Teror Macan Putih 2
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih Bagian 2
seluruh penjuru tempat itu.
Jelas, pemuda berjubah biru itu mengerahkan tenaga dalam pada suitannya.
Rara Inggar sampai menekap telinga dengan kedua
tangan. Suitan itu memang membuat telinga berdenging dan kakinya menggigil. Dari
sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda
berjubah biru itu.
Sesaat kemudian terdengar suara bergemuruh. Di
kejauhan tampak seekor kuda berwarna coklat berlari cepat menuju ke arah mereka.
Debu yang mengepul tinggi terlihat di belakangnya.
"Itulah kudaku..., Kilat namanya," jelas pemuda berjubah biru itu seraya
menudingkan telunjuknya ke arah kuda coklat yang semakin lama semakin dekat.
Sampai akhirnya, kuda itu telah berada dekat dengan dengan dirinya.
Kuda coklat itu meringkik riang, ketika melihat pemuda berjubah biru. Dengan
sikap manja, kepalanya digesek-gesekkan ke dada majikannya.
Pemuda berjubah biru itu mengusap-usap leher
binatang tunggangannya. Kemudian....
"Hup...!"
Hanya sekali genjotkan kaki, tubuh pemuda berjubah biru telah melayang ke atas.
Kemudian, dia hinggap di atas punggung kuda. Manis dan indah gerakannya.
"Seekor kuda yang baik...." puji Rara Inggar tulus.
"Hm...," hanya gumam perlahan pemuda berjubah biru yang menyambut ucapan Rara
Inggar. Rara Inggar berdecak pelan. Lalu tali kekang kudanya digeprak. Sekejap kemudian,
binatang tunggangan itu mulai berlari meninggalkan kepulan debu pekat di
belakangnya. Pemuda berjubah biru itu pun melakukan hal yang
sama. Sesaat kemudian, kuda coklat itu melesat menyusul kuda Rara Inggar yang
telah melesat lebih dahulu.
*** 4 Rara Inggar yang ingin segera memberi tahu tentang malapetaka yang menimpa orang
tuanya, segera memacu kudanya secepat mungkin. Pecut di tangannya berkali-kali
menyengat bagian belakang kuda tunggangannya.
Rara Inggar memang memaksa kudanya agar berlari
secepat mungkin. Sementara pemuda berjubah biru itu sama sekati tidak memaksa
kudanya. Pecutnya hanya sesekali saja dilayangkan. Tapi ternyata, lari kedua
kuda itu bersisian! Jelas, kuda yang bernama Kilat itu bukan kuda sembarangan.
Bahkan ketika memasuki Desa Mentawa. Rara Inggar tetap tak mengendurkan lari
binatang tunggangannya.
Bahkan pecutnya terus saja diayunkan.
Pemuda berjubah biru itu menggeleng-gelengkan
kepala melihat kelakuan Rara Inggar. Tapi, dia pun harus memacu kudanya pula
kalau tidak ingin tertinggal.
Akibatnya, malam yang larut dan semula hening men-cekam, dipecah suara gemuruh
derap langkah dua ekor kuda.
Dua ekor kuda itu terus saja berpacu, sekalipun telah memasuki desa. Para
penduduk yang terjaga dari tidurnya karena gemuruh derap kaki kuda hanya bisa
menyumpah serapah. Beberapa di antara mereka malah ada yang bangkit dan
pembaringan. Dibukanya jendela, dan kepalanya melongok keluar. Semua itu
didorong rasa ingin tahu terhadap orang tidak tahu diri yang telah menimbulkan
suara berisik itu!
Tapi yang mereka jumpai hanya gumpalan debu pekat yang ditinggalkan. Sementara,
penyebab suara bergemuruh itu sudah tidak tertihat lagi.
Memang, Rara Inggar dan pemuda berjubah biru itu telah berada di tempat yang
jauh dari pemukiman
penduduk. Di sini gadis berpakaian merah baru memperlambat lari kudanya.
Lagi-lagi pemuda berjubah biru itu ikut pula memperlambat lari binatang
tunggangannya. "Apa yang kau ketahui tentang Gerombolan Macan Putih. Nisanak?" tanya pemuda
berjubah biru. Dia masih tetap memanggil seperti sebelumnya. Rupanya hatinya
tidak berminat mengetahui nama gadis berpakaian merah itu. Rara Inggar
menggelengkan kepala.
"Kau tahu?" Gadis itu malah balas bertanya
"Sedikit. Karena sebelum Gerombolan Macan Putih menyerbu perguruan ayahmu yang
terletak di Desa Kaung, aku telah beberapa kali melihat hasil perbuatan
mereka...."
"Bisa kau jelaskan tentang Gerombolan Macan Putih?"
pinta Rara Inggar.
Pemuda bertubuh kekar itu mengangguk.
"Gerombolan Macan Putih mempunyai puluhan anak buah. Pemimpinnya adalah orang
yang berhadapan
dengan ayahmu. Sedangkan yang bertarung melawan
ibumu adalah wakilnya," jelas pemuda berjubah biru itu.
"Kedua orang itu memiliki tiga orang pemimpin regu. Setiap pemimpin regu
mempunyai empat orang pemimpin
kelompok yang masing- masing memiliki belasan bawahan lagi."
Rara Inggar mengernyitkan dahinya mendengar
penuturan pemuda bertubuh kekar tentang Gerombolan Macan Putih. Rupanya, dia
merasa bingung mendengar uraian itu.
"Lalu... bagaimana kita tahu kalau orang yang dihadapi adalah keroco, pemimpin
kelompok, atau pemimpin regu?"
tanya Rara Inggar lagi beberapa saat kemudian, setelah berhasil mencerna
penjelasan tadi.
"Dari gambar kepala macan pada pakaian mereka,"
jawab pemuda itu. "Kau bisa lihat perbedaan antara sulaman gambar macan pada
orang yang merobohkanmu, dan belasan lainnya."
Rara Inggar tercenung sejenak untuk mengingat-ingat.
"Ya. Pada orang yang merobohkanku, di dada kirinya tersulam dua kepala macan,"
jawab Rara Inggar.
"Sedangkan pada kepala kelompok ada tiga buah, dan berbentuk segi tiga ," jelas
pemuda berjubah biru lagi.
Mendadak Rara Inggar menarik tali kekang, sehingga kudanya langsung berhenti.
Tentu saja pemuda berjubah biru itu terkejut melihat sikap Rara Inggar. Maka
ucapannya kontan terhenti.
Pandangannya pun diarahkan ke depan, ke arah yang ditatap gadis berpakaian merah
itu. Pemuda bertubuh kekar langsung mengangguk-
anggukkan kepala ketika melihat belasan sosok tubuh berpakaian hitam bersulamkan
gambar kepala macan putih di dada kiri. Mereka berdiri menghadang jalan, dalam
jarak sekitar sepuluh tombak di depan.
"Gerombolan Macan Putih...," desah pemuda berjubah biru itu pelan.
"Yaaah...," sahut Rara Inggar, mendesah. "Dua di antara mereka mempunyai sulaman
tiga kepala macan di dada kiri...."
Pemuda bertubuh kekar mengalihkan pandangannya.
Ditatapnya wajah gadis di sebelahnya lekat-lekat.
"Kau takut?"
"Tak ada kata takut dalam kamus hidupku," tegas Rara Inggar.
"Tapi, nada suaramu..," pancing pemuda itu lagi
"Hanya menyadari keadaan," desah Rara Inggar lirih.
"Maksudmu ..?"
"Menghadapi pemimpin kelompok saja, aku tidak mampu... Apalagi menghadapi
pemimpin regu...."
"Hhh...!"
Pemuda bertubuh kekar itu menghembuskan napasnya yang berat, mendengar ucapan
Rara Inggar. "Kau coba dulu, Nisanak," saran pemuda berjubah biru itu. "Sisanya, biar
kuhadapi. Andaikata kulihat kau terdesak, baru akan kubantu. Yang penting, kau
harus tiba di tempat tinggal kedua paman gurumu!"
Rara Inggar menoleh. Ditatapnya wajah pemuda berjubah biru itu dengan sepasang
mata merembang berkaca-kaca. Hatinya merasa terharu melihat pembelaan yang
dilakukan pemuda di sebelahnya. Padahal mereka belum saling mengenal nama! Tidak
disangka, di balik sikap dinginnya, tersembunyi hati yang baik!
Perlahan-lahan Rara Inggar mengulurkan tangan,
kemudian menggenggam pergelangan tangan pemuda bertubuh kekar itu.
"Terima kasih.... Kau... kau baik sekali...."
Hanya itu yang bisa diucapkan Rara Inggar. Itu pun dengan suara serak dan
terputus-putus karena rasa haru yang mencekik tenggorokan.
"Sudahlah," kata pemuda berjubah biru sambil mengulapkan tangannya. "Hentikan
segala kecengengan ini, Nisanak! Sekarang yang perlu dilakukan adalah menghadapi
lawan yang telah berada di hadapan kita."
Kepala Rara Inggar bagai direndam dalam air es.
Pemuda berjubah biru itu benar! Sekarang memang bukan saatnya bersedih! Maka
tanpa membuang-buang waktu lagi, ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya
kuat-kuat untuk melegakkan dadanya yang terasa sesak akibat rasa haru yang
melanda. "Hih...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki Rara Inggar mendarat di tanah. Hal yang sama pun
dilakukan pemuda bertubuh kekar. Hanya saja, Rara Inggar harus menambatkan
kudanya, karena khawatir binatang itu lari. Sementara, pemuda berjubah biru sama
sekali tidak melakukannya.
"Ng... Sebelum mati aku ingin mengenal namamu, Kisanak. Aku, Rara Inggar. Biasa
dipanggil Inggar," kata gadis berpakaian merah itu memperkenalkan diri.
Pemuda berjubah biru menoleh ke arah Rara Inggar yang berdiri di sebelah
kirinya. "Rupanya kau termasuk orang yang berjiwa rapuh juga, Ni.... eh.... Inggar," kata
pemuda bertubuh kekar itu tanpa peduli kalau kata-katanya membuat selebar wajah
gadis berambut dikuncir itu merah. "Sebenarnya, aku paling tidak suka dengan
kecengengan-ke-cengengan seperti ini. Aku sudah terbiasa hidup keras! Tapi,, tak
apalah. Namaku, Suta!"
*** "Pemuda keparat!" maki Jalatang.
Rupanya, dia tak kuat lagi menahan sabar melihat Suta dan Rara Inggar masih
tenang-tenang saja. "Sebentar lagi kau akan mengenal orang-orang Gerombolan
Macan Putih!" "Menyingkir, Jalatang," perintah seorang laki-laki tinggi kurus.
Menilik dari sikapnya yang berani memerintahkan
Jalatang yang merupakan pemimpin kelompok, bisa
diperkirakan kalau kedudukannya lebih tinggi.
Hal ini dibuktikan oleh sulaman kepala macan berwarna putih. Jumlah sulamannya
ada tiga buah, dan terdapat pada dada kiri pakaiannya yang berwarna hitam.
Memang, laki-laki tinggi kurus itu adalah pemimpin regu!
Jalatang tidak berani membantah. Dengan sikap lesu dan kepala tertunduk, kakinya
melangkah mundur. Dibiarkan saja laki-laki tinggi kurus itu yang melangkah maju
lebih dahulu. Saat itu, bukan dirinya yang menjadi pimpinan. Di situ, masih ada
dua orang lagi yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripadanya. Jabatan mereka
adalah pemimpin regu. Mereka adalah laki-laki tinggi kurus yang tadi menyuruhnya
menyingkir, dan laki-laki bertubuh pendek gemuk yang berdiri di sebelah laki-
laki tinggi kurus.
Tambahan lagi, keadaan diri Jalatang memang tidak memungkinkan untuk bertarung.
Luka-luka yang diderita-nya akibat tindakan Suta masih belum pulih, meskipun
memang telah diobati.
"Kau hadapi orang yang bertubuh tinggi kurus itu, Inggar," kata Suta
menganjurkan. "Biar sisanya aku yang urus."
Tanpa menunggu persetujuan Rara Inggar, Suta
langsung melompat ke arah kerumunan Gerombolan
Macan Putih, sebelum mereka bergerak mengurung dan membuat rencananya kacau.
Suta benar-benar memburu waktu. Selagj tubuhnya
masih berada di udara, kedua tangannya diputar-putarkan dengan arah gerakan dari
luar ke dalam. Memang sungguh dahsyat serangan Suta. Dari kedua tangannya yang berputaran itu
keluar angin keras yang berhembus ke arah Gerombolan Macan Putih.
Gerombolan Macan Putih yang sama sekali tidak
menduga hal itu, kontan menerima akibatnya. Tubuh-tubuh mereka berpentalan tak
tentu arah ke belakang, bagaikan terlanda angin ribut.
Hanya ada beberapa orang di antara mereka yang tak terjengkang, karena sempat
mengerahkan tenaga dalam ke arah kaki sehingga seolah-olah berakar di bumi.
Mereka adalah dua orang pemimpin regu dan seorang pemimpin kelompok, selain dari
Jalatang. Karena, tubuh Jalatang sendiri terjengkang ke belakang.
Meskipun ketiga orang pemimpin itu tidak ikut terjengkang, bukan berarti mereka
bebas dari deru angin keras yang keluar dari putaran tangan Suta. Memang, mereka
tidak jatuh, tapi tetap saja tubuhnya bergeser jauh ke belakang. Sedangkan kedua
kaki mereka tetap
menempel di tanah, sehingga menimbulkan geseran cukup dalam di tanah. Dan
hasilnya, pimpinan kelompok terseret sejauh tiga tombak lebih, sedangkan kedua
pimpinan regu hanya terhuyung sekitar dua tombak.
"Gila...! Pemuda keparat itu memiliki tenaga dalam luar biasa, Kakang
Samparan...," desis pimpinan kelompok itu begitu melihat kemampuan lawan,
sehingga membuatnya kaget.
"Kita harus hati-hati menghadapinya, Karugi," sahut pimpinan regu yang bertubuh
tinggi kurus. "Bukan begitu, Bangor."
Bangor yang ternyata pemimpin regu yang bertubuh pendek gemuk mengangguk,
membenarkan. Namun baru saja Bangor menghentikan anggukannya, Suta sudah melayang ke arah
mereka seraya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Bangor dan Karugi.
Karuan saja kedua orang itu terkejut bukan kepalang.
Buru-buru mereka melempar tubuh ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara. Lalu, mereka mendaratkan kedua kaki masing-
masing di dekat belasan anggota Gerombolan Macan Putih yang tadi terjengkang ke
sana kemari. Suta tidak bertindak sampai di situ saja. Kembali tubuhnya melesat cepat ke arah
Bangor dan Karugi yang berkumpul bersama belasan anggota Gerombolan Macan Putih.
Dibiarkan saja Samparan yang tertinggal sendiri.
Suta memang sengaja membuat Samparan terpisah
dengan gerombolannya, agar Rara Inggar dapat tenang menghadapi laki-laki tinggi
kurus itu. Sadar kalau Suta merupakan lawan yang amat
tangguh, Bangor tidak segan-segan memerintahkan
seluruh anak buahnya untuk turun tangan.
"Serbu...!" seru laki-laki pendek gemuk itu.
Srrrt..! Srrrt..!
Sinar-sinar terang berkeredep dari tenjata golok Gerombolan Macan Putih yang
tercabut dari sarungnya.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit antara Suta melawan Gerombolan Macan Putih
di bawah pimpinan Bangor berlangsung sengit.
*** "Kau dengar suara itu, Melati?" tanya seorang pemuda tampan berpakaian ungu.
Kepalanya langsung menoleh ke arah gadis cantik
berpakaian putih yang berada agak jauh di belakangnya.
Gadis itu duduk di cabang sebuah pohon, dan punggungnya disandarkan pada
batangnya. Kepala pemuda berpakaian ungu itu agak dimiringkan.
Sehingga rambutnya yang panjang meriap dan berwarna putih keperakan, terurai
menutupi bahunya.
Gadis berpakaian putih yang tidak lain memang Melati, dengan malas membuka
matanya. Lalu kepalanya dimiringkan sebentar, baru kemudian mengangguk.
"Sepertinya suara denting senjata orang bertarung, Kang Arya.... Arahnya dari
sana...," sahut Melati sambil menudingkan telunjuknya ke arah Utara.
"Kau benar, Melati. Bagaimana kalau kita melihatnya sebentar?" usul pemuda
berambut putih keperakan yang tak lain dari Arya Buana alias Dewa Arak.
"Aaah...! Kau ini ada-ada saja, Kang...," rutuk gadis berpakaian putih itu. "Waktu
telah menjelang pagi. Apakah kau tidak mengantuk" Nanti saja kita lihat asal
suara riuh itu." "Tidakkah itu terlalu lambat, Melati?" bantah Arya setengah
membujuk. "Bagaimana kalau di sana sebetulnya ada orang yang tengah membutuhkan
pertolongan kita."
"Tapi aku ngantuk, Kang. Ngantuk sekali! Jangankan untuk bertarung,
mempertahankan agar mataku tetap terbuka saja sudah sulit"
Dewa Arak tercenung sebentar.
"Kalau begitu..., biar aku yang pergi saja ke sana..."
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan aku di sini, berteman nyamuk-nyamuk hutan"
Begitu?" sambung Melati merajuk.
"Kalau memang itu yang kau inginkan." goda Dewa Arak.
"Hhh...!"
Melati menghembuskan napas berat, lalu menjauhkan punggungnya dari batang pohon.
"Bagaimana?" tanya Arya lagi dengan senyum di bibir.
"Ingin berteman nyamuk di sini... atau ikut denganku melihat keramaian di sana?"
"Kau memang paling pintar memutarbalikkan ucapan, Kang," kata gadis berpakaian
putih itu. Mulutnya tampak memberengut kesal.
"Jadi...?" Arya menggantung ucapannya.
"Yahhh.... Aku lebih suka berteman denganmu daripada berteman dengan nyamuk-
nyamuk di sini..," sahut Melati bernada keluhan.
"Ha ha ha...!" tawa pemuda berambut putih keperakan itu meledak. "Sudah
kuduga...."
"Kau memang keterlaluan, Kang..." hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan Melati.
Dengan tawa pelan yang masih keluar dari mulutnya, Dewa Arak mengulurkan tangan
ke arah guci yang tergantung di cabang pohon. Dibukanya ikatan tali di cabang
pohon yang membuat gucinya tergantung, kemudian di-sampirkannya ke punggung.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki pemuda berpakaian ungu itu mendarat di tanah.
Pada saat yang sama Melati juga mendaratkan kakinya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, sepasang
pendekar yang sama-sama digdaya itu melesat cepat menuju ke arah asal suara
denting senjata beradu yang terdengar.
Ilmu meringankan tubuh Dewa Arak dan Melati
memang telah mencapai tingkatan tinggi. Tidak heran ketika melesat, bentuk tubuh
mereka tidak nampak lagi.
Yang terlihat hanya sekelebatan bayangan ungu dan putih yang tidak jelas
bentuknya. Berbeda dengan Melati yang mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuhnya. Dewa Arak hanya mengeluarkan sebagian saja. Karena
kalau dikerahkan seluruhnya, jelas gadis itu akan tertinggal. Sedangkan pemuda
berambut putih keperakan itu tidak menginginkan hal itu terjadi.
Semakin lama, denting senjata beradu itu terdengar semakin jelas.
"Tidak salah lagi, Melati. Rupanya di sana tengah terjadi pertarungan," kata
Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah semak-semak dan pepohonan yang
berada tak jauh di hadapannya.
Hanya beberapa kali melangkah, sepasang pendekar muda itu telah berada di dekat
semak-semak dan
pepohonan. Dan memang, suara berisik itu berasal dari sana.
Dengan gerakan perlahan dan hati-hati sekali, Dewa Arak dan Melati menggenjotkan
kakinya. Kontan tubuh mereka melayang ke atas, dan mendarat ringan laksana
seekor burung di cabang pohon.
Begitu telah berada di atas pohon, kedua orang itu langsung mengedarkan
pandangan ke bawah. Dan dalam keremangan sinar rembulan di langit, tampaklah
seorang pemuda berjubah biru tengah bertarung menghadapi belasan orang
berpakaian hitam. Tak jauh dari tempat itu, nampak seorang gadis berpakaian
merah dan seorang laki-laki tinggi kurus tengah memperhatikan jalannya
pertarungan. "Kurasa pemuda itu tidak memerlukan bantuan kita, Kang...," kata Melati pelan,
setelah memperhatikan pertarungan antara pemuda berjubah biru dengan belasan
orang Gerombolan Macan Putih.
"Kau benar, Melati." sahut Dewa Arak seraya menganggukkan kepala.
"Kau mengenai mereka, Kang...?" tanya Melati lagi ingin tahu.
Arya menggeleng.
"Makanya, jangan sembarangan turun tangan dulu, Melati. Kita tidak tahu
permasalahannya, dan juga tidak tahu siapa yang benar dan salah. Tidak bijaksana
kalau kita ikut campur. Kecuali... kalau keadaan memaksa demikian."
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Dia memang
sudah tahu betul watak kekasihnya. Dan meskipun ter-kadang tidak setuju dengan
tindakan yang diambil Arya, tapi kenyataan yang terjadi selalu membuktikan
kebenaran perbuatan Dewa Arak!
Kini Melati dan Arya kembali mengalihkan perhatian ke arah pertarungan yang
berlangsung di bawah sana.
Ternyata ada sedikit perubahan yang terjadi. Gadis berpakaian merah yang sejak
tadi memperhatikan jalannya pertarungan, mulai melangkah menghampiri laki-laki
bertubuh tinggi kurus yang juga sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan.
*** Samparan tersenyum mengejek ketika melihat Rara
Inggar bergerak menghampirinya.
"Jangan harap bisa lolos dan Gerombolan Macan Putih, Wanita Liar...!" dengus
laki-laki tinggi kurus itu.
Rara Inggar sama sekali tidak menggubris ancaman Samparan. Gadis berpakaian
merah itu sadar kalau lawan yang ada di hadapannya memiliki kepandaian tinggi.
Dan itu bisa diperkirakan karena dia telah merasakan sendiri kelihaian Jalatang.
Oleh karena itu, Rara Inggar tidak mau bersikap main-main lagi. Segera
dikeluarkan ilmu andalannya. Jurus
'Trenggiling', yang menjadi andalan kakek gurunya. Dengan ilmu itulah, kakek
gurunya yang berjuluk Dewa Muka Putih menaklukkan Raja Ular Pelenyap Sukma.
"Hih...!"
Rara Inggar melompat ke depan, kemudian bergulingan di tanah mendekati lawan.
Dan begitu telah berada di dekat Samparan, kedua kakinya melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
"Heh..."!"
Seruan keterkejutan keluar dari mulut Samparan. Dia tahu betul kedahsyatan
serangan itu. Makanya dia tidak berani bertindak ceroboh. Sebongkah batu yang
paling keras pun akan hancur berantakan apabila terkena. Buru-buru laki-laki
tinggi kurus itu melompat ke belakang, sehingga serangan itu hanya menghantam
tempat kosong, beberapa jengkal di depannya.
Tapi serangan Rara Inggar tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuh gadis
berpakaian merah itu kembali bergulingan. Dan tahu-tahu, kedua kakinya telah
meluncur cepat mengancam lutut Samparan.
Seperti juga serangan sebelumnya, serangan kali ini pun didahului deru angin
keras. Jelas, tendangan itu ditopang tenaga dalam kuat.
Kali ini Samparan tidak berani melakukan elakan
seperti semula. Sebagai orang yang telah kenyang makan asam garamnya
pertarungan, laki-laki tinggi kurus itu tahu, kalau melakukan gerakan mengelak
yang sama, serangan lanjutan kembali akan meluncur ke arahnya. Dan hal itu tidak
diinginkannya. Sambil mengeluarkan pekikan keras yang menyakitkan telinga, Samparan melompat ke
depan. Dilewatinya tubuh Rara Inggar, lalu dari atas kedua tangannya disampokkan
ke arah kepala lawan.
Wuttt...! Plakkk!
Samparan kontan meringis. Kedua tangannya yang berbenturan dengan kedua kaki
Rara Inggar nyeri bukan kepalang. Entah dengan cara bagaimana, laki-laki tinggi
kurus itu tidak mengerti. Yang jelas, tahu-tahu kedua kaki gadis berambut dikuncir itu telah melindungi kepala.
"Hup...!"
Samparan mendaratkan kedua kakinya di tanah, se-
telah bersalto beberapa kali di udara meski agak terhuyung. Dan begitu
kedudukannya telah diperbaiki, langsung tubuhnya berbalik. Kini dia bersiap-siap
menghadapi serangan susulan.
Dugaan laki-laki tinggi kurus itu ternyata tidak meleset.
Rara Inggar kembali telah menggulingkan tubuhnya.
Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya.
Kini, Samparan tidak bisa bersikap main-main lagi.
Dikerahkan seluruh kepandaian yang dimiliki, kalau tidak ingin mati sia-sia.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit dan mati-matian pun terjadi.
Sebenarnya kalau dibuat perbandingan, Rara Inggar bukan tandingan Samparan.
Laki-laki tinggi kurus itu memiliki banyak keunggulan dibanding lawannya. Baik
tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun
pengalaman bertarung. Tapi karena kedahsyatan jurus
'Tringgiling' yang dimiliki Rara Inggar, keunggulan Samparan jadi tertutupi.
Jurus 'Trenggiling' memang hebat bukan kepalang.
Bahkan pada waktu Dewa Muka Putih yang meng-
gunakannya. Raja Ular Pelenyap Sukma pun roboh
karenanya. Memang, sebenarnya tidak ada satu tokoh pun yang sanggup mengalahkan
Raja Ular Pelenyap Sukma.
Padahal, datuk sesat iu telah merajalela belasan tahun dalam rimba persilatan.
Jangankan mengalahkan,
menandinginya saja tidak ada yang mampu. Ditambah lagi, waktu itu beberapa orang
pentolan golongan putih telah bersatu padu untuk mengeroyoknya.
Sekarang, Samparan yang mendapat kesempatan
untuk menjajaki kehebatan jurus itu. Dan memang, akibatnya laki-laki tinggi
kurus itu kewalahan.
Jurus 'Trenggiling' yang menitik beratkan pada
kemampuan kaki, memang mempunyai kehebatan ter-
sendiri. Setiap serangan dan pertahanan selalu dilakukan dengan kaki. Anehnya,
ke manapun serangan dilakukan lawan, selalu bertemu sepasang kaki. Dan anehnya
lagi, dalam pengerahan jurus ini, tenaga dalam si pemakai jadi bertambah. Kedua
kaki orang yang memiliki jurus ini akan sanggup menahan gempuran lawan. Bahkan
mampu membuat tangan atau kaki orang yang memiliki tenaga dalam tinggi, akan
menjadi terasa lumpuh bila berbenturan.
Sayangnya, Rara Inggar hanya mempunyai beberapa
jurus saja dari delapan Jurus 'Trenggiling'. Bahkan jurus-jurus pamungkasnya pun
tidak dimiliki. Itulah sebabnya, meskipun berhasil mendesak Samparan, tetap saja
tidak mampu merobohkannya.
Samparan menggertakkan gigi, menahan geram.
Pertarungan telah berlangsung hampir dua puluh jurus, tapi tetap saja lawannya
tidak mampu dikalahkan.
Jangankan mengalahkan, mendesak pun tidak mampu.
Malah sebaliknya. dirinyalah yang dibuat pontang-panting oleh Rara Inggar.
Bukan hanya itu saja. Kedua tangan dan kaki
Samparan pun terasa nyeri bukan kepalang, akibat berbenturan dengan kedua kaki
lawan. Kedudukan Rara Inggar memang menyulitkan Samparan untuk melancarkan
serangan. Perasaan marah, malu, dan penasaran bercampur
aduk di hati laki-laki tinggi kurus ini. Dia adalah ketua regu Gerombolan Macan
Putih. Tapi kini menghadapi seorang gadis muda saja dibuat terpontang-panting.
Kalau didengar tokoh tokoh persilatan, mau ditaruh di mana mukanya"
Maka hal ini membuat Samparan jadi kalap bukan
kepalang. Serangan-serangannya pun dengan sendirinya jadi semakin bertubi-tubi.
Suara tangan atau kaki yang berbenturan terdengar berkali-kali. Dan hal ini
selalu membuat seringai kesakitan di mulut Samparan!
Di arena lainnya, pertarungan yang berlangsung antara Suta dengan belasan orang
Gerombolan Macan Putih berlangsung tak kalah seru.
Sepak terjang pemuda berjubah biru ternyata luar biasa. Meskipun lawan yang
dihadapinya banyak, namun dia tidak tampak terdesak. Bahkan tampak jelas kalau
pertarungan benar-benar dikuasainya.
Bangor dan Karugi merasa penasaran bukan main.
Lebih-lebih Bangor. Memang, Jalatang telah menceritakan kelihaian pemuda
berjubah biru itu. Namun sungguh di luar dugaan kalau akan sampai selihai ini.
Setiap serangan yang dilancarkannya, selalu mudah dapat dipatahkan.
Bahkan setiap kali berbenturan, tangan atau kakinya terasa sakit dan nyeri.
Jelas, tenaga dalam lawan berada di atasnya.
Yang lebih hebat lagi, Suta berani menyerahkan badan-nya sebagai tameng, untuk
menerima serangan senjata Karugi dan anak buahnya. Dan hebatnya, pemuda berjubah
biru itu sama sekali tidak terluka! Malah sebaliknya, senjata-senjata itulah
yang terpental balik. Bahkan tangan yang menggenggam senjata pun terasa sakit
bukan kepalang. Namun setiap kali Suta melancarkan serangan
balasan, dapat dipastikan beberapa sosok tubuh akan terjengkang.
Hanya saja yang menjadi bahan pemikiran Bangor.
Lawannya ternyata tak bermaksud menurunkan tangan kejam. Laki-laki bertubuh
pendek gemuk ini pun yakin kalau lawan tidak bersungguh-sungguh menghadapinya.
Hal ini bisa diketahui dari gerakan-gerakan
sembarangan yang dilakukan Suta. Padahal, Bangor ingin mengetahui ilmu-ilmu yang
dimiliki lawan. Paling tidak bisa diketahui, dari mana asal pemuda bertubuh
kekar itu. Tapi sampai sekian jauh bertarung, Bangor tetap tidak mengetahuinya. Memang,
Suta seperti menyembunyikan kepandaiannya. Gerakan-gerakan mengelak atau
menyerang pun, hanya yang umum saja. Pemuda berjubah biru belum mengeluarkan
llmu khasnya. Meskipun Suta menghadapi lawan secara
sembarangan, tetap saja Bangor tidak bisa memanfaatkan kesempatan itu. Karuan
saja hal ini membuatnya
penasaran bukan kepalang. Dan sebagai akibatnya, serangan-serangan laki-laki
pendek gemuk ini pun jadi semakin bertambah dahsyat.
Pada akhirnya, Suta ternyata memenuhi janjinya terhadap Rara Inggar. Sambil
bergerak mengelakkan
serangan-serangan yang mengancam bagian-bagian berbahaya di tubuhnya, Suta
menyempatkan diri untuk memperhatikan keadaan gadis berpakaian merah itu.
Maka tidak aneh kalau Suta mengetahui keadaan Rara Inggar, sejak melancarkan
desakan-desakan pada
Samparan. Di jurus-jurus awal, Rara Inggar berhasil membuat Samparan pontang-panting. Tapi
menginjak jurus ketiga puluh, serangan-serangan yang dilancarkan gadis
berpakaian merah mulai mengendur.
Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus ketiga
puluh dua, Rara Inggar lebih sering menangkis dan ber-tahan. Malah hampir tidak
pernah melancarkan serangan lagi. Sebagai seorang yang telah kenyang bertarung,
Samparan tentu saja tahu kelelahan yang dialami lawan.
Dan itu bisa diketahui dari napas gadis itu yang menderu-deru.
Memang itulah akibat yang harus ditanggung Rara
Inggar. Jurus 'Tringgiling' memang terlalu banyak membutuhkan pengerahan tenaga.
Padahal, gadis itu memiliki tenaga dalam yang tidak begitu kuat. Dan dengan
sendirinya, kekuatan yang dimilikinya pun terbatas.
Keadaan yang dialami Rara Inggar dipergunakan
Samparan sebaik-baiknya. Laki-laki tinggi kurus itu pun melancarkan serangan
bertubi-tubi. Dia tidak ingin mem-berikan kesempatan pada gadis berambut
dikuncir itu untuk memulihkan diri.
Kini ganti Rara Inggar yang terpontang-panting. Di awal-awal serangan Samparan,
gadis itu memang bisa mem-pergunakan sepasang kakinya untuk menangkis. Tapi
karena menggunakan jurus 'Tringgiling' itu semakin membuatnya semakin lelah,
Rara Inggar mulai mengelak.
Tanpa menggunakan jurus 'Tringgiling', tidak sulit bagi Samparan untuk
menghadapi Rara Inggar. Dalam
beberapa gebrakan saja, gadis berambut dikuncir itu sudah dibuat terpontang-
panting ke sana kemari. Bahkan hampir saja nyawanya melayang akibat cecaran
serangan yang bertubi-tubi dilancarkan Samparan. Untung di saat-saat terakhir,
dia masih mampu menyelamatkan selembar nyawanya.
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu Samparan tiba.
Kedua tangan Rara Inggar kini telah terpojok. Dan saat itulah kedua tangan laki-
laki tinggi kurus itu meluncur cepat ke arah dada kiri gadis itu.
Rara Inggar hanya bisa membelalakkan sepasang mata menanti tibanya serangan.
Jangankan untuk mengelak, menangkis pun sudah tidak sempat lagi.
Dan pada saat yang tepat, Suta melesat ke arahnya.
Cepat bukan main gerakan pemuda berjubah biru itu.
Tahu-tahu.... Plakkk...! Tubuh Samparan terlempar ke belakang ketika tangan Suta menangkis serangan. Dan
sebelum semua sempat berbuat sesuatu, pemuda bertubuh kekar itu telah menyambar
tubuh Rara Inggar. Dan sekali kakinya
bergerak melangkah, tubuhnya telah berada dalam jarak belasan tombak dari situ.
"Kejar...!" teriak Bangor keras memberi perintah seraya bergerak mengejar
diikuti Karugi dan belasan anak buahnya. Sementara Jalatang yang sejak tadi
menonton jalannya pertarungan karena keadaannya yang tidak memungkinkan, segera
melesat ke arah Samparan yang terguling-guling di tanah.
Samparan berusaha bangkit berdiri. Tapi....
"Huaaakh...!"
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Darah segera muncrat dari mulutnya. Jelas laki-laki bertubuh tinggi kurus itu
terluka dalam. Bahkan sambungan siku tangannya terlepas, saking kerasnya tenaga
tangkisan yang diketuarkan Suta.
Jalatang yang saat itu tengah membungkukkan tubuh dan menunduk, mengangkat
kepalanya begitu mendengar adanya suara langkah-langkah kaki mendekat. Tampak
Bangor, Karugi, dan belasan orang anggota Gerombolan Macan Putih.
Tanpa bertanya pun laki-laki berwajah bopeng itu tahu kalau Suta dan Rara Inggar
telah berhasil meloloskan diri.
Dan hal itu tidak aneh. Karena, di samping ilmu meringankan tubuh pemuda
berjubah biru itu memang tinggi, suasana malam yang gelap dan kerimbunan pohon,
membuat Suta lebih cepat meloloskan diri
Dengan langkah lesu, rombongan Gerombolan Macan
Putih itu pun kembali meninggalkan tempat itu. Rekan-rekan mereka yang luka-luka
harus terpaksa ditandu atau dipapah.
"Kurasa, ketua harus turun tangan kalau masih ingin melenyapkan gadis liar
itu...," kata Karugi pelan.
"Benar," sambut Bangor. "Pemuda itu memang terlalu sakti untuk kita lawan....
Hanya ketualah yang akan sanggup menaklukkannya."
"Meskipun ketua turun tangan, tapi aku masih ragu, Kang Bangor. Ilmu pemuda itu
terlalu tinggi. Mungkin kalau ketua dan wakil ketua maju bersama, pemuda itu
dapat dirobohkan."
Bangor menatapi Karugi dengan sinar mata penuh
teguran. "Kau terlalu meremehkan ketua, Karugi. Kau tahu, semua ilmu Raja Ular Pelenyap
Sukma sudah dikuasai ketua.... Bahkan ketua masih mempunyai keunggulan, yaitu
jurus 'Macan'nya. Hanya satu yang belum dikuasainya, yakni ilmu 'Pelenyap
Sukma'. Karena, kitab dan seruling itu dirampas Dewa Muka Putih!"
"Aku tahu, Kang Bangor. Itulah sebabnya, ketua menyuruh kita menyelidiki tempat
tinggal kedua orang murid Dewa Muka Putih lainnya. Karena, kitab dan seruling
itu ternyata tidak berada di Perguruan Hati Naga...."
Bangor tidak menanggapi ucapan itu. Sementara
Karugi pun sadar kalau laki-laki pendek gemuk itu tidak mau memperpanjang
pembicaraan. Maka, dia hanya terdiam. Dan kini mereka melanjutkan perjalanan
tanpa berkata-kata lagi.
Sama sekali Gerombolan Macan Putih itu tidak
mengetahui kalau sepeninggal mereka, dua sosok tubuh pun melesat turun dari atas
pepohonan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati"
"Kalau saja, pemuda itu tidak cepat bertindak, mungkin aku telah keburu turun
tangan, Kang Arya." kata Melati.
"Lebih baik kita memang tidak ikut campur dulu, Melati," sahut Arya, tenang.
"Mengapa, Kang?" tanya Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.
"Karena kita tidak tahu masalahnya. Kita tidak tahu, siapa yang benar dan yang
salah. Bukankah kita datang, pada saat mereka tengah bertarung?"
"Tapi, Kang. Aku yakin kalau sepasang muda-mudi itu berada di pihak yang benar."
bantah Melati tak mau kalah.
"Siapa yang tidak kenal kekejian Gerombolan Macan Putih"!"
"Gerombolan Macan Putih"! Jadi, belasan orang berpakaian hitam itu adalah
Gerombolan Macan Putih"
Dari mana kau mengetahuinya, Melati?"
"Mudah saja, Kang," jawab gadis berpakaian putih itu, kalem.
Arya mengernyitkan keningnya sebentar.
"Kau benar, Melati. Mereka adalah Gerombolan Macan Putih! Gambar kepala seekor
macan di dada kiri mereka itu pasti yang membuatmu mengenali mereka, bukan?"
Gadis berpakaian putih itu menganggukkan kepala
sambil tersenyum manis.
"Lebih baik, kita susul sepasang muda-mudi itu, Melati,"
ujar Dewa Arak mengalihkan perhatian "Aku yakin, gerombolan itu akan terus
mengejar mereka!"
"Kau benar, Kang," sambut gadis berambut panjang itu cepat "Lagi pula, tanganku
sudah gatal-gatal, nih! Sudah lama aku tidak memukuli orang-orang jahat!"
Arya hanya tersenyum lebar mendengar ucapan
kekasihnya. Dengan mulut masih menyunggingkan
senyum, kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Melati yang tidak mau tertinggal, ikut melangkah pula.
Luar biasa! Yang tampak hanyalah seleret bayangan ungu dan putih yang melesat,
kemudian lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
*** 5 Hari sudah agak siang ketika sebuah perahu meluncur ke tengah danau.
"Di pulau itulah paman guruku tinggal, Suta," jelas Rara Inggar seraya
menudingkan jari telunjuknya ke arah sebuah pulau yang tampak samar-samar di
depan. Memang, gadis berpakaian merah itu akhirnya mengambil keputusan untuk mengajak
Suta ke tempat tinggal paman gurunya. Rara Inggar ingin memperkenalkan orang
yang telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya pada kedua paman gurunya.
Dapat dibayangkan, betapa gembiranya hati Rara
Inggar ketika Suta menyatakan kesanggupannya untuk ikut bersamanya. Itulah
sebabnya, kini mereka berperahu berdua di tengah danau.
"Hm...." Suta hanya menggumam saja.
Tangan kanan pemuda itu tetap mengayuhkan dayung.
Menilik dari luncuran perahu yang cepat, bisa diperkirakan kalau pemuda berjubah
biru itu mengerahkan sebagian besar tenaga dalam pada kedua tangannya.
Karena perahu itu meluncur cepat, dalam waktu
sebentar saja pulau kecil yang dituju telah berada di depan mata.
"Hup...! Suta melompat ketika perahunya telah mencapai tepi danau. Rara Inggar juga
melompat menyusul.
Dan begitu kedua kakinya telah mendarat di tanah, Suta segera menyeret perahu
itu ke darat. Lalu, ditambatkannya perahu itu pada patok yang telah tersedia.
"Kau pernah kemari, Inggar?" tanya Suta setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sudah dua kali aku kemari," jawab gadis berpakaian merah itu.
Suta mengangguk-anggukkan kepala.
"Mari, Suta...," ajak Rara Inggar sambil bergerak mendahului menuju ke dalam
pulau. Suta pun melangkah mengikuti di belakang. Semula dikira, mudah saja menemukan
tempat tinggal kedua paman guru Rara Inggar setelah berada di pulau itu. Tapi
ternyata tidak sesederhana itu!
Ternyata, mereka berdua harus melewati kerimbunan semak-semak di sana-sini dan
jalan berliku-liku. Itu pun memakan waktu yang agak lama, sebelum akhirnya tiba
di sebuah tempat yang terlihat nyaman. Memang, di kanan kiri jalan yang
ditumbuhi hamparan rumput hijau halus dan dipotong pendek, juga ditumbuhi
tanaman bunga-bunga dan rempah-rempah.
"Itulah tempat tinggal paman guru...." Rara Inggar menudingkan jari telunjuknya
ke arah sebuah bangunan sederhana yang terletak sekitar delapan tombak di depan
mereka. Sebenarnya tanpa diberi tahu, Suta sudah bisa
memperkirakan. "Paman...! Paman Karundeng...!" panggil Rara Inggar sambil berhambur ke arah
seorang laki-laki setengah baya yang baru keluar dari dalam pondok.
Laki-laki kecil kurus dan berpakaian abu-abu yang dipanggil Karundeng pun
bergerak menyambuti.
"Inggar...! Ya Tuhan...! Kau benar, Rara Inggar...!"
teriakan bernada kaget keluar dari mulut Karundeng.
Karena kedua belah pihak sama-sama bergerak men-
dekat di pertengahan jalan tubuh keduanya bertemu dalam sebuah pelukan
kerinduan. "Inggar...! Mana ayah dan ibumu...?" tanya Karundeng sambil memeluk tubuh gadis
berpakaian merah itu erat-erat. Pandangan matanya beredar berkeliling mencari-
cari orang tua Rara Inggar. "Dan... siapa pemuda gagah itu?"
"Ceritanya panjang, Paman .," kata Rara Inggar dengan suara tersendat-sendat.
Kesedihan yang selama ini selalu ditahan karena tidak ada tempat pencurahan,
ditumpah-kan semua pada pamannya.
Air mata yang selama ini diusahakannya untuk tidak keluar, kini tumpah ruah.
Tubuh gadis berpakaian merah itu pun terguncang-guncang karena isak tangis yang
melanda. Sebagai seorang yang telah berpengalaman,
Karundeng tahu kalau jiwa murid ponakannya ini tengah terguncang. Oleh karena
itu dibiarkan saja, Rara Inggar menangis. Laki-laki kecil kurus ini tahu, tangis
akan dapat mengurangi tekanan perasaan yang mendera keponakannya itu.
Tak lama kemudian, Rara Inggar pun berhasil
menguasai perasaan. Dilepaskan pelukan pada pamannya, kemudian air matanya
disusut. "Maafkan aku, Paman. Aku telah mengotori pakaian Paman..," ucap Rara Inggar
malu-malu. Suara gadis berpakaian merah itu masih terdengar serak, karena habis menangis.
Bahkan wajah dan hidung-nya pun masih merah.
"Lupakanlah, Inggar," sahut Karundeng sambil mengelus kepala gadis berpakaian
merah itu penuh kasih sayang. "Sekarang, centakanlah apa yang terjadi. Dan siapa
pula pemuda yang gagah itu."
Rara Inggar terkejut bukan main, mendengar ucapan Karundeng. Sungguh keterlaluan
sekali. Dia telah mengabaikan Suta! Maka buru-buru tangannya digapaikan pada
pemuda berjubah biru itu.
Dengan sikap tenang seperti biasanya. Suta melangkah mendekat.
"Inilah orang yang selalu menyelamatkan nyawaku, Paman. Suta namanya ," kata
Rara Inggar memperkenalkan. Suta mengulurkan tangannya.
"Ah...! Terima kasih atas pertolonganmu, Suta. Aku Karundeng," laki-laki
berpakaian abu-abu itu balas mengulurkan tangan dan kemudian menggenggamnya
erat-erat. "Inggar terlalu membesar-besarkan, Paman." elak pemuda berjubah biru itu, ikut
memanggil paman pada Karundeng. Perlahan-lahan genggaman tangannya dilepaskan.
"Padahal pertolongan yang kuberikan tidak seberapa...."
Karundeng tersenyum lebar. Dia tahu, memang begitu seharusnya sikap seorang
pendekar tulen. Paling tidak agar orang yang ditolong tidak terjerat dalam
keinginan untuk membalas budi.
"O, ya. Di mana Paman Tapas Jaya, Paman?" tanya Rara Inggar ketika teringat
ketidakhadiran paman gurunya yang satunya lagi.
"Dia tengah tidak mau diganggu. Inggar. Tapi, nanti akan kupanggilkan. Sekarang
yang penting, ceritakanlah apa yang telah terjadi. Barangkali, Suta juga ingin
mendengarnya."
Rara Inggar menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat untuk menenangkan hati. Baru setelah dirinya telah terasa
tenang, gadis berpakaian merah itu mulai bercerita. Sementara, Karundeng dan
Suta mendengarkannya. Meskipun sudah mendengar ceritanya dari Rara Inggar, tapi
Suta tidak keberatan untuk ikut mendengarkan kembali.
Beberapa kali sewaktu Rara Inggar bercerita,
Karundeng menggertakkan gigi menahan geram. Tapi perasaan geramnya itu masih
kalah besar oleh perasaan terkejut yang melanda.
"Begitulah ceritanya, Paman," tutur Rara Inggar.
Karundeng tercenung beberapa saat.
"Apa yang dikhawatirkan Kakang Tapas Jaya ternyata benar...." pelan dan bernada
keluhan ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berpakaian abu-abu itu.
"Maksud, Paman?" tanya Rara Inggar. Kedua alisnya hampir bertautan. Suta pun
menatap wajah Karundeng tajam tajam. Ada sorot pertanyaan memancar pada
sepasang mata yang mencorong itu.
"Bertahun-tahun yang lalu..., Kakang Tapas Jaya telah menduga Raja Ular Pelenyap
Sukma pasti akan mempunyai ahli waris. Dan dia yakin ahli waris Raja Ular
Pelenyap Sukma akan menguasai kepandaian yang
dimilikinya. Mengapa demikian" Karena bagi golongan seperti mereka, banyak jalan
untuk mencapainya "
Karundeng menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas.
"Di lain pihak, kami berempat yang menjadi murid Dewa Muka Putih tak lebih dari
keledai-keledai dungu. Di antara kami semua, hanya Rupaksa yaitu ayahmu, yang
paling berhasil menguasai jurus 'Trenggiling' yang dapat melumpuhkan ilmu-ilmu
milik Raja Ular Pelenyap Sukma itu." "Jadi.. ayah yang paling menguasai jurus
'Trenggiling' itu, Paman?" tanya Rara Inggar setengah tak percaya.
"Benar," Karundeng menganggukkan kepala. "Dia berhasil menguasai dua belas dari
delapan belas jurus
'Trenggiling'. Itu pun tidak begitu sempurna dikuasainya.
Dan menilik dari tewasnya ayahmu di tangan ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma,
sudah bisa kuperkirakan kalau ahli waris itu telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu
yang dimiliki tokoh sesat yang menggiriskan itu!"
"Hm.... Lalu..?"
Suasana menjadi hening sejenak ketika Karundeng
menghentikan ucapannya.
"Kini aku mengerti...!" seru Rara Inggar tiba-tiba.
''Paman Tapas Jaya tengah berusaha menguasai jurus
'Trenggiling'. Bukan begitu"!"
Dengan perasaan berat Karundeng menganggukkan
kepala. "Belasan tahun dia bergelut dengan jurus 'Trenggiling'
tapi tetap hanya mampu mempelajari tiga belas jurus," Ada nada keluhan dalam
ucapan laki-laki kecil kurus itu.
"Mengapa begitu, Paman?" Rara Inggar mengajukan keheranannya.
"Jurus 'Trenggiling' bukan ilmu sembarangan, Rara Inggar. Justru jurus itu malah
penuh bahayanya. Apalagi bila mempelajarinya tanpa pembimbing. Akibatnya akan
sangat berbahaya. Bahkan pamanmu itu mengalami nasib seperti itu."
"Maksud. Paman...?"
"Kakang Tapas Jaya selalu mengalami akibat yang tidak menyenangkan setiap kali
melatih jurus keempat belas...."
lanjut Karundeng setengah mengeluh.
"Ahhh...!" Rara Inggar memeklk kaget.
"Satu-satunya orang yang berhasil mencapai jurus ketujuh belas adalah putra
kakek gurumu Tapi, sayang...,"
Karundeng menghentikan ucapan. Raut wajahnya
menyiratkan penyesalan yang amat hebat.
"Hhh...!"
Rara Inggar menghela napas berat. Tanpa laki-laki kecil kurus itu meneruskan,
sudah bisa diperkirakan kelanjutan-nya. Memang gadis itu sudah mengetahui nasib
yang menimpa putra kakek gurunya.
"Mengapa dia masih bisa dikalahkan Raja Ular Pelenyap Sukma. Paman" Bukankah dia
telah menguasai hampir seluruh rangkaian jurus dalam jurus 'Tringgling'?"
"Banyak hal yang menyebabkan putra kakek gurumu itu tewas di tangan Raja Ular
Pelenyap Sukma," sahut Karundeng dengan wajah murung.
Rupanya kenangan menyedihkan itu belum dapat
dilupakannya. Terbukti kesedihan masih tergambar di wajahnya sekalipun peristiwa
itu telah lama berlalu.
"Saat itu, dia masih sangat muda dan belum
berpengalaman. Apalagi, untuk menghadapi seorang tokoh kawakan semacam Raja Ular
Pelenyap Sukma." lanjut kakek kecil kurus itu memberi penjelasan. "Kau tahu
Inggar, Raja Ular Pelenyap Sukma tidak hanya menggunakan ilmu kepandaian yang
wajar untuk menghadapi lawan, tapi juga menggunakan ilmu hitam. Itulah sebabnya
dia mendapat julukan Pelenyap Sukma di samping julukan Raja Ular."
Karundeng menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas.
"Untuk menggunakan ilmu hitamnya tokoh itu menggunakan pula senjata andalannya
yang bernama Suling Naga. Tanpa adanya benda itu, ilmu-ilmu hitamnya tidak akan
bisa dipergunakan. Keampuhan Suling Naga memang sangat dahsyat. Dengan nada-nada
tertentu. Raja Ular Pelenyap Sukma bisa memanggil segala macam ular, dan dapat
diperintahkan sekehendak hatinya."
Rara Inggar mengangguk-anggukkan kepala. Perasaan ngeri menghinggapi dirinya.
Sungguh tidak pernah disangka akan begitu mengerikan tokoh yang berjuluk Raja
Ular Pelenyap Sukma itu.
"Sulit kubayangkan ketinggian ilmu kakek guru sehingga Raja Ular Pelenyap Sukma
yang begitu mengerikan bisa dikalahkan...," kata Rara Inggar seperti berbicara
pada diri sendiri
"Dengan jurus 'Trenggiling' tingkat terakhir, kakek gurumu berhasil menaklukkan
Raja Ular Pelenyap Sukma.
Kau tahu, Inggar. Jurus kedelapan belas 'Trenggiling' membuat Suling Naga Raja
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ular Pelenyap Sukma kehilangan keperkasaannya...."
"Apakah ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma itu memiliki juga ilmu-ilmu hitam
peninggalan leluhurnya, Paman?" tanya Rara Inggar.
Ada nada kegentaran pada suara gadis berambut
dikuncir itu. Dan itu dapat dirasakan baik Karundeng maupun Suta.
Karundeng menggelengkan kepala sambil tersenyum
lebar. "Mengapa, Paman?" desak Rara Inggar penasaran.
"Karena kakek gurumu telah mengambil Suling Naga dari tangan Raja Ular Pelenyap
Sukma. Tanpa adanya senjata itu tetap saja tidak bisa menggunakannya, meskipun
si ahli waris telah menghafal kitab itu."
"Lalu... di manakah Suling Naga itu, Paman?" tanya Rara Inggar ingin tahu. "Aku
ingin sekali melihat bentuk suling yang memiliki nama begitu gagah."
Kakek kecil kurus itu mengangkat bahu.
"Entahlah. Kakek gurumu tidak pernah membicarakan senjata itu padaku. Mungkin
pada ayahmu, ibumu, atau pada Kakang Tapas Jaya. Tapi kalau menurut dugaanku,
Suling Naga itu mungkn diberikan pada ayahmu, Inggar.
Karena, dialah murid yang paling berbakat."
"Tapi ayah tidak menyimpan benda itu, Paman. Kalau benar dia yang menyimpannya,
pasti akan diberikan padaku untuk diselamatkan..."
"Kalau begitu, benda itu pasti ada di tangan Kakang Tapas Jaya."
"Maaf, Paman, Inggar. Kurasa aku telah terlalu lama berada di sini. Aku ingin
pamit saja. Hatiku sudah lega karena kau telah tiba selamat di sini," Suta yang
sejak tadi bertindak sebagai pendengar, buru-buru menyelak pembicaraan ketika
Karundeng menghentikan cerita
"Lho"!"
Bukan hanya Rara Inggar saja yang terkejut, Karundeng pun demikian pula.
"Mengapa buru-buru, Suta. Masuklah dulu ke dalam untuk benstirahat...," sambut
Karundeng buru-buru.
"Terima kasih, Paman. Tapi, aku masih mempunyai keperluan di Desa Mentawa...,"
tolak Suta halus.
Rara Inggar baru saja hendak membuka mulut, tapi segera ditahan karena Karundeng
telah mendahuluinya.
"Baiklah, Suta. Tapi jangan lupa singgah kemari, bila kau sempat."
"Jangan khawatir, Paman. Sehabis menyelesaikan urusan di Desa Mentawa, aku akan
singgah kemari," Janji Suta.
Setelah berkata demikian, Suta melesat meninggalkan tempat itu. Meskipun baru
sekali ke tempat Karundeng, tapi dia tidak mengalami kesulitan untuk kembali ke
tempat semula, ketika perahu ditambatkan.
*** 6 Brosss...! Tanah keras seketika amblas sedalam betis begitu kaki kanan seorang laki-laki
yang bertubuh kekar dijejakkan.
Menilik akibatnya, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam pemilik kaki itu.
Dia adalah seorang laki-laki dengan bentuk tubuh kekar berotot. Dadanya
telanjang dan hanya mengenakan sehelai celana panjang berwarna putih.
Hanya sayangnya, wajah laki-laki bertubuh kekar
berotot ini tidak tampak jelas. Dandanan yang menghias, membuat raut wajahnya
jadi mirip seekor macan. Itu pun masih ditambah lagi dengan adanya bulu-bulu
halus yang menempel, meramaikan selebar wajahnya.
Tidak hanya itu saja keanehan yang dimiliki laki-laki yang tampaknya memiliki
kepandaian tinggi, mengingat akibat yang ditimbulkan pada tanah keras itu. Di
bagian dada nya terlukis gambar kepala seekor macan putih yang besar.
"Kalian tahu, mengapa aku marah besar"!"
Kembali suara menggeledek terdengar dari mulut laki-laki bertubuh kekar berotot
itu. Pandangannya juga beredar ke arah puluhan orang yang berdiri di hadapannya.
Mereka rata-rata mengenakan pakaian hitam, dan memiliki sulaman gambar kepala
macan putih di dada kiri.
Sedangkan di sebelah laki-laki bercelana putih yang tengah marah-marah itu,
tampak seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari
kulit macan putih. Dia juga memiliki sulaman gambar kepala seekor macan pada
bagian dada. Wajahnya juga penuh coreng moreng dan bulu-bulu yang membuat raut
wajahnya mirip wajah seekor macan!
Laki-laki kekar dan wanita tua itu adalah Ketua dan Wakil Ketua Gerombolan Macan
Putih! Puluhan orang berseragam hitam itu yang sejak tadi hanya menundukkan kepala
saja, perlahan mengangguk bersamaan seperti diberi perintah. Perasaan yang
melanda mereka pun sama. Mereka sama-sama takut bukan
kepalang melihat kemurkaan sang Ketua. Sehingga, terik matahari yang tepat
berada di atas kepala, sama sekali tidak dirasakan. Padahal, mereka tengah
berdiri di tanah lapang yang hanya sedikit ditumbuhi rumput. Sementara, di
sekeliling mereka bertebaran pepohonan lebat.
Tanpa disadari Gerombolan Macan Putih ternyata ada dua sosok tubuh yang tengah
mengintai. Dua orang itu, adalah pemuda berambut putih keperakan dan seorang
gadis cantik berpakaian putih. Mereka tak lain adalah Arya dan Melati.
Memang, begitu tidak menemukan jejak Suta dan Rara Inggar, Arya dan Melati
akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak Gerombolan Macan Putih. Barangkali
saja dengan mengikuti jejak gerombolan itu, Suta dan Rara Inggar bisa ditemukan.
Akhirnya setelah melakukan pencarian terus menerus, mereka berhasil menemukan
tempat pertemuan
Gerombolan Macan Putih. Mereka sempat melihat juga kedatangan sang Ketua yang
agak terlambat, ketika matahari telah hampir berada di atas kepala.
Dan begitu tiba, sang Ketua itu sudah membuat Arya dan Melati terkejut. Sang
Ketua Gerombolan Macan Putih itu ternyata tengah murka! Rasa-rasanya, akan ada
anak buahnya yang diberi hukuman. Dan sepasang pendekar itu ingin mengetahui,
penyebab kemarahan sang Ketua itu. Di samping itu juga ingin mengetahui secara
lebih jelas duduk masalahnya. Itulah sebabnya, dari tempat persembunyian, Arya
dan Melati hanya memperhatikan saja.
"Jadi kalian tahu"! Coba katakan...!" dengus Ketua Gerombolan Macan Putih.
"Karena kegagalan kami menangkap putri Ketua Perguruan Hati Naga, Ketua," Bangor
yang memberanikan diri mengajukan jawaban.
"Hmh..." dengus laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Karuan saja sambutan sang Ketua membuat wajah laki-laki pendek gemuk itu pucat.
"Bagaimana dengan yang lain"
Apa jawaban kalian?"
Semua kepala terangguk. Jelas mereka semua mem-
punyai jawaban pertanyaan yang sama.
"Bodoh kalian semua...!"
Kontan tubuh puluhan anggota Gerombolan Macan
Putih itu terlonjak ketika sang Ketua mendadak mem-bentak nyaring. Wajah mereka
semuanya pucat "Kalian semua dengar! Aku tidak akan semarah ini bila kalian hanya gagal
menangkap putri musuh leluhurku! Tapi yang membuatku marah, adanya orang-orang
yang berani melanggar laranganku dan menyelewengkan perintah-perintahku di
antara kalian semua."
Tegas, jelas, dan keras sekali ucapan yang dikeluarkan Ketua Gerombolan Macan
Putih itu. "Dan seperti yang telah kalian ketahui.... Aku tidak akan mendiamkan saja orang-
orang yang berani menentang perintah dan laranganku! Kuharap... orang-orang yang
merasa melakukan kesalahan maju ke depan, sebelum aku sendiri yang akan
menyeretnya kemari!" ujar laki-laki bertubuh kekar berotot itu sambil
melayangkan pandangan. Wajah Jalatang dan Samparan pucat pasi seketika.
Memang, kedua orang inilah yang telah melakukan
kesalahan seperti yang telah disebutkan ketua mereka.
"Hmh...! Di samping berani menginjak-injak peraturan, orang-orang tak berguna
itu tidak berani pula mem-pertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka harus
dihukum berat, Kala. Biar menjadi contoh bagi yang lain,"
tambah wanita berpakaian kulit macan putih, dingin.
Setelah beberapa saat lamanya perintah Ketua
Gerombolan Macan Putih, sama sekali tidak ada tanda-tanda akan ada yang maju
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 15 Tembang Tantangan Karya S H Mintardja Perjodohan Busur Kumala 13
seluruh penjuru tempat itu.
Jelas, pemuda berjubah biru itu mengerahkan tenaga dalam pada suitannya.
Rara Inggar sampai menekap telinga dengan kedua
tangan. Suitan itu memang membuat telinga berdenging dan kakinya menggigil. Dari
sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda
berjubah biru itu.
Sesaat kemudian terdengar suara bergemuruh. Di
kejauhan tampak seekor kuda berwarna coklat berlari cepat menuju ke arah mereka.
Debu yang mengepul tinggi terlihat di belakangnya.
"Itulah kudaku..., Kilat namanya," jelas pemuda berjubah biru itu seraya
menudingkan telunjuknya ke arah kuda coklat yang semakin lama semakin dekat.
Sampai akhirnya, kuda itu telah berada dekat dengan dengan dirinya.
Kuda coklat itu meringkik riang, ketika melihat pemuda berjubah biru. Dengan
sikap manja, kepalanya digesek-gesekkan ke dada majikannya.
Pemuda berjubah biru itu mengusap-usap leher
binatang tunggangannya. Kemudian....
"Hup...!"
Hanya sekali genjotkan kaki, tubuh pemuda berjubah biru telah melayang ke atas.
Kemudian, dia hinggap di atas punggung kuda. Manis dan indah gerakannya.
"Seekor kuda yang baik...." puji Rara Inggar tulus.
"Hm...," hanya gumam perlahan pemuda berjubah biru yang menyambut ucapan Rara
Inggar. Rara Inggar berdecak pelan. Lalu tali kekang kudanya digeprak. Sekejap kemudian,
binatang tunggangan itu mulai berlari meninggalkan kepulan debu pekat di
belakangnya. Pemuda berjubah biru itu pun melakukan hal yang
sama. Sesaat kemudian, kuda coklat itu melesat menyusul kuda Rara Inggar yang
telah melesat lebih dahulu.
*** 4 Rara Inggar yang ingin segera memberi tahu tentang malapetaka yang menimpa orang
tuanya, segera memacu kudanya secepat mungkin. Pecut di tangannya berkali-kali
menyengat bagian belakang kuda tunggangannya.
Rara Inggar memang memaksa kudanya agar berlari
secepat mungkin. Sementara pemuda berjubah biru itu sama sekati tidak memaksa
kudanya. Pecutnya hanya sesekali saja dilayangkan. Tapi ternyata, lari kedua
kuda itu bersisian! Jelas, kuda yang bernama Kilat itu bukan kuda sembarangan.
Bahkan ketika memasuki Desa Mentawa. Rara Inggar tetap tak mengendurkan lari
binatang tunggangannya.
Bahkan pecutnya terus saja diayunkan.
Pemuda berjubah biru itu menggeleng-gelengkan
kepala melihat kelakuan Rara Inggar. Tapi, dia pun harus memacu kudanya pula
kalau tidak ingin tertinggal.
Akibatnya, malam yang larut dan semula hening men-cekam, dipecah suara gemuruh
derap langkah dua ekor kuda.
Dua ekor kuda itu terus saja berpacu, sekalipun telah memasuki desa. Para
penduduk yang terjaga dari tidurnya karena gemuruh derap kaki kuda hanya bisa
menyumpah serapah. Beberapa di antara mereka malah ada yang bangkit dan
pembaringan. Dibukanya jendela, dan kepalanya melongok keluar. Semua itu
didorong rasa ingin tahu terhadap orang tidak tahu diri yang telah menimbulkan
suara berisik itu!
Tapi yang mereka jumpai hanya gumpalan debu pekat yang ditinggalkan. Sementara,
penyebab suara bergemuruh itu sudah tidak tertihat lagi.
Memang, Rara Inggar dan pemuda berjubah biru itu telah berada di tempat yang
jauh dari pemukiman
penduduk. Di sini gadis berpakaian merah baru memperlambat lari kudanya.
Lagi-lagi pemuda berjubah biru itu ikut pula memperlambat lari binatang
tunggangannya. "Apa yang kau ketahui tentang Gerombolan Macan Putih. Nisanak?" tanya pemuda
berjubah biru. Dia masih tetap memanggil seperti sebelumnya. Rupanya hatinya
tidak berminat mengetahui nama gadis berpakaian merah itu. Rara Inggar
menggelengkan kepala.
"Kau tahu?" Gadis itu malah balas bertanya
"Sedikit. Karena sebelum Gerombolan Macan Putih menyerbu perguruan ayahmu yang
terletak di Desa Kaung, aku telah beberapa kali melihat hasil perbuatan
mereka...."
"Bisa kau jelaskan tentang Gerombolan Macan Putih?"
pinta Rara Inggar.
Pemuda bertubuh kekar itu mengangguk.
"Gerombolan Macan Putih mempunyai puluhan anak buah. Pemimpinnya adalah orang
yang berhadapan
dengan ayahmu. Sedangkan yang bertarung melawan
ibumu adalah wakilnya," jelas pemuda berjubah biru itu.
"Kedua orang itu memiliki tiga orang pemimpin regu. Setiap pemimpin regu
mempunyai empat orang pemimpin
kelompok yang masing- masing memiliki belasan bawahan lagi."
Rara Inggar mengernyitkan dahinya mendengar
penuturan pemuda bertubuh kekar tentang Gerombolan Macan Putih. Rupanya, dia
merasa bingung mendengar uraian itu.
"Lalu... bagaimana kita tahu kalau orang yang dihadapi adalah keroco, pemimpin
kelompok, atau pemimpin regu?"
tanya Rara Inggar lagi beberapa saat kemudian, setelah berhasil mencerna
penjelasan tadi.
"Dari gambar kepala macan pada pakaian mereka,"
jawab pemuda itu. "Kau bisa lihat perbedaan antara sulaman gambar macan pada
orang yang merobohkanmu, dan belasan lainnya."
Rara Inggar tercenung sejenak untuk mengingat-ingat.
"Ya. Pada orang yang merobohkanku, di dada kirinya tersulam dua kepala macan,"
jawab Rara Inggar.
"Sedangkan pada kepala kelompok ada tiga buah, dan berbentuk segi tiga ," jelas
pemuda berjubah biru lagi.
Mendadak Rara Inggar menarik tali kekang, sehingga kudanya langsung berhenti.
Tentu saja pemuda berjubah biru itu terkejut melihat sikap Rara Inggar. Maka
ucapannya kontan terhenti.
Pandangannya pun diarahkan ke depan, ke arah yang ditatap gadis berpakaian merah
itu. Pemuda bertubuh kekar langsung mengangguk-
anggukkan kepala ketika melihat belasan sosok tubuh berpakaian hitam bersulamkan
gambar kepala macan putih di dada kiri. Mereka berdiri menghadang jalan, dalam
jarak sekitar sepuluh tombak di depan.
"Gerombolan Macan Putih...," desah pemuda berjubah biru itu pelan.
"Yaaah...," sahut Rara Inggar, mendesah. "Dua di antara mereka mempunyai sulaman
tiga kepala macan di dada kiri...."
Pemuda bertubuh kekar mengalihkan pandangannya.
Ditatapnya wajah gadis di sebelahnya lekat-lekat.
"Kau takut?"
"Tak ada kata takut dalam kamus hidupku," tegas Rara Inggar.
"Tapi, nada suaramu..," pancing pemuda itu lagi
"Hanya menyadari keadaan," desah Rara Inggar lirih.
"Maksudmu ..?"
"Menghadapi pemimpin kelompok saja, aku tidak mampu... Apalagi menghadapi
pemimpin regu...."
"Hhh...!"
Pemuda bertubuh kekar itu menghembuskan napasnya yang berat, mendengar ucapan
Rara Inggar. "Kau coba dulu, Nisanak," saran pemuda berjubah biru itu. "Sisanya, biar
kuhadapi. Andaikata kulihat kau terdesak, baru akan kubantu. Yang penting, kau
harus tiba di tempat tinggal kedua paman gurumu!"
Rara Inggar menoleh. Ditatapnya wajah pemuda berjubah biru itu dengan sepasang
mata merembang berkaca-kaca. Hatinya merasa terharu melihat pembelaan yang
dilakukan pemuda di sebelahnya. Padahal mereka belum saling mengenal nama! Tidak
disangka, di balik sikap dinginnya, tersembunyi hati yang baik!
Perlahan-lahan Rara Inggar mengulurkan tangan,
kemudian menggenggam pergelangan tangan pemuda bertubuh kekar itu.
"Terima kasih.... Kau... kau baik sekali...."
Hanya itu yang bisa diucapkan Rara Inggar. Itu pun dengan suara serak dan
terputus-putus karena rasa haru yang mencekik tenggorokan.
"Sudahlah," kata pemuda berjubah biru sambil mengulapkan tangannya. "Hentikan
segala kecengengan ini, Nisanak! Sekarang yang perlu dilakukan adalah menghadapi
lawan yang telah berada di hadapan kita."
Kepala Rara Inggar bagai direndam dalam air es.
Pemuda berjubah biru itu benar! Sekarang memang bukan saatnya bersedih! Maka
tanpa membuang-buang waktu lagi, ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya
kuat-kuat untuk melegakkan dadanya yang terasa sesak akibat rasa haru yang
melanda. "Hih...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki Rara Inggar mendarat di tanah. Hal yang sama pun
dilakukan pemuda bertubuh kekar. Hanya saja, Rara Inggar harus menambatkan
kudanya, karena khawatir binatang itu lari. Sementara, pemuda berjubah biru sama
sekali tidak melakukannya.
"Ng... Sebelum mati aku ingin mengenal namamu, Kisanak. Aku, Rara Inggar. Biasa
dipanggil Inggar," kata gadis berpakaian merah itu memperkenalkan diri.
Pemuda berjubah biru menoleh ke arah Rara Inggar yang berdiri di sebelah
kirinya. "Rupanya kau termasuk orang yang berjiwa rapuh juga, Ni.... eh.... Inggar," kata
pemuda bertubuh kekar itu tanpa peduli kalau kata-katanya membuat selebar wajah
gadis berambut dikuncir itu merah. "Sebenarnya, aku paling tidak suka dengan
kecengengan-ke-cengengan seperti ini. Aku sudah terbiasa hidup keras! Tapi,, tak
apalah. Namaku, Suta!"
*** "Pemuda keparat!" maki Jalatang.
Rupanya, dia tak kuat lagi menahan sabar melihat Suta dan Rara Inggar masih
tenang-tenang saja. "Sebentar lagi kau akan mengenal orang-orang Gerombolan
Macan Putih!" "Menyingkir, Jalatang," perintah seorang laki-laki tinggi kurus.
Menilik dari sikapnya yang berani memerintahkan
Jalatang yang merupakan pemimpin kelompok, bisa
diperkirakan kalau kedudukannya lebih tinggi.
Hal ini dibuktikan oleh sulaman kepala macan berwarna putih. Jumlah sulamannya
ada tiga buah, dan terdapat pada dada kiri pakaiannya yang berwarna hitam.
Memang, laki-laki tinggi kurus itu adalah pemimpin regu!
Jalatang tidak berani membantah. Dengan sikap lesu dan kepala tertunduk, kakinya
melangkah mundur. Dibiarkan saja laki-laki tinggi kurus itu yang melangkah maju
lebih dahulu. Saat itu, bukan dirinya yang menjadi pimpinan. Di situ, masih ada
dua orang lagi yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripadanya. Jabatan mereka
adalah pemimpin regu. Mereka adalah laki-laki tinggi kurus yang tadi menyuruhnya
menyingkir, dan laki-laki bertubuh pendek gemuk yang berdiri di sebelah laki-
laki tinggi kurus.
Tambahan lagi, keadaan diri Jalatang memang tidak memungkinkan untuk bertarung.
Luka-luka yang diderita-nya akibat tindakan Suta masih belum pulih, meskipun
memang telah diobati.
"Kau hadapi orang yang bertubuh tinggi kurus itu, Inggar," kata Suta
menganjurkan. "Biar sisanya aku yang urus."
Tanpa menunggu persetujuan Rara Inggar, Suta
langsung melompat ke arah kerumunan Gerombolan
Macan Putih, sebelum mereka bergerak mengurung dan membuat rencananya kacau.
Suta benar-benar memburu waktu. Selagj tubuhnya
masih berada di udara, kedua tangannya diputar-putarkan dengan arah gerakan dari
luar ke dalam. Memang sungguh dahsyat serangan Suta. Dari kedua tangannya yang berputaran itu
keluar angin keras yang berhembus ke arah Gerombolan Macan Putih.
Gerombolan Macan Putih yang sama sekali tidak
menduga hal itu, kontan menerima akibatnya. Tubuh-tubuh mereka berpentalan tak
tentu arah ke belakang, bagaikan terlanda angin ribut.
Hanya ada beberapa orang di antara mereka yang tak terjengkang, karena sempat
mengerahkan tenaga dalam ke arah kaki sehingga seolah-olah berakar di bumi.
Mereka adalah dua orang pemimpin regu dan seorang pemimpin kelompok, selain dari
Jalatang. Karena, tubuh Jalatang sendiri terjengkang ke belakang.
Meskipun ketiga orang pemimpin itu tidak ikut terjengkang, bukan berarti mereka
bebas dari deru angin keras yang keluar dari putaran tangan Suta. Memang, mereka
tidak jatuh, tapi tetap saja tubuhnya bergeser jauh ke belakang. Sedangkan kedua
kaki mereka tetap
menempel di tanah, sehingga menimbulkan geseran cukup dalam di tanah. Dan
hasilnya, pimpinan kelompok terseret sejauh tiga tombak lebih, sedangkan kedua
pimpinan regu hanya terhuyung sekitar dua tombak.
"Gila...! Pemuda keparat itu memiliki tenaga dalam luar biasa, Kakang
Samparan...," desis pimpinan kelompok itu begitu melihat kemampuan lawan,
sehingga membuatnya kaget.
"Kita harus hati-hati menghadapinya, Karugi," sahut pimpinan regu yang bertubuh
tinggi kurus. "Bukan begitu, Bangor."
Bangor yang ternyata pemimpin regu yang bertubuh pendek gemuk mengangguk,
membenarkan. Namun baru saja Bangor menghentikan anggukannya, Suta sudah melayang ke arah
mereka seraya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Bangor dan Karugi.
Karuan saja kedua orang itu terkejut bukan kepalang.
Buru-buru mereka melempar tubuh ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara. Lalu, mereka mendaratkan kedua kaki masing-
masing di dekat belasan anggota Gerombolan Macan Putih yang tadi terjengkang ke
sana kemari. Suta tidak bertindak sampai di situ saja. Kembali tubuhnya melesat cepat ke arah
Bangor dan Karugi yang berkumpul bersama belasan anggota Gerombolan Macan Putih.
Dibiarkan saja Samparan yang tertinggal sendiri.
Suta memang sengaja membuat Samparan terpisah
dengan gerombolannya, agar Rara Inggar dapat tenang menghadapi laki-laki tinggi
kurus itu. Sadar kalau Suta merupakan lawan yang amat
tangguh, Bangor tidak segan-segan memerintahkan
seluruh anak buahnya untuk turun tangan.
"Serbu...!" seru laki-laki pendek gemuk itu.
Srrrt..! Srrrt..!
Sinar-sinar terang berkeredep dari tenjata golok Gerombolan Macan Putih yang
tercabut dari sarungnya.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit antara Suta melawan Gerombolan Macan Putih
di bawah pimpinan Bangor berlangsung sengit.
*** "Kau dengar suara itu, Melati?" tanya seorang pemuda tampan berpakaian ungu.
Kepalanya langsung menoleh ke arah gadis cantik
berpakaian putih yang berada agak jauh di belakangnya.
Gadis itu duduk di cabang sebuah pohon, dan punggungnya disandarkan pada
batangnya. Kepala pemuda berpakaian ungu itu agak dimiringkan.
Sehingga rambutnya yang panjang meriap dan berwarna putih keperakan, terurai
menutupi bahunya.
Gadis berpakaian putih yang tidak lain memang Melati, dengan malas membuka
matanya. Lalu kepalanya dimiringkan sebentar, baru kemudian mengangguk.
"Sepertinya suara denting senjata orang bertarung, Kang Arya.... Arahnya dari
sana...," sahut Melati sambil menudingkan telunjuknya ke arah Utara.
"Kau benar, Melati. Bagaimana kalau kita melihatnya sebentar?" usul pemuda
berambut putih keperakan yang tak lain dari Arya Buana alias Dewa Arak.
"Aaah...! Kau ini ada-ada saja, Kang...," rutuk gadis berpakaian putih itu. "Waktu
telah menjelang pagi. Apakah kau tidak mengantuk" Nanti saja kita lihat asal
suara riuh itu." "Tidakkah itu terlalu lambat, Melati?" bantah Arya setengah
membujuk. "Bagaimana kalau di sana sebetulnya ada orang yang tengah membutuhkan
pertolongan kita."
"Tapi aku ngantuk, Kang. Ngantuk sekali! Jangankan untuk bertarung,
mempertahankan agar mataku tetap terbuka saja sudah sulit"
Dewa Arak tercenung sebentar.
"Kalau begitu..., biar aku yang pergi saja ke sana..."
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan aku di sini, berteman nyamuk-nyamuk hutan"
Begitu?" sambung Melati merajuk.
"Kalau memang itu yang kau inginkan." goda Dewa Arak.
"Hhh...!"
Melati menghembuskan napas berat, lalu menjauhkan punggungnya dari batang pohon.
"Bagaimana?" tanya Arya lagi dengan senyum di bibir.
"Ingin berteman nyamuk di sini... atau ikut denganku melihat keramaian di sana?"
"Kau memang paling pintar memutarbalikkan ucapan, Kang," kata gadis berpakaian
putih itu. Mulutnya tampak memberengut kesal.
"Jadi...?" Arya menggantung ucapannya.
"Yahhh.... Aku lebih suka berteman denganmu daripada berteman dengan nyamuk-
nyamuk di sini..," sahut Melati bernada keluhan.
"Ha ha ha...!" tawa pemuda berambut putih keperakan itu meledak. "Sudah
kuduga...."
"Kau memang keterlaluan, Kang..." hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan Melati.
Dengan tawa pelan yang masih keluar dari mulutnya, Dewa Arak mengulurkan tangan
ke arah guci yang tergantung di cabang pohon. Dibukanya ikatan tali di cabang
pohon yang membuat gucinya tergantung, kemudian di-sampirkannya ke punggung.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki pemuda berpakaian ungu itu mendarat di tanah.
Pada saat yang sama Melati juga mendaratkan kakinya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, sepasang
pendekar yang sama-sama digdaya itu melesat cepat menuju ke arah asal suara
denting senjata beradu yang terdengar.
Ilmu meringankan tubuh Dewa Arak dan Melati
memang telah mencapai tingkatan tinggi. Tidak heran ketika melesat, bentuk tubuh
mereka tidak nampak lagi.
Yang terlihat hanya sekelebatan bayangan ungu dan putih yang tidak jelas
bentuknya. Berbeda dengan Melati yang mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuhnya. Dewa Arak hanya mengeluarkan sebagian saja. Karena
kalau dikerahkan seluruhnya, jelas gadis itu akan tertinggal. Sedangkan pemuda
berambut putih keperakan itu tidak menginginkan hal itu terjadi.
Semakin lama, denting senjata beradu itu terdengar semakin jelas.
"Tidak salah lagi, Melati. Rupanya di sana tengah terjadi pertarungan," kata
Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah semak-semak dan pepohonan yang
berada tak jauh di hadapannya.
Hanya beberapa kali melangkah, sepasang pendekar muda itu telah berada di dekat
semak-semak dan
pepohonan. Dan memang, suara berisik itu berasal dari sana.
Dengan gerakan perlahan dan hati-hati sekali, Dewa Arak dan Melati menggenjotkan
kakinya. Kontan tubuh mereka melayang ke atas, dan mendarat ringan laksana
seekor burung di cabang pohon.
Begitu telah berada di atas pohon, kedua orang itu langsung mengedarkan
pandangan ke bawah. Dan dalam keremangan sinar rembulan di langit, tampaklah
seorang pemuda berjubah biru tengah bertarung menghadapi belasan orang
berpakaian hitam. Tak jauh dari tempat itu, nampak seorang gadis berpakaian
merah dan seorang laki-laki tinggi kurus tengah memperhatikan jalannya
pertarungan. "Kurasa pemuda itu tidak memerlukan bantuan kita, Kang...," kata Melati pelan,
setelah memperhatikan pertarungan antara pemuda berjubah biru dengan belasan
orang Gerombolan Macan Putih.
"Kau benar, Melati." sahut Dewa Arak seraya menganggukkan kepala.
"Kau mengenai mereka, Kang...?" tanya Melati lagi ingin tahu.
Arya menggeleng.
"Makanya, jangan sembarangan turun tangan dulu, Melati. Kita tidak tahu
permasalahannya, dan juga tidak tahu siapa yang benar dan salah. Tidak bijaksana
kalau kita ikut campur. Kecuali... kalau keadaan memaksa demikian."
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Dia memang
sudah tahu betul watak kekasihnya. Dan meskipun ter-kadang tidak setuju dengan
tindakan yang diambil Arya, tapi kenyataan yang terjadi selalu membuktikan
kebenaran perbuatan Dewa Arak!
Kini Melati dan Arya kembali mengalihkan perhatian ke arah pertarungan yang
berlangsung di bawah sana.
Ternyata ada sedikit perubahan yang terjadi. Gadis berpakaian merah yang sejak
tadi memperhatikan jalannya pertarungan, mulai melangkah menghampiri laki-laki
bertubuh tinggi kurus yang juga sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan.
*** Samparan tersenyum mengejek ketika melihat Rara
Inggar bergerak menghampirinya.
"Jangan harap bisa lolos dan Gerombolan Macan Putih, Wanita Liar...!" dengus
laki-laki tinggi kurus itu.
Rara Inggar sama sekali tidak menggubris ancaman Samparan. Gadis berpakaian
merah itu sadar kalau lawan yang ada di hadapannya memiliki kepandaian tinggi.
Dan itu bisa diperkirakan karena dia telah merasakan sendiri kelihaian Jalatang.
Oleh karena itu, Rara Inggar tidak mau bersikap main-main lagi. Segera
dikeluarkan ilmu andalannya. Jurus
'Trenggiling', yang menjadi andalan kakek gurunya. Dengan ilmu itulah, kakek
gurunya yang berjuluk Dewa Muka Putih menaklukkan Raja Ular Pelenyap Sukma.
"Hih...!"
Rara Inggar melompat ke depan, kemudian bergulingan di tanah mendekati lawan.
Dan begitu telah berada di dekat Samparan, kedua kakinya melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
"Heh..."!"
Seruan keterkejutan keluar dari mulut Samparan. Dia tahu betul kedahsyatan
serangan itu. Makanya dia tidak berani bertindak ceroboh. Sebongkah batu yang
paling keras pun akan hancur berantakan apabila terkena. Buru-buru laki-laki
tinggi kurus itu melompat ke belakang, sehingga serangan itu hanya menghantam
tempat kosong, beberapa jengkal di depannya.
Tapi serangan Rara Inggar tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuh gadis
berpakaian merah itu kembali bergulingan. Dan tahu-tahu, kedua kakinya telah
meluncur cepat mengancam lutut Samparan.
Seperti juga serangan sebelumnya, serangan kali ini pun didahului deru angin
keras. Jelas, tendangan itu ditopang tenaga dalam kuat.
Kali ini Samparan tidak berani melakukan elakan
seperti semula. Sebagai orang yang telah kenyang makan asam garamnya
pertarungan, laki-laki tinggi kurus itu tahu, kalau melakukan gerakan mengelak
yang sama, serangan lanjutan kembali akan meluncur ke arahnya. Dan hal itu tidak
diinginkannya. Sambil mengeluarkan pekikan keras yang menyakitkan telinga, Samparan melompat ke
depan. Dilewatinya tubuh Rara Inggar, lalu dari atas kedua tangannya disampokkan
ke arah kepala lawan.
Wuttt...! Plakkk!
Samparan kontan meringis. Kedua tangannya yang berbenturan dengan kedua kaki
Rara Inggar nyeri bukan kepalang. Entah dengan cara bagaimana, laki-laki tinggi
kurus itu tidak mengerti. Yang jelas, tahu-tahu kedua kaki gadis berambut dikuncir itu telah melindungi kepala.
"Hup...!"
Samparan mendaratkan kedua kakinya di tanah, se-
telah bersalto beberapa kali di udara meski agak terhuyung. Dan begitu
kedudukannya telah diperbaiki, langsung tubuhnya berbalik. Kini dia bersiap-siap
menghadapi serangan susulan.
Dugaan laki-laki tinggi kurus itu ternyata tidak meleset.
Rara Inggar kembali telah menggulingkan tubuhnya.
Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya.
Kini, Samparan tidak bisa bersikap main-main lagi.
Dikerahkan seluruh kepandaian yang dimiliki, kalau tidak ingin mati sia-sia.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit dan mati-matian pun terjadi.
Sebenarnya kalau dibuat perbandingan, Rara Inggar bukan tandingan Samparan.
Laki-laki tinggi kurus itu memiliki banyak keunggulan dibanding lawannya. Baik
tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun
pengalaman bertarung. Tapi karena kedahsyatan jurus
'Tringgiling' yang dimiliki Rara Inggar, keunggulan Samparan jadi tertutupi.
Jurus 'Trenggiling' memang hebat bukan kepalang.
Bahkan pada waktu Dewa Muka Putih yang meng-
gunakannya. Raja Ular Pelenyap Sukma pun roboh
karenanya. Memang, sebenarnya tidak ada satu tokoh pun yang sanggup mengalahkan
Raja Ular Pelenyap Sukma.
Padahal, datuk sesat iu telah merajalela belasan tahun dalam rimba persilatan.
Jangankan mengalahkan,
menandinginya saja tidak ada yang mampu. Ditambah lagi, waktu itu beberapa orang
pentolan golongan putih telah bersatu padu untuk mengeroyoknya.
Sekarang, Samparan yang mendapat kesempatan
untuk menjajaki kehebatan jurus itu. Dan memang, akibatnya laki-laki tinggi
kurus itu kewalahan.
Jurus 'Trenggiling' yang menitik beratkan pada
kemampuan kaki, memang mempunyai kehebatan ter-
sendiri. Setiap serangan dan pertahanan selalu dilakukan dengan kaki. Anehnya,
ke manapun serangan dilakukan lawan, selalu bertemu sepasang kaki. Dan anehnya
lagi, dalam pengerahan jurus ini, tenaga dalam si pemakai jadi bertambah. Kedua
kaki orang yang memiliki jurus ini akan sanggup menahan gempuran lawan. Bahkan
mampu membuat tangan atau kaki orang yang memiliki tenaga dalam tinggi, akan
menjadi terasa lumpuh bila berbenturan.
Sayangnya, Rara Inggar hanya mempunyai beberapa
jurus saja dari delapan Jurus 'Trenggiling'. Bahkan jurus-jurus pamungkasnya pun
tidak dimiliki. Itulah sebabnya, meskipun berhasil mendesak Samparan, tetap saja
tidak mampu merobohkannya.
Samparan menggertakkan gigi, menahan geram.
Pertarungan telah berlangsung hampir dua puluh jurus, tapi tetap saja lawannya
tidak mampu dikalahkan.
Jangankan mengalahkan, mendesak pun tidak mampu.
Malah sebaliknya. dirinyalah yang dibuat pontang-panting oleh Rara Inggar.
Bukan hanya itu saja. Kedua tangan dan kaki
Samparan pun terasa nyeri bukan kepalang, akibat berbenturan dengan kedua kaki
lawan. Kedudukan Rara Inggar memang menyulitkan Samparan untuk melancarkan
serangan. Perasaan marah, malu, dan penasaran bercampur
aduk di hati laki-laki tinggi kurus ini. Dia adalah ketua regu Gerombolan Macan
Putih. Tapi kini menghadapi seorang gadis muda saja dibuat terpontang-panting.
Kalau didengar tokoh tokoh persilatan, mau ditaruh di mana mukanya"
Maka hal ini membuat Samparan jadi kalap bukan
kepalang. Serangan-serangannya pun dengan sendirinya jadi semakin bertubi-tubi.
Suara tangan atau kaki yang berbenturan terdengar berkali-kali. Dan hal ini
selalu membuat seringai kesakitan di mulut Samparan!
Di arena lainnya, pertarungan yang berlangsung antara Suta dengan belasan orang
Gerombolan Macan Putih berlangsung tak kalah seru.
Sepak terjang pemuda berjubah biru ternyata luar biasa. Meskipun lawan yang
dihadapinya banyak, namun dia tidak tampak terdesak. Bahkan tampak jelas kalau
pertarungan benar-benar dikuasainya.
Bangor dan Karugi merasa penasaran bukan main.
Lebih-lebih Bangor. Memang, Jalatang telah menceritakan kelihaian pemuda
berjubah biru itu. Namun sungguh di luar dugaan kalau akan sampai selihai ini.
Setiap serangan yang dilancarkannya, selalu mudah dapat dipatahkan.
Bahkan setiap kali berbenturan, tangan atau kakinya terasa sakit dan nyeri.
Jelas, tenaga dalam lawan berada di atasnya.
Yang lebih hebat lagi, Suta berani menyerahkan badan-nya sebagai tameng, untuk
menerima serangan senjata Karugi dan anak buahnya. Dan hebatnya, pemuda berjubah
biru itu sama sekali tidak terluka! Malah sebaliknya, senjata-senjata itulah
yang terpental balik. Bahkan tangan yang menggenggam senjata pun terasa sakit
bukan kepalang. Namun setiap kali Suta melancarkan serangan
balasan, dapat dipastikan beberapa sosok tubuh akan terjengkang.
Hanya saja yang menjadi bahan pemikiran Bangor.
Lawannya ternyata tak bermaksud menurunkan tangan kejam. Laki-laki bertubuh
pendek gemuk ini pun yakin kalau lawan tidak bersungguh-sungguh menghadapinya.
Hal ini bisa diketahui dari gerakan-gerakan
sembarangan yang dilakukan Suta. Padahal, Bangor ingin mengetahui ilmu-ilmu yang
dimiliki lawan. Paling tidak bisa diketahui, dari mana asal pemuda bertubuh
kekar itu. Tapi sampai sekian jauh bertarung, Bangor tetap tidak mengetahuinya. Memang,
Suta seperti menyembunyikan kepandaiannya. Gerakan-gerakan mengelak atau
menyerang pun, hanya yang umum saja. Pemuda berjubah biru belum mengeluarkan
llmu khasnya. Meskipun Suta menghadapi lawan secara
sembarangan, tetap saja Bangor tidak bisa memanfaatkan kesempatan itu. Karuan
saja hal ini membuatnya
penasaran bukan kepalang. Dan sebagai akibatnya, serangan-serangan laki-laki
pendek gemuk ini pun jadi semakin bertambah dahsyat.
Pada akhirnya, Suta ternyata memenuhi janjinya terhadap Rara Inggar. Sambil
bergerak mengelakkan
serangan-serangan yang mengancam bagian-bagian berbahaya di tubuhnya, Suta
menyempatkan diri untuk memperhatikan keadaan gadis berpakaian merah itu.
Maka tidak aneh kalau Suta mengetahui keadaan Rara Inggar, sejak melancarkan
desakan-desakan pada
Samparan. Di jurus-jurus awal, Rara Inggar berhasil membuat Samparan pontang-panting. Tapi
menginjak jurus ketiga puluh, serangan-serangan yang dilancarkan gadis
berpakaian merah mulai mengendur.
Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus ketiga
puluh dua, Rara Inggar lebih sering menangkis dan ber-tahan. Malah hampir tidak
pernah melancarkan serangan lagi. Sebagai seorang yang telah kenyang bertarung,
Samparan tentu saja tahu kelelahan yang dialami lawan.
Dan itu bisa diketahui dari napas gadis itu yang menderu-deru.
Memang itulah akibat yang harus ditanggung Rara
Inggar. Jurus 'Tringgiling' memang terlalu banyak membutuhkan pengerahan tenaga.
Padahal, gadis itu memiliki tenaga dalam yang tidak begitu kuat. Dan dengan
sendirinya, kekuatan yang dimilikinya pun terbatas.
Keadaan yang dialami Rara Inggar dipergunakan
Samparan sebaik-baiknya. Laki-laki tinggi kurus itu pun melancarkan serangan
bertubi-tubi. Dia tidak ingin mem-berikan kesempatan pada gadis berambut
dikuncir itu untuk memulihkan diri.
Kini ganti Rara Inggar yang terpontang-panting. Di awal-awal serangan Samparan,
gadis itu memang bisa mem-pergunakan sepasang kakinya untuk menangkis. Tapi
karena menggunakan jurus 'Tringgiling' itu semakin membuatnya semakin lelah,
Rara Inggar mulai mengelak.
Tanpa menggunakan jurus 'Tringgiling', tidak sulit bagi Samparan untuk
menghadapi Rara Inggar. Dalam
beberapa gebrakan saja, gadis berambut dikuncir itu sudah dibuat terpontang-
panting ke sana kemari. Bahkan hampir saja nyawanya melayang akibat cecaran
serangan yang bertubi-tubi dilancarkan Samparan. Untung di saat-saat terakhir,
dia masih mampu menyelamatkan selembar nyawanya.
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu Samparan tiba.
Kedua tangan Rara Inggar kini telah terpojok. Dan saat itulah kedua tangan laki-
laki tinggi kurus itu meluncur cepat ke arah dada kiri gadis itu.
Rara Inggar hanya bisa membelalakkan sepasang mata menanti tibanya serangan.
Jangankan untuk mengelak, menangkis pun sudah tidak sempat lagi.
Dan pada saat yang tepat, Suta melesat ke arahnya.
Cepat bukan main gerakan pemuda berjubah biru itu.
Tahu-tahu.... Plakkk...! Tubuh Samparan terlempar ke belakang ketika tangan Suta menangkis serangan. Dan
sebelum semua sempat berbuat sesuatu, pemuda bertubuh kekar itu telah menyambar
tubuh Rara Inggar. Dan sekali kakinya
bergerak melangkah, tubuhnya telah berada dalam jarak belasan tombak dari situ.
"Kejar...!" teriak Bangor keras memberi perintah seraya bergerak mengejar
diikuti Karugi dan belasan anak buahnya. Sementara Jalatang yang sejak tadi
menonton jalannya pertarungan karena keadaannya yang tidak memungkinkan, segera
melesat ke arah Samparan yang terguling-guling di tanah.
Samparan berusaha bangkit berdiri. Tapi....
"Huaaakh...!"
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Darah segera muncrat dari mulutnya. Jelas laki-laki bertubuh tinggi kurus itu
terluka dalam. Bahkan sambungan siku tangannya terlepas, saking kerasnya tenaga
tangkisan yang diketuarkan Suta.
Jalatang yang saat itu tengah membungkukkan tubuh dan menunduk, mengangkat
kepalanya begitu mendengar adanya suara langkah-langkah kaki mendekat. Tampak
Bangor, Karugi, dan belasan orang anggota Gerombolan Macan Putih.
Tanpa bertanya pun laki-laki berwajah bopeng itu tahu kalau Suta dan Rara Inggar
telah berhasil meloloskan diri.
Dan hal itu tidak aneh. Karena, di samping ilmu meringankan tubuh pemuda
berjubah biru itu memang tinggi, suasana malam yang gelap dan kerimbunan pohon,
membuat Suta lebih cepat meloloskan diri
Dengan langkah lesu, rombongan Gerombolan Macan
Putih itu pun kembali meninggalkan tempat itu. Rekan-rekan mereka yang luka-luka
harus terpaksa ditandu atau dipapah.
"Kurasa, ketua harus turun tangan kalau masih ingin melenyapkan gadis liar
itu...," kata Karugi pelan.
"Benar," sambut Bangor. "Pemuda itu memang terlalu sakti untuk kita lawan....
Hanya ketualah yang akan sanggup menaklukkannya."
"Meskipun ketua turun tangan, tapi aku masih ragu, Kang Bangor. Ilmu pemuda itu
terlalu tinggi. Mungkin kalau ketua dan wakil ketua maju bersama, pemuda itu
dapat dirobohkan."
Bangor menatapi Karugi dengan sinar mata penuh
teguran. "Kau terlalu meremehkan ketua, Karugi. Kau tahu, semua ilmu Raja Ular Pelenyap
Sukma sudah dikuasai ketua.... Bahkan ketua masih mempunyai keunggulan, yaitu
jurus 'Macan'nya. Hanya satu yang belum dikuasainya, yakni ilmu 'Pelenyap
Sukma'. Karena, kitab dan seruling itu dirampas Dewa Muka Putih!"
"Aku tahu, Kang Bangor. Itulah sebabnya, ketua menyuruh kita menyelidiki tempat
tinggal kedua orang murid Dewa Muka Putih lainnya. Karena, kitab dan seruling
itu ternyata tidak berada di Perguruan Hati Naga...."
Bangor tidak menanggapi ucapan itu. Sementara
Karugi pun sadar kalau laki-laki pendek gemuk itu tidak mau memperpanjang
pembicaraan. Maka, dia hanya terdiam. Dan kini mereka melanjutkan perjalanan
tanpa berkata-kata lagi.
Sama sekali Gerombolan Macan Putih itu tidak
mengetahui kalau sepeninggal mereka, dua sosok tubuh pun melesat turun dari atas
pepohonan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati"
"Kalau saja, pemuda itu tidak cepat bertindak, mungkin aku telah keburu turun
tangan, Kang Arya." kata Melati.
"Lebih baik kita memang tidak ikut campur dulu, Melati," sahut Arya, tenang.
"Mengapa, Kang?" tanya Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.
"Karena kita tidak tahu masalahnya. Kita tidak tahu, siapa yang benar dan yang
salah. Bukankah kita datang, pada saat mereka tengah bertarung?"
"Tapi, Kang. Aku yakin kalau sepasang muda-mudi itu berada di pihak yang benar."
bantah Melati tak mau kalah.
"Siapa yang tidak kenal kekejian Gerombolan Macan Putih"!"
"Gerombolan Macan Putih"! Jadi, belasan orang berpakaian hitam itu adalah
Gerombolan Macan Putih"
Dari mana kau mengetahuinya, Melati?"
"Mudah saja, Kang," jawab gadis berpakaian putih itu, kalem.
Arya mengernyitkan keningnya sebentar.
"Kau benar, Melati. Mereka adalah Gerombolan Macan Putih! Gambar kepala seekor
macan di dada kiri mereka itu pasti yang membuatmu mengenali mereka, bukan?"
Gadis berpakaian putih itu menganggukkan kepala
sambil tersenyum manis.
"Lebih baik, kita susul sepasang muda-mudi itu, Melati,"
ujar Dewa Arak mengalihkan perhatian "Aku yakin, gerombolan itu akan terus
mengejar mereka!"
"Kau benar, Kang," sambut gadis berambut panjang itu cepat "Lagi pula, tanganku
sudah gatal-gatal, nih! Sudah lama aku tidak memukuli orang-orang jahat!"
Arya hanya tersenyum lebar mendengar ucapan
kekasihnya. Dengan mulut masih menyunggingkan
senyum, kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Melati yang tidak mau tertinggal, ikut melangkah pula.
Luar biasa! Yang tampak hanyalah seleret bayangan ungu dan putih yang melesat,
kemudian lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
*** 5 Hari sudah agak siang ketika sebuah perahu meluncur ke tengah danau.
"Di pulau itulah paman guruku tinggal, Suta," jelas Rara Inggar seraya
menudingkan jari telunjuknya ke arah sebuah pulau yang tampak samar-samar di
depan. Memang, gadis berpakaian merah itu akhirnya mengambil keputusan untuk mengajak
Suta ke tempat tinggal paman gurunya. Rara Inggar ingin memperkenalkan orang
yang telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya pada kedua paman gurunya.
Dapat dibayangkan, betapa gembiranya hati Rara
Inggar ketika Suta menyatakan kesanggupannya untuk ikut bersamanya. Itulah
sebabnya, kini mereka berperahu berdua di tengah danau.
"Hm...." Suta hanya menggumam saja.
Tangan kanan pemuda itu tetap mengayuhkan dayung.
Menilik dari luncuran perahu yang cepat, bisa diperkirakan kalau pemuda berjubah
biru itu mengerahkan sebagian besar tenaga dalam pada kedua tangannya.
Karena perahu itu meluncur cepat, dalam waktu
sebentar saja pulau kecil yang dituju telah berada di depan mata.
"Hup...! Suta melompat ketika perahunya telah mencapai tepi danau. Rara Inggar juga
melompat menyusul.
Dan begitu kedua kakinya telah mendarat di tanah, Suta segera menyeret perahu
itu ke darat. Lalu, ditambatkannya perahu itu pada patok yang telah tersedia.
"Kau pernah kemari, Inggar?" tanya Suta setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sudah dua kali aku kemari," jawab gadis berpakaian merah itu.
Suta mengangguk-anggukkan kepala.
"Mari, Suta...," ajak Rara Inggar sambil bergerak mendahului menuju ke dalam
pulau. Suta pun melangkah mengikuti di belakang. Semula dikira, mudah saja menemukan
tempat tinggal kedua paman guru Rara Inggar setelah berada di pulau itu. Tapi
ternyata tidak sesederhana itu!
Ternyata, mereka berdua harus melewati kerimbunan semak-semak di sana-sini dan
jalan berliku-liku. Itu pun memakan waktu yang agak lama, sebelum akhirnya tiba
di sebuah tempat yang terlihat nyaman. Memang, di kanan kiri jalan yang
ditumbuhi hamparan rumput hijau halus dan dipotong pendek, juga ditumbuhi
tanaman bunga-bunga dan rempah-rempah.
"Itulah tempat tinggal paman guru...." Rara Inggar menudingkan jari telunjuknya
ke arah sebuah bangunan sederhana yang terletak sekitar delapan tombak di depan
mereka. Sebenarnya tanpa diberi tahu, Suta sudah bisa
memperkirakan. "Paman...! Paman Karundeng...!" panggil Rara Inggar sambil berhambur ke arah
seorang laki-laki setengah baya yang baru keluar dari dalam pondok.
Laki-laki kecil kurus dan berpakaian abu-abu yang dipanggil Karundeng pun
bergerak menyambuti.
"Inggar...! Ya Tuhan...! Kau benar, Rara Inggar...!"
teriakan bernada kaget keluar dari mulut Karundeng.
Karena kedua belah pihak sama-sama bergerak men-
dekat di pertengahan jalan tubuh keduanya bertemu dalam sebuah pelukan
kerinduan. "Inggar...! Mana ayah dan ibumu...?" tanya Karundeng sambil memeluk tubuh gadis
berpakaian merah itu erat-erat. Pandangan matanya beredar berkeliling mencari-
cari orang tua Rara Inggar. "Dan... siapa pemuda gagah itu?"
"Ceritanya panjang, Paman .," kata Rara Inggar dengan suara tersendat-sendat.
Kesedihan yang selama ini selalu ditahan karena tidak ada tempat pencurahan,
ditumpah-kan semua pada pamannya.
Air mata yang selama ini diusahakannya untuk tidak keluar, kini tumpah ruah.
Tubuh gadis berpakaian merah itu pun terguncang-guncang karena isak tangis yang
melanda. Sebagai seorang yang telah berpengalaman,
Karundeng tahu kalau jiwa murid ponakannya ini tengah terguncang. Oleh karena
itu dibiarkan saja, Rara Inggar menangis. Laki-laki kecil kurus ini tahu, tangis
akan dapat mengurangi tekanan perasaan yang mendera keponakannya itu.
Tak lama kemudian, Rara Inggar pun berhasil
menguasai perasaan. Dilepaskan pelukan pada pamannya, kemudian air matanya
disusut. "Maafkan aku, Paman. Aku telah mengotori pakaian Paman..," ucap Rara Inggar
malu-malu. Suara gadis berpakaian merah itu masih terdengar serak, karena habis menangis.
Bahkan wajah dan hidung-nya pun masih merah.
"Lupakanlah, Inggar," sahut Karundeng sambil mengelus kepala gadis berpakaian
merah itu penuh kasih sayang. "Sekarang, centakanlah apa yang terjadi. Dan siapa
pula pemuda yang gagah itu."
Rara Inggar terkejut bukan main, mendengar ucapan Karundeng. Sungguh keterlaluan
sekali. Dia telah mengabaikan Suta! Maka buru-buru tangannya digapaikan pada
pemuda berjubah biru itu.
Dengan sikap tenang seperti biasanya. Suta melangkah mendekat.
"Inilah orang yang selalu menyelamatkan nyawaku, Paman. Suta namanya ," kata
Rara Inggar memperkenalkan. Suta mengulurkan tangannya.
"Ah...! Terima kasih atas pertolonganmu, Suta. Aku Karundeng," laki-laki
berpakaian abu-abu itu balas mengulurkan tangan dan kemudian menggenggamnya
erat-erat. "Inggar terlalu membesar-besarkan, Paman." elak pemuda berjubah biru itu, ikut
memanggil paman pada Karundeng. Perlahan-lahan genggaman tangannya dilepaskan.
"Padahal pertolongan yang kuberikan tidak seberapa...."
Karundeng tersenyum lebar. Dia tahu, memang begitu seharusnya sikap seorang
pendekar tulen. Paling tidak agar orang yang ditolong tidak terjerat dalam
keinginan untuk membalas budi.
"O, ya. Di mana Paman Tapas Jaya, Paman?" tanya Rara Inggar ketika teringat
ketidakhadiran paman gurunya yang satunya lagi.
"Dia tengah tidak mau diganggu. Inggar. Tapi, nanti akan kupanggilkan. Sekarang
yang penting, ceritakanlah apa yang telah terjadi. Barangkali, Suta juga ingin
mendengarnya."
Rara Inggar menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat untuk menenangkan hati. Baru setelah dirinya telah terasa
tenang, gadis berpakaian merah itu mulai bercerita. Sementara, Karundeng dan
Suta mendengarkannya. Meskipun sudah mendengar ceritanya dari Rara Inggar, tapi
Suta tidak keberatan untuk ikut mendengarkan kembali.
Beberapa kali sewaktu Rara Inggar bercerita,
Karundeng menggertakkan gigi menahan geram. Tapi perasaan geramnya itu masih
kalah besar oleh perasaan terkejut yang melanda.
"Begitulah ceritanya, Paman," tutur Rara Inggar.
Karundeng tercenung beberapa saat.
"Apa yang dikhawatirkan Kakang Tapas Jaya ternyata benar...." pelan dan bernada
keluhan ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berpakaian abu-abu itu.
"Maksud, Paman?" tanya Rara Inggar. Kedua alisnya hampir bertautan. Suta pun
menatap wajah Karundeng tajam tajam. Ada sorot pertanyaan memancar pada
sepasang mata yang mencorong itu.
"Bertahun-tahun yang lalu..., Kakang Tapas Jaya telah menduga Raja Ular Pelenyap
Sukma pasti akan mempunyai ahli waris. Dan dia yakin ahli waris Raja Ular
Pelenyap Sukma akan menguasai kepandaian yang
dimilikinya. Mengapa demikian" Karena bagi golongan seperti mereka, banyak jalan
untuk mencapainya "
Karundeng menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas.
"Di lain pihak, kami berempat yang menjadi murid Dewa Muka Putih tak lebih dari
keledai-keledai dungu. Di antara kami semua, hanya Rupaksa yaitu ayahmu, yang
paling berhasil menguasai jurus 'Trenggiling' yang dapat melumpuhkan ilmu-ilmu
milik Raja Ular Pelenyap Sukma itu." "Jadi.. ayah yang paling menguasai jurus
'Trenggiling' itu, Paman?" tanya Rara Inggar setengah tak percaya.
"Benar," Karundeng menganggukkan kepala. "Dia berhasil menguasai dua belas dari
delapan belas jurus
'Trenggiling'. Itu pun tidak begitu sempurna dikuasainya.
Dan menilik dari tewasnya ayahmu di tangan ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma,
sudah bisa kuperkirakan kalau ahli waris itu telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu
yang dimiliki tokoh sesat yang menggiriskan itu!"
"Hm.... Lalu..?"
Suasana menjadi hening sejenak ketika Karundeng
menghentikan ucapannya.
"Kini aku mengerti...!" seru Rara Inggar tiba-tiba.
''Paman Tapas Jaya tengah berusaha menguasai jurus
'Trenggiling'. Bukan begitu"!"
Dengan perasaan berat Karundeng menganggukkan
kepala. "Belasan tahun dia bergelut dengan jurus 'Trenggiling'
tapi tetap hanya mampu mempelajari tiga belas jurus," Ada nada keluhan dalam
ucapan laki-laki kecil kurus itu.
"Mengapa begitu, Paman?" Rara Inggar mengajukan keheranannya.
"Jurus 'Trenggiling' bukan ilmu sembarangan, Rara Inggar. Justru jurus itu malah
penuh bahayanya. Apalagi bila mempelajarinya tanpa pembimbing. Akibatnya akan
sangat berbahaya. Bahkan pamanmu itu mengalami nasib seperti itu."
"Maksud. Paman...?"
"Kakang Tapas Jaya selalu mengalami akibat yang tidak menyenangkan setiap kali
melatih jurus keempat belas...."
lanjut Karundeng setengah mengeluh.
"Ahhh...!" Rara Inggar memeklk kaget.
"Satu-satunya orang yang berhasil mencapai jurus ketujuh belas adalah putra
kakek gurumu Tapi, sayang...,"
Karundeng menghentikan ucapan. Raut wajahnya
menyiratkan penyesalan yang amat hebat.
"Hhh...!"
Rara Inggar menghela napas berat. Tanpa laki-laki kecil kurus itu meneruskan,
sudah bisa diperkirakan kelanjutan-nya. Memang gadis itu sudah mengetahui nasib
yang menimpa putra kakek gurunya.
"Mengapa dia masih bisa dikalahkan Raja Ular Pelenyap Sukma. Paman" Bukankah dia
telah menguasai hampir seluruh rangkaian jurus dalam jurus 'Tringgling'?"
"Banyak hal yang menyebabkan putra kakek gurumu itu tewas di tangan Raja Ular
Pelenyap Sukma," sahut Karundeng dengan wajah murung.
Rupanya kenangan menyedihkan itu belum dapat
dilupakannya. Terbukti kesedihan masih tergambar di wajahnya sekalipun peristiwa
itu telah lama berlalu.
"Saat itu, dia masih sangat muda dan belum
berpengalaman. Apalagi, untuk menghadapi seorang tokoh kawakan semacam Raja Ular
Pelenyap Sukma." lanjut kakek kecil kurus itu memberi penjelasan. "Kau tahu
Inggar, Raja Ular Pelenyap Sukma tidak hanya menggunakan ilmu kepandaian yang
wajar untuk menghadapi lawan, tapi juga menggunakan ilmu hitam. Itulah sebabnya
dia mendapat julukan Pelenyap Sukma di samping julukan Raja Ular."
Karundeng menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas.
"Untuk menggunakan ilmu hitamnya tokoh itu menggunakan pula senjata andalannya
yang bernama Suling Naga. Tanpa adanya benda itu, ilmu-ilmu hitamnya tidak akan
bisa dipergunakan. Keampuhan Suling Naga memang sangat dahsyat. Dengan nada-nada
tertentu. Raja Ular Pelenyap Sukma bisa memanggil segala macam ular, dan dapat
diperintahkan sekehendak hatinya."
Rara Inggar mengangguk-anggukkan kepala. Perasaan ngeri menghinggapi dirinya.
Sungguh tidak pernah disangka akan begitu mengerikan tokoh yang berjuluk Raja
Ular Pelenyap Sukma itu.
"Sulit kubayangkan ketinggian ilmu kakek guru sehingga Raja Ular Pelenyap Sukma
yang begitu mengerikan bisa dikalahkan...," kata Rara Inggar seperti berbicara
pada diri sendiri
"Dengan jurus 'Trenggiling' tingkat terakhir, kakek gurumu berhasil menaklukkan
Raja Ular Pelenyap Sukma.
Kau tahu, Inggar. Jurus kedelapan belas 'Trenggiling' membuat Suling Naga Raja
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ular Pelenyap Sukma kehilangan keperkasaannya...."
"Apakah ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma itu memiliki juga ilmu-ilmu hitam
peninggalan leluhurnya, Paman?" tanya Rara Inggar.
Ada nada kegentaran pada suara gadis berambut
dikuncir itu. Dan itu dapat dirasakan baik Karundeng maupun Suta.
Karundeng menggelengkan kepala sambil tersenyum
lebar. "Mengapa, Paman?" desak Rara Inggar penasaran.
"Karena kakek gurumu telah mengambil Suling Naga dari tangan Raja Ular Pelenyap
Sukma. Tanpa adanya senjata itu tetap saja tidak bisa menggunakannya, meskipun
si ahli waris telah menghafal kitab itu."
"Lalu... di manakah Suling Naga itu, Paman?" tanya Rara Inggar ingin tahu. "Aku
ingin sekali melihat bentuk suling yang memiliki nama begitu gagah."
Kakek kecil kurus itu mengangkat bahu.
"Entahlah. Kakek gurumu tidak pernah membicarakan senjata itu padaku. Mungkin
pada ayahmu, ibumu, atau pada Kakang Tapas Jaya. Tapi kalau menurut dugaanku,
Suling Naga itu mungkn diberikan pada ayahmu, Inggar.
Karena, dialah murid yang paling berbakat."
"Tapi ayah tidak menyimpan benda itu, Paman. Kalau benar dia yang menyimpannya,
pasti akan diberikan padaku untuk diselamatkan..."
"Kalau begitu, benda itu pasti ada di tangan Kakang Tapas Jaya."
"Maaf, Paman, Inggar. Kurasa aku telah terlalu lama berada di sini. Aku ingin
pamit saja. Hatiku sudah lega karena kau telah tiba selamat di sini," Suta yang
sejak tadi bertindak sebagai pendengar, buru-buru menyelak pembicaraan ketika
Karundeng menghentikan cerita
"Lho"!"
Bukan hanya Rara Inggar saja yang terkejut, Karundeng pun demikian pula.
"Mengapa buru-buru, Suta. Masuklah dulu ke dalam untuk benstirahat...," sambut
Karundeng buru-buru.
"Terima kasih, Paman. Tapi, aku masih mempunyai keperluan di Desa Mentawa...,"
tolak Suta halus.
Rara Inggar baru saja hendak membuka mulut, tapi segera ditahan karena Karundeng
telah mendahuluinya.
"Baiklah, Suta. Tapi jangan lupa singgah kemari, bila kau sempat."
"Jangan khawatir, Paman. Sehabis menyelesaikan urusan di Desa Mentawa, aku akan
singgah kemari," Janji Suta.
Setelah berkata demikian, Suta melesat meninggalkan tempat itu. Meskipun baru
sekali ke tempat Karundeng, tapi dia tidak mengalami kesulitan untuk kembali ke
tempat semula, ketika perahu ditambatkan.
*** 6 Brosss...! Tanah keras seketika amblas sedalam betis begitu kaki kanan seorang laki-laki
yang bertubuh kekar dijejakkan.
Menilik akibatnya, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam pemilik kaki itu.
Dia adalah seorang laki-laki dengan bentuk tubuh kekar berotot. Dadanya
telanjang dan hanya mengenakan sehelai celana panjang berwarna putih.
Hanya sayangnya, wajah laki-laki bertubuh kekar
berotot ini tidak tampak jelas. Dandanan yang menghias, membuat raut wajahnya
jadi mirip seekor macan. Itu pun masih ditambah lagi dengan adanya bulu-bulu
halus yang menempel, meramaikan selebar wajahnya.
Tidak hanya itu saja keanehan yang dimiliki laki-laki yang tampaknya memiliki
kepandaian tinggi, mengingat akibat yang ditimbulkan pada tanah keras itu. Di
bagian dada nya terlukis gambar kepala seekor macan putih yang besar.
"Kalian tahu, mengapa aku marah besar"!"
Kembali suara menggeledek terdengar dari mulut laki-laki bertubuh kekar berotot
itu. Pandangannya juga beredar ke arah puluhan orang yang berdiri di hadapannya.
Mereka rata-rata mengenakan pakaian hitam, dan memiliki sulaman gambar kepala
macan putih di dada kiri.
Sedangkan di sebelah laki-laki bercelana putih yang tengah marah-marah itu,
tampak seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari
kulit macan putih. Dia juga memiliki sulaman gambar kepala seekor macan pada
bagian dada. Wajahnya juga penuh coreng moreng dan bulu-bulu yang membuat raut
wajahnya mirip wajah seekor macan!
Laki-laki kekar dan wanita tua itu adalah Ketua dan Wakil Ketua Gerombolan Macan
Putih! Puluhan orang berseragam hitam itu yang sejak tadi hanya menundukkan kepala
saja, perlahan mengangguk bersamaan seperti diberi perintah. Perasaan yang
melanda mereka pun sama. Mereka sama-sama takut bukan
kepalang melihat kemurkaan sang Ketua. Sehingga, terik matahari yang tepat
berada di atas kepala, sama sekali tidak dirasakan. Padahal, mereka tengah
berdiri di tanah lapang yang hanya sedikit ditumbuhi rumput. Sementara, di
sekeliling mereka bertebaran pepohonan lebat.
Tanpa disadari Gerombolan Macan Putih ternyata ada dua sosok tubuh yang tengah
mengintai. Dua orang itu, adalah pemuda berambut putih keperakan dan seorang
gadis cantik berpakaian putih. Mereka tak lain adalah Arya dan Melati.
Memang, begitu tidak menemukan jejak Suta dan Rara Inggar, Arya dan Melati
akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak Gerombolan Macan Putih. Barangkali
saja dengan mengikuti jejak gerombolan itu, Suta dan Rara Inggar bisa ditemukan.
Akhirnya setelah melakukan pencarian terus menerus, mereka berhasil menemukan
tempat pertemuan
Gerombolan Macan Putih. Mereka sempat melihat juga kedatangan sang Ketua yang
agak terlambat, ketika matahari telah hampir berada di atas kepala.
Dan begitu tiba, sang Ketua itu sudah membuat Arya dan Melati terkejut. Sang
Ketua Gerombolan Macan Putih itu ternyata tengah murka! Rasa-rasanya, akan ada
anak buahnya yang diberi hukuman. Dan sepasang pendekar itu ingin mengetahui,
penyebab kemarahan sang Ketua itu. Di samping itu juga ingin mengetahui secara
lebih jelas duduk masalahnya. Itulah sebabnya, dari tempat persembunyian, Arya
dan Melati hanya memperhatikan saja.
"Jadi kalian tahu"! Coba katakan...!" dengus Ketua Gerombolan Macan Putih.
"Karena kegagalan kami menangkap putri Ketua Perguruan Hati Naga, Ketua," Bangor
yang memberanikan diri mengajukan jawaban.
"Hmh..." dengus laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Karuan saja sambutan sang Ketua membuat wajah laki-laki pendek gemuk itu pucat.
"Bagaimana dengan yang lain"
Apa jawaban kalian?"
Semua kepala terangguk. Jelas mereka semua mem-
punyai jawaban pertanyaan yang sama.
"Bodoh kalian semua...!"
Kontan tubuh puluhan anggota Gerombolan Macan
Putih itu terlonjak ketika sang Ketua mendadak mem-bentak nyaring. Wajah mereka
semuanya pucat "Kalian semua dengar! Aku tidak akan semarah ini bila kalian hanya gagal
menangkap putri musuh leluhurku! Tapi yang membuatku marah, adanya orang-orang
yang berani melanggar laranganku dan menyelewengkan perintah-perintahku di
antara kalian semua."
Tegas, jelas, dan keras sekali ucapan yang dikeluarkan Ketua Gerombolan Macan
Putih itu. "Dan seperti yang telah kalian ketahui.... Aku tidak akan mendiamkan saja orang-
orang yang berani menentang perintah dan laranganku! Kuharap... orang-orang yang
merasa melakukan kesalahan maju ke depan, sebelum aku sendiri yang akan
menyeretnya kemari!" ujar laki-laki bertubuh kekar berotot itu sambil
melayangkan pandangan. Wajah Jalatang dan Samparan pucat pasi seketika.
Memang, kedua orang inilah yang telah melakukan
kesalahan seperti yang telah disebutkan ketua mereka.
"Hmh...! Di samping berani menginjak-injak peraturan, orang-orang tak berguna
itu tidak berani pula mem-pertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka harus
dihukum berat, Kala. Biar menjadi contoh bagi yang lain,"
tambah wanita berpakaian kulit macan putih, dingin.
Setelah beberapa saat lamanya perintah Ketua
Gerombolan Macan Putih, sama sekali tidak ada tanda-tanda akan ada yang maju
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 15 Tembang Tantangan Karya S H Mintardja Perjodohan Busur Kumala 13