Cinta Sang Pendekar 2
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar Bagian 2
Tapi pemuda baju coklat itu memang tidak
berniat licik. "Katakan apa hubunganmu dengan Ki
Gering Langit"!" tanya Darba keras. "Aku yakin ilmu pedang yang kau gunakan
adalah 'Ilmu Pedang Seribu Naga'!"
Wajah Gumala memucat. Sorot matanya
mengandung kecemasan ketika sudut matanya
melirik Arya. Tapi, ketika nampaknya Dewa Arak sama sekali tidak mendengar
percakapan itu karena
tengah tergeletak di tanah, sinar kecemasan pada wajahnya pun lenyap.
Tiba-tiba saja di luar dugaan,
tubuh Gumala melesat ke arah Darba dan langsung
menghujaninya dengan serangan-serangan
dahsyat. Karuan saja hal itu membuat murid Ki Jatayu ini kaget bukan main. Buru-
buru dibanting tubuhnya
ke tanah kemudian bergulingan menjauh. Gumala yang memang sebenarnya tidak
berniat mendesak lawannya, tanpa membuang-
buang waktu lagi segera menyambar tubuh Arya
dan melesat kabur dari situ. Dikerahkan ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki setinggi mungkin. "Keparat!" maki
Darba begitu dilihat lawannya telah lenyap. Sesaat lamanya pemuda itu kebingungan hen da k mengejar
ke mana. Beberapa saat lamanya ia termenung, berpikir sambil memandang berkeliling,
sebelum akhirnya memutuskan
untuk mengejar dari arah kedatangan Arya tadi.
*** 4 Dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh, Gumala berlari cepat sambil memanggul tubuh Arya. Sesekali kepalanya
menoleh ke belakang, melihat barangkali Darba mengejarnya.
Lega hatinya ketika tak juga melihat bayangan pemuda itu di belakangnya. Pelahan
dikurangi kecepatan lari yang memhuat napasnya terengah-engah. Sambil terus
berlari, ditatapnya wajah Arya yang terkulai lemah di kedua tangannya. Pemuda
berambut putih keperakan itu rupanya telah pingsan.
Gumala baru menghentikan larinya ketika
telah tiba di dekat kereta kuda yang ditinggalkan tadi. Segera dicarinya tempat
yang tersembunyi di balik semak-semak, kemudian
direbahkannya tubuh pemuda itu di situ.
Sekali lihat saja Gumala dapat mengetahui
kalau luka-luka yang diderita Dewa Arak cukup parah. Bagian-bagian yang terkena
serangan itu memang terlihat jelas. Bagian dada sebelah kiri yang terkena
tusukan, tampak kulitnya sobek.
Gumpalan darah yang telah mengering, mengelilingi sekitar luka itu.
Sementara bagian
perut yang terkena
sabetan sisi tangan miring Darba, tampak sebuah goresan halus tipis memanjang.
Bentuknya seperti terkena bacokan pedang. Tapi tentu bacokan sisi tangan miring
Darba jauh lebih berbahaya.
Bacokan pedang bila mengenai kulit, paling tidak hanya melukai kulit dan daging.
Tapi tidak demikian dengan bacokan sisi tangan pemuda baju coklat itu. Bukan
hanya kulit dan da ging yang dilukai, tapi juga ba gian dalam dada.
Hal seperti itulah yang dialami Arya.
Pemuda ini mengalami luka dalam yang cukup parah. Dan kini Gumala mencoba
mengobatinya. Tanpa ragu-ragu lagi, seperti orang yang sudah terbiasa, Gumala membersihkan
luka di bagian dada kiri Arya. Baru setelah itu, dibalurinya dengan obat bubuk
yang diambil dari buntalan di dalam kereta kudanya.
"Ohhh...!"
Arya mengeluh. Mulutnya menyeringai kesakitan. Dikerjap-kerjapkan
matanya untuk mengusir rasa pening yang
menggayuti kepalanya, dan untuk memperjelas pandangannya. Karena yang terlihat
di depannya hanyalah bayang-bayang wajah yang tidak jelas.
"Syukurlah kau sudah sadar, Kakang,"
tegur sebuah suara.
"Siapa kau..." Di manakah aku...?" tanya pemuda itu lirih.
' Tenanglah, Kakang. Aku Gumala, dan kau
berada di tempat aman."
"Gu... ma... la...," desah pemuda berambut putih keperakan itu.
Samar-samar Arya kembali teringat semua
kejadian yang dialaminya. Mulai dari mandi di sungai sampai bertemu dan hampir
celaka di tangan pemuda baju coklat. Kalau saja Gumala tidak datang menolongnya,
mungkin nasibnya lain lagi.
"Uhk... uhk..!"
Tiba-tiba Arya terbatuk-batuk. Melihat hal ini, buru-buru Gumala mengeluarkan
sebuah obat pulung berwarna kecoklat-coklatan.
"Telanlah ini...," perintah Gumala seraya menyorongkan air dalam sebuah kendi ke
mulut Arya. Tanpa ragu-ragu Dewa Arak menerima obat
pulung itu dan menelannya. Juga segera diminumnya air yang disodorkan Gumala, untuk
lebih mempercepat hancurnya obat pulung itu di dalam perutnya.
"Berbaringlah, Kang. Tak lama lagi kau akan segera sembuh. Obat pulung ini
sangat manjur untuk mengobati segala macam luka
dalam." Arya hanya bergumam tidak jelas. Ia sudah
tidak sanggup la gi berkata-kata. Rasa kantuk yang amat sangat telah
menyerangnya. Tanpa disuruh pun pemuda ini sudah merebahkan tubuhnya.
Rasa kantuk itu begitu kuat
menyerangnya. Sekilas m a sih dapat ditangkapnya ucapan Gumala. "Aku pergi dulu, Kang."
Setelah itu semuanya menjadi gelap.
Arya Buana tidak tahu berapa lama telah
terlelap. Yang diketahui hanyalah ketika tersadar, Gumala telah berada di
sisinya kembali. Di samping pemuda itu telah tergeletak guci arak dan
pakaiannya. Dewa Arak beranjak bangkit. Kini rasa sakit dan nyeri tidak lagi
menyerang dadanya.
Benar seperti kata Gumala, obat pulung itu benar-benar manjur.
"Bagaimana, Kang" Masih ada yang terasa sakit?" sambut Gumala begitu pemuda
berambut putih keperakan itu bangun dari berbaringnya.
Arya tersenyum. "Obatmu benar-benar
manjur, Adi Gumala," pujinya tulus. "Sekarang aku merasa sudah sehat lagi."
"Memangnya kalau kau sudah sehat lagi kenapa, Kang?"
"Kenapa"!" Arya membelalakkan matanya.
' Ya, tentu saja meneruskan tugas kita yang tertunda, Adi Gumala!"
"Oh, iya!" pemuda tampan mirip wanita ini menepak kepalanya pelan. "Kalau
begitu, tunggu apa lagi, Kang" Bukankah kau ingin menengok ibu dan kakekmu?"
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dikenakan pakaian dan diikatkan kembali gucinya di punggung. Sementara Gumala
melangkah mendahului Arya
meninggalkan tempat itu menuju kereta kuda. Kemudian dia naik ke
atasnya, diikuti Arya.
"Hiyaaa...!"
Gumala menghela tali kekang kudanya
menuju rumah Kepala Desa Jipang.
Selagi kereta kuda itu berjalan, tiba-tiba pandang mata Arya menangkap
berkelebatnya sesosok bayangan putih yang bergerak cepat ke arah Barat.
Dewa Arak tersentak. Ingatannya langsung
melayang pada Melati yang selalu memakai
pakaian serba putih. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda ini pun melompat dari
kereta. Tubuhnya melesat cepat ke arah bayangan putih tadi.
"Kau teruskan saja perjalananmu, Gumala.
Sampai di simpang tiga, belok ke kiri. Sekitar sepuluh tombak dari situ, ada
sebuah rumah yang
paling besar dan bagus. Itulah rumah kepala desa.
Aku datang belakangan," jelas Arya dari kejauhan.
Memang dengan tingkat ilmu kepandaiannya yang tinggi, tak sukar bagi Dewa Arak untuk mengirimkan pesan
jarak jauh ke orang yang dituju. Sedangkan Gumala hanya
dapat mengangguk. Entah kepada siapa anggukan kepalanya itu ditujukan. Karena
tubuh Arya sudah lenyap dari situ.
Dewa Arak segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Disadari kalau bayangan putih yang sekilas dilihatnya tadi
adalah Melati. Maka jelas dia tidak akan bisa mengejarnya kecuali mengerahkan segenap
kemampuannya. Tapi betapapun pemuda berambut putih
keperakan ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap saja jaraknya dengan sosok bayangan putih itu
tidak berubah. Keruan saja hal ini membuat Arya menjadi
penasaran. Sepanjang pengetahuannya, tingkat kepandaian gadis berpakaian putih
itu, masih di bawahnya. Tapi mengapa, sampai sekian lamanya mengejar tidak juga
dapat menyusul" Jangankan menyusul, memperpendek jarak pun tak mampu.
Setibanya di suatu tempat yang di kanan
kirinya banyak ditumbuhi semak lebat, Dewa Arak kehilangan jejak. Pemuda berbaju
ungu ini menghentikan larinya. Sepasang matanya menatap semak-semak
di sekitar nya penuh kewaspadaan. Mendadak pendengaran Dewa Arak yang
tajam menangkap adanya suara berkerisik pelan di belakangnya. Cepat-cepat
dibalikkan tubuhnya.
Sementara seluruh urat syaraf
di tubuhnya menegang waspada.
"Mengapa kau mengikutiku, Anak Bagus?"
Sebuah suara serak menyambut begitu Arya
membalikkan tubuhnya.
Dewa Arak menatap sosok tubuh di
hadapannya penuh perhatian. Tampak seorang nenek berusia sekitar enam puluh
tahun, berkulit putih pucat, dan berpakaian serba putih. Pada dahinya terdapat
benda kecil berbentuk bulan sabit yang diikat oleh tali melingkari kepalanya. Di
tangannya tergenggam sebatang tongkat yang berujung logam tipis berbentuk bulan
sabit. Arya mengeluh dalam hati. Tidak disangka
kalau bayangan yang tadi dikejarnya bukan
Melati, melainkan nenek ini.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Anak Bagus!" kembali nenek ini berujar. Tapi
kali ini suaranya mengandung ancaman maut. 'Tak ada seorang
pun yang dapat hidup setelah mempermainkan Dewi Bulan!"
Begitu selesai dengan ucapannya, nenek
yang berjuluk Dewi Bulan itu menggerakkan
tangan yang menggenggam tongkat
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulan sabitnya. Cappp! Tongkat itu menancap dalam di tanah.
"Bersiaplah kau, Anak Bagus! Hiyaaa...!"
Didahului oleh sebuah teriakan nyaring
yang m eng geta r ka n
jantung, Dewi Bulan melompat menerjang Arya. Kedua tangannya yang membentuk cakar
aneh menyambar-nyambar
dahsyat ke arah Arya, sehingga menimbulkan suara angin berciutan.
Dewa Arak terperanjat kaget. Pemuda ini
tahu, tidak ada gunanya berusaha mencegah.
Nenek aneh ini pasti tidak akan mendengarkan ucapannya. Maka cepat-cepat digeser
kakinya mengelakkan serangan itu.
Tapi tiba-tiba tubuh nenek itu berbalik.
Dan bersamaan dengan itu kakinya mengibas, mengancam pelipis. Sebuah serangan
yang sama sekali tidak terduga!
Kali ini Arya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menangkis. Buru-buru
diangkat tangan kirinya melindungi pelipis
Plak! Tubuh Arya terhuyung selangkah
ke belakang, sementara Dewi Bulan terhuyung dua langkah. Dari benturan tadi, nenek
itu sudah dapat mengetahui kalau tenaga dalam lawannya lebih unggul.
"Keparat!" maki si nenek. Wajahnya terlihat merah bukan main. "Besar sekali
nyalimu, bocah!
Kau telah berani membuatku terhuyung. Maka kali ini jangan harap kuampuni
nyawamu!" Sambil meraung keras laksana binatang
terluka, Dewi Bulan kembali menerjang Arya.
Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh
berkelebatan cepat dan tiba-tiba, ke bagian-bagian tubuh Arya yang mematikan.
Arya mengenal betul setiap serangan-
serangan berbahaya. Tapi dia tidak ingin terkecoh seperti tadi. Pemuda berambut
putih keperakan ini kini telah tahu, sungguhpun serangan tangan nenek itu amat
berbahaya, tapi jelas kaki nenek itu
jauh lebih berbahaya. Mirip binatang kalajengking! Sabetan ekornya yang justru lebih berbahaya daripada serangan
jepitnya. Maka, walaupun Arya seperti terpaku
terhadap serangan-serangan tangan nenek itu, tapi
sepasang m a ta nya tak pem a h lepas mengawasi kedua kaki lawan.
Selama beberapa gebrakan Arya menggunakan ilmu warisan yang diperoleh dari ayahnya, yakni 'Delapan
Cara Menaklukkan Harimau'. Tentu saja bila dibanding ayahnya, almarhum
Tribuana, ilmu ' Dela pa n Cara
Menaklukkan Harimau' yang dimainkan Dewa
Arak jauh lebih dahsyat. Hal ini memang tidak aneh. Karena, baik dalam hal
tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh, pemuda berambut putih keperakan ini telah mampu
menyempurnakannya.
Tapi setelah bertarung selama beberapa
jurus, yakinlah Dewa Arak kalau ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', tidak
dapat dipakai untuk
menandingi lawannya. Pelahan-lahan pemuda itu mulai terdesak.
"Sekarang kau baru tahu rasa, bocah
keparat!" Dewi Bulan berseru gembira melihat lawannya hanya dapat menangkis dan
main mundur, dan hanya sesekali balas menyerang.
Pada jurus kesebelas, Arya tidak punya
pilihan lain lagi. Dia harus segera menggunakan ilmu andalannya, 'Belalang
Sakti'. Itulah sebabnya pada suatu kesempatan, dilentingkan tubuhnya ke
belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara. Dan begitu kedua kakinya
mendarat ringan di tanah, tangan kanannya telah menggenggam guci araknya.
Dewi Bulan yang sudah dicekam amarah,
tentu saja tidak akan membiarkan lawannya lolos.
Cepat dia melompat mengejar, sambil mengirimkan serangkaian serangan maut. Sementara pemuda berpakaian ungu itu mengangkat guci araknya ke atas kepalanya.
Dan.... Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu
memasuki tenggorokannya. Tubuh pemuda itu
sebentar kemudian
sempoyongan. Bersamaan
dengan itu, serangan yang dilancarkan Dewi Bulan pun meluncur tiba.
Si nenek sudah bersorak dalam hati. Ia
yakin betul kalau serangannya kali ini akan menemui sasaran. Sudah terbayang di
benaknya bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya ini, akan jatuh terkapar.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hari
Dewi Bulan, ketika serangan yang sudah dipastikan akan mengenai sasaran itu tahu-tahu hanya menyambar tempat kosong.
Tubuh pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari hadapannya. Yang diketahui, sebelum
serangan itu tiba pemuda berambut putih keperakan itu telah bergerak dengan
langkah kaki terhuyung seperti orang yang akan jatuh.
Selagi nenek itu kebingungan mencari
lawannya, dirasakan angin dingin berhembus di belakangnya. Cepat dilempar
tubuhnya ke depan dan bergulingan menjauh, mendekati tongkatnya yang tertancap
di tanah. Tappp! Disambarnya tongkat bulan sabitnya, dan
langsung diputar-putar seperti sebuah tameng yang akan melindungi tubuhnya.
Wuk... wuk... wuk...!
Angin menderu-deru keras ketika nenek itu
memutar-mutarkan tongkatnya. Tapi baru saja Dewi Bulan akan menerjang Arya,
terdengar lengkingan tinggi di kejauhan. Sepertinya suara itu dikeluarkan dari mulut yang
memiliki tenaga dalam tinggi. Seketika wajah perempuan tua itu berubah. Tongkat
bulan sabitnya yang sudah diputar-putar, dan siap diarahkan ke tubuh Arya,
dihentikan. Matanya tajam menatap wajah pemuda berambut putih keperakan di depannya.
"Kali ini kau mujur ini, bocah! Tapi lain kali jangan harap akan semujur ini!"
Belum juga gema suaranya hilang, nenek
itu sudah melesat cepat dari situ. Cepat sekali gerakannya,
sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan dan semak-semak yang terdapat di kanan kiri jalan.
Sementara itu Dewa Arak menggeleng-
gelengkan kepala. Diam-diam hatinya menyesal karena telah membuat bibit
permusuhan dengan tokoh selihai nenek tadi. Seorang lawan yang cukup tangguh.
Tiba-tiba Arya teringat Gumala yang tadi
dltinggalkannya. Kawan barunya yang masih
menjadi teka-teki itu ternyata memiliki kepandaian yang jauh di atas dugaannya semula.
Kepandaian Gumala ternyata sangat tinggi. Kalau tidak, mana mungkin mampu
menyelamatkan dirinya dari pemuda berbaju coklat yang memiliki kepandaian luar biasa itu"
Dengan benak masih dipenuhi tanda tanya, Arya melesat dari situ. Dia menyusul
Gumala, menuju rumah Kepala Desa
Jipang. *** Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam waktu sebentar saja Dewa Arak telah tiba
di simpang tiga.
Dari situ, tam-aklah Gumala tengah bertarung melawan belasan orang kasar yang mengeroyoknya. Beberapa sosok tubuh
nampak bergeletakan di tanah. Rupanya, sudah cukup lama juga pemuda tampan itu
bertarung. Mulanya Dewa Arak ingin
membantu Gumala. Tapi ketika melihat ada bayangan tubuh pemuda berbaju coklat di atas
atap, diurungkan niatnya. Secepat kilat Arya Buana melesat ke atas, bersembunyi
di sebuah cabang pohon. Dia
mengintai gerak-gerik pemuda itu, sambil memperhatikan keadaan Gumala.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring. Serentak belasan orang yang tengah mengeroyok Gumala berlompatan mundur.
Sehingga yang tinggal hanya pemuda tampan itu sendiri.
Berbareng habisnya gema teriakan itu, dari dalam pintu gerbang muncul tiga sosok
tubuh kasar, berpakaian dan berdandan serupa. Mereka berpakaian rompi
dari kulit buaya. Gumala
memperhatikan mereka sejenak. Ia tahu kalau ketiga orang itu adalah pemimpin
penjahat yang telah
menguasai desa ini. Wajah maupun dandanan mereka mirip satu sama lain. Yang membedakannya hanyalah warna ikat
kepalanya yang mempunyai warna berbeda. Hitam, totol-totol, dan putih.
"Inikah orang yang telah melukai teman-teman kalian?" tanya seseorang berikat
kepala putih kepada anak buahnya yang telah mengurung Gumala. Laki-laki itu berjuluk Buaya Putih. "Benar, Kang," sahut
mereka. "Hm...," si ikat kepala putih mengangguk-angguk. Ditatap pemuda di hadapannya
tajam-tajam. Sepasang matanya yang besar mengamati Gumala dari ujung ra mbut
sampai ke ujung kaki.
Senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Sementara orang yang berikat kepala totol-
totol dan hitam yang sebenarnya masing-masing berjuluk Buaya Belang dan Buaya
Hitam, hanya tertawa-tawa saja melihat tingkah kakaknya.
Baru saja Buaya Putih melangkah mendekat, Gumala telah melompat menerjang.
Melihat sikap lawan yang terlalu memandang rendah dirinya, membuat kemarahan
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda tampan itu bangkit. Dalam kobaran hawa amarah yang meluap, Gumala menyerang
tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Ahhh...!"
Buaya Putih memekik kaget. Kecepatan
gerak pemuda yang mirip wanita ini, benar-benar mengejutkannya. Sepasang matanya
hanya dapat menangkap sekelebatan bayangan hitam yang
menyambar deras ke arah kepalanya. Angin
bercicitan nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
Untung-untungan laki-laki berjuluk Buaya
Putih itu membanting tubuhnya ke tanah dan langsung bergulingan menjauh dari
arena. Tapi Gumala yang tengah dilanda luapan
amarah itu tidak akan melepaskan lawannya.
Tekadnya sudah bulat untuk melenyapkan Buaya Putih yang terlalu memandang rendah
dirinya. Sementara itu keringat dingin mengucur
deras dari sekujur tubuh Buaya Putih ketika merasa serangan bayangan hitam yang
terus mengikuti ke mana tubuhnya menghindar. Perasaan pa nik langsung
menghinggapinya.
Tubuhnya terus bergulingan, berusaha menyelamatkan diri.
Buaya Belang dan Buaya Hitam tentu saja
menyadari bahaya maut ya ng mengancam kakaknya. Sebagai tokoh-tokoh yang telah mempunyai pengalaman luas dalam dunia persilatan, segera saja kedua orang ini sadar kalau lawan yang dikira empuk itu
ternyata memiliki kepandaian tinggi. Bahkan berada jauh di atas kepandaian Buaya
Putih. Maka, tanpa sungkan-sungkan lagi Buaya
Hitam dan Buaya Belang mencabut senjata
masing-masing, yang terbuat dari kulit buaya.
Ujung-ujung sabuk itu berduri-duri. Dan tentu saja sebagai orang yang berwatak
kejam, pada duri-duri itu juga dilumuri racun-racun yang mematikan.
Ctar! Ctar! Suara nyaring memekakkan telinga terdengar ketika kedua orang itu melecutkan sabuk yang
panjangnya lebih dari
setengah tombak. Dan seperti juga ikat kepala, warna sabuk kedua orang ini pun sesuai
julukannya. Wut..! Wut...! Kedua buah sabuk itu menyambar- nyambar ke arah pelipis dan ubun-ubun Gumala yang tengah memburu tubuh Buaya
Putih. Pemuda tampan mirip wanita ini terpaksa
membatalkan desakannya terhadap Buaya Putih.
Ditarik kepalanya ke belakang, sehingga kedua serangan sabuk itu menyambar
tempat kosong. Seketika dikirimkan serangan balasan berupa sapuan kaki, untuk menahan laju
desakan lawan. Harapan Gumala terpenuhi, karena memang kedua orang itu melompat ke belakang.
Maka kesempatan yang sebentar ini, dipergunakan Gumala untuk memperbaiki
posisinya. *** 5 Begitu terbebas dari desakan Gumala,
Buaya Putih segera melentingkan tubuhnya seraya bersalto sekali di udara. Manis
sekali kakinya hinggap di tanah. Namun demikian wajahnya
pucat seperti kapas. Hampir
saja nyawanya melayang! Melihat kenyataan ini, Buaya Putih tidak
akan main-main lagi. Maka segera diloloskan
sabuk kulit buaya berwarna putih yang melilit pinggangnya.
Ctar! Dilecutkannya sabuk itu sekali ke udara.
Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri
kedua adiknya untuk bergabung.
Gumala kini tidak bersikap ceroboh. Pemuda ini tahu kalau ujung sabuk lawan
mengandung racun jahat. Sempat tercium olehnya bau
amis memuakkan ketika cambuk itu menyambar-nyambar tadi.
"Haaat...!"
Buaya Putih mendahului menyerang. Sabuk di tangannya melecut di udara sebelum menyambar deras ke arah ubun-ubun
Gumala. "Hiyaaa...!"
Buaya Hitam pun tak ketinggalan. Sabuknya mematuk-matuk ganas ke arah dada.
"Hiaaat...!" teriak Buaya Belang tak mau kalah. Sabuk buriknya menyapu ke arah
kedua lutut. Tiga buah serangan secara bersamaan
datang, mengancam tubuh Gumala. Suatu kerja sama yang teratur baik. Memang cukup
berbahaya serangan ini. Apalagi senjata mereka lemas seperti sabuk kulit. Arah
sasaran yang dituju tentu dapat berubah-ubah dalam seketika. Hal ini jelas akan
menyulitkan lawan yang diserang.
Tapi yang diserang kali ini adalah Gumala, yang memiliki kepandaian luar biasa.
Terbukti, pemuda tampan ini sanggup menghadapi Darba!
Gerakannya lincah laksana seekor belut, tubuhnya menyelihap di antara hujan serangan sabuk.
Namun demikian, Gumala tampak kerepotan juga. Kali ini serangan-serangan sabuk itu benar-benar berbahaya.
Rupanya dengan maju bertiga, mereka memiliki tambahan tenaga secara aneh, dan
terus mendesak Gumala.
Setiap serangan Gumala kini selalu dapat
ditahan. Sebaliknya pemuda ini agak repot juga menghadapi setiap serangan
balasan lawannya.
Untunglah berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang berada amat jauh di atas
lawan-lawannya, sampai saat ini dia masih mampu
menyelamatkan diri dari setiap serangan lawan.
Belasan jurus telah berlalu. Dan Gumala
belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini membuat pemuda ini penasaran bukan
main. Dia tahu betul kalau tingkat kepandaian ketiga orang lawannya ini berada
jauh di bawahnya. Baik dalam
hal tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuh. Tapi, kenapa setelah maju bertiga mereka mampu membuatnya
kerepotan"
Otak cerdas pemuda berbaju hitam ini
segera saja dapat menebak apa penyebabnya.
Pasti karena mereka menyerang secara teratur.
Saling kerja sama, saling bantu, dan saling dukung. Jadi, seolah-olah mereka
terdiri dari satu pikiran saja.
Gumala yakin kalau saja mereka mengeroyok secara tak teratur, jangankan hanya
tiga orang, bia r dita mbah dua kali lipat pun mampu mengalahkan tanpa mengalami
kerepotan seperti ini.
Jadi rupanya karena keteraturan dalam
penyerangan inilah yang menyebabkan mereka begitu tangguh. Kalau saja Gumala
bisa membuat mereka kurang menjadi satu saja, pasti kehebatan itu akan hancur.
Mendapat pikiran demikian, Gumala mulai
menelaah setiap serangannya tadi. Ditemukan kalau tadi penyerangannya berpindah-
pindah. Pertama menyerang Buaya Putih, lalu mengancam Buaya Hitam. Di lain saat,
mencecar Buaya Belang. Tekadnya sekarang adalah mengarahkan serangan pada satu orang saja.
"Haaat..!"
Kini Gumala mengarahkan serangannya
pada Bu a ya Putih yang memang sejak tadi
diincarnya. Seperti yang
sudah diperkirakan sebelumnya, Buaya Hitam dan Buaya Belang
bergegas datang menolongnya, menyampoki serangan itu bersama-sama.
Tapi kali ini tidak seperti yang sudah-
sudah. Gumala kini tidak mempedulikan adanya bantuan itu.
Terus saja dicecarnya Buaya Putih. Melihat hal ini, Buaya Hitam dan Buaya Belang
pontang-panting mengikuti
setiap serangan
Gumala. Mereka berusaha untuk terus berada di sisi Buaya Putih.
Dalam beberapa gebrakan
selanjutnya, kekompakan kelompok itu pun membuyar. Namun demikian
ketiga orang itu berupaya untuk menyatukan posisi lagi. Hanya saja mereka tetap tidak mampu karena Buaya Putih
memang tak mampu melakukannya. Cecaran demi cecaran
Gumala benar-benar
merepotkannya. Sampai pada suatu saat...
Crokkk! "Akh...!"
Buaya Putih memekik tertahan. Tangan
Gumala yang berbentuk cakar telah menghantam telak
pelipisnya. Pimpinan tiga buaya ini terhuyung sesaat. Setelah itu tubuhnya pun ambruk di tanah, diam selama-lamanya.
Mati. "Kakang...!" jerit Buaya Hitam.
"Grrrh...! Kubunuh kau!" geram Buaya Belang.
Kemarahan dua orang itu kini semakin
memuncak melihat kematian Buaya Putih. Seketika keduanya menerjang Gumala. Cambuk di tangan kedua orang ini melecut
nyaring di udara.
Gumala hanya tersenyum mengejek. Tanpa
kerja sama yang teratur seperti halnya tadi, tidak sulit
ba ginya untuk merubuhkan
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka. Dibiarkan saja tubuh lawannya mendekat. Dan ketika jarak keduanya telah dekat,
tiba-tiba dihentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuuttt...! Angin yang amat kuat berhembus keras ke
depan akibat hentakan tangan Gumala.
Bressss...! Tubuh Buaya Belang dan Buaya Hitam
yang tengah berada di udara, terlempar deras ke belakang bagai dilanda
angin ribut sejauh beberapa tombak ke belakang. Luncuran kedua tubuh itu baru terhenti ketika
menghantam pagar tembok hingga rubuh. Dan memang, Buaya
Belang dan Buaya Hitam tidak bangun-bangun lagi.
Karuan saja kematian ketiga orang pemimpinnya membuat orang-orang kasar yang tadi mengurung Gumala menjadi gentar.
"Kini giliran kalian," tegas Gumala seraya menatap mereka satu persatu. Tentu
saja hal itu membuat orang-orang kasar itu tanpa sadar
melangkah mundur setindak.
Tapi tiba-tiba Gumala menoleh ke samping
kiri disertai sikap waspada. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara
berkerisik pelan.
Ternyata di samping kirinya dalam jarak sekitar tiga tombak, telah berdiri
seorang pemuda tampan berbaju coklat. Pada kedua pinggangnya terdapat sebuah
kapak. "Kaget?" ucap
pemuda yang ternyata adalah Darba. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek. "Pantang bagiku untuk
membokong lawan. Maka sengaja kuremas-remas daun kering agar kau mengetahui
kehadhanku!"
"Aku tidak punya urusan
denganmu! Menyingkirlah!"
"Tidak punya urusan denganku"! Lucu
sekali! Belum lama ini kau telah menyelamatkan musuh
besarku. Bahkan baru saja telah membunuh tiga orang a na k bu a hku. Dan sekarang
kau bilang tidak punya urusan denganku"!
Lucu sekali!"
"Jadi, apa maumu sekarang?"
tanya Gumala, bernada menantang.
"Sederhana saja...."
"Apa?"
"Membunuhmu!" tegas kata-kata Darba.
"Kau kira mudah membunuhku?" ejek Gumala sambil tersenyum sinis.
"Ha ha ha...!" Darba tertawa. "Dulu, guruku memang tidak menang melawan Ki
Julaga, gurumu itu. Tapi sekarang" Kita buktikan siapa di antara mereka yang lebih
hebat!" "Dari mana kau tahu guruku?" tanya Gumala kaget.
"Ha ha ha..., mudah saja! Hanya ada tiga orang yang menguasai ilmu-ilmu Ki
Gering Langit, selain si tua bangka itu. Dua orang lainnya adalah guruku yang
bernama Ki Jatayu, dan Ki Julaga!
Dan tak mungkin kalau kau murid si tua bangka itu. Jadi jelas kau adalah murid
Ki Julaga! Hanya yang membuatku tidak habis mengerti, mengapa kau malah akrab
dengan murid si tua bangka itu"
Padahal orang tua itulah yang telah membuat gurumu sengsara!" jelas Darba.
Pemuda itu memang sejak tadi memperhatikan perkelahian
Gumala, sehingga berhasil mengetahui dari siapa Gumala memperoleh ilmu itu.
"Bukan urusanmu!" bentak Gumala garang seraya melompat menerjang Darba.
Tahu kelihaian pemuda berbaju coklat itu,
Gumala segera mengerahkan segenap kemampuannya. Tangan kanannya yang berbentuk cakar menyambar ke arah pelipis, sementara tangan kirinya dipalangkan
di depan dada. Melihat serangan itu, Darba hanya tertawa mengejek. Dengan sebuah
gerakan sederhana, didoyongkan
tubuhnya ke belakang seraya mengangkat tangan kirinya untuk menangkis
serangan itu. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menendang ke arah perut
Plak! Dughk...!
Suara bentu r a n
keras antara tangan dengan tangan, dan tangan dengan kaki yang mengandung tenaga dalam dahsyat,
terdengar beberapa
kali. Tendangan Darba berhasil dipatahkan Gumala dengan tangan kiri yang
terpalang dari atas ke bawah. Akibat benturan itu, baik Gumala maupun Darba
sama-sama terhuyung.
Gumala terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara Da r ba
terhuyung satu langkah. Gumala menggertakkan gigi. Begitu daya
dorong yang membuatnya terhuyung habis,
kembali diterjangnya Darba.
Kedua tangan Gumala menyamba r- nyambar ke berbagai bagian tubuh yang mematikan. Tapi, Darba bukanlah orang yang ilmunya setaraf Buaya Putih dan adik-
adiknya. Tingkat kepandaian pemuda baju coklat ini amat tinggi. Itulah sebabnya, walaupun
serangan Gumala datang bertubi-tubi bagaikan hujan, Darba
tidak m enga la m i kesu lita n dalam menanggulanginya.
Apalagi ketika dia mengeluarkan ilmu 'Tangan Pedang' yang menjadi andalannya. Gumala tampak
berkali-kali berteriak kaget
Pertarungan antara kedua orang muda ini
berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, belasan jurus tebh berialu.
Meskipun demikian, belum nampak tanda-tanda yang akan terdesak.
Kelihatannya pertarungan
masih berlangsung seimbang. Memang dalam hal tenaga dalam, Darba
lebih kuat daripada Gumala. Tapi keunggulan pemuda baju coklat itu bisa diredam
oleh tingginya ilmu meringankan tubuh milik Gumala.
Itulah sebabnya, selama belasan jurus pertarungan masih berjalan seimbang.
Dalam hati Gumala mengakui kalau menghadapi pemuda berbaju coklat ini cukup berat baginya. Ilmu tangan kosong
murid Ki Jatayu ini benar-benar membuatnya repot bukan main. Angin dari setiap
gerakan tangan pemuda itu bisa membuat pakaiannya koyak-koyak
Darba mengerutkan alisnya. Ada perasaan
heran menjalari hatinya. Mengapa murid Ki Julaga itu kelihatan begitu takut
terkena angin serangan tangannya" Memang, angin itu dapat merobek kulit dan
daging. Tapi tentu saja tidak berarti buat pemuda di hadapannya ini. Gumala
mempunyai tenaga dalam yang tinggi, sehingga angin serangan itu tak akan mampu
melukai kulitnya. Paling tidak hanya akan mengoyak pakaian.
Tapi, kenapa pemuda itu terlihat begitu
khawatir" Setelah tanpa hasil menerka-nerka, akhirnya Darba memutuskan untuk tidak memikirkannya. Bia rlah pemuda itu sendiri yang kerepotan menghadapi angin
serangan tangannya.
Maka segera Darba meningkatkan serangannya.
Lewat jurus kedua puluh, Gumala mulai
terdesak. Sebenarnya kalau saja Gumala tidak mempedulikan angin serangan yang
mengenai pakaiannya, dia tak akan terdesak begitu. Pemuda ini
banyak melakukan gerakan untuk mengelakkan serangan yang sebenarnya tidak berbahaya. Jadi, dia tidak mempunyai
kesempatan untuk balas menyerang.
Memang berkat 'kerajinannya' mengelakkan angin serangan itu, pakaiannya sampai saat ini masih tetap utuh.
Hanya ada satu bagian yang robek memanjang pada bahu kanan atas.
"Haaat...!"
Tiba-tiba Gumala berteriak nyaring. Kemudian tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali di
udara. Dan begitu kedua kakinya hinggap di tanah, tangannya telah menggenggam
sebatang pedang.
Singgg...! Singgg...!
Baru saja kaki Gumala hinggap di tanah,
terdengar desingan nyaring disusul berkelebatnya dua berkas sinar keperakan ke
arahnya. Di belakang dua leret sinar
itu tubuh Darba
menerjang ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Rupanya begitu melihat lawannya melentingkan tubuh ke belakang, Darba yang cerdik segera saja tahu kabu Gumala
hendak menggunakan jurus baru. Maka, tanpa ragu-ragu segera dicabut
kedua buah kapaknya dan dilemparkan ke arah Gumala. Tak cukup hanya sampai di situ, ia pun melompat
menerjang di belakang kedua kapaknya.
Gumala kaget sekali. Tiga buah serangan
mendadak telah mengancamnya begitu kedua
kakinya menjejak tanah. Dan
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini di luar dugaannya sama sekali.
Trang...! Trang...!
Dua kali terdengar suara
berdencing nyaring. Dua buah kapak itu pun terpental balik dan jatuh ke tanah. Sementara
tangan Gumala yang menggenggam pedang pun bergetar hebat.
Memang betapa kuatnya tenaga dalam yang
terkandung dalam lemparan kapak itu.
Namun sebelum Gumala dapat memperbaiki posisinya, serangan susulan dari Darba telah menyambar tiba.
Bukkk! "Hekh..!"
Tubuh Gumala melintir. Pu ku la n sisi
tangan Darba telak menghantamnya. Untunglah di saat terakhir masih sempat
dielakkan bacokan sisi tangan itu,
sehingga tidak mengenai dada,
melainkan bahunya.
Putaran tubuh Gumala terhenti ketika
menabrak pagar tembok. Tanpa ampun bgi, tubuh yang sedang sempoyongan itu jatuh
terguling di tanah. Belum juga pemuda berbaju hitam ini menyadari apa yang
terjadi, sosok tubuh yang disangkanya sudah tewas tadi tiba-tiba bergerak.
Tangannya yang menggenggam sabuk kulit buaya berwarna hitam itu melayang. Siapa
lagi kalau bukan Buaya Hitam!
Wut...! Prattt...!
"Akh...!"
Gumala mengeluh ketika ujung cambuk
berduri itu melecut pada bagian bawah dadanya.
Kontan rasa panas menjalar di sekitar tempat yang terkena sabetan. Kepalanya pun
terasa pusing. Sementara Buaya Hitam sehabis melecutkan sabuknya, mengeluh tertahan dan rubuh dengan napas putus. Baru
sekarang ini dia benar-benar mati.
"Ha ha ha...! Sekarang tamatlah riwayatmu!"
Masih tertangkap oleh pendengaran Gumala, suara tawa penuh kemenangan dari
Darba. Dicobanya untuk bangkit. Tapi rasa pusing yang menggayuti kepala
menghambatnya. Gumala memejamkan matanya ketika dirasakan
ada sambaran angin yang berkesiur ke arahnya. Dia hanya menunggu kematian!
Dapat dibayangkan, betapa kaget hati
pemuda berbaju hitam itu ketika pukulan yang ditunggu-tunggunya ta kjuga sampai.
Malah justru dirasakan tubuhnya diangkat sepasang tangan kokoh. Aneh sekali. Tapi,
pikirannya yang masih bekerja, dapat merangkai kejadiannya.
Bahkan samar-samar didengarnya teriakan- teriakan penuh kemarahan dari Darba.
"Mau ke mana kau, keparat!"
Memang, Gumala telah ditolong seseorang!
Kemudian dirasakan
hembusan angin keras meniup dari arah depan. Pertanda kalau orang yang menolongnya tengah membawanya
kabur. Dibuka matanya lebar-lebar mencoba
melihat penolongnya. Samar-samar terlihat seraut wajah yang tak jelas. Tapi dari
rambutnya yang berwarna putih keperakan dan panjang meriap, dapat
dikenali siapa penolongnya ini.
"Kakang Arya...,"
bisik Gumala lemah sebelum akhirnya rubuh tak sadarkan diri.
Sang penolong yang memang tak lain
adalah Arya Buana, membawa lari Gu mala dengan
kecepatan tinggi. Pandangan matanya yang tajam dapat melihat kalau kawannya itu
terkena racun ganas. Kalau tidak lekas ditolong, bukan mustahil kalau pemuda
teman seperjalanannya ini akan tewas.
Dewa Arak memang agak terlambat menolongnya. Karena
tadi begitu dilihatnya Gumala mampu mendesak lawannya, pemuda ini masuk ke dalam gedung, mencari tahu
barangkali guru pemuda berbaju coklat itu ada di dalam.
Begitu keluar, dilihatnya Gumala dalam keadaan gawat. Buru-buru dia bergerak
menolong dan membawanya kabur.
*** Arya menghentikan larinya ketika merasa
yakin kalau Darba tidak mengejarnya lagi.
Diturunkannya tubuh Gumala hati-hati di atas rumput, lalu diperhatikannya luka
yang terdapat pada tubuh pemuda itu.
Sekali pandang saja Dewa Arak ini segera
tahu, kalau luka pada bagian bawah dada itulah yang lebih berbahaya, karena
mengandung racun ganas. Untungnya racun itu daya kerjanya lambat, sehingga belum
menjalar ke mana-mana.
Arya tidak mau membuang-buang waktu
lagi. Cepat tangannya bergerak.
Breeettt..! "Akh...!"
Arya Buana terpekik kaget! Sepasang
matanya terbelalak lebar seolah tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dibalik
baju yang telah terobek lebar itu, pada bagian dada nampak terpampang dua buah
bukit kembar yang mulus menantang.
Darah kelaki-lakian Arya Buana seketika
bergolak. Jantungnya jadi semakin keras berdegup. Pemuda itu menelan ludah dengan
perasaan tegang. Ternyata ka wa n nya yang disangka seorang pemuda ternyata wanita! Ditatapnya sekali lagi dua buah bukit kembar di hadapannya,
untuk lebih meyakinkan penglihatannya. Benar tidak salah lagi! Itu adalah payudara wanita!
Perasaan penasaran membuat Arya memperhatikan wajah Gumala palsu. Dan sekarang jantungnya semakin berdebar tegang, ketika kini dapat melihat wajah itu
lebih jelas lagi.
Wajah itu.... Mulut itu.... Bibir itu..., dan sepasang mata itu...,
mengingatkannya pada seseorang.
Seorang gadis berpakaian serba putih yang amat dekat di hatinya. Melati!
Melati! Jerit hati pemuda berambut putih
keperakan ini ketika kini dikenalinya wajah itu.
Benar! Wajah itu adalah milik Melati. Wajah yang selalu dirindukannya. Dan kini
wajah itu berada dalam ancaman bahaya maut
Arya Buana kini dilanda kebimbangan. Apa
yang harus dilakukannya sekarang" Tentu saja sudah pasti mengobati Melati. Tapi,
caranya.... Tidakkah gadis itu nanti akan bertambah marah padanya"
Beberapa saat lamanya terjadi perang batin dalam diri Arya. Antara mengobati
gadis itu, dengan kemarahan yang
sudah pasti bakal
diterimanya. Karena jalan satu-satunya untuk mengeluarkan racun hanyalah dengan
menyedot darah itu keluar. Menyedotnya dengan mulut!
Setelah lama dilanda kebimbangan, akhirnya Dewa Arak memutuskan untuk melakukannya. Biarlah! Marah pun tak mengapa.
Yang penting gadis itu dapat selamat. Kini walaupun
dengan setengah hati, Arya mendekatkan mulutnya ke bagian bawah dua
bukit kembar itu. Ditempelkan bibirnya dan disedotnya darah yang telah
mengandung racun itu, kemudian diludahkan.
Demikian dilakukannya berkali-kali sampai
akhirnya darah yang diludahkannya mulai memerah, tidak hitam seperti sebelumnya.
"Ohhh...!"
Terdengar keluhan dari
mulut Melati, ketika Arya masih sibuk menyedot sisa racun yang masih bersemayam sampai
diyakininya ra cun itu bersih sama sekali. Dan sudah diduga oleh Arya kalau
Melati akan terkejut setengah mati. Gadis itu seketika memekik, lalu bergegas
bangkit dengan wajah memerah bagai kepiting rebus.
"Manusia kurang ajar!" teriak Melati keras.
Tangannya pun melayang.
Plak...! Dengan deras dan keras telapak tangan
gadis itu menampar pipi Arya. Begitu kerasnya sehingga nampak pada pipi pemuda
itu tergambar telapak tangan berwarna merah.
"Tunggu sebentar, Melati! Akan kujelaskan...," ucap Arya gugup.
Tapi Gumala yang sebenarnya Melati itu
sama sekali tidak mempedulikannya. Segera dia bangkit, lalu merapikan
pakaiannya. Dan kembali diterjangnya pemuda itu.
Bukkk! Dengan telak, tendangan itu menghantam
Arya yang sama sekali tidak berusaha mengelak atau
melawan. Untungnya Melati hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya ketika melihat pemuda berambut putih
keperakan ini sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
Meskipun begitu, tetap saja sekujur tubuh Arya yang terkena sasaran pukulan dan
tendangan itu jadi matang biru.
Tiba-tiba terdengar seruan tertahan keluar dari mulut Melati. Tubuhnya kemudian
melesat dari situ, meninggalkan Arya.
"Melati! Tunggu...!" teriak pemuda berbaju ungu itu keras tanpa berusaha
mengejar. Tapi gadis itu sama sekali tidak mengacuhkan teriakan Arya. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak, la terus saja
berlari, sehingga sesaat kemudian tubuhnya lenyap diteian jalan.
"Melati..., ahhh Melati...," keluh Dewa Arak.
Sepasang matanya memandang kosong ke depan.
Sudah diduga kalau peristiwa seperti ini akan terjadi. Dia sama sekali tidak
menyalahkan Melati.
Memang wajar kalau gadis itu bersikap demikian, karena tentu merasa malu.
Hanya satu hal yang disesali Arya,
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengapa perjumpaannya dengan gadis yang telah mencuri sekeping hatinya itu
selalu menimbulkan hal yang berakhir tidak menyenangkan.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas dalam-dalam.
Diambilnya guci yang terikat di punggung, lalu diangkatnya ke atas mulutnya.
Dan.... Gluk... gluk... gluk..!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu
memasuki tenggorokan Arya. Sesaat kemudian kedua kaki pemuda ini pun goyah. Tapi
ia tidak peduli.
Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu untuk
melanjutkan tugas yang tertunda, mengunjungi tempat kediaman pembimbingnya. Ingin dibuktikan, apakah ada kejadian tidak enak yang menimpa
guru dan ibunya, seperti yang selalu muncul dalam mimpi-mimpinya.
*** 6 Gumala yang kini ternyata adalah Melati,
melesat kabur dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki.
Sebenarnya dia tidak menyalahkan tindakan Arya. Disadari kalau Dewa Arak
melakukan hal itu hanyalah untuk menyelamatkan nyawanya. Sama sekali tidak
untuk melakukan hal yang bersifat kurang ajar.
Memang sebenarnya Dewa Arak itu tidak
mengetahui kalau ia
a da la h seorang wanita.
Bahkan wanita yang dirindukan dan dicari-carinya selama ini. Memang selama
melakukan perjalanan bersama Dewa Arak, pemuda itu telah bercerita banyak
tentang Melati. Tentu sa ja juga diungkapkan perasaan cintanya terhadap Melati yang
diutarakan pada Gumala, kawan seperjalanan yang dikira adalah seorang pemuda.
Diceritakan pula oleh Dewa Arak kalau
Melati telah membencinya. Hampir saja Melati yang waktu itu menyamar
sebagai Gumala membuka rahasianya sendiri. Sebenarnya Melati sama sekali tidak membenci pemuda
itu. Bahkan sebaliknya mencintainya. Tapi, rasa malu dan beberapa sebab-sebab
lain membuatnya merasa rendah diri bersama-sama Arya.
Salah satu hal yang paling berat adalah
janjinya terhadap 'ayahnya' Gadis itu memang telah bersumpah untuk memberi
hukuman pada pemuda itu. Tapi janji itu sulit dilakukannya, karena cintanya pada
Arya Buana. Maka Melati memutuskan untuk menjauhi Arya saja.
Tapi ternyata rasa rindu untuk melihat
Dewa Arak itu tidak tertahankan lagi. Setelah lama otaknya bekerja keras,
akhirnya didapatkan satu jalan untuk dekat dengan pemuda itu tanpa diketahui.
Apalagi kalau tidak dengan jalan menyamar.
Tapi siapa sangka kalau semuanya akan
berakhir seperti ini. Tanpa sengaja, pemuda itu telah berhasil membongkar
rahasianya. Bahkan dengan cara yang membuatnya malu besar. Dewa Arak telah
melihat bagian tubuhnya yang paling dirahasiakan! Payudaranya!
Dan sekarang, bagaimana Melati dapat
bertemu dengan pemuda itu lagi" Rasanya setiap kali melihat Arya, kembali
teringat peristiwa memalukan itu.
Sambil terus berlari cepat, pikiran Melati terus bekerja. Disadari kalau ia
tidak mampu berpisah
dengan pemuda berambut putih keperakan itu terlalu lama. Rasa rindu senantiasa menggigit hatinya, setiap kali
berpisah dengan pemuda itu.
Begitu juga kali ini. Secara diam-diam
dibayanginya perjalanan Dewa Arak, tanpa sepengetahuan pemuda itu sendiri.
*** Arya melakukan perjalanan dengan berlari
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Mimpi buruk yang berturut-turut dan perasaan
tidak enak yang selalu mengganggu hati, membuatnya bertindak begitu.
Beberapa hari kemudian, sampailah pemuda berambut putih keperakan ini di pintu gerbang sebelah Barat Desa Jati
Alas. Desa yang terdekat dengan tempat tinggal pembimbingnya, Ular Hitam.
Arya Buana memperlambat langkahnya.
Matanya memandang berkeliling, memperhatikan keadaan desa ini. Dan kening pemuda
ini seketika berkerut. Suasana desa ini sepi sekali. Pintu-pintu dan jendela-
jendela semua tertutup rapat
Kening Dewa Arak berkerut. Dugaannya,
pasti ada sesuatu kejadian yang telah menimpa desa yang baru beberapa pekan
ditinggalkan ini.
Dan perasaannya pun jadi kian tidak enak.
Mungkinkah Ular Hitam tidak melihat keadaan ini"
Bukankah Desa Jati Alas in! adalah tempatnya memenuhi
keperluan sehari-hari"
Mustahil kalau tidak melihat kea da a n
yang mencurigakan ini!
"Tuan Dewa Arak...!"
Sebuah panggilan menyadarkan lamunan
pemuda ini. Ditolehkan kepalanya ke arah asal suara. Tampaklah seorang pemuda
bertubuh tegap yang dikenalnya bernama Surya tengah berlari-lari menghampiri (Baca Serial
Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Ada apa?" tanya Arya begitu tubuh Surya telah dekat.
"Gawat, Tuan Dewa Arak..!" ujar Surya masih terengah-engah.
"Panggil saja aku A rya...," pinta pemuda berambut keperakan itu. Risih rasanya
mendapat panggilan yang begitu tinggi. "Ada apa?"
Sementara itu, Surya mengatur napasnya
sebelum kembali berbicara. "Beberapa pekan yang lalu, seorang
pemuda datang ke desa ini menanyakan tempat tinggal Kakek Ular Hitam...."
"Pemuda" Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Arya. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar
tegang. "Nggg..., tampan.... Pakaiannya coklat. Dan di kanan kiri pinggangnya terselip
sebuah kapak berwarna perak..."
Berubah wajah Dewa Arak mendengarnya.
Jelas kalau pemuda yang disebutkan ciri-cirinya itu adalah Darba. Arya pun sudah
mengetahui pula maksud pemuda itu mencari pembimbingnya.
Hal ini membuat perasaan tidak enaknya semakin menjadi-jadi.
"Lalu...?" tanya Arya pelan. Ketegangan membuat
suaranya seperti tercekat di tenggorokan. "Melihat sikapnya yang mencurigakan, Ki Pandu tidak memberitahukannya. Tapi,
akibatnya gawat! Pemuda itu membunuh Ki Pandu! Tidak hanya itu saja. Semua
penduduk yang tidak mau menunjukkan tempat tinggal Kakek Ular Hitam dibunuh
tanpa kenal ampun."
"Ahhh...!" desah Arya kaget. "Akhirnya salah seorang penduduk
memberitahukannya...,"
jelas Surya pelahan. Sepertinya pemuda ini merasa menyesal mengapa hal itu
terjadi. Arya hanya diam terpaku. Dimaklumi
kalau akhirnya ada penduduk yang memberitahukannya. Memang sebagai seorang
pendekar, Dewa Arak lebih
mementingkan penduduk biasa daripada orang yang pandai ilmu
silat. "Setelah mendapat keterangan tentang
tempat tinggal Kakek Ular Hitam, pemuda itu pun pergi. Aku bergegas per gi ke
sana, dengan meminjam seekor kuda yang memiliki kemampuan beriari
paling cepat. Maksudku, ingin memberitahukan Kakek Ular Hitam, ada orang jahat mencarinya."
"Lalu...?" tanya Arya. Dadanya berdebar tegang.
Surya tampak ragu. "Sayang kedatanganku terlambat, Den Arya."
"Lalu..., apa yang terjadi dengan kakek dan ibuku..."!"
desak Arya setengah berteriak. Ketegangan membuat pikiran jernihnya menguap.
Dicekalnya leher baju Surya dan dihentak-
hentakkannya. "Ka ta ka n!
Katakan, apa yang
terjadi pada kakek dan ibuku...!"
Tubuh Surya gemetar. Apalagi ketika
menatap sepasang mata yang mencorong dari
pemuda berambut putih keperakan itu. Nyalinya kontan menciut
"Den Arya..., sadar, Den. Sadar...," ucap Arya gemetar.
Ucapan Surya itu rupanya berhasil menyadarkan Dewa Arak. Pelahan cekalan Arya pada leher baju pemuda itu
mengendur. Kemudian tubuh Surya pun diturunkan.
"Hhh...!"
Ar ya menghembuskan napas berat. Sepasang matanya pun kembali meredup.
Ditekap wajahnya dengan kedua tangan. "Maafkan aku, Kang," ucap Arya lirih. "Aku
khilaf. Tapi, kuharap Kakang bersedia mengatakan apa terjadi pada kakek dan ibu.
Katakan, Kang. Sekalipun berita
itu buruk, aku sudah siap untuk mendengarnya."
Surya menelan Iudahnya sebentar. Ditatapnya dalam-dalam wajah Arya Buana.
"Aku melihat..., Kakek Ular Hitam, dan ibu Den Arya tergeletak di tanah...."
Arya memejamkan matanya. Sudah dapat
diduga bagaimana nasib kedua orang yang sangat dicintainya itu. Benaiiah apa
yang dilihatnya dalam mimpi-mimpinya itu.
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Mereka tewas dengan cara yang menyedihkan, Den...."
"Jahanam!" jerit Dewa Arak keras.
"Kalau Aden ingin menengoknya, silakan, Den. Mereka kukuburkan di halaman
samping, dekat pohon jambu."
Tapi Arya sudah tidak mendengar ucapan
Surya lagi. Tepat saat jeritan kemarahannya keluar dari mulut, tubuhnya pun
melesat dari situ. Sedangkan Surya hanya dapat menggeleng-
gelengkan kepalanya sambil
menatap tubuh pemuda berambut putih keperakan yang kian
mengecil dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
*** Arya duduk bersimpuh di depan dua buah
gundukan tanah yang masih baru. Pada dua buah gundukan itu terpancang papan
nisan yang
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertuliskan nama orang-orang yang terkubur di dalamnya. Dalam hati pemuda
berambut putih keperakan ini bersyukur, melihat adanya papan nisan pada dua buah
kuburan ini. Sekuat tenaganya Arya berusaha menahan
jatuhnya air mata. Pantang baginya
untuk menangis, betapapun beratnya kesedihan yang ditanggung.
"Kakek..., Ibu...," ucap Arya pelan di depan dua kuburan itu. "Mengapa kalian
pergi begitu cepat. Aku belum lagi sempat membalas budi kalian yang begitu besar
terhadapku. Aku berjanji, Kek, Ibu.... Akan kubalas perbuatan keji ini!"
Dewa Arak menghentikan ucapannya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah kaki pelahan di
belakangnya. Khawatir kalau pemuda baju coklat itu lagi yang datang, Arya buru-buru menoleh
namun bersikap waspada.
Sekitar lima tombak di depannya tampak
berdiri dua sosok tubuh. Salah seorang di antara
mereka telah dikenalnya. Dialah nenek yang selalu berpakaian serba putih,
berjuluk Dewi Bulan.
Sementara orang yang berdiri di sebelahnya, seorang laki-laki tua bertubuh agak pendek, bulat, dan berkepala
botak Sebuah rompi berwarna hijau, dan celana sebatas bawah lutut yang
juga berwarna hijau,
menutupi kulit tubuhnya yang berwarna kehijauan. Kelabang Hijau, begitu julukan yang
dimilikinya. Si nenek mulanya terperanjat ketika
melihat Arya. Jelas, pemuda itulah yang telah membuatnya terhuyung belum lama
ini. Tapi di lain saat rasa terperanjatnya berganti rasa marah yang meluap-luap.
"Dia bocah yang kuceritakan itu, Kelabang Hijau!" tegas Dewi Bulan memberitahu
kakek gundul di sebelahnya. "Sekarang tidak akan kubiarkan dia lolos lagi!"
"Sabar dulu, Dewi Bulan!" cegah Kelabang Hijau sambil menarik tangan nenek yang
sudah bergerak maju itu.
"Apa hakmu menghalangiku"!" tantang Dewi Bulan. Disentakkan tangannya yang
dicekal kakek gundul berkulit kehijauan itu.
"Aku memang tidak berhak menghalangi
tindakanmu! Tapi, tidak untuk kali ini!" tegas Kelabang Hijau.
"Heh"! Kenapa begitu?" suara Dewi Bulan mulai
melunak. Disadari adanya tekanan kesungguhan pada nada suara kakek berompi
hijau ini. "Karena dia pasti mempunyai hubungan
dengan Ular Hitam! Kalau tidak, tak mungkin akan duduk termenung di situ. Apakah
kau tidak mendengar berita yang menghebohkan dunia
persilatan belakangan ini?"
"Berita apa itu?" tanya Dewi Bulan tertarik.
"Ular Hitam memiliki seorang mu rid yang telah menggemparkan dunia persilatan.
Kudengar banyak tokoh tangguh yang rubuh di tangannya!"
Nenek berpakaian putih itu menganggukkan kepalanya. "Aku juga tahu. Kalau tidak salah, pemuda itu berjuluk
Dewa Arak!"
' Tepat' Dewi Bulan termenung.
"Dan ciri-ciri Dewa Arak mirip pemuda ini!"
sambung Kelabang Hijau lagi.
"Ahhh...! Kau benar!" nenek tinggi kurus ini mulai teringat.
Sementara itu, Arya juga terkejut melihat
nenek berpakaian serba putih itu. Kelihaian nenek ini sudah dirasakannya.
Sekarang dia datang berdua dengan kawannya yang sekali lihat saja diketahui
kalau kepandaiannya tidak rendah.
De wa Arak sekarang tengah dilanda kemarahan yang meluap-luap. Tapi, tentu saja sebagai seorang pendekar yang
menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan, pemuda ini tidak
meluapkan amarahnya secara sembarangan. Maka Arya
yang memang tidak ingin mencari permusuhan, mencoba bersikap tenang. Ditunggu bagaimana tindakan Dewi Bulan
terhadapnya. Jelas terlihat kalau nenek itu akan menyerangnya.
Tapi, untungnya ditahan oleh kakek berkulit kehijauan di sebelahnya.
Untuk beberapa saat lamanya tampak
kalau kedua orang itu saling bertengkar. Tentu saja berkat pendengarannya yang
tajam, Arya dapat mendengar apa yang dipertengkarkan. Dan hal ini membuatnya
agak terkejut. Karena dari percakapan itu dapat diketahui kalau kakek dan nenek
ini seperti mengenal almarhum pembimbingnya, Ular Hitam. Siapakah kedua
orang ini sebenarnya"
Kini Kelabang Hijau dan
Dewi Bulan melangkah menghampiri. Dewa Arak. Sedangkan pemuda itu berdiri diam menanti.
Sikapnya terlihat tenang saja, walaupun sebenarnya jantung berdebar tegang.
"Anak Muda," tegur kakek berkulit kehijauan itu . "Katakan secara jujur, apa hubunganmu dengan almarhum Ular Hitam?"
Arya tidak mendengar adanya nada permusuhan dalam pertanyaan kakek itu. Baik terhadapnya maupun terhadap gurunya.
"Saya muridnya, Kek," jawab Arya jujur.
Memang, walaupun pemuda ini tidak belajar
secara langsung, tapi Ular Hitamlah yang membimbingnya untuk mempelajari ilmu-ilmu
peninggalan Ki Gering Langit, Biarpun kakek itu sendiri tidak mau dianggap guru,
A rya tetap menganggapnya guru.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Anak Muda?" tegas Kelabang Hijau kurang percaya.
"Dia bohong!" selak Dewi Bulan sebelum Arya sempat menjawab. "Tidak sedikit pun
kulihat ilmu-ilmu yang dimiliki Ular Hitam ketika aku melawannya!"
"Apa yang nenek katakan memang benar!"
sahut Dewa Arak. "Tapi, beliaulah yang selama ini membimbingku sehin gga
memiliki kepandaian
seperti sekarang ini. Salahkah kalau aku menganggapnya sebagai guru?"
"Apa yang dikatakannya memang benar,
Dewi Bulan," tegas Kelabang Hijau mendukung alasan Arya. ' Tapi perlu kau
ketahui, Anak Muda.
Kami mempunyai urusan dengan Ular Hitam. Nah, sekarang bersediakah kau
mewakilinya untuk menyelesaikan urusan itu?"
"Sepanjang urusan itu tidak bertentangan dengan
kebenaran, aku bersedia mewakili almarhum guruku!" jawab Arya tegas.
"Ha ha ha...! Bagus! Kami perca ya, kau tidak akan mengecewakan kami! Dewi Bulan
telah banyak bercerita tentang dirimu! Julukanmu pun telah membuat banyak tokoh
berpikir beberapa kali untuk berurusan denganmu! Kami yakin kau dan Ular Hitam
tidak a da bedanya!"
Seketika berubah wajah Arya.
"Maksud, Kakek?" tanya Dewa Arak.
Wajah Kelabang Hijau berubah serius.
"Sejak puluhan tahun yang lalu, kami
adalah sepasang tokoh yang tidak terkalahkan.
Kami pun gemar bertanding, sehingga
tak terhitung lawan yang rubuh di tangan kami.
Sampai akhirnya, kami bertemu dengan Ular
Hitam. Melalui suatu pertarungan yang sengit, kami berhasil dikalahkannya. Tentu
saja hal ini membuat penasaran, di samping malu yang besar.
Maka kami katakan padanya, bahwa sepuluh
tahun lagi kami akan datang menantang untuk menentukan siapa
Dendam Empu Bharada 40 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 7
Tapi pemuda baju coklat itu memang tidak
berniat licik. "Katakan apa hubunganmu dengan Ki
Gering Langit"!" tanya Darba keras. "Aku yakin ilmu pedang yang kau gunakan
adalah 'Ilmu Pedang Seribu Naga'!"
Wajah Gumala memucat. Sorot matanya
mengandung kecemasan ketika sudut matanya
melirik Arya. Tapi, ketika nampaknya Dewa Arak sama sekali tidak mendengar
percakapan itu karena
tengah tergeletak di tanah, sinar kecemasan pada wajahnya pun lenyap.
Tiba-tiba saja di luar dugaan,
tubuh Gumala melesat ke arah Darba dan langsung
menghujaninya dengan serangan-serangan
dahsyat. Karuan saja hal itu membuat murid Ki Jatayu ini kaget bukan main. Buru-
buru dibanting tubuhnya
ke tanah kemudian bergulingan menjauh. Gumala yang memang sebenarnya tidak
berniat mendesak lawannya, tanpa membuang-
buang waktu lagi segera menyambar tubuh Arya
dan melesat kabur dari situ. Dikerahkan ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki setinggi mungkin. "Keparat!" maki
Darba begitu dilihat lawannya telah lenyap. Sesaat lamanya pemuda itu kebingungan hen da k mengejar
ke mana. Beberapa saat lamanya ia termenung, berpikir sambil memandang berkeliling,
sebelum akhirnya memutuskan
untuk mengejar dari arah kedatangan Arya tadi.
*** 4 Dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh, Gumala berlari cepat sambil memanggul tubuh Arya. Sesekali kepalanya
menoleh ke belakang, melihat barangkali Darba mengejarnya.
Lega hatinya ketika tak juga melihat bayangan pemuda itu di belakangnya. Pelahan
dikurangi kecepatan lari yang memhuat napasnya terengah-engah. Sambil terus
berlari, ditatapnya wajah Arya yang terkulai lemah di kedua tangannya. Pemuda
berambut putih keperakan itu rupanya telah pingsan.
Gumala baru menghentikan larinya ketika
telah tiba di dekat kereta kuda yang ditinggalkan tadi. Segera dicarinya tempat
yang tersembunyi di balik semak-semak, kemudian
direbahkannya tubuh pemuda itu di situ.
Sekali lihat saja Gumala dapat mengetahui
kalau luka-luka yang diderita Dewa Arak cukup parah. Bagian-bagian yang terkena
serangan itu memang terlihat jelas. Bagian dada sebelah kiri yang terkena
tusukan, tampak kulitnya sobek.
Gumpalan darah yang telah mengering, mengelilingi sekitar luka itu.
Sementara bagian
perut yang terkena
sabetan sisi tangan miring Darba, tampak sebuah goresan halus tipis memanjang.
Bentuknya seperti terkena bacokan pedang. Tapi tentu bacokan sisi tangan miring
Darba jauh lebih berbahaya.
Bacokan pedang bila mengenai kulit, paling tidak hanya melukai kulit dan daging.
Tapi tidak demikian dengan bacokan sisi tangan pemuda baju coklat itu. Bukan
hanya kulit dan da ging yang dilukai, tapi juga ba gian dalam dada.
Hal seperti itulah yang dialami Arya.
Pemuda ini mengalami luka dalam yang cukup parah. Dan kini Gumala mencoba
mengobatinya. Tanpa ragu-ragu lagi, seperti orang yang sudah terbiasa, Gumala membersihkan
luka di bagian dada kiri Arya. Baru setelah itu, dibalurinya dengan obat bubuk
yang diambil dari buntalan di dalam kereta kudanya.
"Ohhh...!"
Arya mengeluh. Mulutnya menyeringai kesakitan. Dikerjap-kerjapkan
matanya untuk mengusir rasa pening yang
menggayuti kepalanya, dan untuk memperjelas pandangannya. Karena yang terlihat
di depannya hanyalah bayang-bayang wajah yang tidak jelas.
"Syukurlah kau sudah sadar, Kakang,"
tegur sebuah suara.
"Siapa kau..." Di manakah aku...?" tanya pemuda itu lirih.
' Tenanglah, Kakang. Aku Gumala, dan kau
berada di tempat aman."
"Gu... ma... la...," desah pemuda berambut putih keperakan itu.
Samar-samar Arya kembali teringat semua
kejadian yang dialaminya. Mulai dari mandi di sungai sampai bertemu dan hampir
celaka di tangan pemuda baju coklat. Kalau saja Gumala tidak datang menolongnya,
mungkin nasibnya lain lagi.
"Uhk... uhk..!"
Tiba-tiba Arya terbatuk-batuk. Melihat hal ini, buru-buru Gumala mengeluarkan
sebuah obat pulung berwarna kecoklat-coklatan.
"Telanlah ini...," perintah Gumala seraya menyorongkan air dalam sebuah kendi ke
mulut Arya. Tanpa ragu-ragu Dewa Arak menerima obat
pulung itu dan menelannya. Juga segera diminumnya air yang disodorkan Gumala, untuk
lebih mempercepat hancurnya obat pulung itu di dalam perutnya.
"Berbaringlah, Kang. Tak lama lagi kau akan segera sembuh. Obat pulung ini
sangat manjur untuk mengobati segala macam luka
dalam." Arya hanya bergumam tidak jelas. Ia sudah
tidak sanggup la gi berkata-kata. Rasa kantuk yang amat sangat telah
menyerangnya. Tanpa disuruh pun pemuda ini sudah merebahkan tubuhnya.
Rasa kantuk itu begitu kuat
menyerangnya. Sekilas m a sih dapat ditangkapnya ucapan Gumala. "Aku pergi dulu, Kang."
Setelah itu semuanya menjadi gelap.
Arya Buana tidak tahu berapa lama telah
terlelap. Yang diketahui hanyalah ketika tersadar, Gumala telah berada di
sisinya kembali. Di samping pemuda itu telah tergeletak guci arak dan
pakaiannya. Dewa Arak beranjak bangkit. Kini rasa sakit dan nyeri tidak lagi
menyerang dadanya.
Benar seperti kata Gumala, obat pulung itu benar-benar manjur.
"Bagaimana, Kang" Masih ada yang terasa sakit?" sambut Gumala begitu pemuda
berambut putih keperakan itu bangun dari berbaringnya.
Arya tersenyum. "Obatmu benar-benar
manjur, Adi Gumala," pujinya tulus. "Sekarang aku merasa sudah sehat lagi."
"Memangnya kalau kau sudah sehat lagi kenapa, Kang?"
"Kenapa"!" Arya membelalakkan matanya.
' Ya, tentu saja meneruskan tugas kita yang tertunda, Adi Gumala!"
"Oh, iya!" pemuda tampan mirip wanita ini menepak kepalanya pelan. "Kalau
begitu, tunggu apa lagi, Kang" Bukankah kau ingin menengok ibu dan kakekmu?"
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dikenakan pakaian dan diikatkan kembali gucinya di punggung. Sementara Gumala
melangkah mendahului Arya
meninggalkan tempat itu menuju kereta kuda. Kemudian dia naik ke
atasnya, diikuti Arya.
"Hiyaaa...!"
Gumala menghela tali kekang kudanya
menuju rumah Kepala Desa Jipang.
Selagi kereta kuda itu berjalan, tiba-tiba pandang mata Arya menangkap
berkelebatnya sesosok bayangan putih yang bergerak cepat ke arah Barat.
Dewa Arak tersentak. Ingatannya langsung
melayang pada Melati yang selalu memakai
pakaian serba putih. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda ini pun melompat dari
kereta. Tubuhnya melesat cepat ke arah bayangan putih tadi.
"Kau teruskan saja perjalananmu, Gumala.
Sampai di simpang tiga, belok ke kiri. Sekitar sepuluh tombak dari situ, ada
sebuah rumah yang
paling besar dan bagus. Itulah rumah kepala desa.
Aku datang belakangan," jelas Arya dari kejauhan.
Memang dengan tingkat ilmu kepandaiannya yang tinggi, tak sukar bagi Dewa Arak untuk mengirimkan pesan
jarak jauh ke orang yang dituju. Sedangkan Gumala hanya
dapat mengangguk. Entah kepada siapa anggukan kepalanya itu ditujukan. Karena
tubuh Arya sudah lenyap dari situ.
Dewa Arak segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Disadari kalau bayangan putih yang sekilas dilihatnya tadi
adalah Melati. Maka jelas dia tidak akan bisa mengejarnya kecuali mengerahkan segenap
kemampuannya. Tapi betapapun pemuda berambut putih
keperakan ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap saja jaraknya dengan sosok bayangan putih itu
tidak berubah. Keruan saja hal ini membuat Arya menjadi
penasaran. Sepanjang pengetahuannya, tingkat kepandaian gadis berpakaian putih
itu, masih di bawahnya. Tapi mengapa, sampai sekian lamanya mengejar tidak juga
dapat menyusul" Jangankan menyusul, memperpendek jarak pun tak mampu.
Setibanya di suatu tempat yang di kanan
kirinya banyak ditumbuhi semak lebat, Dewa Arak kehilangan jejak. Pemuda berbaju
ungu ini menghentikan larinya. Sepasang matanya menatap semak-semak
di sekitar nya penuh kewaspadaan. Mendadak pendengaran Dewa Arak yang
tajam menangkap adanya suara berkerisik pelan di belakangnya. Cepat-cepat
dibalikkan tubuhnya.
Sementara seluruh urat syaraf
di tubuhnya menegang waspada.
"Mengapa kau mengikutiku, Anak Bagus?"
Sebuah suara serak menyambut begitu Arya
membalikkan tubuhnya.
Dewa Arak menatap sosok tubuh di
hadapannya penuh perhatian. Tampak seorang nenek berusia sekitar enam puluh
tahun, berkulit putih pucat, dan berpakaian serba putih. Pada dahinya terdapat
benda kecil berbentuk bulan sabit yang diikat oleh tali melingkari kepalanya. Di
tangannya tergenggam sebatang tongkat yang berujung logam tipis berbentuk bulan
sabit. Arya mengeluh dalam hati. Tidak disangka
kalau bayangan yang tadi dikejarnya bukan
Melati, melainkan nenek ini.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Anak Bagus!" kembali nenek ini berujar. Tapi
kali ini suaranya mengandung ancaman maut. 'Tak ada seorang
pun yang dapat hidup setelah mempermainkan Dewi Bulan!"
Begitu selesai dengan ucapannya, nenek
yang berjuluk Dewi Bulan itu menggerakkan
tangan yang menggenggam tongkat
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulan sabitnya. Cappp! Tongkat itu menancap dalam di tanah.
"Bersiaplah kau, Anak Bagus! Hiyaaa...!"
Didahului oleh sebuah teriakan nyaring
yang m eng geta r ka n
jantung, Dewi Bulan melompat menerjang Arya. Kedua tangannya yang membentuk cakar
aneh menyambar-nyambar
dahsyat ke arah Arya, sehingga menimbulkan suara angin berciutan.
Dewa Arak terperanjat kaget. Pemuda ini
tahu, tidak ada gunanya berusaha mencegah.
Nenek aneh ini pasti tidak akan mendengarkan ucapannya. Maka cepat-cepat digeser
kakinya mengelakkan serangan itu.
Tapi tiba-tiba tubuh nenek itu berbalik.
Dan bersamaan dengan itu kakinya mengibas, mengancam pelipis. Sebuah serangan
yang sama sekali tidak terduga!
Kali ini Arya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menangkis. Buru-buru
diangkat tangan kirinya melindungi pelipis
Plak! Tubuh Arya terhuyung selangkah
ke belakang, sementara Dewi Bulan terhuyung dua langkah. Dari benturan tadi, nenek
itu sudah dapat mengetahui kalau tenaga dalam lawannya lebih unggul.
"Keparat!" maki si nenek. Wajahnya terlihat merah bukan main. "Besar sekali
nyalimu, bocah!
Kau telah berani membuatku terhuyung. Maka kali ini jangan harap kuampuni
nyawamu!" Sambil meraung keras laksana binatang
terluka, Dewi Bulan kembali menerjang Arya.
Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh
berkelebatan cepat dan tiba-tiba, ke bagian-bagian tubuh Arya yang mematikan.
Arya mengenal betul setiap serangan-
serangan berbahaya. Tapi dia tidak ingin terkecoh seperti tadi. Pemuda berambut
putih keperakan ini kini telah tahu, sungguhpun serangan tangan nenek itu amat
berbahaya, tapi jelas kaki nenek itu
jauh lebih berbahaya. Mirip binatang kalajengking! Sabetan ekornya yang justru lebih berbahaya daripada serangan
jepitnya. Maka, walaupun Arya seperti terpaku
terhadap serangan-serangan tangan nenek itu, tapi
sepasang m a ta nya tak pem a h lepas mengawasi kedua kaki lawan.
Selama beberapa gebrakan Arya menggunakan ilmu warisan yang diperoleh dari ayahnya, yakni 'Delapan
Cara Menaklukkan Harimau'. Tentu saja bila dibanding ayahnya, almarhum
Tribuana, ilmu ' Dela pa n Cara
Menaklukkan Harimau' yang dimainkan Dewa
Arak jauh lebih dahsyat. Hal ini memang tidak aneh. Karena, baik dalam hal
tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh, pemuda berambut putih keperakan ini telah mampu
menyempurnakannya.
Tapi setelah bertarung selama beberapa
jurus, yakinlah Dewa Arak kalau ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', tidak
dapat dipakai untuk
menandingi lawannya. Pelahan-lahan pemuda itu mulai terdesak.
"Sekarang kau baru tahu rasa, bocah
keparat!" Dewi Bulan berseru gembira melihat lawannya hanya dapat menangkis dan
main mundur, dan hanya sesekali balas menyerang.
Pada jurus kesebelas, Arya tidak punya
pilihan lain lagi. Dia harus segera menggunakan ilmu andalannya, 'Belalang
Sakti'. Itulah sebabnya pada suatu kesempatan, dilentingkan tubuhnya ke
belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara. Dan begitu kedua kakinya
mendarat ringan di tanah, tangan kanannya telah menggenggam guci araknya.
Dewi Bulan yang sudah dicekam amarah,
tentu saja tidak akan membiarkan lawannya lolos.
Cepat dia melompat mengejar, sambil mengirimkan serangkaian serangan maut. Sementara pemuda berpakaian ungu itu mengangkat guci araknya ke atas kepalanya.
Dan.... Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu
memasuki tenggorokannya. Tubuh pemuda itu
sebentar kemudian
sempoyongan. Bersamaan
dengan itu, serangan yang dilancarkan Dewi Bulan pun meluncur tiba.
Si nenek sudah bersorak dalam hati. Ia
yakin betul kalau serangannya kali ini akan menemui sasaran. Sudah terbayang di
benaknya bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya ini, akan jatuh terkapar.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hari
Dewi Bulan, ketika serangan yang sudah dipastikan akan mengenai sasaran itu tahu-tahu hanya menyambar tempat kosong.
Tubuh pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari hadapannya. Yang diketahui, sebelum
serangan itu tiba pemuda berambut putih keperakan itu telah bergerak dengan
langkah kaki terhuyung seperti orang yang akan jatuh.
Selagi nenek itu kebingungan mencari
lawannya, dirasakan angin dingin berhembus di belakangnya. Cepat dilempar
tubuhnya ke depan dan bergulingan menjauh, mendekati tongkatnya yang tertancap
di tanah. Tappp! Disambarnya tongkat bulan sabitnya, dan
langsung diputar-putar seperti sebuah tameng yang akan melindungi tubuhnya.
Wuk... wuk... wuk...!
Angin menderu-deru keras ketika nenek itu
memutar-mutarkan tongkatnya. Tapi baru saja Dewi Bulan akan menerjang Arya,
terdengar lengkingan tinggi di kejauhan. Sepertinya suara itu dikeluarkan dari mulut yang
memiliki tenaga dalam tinggi. Seketika wajah perempuan tua itu berubah. Tongkat
bulan sabitnya yang sudah diputar-putar, dan siap diarahkan ke tubuh Arya,
dihentikan. Matanya tajam menatap wajah pemuda berambut putih keperakan di depannya.
"Kali ini kau mujur ini, bocah! Tapi lain kali jangan harap akan semujur ini!"
Belum juga gema suaranya hilang, nenek
itu sudah melesat cepat dari situ. Cepat sekali gerakannya,
sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan dan semak-semak yang terdapat di kanan kiri jalan.
Sementara itu Dewa Arak menggeleng-
gelengkan kepala. Diam-diam hatinya menyesal karena telah membuat bibit
permusuhan dengan tokoh selihai nenek tadi. Seorang lawan yang cukup tangguh.
Tiba-tiba Arya teringat Gumala yang tadi
dltinggalkannya. Kawan barunya yang masih
menjadi teka-teki itu ternyata memiliki kepandaian yang jauh di atas dugaannya semula.
Kepandaian Gumala ternyata sangat tinggi. Kalau tidak, mana mungkin mampu
menyelamatkan dirinya dari pemuda berbaju coklat yang memiliki kepandaian luar biasa itu"
Dengan benak masih dipenuhi tanda tanya, Arya melesat dari situ. Dia menyusul
Gumala, menuju rumah Kepala Desa
Jipang. *** Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam waktu sebentar saja Dewa Arak telah tiba
di simpang tiga.
Dari situ, tam-aklah Gumala tengah bertarung melawan belasan orang kasar yang mengeroyoknya. Beberapa sosok tubuh
nampak bergeletakan di tanah. Rupanya, sudah cukup lama juga pemuda tampan itu
bertarung. Mulanya Dewa Arak ingin
membantu Gumala. Tapi ketika melihat ada bayangan tubuh pemuda berbaju coklat di atas
atap, diurungkan niatnya. Secepat kilat Arya Buana melesat ke atas, bersembunyi
di sebuah cabang pohon. Dia
mengintai gerak-gerik pemuda itu, sambil memperhatikan keadaan Gumala.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring. Serentak belasan orang yang tengah mengeroyok Gumala berlompatan mundur.
Sehingga yang tinggal hanya pemuda tampan itu sendiri.
Berbareng habisnya gema teriakan itu, dari dalam pintu gerbang muncul tiga sosok
tubuh kasar, berpakaian dan berdandan serupa. Mereka berpakaian rompi
dari kulit buaya. Gumala
memperhatikan mereka sejenak. Ia tahu kalau ketiga orang itu adalah pemimpin
penjahat yang telah
menguasai desa ini. Wajah maupun dandanan mereka mirip satu sama lain. Yang membedakannya hanyalah warna ikat
kepalanya yang mempunyai warna berbeda. Hitam, totol-totol, dan putih.
"Inikah orang yang telah melukai teman-teman kalian?" tanya seseorang berikat
kepala putih kepada anak buahnya yang telah mengurung Gumala. Laki-laki itu berjuluk Buaya Putih. "Benar, Kang," sahut
mereka. "Hm...," si ikat kepala putih mengangguk-angguk. Ditatap pemuda di hadapannya
tajam-tajam. Sepasang matanya yang besar mengamati Gumala dari ujung ra mbut
sampai ke ujung kaki.
Senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Sementara orang yang berikat kepala totol-
totol dan hitam yang sebenarnya masing-masing berjuluk Buaya Belang dan Buaya
Hitam, hanya tertawa-tawa saja melihat tingkah kakaknya.
Baru saja Buaya Putih melangkah mendekat, Gumala telah melompat menerjang.
Melihat sikap lawan yang terlalu memandang rendah dirinya, membuat kemarahan
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda tampan itu bangkit. Dalam kobaran hawa amarah yang meluap, Gumala menyerang
tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Ahhh...!"
Buaya Putih memekik kaget. Kecepatan
gerak pemuda yang mirip wanita ini, benar-benar mengejutkannya. Sepasang matanya
hanya dapat menangkap sekelebatan bayangan hitam yang
menyambar deras ke arah kepalanya. Angin
bercicitan nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
Untung-untungan laki-laki berjuluk Buaya
Putih itu membanting tubuhnya ke tanah dan langsung bergulingan menjauh dari
arena. Tapi Gumala yang tengah dilanda luapan
amarah itu tidak akan melepaskan lawannya.
Tekadnya sudah bulat untuk melenyapkan Buaya Putih yang terlalu memandang rendah
dirinya. Sementara itu keringat dingin mengucur
deras dari sekujur tubuh Buaya Putih ketika merasa serangan bayangan hitam yang
terus mengikuti ke mana tubuhnya menghindar. Perasaan pa nik langsung
menghinggapinya.
Tubuhnya terus bergulingan, berusaha menyelamatkan diri.
Buaya Belang dan Buaya Hitam tentu saja
menyadari bahaya maut ya ng mengancam kakaknya. Sebagai tokoh-tokoh yang telah mempunyai pengalaman luas dalam dunia persilatan, segera saja kedua orang ini sadar kalau lawan yang dikira empuk itu
ternyata memiliki kepandaian tinggi. Bahkan berada jauh di atas kepandaian Buaya
Putih. Maka, tanpa sungkan-sungkan lagi Buaya
Hitam dan Buaya Belang mencabut senjata
masing-masing, yang terbuat dari kulit buaya.
Ujung-ujung sabuk itu berduri-duri. Dan tentu saja sebagai orang yang berwatak
kejam, pada duri-duri itu juga dilumuri racun-racun yang mematikan.
Ctar! Ctar! Suara nyaring memekakkan telinga terdengar ketika kedua orang itu melecutkan sabuk yang
panjangnya lebih dari
setengah tombak. Dan seperti juga ikat kepala, warna sabuk kedua orang ini pun sesuai
julukannya. Wut..! Wut...! Kedua buah sabuk itu menyambar- nyambar ke arah pelipis dan ubun-ubun Gumala yang tengah memburu tubuh Buaya
Putih. Pemuda tampan mirip wanita ini terpaksa
membatalkan desakannya terhadap Buaya Putih.
Ditarik kepalanya ke belakang, sehingga kedua serangan sabuk itu menyambar
tempat kosong. Seketika dikirimkan serangan balasan berupa sapuan kaki, untuk menahan laju
desakan lawan. Harapan Gumala terpenuhi, karena memang kedua orang itu melompat ke belakang.
Maka kesempatan yang sebentar ini, dipergunakan Gumala untuk memperbaiki
posisinya. *** 5 Begitu terbebas dari desakan Gumala,
Buaya Putih segera melentingkan tubuhnya seraya bersalto sekali di udara. Manis
sekali kakinya hinggap di tanah. Namun demikian wajahnya
pucat seperti kapas. Hampir
saja nyawanya melayang! Melihat kenyataan ini, Buaya Putih tidak
akan main-main lagi. Maka segera diloloskan
sabuk kulit buaya berwarna putih yang melilit pinggangnya.
Ctar! Dilecutkannya sabuk itu sekali ke udara.
Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri
kedua adiknya untuk bergabung.
Gumala kini tidak bersikap ceroboh. Pemuda ini tahu kalau ujung sabuk lawan
mengandung racun jahat. Sempat tercium olehnya bau
amis memuakkan ketika cambuk itu menyambar-nyambar tadi.
"Haaat...!"
Buaya Putih mendahului menyerang. Sabuk di tangannya melecut di udara sebelum menyambar deras ke arah ubun-ubun
Gumala. "Hiyaaa...!"
Buaya Hitam pun tak ketinggalan. Sabuknya mematuk-matuk ganas ke arah dada.
"Hiaaat...!" teriak Buaya Belang tak mau kalah. Sabuk buriknya menyapu ke arah
kedua lutut. Tiga buah serangan secara bersamaan
datang, mengancam tubuh Gumala. Suatu kerja sama yang teratur baik. Memang cukup
berbahaya serangan ini. Apalagi senjata mereka lemas seperti sabuk kulit. Arah
sasaran yang dituju tentu dapat berubah-ubah dalam seketika. Hal ini jelas akan
menyulitkan lawan yang diserang.
Tapi yang diserang kali ini adalah Gumala, yang memiliki kepandaian luar biasa.
Terbukti, pemuda tampan ini sanggup menghadapi Darba!
Gerakannya lincah laksana seekor belut, tubuhnya menyelihap di antara hujan serangan sabuk.
Namun demikian, Gumala tampak kerepotan juga. Kali ini serangan-serangan sabuk itu benar-benar berbahaya.
Rupanya dengan maju bertiga, mereka memiliki tambahan tenaga secara aneh, dan
terus mendesak Gumala.
Setiap serangan Gumala kini selalu dapat
ditahan. Sebaliknya pemuda ini agak repot juga menghadapi setiap serangan
balasan lawannya.
Untunglah berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang berada amat jauh di atas
lawan-lawannya, sampai saat ini dia masih mampu
menyelamatkan diri dari setiap serangan lawan.
Belasan jurus telah berlalu. Dan Gumala
belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini membuat pemuda ini penasaran bukan
main. Dia tahu betul kalau tingkat kepandaian ketiga orang lawannya ini berada
jauh di bawahnya. Baik dalam
hal tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuh. Tapi, kenapa setelah maju bertiga mereka mampu membuatnya
kerepotan"
Otak cerdas pemuda berbaju hitam ini
segera saja dapat menebak apa penyebabnya.
Pasti karena mereka menyerang secara teratur.
Saling kerja sama, saling bantu, dan saling dukung. Jadi, seolah-olah mereka
terdiri dari satu pikiran saja.
Gumala yakin kalau saja mereka mengeroyok secara tak teratur, jangankan hanya
tiga orang, bia r dita mbah dua kali lipat pun mampu mengalahkan tanpa mengalami
kerepotan seperti ini.
Jadi rupanya karena keteraturan dalam
penyerangan inilah yang menyebabkan mereka begitu tangguh. Kalau saja Gumala
bisa membuat mereka kurang menjadi satu saja, pasti kehebatan itu akan hancur.
Mendapat pikiran demikian, Gumala mulai
menelaah setiap serangannya tadi. Ditemukan kalau tadi penyerangannya berpindah-
pindah. Pertama menyerang Buaya Putih, lalu mengancam Buaya Hitam. Di lain saat,
mencecar Buaya Belang. Tekadnya sekarang adalah mengarahkan serangan pada satu orang saja.
"Haaat..!"
Kini Gumala mengarahkan serangannya
pada Bu a ya Putih yang memang sejak tadi
diincarnya. Seperti yang
sudah diperkirakan sebelumnya, Buaya Hitam dan Buaya Belang
bergegas datang menolongnya, menyampoki serangan itu bersama-sama.
Tapi kali ini tidak seperti yang sudah-
sudah. Gumala kini tidak mempedulikan adanya bantuan itu.
Terus saja dicecarnya Buaya Putih. Melihat hal ini, Buaya Hitam dan Buaya Belang
pontang-panting mengikuti
setiap serangan
Gumala. Mereka berusaha untuk terus berada di sisi Buaya Putih.
Dalam beberapa gebrakan
selanjutnya, kekompakan kelompok itu pun membuyar. Namun demikian
ketiga orang itu berupaya untuk menyatukan posisi lagi. Hanya saja mereka tetap tidak mampu karena Buaya Putih
memang tak mampu melakukannya. Cecaran demi cecaran
Gumala benar-benar
merepotkannya. Sampai pada suatu saat...
Crokkk! "Akh...!"
Buaya Putih memekik tertahan. Tangan
Gumala yang berbentuk cakar telah menghantam telak
pelipisnya. Pimpinan tiga buaya ini terhuyung sesaat. Setelah itu tubuhnya pun ambruk di tanah, diam selama-lamanya.
Mati. "Kakang...!" jerit Buaya Hitam.
"Grrrh...! Kubunuh kau!" geram Buaya Belang.
Kemarahan dua orang itu kini semakin
memuncak melihat kematian Buaya Putih. Seketika keduanya menerjang Gumala. Cambuk di tangan kedua orang ini melecut
nyaring di udara.
Gumala hanya tersenyum mengejek. Tanpa
kerja sama yang teratur seperti halnya tadi, tidak sulit
ba ginya untuk merubuhkan
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka. Dibiarkan saja tubuh lawannya mendekat. Dan ketika jarak keduanya telah dekat,
tiba-tiba dihentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuuttt...! Angin yang amat kuat berhembus keras ke
depan akibat hentakan tangan Gumala.
Bressss...! Tubuh Buaya Belang dan Buaya Hitam
yang tengah berada di udara, terlempar deras ke belakang bagai dilanda
angin ribut sejauh beberapa tombak ke belakang. Luncuran kedua tubuh itu baru terhenti ketika
menghantam pagar tembok hingga rubuh. Dan memang, Buaya
Belang dan Buaya Hitam tidak bangun-bangun lagi.
Karuan saja kematian ketiga orang pemimpinnya membuat orang-orang kasar yang tadi mengurung Gumala menjadi gentar.
"Kini giliran kalian," tegas Gumala seraya menatap mereka satu persatu. Tentu
saja hal itu membuat orang-orang kasar itu tanpa sadar
melangkah mundur setindak.
Tapi tiba-tiba Gumala menoleh ke samping
kiri disertai sikap waspada. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara
berkerisik pelan.
Ternyata di samping kirinya dalam jarak sekitar tiga tombak, telah berdiri
seorang pemuda tampan berbaju coklat. Pada kedua pinggangnya terdapat sebuah
kapak. "Kaget?" ucap
pemuda yang ternyata adalah Darba. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek. "Pantang bagiku untuk
membokong lawan. Maka sengaja kuremas-remas daun kering agar kau mengetahui
kehadhanku!"
"Aku tidak punya urusan
denganmu! Menyingkirlah!"
"Tidak punya urusan denganku"! Lucu
sekali! Belum lama ini kau telah menyelamatkan musuh
besarku. Bahkan baru saja telah membunuh tiga orang a na k bu a hku. Dan sekarang
kau bilang tidak punya urusan denganku"!
Lucu sekali!"
"Jadi, apa maumu sekarang?"
tanya Gumala, bernada menantang.
"Sederhana saja...."
"Apa?"
"Membunuhmu!" tegas kata-kata Darba.
"Kau kira mudah membunuhku?" ejek Gumala sambil tersenyum sinis.
"Ha ha ha...!" Darba tertawa. "Dulu, guruku memang tidak menang melawan Ki
Julaga, gurumu itu. Tapi sekarang" Kita buktikan siapa di antara mereka yang lebih
hebat!" "Dari mana kau tahu guruku?" tanya Gumala kaget.
"Ha ha ha..., mudah saja! Hanya ada tiga orang yang menguasai ilmu-ilmu Ki
Gering Langit, selain si tua bangka itu. Dua orang lainnya adalah guruku yang
bernama Ki Jatayu, dan Ki Julaga!
Dan tak mungkin kalau kau murid si tua bangka itu. Jadi jelas kau adalah murid
Ki Julaga! Hanya yang membuatku tidak habis mengerti, mengapa kau malah akrab
dengan murid si tua bangka itu"
Padahal orang tua itulah yang telah membuat gurumu sengsara!" jelas Darba.
Pemuda itu memang sejak tadi memperhatikan perkelahian
Gumala, sehingga berhasil mengetahui dari siapa Gumala memperoleh ilmu itu.
"Bukan urusanmu!" bentak Gumala garang seraya melompat menerjang Darba.
Tahu kelihaian pemuda berbaju coklat itu,
Gumala segera mengerahkan segenap kemampuannya. Tangan kanannya yang berbentuk cakar menyambar ke arah pelipis, sementara tangan kirinya dipalangkan
di depan dada. Melihat serangan itu, Darba hanya tertawa mengejek. Dengan sebuah
gerakan sederhana, didoyongkan
tubuhnya ke belakang seraya mengangkat tangan kirinya untuk menangkis
serangan itu. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menendang ke arah perut
Plak! Dughk...!
Suara bentu r a n
keras antara tangan dengan tangan, dan tangan dengan kaki yang mengandung tenaga dalam dahsyat,
terdengar beberapa
kali. Tendangan Darba berhasil dipatahkan Gumala dengan tangan kiri yang
terpalang dari atas ke bawah. Akibat benturan itu, baik Gumala maupun Darba
sama-sama terhuyung.
Gumala terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara Da r ba
terhuyung satu langkah. Gumala menggertakkan gigi. Begitu daya
dorong yang membuatnya terhuyung habis,
kembali diterjangnya Darba.
Kedua tangan Gumala menyamba r- nyambar ke berbagai bagian tubuh yang mematikan. Tapi, Darba bukanlah orang yang ilmunya setaraf Buaya Putih dan adik-
adiknya. Tingkat kepandaian pemuda baju coklat ini amat tinggi. Itulah sebabnya, walaupun
serangan Gumala datang bertubi-tubi bagaikan hujan, Darba
tidak m enga la m i kesu lita n dalam menanggulanginya.
Apalagi ketika dia mengeluarkan ilmu 'Tangan Pedang' yang menjadi andalannya. Gumala tampak
berkali-kali berteriak kaget
Pertarungan antara kedua orang muda ini
berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, belasan jurus tebh berialu.
Meskipun demikian, belum nampak tanda-tanda yang akan terdesak.
Kelihatannya pertarungan
masih berlangsung seimbang. Memang dalam hal tenaga dalam, Darba
lebih kuat daripada Gumala. Tapi keunggulan pemuda baju coklat itu bisa diredam
oleh tingginya ilmu meringankan tubuh milik Gumala.
Itulah sebabnya, selama belasan jurus pertarungan masih berjalan seimbang.
Dalam hati Gumala mengakui kalau menghadapi pemuda berbaju coklat ini cukup berat baginya. Ilmu tangan kosong
murid Ki Jatayu ini benar-benar membuatnya repot bukan main. Angin dari setiap
gerakan tangan pemuda itu bisa membuat pakaiannya koyak-koyak
Darba mengerutkan alisnya. Ada perasaan
heran menjalari hatinya. Mengapa murid Ki Julaga itu kelihatan begitu takut
terkena angin serangan tangannya" Memang, angin itu dapat merobek kulit dan
daging. Tapi tentu saja tidak berarti buat pemuda di hadapannya ini. Gumala
mempunyai tenaga dalam yang tinggi, sehingga angin serangan itu tak akan mampu
melukai kulitnya. Paling tidak hanya akan mengoyak pakaian.
Tapi, kenapa pemuda itu terlihat begitu
khawatir" Setelah tanpa hasil menerka-nerka, akhirnya Darba memutuskan untuk tidak memikirkannya. Bia rlah pemuda itu sendiri yang kerepotan menghadapi angin
serangan tangannya.
Maka segera Darba meningkatkan serangannya.
Lewat jurus kedua puluh, Gumala mulai
terdesak. Sebenarnya kalau saja Gumala tidak mempedulikan angin serangan yang
mengenai pakaiannya, dia tak akan terdesak begitu. Pemuda ini
banyak melakukan gerakan untuk mengelakkan serangan yang sebenarnya tidak berbahaya. Jadi, dia tidak mempunyai
kesempatan untuk balas menyerang.
Memang berkat 'kerajinannya' mengelakkan angin serangan itu, pakaiannya sampai saat ini masih tetap utuh.
Hanya ada satu bagian yang robek memanjang pada bahu kanan atas.
"Haaat...!"
Tiba-tiba Gumala berteriak nyaring. Kemudian tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali di
udara. Dan begitu kedua kakinya hinggap di tanah, tangannya telah menggenggam
sebatang pedang.
Singgg...! Singgg...!
Baru saja kaki Gumala hinggap di tanah,
terdengar desingan nyaring disusul berkelebatnya dua berkas sinar keperakan ke
arahnya. Di belakang dua leret sinar
itu tubuh Darba
menerjang ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Rupanya begitu melihat lawannya melentingkan tubuh ke belakang, Darba yang cerdik segera saja tahu kabu Gumala
hendak menggunakan jurus baru. Maka, tanpa ragu-ragu segera dicabut
kedua buah kapaknya dan dilemparkan ke arah Gumala. Tak cukup hanya sampai di situ, ia pun melompat
menerjang di belakang kedua kapaknya.
Gumala kaget sekali. Tiga buah serangan
mendadak telah mengancamnya begitu kedua
kakinya menjejak tanah. Dan
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini di luar dugaannya sama sekali.
Trang...! Trang...!
Dua kali terdengar suara
berdencing nyaring. Dua buah kapak itu pun terpental balik dan jatuh ke tanah. Sementara
tangan Gumala yang menggenggam pedang pun bergetar hebat.
Memang betapa kuatnya tenaga dalam yang
terkandung dalam lemparan kapak itu.
Namun sebelum Gumala dapat memperbaiki posisinya, serangan susulan dari Darba telah menyambar tiba.
Bukkk! "Hekh..!"
Tubuh Gumala melintir. Pu ku la n sisi
tangan Darba telak menghantamnya. Untunglah di saat terakhir masih sempat
dielakkan bacokan sisi tangan itu,
sehingga tidak mengenai dada,
melainkan bahunya.
Putaran tubuh Gumala terhenti ketika
menabrak pagar tembok. Tanpa ampun bgi, tubuh yang sedang sempoyongan itu jatuh
terguling di tanah. Belum juga pemuda berbaju hitam ini menyadari apa yang
terjadi, sosok tubuh yang disangkanya sudah tewas tadi tiba-tiba bergerak.
Tangannya yang menggenggam sabuk kulit buaya berwarna hitam itu melayang. Siapa
lagi kalau bukan Buaya Hitam!
Wut...! Prattt...!
"Akh...!"
Gumala mengeluh ketika ujung cambuk
berduri itu melecut pada bagian bawah dadanya.
Kontan rasa panas menjalar di sekitar tempat yang terkena sabetan. Kepalanya pun
terasa pusing. Sementara Buaya Hitam sehabis melecutkan sabuknya, mengeluh tertahan dan rubuh dengan napas putus. Baru
sekarang ini dia benar-benar mati.
"Ha ha ha...! Sekarang tamatlah riwayatmu!"
Masih tertangkap oleh pendengaran Gumala, suara tawa penuh kemenangan dari
Darba. Dicobanya untuk bangkit. Tapi rasa pusing yang menggayuti kepala
menghambatnya. Gumala memejamkan matanya ketika dirasakan
ada sambaran angin yang berkesiur ke arahnya. Dia hanya menunggu kematian!
Dapat dibayangkan, betapa kaget hati
pemuda berbaju hitam itu ketika pukulan yang ditunggu-tunggunya ta kjuga sampai.
Malah justru dirasakan tubuhnya diangkat sepasang tangan kokoh. Aneh sekali. Tapi,
pikirannya yang masih bekerja, dapat merangkai kejadiannya.
Bahkan samar-samar didengarnya teriakan- teriakan penuh kemarahan dari Darba.
"Mau ke mana kau, keparat!"
Memang, Gumala telah ditolong seseorang!
Kemudian dirasakan
hembusan angin keras meniup dari arah depan. Pertanda kalau orang yang menolongnya tengah membawanya
kabur. Dibuka matanya lebar-lebar mencoba
melihat penolongnya. Samar-samar terlihat seraut wajah yang tak jelas. Tapi dari
rambutnya yang berwarna putih keperakan dan panjang meriap, dapat
dikenali siapa penolongnya ini.
"Kakang Arya...,"
bisik Gumala lemah sebelum akhirnya rubuh tak sadarkan diri.
Sang penolong yang memang tak lain
adalah Arya Buana, membawa lari Gu mala dengan
kecepatan tinggi. Pandangan matanya yang tajam dapat melihat kalau kawannya itu
terkena racun ganas. Kalau tidak lekas ditolong, bukan mustahil kalau pemuda
teman seperjalanannya ini akan tewas.
Dewa Arak memang agak terlambat menolongnya. Karena
tadi begitu dilihatnya Gumala mampu mendesak lawannya, pemuda ini masuk ke dalam gedung, mencari tahu
barangkali guru pemuda berbaju coklat itu ada di dalam.
Begitu keluar, dilihatnya Gumala dalam keadaan gawat. Buru-buru dia bergerak
menolong dan membawanya kabur.
*** Arya menghentikan larinya ketika merasa
yakin kalau Darba tidak mengejarnya lagi.
Diturunkannya tubuh Gumala hati-hati di atas rumput, lalu diperhatikannya luka
yang terdapat pada tubuh pemuda itu.
Sekali pandang saja Dewa Arak ini segera
tahu, kalau luka pada bagian bawah dada itulah yang lebih berbahaya, karena
mengandung racun ganas. Untungnya racun itu daya kerjanya lambat, sehingga belum
menjalar ke mana-mana.
Arya tidak mau membuang-buang waktu
lagi. Cepat tangannya bergerak.
Breeettt..! "Akh...!"
Arya Buana terpekik kaget! Sepasang
matanya terbelalak lebar seolah tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dibalik
baju yang telah terobek lebar itu, pada bagian dada nampak terpampang dua buah
bukit kembar yang mulus menantang.
Darah kelaki-lakian Arya Buana seketika
bergolak. Jantungnya jadi semakin keras berdegup. Pemuda itu menelan ludah dengan
perasaan tegang. Ternyata ka wa n nya yang disangka seorang pemuda ternyata wanita! Ditatapnya sekali lagi dua buah bukit kembar di hadapannya,
untuk lebih meyakinkan penglihatannya. Benar tidak salah lagi! Itu adalah payudara wanita!
Perasaan penasaran membuat Arya memperhatikan wajah Gumala palsu. Dan sekarang jantungnya semakin berdebar tegang, ketika kini dapat melihat wajah itu
lebih jelas lagi.
Wajah itu.... Mulut itu.... Bibir itu..., dan sepasang mata itu...,
mengingatkannya pada seseorang.
Seorang gadis berpakaian serba putih yang amat dekat di hatinya. Melati!
Melati! Jerit hati pemuda berambut putih
keperakan ini ketika kini dikenalinya wajah itu.
Benar! Wajah itu adalah milik Melati. Wajah yang selalu dirindukannya. Dan kini
wajah itu berada dalam ancaman bahaya maut
Arya Buana kini dilanda kebimbangan. Apa
yang harus dilakukannya sekarang" Tentu saja sudah pasti mengobati Melati. Tapi,
caranya.... Tidakkah gadis itu nanti akan bertambah marah padanya"
Beberapa saat lamanya terjadi perang batin dalam diri Arya. Antara mengobati
gadis itu, dengan kemarahan yang
sudah pasti bakal
diterimanya. Karena jalan satu-satunya untuk mengeluarkan racun hanyalah dengan
menyedot darah itu keluar. Menyedotnya dengan mulut!
Setelah lama dilanda kebimbangan, akhirnya Dewa Arak memutuskan untuk melakukannya. Biarlah! Marah pun tak mengapa.
Yang penting gadis itu dapat selamat. Kini walaupun
dengan setengah hati, Arya mendekatkan mulutnya ke bagian bawah dua
bukit kembar itu. Ditempelkan bibirnya dan disedotnya darah yang telah
mengandung racun itu, kemudian diludahkan.
Demikian dilakukannya berkali-kali sampai
akhirnya darah yang diludahkannya mulai memerah, tidak hitam seperti sebelumnya.
"Ohhh...!"
Terdengar keluhan dari
mulut Melati, ketika Arya masih sibuk menyedot sisa racun yang masih bersemayam sampai
diyakininya ra cun itu bersih sama sekali. Dan sudah diduga oleh Arya kalau
Melati akan terkejut setengah mati. Gadis itu seketika memekik, lalu bergegas
bangkit dengan wajah memerah bagai kepiting rebus.
"Manusia kurang ajar!" teriak Melati keras.
Tangannya pun melayang.
Plak...! Dengan deras dan keras telapak tangan
gadis itu menampar pipi Arya. Begitu kerasnya sehingga nampak pada pipi pemuda
itu tergambar telapak tangan berwarna merah.
"Tunggu sebentar, Melati! Akan kujelaskan...," ucap Arya gugup.
Tapi Gumala yang sebenarnya Melati itu
sama sekali tidak mempedulikannya. Segera dia bangkit, lalu merapikan
pakaiannya. Dan kembali diterjangnya pemuda itu.
Bukkk! Dengan telak, tendangan itu menghantam
Arya yang sama sekali tidak berusaha mengelak atau
melawan. Untungnya Melati hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya ketika melihat pemuda berambut putih
keperakan ini sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
Meskipun begitu, tetap saja sekujur tubuh Arya yang terkena sasaran pukulan dan
tendangan itu jadi matang biru.
Tiba-tiba terdengar seruan tertahan keluar dari mulut Melati. Tubuhnya kemudian
melesat dari situ, meninggalkan Arya.
"Melati! Tunggu...!" teriak pemuda berbaju ungu itu keras tanpa berusaha
mengejar. Tapi gadis itu sama sekali tidak mengacuhkan teriakan Arya. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak, la terus saja
berlari, sehingga sesaat kemudian tubuhnya lenyap diteian jalan.
"Melati..., ahhh Melati...," keluh Dewa Arak.
Sepasang matanya memandang kosong ke depan.
Sudah diduga kalau peristiwa seperti ini akan terjadi. Dia sama sekali tidak
menyalahkan Melati.
Memang wajar kalau gadis itu bersikap demikian, karena tentu merasa malu.
Hanya satu hal yang disesali Arya,
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengapa perjumpaannya dengan gadis yang telah mencuri sekeping hatinya itu
selalu menimbulkan hal yang berakhir tidak menyenangkan.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas dalam-dalam.
Diambilnya guci yang terikat di punggung, lalu diangkatnya ke atas mulutnya.
Dan.... Gluk... gluk... gluk..!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu
memasuki tenggorokan Arya. Sesaat kemudian kedua kaki pemuda ini pun goyah. Tapi
ia tidak peduli.
Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu untuk
melanjutkan tugas yang tertunda, mengunjungi tempat kediaman pembimbingnya. Ingin dibuktikan, apakah ada kejadian tidak enak yang menimpa
guru dan ibunya, seperti yang selalu muncul dalam mimpi-mimpinya.
*** 6 Gumala yang kini ternyata adalah Melati,
melesat kabur dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki.
Sebenarnya dia tidak menyalahkan tindakan Arya. Disadari kalau Dewa Arak
melakukan hal itu hanyalah untuk menyelamatkan nyawanya. Sama sekali tidak
untuk melakukan hal yang bersifat kurang ajar.
Memang sebenarnya Dewa Arak itu tidak
mengetahui kalau ia
a da la h seorang wanita.
Bahkan wanita yang dirindukan dan dicari-carinya selama ini. Memang selama
melakukan perjalanan bersama Dewa Arak, pemuda itu telah bercerita banyak
tentang Melati. Tentu sa ja juga diungkapkan perasaan cintanya terhadap Melati yang
diutarakan pada Gumala, kawan seperjalanan yang dikira adalah seorang pemuda.
Diceritakan pula oleh Dewa Arak kalau
Melati telah membencinya. Hampir saja Melati yang waktu itu menyamar
sebagai Gumala membuka rahasianya sendiri. Sebenarnya Melati sama sekali tidak membenci pemuda
itu. Bahkan sebaliknya mencintainya. Tapi, rasa malu dan beberapa sebab-sebab
lain membuatnya merasa rendah diri bersama-sama Arya.
Salah satu hal yang paling berat adalah
janjinya terhadap 'ayahnya' Gadis itu memang telah bersumpah untuk memberi
hukuman pada pemuda itu. Tapi janji itu sulit dilakukannya, karena cintanya pada
Arya Buana. Maka Melati memutuskan untuk menjauhi Arya saja.
Tapi ternyata rasa rindu untuk melihat
Dewa Arak itu tidak tertahankan lagi. Setelah lama otaknya bekerja keras,
akhirnya didapatkan satu jalan untuk dekat dengan pemuda itu tanpa diketahui.
Apalagi kalau tidak dengan jalan menyamar.
Tapi siapa sangka kalau semuanya akan
berakhir seperti ini. Tanpa sengaja, pemuda itu telah berhasil membongkar
rahasianya. Bahkan dengan cara yang membuatnya malu besar. Dewa Arak telah
melihat bagian tubuhnya yang paling dirahasiakan! Payudaranya!
Dan sekarang, bagaimana Melati dapat
bertemu dengan pemuda itu lagi" Rasanya setiap kali melihat Arya, kembali
teringat peristiwa memalukan itu.
Sambil terus berlari cepat, pikiran Melati terus bekerja. Disadari kalau ia
tidak mampu berpisah
dengan pemuda berambut putih keperakan itu terlalu lama. Rasa rindu senantiasa menggigit hatinya, setiap kali
berpisah dengan pemuda itu.
Begitu juga kali ini. Secara diam-diam
dibayanginya perjalanan Dewa Arak, tanpa sepengetahuan pemuda itu sendiri.
*** Arya melakukan perjalanan dengan berlari
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Mimpi buruk yang berturut-turut dan perasaan
tidak enak yang selalu mengganggu hati, membuatnya bertindak begitu.
Beberapa hari kemudian, sampailah pemuda berambut putih keperakan ini di pintu gerbang sebelah Barat Desa Jati
Alas. Desa yang terdekat dengan tempat tinggal pembimbingnya, Ular Hitam.
Arya Buana memperlambat langkahnya.
Matanya memandang berkeliling, memperhatikan keadaan desa ini. Dan kening pemuda
ini seketika berkerut. Suasana desa ini sepi sekali. Pintu-pintu dan jendela-
jendela semua tertutup rapat
Kening Dewa Arak berkerut. Dugaannya,
pasti ada sesuatu kejadian yang telah menimpa desa yang baru beberapa pekan
ditinggalkan ini.
Dan perasaannya pun jadi kian tidak enak.
Mungkinkah Ular Hitam tidak melihat keadaan ini"
Bukankah Desa Jati Alas in! adalah tempatnya memenuhi
keperluan sehari-hari"
Mustahil kalau tidak melihat kea da a n
yang mencurigakan ini!
"Tuan Dewa Arak...!"
Sebuah panggilan menyadarkan lamunan
pemuda ini. Ditolehkan kepalanya ke arah asal suara. Tampaklah seorang pemuda
bertubuh tegap yang dikenalnya bernama Surya tengah berlari-lari menghampiri (Baca Serial
Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Ada apa?" tanya Arya begitu tubuh Surya telah dekat.
"Gawat, Tuan Dewa Arak..!" ujar Surya masih terengah-engah.
"Panggil saja aku A rya...," pinta pemuda berambut keperakan itu. Risih rasanya
mendapat panggilan yang begitu tinggi. "Ada apa?"
Sementara itu, Surya mengatur napasnya
sebelum kembali berbicara. "Beberapa pekan yang lalu, seorang
pemuda datang ke desa ini menanyakan tempat tinggal Kakek Ular Hitam...."
"Pemuda" Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Arya. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar
tegang. "Nggg..., tampan.... Pakaiannya coklat. Dan di kanan kiri pinggangnya terselip
sebuah kapak berwarna perak..."
Berubah wajah Dewa Arak mendengarnya.
Jelas kalau pemuda yang disebutkan ciri-cirinya itu adalah Darba. Arya pun sudah
mengetahui pula maksud pemuda itu mencari pembimbingnya.
Hal ini membuat perasaan tidak enaknya semakin menjadi-jadi.
"Lalu...?" tanya Arya pelan. Ketegangan membuat
suaranya seperti tercekat di tenggorokan. "Melihat sikapnya yang mencurigakan, Ki Pandu tidak memberitahukannya. Tapi,
akibatnya gawat! Pemuda itu membunuh Ki Pandu! Tidak hanya itu saja. Semua
penduduk yang tidak mau menunjukkan tempat tinggal Kakek Ular Hitam dibunuh
tanpa kenal ampun."
"Ahhh...!" desah Arya kaget. "Akhirnya salah seorang penduduk
memberitahukannya...,"
jelas Surya pelahan. Sepertinya pemuda ini merasa menyesal mengapa hal itu
terjadi. Arya hanya diam terpaku. Dimaklumi
kalau akhirnya ada penduduk yang memberitahukannya. Memang sebagai seorang
pendekar, Dewa Arak lebih
mementingkan penduduk biasa daripada orang yang pandai ilmu
silat. "Setelah mendapat keterangan tentang
tempat tinggal Kakek Ular Hitam, pemuda itu pun pergi. Aku bergegas per gi ke
sana, dengan meminjam seekor kuda yang memiliki kemampuan beriari
paling cepat. Maksudku, ingin memberitahukan Kakek Ular Hitam, ada orang jahat mencarinya."
"Lalu...?" tanya Arya. Dadanya berdebar tegang.
Surya tampak ragu. "Sayang kedatanganku terlambat, Den Arya."
"Lalu..., apa yang terjadi dengan kakek dan ibuku..."!"
desak Arya setengah berteriak. Ketegangan membuat pikiran jernihnya menguap.
Dicekalnya leher baju Surya dan dihentak-
hentakkannya. "Ka ta ka n!
Katakan, apa yang
terjadi pada kakek dan ibuku...!"
Tubuh Surya gemetar. Apalagi ketika
menatap sepasang mata yang mencorong dari
pemuda berambut putih keperakan itu. Nyalinya kontan menciut
"Den Arya..., sadar, Den. Sadar...," ucap Arya gemetar.
Ucapan Surya itu rupanya berhasil menyadarkan Dewa Arak. Pelahan cekalan Arya pada leher baju pemuda itu
mengendur. Kemudian tubuh Surya pun diturunkan.
"Hhh...!"
Ar ya menghembuskan napas berat. Sepasang matanya pun kembali meredup.
Ditekap wajahnya dengan kedua tangan. "Maafkan aku, Kang," ucap Arya lirih. "Aku
khilaf. Tapi, kuharap Kakang bersedia mengatakan apa terjadi pada kakek dan ibu.
Katakan, Kang. Sekalipun berita
itu buruk, aku sudah siap untuk mendengarnya."
Surya menelan Iudahnya sebentar. Ditatapnya dalam-dalam wajah Arya Buana.
"Aku melihat..., Kakek Ular Hitam, dan ibu Den Arya tergeletak di tanah...."
Arya memejamkan matanya. Sudah dapat
diduga bagaimana nasib kedua orang yang sangat dicintainya itu. Benaiiah apa
yang dilihatnya dalam mimpi-mimpinya itu.
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Mereka tewas dengan cara yang menyedihkan, Den...."
"Jahanam!" jerit Dewa Arak keras.
"Kalau Aden ingin menengoknya, silakan, Den. Mereka kukuburkan di halaman
samping, dekat pohon jambu."
Tapi Arya sudah tidak mendengar ucapan
Surya lagi. Tepat saat jeritan kemarahannya keluar dari mulut, tubuhnya pun
melesat dari situ. Sedangkan Surya hanya dapat menggeleng-
gelengkan kepalanya sambil
menatap tubuh pemuda berambut putih keperakan yang kian
mengecil dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
*** Arya duduk bersimpuh di depan dua buah
gundukan tanah yang masih baru. Pada dua buah gundukan itu terpancang papan
nisan yang
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertuliskan nama orang-orang yang terkubur di dalamnya. Dalam hati pemuda
berambut putih keperakan ini bersyukur, melihat adanya papan nisan pada dua buah
kuburan ini. Sekuat tenaganya Arya berusaha menahan
jatuhnya air mata. Pantang baginya
untuk menangis, betapapun beratnya kesedihan yang ditanggung.
"Kakek..., Ibu...," ucap Arya pelan di depan dua kuburan itu. "Mengapa kalian
pergi begitu cepat. Aku belum lagi sempat membalas budi kalian yang begitu besar
terhadapku. Aku berjanji, Kek, Ibu.... Akan kubalas perbuatan keji ini!"
Dewa Arak menghentikan ucapannya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah kaki pelahan di
belakangnya. Khawatir kalau pemuda baju coklat itu lagi yang datang, Arya buru-buru menoleh
namun bersikap waspada.
Sekitar lima tombak di depannya tampak
berdiri dua sosok tubuh. Salah seorang di antara
mereka telah dikenalnya. Dialah nenek yang selalu berpakaian serba putih,
berjuluk Dewi Bulan.
Sementara orang yang berdiri di sebelahnya, seorang laki-laki tua bertubuh agak pendek, bulat, dan berkepala
botak Sebuah rompi berwarna hijau, dan celana sebatas bawah lutut yang
juga berwarna hijau,
menutupi kulit tubuhnya yang berwarna kehijauan. Kelabang Hijau, begitu julukan yang
dimilikinya. Si nenek mulanya terperanjat ketika
melihat Arya. Jelas, pemuda itulah yang telah membuatnya terhuyung belum lama
ini. Tapi di lain saat rasa terperanjatnya berganti rasa marah yang meluap-luap.
"Dia bocah yang kuceritakan itu, Kelabang Hijau!" tegas Dewi Bulan memberitahu
kakek gundul di sebelahnya. "Sekarang tidak akan kubiarkan dia lolos lagi!"
"Sabar dulu, Dewi Bulan!" cegah Kelabang Hijau sambil menarik tangan nenek yang
sudah bergerak maju itu.
"Apa hakmu menghalangiku"!" tantang Dewi Bulan. Disentakkan tangannya yang
dicekal kakek gundul berkulit kehijauan itu.
"Aku memang tidak berhak menghalangi
tindakanmu! Tapi, tidak untuk kali ini!" tegas Kelabang Hijau.
"Heh"! Kenapa begitu?" suara Dewi Bulan mulai
melunak. Disadari adanya tekanan kesungguhan pada nada suara kakek berompi
hijau ini. "Karena dia pasti mempunyai hubungan
dengan Ular Hitam! Kalau tidak, tak mungkin akan duduk termenung di situ. Apakah
kau tidak mendengar berita yang menghebohkan dunia
persilatan belakangan ini?"
"Berita apa itu?" tanya Dewi Bulan tertarik.
"Ular Hitam memiliki seorang mu rid yang telah menggemparkan dunia persilatan.
Kudengar banyak tokoh tangguh yang rubuh di tangannya!"
Nenek berpakaian putih itu menganggukkan kepalanya. "Aku juga tahu. Kalau tidak salah, pemuda itu berjuluk
Dewa Arak!"
' Tepat' Dewi Bulan termenung.
"Dan ciri-ciri Dewa Arak mirip pemuda ini!"
sambung Kelabang Hijau lagi.
"Ahhh...! Kau benar!" nenek tinggi kurus ini mulai teringat.
Sementara itu, Arya juga terkejut melihat
nenek berpakaian serba putih itu. Kelihaian nenek ini sudah dirasakannya.
Sekarang dia datang berdua dengan kawannya yang sekali lihat saja diketahui
kalau kepandaiannya tidak rendah.
De wa Arak sekarang tengah dilanda kemarahan yang meluap-luap. Tapi, tentu saja sebagai seorang pendekar yang
menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan, pemuda ini tidak
meluapkan amarahnya secara sembarangan. Maka Arya
yang memang tidak ingin mencari permusuhan, mencoba bersikap tenang. Ditunggu bagaimana tindakan Dewi Bulan
terhadapnya. Jelas terlihat kalau nenek itu akan menyerangnya.
Tapi, untungnya ditahan oleh kakek berkulit kehijauan di sebelahnya.
Untuk beberapa saat lamanya tampak
kalau kedua orang itu saling bertengkar. Tentu saja berkat pendengarannya yang
tajam, Arya dapat mendengar apa yang dipertengkarkan. Dan hal ini membuatnya
agak terkejut. Karena dari percakapan itu dapat diketahui kalau kakek dan nenek
ini seperti mengenal almarhum pembimbingnya, Ular Hitam. Siapakah kedua
orang ini sebenarnya"
Kini Kelabang Hijau dan
Dewi Bulan melangkah menghampiri. Dewa Arak. Sedangkan pemuda itu berdiri diam menanti.
Sikapnya terlihat tenang saja, walaupun sebenarnya jantung berdebar tegang.
"Anak Muda," tegur kakek berkulit kehijauan itu . "Katakan secara jujur, apa hubunganmu dengan almarhum Ular Hitam?"
Arya tidak mendengar adanya nada permusuhan dalam pertanyaan kakek itu. Baik terhadapnya maupun terhadap gurunya.
"Saya muridnya, Kek," jawab Arya jujur.
Memang, walaupun pemuda ini tidak belajar
secara langsung, tapi Ular Hitamlah yang membimbingnya untuk mempelajari ilmu-ilmu
peninggalan Ki Gering Langit, Biarpun kakek itu sendiri tidak mau dianggap guru,
A rya tetap menganggapnya guru.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Anak Muda?" tegas Kelabang Hijau kurang percaya.
"Dia bohong!" selak Dewi Bulan sebelum Arya sempat menjawab. "Tidak sedikit pun
kulihat ilmu-ilmu yang dimiliki Ular Hitam ketika aku melawannya!"
"Apa yang nenek katakan memang benar!"
sahut Dewa Arak. "Tapi, beliaulah yang selama ini membimbingku sehin gga
memiliki kepandaian
seperti sekarang ini. Salahkah kalau aku menganggapnya sebagai guru?"
"Apa yang dikatakannya memang benar,
Dewi Bulan," tegas Kelabang Hijau mendukung alasan Arya. ' Tapi perlu kau
ketahui, Anak Muda.
Kami mempunyai urusan dengan Ular Hitam. Nah, sekarang bersediakah kau
mewakilinya untuk menyelesaikan urusan itu?"
"Sepanjang urusan itu tidak bertentangan dengan
kebenaran, aku bersedia mewakili almarhum guruku!" jawab Arya tegas.
"Ha ha ha...! Bagus! Kami perca ya, kau tidak akan mengecewakan kami! Dewi Bulan
telah banyak bercerita tentang dirimu! Julukanmu pun telah membuat banyak tokoh
berpikir beberapa kali untuk berurusan denganmu! Kami yakin kau dan Ular Hitam
tidak a da bedanya!"
Seketika berubah wajah Arya.
"Maksud, Kakek?" tanya Dewa Arak.
Wajah Kelabang Hijau berubah serius.
"Sejak puluhan tahun yang lalu, kami
adalah sepasang tokoh yang tidak terkalahkan.
Kami pun gemar bertanding, sehingga
tak terhitung lawan yang rubuh di tangan kami.
Sampai akhirnya, kami bertemu dengan Ular
Hitam. Melalui suatu pertarungan yang sengit, kami berhasil dikalahkannya. Tentu
saja hal ini membuat penasaran, di samping malu yang besar.
Maka kami katakan padanya, bahwa sepuluh
tahun lagi kami akan datang menantang untuk menentukan siapa
Dendam Empu Bharada 40 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 7