernah
singgah di kedainya dan menginap di situ.
"Nanti saja Aki ceritakan, Den. Sekarang mungkin Den Arya dan Den...."
"Gumala," sahut Gumala singkat, begitu dilihatnya kakek pemilik kedai itu
memandang ke arahnya.
"Oh ya..., Den Arya dan Den Gumala
mungkin sudah lapar. Akan kusediakan dulu
pesanan Aden berdua."
Arya yang memang sudah lapar, segera
saja memesan makanan untuk mereka berdua.
Kakek pemilik kedai itu segera melangkah
masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan
makanan. Sambil menunggu pesanan siap, Gumala mengedarkan pandangan ke luar. Dari meja mereka, memang dapat melihat
bebas ke luar melalui pintu.
"Hei...!" tiba-tiba Gumala berteriak keras.
Pandangannya yang tajam melihat seorang lelaki mengendap-endap mendekati kudanya
sambil menghunus golok. Kuda itu memang ditambatkan Gumala di seberang jalan depan
rumah makan. Sadar akan bahaya yang mengancam
kudanya, Gumala cepat menggerakkan tangannya.
Krakkk! Pinggiran meja kontan gompal
ketika tangan halus Gumala menekan pelan. Dan secepat kilat
pemuda berpakaian serba hitam itu melemparkan potongan kayu yang hanya selebar dua jari.
Singgg...! Laksana lesatan sebatang anak panah
lepas dari busur, potongan daun meja itu melesat ke
arah orang yang menghampiri kuda. Bersamaan dengan melesatnya potongan daun
meja itu, tubuh Gumala melesat keluar pintu.
Gerakannya cepat bukan main. Bahkan Arya yang melihatnya jadi terlongong.
Takkk! "Akh...!"
Potongan daun meja itu tepat menghantam
siku orang yang mengendap-endap mendekati
kuda. Keras bukan main, sehingga orang itu terpekik tertahan. Golok di tangannya
pun terlepas dan jatuh di tanah.
Baru saja orang itu memungut goloknya
kembali, di hadapannya telah berdiri Gumala.
"Pengecut...!" maki Gumala geram.
Seketika tangan kanan pemuda itu bergerak menampar. Cepat bukan main gerakannya. Walaupun orang yang hendak mencelakakan kuda itu bergerak mengelak, tetap saja tapak tangan Gumala mendarat
keras di pipi kanannya. Tubuh orang yang sial itu langsung terputar sebelum
akhirnya rubuh ke tanah dalam keadaan pingsan.
Pemuda berpakaian serba hitam ini memandang ke sekeliling, karena barangkali saja orang yang sial ini tidak
sendirian. Tapi tak ditemukannya tanda-tanda adanya teman-teman orang sial itu.
Maka setelah melempar pandang sekali lagi
pada sosok tubuh yang tergolek di tanah, Gumala beranjak meninggalkan tempat itu
menuju kedai. "Luar biasa kau, Adi Gumala," puji Arya begitu melihat pemuda tampan itu telah
duduk kembali di mejanya, menghadapi makanan yang telah terhidang. "Sekarang
marilah kita makan dulu!"
Setela h berkata demikian, pemuda berpakaian ungu ini mulai menyantap pesanannya. Tanpa banyak cakap Gumala pun
mengikutinya. Beberapa saat kemudian kedua pemuda ini sudah sibuk dengan
santapannya masing-masing. Dewa Arak diam-diam semakin sering
memperhatikan Gumala terutama tentang kepandaiannya. Dan tentu saja tanpa sepengetahuan pemuda itu. Kepandaian Gumala
memang belum dapat diketahui secara pasti.
Semula sewaktu melihat perkelahian pemuda itu dalam menghadapi kawanan
penghadang, sedikit sudah bisa diperkirakannya tingkat kepandaian pemuda ini.
Tapi apa yang disaksikannya waktu itu, berbeda dengan yang baru saja disaksikan
tadi. Kecepatan gerakan pemuda itu benar-benar mengejutkannya.
Namun Arya bersikap biasa-biasa saja.
Dari gelagatnya, pemuda ini tahu kalau Gumala memang
berusaha menyembunyikan kepandaiannya, Entah
apa alasannya. Itulah
sebabnya pemuda berambut putih keperakan ini tidak pernah menyinggung-nyinggung
tentang hal itu.
Setelah selesai menyantap pesanannya,
baru Arya Buana memanggil kakek pemilik kedai.
Bergegas laki-laki tua itu datang menghampiri.
"Sekarang kuharap Aki bersedia menceritakan apa yang terjadi di desa ini," pinta Arya Buana ketika kakek itu
telah duduk. Kakek pemilik kedai itu menghela napas.
Sebentar dipandanginya wajah Arya dalam-dalam.
"Kejadiannya belum lama terjadi, Den.
Beberapa pekan yang lalu muncul seorang
pemuda tampan dan berpakaian serba coklat ke desa ini. Ilmu kepandaiannya luar
biasa. Hanya seorang diri saja dia mampu membasmi Pergu ruan Garuda Emas, yang
menjadi pelindung desa ini dari
kejahatan para penjahat yang hendak menjarah. Dan benar saja. Setelah Perguruan
Garuda Emas runtuh, penjahat-penjahat mulai menjarah desa ini. Siapa yang
menentang pasti akan merasakan akibatnya! Hanya Adenlah yang kami harapkan akan
dapat membebaskan desa ini dari belenggu kekejaman mereka."
Dewa Arak tercenung, Perguruan Garuda
Emas runtuh! Hampir tidak dipercayai pendengarannya sendiri. Perguruan itu ternyata runtuh oleh seorang pemuda tidak
dikenal. "Bagaimana keadaan si Paruh Garuda?"
tanya Arya menyebut nama pemimpin Perguruan Garuda Emas.
"Beliau tewas di tangan pemuda itu. Yang selamat dari maut hanya si Cakar
Garuda. Itu pun karena kebetulan ia tidak berada di tempat."
"Lalu, apakah pemuda itu masih berada di sini, Ki?"
"Tidak! Sehabis menghancurkan bangunan Perguruan Garuda Emas, ia pergi dari desa
ini. Yang tinggal di sini hanya para penjahat yang menjadi anak buahnya," jelas kakek
pemilik kedai itu lagi.
"Bisa Aki tunjukkan di mana markas
penjahat itu?" pinta Arya.
"Den Arya tahu rumah kepala desa?" kakek itu malah balik bertanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu
menganggukkan kepalanya. "Jadi, penjahat- penjahat itu bermarkas di sana?"
"Ya!" jawab kakek pemilik kedai itu singkat.
"Kalau begitu, kami akan ke sana sekarang, Ki!" ujar Dewa Arak cepat. "Mari, Adi Gumala!"
Setelah berkata demikian, Arya membayar
makanannya, lalu segera melesat keluar kedai, diikuti Gumala yang tak kalah
gesitnya. Mereka melompat
menaiki kereta kuda hampir bersamaan. "Hiya...!"
Gumala segera menggebah kudanya. Sesaat kemudian kereta kuda itu sudah bergerak cepat meninggalkan kedai itu,
diikuti pandangan mata kakek pemilik kedai hingga lenyap di
kejauhan. Kereta kuda itu bergerak cepat menyu su r i jalan utama Desa Jipang. Rumah
kepala desa itu memang jauh dari kedai yang tadi disinggahi Ar ya .
"Adi Gumala," sapa Dewa Arak ketika kereta kuda ini mulai melewati jalan yang
agak sempit. Di sebelah kanannya, nampak sungai mengalir. Melihat sungai itu
timbullah keinginan pemuda ini untuk mandi.
"Ada apa, Kang?" tanya Gumala sambil menolehkan kepalanya sebentar.
Sesaat lamanya Arya terkesima. Sem enta r a itu tercium bau harum aneh yang
menyergap hidungnya. Bau harum seperti yang biasa keluar dari tubuh seorang wanita!
"Heh! Ditanya malah melamun!"
"Oh..., eh..., apa Adi Gumala?" tanya Ar ya gugup.
"Lho"! Yang mau bertanya itu sebenarnya siapa" Aku atau Kakang Arya?"
Plak! Arya menepak keningnya. Betapa pelupanya dia! Diam-diam pemuda itu menertawakan kebodohannya sendiri.
"Kenapa, Kang" Digigit nyamuk?" goda Gumala lagi.
"Ya... eh, tidak!"
"Lalu, kenapa kepalanya sendiri dipukul?"
"Tidak apa-apa! Aku hanya ingin mandi saja. Bagaimana kalau kita mandi sama-
sama, Adi Gumala?"
Sekelebat Arya melihat wajah pemuda itu
memerah. Tapi di lain saat kembali normal seperti sediakala.
"Kakang sajalah," tolak Gumala halus.
"Aku masih
belum ingin

Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mandi. Biar aku menunggu saja di sini."
Arya temnenung sejenak. "Baiklah kalau begitu!"
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan ini segera melompat turun. Arya Buana kemudian bergegas
menuruni jalan itu, menuju sungai yang terletak di bawah jalan. Sebentar
kemudian, dia sudah sampai di pinggir sungai yang berair cukup jernih. Pemuda
ini segera meletakkan guci araknya di tanah, lalu membuka bajunya. Hanya
celananya saja yang tidak ditanggalkan. Sesaat kemudian....
Byurrr...! Air muncrat tinggi ke atas ketika Arya
Buana terjun ke dalam air. Tubuh pemuda itu pun langsung tenggelam ke dalam air.
Beberapa saat lamanya menyelam di air, baru setelah itu
kepalanya muncul dari dalam air. Kemudian
menyelam kembali beberapa saat, lalu timbul lagi.
Tapi tiba-tiba....
"Tolooong...!"
Terdengar jerit seorang wanita mengusik
keasyikan Arya dari mandinya. Pemuda berambut putih keperakan ini kontan
menolehkan kepalanya ke arah asal jeritan itu.
Beberapa tombak dari tempatnya berada,
tampak seorang wanita yang tengah timbul
tenggelam terbawa arus sungai. Melihat adanya cucian dan pakaian yang tercerai
berai terbawa arus, Arya cepat mengetahui kalau wanita itu tengah mencuci di
situ. Kemudian tubuhnya
terpeleset tercebur ke sungai, dan terbawa arus.
Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera mengejar tubuh wanita yang tengah
terbawa arus itu.
Tapi betapapun Arya telah mengerahkan
segenap kemampuan yang dimiliki, tetap harus diakui
kalau kemampuannya tak mampu menandingi arus sungai. Jarak antara Arya
dengan wanita itu nyaris tidak berubah. Arus air memang deras, apalagi di tempat
hanyutnya wanita itu. Sesaat lamanya terjadi kejar-kejaran antara Dewa. Arak yang sekuat tenaga berenang
dibantu arus air dengan wanita yang terbawa arus sungai.
Dan kini lambat laun jarak di antara
mereka kian mendekat. Dan hanya tinggal satu tombak lagi, maka wanita itu pun
akan terjangkau tangan Dewa Arak. Tapi tiba-tiba Arya Buana merasakan adanya
kelainan pada suasana di
sekitarnya. Arus air sungai ini tiba-tiba menjadi deras bukan main. Tubuhnya pun
tanpa ampun terseret deras. Tentu saja pemuda ini kaget bukan main.
Memang, pem u da berambut
putih keperakan ini m a sih muda dan kurang pengalaman. Maka tidak aneh, kalau belum
menyadari mengapa tiba-tiba arus sungai mendadak begitu deras.
Ketika terdengar gemuruh air, baru pemuda ini sadar akan apa yang terjadi. Ternyata tubuhnya telah terseret arus
sungai menuju air terjun! Dan Arya tahu apa yang akan menantinya di bawah sana.
Apalagi kalau bukan batu-batu yang akan meremukkan sekujur tubuh dan
tulang-tulangnya.
Kini Arya berbalik arah. Sekuat tenaga ia
berenang melawan arus yang akan membawanya ke air terjun. Dibatalkan niatnya
untuk menolong wanita yang hanyut itu.
Tetapi di sini pemuda berambut keperakan
ini baru menyadari betapa sedikit ilmu yang dimilikinya bila dibandingkan
kekuasaan Allah.
Tenaga dalam yang selama ini boleh dibilang
belum ter ta ndingi, tidak berarti apa-apa menghadapi arus
a ir yang akan membawa tubuhnya untuk dirajam di bawah sana.
Sedikit demi sedikit tubuhnya mulai terseret mendekati air terjun. Dan kekuatan arus air yang menariknya pun semakin
kuat. Sementara itu, Gumala rupanya tidak
sabar menunggu Arya terlalu lama. Setelah lama mempertimbangkan, akhirnya
diputuskan untuk menyusul Dewa Arak. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Gumala,
melihat pemuda berambut putih keperakan itu tengah berjuang keras
menghadapi arus
air yang akan meluluh- lantakkan tubuhnya di bawah sana.
Pemuda tampan ini segera memutar otaknya, mencari jalan untuk menyelamatkan Arya. Sepasang matanya berputar
berkeliling. Akhirnya, pandang matanya segera tertumbuk pada sebatang pohon yang mempunyai
cabang yang melintang tepat di mulut air terjun.
Buru-buru Gumala berkelebat ke sana.
Rencananya, dengan bergelayut pada cabang
pohon itu, tubuh Dewa Arak hendak ditangkapnya. Sementara itu Dewa Arak yang sama sekali
tidak melihat kedatangan temannya itu, seperti merasa pasrah atas keadaan
dirinya. Namun demikian dia tetap mencoba melawan tarikan arus air ini dengan tenaganya. Yang
jelas, harus dicari cara lain kalau ingin selamat. Dalam waktu yang hanya
beberapa detik itu otaknya bekerja keras.
Untunglah di sa at terakhir, Arya menemukan suatu jalan. Dan seperti merestui pilihannya, tiba-tiba sebuah ranting
pohon sebesar pergelangan
tangan dan sepanjang hampir setengah tombak, melayang deras ke arahnya.
Buru-buru Arya mengulurkan tangan menangkapnya. Baru saja tangan pemuda itu
berhasil mencekal cabang pohon itu, tubuhnya telah sampai di bibir air terjun.
Saat Dewa Arak berhasil menangkap
ranting pohon, tubuh Gumala melesat ke arah cabang pohon.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Cabang pohon itu bergoyang keras ketika
kedua kaki pemuda tampan itu hinggap. Landasan tempat
untuk melompat memang tidak memungkinkan. Apalagi perasaan hati pemuda itu dilanda rasa cemas memikirkan
keselamatan Arya.
Ketika kakinya telah berhasil mengait
cabang pohon itu, Gumala segera menjulurkan kedua tangannya berusaha menangkap
tubuh Arya. Tapi.... "Aaa...!" Arus yang membawa tubuh Arya ternyata lebih cepat dari pada tangkapan
Gumala. Maka tubuh Dewa Arak pun meluncur deras ke bawah....
Secepat kedua kakinya menginjak cabang
pohon itu, secepat itu pula Gumala merubah posisinya. Kini tubuhnya bergantung
di cabang pohon itu dengan kedua kakinya. Kepalanya
mengarah ke bawah. Kedua tangannya berusaha menangkap tubuh Arya yang terbawa
arus. Tapi.... "Aaa...!"
Terdengar jerit kengerian dari mulut Dewa
Arak yang tubuhnya melayang deras ke bawah sambil menggenggam ranting pohon.
Pucat wajah Gumala! Beberapa saat lamanya, dia terdiam dalam keadaan seperti itu.
Gumala memandang ke bawah sana, dengan sinar mata tidak percaya apa yang
dilihatnya. "Kakang...!"
Tiba-tiba saja Gumala menjerit keras.
Tanpa m em pedu lika n
keselamatannya lagi, pemuda tampan itu melompat turun ke pinggir sungai dan mengikuti arah turunnya
air terjun itu.
Ingin diketahui apakah Arya tewas atau tidak! Dan seandainya tewas, mayat pemuda
itu harus ditemukan! *** 3 Sungguhpun keadaannya bagai telur di
ujung tanduk, Arya berusaha agar pikirannya tetap jernih. Segera saja
disabetkannya ranting pohon yang digenggamnya ke air yang ikut
tercurah bersamanya.
Pyarrr...! Seketika kelompok air itu
terpecah muncrat ke sana kemari. Begitu kerasnya benturan itu, ranting pohon yang digenggamnya pun terlepas dari pegangan. Dengan
meminjam tenaga benturan tadi, Dewa Arak bersalto ke depan. Dan sekarang Arya
telah terpisah dari curahan air terjun. Tetapi tentu saja begitu tenaga
dorongnya habis, tubuhnya langsung melayang deras ke bawah!
Beberapa saat lamanya tubuh Arya melayang-layang di udara. Angin yang menderu keras di atas, membuat rambutnya
yang putih keperakan berkibaran. Dewa Arak bertahan sekuat tenaga agar tidak
jatuh pingsan saat melayang-layang. Betapapun rasa kengerian yang amat sangat
mencekam hatinya, tetap dikuatkan hati agar tetap sadar.
Dan berkat kemauannya yang kuat, rasa
takut yang melanda dapat ditekannya. Ia masih tetap sadar ketika tubuhnya
melayang deras ke bawah, ke air!
Byurrr...! Beberapa saat lamanya Arya gelagapan.
Tubuhnya seketika tenggelam dalam air. Arus air sungai yang deras itu segera
melahap tubuhnya yang memang sudah setengah sadar. Pemuda
berambut putih keperakan yang memang sudah lelah ini tidak kuasa lagi melawan
arus sungai yang deras itu. Tubuhnya segera saja terombang-ambing dipermainkan
air. *** "Ohhh...!"
Arya mengeluh. Sepasang matanya pelahan
mulai terbuka. Beberapa saat lamanya dikerjap-kerjapkan matanya untuk lebih
memperjelas pandangan. Pemuda yang kini bertelanjang dada ini
membelalakkan matanya. Diperhatikan keadaan sekelilingnya. Kini baru disadari
kalau tubuhnya tergeletak di tanah yang basah dan lembab.


Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali riak air menghantam kakinya.
Arya bergegas bangkit dan memperhatikan
sekelilingnya. Ternyata ia berada di pinggir sungai.
Sekarang Arya baru teringat kembali akan
kejadian yang dialaminya. Jadi, rupanya arus air itu telah menghempaskannya
kemari! Tiba-tiba hidung pemuda berambut putih
keperakan ini mencium bau harum
daging panggang. Seketika leher Arya menoleh ke sana kemari mencari asal bau harum itu.
Dan dalam sekejap saja, telah diketahui arahnya. Asap yang membumbung tinggi segera saja
terlihat olehnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa
Arak segera menghampiri asal asap itu. Perutnya yang
terasa la par sekali, membuatnya jadi
bergegas menghampiri bau yang merangsang
hidungnya itu. Rupanya 'perjuangannya'
menghadapi arus air sungai telah membuat
perutnya lapar.
Tak berapa lama kemudian, Arya melihat
seseorang yang tengah memanggang seekor ayam.
Ternyata itulah yang menjadi sumber bau harum itu. Pemuda ini bergegas
mendekatinya. Dan rupanya orang yang tengah memanggang ayam itu mengetahui
kedatangannya. Kepalanya yang sejak tadi tertunduk, kini terangkat memandang ke
depan. Dalam jarak yang hanya tinggal sekitar tiga tombak, baik Arya maupun
orang yang tengah memanggang ayam sama-sama dapat melihat jelas diri masing-
masing. "Ahhh...!"
Dewa Arak dan orang itu sama-sama ka get.
Langkah Arya langsung terhenti. Begitu pula orang itu. Tangannya yang sejak tadi
sibuk membolak-balik ayam panggang di tangannya agar tidak hangus, berhenti
bergerak. Sementara itu, seketika Dewa Arak mengernyitkan keningnya. Orang yang tengah memanggang ayam itu ciri-cirinya
cocok betul dengan yang diceritakan kakek pemilik kedai.
Pemuda berwajah tampan, dengan raut wajah
menyiratkan kekejaman. Pakaiannya serba coklat.
Dialah yang telah membasmi Perguruan Garuda Emas seorang diri.
Pemuda yang tak lain adalah Darba itu
juga terperanjat kaget ketika melihat Arya. Inikah orang yang berjuluk Dewa Arak
itu" Kalau
memang benar demikian, kenapa tidak tampak guci yang menjadi senjata andalannya"
"Kaukah Dewa Arak itu?" tanya Darba bernada kasar.
"Begitulah julukan yang diberikan padaku!"
datar saja nada suara Arya
"Kau murid Ki Gering Langit, bukan?"
Arya menganggukkan kepalanya.
"Benar."
Darba menggeram.
"Kalau begitu, kau harus mampus!"
Setelah berkata demikian, Darba membanting ayam panggangnya. Secepat ayam itu jatuh ke tanah, secepat itu pula
tubuhnya melesat ke arah Arya. Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus melakukan
tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan bertubi-tubi. Inilah ilmu 'Tangan Pedang'!
Arya terperanjat kaget bukan main. Dirasakan beberapa helai rambutnya berguguran.
Padahal serangan itu belum mengenainya. Tahulah pemuda berambut putih keperakan itu kalau lawannya ini memiliki sebuah
ilmu dahsyat. Dan Arya mengenal ilmu yang digunakan
pemuda baju coklat itu. Ilmu 'Tangan Pedang'.
Salah satu ilmu milik gurunya yang dicuri dua
orang pelayan gurunya sendiri. Seketika itu juga semangat pemuda ini timbul.
Pemuda itu pasti mempunyai hubungan
dengan salah satu dari
dua orang pelayan
gurunya. Mungkin pula muridnya! Dan jika itu benar, dia tidak perlu bersusah-
payah mencari Melati. Dari
pemuda ini pun bisa dikorek keterangan mengenai kedua pelayan itu. Dari sini tugasnya dapat dimulai, untuk
mengambil kembali kitab-kitab milik gurunya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi Dewa Arak
segera mengelak dengan menggunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Tanpa meminum arak seperti biasanya, pemuda ini
kontan mengerutkan alisnya.
Dirasakan adanya perbedaan yang menyolok! Di jurus-jurus awal, pemuda berambut
putih keperakan ini tidak merasakan kelainan.
Tapi menjelang jurus kedua puluh, baru dirasakan akibatnya. Napasnya mulai
terasa memburu.
Bahkan kepalanya pun terasa pusing.
Kini Arya baru menyadari bahwa arak yang
biasa diminum itu sebenarnya adalah sumber tenaga untuk ilmu 'Belalang Sakti'.
Jika meminum arak, tidak ada kesulitan baginya untuk merubah kuda-kuda, dari
posisi sempoyongan seperti lemah tak berdaya ke posisi mantap dan penuh tenaga
Tapi sekarang, berkali-kali pemuda ini
mengalami kesulitan. Pelahan namun pasti kekuatannya mulai mengendur. Jurus 'Belalang
Mabuk', dan jurus 'Delapan Langkah Belalang'
ternyata banyak menguras tenaga.
Seiring mulai lelahnya Arya, desakan-
desakan Darba dirasakannya semakin
berat. Lambat namun pasti Dewa Arak terdesak.
"Ha ha ha...!" pemuda berpakaian coklat itu tertawa bergelak.
Suatu tawa kemenangan. "Hanya sampai di sini sajakah kepandaianmu yang tersohor itu, Dewa Arak"!
Sungguh lucu sekali!"Sambil berkata demikian, Darba terus memperhebat serangan-
serangannya. Akibatnya, Arya semakin kewalahan! Pontang-panting Dewa Arak
berjuang menyelamatkan selembar nyawanya. Lewat empat puluh jurus, keadaan Arya
kian mengkhawatirkan. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak lagi
mempergunakan jurus
'Belalang Mabuk'-nya. Melainkan hanya menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Jurus ini memang tidak terlalu membutuhkan tenaga seperti halnya jurus 'Belalang
Mabuk'. 'Delapan Langkah Belalang', memang sebagian besar merupakan ilmu mengelak. Hanya sebagian kecil saja yang
mengandung bagian penyerangan. Dengan jurus ini, Arya memang dapat menyelamatkan
diri dari setiap serangan maut
Darba. Tetapi sampai ka pa n dapat bertahan" Tiba-tiba Darba meraung. Murid Ki Jatayu
ini menjadi geram karena setelah sekian lamanya,
Dewa Arak yang sudah terdesak ini masih mampu bertahan. Dan ini membuatnya marah
bukan kepalang! "Hiyaaa...!"
Pemuda berbaju coklat ini berteriak nyaring. Serangan-serangannya
mendadak berubah secara tiba-tiba. Itulah jurus 'Selaksa Pedang Menembus Benteng'.
Arya terperanjat kaget. Kondisinya yang
sudah lelah, tidak memungkinkan lagi untuk menghindari serangan itu. Tak ada
jalan lain kecuali menangkis serangan
itu. Buru-buru pemuda berambut putih keperakan ini mengempos selur u h tenaga ya ng dimiliki, kemudian menangkis keras serangan lawan.
Plak...! Plak...!
Terdengar suara benturan keras berkali-
kali, ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi
bertemu! Arya yang memang sudah
lelah, tak mampu menahan gempuran Darba yang memang
memiliki tenaga dalam tinggi! Kontan tubuhnya terjengkang ke belakang. Sementara
pemuda berpakaian coklat itu hanya terhuyung dua
langkah ke belakang.
Belum juga Dewa Arak sempat berbuat
sesuatu, serangan susulan telah menyusul lagi.
Tak ada pilihan lain bagi Arya kecuali mernbanting tubuh ke tanah dan
bergulingan. Tentu saja Darba tidak membiarkan lawannya lolos. Dikejarnya
terus tubuh yang bergulingan itu dengan serangan-serangan maut.
Dewa Arak sadar kalau keadaannya amat
berbahaya. Tidak mungkin
dia harus terus
berguling-gulingan untuk menyelamatkan diri.
Paling tidak harus dica ri jalan untuk lolos dari keadaan yang sulit ini!
"Haaat...!"
Sambil berteriak keras, tubuh Arya melenting ke udara. Berbareng dengan itu kaki kanannya menyapu pelipis lawannya.
Darba terperanjat, kaget bukan
main. Sungguh di luar dugaan kalau Dewa Arak masih mampu berbuat seperti itu. Pemuda
baju coklat ini tidak
tahu ka lau itu adalah salah satu keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti*. Dengan ilmu itu
Dewa Arak dapat melakukan gerakan melompat seperti apa pun dan dalam keadaan bagaimanapun.
Tepat saat kaki Arya melakukan sapuan,
Darba pun tengah melancarkan serangan bertubi-tubi pada bagian dada, ulu hati,
dan tenggorokan!
Tentu kedua orang itu sama-sama terkejut bukan kepalang!
Sedapat mungkin masing-masing berusaha mengelakkan serangan. Tapi terlambat!
Plak! Buk..!

Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akh...!"
"Hugh...!"
Baik Arya maupun Darba sama-sama
terkena serangan masing-masing. Hanya saja berkat usaha terakhir mereka,
jatuhnya serangan
itu tidak tepat pada sasaran semula! Sapuan kaki Dewa Arak mengenai pangkal
lengan Darba. Sementara tusukan dan bacokan tangan murid Ki Jatayu ini, mengenai bawah ketiak
dan perut Arya.
Tubuh kedua pemuda yang sama-sama
berilmu tinggi itu, terhuyung-huyung. Darba
meringis. Dirasakan tulang pangkal lengannya seakan-akan
patah. Untuk sesaat lamanya,
tangannya terasa lumpuh.
Sementara keadaan yang dialami Arya
lebih parah la gi!Pemuda berambut putih keperakan ini terjengkang ke belakang. Seketika dari sela-sela bibirnya mengalir
darah segar. Dan belum sempat Dewa Arak menyadari apa yang
terjadi, tiba-tiba....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Darba kembali
menerjang Arya! Tangan kanannya menusuk ke arah leher Dewa Arak. Sebuah serangan
maut yang siap menghunjam tubuh lawan!
Arya terperangah. Disadari kalau serangan
itu tidak mungkin
dihindari. Dua serangan
beruntun pemuda baju coklat itu tadi telah membuatnya terluka parah. Kini Dewa
Arak hanya dapat membelalakkan sepasang matanya, menanti maut tanpa mampu
berbuat sesuatu.
Tepat ketika serangan itu hampir menebas
leher Arya, sebuah bayangan hitam berkelebat memotong serangan itu.
Plak...! Tubuh Darba terhuyung dua langkah ke
belakang. Seketika tangannya bergetar hebat.
Pemuda murid Ki Jatayu ini segera mengetahui kalau sosok bayangan hitam yang
muncul dan menangkis serangannya, ternyata memiliki tenaga dalam dahsyat.
Pemuda baju coklat ini meraung keras.
Ditatapnya tajam-tajam sosok tubuh hitam yang telah
menangkis serangannya itu. Matanya bersinar merah, memancarkan kemarahan yang amat sangat.
Dan tahu-tahu sosok baju hitam yang tak
lain dari Gumala telah berdiri di depan Arya.
Sikapnya nampak
jelas melindungi
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kau terluka, Kakang?" tanya Gumala.
Kecemasan tampak membayang di wajahnya.
Arya hanya menganggukkan kepalanya.
"Pergilah kau, Adi Gumala. Lekas! Pemuda itu hebat sekali. Biar, aku yang
menahannya...."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak
terbatuk-batuk. Cairan merah kental seketika keluar dari mulutnya.
"Tidak, Kang. Kau terluka cukup parah.
Biar aku yang menghadapinya. Kau beristirahat saja...," ucap pemuda tampan ini
menenangkan. ' Tapi, Adi...," Arya masih mencoba membantah. Gumala tidak menghiraukannya lagi karena dilihatnya pemuda baju
coklat itu telah siap menyerangnya.
Pemuda tampan ini tahu kalau orang yang
hampir menewaskan Arya ini memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mungkin
Dewa Arak terluka cukup parah" Juga, sudah dirasakan kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki lawannya ini ketika tadi menangkis serangan yang mengarah ke tubuh Dewa
Arak. Bahkan tubuhnya sampai
terhuyung dua langkah ke belakang.
"Siapa kau, keparat! Mengapa mencampuri urusanku!?" sentak Darba.
Darba yang cerdik ini tidak mau langsung
menyerang. Ia tahu kalau pemuda di hadapannya ini juga seorang yang berilmu
tinggi. Barangkali saja tanpa kekerasan dapat diusirnya calon lawan ini.
"Siapa pun diriku, tidak perlu kau ta hu !
Terpaksa aku ikut ca mpur dalam urusan ini karena orang yang hendak kau bunuh
itu a da la h temanku! Paham"!" sahut Gumala tak kalah tega s.
"Keparat! Kalau begitu, kau boleh ikut bersamanya ke neraka!"
Seiring selesainya ucapan
itu, tangan kanan Darba bergerak ke arah pinggangnya. Dan ketika tangan itu keluar lagi,
telah tergenggam sebuah kapak berwarna perak.
"Ah, kiranya kaulah orangnya...!" ter ia k Gumala.
Pemuda ini seketika teringat akan penuturan kakek pemilik kedai tentang ciri-ciri Darba. Jadi inilah orang yang
telah membasmi Perguruan Garuda
Emas seorang diri! Tapi Gumala tidak bisa berbicara lagi, karena kapak di tangan Darba telah melesat ke
arahnya. Wuk..! Angin mengaung keras mengawali tibanya
serangan kapak itu. Gumala yang tahu betapa lihainya lawan di
hadapannya, tidak berani
bertindak ceroboh.
Singgg...! Cepat-cepat Gumala menghunus pedangnya. Dan begitu pedang itu digerak-
gerakkan, terdengar suara mendesing dahsyat.
Cring...! Dua buah senjata yang berbeda bertemu di
tengah jalan, dalam sebuah benturan yang keras dan nyaring.
"Haaat...!"
Darba menggertakkan gigi, menandakan
kemarahannya yang memuncak. Kapak di tangannya segera berkelebatan kian
dahsyat seiring kemarahannya yang semakin berkobar.
Tapi Gumala mampu membendung setiap
serangan lawan. Pedang di tangannya mengeluarkan bunyi menggerung dahsyat setiap kali digerakkannya. Sepertinya di
dalam pedang itu mengandung kekuatan seekor naga.
Pertarungan antara kedua orang muda itu
berlangsung sengit dan cepat. Sehingga sebentar saja belasan jurus telah
berlalu. Tapi sampai saat ini, belum nampak tanda-tanda yang
akan terdesak. Pertarungan masih berlangsung seimbang. "Tahan!"
teriak Darba keras sambil melempar tubuh ke belakang, dan hinggap sekitar dua tombak dari tempatnya
semula. Mendengar teriakan itu, Gumala langsung
menghentikan gerakannya. Tangan kanannya yang menggenggam pedang, bersilangan
dengan tangan kiri
di depan dada. Pemuda itu bersiap menghadapi kemungkinan adanya serangan gelap Darba.
Dendam Iblis Seribu Wajah 1 Pendekar Harpa Emas Karya Rajakelana Panji Wulung 14
^