Pencarian

Perjalanan Menantang Maut 3

Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut Bagian 3


Beracun beberapa kali saja memojokkan untuk
mengadu tenaga, tapi selalu berhasil dielakkan Dewa Arak. Dan andaikata benturan
di antara mereka tidak bisa dihindari lagi, pemuda berambut putih
keperakan itu menangkisnya dengan guci. Akibatnya,
Kelelawar Beracun langsung terhuyung-huyung
mundur. Isi dadanya terasa sesak dan sekujur tangan bergetar hebat. Padahal Dewa
Arak belum mengerahkan seluruh tenaga dalam pada tangkisan itu.
Merasa putus asa mengajak Dewa Arak mengadu
tangan secara langsung, tambahan lagi menyadari
keadaannya yang mulai terdesak, Kelelawar Beracun terpaksa mengeluarkan senjata
andalannya. Tampak
sebuah cambuk yang terbuat dari kulit landak telah tergenggam di tangannya. Dan
menilik dari kebiasaan Kelelawar Beracun, maka sudah bisa dipastikan
kalau senjata yang dimilikinya pun mengandung
racun ganas juga.
Ctarrr...! Ledakan keras seperti ada halilintar menyambar
terdengar setiap kali Kelelawar Beracun melecutkan cambuknya. Bukan hanya itu
saja. Asap tipis berwarna putih pun mengepul setiap kali ujung cambuk membelah
udara. Dan tentu saja bukan asap
sembarangan, melainkan asap yang mengandung
racun ganas. Bau keras yang membuat Arya berkali-
kali bersin, tercium dari asap yang berwarna putih itu.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak agak
kewalahan. Hidungnya terasa seperti dikilik-kilik. Dan tanpa dapat dicegahnya
lagi, dia bersin. Dengan
sendirinya hal ini membuat gerakannya terganggu.
Dengan adanya cambuk kulit landak di tangannya,
Kelelawar Beracun kembali mampu memperbaiki
kedudukannya. Dia kini tidak lagi kewalahan. Bahkan sebaliknya, Dewa Arak yang
mulai main mundur.
Kembali pertarungan sengit terjadi. Dengan ada-
nya cambuk di tangan, Kelelawar Beracun bagaikan
seekor harimau tumbuh sayap. Laki-laki berwajah
pucat ini tampak semakin berbahaya.
Tapi hanya sekitar dua puluh jurus saja Kelelawar Beracun dapat melakukan
serangan gencar. Lewat
dari dua puluh jurus, serangan serangan cambuknya mulai mengendur. Tidak aneh,
karena laki-laki berpakaian hitam ini sudah merasa sangat lelah.
Sebelum mengeluarkan senjata andalan, dia telah
bertarung lebih dari seratus lima puluh jurus. Dan selama itu, seluruh
kemampuannya dikerahkan.
Berbeda dengan Kelelawar Beracun, Dewa Arak
sama sekali tidak merasa lelah. Pemuda berambut
putih keperakan ini memang berbeda dengan orang
lain. Setiap kali merasa lelah, araknya langsung
ditenggak. Maka, kontan tenaganya pulih kembali.
Itulah sebabnya, meskipun Kelelawar Beracun telah dilanda rasa lelah yang amat
sangat, Dewa Arak
masih tetap segar bersemangat.
Seiring semakin mengendurnya serangan-
serangan Kelelawar Beracun, serangan Dewa Arak
datang semakin bertubi-tubi. Arya memang ingin
secepatnya merobohkan lawan. Sampai pada suatu
saat... Tukkk...! Ujung alas kaki Dewa Arak telak dan keras sekali
mengenai pergelangan tangan kanan Kelelawar
Beracun. Seketika laki-laki berwajah pucat ini me-mekik pelan. Tanpa dapat
dicegah lagi, cambuknya
terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah.
Belum lagi laki-laki berpakaian hitam ini sempat
berbuat sesuatu, kaki kiri Arya telah bergerak
meluncur cepat ke arah perutnya. Kelelawar Beracun mencoba untuk mengelak,
tapi.... Bukkk...! "Hugh...!"
Kelelawar Beracun mengeluh tertahan ketika
tendangan Dewa Arak telak dan keras sekali meng-
hantam perutnya. Seketika itu juga tubuhnya terlipat ke depan. Di saat itulah
Dewa Arak kembali melancarkan serangan susulan, berupa totokan ke arah bahu kiri
Kelelawar Beracun.
Tukkk...! Telak dan keras sekali totokan yang dilancarkan
Arya mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh
Kelelawar Beracun lemas, tidak mampu digerakkan
sama sekali. Hanya saja, sepasang matanya melotot menatap Dewa Arak penuh
kebencian. "Kelelawar Beracun, aku bersedia mengampuni-
mu...," kata Arya pelan tapi penuh wibawa. "Asal kau bersedia memenuhi
permintaanku...."
"Cuhhh...!"
Sambutan ludah kental Kelelawar Beracun ke arah
wajah Arya yang menyambut tawaran itu. Untung
pemuda berambut putih keperakan itu sempat
mengelak. Kalau tidak, tentu cairan yang menjijikkan itu sudah hinggap di
wajahnya. "Jangan kau kira aku takut mati, Dewa Arak! Aku lebih suka seribu kali mati
daripada harus memenuhi permintaanmu!" tandas Kelelawar Beracun kasar.
Arya tercenung tapi pikirannya berputar keras. Dia bukan orang yang berwatak
kejam. Tapi disadari
kalau sikap seperti itu terkadang diperlukan juga.
Maka meskipun rasanya bertentangan dengan hati
nurani, Arya mencoba menguatkan hati
"Aku tahu kau tidak takut mati, Kelelawar
Beracun," sahut Arya. Dingin dan datar suaranya.
Nadanya terdengar kaku, sekaku wajahnya. "Tapi perlu kau ketahui, aku tidak akan
membiarkanmu mati begitu saja. Kau akan mengalami siksaan yang mungkin belum pernah dirasakan
selama hidupmu!
Aku akan membuatmu mati secara perlahan-lahan."
Meremang bulu kuduk Kelelawar Beracun men-
dengar ancaman Dewa Arak. Tertangkap adanya nada
ancaman yang hebat dalam suara itu. Sebagai
seorang tokoh persilatan tingkat tinggi, dia tentu saja tahu kalau Dewa Arak
mudah saja menciptakan
berbagai macam penyiksaan yang mengerikan. Tapi,
Kelelawar Beracun adalah seorang tokoh hitam yang memiliki keangkuhan tinggi.
Maka meskipun perasaan ngeri mencekam hatinya, dia berusaha
menyembunyikannya. Sebuah seringai penuh ejekan
terpampang di wajahnya.
"Jangan katakan aku kejam, Kelelawar Beracun,"
tegas Dewa Arak dingin. "Aku telah memberimu pilihan dan kesempatan. Dan kau
telah memilih sendiri kemauanmu...!"
Setelah berkata demikian, dengan raut wajah
dibuat kaku tanpa perasaan, Dewa Arak
membungkukkan tubuh. Telunjuk tangan kanannya
menuding kaku, kemudian perlahan bergerak ke arah jalan darah di bahu kanan
Kelelawar Beracun.
"A..., apa yang akan kau lakukan, Dewa Arak...?"
suara Kelelawar Beracun seperti tercekat di
tenggorokan. Laki-laki berwajah pucat ini tentu saja tahu, apa yang akan dilakukan Dewa Arak.
Pemuda itu memang
akan menotok jalan darah di bahu kanannya. Dewa
Arak telah siap menyiksanya! Totokan pada jalan
darah di situ akan membuatnya melolong-lolong,
karena dilanda rasa sakit yang hebat.
Arya tersenyum pahit.
"Hanya sebagai permulaan dari kematianmu, yang akan kubuat perlahan-lahan tapi
penuh penyiksaan,"
sahut Dewa Arak, kalem tapi dengan raut wajah tetap
dingin. "Masih banyak lagi siksaan mengerikan yang akan kau terima. Ini sekadar
pemanasan."
Kontan wajah Kelelawar Beracun pucat pasi.
Menilik dari gerak-geriknya, Dewa Arak tidak main-main dengan ancamannya. Memang
diakui, dirinya
tidak takut menghadapi maut. Tapi mati secara
perlahan-lahan dalam keadaan sangat tersiksa, siapa yang tidak ciut nyalinya"
"T..., tunggu dulu, Dewa Arak...!"
Agak terburu-buru Kelelawar Beracun berseru
mencegah. Arya yang memang sudah sejak tadi
menunggu hal ini, menahan gerakan tangannya.
Kemudian, wajahnya menoleh ke arah laki-laki
berwajah pucat, tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Kau berjanji akan membebaskan diriku kalau
bersedia memenuhi permintaanmu?" tanya Kelelawar Beracun tidak yakin.
"Aku berjanji," tegas Dewa Arak.
"Kau tidak akan mengingkarinya?" kejar Kelelawar Beracun.
Sebagai seorang tokoh sesat yang terbiasa curang, laki-laki berwajah pucat ini
tidak sembarang percaya pada ucapan orang. Maka dia tidak langsung percaya
dengan janji Dewa Arak.
"Jangan sama kan aku dengan orang sepertimu, Kelelawar Beracun!" sergah Arya
keras. "Kau berani bersumpah untuk menepati janjimu?"
tanpa mempedulikan sama sekali penegasan Arya,
Kelelawar Beracun terus saja membuka suara.
Terdengar suara gemerutuk dari mulut Dewa Arak
begitu mendengar ucapan Kelelawar Beracun. Arya
memang dilanda amarah yang bergolak. Tapi demi
keselamatan Melati, kemarahannya berusaha
ditahan. "Aku berjanji untuk membebaskan Kelelawar
Beracun apabiia bersedia memenuhi permintaanku,"
tegas dan mantap ucapan yang keluar dari mulut
Dewa Arak. Wajah Kelelawar Beracun seketika berseri begitu
mendengar sumpah yang keluar dari mulut Dewa
Arak. Rupanya, ucapan seperti itu sudah cukup
baginya. Setelah mendengar kesediaan dari mulut
Kelelawar Beracun, tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak segera mengulurkan tangan. Dan
sekali jari-jarinya bergerak, totokan yang membelenggu Kelelawar
Beracun pun terlepas.
Kelelawar Beracun bangkit berdiri, kemudian
menggeliat-geliatkan tubuhnya sebentar untuk meng-hilangkan rasa pegal yang
melanda tubuhnya.
"Katakan apa permintaanmu, Dewa Arak," kata Kelelawar Beracun sesaat kemudian.
"Mudah saja," sahut Arya. "Obati kawanku yang telah kau lukai."
Berkernyit dahi Kelelawar Beracun mendengar
ucapan itu. "Kawanmu! Kulukai?"
Arya menganggukkan kepala.
"Siapa kawanmu, Dewa Arak?" tanya Kelelawar Beracun penasaran.
Benak laki-laki berwajah pucat itu berputar keras mengingat-ingat orang yang
telah dilukainya. Tapi seingatnya, beberapa hari belakangan ini hanya
seorang saja yang bertarung dengannya. Itu pun
mungkin telah tewas. Dia adalah seorang gadis
berpakaian putih yang tinggal di Istana Kerajaan
Bojong Gading. Tidak ada lagi yang lainnya. Diakah
orang yang dimaksudkan Dewa Arak" Tapi rasanya
mustahil! Kelelawar Beracun yakin kalau gadis
berpakaian putih itu pasti sudah tewas! Racunnya tak pernah gagal dalam
mengambil nyawa!
"Seorang gadis berpakaian putih...."
"Ah...!" seruan kaget dari mulut Kelelawar Beracun membuat Arya menghentikan
ucapannya. "Maksudmu..., gadis berambut panjang yang tinggal di Istana Kerajaan Bojong
Gading"!"
"Benar!" sahut Arya, mantap.
Seketika wajah Kelelawar Beracun berubah.
"Jadi..., dia belum tewas?"
"Belum. Tapi dia juga belum sembuh. Makanya, aku datang kemari untuk meminta kau
mengobatinya sampai sembuh."
Kelelawar Beracun tercenung seketika. Sungguh di
luar dugaan kalau Melati belum tewas. Padahal
kebenciannya pada gadis berpakaian putih itu sangat mendalam. Gadis itulah yang
telah membuat Kala
Ireng sahabatnya, tewas.
*** Mendadak Kelelawar Beracun melompat
menerjang Dewa Arak. Jari-jari kedua tangannya yang menegang lurus dan kaku
melancarkan serangan
bertubi-tubi pada ulu hati, dada, dan perut. Suara mencicit nyaring terdengar
mengiringi tibanya
serangan itu. Dewa Arak terperanjat. Serangan ini datangnya
begitu mendadak dan tidak disangka-sangka. Dia
memang tidak menduga kalau lawannya akan selicik
itu. Tapi meskipun begitu, sudah sejak tadi dia
bersikap waspada. Arya memang tidak pernah
meninggalkan kewaspadaannya.
Maka begitu mendapat serangan mendadak, buru-
buru pemuda berambut putih keperakan ini
melompat ke belakang sehingga serangan yang
dilancarkan Kelelawar Beracun mengenai tempat
kosong. Tapi ternyata Kelelawar Beracun memang tidak
terlalu bersungguh-sungguh dengan serangannya.
Terbukti, begitu serangannya berhasil dielakkan, dia melesat meninggalkan Dewa
Arak. Karuan saja hal ini membuat Arya kaget dan buru-
buru mengejar. Tapi Kelelawar Beracun tidak tinggal diam. Sambil terus berlari,
dilemparkannya sebuah benda bulat sebesar telur angsa dan berwarna hitam
kecoklatan. Tercekat hati Arya melihatnya. Dia tahu, benda
bulat yang meluncur ke arahnya itu dapat meledak.
Dan seperti kejadian sebelumnya, sudah bisa
diperkirakan kalau benda itu mengandung racun
ganas. Apalagi yang melemparnya Kelelawar Beracun!
Maka sebelum yang dikhawatirkannya terjadi,
Dewa Arak segera menghentikan pengejarannya.
Tubuhnya langsung dilempar ke belakang, kemudian
bersalto beberapa kali di udara.
Darrr...! Ledakan keras terdengar begitu benda bulat


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebesar telur angsa itu mengenai tanah. Seketika itu juga asap tebal berwarna
kemerahan muncul seiring terdengarnya suara ledakan itu.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya mendarat di tanah,
secepat itu pula Arya melentingkan tubuh kembali ke belakang. Dewa Arak berupaya
untuk berada sejauh-jauhnya dari tempat itu. Indah dan manis sekali
gerakannya. Begitu juga ketika kedua kakinya
mendarat di tanah dalam jarak sekitar delapan
tombak dari tempat semula.
Begitu kedua kakinya telah mendarat di tanah,
tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera
memutar-mutarkan kedua tangan di depan dada
dengan arah gerakan dari luar ke dalam.
Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang
berputar itu bertiup angin keras yang langsung
menyambar ke depan. Suara keras menderu
mengiringi tiupan angin itu. Maka seketika itu juga asap berwana kemerahan yang
perlahan-lahan bergerak menuju ke arah Dewa Arak, jadi buyar.
Meskipun asap itu telah tidak tampak lagi, Dewa
Arak terus saja memutar-mutarkan kedua tangannya
di depan dada. Dengan sendirinya, angin keras tetap saja berhembus ke depan.
Arya ingin menyapu asap
itu sebersih-bersihnya.
Beberapa saat setelah yakin kalau asap itu telah
terusir seluruhnya dari tempat itu, Dewa Arak baru menghentikan gerakannya. Tapi
seperti yang sudah
dit-duga, Kelelawar Beracun sudah tidak lagi berada di situ. Laki-laki berwajah
pucat itu memang
bermaksud melarikan diri.
Tapi, Dewa Arak mana mungkin membiarkan
lawannya lolos" Tanpa membuang-buang waktu lagi
dia bergerak mengejar.
*** Berbeda dengan biasanya, Dewa Arak melakukan
pengejaran secara hati-hati. Kini tidak lagi seluruh kecepatan larinya
dikerahkan. Memang dia tetap
mengerahkan seluruh kelincahan yang dimiliki, tapi
kecepatan larinya hanya dikerahkan sebagian kecil saja. Arya harus bersikap
hati-hati. Kenyataan telah menunjukkan kalau pulau aneh ini banyak
mengandung bahaya yang tak terduga.
Bukan hanya kecepatan larinya saja yang
dikurangi. Kewaspadaannya pun jauh ditingkatkan.
Pendengarannya dipasang setajam mungkin. Sekujur
urat-urat syaraf di tubuhnya menegang waspada.
Dewa Arak benar-benar bersiap menghadapi
ancaman bahaya yang tidak terduga. Suara berkerisik pelan saja, sudah cukup
untuk membuat aliran darah di sekujur tubuhnya mengalir cepat.
Mendadak Dewa Arak menghentikan langkahnya.
Samar-samar telinganya menangkap adanya suara
langkah kaki ringan di belakang. Halus sekali, dan hampir-hampir tidak
tertangkap pendengarannya.
Jelas kalau pemilik langkah itu memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang tinggi.
Kini setelah Arya berdiri diam mendengarkan,
suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Jadi benar, Dewa Arak ada yang
menguntit. Yang lebih
mengejutkan pemuda berambut putih keperakan
suara langkah yang didengarnya itu tidak hanya satu, tapi tiga! Tiga langkah
yang sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Tak terasa
jantung Dewa Arak berdebar tegang. Apakah pemilik langkah itu adalah Kelelawar
Beracun yang datang lagi sambil membawa kawannya" Apabila benar demikian, dia
akan menghadapi lawan yang amat tangguh!
Ketegangan yang melanda Dewa Arak semakin
memuncak begitu melihat sosok-sosok tubuh yang
bergerak mendatangi. Memang seperti yang sudah
diduga, ada tiga sosok tubuh yang berjalan meng-
hampirinya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dewa
Arak pun mengenalnya. Ini membuatnya terperangah
beberapa saat Tiga sosok tubuh itu telah cukup lanjut usianya.
Dan masing-masing memiliki ciri-ciri yang saling
berbeda. Tapi yang jelas, ada satu kesamaan pada
diri mereka. Yaitu, ketiga sosok itu sama-sama
mengenakan rompi yang terbuat dari kulit macan.
Meskipun, kulit macan yang dikenakan mereka ber-
beda-beda pula.
Orang yang bertubuh pendek, gemuk, dan gendut
mirip bola serta berkulit merah mengenakan rompi
kulit macan tutul. Sementara, orang yang bertubuh kekar, berkulit hitam, dan
berwajah kasar, mengenakan rompi kulit macan kumbang. Sedangkan orang
terakhir bertubuh tinggi kurus dan berwajah kuning.
Sehelai rompi terbuat dari macan loreng mem-
bungkus tubuhnya.
Arya tentu saja mengenal tiga sosok tubuh ini. Ada pengalaman yang sangat
berkesan sehubungan
dengan ketiga tokoh ini. Mereka berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka (Untuk
jelasnya, baca serial Dewa
Arak dalam episode "Tiga Macan Lembah Neraka").
Jantung Dewa Arak berdetak kencang. Dia tidak
tahu, mengapa Tiga Macan Lembah Neraka berada di
sini" Apakah ketiga tokoh yang memiliki kepandaian inggi itu memiliki urusan
pula di sini" Dan mengapa ketiga orang itu mengejarnya" Ataukah hanya searah
saja" Berbagai macam pertanyaan bergayut dalam
benak Arya! Tapi tak ada satu pun yang terjawab.
Ada satu hal lagi yang membuat Dewa Arak
bingung. Perasaan Tiga Macan Lembah Neraka
terhadap dirinya belum jelas. Masih membenci atau tidak" Tapi Arya yang selalu
bersikap hati-hati, segera memasang sikap waspada.
Ketiga sosok tubuh yang tidak lain dari Tiga Macan Lembah Neraka menghentikan
langkahnya. Mereka
menatap wajah Arya lekat-lekat. Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak jadi
bersikap waspada, dan
langsung berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi.
Diam-diam Dewa Arak terkejut bukan main melihat
keadaan tiga tokoh sakti itu. Kini mereka amat jauh berbeda dengan yang
dikenalnya. Dulu, Tiga Macan
Lembah Neraka tampak begitu angker dan ber-
wibawa. Sorot keganasan dan keangkuhan pun
terbayang di wajah mereka. Tapi kini, mereka telah jauh berubah.
Wajah tiga tokoh Lembah Neraka ini terlihat begitu layu seperti menanggung beban
batin yang amat
berat. Sorot keganasan pun sudah tidak terlihat lagi.
Kalau saja tidak menyaksikan sendiri, Arya tidak
mungkin percaya. Padahal, paling lama mereka baru berpisah tiga bulan! Tapi
menilik dari keadaan,
sepertinya Dewa Arak sudah tidak berjumpa dengan
Tiga Macan Lembah Neraka selama sepuluh tahun!
"Kau lupa pada kami, Dewa Arak?" sapa Macan Tutul Lembah Neraka, orang yang
sejak dulu selalu menjadi juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka.
Pelan dan tidak bergairah nada suaranya.
"Mana mungkin aku bisa melupakan kalian
bertiga?" sahut Arya dengan nada bertanya.
Lenyap sudah perasaan tegang dan bimbang yang
melanda hati Dewa Arak. Tampak jelas kalau dalam
ucapan dan sikap Tiga Macan Lembah Neraka tidak
bernada permusuhan. Tanpa menaruh perasaan syak
wasangka lagi, Arya segera melangkah mendekati
ketiga orang itu.
"Apa keperluan yang mendorongmu kemari, Macan
Tutul?" tanya Dewa Arak mengajukan keheranannya.
Arya merasa lebih baik kalau memanggil ketiga orang itu julukannya saja.
"He he he...!"
Laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tertawa ter-
kekeh. Dewa Arak yang melihatnya jadi bergidik.
Meskipun kelihatannya tertawa, tapi tampak jelas
kalau hanya mulut Macan Tutul Lembah Neraka saja
yang tertawa. Sedangkan wajah dan matanya, sama
sekali tidak menampakkan kegembiraan. Begitu
tampak kaku dan dingin.
Menilik dari keadaannya, Dewa Arak bisa mem-
perkirakan kalau Macan Tutul Lembah Neraka sudah
lama tidak tertawa. Padahal seingatnya, laki-laki bertubuh pendek gemuk ini
adalah tokoh Tiga Macan Lembah Neraka yang paling suka tertawa. Apakah
yang terjadi dengan ketiga orang ini" Atau, kematian Utari yang telah membuat
mereka seperti ini"
"Seharusnya kami yang mengajukan pertanyaan
itu, Dewa Arak," tukas Macan Tutul Lembah Neraka setengah mencela.
"Maksud kalian..."!" sepasang mata Dewa Arak terbelalak. Sekelebatan dugaan
muncul di benaknya.
Ucapan juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka itu
memberi petunjuk jelas padanya. "Kalian tinggal di pulau ini?"
"Benar, Dewa Arak," kali ini Macan Kumbang Lembah Neraka yang menyahuti dengan
suara khasnya. Keras dan parau.
"Ahhh...!"
Seruan penuh rasa terkejut terdengar dari mulut
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau menurutku, pulau ini tidak patut mendapat nama Pulau Ular," Macan Loreng
Lembah Neraka ikut
pula angkat bicara.
"Hm...," hanya gumaman pelan dari mulut Arya yang menyambuti ucapan laki-laki
bertubuh tinggi
kurus itu. "Pulau ini lebih patut mendapat nama Kepulauan Ular. Karena, memang terdiri dari
banyak pulau kecil yang saling berdekatan dan dipisahkan laut,"
sambung Macan Loreng Lembah Neraka lagi.
Arya menganggukkan kepala pertanda mengerti.
"Mendiang Raksasa Rimba Neraka juga tinggal di antara deretan pulau-pulau yang
ada di sekitar sini,"
sambut Macan Tutul Lembah Neraka.
Kembali Arya menganggukkan kepala meskipun
sebenarnya ada perasaan tidak enak bersemayam di hatinya. Karena, dialah yang
telah menewaskan tokoh yang disebutkan Macan Tutul Lembah Neraka tadi.
Sementara Raksasa Rimba Neraka adalah sahabat
Tiga Macan Lembah Neraka. Tapi rupanya ketiga
tokoh sakti itu sudah melupakannya. Terbukti, tidak ada perasaan apa-apa yang
tampak di wajah mereka.
"Setiap tokoh memang mempunyai pulau sendiri-sendiri, Dewa Arak," jelas Macan
Tutul Lembah Neraka lagi. "Sungguhpun hanya kecil saja. Keadaan masing-masing
pulau berbeda. Kami memiliki tempat yang tandus. Daerahnya belembah-lembah. Apa
bila siang, panasnya bukan kepalang."
Kini Arya mengerti, mengapa tempat tinggal ketiga tokoh ini dinamakan Lembah
Neraka. "Sedangkan pulau yang ditempati Raksasa Rimba Neraka, penuh hutan lebat. Pohon
besar dan tinggi memenuhinya. Banyak binatang buas besar dan kecil yang tinggal
di dalamnya, namun semuanya beracun.
Kami bersahabat karena pulau kami bersebelahan."
"Lalu, apakah Kelelawar Beracun termasuk
kawanmu pula, Macan Tutul Lembah Neraka?" Tanya Arya dengan sikap waspada.
Macan Kumbang Lembah Neraka menggelengkan
kepala. "Kami tidak suka bersahabat dengannya, Dewa
Arak," jelas laki-laki berkulit hitam itu. "Kelelawar Beracun seorang tokoh
licik dan tidak mempunyai
kegagahan. Walaupun kami sendiri bukan tokoh baik-baik, tapi pantang untuk
melakukan kecurangan
dalam pertarungan. Pantang bagi kami bermain
racun!" Arya menghela napas lega.
"Kau punya urusan dengannya, Dewa Arak?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka.
Pemuda berambut putih keperakan itu
menganggukkan kepala.
"Seorang kawan wanitaku dilukainya, dan
kedatanganku kemari untuk meminta obat penawar
itu darinya."
Kemudian, Dewa Arak pun menceritakan semua
kejadian yang dialaminya. Sementara Tiga Macan
Lembah Neraka terdiam seketika, begitu Dewa Arak
menghentikan ceritanya.
"Lalu kalian hendak ke mana, Macan Tutul
Lembah Neraka?" tanya Dewa Arak pula.
"Mencari Kemamang Danau Neraka," Macan
Loreng Lembah Neraka yang menyahuti. Nampak
jelas kalau nada suaranya mengandung kegeraman.
Diam-diam Arya terkejut bukan main. Sungguh
tidak pernah disangka kalau di Pulau Ular ini terdapat begitu banyak tokoh. Dan
sudah bisa diperkirakan
kalau Kemamang Danau Neraka adalah seorang
tokoh yang memiliki kepandaian tinggi pula.
"Apakah Kemamang Danau Neraka tinggal dl pulau
ini?" tanya Arya.
"Tidak. Pulau ini bernama Rawa Neraka, dan
merupakan tempat tinggal Kelelawar Beracun.
Sedangkan Kemamang Danau Neraka tinggal di
sebelah pulau ini. Kami terpaksa mengambil jalan
memutar karena tidak enak pada pemilik pulau yang lain. Perlu kau ketahui, Dewa
Arak. Bila dihitung dari pulau ini, kami tinggal di urutan yang ke tiga belas.
Paling ujung. Kalau kami tidak mengambil jalan
memutar, berapa banyak kami harus melalui pulau-
pulau yang lainnya?" jelas Macan Tutul Lembah Neraka panjang lebar.
"Kalau boleh kutahu, mengapa kalian mencari
Kemamang Danau Neraka?" tanya Arya hati-hati
"Dia telah melanggar perjanjian tidak tertulis, Dewa Arak!" lagi-lagi Macan
Kumbang Lembah Neraka, orang paling beringas di antara Tiga Lembah Neraka yang menyahuti.
Terdengar keras suaranya.
Jelas kalau laki-laki berkulit hitam ini merasa marah bukan main. "Dia akan
menguasai pulau sahabat kami yang telah kosong."
"Pulau milik Raksasa Rimba Neraka," tanya Arya memastikan.
Macan Kumbang Lembah Neraka mengangguk.
Suasana menjadi hening sejenak, begitu Dewa
Arak tidak melanjutkan pertanyaannya. Sementara
Tiga Macan Lembah Neraka pun sepertinya sudah
tidak berminat lagi memperpanjang pembicaraan.
"Lebih baik, kau ikut kami, Dewa Arak," ajak Macan Tutul Lembah Neraka
memecahkan keheningan yang
terjadi. Dewa Arak tersentak.


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan salah mengerti, Dewa Arak," buru-buru laki-laki bertubuh pendek gemuk
itu menyambung pembicaraannya. "Kami tidak bermaksud melibat-kanmu dengan urusan kami. Tapi
perlu kau ketahui, Kelelawar Beracun adalah sahabat kental Kemamang
Danau Neraka. Jadi, bukan tidak mungkin kalau laki-laki pengecut itu mengadukan
masalah ini padanya."
Dewa Arak terdiam.
"Dengan ikut bersama kami, kau tidak khawatir akan adanya jebakan-jebakan
mendadak. Lagi pula,
arah yang kau tuju ini adalah arah keluar dari pulau milik Kelelawar Beracun.
Kau tengah menuju ke
pulau kedua, milik Kemamang Danau Neraka."
Kini Dewa Arak tidak membantah lagi, dan
perlahan kepala nya mengangguk. Memang lebih baik melakukan perjalanan bersama
Tiga Macan Lembah
Neraka daripada melakukan perjalanan sendiri. Tiga tokoh Lembah Neraka itu
setidaknya lebih
mengetahui semua bahaya yang terkandung di Pulau
Ular ini. 8 Kini Dewa Arak tidak lagi mengalami kesulitan untuk menuju ke tempat kediaman
Kemamang Danau Neraka. Dia hanya tinggal memperhatikan setiap
langkah Tiga Macan Lembah Neraka. Diam-diam,
pemuda berambut putih keperakan ini heran,
mengapa Kelelawar Beracun mau tinggal di sekitar
tempat ini" Tempat yang selalu becek dan tidak
pernah kering, meskipun di saat musim panas tiba.
Tadi dari mulut Macan Tutul Lembah Neraka, Arya
mendengar kalau tempat tinggal Kelelawar Beracun
dinamakan Rawa Neraka. Sungguhpun tidak panas,
tapi maut yang tersembunyi di dalamnya tidak
terhitung! Tak lama kemudian, keempat orang ini pun telah
tiba di pinggir pulau tempat tinggal Kelelawar
Beracun. Tepat di hadapan mereka, terbentang
lautan. Sementara di hadapan mereka terlihat
sebuah pulau. Dekat saja jaraknya dari pulau milik Keleawar Beracun. Kini Dewa
Arak mengerti, mengapa Macan Loreng Lembah Neraka mengatakan
Pulau Ular tidak pantas disebut pulau, tapi lebih patut disebut kepulauan.
Tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya pulau ini
terdiri dari kumpulan pulau kecil" Tentu saja yang mengetahuinya hanya orang-
orang yang tinggal di
dalamnya. Sementara, orang persilatan golongan
putih tidak pernah ada yang berani menginjakkan
kaki ke dalamnya, kecuali Dewa Arak.
Arya mengukur lebar laut yang memisahkan kedua
pulau itu dengan pandangan matanya. Menurut
perhitungannya, lebih dari tiga puluh tombak. Jarak yang teramat jauh untuk bisa
dilompatinya, sekalipun ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkatan
tinggi. Tapi rupanya Tiga Macan Lembah Neraka sudah
memperhitungkannya. Hal ini terlihat dari ketenangan sikap mereka. Seperti juga
Arya, tiga tokoh yang
menggiriskan itu juga mengukur jarak laut yang
memisahkan kedua pulau.
Kemudian, tangan Tiga Macan Lembah Neraka
bergerak ke pinggang. Dewa Arak hanya meng-
awasinya saja. Dia sadar kalau ketiga tokoh Lembah Neraka itu lebih
berpengalaman ketimbang dirinya.
Namun demikian sejak tadi benak Dewa Arak berpikir keras, bagaimana caranya
untuk bisa melewati lautan ini"
Seketika wajah Dewa Arak memerah ketika
melihat benda yang diambil masing-masing tokoh
Lembah Neraka itu. Mereka semua melolos sabuk
yang melilit pinggang.
"Ah! Betapa dungunya aku!" maki Dewa Arak dalam hati.
Selama ini Dewa Arak tidak pernah berpikir untuk
menggunakan sabuknya. Dengan sabuk itu, rasanya
tidak perlu repot-repot lagi melalui lumpur hidup di tempat tinggal Kelelawar
Beracun. Dalam hati, Dewa Arak merasa salut juga pada
Tiga Macan Lembah Neraka. Memang, untuk
menempuh lautan yang tidak begitu jauh,
menggunakan sabuk sebagai alat untuk membantu
menyeberang adalah cara yang paling tepat.
"Hih...!"
Macan Tutul Lembah Neraka menggertakkan gigi
seraya melompat menuju pulau tempat tinggal
Kemamang Danau Neraka! Tapi seperti yang sudah
diduga, belum sampai di tengah, kekuatan yang
meluncurkan tubuhnya telah habis. Dengan
sendirinya, tubuhnya melayang jatuh ke lautan.
Tapi laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tidak
nampak gugup. Memang, hal itu sudah diperhitun-
kannya. Maka begitu meluncur jatuh, sabuknya
segera dilecutkan ketika tubuhnya tinggal berjarak satu tombak lagi dari
permukaan laut yang bergolak.
Ctarrr...! Suara nyaring menggelegar terdengar ketika ujung
sabuk itu mengenai permukaan laut. Air berpercikan ke atas terkena lecutan sabuk
yang mengandung
tenaga dalam tinggi.
Dengan meminjam tenaga dari benturan antara
ujung sabuk dengan permukaan air, laki-laki bertubuh pendek gemuk itu
melentingkan tubuhnya ke atas.
Macan Tutul Lembah Neraka harus melecutkan
sabuknya beberapa kali untuk mencapai pulau itu.
Dan kini dia berhasil mendarat di pinggir pulau
tempat tinggal Kemamang Danau Neraka.
Begitu melihat Macan Tutul Lembah Neraka
berhasil mendarat, berturut-turut Macan Kumbang
Lembah Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan
Dewa Arak melompat menyeberangi laut. Dan berkat
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkatan tinggi, bukan merupakan hal yang sulit bagi mereka untuk menyeberangi
lautan itu. Dan begitu telah berada di seberang, tanpa
membuang-buang waktu, keempat orang itu segera
bergerak masuk ke tengah pulau. Seperti juga pulau yang ditinggali Kelelawar
Beracun, pulau tempat
tinggal Kemamang Danau Neraka juga tidak sepi dari
air. Tanahnya becek. Hanya saja, pulau ini tidak
memiliki lumpur hidup seperti yang ada di tempat
kediaman Kelelawar Beracun.
"Aneh...," desah Dewa Arak. Pelan suaranya dan tidak jelas ditujukan untuk
siapa. "Mengapa, Dewa Arak?" sambut Macan Tutul Lembah Neraka pelan juga.
"Jalan masuk ke tempat tinggal ini, aman saja.
Tidak penuh bahaya seperti waktu aku masuk ke
tempat tinggal Kelelawar Beracun."
Macan Tutul Lembah Neraka tersenyum pahit
"Bukannya tidak ada bahaya yang membentang di jalan, Dewa Arak," jawab laki-laki
bertubuh pendek gemuk itu sabar. "Tapi, karena kami telah cukup mengetahui jalan
yang aman. Kalau kau pergi sendiri, kujamin akan banyak hambatan di perjalanan."
Dewa Arak tercenung. Kini dimengerti, mengapa
jalan menuju pulau tempat tinggal Kemamang Danau
Neraka sama sekali tidak mengandung bahaya. Dia
lupa kalau saat ini berjalan bersama orang-orang
yang telah cukup mengetahui jalan-jalan yang aman.
Karena pulau itu memang kecil saja, sementara
keempat orang itu melakukan perjalanan dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, maka dalam
waktu sebentar saja di hadapan mereka telah
terbentang sebuah danau besar. Dan tepat di tengah-tengah danau itu terletak
sebuah bangunan besar
dan megah. "Itulah tempat tinggal Kemamang Danau Neraka,"
tunjuk Macan Tutul Lembah Neraka memberi tahu
seraya menudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah bangunan megah itu.
Dewa Arak melayangkan pandang ke arah
bangunan itu. Diam-diam pemuda berambut putih
keperakan ini memuji kecerdikan orang yang tinggal di sana. Letak bangunan itu
tepat di tengah-tengah danau. Jadi, dari mana pun lawan akan datang,
pemilik rumah itu akan mengetahuinya.
"Kau lihat danau itu, Dewa Arak," Macan Kumbang Lembah Neraka ikut pula bicara.
Mendengar ucapan itu, Dewa Arak memandang ke
air danau. Seketika itu juga sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini
terbelalak. Air danau itu ternyata bukan air biasa, melainkan lahar gunung! Itu
bisa diketahui dari cairan yang berbentuk kental dan suara meletup-letup
mengiringi setiap gelembung-gelembung yang muncul di permukaan danau. Uap
tipis berwarna putih, tampak mengepul dari
permukaannya. Yang lebih mengejutkan lagi, jalan yang menuju ke bangunan itu hanya berupa
tonggak-tonggak baja
yang berujung runcing mirip lembing. Yang lebih
mengerikan lagi, jarak antara ujung tonggak-tonggak itu hanya sekitar dua
jengkal dari permukaan danau yang bergolak.
Meremang bulu kuduk Arya melihat hal ini. Kalau
bukan orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh
tinggi, jelas tak mungkin berani menuju ke bangunan itu. Sudah dapat dipastikan,
sebelum tiba di sana, akan terjatuh ke dalam danau itu. Dan bagaimana
nasibnya, sudah bisa ditebak. Kini Arya paham,
mengapa danau itu mempunyai nama yang begitu
mengerikan. Danau Neraka! Ternyata memang sesuai
dengan kenyataan yang disaksikannya.
"Mari kita ke sana...!" ajak Macan Kumbang Lembah Neraka yang rupanya paling
bernafsu di antara mereka bertiga.
Tampak jelas kalau laki-laki berkulit hitam itu
sudah tidak sabar lagi untuk buru-buru berjumpa
Kemamang Danau Neraka.
Tanpa menunggu jawaban ketiga orang lainnya,
Macan Kumbang Lembah Neraka segera melesat ke
arah bangunan megah itu. Macan Tutul Lembah
Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa
Arak mau tak mau ikut bergerak mengikuti.
Sesaat kemudian keempat orang itu telah berada
di pinggir danau. Dari sini semakin jelas terlihat, tonggak-tonggak berujung
runcing yang terpancang di danau itu, bagai siap menembus kaki-kaki siapa saja
yang melaluinya.
Arya memperhatikan tonggak-tonggak itu sejenak.
Bisa diperkirakan tonggak itu terbuat dari baja kuat dan dicampur dengan ramuan
tertentu sehingga
tahan terhadap air danau. Tonggak-tonggak itu
terpancang membentuk jalan, dan diatur rapi seperti barisan. Setiap baris
terdiri dari enam batang batang tonggak yang masing-masing berjarak sekitar tiga
jengkal. "Hih...!"
Macan Kumbang Lembah Neraka, yang paling
merasa penasaran segera melompat ke depan. Indah
dan manis gerakannya. Kemudian....
Tappp...! Meskipun dengan tubuh agak bergoyang-goyang
sedikit, Macan Kumbang Lembah Neraka berhasil
mendaratkan salah satu kakinya di ujung tonggak
yang runcing. Sementara kaki yang sebelah lagi
digunakan sebagai alat untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Sesaat lamanya tubuh laki-laki berkulit hitam ini bergoyang-goyang. Dan begitu
goyangan pada tubuhnya terhenti, Macan Kumbang Lembah Neraka
kembali melompat. Kakinya didaratkan di ujung
tombak yang lain. Begitu seterusnya.
Tidak hanya Macan Kumbang Lembah Neraka saja
yang bergerak cepat menuju bangunan megah milik
Kemamang Danau Neraka. Macan Tutul Lembah
Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa
Arak juga bergerak menuju ke sana. Gerakan mereka pun tak kalah indah bila
dibanding Macan Kumbang
Lembah Neraka. Berkat ilmu meringankan tubuh yang rata-rata
sudah mencapai tingkat tinggi, bukan merupakan hal yang sulit bagi keempat orang
itu untuk melakukan perjalanan di ujung tonggak runcing.
Tak lama kemudian, jarak antara mereka dengan
bangunan milik Kemamang Danau Neraka sudah
semakin dekat. Dan dengan demikian, keadaan
bangunan itu pun semakin jelas terlihat. Lantai
bangunan itu ternyata berada lebih tinggi dari ujung-ujung tonggak. Jarak lantai
dengan permukaan air
danau tak kurang empat jengkal. Ada beberapa buah tiang baja besar yang
menyangga bangunan megah
itu, sehingga bisa berdiri di atas permukaan danau.
*** Kini keempat orang itu telah berada dalam jarak
sekitar delapan tombak dari bangunan rumah, dan
terus saja berlompatan dari satu tonggak ke tonggak lain.
Mendadak di teras muncul dua sosok tubuh. Yang
seorang dikenali Dewa Arak sebagai Kelelawar
Beracun. Tapi yang seorang lagi tidak dikenalinya.
Mungkin inilah tokoh yang berjuluk Kemamang Danau Neraka.
Orang yang diduga Arya sebagai Kemamang Danau
Neraka ternyata seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Kulitnya berwarna
merah, dan rambutnya
panjang terurai, namun kaku seperti sikat kawat.
Pakaiannya hanya berapa kain berwarna putih yang
dilibat-libatkan ke tubuhnya. Sangat pas dengan
warna kulitnya yang merah.
Yang lebih mengerikan lagi, adalah sepasang
matanya yang selalu terbelalak. Sepertinya, sepasang mata itu akan melompat keluar dari rongganya!
Tampak jelas kalau kedua orang ini merasa
terkejut bukan main melihat kedatangan empat sosok tubuh itu.
"Itukah orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya laki-laki berambut kaku seraya
menatap tajam wajah Arya.
"Benar, Kemamang Danau Neraka. Dialah Dewa
Arak," Kelelawar Beracun menganggukkan kepala membenarkan.
"Hm...."
Laki-laki bertubuh kurus dan ternyata berjuluk
Kemamang Danau Neraka menggumam pelan.
Sementara, Kelelawar Beracun menjadi kebingungan, ketika melihat empat sosok


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh semakin mendekati bangunan Kemamang Danau Neraka.
Tanpa pikir panjang lagi, Kelelawar Beracun segera memasukkan tangan ke balik
bajunya. Dan secepat
tangan itu keluar, secepat itu pula dikibaskan.
Serrr...! Suara berdesir pelan terdengar begitu jarum-jarum beracun laki-laki berwajah
pucat itu menyambar. Tak tanggung-tanggung lagi yang dilepaskan Kelelawar
Beracun. Belasan batang jarum beracun, yang semuanya meluncur ke arah Dewa Arak!
"Hmh...!"
Ada suara dengus mengandung ejekan terdengar
dari hidung Kemamang Danau Neraka. Hatinya
memang merasa muak melihat kelicikan dan sikap
pengecut yang ditunjukkan Kelelawar Beracun.
Padahal,kedatangan laki-laki berwajah pucat ini tadi untuk meminta
pertolongannya dalam menghadapi
Dewa Arak. Tapi belum apa-apa, Kelelawar Beracun
sudah merendahkan dirinya. Kelihatannya, dia tidak percaya kalau laki-laki
berambut seperti kawat itu mampu menghadapi Dewa Arak. Kelelawar Beracun
sama sekali tidak tahu kalau Kemamang Danau
Neraka tersinggung atas perbuatannya tadi.
Bukan hanya Dewa Arak yang terkejut. Tiga Macan
Lembah Neraka pun tersentak melihat kecurangan
yang dilakukan Kelelawar Beracun. Pemuda
berambut putih keperakan itu tampaknya tengah
tidak siap untuk menerima serangan. Tambahan lagi, saat itu tubuhnya sedang
berada di udara, karena
baru saja melompat untuk hinggap di ujung tonggak di hadapannya. Maka, serangan
jarum beracun dari
Kelelawar Beracun benar-benar merupakan ancaman
berbahaya. Dewa Arak terperanjat Disadari kalau keadaannya
sangat berbahaya. Maka buru-buru dijumputnya guci arak yang tersampir di
punggung. Dan secepat guci arak itu terpegang, secepat itu pula dituangkan ke
mulutnya. Gluk... gluk... gluk...!
Secepat arak itu masuk ke dalam mulutnya,
secepat itu pula disemburkan ke arah jarum-jarum
beracun yang tengah meluncur deras ke arahnya.
Singgg..! Suara berdesingan nyaring seperti meluncurnya
anak panah dari baja terdengar ketika butiran-butiran arak itu meluncur ke arah
jarum-jarum. Tringgg..., tringgg...!
Suara berdentingan nyaring terdengar begitu
semburan arak Dewa Arak berbenturan dengan jarum
jarum yang dilepaskan Kelelawar Beracun. Seketika itu juga, belasan jarum itu
runtuh ke bawah.
"Hup...!"
Meskipun dengan agak terhuyung-huyung, Dewa
Arak berhasil mendaratkan kakinya di ujung tonggak runcing yang memang hendak
disinggahinya. Tiga Macan Lembah Neraka dan Kemamang
Danau Neraka menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka semua memuji kelihaian Dewa Arak.
Sementara Kelelawar Beracun hanya bisa ke-
bingungan. Tapi begitu teringat di sebelahnya ada Kemamang Danau Neraka, hatinya
pun tenang kembali. Dia yakin, rekannya ini akan mampu meng-
atasi Dewa Arak! Hanya saja yang menjadi pertanyaan Kelelawar Beracun, apa
hubungannya pemuda
berambut putih keperakan itu dengan Tiga Macan
Lembah Neraka sehingga bisa menuju Danau Neraka
bersama-sama" Dia khawatir kalau tiga tokoh
Lembah Neraka itu membantu Dewa Arak. Dan
apabila hal itu terjadi, keadaan akan semakin
menyulitkan dirinya.
Meskipun serangan pertamanya gagal, Kelelawar
Beracun tidak jera. Kembali dikirimnya serangan-
serangan curang lain. Laki-laki berwajah pucat ini menggunakan berbagai macan
senjata rahasia
beracun untuk menghambat tibanya Dewa Arak.
Walaupun yang dicegah adalah Dewa Arak, tapi tak
urung Tiga Macan Lembah Neraka pun terbawa-bawa
juga. Tiga tokoh Lembah Neraka ini tidak berani
melanjutkan langkah, karena khawatir terkena
serangan nyasar.
Kelelawar Beracun benar-benar kalap. Semua
senjata rahasia beracun miliknya sudah dikeluarkan, tapi berhasil dipunahkan
Arya. Kalau tidak dielakkan, pasti ditangkis dengan semburan araknya, atau
dengan putaran tangannya yang menimbulkan angin
keras menderu. Entah berapa macam senjata rahasia yang terlontar. Mulai dari
jarum, logam berbentuk bintang segi lima, logam berbentuk ujung anak
panah, sampai logam berbentuk ekor kalajengking.
Tapi semuanya sia-sia belaka.
"Huh...!"
Hampir berbareng, Dewa Arak dan Tiga Macan
Lembah Neraka mendaratkan kakinya di teras rumah
Kemamang Danau Neraka.
Macan Kumbang Lembah Neraka yang sejak tadi
sudah beringas terhadap Kemamang Danau Neraka,
segera melangkah maju. Tapi, rupanya tangan Macan Tutul Lembah Neraka telah
lebih dulu mencekalnya.
Dan dengan bahasa isyarat, dinasihatkan agar laki-laki berkulit hitam itu
bersikap sabar sebentar. Biar Dewa Arak menyelesaikan masalahnya dulu.
Meskipun dengan mulut merengut, Macan
Kumbang Lembah Neraka mau juga memenuhi
permintaan rekannya untuk menahan diri agar tidak buru-buru melabrak Kemamang
Danau Neraka. Sementara itu dengan langkah satu-satu, Dewa
Arak maju menghampiri Kelelawar Beracun yang
terus mundur. "Kemamang Danau Neraka," sebut Kelelawar Beracun sambil menoleh ke arah kakek
bertubuh tinggi kurus itu. "Bukankah kau sudah berjanji membantuku untuk menghadapinya?"
"Hmh...!" Kemamang Danau Neraka mendengus.
"Aku muak melihat kelicikanmu. Lebih baik hadapilah sendiri!"
Seketika wajah Kelelawar Beracun pucat pasi. Dia
memang betul-betul ngeri terhadap Dewa Arak.
Terutama bila teringat ancaman pemuda berambut
putih keperakan itu. Laki-laki berwajah pucat itu memang tidak takut mati. Tapi
mati secara perlahan-lahan dan secara menyakitkan, tentu saja ditakutinya.
Semula laki-laki berwajah pucat ini mengandalkan
Kemamang Danau Neraka untuk menghadapi Dewa
Arak. Tapi kini Kemamang Danau Neraka tampak
malah melangkah mundur dan membiarkannya
menghadapi Dewa Arak! Dia sama sekali tidak tahu
kalau sikap pengecutnya itulah yang membuat
pemilik Danau Neraka menarik diri.
Memang seperti juga Tiga Macan Lembah Neraka,
Kemamang Danau Neraka adalah seorang yang
mementingkan kegagahan. Walaupun sebagai tokoh
sesat, laki-laki berambut kaku ini menganggap dirinya adalah seorang datuk!
Pantang baginya untuk
bersikap pengecut. Dan dia malah kagum terhadap
sikap yang ditunjukkan Dewa Arak.
"Aku masih memberimu kesempatan sekali lagi, Kelelawar Beracun," tandas Dewa
Arak pelan tapi penuh ancaman. "Bila yang sekali ini kau berbuat curang lagi,
aku tidak segan-segan melaksanakan
ancamanku!"
"Baiklah, Dewa Arak. Aku menyerah. Aku akan
memberi obat penawar buat kawanmu itu."
Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah pucat ini mengeluarkan sebuah
buntalan kain hitam
sebesar kepalan dari batik bajunya. Kemudian
buntalan itu diangsurkan ke arah Dewa Arak.
Tentu saja Arya tidak begitu saja percaya. Dia telah tahu kalau Kelelawar
Beracun amat licik. Maka untuk beberapa saat lamanya, dia ragu-ragu. Sementara
Tiga Macan Lembah Neraka, dan Kemamang Danau
Neraka mengawasi semua kejadian yang ada di
hadapan mereka, dan sekali tidak berniat men-
campuri. "Ambillah, Dewa Arak," ujar Kelelawar Beracun pelan. "Aku tidak berbohong kali
ini." Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah pucat ini menggoyang-goyangkan
buntalan kain hitam yang berada di tangannya.
Akhirnya Arya memutuskan untuk mengambilnya.
Dengan langkah hati-hati dihampirinya Kelelawar
Beracun. Sepasang matanya menatap laki-laki
berwajah pucat ini penuh waspada. Dewa Arak
bersiap-siap apabila Kelelawar Beracun melancarkan serangan mendadak.
Tapi, ternyata tidak terjadi sesuatu yang
dikhawatirkan Arya sampai kedua tangannya menyen-
tuh buntalan yang ternyata tidak terbuka itu.
Begitu Arya menggenggam buntalan kain hitam itu,
mendadak jari-jari Kelelawar Beracun bergerak
meremas. Gerakannya tidak begitu kentara, karena
pemuda berambut putih keperakan itu lebih
memusatkan perhatian pada sebelah tangan dan kaki Kelelawar Beracun. Tapi
meskipun begitu, sempat
juga diliriknya.
Mendadak dari dalam buntalan yang tidak terbuka
itu melesat benda hitam. Arya terkejut bukan main.
Meskipun hanya melihat sekilas, sempat diketahui
kalau benda hitam itu adalah seekor kelabang.
Kelabang biasa saja sudah berbahaya. Apalagi
kelabang yang dibawa Kelelawar Beracun! Maka
tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera melompat ke belakang. Usaha yang
dilakukannya tidak sia-sia, sergapan kelabang itu berhasil dielakkan.
Tapi Kelelawar Beracun sudah memperhitungkan
hal itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia
segera meluruk memburu tubuh Dewa Arak yang
tengah berada di udara. Cepat bukan main gerakan-
nya. Sudah dapat dipastikan, Dewa Arak akan meng-
alami kesulitan untuk meloloskan diri.
Bukan hanya Dewa Arak saja yang terperanjat. Tiga Macan Lembah Neraka pun
terkejut bukan kepalang.
Serangan itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga mereka pun tidak sempat
berbuat sesuatu.
Tapi mendadak saja, terjadi sesuatu yang
mengejutkan. Tubuh Kelelawar Beracun yang tengah
meluruk ke arah Dewa Arak itu tiba-tiba tersentak ke belakang. Terdengar keluhan
tertahan dari mulut laki-laki berwajah pucat itu. Bahkan bukan hanya itu saja.
Suara gemeretak keras dari tulang-tulang leher yang patah pun terdengar
mengiringi. Brukkk...! Terdengar suara berdebukan keras ketika tubuh
Kelelawar Beracun ambruk di lantai, dan diam tidak bergerak lagi. Nyawa laki-
laki berwajah pucat itu melayang seketika. Sepasang matanya melotot, dan
lidahnya pun terjulur keluar. Pada lehernya, nampak terjerat sebuah cambuk
berwarna coklat.
Dewa Arak dan Tiga Macan Lembah Neraka
memandang pada pemilik cambuk yang tengah
menggulung senjatanya dengan sikap tak peduli.
Siapa lagi kalau bukan Kemamang Danau Neraka!
"Aku benci pada orang yang berjiwa pengecut dan licik!" tegas laki-laki bertubuh
tinggi kurus itu.
Tanpa mempedulikan ucapan Kemamang Danau
Neraka, Dewa Arak segera berjongkok memeriksa
Kelelawar Beracun. Betapa kaget hati Dewa Arak
ketika mengetahui laki-laki berwajah pucat itu telah tewas!
"Dia telah tewas...," tegas Arya seraya bangkit berdiri.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak
menyalahkan tindakan Kemamang Danau Neraka.
Bah-kan seharusnya berterima kasih. Memang, tanpa pertolongan pemilik Danau
Neraka itu, Dewa Arak
mungkin telah tewas!
"Tidak perlu hal itu dipusingkan, Dewa Arak!" selak Kemamang Danau Neraka. "Aku
tahu obat pemunah untuk racun pada jarum itu. Aku pun memilikinya.
Dan aku bersedia memberikannya padamu, tapi
dengan satu syarat."
Memang Kelelawar Beracun telah menceritakan
semua masalah yang dihadapinya pada Kemamang
Danau Neraka, karena menginginkan pertolongan
pemilik Danau Neraka itu.
"Apa syaratnya, Kemamang Danau Neraka?"
sambut Dewa Arak cepat penuh gairah. "Aku bersedia memenuhinya."
"Bila kau sempat, datanglah kemari. Aku ingin menjajal kepandaianmu."
"Aku janji!" sahut Dewa Arak cepat.
"Bagus! Kutunggu janjimu, Dewa Arak! Dan, ingat!
Bila kau tidak juga muncul, aku yang akan
mencarimu. Akan kubuat kacau dunia persilatan!
Mengerti"!"
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda
mengerti. Sementara Kemamang Danau Neraka
segera bergegas masuk ke dalam. Hanya sebentar
saja, dan tak lama kemudian sudah kembali dengan
sebuah kendi kecil yang tertutup rapat.
Meskipun ada sedikit keraguan yang melanda,
Dewa Arak menerima kendi pemberian Kemamang
Danau Neraka. "Terima kasih, Kemamang Danau Neraka," ucap Dewa Arak setelah kendi kecil itu
berada di tangannya. Tapi sama sekali tidak terdengar sahutan dari
mulut Kemamang Danau Neraka. Orang kasar
sepertinya mana peduli terhadap segala aturan dan sopan santun"
"Coba kulihat sebentar, Dewa Arak," pinta Macan Tutul Lembah Neraka sambil
melangkah maju mendekati Dewa Arak. Memang sejak tadi, Tiga
Macan Lembah Neraka hanya diam saja
memperhatikan. Dewa Arak segera memberikannya pada Macan
Tutul Lembah Neraka. Laki-laki bertubuh pendek
gemuk itu segera membuka tutup kendi, dan men-
cium baunya sesaat. Baru kemudian, kepalanya
terangguk. "Kalau benar racun yang melukai kawanmu itu
adalah yang terkandung dalam jarum, memang benar
ini obatnya," jelas Macan Tutul Lembah Neraka pelan.


Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan aku meramunya berdasarkan daun-daunan
yang kupetik dari pulau milik sahabat kalian," selak Kemamang Danau Neraka
seraya menatap tokoh-tokoh Tiga Macan Lembah Neraka berganti-ganti.
Sepasang mata Macan Kumbang Lembah Neraka
terbelalak lebar.
"Jadi, maksudmu datang ke pulau itu hanya untuk menciptakan penawar racun ini?"
"Hanya mencoba-coba saja, Macan Kumbang."
Suasana hening sejenak. Hilang sudah kemarahan
yang tadi melanda hati Tiga Macan Lembah Neraka.
Kemamang Danau Neraka ternyata tidak bermaksud
merampas pulau!
Semula mereka memang menduga demikian. Dan
kini, jelaslah sudah. Tak ada niatan di hati
Kemamang Danau Neraka untuk merampas pulau
yang dulunya milik Raksasa Rimba Neraka. Sehingga, kini mereka mengurungkan
niatnya untuk mengajak
bertarung laki-laki berambut kaku itu.
Tak lama kemudian, Dewa Arak dan Tiga Macan
Lembah Neraka mohon diri. Dan bagi Dewa Arak,
tidak lagi mengalami kesulitan untuk mencari jalan keluar. Tiga Macan Lembah
Neraka bersedia
mengantarnya sampai keluar dari laut yang berwarna hitam.
*** "Kang Arya...!" seruan lirih wanita berpakaian putih yang tergolek di
pembaringan indah dan mewah,
membuat seorang pemuda berambut putih
keperakan yang tengah terkantuk-kantuk mem-
belalakkan matanya.
"Melati...!"
Pemuda berambut putih keperakan yang tak lain
dari Arya berseru keras. Nada suaranya jelas
menyiratkan perasaan gembira yang amat sangat.
Sementara sepasang matanya merayapi wajah
kekasihnya. Memang wajah gadis itu sudah tidak
berwarna merah lagi, tapi sudah kembali seperti
semula. Meskipun masih agak pucat
"Kau sudah sadar?" tanya Dewa Arak.
Kemudian tanpa mempedulikan orang lain yang
ada di sekitar situ, Arya segera memeluk tubuh
kekasihnya erat-erat. Obat yang diberikan Kemamang Danau Neraka ternyata memang
manjur. Tak sia-sia
dia bersusah payah menempuh perjalanan menan-
tang maut ke Pulau Ular.
Prabu Nalanda, Ki Julaga, Ki Temula, Patih
Rantaka, dan Eyang Sagapati segera melangkah me-
ninggalkan ruangan itu. Mereka sengaja membiarkan sepasang muda-muda itu saling
melepaskan rindu.
Sementara Dewa Arak dan Melati yang diberi
kesempatan, sama sekali tidak tahu-menahu.
Sepasang muda-muda itu masih saja sibuk melepas-
kan rindu, sehingga melupakan keadaan sekeliling-
nya. SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Riang 13 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Dewi Mutiara Hijau 1
^