Prahara Hutan Bandan 2

Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan Bagian 2


Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang agak luas dan terang.
Mata pemuda ini tertumbuk pada sosok yang tengah
duduk bersila di atas baru besar. Ia berjalan mendekat, sehingga sosok itu
semakin nampak jelas.
Ternyata sosok tubuh itu adalah seorang kakek berusia lanjut. Mungkin usianya
lebih dari delapan puluh tahun.
Tubuhnya sedang dan terlihat ringkih. Meskipun dalam keadaan bersila, Dewa Arak
dapat mengetahui kalau kakek itu bertubuh bongkok.
Begitu Dewa Arak berada dalam jarak sekitar tiga
tombak, pelahan-lahan kakek itu membuka matanya yang sejak tadi terpejam.
"Ah...!"
Dewa Arak berjingkat bagai disengat kalajengking.
Sepasang mata kakek itu ternyata tidak nampak hitamnya.
Hanya putihnya saja yang terlihat. Kakek bongkok itu buta!
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya kakek itu. Tentu saja ucapan itu membuat Dewa Arak
semakin terkejut.
Bagaimana kakek ini tahu kalau orang yang berdiri di hadapannya adalah seorang
pemuda" Bukankah sepasang mata kakek itu buta"
"Namaku Arya, Kek," sahut Dewa Arak setelah perasaan terkejutnya hilang.
"Arya...," gumam kakek itu pelan. "Apa maksudmu memasuki gua ini?"
Dewa Arak terdiam sejenak. Mungkinkah kakek ini orang yang telah menyelamatkan
Desa Bandan dari jarahan
perampok puluhan tahun silam"
"Aku masuk kemari tanpa sengaja, Kek."
Dahi kakek bongkok itu nampak berkernyit.
"Tanpa sengaja" Kau berdusta, Anak Muda. Aku tahu, pasti ada sesuatu yang kau
cari di sini," bantah kakek itu.
"Memang ada sebuah urusan yang mendorongku
memasuki Hutan Bandan ini, Kek. Tapi, masuknya aku ke gua ini, karena
kebetulan," jelas Arya.
Semakin banyak kerutan di dahi kakek itu mendengar
jawaban Dewa Arak.
"Apa urusanmu memasuki Hutan Bandan ini, Anak
Muda"! Tahukah kau kalau hutan ini tempat terlarang"!
Ahhh...! Tindakanmu itu akan mengakibatkan banyak
korban. Sia-sialah jerih payahku selama ini! Korban tetap tak bisa kucegah!"
Berdebar jantung Dewa Arak. Ternyata dugaannya tepat.
Kakek buta ini adalah orang yang dulu menolong Desa Bandan. Tapi ia belum masih
mengerti ucapan kakek itu.
"Maksudmu, Kek?" tanya Arya.
"Hhh...!" kakek bongkok itu menghela napas panjang.
Seolah-olah ada beban yang menghimpit dadanya. "Jawab dulu pertanyaanku, Anak
Muda. Apa urusanmu memasuki hutan ini"!"
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Perasaan dongkol
merayapi hatinya. Tapi cepat-cepat ditekannya perasaan itu. "Aku terpaksa
memasuki hutan ini untuk mencari tahu.
Kudengar setiap malam bulan purnama ada seorang
remaja, laki-laki atau perempuan dibawa ke hutan ini. Tapi sampai sekarang,
tidak seorang pun pernah kembali.
Bahkan belum lama ini, seekor macan putih mengamuk
meminta korban. Aku ingin tahu, ke mana perginya remaja-remaja itu, dan mengapa
macan putih itu membunuhi
orang-orang desa?"
Kakek bongkok itu terdiam mendengar keterangan dan
pertanyaan Dewa Arak.
"Kalau aku tidak salah duga, bukankah Kakek adalah orang yang menyelamatkan Desa
Bandan puluhan tahun
yang lalu?" sambung Arya lagi.
"Dugaanmu tidak keliru, Anak Muda." jawab kakek itu pelan.
"Lalu, kenapa Kakek malah menyuruh orang desa
mengorbankan seorang remaja setiap malam bulan
purnama?" desak Arya. "Apakah memang itu tujuan Kakek menyelamatkan desa itu?"
Keadaan menjadi hening begitu Dewa Arak menyelesai-
kan perkataannya. Tapi keheningan itu segera dipecahkan oleh suara si kakek.
"Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan hal ini pada siapa pun. Tapi, karena
kau mempunyai maksud yang baik, maka kau kuberikan perkecualian. Arya, kaulah
satu-satunya orang yang akan kuberitahu mengenai masalah ini."
"Terima kasih, atas kepercayaanmu, Kek." ucap Arya pelahan.
"Simpan ucapan terima kasihmu itu, Arya. Sekarang pasang telingamu baik-baik!" ujar kakek
bongkok itu. Dewa Arak menurut.
"Puluhan tahun yang lalu, aku menikah dengan seorang wanita sesat yang lihai.
Dia berjuluk Kuntilanak Alam Kubur. Aku sangat mencintainya. Dan dia mencintaiku
juga," ujar kakek itu memulai ceritanya.
Perasaan heran melanda hati Arya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau misteri
yang dihadapinya ini ber-hubungan dengan keluarga seseorang. Tapi dia sama
sekali tidak memotong cerita kakek itu. Dibiarkannya kakek bongkok itu
meneruskan ceritanya.
"Semula aku ragu-ragu menikahinya. Tapi, ketika dia berjanji akan meninggalkan
kesesatannya, aku pun
bersedia menerimanya. Selama beberapa tahun dia mau memenuhi permintaanku. Tidak
pernah dia melakukan
kejahatan. Kehidupan kami pun aman dan tenteram,"
kakek bongkok itu menghentikan ceritanya sebentar.
Ditatapnya Dewa Arak yang masih tekun mendengar
ceritanya. "Tapi setelah sepuluh tahun, penyakit lamanya kambuh.
Dia kembali mengumbar kejahatan. Aku marah, dan pergi meninggalkannya sambil
membawa macan putih peliharaan kami. Macan itu amat patuh pada kami berdua. Apa
pun yang kami perintahkan, pasti dilaksanakan dengan baik."
"Lalu dalam pengembaraanmu, kau tiba pada sebuah desa yang tengah diserang oleh
rombongan perampok, dan kau menolongnya. Bukankah begitu, Kek?" selak Arya.
"Benar," sahut kakek bongkok itu sambil menganggukkan kepalanya. "Kemudian aku
menyepi di Hutan Bandan bersama peliharaanku. Belasan tahun aku tinggal di sini.
Tapi tak kusangka kalau istriku mencium jejakku.
Kemudian dia pun menyusulku. Kami bertengkar, sampai akhirnya terjadi
pertempuran. Dengan susah payah dia berhasil kukalahkan."
Sampai di sini kakek itu menghentikan ceritanya, Arya mengernyitkan alisnya. Dia
jadi bingung mendengar cerita kakek bongkok ini. Menurut kakek itu, nenek yang
berjuluk Kuntilanak Alam Kubur berhasil dikalahkannya tapi kenapa ia yang buta
matanya" "Mungkin hatimu bertanya-tanya, Anak Muda. Mengapa kalau aku yang menang, mataku
menjadi buta. Begitu
kan?" duga kakek itu seperti mengerti kebingungan Dewa Arak.
Kembali Arya terkejut, ia tidak menyangka kalau kakek ini mampu membaca
pikirannya. "Tidak perlu bingung-bingung, Arya. Kau dengarkan saja lanjutan ceritaku" ucap
kakek itu lagi. "Rupanya istriku tidak mau menerima kekalahannya. Dia lalu
menantangku bermain racun. Sebagai raja obat, jelas aku ditantang. Dia lalu
meminumkan racun ke mulutku."
"Ahhh...!" desah Arya kaget "Racun itu diminumkan padamu, Kek?" tanyanya
setengah tak percaya.
"Ya." sahut kakek itu. "Sialnya, ternyata aku belum mengenal jenis racun itu.
Entah dari mana dia mendapat-kannya. Untunglah racun itu bereaksi secara lambat.
Akhirnya, kami mengikat perjanjian. Ia berjanji tidak akan membunuhku asal aku
bersedia mencarikan remaja-remaja pada tiap-tiap purnama untuk menyempurnakan
ilmu hitamnya. Dengan berat hati aku menerima perjanjian itu. Dia juga mengancam
akan membantai seisi Desa
Bandan apabila aku tidak memenuhi permintaannya "
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mulai
dipahami mengapa kakek itu menyuruh penduduk berbuat seperti itu.
"Kurasakan racun itu mulai bekerja. Pandanganku mulai mengabur. Aku sadar,
lambat laun aku akan buta. Sebelum semua itu terjadi Ki Gayan segera kuberi tahu
mengenai permintaan istriku itu. Aku juga melarang setiap orang memasuki Hutan
Bandan untuk menghindari jatuhnya
korban lebih banyak lagi."
"Lalu kenapa kau masih berada di sini, Kek?" tanya Arya memotong.
"Aku tidak ingin istriku mengingkari janjinya. Kalau aku tidak berada di sini
bisa saja dia berbuat nekat, menculik remaja-remaja di desa sekitar Hutan Bandan
ini," jawab kakek itu.
Kembali Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini
semua persoalan sudah menjadi jelas baginya.
"Sekarang macan itu telah memulai terornya. Sudah banyak penduduk menjadi
korban," sergah Arya.
Kakek bongkok itu tersenyum.
"Dalam hal ini istriku tidak bisa disalahkan, Arya. Bagaimana pun juga dia masih
tetap memegang janjinya. Dia tidak akan menyebar maut selama tidak ada orang
mengusik ketenangannya. Bukankah aku telah memper-
ingatkan mereka! Jadi, mereka sendiriah yang mencari penyakit!" sahut kakek itu
membela istrinya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Mereka tetap mematuhi semua yang kau perintahkan, Kek!" sambut Arya dengan
suara keras. "Mematuhi apa"'" sergah kakek itu sambil tersenyum sinis. "Buktinya, banyak
orang memasuki hutan ini!"
"Mereka sudah berusaha mencegah! Bahkan belasan penduduk menjadi korban karena
ingin mencegah orang-orang persilatan yang hendak memasuki hutan ini!" bantah
Arya dengan suara keras.
"Betulkah semua yang kau katakan itu, Arya"!" tanya kakek itu. Wajahnya terlihat
sungguh-sungguh.
Arya menganggukkan kepalanya. Namun demikian,
kemarahannya agak reda melihat sikap kakek itu.
"Orang-orang persilatan memburu benda langit yang jatuh di hutan ini'" jelas
Arya. "Ahhh...!" kakek itu berseru terkejut. "Kalau begitu, perbuatan istriku harus
dicegah'" "Itu memang sudah menjadi tekadku sewaktu hendak memasuki hutan ini, Kek."
"Aku tak yakin kau mampu mencegahnya, Arya. Asal kau tahu saja. Istriku itu
mempunyai kepandaian amat tinggi!"
ujar kakek itu cemas.
"Aku tak takut, Kek! Bagiku, mati dalam membela kebenaran adalah perbuatan yang
mulia!" tandas Arya.
"Kalau itu sudah keputusanmu, terserah! Hanya pesan-ku. Berhati-hatilah!"
"Terima kasih atas peringatanmu, Kek." ucap Arya sambil berlalu meninggalkan
tempat itu. Tujuannya kini jelas, mencari Kuntilanak Alam Kubur!
*** 6 Di keremangan Hutan Bandan, tampak seekor macan putih berlari cepat.
Penciumannya yang tajam menangkap bau manusia di sekitarnya. Karena majikannya
telah memerintahkan untuk membunuh siapa pun yang berani
memasuki hutan ini, maka binatang itu pun segera berlari menuju tempat bau itu
berasal. Srakkk...! Rerimbunan semak-semak terkuak. Dari balik semak-
semak, muncullah seorang lelaki jangkung. Tubuhnya agak kurus dan matanya sipit.
Di tangannya tergenggam sebuah gada berduri.
"Ha... ha... ha...! Macan keparat! Maju kau...! Ayo hadapi aku, si Gada Maut...!"
tantang laki-laki tinggi kurus yang berjuluk si Gada Maut itu. Tangannya
menimang-nimang gada yang digenggamnya.
Mendadak, si Gada Maut membalikkan tubuhnya. Ia
berlari meninggalkan macan itu.
Macan putih tidak ingin kehilangan buruannya. Binatang itu pun berlari mengejar.
Tapi tiba-tiba...
Srakkk...! "Graunggg...!"
Macan putih itu menggeram ketika tubuhnya tahu-tahu telah terjerat jaring.
Rupanya si Gada Maut telah men-jebaknya. Kini binatang itu terkurung dalam
jaring yang tergantung cukup tinggi di atas pohon.
Macan putih itu meraung-raung. Gigi-gigi dan kuku
kukunya yang tajam, menggigit dan mencakar jaring yang mengurungnya. Tapi
ternyata jaring itu terbuat dari bahan alot yang tidak mudah putus. Sia-sia saja
segala usaha yang dilakukannya.
"Ha... ha... ha...!"
Si Gada Maut tertawa bergelak. Hatinya puas melihat macan putih itu sudah tidak
berdaya dalam jerat yang dipasangnya.
"Sekarang kau tidak berdaya lagi, macan keparat! Ha...
ha... ha..! Kini kau baru tahu kecerdikan si Gada Maut, he"!
Sebentar lagi kau akan kubantai, macan keparat! Akan kuhirup darahmu, dan
kukuliti tubuhmu! Ha... ha... ha...!"
Si Gada Maut kembali tertawa terbahak-bahak. Tapi
mendadak saja tawanya berhenti. Didengarnya ada suara tawa merdu mengiringi
tawanya. Dengan cepat dibalikkan badannya untuk mencari asal suara itu.
Si Gada Maut terkejut ketika menemukan si pemilik suara. Ternyata pemiliknya
adalah seorang gadis berwajah cantik jelita. Usianya sekitar dua puluh tahun.
Rambutnya yang panjang, tergerai disapu angin. Pakaiannya serba putih, dan
terdapat sulaman bunga melati di dada kirinya.
"Siapa kau, Nini?" tanya si Gada Maut. Laki-laki bertubuh kurus ini bersikap
waspada. Meskipun si pemilik tawa itu adalah seorang wanita muda yang cantik, si
Gada Maut tidak berani bersikap gegabah. Dari suara tawanya yang merdu menggema
ke seluruh penjuru hutan, dapat di-simpulkan kalau wanita cantik itu memiliki
tenaga dalam yang tinggi.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Kisanak!" sahut wanita cantik itu seraya
tersenyum sinis. "Yang penting, kalau kau ingin selamat, segera tinggalkan macan
putih itu!"
Seketika wajah si Gada Maut berubah. Kedatangan
wanita itu menyadarkan dirinya. Sewaktu-waktu bisa saja tokoh- tokoh persilatan
lainnya datang merampas macan putih yang didapatinya dengan susah payah itu.
Gadis ini harus segera dibungkamnya, sebelum yang lainnya tahu, pikirnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, si Gada Maut menerjang gadis
berpakaian putih itu. Gada di
tangannya diayunkan cepat ke arah leher.
Wut...! Gadis itu hanya tersenyum sinis. Agaknya ia
memandang rendah serangan lawan. Sambil tetap
tersenyum sinis, didoyongkan tubuhnya ke belakang,
sehingga babatan gada itu lewat setengah jengkal di depan lehernya. Pada saat
yang bersamaan, dilepaskannya
sebuah tendangan ke perut si Gada Maut.
Gerakannya cepat sekali dan tak terduga-duga.
Si Gada Maut terkejut bukan main. Sungguh tidak
disangkanya gadis muda itu mampu berbuat demikian. Kini si Gada Maut berada
dalam posisi yang tidak menguntung-kan. Kalau saja ia tahu siapa sebenarnya
gadis ini, tentu dia tidak akan berani bertindak gegabah. Gadis itu tak lain
adalah Melati. Pendekar wanita yang berjuluk Dewi
Penyebar Maut ini dulu pernah menggoncangkan dunia
persilatan {Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Dewi
Penyebar Maut"). Pendekar wanita ini sedang dalam pengembaraan mencari jejak
Arya, tunangannya. Begitu mendengar tentang adanya prahara di Hutan Bandan, ia segera
datang ke tempat ini dengan harapan dapat berjumpa dengan Dewa Arak.
Sekarang sudah tidak mungkin lagi bagi si Gada Maut untuk mengelak. Dengan
terpaksa, ditangkisnya tendangan itu menggunakan tangan kirinya yang sudah
dialiri tenaga penuh. Rupanya ia tidak berani ambil resiko.
Dukkk...! "Akh...!"
Si Gada Maut memekik pelan. Rasanya tulang-tulangnya hampir patah. Seolah-olah
tangannya beradu dengan


Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

potongan baja! Keras bukan main!
"Hup...!" si Gada Maut melompat mundur.
Melati sama sekali tidak mengejarnya. Pendekar wanita ini hanya memandang
lawannya Si Gada Maut menatap gadis bertubuh menggiurkan di
hadapannya tajam-tajam. Wajahnya menampakkan keter-
kejutan yang amat sangat. Kini baru disadarinya kalau tenaga dalam yang dimiliki
gadis ini jauh lebih kuat darinya.
"Sebelum terlambat kau kuberikan kesempatan untuk meninggalkan tempat ini,
Kisanak," ucap Melati begitu melihat sang lawan masih berdiri terpaku.
"Aku belum kalah, perempuan sundal! Jangan harap kau dapat mengalahkan Gada
Maut!" teriaknya keras.
Wajah Melati berubah hebat. Makian lawan membuat
darahnya naik ke ubun-ubun. Sepasang matanya men-
corong tajam. Si tinggi kurus tersentak begitu melihat sepasang mata pendekar
wanita ini. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur.
"Kau telah menghinaku. Jangan harap aku akan mengampuni nyawa tikusmu, keparat!"
desis Melati tajam.
"Akulah yang akan membunuhmu, perempuan sundal!
Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, si Gada Maut menerjang
Melati. Gada di tangannya berkelebat menyambar-nyambar mencari sasaran.
Senjatanya menimbulkan suara angin menderu-deru.
Kini Melati tidak mau bertindak setengah-setengah lagi.
Penghinaan Gada Maut membuat kemarahannya bergolak.
Tanpa ragu-ragu lagi dikeluarkan ilmu andalannya 'Cakar Naga Merah'
Sepasang tangan gadis berpakaian putih ini terkembang membentuk cakar naga.
Pelahan namun pasti, tangannya sampai sebatas pergelangan berubah merah darah.
"Hup..!"
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, tidak sulit bagi Melati
mengelakkan setiap serangan si Gada Maut. Bahkan sebaliknya setiap serangannya
memaksa lawan jatuh bangun menyelamatkan diri.
Tak sampai sepuluh jurus, si Gada Maut sudah terdesak hebat. Memang tingkat
kepandaian Melati telah meningkat hebat setelah berjumpa kembali dengan gurunya.
Di bawah gemblengan laki-laki tua itu, akhirnya ia dapat menyempurnakan ilmu
'Cakar Naga Merah'nya (Untuk lebih jelas, bacalah serial Dewa Arak dalam episode
"Cinta Sang Pendekar").
Si Gada Maut menggertakkan giginya. Gada di
tangannya berkelebatan semakin cepat. Tapi tetap saja usahanya sia-sia.
"Haaat..!"
Si Gada Maut berteriak nyaring. Tubuhnya melompat
tinggi. Sesaat kemudian ia menukik sambil menusukkan gadanya ke kepala Melati.
Gerakannya sangat indah, persis seekor burung raksasa yang tengah menerkam
mangsanya. Melati tetap bersikap tenang. Begitu serangan lawan mendekat, mendadak ia
merubah posisi kuda-kudanya.
Tubuhnya direndahkan. Tangan kanannya diulurkan ke
atas mengancam dada lawan. Sementara tangan kirinya terpalang di depan dada.
Si Gada Maut tertawa dalam hati. Rupanya gadis ini
mencari mati, pikirnya. Bukankah sebelum cakar gadis itu mengenainya, kepala
gadis itu hancur lebih dulu terhantam gadanya.
Mendadak sebuah kejadian aneh membuat mata si
Gada Maut terbelalak. Betapa tidak" Tangan gadis itu tiba-tiba mulur memanjang.
Sebelum gada di tangannya
mengenai sasaran cakar gadis itu lebih dulu mampir di dadanya.
Buk! "Aaakh...!"
Si Gada Maut menjerit memilukan. Tubuhnya
melambung kembali ke atas. Dari mulut, mata dan
hidungnya mengalir darah segar. Tulang-tulang dadanya hancur seketika. Saat itu
juga nyawa laki-laki tinggi kurus itu berpisah dengan raganya. Rupanya Melati
telah menyalurkan seluruh tenaganya.
Brukkk...! Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh si Gada Maut jatuh ke tanah.
Melati menatap tubuh yang tergolek itu sejenak. Setelah itu dilangkahkan kakinya
menghampiri macan putih yang masih terkurung di dalam jaring.
Srat..! Melati menghunus pedangnya. Tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, terdengar
suara tawa mengikik yang membuat bulu kuduknya berdiri. Suara tawa itu tidak
semestinya keluar dari mulut manusia, pikirnya. Melainkan dari mulut setan
kuburan! Tapi anehnya, meskipun suara itu terdengar pelan, getarannya terasa
sampai ulu hatinya.
Jantung pendekar wanita ini berdebar keras. Ia sadar kalau orang yang baru
datang ini memiliki kepandaian tinggi. Dari suara tawanya, sudah dapat
diperkirakan kedahsyatan tenaga dalam pemiliknya.
Kini di hadapan Melati berdiri seorang nenek-nenek.
Tubuhnya yang tinggi, terbalut pakaian dan kerudung hitam. Kulitnya juga agak
kehitaman. Bentuk mata, hidung, dan sorot matanya mengingatkan orang pada burung
elang. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat kayu
berkeluk. Ujungnya berbentuk kepala burung elang.
"Siapa kau"!" tanya Melati. Suaranya mendesis. Gadis ini dilanda perasaan
tegang. Baru kali ini ia melihat orang seaneh itu.
"Hik... hik... hik...! Rupanya kau hebat juga. Cah Ayu! Ah, betapa senangnya
hatiku. Sejak sekian puluh tahun tidak bertemu orang sakti, kini aku melihat
orang muda seperti-mu sudah memiliki kepandaian tinggi! Hik... hik... hik....!
Bersiaplah, Cah Ayu! Keluarkan seluruh kepandalanmu.
Aku tidak segan-segan membunuhmu!" Rupanya sejak tadi tanpa diketahui Melati,
nenek ini telah menyaksikan pertarungannya melawan si Gada Maut.
"Tunggu dulu, Nek!" cegah Melati cepat.
"Ada apa" Cepat katakan!" sergah nenek itu tidak sabar.
"Begini, Nek. Seingatku, aku belum pernah berjumpa denganmu. Apalagi berbuat
kesalahan. Tapi, kenapa
engkau ingin menyerangku"!"
Si nenek mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hik... hik... hik..! Jadi, kau ingin mengenalku dulu, Cah Ayu" Baik, orang
mengenalku sebagai Kuntilanak Alam Kubur. Nah, itulah julukanku. Puas, Cah Ayu!
Sekarang, bersiaplah kau!" ucap nenek itu lagi.
Melati terkejut! Nama Kuntilanak Alam Kubur memang
pernah didengarnya. Gurunya banyak bercerita mengenai tokoh ini. Tokoh yang
memiliki sifat aneh. Suka berbuat kejam tanpa dasar, tapi memiliki kepandaian
yang sangat tinggi. Sungguh tidak disangka ia bisa berjumpa tokoh ini.
Cappp...! Kuntilanak Alam Kubur menancapkan tongkatnya ke
tanah. Gerakannya kelihatannya pelan sekali, sepertinya tanpa pengerahan tenaga.
Tapi akibatnya tongkat itu ter-tancap sampai lebih dari setengahnya! Sebuah per-
tunjukan kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi yang
menarik! Melati mengawasi gerak-gerik si nenek penuh waspada.
Dilihatnya perempuan tua itu mengepalkan jari-jari tangannya. Pelahan-lahan tapi
penuh tenaga. Terdengar suara berkerotokan nyaring ketika jemarinya dikepalkan.
Gadis berpakaian putih itu membelalakkan matanya.
Tengkuknya bergidik menyaksikan perbuatan si nenek. Kini disadari kalau nyawanya
terancam. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, dikeluarkannya ilmu 'Cakar Naga Merah'
yang sangat diandalkannya.
"Hebat juga ilmu yang kau miliki, Cah Ayu. Melihat bentuk jari-jari tanganmu
dapat kutebak kalau kau menggunakan 'Jurus Naga'. Ingin kulihat apakah 'Jurus
Naga' milikmu mampu menghadapi 'Tinju Gajah' milikku?"
"'Tinju Gajah'?" desah Melati dalam hati. Ia sangat terkejut mendengar nama
jurus itu disebut.
Namun sebelum Melati berpikir lebih lama, Kuntilanak Alam Kubur sudah
menyerangnya. Tangan kanan nenek itu memukul lurus ke dada, sementara tangan
kirinya terkepal di sisi pinggang.
Suara gemeretak mengiringi tibanya serangan itu. Melati merasakan ada serentetan
angin keras yang menyesakkan dada sebelum pukulan lawan mengenalnya.
Gadis yang dulu mendapat julukan Dewi Penyebar Maut ini tidak berani menangkis
serangan itu. Kakinya buru-buru digeser ke samping, sehingga pukulan itu lewat
sekitar sejengkal dari tubuhnya.
Pakaian Melati berkibaran akibat kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam
pukulan tadi. Begitu pukulan itu lewat, Melati segera melancarkan serangan balasan ke kepala
Kuntilanak Alam Kubur.
Tapi si nenek hanya terkekeh seraya merendahkan
tubuhnya, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya.
Tak lama kemudian, mereka sudah terlibat dalam per-
tarungan sengit. Melati menyadari kalau lawannya memiliki ilmu kepandaian luar
biasa. Maka, mau tak mau ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Sepasang cakar Melati yang memainkan ilmu 'Cakar
Naga Merah", menyambar-nyambar cepat mencari sasaran.
Namun, tanpa kesulitan Kuntilanak Alam Kubur meng-
elakkan setiap serangannya. Bahkan sebaliknya setiap serangan balasan si nenek
membuat gadis berpakaian
serba putih itu pontang panting menyelamatkan diri.
Pertarungan antara kedua wanita yang sama-sama sakti itu berlangsung semakin
seru. Dalam waktu singkat dua puluh lima jurus telah berlalu. Pelahan namun
pasti, Melati mulai terdesak. 'Ilmu 'Tinju Gajah' yang dimiliki lawan benar-
benar membuatnya kagum.
Setiap kali tangan mereka beradu, tubuh Melati ter-
jengkang. Sedangkan lawannya hanya terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang. Dari benturan ini dapat ketahui kalau tenaga dalam Melati berada di
bawah tenaga dalam si nenek.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan pekik melengking, Melati
melentingkan tubuhnya ke belakang
"Hup...!"
Srattt..! Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak bumi. Kini di tangannya telah
tergenggam sebatang pedang.
"Keluarkan senjatamu, nenek peot!" teriak Melati keras.
"Hik... hik... hik...! Dengan tangan kosong pun aku sanggup merobek mulutmu yang
lancang, gadis liar!" sahut Kuntilanak Alam Kubur tak mau kalah.
"Kalau begitu jangan katakan aku curang kalau kau mampus di ujung pedangku!
Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Melati melompat menerjang.
Pedangnya menusuk cepat ke dada Kuntilanak Alam
Kubur. Bunyi mengaung yang mengawali tibanya serangan itu menjadi pertanda,
betapa kuatnya tenaga yang terkandung di dalamnya.
Meskipun serangan tusukan pedang itu berlangsung
cepat, tapi masih lebih cepat lagi gerakan si nenek. Tahu-tahu Kuntilanak Alam
Kubur sudah melenting melewati kepala Melati. Tubuhnya berputar di udara, seraya
mengayunkan kedua tangannya ke kepala si gadis.
Melati terkejut bukan main. Dia segera melompat ke
depan sambil menggulingkan tubuhnya menjauh.
"Hup...!"
Begitu kedua kaki Kuntilanak Alam Kubur mendarat,
Melati segera bangkit.
"Haaat...!"
Kembali gadis berbaju putih itu menerjang. Kini pedang di tangannya memainkan
Jurus 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Serangannya susul-menyusul seperti tiada putus-putusnya.
Tapi Kuntilanak Alam Kubur adalah tokoh yang sudah
kenyang makan asam garam pertempuran. Meskipun
hanya bertangan kosong, sedikit pun tak nampak terdesak.
Bahkan kedua tangannya yang mengepal memainkan ilmu
'Tinju Gajah', masih sempat menyerang bertubi-tubi.
Akibat dari pertarungan kedua wanita ini sangat
mengerikan. Batu-batu besar dan kecil beterbangan.
Bahkan tidak sedikit pohon-pohon besar yang ber-
tumbangan terkena pukulan, tendangan, atau sabetan
pedang nyasar. Tujuh puluh jurus telah berlalu. Sampai saat ini, Melati belum juga mampu
mendesak lawannya. Hal ini tentu saja membuatnya geram bukan main.
Pada jurus kesembilan puluh tiga, sambil mengeluarkan pekik nyaring, Melati
melompat menerjang. Pedang di tangannya melesat cepat menusuk ke leher lawan.
Singgg...! Kuntilanak Alam Kubur terkekeh pelan. Dengan tenang dibiarkannya serangan itu
mendekat. Melati mengira
nenek itu sudah kehabisan tenaga. Kelelahan membuatnya lengah, pikirnya. Tapi
mendadak si nenek menggeser
tubuhnya ke samping kanan, seraya tangan kanannya
menyampok tangan Melati.
Wut! Plak! "Akh...!"
Melati memekik tertahan. Sekujur tangannya dirasakan lumpuh. Pedang di tangannya
terlempar jauh. Sebelum gadis berpakaian serba putih itu berbuat sesuatu, kaki
nenek itu sudah menyambar cepat ke arah perut.
Buk! "Hughk...!"
Keras dan telak bukan main tendangan itu mengenai
sasaran. Seketika itu juga tubuh Melati terjengkang ke belakang. Cairan merah
kental terlihat di sela-sela bibirnya.
Melati terluka dalam!
"Terimalah kematianmu, gadis liar! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Kuntilanak Alam Kubur
menerjang sambil memukulkan tinju kanannya ke dada
Melati. Angin keras menyambar ke arah Melati yang masih
terhuyung-huyung ke belakang.
Melati membelalakkan sepasang matanya. Dia tahu
betapa dahsyatnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan lawannya. Keadaannya yang
sudah terluka dalam tidak memungkinkan untuk menangkis serangan itu.
Bila menangkis, berarti sama saja dengan membunuh
diri. Sementara mengelak pun sudah tidak sempat lagi.
Kini ia hanya dapat menanti datangnya sang maut
menjemput. Tapi sebelum pukulan jarak jauh itu mengenai tubuh
Melati, sesosok bayangan ungu berkelebat menyambar
tubuh gadis itu.
Tappp...! Brakkk...! Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa,
tumbang seketika terkena pukulan jarak jauh yang nyasar.
Suara berderak keras mengiringi robohnya pohon itu.
"Keparat...!"
Kuntilanak Alam Kubur berteriak memaki. Hatinya
gemas sekali ketika lawannya berhasil lolos dari tangannya. Tapi sebelum ia
sempat mengejar, bayangan ungu itu telah lenyap ditelan rerimbunan semak yang
lebat. Nenek berwajah mirip burung elang ini menggeram.
Keras bukan main geramannya. Dihampirinya macan putih yang terkurung di jaring,
tergantung di atas pohon.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur mengacungkan dua buah jari
telunjuknya ke atas. Terdengar suara mencicit nyaring seperti suara tikus
terjepit. Tasss...! Seketika itu juga tali penggantung jaring yang
mengurung macan putih itu putus dan jatuh ke tanah.


Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Brukkk! "Aummm...!"
Macan itu bergerak menerobos kurungan jaring.
Kemudian menggeram pelan menghampiri si nenek. Tapi Kuntilanak Alam Kubur yang
rupanya masih kesal, lalu meninggalkan tempat tersebut. Macan putih itu pun
sambil tetap menggeram pelan, melangkah mengikuti si nenek.
*** 7 Sosok bayangan ungu berkelebat cepat menembus
kerimbunan pepohonan Hutan Bandan. Kini bayangan tadi terhenti di depan sebuah
gua. Sosok ungu itu tak lain adalah Dewa Arak. Di pundaknya tampak tubuh Melati
terkulai lemas. Gadis itu pingsan.
Rasa nyeri yang diakibatkan oleh luka dalam yang dideritanya, sudah tak dapat
ditahannya lagi. Tanpa ragu-ragu Dewa Arak melangkah memasuki mulut gua.
Langkah-langkahnya panjang, seolah-olah tidak merasakan beban di pundaknya.
Beberapa saat kemudian, Dewa Arak sudah melihat
kakek bongkok yang tengah duduk bersila.
"Aku butuh pertolonganmu, Kek." ucap Arya tanpa basa-basi lagi. Tubuh Melati
yang sejak tadi di pondongnya, diturunkan pelahan-lahan.
Kakek bongkok itu membuka matanya. Sepasang mata-
nya yang putih itu menatap Dewa Arak.
"Siapa dia, Arya?" tanya kakek itu tanpa mempedulikan ucapan Dewa Arak.
Arya sudah tidak terkejut lagi ketika si kakek telah mengetahui kalau dia tidak
datang sendirian. Meskipun buta, kakek itu mampu melihat melalui mata batinnya.
"Teman, Kek," sahut Arya.
Kakek itu tercenung sejenak.
"Teman atau kekasih?" sindir kakek itu.
Arya menghela napas panjang. Percuma, tidak ada
gunanya lagi menyembunyikan hal yang sebenarnya pada orang tua ini.
"Sebenarnya..., dia tunanganku, Kek," jawab Arya berterus terang.
"Hm..., lalu kenapa kau bawa dia kemari?"
"Dia mendapat luka dalam yang parah Kek. Karena dulu Kakek adalah seorang raja
obat, maka kubawa dia kemari."
Kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana dia bisa terluka?" desak si kakek ingin tahu.
"Dia bertarung melawan seorang nenek yang berpakaian serba hitam dan...."
Arya menghentikan ucapannya ketika melihat raut wajah si kakek mendadak berubah.
"Mengapa. Kek" Ada sesuatu yang aneh dalam
ceritaku?"
"Tidak. Tidak.... teruskan ceritamu, Arya." sahut kakek itu cepat "O ya. apakah
nenek itu mengenakan kerudung hitam juga?"
"Benar, Kek. Apakah Kakek mengenalnya?"
"Hhh...!" kakek bongkok itu menghela napas panjang
"Dia adalah orang yang kuceritakan padamu."
"Maksud Kakek... wanita itu... istri Kakek...?" tebak Arya.
"Yahhh...!" sambut kakek itu sambil mengangguk pelan.
Arya tercenung mendengar jawaban si kakek. Seketika suasana menjadi hening. Tapi
hal ini tidak berlangsung lama, karena orang tua itu sudah kembali berbicara.
"Tolong kau ambilkan buntalan yang ada di pojok sana,"
pinta kakek bongkok itu sambil menunjuk ke salah satu sudut gua.
Tanpa banyak membantah, Arya bergegas ke arah yang
ditunjuk kakek bongkok itu. Benar saja. Di situ dijumpainya sebuah buntalan.
Buntalan itu segera diambilnya.
"Buka! Ambil pil yang berwarna merah, lalu kau minumkan pada tunanganmu," ucap
si kakek sebelum Arya menyerahkan buntalan itu padanya.
Dewa Arak membuka buntalan itu. Diambilnya pil
berwarna merah dan segera dimasukkan ke dalam mulut Melati.
"Kek...," ucap Arya memecah keheningan yang meliputi suasana gua.
"Hm...," kakek itu hanya bergumam pelan.
Dewa Arak menghela napas panjang sebelum memulai
ucapannya. "Begini, Kek. Rasanya..., tindakan istri Kakek tidak bisa dibiarkan lebih lama
lagi." "Maksudmu aku harus membunuhnya?" selak kakek itu cepat.
"Bukan itu maksudku, Kek." sahut Arya cepat.
"Bicara yang tegas, Arya. Katakan saja, ya!" tegur kakek itu. Tajam dan keras
suaranya. "Tidak seluruhnya benar, Kek."
"Maksudmu?"
"Perbuatan istri kakek memang harus dicegah. Dengan jalan lunak sepertinya tidak
mungkin. Jadi, terpaksa dilakukan lewat jalan kekerasan."
"Betul kan dugaanku"!" selak kakek itu lagi.
"Ya. Tapi, bukan Kakek yang harus melakukannya."
"Lalu, siapa" Kau"!" ada keraguan dalam nada suara si kakek.
"Begitulah, Kek. Aku akan berusaha dengan seluruh kemampuanku."
"Percuma. Kau tidak akan mampu menandinginya. Kau hanya akan mengantar nyawa
saja!" tegas kakek itu yakin.
"Tidak mengapa, Kek. Aku siap mengadu nyawa dengan-nya. Maksudku mengutarakan
hal inl, adalah untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari,"
jelas Arya. Kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Alasan Arya bisa diterimanya. Pemuda ini benar-benar bijaksana, pikirnya.
"Aku mengerti arah pembicaraanmu, Arya. Kau khawatir aku akan salah terima bila
istriku tewas di tanganmu, begitu kan?" tebak kakek bongkok itu.
"Benar, Kek," ucap Dewa Arak sambil menganggukkan kepalanya.
"Hhh...! Perlu kau ketahui Arya. Aku pun sudah muak dengan tingkah laku istriku.
Sudah lama sekali aku meng-inginkannya tewas. Tapi, ternyata tidak seorang pun
yang sanggup mengalahkannya. Sedangkan aku tak sampai hati menjatuhkan tangan
maut pada istriku sendiri. Kuharap kau berhasil. Pesanku berhati-hatilah, Arya.
Saat ini dia tengah mempelajari sebuah ilmu hitam. Aku sendiri belum tahu ilmu
apa yang ditekuninya."
"Terima kaslh atas kerelaanmu, Kek. Aku titip tunanganku di sini."
"Pergilah, Arya. Kudoakan semoga kau berhasil"
"Terima kasih, Kek," pamit Arya, seraya melesat ke luar.
Sepeninggal Dewa Arak, kakek itu menunduk sedih.
Bola mata yang hanya tinggal putihnya itu, terlihat berkaca-kaca. Hatinya
tersayat pedih saat mengingat kenangan manis bersama istrinya. Rupanya masih ada
segumpal cinta di hatinya
*** Matahari telah sejak tadi tenggelam di ufuk Barat.
Cahaya bulan yang hanya sepotong membuat suasana
Hutan Bandan menjadi remang-remang.
Seorang kakek bertubuh pendek terkekeh-kekeh
gembira. Tubuhnya yang gemuk, terbalut rompi dan celana hijau. Kepalanya botak,
berkilat-kilat ditimpa cahaya bulan.
"Akhirnya aku juga yang mendapatkan benda langit ini.
He... he... he...!" matanya menatap sebuah lubang bergaris tengah sekitar dua
tombak. Kedalamannya hampir setengah tombak. Di dalamnya lampak tergolek sebuah
benda seperti batu berwarna gelap. Besarnya sebesar kepala orang dewasa.
Tapi baru saja kakek pendek gemuk ini hendak
menuruni lubang itu, terdengar suara terkekeh. Kontan saja kakek itu
mengurungkan niatnya. Matanya berkeliling mencari asal suara.
"Hik... hik... hik...! Kelabang Hijau..., tidak kusangka kalau langkahmu sampai
juga kemari."
Kakek pendek gemuk yang berjuluk Kelabang Hijau itu menatap sosok di hadapannya
(Untuk lebih jelas mengenai tokoh ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode "Cinta Sang Pendekar") Di depannya telah berdiri seorang nenek berwajah mirip
burung elang. Pakaian dan
kerudungnya serba hitam. Sebuah tongkat berkeluk yang ujungnya berbentuk kepala
seekor burung elang tergenggam di tangannya.
"Kuntilanak Alam Kubur...." desis Kelabang Hijau.
Perasaan terkejut dapat dirasakan dari suara si kakek.
"Rupanya kau juga tertarik dengan benda langit, nenek peot!" Sehingga langkahmu
sampai juga kemari."
"Hik... hik... hik...! Pasang telingamu lebar-lebar, Kelabang Hijau. Dengar! Aku
adalah pemilik Hutan Bandan ini! Jadi akulah yang lebih berhak atas benda langit
itu! Lagi pula aku tidak suka ada orang mengusik ketenanganku. Mereka semua harus
mati! Tak terkecuali kau!"
"Kita lihat saja buktinya, nenek peot!" sahut Kelabang Hijau.
"Hik... hik... hik...!" Kuntilanak Alam Kubur kembali tertawa terkekeh-kekeh.
Tongkatnya ditancapkan di tanah.
"Hiyaaa...!"
Terdengar suara gemuruh ketika nenek berpakaian
serba hitam itu melontarkan kepalannya ke leher si botak.
Rupanya Kuntilanak Alam Kubur sudah mengeluarkan ilmu
'Tinju Gajah' Kelabang Hijau tahu kalau lawan telah mengeluarkan
ilmu andalannya. Tanpa ragu-ragu lagi, ia pun segera memainkan jurus 'Kelabang
Sakti'. Ditangkisnya serangan itu. Plak!
"Uh...!"
Tubuh Kelabang Hijau terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya dirasakan
lumpuh. Dadanya terasa sesak,
sementara lawannya hanya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kakek berkulit
kehijauan ini sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat.
"Hik... hik... hik...! Kematianmu sudah di ambang pintu, gundul jelek!" ejek
Kuntilanak Alam Kubur.
Kelabang Hijau sama sekali tidak mempedulikan ejekan si nenek. Sambil
mengeluarkan pekik nyaring, dia melompat menyerang. Kini kedua tokoh sakti ini
sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Mulanya pertarungan kedua tokoh sesat ini berlangsung imbang. Tapi begitu
menginjak jurus kedua puluh, tampak-lah keunggulan Kuntilanak Alam Kubur.
Kelabang Hijau yang tahu keunggulan lawannya dalam
hal tenaga dalam, sedapat mungkin berusaha menghindari bentrokan tenaga.
Berkali-kali ia terpaksa harus menarik kembali serangannya begitu Kuntilanak
Alam Kubur hendak menangkisnya.
Tapi di saat gawat bagi Kelabang Hijau, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih
memasuki arena pertempuran.
Sosok bayangan putih ini langsung menghujani Kuntilanak Alam Kubur dengan
serangan-serangan dahsyat.
Tentu saja Kuntilanak Alam Kubur terkejut, ia terpaksa mengurungkan desakannya
pada Kelabang Hijau.
Serangan si bayangan putih merupakan serangan-
serangan mematikan yang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Mau tak mau ia harus menangkis serangan yang bertubi-tubi itu
dengan pengerahan seluruh tenaga dalam pula.
Plak, plak, plak....!
Suara benturan dua pasang tangan yang mengandung
tenaga dalam tinggi terdengar berkali-kali. Akibatnya hebat!
Si bayangan putih memekik tertahan. Tubuhnya ter-
pelanting sejauh tiga batang tombak. Sekujur tangannya dirasakan ngilu.
Kini sosok serba putih sudah berdiri di sebelah
Kelabang Hijau kembali. Pada dahinya terlihat sebuah logam berbentuk bulan
sabit. Dialah Dewi Bulan, pasangan dari Kelabang Hijau.
"Hik... hik... hik...! Rupanya kekasihmu datang juga, Kelabang Hijau! Hik hik
hik...! Luar biasa! Rupanya berita tentang jatuhnya benda langit di sini membuat
kalian yang telah bau tanah ini ingin juga memilikinya."
"Tutup mulutmu kuntilanak jelek!" bentak Dewi Bulan keras.
"Kalau aku tidak mau"!" sahut Kuntilanak Alam Kubur sambil tersenyum mengejek.
"Aku yang akan menutupnya dengan kedua tanganku!"
"Hik hik hik...! Mampukah kau melakukannya, dewi got!?" ejek nenek berpakaian
hitam yang pandai berdebat itu. "Keparat...! Mampuslah kau...!"
Setelah berkata demikian, Dewi Bulan langsung
melompat menerjang lawannya. Kaki kanannya melayang ke pelipis Kuntilanak Alam
Kubur. Cepat dan keras bukan main serangannya. Angin berdesir keras mengawali
tibanya serangan itu.
Kuntilanak Alam Kubur hanya merendahkan tubuhnya
sedikit. Dan serangan itu pun lewat di atas kepalanya. Tapi mendadak kaki
kanannya menendang ke lutut kiri Dewi Bulan.
"Ihhh...!"
Dewi Bulan tersentak kaget. Tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Kelabang
Hijau telah lebih dulu bergulingan menangkis serangan itu.
Plak! Kuntilanak Alam Kubur menggeram murka. Apalagi di
saat itu Dewi Bulan sudah mengirimkan serangan susulan.
Belum lagi nenek berpakaian serba hitam ini sempat
menarik napas, serangan Kelabang Hijau sudah tiba lagi.
Demikian seterusnya silih berganti. Sehingga Kuntilanak Alam Kubur terdesak. Ia
tidak mempunyai kesempatan
untuk melancarkan serangan balasan.
"Hih...!"
Tiba tiba Kuntilanak Alam Kubur melentingkan tubuhnya ke belakang dan bersalto
beberapa kali di udara. Kakinya mendarat tanpa suara di dekat tongkat yang tadi
ditancapkannya.
Dewi Bulan dan Kelabang Hijau tidak bergerak
mengejar. Mereka tidak berani berbuat gegabah meng-
hadapi perempuan aneh ini. Keduanya tahu kalau lawan hendak menggunakan ilmu
lainnya. Tapi sepasang tokoh tua ini yakin, ilmu gabungan mereka dapat
menghadapi lawan yang bagaimanapun lihainya.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur mencabut tongkatnya yang
terhunjam dalam di tanah. Kedua matanya nampak
terpejam sejenak. Bibirnya berkemik seperti mengucapkan sesuatu. Tak lama
kemudian, tongkatnya diketukkan ke tanah.
*** 8 Sepasang mata Dewi Bulan dan Kelabang Hijau terbelalak lebar. Kini di hadapan
mereka telah berdiri empat orang Kuntilanak Alam Kubur.
"Hik... hik... hik...! Ingin kulihat, mampukah kalian menghadapi ilmu 'Pecah
Raga'! Hik hik hik...!" ucap salah seorang dari empat nenek berpakaian serba
hitam itu. "'Pecah Raga'..."!" desah Kelabang Hijau dan Dewi Bulan bersamaan. Wajah mereka
memancarkan keterkejutan
yang amat sangat. Keduanya memang pernah mendengar
kedahsyatan ilmu ini. Ilmu unik yang dapat membuat tubuh pemiliknya menjadi
banyak. Sungguh tak disangka kalau nenek itu bisa memilikinya. Namun belum lagi
habis rasa terkejut mereka. Tiba-tiba....
"Hiyaaa...!"
Empat orang Kuntilanak Alam Kubur menyerbu
serentak. Kelabang Hijau dan Dewi Bulan bertindak cepat.
Keduanya segera menggabungkan ilmunya sehingga
serangan dan pertahanan mereka menjadi berlipat ganda.
"Haaattt..!"
Salah seorang dari empat Kuntilanak Alam Kubur
berteriak nyaring. Kedua jari tangannya menusuk cepat ke dada Dewi Bulan. Angin
mencicit nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
"Hih...!"
Kelabang Hijau mengulurkan tangan kirinya ke arah
Dewi Bulan. Wanita sesat itu meyambut dan meng-
genggamnya dengan tangan kanan. Tusukan dua jari yang mengarah ke lehernya
ditangkis dengan tangan kirinya.
Plak! "Ihhh...!"
Kuntilanak Alam Kubur memekik tertahan. Tubuhnya
langsung terjengkang ke belakang. Rupanya gabungan
tenaga dalam sepasang tokoh sesat tadi telah berhasil memecah pertahanan keempat


Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuntilanak Alam Kubur.
Beberapa kali, baik Kelabang Hijau maupun Dewi Bulan berhasil menyarangkan
pukulan telak pada dada, perut ataupun ulu hati lawan-lawannya. Tetapi kejadian
tadi berulang kembali. Keempat Kuntilanak Alam Kubur seolah-olah tidak
merasakannya. Tak terasa seratus jurus telah lewat. Kelabang Hijau dan Dewi Bulan merasa lelah
bercampur kesal. Lelah karena harus mengelak serangan gencar keempat Kuntilanak
Alam Kubur. Kesal karena setiap kali lawan dirobohkan, tahu-tahu sudah bangkit
menyerang kembali. Lama
kelamaan rasa lelah membuat ilmu gabungan mereka
mulai kacau. Sementara empat Kuntilanak Alam Kubur
masih terlihat segar.
"Hik hik hik...!" salah seorang dari empat Kuntilanak Alam Kubur mengikik. "Tak
lama lagi, ajal kalian akan tiba.
Hik... hik... hik...! Tidak ada seorang pun yang akan kubiarkan hidup, setelah
memasuki Hutan Bandan!"
Kuntilanak Alam Kubur tahu, selama kedua lawannya
masih bersatu mereka sullt dikalahkan. Keduanya harus dipisahkan lebih dulu,
pikirnya. Segera keempatnya
berpencar. Kini baik Dewi Bulan maupun Kelabang Hijau masing-masing menghadapi
dua Kuntilanak Alam Kubur.
Kelabang Hijau dan Dewi Bulan sama sekali tidak
menyadari siasat lawan. Baru setelah beberapa jurus kemudian, mereka sadar.
Segera keduanya bermaksud
untuk bersatu kembali. Tapi Kuntilanak Alam Kubur membaca maksud mereka,
sehingga usaha keduanya gagal.
Crottt..! "Akh...!" Dewi Bulan menjerit tertahan ketika dua buah jari tangan Kuntilanak
Alam Kubur menusuk perutnya.
Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, Kuntilanak Alam Kubur yang satu lagi telah
menyarangkan sebuah
tendangan keras ke dadanya.
Buk...! "Aaakh...!"
Dewi Bulan menjerit melengking tinggi. Tubuhnya
melayang jauh ke belakang dengan tulang-tulang dada remuk. Darah segar keluar
dari mulut, hidung, dan telinganya. Nyawanya melayang diringi jeritan kematian
yang menyayat. Brukkk...! Kelabang Hijau terkejut mendengar jeritan kekasihnya.
Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Keadaannya sendiri terjepit. Kini ia harus
bertarung melawan keempat
Kuntilanak Alam Kubur sekaligus. Belum ada dua jurus setelah kematian Dewi
Bulan, sebuah tusukan jari lawan meluruk cepat ke pelipisnya.
Tukkk.! "Aaakh...!"
Kelabang Hijau memekik tertahan. Tubuhnya ambruk
dengan tulang pelipis pecah.
"Hik... hik... hik...!"
Empat orang Kuntilanak Alam Kubur itu tertawa
mengikik menatap kedua mayat yang terbujur di tanah.
Sesaat kemudian, tiga orang kembaran nenek berpakaian hitam itu lenyap tanpa
bekas. Kini tinggal satu orang Kuntilanak Alam Kubur.
*** Kepala Kuntilanak Alam Kubur menoleh ke kiri.
Pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah
bergerak ke arahnya. Betul saja. Beberapa saat kemudian, berkelebat bayangan
ungu di hadapannya.
Kuntilanak Alam Kubur menatap sosok bayangan ungu
yang ternyata adalah Arya, si Dewa Arak.
Tiba-tiba saja macan putih yang sejak tadi mendekam mengawasi pertarungan
majikannya, bangkit. Suara gereng kemarahan terdengar dari mulutnya begitu
melihat kedatangan anak muda ini.
"Keparat..!" geram Kuntilanak Alam Kubur. "Jadi, inikah orang yang dulu
melukaimu, Putih"!" tanya nenek itu.
Ketika dilihatnya binatang peliharaannya menggerenggereng penuh kemarahan.
"Grrrh...!" macan putih kembali menggereng pelan.
Kuntilanak Alam Kubur mengerti makna gerengan binatang peliharaannya.
"Kalau begitu, kau tenang saja di sini. Akan kubalas sakit hatimu!"
Kuntilanak Alam Kubur melangkah mendekati Dewa
Arak yang tetap bersikap tenang.
"Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak?" tanya nenek itu. Kasar dan keras
suaranya. Memang dia sudah mendengar nama besar Dewa Arak yang telah meng-
goncangkan dunia persilatan. Begitu melihat ciri-ciri Arya, dia sudah bisa
langsung menduganya.
Dewa Arak mengangguk.
"Begitulah orang memberiku julukan." jawabnya seraya memutar tubuhnya. "Dan kau
pasti Kuntilanak Alam Kubur.
Betul kan?" duga Dewa Arak. Sepasang matanya memandang berkeliling.
Dewa Arak terkejut begitu matanya tertumbuk pada dua sosok yang dikenalnya,
tergolek tanpa nyawa. Dua orang inl dulu pernah hampir mencelakainya, kalau saja
tidak datang Melati menolongnya (Untuk lebih jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam
episode "Cinta Sang Pendekar") Bagaimana mungkin keduanya tewas di tangan nenek
ini" pikirnya setengah tidak percaya. Bukankah kepandaian yang dimiliki sepasang
tokoh tua ini sudah sangat tinggi"
Wajah nenek berpakaian hitam berubah hebat.
"Dari mana kau tahu julukanku Dewa Arak"! Aku yakin ada orang yang
memberitahukanmu," tanya nenek itu penuh selidik.
"Dari mana kutahu dirimu, itu adalah rahasiaku.
Kedatanganku ke hutan ini adalah untuk menghentikan kekejianmu terhadap penduduk
Desa Bandan. Sekaligus membalas perlakuanmu terhadap kawanku yang telah kau
lukai!" Kuntilanak Alam Kubur tercenung sejenak mendengar
ucapan terakhir Dewa Arak. Keningnya berkernyit pertanda tengah berpikir keras.
"Temanmu?" tanyanya. Diingat-ingatnya kembali setiap pertempuran yang dialaminya
belum lama ini. Tapi
seingatnya, dia baru bertarung dua kali. Kini nenek itu teringat pada bayangan
ungu yang telah menyelamatkan gadis berpakaian putih dari cengkeramannya "Jadi,
kau rupanya yang telah menyelamatkan gadis berpakaian putih itu!?"
Dewa Arak menganggukkan kepalanya.
"Benar. Akulah orangnya " sahut Arya singkat. Setelah itu tanpa ragu-ragu lagi,
Dewa Arak mengambil guci arak yang tergantung di punggungnya. Diangkatnya ke
atas kepala. Kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk.... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak melewati
kerongkongannya. Sesaat kemudian dirasakan hawa
hangat menyebar dalam perutnya dan terus naik ke atas kepala.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur menggertakkan gigi. Pelahan-
lahan, kedua tangannya mengepal. Terdengar suara berkerotokan keras seperti ada
tulang-tulang berpatahan begitu jari-jarinya dikepalkan. Firasatnya mengatakan
kalau Dewa Arak mempunyai kelihaian tinggi. Tanpa sungkan-sungkan lagi segera
dikeluarkan Ilmu 'Tinju Gajah'.
"Hiyaaa...!"
Dengan diinngi teriakan nyaring, Kuntilanak Alam Kubur menyerang Dewa Arak.
Tangan kanannya dipukulkan keras ke wajah lawan. Angin berhembus keras mengawali
serangannya. Tapi kali ini yang diserangnya adalah Dewa Arak,
meskipun masih muda, tapi memiliki ilmu-ilmu aneh dan tinggi. Dengan langkah
terhuyung-huyung yang menjadi ciri khasnya. Arya mengelakkan serangan itu.
"Heh .."!" Kuntilanak Alam Kubur terpekik kaget ketika melihat lawannya tahu-
tahu lenyap dari situ. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, dirasakan adanya
angin dingin berkesiut di belakangnya. Dewa Arak tiba-tiba telah berada di
belakangnya, dan tengah mengayunkan gucinya ke arah belakang kepalanya.
"Hih...!"
Nenek berpakaian serba hitam ini segera melompat ke depan. Tubuhnya berguling-
guling menjauh. Serangan guci Dewa Arak mengenai tempat kosong
Wajah Kuntilanak Alam Kubur berubah. Selama
hidupnya baru kali ini dia bisa dibuat bergulingan di tanah dalam segebrakan.
Hal ini tentu saja membuat amarahnya meluap. Begitu bangkit dari bergulingnya,
dia pun kembali menerjang lawannya dengan dahsyat.
Kedua tinju Kuntilanak Alam Kubur menyambar-
nyambar dahsyat mencari sasaran. Terdengar suara
gemuruh setiap kali tinjunya melayang.
Tapi meskipun si nenek menyerang bagaikan kerbau
mengamuk, semua serangannya dapat dikandas kan oleh Dewa Arak. Jurus 'Delapan
Langkah Belalang' yang dimainkan Arya membuatnya lincah mengelakkan serangan.
Bahkan tidak jarang malah berbalik mengancam lawan.
"Haaat..!"
Kedua tangan Dewa Arak yang memainkan jurus
'Belalang Mabuk' menyambar deras ke arah kedua pelipis Kuntilanak Alam Kubur.
Nenek berwajah mirip burung elang itu tertawa
mengikik. Serangan itu segera dipapakinya dengan kedua tangan yang dilintangkan
di sisi telinganya.
Plak...! Benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga
dalam tinggi pun terjadi. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang. Sekujur
tangannya dirasakan ngilu sekali.
Napasnya terasa sesak. Sementara si nenek dilihatnya hanya terhuyung-huyung tiga
langkah ke belakang. Jelas, kalau dalam adu tenaga dalam, Kuntilanak Alam Kubur
masih berada di atas Dewa Arak!
"Hiyaaa...!"
Belum sempat pendekar muda ini memperbaiki kuda-
kudanya, nenek berpakaian hitam itu kembali menerjang.
Ilmu 'Tinju Gajah' kembali menderu-deru mencari sasaran.
Dewa Arak segera dapat mematahkannya. Ilmu
'Belalang Sakti' yang dimainkan Arya, memungkinkannya bergerak dalam posisi apa
pun tanpa mengalami kesulitan.
Dalam waktu singkat, seratus jurus telah berlalu.
Pertarungan masih berjalan seimbang. Belum tampak ada tanda-tanda siapa yang
terdesak. "Hm.... Bukan main lihainya pemuda ini...," puji seorang kakek bermata putih.
Punggungnya bungkuk. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat penunjang
tubuhnya. Kaki kirinya buntung sebatas pangkal paha.
Ujung celana di sebelah kirinya berkibaran tertiup angin.
"Tidak aneh, Kek. Dia adalah Dewa Arak," sahut gadis di sebelahnya yang tak lain
adalah Melati. Di belakang keduanya nampak berdiri tujuh orang. Mereka adalah Ki
Sancaperta, Ki Gayan, Jiwala dan empat orang penduduk Desa Bandan lainnya.
Rupanya Ki Sancapaperta dan Ki Gayan merasa tidak
enak bila hanya menunggu di desa, sementara Dewa Arak berjuang untuk kepentingan
desa mereka. Bersama Jiwala dan empat orang warga desa lainnya, mereka
berbondong-bondong masuk hutan. Di tengah perjalanan, mereka
bertemu dengan kakek penyelamat desa mereka bersama seorang gadis berpakaian
putih. Mulanya hampir terjadi kesalahpahaman. Ketujuh orang warga Desa Bandan ini tidak
dapat menahan amarahnya begitu mengenali si kakek. Tapi untunglah si kakek
segera memberikan penjelasan. Sehingga pertumpahan darah
yang sia-sia, akhirnya dapat dihindari.
Kesembilan orang itu bergegas ke tempat itu begitu
mendengar suara pertempuran. Kini mereka menonton
pertarungan itu dari tempat yang agak jauh.
Melati memandang ke arah pertempuran dengan
pandangan mata cemas. Dia pernah merasakan kelihaian Kuntilanak Alam Kubur.
Dilihatnya tenaga dalam tunangannya tidak mampu mengimbangi tenaga dalam lawan.
Kuntilanak Alam Kubur menggeram hebat menahan
amarah. Telah serarus lima puluh jurus berlalu, tapi dia belum dapat mematahkan
lawannya. Ilmu 'Tinju Gajah'
sama sekali tidak berdaya. Bahkan beberapa kali dia dibuat jatuh bangun oleh
serangan balasan Dewa Arak.
"Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur menjerit melengking tinggi.
Tubuhnya melenting ke belakang. Dewa Arak tidak berani gegabah mengejarnya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, nenek berpakaian serba hitam ini mendarat dekat tongkat yang
tadi ditancapkannya di
tanah. "Hih...!"
Kuntilanak Alam Kubur mencabut tongkatnya. Sepasang matanya terpejam. Bibirnya
berkemik seperti mengucapkan sesuatu. Kemudian tongkatnya diketukkan ke tanah.
"Ahhh...!" seru Arya terkejut. Di hadapannya kini telah berdiri empat orang
Kuntilanak Alam Kubur. Masing-masing menggenggam tongkat berujung kepala burung
elang. "Ilmu sihir...!" teriak Melati pula tak kalah terkejutnya.
Bukan cuma Melati saja, ketujuh orang di belakangnya juga mengalami hal serupa.
"Ada apa, Melati?" tanya kakek bongkok mendesah, begitu mendengar seruan seruan
kaget itu. Dahinya berkernyit seperti tengah berpikir keras.
"Ng..., anu, Kek. Lawan Kang Arya kini telah menjadi empat orang." jawab gadis
berpakaian putih itu memberitahu.
"Hm...," kakek bongkok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ilmu 'Pecah Raga'"
desahnya pelan.
"Kau tahu ilmu itu, Kek?" tanya Melati penuh gairah.
"Hm.... Rupanya ilmu iblis itulah yang dipelajarinya selama ini. Kekuatan
iblisnya diperoleh dari darah remaja-remaja yang dihirupnya. Mudah-mudahan saja
tunangan-mu itu berhasil menemukan kelemahannya."
Melati terdiam. Semula dia berharap si kakek bongkok mengetahui kelemahan ilmu
Kuntilanak Alam Kubur. Tapi mendengar ucapan tadi, gadis ini putus harapan.
Kembali dialihkan perhatiannya ke arena pertarungan.
Sementara itu, Kuntilanak Alam Kubur yang kini telah berubah menjadi empat
orang, sudah menerjang Dewa
Arak. Menghadapi seorang saja, Dewa Arak sudah kewalahan.
Apalagi menghadapi empat orang! Tapi dengan kegesitan jurus 'Delapan Langkah
Belalang', dia masih mampu mengimbangi.
"Haaat...!" salah seorang Kuntilanak Alam Kubur menjerit keras. Tongkat kepala
burung elang di tangannya, ditusukkan ke arah perut Dewa Arak.
Anak muda ini melentingkan tubuhnya, tahu-tahu ia
telah berada di belakang nenek tadi. Guci arak di
tangannya terayun deras menghantam punggung
lawannya. Buk...! "Huakh...!"
Hantaman guci tadi dilakukan dengan pengerahan
tenaga dalamnya. Akibatnya, perempuan tua itu terpental jauh ke depan. Tubuhnya
jatuh tersungkur sambil
memuntahkan darah segar. Ia pun tewas seketika!
Wut..! Belum sempat Dewa Arak melanjutkan serangannya,
Kuntilanak Alam Kubur yang lain membabatkan tongkatnya ke kaki Arya.
"Hih...!"
Dewa Arak melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya
berada di udara. Gucinya diayunkan ke kepala lawan.
Gerakannya cepat, sehingga sebelum Kuntilanak Alam
Kubur menyadarinya, tiba-tiba....
Wut.! Prak...! "Aaakh...!"
Terdengar suara berderak keras ketika kepala nenek itu pecah. Seketika itu juga


Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyawanya melayang meninggalkan raga.
Dewa Arak melentingkan tubuhnya menjauhi arena
pertarungan. "Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di tanah
beberapa tombak dari arena pertarungan. Kini
perasaannya agak sedikit lega. Dua di antara lawannya sudah berhasil dirobohkan.
Tidak lerlalu berat baginya menghadapi dua Kuntilanak Alam Kubur yang tersisa.
Tapi, Dewa Arak terperanjat ketika melihat lawannya masih tetap berjumlah empat
orang! Hatinya penasaran.
Kepalanya ditolehkan ke arah dua mayat yang berhasil ditewaskannya. Tempat itu
kosong! "Hm..., ilmu Iblis!" gumam Arya lirih.
"Hik... hik... hik...! Kaget, Dewa Arak! Hik... hik... hik...!
Jangan mimpi dapat mengalahkan Kuntilanak Alam Kubur!
Hik hik hik...!" ejek nenek itu sambil tertawa mengikik.
Arya sadar, kali ini dia kembali bertemu dengan tokoh berilmu aneh. Semacam ilmu
sihir! Tapi, jauh lebih dahsyat lagi. Dewa Arak memang pernah mendengar namanya,
ilmu 'Pecah Raga'!
Arya adalah seorang pemuda yang cerdas. Pengalaman
demi pengalaman telah mempertajam pikirannya. Ia tahu, meskipun lawannya
terlihat empat orang, tetapi sebenarnya tetap satu. Jadi tiga dari empat orang
itu adalah palsu!
Dan Kuntilanak Alam Kubur yang palsulah yang tadi
ditewaskannya. Itulah sebabnya mereka dapat hidup
kembali. Kini satu-satunya jalan adalah merobohkan
Kuntilanak Alam Kubur yang asli! Tapi, mana di antara empat orang itu yang asli"
"Hik... hik... hik...! Mengapa termenung di situ, Dewa Arak" Berpikir unruk
melarikan diri" Jangan harap! Kau harus mati di tanganku Dewa Arak!"
Gluk... gluk... gluk...!
Dewa Arak kembali menuangkan arak ke dalam
mulutnya. Ucapan Kuntilanak Alam Kubur seolah-olah tidak didengarnya sama
sekali. "Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring, Dewa
Arak melompat menerjang. Entah bagaimana caranya tahu-tahu gucinya telah berada
kembali di punggungnya. Kini sepasang tangannya bergerak-gerak aneh menyerang
lawannya. Kali ini dia memang meminum araknya lebih banyak dari biasanya. Jurus 'Belalang
Mabuk' kin' menyambar-nyambar dahsyat ke arah empat orang lawannya.
Empat Kuntilanak Alam Kubur itu langsung berpencar.
Tapi, Dewa Arak kini berada dalam puncak ilmunya. Secara tak terduga-duga,
dihantamnya ulu hati salah seorang Kuntilanak Alam Kubur.
Buk. ! Buk...! "Aaakh...!"
Kuntilanak Alam Kubur yang sial itu memekik keras.
Tubuhnya terlempar jauh. Nenek itu tewas seketika dengan sekujur tulang tulang
dada hancur. Darah mengalir deras dari hidung, mulut dan telinganya.
Dewa Arak rupanya sudah tak sabar lagi ingin cepat-
cepat mengakhiri pertarungan. Secepat Kilat kedua
tangannya yang tadi dalam bentuk tangan jari-jari belalang, berubah membentuk
cakar yang terkembang lebar.
Seketika itu pula tangan kanannya dihentakkan ke depan, disusul oleh hentakan
tangan kirinya. Inilah Jurus
'Membakar Matahari'. Jurus ini dapat menghasilkan
gumpalan api yang dapat menghanguskan apa saja yang terlanda pukulan itu!
Wusss...! Wusss...!
Dua buah gumpalan api menyambar deras ke arah dua
orang Kuntilanak Alam Kubur. Serangan Dewa Arak itu begitu cepat dan tiba-tiba.
Sehingga seorang di antara mereka tidak bisa mengelak lagi.
"Aaakh...!"
Terdengar pekikan melengking tinggi, ketika api yang menyambar itu langsung
mengenal dada salah seorang
dari Kuntilanak Alam Kubur. Seketika itu juga tubuhnya terpental ke belakang.
Tewas seketika dengan api menyala di atas tubuhnya!
Tapi sebelum Dewa Arak melanjutkan serangannya,
salah seorang Kuntilanak Alam Kubur telah lebih dulu menyerangnya. Tongkat di
tangan nenek itu menyambar dahsyat ke kepalanya. Arya sempat mengelakkannya,
tapi tak urung tongkat itu menghantam bahunya.
Buk...! "Akh...!" Dewa Arak memekik tertahan. Tubuhnya terbanting keras. Sekujur bahunya
dirasakan ngilu bukan main. Seolah-olah tulang-tulangnya remuk.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas ketika melihat lawannya kembali berjumlah
empat orang lagi. Pemuda ini hampir putus asa. Sudah lebih dua ratus lima puluh
jurus dia bertarung. Tapi sampai saat ini tak juga dapat
ditemukan kelemahan ilmu lawannya. Sulit untuk mencari mana di antara mereka
yang asli. Sementara malam mulai berganti pagi. Pelahan-lahan sang mentari mulai
menampakkan diri.
"Hik... hik... hik...! Silakan kau keluarkan semua ilmumu Dewa Arak!" ejek salah
seorang dari empat Kuntilanak Alam Kubur.
Tiba-tiba sepasang mata Dewa Arak berbinar-binar.
Sinar matahari yang mulai menyorot ke bumi membuat
semangatnya bangkit. Betapa tidak" Di antara keempat sosok tubuh itu, hanya ada
satu yang mempunyai
bayangan! Otak Dewa Arak yang cerdik segera mengerti. Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai
bayangan inilah yang asli.
Yang lainnya palsu belaka. Tercipta karena keunikan ilmu
'Pecah Raga'. Tapi Dewa Arak tidak bertindak bodoh. Pemuda itu
berpura-pura tidak tahu. Dikumpulkannya lagi seluruh tenaga dalamnya. Setelah
rasa ngilu di tangannya ber-kurang, dia kembali melompat menerjang. Kini Dewa
Arak sudah mempunyai sasaran. Tapi, untuk tidak membuat
kecurigaan, diterjangnya Kuntilanak Alam Kubur yang palsu. Meskipun begitu,
sepasang matanya tidak lepas mengawasi Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai
bayangan. "Hiyaaa..!"
Guci arak yang kini telah berada di tangannya kembali, diayunkannya ke arah
kepala salah seorang Kuntilanak Alam Kubur.
Wut..! Guci itu lewat di atas kepala ketika si nenek
menundukkan kepalanya.
Tapi di saat itulah, secara tidak terduga-duga. Dewa Arak melemparkan gucinya ke
arah Kuntilanak Alam Kubur yang mempunyai bayangan.
Wut...! Guci itu meluncur deras. Karuan saja si nenek terkejut bukan main. Segera dia
melompat mengelak. Tapi di saat itulah Dewa Arak sudah menghentakkan kedua
tangannya bergantian ke depan. Kedua jari-jari tangannya mengembang lebar
membentuk cakar. Inilah jurus 'Membakar
Matahari' Wut..! Dua buah gumpalan api menyambar dahsyat ke tubuh
Kuntilanak Alam Kubur yang tengah melompat tinggi ke atas. Tidak ada jalan lain
bagi nenek itu kecuali menangkisnya.
Tiga orang Kuntilanak Alam Kubur yang lain berusaha membantu. Dua di antaranya
berusaha mencegat pukulan itu, tapi gagal. Yang seorang lagi menyerang Arya.
Tongkat di tangannya menyambar dahsyat ke kepala Dewa Arak.
Trak! "Akh...!"
Dewa Arak menjerit keras. Tangan kanannya yang
menangkis serangan itu seperti lumpuh rasanya. Tulang-tulangnya terasa remuk.
Ngilu bukan main. Tapi di saat lawan hendak menyusulinya dengan serangan maut,
terjadi sebuah keanehan. Tubuh yang masih berada di udara itu menggeliat. Kedua
tangannya memegangi dada, seperti menderita rasa sakit yang hebat.
Rasa penasaran membuat mata Dewa Arak beredar ber-
keliling. Pandangannya tertumbuk pada tubuh Kuntilanak Alam Kubur asli yang
tengah menggeliat-geliat di tanah.
Sekujur tubuhnya penuh nyala api berkobar. Rupanya
pukulan Dewa Arak dalam pemakaian Jurus 'Membakar
Matahari', tak mampu ditahannya. Beberapa saat tubuhnya menggelepar sebelum
akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Mati! Seiring dengan tewasnya Kuntilanak Alam Kubur asli, tiga orang kembarannya
lenyap tanpa bekas.
"Hhh...!" Arya menghela napas. Antara perasaan lelah dan lega. Segera
dipungutnya guci miliknya yang tergeletak jauh dari mayat si nenek. Kemudian
disampirkannya di punggung.
"Kang Arya ...!"
Suara yang amat dikenalnya berseru memanggilnya.
Dewa Arak tersenyum. Dilihatnya Melati tengah berlari cepat ke arahnya.
Arya mengembangkan kedua tangannya, memeluk gadis
itu erat-erat. "Aku khawatir sekali, Kang." ucap Melati. Suaranya tersendat-sendat.
"Nenek itu memang lihai sekali," desis Arya penuh kekaguman "Untung aku berhasil
menemukan kelemahan ilmunya. O, ya. Mengapa kau berada di hutan ini, Melati?"
"Kakek yang menyuruhku, Kang. Aku disuruh mengamal-kan ilmu yang kuperoleh
darinya. Kau bohong, Kang Arya.
Waktu itu, kau bilang ingin datang menjumpaiku," ucap gadis itu merajuk (Baca
serial Dewa Arak dalam episode
"Banjir Darah di Bojong Gading").
"Maafkan aku, Melati. Aku belum sempat menemuimu.
Kau bisa memakluminya kan?" tanya Arya meminta pengertian gadis itu.
Melati tersenyum manis. Pelahan dianggukkan kepala-
nya. "Tak apa, Kang. Toh, sekarang kita sudah bertemu."
"Ehm..., ehm...!"
Suara deheman dua kali menyadarkan kedua muda-
mudi itu. Melati teringat bahwa masih ada orang lain di sekitar mereka. Kakek
bongkok yang buta dan juga Ki Sancaperta dan para penduduk Desa Bandan. Dengan
muka merah, keduanya menoleh.
"Aku ingin meminta pertolongan pada kalian. Boleh?"
tanya kakek bongkok itu.
"Pertolongan apa, Kek?" tanya Arya heran.
"Tolong kemarikan mayat istriku." sahut kakek itu pelan.
Nada suaranya menyimpan kedukaan yang dalam. Macan
putih hampir menerkam Dewa Arak kalau kakek buta itu tidak mencegahnya.
Dewa Arak segera menghampiri mayat nenek yang telah hangus. Diangkatnya,
kemudian dihampirinya kakek
bongkok itu. "Bagaimana dengan benda langit ini, Arya" Kau tidak ingin memilikinya?" tanya
kakek itu sambil menunjukkan sebuah benda mirip batu berwarna gelap. Besarnya
hampir sebesar kepala orang dewasa. Sewaktu Dewa Arak bertarung dengan
Kuntilanak Alam Kubur, Melati meng-
ambilnya dan memberikannya pada si kakek.
Dewa Arak memperhatikan benda yang telah menimbul-
kan malapetaka itu sejenak.
"Sebenarnya, apa sih keistimewaan benda itu, Kek?"
tanya Arya ingin tahu.
"Banyak, Arya," jawab kakek bongkok itu. "Benda ini bisa dijadikan senjata
pusaka yang ampuh. Bahkan juga dapat digunakan untuk menawarkan segala jenis
racun " "Ah...! Pantas banyak orang yang berniat mendapat-kannya," ucap Arya mulai
mengerti. Kakek bongkok itu hanya tersenyum.
"Bagaimana, kau mau. Arya?"
"Terima kasih, Kek. Aku tidak berminat memilikinya.
Biarlah kakek yang menyimpannya," tolak Arya. "Dan Ini mayat istri kakek. Aku
mohon maaf atas kejadian ini, Kek,"
ucap Arya sambil mengangsurkan mayat Kuntilanak Alam Kubur pada kakek bongkok
itu. Kakek bongkok itu mengangsurkan tangan menerima
mayat istrinya.
"Lupakanlah, Dewa Arak. Kau tidak bersalah." sahut kakek itu "Mari, Putih!"
Setelah berkata demikian, kakek bongkok itu
melangkah pergi meninggalkan Arya, Melati, dan para penduduk Desa Bandan. Tak
jauh di belakangnya, macan putih mengikuti dengan langkah pelan.
Dewa Arak, Melati, dan penduduk Desa Bandan
memandangi kepergian kakek itu. Baru setelah itu Arya menolehkan kepalanya.
Menatap ke arah Ki Sancaperta dan Ki Gayan.
"Kami juga ingin mohon diri, Ki...," ucap pemuda berambut putih keperakan itu.
Dan sebelum kedua
sesepuh Desa Bandan itu menyahut. Dewa Arak segera
melesat dari situ sambil menarik tangan Melati. Sesaat kemudian, tubuh muda-mudi
perkasa itu lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
"Pemuda yang luar biasa...." gumam Ki Sancaperta pelan. "Tanpa bantuannya desa
kita tidak akan lepas dari malapetaka."
"Benar," sahut Ki Gayan.
Kemudian, dengan langkah lebar mereka melangkah
meninggalkan Hutan Bandan. Hari esok yang cerah telah menanti mereka.
Sementara itu di kejauhan Arya dan Melati tengah
bergandengan seraya melangkah pelan. Masih banyak
tugas-tugas yang menanti Dewa Arak.
SELESAI Created by fujidenki & syauqy_arr
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Hong Lui Bun 6 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 7
^