Pencarian

Hong Lui Bun 6

Hong Lui Bun Karya Khu Lung Bagian 6


sebaliknya si "dia" sama sekali tidak menunjukkan rasa
simpatiknya pada jerih payah dan darah asmaranya yang
menindih. Maka dia mendengus sengit, pikirnya: "Kau
meremehkan aku, memangnya aku harus mencintaimu ?"
Tengah dia membatin Kim-ji-tay-beng sudah berseru lantang
kedalam lembah: "Tokko cu cianpwe, ciangbunjin Hong-lui-bun Pat-pi-kimliong
atas perintah warisan ciang-kiam-kim-ling sengaja
datang untuk menerima Jit-jay, cui-le dua pedang pusaka
mohon cianpwe mengunjukkan diri... "
Sebuah suara dingin berkumandang terbawa hembusan
angin lalu: "Suruh ciang bunjin keluarkan Hiat-liong-ling... "
Liok Kiam-ping sudah menegak alis, selamanya belum
pernah dia merasa dihina seperti ini, rasa gusar menggoncang
perasaannya, serunya gusar: "Pat-pi-kim-liong disini Tokko cu
memangnya kau sudah tidak mengenalku lagi ?"
Gin-ji-tay-beng melengak. dia menoleh kearah Kim-ji-taybeng
yang menjublek katanya: "Lapor ciangbunjin, Tokko cu
adalah isteri ciangbunjin kita yang terdahulu, ciangbun, kau...
" Dari dalam terdengar jawaban Tokko cu yang dingin:
"Boleh kau masuk kemari."
Sudah tentu Kim-gin-hu-hoat kebingungan, selama puluhan
tahun mereka berkecimpung di dunia persilatan, siapapun
tahu Tokkocu berwatak eksentrik dan terkenal sebagai
perempuan sebatang kara yang tidak kenal kehidupan umum,
dari sekian banyak manusia yang pernah masuk kelembah ini,
tiada satupun yang pernah keluar lagi.
Merekapun tahu jelas tentang hubungan dan pertikaian
antara ciang-kiam kim-ling dengan Tokko cu, kini dari
pecakapan barusan mereka merasakan nada kesedihan,
hampir terasa oleh mereka bahwa Tokko cu yang berada
didalam lernbah ini bukan lagi seorang nenek tua yang tinggal
menunggu ajalnya, tapi adalah suara seorang gadis belia yang
sedang dimabuk cinta. Liok Kiam-ping segera berkata kepada Kim-gin-hu-hoat:
"Baik, kalian jaga di sini, biar aku masuk sendiri." dengan
langkah lebar dada membusung dia memasuki barisan batu.
Begitu dia tiba dipengkolan dibalik sebuah batu, cuaca di
sini seketika menjadi gelap. hakikatnya tidak bisa lagi
membedakan arah dan tak tahu kemana dia harus melangkah,
maka dia membentak: "Aku sudah datang, untuk apa pula kau
tetap pamer barisan batumu ini ?"
Baru selesai dia bicara, didengarnya suara lembut dan
lemah terkiang dipinggir telinganya: "Buat apa kau ribut- ribut
mengumbar adatmu ?" Sigap dia membalik badan, dilihatnya Tokko cu sudah
berdiri dibelakangnya, keadaan mendadak terang benderang.
Tampak cadarnya sudah diturunkan, bulu matanya yang
panjang melengkung kelihatan basah oleh air mata, matanya
juga merah, wajahnya yang putih kelihatan menampilkan rasa
duka, sikap dan gayanya yang serba kasihan siapapun akan
terpesona melihatnya. Demikian pula keadaan Kiam-ping
sekarang, lama dia melongo baru menggerakkan bibir: "Tadi
apa kerjamu di sini " Apa tidak mendengar suaraku ?"
Dia menunduk. suaranya lirih: "Aku sudah dengar, tapi aku
tak berani keluar menemuimu. "
"Kenapa ?" tanya Kiam-ping.
Pelan-pelan dia angkat kepalanya, katanya rawan- "Maukah
kau tidak tanya lagi ?"
Kiam-ping melenggong, katanya setelah menghela napas:
"Kau tidak tahu aku hampir mati Sungguh aku tidak paham
kenapa kau bersikap begitu " Seorang diri hidup merana
dalam lembah sunyi ini, deru angin sedingin itu jelas tidak
cocok untuk kehidupanmu." Ia berherti sejenak lalu
menyambung "Sejak kecil sampai sebesar ini, betapa siksa
derita kehidupan yang pernah kuresapi, sering dihina, dicaci
dan direndahkan, tapi tak pernah aku ingin meninggalkan
kehidupan bermasyarakat, mengasingkan dirl disuatu tempat
sepi, karena aku berpendirian bila seseorang dapat berbuat
sesuai cita rasanya, masyarakat akan memberikan penilaian
lain terhadapnya. Sekarang boleh aku beritahu kepadamu,
tujuanku ialah supaya manusia dikolong langit ini mengerti,
bahwa Liok Kiam-ping sekarang tidak mau lagi berada
dibawah orang lain."
Kedua matanya menatap si dia dengan lekat, katanya tulus:
"Kita sama-sama hidup sengsara dan terasing sejak kecil,
sekarang aku sadar seseorang perlu mendampingiku, memberi
spirit dan dukungan mutlak. Apalagi bila kau hidup menyendiri
dilembah mati ini, menyia-nyiakan masa remaja juga bukan
suatu cara hidup yang baik, karena itu...
"Itu tidak mungkin-.." tukas dia menggeleng dengan nada
sendu, "aku pernah berjanji kepada Suhu, selama hidupku
akan menunggui tulang belulang beliau, tidak akan
meninggalkan lembah sambil menunggu Hong-lui-bun datang
mengambil ketiga pedang pusaka itu... "
"Sekarang aku sudah tiba." Kiam-ping balas menukas,
berarti tugasmujuga sudah berakhir, tentang tulang kerangka
itu... " tiba-tiba hatinya terharu, serunya: "Belum pernah aku
dengar ada nenek yang tidak tahu aturan begitu, dirinya
sudah mati, orang lain harus mengorbankan masa remajanya,
sehingga kesenangan, kebahagiaan orang ikut terpendam
bersama kematiannya , .. "
"Tutup mulutmu." bentak si dia, "tak boleh kau mencercah
guruku, kan aku sendiri yang berjanji kepada beliau."
"Kau sendiri yang berjanji " coba katakan, berapa usiamu
waktu itu ?" sekilas dia melirik. lalu menjawab lirih. "Lima
tahun." "Hahahahaha, lima tahun." suaranya kaku, "mungkinkah
seorang anak lima tahun bisa punya tekad " coba kau
renungkan, apakah sekarang kau tidak menyesal ?"
Dia menepekur, katanya perlahan: "Sejak aku tahu urusan
sudah mendapat bimbingan dari Suhu, sering aku memergoki
beliau menangis sendirian, maka sering aku bertanya kepada
beliau, tapi tak pernah dia mau menjelaskan kepadaku. waktu
itu kulihat beliau hidup kesepian, sebatang kara pula, maka
aku berjanji selama hidup ini akan menemaninya sampai
beliau meninggal... " dia memejam mata seperti mengenang
masa lalu, lalu melanjutkan, "waktu itu beliau bilang takut
hidup kesepian seorang diri, bila mati jasadnya pasti juga
takut kesepian, maka beliau tanya apakah aku mau berdiam
dilembah ini menemaninya, Beliau bilang manusia yang hidup
didunia ramai semua jahat dan licik, laki-laki jahat dan busuk
itu selalu berusaha menjebloskan perempuan ke dalam
jebakan mereka, dari pada hidup diluar mending hidup
kesepian dalam lembah ini. Waktu itu aku masih kecil tidak
tahu utusan, maka aku berjanji kepada beliau untuk
menemaninya dilembah ini."
Setelah mengusap air mata, dia berkata:
"Tadi waktu kau memanggilku, aku sudah dengar, tapi aku
tak berani memberi jawaban, aku hanya berani sembunyi
ditempat gelap ini, mengurung diriku dikamar batu ini"..." tibatiba
pipinya merah, sikapnya tampak malu-malu katanya lebih
lanjut: "Tapi suaramu selalu mendengung dalam telinga ku
hingga aku tak tahan menutup diri dalam kamar, lama aku
mondar mandir disini, Maksudku hendak mencegah kau masuk
kemari..." "Hm," Kiam-ping mendengus, "umpama dirintangi rlbuan
tentara berkuda, aku juga akan terjang kemarl menemui kau."
Tampak sorot matanya bagai lampu mercu suar yang
benderang dan menyilaukan dia merasa relung hatinyapun
tembus oleh sorot mata yang dalam ini, hatinya tersirap.
katanya: "Lwekangmu ternyata lebih tangguh lagi sebelum ini
" Seolah-olah kau sudah mencapai taraf Hoan-boh-kui-cin
(dari kasar kembali kemurni), apakah kau sudah menembus
Seng-si-hian-koan ?"
Liok Kiam-ping mengangguk, katanya:
"Barusan aku terkena bisa Ngo-tok-koay-mo, hampir saja
mati, untunglah disaat aku hampir pingsan, seolah-olah aku
melihat dirimu terbayang olehku didunia ini hanya aku satusatunya
yang dapat menolong kau keluar dari lembah ini,
betapapun aku tidak bisa membiarkan kau mendam masa
remajamu dilembah mati ini, maka aku meronta sekuatnya,
syukurlah tekadku yang membara ini masih kuasa
mempertahankan diriku, sehingga gelombang kekuatan dari
dua aliran yang berlawanan bergelut dalam tubuhku dan
menerjang jebol Jin-tiok-ji-meh." Lalu jari-jarinya terkepal,
desisnya dengan suara teguh: "Kali ini aku pasti akan
membawamu pergi." Si "dia" tersenyum, tanyanya: "Kenapa " Bukankah si gede
pikun tadi bilang punya seorang Sumoay cantik akan
diperkenalkan padamu" Kaupun sudah berjanji... "
Merah jengah muka Liok Kiam-ping katanya: "Suhunya Lohu-
sin-kun adalah musuh besar Hong-lui-bun kita, mana
pernah aku berjanji kepadanya " Apalagi aku belum pernah
melihat perempuan itu, mana mungkin aku..." tiba-tiba dia
mengipat tangan, "kau sudah tahu bagaimana maksud hatiku,
kurasa tidak perlu aku banyak bicara lagi. sekarang serahkan
dulu kedua bilah pedang mestika itu, lalu aku akan berusaha
menghancurkan barisan batu diluar-itu, boleh kau tetap
mengenakan cadar sebagai Tokko cu, kau melabrakku akupun
menyerang kau, sudah tentu aku yang menang, setelah itu
aku akan paksa Tokko cu berjanji membebaskan dirimu maka
selanjutnya kau bebas ikut dengan aku"
Mendengar akal bulus ini dia tertawa geli, katanya: "Jadi
kau suruh aku menyamar suhu dan berjanji padamu untuk
membebaskan aku " Apa kau kira aku betul-betul mau ikut
kau " Apa lagi belum tentu kau dapat menghancurkan barisan
batu. Itulah barisan teraneh ciptaan Suhu di hari tuanya"
Liok Kam-ping acungkan tinjunya, katanya: "Perduli barisan
aneh segala, dengan Liat-jit-kiam pasti mudah aku
menyapunya hancur lebur, bila perlu akan kulancarkan pula
Wi-liong-ciang merobohkan batu-batu itu, tentang dirimu mau
atau tidak ikut aku, itu sih soal kecil, karena kau hanya patuh
atas perintah guru, bila guru suruh kau ikut padaku, maka kau
harus pergi bersamaku," tak- kuasa "Kiam-ping menahan rasa
geli sendiri, katanya tertawa: "coba beritahu kepadaku, siapa
namamu?"" Merah muka gadis itu, katanya: "Untuk apa kau tanya
namaku ?" setelah berhenti dan bimbang sejenak lalu berkata
pula: "Aku bernama Le Bun " Kiam-ping memejam mata,
desisnya: "Le Bun" Emm, nama yang indah," lalu dengan tersenyum
puas berkata pula, "Nanti bila aku menerjang masuk akan
kukatakan kepada Tokko cu, supaya dia membebaskan Le Bun
jikalau dia menantang, akan kuperseni dia sejurus Jit-lun-jutseng.
Aku yakin pasti dapat mengalahkan dia, maka dia akan
mengabulkan permintaanku membawa Le Bun pergi,
selanjutnya kau akan menanggalkan jubah hitam dan cadar
penutup mukamu, ikut aku keluar, waktu itu kita berdua akan
.." "Bagaimana kalau Suhu tidak mengabulkan ?" tanya Le
Bun. Kata Kiam-ping serius: "Jikalau Tokko cu samaranmu tidak
mengabulkan, maka aku pun tidak akan pergi dari sini,
jabatan ciangbun segala juga akan kubuang, akan kutemani
kau selama hidup dilembah ini." "
Sudah tentu perasaan Le Bun seperti dipukul palu,
perkataannya yang tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam,
seperti mengebor kerelung hatinya sehingga dia berdiri
menjublek. Lama matanya menatap lengang. sesaat lagi
mendadak dia menjerit tangis menubruk ke dalam
pelukannya, katanya sesenggukan: "Kenapa kau begini baik"
Kenapa ?" Kedua tangan Kiam-ping memeluknya kencang, lembut dia
mencium rambutnya, kau tanya setengah menggumam: "Bila
jiwa kehidupan nan kosong memutih itu terisi rona jiwa nan
semarak, kupikir aku pasti akan memegangnya kencang,
karena aku berpendapat tanpa kau, hidupku ini akan hampa,
tiada arti..." Le Bun masih terisak-isak. menggelendot didalam
pelukannya. Hembusan dingin dalam lembah sudah tidak
terasa lagi oleh mereka, jantung mereka berdebar, badan
hangat hati semanis madu.
Agak lama kemudian baru Le Bun angkat kepala dan
berkata perlahan: "Jikalau Tokko cu tetap menolak, cukup asal
kau membuka cadarnya, menutuk Hiat-to pelemasnya lalu
menggondolnya pergi, beres "
Liok Kiam-ping bertanya: "Jikalau kau ini Tokko cu, kau
mengabulkan permintaanku tidak ?"
Le Bun mengangguk. sahutnya: "Pasti kukabulkan," segera
dia meronta lepas dari pelukan serta membetulkan letak
rambutnya. "Biar aku mengambil pedang kemari." Mengawasi
bayangannya yang menghilang, Kiam-ping mengulum senyum
lebar dan lega. Entah kapan kembang salju telah berhamburan di angkasa,
cepat sekali melayang turun dan berjatuhan diatas kepala dan
badannya... --ooo0dw0ooo- Kota Un-ciu di propinsi ciat-kang. Selama beberapa hari ini
kota besar ini turun hujan saiju terus menerus, sehingga
banyak pedagang, pelancongan atau semua orang yang
bepergian menahan diri dipenginapan, maka setiap hotel yang
buka dikota ini terisi penuh.
Tengah hari itu hujan salju turun pula dengan lebat, kalau
semua orang sama mendekam dalam selimut atau sembunyi
dalam rumah. Tapi, ada empat ekor kuda gagah menarik
sebuah kereta berlarl kencang dijalan raya yang penuh salju
itu. Dua jalur bekas roda membekas nyata diatas saiju,
menyusul dua ekor kuda berlarl cepat pula lewat.
Penunggang kuda adalah dua lelaki tua beruban, jenggot
panjang yang sudah memutih meng gontai tertiup angin,
keduanya sama mengenakan jubah panjang di bungkus
mantel beludru tebal, sepatunya juga berpunggung tinggi
hampir menyentuh lutut, dandanan kedua kakek ini mirip satu
dengan yang lain- Yang berbeda hanyalah gelang yang mengikat rambut
mereka, yang satu kuning emas, yang lain putih perak.


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengelus jenggot panjang Gin-ji-tay-beng bergelak tawa,
katanya: "Ha ha ha menyenangkan, menyenangkan sekali,"
lalu dia berpaling kepada Kim-ji-tay-beng, katanya, "Lotoa,
apa masih ingat waktu tahun lalu hujan salju menutup
gunung, kita hanya bisa mengunci diri diperut gunung, sibuk
bermain catur melulu, hari itu syukur dapat menjumpai
ciangbunjin, penasaran selama puluhan tahun sudah tiba
saatnya untuk dilampiaskan, betapa hati ini takkan senang ?"
Kim-ji-tay-beng berkata: "ciangbunjin kita ternyata tidak
kecil rejekinya, entah darimana dia mendapatkan bini secantik
itu, hahaha, hari-hari buruk cuaca seperti ini, terasa jauh lebih
menyegarkan dibanding tahun-tahun yang lalu,"
Melihat tembok kota sudah tak jauh didepan, dia lantas
menyambung: "Loji, lekaslah kita jalan, kita carikan dulu
penginapan untuk ciangbun, sekaligus mencari jejak Biau-jinsip-
coan bocah keparat itu apakah sudah tiba lebih dulu."
Kuda mereka segera dikeprak bagai terbang, lekas sekali
mereka sudah melampaui kereta terus masuk kekota Un-ciu.
Sementara itu di dalam kereta Liok Kiam-ping masih belum
selesai menceritakan pengalaman hidupnya selama ini.
Katanya.".. maka sekarang aku harus pergi ke Kui-hun-ceng,
Hun-bin-kiam-khek Ti-thian-bin harus kubunuh, dulu aku
pernah bersumpah..."
Le Bun menyeka air mata diujung matanya, katanya setelah
menghela napas: "Dalam dunia ini memang banyak persoalan
tidak adil, dulu Suhu selalu menceritakan permusuhan kaum
persilatan dan kehidupan Kangouw yang berbahaya, aku yakin
katanya pasti benar, yang benar setiap manusia pasti punya
rasa egois, karena mencemburui Siau Hong yang bersikap baik
terhadapmu, sudah tentu..." tersenyum manis lalu bertanya:
"Sekarang kau masih menyukai Siau Hong tidak ?"
Liok Kiam-ping, geleng kepala. Katanya:
"Waktu itu aku masih kecil, hakikatnya masih hijau tidak
tahu apa-apa, kejadian sudah beberapa tahun berselang,
siapa tahu bagaimana keadaannya sekarang, bila kupikir
kejadian masa lalu, seperti kembang yang sudah layu dan
luntur warnanya, tak bisa kuperoleh lagi baunya yang harum...
" Le Bun cekikik tawa, katanya: "Jikalau Siau Hong sekarang
merupakan gadis jelita secantik kembang dan wangi lagi "
Apakah setelah bertemu dengan dia kau tidak akan
menyenanginya " Sukar aku percaya hubungan laki
perempuan sejak kecil bisa dilupakan begitu saja ?"
Liok Kiam-ping menghela napas, katanya: "Lebih baik tidak
kukatakan, apapun yang kukatakan kau pasti takkan percaya,
coba kau pikir, bocah berumur sepuluh tahun tahu apa" Apa
lagi sekarang aku sudah memiliki kau, masa aku harus
pikirkan lagi Siau Hong ?"
"Cis, siapa bilang aku ini milikmu."
"suhumu Tokko cu sudah mengabulkan lamaranku,
menyuruh kau ikut aku selamanya. "
Terdengar sais kereta memberl aba-aba serta melecut
cambuknya, pembicaraan merekapun putus sampai di sini,
lekas Kiam-ping menyingkap kerai melongok keluar, katanya:
"Kota Un ciu sudah sampai, hujan salju sungguh lebat,
sampai sekarang belum juga reda"
Le Bun juga memandang keluar, katanya: "Dulu setiap
turun salju, bila angin dingin menghembus, hatikupun ikut
menjadi dingin, malah bila musim dingin tiba, hatikupun
membeku dan tak bisa cair, tapi sekarang bila aku melihat
salju, ternyata terasa begitu indah dan menyenangkan-"
"Perasaan seseorang memang dapat mempengaruhi
pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dilihatnya,
sekarang pasti kau tidak menganggap hatimu beku begitu ?"
Kereta sudah berhenti. Kim-ji-tay-beng mengetuk pintu
kereta dan berkata: "ciangbun sudah sampai ketempat tujuan-
" Liok Kiam-ping membuka pintu, angin dingin membawa
kembang salju lantas meniup masuk segera dia melangkah
turun, katanya: "Apakah dihotel ini " coh-huhoat apa kau
sudah melihat mereka ?"
Kim-ji-tay-beng menjawab: "Mereka sudah menetap di Kuihun-
ceng, Biau-jiu-sip-coan bocah itu ternyata sudah
menyediakan tempat bermalam, hujan salju beberapa hari ini
memang teramat lebat, hotel sudah penuh dihuni orang,
beberapa kamar ini sudah sejak beberapa harl yang lalu
dicarter seluruhnya"
Liok Kiam-ping melangkah maju, dilihatnya hotel ini
memang cukup besar. pekarangan didepan pintu saiju disapu
bersih dua pelayan munduk-munduk menyambut
kedatangannya, sapanya: "Kongcu, kau sudah datang, biar
hamba membawa barang bawaanmu. "
"Kalian tidak perlu sibuk soal barang," ujar Kiam-ping,
"lekas siapkan dulu hidangan dan seduh teh wangi. Kuda-kuda
itu harus diberl makan kenyang dan dimandikan ya, nanti ada
persen-" Kedua pelayan mengiakan terus mundur, perasaan Liok
Kiam-ping agak mendelu mengawasi punggung kedua
pelayan, terbayang dalam benaknya waktu dulu dirinya juga
kerja menjadi pelayan hotel dan tukang mandikan kuda,
sebagai kacung yang sering di maki dan dihina, tapi sekarang
" Akhirnya dia mengangguk. batinnya: "Kehidupan adalah
perjuangan, nasib ditunjang oleh perjuangan, kesempatan
akan selalu memberi peluang bagi siapapun untuk menjadi
manusia... " Dia berkata kepada Le Bun, "Keluarlah kau. Kita makan
siang dulu, setelah istirahat nanti melanjutkan perjalanan
pula." Memegang seruling pualamnya, Le Bun lompat turun serta
tertawa kepada Liok Kiam ping, katanya tertawa manis:
"Seolah-olah aku ini perempuan lemah yang takut ditiup angin
saja, apa tidak menggelikan Kim-gin-hu-hoat saja."
Gin--ji-tay-beng tertawa lebar, katanya:
"Ah, kenapa nona bilang begitu, Tokko cu cianpwe adalah
orang yang kami kagumi, terbayang kejadian lima puluh tahun
lalu, pernah kami memperoleh nasehat dan bimbingannya,
berkat beliau pula aku diperkenalkan kepada Bing-tho Taysu di
Thian-tiok hingga berhasil mempelajarl Gin sa-ciang, sekarang
nona ngomong begini, apakah tidak menyiksa Lohu saja."
"Nona boleh langsung menyebut julukan kami saja,"
demikian sela Kim-ji-tay-beng atau nama kami juga boleh.
Jangan panggil cianpwe segala aku jadi rikuh rasanya."
"Kau boleh memanggil coh-yu-hu-hoat saja." ujar Liok
Kiam-ping. Berempat mereka memasuki hotel, baru saja kaki
melangkah masuk, terdengar suara gelak tawa ramai
disebelah dalam, sebuah suara serak berisi berkata: "Sejak
lama sudah kudengar bahwa daerah ciat-kang ini terkenal
dengan cewek-cewek jelita, beberapa hari ini sungguh sebal
terkurung dalam hotel belum pernah ada cewek ayu yang
dapat menghibur diriku. Hahaha, sungguh tak nyana, entah
angin apa yang membuka mataku harl ini. Hai, nona jelita
yang membawa seruling, kemarilah kau layani bapak besar
minum arak dan nyanyilah barang tiga lagu."
Berobah air muka Liok Kiam-ping, Gin-ji-tay-beng sudah
membentak: "Keparat mana yang tidak punya mata di dalam"
Hayo menggelinding keluar."
Maka terdengar suara kaok-kaok aneh di dalam sekeras
guntur, mendadak "Blang" pintu besar diterjang jebol, sesosok
bayangan merah tiba-tiba menggulung keluar, sebuah tangan
gede berbulu mencengkram kearah muka Le BunTiraikasih
Website Le Bun menghardik sekali, serulingnya terayun keatas,
beruntun memantulkan beberapa bintik gemerdep. sekali
gerak serudingnya mengancam ciang-bun, Ki-kiat, Kibun, tiga
Hiat-to besar ditubuh penyerang,
Agaknya penyerang itu tidak menduga bila Le Bun pandai
silat, melihat serangan secepat kilat yang mematikan ini,
Sebat sekali dia memutar badan, lengan bajunya yang
panjang lebar berkibar laksana segumpal mega menggulung
seruling Le Bun. Seruling pualam ditangan Le Bun tertekan turun, membawa
bunyi mendesing gerakannya berobah menjadi jurus Senggwa-
hwi-hoa (kembang terbang diluar kota), penyerang itu
dipatahkan cengkramannya sekaligus didesak mundur balik
kedalam. Bayangan merah melompat keluar, seorang Lama besar
mengawasi Le Bun dengan pandangan takjub, katanya: "Nona
manis. Kaupun pandai main silat. Hahahaha, kita Toa-hud-ya
memang paling senang dilayani cewek-cewek sepintar kau .. "
Liok Kiam-ping membesi muka, katanya dingin: "Kau kepala
gundul ini apakah datang dari Pakhia."
"Betul." sahut Lama itu, Aku ini Keting salah satu dari
sepuluh Huhoat dibawah Toa-hud-ya, memang kami datang
dari Pakkhia." Dari dalam rumah berkelebat pula keluar sebuah bayangan
merah, seorang Lama setengah umur keluar, dengan heran
dia pandang Keting sekejap lalu alihkan pandangan nya
kepada Le Bun, segera dia membuka tawa lebar kurang ajar,
katanya: "Hehehe. aku ini Keting Hud-ya, juga salah satu dari
sepuluh Huhoat Toa-hud-ya. Nona manis apakah kau ikut
membaca mantra hiburan bersama Hud-ya "
Gin-ji-tay-beng pernah hidup beberapa tahun di Thian-tiok
belajar Kungfu dengan Bing-tho Taysu, maka dia tahu apa arti
mantra hiburan yang dimaksud, karuan marahnya luar biasa,
bentaknya: "Kalian dua keparat ini pasti mampus hari ini."
Baru lenyap suaranya, dari dalam rumah kembali terdengar
seorang membentak: "Keparat tidak tahu aturan dari mana
berani mengancam Hud-ya kita " Kukira kaulah yang sudah
bosan hidup." Seorang lelaki muka kurus bentuknya seperti
tikus berlenggang keluar dengan wajah menyeringai, katanya
pula sambil tepuk dada sendiri: "Tuan besar mu adalah Pekcan-
wan Hou Ngo Tay-wi kelas satu dari istana raja, kalian
beberapa keparat ini kecuali gadis jelita ini, siapapun pantas
digorok lehernya." Gin-ji-tay-beng melangkah setapak, katanya: "Bedebah,
kau tahu siapa kami " Hehe, biar kau tidak penasaran sebelum
mampus. Inilah ciangbunjin Hong-lui bun kita Pat-pi-kim-liong,
inilah Glok-koan im dan ini Kim ji tay-beng." lalu menuding
hidung sendiri memperkenalkan, dan aku adalah Gin-ji-taybeng
Kongsun Giok." sebelum Pek-sanwan (lutung gunung
nutih) bersuara, telapak tangannya sudah bergerak. sinar
perak berkelebat membawa desis tajam menabas keteng
gorokan Hou Ngo. Sebagai seorang Taywi kelas dua sudah tentu Hou Ngo
tahu dikalangan Kangouw ada seorang yang yang bergelar
Pat-pi-kim-liong sungguh tak pernah dimimpikan bahwa
pemuda didepan matanya ini adalah ciangbunjin Hong-lui-bun.
Dikala dia tersirap kaget, kupingnya mendengar samberan
angin tajam dtsusul sinar perak berkelebat, telapak tangan
kemilau tahu-tahu sudah mengancam leher, karuan dia
menjerit kaget: "Gin-sa-ciang." angin pukulan yang menyesak
napas tiba-tiba menindih muka, lekas dia menekuk lutut
sekaligus sebelah kakinya menendang sementara tubuhnya
menjengkang tangan memukul dengan jurus Sam-yang-kaythay.
Gin-ji tay-beng terkekeh dingin, katanya: "Kiranya kau dari
Tiang-pek-pay." tangan kanan merogoh, telapak tangan kiri
diturunkan beberapa senti membelah kepundak Hou Ngo.
"Pletak" terdengar suara tulang patah dan remuk. Disusul
dengan jeritan Hou Ngo yang mengerikan: "Tolong Hud-ya."
Wajah Gin-ji tay-beng dilembari nafsu membunuh,
jengeknya dingin: "Rajamu datang juga takkan bisa
menyelamatkan jiwamu"
Kaki mendesak maju telapak tangan membalik, dengan
mudah dia tangkap kaki kanan lawan yang menendang,
berbareng telapak tangan menutuk kedadanya pula.
"Pergilah." bentaknya. Kembali Hou Ngo menjerit keras.
tubuhnya mencelat jungkir balik darah menyembur dari
mulutnya menumbuk Keling.
Karuan Keling mencak-mencak gusar, bentaknya: "Pernah
apa kau dengan Boktan Hwesio"
Gin-ji tay-beng tertawa gelak-gelak. katanya: "Dia suteku.
kepala gundul kematianmu didepan mata, masih banyak
tingkah " Keling menyeringai ejek: "Kukira belum tentu." dia
mendesak lima kaki, kedua lengan saling tindih terus bergerak
dengan jurus Thian-liong-siau-ho.
Gin ji tay-beng membentak: "Kiranya kau dari Thian-liongpay
dari Tibet luar, pernah apa kau dengan Thian-liong Taysu
" mulut bicara tapi kedua tangan tetap bekerja tampak dia
memiring tubuh tangan kiri bergerak setengah lingkar terus
menepis miring mematahkan gerakan kedua tangan lawan.
Keling berkata: "Thian- liong Taysu adalah guruku, kau
keparat ini tahu dari mana ?"
Gin ji tay-beng tertawa gelak-gelak, katanya: "Apa kau
kenal Se-gwa-tho-hiap (pendekar bungkuk luar perbatasan)"
Dia pernah minta kepadaku supaya membunuh seorang
kepala gundul yang didepan dadanya tumbuh uci-uci, apakah
ditubuhmu ada uci-uci ?"
Mendengar nama Se-gwa-tho-hiap seketika berobah air
muka Keling, segera mulutnya nyerocos kepada Keting dalam
bahasa Tibet, begitu mutar badan lantas lari.
Gin-ji tay-beng berkata kepada Kim ji tay-beng: "Kepala
gundul ini adalah perampok bangsat yang memperkosa
nyonya tua itu, tolong kau membelahnya " ditengah
bentakannya. mendadak dia menerjang kedalam.
Sebat sekali Kim-ji-tay-beng juga mengudak kearah Keting.
?"Blang" daun jendela diterjang semplak, bagai anak panah
tubuh Keling menerobos keluar hinggap diatas genteng begitu
dia mengebas lengan bajunya ke belakang, terbitlah segumpal
angin kencang menindih Gin-ji tay-beng yang sedang terapung
hingga terdesak turun kebawah.
Sambil berkakakan kakinya menjejak. tubuhnya mencelat
kedepan pula secepat terbang, tak duga baru dua kali dia
melompat deru kencang mengudak dari belakang, selarik
bayangan orang seperti meteor saja melesat lewat disamping
tubuhnya. Begitu pandangan terasa kabur secara reflek kedua
tangannya menggempur kedepan, sementara setangkas
bajing loncat dia sudah melejit minggir terus lari kearah lain-
Gerungan dingin seperti benda raksasa memukul


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

genderang telinganya, disaat dia tersirap dan belum sempat
timbul pikirannya, "cret" didengarnya suara perlahan, sebuah
bola bundar benderang laksana mentari yang baru keluar dari
peraduannya menyilaukan mata hingga tak kuasa melihat apaapa.
Dimana selarik sinar pedang laksana lembayung
berkelebat, hawa pedangpun memenuhi angkasa, "cras" Liatjit-
kiam ditangan Liok Kiam-ping sudah menabas putar balik
empat kali. Jeritan keras putus ditengah jalan, darah dan daging orang
tampak muncrat dan terpental berjatuhan, kaki tangan protol,
di mana sinar kilat itu menyambar pula tubuh Keling sudah
tertabas menjadi tiga potong, darah berceceran diatas
genteng yang bersalju, jenazah Keling yang tidak utuh itu
terbanting jatuh diatas tanah.
Gerakan Liok Kiam-ping sungguh secepat kilat, tanpa
berhenti dengan gaya pedang yang sama dia melompat tinggi
enam kaki. seperti malaikat yang turun dari langit, dengan
jurus Jit-lun-jut-seng begitu pedang menyamber batok kepala
Keting seketika mencelat terbang keudara. Dalam waktu yang
sama "Bluk" dadanya juga terkena sekali pukulan Kim-sa-ciang
yang dilancarkan Kim-ji-tay-beng. Darah kembali menyembur
berceceran, dari wuwuugan tubuh besar tanpa kepala itu
menggelundung jatuh dipekarangan-
---ooo0dw0ooo--- Magrib telah tiba. Bulan sebelas didaerah Kanglam sudah
mulai dingin juga. Hari itu hujan salju cukup lebat sehingga
alam semesta seperti dibungkus warna putih melulu.
Liok Kiam-ping berempat naik kuda di tengah hujan lebat
itu. Dia tetap mengenakan pakaian serba putih, hawa sedingin
ini namun dia hanya mengenakan pakaian tipis dan leher
dibalut syal berbulu, dengan tertawa dia berkata kepada Le
Bun: "Le Bun, ternyata kau juga pandai menunggang kuda."
Gadis jelita berpakaian hitam menunggang kuda bulu
merah tertawa, katanya:. "Memangnya kau saja yang mahir
naik kuda?" Gin-ji-tay-beng yang mencongklang kuda disebelah
belakang segera menimbrung dengan tertawa: "Le-kohnio
adalah murid kesayangan Tokko cu cianpwe, sudah tentu
serba bisa" Sudah sepuluh tahun Le Bun biasa berpakaian hitamdalam
waktu dekat susah dia merobah kebiasaan ini, tapi
lantaran Liok Kiam-ping, di bagian luar jubahnya dia
mengenakan mantel berbulu.
Rambut panjangnya yang mayang terurai lembut di atas
pundaknya, wajahnya yang dulu kaku dingin kini selalu
mengulum senyum bahagia, sorot matanya juga tampak lincah
jenaka, pipinya yang merah menampilkan jiwa raganya yang
lagi mekar bak kembang segar.
Sambil menjalankan kuda sering dia menoleh mengawasi
Liok Kiam-ping, pandangan mesra. Sementara Liok Kiam-ping
memandang jauh kedepan, sebuah pohon cemara besar tinggi
sudah kelihatan dikejauhan seperti kakek tua yang bungkuk,
karena terlalu berat dibebani hidup sengsara hingga
punggungnya semakin bengkok.
Melihat pohon cemara bengkok yang diselimuti salju,
terbayang dalam benak Kiam-ping waktu dirinya bermain
petak dibawah pohon itu dengan Siau Hong dulu, tapi setelah
Ti Thian-bin berkuasa di Kui-hun-ceng, sering dia di ancam
dan dihajar karena tidak boleh bermain dan bergaul dengan
nona cilik itu. Kejadian masih segera dalam ingatannya, hari itu cuaca
cerah ceria, membawa buku dia belajar membaca dipinggir
sungai, belakangan Siau Hong juga datang mengajaknya
bermain, sayang cuaca mendadak berubah buruk. hujan turun
cukup lebat, mereka berlari-lari mencari tempat teduh
dibawah cemara itu. Pada hari itulah Ti Thian-bin menutuk
Hiat-to-nya hingga dia bergulingan ditanah becek mengerang
kesakitan, siksa derlta karena otot serasa dibetot dan daging
diiris .. " dengan kertak gigi dia membatin. "Akan kucincang
dia dan kupotong-potong hingga ajalnya."
Lekas sekali mereka sudah berada dibawah cemara besar
itu, sungai kecil tak jauh dibawah pohon sudah mengeras,
batu besar dipinggir sungai juga ditutupi salju yang telah
mengeras. Kiam-ping lompat turun dari atas kuda menghampiri batu,
dengan tangannya dia mengusap salju diatas batu, ternyata
tangannya tidak merasa dingin sedikitpun, rasa hangat malah
meresap ke sanubarinya. Kiam-ping melamun meresapi kehidupan yang tidak abadi
ini. Sebuah tangan lembut mendadak terulur dari belakang
menindih punggung tangannya, waktu dia menoleh, tampak
Le Bun tengah mengawasinya dengan mesra.
Senyum manis nan cerah menambah lega hatinya, katanya
dengan tertawa: "Dulu sering aku bermalas-malasan diatas
batu ini menyaksikan gumpalan mega diangkasa, banyak
persoalan aneh-aneh kupikirkan, tapi tak pernah terpikir
olehku, hari ini aku akan kembali kemari bersama kau."
dengan kencang dia genggam tangannya, pandangannya lekat
menyapu lembut wajah nan jelita.
Dari bola mata beningnya, Le Bun merasakan sentuhan
jiwa yang murni, dengan puas dia menghela napas
memandang bunga. Salju yang beterbangan diangkasa, katanya perlahan:
"Seumpama kembang salju yang melayang diangkasa,
begitulah nasib kehidupan manusia, akan jatuh ketempat yang
berbeda lingkungan dan keadaannya, bila dua kembang salju
bersentuhan diangkasa, sungguh menakjupkan kejadiannya.
Demikian pula manusia yang sebelumnya tidak tahu akan
nasib sendiri, bilamana suatu ketika dia bertemu dengan
lawan jenis yang dicintainya, maka dia akan menyadari bahwa
kehidupan masa lalu jauh hanya merupakan lembaran putih
yang kosong... " Liok Kiam-ping mengangguk tanpa bersuara, terasa jiwanya
dilembari semangat juang perkasa, pelan-pelan dia berdiri,
katanya sambil menuding: "Dibelakang lereng gunung itulah
letak Kui-hun-ceng, hari ini aku pasti meratakan
perkampungan itu." lalu dia menoleh, serunya: "coh-hucat,
apakah Ang-kin-cap-pwe-ki seluruhnya sudah masuk
perkampungan ?" "Beberara harl Kui-hun-ceng ada menyebar undangan
mengumpulkan tokoh-tokoh kosen daerah Kang lam dari
golongan hitam maupun aliran putih, seperti sedang
merayakan suatu perjamuan- Biau-jiu-sip-coan sudah berhasil
menyelundup kedalam perkampungan, dalam waktu dekat
mungkin sudah berhasil mendapat laporannya." demikian
sahut Kim- ji-tay-beng. Liok Kiam-ping menyeringai, katanya:
"Beberapa tahun ini tampang Ti Thian-bin tidak pernah
lepas dari ingatanku, biar dia mengundang bantuan kaum
Bulim sejagat, juga pasti akan kubunuh dia. Hal ini tidak perlu
dipertimbangkan lagi," segera dia naik kepunggung kudanya
lagi, katanya "Hayo masuk perkampungan-"
Berempat kuda mereka melewati sungai yang sudah
membeku permukaannya langsung memanjat kelereng
gunung terus dicongklangkan kebawah sana dimana Kui-hunceng
berada. Tembok tinggi warna kuning mengelilingi
perkampungan itu, jembatan gantung diturunkan semua, sinar
lampu yang benderang, berwarna warni lagi, sehingga
kelihatan seperti bintang yang bertaburan.
Wajah Liok Kiam-ping tetap dingin, dia mendahului keprak
kudanya tiba didepan jembatan gantung dan tanpa sangsi
terus larikan kudanya masuk kedalam.
Dua orang cengting berjaga didepan pintu bersenjata
tombak masih ada lagi seorang lelaki setengah baya seperti
congkoan dari perkampungan ini juga berdiri didepan pintu
sambil pasang mata. Begitu Liok Kiam-ping keprak kudanya
mendekat, lelaki setengah baya ini lantas menyapa dengan
tertawa: "Siauhiap ini adalah..."
Liok Kiam-ping diam saja, tapi Gin-ji tay beng sudah
berseru dibelakang,: "dari Hay-lam."
Seketika laki-laki itu mengunjuk heran, katanya bersoja
"cayhe Siu-san-long cin Hiong sebagai congkoan bagian barat
perkampungan ini, ternyata kalian utusan Gohu-cu cianpwe,
mohon maaf tidak menyambut dari jauh, harap dimaklumi,
biar cayhe segera memberl laporan kepada cengcu .."
Kim-ji-tay-beng membentak: "Cin- toacongkoan, tidak usah
merepotkan kau. Kami datang bersama ceng-san-biau-khek.
ditengah jalan dia kebentur urusan, mungkin terlambat kemari
atau mungkin juga sudah berada di sini ?"
Sia-san-long melenggong, katanya: "cengsan-biau-khek "
Diapun akan kemarl " Hoho, agaknya cengcu kami..."
"Cerewet apa lagi ?" bentak Gin-ji-tay-beng. "Bocah, perut
kami sudah keroncongan, lekas carikan makanan dan
minuman, memangnya kami harus mengisi perut dengan
angin?" Cin Hiong tepuk kepala, katanya: "Betul, silahkan kalian
masuk." Liok Kiam-ping masuk keperkampungan, Cin Hiong
menunjukkan jalan akhirnya mereka tiba disebuah bangunan
gedung besar dan tinggi, waktu dia mendongak tampak
sebuah pigura besar yang tergantung diatas pintu bertulisan
Ki-ing-lau tiga huruf besar.
"Silahkan kalian istirahat di dalam, makan malam segera
akan diantar kekamar, cayhe masih harus bertugas dipintu
besar menyambut para tamu yang lain," disaat dia beranjak
keluar dengan langkah buru-buru itulah seseorang juga
tergopoh menerobos masuk, hingga keduanya saling
tumbukan- Cin Hiong miringkan badan sambil ulur tangan kiri menahan
dada, sekali Cengkram dia pegang tangan kanan lawan- Tak
nyana baru saja tangannya menyentuh pergelangan lawan,
mendadak terdengar suara mengeluh, dimana lawan
membalik telapak tangan kelima jarinya malah mencengkram
tangan sendiri terus digentak pula.
Baru saja dia hendak gunakan tenaga, mendadak dirasakan
dadanya kesemutan, ada sesuatu benda yang menyelinap
masuk kedalam baju dan terasa sakit sekali seperti digigit.
Kejap lain pegangan tangan lawan juga telah dilepas dan
mundur, setelah melihat jelas lawannya, dia menjerlt kaget,
badannya roboh terus binasa.
Seekor ular kecil warna merah menyelinap keluar dari balik
bajunya, setelah ulur lidahnya beberapa kali terus merayap
masuk kedalam kotak hitam yang dipegang orang itu.
Tampak oleh Kiam-ping sekujur badan Siu-san-long Cin
Hiong dalam sekejap itu telah berobah hitam, jelas jiwanya
melayang karena keracunan, maka tanyanya dengan
mengerut kening: "darimana kau peroleh binatang berbisa itu"
Kenapa pula kau bunuh orang ini?"
Gin ji-tay-beng juga tertawa gelak-gelak. katanya: "Biaujiu-
sip-coan, kau bocah ini seperti punya banyak tangan saja,
kurasa tanganmu perlu dipotong, kalau tidak dari mana kau
curi ular-merah beracun ini "
---ooo0dw0ooo--- Orang yang menerobos masuk itu kiranya Biau-jiu-sip-coan,
kotak hitam dia tutup dan disimpan baru memberi hormat
kepada Liok Kiam-ping, katanya: "ciangbunjin, kau sudah tiba,
hamba sudah mencari tahu, beberapa hari ini Ti Thian-bin
akan melangsungkan pernikahannya dengan nona yang kau
katakan bernama Siau Hong itu. Malah gurunya Tok-sin-kiongbing
juga mengutus Hwi-hong-cu dari Ko-lok-kok untuk
menghadiri pesta pernikahannya... "
"Apa "Jadi dia murid Tok-sin " Sejak kapan dia menjadi
murid Tok sin "' Biau-jiu-sip-coan berkata:" Beberapa tahun yang lalu dia
bertemu dengan Hwi-hong-cu, dialah yang menariknya
menjadi murid Tok-sin, malah diapun murid angkat Khongtong-
koay-kiam... " "Perduli dia murid siapa, aku tetap akan membunuhnya."
desis Liok Kiam-ping, "Sekarang jelaskan di mana sekarang
Siau Hong berada ?" "Dia memang pernah bertemu denganku tapi aku tidak
berani memberitahu bahwa ciangbun sudah tiba di sini."
"Kenapa ?" "Soalnya .. " Biau-jiu-sip-coan ragu-ragu, matanya melirik
kepada Le Bun. Le Bun tertawa, katanya: "Apakah nona Siau Hong masih
merindukan dia ?" ucap Le Bun tersenyum ramah, "dan minta
kau membawanya menemui ciangbunjin "'
'Ya... ya benar, dia memang bilang begitu." kikuk sikap
Biau-jiu-sip-coan. "Sejak kecil kuanggap dia sebagai adik, memberitahu
kepadanya bahwa aku sudah berada di sini, malam ini pasti
kutolong dia." demikian kata Liok Kiam-ping. Biau-jiu-sip-coan
mengangguk, katanya: "Mereka sudah menyelundup ke perkampungan, bila
ciangbun melepas bom udara mereka segera akan bergerak."
"Baiklah." Kiam-ping mengulap tangan, 'bersihkan jenazah
ini.' Biau-jiu-sip-coan segera jinjing jenazah cin Hiong dibawa
kebelakang rumah, hanya sekejap bayangannya telah lenyap.
Liok Kiam-ping berkata: "Jiwi Huhoat, bagaimana pendapat
kaliap ?" "Semua terserah kepada kebijaksanaan ciangbun.' sahut
Kim-ji-tay-beng. "Baik aku akan ke ruang besar, kalian boleh tunggu di sini
saja." waktu Kiam-ping menyingkap jubah putihnya, tampak
dikanan kiri ketiaknya masing-masing bergantung sebatang
pedang, dari tangan Kim-ji-tay-beng dia menerima sebuah
gulungan kain panjang katanya: "Pedang cui-le besar ini
mungkin hanya satu-satunya didunia ini, Lwekang yang
kumiliki sekarangpun belum cukup kuat untuk
mengembangkan tiga jurus sakti yang tertera digagang
pedang." "cui-le-ki-kiam dahulu oleh ciangbun generasi kedua Kikiam-
wi-liong untuk membunuh Thian-gwat-sin-liong. Hanya
sejurus gaya pedangnya masih terasa mengekang hawa udara
sehingga sebuah batu karang yang menonjol diatas ngarai ikut
terbelah hancur. Pada waktu itu diatas Tiang-jin-hong,
dipuncak Thay-san masih juga dihadiri Siau-lim, Kun-lun dan
Gobi yang mengutus jago pedang mereka, tapi mereka tiada


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mampu menandingi kehebatan cui-le-ki kiam yang
digjaya, karena itu kami harap ciangbun dapat memanfaatkan
kesaktiannya, hingga membawa nama besar Hong-lui-bun
menggetar Kangouw." Liok Kiam-ping membungkuk sambi bersoja, katanya:
"Kiam-ping terima nasehat.' "
Kim-ji-tay-beng tersipu-sipu, katanya:
"Jangan begitu ciangbun, mana berani aku terima."
"Aku akan berusaha sekuat tenaga meyakinkan ilmu
pedang itu sampai berhasil, demi mengembangkan kebesaran
dan kejayaan perguruan kita."
Le Bun berkata penuh perasaan: "Beberapa malam ini kau
tekun dan rajin mempelajari ilmu pedang, aku yakin kau pasti
dapat terkenal sebagai Kiam-hiap nomor satu diseluruh jagat
seperti Ki-kiam-wi-liong cianpwe dulu."
Liok Kiam-ping tertawa, katanya: "Betapa banyak tokoh
kosen orang aneh dalam Bulim yang berkepandaian tinggi,
mana berani aku mengagulkan diri sebagai Kiamhiap nomor
satu" "Pertama kali kau masuk ke Te-sat-kok Lwekangmu belum
tandinganku, tapi beberapa hari kemudian, kau sudah
memperoleh kemajuan berlipat ganda, sekarang justru telah
Hoan-bu-kui-cin, taraf tertinggi bagi pesilat yang meyakinkan
Lwekang murni, kemajuan yang kau capai, dalam setahun ini
jelas tidak ada orang yang dapat menandingimu.'
Mendengar dorongan Le Bun, Liok Kiamping berpikir: "Aku
harus mengejar cita-cita yang diinginkan, aku bersumpah
takkan mengecewakan harapannya." maka dengan tertawa
dia berkata: "Marilah sekarang kita tengok Ti Thian-bin
diruang perjamuan-" pedang dia pindah ketangan kiri serta
mengempitnya dibawah ketiak. bersama Le Bun mereka
berjalan keluar. Kui-hun-ceng boleh dikata tiada perobahan besar, cuma
tidak sedikit perubahan telah dibangun, maka perkampungan
ini dihiasi lamplon yang beraneka ragam warnanya, cahaya
reflek yang memantul dari salju putih menambah semarak dan
pesona suasana yang ramai dalam perkampungan yang riang
gembira. Dengan langkah tegap mereka terus maju perlahan,
sepanjang jalan tidak sedikit rnereka berpapasan dengan lelaki
yang berseragam ketat, namun tiada seorangpun yang berani
maju mengusik mereka, hanya beberapa kejap melirik sudah
lekas melengos karena jeri melihat perbawa Liok Kiam-ping.
Le Bun mengulum senyum, katanya: 'Dulu apa kerjamu dalam
perkampungan ini.' "Setiap musim dingin kami berdiam dalam rumah
memanaskan badan dipinggir api unggun atau bermain-main
ditumpukan salju hanya untuk memenuhi selera belaka, sejak
kecil pernah aku berkeinginan tidur di dalam timbunan salju,
pada hal salju mirip sekali dengan gumpalan mega di
angkasa." "Kurasa binatang kecil ini tidak sabar lagi didalam kantong,
bergerak saja tidak sabar, apakah perlu dilepaskan ?"
"Ngo-tok-koay-mo mengatakan kucing ini pandai melacak
sesuatu yang kita kehendaki, kurasa hidungnya memang
begitu panjang pasti mahir untuk mencari pusaka simpanan
lebih baik kau pelihara saja"
Le Bun buka ikatan kantong serta mengeluarkan kucing
pelacak dipeluknya serta di elus-elus dengan kasih sayang,
katanya tertawa: "Aku sih tidak ingin mencari pusaka segala,
aku hanya suka dan sayang kepadanya,"
Sembari bicara lekas sekali mereka sudah tiba diruang
besar. Gelak tawa ramai berkumandang didalam ruangan. di
sana sini terdengar suara ribut kasak kusuk dan pembicaraan
yang mengasyikkan. Beriring jalan Le Bun dan Liok Kiam-ping melangkah
masuk- tampak mepet dinding di depan tengah sana
terpasang meja panjang, diatas meja panjang ini tertumpuk
barang sumbangan atau kado yang tidak terhitung banyaknya,
perabot pajangan tampak antik dan mewah, setiap tiga
langkah diatas dingin terpasang lentera yang memancarkan
cahayanya hingga aula besar itu terang benderang seperti
siang hari. Dalam aula penuh sesak mereka duduk berkelompok yang
terbagi beberapa meja besar. sambil makan minum mereka
bicara dan berkelakar. Sekali pandang Liok Kiam-ping lantas
menemukan Ki-ling sin Siang Wi juga duduk diantara
kelompok tamu ditengah ruangan sana, memangnya
parawakannya tinggi besar maka kelihatan saperti bangau
berdiri diantara rombongan ayam, orang seorang menyengir
tawa kebodoh-bodohan. Kiam-ping berkata: "Kau lihat, itulah
Ki-ling-sin bocah gede yang linglung itu."
"Aduh. begitu mengejutkan gede badannya," ujar Le Bun
melelet lidah, "Belum pernah aku melihat manusia segede itu,
memang mirip raksasa penjaga kelenteng."
Suara Le Bun lembut dan merdu, namun bergema dalam
aula besar seperti suara guntur, sehingga menarik perhatian
hadirin, pandangan mereka tertuju kearah sepasang muda
mudi ganteng dan jelita ini. Mereka yang kemaruk paras ayu
memandang Le Bun terpesona, yang berjiwa ksatria sama
menatap tajam Liok Kiam-ping. Begitu besar perhatian mereka
terhadap muda mudi ini hingga suara keributan menjadi sirap.
Liok Kiam-ping menyapu pandang dari satu wajah kewajah
lain, selepas matanya memandang, tetap tidak menemukan
bayangan Hun-bin-kiam-khek Ti Thian-bin. Walau dia tidak
menemukan orang yang ingin dicari, tapi kehadirannya telah
menarik perhatian Ki-ling-sin, kontan dia menjerit girang: "Hai
bocah cilik, kaupun datang" segera dia dorong orang-orang
yang duduk dan berdiri disekelilingnya berteriak menyapa Liok
Kiam-ping. "Bocah gede," kata Liok Kiam-ping, 'tidak pulang ke Lo-hu,
kenapa kau berada di sini"
Siang Wi tertawa besar, katanya: "Ditengah jalan aku
bersua dengan murid Tok-sin Hwi-hung-cu, dia ajak aku
mampir kemari, katanya di sini ada pesta banyak makanan
enak," Belum habis dia bicara seorang tinggi kurus seperti gala
berjubah biru menghampirinya serta menepuk pundaknya,
meski kurus tinggi dibanding bocah gede juga masih kalah
besar dan tinggi. Siang Wi berpaling, katanya: "O, kiranya kau
Giheng.' lalu dia menuding Liok Kiam-ping dan berkata: "inilah
bocah cilik." lalu dia balas tuding orang kurus dan
memperkenalkan kepada Liok Kiam-ping: "Inilah Hwi-hong-cu
Gi heng." seperti membanyol saja, hadirin tertawa geli, Hwihong-
cu menjura, katanya: "Siaute, Gi Kim-hiap, tolong tanya
siapa nama besar saudara ?"
Setelah tahu orang ini murid Tok-sin, seketika Kiam-ping
menarik muka, katanya tawar: "Tidak berani, cayhe kaum
kroco yang tidak punya nama, kalau kukatakan hanya
mengotori kuping saja."
Berubah roman muka Gi Kim-hiap. matanya berputar dua
kali, senyum sinis menghias wajah katanya: "Kalau kau bukan
kaum persilatan, kedatanganmu ini apakah karena diundang
Ti-heng sebagai penonton keramaian?"
Dingin nada suara Kiam-ping: "Ti Thian-bin mau kawinsepantasnya
aku hadir ikut perjamuan ini tolong tanya di
mana sekarang dia berada ?"
Hwi-hong-cu cukup cerdik dan cermat, diperhatikan sorot
mata pemuda sekolahan ini redup, tak ubahnya seperti orang
biasa karena, itu meski sikap Liok Kiam-ping kasar dan tidak
bersahabat, sedikitpun dia tidak jeri dan ambil dihati. Katanya
kalem dengan tertawa: "Agaknya saudara orang tahu sebagai
pemilik perkampungan ini Ti-heng memperoleh dukungan dan
dihormati oleh jago-jago silat golongan hitam maupun aliran
putih diseluruh Kang-lam, tidak sepantasnya kau... " waktu
pandangannya berputar, mendadak dia melihat kucing pelacak
dalam pelukan Le Bun, seketika dia melongo.
Sebagai murid Tok-sin, setidaknya dia juga tahu berbagai
jenis binatang aneh serta ciri-cirinya, demikian pula dengan
bulu panjang subur dari kucing pelacak ini, seperti bulu tupai
dengan ekornya yang rimbun pula, maka dia lantas teringat
binatang aneh yang punya penciuman luar biasa dapat
melacak pusaka yang tersimpan di dasar bumi, maka dia maju
selangkah dan bertanya: "Tolong tanya nona, apakan yang kau peluk itu Kucing
pelacak ?" Wajah Hwi-hong-cu tampak sadis, senyumannya cabul
sorot matanya jalang, maka Le Bun tahu bahwa laki laki kurus
seperti palu ini pasti bukan manusia baik, dengan dingin dia
mengangguk dan menjawab: "Betul, memang ini Kucing
pelacak." Gi Kim-hiap kegirangan katanya: "Apa kah nona mau
menjualnya kepadaku " Aku mau membayar selaksa tahil
emas... " Hadirin banyak yang terkejut mendengar percakapan ini.
Pada saat itulah seorang pemuda berwajah agak kurus
berpakaian rangkap tebal dengan corak pakaian yang mewah
berjalan memasuki aula. orang yang melihatnya segera
berteriak: "Nah itu cengcu datang."
Dibelakang Ti Thian-bin masuk pula seorang lelaki tegap
bercambang bawuk menggendong pedang, dibelakangnya lagi
adalah dua orang Hwesio. Begitu berada dalam ruangan dia
lantas menjura kekanan kiri, katanya: "Pertama-tama Siaute
haturkan banyak terima kasih akan kehadiran saudara-saudara
sekalian, sekarang biar kuperkenalkan beberapa cianpwe
kepada hadirin yang ku muliakan'
Menuding laki-laki cambang bauk dia berseru lantang:
"Inilah murid Khong-tong pay bergelar Pi-san-khek The Hong,
pendekar besar yang sudah lama terkenal dibarat daya,
sekarang adalah Ji-suhengku.' lalu menuding Hwesio yang
bertubuh gemuk. inilah Hoat-goan Taysu kepala Lo-han-tong
Siaulim-si." maju dua langkah lalu memperkenalkan Hwesio
yang bertubuh kurus lebih tua, "inilah Ham-hun Lo-siansu dari
Go-bi-pay." merandek sejenak mendadak dia melihat Siang
Wi, sesaat dia melenggong tanyanya: 'Orang besar dari mana
engkau "' Hwi-hong-cu memapak maju, katanya dingin: 'Aku yang
mengajaknya kemari, Ki-ling-sin Siang Wi-heng, murid
kesayangan Lo-hu-sin-kun Locianpwe."
Ti Thian-bin menjura, katanya: "Kiranya Siang-heng, maaf
bila Siaute tidak menyambut semestinya." sekilas dia melihat
ke hadiran Le Bun yang membopong kucing pelacak, sesaat
dia melengak. sorot matanya seperti tersedot oleh keayuan Le
bun, cepat wajahnya sudah dihiasi senyum lebar, katanya
sambil menjura: "Nona selembut ini sudi berkunjung ke
perkampunganku, sungguh menambah semarak perjamuan
besar ini, tempat seramai ini rasanya tidak cocok bagi nona,
bagaimana kalau silakan istirahat di bagian dalam... "
Le Bun mendengus, katanya tertawa "Kau kira siapa aku"'
"Jejak nona menapak ribuan li, setiap insan persilatan siapa
tidak kenal nona adalah putri kesayangan Lo-hu-sin-kun Giokbin-
koan-im Po Yo-lan... "
Le Bun tetap tertawa dingin, alisnya mulai berdiri, dia
sudah siap memberi hajaran kepada Ti Thian-bin tak nyana di
sebelah sana Siang wi sudah membuka suaranya yang keras:
"Siapa bilang dia itu Siau sumoayku " Dia malah lebih cantik
dari Siau-sumoayku."
Le Bun berkata: "Apa yang dikatakan orang gede memang
betul, aku bukan Glok bin-koan-im, aku adalah Leng-bin-koanim."
Sama-sama berjuluk Koan-im, tapi yang satu berwajah
putih kumala, yang lain bermuka dingin kaku.
"Leng-bin-koan-im " Hahaha, julukan yang aneh
menyenangkan-.. ' belum habis Ti Thian-bin bicara, sebatang
seruling bergetar laksana ribuan batang menutup belasan
Hiat-to besar Ti Thian-bin, serangan cepat lagi ganas.
Ti Thian-bin lagi melengak, tiba-tiba pandangannya kabur
angin dingin meringis muka, jalan darah didepan dada
terancam tutukan seruling karuan kagetnya bukan main, lekas
dia tarik napas mendekuk dada, berbareng kedua sikut
menutup dada sementara kaki menggeser kedudukan-
Tangan dan sikut Le Bun mengendap secepat kilat
mendadak menyontek keatas, daya gerak seruling pualam itu
secepat kilat pula mengetuk Ki-ti-hiat dilengan orang. Karena
kesakitan lekas Ti Thian-bin merasa tubuhpun kesemutan,
tampak jalur-jalur bayangan seruling telah menyodok lehernya
pula, sambil mendehem sekali, menjengak tubuh sambil
melayangkan kaki menendang lambung lawan-
Berbareng dengan tendangan kakinya, dari belakangnya
seorang menghardik keras, selarik sinar pedang sedang
menusuk maju dari sela-sela ketiaknya menyongsong tutukan
seruling Le Bun, ternyata gerakan pedang inipun tidak kalah
lihay dan cepatnya. Menekuk badan mengenjot kaki Le Bun melompat mundur,
namun tangan kiri membelah miring kebawah, seruling
ditangan kanan mengembangkan jurus pertama dari cenghuncap-
ji-siau yang bernama Hu-gua-kiauhun (berbaring melihat
mega bergolak), di tengah lengking aneh seruling itu
menggaris bundar terus mengiris ketangan lawan yang
memegang senjata. "Ting, ting, ting." beruntun ujung serulingnya berlompatan
diatas tajam pedang lawan dan terakhir mengetuk tepat
dibatas gagang dan batang pedang. orang itu menggerung
sekali, dimana larik pedangnya menggaris, secara aneh
pedangnya menyerang dengan tipu keji menusuk leher Le
Bun. Bahwa jurus tunggal Le Bun berhasil dipatahkan dan
terpental balik oleh tangkisan pedang lawan, tenaga besar
yang menggetar dibatang pedang lawan membuat
pergelangan tangannya kesemutan, tapi telapak tangan
kirinya yang menabas turun, kebetulan pula menangkis
tendangan kaki Ti Thian-bin. Kini dilihatnya cahaya pedang
berkelebat pula, dengan jelas dia saksikan pedang yang
menusuk datang itu tajam pedang-nya berpencar menjadi dua
jalur seperti garpu saja masing-masing menusuk ciang-tai, Yubun,
King bun don Ki-bun empat Hiat-to besar.
Lekas Le Bun mengendap badan, serulingnya berobah
menggunakan jurus Pek-hun-yu-yu, dengan lincah pedangnya
menggaris pergi. "Ting, ting, ting" kembali berdenting tiga
kali, beruntun tiga serangan serulingnya tertangkis lawan,
serulingnya kebetulan mengetuk diujung pedang garpu lawan-


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi begitu pedang lawan dipelintir secara menakjubkan,
serulingnya terkunci. Beberapa jurus ini dilakukan dalam sekejap. begitu Hunbin-
kiam-khek Te Thian-bin terpental jatuh beberapa kaki,
hadirin sama gempar, seseorang berteriak: "Haya, Pi-san-khek
The Hong turun gelanggang..."
Pi-san-khek (tamu pembelah gunung ) The Hong beruntun
melancarkan dua jurus aneh ajaran perguruannya, tapi kedua
jurus serangan lihay tertangkis oleh lawan, kini begitu dia
merobah permainan berhasil menekan senjata lawan dan
terkunci oleh pedangnya. Lekas dia menurunkan sikut
menyalurkan tenaga beberapa kali lebih keras, maksudnya
hendak menyendal lepas senjata lawan-
Tak nyana serangkum angin halus yang dikibarkan dari
lengan baju putih mendadak menggulung dirinya dan
kebetulan membelit pedangnya. Setelah mendengar jengekan
dingin: "Enyahlah." batang pedangnya mengendap. mendadak
segulung tenaga dahsyat menerjang lewat lengan baju yang
menggubat pedang terus merembes menerjang dirinya.
Pi-san-khek The Hong menggeram sekali, lengan
tangannya seketika seperti dipalu godam, tubuhnya pun
tergentak mundur beberapa kaki baru berdiri tegak pula.
Wajahnya berobah makin buruk. tatapan matanya
menampilkan rasa heran kearah pemuda jubah putih
dihadapannya, sungguh dia tidak habis percaya bahwa yang
turun tangan barusan adalah pemuda sekolahan ini.
Padahal lengannya masih linu dan lemas, pedangpun
menjuntai kebawah tak kuasa digerakkan lagi, katanya: "Tuan
siapa ?" Liok Kiam-ping tidak hiraukan pertanyaan orang, katanya
berpaling: "Le Bun, kau tidak apa apa?"
Le Bun menggeleng, katanya: "Pi-san-khek ini adalah murid
kedua Khong-tong-koay-kiam, tapi hanya memiliki sekedar
tenaga besar dan permainan cakar kucing belaka, bahwasanya
kau tidak perlu ikut turun ke arena."
Liok Kiam-ping membatin: 'ilmu serulingnya meski lihay,
tapi kau sudah didahului oleh tipu paya lawan, jelas takkan
mampu membebaskan diri dari serangan susulan pedang
lawan, sekarang masih takabur, dasar nona keras kepala."
Kiam-ping hanya tertawa tanpa berbicara.
Merah muka The Hong, serunya murka "Kau bocah ini
datang dari mana ?" Siang Wi mengerut alis. serunya: "He. he, kenapa kau ribut
" Baiklah kuberitahu, pedang pusakanya amat galak dan buas,
pedang mestika ditangan Beng Hing juga tertabas kutung
olehnya, aku hanya melihat sinar pedang berkelebat, tahutahu
sebelah kupingnya sudah protol"
"Apa?" pekik The Hong dengan mata membulat, "orang
gede, katamu suteku protol kupingnya oleh pedang dia " Di
mana ?" Siang Wi gelak tawa bangga, katanya: 'Didalam Te-sat-kok
digunung Bu-tong, hari itu kami..."
"Goblok." seru Hwi-hong-cu dengan bengis, "katakan
bagaimana dengan Ngo-tok-koay-mo Suhengku itu"
"Kau panggil apa padaku?" Siang Wi beringas, matanya
melotot, "memangnya suaraku tidak sekeras bacotmu "Jangan
membakar amarahku, awas bila kukemplang pecah
kepalamu." Pekak kuping Hwi-hong-cu karena bentakan Siang Wi,
teriaknya gusar: "Gede goblok, memangnya kau ingin mampus
" Tidak kau jelaskan bagaimana keadaan Suhengku. awas
kusikat kau dengan racun"
Sebuah suara dingin sadis tiba tiba berkata: "Akulah yang
membunuhnya, jikalau kau mau main racun, kaupun akan
mengalami nasib yang sama."
Perhatian seluruh hadirin tertuju kepada orang yang
berbicara ini, ternyata pemuda baju putih.
Hoat-goan Taysu dari Siau-lim mengerut kening, katanya:
"Bocah ini terlalu takabur mana boleh kau bersikap kasar
terhadap murid Tok-sin ?"
Ham-hun Siansu dari Go-bi juga menarik alis, katanya:
"Lolap kira anak ini pintar, tapi meski mengandal Kungfunya
tinggi, betapa pun jangan mencari perkara dengan murid Toksin.'
Hoat-goan Taysu berkata pula: "Taysu, bukankah tadi kau
melihat gerakannya seperti Liu-hun-hwi-siu yang sudah lama
putus turunan, kelihatannya gerak permainannya memang
lihay. entah murid tokoh aneh mana yang telah lama
mengasingkan diri dipegunungan- '
Sementara itu Hwi-hong-cu menjadi tertegun malah dan
ciut nyalinya oleh pernyataan gamblang Liok Kiam-ping,
sesaat dia menggigit bibir tidak tahu bagaimana baiknya. tapi
tatapan mata hadirin seperti menyiksa hatinya, maklum
pandangan itu lebih menyorotkan rasa hina dan memandang
remeh dirinya. Untung lekas sekali sikapnya sudah tenang dari
kembali wajar, memberanikan diri maju dua langkah,
desisnya: 'Hm, bocah tak bernama juga berani bermulut
besar, kurasa kau sudah bosan hidup,"
Liok Kiam-ping mengangguk. katanya: "Mungkin aku
memang sudah bosan hidup, tahukah kau kucing pelacak itu
adalah milik Suhengmu yang diperoleh dari Tiang-pek-san "
Kenyataan sekarang berada ditanganku."
Karena kalah cepat bertindak Hun-bin kiam-khek terdesak
dua jurus oleh Le Bun, hingga hiat-tonya terkebas linu, kini
setelah dia salurkan tenaga dalamnya baru Hiat-to tertutuk itu
terbuka dan berjalan lancar pula, katanya naik pitam: "Bocah,
berani kau datang ke Kui-hun-ceng mencari onar, jangan
harap kau bisa pergi dari sini." Akhir katanya mendadak dia
menatap Liok Kiam-ping lekat-lekat sorot matanya
menampilkan rasa heran, sesaat baru bibirnya bergerak:
"Kau... siapa kau?"
Liok Kiam-ping tahu setelah sekian tahun kesan- Ti Thianbin
terhadap dirinya sudah pudar, maka sesaat dia belum
ingat, dia tersenyum, katanya: "Waktu aku dibesarkan di Kui
hun-ceng, entah dimana kau menjadi gelandangan, sekarang
aku kembali ketempatku, apa tidak boleh ?"
Ti Thian-bin melengak, sesaat melacak bayangan pemuda
yang cakap. ganteng ini, akhirnya terbayang olehnya akan
bocah sebatangkara yang sering dihajar dan disiksanya dulu,
sorot matanya yang melotot penuh dendam dulu betapapun
tak mudah dilupakan begitul saja, tersirap darahnya, serunya:
"Kau ini Ping-ji.?"
Liok Kiam-ping terloroh-loroh bentaknya bengis: "Betul aku
memang Ping-ji yang dulu itu. Tapi sekarang adalah Pat-pikim-
liong Liok kiam-ping... '
"Ho, Pat-pi-kim liong, Haya dari Hong- lui- bun.' berbagai
kejutan terdengar dari berbagai penjuru hadirin, kecuali Ki-ling
sin Siang Wi semua merasa kaget bahwa Pat-pi-kim- liong
mendadak muncul di Kui- hun-ceng.
Siang Wi bergerak tawa, katanya menggumam: "Memang
sudah kutahu bahwa bocah cilik-ini bernama apa naga emas
yang punya delapan lengan, sengaja tidak kuberitahu pada
kalian" seperti habis melakukan sesuatu yang
menggembirakan, dia garuk-garuk kepala dengan tertawa
bodoh. Saking kejut berobah air muka Ti Thian-bin, tiba-tiba dia
menjebir bibir, suitannya berkumandang sampai luar aula.
Maka terdengar suara tiupan trumpet dari berbagai penjuru,
cepat sekali puluhan orang berseragam hitam memburu
masuk kedalam aula, setiap tangan mereka membawa hiu-culian-
hoan-hu (panah beranting sembilan) ciptaan cukat Bu-ho
pada jaman Sam kek dulu.'
Tengah hadirin menoleh kepintu besas, jendela disekeliling
aula yang semula tertutup mendadak gedobrakan, kembali
puluhan lelaki yang bersenjata sama muncul di jendela,
Liok Kiam-ping tenang-tenang saja, katanya dengan
tertawa besar- 'Apa sih yang sedang kau lakukan "
Memangnya kau siap mengganyang seluruh hadirin ?"
Semula keadaan cukup ramai dalam aula besar ini, tapi
sejak kawanan seragam hitam muncul dengan senjata lengkap
keadaan menjadi sepi, perkataan Liok Kiam-ping bagai guntur
dipinggir telinga mereka, sorot mata mereka tertuju kearah Ti
Thian-bin. Ti Thian-bin berkata: "Tak usah kau mengobarkan
permusuhan mereka terhadapku. Hm, tak nyana setelah
berpisah sekian tahuh kau telah memperoleh kemajuan
sebagus ini, tapi, sayang sekali, sebentar lagi kau bakal
mampus dibawah kakinya, kau tetap tidak akan bisa bertemu
nona Hong." Membesi dingin muka Liok Kiam-ping, katanya: "Pernah
kunyatakan suatu ketika aku pasti akan kembali kemari,
sekarang akan kucabut nyawamu... " lalu dia tarik suara
berseru lantang: "Hadirin yang kami muliakan harap dengar,
siapa yang merasa kurang senang dan ingin cari perkara
dengan cayhe boleh tetap ditempatnya, bagi yang tidak ingin
terlibat urusan ini kuharap lekas pergi saja."
Ti Thian-bin tertawa besar, katanya:
"Hadirin diharap tenang, kujamin keselamatan kalian,
sebentar lagi Liok Kiam-ping ini akan manjadi landak. setelah
itu sudilah kalian tetap mengikuti perjamuan kemenangan-"
Kenyataan tiada seorang hadirin yang mau pergi, Ti Thianbin
membusung dada katanya: "Liok Kiam-ping, masih ada
pesan apa kau...?" Kiam-ping menyapu pandang dari kiri kekanan, sorot
matanya makin mencorong, hawa dingin diwajahnya juga
makin tebal, karena dia dapati wajah setiap hadirin ternyata
bersikap tak acuh dan ingin melihat keramaian belaka, dalam
hati dia membatin: "Orang-orang ini juga patut disikat."
Pada saat itulah Siang Wi sudah menghampiri dan
menepuk pundaknya, katanya"
"Bocah cilik, mereka tiada yang membantu kau, biar aku
yang membelamu, aku tidak takut dipanah.'
Wajah beku Liok Kiam-ping menampilkan secercah
senyuman bersahabat, batinnya: "Bila orang-orang
meninggalkan dirimu orang yang tetap berdiri disampingmu
adalah temanmu yang sejati." mendadak tangan kanannya
terayun keatas, maka terdengarlah suara ledakan keras
dilangit-langit aula. "Ha haha .. " gelak tawa latah mendadak berkumandang
diluar pintu, tampak bayangan berkelebat turun disusul jeritan
beberapa orang para lelaki berseragam hitam berbadan tegap
itu satu persatu terjungkir roboh dengan muntah darah, tidak
sedikit pula yang dipukul terbang masuk kedalam aula.
Kini hadirin melihat dua orang tua muka merah dengan
rambut dan jenggot putih tengah mengamuk di dalam
rombongan orang-orang seragam hitam, tinju menjotos kaki
menendang diselingi jerit dan pekik suara seperti kerasukan
setan, dalam sekejap semua lelaki seragam hitam telah
disikatnya habis. Darah menyembur berceceran, setiap korban diberi tanda
mata entah dipunggung, didada dan di mana badan mereka
terpukul oleh cap tangan kuning emas atau putih perak. "Kimgin-
hu-hoat." Ham-hun Taysu menjerit kaget.
"Hoooyaa," seorang lelaki seragam hitam yang bersiaga
dijendela tiba-tiba mencelat kedalam ruangan, begitu
menyentuh lantai lantas tak bangun lagi. sebilah belati
menancap dipunggungnya. Kejadian yang satu disatu disusul
kejadian berikutnya, cepat sekali pemanah yang siaga
dijendela itupun telah disikat habis.
Tanpa mengeluarkan suara dari luar jendela melompat
masuk delapan belas laki-laki berpakaian biru dengan ikat
kepala merah, sementara wajah mereka dibungkus kain hitam,
gerak gerik mereka tampak enteng gesit dan tidak berisik
melayang kedalam aula. Kim-ji-tay-beng melangkah maju,
serunya menjura: "Mohon ciangbun memberi perintah.'
"Kecuali bocah gede ini, seluruhnya sikat.' desis Liok Kiamping,
suaranya tegas dan pendek. "Sret" selarik sinar kemilau
menggaris, Liat-jit-kiam yang terlolos menuding Ti Thian-bin
'Sudah saatnya kita membuat perhitungan lama, keluarkan
senjatamu.' Tak terpikir oleh Hun-bin-kiam-khek bawah lawan bertindak
secepat dan sehebat ini, pada hal para pemanah yang
diharapkan itu merupakan tumpuan harapannya, namun
belum sempat satupun yang membidikkan panahnya, semua
sudah terbunuh mati, saking takut dan ngerinya dia
kehilangan akal dan harga dirinya. Tapi manusia culas
semacam dirinya meski menghadapi saat-saat kritis, otaknya
tetap berhasil memperoleh akal juga.
Dengan enteng kakinya menggeser kedudukan sementara
pedangpun telah dicabutnya dengan nanar dia tatap Liok
Kiam-ping, pelan-pelan badannya mendekati Pi-san-khek The
Hong, maka terdengarlah suara ramai gemerincingnya senjata
dikeluarkan, ternyata mengisyafi jiwa sendiri juga mungkin
terancam, para hadirin juga keluarkan Senjata untuk membela
diri. Melihat situasi tegang dan keributan sudah didepan mata,
lekas Hoan-goan Taysu dari Siau-lim tampil kemuka, setelah
menjura kepada Liok Kiam-ping dia berkata: "Apakah
kedatangan Sicu kemari hanya untuk membunuh kaum Bu-lim
?" Liok kiam-ping menjengek: "Kenapa tidak sejak tadi Hwesio
tua macammu ini buka suara ?" berbareng dengan habis
ucapannya mendadak dia menggerung perlahan badanpun
melesat kencang. Selarik sinar pedang tampak menggaris
lurus dengan suaranva yang melengking menusuk kedada Gi
Kim-hiap. Ternyata mumpung Liok Kiam-ping bicara dan tidak siaga
diam-diam Hwi-hong-cu siap menggunakan racun
perguruannya, tak nyana baru tangannya merogoh kantong,
gerak geriknya sudah konangan Liok Kiam-ping, selarik cahaya
yang benderang menyilaukan mata tahu-tahu sudah melanda
tiba. Ginkangnya termasuk yang paling unggul diantara sesama
perguruan, melihat serangan ini cepat dan ganas, cerat dia
melayang pergi, Badannya seringan daon yang melayang
ditiup angin kencang. namun sinar pedang itupun seperti
garis-garis putih diatas daun itu, betapapun dia merobah
gerakan, tetap takkan bisa meninggalkannya. Keringat diatas
kepalanya sudah berjatuhan, tenaga dalamnya juga sudah tak
mampu di kendalikan lagi, pada saat kritis ini selarik sinar
pedang melesat datang dari samping menahan serangan


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang lawan yang membadai.
"Trang" Liat-jit-kiam Liok Kiam-ping kebetulan memotong
dua sebatang pedang aneh bentuk ular yang menyelonong
maju kaki melangkah tubuh mendesak jurus Liat-jit-yam-yam
pun dilontarkanTiraikasih
Website Dalam pada itu tangan Gi Kim-hiap baru saja keluar dari
kantong, jari-jarinya sudah menggenggam dua botol hitam,
tapi di saat dia hendak menghamburkan air racun yang terisi
dalam botol. matanya sudah dibuat silau oleh bola besar
bercahaya yang terbit didalam. Begitu terang nyala bola
bundar itu sehingga pandangannya menjadi pekat dan tak
kuasa lagi melihat benda-benda didepan matanya, kecuali
pancaran sinar benderang itu, jangan kata teman jejak
lawanpun menghilang. Rasa takut seketika menghantui pikirannya, sambil menjerit
ngeri botol ditangannya dia lemparkan, bau amis seketika
membuat sesak napas orang, sementara Hwi-hong-cu sudah
melompat mundur. Begitu sedang bergerak. Liok Kiam-ping saksikan mimik Gi
Kim-hiap yang panik ketakutan, tapi dia tidak duga lawan
mampu memberi reaksi secepat itu, dua botol ditangannya
telah dibuang. Begini bau amis merangsang hidung, seketika
kepalanya pening. Dalam Te-sat-kok sekaligus dia terserang dua jenis racun
jahat, untung dua tenaga raksasa yang terserap ketubuhnya
telah berhasil mendesak kadar racun itu himpas dari
badannya. Tapi pengalaman pahit itu betapa pun telah terukir
dalam benaknya, kini melihat lawan membuang cairan
beracun pula, maka dia sudah siaga.
Padahal hanya sedikit hawa racun yang tercium ternyata
kepala sudah pening, lekas dia tutup napas serta menyalurkan
hawa murni, seketika jubah bajunya melembung seperti berisi
penuh angin. Sedikit menjejak kaki tubuhnya melambung dua
tombak terus meluncur miring kedepan, pedangnya bergerak
dengan jurus Sik-yang-say-loh (matahari sore doyong kebarat)
orang dan pedang melesat bersama.
Sekuatnya Gi Kim hiap sudah melompat mundur dua
tombak. kini dia sudah dekat jendela. diam-diam hatinya
senang, dimana tangan kirinya membelah, segulung tenaga
angin menerjang, sementara tangan kanan menaburkan
segenggam duri-duri beracun. badannya langsung mencelat
keluar jendela. Tak nyana tiba-tiba bayangan merah berkelebat, beberapa
batang pisau terbang dengan kecepatan luar biasa menyerbu
dirinya. Badannya sedang terapung, sementara angin tajam
juga mengejar dari belakang, hawa pedang yang dingin telah
membuat badannya merinding. kembali dia mengayun tangan
kanan menyerang dengan Ngo-tok-kui-goan dari ilmu pukulan
perguruannya, angin-badai yang timbul dari pukulan
tangannya ini merontokkan serangan pisau terbang itu. Hebat
memang kepandaiannya, begitu kaki menyentuh bumi selicin
belut dia sudah menyelinap sembari membalik kedua tangan,
meminjam daya putar tubuhnya, dia kerahkan seluruh
kekuatannya menggempur. Tak nyana baru saja badannya berputar kemari cahaya
merah sudah menghadang di depan mata. celaka adalah sinar
merah itu bagai sebatang pedang yang tajam menusuk
kedalam matanya. Begitu mata terasa sakit panas seperti
dibakar, seketika dia merintih kesakitan-
Pada saat itulah, Liok Kiam-ping menghardik keras, sinar
pedang tampak berputar bolak balik, darah muncrat keempat
penjuru. tubuh yang sudah terbabat kutung- kutung itu
mencelat jauh menjadi enam potong oleh tabasan Liat-jit-kiam
Liok Kiam-ping segera memperingatkan: "Jangan sentuh
cairan hitam dilantai, itu air racun jahat."
Sementara itu Gin-ji tay-beng sedang melabrak Hoat-goan
Taysu, keduanya berkelahi dengan mengadu kekuatan tinju,
gerak gerik mereka cukup gesit, puluhanjurus sudah terjadi
serang menyerang. Kungfu Siau-lim-pay bermodal tenaga kekuatan Lwekang
mereka cukup disegani di Bulim, tapi setelah sama adu
kekuatan beberapa jurus dengan Gin-ji tay-beng, Hoat-goan
Taysu harus mengakui kekuatan lawanya juga amat tangguh,
disamping takjub diapun agak keder, maklum Gin-sa-ciang
yang dilawannya ini ternyata masih sedikit unggul dibanding
Tay-lik-kim kong-ciang siau-lim mereka.
Hoat-goan sudah kerahkan setaker tenaganya, tapi
beruntun beberapa jurus dia selalu tergempur mundur, tangan
terasa linu pegal lagi, maka dia mengembangkan ketangkasan
gerak badannya, dia berharap dapat memperbaiki strategi
perang ini dengan lunak menundukkan kekerasan, sekaligus
menyimpan tenaga demi ketahanan selanjutnya.
Gin-sa-ciang yang diyakinkan Gin-ji tay beng merupakan
ilmu tunggal dari negeri Se-ek. bukan saja kekuatan
pukulannya amat dahsyat, gerak gerik tubuh dan langkah kaki
ternyata juga amat diperhatikan- Dahulu dengan Gin-sa-ciang
dia pernah memberantas enam belas komplotan begal sindikat
gelap dan kumpulan Pang atau Hwe disepanjang perbatasan
utara dibilangan Ho-toh waktu itu dia sudah mengembangkan
Ginkangnya yang khusus, gerakan tangan yang menakjubkan
seperti bisa menangkap benda terbang, gerak serangannya
menimbulkan angin badai sehingga mirip beberapa ekor
burung raksasa sekaligus pentang sayap. karena itulah dia
mendapat julukan Gin-ji tay-beng (Elang raksasa sayap
perak). Kini mereka harus mengadu ketangkasan, menghadapi
lawan setingkat, maka dengan bekal Lwekangnya yang
tangguh dan Ginkangnya yang tinggi terus gempur
menggempur dengan sengit, sergap menyergap tubruk dan
menerkam, selincah kelinci seenteng burung walet, secara
gencar mereka mengadu belasan kali pukulan.
Liok Kiam-ping menerawang keadaan, suasana sudah
kacau, ternyata delapan belas pahlawan berani matinya gagah
berani, seorang diri mereka berani terjun kedalam gerombolan
jago-jago silat serta melabrak dengan sengit, mereka
menggunakan gaman yang berbeda dengan permainan yang
lihay pula, cepat sekali jeritan demi jeritan, darah muncrat dan
berceceran, korban berjatuhan satu demi satu.
Kim ji-tay-beng melawan Ham-hun Siansu dari Go-bi, Kimsa-
ciang yang dahsyat dikembangkan laksana seekor elang
raksasa tubuhnya berlompatan diudara sambil memekikmekik,
deru angin pukulannya sedahsyat gugur gunung, Hamhun
Siansu dirabu serangan ketat.
Ham-hun Taysu tidak mau kalah angin, lengan bajunya
beterbangan, gerak tubuhnya berputar sekencang gangsingan,
pukulan telapak tangan yang dimainkan ternyata berbeda pula
gaya maupun variasinya, selama puluhan jurus berhantam
dengan Kim-ji-tay-beng, karena Lwekang kedua pihak terpaut
cukupjauh, maka kedudukan atau posisinya makin terdesak
dibawah angin- Ketiak kiri Liok Kiam-ping mengempit cui-le-kiam,
sementara tangan kanan memegang Lian-jit-kiam, dengan
sikap gagah bertolak pinggang pandangannya penuh gairah
dan dendam masih membara semakin memuncak dalam
benaknya, ujung mulutnya mengulum senyum sadis.
Tampak Pi-san-khek The Hong dilabrak Le Bun dengan
seruling pualam putih, keadaannya sudah berada dibawah
angin dan terus didesak mundur, sekuat tenaga dia tetap
bertahan dengan permainan pukulan tangan, untuk bertahan
atau membela diri memang masih cukup tangguh, namun
jelas tidak mampu balas menyerang lagi.
Kini sorot matanya menatap ketubuh Ti Thian-bin musuh
besarnya. Mendadak berobah air mukanya, sambil menghardik
dia terus menerjang. Ternyata dengan bersenjata pedang Ti
Thian-bin sedang melabrak Biau jiu-sip-coan, permainan
pedangnya memang ganas dan keji setiap jurus serangannya
bukan saja ditempat mematikan juga titik kelemahan lawan,
hingga Biau-jiu-sip-coan dihujani serangan menggebu yang
mengancam jiwanya. Biau-jiu-sip-coan, dibekali Ginkang tinggi dengan
permainan tangan yang cepat dan tangkas mengandal
kegesitan gerak geriknya itu dia terus bertahan sambil
berlompatan kian kemari, menggenjot juga mencakar, meraba
dan merogoh. mendadak menjerit kaget karena hampir
termakan pedang lawan, tapi juga hanya bisa bergerak dalam
lingkungan tertentu, tak mampu berinisiatip balas menyerang.
Tatkala itu Hun-bin-kiam-khek Ti Thian-bin sedang
melancarkan jurus Giok-tay-wi-yau, tapi baru setengah jurus
mendadak pedangnya dirobah dengan jurus Leng-coa-kiamhoat
(ilmu pedang ular sakti) yaitu tipu pedang Kim-coa-loanbu
(ular emas menari gila-gilaan), sinar pedangnya menari
seperti berjoget dengan pancaran sinarnya yang kemilau,
hingga berobah menjadi belasan batang pedang sekaligus
mencecar Hiat-to mematikan-
Melihat serangan pedang kali ini cukup ganas dan benarbenar
mengancam jiwa, lekas Biau-jiu-sip-coan menjatuhkan
diri berkelit dengan gerakan Keledai malas berguling ditanah,
sekuatnya dia menggelundung jauh.
Pada saat itulah, Liok Kiam-ping yang menonton dari
samping menyaksikan Biau-jiu-sip-coan sedang
menggelundung untuk menyelamatkan jiwa tanpa memikirkan
bahwa dirinya akan menggelundung kecairan racun yang
dilempar dari botol Hwi-bong-cu tadi, maka tanpa ayal dia
menjejak kaki meluncurkan tubuh, selarik cahaya putih tibatiba
telah anjlok disamping Biau-jiu-sip-coan yang masih
menggelundung. sekali ulur tangan Kiamping cengkram baju
dibelakang kuduk Biau-jiu-sip-coan terus dibawanya melompat
pergi, Pada hal Biau-jiu-sip-coan sedang kegirangan karena
usahanya menyelamatkan diri berhasil. mendadak dirasakan
tubuhnya tercengkram terus dijinjing pergi, karuan kagetnya
serasa arwah copot dari raganya, tanpa perduli sikut kirinya
tertekuk terus menyodok kebelakang, berbareng kaki kiri
mendepak kebelakang. Tak nyana baru saja serangan dilancarkan tiba-tiba
tubuhnya sudah mumbul keudara, ditengah udara bersalto
sekali, karuan dia menjerit panik, mengira jiwanya pasti
melayang seketika. Tak nyana sebuah suara yang sudah dikenalnya tiba-tiba
berkata dengan tertawa dibelakangnya:" Inilah aku."
Lega sekali hati Biau-jiu-sip-coan, katanya: "o, kiranya
ciangbunjin. Lepaskan peganganmu.'
Liok Kiam-ping, segera menurunkan Biau jiu-sip-coan,
katanya: "Hampir saja kau keracunan dan jiwamu pun amblas.
o, ya, ingin aku tanya, bagaimana keadaan nona Siau Hong"
"Hamba sudah menyembunyikan dia," sahut Biau-jiu-sipcoan,
"kabarnya Liong-ong-ya Tio Tin-thian dari ci-tong-kang
membawa orang-orangnya sedang menuju ke Kui-hun-ceng
ini, ternyata Ti Thian-bin telah mengangkatnya sebagai ayah
angkat." Liok Kiam-ping melenggong, tak kira bahwa Ti Thian-bin
ternyata mahir menjilat dan mengumpak sehingga dia
memperoleh tulang punggung yang kuat dan tangguh.
Batinnya: "Perduli dia murid atau anak siapa aku tetap akan
membunuhnya." sorot matanya setajam lampu senter
menatap Ti Thian-bin, sehingga orang yang dipandang
menjadi risi dan tak berani bertindak gegabah.
Setelah cui-le-kiam dia selipkan diikat pinggang, perlahan
dia maju beberapa langkah, lalu berhenti lima kaki didepan Ti
Thian-bin. Segagah dan sekokoh gunung angker, segera
tenangkan pikiran dan hati, ujung mulutnya kembali
mengulum senyum sadis. Senyum yang dingin pula sehingga
Ti Thian-bin gemetar dan berobah rona mukanya. Tapi dasar
jiwanya sempit wataknya picik, banyak muslihat lagi, lekas dia
menyadarkan diri sendiri, dalam situasi seperti sekarang tidak
menguntungkan bila dirinya menampilkan rasajeri atau panik,
maka wajahnya segera mengulum senyum-senyum yang lebih
jelek dari orang mewek. Liok Kiam-ping berkata: "Ilmu pedangmu belakangan ini
maju pesat, boleh terhitung jago kelas satu dikolong langit,
kenapa tidak kau gunakan pedang mu. "
Ti Thian-bin tertawa, katanya: "Dahulu tidak pernah terpikir
dalam benakku bahwa sekarang kau bakal menjadi
ciangbunjin Hong-lui-bun, kalau tidak... "
Liok Kiam-ping maju selangkah. Ti Thian-bin menyurut dua
langkah, badannya gemetar makin keras.
"To-toacengcu," nada perkataannya penuh ejekan,
"memangnya kau terserang malaria " kenapa badanmu
gemetar begitu rupa "
Tiba-tiba berobah suara Ti Thian-bin, katanya bernada
memelas: "Kau ingin mengambil Siau Hong bukan " Kau boleh
membawanya pergi. Selama beberapa tahun ini aku belum
pernah menyentuhnya... ya, aku bersumpah... "
Kiam-ping tidak pernah duga bahwa Ti Than-bin bisa
bersikap begitu takut dan memelas, namun dia menjengek
hidung, bentaknya bengis: "Dulu waktu kau menutuk hiattoku,
waktu kau menendang dan menyiksaku, apa pernah
kaupikirkan akibatnya seperti hari ini "'
Gemetar bibir Ti Thian-bin, ratapnya:
"Waktu... waktu itu... mungkin aku terlalu emosi... terlalu
sirik... " Pads saat itulah terdengar pula sebuah jeritan dari
samping, sebuah badan besar mencelat keudara dan "Bluk"
terbanting jatuh didepan Ti Thian-bin, darah segar
menyemprot mengotori kepala dan mukanya. Waktu dia
menunduk didapatinya mayat orang itu adalah Ji-suhengnya
Pi-san-khek, diatas mayatnya tidak kelihatan ada luka-luka
tapi tepat diatas Thay-yang-hiat dipelipisnya mengecap tanda
bundaran warna hijau, jelas jiwanya melayang karena tertutuk
seruling pualam Giok-bin-koan-im.
Semakin pucat dan ngeri wajahnya, dia tahu hari ini
jiwanya pasti tak bisa ditolong lagi. maka sedapat mungkin dia
tenangkan pikiran menabahkan hati pedang dilintang di depan
dada, mengumpulkan tenaga menghimpun semangat, kakinya
memasang kuda-kuda siap melangkah dengan gerakan Su-bupou-
hoat, kedua matanya menatap lawan, pikiran melarikan
diri sudah dibuangnya jauh-jauh, agaknya dia sudah siap
untuk mempertaruhkan jiwa raganya dalam adu kekuatan
dibabak terakhir.

Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liok Kiam-ping sebaliknya mengulum senyuman menghina,
pedang terangkat mengacung miring keatas, Liat-jit-kiam-hoat
siap dilancarkan. Ti Thian-bin diam tidak bersuara, pedang bergerak langkah
bertindak, dengan jurus Leng-coa-jut-tong (ular sakti keluar
lob hang) pedangnya menusuk lurus kedada Liok Kiam-ping.
Liok Kiam-ping diam menunggu, matanya menatap ujung
pedang lawan yang menusuk tiba, sikapnya tenang dan wajar,
tabah pula seteguh pohon raksasa yang siap ditimpa hujan
badai. Setengah jurus serangan telah dilancarkan Ti Thian-bin
melihat lawan tetap diam tidak memberi reaksi, karuan
hatinya mencelos, kiranya dia mahir menggunakan Hu-mokiam-
boat ajaran Khong-tong-pay yang mengutamakan
tenang laksana kaca, lincah seperti kelinci lepas kurungan,
setiap titik kelemahan musuh diincar dan balas menyerang
secara telak. itulah ajaran aliran Lwekeh yang utama.
Karena itu menyaksikan lawan tidak bergeming, namun
pertahanannya seperti tiada titik kelemahannya, hatinya makin
kaget dan heran, lekas dia menggeser langkah, gerakan
pedang diganti pula dengan jurus Sing-ling-pat- kak dari HuTiraikasih
Website mo-kiam-hoat. Sinar pedang berkembang mengeluarkan suara
keras menusuk ke Ki-bun-hiat lawan-
Ti Thian-bin melebarkan kedua matanya mendadak dia
menghardik sekali pedang yang teracung terayun Liatjit-kiam
menggaris lurus diudara, secara telak pedangnya mengiris
turun kedalam jala cahaya pedang lawan, desir, angin tajam
menyobek udara, itulah jurus Liat-jit-yam-yam.
Baru saja gaya pedangnya mulai dilancarkan, Ti Thian-bin
lantas merasakan gerakannya seperti terkendali dan tertahan,
celakanya hawa pedang telah melebar dalam jarak yang
terjangkau bila elmaut mengancam jiwanya..
Belum sempat otaknya bekerja menemukan cara mengatasi
bahaya didepan mata, bola besar cahaya terang bak matahari
terbit ditengah udara, panasnya sinar matahari menyilaukan
mata hingga tak mampu dia membuka matanya pula, yang
kelihatan dalam bayangan matanya adalah tabir cahaya
benderang berwarna merah kemuning. Kuning seperti surya
merah laksana darah. Tanpa mengeluarkan suara Liat-jit-kiam telah membuat
pedangnya kutung, disusul selarik cahaya benderang melesat
diudara, maka protol pulalah sebuah lengan tangan, mencelat
jauh kesana, darah menyemprot seperti air leding, lengan
kanan Ti Thian-bin telah buntung. Sambil menjerit kalap dia
menerjang maju, kelima jarinya terkembang bagai ganco
seolah-olah hendak mencabik dada dan merogoh jantung Liok
Kiam-ping. Pada saat kritis itulah dari luar berlari masuk seorang lakilaki
berteriak: "Liong ong-ya, Tio loyacu telah tiba..." tapi
melihat darah berceceran, mayat bergelimpangan sementara
pertempuran masih berjalan sengit didalam aula, seketika
kuncup suaranya, sekejap dia melenggong, tiba-tiba putar
badan terus lari sipat kuping. Tapi hanya tiga langkah dia lari,
seorang raksasa gede tubuh telah menghadang jalannya,
pentung ditangannya ternyata lebih besar dari pahanya yang
kurus. Siang Wi membentak: "Bocah keparat, lari kemana kau,"
sekali pentungannya menyodok "Duk" lalu berputar pula,
kepala cengting itu disodoknya pecah, sekali sapu pula
tubuhnya mencelat terbang beberapa tombak. Tanpa hiraukan
korbannya dia berlari masuk pula hendak membantu bocah
cilik alias Kiam-ping. Sayang dia berlari terburu nafsu sambil
menenteng pentungnya melintang, sudah tentu panjang
pentung yang melintang itu membentur pintu yang lebih
sempit, beberapa kali dia mendorong dengan perutnya,
pentung tetap tidak terdorong masuk, memangnya sedang
jengkel, sekali dia benar-benar terbakar amarahnya, sambil
menggerung pentung diputar terus menggempur dinding.
"Blam" dinding tembok yang tebal itu jebol dan runtuh
berhamburan hingga bolong besar.
Setelah meraba hidung dengan keras dia menggerung,
katanya: "coba buktikan kau yang kukuh atau aku yang kuat,"
dari lobang besar itu dia menerobos masuk ke aula, kebetulan
dilihatnya Liok Kiam-ping berdiri tegak memegang pedang,
sementara Ti Thian-bin pentang kelima jarinya sedang
menerkam dengan beringas Kebetulan Liok Kiam-ping berdiri membelakangi pintu, jadi
bocah gede ini datang dari belakang maka dia tidak melihat
cahaya benderang yang dipancarkan dari pedang ditangan
Kiam-ping, disangkanya bocah cilik ini sudah ketakutan hingga
lupa bergerak. Maka dia menggerung: "Bocah cilik jangan takut, aku
sigede telah datang," sambil mengayun pentung dia memburu
maju, yang dilancarkan adalah jurus menyapu ribuan tentara,
dua lelaki kekar yang menghadang didepannya disapunya
terbang dua tombak. Setiap langkahnya ternyata mencapai
jarak delapan kaki, maka hanya beberapa kali melangbah dia
sudah memburu disamping Liok Kiam-ping,
Tak nyana baru langkahnya tiba disamping orang,
mendadak dilihatnya cahaya merah berkelebat, darah pun
menyembur laksana seutas rantai, Ti Thian-bin yang
menerkam dari atas udara ternyata sudah terobek-robek
menjadi beberapa potong oleh Liat-jit-kiam, tubuhnya tercerai
berai tidak keruan diatas lantai.
Si gede melenggong, sesaat dia takjub, begitu Liok Kiamping
berpaling segera dia acungkan jempolnya sambil memuji:
"Bocah cilik, kau sungguh hebat." tapi melihat bocah cilik ini
mengucurkan air mata, seketika dia melenggong, tanyanya
sambil garuk kepala: "Bocah cilik, apa kau senang menangis"'
Setelah melancarkan Liatjit-yam-yam maka Ti Thian-bin
pun terbunuh dengan mengerikan, sekilas ini diapun
terkenang kepada Ji-cengcu. Sejak kecil Ji-cengcu menemukan
dirinya, merawat, mengasuh serta mendidik dirinya, jiwa
kecilnya tulus dan bajik, tapi sejak kedatangan Ti Thian-bin,
hidupnya berobah, jiwa nyapun tersudut, hingga dirinya harus
menjadi gelandangan, hidup terlunta-lunta, dihina dan dicaci,
ibunya harus mati secara mengenaskan dalam pangkuan dan
pelukannya pula, sementara dirinya tak kuasa menolongnya,
dari berbagai peristiwa, jiwanya dipaksa untuk berobah lebih
kejam, telengas dan keras diluar lemah didalam.
Bahwa dia berhasil membunuh musuh membalas sakit hati
sendiri, hatinya menjadi tidak tega malah, apalagi melihat
nasib mayatnya yang tercerai berai, jiwanya terasa kosong.
Terbayang betapa Ji-cengcu mengajarkan kasih sayang dan
mendidik dirinya harus bersikap jujur dapat dipercaya dan
bajik terhadap sesama manusia, betapa dia tega membunuh
murid Lo Bing-hong alias Ji-cengcu yang dulu memungutnya...
Berbagai persoalan membikin lahir batinnya serba kontras,
maka timbul lebih nyata pula lembaran hatinya yang bijaksana
dan bajik sehingga dia mencucurkan air mata.
Mendengar pertanyaan Siang Wi lekas dia mengusap air
mata, katanya: "Bocah gede, selanjutnya bagaimana kalau
kau ikut aku saja ?"
Terbuka lebar mulut si gede Siang Wi, katanya: "Guruku
pernah bilang: "He si gede, kau ini terlalu bodoh, selalu tidak
memikirkan apa yang kau kerjakan, sekarang aku sudah tua,
bila aku sudah mati kepada siapa kau harus menurut " Lalu
siapa pula yang akan memberi engkau makan " lalu dia
membuka lebar tawanya, katanya: "Yang benar, aku memang
takut lapar, aku paling takut sebetulnya kerja baik apa yang
harus kulakukan kecuali itu apapun aku tidak takut, jika kau
ingin aku ikut kau, apa kau bisa memberi aku makan " Mau
memberi petunjuk kepadaku?"
Liok Kiam-ping tertawa geli oleh rentetan pertanyaan
bodoh si gede, katanya mengangguk: "Bocah gede, aku pasti
bisa memberi kau makan, makan apa boleh sesuka hatimu
akan kubimbing kau dan memberi petunjuk apa yang harus
kau lakukan, maka jangan kau kuatir."
Tapi Siang Wi masih sangsi, tanyanya:
"Kau tahu berapa banyak makanku setiap hari " Biar
kujelaskan, aku menghabiskan dua ekor ayam, tiga kilo daging
sapi segar, ditambah dua puluh mangkok nasi, tiga ekor ikan
dan sayur mayur lainnya, semua itu harus... " .
"Jangan kuatir." tukas Liok Kiam-ping "berapapun banyak
makananmu pasti kuberikan sampai kenyang."
Siang Wi keplok kegirangan, serunya:
"Kalau begitu selanjutnya aku tidak usah memakai peneng
muka setan Suhuku untuk mencari makan lagi, selanjutnya
Suhu juga tidak akan berkata: "Wi-ji, kenapa selalu kau
menggunakan Lo-hou-ling untuk menipu makanan orang,
sungguh memalukan" lalu dengan sikap sungguh-sungguh dia
menambahkan, "Tahukah kau bocah cilik " Sejak itu.. akupun
mengukir sebuah Lo-hou-ling lain yang bermuka setan dengan
taringnya yang menakutkan, tapi mata setan yang kuukir
hanya dua saja . " Sampai di sini bicara mendadak dia angkat
pentung penyanggah langit yang gede itu terus disapukan
seraya membentak: "Gundul cilik kemana kau."
Ternyata Hoat-goan Taysu yang melawan Gin-ji tay-beng
semakin kewalahan setelah lawan menggunakan Gin sa-ciang,
meski dia sudah mengerahkan segala kemampuannya, seluruh
Kungfu Siau-lim-pay yang paling saktipun yang pernah dia
pelajari juga tetap tak mampu menandingi ilmu pukulan pasir
perak lawan yang dahsyat. Empat puluh jurus kemudian,
tenaganya sudah terkuras hingga kaki tangan sudah lemas,
sambil bertahan dia terdesak mundur, suatu ketika dia
memperoleh kesempatan balas menyerang dua jurus pukulan
tangan dan tiga tendangan, namun lawanjuga hanya
didesaknya mundur dua tindak. Mumpung lawan mundur
inilah, lekas dia mengebas lengan bajunya terus menjejak
kaki, tubuhnya melesat terbang lari keluar pintu.
Siapa nyana Siang Wi si gede badan yang berotak minus ini
perawakan yang delapan kaki itu memang mirip raksasa, kalau
orang lari menyelinap dari bawah kakinya mungkin dia tidak
memperhatikan, celaka adalah Hoat-goan Taysu melarikan diri
dengan mengapungkan tubuh ditengah udara, seperti sengaja
meluncur didepan matanya. Kontan dia ayun pentungnya
terus mengepruk sekuatnya.
Tubuh terapung diudara, mendadak kuping Hoat-goan
Taysu pekak oleh sebuah bentakan sekeras guntur, sehingga
hatinya tersirap. di kala dia melongo itulah pentung sebesar
paha telah menyapu tiba. saking kaget lekas dia kerahkan
Jian-kui-tui sehingga tubuhnya seperti merandek sekejap lalu
anjlok kebawah. Siang Wi membentak: "Gundul cilik, masih mau lari ke
mana kau ?" diudara pentung besarnya juga berputar satu
lingkar, permainan pentung besar itu ternyata tangkas dan
enteng, pinggang Hoat-goan Taysu menjadi sasaran
berikutnya. Baru kaki menginjak bumi, sementara pentung
raksasa itu sudah menyabet tiba, lekas dia menarik napas,
tenaga setaker dikerahkan ketangan kanan terus melontarkan
pukulan Sin-liong-tiau-bwe (naga sakti mengabit ekor),
telapak tangannya menepuk kebelakang.
Pada hal betapa hebat kekuatan Siang wi " Karena otaknya
yang agak minus, maka sukar dia mempelajari ilmu,
disesuaikan kondisinya maka sang guru Lo-hu-sin-kun hanya
mengajar No-kang-cam-liok-gun (enam belas gelombang
sungai), permainan pentung aneh yang di perolehnya dari
propinsi Inlam. Ilmu pentung ini adalah ciptaan ciangbun Tiam-jong pay,
inspirasinya diperoleh setelah melihat sendiri amukan
gelombang sungai No-kang yang deras dan berbahaya, maka
permainannya juga mirip orang mengamuk dengan kekuatan
raksasa lagi. Setelah Siang Wi berhasil menghapalkan ilmu pentung yang
satu ini, tapi juga memerlukan beberapa tahun, mengingat
tenaganya yang raksasa dan kasar maka Lo-hu-sin-kun kuatir
bila dia menghadapi tokoh Lwekeh yang benar-benar ahli
supaya jiwanya tidak terancam bahaya, maka dia memeras
keringat dan berjerih payah selama beberapa tahun pula
mengajarkan Lia-bun-hwi-bu, ilmu pentung lain yang bergerak
lebih santai enteng dan lincah.
Beruntung Siang wi memiliki dua jenis ilmu pentung yang
berbeda, satu keras yang lain lunak. dalam praktek lama
kelamaan dia berhasil membaurkan pula kedua ilmu pentung
lunak dan keras itu sehingga sedemikian mahirnya, ilmu lain
diajarkan juga percuma karena otaknya takkan bisa
menangkap. Sekarang dia melancarkan jurus Liu-hun-ho-khong (mega
mengalir rebah diudara) salah satu jurus dari Liu-hun-hwi-bu
menyapu pinggang belakang lawan yang berusaha lari begitu
cepat samberan pentungnya itu. Begitu Hoat-goan menepuk
kebelakang, kebetulan kena menepuk pentung besar Siang
Wi, tenaga dalam yang dikerahkan di telapak tangannya
berhasil menahan pentung orang serta menekannya turun
beberapa senti. Begitu merasa pentung tertindih menjadi
berat Siang Wi mengerang sekali, cepat sekali pentung
raksasa itu sudah berobah gerakan dengan jurus Ki-li-koh-tiau
(arus cepat saling berlomba) menyontek keatas.
Betapa cepat variasi, gerakan pentung seberat itu sungguh
menakjubkan, baru saja Hoat-goan Taysu mumbul dua kaki
meminjam tenaga tolakan pentung, tapi ujung pentung Siang
Wi sudah menyusul tiba dan telak menyapu belakang
pinggang Hoat-goan Taysu.
"Ngek." kontan Hoat-goan Taysu membuka mulut
menyemburkan darah, "pletak" tulang punggungnya tersapu
remuk. tanpa mengeluarkan suara badannya terlempar jatuh
setombak lebih, jiwa sudah melayang sebelum tububnya
menyentuh lantai. Tatkala itu pula terdengar Kim-ji-tay-beng tertawa gelakgelak,
maka terdengarpupa suara "plak, plok," beruntun
tepukan dua telapak tangan, Hwesio tua dari Gobi itu tampak
terjengkang mundur dengan melelehkan darah diujung
mulutnya, beberapa kali kemudian dia terjungkal roboh
bergulingan- Kiam-ping menoleh, kebetulan dilihatnya Ham-hun Siansu
dari Go bi terjungkal roboh, pundaknya tampak terkena
pukulan, pakaian pecah pundakpun berwarna kuning dengan
tulang remuk keadaannya juga parah. celakanya dia
menggelundung ke sana, seketika dia melolong sekerasnya


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil bergulingan, makin bergerak makin keras dan sakitnya
mungkinjuga bertambah dari punggungnya tampak
menguapkan asap. bau busuk dari kulit badan yang hangus
menerjang hidung. Kedua matanya tampak melotot seperti
bola merah darah, alis putihnya tampak menjuntai turun
basah oleh keringat. Agaknya dia mengalami rasa sakit yang luar biasa, kedua
tangan yang masih bisa bergerak telah melupakan rasa sakit
dipundaknya terus menggaruk dan mencomot ke belakang,
hingga kulit dagingnya membusuk makin dedel dowel,
erangan kesakitan menjadikan bunyi suaranya mirip binatang
buas yang kelaparan, tidak mirip lagi suara manusia.
Pertempuran besar dalam aula berhenti dengan sendirinya,
semua menyaksikan adegan yang mengerikan ini tiada
seorang pun yang tidak bergidik merinding.
Le Bun pernah membunuh orang, kapan dia pernah
saksikan keadaan yang mengerikan seperti ini, saking seram
dan ngeri mukanya pucat pasi dan menubruk dalam pelukan
Liok Kiam-ping. "Jangan takut," hibur Kiam-ping, "dia terkena racun."
Belum habis dia bicara, didengarnya Ham-hun Siansu
mendadak meronta bangun mencelat lima kaki, waktu badan
terbanting jatuh lagi jiwapun melayang. cepat sekali badannya
yang membusuk bartambah besar dan berobah menjadi cairan
hitam. Liok Kiam-ping menghela napas, katanya: "Biarlah mereka
pergi, keadaan sudah cukup mengerikan-'
Seperti berlomba saja yang masih hidup segera angkat
langkah seribu, tidak sedikit diantaranya yang terluka, namun
yang terluka parah dan masih tinggal juga ada belasan orang.
Menyapu pandang sekeliling ruangan, Kiam-ping berkata:
"Sejak kini Hong lui-bun mendirikan pangkalannya di sini,
mulai membuka perguruan, menerima murid mengembang
biakkan kebesaran Hong-lui-bun."
Belum habis dia bicara derap lari kuda yang ramai
berkumandang diluar. seorang membentak dengan suara
keras, mendengung seperti lonceng: 'siapa berani membunuh
anak pungutku " Liong-ongya ada disini."
"Liong-ong-ya ?" Le bun menegas heran-
"Liong-ong-ya ?" Siang Wi juga ikut berseru kaget. cepat
sekali muncul seorang kakek diambang pintu, alis tebal mata
harimau dengan batok kepala besar hampir sebesar
kepalannya sendiri. Kontan Siang wi naik pitam, dampratnya:
"Kentut makmu delapan belas kali, kau tua-tua kecil ini juga
berani menamakan diri apa Liong-ong-ya (raja naga)
Bukankah kau inijuga manusia ?"
Baru saja kaki melangkah masuk, orang itu sudah terkejut
oleh bentakan Siang wi yang menggeledek. tampak seorang
lelaki raksasa tinggi besar dengan kulit badan hitam berdiri
bertolak pinggang, seketika dia tertawa, serunya: "Hahaha,
kiranya kau bocah gede ini, hayolah kemari, rasakan Pat-potong-
jin Liong-ong-ya punya." Perawakannya juga tinggi
gemuk. tapi gerak geriknya ternyata lincah juga, sekali lompat
setombak lebih dicapainya, tahu-tahu sudah berdiri di depan
Siang Wi. Melihat mayat bergelimpangan, tak sedikit anggota badan
yang protol dan tercacah tercerai berai, hatinya juga kaget
dan ngeri, bentaknya: "Bocah gede bagaimana kalau kita
saling hantam tiga kali." sembari bicara manusia tembaga kaki
satu ditangannya sudah mengepruk dari atas kebawah, kepala
Siang Wi dipukul. Siang Wi percaya akan tenaga raksasanya, yakin selamanya
tiada orang yang berani adu kekuatan dengan dirinya,
kenyataan kakek tua ini menantang adu tenaga, maka dia
tertawa besar, serunya: "Kakek cilik, kau memang
menyenangkan-" King-thian-pang (pentung penyanggah
langit) terangkat sekali ayun dia pun kerahkan tenaga
memapak pukulan gada lawan-
"Prang." begitu keras sampai pekak genderang telinga
orang, keduanya tampak tergentak mundur selangkah, tiada
yang kalah atau menang. Siang Wi berteriak: "Kakek cilik, nah giliranmu merasakan
pentungku." kali ini pentungnya menyamber miring, deru
anginnya seperti bunyi knalpot truk disel yang terlalu berat
membawa muatan ditanjakan, dari pentungnya timbul pusaran
angin yang bergulung-gulung sehingga orang-orang yang
menonton diluar gelanggang disampuk mundur.
Ternyata Liong-ong-ya juga mengayun Pat-po-tong-jin, tak
mau mengalah kembali dia menangkis. "Prang" suara lebih
keras, badan mereka tampak limbung, tanpa kuasa keduanya
menyurut dua tindak. lantai marmer dalam ruang besar ini
sampai terinjak pecah. Ki-ling-sin (malaikat sakti raksasa) melotot matanya, sambil
meraung segera dia menerkam bersama pentungnya, dimana
samberan bayangan kelabu melesat diudara, cepat dan
dahsyat laju kekuatannya.
Liong-ong-ya juga menggerakkan pula Pat-po-tong-jin
ditangannya, badan sedikit jongkok, seluruh tenaga dalam
dikerahkan, otot hijau di jidatnya sudah merongkol keluar,
bibir juga terkatup kencang, wajahnya mengkilap berminyak
oleh keringat. Bagai ular hijau keluar lobang, secepat dan
aneh balas menyerang. "Prang" benturan keras ketiga kalinya membuat
pergelangan tangannya tergetar dua kali, keringat dijidatnya
rontok berhamburan, kedua kakinya amblas kedalam lantai
empat dim. Pentung besar Siang Wi mencelat mumbul keatas seperti
terayun setengah lingkar lalu dia tarik turun dan dikempit
dibawah ketiaknya, gelak tawa pecah dari mulutnya yang
terpentang lebar. Teriaknya: "Puas sungguh puas. Kakek cilik,
sungguh hebat kau." Lengan Liong-ongya kesemutan pegal, tapi dia tertawa
getir, katanya: "Bocah gede, kau ini Ki-ling-sin atau Lat-pakkiuking
?" Perlu diketahui Liong-ongya sejak dilahirkan juga memiliki
tenaga raksasa, jadi kekuatannya sudah pembawaan sejak
kecil, waktu mudanya dengan senjata gada tembaganya itu,
dia pernah malang melintang di daerah ciat-kang dan
sekitarnya, tiada orang yang mampu menahan tiga kali
pukulannya, apa lagi dia mahir berenang, sehari semalam
menyelam dalam air juga tidak bakal mati, maka di daerah citong-
kang dia mendirikan pangkalan dan mengangkat dirinya
menjadi cecu. ---ooo0dw0ooo--- Selama puluhan tahun pengaruh kekuasaannya melebar
sampai Thay-ouw, ketenarannya makin luas kesegala pelosok
dunia, namun kebiasaan mengajak orang bertanding tiga jurus
tidak pernah padam, terutama bila bertemu lelaki kekar, dia
pasti menantangnya. Tapi hari ini dia ketemu Siang Wi, tiga
jurus serangan dahsyatnya betul-betul ketemu tandingan
setimpal, karena heran dan kagum maka dia mengajukan
pertanyaan. "Apa "Jadi masih ada keparat bernama Lat-pak-kiu-king "
dimana dia " siang Wi akan mencarinya dan menantangnya
adu kekuatan-" Mendadak mimik muka Tio Tin-thian kelihatan murung dan
rawan aneh perobahan mimik mukanya ini, katanya menghela
napas: "Betapapun aku sudah tua " tapi baru beberapa patah
mendadak dia tampar mulut sendiri seraya memaki: "Keparat,
baru berusia lima puluh tahun sudah mengeluh tua, manusia
hidup tujuh puluh tahun baru mulai tua." selesai dia berkata
diluar terdengarlah pekik sorak dan jerit kesakitan-
Tio Tin-thian kaget, bentaknya menggelegar: "Ada apa
anak-anak" Hayolah masuk semua."
"Kakek cilik, kentut makmu busuk" damprat siang Wi gusar,
"kau memanggilku anak-anak. cuh, rasakan pentungku."
dengan langkah lebar dia memburu seraya mengayun pentung
menyerang dengan jurus pertama Liu-sa-loh-kim dari ilmu
pentung enam belas gelombang sungai mengamuk.
Tio Tin-thian menggerung gusar pula, pergelangan tangan
diturunkan, secara lincah tembaga kaki tunggal ditangannya
menyelinap dari samping balas menyerang, yang di incar
adalah Ki-bun-hiat dan Yo-kin-hiat di dada dan ketiak lawan,
serangan secepat kilat juga.
Melihat lawan berani mengadu kekerasan, Siang Wi
membentak gusar: "Neneknya. kau tua bangka kerdil sangka
aku ini orang bodoh " Mau menutuk Hiat-to ya " Ketahuilah,
aku tidak takut ditutuk." ujung pentung diketuk kebawah,
badannya mencelat keatas beruntun dia merobah dua
langkah, maka kelincahan dari Liu-hen-hwi-bu segera dia
kembangkan, jurus Bu-bong-ling-thay (halimun tebal diatas
panggung) dikembangkan mengaburkan pandangan orang,
satu pentung berobah menjadi belasan batang serempak
menyodok kedada lawan- Pada saat itulah diluar terdengar gelak tawa dan sorak sorai
yang riuh rendah, bayangan merah tampak berkelebatan
melompat masuk. Gelak tawa orang banyak berpadu didalam
aula begitu kerasnya sehingga genteng seperti bergetar,
jendela juga gemeratak seperti diguncang gempa.
Maka berdirilah seorang tua berambut panjang terurai
dipundak dengan gelang emas tipis melingkar dikepalanya,
jubah merah menyala, mulut terpentang lebar menunjukkan
barisan giginya yang rata putih sedang bergelak tawa.
Melihat orang tua rambut panjang jubah merah ini, urat
syaraf Liok Kiam-ping seketika mengencang, kedua matanya
lekat menatap orang tua yang tertawa latah ini. Kim-ji-taybeng
melongo, serunya: "Hwe hun-cun-cia."
Tersirap perasaan Liok Kiam-ping, sungguh tak nyana
musuh pembunuh ayah dan pemenggal buntung lengan
ibunya ternyata muncul di sini, sekejap ini tak kuasa dia
mengendalikan emosi, tubuhnya gemetar, bola matanya
merah menyala. Kakinya melangkah setapak seorang terasa
menarik bajunya, bisiknya: "ciangbun jangan terlalu emosi dan
tegang, kendalikan ketenanganmu.'
Mencelos hati Kiam-ping, seketika dia sadar, lekas dia
menarik napas panjang, pelan-pelan dia melolos cui-le-kiam
yang terselip dipinggang diserahkan kepada Gin-ji tay-beng,
lalu membuka jubah luar, maka tampak dia mengenakan
pakaian ringkas. Maju dua langkah dia berkata: "Yang datang
apakah Hwe-hun-cun-cia ciangbunjin Hwe hun-bun "'
Menyapu mayat-mayat yang tumpang tindih dilantai, Hwehun-
cun-cia bergelak tawa katanya . "Anak muda, apakah kau
Hun-bin kiam-khek "'
Kiam-ping tidak layani pertanyaannya, maju lagi dua
langkah baru berkata: "Apa kau masih ingat seorang yang
bernama Liok Hoat- liong "'
Hwe-hun-cun-cia geleng kepala, katanya: 'Selama hidup
betapa banyak jiwa berkorban ditangan Lohu, mana bisa
kuingat satu persatu nama setiap korban" Untuk apa kau
tanya soal ini anak muda?"
Liok Kiam-ping menjengek, katanya:
"Liok Hoat-liong gugur ditanganmu, isterinya juga kautabas
buntung lengannya, apa kau sudah melupakannya ?"
Berkerut alis Hwe-hun-cun-cia, katanya:
"Setan gentayangan dibawah tanganku tak terhitung
banyaknya, mana bisa kuingat Liok Hoat-liong " Anak muda,
sekarang giliranku bertanya. Soalnya beberapa waktu yang
lalu di Se-lam aku bertemu dengan Khong-tongkoay-kiam,
katanya dia telah menemukan tunas muda ajaib yang jarang
ditemukan selama ratusan tahun di Bulim, tunas muda yang
jenius itu akan kuambil, secara bergiliran kita tua-tua
bangkotan ini akan menggembleng menjadikan dia
mempunyai tulang baja otot kawat, yakin kelak dia akan dapat
menandingi Pat-pi-kim-liong ..."
Liok Kiam-ping terloroh-loroh, katanya: "Tua bangka,
tahukah kau siapa Pat-pi- kim-liong " Ketahuilah, aku adalah
putera Liok Hoat-liong, ini rasakan pukulanku." menghadapi
musuh pembunuh ayah dan melukai ibunya ini, sungguh
Kiam-ping sukar menahan emosi, baru beberapa patah dia
sudah menerjang maju. Tangan tunggal bergerak badanpun berkisar, jurus Llongkiap-
sin-gan dilontarkan, bayangan telapak tangan bertaburan
menimbulkan pusaran angin kencang pula, sederas gugur
gunung melanda kedepan. Hwe-hun-cun-cia tidak menduga bahwa kehadirannya
disambut oleh sejurus serangan aneh dan lihay ini, sekilas
melenggong, secepat kilat dia menyurut setengah tapak
sambil mengebut lengan baju, bayangan merah laksana
segumpal mega membungkus tubuhnya seluas setombak
menerjang kedepan pula. "Pyaaar," terasa oleh Liok Kiam-ping jalur-jalur tenaga
sebanyak ribuan menyusup tiba dari setiap lobang yang
mungkin ditembus menerjang dirinya, pukulan yang
dilancarkan ternyata tidak mampu membendung kekuatan
lawan, sebaliknya dia merasakan tenaga pukulannya
membentur dinding karang dingin yang besar, telapak
tangannya tergetar sakit dan kemeng, tak kuasa dia menahan
tegak tubuhnya terpaksa mundur selangkah.
Semula Hwe-hun-cun-cia hanya mengerahkan enam bagian
tenaganya, tak nyana begitu bentrokan terjadi, hatinya
tersirap kaget karena tidak menyangka pemuda berusia belum
genap duapuluh ini ternyata membekal tenaga pukulan
puluhan tahun. Lekas dia himpun kekuatan dalamnya
menambah tenaga hingga delapan bagian, baru berhasil
menahan serangan lawan- begitu merasakan pusaran tenaga
lawan yang hebat itu, seketika
Jilid 12 halaman 17 s/d 24 Hilang
sambil menahan napas Kim-gin-hu-hoat sudah bergebrak
tiga puluhan jurus dengan Hwe-hun-cun-cia, keadaan mereka
sudah mulai terdesak, untung Liok Kiam-ping lekas datang
dengan girang mereka berkata:
"Ciangbun masih segar bugar. baiklah kami akan keluar,
asap disini terlalu tebal menyesakkan napas."
Gin-ji-tay-beng juga berkata: "ciangbun desak dia keluar
untuk berhantam diluar, di sini terlalu panas " hanya beberapa
patah dia sudah batuk-batuk. matapun pedas mencucurkan air
mata. lekas dia melompat terbang keluar.
Melihat sesosok bayangan menerjang datang dari tengah
asap tebal, Hwe-hun-cun-cia sudah menduga pasti Liok Kiamping
yang datang, terkejut juga hatinya akan semangat juang


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak muda ini yang tidak kenal takut. Disaat hati kaget itulah
otaknyapun teringat akan Liatjit-kiam, karuan hatinya tersirap.
segulung tenaga dahsyat kontan menembus bolong asap tebal
menggempur kearah bola api bundar yang menyala itu.
Liok Kiam-ping merasakan pukulan dahsyat lawan
menimbulkan goncangan dahsyat dibatang pedangnya, lekas
dia membentak seluruh hawa murninya dikerahkan di mana
pergelangan tangan berputar, serangan dia robah menjadi
Liat-jit-yam-yam. Hwe bun-cun-cia memicing mata, namun pancaran cahaya
pedang lawan memang terlalu benderang sehingga matanya
Kisah Pedang Di Sungai Es 15 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Pendekar Lembah Naga 20
^