Pencarian

Ilmu Halimun 1

Dewa Arak 29 Ilmu Halimun Bagian 1


ILMU HALIMUN Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Ilmu Halimun
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Angin malam yang dingin menggigit tulang kembali
berhembus. Memang, suasana malam saat ini tampaknya tidak menyenangkan. Keadaan
langit begitu kelam. Apalagi hanya diterangi bulan sepotong. Bahkan tak ada
setitik pun bintang di langit, karena tertutup awan hitam yang menggumpal.
Kini, titik-titik air dari langit mulai jatuh ke bumi satu persatu diiringi
hembusan angin kencang menggigit tulang.
Persada mulai dibasahi hujan gerimis.
"Hujan tidak tahu diri...," umpat sosok serba hitam yang bergerak cepat menembus
kepekatan malam.
Dia berlari melewati rumah-rumah penduduk Desa
Sampar. Pakaiannya yang berwarna hitam melindunginya dari pandangan orang.
Menilik tindak-tanduk dan juga gerakannya, bisa diperkirakan kalau dia memiliki
kepandaian silat juga.
Tubuhnya sama sekali tidak menggigil. Padahal suasana
malam itu sangat dingin. Apalagi angin kencang senantiasa berhembus. Hal ini
saja sudah membuktikanan kalau sosok tubuh berpakaian hitam itu memiliki tenaga
dalam tinggi. Sosok berpakaian hitam itu memiliki bentuk tubuh
kekar. Wajahnya tidak jelas, karena dipenuhi coreng moreng dan lumuran tanah
berlumpur. Beberapa kali tubuh laki-laki itu terhuyung-huyung dan hampir jatuh, karena
tanah yang dipijaknya licin. Hanya berkat ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya, dia tidak sampai jatuh di tanah becek.
Suara air menyiprat mengiringi langkah kaki laki-laki
berpakaian hitam yang terus saja berlari menuju keluar Desa Sampar. Dan tak lama
kemudian, tembok batas Desa Sampar pun telah nampak di depan mata nya. Namun....
"Hei...! Siapa itu..."!" tegur salah seorang dari dua penjaga malam yang berada
dalam gardu ronda.
Sebenarnya ada empat orang yang mendapat tugas
menjaga Desa Sampar setiap malam. Dua orang penduduk, dan dua orang murid
Perguruan Kelabang Sakti. Tapi kini dua orang yang terdiri dari satu orang
penduduk dan satu lagi murid perguruan itu tengah keliling desa.
Kepala laki-laki berpakaian hitam itu cepat menoleh ke arah bentakan tadi. Lalu,
tangannya bergerak mengibas, dan kedua kakinya menjejak tanah. Maka sesaat
kemudian tubuhnya meluncur ke arah gardu ronda itu.
Sing, sing...! Cap, trang...! Satu dari dua buah pisau yang dilepaskan laki-laki
berpakaian hitam itu mendarat di leher salah seorang peronda.
Tak pelak lagi, tubuhnya pun terguling roboh tanpa sempat menjerit lagi. Tapi
penjaga gardu yang seorang lagi adalah murid Perguruan Kelabang Sakti.
Tidak heran kalau dia masih
sempat mencabut pedang dan menangkis pisau yang mengarah ke
tubuhnya. Tapi, akibat yang diterima benar-benar membuatnya kaget. Tangan yang menggenggam pedang terasa lumpuh, sehingga
senjatanya terlepas dari pegangan.
"Hup...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu sudah mendaratkan
kedua kakinya di tanah.
"Hih...!"
Walaupun tanpa senjata lagi, murid Perguruan Kelabang
Sakti langsung menyerang orang berpakaian serba hitam itu.
Segera dikirimkannya tendangan lurus ke arah dada.
Bukkk! Telak dan keras sekali tendangan itu mengenai sasaran.
Seketika, terdengarlah jeritan kesakitan. Tapi bukan laki-laki berpakaian hitam
yang menjerit kesakitan. Ternyata, justru murid Perguruan Kelabang Sakti yang
berteriak kesakitan, karena kakinya terasa seperti menghajar dinding baja! Rasa
sakit yang amat sangat langsung mendera kakinya.
Belum sempat murid Perguruan Kelabang Sakti itu
berbuat sesuatu, tangan laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah meluncur
cepat ke arah kakinya. Dan...
Tappp...! Pergelangan kaki murid Perguruan Kelabang Sakti
berhasil ditangkap. Langsung kaki itu disentakkannya.
"Ukh...!"
Murid Perguruan Kelabang Sakti itu mengeluh tertahan
ketika sambungan tulang lututnya terlepas. Memang, betapa kerasnya sentakan
lawan tadi. Bahkan tubuhnya ikut tertarik ke depan.
"Hmh...!"
Laki-laki berwajah coreng-moreng mendengus. Lalu,
tangan kanannya bergerak menyambut tubuh yang terhuyung ke arahnya dengan jari-
jari terkembang membentuk cakar. Dan....
Crokkk...! Ubun-ubun kepala murid Perguruan Kelabang Sakti itu
kontan hancur berantakan. Darah bercampur otak pun mengalir keluar dari
kepalanya yang pecah.
Seiring tubuhnya yang roboh di tanah, nyawanya pun
melayang meninggalkan raga.
Tanpa mempedulikan mayat kedua orang itu, laki-laki
berpakaian hitam ini kembali meneruskan perjalanannya. Dia berlari cepat menuju
luar desa. Samar-samar telinganya mendengar kentongan dari dua
orang peronda yang bertugas keliling. Tapi nada kentongannya sama sekali tidak
mengisyaratkan apa-apa.
Hanya beberapa kali lesatan saja, tubuh laki-laki
berwajah coreng-moreng itu telah berada di luar Desa Sampar.
Hujan yang masih turun rintik-rintik sama sekali tidak menghalangi langkahnya
untuk terus berlari.
Lelaki bertubuh kekar itu baru memperlambat larinya
ketika agak jauh di depan. Di sebelah kanannya nampak berjajar tak teratur
gundukan-gundukan tanah. Jelas, itu adalah pemakaman. Dan semakin lama,
langkahnya semakin perlahan.
Pada akhirnya, dia berhenti tepat di sebelah tempat pemakaman itu.
Sesaat lamanya, laki-laki berwajah coreng-moreng itu
berdiri diam. Pandangannya tertuju ke arah makam-makam yang berjajar di
hadapannya. "Hhh...!"
Setelah terlebih dahulu menghembuskan napas berat,
laki-laki berpakaian hitam itu menghampiri sebatang pohon, lalu mematahkan
beberapa batang rantingnya. Kemudian, batang ranting itu digosok-gosoknya!
Sulit dipercaya! Hanya beberapa kali gosok, laki-laki
berpakaian hitam itu telah mampu menyalakan api! Padahal ranting kayu itu agak
lembab karena siraman hujan. Jelas, tenaga dalam orang itu telah cukup tinggi!
Dengan nyala obor di tangan, laki-laki berwajah coreng-moreng itu memperhatikan
satu persatu gundukan makam yang terhampar. Nampaknya memang ada sesuatu yang
tengah dicarinya. Beberapa saat lamanya dia memperhatikan tiap-tiap makam, kemudian
ditinggalkannya. Begitu seterusnya.
Beberapa kali laki-laki berpakaian hitam itu bertindak demikian. Akhirnya,
langkahnya berhenti ketika matanya tertumbuk pada sebuah gundukan tanah merah
yang masih baru. "Akhirnya kutemukan juga...," gumam laki-laki berwajah coreng-moreng itu.
Tampak jelas ada nada kegembiraan dalam gu-
mamannya. Sepasang matanya pun berbinar-binar menampakkan kegembiraan.
Dengan gerakan terlihat agak tergesa-gesa, laki-laki
berpakaian hitam itu menancapkan obornya di tanah. Kemudian, dipungutnya
sebatang ranting sebesar ibu jari kaki, sepanjang sejengkal yang berada di situ.
Lalu, ranting itu dipergunakannya untuk menggali makam yang baru saja
ditemukannya. Dengan ranting yang terlihat lemah itu, sedikit demi
sedikit dia mulai menggali makam. Tampaknya orang itu
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untul menggali. Dan hanya dalam waktu
sebentar saja, makam itu sudah tergali. Kini, tampaklah sebuah lubang menganga,
dengan sebuah peti
berwarna hitam kelam di dalamnya.
Laki-laki berwajah coreng-moreng itu kemudian berlutut.
Kedua tangannya dijulurkan untuk memegang sisi-sisi kedua peti itu. Sesaat kedua
tangannya tampak mengejang dan
bergetar keras.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, kedua tangannya bergerak
mengangkat. Lalu, perlahan-lahan peti mati berwarna hitam itu pun terangkat
naik. Brukkk...! Laki-laki berpakaian hitam itu meletakkan peti mati di pinggir
lubang. Dipandanginya sejenak, sebelum kedua tangannya diulurkan ke arah tutup peti mati. Kini jari-jari kedua tangannya
telah mencengkeram sisi-sisi kedua peti mati itu erat-erat.a Kemudian, kedua
tangannya bergerak membuka.
Krakkk...! Kontan tutup peti mati itu hancur berantakan. Tampak
di dalamnya sesosok tubuh yang terbungkus pakaian putih.
"Akhirnya, kudapatkan juga benda ini...," desisan pelan terdengar dari mulut
laki-laki berwajah coreng-moreng itu.
Dan begitu ucapannya selesai, tangannya bergerak cepat membuka kain putih yang
membungkus mayat itu. Melihat dari caranya yang terlalu hati-hati, bisa
diketahui kalau kain putih itu sangat berarti sekali baginya.
Tak lama kemudian, kain putih itu pun telah berhasil
dilepaskan semuanya dari tubuh mayat. Dalam keremangan malam, sepasang mata
laki-laki berpakaian hitam ini tampak berkilat-kilat ketika melipat tain pulih
yang baru saja dilepaskan dari mayat itu.
Dengan terkekeh pelan dan menyeramkan, laki-laki
berwajah coreng-moreng itu menutup peti mati kembali. Lalu, dilemparkannya peti
itu begitu saja ke dalam lubangnya. Dan tanpa menguruknya lagi, dia melesat
kabur dari situ. Seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkannya agar bisa tiba di
mulut Desa Sampar, sebelum para peronda yang berkeliling menemukan rekan-
rekannya yang tewas di gardu ronda.
Bila mayat para penjaga malam di gardu itu keburu
diketahui para peronda sebelum dia kembali ke desa, maka kesulitan akan
menghadangnya. Dan laki-laki berpakaian hitam tidak menginginkan hal itu
terjadi. Makanya kuburan yang telah dibongkar tidak dibereskan kembali.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat tinggi, dalam waktu sebentar saja laki-laki berpakaian coreng-moreng itu
telah tiba di mulut desa.
Ternyata kekhawatirannya sama sekali tidak beralasan.
Mulut desa kelihatan masih tetap sepi. Dan tampaknya, para penjaga malam yang
mengelilingi desa belum kembali ke gardu ronda. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, laki-laki berpakaian hitam itu melesat masuk terus ke dalam desa. Dan
berkat ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat tinggi, sebentar
saja gardu penjagaan itu telah dilalunya.
Laki-laki berpakaian hitam itu terus saja berlari cepat.
Sengaja jalan utama desa tidak dilaluinya. Dia khawatir, akan berpapasan dengan
para peronda malam yang tengah berkeliling.
Tak lama kemudian, dari kejauhan laki-laki berpakaian
serba hitam itu sudah melihat sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar kayu
bulat tinggi. Dia terus berlari cepat.
Arahnya yang ditempuh adalah bangunan besar yang dikelilingi pagar kayu bulat di
hadapannya. Seiring semakin dekat jaraknya dengan bangunan besar
itu, langkah laki-laki berpakaian hitam semakin tampak berhati-hati. Kini, dia
berlari cepat sambil mengendap-endap.
"Hup...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu menggulingkan tubuhnya
ke tanah, dan terus bergulingan mendekati pagar kayu di depannya. Baru setelah
tubuhnya menyentuh pagar kayu itu, dia berhenti berguling. Kemudian dia bangkit
berdiri lalu bergerak cepat mengitarinya. Dan ketika telah berada di bagian
pagar kayu bulat yang ditumbuhi pepohonan, kakinya bergerak
menotol. Dan....
"Hih...!"
Tubuh laki-laki berpakaian hitam itu melayang ke atas
melewati pagar kayu. Kemudian, kakinya mendarat ringan tanpa suara di dalam
halaman luas itu. Lalu, secepat kedua kakinya mendarat, secepat itu pula berlari
menuju ke arah salah satu dari sekian banyak bangunan yang ada di sana.
*** Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan tanda bahaya terdengar bertubi-tubi
dari arah mulut desa. Tepatnya, dari dalam gardu penjagaan.
Suasana malam yang sepi, membuat suara kuntongan itu
terdengar semakin jelas. Menyeruak, merobek kesunyian malam.
Sementara, penduduk Desa Sampar yang tinggal di dekat gardu ronda, dan mendengar
suara kentongan, segera menyambutnya dengan pukulan kentongan pula. Maka dalam
waktu sebentar saja, suasana malam sudah dirobek oleh suara kentongan bertubi-
tubi. Tak lama kemudian, para penduduk Desa Sampar keluar
dari rumah masing-masing. Di tangan mereka semua telah tergenggam berbagai macam
senjata. "Ada apa, Wirja?" tanya seorang dari sekian banyak penduduk pada seorang
penduduk yang tinggal dekat gardu ronda.
Laki-laki bertubuh kekar

Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dipanggil Wirja menggelengkan kepala.
"Aku juga tidak tahu, Kang Boma. Tapi yang jelas, suara kentongan itu berasal
dari mulut desa...."
Boma, laki-laki berwajah hitam yang tadi menemui
Wirja, mengernyitkan kening.
"Kalau begitu mari kita ke sana...!"
"Mari, Kang...!" sambut Wirja cepat.
Boma berlari-lari paling dulu. Maka rombongan penduduk Desa Sampar segera bergerak cepat menuju mulut desa.
Semakin dekat dengan tempat yang dituju, semakin
banyak jumlah mereka. Karena, di tengah-tengah perjalanan bertemu dan bergabung
dengan penduduk lain. Akibatnya, malam kelam yang semula sunyi mencekam, kini
menjadi terang-benderang oleh obor-obor yang tergenggam di tangan para penduduk.
Bahkan juga ramai oleh langkah-langkah kaki yang bertubi-tubi menghantam bumi.
Tak lama kemudian, mereka tiba di gardu ronda. Tampak
salah seorang penjaga malam tengah memukul-mukul kentongan. Sedangkan satu orang lagi menatap ke sekeliling dengan sinar mata
waspada. "Ada apa, Dirja?" tanya seorang laki-laki setengah baya berpakaian putih pada
penjaga malam yang memukul
kentongan. Dia sebenarnya adalah Kepala Desa Sampar.
Namanya, Ki Dungkul Taji.
"Dua penjaga yang berada di gardu, ditemukan tewas sewaktu kami kembali, Ki,"
lapor orang yang dipanggil Dirja.
"Ahhh...!" Ki Dungkul Tap terperanjat. "Mengapa bisa begitu"!"
"Kami pun tidak tahu, Ki. Tapi, itulah kenyataannya,"
sahut Dirja. Ki Dungkul Taji diam seribu bahasa, dengan pandangan
nanar. Kakinya dilangkahkan menuju gardu muda untuk
melihat kenyataan laporan Dirja. Langkah laki-laki setengah baya itu diikuti
puluhan penduduk lainnya. Mau tidak mau, Dirja ikut melangkah pula.
"Keparat..!" maki Ki Dungkul Taji ketika melihat keadaan mayat para penjaga
malam itu. Karena tak puas hanya melihat dari agak jauh, kepala
Desa Sampar ini membungkukkan tubuhnya. Kemudian dengan hati-hati dan seksama,
ditelitinya kedua mayat itu.
"Hm...!" gumam Ki Dungkul Taji sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu para penduduk desa dan dua orang
penjaga malam hanya bisa memperhatikan semua yang
dilakukan Ki Dungkul Taji.
"Jelas kalau orang yang telah melakukan kekejian ini memiliki kepandaian
tinggi," gumam Ki Dungkul Taji, pelan.
"Aku pun menduga demikian, Ki," sambut penjaga malam yang menjadi murid
Perguruan Kelabang Sakti. "Melihat dari keadaan mayat rekanku, jelas kalau
sebelum tewas, dia telah melakukan perlawanan lebih dahulu."
"Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan sepertil itu?"
Ki Dungkul Taji balas bertanya.
"Pedangnya yang terlempar jauh dari mayat ini.... Dan juga, keadaan kakinya."
"Yahhh...!" sahut Ki Dungkul Taji, setengah mendeesah.
"Sambungan tulang lututnya terlepas...."
Setelah berkata demikian, Kepala Desa Sampar itu
bangkit berdiri.
"Urus baik-baik mayat-mayat mereka," ujar Ki Dungkul Taji, tanpa penjelasan,
kepada siapa perintah itu ditujukan.
"Hm...!" gumam Ki Dungkul Taji perlahan. "Jelas kalau orang yang telah melakukan
kekejian ini memiliki kepandaian sangat tinggi."
Mendengar itu, para penduduk desa hanya bisa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memperhatikan semua yang dilakukan Kepala Desa
Sampar itu. Kemudian, beberapa orang penduduk memisahkan dari
kerumunan, lalu bergerak menghampiri mayat dua orang
penjaga malam itu.
"Sudah kau beri tahukan kejadian ini pada gurumu, Permana?" tanya Ki Dungkul
Taji pada murid Perguruan Kelabang Sakti yang bertubuh pendek kekar.
"Belum, Ki," sahut murid yang bernama Permana itu.
"Begitu, kulihat mayat-mayat di sini, kami langsung memukul kentongan untuk
memberitahukan kejadian ini"
Ki Dungkul Taji mengangguk-anggukkan kepala. Tangan
kanannya mengelus-elus jenggotnya yang putih, tapi hanya berjumlah beberapa
gelintir. "Sebaiknya kita beri tahukan hal ini pada gurumu dulu,"
usul laki-laki berpakaian putih itu.
Permana menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, mari kita ke sana."
Setelah berkata demikian, Ki Dungkul Taji segera
mengalihkan pandangan ke arah penduduk.
"Kalian semua berpencar. Bikin kelompok-kelompok, dan cari penjahat keji itu.
Ingat! Bila bertemu jangan bertindak gegabah, segera beri tahukan kawan-kawan
yang lain. Kalian mengerti"!"
"Mengerti, Ki!" sahut puluhan penduduk itu serempak.
"Apa itu tidak terlalu berbahaya, Ki?" selak Permana berbisik. "Ingat, pembunuh
keji itu memiliki ke pandaian cukup tinggi. Aku khawatir akan jatuh korban sia-
sia di antara penduduk desa...."
Ki Dungkul Taji mengernyitkan kening sebentar.
"Tunggu sebentar...! Dengarkan baik-baik," lanjut laki-laki berpakaian putih itu
pada kerumunan penduduknya. "Tiap kelompok, paling sedikit berjumlah tujuh
orang. Ingat! Tujuh orang! Kalian, mengerti"!"
"Mengerti, Ki...!" sahut para penduduk serempak.
"Bagus! Kalian boleh bubar...!" perintah Ki Dungkul Taji lagi.
Tanpa menunggu perintah dua kali, kerumunan
penduduk Desa Sampar itu pun membubarkan diri untuk
melaksanakan perintah Kepala Desa Sampar.
Tak lama kemudian, tempat itu pun kembali sepi.
Kini yang tinggal di tempat itu hanya Ki Dungkul Taji
dan Permana. "Ki...."
"Hm...!" sahut Kepala Desa Sampar itu, menggumam pelan.
"Aku masih belum mengerti... mengapa kedua orang
penjaga malam itu dibunuh...?"
"Aku juga tidak mengerti, Permana," jawab Ki iJungkul Taji. "Tapi yang jelas,
mungkin kedatangan orang itu diketahui para peronda...."
"Kira-kira..., apa maksudnya pembunuh itu datang ke desa ini, Ki?" tanya Permana
lagi. Ki Dungkul Taji mengangkat bahu.
"Aku sendiri tidak tahu, Permana, Dan itulah yang akan kubicarakan dengan
gurumu. Mari kita ke sana!"
Sambil berkata demikian, Kepala Desa Sampar itu
berjalan meninggalkan gardu penjagaan. Mau tidak mau,
Permana pun mengikutinya. Kini keduanya sudah berlari cepat menuju Perguruan
Kelabang Sakti.
Ternyata laki-laki berpakaian putih itu memiliki
kepandaian yang lumayan juga. Terbukti, Permana harus
bersusah payah untuk mengimbangi. Bahkan kalau saja Ki Dungkul Taji tidak
berkali-kali memperlambat lari, mungkin murid Perguruan Kelabang Sakti itu sudah
tertinggal jauh.
2 "Hhh...!"
Helaan napas berat keluar dari mulut seorang laki-laki berwajah keras. Cambang
bauk yang lebat dan hitam, tampak menghias wajahnya. Hal ini semakin menambah
kegagahannya saja.
"Jadi... peristiwa itu telah menimpa Desa Sampar, Dungkul?" tanya laki-laki
berwajah keras itu. Pakaiannya berwarna hitam. Pada bagian dadanya terdapat
seekor kelabang yang disulam oleh benang berwarna merah.
"Benar, Rupaksa," jawab Ki Dungkul Taji sambil menganggukkan kepala. "Aku ingin
tahu pendapatmu mengenai masalah ini...."
Laki-laki berwajah keras bernama Rupaksa yang menjadi
Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu terdiam sejenak.
Pertanyaan Ki Dungkul Taji tidak langsung dijawabnya.
"Aku belum bisa memberikan pendapat, Dungkul.
Karena, masalah ini masih terlalu gelap. Tapi yang jelas, siapa pun orang itu,
akan berurusan denganku, Rupaksa. Dia telah berani mengganggu ketenteraman desa
ini.... Apalagi, telah berani membunuh muridku!" tegas Ketua Perguruan Kelabang
Sakti mantap. "Ya! Tindakan pengacau itu sama saja sebuah tantangan padamu, Rupaksa. Karena,
hampir semua orang tahu kalau Desa Sampar ini berada dalam perlindunganmu!"
Rupaksa mengangguk membenarkan.
"Lalu, sekarang apa yang kau ingin lakukan, Rupaksa?"
tanya Ki Dungkul Taji lagi.
"Kita tunggu perkembangan selanjutnya, Dungkul"
"Hanya itu?" Ada nada kekecewaan dalam suara Kepala Desa Sampar itu.
"Tentu saja tidak. Aku akan mengutus beberapa orang murid utama untuk
menyelidikinya. Kau tahu sendiri, Dungkul.
Masalah ini masih gelap. Aku yakin, masih ada kelanjutan peristiwa ini. Aku
yakin itu...."
"Aku juga mempunyai pikiran yang sama, Rupaksa,"
sambut Ki Dungkul Taji seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi hanya
dinding dan langit-langit rumah yang terlihat. Memang, mereka berdua berada
dalam sebuah ruangan di salah satu bangunan di Perguruan Kelabang Sakti.
"Kalau begitu... aku permisi dulu, Rupaksa...," pamit Kepala Desa Sampar itu
seraya bergerak bangkit dari duduk bersilanya.
"Hei" Mengapa buru-buru, Dungkul" Tidak bisakah kau tinggal lebih lama di sini?"
"Sayang sekali, Rupaksa," keluh Ki Dungkul Taji bernada menyesal. "Aku harus
kembali ke desa. Barangkali saja penduduk telah menemukan titik terang tentang
pembunuh keji itu."
Rupaksa tidak bisa menahan lagi. Disadarinya kebenaran dalam ucapan tokoh nomor satu di Desa Sampar itu.
"Hhh...! Apa boleh buat..."
Ketua Perguruan Kelabang Sakti pun bergerak bangkit
dari duduk bersilanya, lalu berjalan keluar ruangan bersama-sama Ki Dungkul
Taji. "Permana...," panggil Rupaksa setibanya di luar. Tampak laki-laki bertubuh kekar
itu ada di dekat situ.
"Ya, Guru...!" sahut Permana seraya bergera mendekat dan memberi hormat pada
gurunya. "Panggil Sempana dan Garba. Suruh mereka pergi ke pintu gerbang. Aku dan Ki
Dungkul Taji menunggu di sana,"
perintah Rupaksa dengan suara berwibawa.
"Baik, Guru...!"
Permana pun berlalu untuk memenuhi perintah gurunya
Sedangkan Rupaksa dan Ki Dungkul Taji terus melangkah
menuju pintu gerbang.
Tak lama kemudian dua tokoh Desa Sampar itu telah
hampir mencapai pintu gerbang. Beberapa murid Perguruan Kelabang Sakti segera
membuka daun pintu gerbang, setelah terlebih dahulu mengangkat palangnya.
"Garba dan Sempana akan kutugaskan untuk mencari
keterangan tentang pengacau itu, Dungkul. Mudah-mudahan saja, mereka bisa
menemukan dan sekaligus meringkusnya"
"Mudah-mudahan, Rupaksa," sambut Ki Dungkul Taji, penuh harap.
Baru saja Kepala Desa Sampar itu menghentikan
ucapannya, terdengar langkah-langkah kaki mendekati tempat mereka. Ki Dungkul
Taji dan Rupaksa pun menolehkan kepala.
Tampak Permana bersama dua orang yang berwajah dan
bersikap gagah melangkah menghampiri tempat mereka.
"Guru memanggil kami berdua?" tanya salah seorang di antara mereka yang bermata
sipit, setelah terlebih dahulu menjura memberi hormat.
"Benar, Sempana. Kau dan Garba kutugaskan ke desa bersama Ki Dungkul Taji. Ada
masalah di sana," kata Rupaksa sambil mengangguk.
"Kalau boleh tahu, apa masalahnya, Guru?" Garba yang bertubuh kekar berotot ikut
angkat bicara. Sesuai keadaan tubuhnya, Garba memiliki suara berat dan mantap.
"Akan sangat membuang waktu untuk menceritakannya, Garba. Padahal, Ki Dungkul
Taji harus segera kembali ke desa.
Nanti saja, beliau yang akan menceritakannya di perjalanan."
Ki Dungkul Taji mengangguk-anggukkan
kepala mendukung usul Rupaksa.
Sementara Garba dan Sempana pun diam tidak berkata-
kata lagi. "Aku pamit dulu, Rupaksa," kata Ki Dungkul Taji setelah agak lama tidak ada yang
membuka pembicaraan lagi.
Rupaksa mengangguk, menyambuti.
"Kami pergi dulu, Guru," pamit Sempana.
"Pergilah. Ingat, jangan bertindak gegabah," ujar Ketua Perguruan Kelabang Sakti
itu memberi nasihat.
"Akan kami perhatikan semua nasihat guru...," sambut Garba.
Ki Dungkul Taji, Sempana dan Gaiba pun melesat cepat
menuju ke Desa Sampar. Kepala Desa Sampar itu melesat lebih dahulu, baru disusul
Garba dan Sempana di belakangnya.
Entah karena hendak menguji kelihaian kedua murid
ketua Perguruan Kelabang Sakti, atau karena hendak terburu-buru tiba di sana, Ki
Dungkul Taji segera mengerahkan seluruh kemampuan lari yang dimilikinya. Memang,
dia memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Maka dalam waktu sebentar
saja, tubuhnya telah berada belasan tombak di depan.
Garba dan Sempana menggertakkan gigi, dan langsung
mengerahkan kemampuan larinya. Sesaat, kemudian, tubuh mereka melesat cepat ke
depan, mengejar tubuh Ki Dungkul Taji yang telah melesat lebih dahulu.
Sementara itu, Rupaksa dan beberapa orang murid
Perguruan Kelabang Saku yang masih berdiri di dekat pintu gerbang perguruan
memperhatikan hingga tiga sosok tubuh itu lenyap di kejauhan.
"Tutup pintu gerbang...!" perintah Rupaksa sambil membalikkan tubuh. Kemudian,
kakinya melangkahi menuju ke dalam.
Murid-murid Perguruan Kelabang Sakti yang bertugas
jaga segera menutupkan pintu gerbang kembali. Lalu, mereka kembali ke tempat
jaga. *** Hari masih pagi. Sang surya belum lama menampakkan
diri di ufuk Timur. Kicau burung-burung pun masih terdengar ketika serombongan
penduduk Desa Sampar yang dipimpin Ki Dungkul Taji, dan beberapa orang murid
Perguruan Kelabang Sakti yang dipimpin Garba dan Sempana, bergerak menuju
pemakaman. Mereka mengusung dua peti mati, yang berisikan mayat dua peronda


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam yang terbunuh semalam.
Tapi belum juga melangkah masuk ke areal pemakaman,
mereka sudah dikejutkan teriakan keras yang disusul berlari-larinya sesosok
tubuh kekar yang tengah dilanda ketakutan hebat.
"Hm...! Bukankah itu Suraba. Mengapa dia seperti
ketakutan begitu...," kata Ki Dungkul Taji dengan kening berkernyit.
"Ki...! Ki...!"
Orang bertubuh kekar yang bernama Suraba itu
berteriak-teriak seraya terus berlari cepat menghampiri rombongan penduduk.
Saking terburu-burunya, dia tersandung, Suraba hampir jatuh, untung saja Garba
keburu cepat menangkap. Tapi, Suraba langsung melepaskan pegangan Garba.
"Ki...! Ki Dungkul...!" Dengan napas terengah-engah yang menyebabkan ucapannya
terputus-putus.
Suraba menghampiri Kepala Desa Sampar itu.
"Tenanglah, Suraba," ujar Ki Dungkul Taji penuh wibawa. "Tarik napas dalam-
dalam, dan hembuskan. Kalau sudah tenang, ceritakanlah apa yang telah terjadi
sehingga sikapmu jadi aneh seperti ini."
Ucapan Ki Dungkul Taji menyadarkan Suraba akan
ketidakpantasan sikapnya itu. Pandangannya segera beredar berkeliling. Dan dia
pun menjadi semakin malu ketika melihat pandangan mata penuh tanda tanya para
penduduk desa. Buru-buru laki-laki bertubuh kekar itu menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Beberapa kali hal itu dilakukan,
sehingga dia menjadi tenang.
"Sekarang, ceritakanlah," ujar Ki Dungkul Taji ketika melihat Suraba telah
tenang. "Kuburan Nilam, Ki..."
"Kuburan Nilam"!" selak Boma, sebelum Suraba menyelesaikan ucapannya. Langsung
disibaknya kerumunan penduduk yang berada di depannya.
Semua kepala langsung menoleh ke arah Boma.
"Katakan cepat! Ada apa dengan kuburan adikku.
Katakan!" sentak Boma kalap, seraya memegang kedua bahu Suraba dan mengguncang-
guncangkannya. Karuan saja perbuatan Boma malah menyulitkan Suraba
untuk melanjutkan cerita. Untung saja Ki Dungkul Taji cepat bertindak. Ditepuk-
tepuknya bahu Boma untuk memberi
ketenangan. "Tenanglah, Boma...," pelan dan lembut ucapan Kepala Desa Sampar itu.
"Tapi, Ki...," Boma masih mencoba membantah.
Guncangan tangan pada tubuh Suraba memang telah
dihentikannya. Tapi, pegangannya tetap belum dilepaskan.
"Tindakanmu itu malah menyulitkan Suraba men-
ceritakannya, Boma." Masih tetap halus ucapan yang keluar dari mulut Ki Dungkul
Taji. Boma terperangah. Disadari ada kebenaran dalam
ucapan laki-laki berpakaian putih itu. Ditatapnya wajah Ki Dungkul Taji lekat-
lekat. Sementara yang ditatap hanya tersenyum lebar, kemudian menganggukkan
kepala. Bagai kerbau dicocok hidungnya, Boma melepaskan
pegangan tangannya pada kedua bahu Suraba. Kemudian dia melangkah mundur kembali
ke kerumunan penduduk lain.
"Maafkan aku, Suraba. Aku khawatir," ucap laki-laki berwajah hitam itu pelan
sebelum membaurkan diri dengan kerumunan penduduk lain.
"Lupakanlah, Kang. Aku bisa memakluminya...," jawab Suraba bijaksana.
"Sekarang lanjutkan ceritamu, Suraba," selak Ki I Jungkul Taji cepat. "Apa yang
terjadi terhadap kuburan Nilam?"
Meskipun yang bertanya hanya Ki Dungkul Taji, tapi
yang dilanda perasaan ingin tahu bukan hanya dia saja. Semua yang berada di situ
juga menanti jawaban Suraba dengan hati berdebar-debar. Tak terkecuali, Garba
dan Sempana. Namun di antara mereka semua, hanya Boma yang dilanda perasaan
paling tegang. Di samping, ada juga rasa khawatir yang melanda.
"Kuburan Nilam terbongkar, Ki... Dan...!"
"Hah..."!"
Hampir semua mulut ternganga mendengar berita yang
disampaikan Suraba. Memang, laki-laki bertubuh kekar itu mempunyai pekerjaan
sebagai penggali kubur.
"Oh, Tuhan...!" keluhan tertahan terdengar dari mulut Boma, wajahnya langsung
berubah pucat laksana mayat.
"Bagaimana keadaan mayat Nilam, Suraba?" tanya Ki Dungkul Taji beberapa saat
kemudian ketika keterkejutan yang melanda telah lenyap.
"Aku tidak tahu, Ki," jawab Suraba sambil meng gelengkan kepala. "Begitu kulihat
kuburannya terbongkar, aku segera pergi untuk memberitahukanmu.
"Bagaimana kalau kita melihatnya, Ki," usul Sempana sebelum Kepala Desa Sampar
itu menyambuti ucapan Suraba.
"Memang seharusnya begitu, Sempana," hanya itu yang diucapkan Ki Dungkul Taji.
"Ayo, Suraba. Antarkan kami ke kuburan Nilam."
Suraba mengangguk. Sebelum membalikkan tubuh untuk
memenuhi perintah Ki Dungkul Taji, pandangan matanya
tertumbuk pada dua buah peti mati yang digeletakkan di tanah.
"Siapa yang meninggal, Ki?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu.
"Dua orang peronda malam tewas dibunuh semalam,"
jawab Ki Dungkul Taji dengan suara hambar.
"Ah!" seru Suraba kaget. "Bagaimana itu bisa terjadi, Ki?"
"Akan kuceritakan sambil kita menuju kuburan Nilam,"
sahut Ki Dungkul Taji singkat.
Suraba tidak bisa mendesak lagi. Tubuhnya berbalik,
kemudian melangkah menuju kuburan Nilam.
Ki Dungkul Taji dan rombongannya segera melangkah
mengikuti. Kepala Desa Sampar itu berjalan di samping Suraba.
Sedangkan yang lain berjalan di belakang. Sambil mengayunkan langkah, Ki Dungkul
Taji menceritakan kejadian yang menimpa Desa Sampar.
"Jadi, pembunuh itu belum diketemukan, Ki?" tanya Suraba.
Memang, Ki Dungkul Taji menceritakan semua peristiwa
sampai kembalinya para penduduk yang mencari-cari pembunuh itu dengan hasil
hampa. "Mungkin pembunuh itu telah kabur jauh meninggalkan desa, Suraba," sahut Ki
Dungkul Taji sekadarnya. Memang, itu dimaksudkan untuk menghibur hati karena
kegagalan dalam menemukan pembunuh itu.
Suraba tidak menyambutinya. Ki Dungkul Taji pun tidak
melanjutkan ucapannya. Sehingga, suasana menjadi hening. Kini yang terdengar
hanyalah derap langkah kaki yang menapak tanah becek, karena bekas tersiram
hujan semalam. "Itu kuburan Nilam, Ki," tunjuk Suraba sera menuding ke sebuah makam yang telah
porak-poranda. Tidak tampak lagi adanya gundukan tanah seperti layaknya sebuah
makam. Ki Dungkul Taji dan rombongan menatap terbelalak ke
arah yang ditunjukkan Suraba. Mereka semua tidak melihat adanya makam. Yang
tampak hanyalah sebuah lubang
menganga dan gundukan tanah di sisi-sisi atas lubang.
"Biadab...!" jerit kemarahan terdengar dari mulut Boma.
Wajah laki-laki ini merah padam karena amarah yang
bergolak. Kedua tangannya pun tampak mengepal kencang. Tapi, kali ini Boma tidak
menyeruak ke kerumunan penduduk seperti sebelumnya.
Meskipun kemarahan hebat melanda, dan keinginan untuk melihat keadaan lubang makam adiknya sudah melonjak-lonjak, Boma
masih dapat menahan diri untuk tidak bertindak lancang mendahului Ki Dungkul
Taji. Ki Dungkul Taji membungkukkan tubuhnya. Ditatapnya
lubang yang di dasarnya tampak sebuah peti mati berwarna hitam. Baru kemudian
dia bangkit berdiri kembali.
"Angkat peti itu ke atas...!" perintah laki-laki berpakaian putih itu dengan
suara parau. Sebelum para penduduk melaksanakan perintah itu,
Garba telah lebih dahulu melangkah maju. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun,
peti mati itu dikeluarkan dari dalam lubang, dan diletakkannya di atas.
Semua pasang mata menatap peti mati yang berisikan
mayat Nilam. Dan sekali pandang saja, semua tahu kalau peti mati itu telah
dibuka orang. Tutup peti mati yang rusak menjadi saksi bisu.
Ki Dungkul Taji menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya
kuat-kuat. Kemudian tubuhnya membungkuk dan tangannya terulur untuk menyentuh tutup peti mati itu.
Jelas, dia berusaha menenangkan hatinya. Memang, Ki
Dungkul Taji agak terguncang melihat pemandangan yang
terpampang di hadapannya. Untuk apa orang membongkar
kuburan dan merusak peti mati itu"
Semua pasang mata menatap ke arah peti mati. Semua
jantung berdebar tegang, terutama sekali jantung Boma. Semua benak sama-sama
mengajukan pertanyaan. Masih adakah mayat Nilam di dalam peti mati itu"
"Nilam...!"
Kali ini Boma tidak bisa menahan diri lagi ketika melihat seraut wajah cantik
seorang wanita yang terbujur dalam peti mati itu. Melihat keadaannya, dan kalau
saja tidak berada di dalam peti mati itu, mungkin orang akan menyangka kalau
gadis cantik itu tengah tertidur!
Seiring teriakannya, Boma menyeruak kerumunan
penduduk di depannya. Langsung tubuhnya terbungkuk. Kalau saja Ki Dungkul Taji
tidak segera mencegahnya, mungkin laki-laki berwajah hitam itu telah memeluki
mayat yang baru kemarin dikubur.
"Nilam...!"
Boma menjerit-jerit keras. Sekuat tenaga tangan dan
kakinya digerakkan untuk melepaskan diri dari cekalan Ki Dungkul Taji. Tapi,
usahanya sia-sia. Cekalan Kepala Desa Sampar itu terlalu kuat baginya.
"Boma, sadarlah...! Nilam tidak apa-apa...," buju Ki Dungkul Taji menenangkan
hati laki-laki berwajah hitam itu.
Tapi bujukan Ki Dungkul Taji kali ini sia-sia. Rupanya, guncangan yang melanda
hati Boma terlalu besar. Dia tetap saja meronta-ronta. Mulutnya pun terus
menjerit-jerit, memanggil nama adiknya.
"Nilam...! Nilaaam...!"
Ki Dungkul Taji tahu kalau Boma tidak akan mungkin
bisa ditenangkan lagi. Hatinya begitu tergoncang melihat kenyataan di
hadapannya. Sehingga pikiran sehatnya menguap entah ke mana. Hanya ada satu cara
yang dapat dilakukan untuk menemani Boma yang sedang kalap itu.
Tapi sebelum Ki Dungkul Taji berbuat sesuai Garba telah lebih dahulu bergerak
mendekat. Dan sekali tangan laki-laki bertubuh kekar berotot itu bergerak
menekan tengkuk, tubuh Boma pun terkulai lemas. Pingsan.
"Terima kasih, Garba," ucap Ki Dungkul Taji seraya meletakkan tubuh Boma yang
pingsan di bawah sebatang pohon.
Garba hanya tersenyum menanggapi ucapan terima
kasih Kepala Desa Sampar itu.
"Hhh...!"
Ki Dungkul Taji menghela napas berat. Perhatiannya
dialihkan kembali pada sosok tubuh cantik yang tergolek di peti mati.
"Pembongkar kuburan itu ternyata hanya mengambil
kain kafan Nilam," keluh laki-laki berpakaian putih itu pelan.
Kemudian, ditutupnya kembali peti mati itu. Dahinya berkernyit.
Jelas, ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Bisa kau perkirakan, apa maksudnya manusia jahanam itu mencuri kain kafan
Nilam, Ki?" tanya Sempana seraya menatap wajah Ki Dungkul Taji lekat-lekat.
Kini semua pasang mata tertuju ke arah Kepala Desa
Sampar. Seperti juga Sempana, mereka semua ingin tahu
maksud orang mencuri kain kafan Nilam. Keheningan pun
menyelimuti tempat itu, karena semua orang ingin mendengar jawaban Ki Dungkul
Taji. 3 Ki Dungkul Taji tidak langsung menjawab pertanyaan
Garba. Sepasang matanya beredar untuk menatap wajah-wajah di sekelilingnya.
"Rasanya bisa kuperkirakan maksud pencuri kain kafan itu, Garba...," jawab
Kepala Desa Sampar itu seraya menatap wajah murid utama Perguruan Kelal bang
Sakti tajam-tajam.
"Apa itu, Ki?" desak Garba yang memang tidak tahu.
"Hhh...!" Ki Dungkul Taji menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
"Untuk mengatakan secara pasti, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, kain kafan itu
pasti digunakan untuk menuntut sebuah ilmu hitam."
"Kira-kira ilmu apa itu, Ki?" selak Wirja yang juga ingin tahu.
"Kau tidak mendengar ucapanku tadi, Wiria?" Ki Dungkul Taji malah balas
bertanya. "Bukankah sudah kukatakan, aku tidak tahu ilmu yang dituntut pencuri
kain kafan itu. Kau tahu, Wirja. Terlalu banyak macam ilmu di dunia ini. Juga,
ada berbagai macam cara pula untuk memperolehnya."
Garba dan Sempana mengangguk-anggukkan kepala,
membenarkan ucapan Kelapa Desa Sampar. Mereka berdua tahu kalau ucapan Ki
Dungkul Taji mengandung kebenaran.
"Mengenai ilmu yang dituntut pencuri kain kafan Nilam, sama sekali tidak
kupikirkan. Dan memang sulit menduganya,"
lanjut Ki Dungkul Taji.
"Lalu... apa yang kau pikirkan sekarang, Ki?" tanya Garba cepat.
Memang, dia menangkap adanya hal lain yang tengah
dipikirkan Ki Dungkul Taji. Dan itu bisa diketahuinya dari ucapan yang
dikeluarkan laki-laki berpakaian putih itu.
"Kau cerdas juga, Garba," puji Ki Dungkul Taji. "Kau bisa mengetahui kalau aku
tengah memikirkan sesuatu. Kau tahu, aku tengah memikirkan hubungan kejadian
yang menimpa desa kita ini."
"Aku belum mengerti maksudmu, Ki?" Merah wajah Garba ketika mengungkapkan
ketidakmengertiannya. Baru saja Ki Dungkul Taji memujinya, tapi kini dia
menyatakan tidak mengerti maksud pembicaraan itu.
"Aku tengah memikirkan... apakah kejadian di desa kita ini mempunyai hubungan
satu sama lain," jelas Ki Dungkul Taji.
"Ah...!" seruan kaget terdengar dari mulut Sempana.
Karuan saja hal itu bukan hanya membuat Kl Dungkul
Taji dan Garba terkejut. Tapi juga seluruh orang yang berada di situ. Kini semua
pasang mata tertuju pada Sempana. Sorot mata mereka mengandung keingintahuan
yang mendalam. "Dugaanmu mungkin benar, Ki! Bukankah kejadian
terbunuhnya dua orang penjaga malam dan lenyapnya kain kafan Nilam terjadi pada
malam yang sama?" sambut Sempana berapi-api.
"Jadi, maksudmu.... Kedua kejadian itu dilakukan oleh orang yang sama, Sempana?"
tanya Ki Dungkul Taji ingin memastikan.
"Benar, Ki!" sahut Sempana.
"Hhh...!" Ki Dungkul Taji menghela napas berat. "Atas dasar apa kau menduga
demikian, Sempana. Apakah hanya
karena kejadian itu berlangsung pada waktu yang bersamaan?"
"Kira-kira begitu, Ki," lanjut Sempana.
"Hhh...! Dugaanmu membuat dugaan sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi, Sempana."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki?" tanya Sempana kembali mengernyitkan alisnya.
Ki Dungkul Taji menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Dugaan selama ini, pelaku pembunuhan dua orang
peronda malam itu adalah bukan orang desa kita, Sempana. Dia pasti berasal dari
luar desa. Pembunuhan itu dilakukan dengan terpaksa, karena dia dipergoki hendak


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbuat kejahatan oleh para peronda malam."
Kepala Desa Sampar itu menghentikan ucapannya
sejenak untuk menarik napas, seraya menatap wajah laki-laki bermata sipit itu
penuh selidik. "Tapi dengan adanya dugaanmu itu, dugaan sebelumnya itu akan lenyap. Dugaanmu,
mengisyaratkan kalau pembunuh itu berasal dari desa kita sendiri. Sebuah dugaan
yang sama sekali tidak terlintas di benakku sebelumnya," lanjut Ki Dungkul Taji.
"Mengapa begitu, Ki?" tanya Permana tak tahan memendam rasa ingin tahu.
"Begini, Permana," Ki Dungkul Taji mengernyitkan kening sejenak untuk memikirkan
kata-kata yang tepat dalam mengawali ceritanya. "Kita misalkan saja dugaan
Sempana benar, bahwa pelaku pencurian kain kafan Nilam dan pembunuh terhadap dua
orang penjaga malam itu dilakukan oleh orang yang sama."
Ki Dungkul Taji menghentikan ucapannya sejenak.
Ditatapnya wajah Permana dan wajah-wajah di sekelilingnya untuk melihat
tanggapan mereka.
"Sekarang aku tanya. Perbuatan mana yang dilakukan lebih dahulu oleh orang itu"
Dan menurutku, kalau si pelaku lebih dahulu membunuh, baru kemudian mencuri kain
kafan, itu tandanya dia berasal dari Desa Sampar. Tapi kalau mencuri kain kafan
dulu lalu membunuh, untuk apa capai-capai pergi ke Desa Sampar" Hanya untuk
membunuh dua orang penjaga malam"
Jadi kesimpulanku, kejadian itu dilakukan oleh satu orang, Dan sudah pasti,
pembunuhan itu dilakukan penduduk Desa
Sampar," jelas Ki Dungkul Taji.
"Kalau begitu, dugaanku keliru, Ki," desah Sempana pelan.
Ki Dungkul Taji menggelengkan kepala.
"Benar atau tidaknya belum bisa kita ketahui sekarang.
Tapi yang jelas, dugaanmu telah memberikan satu dugaan baru yang selama ini
tidak pernah hinggap di benakku. Terima kasih, Sempana."
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu hanya tersenyum
kecil. "Sekarang, kita harus waspada penuh. Ingat! Sekarang ada kemungkinan pelaku
semua kejadian ini adalah orang desa kita sendiri. Memang, rasanya tidak mungkin
ada dua kejadian yang terjadi dalam satu malam, dan pelakunya berlainan.
Kecuali... kalau mereka itu lebih dari satu orang."
Semua kepala terangguk-angguk.
"Mulai malam nanti, penjagaan harus ditingkatkan. Tapi, ingat. Jangan ada yang
berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Jumlah kalian paling sedikit tujuh
orang dalam tiap kelompok! Mengerti"!"
"Mengerti, Ki....!" sahut rombongan penduduk Desa Sampar serempak.
Setelah yakin semua penduduk telah mengerti, Ki
Dungkul Taji segera memerintahkan agar mayat-mayat segera dikubur. Begitu pula
mayat Nilam. Tapi, tentu saja setelah dibalut dengan kain kafan lagi.
Menjelang matahari berada di atas kepala, iring-iringan penduduk Desa Sampar pun
bergerak meninggalkan areal
pemakaman itu. Kini yang tinggal hanya Suraba seorang diri karena
memang tinggal di sekitar situ.
*** Kepakan kelelawar memecahkan keheningan malam
yang sepi. Kerik jangkrik dan serangga malam lainnya pun terdengar menyemaraki.
Dan di saat itulah sesosok tubuh kekar berpakaian hitam bergerak cepat keluar
dari salah satu bangunan yang terkurung pagar kayu bulat tinggi.
Begitu telah berada dekat pagar di bagian belakang,
kakinya bergerak menotol. Sesaat kemudian, tubuhnya telah melayang ke atas,
melewati pagar kayu bulat yang tinggi itu.
Dan... "Huppp...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya mendarat di tanah
luar pagar. Sebentar laki-laki berpakaian hitam itu berdiri diam di situ.
Pandangannya langsung beredar mengawasi sekeliling.
Baru ketika diyakini kalau suasana di sekeliling sepi, dia bergerak cepat menuju
ke mulut desa. Bangunan besar yang terkurung pagar kayu bulat tinggi
itu letaknya memang jauh dari pemukiman penduduk. Apalagi, dari mulut desa. Tak
aneh kalau laki-laki berpakaian hitam harus mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya agar bisa segera tiba di tempat yang dituju.
Tak lama kemudian, rumah-rumah penduduk pun mulai
terlihat. Di sini, laki-laki berpakaian hitam itu baru bersikap hati-hati.
Dia kini tidak melesat sembarangan seperti sebelumnya. Beberapa kali laki-laki berpakaian hitam itu bergerak
menyelinap ke balik semak-semak atau batang pohon. Dan juga terkadang
menyelinap rumah-rumah penduduk ketika berpapasan dengan serombongan penduduk yang tengah
meronda. Berkat sikap hati-hatinya, laki-laki berpakaian hitam itu tidak pernah
berpapasan dengan rombongan penduduk yang memang telah memperketat penjagaan.
Rupanya, dia tidak ingin kejadian di malam kemarin terulang kembali.
Memang dengan sikap seperti itu, perjalanan yang
ditempuhnya jadi agak lama. Tapi yang jelas, dia hasil keluar dari mulut desa
dengan aman. Setelah melalui batas tembok desa, laki-laki berpakaian hitam itu kembali,
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, tubuhnya telah mengecil di kejauhan.
Ternyata, laki-laki berpakaian hitam itu menuju tempat yang didatangi
sebelumnya. Memang, kini dia telah berada di dekat pemakaman. Gerakannya
demikian cepat saat menuju ke arah sana. Yang dituju langsung ke arah makam
Nilam. "Hm...!"
Ada suara gumam perlahan keluar dari mulut laki-laki
berpakaian hitam itu ketika melihat keadaan makam yang telah kembali rapi
seperti sebelumnya. Lalu, perlahan tubuhnya dibungkukkan. Kemudian diambilnya
sebatang ranting yang berada di situ. Dan dengan ranting kecil di tangan,
kuburan Nilam mulai digalinya.
Walau laki-laki berpakaian hitam itu menggali hanya
mempergunakan sebatang ranting, tapi hebatnya tanah yang terbongkar seolah-olah
digali dengan cangkul. Bahkan hanya sekejapan saja, gundukan tanah makam Nilam
sudah lenyap. Dan tak akan lama lagi, peti matinya pun tampak kembali.
Mendadak laki-laki berpakaian hitam itu menghentikan
gerakan ketika pendengarannya yang tajam, menangkap adanya langkah kaki
mendekati tempatnya. Hanya dengan bergerak ringan, tubuhnya telah agak jauh dari
kuburan Nilam. Dia kini bersembunyi di balik batang pohon besar. Dari situ,
diamatinya arah asal suara langkah kaki tadi.
Tak lama kemudian, muncul sesosok tubuh kekar lengan
obor tergenggam di tangan.
"Ah!"
Terdengar suara keterkejutan dari mulut laki-laki
bertubuh kekar yang tak lain Suraba, ketika pandangan
matanya tertumbuk pada makam Nilam.
"Iblis dari mana yang melakukan hal keji seperti ini lagi...?" desis Suraba
dengan suara bergetar.
Diangkatnya obor tinggi-tinggi, kemudian dilayangkan
pandangannya ke sekeliling untuk mencari-cari orang yang telah melakukan
kekejian seperti itu.
Wajah Suraba kontan pucat ketika melihat sesosok tubuh kekar berpakaian hitam
menyeringai seraya melangkah
mendekatinya. "Kkk... kau... kau...! Jadi.... Kau yang melakukannya?"
tanya Suraba terputus-putus.
Tanpa sadar dia melangkah mundur ke belakang, ketika
menyadari ada sorot maut memancar di wajah laki-laki
berpakaian hitam itu.
"Ya!" sahut laki-laki berpakaian hitam penuh ejekan.
"Kalian tidak menyangka bukan?"
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu terus melangkah
mendekat. Karuan saja Suraba yang merasa gentar, terus melangkah mundur.
"Akulah yang membunuh dua orang penjaga malam itu,"
lanjut laki-laki berpakaian hitam itu pula. "Dan aku juga yang telah mengambil
kain kafan Nilam! Dan kini, aku datang untuk mencicipi tubuhnya. Namun, aku
butuh dua orang mayat gadis yang masih suci untuk menyempurnakan ilmuku. Dan
setelah itu, aku tidak akan memiliki tandingan lagi. Ha ha ha...!"
"Ap... apa yang akan kau lakukan pada diriku..."! tanya Suraba dengan suara
bergetar seraya terus me langkah mundur.
"Membunuhmu...," ringan saja jawaban laki laki berpakaian hitam itu. "Dan ini
bukan kesalahanku, Suraba. Kau sendiri yang mencari penyakit. Dan aku tidak
ingin mati konyol dengan membiarkan kau hidup, sehingga dapat memberitahukan
pada orang lain perihal diriku."
"Ng.... Lalu... kain kafan Nilam yang kau curi untuk apa..?"
Suraba mencoba mengulur waktu. Barangkali saja ada
orang yang akan datang ke tempat ini. Meskipun, sepertinya hal itu tidak
mungkin. "Hmh...!" Laki-laki berpakaian hitam mendengus. "Aku tahu, kau bermaksud
mengulur-ulur waktu, Suraba. Tapi, biarlah. Hitung-hitung sebagai balas budi
padamu. Pertanyaan ini akan kujawab."
Laki-laki berpakaian hitam itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk
meyakinkan hati kalau di sekitar tempat
itu tidak ada orang yang akan menguping pembicaraannya.
"Aku tengah mempelajari ilmu 'Halimun', Suraba. Dan kain kafan itu adalah syarat
pertamanya. Kain kafan dari seorang yang meninggal di malam jumat kliwon."
"Hanya dengan kain kafan orang yang meninggal di
malam itu, bisa kau dapatkan ilmu 'Halimun'?" tanya Suraba untuk terus mengulur
waktu. "Tentu saja tidak, Suraba," sergah laki-laki berpakaian hitam. "Di samping kain
kafan, masih ada lagi yang lainnya.
Kembang tujuh rupa, kemenyan, air dari tujuh tempat, dan tiga gadis suci yang
harus kutiduri dalam keadaan telah menjadi mayat."
"Ng... lalu..."
"Cukup, Suraba!" potong laki-laki berpakaian hitam cepat. "Waktu yang kuberikan
untukmu sudah habis! Kini, sudah saatnya bagimu untuk mati!"
Suraba terperangah. Kalau saja suasana malam tidak
remang-remang, akan tampak jelas wajah Suraba yang pucat seperti sesosok mayat!
Laki-laki berpakaian hitam memasuki tangan kanannya
ke balik pakaian. Dan ketika tangan itu dikeluarkan, tampak sinar berkilat-
kilat. Di tangan laki-laki berpakaian hitam itu kini tergenggam sebilah pisau!
Hal ini membuat Suraba kalap bukan kepalang.
"Ah! Ja... jangan...! Tolooong...!"
Tanpa pikir panjang lagi, Suraba segera mambalikkan
tubuh dan berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu.
Dari mulutnya, keluar jeritan-jeritan ketakutan dan teriakan minta pertolongan.
Tapi, siapa yang akan mendengarnya" Desa Sampar sangat jauh letaknya dari tempat
itu. "Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam hanya mendengus. Dibiarkan
saja Suraba berteriak-teriak minta tolong berlari-lari. Baru ketika jarak Suraba
sudah sekitar delapan tombak di depan, tangannya yang menggenggam pisau
dikibaskan. Singgg...! Cappp...!
"Akh...!"
Jeritan kematian keluar dari mulut Suraba ketika pisau yang dilepaskan laki-laki
berpakaian hitam menghunjam
punggungnya hingga tembus ke dada. Seketika itu pula, tubuh Suraba tersungkur.
Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya diam tidak
bergerak lagi. Mati!
"Kau sendiri yang mencari penyakit. Jangan salahkan aku, Suraba!"
Tanpa mempedulikan mayat Suraba lagi, laki-laki
berpakaian hitam itu kembali menghampiri makam Nilam.
Kemudian, dia kembali sibuk menggali tanah makam yang
menutupi peti. Laki-laki berpakaian hitam itu mengerahkan seluruh
kemampuan untuk menggali tanah. Maka, meskipun yang
digunakan hanya sebatang ranting kecil, waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya malah lebih cepat daripada
menggali kubur yang menggunakan cangkul!
Tak lama kemudian, peti mati Nilam telah berada di atas lubang kembali. Laki-
laki berpakaian hitam itu bergegas mengeluarkan mayat Nilam dari dalamnya. Lalu
peti mati itu dibiarkan berada tetap di situ.
"Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia persilatan akan berada di tanganku. Dan aku
akan bebas berbuat apa saja sekehendak hatiku! Ha ha ha...!"
Setelah puas berkata demikian, laki-laki berpakaian
hitam itu segera melesat dari situ dengan memondong mayat Nilam.
Hanya dalam beberapa langkah saja, tubuhnya telah
lenyap ditelan kegelapan malam dan kerimbunan pepohonan.
4 Baru saja tubuh laki-laki berpakaian hitam itu lenyap
dari daerah pemakaman, berkelebat cepat dua sosok bayangan.
"Kau yakin suara minta tolong itu asalnya dari sini Kang Arya"!" tanya salah
satu dari sosok bayangan itu.
Dia adalah seorang gadis berpakaian putih, rambutnya
panjang tergerai, hingga ke punggung. Wajahnya cantik jelita.
Penampilannya semakin tampak cantik, karena dandanan
rambut dan pakaian yang kenakannya.
"Aku yakin betul, Melati," sahut sosok bayangan satu lagi.
Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan. Pakaiannya ketat berwana ungu. Rambutnya berwarna putih keperakan. Matanya yang
bersinar tajam makin menambah
kejantanan dan kematangan sikapnya. Pemuda yang dipanggil Arya itu segera
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan memang, jika melihat dari ciri-
cirinya, jelas dia adalah Dewa Arak.
Melihat tindakan yang dilakukan Arya, mau tidak mau
Melati mengedarkan pandangan pula.
Memang, mereka telah mendengar jerit ketakutan dan
meminta pertolongan ketika lewat di depan area pemakaman tadi. Maka, tanpa ragu-
ragu lagi mereka segera bergerak cepat memasuki wilayah pemakaman.


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kang..!" panggil Melati. "Lihat ini..!"
Sekali melangkah, Arya yang tadi berada agak jauh dari putri angkat Raja Bojong
Gading itu, kini telah berada di sebelah Melati. Pandangannya langsung
dilayangkan ke arah yang ditunjuk.
"Biadab!" desis Arya menahan geram. "Siapa yang yang telah melakukan perbuatan
terkutuk seperti ini"!"
Di hadapan Arya dan Melati, tergolek sebuah peti mati
dalam keadaan terbuka. Gundukan tanah yang berceceran di sekitar lubang yang
menganga lebar, sudah memberi petunjuk pada Dewa Arak dan Melati tentang
kejadian sebenarnya.
"Kang...! Benarkah yang kulihat ini" Mungkinkah ada orang yang telah mencuri
mayat" Dan bila benar, untuk apa?"
tanya Melati, memberondong.
Memang gadis berpakaian putih itu merasa bergidik
melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.
"Hhh...!"
Dewa Arak mendesah pelan, sebelum akhirnya menganggukkan kepala membenarkan. Kemudian ditariknya
napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat.
Jodoh Rajawali 25 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pedang Hati Suci 9
^