Pencarian

Ilmu Halimun 2

Dewa Arak 29 Ilmu Halimun Bagian 2


"Rasanya semua yang kau lihat ini tidak salah, Melati.
Tampaknya ada orang yang telah mencuri mayat. Dan sepanjang yang pernah kualami,
hal ini pasti berkaitan dengan adanya sebuah ilmu yang tengah tuntut seseorang."
Benak Dewa Arak,
kemudian menerawang pada
pengalaman mengerikan yang pernah dialami waktu menghadapi pasangan tokoh sesat yang memiliki ilmu hitam luar biasa. Dan tokoh-
tokoh itu juga menggunakan mayat manusia untuk mendapatkan ilmu yang ditekuni.
Kalau saja tidak ada gurunya dan pertolongan Malini, putri sepasang tokoh sesat
itu, munkin Dewa Arak sudah tewas (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa
Arak dalam episode "Penganut Ilmu Hitam").
"Ilmu apa yang dituntut, kok sampai tega-teganya
menggunakan mayat, Kang?" tanya Melati lagi, penasaran.
"Sulit menduganya, Melati. Di dunia ini sudah terlampau banyak ilmu. Tapi yang
jelas, ilmu yang dituntut dengan menggunakan jalan seperti itu adalah ilmu
hitam!" tandas Dewa Arak sambil menggelengkan kepala.
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti. "Mari kita cari orang yang telah menjerit-jerit meminta pertolongan itu.
Melati," ajak Arya mengingatkan.
"O, ya. Aku sampai lupa, Kang..!" sahut Melati mulai teringat pada maksud
semula. Kini sepasang pendekar muda itu kembali melangkah
sambil mengedarkan pandangan berkeliling untuk mencari-cari orang yang telah
menjerit-jerit meminta tolong.
"Itu dia, Melati...!" tunjuk Arya. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke arah
mayat yang tak lain adalah Suraba yang tergolek di tanah berjarak tiga tombak
dari mereka. Melati mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk
Arya. Sedangkan pemuda berambut putih kearakan itu sudah melangkah menghampiri
mayat Suraba yang tertelungkup
dengan pisau menghunjam dalam di punggungnya.
Perlahan Arya dan Melati membungkukkan tubuh, dan
memperhatikan mayat Suraba beberapa saat.
"Hhh...!"
Sambil mendesah, Dewa Arak mengulurkan tangan
menyentuh punggung mayat Suraba, kemudian membalikkannya.
"Bagaimana, Kang?" tanya Melati.
"Dia sudah tewas...," jawab Arya bernada keluh.
"Hhh...!"
Melati ikut menghela napas berat.
"Mengapa orang ini berada di sini" Bahkan dalam
suasana malam selarut ini, Kang?"
"Mungkin dia orang yang bertugas menjaga kuburan ini, Melati," sahut Arya.
"Kang...."
Melati menghentikan ucapannya saat melihat Dewa Arak
menempelkan jari telunjuknya di depan mulut, pertanda jangan berisik.
"Aku mendengar adanya langkah-langkah kaki yang
bergerak cepat ke sini, Melati," jelas Arya pelar lebih mirip bisikan.
Melati menelengkan kepalanya, mencoba menangkap
suara-suara yang didengar kekasihnya. Tapi rupanya jarak pemilik langkah itu
masih terlalu jauh dari tempat mereka.
Buktinya, putri angkat Raja Bo jong Gading itu tidak menangkap adanya suara
seperti yang dimaksud Dewa Arak.
"Aku tidak mendengar apa-apa, Kang?" sahut Melati sambil menggelengkan kepala.
"Jaraknya masih cukup jauh, Melati," kata Arya dengan bibir menyunggingkan
senyum. "Sebentar lagi, kau pun akan mendengarnya andaikata mereka menuju
kemari" "Mereka?"
Melati mengernyitkan dahi.
"Ya," sambut Arya. "Jumlahnya tidak seorang saja, Melati. Tapi beberapa orang.
Bahkan kalau aku tidak salah tangkap, jumlahnya tak kurang dari sepuluh orang."
Melati pun terdiam, berusaha mendengarkan langkah-
langkah yang didengar Arya.
Ucapan pemuda berpakaian ungu itu ternyata bukan
bualan belaka. Tak lama kemudian. Melati mulai mendengar suara-suara yang
dikatakan kekasihnya. Semula hanya samar-samar saja, tapi lama-kelamaan semakin
jelas. Ini berarti para pemilik langkah itu tengah menuju kemari.
"Mungkin mereka ini adalah orang yang telah mencuri mayat, Kang?" tanya Melati
mengajukan dugaan.
Arya menggelengkan kepala.
"Aku yakin bukan, Melati. Pencuri itu tidak mungkin bertindak sedemikian bodoh
dengan kembali kemari setelah mendapatkan yang dicari. Lagi pula, jumlah orang
yang datang ke sini terlalu banyak. Aku yakin, pencuri mayat itu tidak akan
membawa kawan sebanyak ini untuk melaksanakan maksudnya."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti. "Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya gadis berpakaian putih itu.
"Tidak ada yang perlu kita lakukan, Melati. Tunggu saja di sini. Lalu, kita
lihat perkembangan selanjutnya."
Semakin lama, suara-suara yang terdengar semakin jelas di telinga Arya dan
Melati. Dan akhirnya, tampak oleh sepasang pendekar muda itu serombongan obor
yang bergerak ke arah mereka. Memang di tangan masing-masing orang yang datang
itu tergenggam sebatang obor. Sehingga suasana di sekitar tempat itu menjadi
terang-benderang.
Arya menghitung jumlah mereka dengan pandangan
matanya. Tepat seperti dugaannya, jumlah mereka tak kurang dari dua belas orang.
Alis Dewa Arak berkerut ketika melihat sebagian besar rombongan mengenakan
pakaian serba hitam.
Pada dada kiri, tampak bergambar seekor kelabang berwarna merah.
Sekali lihat saja, Arya tahu kalau orang-orang
berpakaian hitam itu berasal dari sebuah perguruan. Dan menilik dari gambar yang
tertera, rasanya mereka dari
Perguruan Kelabang Sakti. Perguruan besar yang ditakuti lawan dan disegani
kawan! Tokoh persilatan mana yang tidak pernah mendengar kedigdaya Rupaksa, sang
Ketua perguruan itu"
Di mulut Dewa Arak sudah tersungging sebuah
senyuman, bersiap-siap untuk menegur. Tapi niatnya langsung diurungkan ketika
melihat gelagat tak baik dari laki-laki bermata sipit. Rupanya, dia beranda
sebagai pemimpin
rombongan. Dia tak lain adalah Sempana!
"Kali ini kau tidak bisa lolos dari sini, Manusia Jahanam!" seru Sempana keras.
Sepasang mata Sempana menatap berganti-gantian ke
arah Arya dan Melati. Hanya saja, sewaktu beralih ke Melati pandangan matanya
agak berlama-lama. Memang, hampir tidak ada seorang laki-laki pun yang hanya
sekilas memandang Melati.
Setiap kali sehabis memandang, selalu ingin memandang lagi.
"Sabar dulu, Kisanak! Kau salah terka," sergah Arya mencoba menjelaskan
permasalahan sebenarnya.
Tapi Sempana dan rombongan tak mempeduli alasan
Dewa Arak. Mereka langsung menyebar, mengurung Arya dan Melati. Sikap mereka
semua terlihat penuh ancaman.
Sempana yang tepat berada di hadapan Arya dan Melati
melangkah menghampiri. Sebuah senyuman mengejek tersungging di bibirnya.
"Aku tahu, kata-kata apa yang akan kau lontarkan, Manusia Keji! Apalagi kalau
bukan alasan kuno yang sudah biasa kami dengar. Kau pasti akan mengelak dari
tuduhan sebagai pembunuh Suraba dan membongkar kuburan Nilam,
bukan" Kalian kira kami semua bodoh, heh"! Mana ada maling mengaku, sekalipun
hasil curian ada di tangannya!"
Dewa Arak menghela napas bera.t Sementara, Melati
hanya diam saja mendengarkan. Dia tidak berusaha turut campur, karena tahu kalau
Dewa Arak selalu menemukan jalan keluar yang terbaik dalam setiap permasalahan.
"Kami berkata sebenarnya, Kisanak."
"Baik! Baik! Tapi sekarang, tolong jelaskan padaku.
Mengapa kalian berada di sini, di tengah pekuburan pada malam-malam begini"!
Apakah hendak menengok keluarga
kalian yang telah meninggal"!"
Ada nada ejekan dalam ucapan Sempana. Bahkan
mulutnya pun menyunggingkan senyuman sinis pada Dewa
Arak. Tapi, Dewa Arak sama sekali tidak meladeni sikap dan
ucapan Sempana. Wajah dan sikapnya masih tetap tenang.
Tampak jelas kematangan jiwanya.
Berbeda dengan Arya yang sama sekali tidak terpengaruh ejekan Sempana, Melati tidak mampu menahan kemarahannya.
"Kang! Buat apa merengek-rengek seperti itu. Dia akan menjadi besar kepala
nanti. Dikiranya kau takut padanya. Huh!
Lagaknya...!"
"Melati...," panggil Arya bernada teguran.
Tapi amarah Melati yang telah bangkit melihat
kekasihnya dihina, tak mungkin bisa dicegah lagi. Hanya saja, tangan atau
kakinya tidak bekerja, karena masih tidak mau melancangi Dewa Arak. Tapi,
mulutnya tidak tinggal diam.
"Hei, Monyet Kurus! Jangan pentang bacot di sini!
Jangankan hanya kalian! Biar ditambah sepuluh kali lipat lagi pun kalau kawanku
sudah menjatuhkan tangan kejam, kalian sudah tidak punya nyawa lagi!"
Hebat bukan main akibat makian Melati. Seketika itu
pula wajah Sempana berubah-ubah. Sebentar pucat, sebentar memerah. Kemarahan
yang hebat memang melanda laki-laki bermata sipit itu.
"Hhh...!"
Dewa Arak hanya bisa menghela napas berat. Disadarinya kalau pertarungan tidak akan bisa dielakkan lagi.
Tapi, dia tidak bisa menyalahkan Melati. Juga, tidak bisa menyalahkan Sempana.
Wajar saja kalau Sempana bersikap seperti itu. Namun demikian, tidak juga heran
kalau Melati merasa marah melihat kekasihnya direndahkan dan dihina orang!
Dugaan Dewa Arak memang tidak salah. Bagaikan api
yang tengah menyala-nyala disiram minyak tanah, kemarahan Sempana semakin
bergolak, setelah mendengar makian Melati.
"Walaupun kepandaianku memang tidak bisa di samakan dengan iblis-iblis semacam
kalian, tapi bukan berarti aku akan mundur dan membiarkan kalian menyebar
kerusuhan. Biar pun harus mati di tangan kalian, aku rela!"
Setelah berkata demikian, dengan nada yang semakin
lama semakin meninggi, Sempana melangkah menghampiri
Dewa Arak. "Haaat..!"
Begitu jarak antara mereka telah berada sekitar tiga
tombak, Sempana melompat ke atas. Dan begitu telah berada di udara, tubuhnya
berputar sambil mengibaskan kaki kanannya ke arah pelipis Arya.
Wuttt...! Deru angin keras mengawali tibanya kibasan kaki
Sempana. Menilik dari sini saja, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam serangannya. Jangankan kepala manusia, pohon yang berhalang
besar pun akan tumbang bila terkena kibasan kakinya.
Dewa Arak pun tahu kedahsyatan tendangan itu. Tapi,
tentu saja bukan hal yang sulit untuk mengelakkan, sekaligus melumpuhkannya.
Maka tubuhnya langsung membungkuk,
hingga kibasan itu lewat di atas kepala. Akibatnya, rambut dan sekujur
pakaiannya berkibar keras.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Dewa
Arak. Begitu kibasan kaki lawan lewat, tangan kanannya diulurkan. Dan....
Tappp...! Pergelangan kaki Sempana telah ditangkapnya.
Maka karuan saja hal itu membuat murid utama
Perguruan Kelabang Sakti itu kaget bukan kepalan! Apalagi ketika belum sempat
berbuat sesuatu. Dewa Arak telah
memutar-mutarkan tangannya.
Tak pelak lagi, tubuh Sempana pun terputar-putar. Dan
Dewa Arak terus memutar-mutar tubuh Sempana!
Kejadian yang menimpa Sempana membuat adik-adik
seperguruannya, dan juga penduduk Desa Sampar yang ikut rombongan itu jadi
terkejut bukan kepalang. Maka tanpa ragu-ragu lagi, tangan mereka semua bergerak
ke arah punggung.
Sebagian di antaranya menggerakkan tangan ke arah pinggang.
Sesaat kemudian...
Srattt...! Srattt..!
Sinar-sinar terang berkeredep ketika mereka semua
mencabut senjata masing-masing. Dan dengan senjata di tangan, semuanya bergerak
cepat menyerbu Dewa Arak.
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
"Hiyaaat...!"
Suara-suara teriakan keras terdengar saling mengiringi tubuh-tubuh yang meluruk
cepat ke arah Dewa Arak dengan senjata di tangan.
Tapi, Dewa Arak bersikap tenang, Dewa Arak. Seolah-
olah tidak mengetahui adanya hujan berbagai senjata yang mengancam ke arah
berbagai bagian tubuhnya. Dia tetap saja memutar-mutar tubuh Sempana. Pemuda
berambut putih keperakan itu memang sengaja hendak memberi pelajaran pada Sempana yang memiliki
sikap begitu sombong dan jumawa.
Semakin lama putaran tangan Dewa Arak semakin cepat.


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan dengan sendirinya, putaran tubuh Sempana pun semakin cepat pula. Rasa pusing
dan mual yang amat sangat kontan mendera murid utama Perguruan Kelabang Sakti
itu. Kalau saja Dewa Arak terus memutar-mutarkan tubuhnya, laki-laki berata
sipit itu pasti akan muntah-muntah!
Untung Dewa Arak tidak meneruskannya. Cekalan pada
kaki Sempana dilepaskannya. Sehingga, tubuh laki-laki bermata sipit itu
terlempar dan melayang jauh.
Saat itulah hujan senjata rombongan Sempana meluruk
tiba. Tapi, tidak tampak adanya tanda-tanda kalau Dewa Arak akan mengelakkan
atau menangkis serangan itu. Dan memang, Dewa Arak membiarkan saja. Tapi tentu
saja, terlebih dahulu mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi kulit tubuhnya.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras seperti logam-logam keras
berbenturan terdengar ketika belasan senjata menghantam berbagai bagian tubuh
Dewa Arak. "Ah...!"
Seruan-seruan kaget terdengar dari mulut rombongan
Sempana ketika melihat senjata-senjata mereka sama sekali tidak mampu melukai
tubuh Dewa Arak. Jangankan luka, lecet pun tidak! Malah sebaliknya, senjata-
senjata mereka terpental balik.
Tidak hanya itu saja! Tangan mereka pun tergetar hebat.
Bahkan jari-jari yang menggenggam senjata, terasa sakit bukan kepalang. Seolah-
olah, yang hantam bukan tubuh manusia, melainkan batang baja yang amat keras!
Beberapa saat lamanya, belasan orang itu terpaku
seolah-olah tak percaya akan kejadian yang dialami. Namun mereka kembali
menyerang dengan senjata-senjata di tangan.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Sudah diduga kalau
lawan-lawannya tidak akan mudah begitu saja menyerah. Maka diputuskan untuk
memberikan pelajaran yang lebih keras lagi.
Dewa Arak segera mengibas-ngibaskan tangannya secara
sembarangan. Tapi hebatnya, dari kedua tangan yang mengibas itu keluar angin
keras. Akibatnya belasan orang yang bergerak menyerbu berpentalan tak tentu arah
ke belakang. Betapapun murid-murid Perguruan Kelabang Sakti dan
penduduk Desa Sampar berusaha keras bertahan tetap saja tidak mampu. Tubuh
mereka pun berpentalan tak tentu arah dan jatuh bergulingan di tanah. Senjata-
senjata yang digenggam pun terlepas dari pegangan.
"Bagaimana" Masih ingin diteruskan lagi?" tanya Arya tanpa terdengar adanya nada
tantangan atau kesombongan di dalamnya.
Belasan orang itu merangkak bangkit. Memang tidak ada
satu pun di antara mereka yang terluka. Dewa Arak memang tidak bermaksud
melukainya, dan hanya membuat tubuh mereka berpentalan tak tentu arah.
Belasan orang itu saling pandang satu sama lain.
"Perlu kalian ketahui, kalau aku mau, bukan hal yang sulit untuk membunuh kalian
semua! Tapi untuk apa"! Aku tahu kalian semua salah paham. Dan kalian bukan
orang jahat! Itulah sebabnya, aku tidak mau menurunkan tangan kejam kepada
kalian!" tegas Arya sambil menatap wajah belasan orang itu satu persatu.
"Baiklah agar kalian lebih percaya lagi, dan tidak memendam curiga padaku...,
perhatikan baik-baik...!"
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah batang pohon yang mempunyai
ukuran batang tak kurang dari tiga pelukan orang dewasa.
Wusss.... Brakkk...! Pohon itu kontan tumbang memperdengarkan suara
bergemuruh, ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak menghantam telak sasarannya.
5 Semua penduduk Desa Sampar dan murid-murid
Perguruan Kelabang Sakti hanya bisa saling pandang dengan sinar mata penuh
kekaguman. Wajah mereka menampakkan
perasaan kaget dan ngeri. Apalagi, jika membayangkan apabila pukulan jarak jauh
Dewa Arak diarahkan kepada mereka. Kini, mereka pun sadar kalau pemuda berambut
putih keperakan itu adalah seorang yang amat sakti.
Setelah yakin kalau belasan orang itu sama sekali tidak melanjutkan serangan,
Dewa Arak berjalan meninggalkan
mereka. Yang dituju adalah Sempana yang tadi dilemparkannya.
Dewa Arak berjalan menghampiri kerimbunan semak-
semak, karena ke situlah tubuh Sempana dilemparkannya tadi.
Dewa Arak melemparkan tubuh lawan memang tidak sembarangan saja. Tapi lemparannya diarahkan ke tempat yang tidak membahaya
Sempana. Sebelum Dewa Arak tiba di tempat yang dituju,
terdengar suara berkerosakan. Disusul, keluarnya tubuh Sempana. Mau tidak mau
pemuda berambut putih keperakan itu pun membatalkan maksudnya semula.
Tapi Sempana sama sekali tidak menyerang Dewa Arak,
karena sudah tidak sanggup melancarkan serangan lagi.
Perutnya terasa mual bukan kepalang. Belum lagi, rasa pusing amat sangat yang
menyerang kepalanya. Jangankan menyerang, untuk melangkah saja sudah sulit.
Beberapa kali tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh karena rasa pusing yang
mendera. Dua orang murid Perguruan Kelabang Sakti bergegas
menghampiri dan menggamit lengan Sempana, kemudian
membawanya ke tempat rekan-rekan mereka yang lain.
"Kisanak semua...!" seru Arya. Pandangan Dewa Arak beredar ke arah belasan orang
yang berdiri di hadapannya.
Teriakannya pun dikerahkan lewat tenaga dalam.
"Perlu kalian ketahui semua...! Aku bukan pelaku
pembunuhan dan pencurian terhadap mayat seperti yang kalian duga semula.
Keberadaanku bersama kawanku ini karena
mendengar jeritan orang meminta tolong. Tapi ketika tiba di sini, hanya mayat
dan peti mati kosong yang kujumpai! Percayalah!
Aku dan kawanku ini akan berusaha menangkap orang yang telah melakukan semua
kekejian ini!"
Dewa Arak menghentikan ucapannya dan mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Ditatapnya satu persatu wajah-wajah yang berdiri di
hadapannya untuk melihat tanggapan mereka.
"Kalau boleh kami tahu, siapakah namamu, Kisanak?"
tanya Permana. "Namaku Arya. Dan kawanku ini Melati...!" jelas Arya sambil menunjuk ke arah
Melati yang sejak tadi berdiri diam saja memperhatikan.
Pelan saja ucapan Dewa Arak, tapi akibatnya tidak
sesederhana itu. Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut murid-murid Perguruan
Kelabang Sakti.
"Arya..."! Apakah nama lengkapmu Arya Buana?" tanya Sempana yang kini sudah
berhasil memulihkan keadaannya setelah menarik napas dan menghembuskannya
berulang-ulang.
Meskipun hanya Sempana yang bertanya, tapi berpasang-pasang mata murid-murid Perguruan Kelabang Sakti langsung menatap ke
arah Dewa Arak. Pandangan mata mereka mengandung keingintahuan yang mendalam.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang. Helaan napas yang
keluar dikarenakan perasaan lega. Dewa Arak tahu bila
kepalanya terangguk pasti akan lenyap kecurigaan mereka terhadapnya. Namun
hatinya tidak enak karena dirinya kembali dikenal orang. Tapi akhirnya perlahan
pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala.
"Jadi... kau..., Dewa Arak yang menggemparkan itu, Kisanak?" desak Sempana lagi.
Memang, dia telah mendengar kabar yang menggemparkan kalau di dunia persilatan telah muncul seorang pendekar muda yang
sakti, dan berjuluk Dewa Arak.
"Begitulah orang menjulukiku..," sahut Arya pelan. Tidak terdengar adanya
kebanggaan atau kesombongan dalam nada suaranya.
"Ah...!"
Sempana menjerit kaget, kemudian melangkah tergesa-
gesa menghampiri Dewa Arak.
"Kalau begitu, kami telah salah mengenali orang," kara laki-laki bermata sipit
itu. "Aku, Sempana, mewakili kawan-kawanku semua meminta maaf atas kecerobohan
tadi, Dewa Arak."
"Lupakanlah," desah Arya bijaksana sambil mengulapkan tangannya. "Tidak ada yang
perlu dimaafkan. Semua ini hanya kesalahpahaman belaka."
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Dewa Arak. Ah!
Aku saja yang tidak tahu diri! Benar kata kawanmu, Dewa Arak.
Jangankan hanya satu, biar ada seribu orang sepertiku, mana mungkin mampu
mengalahkanmu?"
"Ah! Kau terlalu merendah, Kakang Sempana. Kepandaianmu pun cukup tinggi. Kalau saja kau tidak terlalu ceroboh, tidak akan
semudah itu aku bisa merobohkanmu," sahut Arya merendah. "Sudah lama kudengar
nama Perguruan Kelabang Sakti yang terkenal. Sama sekali tidak kuduga kalau kali
ini aku mendapat kehormatan besar menjumpai muridnya."
"Kalau begitu kebetulan sekali, Dewa Arak!" sambut Sempana tiba-tiba.
"Mengapa, Kang Sempana?" tanya Arya heran. "Guruku sudah lama sekali ingin
bertemu denganmu untuk berbincang-bincang. Sudikah kau ikut bersamaku menemui
beliau?" "Sungguh sebuah tawaran yang menarik!" jawab Arya penuh semangat.
"Sudah lama aku mendengar nama besar Ki Rupaksa.
Dan sudah lama pula aku ingin menjumpainya. Mana mungkin aku akan menolak
tawaranmu, Kang Sempana," jawab Arya disertai anggukan kepala.
"Kalau begitu... mari kita ke perguruanku, Dewa Arak...!"
ajak Sempana penuh semangat.
Sudah terbayang di benak laki-laki bermata sipit ini,
betapa gurunya akan gembira bukan kepalang mendapat tamu yang tidak disangka-
sangka. Dan dia sebagai orang yang telah menemukan tamu itu, pasti akan menerima
pujian dari gurunya.
Dewa Arak mengernyitkan keningnya.
"Apakah tidak lebih baik kalau kita mengurus mayat dan kuburan ini dulu?" usul
pemuda berambut putih keperakan itu sambil menatap wajah Sempana lekat-lekat.
"Oh, ya..! Tentu saja...!" jawab Sempana agak tergagap.
Memang, dalam cekaman rasa gembiranya, dia sampai
melupakan mayat Suraba dan kuburan Nilam yang terbongkar.
Maka, Sempana segera menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah rombongannya.
Kemudian tangan kirinya bergerak
mengulap ke depan.
Meskipun laki-laki bermata sipit itu tidak menga-
takannya, tapi semua anggota rombongan tahu maksudnya.
Mereka segera melangkah maju. Sebagian di antara mereka menghampiri mayat
Suraba, sedangkan yang sebagian lagi menghampiri peti mati Nilam.
"Kang Sempana..!" Seruan kaget Permana, membuat Sempana terperanjat dan
menolehkan kepala ke arah adik seperguruannya. Tak puas hanya dengan itu,
Sempana melangkah menghampiri Permana.
"Ada apa, Permana?"
"Kau lihat Kang."
Permana sama sekali tidak menjawab pertanyaan kakak
seperguruannya. Bahkan menyuruhnya melihat ke arah peti mati Nilam.
Dengan hati penasaran dan benak dipenuhi tanda tanya,
Sempana melangkah menghampiri peti mati Nilam. Dan....
"Hah..."!"
Hampir sepasang mata Sempana terlompat ketika
melihat peti mati Nilam telah kosong!
Bukan hanya laki-laki bermata sipit itu saja yang
terkejut. Penduduk dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti yang ingin tahu dan
ikut melongok ke dalam peti mati itu pun terperanjat bukan kepalang.
"Ada apa. Kang Sempana?" tanya Arya sambil melangkah menghampiri.
"Mayat Nilam hilang, Dewa Arak...!"
"Memang sejak aku datang tadi, peti mati telah kosong, Kang Sempana...!"
Sempana mengusapkan tangan ke wajahnya. "Kasihan
kau. Nilam. Manusia jahanam itu rupanya tidak ingin
membiarkanmu tenang di alam kubur.... Tidak henti-henti kau diganggunya...."
"Jadi... peristiwa diganggunya mayat Nilam bukan yang pertama kali?" tanya Arya
yang mulai mengerti persoalan sebenarnya.
Sementara Melati tetap diam saja. Rupanya, gadis
berpakaian putih itu ingin bertindak sebagai pendengar saja.
Sempana menggelengkan kepala.
"Bagaimana, Kang?" tanya Permana meminta pendapat kakak seperguruannya.
"Masukkan saja peti mati itu ke tempatnya. Nanti, baru kita cari mayat Nilam,"
terdengar lesu kata-kata yang keluar dari mulut Sempana.
Permana tidak bertanya lagi. Bersama-sama yang
lainnya, segera dikerjakannya perintah kakak seperguruannya.
Sementara sekelompok lainnya menguburkan mayat Suraba
tanpa menggunakan peti lagi.
"Bisa kau ceritakan padaku, apa yang tengah menimpa desa ini. Kang Sempana?"
pinta Arya. Sempana menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab pertanyaan pemuda berambut putih
keperakan itu. Dan Dewa Arak hanya diam menunggu ucapan yang keluar dari mulut
laki-laki bermata sipit itu. Ternyata bukan hanya dia saja yang menunggu, tapi
juga Melati. "Kami juga tidak tahu, Dewa Arak. Siapa pelakunya dan apa yang diinginkannya,
semua masih gelap!" kata Sempana memulai. Kemudian dicerita semua kejadian di
Desa Sampar. "Setelah menunggu, tidak juga terlihat ada tanda-tanda pembunuh itu muncul, aku
mengajak rombonganku pergi ke kuburan ini. Barangkali saja, penculik mayat itu
datang lagi. Ternyata, dugaanku tidak keliru. Hanya saja aku datang terlambat. Sehingga,
hanya dapat bertemu denganmu," tutur Sempana menutup ceritanya.
Dewa Arak dan Melati mengernyitkan keningnya begitu
Sempana menghentikan ceritanya. Jelas kalau sepasang
pendekar muda itu tengah berpikir keras.
"Mari kita temui guruku dulu, Dewa Arak. Barangkali saja beliau bisa memberikan
keterangan yang lebih lengkap dariku."
Dewa Arak hanya menganggukkan kepala. Memang,


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para penduduk dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti telah menyelesaikan
pekerjaannya. Tak lama kemudian, rombongan Sempana kembali
menuju ke Desa Sampar. Kini di dalam rombongan itu ada Dewa Arak dan Melati.
*** "Paman...! Paman Suraba...! Kenapa kau tinggalkan aku, Paman..."!" seru seorang
pemuda bertubuh tinggi kurus, berpakaian lusuh sambil duduk bersimpuh di dekat
gundukan tanah yang berisikan mayat Suraba. Suaranya terdengar pilu, mengandung
kesedihan mendalam.
Ternyata pemuda tinggi kurus itu tidak hanya seorang
diri saja di situ. Di belakangnya, berdiri puluhan orang. Di antara mereka
terdapat pula belasan murid Perguruan Kelabang Sakti. Bahkan di antara mereka
terdapat Rupaksa, Garba, Dewa Arak, Melari, Sempana, serta seorang kakek
berpakaian putih longgar. Kumis dan jenggotnya telah memutih. Dialah penjaga
ruang pustaka Perguruan Kelabang Sakti Eyang Baranang Siang namanya.
Eyang Baranang Siang melangkah maju. Tangannya
diulurkan dan ditepuk-tepuknya bahu laki laki tinggi kurus itu.
"Sudahlah, Giwali. Yang sudah tiada, lupakanlah.
Sekalipun kau mengeluarkan tangis darah, pamanmu tidak akan bangkit dari lubang
kuburnya," hibur Eyang Baranang Siang, lembut.
Rupanya ucapan kakek berpakaian putih longgat itu
termakan juga oleh laki-laki tinggi kurus yang ternyata bernama Giwali. Kini
keluhannya berhenti, lalu bangkit berdiri.
"Akan kucari pembunuh laknat itu!" desis Giwali penuh dendam. Sepasang matanya
berkilat-kilat tajam. "Aku akan membuat perhitungan dengannya!"
Usai berkata demikian, Giwali mengepalkan kedua
tangannya. Terdengar suara bergemeretak keras ketika jari-jari tangannya
mengepal. "Apa yang kau andalkan untuk menghadapi pembunuh
itu, Giwali?" tanya Eyang Baranang Siang bernada teguran.
Sementara, ekor matanya melirik ke arah Rupaksa.
Sedangkan Dewa Arak merasa heran melihat wajah
Rupaksa memerah begitu dilirik Eyang Baranang Siang.
"Tentu saja ilmu yang diwariskan guru padaku!"
"Hmh...!"
Eyang Baranang Siang menggumam. "Jangankan hanya
kau yang menerima sebagian kecil dari ilmu Rupaksa. Garba dan Sempana yang telah
mewarisi ilmu banyak saja tidak mampu membekuk pembunuh itu, Giwali! Camkan
itu!" Semakin memerah wajah Rupaksa mendengar ucapan
Eyang Baranang Siang.
"Kuakui, Giwali memang kurang kuperhatikan, Eyang.
Tapi, jangan kira aku tidak tahu kalau kau secara diam-diam menurunkan ilmu yang
kau miliki padanya."
"Itu kulakukan karena kau menelantarkannya, Rupaksa!
Padahal, dia seangkatan dengan Garba dan Sempana. Tapi, kenapa hanya kedua orang
itu saja yang dididik dan
digembleng"!" sergah Eyang Baranang Siang berapi-api. "Aku tahu, kenapa kau
bersikap seperti itu! Karena, bibi Giwali dulu telah menolak lamaranmu!"
"Kurasa, tidak baik mengungkit-ungkit masalah lama.
Eyang. Saat ini, kita berhadapan dengan pengacau yang tidak kita ketahui
orangnya. Ada baiknya urusan sepele itu tidak dibicarakan lagi!" kata Rupaksa
dengan wajah memerah dan suara halus.
Eyang Baranang Siang terdiam karena menyadari ada
kebenaran dalam ucapan Rupaksa. Sementara, Dewa Arak hanya diam saja dan tidak
bermaksud mencampuri pembicaraan tokoh-tokoh utama Perguruan Kelabang Sakti.
Bahkan malah merasa tidak enak hati, karena sebagai orang luar mendengarkan
pembicaraan urusan dalam perguruan.
"Kebetulan di sini ada tokoh persilatan yang sudah terkenal dan menggemparkan
dunia persilatan Eyang," sambut Rupaksa lagi seraya mengerling ke arah Dewa
Arak. "Hm...!" Eyang Baranang Siang hanya bergumam tidak jelas.
"Dia adalah Dewa Arak!" lanjut Rupaksa. "Dengan adanya Dewa Arak, aku yakin
pembunuh sekaligus pencuri mayat itu akan berhasil kita tumpas!"
"Hm...!"
Lagi-lagi Eyang Baranang Siang hanya menggumam.
Tapi, sepasang matanya menatap Dewa Arak penuh selidik.
Rupanya, kakek berpakaian putih ilu tengah menilai kemampuan pemuda berambut pulih keperakan itu dengan
pandangan matanya. Cukup lama juga Eyang Baranang Siang memperhatikan sekujur
tubuh Dewa Arak, sebelum akhirnya melangkah meninggalkan tempat itu.
Giwali menatap sekali lagi kuburan pamannya sebelum
akhirnya melangkah menyusul tubuh Eyang Baranang Siang.
"Hhh...!"
Ki Dungkul Taji menghela napas berat Ditatapnya
sejenak wajah Rupaksa dan Dewa Arak. Kepalanya dianggukkan sedikit, baru
kemudian melangkah meninggalkan tempat itu.
Melihat kepala desanya telah berlalu, para penduduk
Desa Sampar pun satu persatu berjalan meninggalkan tempat itu. Dan kini, yang
tinggal hanya Dewa Arak, Melati, Rupaksa, dan murid-murid Perguruan Kelabang
Sakti. "Kalian semua kembali ke perguruan...," perintah Kupaksa pada murid-muridnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Sempana, Garba,
dan murid-murid lainnya melangkah meninggalkan tempat itu.
Kini hanya Rupaksa, Dewa Arak, dan Melati saja yang
tertinggal di situ.
Rupaksa memandangi hingga tubuh-tubuh murid-
muridnya lenyap dari pandangan mata.
"Ada yang ingin kau bicarakan denganku, Ki?" tanya Arya ketika Rupaksa
mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Benar, Arya," jawab laki-laki berwajah keras itu sambil menganggukkan kepala.
Dia memanggil pemuda berambut putih keperakan itu
dengan nama saja, karena permintaan Dewa Arak sebelumnya.
Memang, pemuda berpakaian ungu itu merasa risih, dipanggil julukannya oleh
seorang tokoh seperti Rupaksa.
"Katakanlah, Ki. Aku bersedia mendengarnya."
Rupaksa tidak langsung mengutarakan hal yang ingin
dibicarakannya. Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya kuat-kuat.
Sepertinya, masalah yang akan diutarakan amat berat untuk dikeluarkan.
"Ini adalah masalah dalam perguruan. Dan tidak ada seorang pun murid-murid
Perguruan Kelabang Sakti yang
mengetahuinya. Kau bersedia merahasiakan hal ini, Arya?"
Sambil berkata demikian, Rupaksa menatap wajah Dewa
Arak tajam-tajam. Seolah-olah, dia ingin menilai keteguhan hati Dewa Arak dalam
menjaga rahasia dengan pandangan matanya.
"Kalau kau merasa ragu... lebih baik tidak usah kau beri tahukan padaku, Ki,"
kalem dan tenang Arya memberikan tanggapan.
"Aku percaya padamu, Arya," kata Rupaksa buru-buru.
"Apakah ini ada hubungannya dengan peristiwa-
peristiwa yang terjadi di Desa Sampar ini, Ki?"
"Kalau tidak, aku tak akan membicarakan masalah ini denganmu, Arya."
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya tersenyum
getir, dan tidak berkata-kata lagi.
Rupaksa menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk
memastikan kalau di sekitar tempat itu tidak ada orang yang akan mendengarkan
penuturannya. "Leluhurku dulu bukan orang baik-baik, Arya. Dia adalah seorang tokoh sesat yang
selalu berbuat keja hatan. Berbagai macam kejahatan dan kekejian telah
dilakukannya. Maaf, aku tidak bisa menyebut julukannya," Rupaksa memulai
ceritanya. Dewa Arak dan Melati sama sekali tidak menampakkan
perasaan terkejut mendengar awal cerita Rupaksa. Dari
pengalaman, sepasang pendekar muda itu itu, tidak semua tokoh jahat mempunyai
keturunan jahat juga. Bahkan pernah juga dijumpai, seorang tokoh sesat sadar
dari kesesatannya. Tapi, tentu saja hal itu karena ada satu peristiwa yang
dialami. "Bukan hanya ilmu silat saja yang dimiliki leluhurku itu.
Tapi juga ilmu hitam! Berbagai ilmu hitam yang mengerikan dimilikinya. Dan satu
di antaranya adalah ilmu 'Halimun'."
Rupaksa menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah sepasang muda-mudi di hadapannya. Laki-laki
berwajah gagah itu ingin melihat tanggapan Dewa Arak dan Melati atas ceritanya.
Harapan Rupaksa terkabul. Dewa Arak dan Melari
mengernyitkan kening begitu mendengar ceritanya.
"Ilmu 'Halimun'"!" celeluk Melati tanpa menyembunyikan keheranannya. "Ilmu apa
itu, Ki?" Rupaksa tersenyum lebar mendengar pertanyaan Melati.
Sedikit banyak, hatinya merasa bangga melihat kawan Dewa Arak itu kebingungan.
"Kau bisa mengira-ngira ilmu itu, Arya?" Rupaksa mengalihkan pertanyaan Melati
pada Dewa Arak.
Ingin diketahuinya, dari tokoh yang menggemparkan itu
akan ilmu yang disebutkan tadi. Namun Dewa Arak tidak
langsung menjawab pertanyaan itu. Dia terdiam sejenak dengan dahi berkernyit
dalam. Jelas, Dewa Arak tengah berpikir keras.
"Secara pasti sih, tidak, Ki," kata Arya jujur. "Tapi sedikit banyak aku sudah
bisa menduganya."
"Katakanlah, Arya," Rupaksa memberi angin.
Sementara Melati pun diam pula mendengarkan. Dia
ingin tahu, apakah kekasihnya benar-benar mengenal ilmu
'Halimun'"
"Kalau menurut perkiraanku... ilmu 'Halimun' adalah sejenis ilmu yang membuat
kita mampu menghilang," tebak Arya.
"Tepat!" kata Rupaksa membenarkan.
"Ihhh...!" pekik Melati kaget. "Apakah ilmu seperti itu benar-benar ada, Ki"
Kupikir ilmu itu hanya sekadar dongeng saja...."
Rupaksa menggelengkan kepala. "Kau salah, Nisanak.
Ilmu seperti itu memang benar-benar ada. Dan leluhurku dulu memilikinya," ada
nada kebanggaan dalam ucapan Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu.
"Gila...!" desis Melati, masih dengan kekagetan yang mendera. "Lalu... bagaimana
cara mengalahkannya, Ki"
Maksudku... apabila lawan benar-benar memilikinya?"
Rupaksa terdiam sejenak. Begitu pula Dewa Arak.
Berbeda dengan Melati, pemuda berambut putih ke-
perakan itu memang tidak merasa aneh, apabila benar ilmu
'Halimun' ada yang memilikinya. Karena, gurunya sendiri, Ki Gering Langit,
banyak memiliki ilmu gaib yang sukar diterima otaknya.
"Sayang sekali, Nisanak. Aku sendiri belum pernah mendapatkan keberuntungan
menemukan lawan yang memiliki ilmu 'Halimun' itu," sahut Rupaksa bernada
penyesalan. "Ah! Tidak mengapa, Ki," kata Melati sambil menyunggingkan senyum manis.
Dan memang, gadis berpakaian putih ini tidak merasa
kecewa karena Rupaksa tidak dapat menjawab pertanyaannya.
Suasana menjadi hening ketika Melati telah me-
nyelesaikan ucapannya. Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama, karena
Rupaksa telah kembali menyambung ceritanya.
"Oleh keturunan-keturunan setelah leluhurku, ilmu
'Halimun' sama sekali tidak dipelajari...."
"Mengapa begitu, Ki" Apakah mereka tidak sayang
membiarkan ilmu itu akhirnya musnah?" selak Melati tidak kuat menahan perasaan
hatinya. "Hhh...! Karena ilmu hitam itu, sebuah ilmu keji!" tandas Rupaksa. "Untuk
menguasainya harus melakukan banyak pekerjaan terkutuk!"
Melati terperanjat. Diam-diam disesali ucapannya.
"Beberapa syarat yang harus dipenuhi, dan ini pun kudengar dari keturunan-
keturunan leluhurku, harus mencuri kain kafan dari orang yang meninggal di malam
tertentu."
Melati bergidik. Memang, walaupun dia seorang
pendekar wanita yang memiliki kepandaian tinggi, tapi masih takut juga mendengar
cerita tentang hantu dan kuburan.
"Di samping itu juga... maaf... menggauli mayat gadis yang masih suci. Ada
aturan jumlahnya dan tidak sembarangan saja. Juga syarat yang harus dipenuhi,
kemenyan, kembang beberapa macam, dan juga air dari beberapa tempat."
"Mengerikan!" desis Melati dengan bulu tengkuk meremang.
"Itulah sebabnya, mengapa ilmu itu tidak dipelajari, Nisanak. Sampai akhirnya,
ilmu itu lenyap!"
"Syukurlah...!" desah Melati lega.
"Kau bilang ilmu itu kini telah lenyap, Ki?" selak Arya dengan
dahi berkenyit. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan.
Rupaksa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Semula memang begitu, Arya...," pelan dan lemah ucapan Ketua Perguruan Kelabang
Sakti itu. "Dan sekarang...," potong Arya, sengaja menggantung ucapannya.
"Hhh. "
Rupaksa menghela napas berat
"Itulah sebabnya, aku mengajakmu berbicara tanpa ada orang lain yang
kuikutsertakan, kecuali kawanmu itu."
Sambil berkata demikian, Rupaksa menudingkan telunjuknya ke arah Melati. Sementara, Melati kini mulai mengerti, kalau cerita
yang dipaparkan Rupaksa mempunyai hubungan dengan peristiwa yang tengah melanda
Desa Sampar. Jadi, pengacau itu tengah mempelajari ilmu-ilmu hitam yang kemungkinan besar
milik leluhur Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu.
"Mungkinkah kalau penuntut ilmu hitam itu bukan
mempelajari berdasarkan warisan leluhurmu, Ki?" tanya Arya mengajukan dugaan.
Rupaksa menggelengkan kepala.
"Aku yakin, penuntut ilmu hitam itu mempelajarinya dari warisan leluhurku!"
tandas Rupaksa tidak ragu-ragu.
"Mengapa kau begitu yakin, Ki" Padahal, sebagai tokoh tingkat tinggi kurasa kau
pun tahu, tidak ada orang yang paling sakti di dunia ini. Di atas langit masih
ada langit. Banyak sekali orang-orang persilatan vang mempunyai ilmu beraneka
ragam." "Aku mengerti, Arya," sahut Rupaksa sabar. "Tapi perlu kau ketahui, hanya
leluhurku yang memiliki aturan seperti itu untuk mendapatkan ilmu-ilmu hitam.
Dan aku tahu betul hal itu dari cerita yang kudengar dari salah seorang
keturunan leluhurku yang telah melanglang buana untuk menuntut
berbagai ilmu hitam."


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu... ada orang yang telah mencuri ilmu leluhurmu, Ki."
Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu menggelengkan
kepala. "Belum pernah ada orang atau tokoh persilatan lain yang masuk ke perguruanku,
dan mengacak-acak perpustakaan untuk mencari ilmu hitam peninggalan leluhurku."
Mantap dan penuh keyakinan ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berwajah
gagah itu. Wajah Dewa Arak kontan berubah. Maksud ucapan
Rupaksa telah menggiringnya ke dalam satu kesimpulan.
"Berarti, ada orang dalam perguruanmu yang diam-diam telah melatih ilmu itu,"
ucap Arya deng suara kering.
"Yahhh...," Rupaksa menganggukkan kepala seraya menghela napas berat.
"Kau bisa mengira-ngira, siapa orangnya, Ki?" tanya Arya. Dadanya kini berdebar
tegang! Perasaan yang sama pun melanda Melati. Kini dengan
dada berdebar tegang, Dewa Arak dan Melati menunggu jawaban yang akan keluar
dari mulut Rupaksa.
"Bagaimana dengan kau, Arya" Apakah kau bisa
mengira-ngira, siapa pelakunya?" Rupaksa balas bertanya.
6 Dewa Arak tercenung sejenak. Sepasang matanya
terpaku pada satu titik. Sedangkan ibu jari dan telunjuknya mengusap-usap ujung
hidungnya. Rupaksa agak heran juga melihat kelakuan Dewa Arak.
Tapi tidak demikian halnya Melati. Gadis berpakaian putih itu tahu kalau Dewa
Arak tengah memutar otak, untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Dan memang, bila
persoalan yang dihadapi amat sulit, kebiasaan kekasihnya adalah mengusap-usap
ujung hidungnya.
"Masalah ini cukup pelik juga, Ki," kata Arya sambil menurunkan tangan dari
ujung hidungnya. Ditatapnya wajah Rupaksa tajam-tajam.
Rupaksa tidak menanggapi ucapan Dewa Arak. Dia tahu,
pemuda berpakaian ungu itu belum menyelesaikan ucapannya.
Maka, dia bersikap diam dan menunggu.
"Tadi kau mengatakan, murid-murid Perguruan Kelabang Sakti pun tidak tahu kalau leluhurmu dulu adalah datuk golongan hitam
yang banyak memiliki ilmu hitam.
Bukankah begitu?"
"Benar," jawab Rupaksa singkat.
"Berarti, hanya kau seorang yang mengetahui rahasia leluhurmu," lanjut Arya.
"Tapi, mengapa ada orang yang melakukan perbuatan yang menurut keyakinanmu
menuntut ilmu berdasarkan ilmu warisan leluhurmu" Itulah yang menjadi masalah. Memang aku
pun bisa menduga kalau pelaku semua kejahatan itu, tengah menuntut ilmu hitam.
Tapi sungguh tidak kusangka kalau milik perguruanmu, Ki."
"Maaf, Arya. Kau salah mengerti ucapanku sebelumnya,"
kata Rupaksa setelah Dewa Arak menghentikan ucapannya.
"Maaf, Ki," ucap Arya buru-buru. "Tapi... ucapan mu yang mana yang salah
kuartikan?"
Rupaksa terdiam sejenak.
"Tadi, aku hanya mengatakan kalau murid-murid
Perguruan Kelabang Sakti tidak mengetahui leluhurku. Tapi, itu bukan berarti
hanya aku seorang yang mengetahui rahasia itu."
"Berarti, ada orang lain yang tahu rahasia leluhurmu.
Dan dia bukan murid Perguruan Kelabang Sakti. Bukankah itu berarti dia orang
luar, Ki" Padahal, tadi jelas-jelas kudengar kalau kau mengatakan tidak ada
orang luar yang mengetahui rahasia leluhurmu. Aku malah jadi bingung, Ki," selak
Melati yang merasa tertarik dengan percakapan itu. Makanya, gadis itu langsung
ikut campur dalam pembicaraan.
"Aku bisa menduga orang yang kau maksud itu, Ki," kata Arya setelah beberapa
saat lamanya tercenung sehabis
mendengar bantahan Rupaksa atas kesimpulan yang didapat.
Melati dan Rupaksa menatap Dewa Arak.
"Aku tahu, kau akan bisa menduga, Arya," kalem dan tenang sekali ucapan Ketua
Perguruan Kelabang Sakti itu. "Dan aku yakin kalau dugaanmu itu pasti benar.
Coba katakan, siapa adanya orang itu, Arya?"
"Eyang Baranang Siang," jawab Arya.
Rupaksa menganggukkan kepala.
"Sudah kuduga, kau akan mampu menduganya dengan
tepat, Arya."
Dewa Arak hanya tersenyum hambar.
"Sebenarnya... apa hubunganmu dengan Eyang Baranang Siang, Ki" Melihat dari
sikapnya terhadapmu... rasa-rasanya dia memiliki kedudukan yang tidak berada di
bawahmu. Maaf, kalau aku bersikap lancang karena mengajukan pertanyaan ini, Ki"
"Tidak apa, Arya," Rupaksa menggelengkan kepala. "Kau wajib
tahu, karena bantuanmu kubutuhkan untuk menyelesaikan kemelut di desa ini. Jangan ragu-ragu untuk menanyakan apa saja
yang ingin kau ketahui"
'Terima kasih atas pengertianmu, Ki."
"Eyang Baranang Siang adalah kakak tiriku. Dia anak ayahku, dari ibu yang
berlainan."
'Tapi, sepertinya usia kalian berdua terpaut terlalu jauh, Ki."
"Tidak terlalu jauh sebenarnya, Arya. Hanya saja, dia memang terlihat tua
sekali. Dialah satu-satunya orang selain diriku yang mengetahui rahasia leluhur
kami." Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala pertanda
mengerti. "Tapi sepertinya... antara dirimu dengan Eyang Baranang Siang ada semacam permusuhan tersembunyi, Ki?"
desak Arya lebih berani karena telah mendapat izin dari Ketua Perguruan Kelabang
Sakti itu sendiri.
"Yahhh...! Dugaanmu sama sekali tidak salah, Arya,"
jawab Rupaksa setengah mengeluh.
"Mengapa bisa demikian, Ki" Aku yakin, pasti ada sebab-sebabnya. Apakah karena
pemuda bernama Giwali itu?"
Rupaksa menggelengkan kepala.
"Bukan karena Giwali yang menyebabkan terjadinya
perang dingin antara kami, Arya. Memang kuakui, Giwali semakin menambah
meruncingnya persoalan. Tapi sebenarnya kami memang sudah saling tidak menyukai
sejak belasan, bahkan mungkin puluhan tahun lalu."
"Ah...!" desah Arya dan Melati kaget.
"Perang dingin itu berlangsung sejak kami kecil, Arya,"
lanjut Rupaksa tanpa mempedulikan keterkejutan yang melanda Dewa Arak dan
Melati. "Sebagai orang yang lebih tua, Kakang Baranang Siang mendapat bimbingan
silat dari ayahku lebih dah daripadaku. Baru beberapa tahun kemudian, aku
mendapat giliran."
Laki-laki berwajah gagah itu menghentikan ucapannya
sejenak. Sepasang matanya menerawang ke langit, seakan-akan di sana terpampang
gambaran masa kecilnya.
"Di sinilah perasaan iri Kakang Baranang Siang timbul.
Aku yang dididik belakangan, ternyata cepat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan
ayah. Sementara, dia agak lambat. Tak heran setelah dididik selama lima tahun,
aku berhasil menyamai tingkatannya. Sehingga, ayah tidak perlu dua kali
mendidik. Kalau dulu, beliau harus mengajar Kakang Baranang Siang, baru kemudian
mengajarku. Setelah lima tahun kemudian, hal itu tidak perlu dilakukannya lagi.
Dia bisa mendidik kami sekaligus, karena aku dan Kakang Baranang Siang telah
mencapai tingkatan yang sama."
Rupaksa menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Setelah berusia tujuh belas tahun, aku justru berhasil melewati tingkatnya. Hal
itu semakin menimbulkan rasa iri di hati Kakang Baranang Siang. Apalagi
kemudian, aku pun
mendapat ilmu-ilmu andalan. Beberapa kali dia berusaha mencelakaiku secara diam-
diam, tapi tidak berhasil."
"Kau tahu kalau dia bermaksud mencelakaimu, Ki?"
selak Melati. Rupaksa mengangguk-anggukkan kepala.
"Tapi, aku berpura-pura tidak tahu agar pertentangan yang terjadi tidak semakin
meruncing. Memang, tak kusangka kalau dia masih terus memendam meskipun telah
berusia selanjut itu. Dan telah kau lihat sendiri buktinya tadi, bukan" Di depan orang
banyak dia memojokkanku. Apa pendapat orang kalau melihat Ketua Perguruan
Kelabang Sakti diperlakukan seperti itu oleh penjaga pustaka"!"
Semakin lama, nada suara Rupaksa semakin tinggi. Jelas kalau amarahnya bangkit
ketika teringat akan peristiwa yang tadi dialaminya.
"Kalau saja tidak ingat dia itu termasuk saudara, bahkan kakak tiriku, mungkin
sudah kulabrak dan kuajak bertarung,"
sambung Rupaksa lagi, tetap dengan nada tinggi "Untung aku masih bisa menahan
diri dan mengalihkan pembicaraan."
"Yahhh...!" desah Arya setengah mengeluh. "Aku juga melihat adanya sorot
kebencian di wajahnya, Ki."
"Mungkinkah Eyang Baranang Siang orang yang telah melakukan serangkaian
kekacauan di Desa Sampar ini?" celetuk Melati.
"Jangan cepat-cepat menarik kesimpulan seperti itu, Melati.. Ingat! Persoalan
ini masih gelap. Tidak sepantasnya mengajukan tuduhan seperti itu. Berprasangka
boleh-boleh saja.
Karena dengan bekal itu, bisa digunakan untuk menyingkap masalah. Kau mengerti,
Melati?" sergah kekasihnya.
"Aku mengerti, Kang," sahut gadis berpakaian putih itu sambil menganggukkan
kepala. "Ucapan Arya itu benar, Nisanak," timpal Rupaksa, mendukung ucapan pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Tidak baik kalau menuduh seseorang sebelum masalahnya jelas.
Iya kalau dugaan itu benar. Kalau salah" Hanya akan membuat suasana semakin
bertambah kacau!"
"Aku bersedia menyumbangkan kemampuanku yang
tidak seberapa ini untuk menangkap pelaku kekacauan itu, Ki,"
Arya menawarkan diri.
"Sebelumnya, kuucapkan terima kasih atas tawaran
bantuanmu itu, Arya. Mulai malam nanti, aku akan berusaha menyingkap biang
kekacauan desa ini!" tegas Rupaksa berapi-api. "Agar tidak terjadi pemusatan
kekuatan di satu tempat bagaimana kalau kita adakan pembagian tugas, Arya?"
"Aku belum mengerti maksudmu, Ki," sahut Arya dengan dahi berkemyit.
"Begini, Arya. Kau bersama kawanmu berjaga-jaga di desa. Sedangkan aku,
mengawasi perguruanku. Kalau memang benar pelaku tindakan kekacauan itu berasal
dari dalam perguruanku, mudah-mudahan saja aku berhasil membekuknya di saat dia
tengah melakukan tindak kejahatan."
"Sebuah usul yang sangat baik, Ki..." sambut Arya gembira.
"Kau setuju dengan usulku ini, Arya?" tanya Rupaksa untuk lebih menegaskan lagi.
"Tentu saja, Ki."
"Tapi, Arya...."
"Ada apa lagi, Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu, karena menyangka
ada yang dilupakan Rupaksa.
"Kurasa sebaiknya ada pula yang berjaga-jaga di sekitar kuburan, Arya.
Barangkali saja pengacau itu akan datang ke sana."
"Kau benar, Ki," sambut Arya. "Kita pecah kekuatan menjadi tiga. Kau di
perguruan, aku berjaga-jaga di sini, sedangkan Melati di desa. "
Rupaksa mengangguk-anggukkan kepala. Ada raut
kepuasan tergambar di wajahnya.
*** Sang surya agak lama tenggelam di Barat. Kegelapan
pun sudah menyelimuti seluruh mayapada ini. Memang, malam telah menjelang.
Seiring datangnya malam, kesibukan yang luar biasa nampak di dalam Desa Sampar.
Hampir di tiap penjuru desa nampak orang-orang yang berjaga-jaga bersikap
waspada. Obor-obor yang tercekal di tangan, membuat suasana jadi terang-benderang.
Di antara sekian banyak yang berjaga-jaga, tampak di
antaranya Ki Dungkul Taji, Permana, Sempana, dan Garba, serta Melati. Mereka
semua menjadi pimpinan kelompok.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan yang kesekian kalinya memecahkan
keheningan malam. Bunyi ini keluar dari kentongan yang dipukul rombongan di
bawah pimpinan Ki Dungkul Taji. Kini rombongan itu mulai melewati kerimbunan
semak-semak dan pepohonan yang cukup lebat.
Tibanya rombongan Ki Dungkul Taji di tempat itu,
membuat sosok bayangan hitam yang berkelebat cepat
menghentikan gerakannya. Dia mengendap-endap di antara kerimbunan semak.
Sepasang mata sosok tubuh hitam itu menatap tajam
penuh selidik pada rombongan peronda itu. Malam yang cukup gelap, dan pakaiannya
yang serba hitam, serta tempatnya yang terlindung semak-semak, membuat
keberadaannya sama sekali tidak diketahui rombongan Ki Dungkul Taji. Sosok tubuh
hitam itu diam menunggu. Dia tahu, tak akan lama lagi rombongan yang dilihatnya
akan meninggalkan tempat itu.
Dan ketika rombongan Ki Dungkul Taji
sudah meninggalkan tempat itu, sosok tubuh hitam itu keluar dari kerimbunan semak-
semak. Dia melesat cepat meninggalkan tempat itu. Dengan kecepatan yang
mengagumkan, tubuhnya berkelebat. Tak heran kalau dalam beberapa saat saja,
bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi.
Sosok tubuh hitam itu terus melesat cepat bagai kilat.
Tapi, itu tak berlangsung lama. Beberapa kali larinya harus diperlambat. Bahkan
juga harus dihentikannya. Dia langsung menyelinap ke balik pepohonan, semak-
semak atau di balik rumah, ketika bertemu rombongan penduduk dan murid-murid
Perguruan Kelabang Sakti yang meronda.
Beberapa kali sosok tubuh hitam itu hampir berpapasan
dengan rombongan peronda. Tapi berkat kelihaiannya, dia berhasil menyelinap atau
menyembunyikan diri sebelum
diketahui. "Huppp...!"
Sosok tubuh hitam itu menyelinap ke balik dinding
sebuah rumah penduduk. Sesaat lamanya dia berdiri bersandar di situ untuk
menenangkan debaran hatinya. Sinar bulan yang remang-remang, menyorot sekujur
tubuh laki-laki berpakaian hitam itu. Tampak kalau tubuh tinggi dan tegap.
Wajahnya tidak tampak jelas, karena tertutup coreng-moreng arang hitam.
Rupanya dia memang bermaksud untuk menyembunyikan
wajahnya. Kemudian dengan langkah hati-hati, laki-laki berpakaian hitam itu memutari
dinding menuju ke depan. Langkahnya baru dihentikan ketika telah berada tepat di
depan pintu. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau
perbuatannya tidak dipergoki orang lain. Kemudian tangan kanannya dijulurkan ke
depan, ditempelkan ke daun pintu.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan laki-laki


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian hitam itu. Tangan yang menempel di pintu segera bergerak
mendorong. Perlahan saja kelihatannya. Tapi akibatnya, daun pintu itu jebol berentakan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Dari
sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Karuan saja suara ribut-ribut itu membuat pemilik
rumah bergegas keluar dari kamar, dan langsung ke depan. Di tangannya sudah
tergenggam sebilah golok.
Lelaki pemilik rumah yang ternyata Boma, terkejut
bukan kepalang ketika melihat adanya sesosok tubuh berpakaian serba hitam di
ambang pintu rumahnya.
"Sss... siapa kau...?" tanya Boma. Suaranya terdengar terputus-putus karena rasa
kaget yang melanda.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu hanya mendengus. Dan
dengusan itu menyadarkan Boma dari keterkejutannya.
Langsung disadarinya kalau laki-laki berpakaian hitam itu mempunyai maksud yang
tidak baik. Coreng-moreng yang
melumuri wajah, dan kedatangannya yang merusak daun pintu itu, merupakan bukti
nyata itikadnya.
"Hiyaaa...!"
Diiringi teriakan membahana, Boma menyerang laki-laki
berpakaian hitam itu. Sambil berlari cepat menghampiri, golok yang sejak tadi
tergenggam di tangan diayunkan ke arah tamu tak diundang itu dari atas ke bawah.
Rupanya, dia hendak membelah tubuh laki-laki berpakaian hitam itu menjadi dua
bagian. "Hmh...!"
Kembali laki-laki berpakaian hitam itu hanya men-
dengus. Tanpa menggeser kaki dan merubah kedudukannya, tangan kanannya dengan
jari-jari terbuka diulurkan ke atas.
Rupanya datangnya serangan golok itu ingin disambutnya dengan tangan telanjang.
Itu pun dilakukannya setelah serangan menyambar dekat.
Boma terkejut melihat tindakan lawan. Meskipun begitu, serangannya sama sekali
tidak dihentikan. Dan...
Tappp...! Di luar perkiraan Boma, goloknya sama sekali tidak
mampu memutuskan tangan laki-laki berpakaian hitam itu.
Jangankan putus, lecet pun tidak! Bahkan goloknya malah kena cekal.
Tentu saja Boma tidak bisa tinggal diam. Sekuat tenaga goloknya ditariknya. Dan
rasanya, bila laki-laki berpakaian hitam itu terus mempertahankannya, jari-jari
tangannya pasti putus. Atau paling tidak tangan yang mencekal itu akan terlukai.
Patung Emas Kaki Tunggal 11 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Semerah Darah 2
^