Pencarian

Perjalanan Menantang Maut 1

Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com
Daftar Judul Cersil Bag 9493 Racun Kelabang Merah494 Mustika Ular Emas495 Lorong
batas dunia496 Irama Maut497 Penyair Cengeng498 Setan Bongkok499 Perawan
Buronan500 Malaikat Tanpa Wajah501 Si Pemanah Gadis 1502 Si Pemanah Gadis 2503
Si Pemanah Gadis 3 Bag 1504 Sebilah Pedang Seribu Romansa505 Giring giring
Perak506 Kesatria Hutan Larangan507 Pendekar Romantis - Geger di Kayangan508
Pendekar Romantis - Hancurnya Samurai Cabul509 Pendekar Romantis - Patung Iblis
Banci510 Pendekar Romantis - Skandal Hantu Putih511 Pendekar Romantis - Kitab
Panca Longok512 Pendekar Romantis - Dendam Dalang Setan513 Pendekar Romantis -
Buronan Darah Dewa514 Pendekar Romantis - Ratu Cadar Jenazah515 Pendekar Gila -
Suling Naga Sakti516 Pendekar Gila - Kumbang Hitam Dari Neraka517 Pendekar Gila
- Dendam Bidadari Bercadar518 Pendekar Gila - Duel Di Puncak Lawu519 Pendekar
Gila - Kelelawar Iblis Merah520 Pendekar Gila - Singa Jantan Dari Cina521
Pendekar Gila - Titisan Dewi Kwan Im522 Pendekar Gila - Pedang Penyebar Maut523
Pendekar Gila - Mawar Maut Perawan Tua524 Pendekar Gila - Perjalanan ke
Akherat525 Pendekar Gila - Istana Berdarah526 Pendekar Gila - Murka Sang
Iblis527 Pendekar Gila - Kitab Ajian Dewa528 Pendekar Gila - Kemelut di Karang
Galuh529 Pendekar Gila - Tumbal Perawan530 Pendekar Gila - Ular Kobra dari
Utara531 Pendekar Gila - Misteri Dendam Berdarah532 Pendekar Gila - Prahara di
Gunung Kematian533 Pengemis Binal - Pengkhianatan Dewa Maut534 Pengemis Binal -
Kemelut Kadipaten Bumiraksa535 Pengemis Binal - Bidadari Lentera Merah536
Pengemis Binal - Asmara Penggoda537 Pengemis Binal - Kitab Sukma Gelap538
Pengemis Binal - Malaikat Bangau Sakti539 Pengemis Binal - Dendam Para
Pengemis540 Pengemis Binal - Tabir Air Sakti
"Hhh...!"
Prabu Nalanda menghela napas berat. Raut
wajahnya nampak menyiratkan kecemasan.
Sepasang matanya kemudian beredar, mengawasi
sekelilingnya. Satu persatu, dirayapinya wajah wajah orang yang duduk bersila di
depannya. "Pulau Ular...," gumam Raja Bojong Gading pelan.
"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang pemuda berambut putih keperakan. "Begitulah
berita yang hamba dapatkan dari Tuyul Tangan Seribu."
"Aku memang pemah mendengar cerita yang
tersebar mengenai pulau itu, Arya. Sebuah pulau yang penuh teka-teki," jelas
Raja Bojong Gading lagi. "Kau tahu, di mana letaknya pulau itu?"
"Hamba belum tahu, Gusti Prabu," sahut pemuda itu, yang ternyata Arya Buana atau
Dewa Arak sambil menggelengkan kepala. "Tapi mungkin Ki Julaga dan Ki Temula
mengetahuinya."
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan ini mengalihkan tatapan pada wajah-wajah tua di dekatnya.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba
bicara?" tanya seorang kakek berwajah tirus, berpakaian kuning.
Prabu Nalanda menoleh. Ditatapnya wajah kakek
yang tak lain adalah Ki Temula, Ketua Perguruan
Garuda Sakti. Perlahan kepalanya terangguk.
"Silakan, Ki."
"Begini, Gusti Prabu. Maaf, bukannya bermaksud
menyombongkan pengetahuan. Tapi menurut hemat
hamba, lebih baik Arya mengurungkan maksudnya
untuk pergi ke sana."
"Mengapa, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Pulau Ular adalah sebuah pulau penuh teka-teki dan berbahaya, Arya. Di sana
penuh dengan tempat berbahaya. Apalagi, tempat itu juga ditaburi racun di sekitarnya.
Letaknya saja jarang orang yang tahu," jelas Ki Temula.
"Tapi, kau kan tahu letak pulau itu, Ki?" Raja Bojong Gading yang mendahului
bertanya. Terpaksa
Arya menahan pertanyaan yang akan diajukan.
"Kalau secara pasti, hamba tidak mengetahuinya, Gusti Prabu," sahut Ki Temula
jujur. "Hamba hanya mengetahui dari cerita-cerita pendahulu hamba di
Perguruan Garuda Sakti."
Raja Bojong Gading mengangguk-anggukkan
kepala. "Bisa kau ceritakan padaku mengenai Pulau Ular itu, Ki?" pinta Arya, halus.
Sebentar kakek berwajah tirus itu menghela napas
berat. "Pulau itu berada di tengah Laut Hitam, Arya. Jadi untuk menuju ke sana,
terlebih dulu kau harus
mencari Pantai Karang Hitam. Bukan begitu, Ki?" kata Ki Temula sambil menoleh ke
arah Ki Julaga.
Ki Julaga menganggukkan kepala pertanda
membenarkan. Sementara Prabu Nalanda, Dewa
Arak, Patih Rantaka, dan beberapa orang anggota
pasukan khusus yang berjaga-jaga di sekitar situ
hanya diam mendengarkan.
"Setelah menemukan Pantai Karang Hitam itu, kau harus berlayar terus ke arah
Barat. Dan kalau salah arah, sampai kapan pun kau tak akan menemukan
pulau itu," sambung kakek berwajah tirus itu.
Ki Temula menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas. Terpaksa semua orang yang
berada di situ diam sambil menunggu kelanjutan
ceritanya. Mereka semua sudah tidak sabar lagi
untuk mendengar kelanjutan cerita mengenai Pulau
Ular. Terutama sekali Arya. Maka tak ada seorang pun di antara mereka yang
menyelak cerita Ki Temula.
"Apabila menempuh arah yang benar, kau akan
melalui tempat-tempat aneh," sambung kakek
berwajah tirus itu. "Yang pertama kali akan kau temukan adalah air laut yang
tidak lagi berwarna biru, tapi hitam! Ini adalah tanda pertama kalau kau telah
menempuh jalan yang benar. Sampai di sini, udara
telah mengandung racun ganas. Maka, kau harus
hati-hati."
"Ahhh...!"
Terdengar seruan kaget dari mulut semua orang
yang mendengarkan cerita itu. Sungguh tidak
disangka kalau perjalanan menuju Pulau Ular itu
melewati hal-hal yang aneh. Hanya Ki Julaga yang
tidak menampakkan tanggapan apa-apa. Memang
kakek bertubuh kecil kurus ini juga telah
mengetahuinya. Sedangkan Arya, di samping terkejut juga mencatat semua yang
diceritakan Ki Temula
dalam benaknya.
"Apabila kau telah melewati lautan yang airnya berwarna hitam, maka perlahan
warna air itu semakin muda. Sampai akhirnya, kau akan bertemu air yang
berwarna hijau. Tak jauh dari situ, kau akan
menemukan sebuah pulau yang kalau dilihat dari
atas, dari samping kanan, atau dari kejauhan,
berbentuk memanjang dan meliuk-liuk mirip badan seekor ular. Itulah sebabnya,
mengapa pulau itu
dinamakan Pulau Ular," tutur Ki Temula menutup ceritanya.
Suasana menjadi hening sejenak ketika Ki Temula
menghentikan ceirtanya. Mereka semua terpukau
setelah mendengar cerita Pulau Ular.
"Mengerikan sekali."
Ucapan Prabu Nalanda memecahkan keheningan
yang menyelimuti tempat itu. Pelan saja suaranya, sehingga lebih mirip desahan.
Tapi karena suasana saat itu hening, ucapan Raja Bojong Gading itu jadi
terdengar jelas dan keras.
"Begitulah keadaan pulau itu menurut yang hamba dengar, Gusti Prabu," tambah Ki
Temula. "Kau pernah membuktikan kebenaran berita itu, Ki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Ki Temula menganggukkan kepala.
"Dulu sewaktu aku masih muda dan berdarah
panas sepertimu, Arya," sahut kakek berwajah tirus itu. "Dengan bermodalkan
keberanian, aku pergi ke sana. Tapi baru saja tiba di lautan yang airnya
berwarna hitam, aku telah jatuh pingsan. Untung saat itu aku membawa obat
penawar racun. Kalau tidak,
entah apa jadinya...?"
Sampai di sini Ketua Perguruan Garuda Sakti itu
menghentikan ceritanya.
"Lalu bagaimana, Ki?" selak Prabu Nalanda yang merasa tertarik.
Wajah Ki Temula memerah mendengar pertanyaan
itu. "Aku langsung kembali," jawab kakek berwajah tirus itu pada akhirnya, walau
dengan rasa malu. "Aku tidak sudi mati konyol di tempat itu. Meskipun dengan
perasaan penasaran, aku memaksakan diri untuk
kembali. Tapi, lagi-lagi nasib sial menimpa diriku."
"Apa yang terjadi denganmu, Ki?" tanya Arya ketika mendapat kesempatan.
"Aku tersesat, sehingga tidak menemukan jalan pulang. Berhari-hari lamanya aku
terkatung-katung di tengah lautan. Untunglah pada akhirnya
aku berhasil menemukan sebuah pulau lain. Di sana, aku mendaratkan perahuku."
"Lalu selanjutnya bagaimana, Ki?" selak Prabu Nalanda lagi.
Rupanya Raja Bojong Gading ini merasa tertarik
juga mendengar pengalaman yang dialami Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu.
"Pulau itu ternyata dihuni seorang pendekar sakti.
Dia tinggal di situ untuk menjaga agar adik
seperguruannya yang berwatak jahat tidak bisa
meloloskan diri dari pulau itu. Sayang..., aku lupa nama pendekar itu. Tapi,
kalau adik seperguruannya aku ingat"
"Siapa namanya, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
Karena cerita yang didengarnya mirip cerita yang
didapat dari seorang pendekar yang dikenalnya
dalam perjalanan.
"Kalau tidak salah... Sanca Mauk...," jawab Ki Temula dengan dahi berkernyit
"Sanca Mauk...!" ulang Dewa Arak kaget.
"Benar!" Ki Temula menganggukkan kepala. "Kau mengenalnya, Arya?"
Perlahan-lahan kepala Arya terangguk. Kemudian
diceritakan pertemuannya dengan tokoh yang
bernama Sanca Mauk itu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode
"Pendekar Tangan Baja").
Ki Temula terdiam setelah Arya menyelesaikan
ceritanya. "Mungkin benar, tokoh yang bernama Sanca Mauk
itu adalah orang yang diceritakan teman
perjalananmu itu, Arya," kata Ketua Perguruan Garuda Sakti, akhirnya.
Suasana menjadi hening sejenak begitu Ki Temula
menghentikan ceritanya karena tidak ada lagi yang membuka suara.
"Terima kasih atas keterangan yang kau berikan mengenai pulau itu, Ki," ucap
Arya memecahkan keheningan.
"Hhh...!" Ki Temula menghela napas berat "Kalau menurut pendapatku, lebih baik
niatmu diurungkan, Arya. Terlalu berbahaya! Belum lagi bahaya-bahaya lain yang
tidak terduga."
"Kuucapkan terima kasih atas semua nasihatmu, Ki," sahut Arya sambil menatap
wajah Ki Temula penuh rasa terima kasih. "Tapi, tekadku telah bulat.
Aku harus pergi ke sana, apa pun yang akan terjadi!"
Ki Temula terdiam. Dia tahu tidak ada gunanya lagi menahan tekad Dewa Arak yang
telah begitu bulat.
"Kalau niatmu sudah begitu keras, aku hanya bisa mendoakan agar kau selamat,
Arya," harap Ki
Temula. "Terima kasih, Ki," ucap Arya tulus.
"Kapan kau akan berangkat, Arya?" tanya Prabu Nalanda.
"Sekarang juga, Gusti Prabu," sahut Arya mantap.
"Hati-hati, Arya," hanya itu yang bisa diucapkan Prabu Nalanda.
Raja Bojong Gading ini diam-diam
mengkhawatirkan keselamatan pemuda berambut
putih keperakan itu, begitu mendengar cerita Ki
Temula tentang Pulau Ular. Tapi dia tidak berusaha mencegah, karena memang
Melati sangat membutuhkan pertolongan. Kalau tidak Dewa Arak,
siapa lagi orang yang pantas melakukan perjalanan menantang maut ke Pulau Ular"
"Akan hamba perhatikan semua nasihat Gusti
Prabu." Setelah berkata demikian, Arya bergegas bangkit.
Tapi... "Sebentar, Arya...."
Dewa Arak menoleh ke arah Ki Julaga, orang yang
menyapanya. Tampak kakek bertubuh kecil kurus itu tengah berbincang-bincang
dengan Eyang Sagapati,
ahli obat Istana Kerajaan Bojong Gading. Entah apa yang dibicarakan mereka, Arya
tidak tahu. Yang jelas, setelah minta izin pada Prabu Nalanda, kakek
berpakaian coklat melangkah meninggalkan tempat
itu. Tapi tak lama kemudian, Eyang Sagapati sudah
kembali sambil membawa sebuah buntalan kain
sebesar kepala manusia dewasa. Diberikan buntalan kain itu pada Dewa Arak.
Sebentar laki-laki tua itu menerangkan pada Arya mengenai isi buntalan. Apa
lagi kalau bukan tentang obat-obatan"
Tak lama kemudian, Arya pun pamit. Tak lupa
dikunjunginya Melati sebelum berangkat menuju
Pulau Ular. *** Arya melakukan perjalanan dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf
kesempurnaan. Perjalanan dari Istana Kerajaan
Bojong Gading menuju pantai memang amat jauh,
dan harus menerobos hutan-hutan dan
menyeberangi sungai-sungai.
Sebenarnya Prabu Nalanda hendak memberi
seekor kuda agar perjalanan Dewa Arak dapat lebih
cepat. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu
menolaknya. Padahal dengan berkuda, Dewa Arak
bisa menghemat tenaga. Tapi mengingat medan yang
akan dilalui begitu berat, maka Arya terpaksa tidak bisa menerimanya. Banyak
hutan lebat dan sungai
yang menghalangi jalan, membuatnya harus memilih
jalan kaki. Untuk menentukan arah Barat, bukan merupakan
hal yang sulit. Sebab, ada petunjuk yang tidak
mungkin salah. Matahari! Arya melakukan perjalanan dengan berpatokan pada bola
api raksasa itu.
Arya menempuh perjalanan seperti orang kurang
waras. Dia hanya berhenti kalau kedua kakinya terasa sudah tidak sanggup lagi
melangkah. Makan,
dilakukannya kalau perutnya sudah benar-benar
melilit. Tidur, dan minum pun demikian pula. Dewa Arak hanya tidur apabila
sepasang matanya sudah
tidak mampu dibuka lagi. Dan minum apabila rasa
haus telah mencekik tenggorokan.
Tak aneh bila dalam beberapa hari saja, tubuh
Arya mulai susut. Wajahnya pun mulai memucat.
Keadaannya sudah kurang terurus. Tapi, pemuda
berambut putih keperakan ini sama sekali tidak
mempedulikannya. Yang ada di benaknya hanya satu.
Tiba di Pulau Ular secepat mungkin!
Hari ini adalah hari ketujuh, sejak Dewa Arak
meninggalkan Istana Kerajaan Bojong Gading. Bola


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

api raksasa tepat di atas kepala. Sinarnya menyorot garang ke bumi ketika Arya
tiba di mulut sebuah
hutan. Dari cerita yang pernah didengarnya, Arya tahu ini adalah hutan terakhir yang
akan dilewatinya.
Sekeluarnya dari hutan ini, dia akan bertemu laut.
Hutan ini memang kelihatan sepi-sepi saja. Apalagi
desa yang terdekat, cukup jauh juga dari hutan. Maka Arya pun tetap bersikap
waspada. Dan memang
begitulah sifat Dewa Arak. Tidak pernah
meninggalkan sikap hati-hati dalam setiap
langkahnya. Kalau melihat dari sikapnya, kewaspadaan Arya
memang tak terlihat. Kakinya melangkah dengan
sepasang mata menatap lurus ke depan. Wajahnya
sama sekali tidak menoleh ke kiri atau ke kanan. Tapi sebenarnya, kedua
telinganya dipasang tajam-tajam.
Begitu terdengar suara yang mencurigakan, sekujur urat-urat syaraf di tubuhnya
menegang penuh kewaspadaan. Mendadak Arya menghentikan langkah, ketika
mendengar suara berdesing beberapa kali. Seketika itu juga kedua kakinya
dijejakkan ke tanah. Sesaat kemudian tubuh Dewa Arak sudah melambung ke
udara. Dan pada saat yang bersamaan, beberapa
batang anak panah menyambar, tapi lewat di bawah
kakinya. Baru saja kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah,
dari balik kerimbunan semak dan pepohonan lebat,
muncul dua sosok tubuh yang tiba-tiba sudah
menghadang. Dua sosok itu sama-sama bertubuh kerdil. Paling-
paling tingginya hanya sepinggang Dewa Arak. Tapi raut wajah keduanya kasar dan
penuh bulu. Tubuh
masing-masing hanya terbungkus rompi berwarna
hitam dan coklat. Dan yang lebih mengerikan lagi, ada taring tersembul di bagian
kanan kiri mulut
mereka. "Siapa kalian" Mengapa menyerangku?" tanya Arya hati-hati.
Dewa Arak memang merasa agak heran menerima
serangan dari dua orang yang sama sekali tidak
dikenalnya. Khawatir kalau kedua orang itu salah
alamat. Arya lalu berusaha ramah. Suaranya dibuat lembut saat bertanya tadi.
"Kami berjuluk Raksasa Kecil Hutan Gembrong.
Namaku Jagakarsa," kata orang kerdil yang
mengenakan rompi berwarna coklat,
memperkenalkan diri.
"Aku Jagatarsa," rekannya yang memakai rompi berwarna hitam menyambung.
"Aku Arya," sambut Dewa Arak cepat. Lega sudah rasa hati Dewa Arak melihat
sambutan yang ramah dari kedua orang itu. "Mengapa Kisanak berdua menyerangku?"
"Ha ha ha...!" Jagakarsa tertawa bergelak. Suara tawanya terdengar keras
menggelegar seperti
halilintar. Jelas kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Arya mengerutkan alisnya. Dia tidak mengerti
mengapa laki-laki berompi coklat ini tertawa. Apakah ucapannya barusan begitu
lucu" Tapi betapapun dia telah mengingat-ingat kembali ucapannya, tetap tidak
ditemukannya hal-hal yang patut ditertawakan.
"Kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?" tanya Jagatarsa begitu Jagakarsa
menyelesaikan tawanya.
Arya tersenyum pahit. Sungguh tidak disangka
kalau julukannya sudah tersebar begitu jauh. Bahkan sudah sampai di Hutan
Gembrong ini. Diam-diam
timbul perasaan tidak enak di hatinya. Biasanya kalau sudah begini, keributan
pasti tidak akan bisa
dihindari lagi. Dan inilah yang paling tidak disukai Dewa Arak!
"Tidak bisa kupungkiri," sahut Arya pelan. "Akulah orangnya yang mendapat
julukan yang rasanya terlalu
berlebihan itu."
Mendadak seri di wajah Raksasa Kecil Hutan
Gembrong lenyap. Wajah mereka berubah beringas.
Ada ancaman maut yang tersirat di wajah kedua
orang penguasa hutan itu.
"Kalau begitu, kau harus mampus, Dewa Arak!"
desis Jagakarsa tajam. Nada suaranya menyiratkan
kemarahan dan kebencian yang mendalam.
"Tepat!" sambung Jagatarsa. "Kau telah banyak merugikan orang-orang golongan
kami! Meskipun sudah tidak ikut campur tangan lagi dalam mengacau dunia persilatan, tapi kami
tidak suka rekan-rekan segolongan kami kau bantai!"
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat Dia tahu pertarungan
tidak bisa dihindari lagi. Kedua Raksasa Kecil Hutan Gembrong memang sudah tidak
bisa disabarkan lagi.
Memang, mereka telah terlampau dikuasai amarah.
"Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Jagakarsa melakukan
lompatan harimau, menyerang Dewa Arak.
Kekuatannya dipusatkan pada punggung bagian atas.
Kemudian, tubuhnya bergulingan mendekati Arya.
Dan begitu telah dekat, dia langsung bangkit sambil melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah ulu hati dan dada Dewa Arak, dengan kedua tangan
mengembang membentuk cakar. Suara mendecit
nyaring dari udara yang terobek, terdengar mengiringi serangan itu.
Cepat bukan main gerakan laki-laki berompi coklat itu. Semua peristiwa itu
terjadi dalam sekejap mata saja. Dan tahu-tahu, kedua cakar Jagakarsa telah
mengancam ulu hati dan dada Dewa Arak.
Cepat gerakan Jagakarsa, tapi masih lebih cepat
lagi gerakan Dewa Arak. Kaki kanan pemuda
berambut putih keperakan itu segera melangkah ke
belakang. Sehingga, semua serangan itu hanya lewat sekitar sejengkal di
depannya. Belum sempat Dewa Arak berbuat sesuatu,
Jagakarsa telah melancarkan serangan susulan. Kini kaki kanannya bergerak
menyapu. Wuttt..! Deru angin keras mengawali tibanya serangan
sapuan kaki itu. Kelihatannya sapuan kaki itu tidak bisa dianggap ringan.
Jangankan kaki manusia,
batang pohon keras sebesar dua pelukan tangan
orang dewasa saja akan tumbang bila terkena.
Mendadak sekali tibanya serangan susulan itu.
Tapi lawan yang diserangnya adalah Dewa Arak,
seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian
amat tinggi! Maka tidak begitu sulit bagi Dewa Arak untuk nengelakkan serangan
itu. Kedua lututnya
sedikit saja ditekuk, lalu bergerak menggenjot. Sesaat kemudian tubuh pemuda
berambut putih keperakan
itu meletik ke atas. Hasilnya, sapuan Jagakarsa
mengenai tempat kosong.
Melihat kesungguhan serangan lawan, Dewa Arak
tidak berani bersikap main-main lagi. Maka sambil nelompat ke atas, tangan kanan
Dewa Arak dengan
jari-jari membentuk cakar meluncur deras ke arah
kepala laki-laki berompi coklat itu. Arya menggunakan ilmu warisan ayahnya,
'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau'. Jagakarsa terperanjat begitu melihat lawannya.
Dewa Arak bisa merubah keadaan, dari terancam
menjadi mengancam. Bahkan dengan serangan
serangan maut! Dari suara mendecit nyaring, bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan itu.
Jagakarsa adalah orang yang terlalu yakin akan
kemampuan diri sendiri. Maka begitu mendapat
serangan maut itu, sama sekali tidak dielakkannya.
Bahkan sebaliknya malah dipapaknya. Laki-laki
berompi coklat ini mengerahkan seluruh tenaganya
dalam tangkisan itu. Maksudnya memang ingin
mematahkan kedua tangan Dewa Arak dengan sekali
tangkis. Plak, plak, plakkk...!
Suara benturan keras terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan yang sama-
sama mengandung
tenaga dalam tinggi berbenturan.
Hebat akibatnya! Tubuh Dewa Arak yang berada di
udara, terpental kembali ke atas, Jagakarsa yang
berada di tanah, jatuh terpelanting.
Namun berkat kelihaian masing-masing, tidak sulit bagi kedua orang itu untuk
segera memperbaiki
sikap. Tepat saat kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, Jagakarsa pun berhasil
memperbaiki sikapnya.
Tapi wajahnya tidak tenang seperti sebelumnya.
Tampak ada seringai kesakitan yang tergambar di
wajahnya. Memang, laki-laki berompi coklat ini
merasa kan sakit pada kedua tangannya ketika
berbenturan dengan kedua tangan Arya. Bukan hanya itu saja. Dadanya pun terasa
sesak bukan main.
Jagakarsa menggeram. Hatinya merasa marah dan
penasaran bukan main. Dan kini perasaan tidak
percaya bergayut di benaknya. Mungkinkah pemuda
berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam yang melebihinya"
"Mustahil! Tidak mungkin!" bantah Jagakarsa dalam hati. "Pasti ada kekeliruan di
sini! Mungkin dia tadi hanya mengerahkan sebagian dari tenaga
dalamnya!"
Bukan hanya Jagakarsa saja yang terkejut.
Jagatarsa pun terperanjat melihat hasil benturan yang terjadi. Meskipun tidak
mengetahui apa yang
dirasakan Jagakarsa, tapi laki-laki berompi hitam ini tahu kalau dalam benturan
itu Dewa Arak lebih
unggul! "Haaat..!"
Jagakarsa yang merasa penasaran, kembali
menyerang. Seluruh kemampuannya dikerahkan,
karena sadar kalau lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi. Tidak ada
gunanya lagi bersikap setengah-setengah. Dan memang, sejak tadi laki-laki
berompi coklat ini tidak bertindak setengah-setengah.
Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara kedua
orang itu pun terjadi. Tapi, meskipun tahu kalau
lawan yang dihadapinya lihai, Dewa Arak tidak
mengeluarkan ilmu andalannya. Yang dipakainya
justru malah ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau'. 2 Pertarungan yang terjadi memang luar biasa. Suara mendecit, menderu, dan
mengaung ikut menyemaraki
pertarungan. Tanah terbongkar di sana-sini. Daun-
daun berguguran dari pohonnya. Beberapa batang
pohon tumbang, terkena angin serangan pukulan
nyasar. Semula pertarungan memang berlangsung
imbang. Keduanya saling serang bergantian. Tapi
begitu memasuki jurus ke tiga puluh lima, mulai
tampak keunggulan Dewa Arak. Ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau', memang bukan ilmu
sembarangan. Karena terlalu menitikberatkan pada
bagian penyerangan. Sehingga tidak aneh kalau
Jagakarsa terdesak.
Jagakarsa menggigit bibir, menahan rasa geram
dan malu yang mendera. Sungguh tidak disangka
kalau lawan yang dihadapinya benar-benar memiliki kepandaian luar biasa! Baik
dalam hal ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, maupun mutu
ilmu silat. Semakin lama keadaan Jagakarsa semakin
terjepit. Serangan demi serangan yang semula susul-menyusul, dan silih berganti
menghujani Arya, kini tidak terlihat lagi. Sedikit demi sedikit, serangan yang
dilakukannya mulai berkurang, dan lebih banyak
menangkis serta mengelak. Tapi, karena menangkis
pun menimbulkan akibat yang merugikan, laki-laki
berompi coklat ini lebih banyak mengelak.
Arya dengan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau'nya, terus mendesak. Sama sekali lawan
tidak diberi kesempatan sedikit pun, sehingga
memaksa Jagakarsa terus bertarung mundur.
Jagatarsa mengerutkan alis melihat keadaan
rekannya. Dia tahu kalau Jagakarsa terdesak. Dan
menurut penilaiannya, tidak sampai dua puluh jurus lagi rekannya itu akan roboh
di tangan Dewa Arak.
Keadaan Jagakarsa memang sudah sangat
mengkhawatirkan. Kini, laki-laki berompi coklat itu tidak mampu lagi balas
menyerang. Yang
dilakukannya hanyalah mengelak terus. Itu pun
dilakukan dengan susah payah! Beberapa kali terlihat dia terpontang-panting
sewaktu mengelakkan
serangan Dewa Arak.
"Haaat..!"
Sambil berseru keras, Arya melompat menerjang
Jagakarsa. Tangan kanan pemuda berambut putih
keperakan itu menyampok deras ke arah pelipis.
Sementara tangan kiri terpalang di depan dada.
Suara mendecit nyaring, mengiringi tibanya serangan Dewa Arak.
Jagakarsa terperanjat. Tibanya serangan itu pada
saat sikapnya tengah dalam keadaan tidak
memungkinkan. Dia baru saja mengelakkan sebuah
serangan, dan belum sempat memperbaiki sikap.
Bukan hanya Jagakarsa saja yang terkejut.
Jagatarsa pun demikian pula. Hati laki-laki berompi hitam itu tercekat saat
melihat bahaya maut akan
mengancam rekannya. Maka tanpa pikir panjang lagi, dia segera melompat
menerjang. Diburunya Dewa
Arak yang tengah melancarkan serangan. Jari-jari
kedua tangannya menegang lurus kaku, dan
menusuk bertubi-tubi ke arah punggung dan belakang kepala pemuda berambut putih
keperakan itu. Dewa Arak merasakan adanya desiran angin di
belakangnya. Jelas, dia tahu kalau serangan maut
yang datang mengancam. Tapi, dia tidak
mempedulikannya. Serangannya pada Jagakarsa
terus saja dilanjutkan.
Jagakarsa melihat ancaman maut yang menuju ke
arahnya, tentu saja tidak sudi nyawanya yang hanya selembar ini melayang.


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal saat itu keadaannya benar-benar terjepit. Maka dengan sebisa-bisanya dia
berusaha mengelak. Sambil mendoyongkan tubuh,
kakinya melangkah ke belakang.
Prattt..! Sampokan tangan Dewa Arak telak mengenai
pangkal lengan kiri Jagakarsa. Terdengar suara
gemeretak dari tulang-tulang yang retak.
Bukan hanya itu saja. Kulit dan daging laki-laki
berompi coklat itu pun terkelupas. Seketika, darah segar mengalir keluar dari
bagian tubuh yang terluka.
Memang telak dan keras sekali sampokan Dewa Arak.
Jagakarsa menyeringai menahan rasa sakit yang
melanda. Meskipun begitu, laki-laki berompi coklat ini patut bersyukur. Karena
sungguhpun tidak dapat
dikatakan berhasil, tapi yang jelas dirinya selamat.
Sementara itu, serangan Jagatarsa semakin
mendekati Dewa Arak. Hal ini menguntungkan
Jagakarsa. Sebab bukan tidak mungkin dia sudah
tewas oleh Arya yang sudah siap mengirimkan
serangan susulan dengan sabetan tangan kirinya.
Dewa Arak segera melentingkan tubuhnya,
menghindari serangan Jagatarsa. Kaki pemuda
berambut putih keperakan itu langsung mendarat di tanah, membelakangi Jagatarsa.
Kemudian, kembali
kakinya dijejakkan ke tanah, lalu tubuhnya
melambung. Dia membuat putaran beberapa kali di
udara, kemudian hinggap di tanah kembali. Dan
secepat pemuda berambut putih keperakan ini
hinggap di tanah, secepat itu pula tubuhnya
dibalikkan. Kini Dewa Arak bersiap menghadapi
serangan kembali.
Tapi ternyata Dewa Arak terkecoh. Ternyata sama
sekali tidak terlihat seorang pun di sekitar situ.
Rupanya, begitu melihat Arya menjauhkan diri,
Jagakarsa dan Jagatarsa segera melesat kabur.
Hanya dalam sekejap saja, tubuh kedua orang itu tak tampak lagi. Mereka hilang
ditelan kerimbunan
pepohonan dan semak-semak lebat.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega, dan sama sekali
tidak berusaha mengejar. Kepalanya ditundukkan ke bawah, sedangkan kedua tangan
menutupi wajahnya.
Napasnya ditarik dan dikeluarkan berulang-ulang,
untuk menenangkan hatinya.
Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini
merasa bersyukur melihat lawannya berhasil
menyelamatkan diri. Sebab kalau sampai tewas di
tangannya, Arya akan menyesal bukan kepalang.
Memang belakangan ini, Dewa Arak hampir tidak bisa mengendalikan diri. Apalagi
bila bertemu tokoh
golongan hitam. Dia mudah sekali menurunkan
tangan jahat. Apalagi bila ingatannya langsung
melayang pada Melati yang tergolek lemah dan
menderita akibat kekejian tokoh golongan hitam.
Itulah sebabnya, Arya hampir lupa diri begitu melihat sikap telengas Jagakarsa.
Hampir-hampir saja dia
membunuhnya. Perlahan Dewa Arak menurunkan kedua
tangannya dari wajah. Mulutnya menghembuskan
napas kuat-kuat. Pemuda itu berharap, semoga
dengan berlaku seperti itu, sisa rasa sesal yang
bergayut di hatinya segera lenyap.
Setelah memperhatikan sesaat keadaan
sekitarnya, Dewa Arak lalu melangkah meninggalkan tempat yang telah porak
poranda itu. Ada sedikit
perasaan bingung di hati Arya. Mengapa kedua orang itu kabur" Mengapa tidak
mencoba mengeroyoknya"
Sama sekali pemuda berambut putih keperakan itu
tidak tahu terhadap sikap Raksasa Kecil Hutan
Gembrong. Pantang bagi kedua tokoh sakti itu untuk mengeroyok lawan. Apalagi
lawan yang masih muda
seperti Arya! Itulah sebabnya, mengapa mereka
melarikan diri setelah Jagakarsa dikalahkan.
*** Setelah beberapa kali menguak kerimbunan
semak-semak dan pepohonan, akhirnya Dewa Arak
tiba di tempat yang dituju. Pria kini telah berdiri di atas tebing tinggi. Di
bawahnya, dalam jarak tak
kurang dari lima belas tombak, membentang lautan.
Untuk beberapa saat lamanya, pandangan Arya
terpaku pada lautan yang terhampar di bawahnya.
Kemudian pandangannya dialihkan ke depan, ke arah Barat. Dia berharap,
barangkali saja dari tempat
ketinggian ini Pulau Ular dapat terlihat.
Tapi, rupanya hanya kekecewaan saja yang
didapat Dewa Arak. Sejauh mata memandang, yang
terlihat hanya air. Memang ada beberapa pulau yang nampak kebiruan jauh di
depannya. Tapi, letaknya
lebih condong ke Utara dan Selatan. Sementara ke
arah Barat sama sekali tidak terlihat apa-apa.
Arya menyipitkan matanya untuk memperjelas
pandangan. Tapi tetap saja pemuda berambut putih
keperakan ini tidak melihat apa pun. Kalau saja ada
orang yang kebetulan melihat sepasang mata Arya,
tentu akan bergidik ngeri. Sepasang mata itu
mencorong tajam dan berwarna kehijauan, tak
ubahnya mata seekor harimau dalam gelap!
Sesaat kemudian, Dewa Arak kembali
mengalihkan perhatian ke bawahnya. Dahinya
berkernyit, memikirkan apa yang harus dilakukan.
Permukaan air laut itu tampaknya terlalu tinggi
jaraknya dari tebing tempatnya berdiri. Sepertinya tidak mungkin baginya untuk
melompat ke sana.
Apalagi, permukaan air di bawah sana selalu bergolak dan bergelombang keras.
Betapapun hebat
kepandaiannya, merupakan suatu hal yang mustahil
untuk bisa turun ke sana.
Beberapa saat lamanya Dewa Arak bersikap
seperti itu. Dia terus berdiri menatap ke permukaan air laut dengan dahi
berkernyit dalam. Jelas kalau pemuda berambut putih keperakan ini tengah
berpikir. Tak lama kemudian, kernyit pada dahi Dewa Arak
lenyap. Sepasang matanya tampak bersinar-sinar.
Jelas ada sesuatu yang menggembirakan hatinya.
Kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini
melesat meninggalkan tempat itu. Cepat sekali
gerakannya. Sehingga, yang tampak hanyalah
sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat dan
kemudian lenyap di balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.
Hanya sebentar saja pemuda berambut putih
keperakan ini pergi meninggalkan tempat itu, dan kini dia telah kembali. Dan di
tangannya, telah terpegang dua lembar papan yang tidak begitu tebal, dan
segulung tali. Papan itu tidak begitu lebar, berbentuk persegi
panjang. Lebarnya tidak sampai sejengkal, tapi
panjangnya lebih dari sejengkal.
Arya meletakkan kedua papan itu di bawah kedua
alas kakinya, kemudian mengikatkannya ke kaki.
Pemuda berambut putih keperakan itu kembali
memeriksa ikatan, untuk meyakinkan kalau kedua
papan itu telah terikat erat pada kakinya.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Arya menggenjotkan
kakinya. Sekejap kemudian, tubuhnya melayang ke
atas. Tidak begitu tinggi, karena Dewa Arak memang tidak bermaksud demikian.
Dan begitu daya yang membuat tubuhnya
melambung ke atas habis, tubuh Arya melayang turun ke bawah. Dia kini meluncur
ke permukaan air laut yang bergolak di bawahnya!
Beberapa kali tubuh Dewa Arak berputaran di udara. Dan itu memang disengaja.
Karena dengan begitu, luncuran tubuhnya jadi tidak terlampau cepat dan deras.
Pyarrr...! Air laut memercik tinggi ke atas ketika kedua kaki Dewa Arak hinggap di sana.
Itu pun tidak mantap,
karena Arya sempat sempoyongan! Tapi hal itu hanya berlangsung sesaat saja.
Berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi,
Dewa Arak mampu memperbaiki sikapnya.
Kini dengan mempergunakan kedua papan pada
alas kakinya, Dewa Arak mulai mengarungi lautan.
Tentu saja bukan merupakan hal yang mudah untuk
melakukannya. Mengarungi lautan dengan
menggunakan dua bilah papan ini membutuhkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan. Dengan adanya alat bantu ini, Arya kini dapat
dengan enaknya berlari-lari di lautan. Meskipun
begitu, tetap saja bila dibandingkan kecepatan larinya di darat, kecepatannya
merosot jauh. Namun,
setidak-tidaknya masih lebih cepat daripada laju
perahu! Beberapa kali Dewa Arak terpaksa harus
melompat ketika ada ombak besar yang menyerbu ke
arahnya. Indah dan manis sekali gerakannya ketika bersalto di udara untuk
kemudian mendarat di
permukaan air laut kembali.
Dengan mengambil patokan pada matahari, tidak
sulit bagi Dewa Arak untuk menuju arah Barat. Dia tidak memikirkan apa-apa lagi.
Yang ada di benaknya hanya satu, tiba di Pulau Ular secepat mungkin.
Perlahan matahari mulai tenggelam ke Barat. Dan
kegelapan pun berangsur-angsur mulai menyelimuti
bumi. Dan seiring mulai gelapnya suasana,
kecemasan pun mulai menjalari hati Arya.
Dewa Arak sadar, tidak mungkin untuk terus
melakukan perjalanan dengan dua bilah papan ini.
Sebentar lagi matahari akan tenggelam, dan malam
pun datang menjelang. Rasanya sulit untuk terus
melakukan perjalanan. Karena di samping tidak
adanya lagi patokan menuju ke arah yang ditempuh, juga Dewa Arak butuh
beristirahat. Maka harus
dicarinya sebuah pulau terdekat untuk mendarat dan beristirahat. Kalau
memungkinkan, dia pun akan
membuat sebuah rakit.
Itulah sebabnya maka Arya mengedarkan
pandangan ke sekitarnya, mencari-cari pulau terdekat untuk disinggahi. Untung
tak jauh darinya, agak ke Selatan sedikit, tampak sebuah dataran
membentang. Maka bergegas pemuda berambut
putih keperakan ini menuju ke sana.
Lincah dan gesit, seperti berjalan di atas
permukaan air, Dewa Arak bergerak menuju ke pulau itu. Semakin lama, semakin
jelas terlihat dataran itu.
Ternyata, itu sebuah pulau kecil.
"Hih...!"
Dewa Arak menggenjotkan kedua kakinya seperti
layaknya menggenjot di tanah. Sesaat kemudian
tubuhnya melambung, lalu bersalto beberapa kali di udara. Kemudian kakinya
mendarat di pinggir pantai.
Arya mengamati keadaan sekeliling pulau itu
sejenak, baru kemudian melepaskan kedua papan
yang terikat pada kedua telapak kakinya. Kemudian ditaruhnya di tempat yang
aman. "Hhh...!" Arya menghembuskan napas lega.
Kembali sepasang mata Dewa Arak beredar
berkeliling mengamati keadaan sekitar. Dalam
keremangan suasana malam yang hanya diterangi
sinar bulan di langit, cukup jelas terlihat keadaan pulau kecil yang
disinggahinya ini.
Pulau itu ternyata adalah sebuah pulau gersang.
Tidak nampak adanya pepohonan yang tumbuh. Yang
terlihat hanyalah pohon nyiur. Itu pun hanya beberapa saja. Di sana-sini lebih
banyak berserakan batu-batuan belaka.
Setelah merasa cukup memperhatikan keadaan
pulau itu, perhatian Dewa Arak dialihkan ke lautan lepas. Mendadak sepasang mata
Arya terbelalak. Di kejauhan, tampak bergerak sebuah perahu besar
yang menuju ke arahnya.
Arya menyipitkan matanya untuk lebih
memperjelas pandangan. Memang benda itu adalah
sebuah perahu besar yang jelas-jelas menuju ke
pulau yang disinggahinya. Berdebar jantung Dewa
Arak seketika. Milik siapa kah perahu besar itu" Dan mengapa menuju ke tempat
ini" Wajah Dewa Arak seketika berubah saat melihat
kain lebar yang berkibar angkuh di ujung tiang kapal layar itu. Kain itu
berwarna hitam kelam. Tapi bukan itu yang membuat pemuda berambut putih
keperakan ini terkejut. Melainkan gambar yang tertera di kain hitam itu. Di kain hitam itu
tertera gambar tengkorak bagian kepala yang di bawahnya dibubuhi gambar
tulang yang bersilangan. Semua gambar itu berwarna putih. Tampak pas sekali
dengan warna hitam yang
menjadi latar belakangnya.
Arya terperanjat. Dari cerita yang pernah
didengarnya, memang telah diketahui kalau di sekitar lautan ini telah mengganas
segerombolan bajak laut yang menamakan diri, Pasukan Tengkorak Laut.
Gerombolan bajak laut itu senantiasa mengganas,
merampok pedagang-pedagang besar yang tengah
membawa hasil niaganya untuk dijual ke kerajaan
lain. Dewa Arak memang sudah mendengar kalau
penguasa Kerajaan Pasugihan telah memerintahkan
pasukannya untuk membasmi para bajak laut itu, tapi selalu berakhir dengan
kegagalan. Kini tanpa disengaja Dewa Arak bertemu
gerombolan bajak laut itu. Karuan saja hal ini
membuat pemuda berambut putih keperakan itu
menjadi kebingungan sejenak. Sepasang matanya
beredar liar mengamati sekeliling, mencari-cari
tempat bersembunyi. Tapi seperti yang tadi dilihat, tidak ada tempat untuk
menyembunyikan diri di situ, kecuali agak jauh di sana. Tampak olehnya gundukan
tanah yang mirip sebuah bukit. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera Dewa Arak
melesat ke arah


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang
sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sekejap saja Dewa Arak telah berada
dalam jarak sekitar tiga tombak dengan bukit itu.
Arya mencari-cari dengan pandangan matanya.
Lega hatinya tatkala melihat sebuah gua di salah satu dinding bukit itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera memasukinya.
Gua itu ternyata hanya kecil di luarnya saja.
Semakin masuk ke dalam, semakin besar dan luas.
Anehnya lagi, gua itu ternyata cukup terang. Diam-diam pemuda berambut putih
keperakan itu merasa
sedikit heran. "Dari mana asal timbulnya sinar itu?" tanya Arya dalam hati.
Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau bagian
atas gua itu mampu menyerap sinar matahari yang
memancar di waktu siang. Dan baru setelah malam
hari, sinar yang terserap itu dipancarkan kembali. Jadi bagian atap gua itu
mirip bulan. Yang memancarkan sinar karena mendapat pancaran sinar dari
matahari. *** Semakin melangkah masuk ke dalam, semakin
takjub hati Arya. Gua ini ternyata luas bukan main.
Luas, terang, dan banyak memiliki ruangan. Tapi
sama sekali semua itu tidak dipedulikannya. Kakinya terus melangkah masuk
semakin ke dalam.
Arya terperanjat ketika pandangan matanya
tertumbuk pada sebuah ruang gua yang memiliki
jeruji baja bulat, tebal, dan kokoh. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Arya sudah
bisa mengetahui kalau jeruji besi itu dibuat orang. Jadi, tidak terjadi secara
alami seperti layaknya gua ini. Dugaannya, gua ini pasti ada penghuninya! Dan
orang yang berada di
dalam ruangan berjeruji itu pasti tahanan penghuni gua! Begitu kesimpulan yang
didapat Arya. Seketika itu juga kewaspadaan Dewa Arak
semakin bertambah. Ada rasa tidak enak dalam
hatinya begitu mengingat gua itu memiliki penghuni.
Tapi perasaan tidak enak itu buru-buru dilenyapkan.
Akhirnya, Arya memasuki gua ini. Maksudnya untuk
menghindari terjadinya pertemuan dengan para bajak laut.
Tapi, mendadak hati Arya tercekat begitu teringat akan bajak laut itu. Seketika
itu juga timbul dugaan dalam hatinya. Jangan-jangan, para bajak laut itu adalah
penghuni gua ini!
Dugaan itu membuat Arya menghentikan
langkahnya sejenak. Sesaat lamanya pemuda
berambut putih keperakan ini bimbang. Antara
meneruskan langkah, atau kembali ke luar.
Tapi perasaan ingin tahu terhadap orang yang
terkurung dalam ruang berjeruji itu, memaksa Dewa Arak untuk terus melanjutkan
langkahnya. Dia ingin tahu, siapakah orang yang terkurung itu. Jika orang itu
baik, merupakan kewajiban baginya untuk
menolong. Hanya beberapa langkah saja, Arya telah berada di depan ruangan gua yang
berjeruji itu. Pandangannya langsung beredar ke dalam.
*** Ruang tahanan itu tidak begitu luas. Ukurannya
paling luas hanya satu setengah tombak kali satu
setengah tombak. Di dalamnya, tampak seorang laki-
laki berkumis dan berjenggot rapi tengah bersandar pada dinding gua. Kedua
tangan dan kakinya
terbelenggu rantai baja tebal dan kuat yang tertanam di dinding.
Hati Arya agak tercekat begitu melihat pakaian
yang dikenakan orang itu. Dia mengenakan pakaian
seragam kerajaan!
Bukan hanya Arya saja yang memperhatikan.
Ternyata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu pun menoleh pula. Matanya
menatap ke arah Dewa
Arak dengan dahi berkernyit.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya laki-laki berpakaian seragam kerajaan seraya
merayapi sekujur
tubuh Arya. "Apakah kau juga anggota gerombolan bajak laut itu?"
Kini jelas bagi Dewa Arak kalau dugaannya tadi
benar. Pemilik gua ini adalah gerombolan bajak laut.
Dan sudah pasti gerombolan bajak laut yang tadi
dilihatnya. "Bukan," Arya menggelengkan kepala.
"Lalu, mengapa kau berada di sini?" tanya laki-laki berkumis dan berjenggot rapi
itu lagi. "Aku terdampar di pulau ini, dan mencari tempat untuk melewatkan malam tanpa
kedinginan. Untung
gua ini kutemukan," sahut Arya sedikit berbohong.
"Kalau begitu, cepat tinggalkan tempat ini, Anak Muda...!" seru laki-laki
berpakaian seragam kerajaan itu. Nada suara dan sorot matanya menyiratkan
kekhawatiran. "Cepat sebelum para bajak laut itu kembali dan menjumpaimu...!"
"Lalu, kau sendiri bagaimana, Paman?"
"Jangan pedulikan aku! Aku Gorawangsa, seorang panglima kerajaan! Adalah
merupakan hal yang biasa bagi seorang prajurit untuk mati!" sahut laki-laki
berpakaian seragam kerajaan yang ternyata bernama Panglima Gorawangsa itu. Tegas
dan mantap ucapannya. Seketika perasaan kagum timbul dalam hati Dewa
Arak. Laki-laki berkumis dan berjenggot rapi yang mengaku panglima kerajaan ini
sudah bisa dipastikan orang baik-baik. Dalam keadaan tertawan begitu, dia masih
mementingkan nasib orang lain.
"Lalu bagaimana kau bisa ditawan mereka,
Panglima?" tanya Arya ingin tahu.
Pemuda berambut putih keperakan itu kini
memanggil laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu dengan panggilan
jabatannya, bukan panggilan
kekerabatan. "Aku diperintah Gusti Prabu Lindu Pasing untuk menumpas gerombolan bajak laut
yang menamakan dirinya Pasukan Tengkorak Laut. Tapi sayang, lawan terlalu kuat. Semua anak
buahku tewas. Sementara
aku sendiri ditawan mereka."
Arya mengangguk. Dari cerita yang didengarnya,
dia tahu kalau Prabu Lindu Pasing adalah Raja
Kerajaan Pasugihan.
"Kau..., mengapa masih berada di sini, Anak
Muda?" tegur Panglima Gorawangsa lagi. "Cepat pergi sebelum terlambat!"
Arya menggelengkan kepala.
"Kau tidak mau meninggalkan tempat ini?"
sepasang mata Panglima Gorawangsa terbelalak.
"Kau akan menyesal, Anak Muda! Mereka kejam dan bengis! Cepat menyingkir sebelum
mereka kembali!"
"Aku memang akan meninggalkan tempat ini,
Panglima...."
"Itu bagus!" potong laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu. Tak
dipedulikannya ucapan Dewa
Arak yang belum selesai. "Cepatlah tinggalkan tempat ini!"
"Tapi tidak sendiri...," sambung Arya.
"Maksudmu...?" agak terbata-bata ucapan yang keluar dari mulut Panglima
Gorawangsa. "Ya!" Arya menganggukkan kepalanya. "Aku akan meninggalkan tempat ini, tapi
bersamamu, Panglima."
"Bagaimana mungkin, Anak Muda," lesu dan putus asa suara yang keluar dari mulut
laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu. "Belenggu ini sangat kuat. Aku tidak
mampu mematahkannya..., dan...."
Ucapan Panglima Gorawangsa terhenti ketika
melihat Arya menggenggamkan jemari tangannya
pada dua batang jeruji baja itu. Dan sekali pemuda berambut putih keperakan itu
menarik, batang-batang jeruji baja itu membengkok. Sekejap
kemudian, terbuat sebuah jalan bagi Dewa Arak
untuk melangkah masuk ke dalam ruang tahanan itu.
"Kau..., kau mampu melakukannya, Anak Muda...?"
Meskipun dengan agak terputus-putus, Panglima
Gorawangsa berhasil juga menyelesaikan kata-katanya. Sungguh sukar dipercaya,
baja sebesar itu mampu dibengkokkan Arya dengan begitu mudahnya.
Tak terlihat tanda-tanda kalau pemuda berpakaian
ungu itu mengerahkan tenaga dalam.
Dewa Arak hanya tersenyum saja. Sama sekali
tidak disahutinya ucapan Panglima Kerajaan
Pasugihan itu. Perlahan kakinya melangkah men-
dekati tubuh Panglima Gorawangsa. Lalu tangannya
diulurkan ke arah belenggu baja yang memborgol
pergelangan tangan dan kaki laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu.
Krakkk...! Suara berderak keras terdengar empat kali ketika
Dewa Arak mengerahkan tenaganya untuk membetot.
Empat buah belenggu baja itu putus seketika.
"Luar biasa...!" puji Panglima Gorawangsa dengan sepasang mata terbelalak. "Kau
benar-benar mampu melakukannya, Anak Muda"! Ahhh...! Sulit
dipercaya...!"
Sambil berkata demikian, Panglima Gorawangsa
menggosok-gosokkan pergelangan tangan dan
kakinya untuk melancarkan kembali peredaran
darahnya. Sementara sepasang matanya masih
menatap wajah Dewa Arak. Sorot kekaguman tampak
jelas, baik pada wajah maupun sorot matanya.
"Bersiaplah, Panglima," ujar Arya tanpa mempedulikan semua pujian laki-laki
berkumis dan berjenggot rapi. "'Para bajak laut itu sebentar lagi akan kemari." Seketika itu
juga wajah Panglima Kerajaan Pasugihan itu berubah.
"Ahhh...! Jadi kau telah bertemu mereka, Anak Muda?" tanya Panglima Gorawangsa
terkejut Arya mengangguk. Kemudian, secara singkat
dijelaskan semuanya. Panglima Gorawangsa pun
diam mendengarkan. Sama sekali tidak menyelak,
hingga Arya menyelesaikan ceritanya.
"Kalau begitu, aku harus mencari senjata dulu...,"
kata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi seraya bergerak ke luar tahanan.
Tanpa berkata apa-apa, Arya juga melangkahkan
kakinya ke luar tahanan itu. Tapi langkahnya berhenti begitu telah berada di
luar ruangan. Sedangkan
Panglima Gorawangsa terus melangkah ke dalam
gua. Sesaat kemudian, dia telah kembali dengan
sebatang pedang di tangan.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Anak Muda," ajak Panglima Gorawangsa. "Oh, ya.
Kalau boleh kutahu,
siapa namamu?"
"Arya, Panglima. Arya Buana."
"Sebuah nama yang bagus," puji Panglima Gorawangsa.
Tidak nampak adanya perubahan pada wajah dan
air muka Panglima Kerajaan Pasugihan itu begitu
mendengar pemuda berambut putih keperakan ini
memperkenalkan namanya. Jelas kalau dia belum
pernah mendengar tentang nama dan julukan Arya
yang menggemparkan dunia persilatan.
"Terima kasih atas pujian yang terlalu berlebihan itu, Panglima," sahut Dewa
Arak merendah. Panglima Gorawangsa sama sekali tidak
menyahuti. Bergegas kakinya melangkah menuju ke
luar gua. Sementara Arya mengikuti di belakangnya.
Baru saja beberapa tindak keduanya melangkah, terdengar suara riuh dari arah
depan. Karuan saja hal ini membuat langkah Panglima Gorawangsa dan
Dewa Arak terhenti.
"Celaka, Arya," bisik Panglima Gorawangsa.
"Mereka telah masuk ke dalam gua. Kita tidak akan bisa keluar tanpa
sepengetahuan mereka. Kita pasti akan berpapasan dengan mereka di tengah jalan.
Menurutmu, bagaimana baiknya sekarang?"
"Apakah ada jalan keluar lain kecuali dari mulut gua di depan itu?" tanya Arya
ingin tahu. "Entahlah...," Panglima Gorawangsa menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain lagi!" tegas Arya.
"Jadi...?" dada Panglima Gorawangsa berdebar tegang.
"Kita buka jalan darah untuk keluar dari tempat ini!" tegas dan mantap kata-kata
Arya. Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu melesat
ke depan. Mau tak mau, Panglima Gorawangsa
terpaksa mengikuti.
3 Baru beberapa langkah Arya dan Panglima
Gorawangsa meninggalkan tempat itu, di hadapan
mereka dalam jarak sekitar tiga tombak, terlihat
serombongan orang berwajah kasar. Yang berjalan
paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Sebelah matanya
ditutupi bulatan dari kulit berwarna hitam, yang diikatkan secara menyilang di
kepalanya. Memang, mata kanan yang tertutup itu
sudah tidak bekerja lagi. Matanya memang tinggal
satu. "Hey...!"
Laki-laki bermata satu berteriak keras seraya
menudingkan telunjuk ke depan. Wajahnya
menunjukkan raut keterkejutan ketika melihat Arya dan Panglima Gorawangsa.
"Keparat...!" laki-laki bermata satu menggeram.
"Siapa kau, Tikus Kecil"! Sungguh besar nyalimu datang ke tempatku! Bahkan juga
membebaskan tawananku!"
"Dialah pemimpin bajak laut itu, Arya," bisik Panglima Gorawangsa memberi tahu.
"Dia berjuluk Tengkorak Mata Satu. Kepandaiannya luar biasa.
Bahkan aku dapat dirobohkannya dengan mudah."
"Hm...," hanya gumaman tak jelas dari mulut Arya yang menyahuti penjelasan
Panglima Gorawangsa.
Terdengar suara menggertak keras dari mulut laki-
laki bermata satu itu. Dia marah bukan main, karena Arya sama sekali tidak
menyahuti pertanyaannya.
Srattt..! Sinar terang berkilau memancar ketika Tengkorak
Mata Satu mencabut senjatanya, berupa golok besar vang matanya bergerigi. Dan
secepat senjata itu
tercabut, secepat itu pula laki-laki bermata satu ini melompat menerjang Dewa
Arak. "Menyingkirlah, Panglima," ujar Arya.
Tanpa menunggu lagi, Panglima Gorawangsa
segera menyingkir dari situ. Ada perasaan khawatir di hatinya terhadap
keselamatan Arya. Laki-laki berkumis dan berjenggot rapi ini telah mengetahui,
betapa lihainya Tengkorak Mata Satu. Walaupun telah disaksikannya sendiri
kekuatan tenaga dalam Arya, tapi tetap saja tidak yakin kalau Tengkorak Mata
Satu mampu dikalahkan.
Dari suara berkesiut nyaring yang mengiringi
tibanya serangan golok, Dewa Arak dapat


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki kepala bajak laut itu begitu
tinggi. Tapi bila dibandingkan dengan dirinya, tenaga dalam Tengkorak Mata
Satu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Begitu melihat pemimpin mereka telah menyerang,
Pasukan Tengkorak Laut pun berbondong-bondong
menyerbu Panglima Gorawangsa. Sungguh merupa-
kan suatu keuntungan bagi para bajak laut itu karena berpapasan dengan Arya dan
Panglima Gorawangsa
di tempat luas. Hal ini jelas sangat menguntungkan, karena dapat lebih leluasa
mengeroyok! Panglima Gorawangsa tidak tinggal diam. Dia pun
cepat menyambut serbuan para bajak laut itu dengan serangan-serangan
membahayakan. Sesaat kemudian terdengar denting senjata beradu di udara.
Arya sadar kalau lawan terlalu banyak. Dan lagi
Panglima Gorawangsa sudah pasti akan memerlukan
bantuannya. Maka dia tidak bertindak main-main lagi.
Itulah sebabnya, Dewa Arak sama sekali tidak
mengelakkan serangan golok itu.
Karuan saja hal ini membuat Panglima
Gorawangsa terperanjat. Dia memang menyempatkan
diri melihat keadaan Arya. Perasaan cemas yang
hebat berkecamuk di benaknya. Apakah Arya kini
telah berubah menjadi pemuda dungu" Masa
serangan macam itu tidak mampu dielakkan"
Berbeda dengan Panglima Gorawangsa, Tengkorak
Mata Satu dan sisa bajak laut yang tidak ikut
mengeroyok, menjadi girang bukan main melihat Arya seperti terpukau. Mereka
semua menduga pemuda
itu tidak mampu mengelak, karena cepatnya
serangan itu. Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati mereka
semua begitu melihat Arya malah menjulurkan tangan dan seperti hendak
mencengkeram golok yang
menyambar semakin dekat. Dan tiba-tiba....
Takkk...! Kreppp...!
Terdengar suara berdetak keras seperti beradunya
dua batang logam ketika tangan Dewa Arak memapak
golok baja Tengkorak Mata Satu. Dan sebelum laki-
laki bermata satu berbuat sesuatu, tangan Arya telah mencengkeram batang
goloknya. Semua kejadian itu
berlangsung begitu cepat, dan hanya sekejapan mata saja!
Bukan hanya sebagian bajak laut yang tidak ikut
bertarung saja yang terbelalak menyaksikan kejadian itu. Tengkorak Mata Satu pun
dilanda perasaan yang sama. Dia sudah bisa memperkirakan, betapa
tingginya ilmu kepandaian yang dimiliki lawannya.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan
Arya. Begitu golok itu berhasil dicengkeram, jari-jari tangannya lalu bergerak
meremas. Terdengar suara
berkeretek pelan ketika batang golok itu hancur
berkeping-keping.
Bulu tengkuk Tengkorak Mata Satu kontan
meremang! Apa yang diperbuat Arya belum pernah
ditemukan dalam pertarungannya yang sudah tidak
terhitung lagi. Seketika itu pula disadari kalau
pemuda berambut putih keperakan ini bukan
tandingannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, laki-laki bermata satu itu segera
melompat ke belakang.
"Serbu...!" perintah Tengkorak Mata Satu keras pada sisa anak buahnya yang belum
bertarung. Para bajak laut itu seperti digugah dari mimpi.
Sesaat mereka saling memandang bingung. Baru
sesaat kemudian, mereka mencabut senjata masing-
masing dan bergerak menyerbu. Penglihatan yang
disaksikan membuat mereka semua terkesima!
Seketika itu juga, belasan senjata beterbangan
mengancam Arya. Pedang, golok, dan tombak,
berkelebatan mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Tak pelak lagi, di dalam gua yang cukup luas itu
terjadi dua kancah pertarungan. Pertarungan antara Dewa Arak dan Panglima
Gorawangsa menghadapi
bajak laut Pasukan Tengkorak Laut.
*** Panglima Gorawangsa mengerahkan seluruh
kemampuan untuk menghadapi pengeroyokan lawan-
lawannya. Pedang di tangannya berkelebatan cepat
memapak setiap serangan yang datang mengancam.
Suara berdentang nyaring, diiringi berpercikannya bunga-bunga api menyemaraki
benturan yang terjadi di antara senjata-senjata mereka.
Tidak percuma laki-laki berkumis dan berjenggot
rapi ini menjadi panglima kerajaan. Kepandaiannya
cukup tinggi, sehingga setiap serangan yang
dilancarkan para pengeroyoknya mampu dielakkan.
Bahkan tak jarang pula ditangkisnya. Padahal jumlah mereka tak kurang dari
sepuluh orang. Tambahan
lagi, rata-rata mereka memiliki kepandaian lumayan.
Bukan itu saja. Serangan yang dilancarkan pun
datangnya susul-menyusul seperti gelombang laut.
Dewa Arak sadar kalau keadaan Panglima
Gorawangsa tidak menguntungkan. Sewaktu-waktu,
bisa saja panglima itu terkena serangan lawan.
Makanya kini dia tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan seluruh kemampuan. Hujan berbagai
macam senjata yang menuju ke arahnya dibiarkan
saja. Dengan tenaga dalamnya yang telah berada
jauh di atas lawan, dibiarkan saja semua senjata itu mengenai tubuhnya. Dan
hebatnya, Dewa Arak tidak
menderita luka sedikit pun.
Takkk, takkk, takkk...!
Suara berdetak keras seperti beradunya berbagai
batang logam terdengar ketika beraneka ragam
senjata berbenturan dengan sekujur tubuh Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu memang
sengaja tidak mengelak atau menangkis semua
serangan, kecuali yang tertuju ke matanya.
Suara-suara pekikan kaget terdengar dari mulut
para bajak laut itu, menyaksikan betapa semua
senjata yang mengenai sasaran malah terpental
batik, seperti menghantam karet kenyal. Bukan hanya itu saja. Tangan yang
menggenggam senjata pun
terasa sakit-sakit. Sementara Dewa Arak sama sekali tampak tidak terpengaruh!
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa
Arak. Kedua tangannya digerakkan. Perlahan saja
kelihatannya. Tapi akibatnya, tubuh para bajak laut
itu berpentalan seperti diamuk angin topan!
Begitu semua lawannya telah berpentalan tak
tentu arah, Arya segera melesat ke arah Panglima
Gorawangsa yang kini semakin terjepit. Pemuda
berambut putih keperakan itu melompat ke atas,
Dewi Penyebar Maut V 1 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Pendekar Gelandangan 4
^