Teror Macan Putih 1
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih Bagian 1
1 Angin malam yang berhembus keras, begitu dingin meng-gigilkan tulang di sekujur
tubuh. Bulan penuh tampak di langit. Sinarnya yang cukup terang berwarna kuning
keperakan, memancar ke bumi. Suasana malam ini
demikian hening dan sepi. Bahkan tak nampak ada
binatang yang bergerak barang seekor pun.
Dalam suasana malam seperti ini, rasanya orang akan lebih suka tinggal di dalam
rumah, berkawan selimut dan pembaringan. Namun tidak demikian dengan dua orang
yang masing-masing berpakaian serba abu-abu dan merah.
Dalam suasana seperti ini, ternyata mereka masih berada di luar rumah, di atas
punggung kuda masing-masing.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Mereka terus memacu kudanya tergesa-gesa, melewati jalan tanah berdebu. Berkali-
kali pecut mereka dihantam-kan ke bagian belakang binatang tunggangan masing-
masing. Yang berpakaian serba abu-abu ternyata laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun. Matanya sipit, sehingga seperti sebuah garis saja layaknya. Sementara
orang yang berpakaian serba merah, adalah seorang gadis berusia sekitar dua
puluh tahun. Wajahnya yang cantik dan manis, semakin bertambah manis dengan
dandanan rambutnya yang dikuncir ke belakang. Apalagi sinar rembulan yang berwarna kuning
keemasan memperjelas keadaan wajahnya. Sehingga, membuat kecantikannya semakin
menonjol. "Apakah mereka tidak akan mengejar kita, Paman Kusuma?" tanya gadis cantik itu.
Kepalanya ditolehkan ke arah laki-laki berpakaian serba abu-abu, seraya tetap
menghentakkan pecutnya ke bagian belakang kudanya agar binatang itu mampu
beriari semakin cepat.
"Mereka pasti akan mengejar kita, Rara Inggar," sahut laki-laki bermata sipit
yang dipanggil Paman Kusuma seraya tetap memacu kudanya. Raut wajahnya
menyiratkan kecemasan yang amat sangat. Jelas, ada sesuatu yang ditakutinya.
Belum juga ucapan Kusuma lenyap, terdengar gemuruh langkah kaki kuda di belakang
mereka. "Kau benar, Paman..!" seru gadis yang ternyata bernama Rara Inggar keras.
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"
Memang, di belakang mereka dalam jarak sekitar
sepuluh tombak, nampak serombongan orang berkuda.
Rata-rata, mereka mengenakan pakaian serba hitam yang pada bagian dadanya
terdapat gambar kepala seekor macan putih.
"Itu mereka...!" teriak salah seorang dari rombongan yang berkuda paling depan
seraya menudingkan telunjuknya ke arah Kusuma dan Rara Inggar. Dia adalah
seorang laki-laki berwajah bopeng. "Cepat susul mereka sebelum memasuki desa di
depan!" Perintah laki-laki berwajah bopeng itu membuat anak buahnya berusaha menyusul
sekuat tenaga. Maka dengan sendirinya, pecut mereka pun menghantam bertubi-tubi
ke bagian belakang tubuh binatang tunggangan masing-masing. Akibatnya, kuda-kuda
yang merasa kesakitan itu terpaksa berlari lebih cepat. Maka di malam yang sepi
dan hening itu terjadi kejar-kejaran yang menegangkan. Derap kaki kuda yang
bertubi-tubi menghantam bumi, memecahkan keheningan malam yang sepi.
Kusuma dan Rara Inggar berusaha memacu kuda
secepat mungkin. Pecut dan mulut mereka tak henti-hentinya bekerja dan berteriak
dalam upaya mempercepat laju kuda. Tapi hal yang sama juga dilakukan para
pengejar berpakaian hitam di bawah pimpinan laki-laki berwajah bopeng.
Masing-masing pihak berusaha sekuat tenaga meng-
ungguli lawan. Dan memang, hasilnya ditentukan kuda tunggangan mereka. Namun
ternyata, kuda orang-orang berpakaian hitam itu begitu kuat dan memiliki
kemampuan lari yang cepat.
Dan kini, sedikit demi sedikit jarak di antara mereka semakin bertambah dekat.
Maka sudah bisa diperkirakan hasilnya.
Tapi, rupanya laki-laki berwajah bopeng itu tidak sabar lagi menunggu. Tangan
kanannya segera dimasukkan ke balik baju, sehingga tali kekang kuda itu kini
hanya dipegang tangan kiri. Hanya sabentar saja tangannya masuk ke balik baju,
dan begitu keluar langsung bergerak mengibas.
Sing, sing, sing...!
Suara mendesing nyaring terdengar seiring kibasan tangan laki-laki berwajah
bopeng. Bukan itu saja. Dan kini beberapa benda berkilatan pun menyambar cepat
ke arah sasarannya.
Namun Kusuma dan Rara Inggar bukan orang bodoh.
Meskipun tidak mendengar, tapi dari suara desing tajam langsung bisa diketahui
kalau lawan telah mengirimkan serangan.
Cappp...! Satu dari sekian banyak pisau yang dilepaskan laki-laki berwajah bopeng itu
ternyata mengenai kaki kuda Kusuma.
Seketika terdengar ringkikan diiringi tersungkurnya kuda ke tanah bersama tubuh
laki-laki bermata sipit itu.
"Paman...!" jerit Rara inggar kaget.
"Jangan pedulikan aku, Inggar! Cepat lari!" seruan kecemasan Kusuma telah
memaksa Rara Inggar memacu kudanya kembali.
Tubuh laki-laki berpakaian abu-abu itu jatuh di tanah.
Dan sebelum bangkit berdiri, tangan kanannya bergerak mengibas. Dan....
Sing, sing, sing...!
Sinar-sinar terang berkilauan seketika meluncur cepat ke arah gerombolan orang-
orang berseragam hitam itu.
"Keparat...!"
Laki-laki berwajah bopeng itu berteriak memaki melihat serangan benda-benda
berkilauan yang tak lain dari beberapa bilah pisau. Mau tidak mau, hal itu
membuat dia dan rombongannya memperlambat langkah kuda untuk menghadapi
serangan. Beberapa di antara mereka segera mencabut senjata masing-masing untuk menangkis
serangan. Maka suara berdentang nyaring kontan terdengar ketika senjata-senjata
itu beradu. Lain lagi yang dilakukan laki-laki berwajah bopeng itu.
Serangan pisau itu dihadapinya dengan mengelak. Tubuhnya dirapatkan dengan
punggung kuda, sambil tetap memacu kuda. Tampaknya serangan pisau itu menuju ke
arah dada. Maka, serangan itu pun tewat sejengkal di atas kepala.
Hanya itu yang sempat dilihat Rara Inggar. Karena, pecutnya langsung dilayangkan
ke arah bagian belakang tubuh binatang tunggangannya.
Sesak rasanya dada gadis berpakaian merah itu oleh keharuan menggelegak.
Sepasang matanya pun merembang berkaca-kaca. Ada sedu sedan yang naik ke
kerongkongannya, sehingga membuat suaranya jadi bercampur isak.
"Selamat tinggal, Paman...'" ucap Rara Inggar.
"Selamat jalan Inggar...!" balas laki-laki bermata sipit itu. Dan saat itulah
kuda tunggangan laki-laki berwajah bopeng meluncur tiba! Hal ini membuat Kusuma
kaget bukan kepalang. Dengan sebisa-bisanya dia melompat ke samping kanan untuk
menghindari tabrakan kuda itu.
Usaha yang dilakukan Kusuma memang berhasil. Tapi, kaki lawan tak tinggal diam.
Begitu laki-laki berpakaian abu-abu itu mengelakkan diri, kaki kiri lawan
melayang. Bukkk...! Keras bukan main tendangan yang dilancarkan laki-laki berwajah bopeng itu.
Tambahan lagi, tendangan itu begitu telak menghantam perut Kusuma. Akibatnya,
tubuh laki-laki bermata sipit itu terjengkang ke belakang. Keluhan tertahan
terdengar mengiringi tersungkurnya tubuh Kusuma.
Suara berdebuk keras kontan terdengar begitu tubuh Kusuma jatuh di atas tanah.
"Bunuh monyet kecil itu, sementara yang lain ikut aku!
Kita harus mendapatkan gadis berpakaian merah itu!"
Tanpa menunggu sambutan rekan rekannya, laki-laki berwajah bopeng itu telah
memacu kudanya. Suara derap kaki kuda dan debu yang mengepul tinggi ke udara
mengiringi kepergian laki-laki berwajah bopeng itu, untuk menyergap Rara Inggar.
Empat dari belasan gerombolan berpakaian hitam
segera menarik tali kekang kudanya, kemudian ber-lompatan mengepung Kusuma.
Sedangkan sisanya yang tak kurang dari sepuluh orang, melecutkan cambuknya,
terus mengikuti laki-laki berwajah bopeng itu.
Ctarrr, ctarrr...!
*** Kusuma berusaha keras untuk bangkit, walaupun rasa
sakit dan mual yang amat sangat menyengat perutnya.
Giginya bergemeretak berkali-ka-i menahan rasa sakit dan amarah yang bercampur
menjadi satu. Memang, akhirnya laki-laki bermata sipit itu berhasil bangkit berdiri. Tapi
belum bisa berdiri tegak, empat orang berseragam hitam telah siap menyerangnya.
Srat, srat, srat...!
Sinar-sinar terang berkeredep ketika tiga orang berpakaian hitam itu mencabut
senjata masing-masing. Kini di tangan mereka telah tergenggam sebilah pedang
yang bergagang kepala harimau, berwarna putih.
"Saat ajalmu sebentar lagi tiba, Tua Bangka...!" ancam salah satu dari empat orang
berpakaian hitam itu. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh pendek kekar.
Kusuma berusaha menegakkan tubuh, tapi ternyata
tidak mampu, karena rasa sakit di perutnya. Maka dengan terbungkuk-bungkuk
kakinya melangkah mundur seraya mencabut golok yang tergantung di pinggang.
Srattt..! "He... he... he...!"
Laki-laki bertubuh pendek tertawa terkekeh seraya melangkah maju. Jelas, hatinya
merasa geli melihat Kusuma yang hendak mengadakan perlawanan.
"Biar aku saja yang membereskan keledai ini...!" pinta laki-laki bertubuh pendek
itu, sombong. "Terserah padamu, Sancang." sahut rekannya yang berkumis tipis seraya mengangkat
bahu. Maka langkah kakinya pun dihentikan.
Hal yang sama ternyata dilakukan rekan yang lainnya.
Mereka pun menghentikan langkahnya pula. Memang, ketiga orang itu bermaksud
membiarkan laki-laki bertubuh pendek yang ternyata bernama Sancang untuk
menyelesaikan lawannya tanpa di bantu.
Kusuma menyipitkan mata untuk memperjelas
pandangannya. Meskipun keadaan tubuhnya belum pulih dan masih terbungkuk-
bungkuk, namun berusaha
menguatkan diri kalau nyawanya ingin selamat. Laki-laki berpakaian abu-abu itu
hanya memperhatikan dengan seksama langkah-langkah Sancang.
Langkah Sancang bergerak menggeser saat mendekati Kusuma. Kedua telapak kakinya
tetap menyentuh tanah.
"Haaat..!"
Begitu jarak mereka telah dekat, Sancang mulai
melancarkan serangan. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah ulu hati. Kusuma
tentu saja tidak sudi membiarkan lawan mengancam nyawanya. Maka goloknya
segera digerakkan untuk menangkis serangan pedang itu.
Trang...! Bunga api berpijar ketika dua bilah senjata berbeda itu berbenturan nyaring.
Akibatnya tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung satu langkah ke belakang.
Jelas, tenaga dalam Sancang dan Kusuma berimbang.
Sancang menggertakkan gigi, marah karena lawan
berhasil memunahkan serangannya. Akibarnya, serangannya pun membabi buta.
Pedang di tangan Sancang berkelebat cepat ke arah lawan. Membacok, menusuk, dan
menyobek. Karuan saja hal itu membuat Kusuma kelabakan. Dengan susah payah,
goloknya dikelebatkan ke sana kemari untuk menjegal setiap serangan.
Trang, trang, trang...!
Suara dentang senjata beradu menyemaraki per-
tarungan yang terjadi. Percikan bunga api pun semakin menambah riuhnya
pertarungan. Serangan yang dilancarkan Sancang tampak bertubi-tubi. Tapi, semuanya berhasil
dikandaskan Kusuma.
Walaupun untuk itu, laki-laki berpakaian abu-abu itu harus pontang-panting ke
sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tindakan seperti itu karuan saja membuat sakit yang mendera Kusuma semakin
menjadi-jadi. Begitu menusuk dan menggigit. Tidak aneh, kalau beberapa kali
tubuhnya terbungkuk-bungkuk ketika mengelakkan serangan. Tak sampai delapan
jurus, Kusuma sudah terdesak hebat.
Bahkan beberapa bagian tubuhnya mulai terserempet senjata lawan. Sementara
cairan merah kental pun mulai mengalir dari bagian yang terluka.
Kalau saja Kusuma diberi kesempatan memulihkan
diri, mungkin tidak akan semudah itu Sancang mendesak dan bahkan membuatnya
terluka. "Hih...!"
Wuttt..! Crottt...!
"Aaakh...!"
Kusuma kontan menjerit keras ketika pedang Sancang menghunjam perutnya hingga
tembus ke punggung. Darah segar pun muncrat-muncrat dari bagian yang tertembus
pedang. Sepasang mata laki-laki bermata sipit itu membelalak menjemput ajal. Golok yang
tergenggam pun terlepas dari cekalan. Dan ketika Sancang menarik pedangnya,
tubuh Kusuma pun roboh ke tanah. Sebentar dia berkelojotan, lalu tewas!
"Ha... ha... ha...!"
Tawa bergelak Sancang yang disusul tawa ketiga rekannya berkumandang memecah
keheningan malam. Sebuah tawa kemenangan.
"Tinggal gadis manis itu yang menjadi buruan kita...,"
ujar Sancang dengan dada dibusungkan. Tampak jelas, dia merasa bangga atas
kemenangannya. "Mudah-mudahan Kang Jalatang berhasil menangkap-nya," harap laki-laki yang
berkumis tipis.
Sancang dan kedua orang rekannya hanya meng-
anggukkan kepala saja, tidak menyambuti ucapan itu.
"Mari kita menyusulnya," ajak Sancang seraya berjalan meninggalkan tempat itu.
Ketiga rekannya sama sekali tidak menyahuti ucapan laki-laki pendek itu. Mereka
bergegas mengikuti setelah menyetujui saran rekannya.
"Hih...!"
Hanya dengan menekuk lutut dan menekan kaki di
tanah, tubuh keempat orang itu sudah melesat ke atas.
Kemudian, mereka hinggap di atas punggung kuda masing-masing.
Sancang dan ketiga orang rekannya mendecak pelan seraya menggeprakkan tali
kekang. Sekejap kemudian, binatang-binatang tunggangan itu pun mulai berpacu
cepat. "Hiya...! Hiyaaa...!"
*** Sementara itu laki-laki berwajah bopeng yang dipanggil dengan nama Jalatang,
bersama rekan-rekannya masih sibuk mengejar Rara Inggar.
Sedangkan Rara Inggar terus memacu kudanya
secepat mungkin. Pecut yang tergenggam di tangannya sudah tidak terhitung lagi
yang menyengat bagian belakang tubuh kuda itu. Tak heran kalau tangannya pun
sampai pegal-pegal karenanya.
Meskipun begitu, usahanya sia-sia belaka. Semakin lama jaraknya dengan para
pengejar semakin bertambah dekat. Apalagi kuda lawan jauh lebih unggul dari
kudanya. Orang-orang berseragam itu menggunakan kuda-kuda kuat dan mempunyai kemampuan
lari cepat. Tapi Rata Inggar pantang berputus asa. Selama masih mampu, dia terus saja
berusaha. Dan memang itu yang dilakukannya. Pecut di tangannya terus saja
dilecutkan. Ctar, ctar, ctarrr...!
Meskipun tidak melihat, tapi Rara Inggar tahu jarak para pengejarnya semakin
bertambah dekat. Dan itu bisa diketahui dari gemuruh kaki kuda yang semakin
keras terdengar di telinganya.
Tak lama kemudian, dua ekor kuda mulai membarengi kuda Rara Inggar dari sebelah
kanan dan kiri. Para pengejarnya kini mulai menyusul gadis itu.
Bahkan kini, laki-laki berwajah bopeng yang bernama Jalatang telah mendahului
kuda Rara Inggar. Sementara, kuda temannya bergerak mengikuti. Dan begitu berada
beberapa batang tombak di depan, kedua penunggang kuda itu menarik tali
kekangnya. Diringi ringkikan nyaring, kedua kuda itu menghentikan larinya. Kedua kaki depan
kuda itu terangkat tinggi-tinggi ke atas.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan kedua orang penunggang kuda itu.
Tatkala kuda mereka berhenti, segera dilbalikkan arahnya. Dan kini, kedua kuda
itu berdiri menghadang jalan.
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rara Inggar terkejut bukan kepalang melihat hal ini.
Tidak ada jalan keluar lagi untuknya. Apalagi, jalan tempat para penunggang kuda
menghadang adalah sebuah jalan sempit, yang tidak mungkin dapat dilalui tiga
ekor kuda yang berpacu berbarengan. Dengan sendirinya, gadis itu tidak bisa lagi
terus memacu kudanya.
Mau tidak mau, gadis berpakaian merah itu menarik tali kekang kuda untuk
menghentikan lari kudanya.
Disadari kalau kini tidak mempunyai kesempatan lolos lagi.
Kanan kirinya adalah dinding batu yang tinggi, sedangkan di belakangnya telah
terdengar gerombolan pengejarnya yang lain.
Diam-diam Rara Inggar memaki-maki diri sendiri, yang tadi begitu bodoh. Mengapa
jalan sempit yang di kanan dan kirinya terpampang dinding-dinding batu tinggi
menjulang ini yang dipilihnya.
Tapi nasi telah menjadi bubur, jadi tidak ada gunanya lagi disesali. Dan itu
yang akhirnya disadari Rara Inggar.
Dia tahu, hal yang perlu dilakukan sekarang adalah menghadapi pilihannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, gadis berambut dikuncir itu
melompat turun dari atas punggung kudanya. Kemudian binatang tunggangannya
ditambatkan di situ.
Srattt..! Sinar terang berkeredep ketika Rara Inggar mencabut pedangnya yang tersampir di
punggung. "Majulah kalian semua, Iblis Berwajah Manusia...!"
tantang gadis berpakaian merah itu lantang.
"Ha ha ha...!"
Jalatang tertawa terbahak-bahak. Tanpa menghentikan tawanya, laki-laki berwajah
bopeng itu melompat turun dari kudanya. Dituntunnya kuda itu ke pinggir, lalu
ditambatkannya. Hal yang sama dilakukan semua rekan rekannya. Mereka pun tertawa
terbahak-bahak, sehingga malam yang semula hening dan sunyi menjadi ramai.
"Lucu...! Ada seekor kelinci berani menantang harimau...! Lucu sekali! Ha... ha...
ha...!" kata Jalatang bernada meremehkan. sambil menuding ke arah Rara Inggar.
"Tidak usah banyak basa-basi, Muka Bopeng! Majulah kalau berani...!" dengus Rara
Inggar keras. "Keparat!" bentak Jalatang.
Laki-laki berwajah bopeng itu seketika menghentikan tawanya. Bahkan seri
wajahnya pun langsung lenyap, berganti raut kemarahan. Dengan langkah lebar-
lebar, dia maju menghamprri Rara Inggar. Sepasang matanya
nampak menyorotkan ancaman hebat.
"Perempuan liar! Orang sepertimu harus diberi pelajaran biar kapok!"
Terdengar bergetar suara yang keluar dari mulut laki-laki berwajah bopeng.
Betapa tidak" Karena, ucapan itu keluar dari hati yang panas terbakar amarah.
"Kau akan kutelanjangi dan kami perkosa beramai-ramai sampai mati!" lanjut
Jalatang. *** 2 "Kang...!" Sebuah seruan kaget terdengar dari mulut seorang laki-laki berkulit
hitam. Raut wajahnya tampak menyiratkan keterkejutan. Dan perasaan yang sama
juga terpampang di raut wajah orang-orang berseragam hitam yang lainnya.
Hanya saja, mereka tidak sampai mengeluarkan seruan.
Jalatang menoleh ke arah laki-laki berkulit hitam yang berdiri di belakangnya
dengan sinar mata penuh teguran.
"Kau tidak ingat larangan ketua?" agak ragu-ragu laki-laki berkulit hitam itu
mengeluarkan ganjalan hatinya, karena tahu kalau Jalatang tidak senang atas
tegurannya. "Hm.... Kalau kalian tidak membocorkan rahasia ini, aku yakin ketua tidak akan
tahu!" kata Jalatang, enteng.
Pandangannya juga beredar merayapi rekan-rekannya.
"Wanita ini telah terlalu menghina. Jadi, harus menerima balasan yang setimpal!
Apa kalian tidak ingin menikmati-nya juga?"
"Tapi, Kang...," laki-laki berkulit hitam masih mencoba membantah. "Bagaimana
tugas yang diberikan ketua kita?"
"Itu bisa diurus setelah urusan kita selesai!" tandas Jalatang tak sabar.
Laki-laki berkulit hitam itu pun diam. Dia tahu, Jalatang telah marah sekali.
Maka kalau tetap bersikeras, bukan tidak mungkin laki-laki berwajah bopeng itu
akan mem-bunuhnya.
Dengan amarah yang semakin berkobar, Jalatang
kembali membalikkan tubuhnya dan bersiap melaksanakan maksudnya.
Tapi belum juga sempat melangkah. Rara Inggar yang sejak tadi mendengar niat
busuk Jalatang dan sudah merasa geram bukan kepalang, langsung melompat
menyerang. Sing...! Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang Rara Inggar yang
meluncur deras ke arah leher Jalatang.
Laki-laki berwajah bopeng itu kontan terperanjat.
Sungguh tidak disangka kalau gadis berpakaian merah itu mempunyai gerakan
demikian cepat Sehingga, tahu-tahu saja ujung pedang lawan hampir menembus
lehernya. Tidak ada kesempatan lagi bagi laki-laki berwajah bopeng ini untuk menangkis
serangan itu. Apalagi untuk mencabut senjatanya. Memang, tibanya serangan itu
demikian cepat!
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, kaki Jalatang dijejakkan di tanah. Dia langsung
bersalto di udara sehingga serangan itu lewat di celah-celah kedua kakinya.
Rara Inggar yang tengah dilanda kemarahan meng-
gelegak sama sekali tidak memberi kesempatan. Begitu serangan pertamanya gagal
ujung pedangnya terus
meluncur deras mengancam berbagai bagian yang
mematikan. Kelebatan pedangnya menimbulkan suara mendesing nyaring dari udara
yang terobek. Tampaknya, serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya Jalatang harus berjuang keras menyelamatkan selembar nyawanya.
Tubuhnya terpontang-panting ke sana kemari, menghindari malaikat maut yang ada
di ujung pedang lawannya.
Jalatang sadar kalau tidak ada bantuan akan tewas di tangan gadis berambut
dikuncir itu. Serangan-serangan yang dilancarkan Rara Inggar terlalu gencar,
susul-menyusul seperti gelombang laut. Bahkan tidak mem-berinya kesempatan sama
sekali. Jangankan untuk balas menyerang, mengelak saja sulit bukan main!
Sebuah keuntungan ada di pihak Jalatang. Rekan-
rekannya rupanya mengetahui kesulitan yang dihadapinya.
Itulah sebabnya, sebelum hal terburuk terjadi pada dirinya rekan- rekannya
segera meluruk membantu.
Suara-suara mendesing diikuti berkeredepnya sinar-sinar menyilaukan dari
senjata-senjata yang berkelebat menuju ke berbagai bagian tubuh, membuat Rara
Inggar menghentikan desakannya pada Jalatang.
Sing...! Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang Rara Inggar
yang meluncur deras ke arah leher Jalatang.
"Hih...!" sambil menggertakkan gigi, kaki Jalatang dijejakkan di tanah. Dia
langsung melompat, sehingga serangan itu lewat di celah-celah kedua kakinya.
Orang-orang berseragam hitam bergambar kepala
macan putih di bagian dada, terperanjat ketika merasakan tangan yang menggenggam
senjata terasa lumpuh. Akibatnya, senjata-senjata yang digenggam pun terlepas
dari pegangan dan jatuh ke tanah.
Bukan hanya itu saja. Tanpa dapat dicegah, kaki
mereka pun terhuyung-huyung ke belakang. Hal ini membuat orang-orang berseragam
hitam itu sadar. Ternyata Rara Inggar bukan lawan sembarangan.
Meskipun akibatnya cukup mengejutkan, tapi dari
usaha yang mereka lakukan membuat Jalatang lolos dari ancaman maut.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, laki-laki berwajah bopeng itu mendaratkan kedua kakinya di
tanah. "Hhh...!"
Jalatang menghela napas lega ketika menyadari
ancaman maut yang sejak tadi memburunya telah lenyap.
Dengan punggung tangan, dihapusnya peluh yang membasahi kening. Peluh yang
timbul karena perasaan tegang yang memuncak!
"Minggir semua...!" teriak Jalatang keras. "Biar aku yang menghadapinya!"
Srattt..! Begitu golok keluar dari warangkanya, laki-laki
berwajah bopeng itu langsung memutar-mutarnya di depan dada. Sehingga, suaranya
terdengar nyaring. Lalu....
"Haaat..!"
Diawali jeritan melengking nyaring, Jalatang menyerang Rara Inggar. Golok di
tangannya meluncur cepat ke arah berbagai bagian tubuh yang mematikan.
Rara Inggar yang memang sudah bersiap sejak tadi, langsung menyambutnya.
Pertarungan sengit dan mati-matian pun tidak bisa dielakkan lagi.
*** Memang hebat pertarungan yang terjadi antara dua
orang yang ternyata sama-sama lihai itu. Gerakan mereka sama-sama cepat,
sehingga yang tampak hanya
sekelebatan bayangan merah dan hitam saling belit dan saling pisah.
Orang-orang berpakaian hitam itu sampai menyipitkan mata untuk dapat melihat
lebih jelas pertarungan yang terjadi. Tapi, tetap saja mereka tidak mampu.
Gerakan-gerakan Rara Inggar dan Jalatang terlalu cepat untuk dapat dilihat mata
biasa. Kini tubuh Jalatang dan Rara Inggar telah terbungkus gulungan sinar senjata
masing-masing. Jalatang diselimuti gulungan sinar putih goloknya, sedangkan Rara
Inggar gulungan sinar kuning pedangnya.
Semula gulungan pedang itu sama-sama lebar. Tapi menginjak jurus ketiga puluh,
gulungan sinar putih mulai menyempit. Sebaliknya, gulungan sinar kuning yang
semakin melebar. Melihat hal ini saja, bisa dipastikan kalau Jalatang terdesak.
Dan ini membuat orang orang berpakaian hitam terkejut bukan kepalang. Jalatang,
di perguruan mereka adalah seorang kepala kelompok yang membawahi dua belas
orang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi kini menghadapi Rara
Inggar saja, ternyata terdesak. Jelas, kepandaian gadis berpakaian merah itu
lebih tinggi dari pada Jalatang.
"Hih...!"
Pedang Rara Inggar meluncur cepat ke arah leher
Jalatang. Karuan saja serangan itu membuatnya terkejut bukan kepalang. Apalagi
saat itu baru saja mengelakkan serangan sebelumnya. Bahkan kedudukannya dalam
keadaan tidak memungkinkan. Maka terpaksa goloknya digerakkan untuk menangkis.
Trang...! Jalatang meringis ketika tangan kanannya dira seakan kesemutan akibat benturan
dua senjata itu. Dan belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, kaki kanan gadis
berambut dikuncir itu telah terlebih dahulu melesat ke arah pangkal paha
kirinya. Bukkk! "Akh...!"
Keluhan tertahan keluar dari mulut Jalatang ketika tubuhnya terjengkang ke
belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Sekujur kakinya terasa lumpuh! Memang,
keras sekali tendangan yang dilancarkan Rara Inggar. Apalagi mendarat secara
telak ke sasaran.
Dan rupanya Rara Inggar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Pedangnya
segera ditusukkan ke arah tubuh lawan yang berada di tanah.
Tapi walaupun sebelah kakinya lumpuh, Jalatang masih sanggup membuktikan
kelihaiannya. Karena untuk
melompat sudah tidak mungkin lagi, maka tubuhnya segera bergulingan di tanah.
Hasilnya, serangan pedang Rara Inggar hanya mengenai angin.
Karuan saja hal ini membuat gadis berpakaian merah ini semakin bertambah geram.
Tubuh yang bergulingan itu terus saja dihujani dengan tusukan-tusukan pedangnya.
Walaupun berada dalam keadaan mengkhawatirkan,
tapi karena memang telah terbiasa berhadapan dengan maut, pikiran Jalatang tetap
jernih. Sambil terus berguling, pikirannya bekerja keras untuk menyelamatkan
diri. Laki-laki berwajah bopeng itu sadar kalau dirinya tidak bisa terus-menerus
mengelak. Memang, sampai saat ini masih berhasil mengelak. Tapi sampai berapa
lama ke-beruntungan itu tetap berpihak padanya.
Bukan hanya Jalatang saja yang mengkhawatirkan
keselamatan dirinya. Rekan-rekannya yang sekaligus juga anak buahnya pun merasa
khawatir melihat keadaan laki-laki berwajah bopeng itu. Mereka ingin membantu,
tapi khawatir Jalatang akan marah. Memang, tadi pimpinan mereka itu telah
mengatakan akan menghadapi Rara Inggar seorang diri!
Pada satu kesempatan sambil menggulingkan tubuh
menghindari serangan, Jalatang mengibaskan tangannya.
Dan... Brrr...! Segumpal abu berhamburan ke arah wajah Rara
Inggar. Karuan saja hal ini membuatnya gelagapan. Maka buru-buru matanya
dipejamkan untuk menghindari masuk-nya debu itu ke mata. Dengan sendirinya,
serangannya kontan terhenti.
Kesempatan yang hanya sekejap itu tidak disia-siakan Jalatang. Tubuhnya
melenting ke atas. Dan begitu tubuhnya telah berada di udara, kaki kanannya
meluncur cepat ke arah dada Rara Inggar.
Bukkk! "Hugh...!"
Tubuh Rara Inggar terjengkang ke belakang. Darah segar langsung mengalir deras
dari mulutnya. Tampaknya gadis berpakaian merah ini terluka dalam. Memang,
tendangan yang dilancarkan Jalatang dikeluarkan lewat pengerahan seluruh tenaga
dalam. Tambahan lagi,
tendangan itu mengenai sasaran secara telak.
Dengan suatu pijakan dari kedua tangan yang jari-jarinya saling dipertemukan,
Jalatang melesat mengejar tubuh Rara Inggar yang masih terjengkang. Dengan jari
telunjuk menegang lurus, dan jari-jari lainnya mengepal, dilancarkannya totokan
ke arah leher gadis berpakaian merah itu.
Tukkk...! Seketika itu juga tubuh Rara Inggar ambruk ke tanah dengan sekujur tubuh lemas
ketika totokan jari tangan Jalatang mengenai jalan darah di lehernya.
"Hup...!"
Pada saat tubuh Rara Inggar jatuh di tanah, Jalatang pun berhasil mendarat,
gerakannya ringan, dan hampir tidak menimbulkan suara. Tapi meskipun begitu,
tampak jelas seringai pada mulutnya. Rupanya tendangan Rara Inggar masih terasa
olehnya. Rara Inggar hanya mampu menatap dengan perasaan
ngeri ketika Jalatang benalan menghampirinya. Lehernya yang tertotok terasa
sakit bukan kepalang. Sehingga, membuat seluruh tubuhnya lemas dan tak mampu
digerakkan. "Sekarang kau akan menerima pembalasan dariku, Wanita Sial!" desis Jalatang
penuh ancaman, sambil terus melangkah lambat-lambat. Hal itu memang disengaja
agar lebih menimbulkan kegelisahan pada Rara Inggar.
Wajah Rara Inggar seketika memucat. Perasaan takut yang amat sangat telah
melanda hatinya ketika menyadari bahaya mengerikan yang akan menimpa. Ingin
rasanya bergerak, dan melawan mati-matian. Tapi apa daya"
Jangankan melawan, menggerakkan ujung jemarinya saja tidak mampu! Seluruh tubuh
gadis itu lemas bukan main.
Belum lagi ditambah luka dalamnya, akibat tendangan lawan.
Ternyata ketegangan bukan hanya melanda hati Rara Inggar, tapi juga semua orang
yang mengenakan pakaian hitam. Mereka tahu, pimpinan kelompok mereka itu akan
berbuat senonoh dan bakal tidak diampuni ketua perguruan. Memang diakui,
sebenarnya mereka ingin juga merasakan kemolekan tubuh gadis itu. Tapi keinginan
itu dikalahkan rasa takut akan hukumannya.
Namun demikian, perasaan seperti itu tidak melanda Jalatang. Yang ada di
benaknya hanya bayangan tubuh molek dan montok menggiurkan milik Rara Inggar.
Tak ada yang lain. Dan begitu telah berada di dekat tubuh Rara Inggar yang
tergolek lemah, Jalatang berjongkok. Tangannya pun langsung dijulurkan.
Brettt..! Suara kain robek terdengar ketika Jalatang meng-
gerakkan tangannya merenggut pakaian Rara Inggar, mulai dari leher sampai ke
perut. Jalatang menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang di hadapannya.
Deru napasnya memburu hebat seperti orang tengah berlari jauh.
Bukan hanya Jalatang saja yang terpengaruh. Belasan pasang mata orang berpakaian
hitam yang lain pun tertuju ke sana. Jakun mereka turun naik, membasahi
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenggorokan yang mendadak kering. Sementara pandangan mereka pun tak ubah nya
seperti serigala lapar melihat seekor anak domba gemuk!
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Jalatang langsung menubruk tubuh Rara Inggar.
Namun belum juga niatnya tersampaikan, mendadak...
"Hekh...!"
Jerit terputus keluar dari mulut Jalatang begitu ada sebuah benda yang
menahannya, saat hendak menindih tubuh Rara Inggar. Benda itu melilit lehernya,
sehingga napasnya tersumbat. Tanpa melihat pun, Jalatang sudah bisa
memperkirakan sesuatu yang menjerat lehernya.
Sadar akan keadaannya yang berbahaya, Jalatang
buru-buru menggerakkan tangan ke sela-sela tambang yang melilit lehernya. Karena
bila pemilik tambang menyentakkan, dia akan mati tercekik!
Dugaan laki-laki berwajah bopeng ini ternyata tidak meleset. Baru juga kedua
tangannya menyelinap di sela-sela tambang dan leher, si pemilik tambang sudah
menggerakkan tangan menyentak.
Jalatang memang tidak melihat pemilik tambang,
karena arah luncuran tubuhnya ke belakang. Dan itu berarti si pemilik tambang
ada di belakangnya.
Keras bukan main tenaga sentakan itu. Meskipun
Jalatang telah mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja tubuhnya tersentak ke
belakang. Tapi, lagi-lagi Jalatang membuktikan kalau tidak mudah dipecundangi. Ketika
tubuhnya tengah melayang di udara, tangan kanannya mencabut golok yang tadi
telah dimasukkan kembali dalam sarungnya di pinggang. Sedangkan tangan kirinya
tetap memegangi tambang yang membelit lehernya. Langsung saja goloknya
dikibaskan ke arah belakang.
Tasss...! Tambang itu kontan putus. Tapi meskipun begitu, tetap saja tubuh Jalatang
melayang ke belakang karena
pengaruh tenaga sentakan tadi.
"Hup...!"
Meskipun agak terhuyung-huyung, laki-laki berwajah bopeng itu berhasil juga
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Langsung saja tubuhnya dibalikkan, bersiap
menghadapi pemilik tambang.
Dalam jarak sekitar dua tombak di hadapan Jalatang, berdiri seorang pemuda
berwajah tampan. Jubahnya berwarna biru, dan pakaian dalamnya berwarna abu-abu.
Tubuhnya kekar. Rambutnya yang panjang dan hitam diriap ke belakang.
"Siapa kau, Keparat! Sungguh berani mati mencampuri urusan Gerombolan Macan
Putih!" gertak Jalatang.
"Hm... jadi kalian Gerombolan Macan Putih yang terkenal itu"! Ingin aku
menjajalnya!" tantang pemuda berjubah biru setelah melepaskan senyum mengejek.
"Keparat! Kau mencari mampus sendiri, Pemuda Tak Tahu Diri! Hiyaaat..!"
Diawali sebuah jeritan melengking nyaring, Jalatang melompat menerjang pemuda
berjubah biru itu. Golok di tangannya meluncur cepat, membacok ke arah kepala
dari atas ke bawah. Rupanya tubuh lawannya ingin dibelahnya menjadi dua bagian
yang sama. "Hmh...!"
Pemuda berjubah biru itu hanya mendengus. Dibiarkan saja serangan yang
mengancamnya. Baru setelah dekat, tangan kirinya diangkat ke atas. Jari tengah
dan telunjuknya ditudingkan membentuk celah. Sedangkan jari-jari yang lainnya
menekuk. Tappp..! Golok di tangan Jalatang berbenturan dengan dua jari tangan pemuda berjubah
biru. Hebatnya, jari tangan itu tidak putus. Padahal, babatan golok itu cukup
mampu untuk membelah batu yang paling keras sekalipun!
Bukan hanya itu saja. Kedua jari tangan pemuda
berjubah biru lalu bergerak menjepit, sebelum Jalatang sempat menarik goloknya
kembali. Jalatang terkejut bukan kepalang. Sekuat tenaga
goloknya berusaha ditarik kembali. Tapi sampai terdengar mulutnya menggeram,
tetap saja goloknya yang terjepit tidak bergeming. Seolah-olah, yang menjepit
golok Jalatang itu adalah jepitan baja!
Rupanya Jalatang bukan termasuk orang yang mudah menyerah. Dia tetap saja
berusaha menarik kembali senjatanya. Dihirupnya napas dalam-dalam, untuk
mengumpulkan semua tenaga dalam di kedua tangannya.
Lalu, kembali diusahakannya menarik senjata itu kembali.
Wajah Jalatang jadi merah padam karena mengerah-
kan tenaga dalam sampai melewati batas. Di lain pihak, pemuda berjubah biru itu
masih tetap berdiri tenang.
Kedudukan kakinya tidak menunjukkan kalau tengah mengerahkan tenaga. Begitu
juga, pada tangan dan wajahnya. Semua terlihat biasa saja.
"Hmh...!"
Kembali pemuda bertubuh kekar berotot itu men-
dengus. Dan begitu dengusannya lenyap, kedua jari tangannya bergerak menekuk.
Takkk! Mata golok itu kontan patah. Akibatnya, Jalatang yang saat itu tengah
mengerahkan tenaga dalam sekuatnya untuk membetot, jadi terjengkang ke belakang.
Tindakan pemuda berjubah biru itu ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Di
saat tubuh lawan tengah terjengkang, tangan kanannya dikibaskan.
Sing...! Suara mendesing nyaring terdengar ketika patahan mata golok yang tadi tertinggal
di jepitan jarinya melesat cepat, laksana anak panah lepas dari busur.
Cappp...! "Akh...!"
Jalatang memekik kesakitan ketika patahan golok itu mengenai sambungan bahunya.
Cairan merah kental
kontan mengalir dari bagian yang terhunjam patahan golok.
Tapi Jalatang benar-benar orang yang pantang
menyerah Dia tahu, pemuda berjubah biru itu memiliki kepandaian lebih tinggi
darinya. Maka tangannya segera diusapkan ke arah rekan rekannya.
"Bunuh pemuda keparat itu!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang
berpakaian hitam itu meluruk cepat ke arah pemuda bertubuh kekar berotot.
Senjata-senjata yang memang sejak tadi tergenggam, diayunkan ke arah berbagai
bagian tubuh pemuda berjubah biru itu.
*** 3 Sambil menggertakkan gigi Jalatang mencabut patahan golok yang menghunjam tulang
bahunya. Mulutnya sampai meringis menahan sakit ketika patahan golok itu
dicabut. Memang, untuk sementara Jalatang bisa tenang,
karena pemuda berpakaian biru itu kini tengah dikeroyok rekan-rekannya.
Begitu patahan golok itu berhasil dicabut, laki-laki berwajah bopeng itu
langsung menotok jalan darah di sekitar luka untuk mencegah darah yang terus
mengalir. Setelah itu, baru kepalanya ditolehkan menatap pemuda berjubah biru
yang dikeroyok rekan-rekannya. Kontan sepasang matanya terbelalak.
Tampak pemuda berjubah biru itu hanya mengibas-
ngibaskan tangan secara sembarangan saja. Hasilnya, tubuh orang-orang berpakaian
hitam itu berpentalan tak tentu arah sebelum berhasil mencapai tubuh lawan.
Memang, dari kibasan kedua tangan pemuda bertubuh kekar berotot itu keluar angin
keras, sehingga mampu membuat orang yang memiliki tenaga dalam tanggung akan
terjengkang tak karuan.
Jalatang menggeram ketika melihat semua rekannya bergeletakan di tanah. Kemudian
sambil mengeluarkan pekikan nyaring, kembali dilancarkan serangan dengan
goloknya yang tinggal sepotong itu.
Laki-laki berwajah bopeng itu melompat ke atas. Dan dari atas, tubuhnya meluruk
ke bawah. Dan laksana burung garuda hendak menerkam mangsa, tubuhnya
meluncur sambil mengarahkan goloknya ke ubun-ubun lawan.
"Hmh...!"
Lagi-lagi pemuda berjubah biru itu hanya mendengus.
Tanpa menggeser kedudukan kaki, tangan kanannya
diulurkan Luar biasa! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu pergelangan tangan kanan Jalatang
telah berhasil dicekalnya.
Dan sekali pemuda bertubuh kekar berotot itu bergerak membetot, tubuh Jalatang
tertarik ke bawah, dan jatuh keras di tanah.
Keras bukan main betotan pemuda bertubuh kekar berotot itu. Sehingga sambungan
pergelangan bahu Jalatang sampai terlepas.
Laki-laki berwajah bopeng itu meringis kesakitan. Dan belum lagi rasa sakit itu
lenyap, tangan pemuda berjubah biru yang masih mencekal pergelangan tangan
Jalatang bergerak meremas.
Krrrkkk...! Terdengar suara gemeretak dari tulang tulang yang hancur!
Jalatang menggigit bibirnya kuat-kuat sampai berdarah untuk mencegah keluarnya
jerit kesakitan. Peluh sebesar biji jagung bermunculan di selebar wajahnya.
Saat itu, pemuda berjubah biru baru melepaskan
cekalannya. Karuan saja, Jalatang yang tengah menderita rasa sakit yang amat
sangat tidak mampu menguasai ke-seimbangan tubuhnya dan jatuh bertutut di tanah.
Dan untuk yang kesekian kalinya, laki-laki berwajah bopeng ini meringis
kesakitan karena kedua lututnya berbenturan dengan tanah.
"Pergilah...!"
Pemuda berjubah biru langsung mengibaskan tangannya. Seketika itu juga, muncul
angin keras yang membuat tubuh Jalatang terpental jauh dan terguling-guling di
tanah. Dan begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar lenyap, Jalatang merangkak
bangun. Keadaan laki-laki berwajah bopeng ini sangat
menyedihkan. Untuk bangkit saja hampir tidak mampu.
Untung rekan-rekannya bergegas menghampiri dan mem-bantunya berdiri.
Setelah melempar tatapan penuh dendam pada
pemuda berjubah biru, lelaki berwajah bopeng itu lalu melangkah meninggalkan
tempat itu dengan dipapah dua rekannya. Dia juga dibantu untuk menaiki punggung
kudanya. "Hiya...! Hiyaaa...!"
Gerombolan Macan Putih itu menggeprakkan tali
kekang kudanya seraya mendecak pelan. Perlahan kuda-kuda itu bergerak melangkah
meninggalkan tempat itu.
Mula-mula lambat, tapi beberapa tombak kemudian mulai cepat dan semakin cepat.
Sesaat kemudian, kuda-kuda itu telah lenyap meninggalkan kepulan debu tebal di
udara. Setelah kuda-kuda itu lenyap dari pandangan, baru pemuda berjubah biru itu
mengalihkan perhatiannya pada Rara Inggar yang masih tergolek lemas di tanah.
Sementara Rara Inggar hanya memperhatikan tindak tanduk pemuda bertubuh kekar
itu penuh selidik. Namun perasaan cemas bergayut di hatinya, karena khawatir
kalau pemuda berjubah biru akan berbuat tidak patut seperti halnya Jalatang.
Pemuda berjubah biru itu mengibas-ngibaskan kedua tangannya secara sembarangan.
Perlahan saja kelihatan-nya tapi akibatnya berhembus angin cukup keras ke arah
Rara Inggar. Sekejap kemudian, bagian tubuh gadis itu yang tadi terbuka, telah
tertutup kembali.
Kemudian, pemuda bertubuh kekar itu melangkah
mendekati Rara Inggar. Dia lalu berjongkok ketika telah berada di dekat gadis
berpakaian merah itu. Tangannya diulurkan, untuk menepuk beberapa bagian tubuh
Rara Inggar. Seketika jalan darah gadis itu yang tadi tersumbat kini lancar
kembali. Dengan sendirinya, anggota tubuhnya mampu digerakkan kembali.
Setelah membebaskan totokan Rara Inggar, pemuda
berjubah biru itu lalu bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya. Maka kesempatan
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Rara Inggar untuk memperbaiki pakaiannya
yang koyak- koyak.
"Terima kasih atas pertolongan, Kisanak," ucap gadis berpakaian merah itu
setelah merapikan keadaannya kembali.
"Lupakanlah...," pemuda bertubuh kekar berotot itu mengulapkan tangannya.
"Maaf. Aku ingin menyembuhkan luka dalamku dulu...,"
pinta Rara Inggar lagi.
Memang, ada rasa nyeri yang menyengat dadanya
ketika tadi menarik napas. Hal ini menjadi pertanda kalau dirinya telah terluka
dalam. "Silakan...," sahut pemuda berjubah biru mempersila-kan. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Rara Inggar segera menolehkan kepala ke sana kemari untuk mencari
tempat yang terlindung. Baru ketika menemukan tempat, kakinya melangkah ke sana.
Gadis berpakaian merah itu langsung duduk bersila.
Jari- jari kedua tangannya yang terbuka lurus dipertemukan di depan dada.
Punggungnya pun ditegakkan. Sesaat kemudian, dia sudah tenggelam dalam
semadinya. *** "Mengapa Gerombolan Macan Putih sampai bisa
berurusan denganmu, Nisanak?" tanya pemuda berjubah biru itu setelah Rara Inggar
selesai bersemadi. Memang, bagi orang yang telah mempunyai tenaga dalam cukup
tinggi bukan hal yang aneh untuk mengobati luka dalam dengan semadi.
Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Kau tidak tahu"!" desak pemuda berjubah biru itu. Ada nada ketidak percayaan
dalam pertanyaannya.
"Aku benar-benar tidak tahu," tegas gadis berambut dikuncir itu. "Yang kutahu,
orang-orang yang menamakan diri Gerombolan Macan Putih datang menyerbu perguruan
ayahku...."
Sampai di sini, ucapan Rara Inggar terhenti. Sepasang matanya nampak berkaca-
kaca. Wajahnya pun berubah mendung. Jelas, hatinya tengah dilanda kesedihan.
"Hm... lalu..?" selak pemuda berjubah biru yang tidak sabar menunggu tertalu
lama. "Tentu saja, ayah dan murid-muridnya tidak bisa ber-diam diri. Mereka pun
mengadakan perlawanan...,"
sambung Rara Inggar di sela-sela isaknya. "Tapi, perlawanan mereka sia-sia.
Gerombolan itu ternyata memiliki banyak tokoh berkepandaian tinggi. Sehingga,
tanpa menemui kesulitan perlawanan ayah dan murid-murid perguruan kami
dipatahkan."
Kembali gadis berpakaian merah itu menghentikan
ceritanya. Dibersihkannya cairan yang memenuhi hidung, karena perasaan sedih
yang melanda Rara Inggar pun berdehem untuk mengembalikan suaranya yang tercekat
di tenggorokan.
"Rupanya mereka memendam dendam hebat. Semua
yang ada di Perguruan Hati Naga milik ayahku, dibantai.
Tidak saja manusia, binatang-binatang peliharaan kami pun dibantainya. Mereka
bukan manusia! Tapi, iblis!"
Rara Inggar menghentikan ceritanya sejenak untuk meredakan napasnya yang memburu
hebat karena pengaruh amarah yang menggelegak dalam dada.
"Jadi, ayahmu juga tewas"!"
"Ya. Begitu pula dengan ibuku. Lawan yang mereka hadapi terlalu lihai. Ayah
menghadapi seorang yang bercelana putih. Di dadanya terdapat gambar kepala
seekor macan putih. Sayang, wajahnya tidak jelas karena dipenuhi coreng-moreng
aneh, dan bulu-bulu yang membuat
tampangnya mirip seekor macan. Tapi kalau menilik tubuhnya, aku yakin dia tidak
terlalu tua. Apalagi, tubuhnya terlihat kekar dan berotot!"
"Kalau lawan ibumu" tanya pemuda berjubah biru itu lagi. Nada suaranya juga
menyiratkan keingin-tahuannya yang mendalam.
Rara Inggar menarik napas dalam-dalam, lalu meng-hembuskannya kuat-kuat sebelum
menjawab pertanyaan itu. "Kalau orang yang berhadapan dengan ibuku, bisa
dikenali. Dia seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya dari
kulit macan putih, dan bergambar kepala seekor macan putih besar di bagian dada.
Seperti juga orang yang melawan ayahku, wajahnya juga penuh coreng-moreng dan
bulu-bulu halus. Sehingga, membuat wajahnya mirip seekor macan," jelas gadis
berpakaian merah itu.
"Hm.... Mungkin kedua orang itu pemimpinnya," tebak pemuda berpakaian biru itu.
"Aku pun menduga demikian...," sambut Rara Inggar cepat
"Lalu... kenapa kau berada di sini"!"
"Itulah yang kusesalkan," keluh Rara Inggar. "Sebelum ikut terjun menghadapi
musuh, ayah berpesan kalau keadaan tidak memungkinkan. Maka aku disuruh pergi ke
suatu tempat bersama Paman Kusuma.... Tapi di
perjalanan, kami dihadang Gerombolan Macan Putih.
Bahkan Paman Kusuma berhasil dirobohkan. Yahhh...!
Nasibnya sudah bisa kuduga!"
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana menjadi hening sejenak ketika Rara Inggar menghentikan ceritanya.
"Aku juga telah mendengar berita tentang Gerombolan Macan Putih, yang konon
tidak pernah terkalahkan.
Mungkin benar katamu kalau mereka memendam
dendam. Karena sepanjang yang kudengar, mereka tidak pernah membunuhi binatang-
binatang," pemuda berjubah biru mengernyitkan keningnya. "Apakah orang tuamu
mempunyai musuh?"
Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Cobalah ingat-ingat Nisanak.... Aku yakin perlakuan Gerombolan Macan Putih ini
mempunyai latar belakang....
Mungkin saja, guru, kakak, atau ayah kedua pemimpin gerombolan itu tewas di
tangan orang tuamu atau kakek gurumu... "
"Ah! Kau benar!" sentak Rara Inggar tiba-tiba. Nada keterkejutan tampak jelas,
baik pada wajah mau pun nada suaranya.
"Jadi... orang tuamu benar telah membunuh orang yang mempunyai hubungan dengan
pemimpin Gerombolan
Macan Putih"!"
Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Hm.... Lalu?" wajah pemuda bertubuh kekar itu seketika berubah.
"Aku sempat mendengar ucapan wanita yang melawan ibuku karena bicaranya jelas
sekali...."
"Apa yang diucapkannya?" tanya pemuda berjubah biru penuh perhatian.
Rara Inggar tercenung sejenak untuk mengingat-ingat ucapan yang sempat
didengarnya. "Dia mengatakan kalau ayah dan ibuku mendapat kehormatan menjadi korban awal
pembalasan dendam orang yang berjuluk Raja Ular Pelenyap Sukma!" ucap Rara
Inggar. "Raja Ular Pelenyap Sukma...," ulang pemuda berjubah biru itu pelan. Dahinya
tampak berkernyit, pertanda tengah memikirkan sesuatu.
"Kau mengenalnya, Ki, eh! Ng..., Kisanak?" tanya Rara Inggar agak bingung karena
belum mengenal nama
pemuda bertubuh kekar itu.
Rupanya pemuda berjubah biru itu tidak mengetahui kebingungan gadis itu saat
ingin menyebut namanya Buktinya dia tetap tidak memperkenalkan nama. Hanya
kepalanya saja yang digelengkan untuk menanggapi pertanyaan Rara Inggar.
"Mengenalnya sih, tidak. Tapi julukannya pernah kudengar."
"Ah! Kau benar...!" sentak Rara Inggar mendadak. "Ya!
Aku juga telah pernah mendengar julukan itu, Raja Ular Pelenyap Sukma! Seorang
tokoh sesat yang mengerikan, dan pernah merajalela di dunia persilatan tanpa ada
seorang pun yang bisa menghalangi sepak terjangnya...."
"Benar! Aku pun mendengarnya demikian," sambut pemuda bertubuh kekar. "Apakah
kau tahu cerita selanjutnya?"
Rara Inggar menganggukkan kepala.
"Ya. Ibu telah menceritakannya padaku."
"Bisa kau ceritakan padaku?" pinta pemuda berjubah biru.
"Tentu saja!" sahut Rara Inggar semangat. "Menurut cerita ibuku, sepak terjang
Raja Ular Pelenyap Sukma itu sangat sewenang-wenang. Tidak terhitung orang yang
sudah menjadi sasaran tindak kejahatannya."
Rara Inggar menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Merasa tidak ada orang yang berani melawannya lagi, tindakan Raja Ular Pelenyap
Sukma semakin menggiriskan saja. Sampai akhirnya, dia membunuh seorang pendekar
muda yang menjadi anak kakek guruku...."
Kembali Rara Inggar menghentikan ceritanya sejenak untuk memberi kesempatan.
Barangkali saja pemuda bertubuh kekar itu akan mengutarakan sesuatu. Karena
pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi
setelah ditunggu beberapa saat tidak nampak adanya tanda-tanda kalau dia akan
mengatakan sesuatu.
"Kakek guruku marah bukan main, karena yang dibunuh adalah anak satu-satunya.
Tapi karena sudah tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan lagi, dia
mencoba bersabar. Murid-muridnya pun dilarang mengadakan pembalasan."
"Hm.. berita yang kudengar tidak seperti itu," sergah pemuda bertubuh kekar.
"Kudengar, Raja Ular Pelenyap Sukma tewas secara menyedihkan di tangan kakek
gurumu!" "Sabar dulu! Aku kan, belum selesai!" selak Rara Inggar cepat.
Pemuda berjubah biru itu pun terdiam.
Tak lama kemudian, nenek guruku sakit keras karena rasa sedih akibat
meninggalnya anak satu-satunya. Tidak ada lagi harapan untuk sembuh karena dia
memang tidak ingin berharap untuk kesembuhan. Usia tua, rasa sedih, dan ketidak
inginan untuk sembuh, semakin menambah parah sakitnya."
Rara Inggar menelan ludah untuk membasahi
tenggorokannya yang kering karena terlalu banyak bercerita.
"Sebelum meninggal, dia mempunyai sebuah permintaan agar tidak penasaran. Beliau
ingin agar kematian anak tunggalnya dapat terbalaskan Raja Ular Pelenyap Sukma
harus ikut pergi ke alam baka! Tidak ada pilihan lagi bagi kakek guruku. Dia pun
kembali terjun dalam dunia persilatan untuk mencari Raja Ular Pelenyap Sukma.
Ketika bertemu, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Melalui pertempuran
yang sengit dan mati-matian, kakek guruku berhasil membinasakan Raja Ular
Pelenyap Sukma. Hingga akhirnya, nenek guruku dapat mati dengan senyum di
bibir...," Rara Inggar menutup ceritanya.
Suasana menjadi hening ketika Rara Inggar meng-
hentikan ceritanya. Apalagi, pemuda berjubah biru juga tidak berkata- kata.
"Kurasa teka-teki telah terjawab..," kata Rara Inggar, kembali memecahkan
kehenungan di antara mereka.
"Teka-teki...?" pemuda berpakaian biru mengernyitkan dahi.
"Ya. Teka-teki yang menyebabkan Gerombolan Macan Pulih begitu keterlaluan
membasmi Perguruan Hati Naga Sudah bisa ditebak, dua orang pimpinan Gerombolan
Macan Putih mempunyai hubungan dengan Raja Ular
Pelenyap Sukma.... Karena kakek guruku telah tiada, pasti dendam itu dilimpahkan
pada murid-muridnya "
"Jadi kakek gurumu banyak mempunyai murid?" tanya pemuda berjubah biru itu.
Rara Inggar mengangguk.
"Kakek guruku mempunyai empat orang murid. Satu di antaranya adalah wanita, yang
kemudian menjadi ibuku.
Sedangkan ayahku, juga salah satu dari empat murid itu,"
jawab Rara Inggar.
"Berarti... kau masih mempunyai dua orang paman guru, Nisanak?"
Rara Inggar mengangguk.
"Pasti kau akan menuju ke sana...," duga pemuda berjubah biru itu.
"Musibah ini harus kuberitahukan kedua paman guruku. Sekaligus, aku hendak
memberitahu kemungkinan Gerombolan Macan Putih akan menyerbu tempat mereka.
Aku yakin, lama-kelamaan Gerombolan Macan Putih akan menemukan tempat
mereka...."
"Di mana tempat tinggal kedua paman gurumu..?"
"Maaf. Bukannya aku tidak percaya padamu. Kisanak.
Tapi... ini terlalu membahayakan. Sekali lagi, aku minta maaf," tolak Rara
Inggar halus. "Tidak apa-apa...," sahut pemuda berjubah biru dengan senyum di bibir. "Aku bisa
memakluminya...."
"Terima kasih ," ucap Rara Inggar tulus.
"O, ya...! Boleh aku tahu.... ke mana arah yang kau tuju"
Barangkali saja arah yang kita tempuh sama...," pemuda bertubuh kekar membuka
suara lagi setelah beberapa saat lamanya tercenung.
"Ng... aku hendak menuju ke Barat..."
"Kalau begitu.... arah yang kita tuju sama!" sentak pemuda berjubah biru. "Aku
pun hendak menuju ke Barat.
Ke Desa Ganjar. Apakah kau tidak keberatan bila kita menempuh perjalanan
bersama?" "Tentu saja tidak!" jawab Rara Inggar sambil tersenyum manis.
"Kapan kau hendak berangkat Nisanak?"
"Sekarang Juga," sahut Rara Inggar cepat. "Lebih cepat lebih baik! Aku yakin,
Gerombolan Macan Putih tidak akan menghentikan pencariannya terhadap diriku!"
Setelah berkata demikian, Rara Inggar segera melesat ke arah kudanya yang masih
tertambat di dekat dinding tebing. Rupanya, Gerombolan Macan Putih lupa membunuh
binatang tunggangan gadis berpakaian merah itu.
"Kau sendiri... bagaimana?" tanya Rara Inggar ketika telah berada di atas
punggung kudanya. Wajah gadis berambut dikuncir itu tampak kebingungan. Haruskah
pemuda bertubuh kekar itu berlari, sementara dia menunggang kuda"
"Tidak usah khawatir." jawab pemuda berjubah biru sambil tersenyum lebar.
Meskipun Rara Inggar belum mengatakan, sudah bisa diduga hal yang menyebalikan
gadis itu kebingungan.
Ini untuk pertama kalinya pemuda berjubah biru itu tersenyum. Karena sejak tadi
sikapnya terlihat sungguh-sungguh. Bahkan tak pernah tersenyum itulah sebabnya,
Rara Inggar agar terpukau sejenak melihat pemuda itu tersenyum.
Tapi pemuda berjubah biru itu sama sekali tidak mempedulikan keheranan Rara
Inggar Kemudian beberapa jarinya dimasukkan ke dalam mulut.
Suiiit...! Suitan nyaring melengking terdengar. Keras bukan main, sehingga menggema ke
Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 7 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Pendekar Latah 5
1 Angin malam yang berhembus keras, begitu dingin meng-gigilkan tulang di sekujur
tubuh. Bulan penuh tampak di langit. Sinarnya yang cukup terang berwarna kuning
keperakan, memancar ke bumi. Suasana malam ini
demikian hening dan sepi. Bahkan tak nampak ada
binatang yang bergerak barang seekor pun.
Dalam suasana malam seperti ini, rasanya orang akan lebih suka tinggal di dalam
rumah, berkawan selimut dan pembaringan. Namun tidak demikian dengan dua orang
yang masing-masing berpakaian serba abu-abu dan merah.
Dalam suasana seperti ini, ternyata mereka masih berada di luar rumah, di atas
punggung kuda masing-masing.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Mereka terus memacu kudanya tergesa-gesa, melewati jalan tanah berdebu. Berkali-
kali pecut mereka dihantam-kan ke bagian belakang binatang tunggangan masing-
masing. Yang berpakaian serba abu-abu ternyata laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun. Matanya sipit, sehingga seperti sebuah garis saja layaknya. Sementara
orang yang berpakaian serba merah, adalah seorang gadis berusia sekitar dua
puluh tahun. Wajahnya yang cantik dan manis, semakin bertambah manis dengan
dandanan rambutnya yang dikuncir ke belakang. Apalagi sinar rembulan yang berwarna kuning
keemasan memperjelas keadaan wajahnya. Sehingga, membuat kecantikannya semakin
menonjol. "Apakah mereka tidak akan mengejar kita, Paman Kusuma?" tanya gadis cantik itu.
Kepalanya ditolehkan ke arah laki-laki berpakaian serba abu-abu, seraya tetap
menghentakkan pecutnya ke bagian belakang kudanya agar binatang itu mampu
beriari semakin cepat.
"Mereka pasti akan mengejar kita, Rara Inggar," sahut laki-laki bermata sipit
yang dipanggil Paman Kusuma seraya tetap memacu kudanya. Raut wajahnya
menyiratkan kecemasan yang amat sangat. Jelas, ada sesuatu yang ditakutinya.
Belum juga ucapan Kusuma lenyap, terdengar gemuruh langkah kaki kuda di belakang
mereka. "Kau benar, Paman..!" seru gadis yang ternyata bernama Rara Inggar keras.
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"
Memang, di belakang mereka dalam jarak sekitar
sepuluh tombak, nampak serombongan orang berkuda.
Rata-rata, mereka mengenakan pakaian serba hitam yang pada bagian dadanya
terdapat gambar kepala seekor macan putih.
"Itu mereka...!" teriak salah seorang dari rombongan yang berkuda paling depan
seraya menudingkan telunjuknya ke arah Kusuma dan Rara Inggar. Dia adalah
seorang laki-laki berwajah bopeng. "Cepat susul mereka sebelum memasuki desa di
depan!" Perintah laki-laki berwajah bopeng itu membuat anak buahnya berusaha menyusul
sekuat tenaga. Maka dengan sendirinya, pecut mereka pun menghantam bertubi-tubi
ke bagian belakang tubuh binatang tunggangan masing-masing. Akibatnya, kuda-kuda
yang merasa kesakitan itu terpaksa berlari lebih cepat. Maka di malam yang sepi
dan hening itu terjadi kejar-kejaran yang menegangkan. Derap kaki kuda yang
bertubi-tubi menghantam bumi, memecahkan keheningan malam yang sepi.
Kusuma dan Rara Inggar berusaha memacu kuda
secepat mungkin. Pecut dan mulut mereka tak henti-hentinya bekerja dan berteriak
dalam upaya mempercepat laju kuda. Tapi hal yang sama juga dilakukan para
pengejar berpakaian hitam di bawah pimpinan laki-laki berwajah bopeng.
Masing-masing pihak berusaha sekuat tenaga meng-
ungguli lawan. Dan memang, hasilnya ditentukan kuda tunggangan mereka. Namun
ternyata, kuda orang-orang berpakaian hitam itu begitu kuat dan memiliki
kemampuan lari yang cepat.
Dan kini, sedikit demi sedikit jarak di antara mereka semakin bertambah dekat.
Maka sudah bisa diperkirakan hasilnya.
Tapi, rupanya laki-laki berwajah bopeng itu tidak sabar lagi menunggu. Tangan
kanannya segera dimasukkan ke balik baju, sehingga tali kekang kuda itu kini
hanya dipegang tangan kiri. Hanya sabentar saja tangannya masuk ke balik baju,
dan begitu keluar langsung bergerak mengibas.
Sing, sing, sing...!
Suara mendesing nyaring terdengar seiring kibasan tangan laki-laki berwajah
bopeng. Bukan itu saja. Dan kini beberapa benda berkilatan pun menyambar cepat
ke arah sasarannya.
Namun Kusuma dan Rara Inggar bukan orang bodoh.
Meskipun tidak mendengar, tapi dari suara desing tajam langsung bisa diketahui
kalau lawan telah mengirimkan serangan.
Cappp...! Satu dari sekian banyak pisau yang dilepaskan laki-laki berwajah bopeng itu
ternyata mengenai kaki kuda Kusuma.
Seketika terdengar ringkikan diiringi tersungkurnya kuda ke tanah bersama tubuh
laki-laki bermata sipit itu.
"Paman...!" jerit Rara inggar kaget.
"Jangan pedulikan aku, Inggar! Cepat lari!" seruan kecemasan Kusuma telah
memaksa Rara Inggar memacu kudanya kembali.
Tubuh laki-laki berpakaian abu-abu itu jatuh di tanah.
Dan sebelum bangkit berdiri, tangan kanannya bergerak mengibas. Dan....
Sing, sing, sing...!
Sinar-sinar terang berkilauan seketika meluncur cepat ke arah gerombolan orang-
orang berseragam hitam itu.
"Keparat...!"
Laki-laki berwajah bopeng itu berteriak memaki melihat serangan benda-benda
berkilauan yang tak lain dari beberapa bilah pisau. Mau tidak mau, hal itu
membuat dia dan rombongannya memperlambat langkah kuda untuk menghadapi
serangan. Beberapa di antara mereka segera mencabut senjata masing-masing untuk menangkis
serangan. Maka suara berdentang nyaring kontan terdengar ketika senjata-senjata
itu beradu. Lain lagi yang dilakukan laki-laki berwajah bopeng itu.
Serangan pisau itu dihadapinya dengan mengelak. Tubuhnya dirapatkan dengan
punggung kuda, sambil tetap memacu kuda. Tampaknya serangan pisau itu menuju ke
arah dada. Maka, serangan itu pun tewat sejengkal di atas kepala.
Hanya itu yang sempat dilihat Rara Inggar. Karena, pecutnya langsung dilayangkan
ke arah bagian belakang tubuh binatang tunggangannya.
Sesak rasanya dada gadis berpakaian merah itu oleh keharuan menggelegak.
Sepasang matanya pun merembang berkaca-kaca. Ada sedu sedan yang naik ke
kerongkongannya, sehingga membuat suaranya jadi bercampur isak.
"Selamat tinggal, Paman...'" ucap Rara Inggar.
"Selamat jalan Inggar...!" balas laki-laki bermata sipit itu. Dan saat itulah
kuda tunggangan laki-laki berwajah bopeng meluncur tiba! Hal ini membuat Kusuma
kaget bukan kepalang. Dengan sebisa-bisanya dia melompat ke samping kanan untuk
menghindari tabrakan kuda itu.
Usaha yang dilakukan Kusuma memang berhasil. Tapi, kaki lawan tak tinggal diam.
Begitu laki-laki berpakaian abu-abu itu mengelakkan diri, kaki kiri lawan
melayang. Bukkk...! Keras bukan main tendangan yang dilancarkan laki-laki berwajah bopeng itu.
Tambahan lagi, tendangan itu begitu telak menghantam perut Kusuma. Akibatnya,
tubuh laki-laki bermata sipit itu terjengkang ke belakang. Keluhan tertahan
terdengar mengiringi tersungkurnya tubuh Kusuma.
Suara berdebuk keras kontan terdengar begitu tubuh Kusuma jatuh di atas tanah.
"Bunuh monyet kecil itu, sementara yang lain ikut aku!
Kita harus mendapatkan gadis berpakaian merah itu!"
Tanpa menunggu sambutan rekan rekannya, laki-laki berwajah bopeng itu telah
memacu kudanya. Suara derap kaki kuda dan debu yang mengepul tinggi ke udara
mengiringi kepergian laki-laki berwajah bopeng itu, untuk menyergap Rara Inggar.
Empat dari belasan gerombolan berpakaian hitam
segera menarik tali kekang kudanya, kemudian ber-lompatan mengepung Kusuma.
Sedangkan sisanya yang tak kurang dari sepuluh orang, melecutkan cambuknya,
terus mengikuti laki-laki berwajah bopeng itu.
Ctarrr, ctarrr...!
*** Kusuma berusaha keras untuk bangkit, walaupun rasa
sakit dan mual yang amat sangat menyengat perutnya.
Giginya bergemeretak berkali-ka-i menahan rasa sakit dan amarah yang bercampur
menjadi satu. Memang, akhirnya laki-laki bermata sipit itu berhasil bangkit berdiri. Tapi
belum bisa berdiri tegak, empat orang berseragam hitam telah siap menyerangnya.
Srat, srat, srat...!
Sinar-sinar terang berkeredep ketika tiga orang berpakaian hitam itu mencabut
senjata masing-masing. Kini di tangan mereka telah tergenggam sebilah pedang
yang bergagang kepala harimau, berwarna putih.
"Saat ajalmu sebentar lagi tiba, Tua Bangka...!" ancam salah satu dari empat orang
berpakaian hitam itu. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh pendek kekar.
Kusuma berusaha menegakkan tubuh, tapi ternyata
tidak mampu, karena rasa sakit di perutnya. Maka dengan terbungkuk-bungkuk
kakinya melangkah mundur seraya mencabut golok yang tergantung di pinggang.
Srattt..! "He... he... he...!"
Laki-laki bertubuh pendek tertawa terkekeh seraya melangkah maju. Jelas, hatinya
merasa geli melihat Kusuma yang hendak mengadakan perlawanan.
"Biar aku saja yang membereskan keledai ini...!" pinta laki-laki bertubuh pendek
itu, sombong. "Terserah padamu, Sancang." sahut rekannya yang berkumis tipis seraya mengangkat
bahu. Maka langkah kakinya pun dihentikan.
Hal yang sama ternyata dilakukan rekan yang lainnya.
Mereka pun menghentikan langkahnya pula. Memang, ketiga orang itu bermaksud
membiarkan laki-laki bertubuh pendek yang ternyata bernama Sancang untuk
menyelesaikan lawannya tanpa di bantu.
Kusuma menyipitkan mata untuk memperjelas
pandangannya. Meskipun keadaan tubuhnya belum pulih dan masih terbungkuk-
bungkuk, namun berusaha
menguatkan diri kalau nyawanya ingin selamat. Laki-laki berpakaian abu-abu itu
hanya memperhatikan dengan seksama langkah-langkah Sancang.
Langkah Sancang bergerak menggeser saat mendekati Kusuma. Kedua telapak kakinya
tetap menyentuh tanah.
"Haaat..!"
Begitu jarak mereka telah dekat, Sancang mulai
melancarkan serangan. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah ulu hati. Kusuma
tentu saja tidak sudi membiarkan lawan mengancam nyawanya. Maka goloknya
segera digerakkan untuk menangkis serangan pedang itu.
Trang...! Bunga api berpijar ketika dua bilah senjata berbeda itu berbenturan nyaring.
Akibatnya tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung satu langkah ke belakang.
Jelas, tenaga dalam Sancang dan Kusuma berimbang.
Sancang menggertakkan gigi, marah karena lawan
berhasil memunahkan serangannya. Akibarnya, serangannya pun membabi buta.
Pedang di tangan Sancang berkelebat cepat ke arah lawan. Membacok, menusuk, dan
menyobek. Karuan saja hal itu membuat Kusuma kelabakan. Dengan susah payah,
goloknya dikelebatkan ke sana kemari untuk menjegal setiap serangan.
Trang, trang, trang...!
Suara dentang senjata beradu menyemaraki per-
tarungan yang terjadi. Percikan bunga api pun semakin menambah riuhnya
pertarungan. Serangan yang dilancarkan Sancang tampak bertubi-tubi. Tapi, semuanya berhasil
dikandaskan Kusuma.
Walaupun untuk itu, laki-laki berpakaian abu-abu itu harus pontang-panting ke
sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tindakan seperti itu karuan saja membuat sakit yang mendera Kusuma semakin
menjadi-jadi. Begitu menusuk dan menggigit. Tidak aneh, kalau beberapa kali
tubuhnya terbungkuk-bungkuk ketika mengelakkan serangan. Tak sampai delapan
jurus, Kusuma sudah terdesak hebat.
Bahkan beberapa bagian tubuhnya mulai terserempet senjata lawan. Sementara
cairan merah kental pun mulai mengalir dari bagian yang terluka.
Kalau saja Kusuma diberi kesempatan memulihkan
diri, mungkin tidak akan semudah itu Sancang mendesak dan bahkan membuatnya
terluka. "Hih...!"
Wuttt..! Crottt...!
"Aaakh...!"
Kusuma kontan menjerit keras ketika pedang Sancang menghunjam perutnya hingga
tembus ke punggung. Darah segar pun muncrat-muncrat dari bagian yang tertembus
pedang. Sepasang mata laki-laki bermata sipit itu membelalak menjemput ajal. Golok yang
tergenggam pun terlepas dari cekalan. Dan ketika Sancang menarik pedangnya,
tubuh Kusuma pun roboh ke tanah. Sebentar dia berkelojotan, lalu tewas!
"Ha... ha... ha...!"
Tawa bergelak Sancang yang disusul tawa ketiga rekannya berkumandang memecah
keheningan malam. Sebuah tawa kemenangan.
"Tinggal gadis manis itu yang menjadi buruan kita...,"
ujar Sancang dengan dada dibusungkan. Tampak jelas, dia merasa bangga atas
kemenangannya. "Mudah-mudahan Kang Jalatang berhasil menangkap-nya," harap laki-laki yang
berkumis tipis.
Sancang dan kedua orang rekannya hanya meng-
anggukkan kepala saja, tidak menyambuti ucapan itu.
"Mari kita menyusulnya," ajak Sancang seraya berjalan meninggalkan tempat itu.
Ketiga rekannya sama sekali tidak menyahuti ucapan laki-laki pendek itu. Mereka
bergegas mengikuti setelah menyetujui saran rekannya.
"Hih...!"
Hanya dengan menekuk lutut dan menekan kaki di
tanah, tubuh keempat orang itu sudah melesat ke atas.
Kemudian, mereka hinggap di atas punggung kuda masing-masing.
Sancang dan ketiga orang rekannya mendecak pelan seraya menggeprakkan tali
kekang. Sekejap kemudian, binatang-binatang tunggangan itu pun mulai berpacu
cepat. "Hiya...! Hiyaaa...!"
*** Sementara itu laki-laki berwajah bopeng yang dipanggil dengan nama Jalatang,
bersama rekan-rekannya masih sibuk mengejar Rara Inggar.
Sedangkan Rara Inggar terus memacu kudanya
secepat mungkin. Pecut yang tergenggam di tangannya sudah tidak terhitung lagi
yang menyengat bagian belakang tubuh kuda itu. Tak heran kalau tangannya pun
sampai pegal-pegal karenanya.
Meskipun begitu, usahanya sia-sia belaka. Semakin lama jaraknya dengan para
pengejar semakin bertambah dekat. Apalagi kuda lawan jauh lebih unggul dari
kudanya. Orang-orang berseragam itu menggunakan kuda-kuda kuat dan mempunyai kemampuan
lari cepat. Tapi Rata Inggar pantang berputus asa. Selama masih mampu, dia terus saja
berusaha. Dan memang itu yang dilakukannya. Pecut di tangannya terus saja
dilecutkan. Ctar, ctar, ctarrr...!
Meskipun tidak melihat, tapi Rara Inggar tahu jarak para pengejarnya semakin
bertambah dekat. Dan itu bisa diketahui dari gemuruh kaki kuda yang semakin
keras terdengar di telinganya.
Tak lama kemudian, dua ekor kuda mulai membarengi kuda Rara Inggar dari sebelah
kanan dan kiri. Para pengejarnya kini mulai menyusul gadis itu.
Bahkan kini, laki-laki berwajah bopeng yang bernama Jalatang telah mendahului
kuda Rara Inggar. Sementara, kuda temannya bergerak mengikuti. Dan begitu berada
beberapa batang tombak di depan, kedua penunggang kuda itu menarik tali
kekangnya. Diringi ringkikan nyaring, kedua kuda itu menghentikan larinya. Kedua kaki depan
kuda itu terangkat tinggi-tinggi ke atas.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan kedua orang penunggang kuda itu.
Tatkala kuda mereka berhenti, segera dilbalikkan arahnya. Dan kini, kedua kuda
itu berdiri menghadang jalan.
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rara Inggar terkejut bukan kepalang melihat hal ini.
Tidak ada jalan keluar lagi untuknya. Apalagi, jalan tempat para penunggang kuda
menghadang adalah sebuah jalan sempit, yang tidak mungkin dapat dilalui tiga
ekor kuda yang berpacu berbarengan. Dengan sendirinya, gadis itu tidak bisa lagi
terus memacu kudanya.
Mau tidak mau, gadis berpakaian merah itu menarik tali kekang kuda untuk
menghentikan lari kudanya.
Disadari kalau kini tidak mempunyai kesempatan lolos lagi.
Kanan kirinya adalah dinding batu yang tinggi, sedangkan di belakangnya telah
terdengar gerombolan pengejarnya yang lain.
Diam-diam Rara Inggar memaki-maki diri sendiri, yang tadi begitu bodoh. Mengapa
jalan sempit yang di kanan dan kirinya terpampang dinding-dinding batu tinggi
menjulang ini yang dipilihnya.
Tapi nasi telah menjadi bubur, jadi tidak ada gunanya lagi disesali. Dan itu
yang akhirnya disadari Rara Inggar.
Dia tahu, hal yang perlu dilakukan sekarang adalah menghadapi pilihannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, gadis berambut dikuncir itu
melompat turun dari atas punggung kudanya. Kemudian binatang tunggangannya
ditambatkan di situ.
Srattt..! Sinar terang berkeredep ketika Rara Inggar mencabut pedangnya yang tersampir di
punggung. "Majulah kalian semua, Iblis Berwajah Manusia...!"
tantang gadis berpakaian merah itu lantang.
"Ha ha ha...!"
Jalatang tertawa terbahak-bahak. Tanpa menghentikan tawanya, laki-laki berwajah
bopeng itu melompat turun dari kudanya. Dituntunnya kuda itu ke pinggir, lalu
ditambatkannya. Hal yang sama dilakukan semua rekan rekannya. Mereka pun tertawa
terbahak-bahak, sehingga malam yang semula hening dan sunyi menjadi ramai.
"Lucu...! Ada seekor kelinci berani menantang harimau...! Lucu sekali! Ha... ha...
ha...!" kata Jalatang bernada meremehkan. sambil menuding ke arah Rara Inggar.
"Tidak usah banyak basa-basi, Muka Bopeng! Majulah kalau berani...!" dengus Rara
Inggar keras. "Keparat!" bentak Jalatang.
Laki-laki berwajah bopeng itu seketika menghentikan tawanya. Bahkan seri
wajahnya pun langsung lenyap, berganti raut kemarahan. Dengan langkah lebar-
lebar, dia maju menghamprri Rara Inggar. Sepasang matanya
nampak menyorotkan ancaman hebat.
"Perempuan liar! Orang sepertimu harus diberi pelajaran biar kapok!"
Terdengar bergetar suara yang keluar dari mulut laki-laki berwajah bopeng.
Betapa tidak" Karena, ucapan itu keluar dari hati yang panas terbakar amarah.
"Kau akan kutelanjangi dan kami perkosa beramai-ramai sampai mati!" lanjut
Jalatang. *** 2 "Kang...!" Sebuah seruan kaget terdengar dari mulut seorang laki-laki berkulit
hitam. Raut wajahnya tampak menyiratkan keterkejutan. Dan perasaan yang sama
juga terpampang di raut wajah orang-orang berseragam hitam yang lainnya.
Hanya saja, mereka tidak sampai mengeluarkan seruan.
Jalatang menoleh ke arah laki-laki berkulit hitam yang berdiri di belakangnya
dengan sinar mata penuh teguran.
"Kau tidak ingat larangan ketua?" agak ragu-ragu laki-laki berkulit hitam itu
mengeluarkan ganjalan hatinya, karena tahu kalau Jalatang tidak senang atas
tegurannya. "Hm.... Kalau kalian tidak membocorkan rahasia ini, aku yakin ketua tidak akan
tahu!" kata Jalatang, enteng.
Pandangannya juga beredar merayapi rekan-rekannya.
"Wanita ini telah terlalu menghina. Jadi, harus menerima balasan yang setimpal!
Apa kalian tidak ingin menikmati-nya juga?"
"Tapi, Kang...," laki-laki berkulit hitam masih mencoba membantah. "Bagaimana
tugas yang diberikan ketua kita?"
"Itu bisa diurus setelah urusan kita selesai!" tandas Jalatang tak sabar.
Laki-laki berkulit hitam itu pun diam. Dia tahu, Jalatang telah marah sekali.
Maka kalau tetap bersikeras, bukan tidak mungkin laki-laki berwajah bopeng itu
akan mem-bunuhnya.
Dengan amarah yang semakin berkobar, Jalatang
kembali membalikkan tubuhnya dan bersiap melaksanakan maksudnya.
Tapi belum juga sempat melangkah. Rara Inggar yang sejak tadi mendengar niat
busuk Jalatang dan sudah merasa geram bukan kepalang, langsung melompat
menyerang. Sing...! Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang Rara Inggar yang
meluncur deras ke arah leher Jalatang.
Laki-laki berwajah bopeng itu kontan terperanjat.
Sungguh tidak disangka kalau gadis berpakaian merah itu mempunyai gerakan
demikian cepat Sehingga, tahu-tahu saja ujung pedang lawan hampir menembus
lehernya. Tidak ada kesempatan lagi bagi laki-laki berwajah bopeng ini untuk menangkis
serangan itu. Apalagi untuk mencabut senjatanya. Memang, tibanya serangan itu
demikian cepat!
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, kaki Jalatang dijejakkan di tanah. Dia langsung
bersalto di udara sehingga serangan itu lewat di celah-celah kedua kakinya.
Rara Inggar yang tengah dilanda kemarahan meng-
gelegak sama sekali tidak memberi kesempatan. Begitu serangan pertamanya gagal
ujung pedangnya terus
meluncur deras mengancam berbagai bagian yang
mematikan. Kelebatan pedangnya menimbulkan suara mendesing nyaring dari udara
yang terobek. Tampaknya, serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya Jalatang harus berjuang keras menyelamatkan selembar nyawanya.
Tubuhnya terpontang-panting ke sana kemari, menghindari malaikat maut yang ada
di ujung pedang lawannya.
Jalatang sadar kalau tidak ada bantuan akan tewas di tangan gadis berambut
dikuncir itu. Serangan-serangan yang dilancarkan Rara Inggar terlalu gencar,
susul-menyusul seperti gelombang laut. Bahkan tidak mem-berinya kesempatan sama
sekali. Jangankan untuk balas menyerang, mengelak saja sulit bukan main!
Sebuah keuntungan ada di pihak Jalatang. Rekan-
rekannya rupanya mengetahui kesulitan yang dihadapinya.
Itulah sebabnya, sebelum hal terburuk terjadi pada dirinya rekan- rekannya
segera meluruk membantu.
Suara-suara mendesing diikuti berkeredepnya sinar-sinar menyilaukan dari
senjata-senjata yang berkelebat menuju ke berbagai bagian tubuh, membuat Rara
Inggar menghentikan desakannya pada Jalatang.
Sing...! Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang Rara Inggar
yang meluncur deras ke arah leher Jalatang.
"Hih...!" sambil menggertakkan gigi, kaki Jalatang dijejakkan di tanah. Dia
langsung melompat, sehingga serangan itu lewat di celah-celah kedua kakinya.
Orang-orang berseragam hitam bergambar kepala
macan putih di bagian dada, terperanjat ketika merasakan tangan yang menggenggam
senjata terasa lumpuh. Akibatnya, senjata-senjata yang digenggam pun terlepas
dari pegangan dan jatuh ke tanah.
Bukan hanya itu saja. Tanpa dapat dicegah, kaki
mereka pun terhuyung-huyung ke belakang. Hal ini membuat orang-orang berseragam
hitam itu sadar. Ternyata Rara Inggar bukan lawan sembarangan.
Meskipun akibatnya cukup mengejutkan, tapi dari
usaha yang mereka lakukan membuat Jalatang lolos dari ancaman maut.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, laki-laki berwajah bopeng itu mendaratkan kedua kakinya di
tanah. "Hhh...!"
Jalatang menghela napas lega ketika menyadari
ancaman maut yang sejak tadi memburunya telah lenyap.
Dengan punggung tangan, dihapusnya peluh yang membasahi kening. Peluh yang
timbul karena perasaan tegang yang memuncak!
"Minggir semua...!" teriak Jalatang keras. "Biar aku yang menghadapinya!"
Srattt..! Begitu golok keluar dari warangkanya, laki-laki
berwajah bopeng itu langsung memutar-mutarnya di depan dada. Sehingga, suaranya
terdengar nyaring. Lalu....
"Haaat..!"
Diawali jeritan melengking nyaring, Jalatang menyerang Rara Inggar. Golok di
tangannya meluncur cepat ke arah berbagai bagian tubuh yang mematikan.
Rara Inggar yang memang sudah bersiap sejak tadi, langsung menyambutnya.
Pertarungan sengit dan mati-matian pun tidak bisa dielakkan lagi.
*** Memang hebat pertarungan yang terjadi antara dua
orang yang ternyata sama-sama lihai itu. Gerakan mereka sama-sama cepat,
sehingga yang tampak hanya
sekelebatan bayangan merah dan hitam saling belit dan saling pisah.
Orang-orang berpakaian hitam itu sampai menyipitkan mata untuk dapat melihat
lebih jelas pertarungan yang terjadi. Tapi, tetap saja mereka tidak mampu.
Gerakan-gerakan Rara Inggar dan Jalatang terlalu cepat untuk dapat dilihat mata
biasa. Kini tubuh Jalatang dan Rara Inggar telah terbungkus gulungan sinar senjata
masing-masing. Jalatang diselimuti gulungan sinar putih goloknya, sedangkan Rara
Inggar gulungan sinar kuning pedangnya.
Semula gulungan pedang itu sama-sama lebar. Tapi menginjak jurus ketiga puluh,
gulungan sinar putih mulai menyempit. Sebaliknya, gulungan sinar kuning yang
semakin melebar. Melihat hal ini saja, bisa dipastikan kalau Jalatang terdesak.
Dan ini membuat orang orang berpakaian hitam terkejut bukan kepalang. Jalatang,
di perguruan mereka adalah seorang kepala kelompok yang membawahi dua belas
orang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi kini menghadapi Rara
Inggar saja, ternyata terdesak. Jelas, kepandaian gadis berpakaian merah itu
lebih tinggi dari pada Jalatang.
"Hih...!"
Pedang Rara Inggar meluncur cepat ke arah leher
Jalatang. Karuan saja serangan itu membuatnya terkejut bukan kepalang. Apalagi
saat itu baru saja mengelakkan serangan sebelumnya. Bahkan kedudukannya dalam
keadaan tidak memungkinkan. Maka terpaksa goloknya digerakkan untuk menangkis.
Trang...! Jalatang meringis ketika tangan kanannya dira seakan kesemutan akibat benturan
dua senjata itu. Dan belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, kaki kanan gadis
berambut dikuncir itu telah terlebih dahulu melesat ke arah pangkal paha
kirinya. Bukkk! "Akh...!"
Keluhan tertahan keluar dari mulut Jalatang ketika tubuhnya terjengkang ke
belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Sekujur kakinya terasa lumpuh! Memang,
keras sekali tendangan yang dilancarkan Rara Inggar. Apalagi mendarat secara
telak ke sasaran.
Dan rupanya Rara Inggar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Pedangnya
segera ditusukkan ke arah tubuh lawan yang berada di tanah.
Tapi walaupun sebelah kakinya lumpuh, Jalatang masih sanggup membuktikan
kelihaiannya. Karena untuk
melompat sudah tidak mungkin lagi, maka tubuhnya segera bergulingan di tanah.
Hasilnya, serangan pedang Rara Inggar hanya mengenai angin.
Karuan saja hal ini membuat gadis berpakaian merah ini semakin bertambah geram.
Tubuh yang bergulingan itu terus saja dihujani dengan tusukan-tusukan pedangnya.
Walaupun berada dalam keadaan mengkhawatirkan,
tapi karena memang telah terbiasa berhadapan dengan maut, pikiran Jalatang tetap
jernih. Sambil terus berguling, pikirannya bekerja keras untuk menyelamatkan
diri. Laki-laki berwajah bopeng itu sadar kalau dirinya tidak bisa terus-menerus
mengelak. Memang, sampai saat ini masih berhasil mengelak. Tapi sampai berapa
lama ke-beruntungan itu tetap berpihak padanya.
Bukan hanya Jalatang saja yang mengkhawatirkan
keselamatan dirinya. Rekan-rekannya yang sekaligus juga anak buahnya pun merasa
khawatir melihat keadaan laki-laki berwajah bopeng itu. Mereka ingin membantu,
tapi khawatir Jalatang akan marah. Memang, tadi pimpinan mereka itu telah
mengatakan akan menghadapi Rara Inggar seorang diri!
Pada satu kesempatan sambil menggulingkan tubuh
menghindari serangan, Jalatang mengibaskan tangannya.
Dan... Brrr...! Segumpal abu berhamburan ke arah wajah Rara
Inggar. Karuan saja hal ini membuatnya gelagapan. Maka buru-buru matanya
dipejamkan untuk menghindari masuk-nya debu itu ke mata. Dengan sendirinya,
serangannya kontan terhenti.
Kesempatan yang hanya sekejap itu tidak disia-siakan Jalatang. Tubuhnya
melenting ke atas. Dan begitu tubuhnya telah berada di udara, kaki kanannya
meluncur cepat ke arah dada Rara Inggar.
Bukkk! "Hugh...!"
Tubuh Rara Inggar terjengkang ke belakang. Darah segar langsung mengalir deras
dari mulutnya. Tampaknya gadis berpakaian merah ini terluka dalam. Memang,
tendangan yang dilancarkan Jalatang dikeluarkan lewat pengerahan seluruh tenaga
dalam. Tambahan lagi,
tendangan itu mengenai sasaran secara telak.
Dengan suatu pijakan dari kedua tangan yang jari-jarinya saling dipertemukan,
Jalatang melesat mengejar tubuh Rara Inggar yang masih terjengkang. Dengan jari
telunjuk menegang lurus, dan jari-jari lainnya mengepal, dilancarkannya totokan
ke arah leher gadis berpakaian merah itu.
Tukkk...! Seketika itu juga tubuh Rara Inggar ambruk ke tanah dengan sekujur tubuh lemas
ketika totokan jari tangan Jalatang mengenai jalan darah di lehernya.
"Hup...!"
Pada saat tubuh Rara Inggar jatuh di tanah, Jalatang pun berhasil mendarat,
gerakannya ringan, dan hampir tidak menimbulkan suara. Tapi meskipun begitu,
tampak jelas seringai pada mulutnya. Rupanya tendangan Rara Inggar masih terasa
olehnya. Rara Inggar hanya mampu menatap dengan perasaan
ngeri ketika Jalatang benalan menghampirinya. Lehernya yang tertotok terasa
sakit bukan kepalang. Sehingga, membuat seluruh tubuhnya lemas dan tak mampu
digerakkan. "Sekarang kau akan menerima pembalasan dariku, Wanita Sial!" desis Jalatang
penuh ancaman, sambil terus melangkah lambat-lambat. Hal itu memang disengaja
agar lebih menimbulkan kegelisahan pada Rara Inggar.
Wajah Rara Inggar seketika memucat. Perasaan takut yang amat sangat telah
melanda hatinya ketika menyadari bahaya mengerikan yang akan menimpa. Ingin
rasanya bergerak, dan melawan mati-matian. Tapi apa daya"
Jangankan melawan, menggerakkan ujung jemarinya saja tidak mampu! Seluruh tubuh
gadis itu lemas bukan main.
Belum lagi ditambah luka dalamnya, akibat tendangan lawan.
Ternyata ketegangan bukan hanya melanda hati Rara Inggar, tapi juga semua orang
yang mengenakan pakaian hitam. Mereka tahu, pimpinan kelompok mereka itu akan
berbuat senonoh dan bakal tidak diampuni ketua perguruan. Memang diakui,
sebenarnya mereka ingin juga merasakan kemolekan tubuh gadis itu. Tapi keinginan
itu dikalahkan rasa takut akan hukumannya.
Namun demikian, perasaan seperti itu tidak melanda Jalatang. Yang ada di
benaknya hanya bayangan tubuh molek dan montok menggiurkan milik Rara Inggar.
Tak ada yang lain. Dan begitu telah berada di dekat tubuh Rara Inggar yang
tergolek lemah, Jalatang berjongkok. Tangannya pun langsung dijulurkan.
Brettt..! Suara kain robek terdengar ketika Jalatang meng-
gerakkan tangannya merenggut pakaian Rara Inggar, mulai dari leher sampai ke
perut. Jalatang menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang di hadapannya.
Deru napasnya memburu hebat seperti orang tengah berlari jauh.
Bukan hanya Jalatang saja yang terpengaruh. Belasan pasang mata orang berpakaian
hitam yang lain pun tertuju ke sana. Jakun mereka turun naik, membasahi
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenggorokan yang mendadak kering. Sementara pandangan mereka pun tak ubah nya
seperti serigala lapar melihat seekor anak domba gemuk!
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Jalatang langsung menubruk tubuh Rara Inggar.
Namun belum juga niatnya tersampaikan, mendadak...
"Hekh...!"
Jerit terputus keluar dari mulut Jalatang begitu ada sebuah benda yang
menahannya, saat hendak menindih tubuh Rara Inggar. Benda itu melilit lehernya,
sehingga napasnya tersumbat. Tanpa melihat pun, Jalatang sudah bisa
memperkirakan sesuatu yang menjerat lehernya.
Sadar akan keadaannya yang berbahaya, Jalatang
buru-buru menggerakkan tangan ke sela-sela tambang yang melilit lehernya. Karena
bila pemilik tambang menyentakkan, dia akan mati tercekik!
Dugaan laki-laki berwajah bopeng ini ternyata tidak meleset. Baru juga kedua
tangannya menyelinap di sela-sela tambang dan leher, si pemilik tambang sudah
menggerakkan tangan menyentak.
Jalatang memang tidak melihat pemilik tambang,
karena arah luncuran tubuhnya ke belakang. Dan itu berarti si pemilik tambang
ada di belakangnya.
Keras bukan main tenaga sentakan itu. Meskipun
Jalatang telah mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja tubuhnya tersentak ke
belakang. Tapi, lagi-lagi Jalatang membuktikan kalau tidak mudah dipecundangi. Ketika
tubuhnya tengah melayang di udara, tangan kanannya mencabut golok yang tadi
telah dimasukkan kembali dalam sarungnya di pinggang. Sedangkan tangan kirinya
tetap memegangi tambang yang membelit lehernya. Langsung saja goloknya
dikibaskan ke arah belakang.
Tasss...! Tambang itu kontan putus. Tapi meskipun begitu, tetap saja tubuh Jalatang
melayang ke belakang karena
pengaruh tenaga sentakan tadi.
"Hup...!"
Meskipun agak terhuyung-huyung, laki-laki berwajah bopeng itu berhasil juga
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Langsung saja tubuhnya dibalikkan, bersiap
menghadapi pemilik tambang.
Dalam jarak sekitar dua tombak di hadapan Jalatang, berdiri seorang pemuda
berwajah tampan. Jubahnya berwarna biru, dan pakaian dalamnya berwarna abu-abu.
Tubuhnya kekar. Rambutnya yang panjang dan hitam diriap ke belakang.
"Siapa kau, Keparat! Sungguh berani mati mencampuri urusan Gerombolan Macan
Putih!" gertak Jalatang.
"Hm... jadi kalian Gerombolan Macan Putih yang terkenal itu"! Ingin aku
menjajalnya!" tantang pemuda berjubah biru setelah melepaskan senyum mengejek.
"Keparat! Kau mencari mampus sendiri, Pemuda Tak Tahu Diri! Hiyaaat..!"
Diawali sebuah jeritan melengking nyaring, Jalatang melompat menerjang pemuda
berjubah biru itu. Golok di tangannya meluncur cepat, membacok ke arah kepala
dari atas ke bawah. Rupanya tubuh lawannya ingin dibelahnya menjadi dua bagian
yang sama. "Hmh...!"
Pemuda berjubah biru itu hanya mendengus. Dibiarkan saja serangan yang
mengancamnya. Baru setelah dekat, tangan kirinya diangkat ke atas. Jari tengah
dan telunjuknya ditudingkan membentuk celah. Sedangkan jari-jari yang lainnya
menekuk. Tappp..! Golok di tangan Jalatang berbenturan dengan dua jari tangan pemuda berjubah
biru. Hebatnya, jari tangan itu tidak putus. Padahal, babatan golok itu cukup
mampu untuk membelah batu yang paling keras sekalipun!
Bukan hanya itu saja. Kedua jari tangan pemuda
berjubah biru lalu bergerak menjepit, sebelum Jalatang sempat menarik goloknya
kembali. Jalatang terkejut bukan kepalang. Sekuat tenaga
goloknya berusaha ditarik kembali. Tapi sampai terdengar mulutnya menggeram,
tetap saja goloknya yang terjepit tidak bergeming. Seolah-olah, yang menjepit
golok Jalatang itu adalah jepitan baja!
Rupanya Jalatang bukan termasuk orang yang mudah menyerah. Dia tetap saja
berusaha menarik kembali senjatanya. Dihirupnya napas dalam-dalam, untuk
mengumpulkan semua tenaga dalam di kedua tangannya.
Lalu, kembali diusahakannya menarik senjata itu kembali.
Wajah Jalatang jadi merah padam karena mengerah-
kan tenaga dalam sampai melewati batas. Di lain pihak, pemuda berjubah biru itu
masih tetap berdiri tenang.
Kedudukan kakinya tidak menunjukkan kalau tengah mengerahkan tenaga. Begitu
juga, pada tangan dan wajahnya. Semua terlihat biasa saja.
"Hmh...!"
Kembali pemuda bertubuh kekar berotot itu men-
dengus. Dan begitu dengusannya lenyap, kedua jari tangannya bergerak menekuk.
Takkk! Mata golok itu kontan patah. Akibatnya, Jalatang yang saat itu tengah
mengerahkan tenaga dalam sekuatnya untuk membetot, jadi terjengkang ke belakang.
Tindakan pemuda berjubah biru itu ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Di
saat tubuh lawan tengah terjengkang, tangan kanannya dikibaskan.
Sing...! Suara mendesing nyaring terdengar ketika patahan mata golok yang tadi tertinggal
di jepitan jarinya melesat cepat, laksana anak panah lepas dari busur.
Cappp...! "Akh...!"
Jalatang memekik kesakitan ketika patahan golok itu mengenai sambungan bahunya.
Cairan merah kental
kontan mengalir dari bagian yang terhunjam patahan golok.
Tapi Jalatang benar-benar orang yang pantang
menyerah Dia tahu, pemuda berjubah biru itu memiliki kepandaian lebih tinggi
darinya. Maka tangannya segera diusapkan ke arah rekan rekannya.
"Bunuh pemuda keparat itu!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang
berpakaian hitam itu meluruk cepat ke arah pemuda bertubuh kekar berotot.
Senjata-senjata yang memang sejak tadi tergenggam, diayunkan ke arah berbagai
bagian tubuh pemuda berjubah biru itu.
*** 3 Sambil menggertakkan gigi Jalatang mencabut patahan golok yang menghunjam tulang
bahunya. Mulutnya sampai meringis menahan sakit ketika patahan golok itu
dicabut. Memang, untuk sementara Jalatang bisa tenang,
karena pemuda berpakaian biru itu kini tengah dikeroyok rekan-rekannya.
Begitu patahan golok itu berhasil dicabut, laki-laki berwajah bopeng itu
langsung menotok jalan darah di sekitar luka untuk mencegah darah yang terus
mengalir. Setelah itu, baru kepalanya ditolehkan menatap pemuda berjubah biru
yang dikeroyok rekan-rekannya. Kontan sepasang matanya terbelalak.
Tampak pemuda berjubah biru itu hanya mengibas-
ngibaskan tangan secara sembarangan saja. Hasilnya, tubuh orang-orang berpakaian
hitam itu berpentalan tak tentu arah sebelum berhasil mencapai tubuh lawan.
Memang, dari kibasan kedua tangan pemuda bertubuh kekar berotot itu keluar angin
keras, sehingga mampu membuat orang yang memiliki tenaga dalam tanggung akan
terjengkang tak karuan.
Jalatang menggeram ketika melihat semua rekannya bergeletakan di tanah. Kemudian
sambil mengeluarkan pekikan nyaring, kembali dilancarkan serangan dengan
goloknya yang tinggal sepotong itu.
Laki-laki berwajah bopeng itu melompat ke atas. Dan dari atas, tubuhnya meluruk
ke bawah. Dan laksana burung garuda hendak menerkam mangsa, tubuhnya
meluncur sambil mengarahkan goloknya ke ubun-ubun lawan.
"Hmh...!"
Lagi-lagi pemuda berjubah biru itu hanya mendengus.
Tanpa menggeser kedudukan kaki, tangan kanannya
diulurkan Luar biasa! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu pergelangan tangan kanan Jalatang
telah berhasil dicekalnya.
Dan sekali pemuda bertubuh kekar berotot itu bergerak membetot, tubuh Jalatang
tertarik ke bawah, dan jatuh keras di tanah.
Keras bukan main betotan pemuda bertubuh kekar berotot itu. Sehingga sambungan
pergelangan bahu Jalatang sampai terlepas.
Laki-laki berwajah bopeng itu meringis kesakitan. Dan belum lagi rasa sakit itu
lenyap, tangan pemuda berjubah biru yang masih mencekal pergelangan tangan
Jalatang bergerak meremas.
Krrrkkk...! Terdengar suara gemeretak dari tulang tulang yang hancur!
Jalatang menggigit bibirnya kuat-kuat sampai berdarah untuk mencegah keluarnya
jerit kesakitan. Peluh sebesar biji jagung bermunculan di selebar wajahnya.
Saat itu, pemuda berjubah biru baru melepaskan
cekalannya. Karuan saja, Jalatang yang tengah menderita rasa sakit yang amat
sangat tidak mampu menguasai ke-seimbangan tubuhnya dan jatuh bertutut di tanah.
Dan untuk yang kesekian kalinya, laki-laki berwajah bopeng ini meringis
kesakitan karena kedua lututnya berbenturan dengan tanah.
"Pergilah...!"
Pemuda berjubah biru langsung mengibaskan tangannya. Seketika itu juga, muncul
angin keras yang membuat tubuh Jalatang terpental jauh dan terguling-guling di
tanah. Dan begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar lenyap, Jalatang merangkak
bangun. Keadaan laki-laki berwajah bopeng ini sangat
menyedihkan. Untuk bangkit saja hampir tidak mampu.
Untung rekan-rekannya bergegas menghampiri dan mem-bantunya berdiri.
Setelah melempar tatapan penuh dendam pada
pemuda berjubah biru, lelaki berwajah bopeng itu lalu melangkah meninggalkan
tempat itu dengan dipapah dua rekannya. Dia juga dibantu untuk menaiki punggung
kudanya. "Hiya...! Hiyaaa...!"
Gerombolan Macan Putih itu menggeprakkan tali
kekang kudanya seraya mendecak pelan. Perlahan kuda-kuda itu bergerak melangkah
meninggalkan tempat itu.
Mula-mula lambat, tapi beberapa tombak kemudian mulai cepat dan semakin cepat.
Sesaat kemudian, kuda-kuda itu telah lenyap meninggalkan kepulan debu tebal di
udara. Setelah kuda-kuda itu lenyap dari pandangan, baru pemuda berjubah biru itu
mengalihkan perhatiannya pada Rara Inggar yang masih tergolek lemas di tanah.
Sementara Rara Inggar hanya memperhatikan tindak tanduk pemuda bertubuh kekar
itu penuh selidik. Namun perasaan cemas bergayut di hatinya, karena khawatir
kalau pemuda berjubah biru akan berbuat tidak patut seperti halnya Jalatang.
Pemuda berjubah biru itu mengibas-ngibaskan kedua tangannya secara sembarangan.
Perlahan saja kelihatan-nya tapi akibatnya berhembus angin cukup keras ke arah
Rara Inggar. Sekejap kemudian, bagian tubuh gadis itu yang tadi terbuka, telah
tertutup kembali.
Kemudian, pemuda bertubuh kekar itu melangkah
mendekati Rara Inggar. Dia lalu berjongkok ketika telah berada di dekat gadis
berpakaian merah itu. Tangannya diulurkan, untuk menepuk beberapa bagian tubuh
Rara Inggar. Seketika jalan darah gadis itu yang tadi tersumbat kini lancar
kembali. Dengan sendirinya, anggota tubuhnya mampu digerakkan kembali.
Setelah membebaskan totokan Rara Inggar, pemuda
berjubah biru itu lalu bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya. Maka kesempatan
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Rara Inggar untuk memperbaiki pakaiannya
yang koyak- koyak.
"Terima kasih atas pertolongan, Kisanak," ucap gadis berpakaian merah itu
setelah merapikan keadaannya kembali.
"Lupakanlah...," pemuda bertubuh kekar berotot itu mengulapkan tangannya.
"Maaf. Aku ingin menyembuhkan luka dalamku dulu...,"
pinta Rara Inggar lagi.
Memang, ada rasa nyeri yang menyengat dadanya
ketika tadi menarik napas. Hal ini menjadi pertanda kalau dirinya telah terluka
dalam. "Silakan...," sahut pemuda berjubah biru mempersila-kan. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Rara Inggar segera menolehkan kepala ke sana kemari untuk mencari
tempat yang terlindung. Baru ketika menemukan tempat, kakinya melangkah ke sana.
Gadis berpakaian merah itu langsung duduk bersila.
Jari- jari kedua tangannya yang terbuka lurus dipertemukan di depan dada.
Punggungnya pun ditegakkan. Sesaat kemudian, dia sudah tenggelam dalam
semadinya. *** "Mengapa Gerombolan Macan Putih sampai bisa
berurusan denganmu, Nisanak?" tanya pemuda berjubah biru itu setelah Rara Inggar
selesai bersemadi. Memang, bagi orang yang telah mempunyai tenaga dalam cukup
tinggi bukan hal yang aneh untuk mengobati luka dalam dengan semadi.
Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Kau tidak tahu"!" desak pemuda berjubah biru itu. Ada nada ketidak percayaan
dalam pertanyaannya.
"Aku benar-benar tidak tahu," tegas gadis berambut dikuncir itu. "Yang kutahu,
orang-orang yang menamakan diri Gerombolan Macan Putih datang menyerbu perguruan
ayahku...."
Sampai di sini, ucapan Rara Inggar terhenti. Sepasang matanya nampak berkaca-
kaca. Wajahnya pun berubah mendung. Jelas, hatinya tengah dilanda kesedihan.
"Hm... lalu..?" selak pemuda berjubah biru yang tidak sabar menunggu tertalu
lama. "Tentu saja, ayah dan murid-muridnya tidak bisa ber-diam diri. Mereka pun
mengadakan perlawanan...,"
sambung Rara Inggar di sela-sela isaknya. "Tapi, perlawanan mereka sia-sia.
Gerombolan itu ternyata memiliki banyak tokoh berkepandaian tinggi. Sehingga,
tanpa menemui kesulitan perlawanan ayah dan murid-murid perguruan kami
dipatahkan."
Kembali gadis berpakaian merah itu menghentikan
ceritanya. Dibersihkannya cairan yang memenuhi hidung, karena perasaan sedih
yang melanda Rara Inggar pun berdehem untuk mengembalikan suaranya yang tercekat
di tenggorokan.
"Rupanya mereka memendam dendam hebat. Semua
yang ada di Perguruan Hati Naga milik ayahku, dibantai.
Tidak saja manusia, binatang-binatang peliharaan kami pun dibantainya. Mereka
bukan manusia! Tapi, iblis!"
Rara Inggar menghentikan ceritanya sejenak untuk meredakan napasnya yang memburu
hebat karena pengaruh amarah yang menggelegak dalam dada.
"Jadi, ayahmu juga tewas"!"
"Ya. Begitu pula dengan ibuku. Lawan yang mereka hadapi terlalu lihai. Ayah
menghadapi seorang yang bercelana putih. Di dadanya terdapat gambar kepala
seekor macan putih. Sayang, wajahnya tidak jelas karena dipenuhi coreng-moreng
aneh, dan bulu-bulu yang membuat
tampangnya mirip seekor macan. Tapi kalau menilik tubuhnya, aku yakin dia tidak
terlalu tua. Apalagi, tubuhnya terlihat kekar dan berotot!"
"Kalau lawan ibumu" tanya pemuda berjubah biru itu lagi. Nada suaranya juga
menyiratkan keingin-tahuannya yang mendalam.
Rara Inggar menarik napas dalam-dalam, lalu meng-hembuskannya kuat-kuat sebelum
menjawab pertanyaan itu. "Kalau orang yang berhadapan dengan ibuku, bisa
dikenali. Dia seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya dari
kulit macan putih, dan bergambar kepala seekor macan putih besar di bagian dada.
Seperti juga orang yang melawan ayahku, wajahnya juga penuh coreng-moreng dan
bulu-bulu halus. Sehingga, membuat wajahnya mirip seekor macan," jelas gadis
berpakaian merah itu.
"Hm.... Mungkin kedua orang itu pemimpinnya," tebak pemuda berpakaian biru itu.
"Aku pun menduga demikian...," sambut Rara Inggar cepat
"Lalu... kenapa kau berada di sini"!"
"Itulah yang kusesalkan," keluh Rara Inggar. "Sebelum ikut terjun menghadapi
musuh, ayah berpesan kalau keadaan tidak memungkinkan. Maka aku disuruh pergi ke
suatu tempat bersama Paman Kusuma.... Tapi di
perjalanan, kami dihadang Gerombolan Macan Putih.
Bahkan Paman Kusuma berhasil dirobohkan. Yahhh...!
Nasibnya sudah bisa kuduga!"
Dewa Arak 28 Teror Macan Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana menjadi hening sejenak ketika Rara Inggar menghentikan ceritanya.
"Aku juga telah mendengar berita tentang Gerombolan Macan Putih, yang konon
tidak pernah terkalahkan.
Mungkin benar katamu kalau mereka memendam
dendam. Karena sepanjang yang kudengar, mereka tidak pernah membunuhi binatang-
binatang," pemuda berjubah biru mengernyitkan keningnya. "Apakah orang tuamu
mempunyai musuh?"
Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Cobalah ingat-ingat Nisanak.... Aku yakin perlakuan Gerombolan Macan Putih ini
mempunyai latar belakang....
Mungkin saja, guru, kakak, atau ayah kedua pemimpin gerombolan itu tewas di
tangan orang tuamu atau kakek gurumu... "
"Ah! Kau benar!" sentak Rara Inggar tiba-tiba. Nada keterkejutan tampak jelas,
baik pada wajah mau pun nada suaranya.
"Jadi... orang tuamu benar telah membunuh orang yang mempunyai hubungan dengan
pemimpin Gerombolan
Macan Putih"!"
Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Hm.... Lalu?" wajah pemuda bertubuh kekar itu seketika berubah.
"Aku sempat mendengar ucapan wanita yang melawan ibuku karena bicaranya jelas
sekali...."
"Apa yang diucapkannya?" tanya pemuda berjubah biru penuh perhatian.
Rara Inggar tercenung sejenak untuk mengingat-ingat ucapan yang sempat
didengarnya. "Dia mengatakan kalau ayah dan ibuku mendapat kehormatan menjadi korban awal
pembalasan dendam orang yang berjuluk Raja Ular Pelenyap Sukma!" ucap Rara
Inggar. "Raja Ular Pelenyap Sukma...," ulang pemuda berjubah biru itu pelan. Dahinya
tampak berkernyit, pertanda tengah memikirkan sesuatu.
"Kau mengenalnya, Ki, eh! Ng..., Kisanak?" tanya Rara Inggar agak bingung karena
belum mengenal nama
pemuda bertubuh kekar itu.
Rupanya pemuda berjubah biru itu tidak mengetahui kebingungan gadis itu saat
ingin menyebut namanya Buktinya dia tetap tidak memperkenalkan nama. Hanya
kepalanya saja yang digelengkan untuk menanggapi pertanyaan Rara Inggar.
"Mengenalnya sih, tidak. Tapi julukannya pernah kudengar."
"Ah! Kau benar...!" sentak Rara Inggar mendadak. "Ya!
Aku juga telah pernah mendengar julukan itu, Raja Ular Pelenyap Sukma! Seorang
tokoh sesat yang mengerikan, dan pernah merajalela di dunia persilatan tanpa ada
seorang pun yang bisa menghalangi sepak terjangnya...."
"Benar! Aku pun mendengarnya demikian," sambut pemuda bertubuh kekar. "Apakah
kau tahu cerita selanjutnya?"
Rara Inggar menganggukkan kepala.
"Ya. Ibu telah menceritakannya padaku."
"Bisa kau ceritakan padaku?" pinta pemuda berjubah biru.
"Tentu saja!" sahut Rara Inggar semangat. "Menurut cerita ibuku, sepak terjang
Raja Ular Pelenyap Sukma itu sangat sewenang-wenang. Tidak terhitung orang yang
sudah menjadi sasaran tindak kejahatannya."
Rara Inggar menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Merasa tidak ada orang yang berani melawannya lagi, tindakan Raja Ular Pelenyap
Sukma semakin menggiriskan saja. Sampai akhirnya, dia membunuh seorang pendekar
muda yang menjadi anak kakek guruku...."
Kembali Rara Inggar menghentikan ceritanya sejenak untuk memberi kesempatan.
Barangkali saja pemuda bertubuh kekar itu akan mengutarakan sesuatu. Karena
pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi
setelah ditunggu beberapa saat tidak nampak adanya tanda-tanda kalau dia akan
mengatakan sesuatu.
"Kakek guruku marah bukan main, karena yang dibunuh adalah anak satu-satunya.
Tapi karena sudah tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan lagi, dia
mencoba bersabar. Murid-muridnya pun dilarang mengadakan pembalasan."
"Hm.. berita yang kudengar tidak seperti itu," sergah pemuda bertubuh kekar.
"Kudengar, Raja Ular Pelenyap Sukma tewas secara menyedihkan di tangan kakek
gurumu!" "Sabar dulu! Aku kan, belum selesai!" selak Rara Inggar cepat.
Pemuda berjubah biru itu pun terdiam.
Tak lama kemudian, nenek guruku sakit keras karena rasa sedih akibat
meninggalnya anak satu-satunya. Tidak ada lagi harapan untuk sembuh karena dia
memang tidak ingin berharap untuk kesembuhan. Usia tua, rasa sedih, dan ketidak
inginan untuk sembuh, semakin menambah parah sakitnya."
Rara Inggar menelan ludah untuk membasahi
tenggorokannya yang kering karena terlalu banyak bercerita.
"Sebelum meninggal, dia mempunyai sebuah permintaan agar tidak penasaran. Beliau
ingin agar kematian anak tunggalnya dapat terbalaskan Raja Ular Pelenyap Sukma
harus ikut pergi ke alam baka! Tidak ada pilihan lagi bagi kakek guruku. Dia pun
kembali terjun dalam dunia persilatan untuk mencari Raja Ular Pelenyap Sukma.
Ketika bertemu, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Melalui pertempuran
yang sengit dan mati-matian, kakek guruku berhasil membinasakan Raja Ular
Pelenyap Sukma. Hingga akhirnya, nenek guruku dapat mati dengan senyum di
bibir...," Rara Inggar menutup ceritanya.
Suasana menjadi hening ketika Rara Inggar meng-
hentikan ceritanya. Apalagi, pemuda berjubah biru juga tidak berkata- kata.
"Kurasa teka-teki telah terjawab..," kata Rara Inggar, kembali memecahkan
kehenungan di antara mereka.
"Teka-teki...?" pemuda berpakaian biru mengernyitkan dahi.
"Ya. Teka-teki yang menyebabkan Gerombolan Macan Pulih begitu keterlaluan
membasmi Perguruan Hati Naga Sudah bisa ditebak, dua orang pimpinan Gerombolan
Macan Putih mempunyai hubungan dengan Raja Ular
Pelenyap Sukma.... Karena kakek guruku telah tiada, pasti dendam itu dilimpahkan
pada murid-muridnya "
"Jadi kakek gurumu banyak mempunyai murid?" tanya pemuda berjubah biru itu.
Rara Inggar mengangguk.
"Kakek guruku mempunyai empat orang murid. Satu di antaranya adalah wanita, yang
kemudian menjadi ibuku.
Sedangkan ayahku, juga salah satu dari empat murid itu,"
jawab Rara Inggar.
"Berarti... kau masih mempunyai dua orang paman guru, Nisanak?"
Rara Inggar mengangguk.
"Pasti kau akan menuju ke sana...," duga pemuda berjubah biru itu.
"Musibah ini harus kuberitahukan kedua paman guruku. Sekaligus, aku hendak
memberitahu kemungkinan Gerombolan Macan Putih akan menyerbu tempat mereka.
Aku yakin, lama-kelamaan Gerombolan Macan Putih akan menemukan tempat
mereka...."
"Di mana tempat tinggal kedua paman gurumu..?"
"Maaf. Bukannya aku tidak percaya padamu. Kisanak.
Tapi... ini terlalu membahayakan. Sekali lagi, aku minta maaf," tolak Rara
Inggar halus. "Tidak apa-apa...," sahut pemuda berjubah biru dengan senyum di bibir. "Aku bisa
memakluminya...."
"Terima kasih ," ucap Rara Inggar tulus.
"O, ya...! Boleh aku tahu.... ke mana arah yang kau tuju"
Barangkali saja arah yang kita tempuh sama...," pemuda bertubuh kekar membuka
suara lagi setelah beberapa saat lamanya tercenung.
"Ng... aku hendak menuju ke Barat..."
"Kalau begitu.... arah yang kita tuju sama!" sentak pemuda berjubah biru. "Aku
pun hendak menuju ke Barat.
Ke Desa Ganjar. Apakah kau tidak keberatan bila kita menempuh perjalanan
bersama?" "Tentu saja tidak!" jawab Rara Inggar sambil tersenyum manis.
"Kapan kau hendak berangkat Nisanak?"
"Sekarang Juga," sahut Rara Inggar cepat. "Lebih cepat lebih baik! Aku yakin,
Gerombolan Macan Putih tidak akan menghentikan pencariannya terhadap diriku!"
Setelah berkata demikian, Rara Inggar segera melesat ke arah kudanya yang masih
tertambat di dekat dinding tebing. Rupanya, Gerombolan Macan Putih lupa membunuh
binatang tunggangan gadis berpakaian merah itu.
"Kau sendiri... bagaimana?" tanya Rara Inggar ketika telah berada di atas
punggung kudanya. Wajah gadis berambut dikuncir itu tampak kebingungan. Haruskah
pemuda bertubuh kekar itu berlari, sementara dia menunggang kuda"
"Tidak usah khawatir." jawab pemuda berjubah biru sambil tersenyum lebar.
Meskipun Rara Inggar belum mengatakan, sudah bisa diduga hal yang menyebalikan
gadis itu kebingungan.
Ini untuk pertama kalinya pemuda berjubah biru itu tersenyum. Karena sejak tadi
sikapnya terlihat sungguh-sungguh. Bahkan tak pernah tersenyum itulah sebabnya,
Rara Inggar agar terpukau sejenak melihat pemuda itu tersenyum.
Tapi pemuda berjubah biru itu sama sekali tidak mempedulikan keheranan Rara
Inggar Kemudian beberapa jarinya dimasukkan ke dalam mulut.
Suiiit...! Suitan nyaring melengking terdengar. Keras bukan main, sehingga menggema ke
Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 7 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Pendekar Latah 5