Pencarian

Bara Di Jurang Guringring 2

Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring Bagian 2


Jangan mengarang cerita yang
bukan-bukan!" kilah Putri Tunjung Kuning dengan suara agak lantang.
"Kau jangan berpura-pura! Apa kau kira aku tak tahu perbuatan licik yang kau
lakukan terhadap orang tua bernama Ageng Panangkaran" Hanya demi lembaran
rombeng, kau tega berbuat keji dan nista!" tuding Aji.
Paras wajah Putri Tunjung Kuning
sontak berubah bersemu merah. Namun
sebentar kemudian bibirnya yang merah sudah tersenyum manis.
"Sontoloyo! Bibir itu memang
benar-benar menggoda! Seandainya dia tak ada sangkut paut masalah ini..., ingin
rasanya...."
"Bila begitu ucapanmu, berarti kau telah bertemu orang tua yang bernama Ageng
Panangkaran. Dan tak mustahil, kau telah mendapat lembaran kulit darinya! Bagus!
Sekarang kau bisa bawa pulang Eyang serta gadis gombal itu. Asal, lembaran kulit
itu diserahkan padaku!"
"Brengsek! Siapa bilang aku telah mendapatkan lembaran kulit itu..." Dan, ingat!
Mulutmu akan kusumpal dengan
kepalan tanganku jika masih sebut gadis itu dengan sebutan gombal!"
"Oh, begitu...?" kata Putri Tunjung Kuning sambil memonyongkan bibirnya.
Gadis ini tampak tenang-tenang saja
mendengar umpatan Aji.
"Melihat sikapmu yang begitu
berapi-api jika gadis itu kusebut begitu, dapat kuduga kalau kau adalah
kekasihnya! Benar, bukan...?"
"Kau tak perlu menduga-duga! Lagi pula, soal itu bukan urusanmu!"
Putri Tunjung Kuning mengalihkan
pandangan ke samping, tempat Jurang
Guringring yang dikelilingi batu-batu hitam memantulkan kilat-kilat
menyilaukan ter-kena sengatan matahari.
Lalu ditariknya napas dalam-dalam tanpa menoleh.
"Pendekar Mata Keranjang! Dengar!
Hubunganmu dengan gadis itu merupakan urusan paling besar bagiku!"
"Apa maksudmu...?"
"Jika benar-benar mencintainya, tentunya kau telah rindu. Karena telah lama
tidak berjumpa. Dan tentunya, kau datang jauh-jauh ingin bertemu dengannya,
bukan" Nah! Jika demikian halnya,
serahkan saja lembaran kulit itu! Setelah itu, kau akan bertemu kekasihmu.
Bahkan kau bisa membawanya pulang! Tapi jika kau tak mau menyerahkannya, berarti
tak mencintainya! Dan, silakan pergi dari sini. Karena, sebentar lagi mungkin ada
tamu yang akan menukar gadismu dengan lembaran kulit yang kuinginkan! Jelas
bukan..."! Sekarang aku harus pergi. Ada urusan yang harus kuselesaikan!" papar
Putri Tunjung Kuning mengakhiri
penjelasannya sambil memutar tubuhnya dan siap hendak berkelebat.
"Enak saja kau ngomong! Kau kira aku bisa diatur seenak dengkulmu he..."!"
bentak Aji menahan langkah Putri Tunjung Kuning.
Mendengar bentakan, Putri Tunjung
Kuning mengurungkan niatnya. Kembali tubuhnya berputar menghadap Aji. Kulit
putih wajahnya berubah pucat, lalu
memerah. Mata menusuk bola mata Aji.
"Siapa mau mengatur"! Kau telah tahu perempuan. Itu menunjukkan kau telah
dewasa. Dan tanpa kuatur, tentunya kau bisa mengatur dirimu sendiri! Aku hanya
mengajukan syarat, tanpa ingin mengatur!
Soal kau penuhi persyaratan atau tidak, itu bukan urusanku! Tinggal kini, sejauh
mana hatimu mencintai gadis itu! Jika kau memang mencintainya, dan lembaran
kulit itu ada padamu, mestinya tanpa berpikir dua kali akan memilih sang kekasih
daripada lembaran rombeng seperti yang kau katakan tadi!"
Sejenak Putri Tunjung Kuning
menghentikan ucapannya. Lalu ditariknya napas dalam-dalam, matanya masih tetap
menatap tanpa kedip ke arah Putri Tunjung Kuning.
"Atau kalau lembaran kulit itu memang tak ada padamu, kau harus segera
menyingkir, dan mencari tahu beradanya lembaran kulit itu! Lalu, bawalah kemari!
Dan akhirnya, kau pulang dengan membawa kekasihmu!"
"Jangkrik! Gadis ini benar-benar pemeras licik!" batin Aji, saat itu juga tangan
Aji masuk ke balik saku baju
dalamnya. "Baik! Kusetujui
persyaratanmu! Namun, tunjukkan dahulu Eyang Selaksa dan Ajeng Roro! Setelah itu, baru aku akan
menyerahkan lembaran ini!"
Saat itulah mendadak sebuah bayangan kuning berkelebat cepat bagai tak
terlihat. Dan tahu-tahu telah berdiri tegak tak jauh dari Putri Tunjung Kuning.
"Guru!" seru Putri Tunjung Kuning ketika mengenali siapa yang telah berdiri di
sampingnya. Orang yang dipanggil guru oleh Putri Tunjung Kuning tertawa panjang. Lalu
kepalanya menoleh ke samping dan
tersenyum memandang ke arah Aji.
Sepasang mata Aji kembali dibuat
terbeliak. Ternyata orang yang kini
berdiri di samping Putri Tunjung Kuning, juga seorang gadis yang berparas
cantik. Pakaiannya juga kuning. Rambutnya panjang tergerai. Kulitnya putih, dengan dada
kencang membusung dan pinggul besar
menggoda! Sejenak Aji memandang silih berganti pada dua gadis di depannya. Pemuda itu
hampir tak bisa membedakan di antara keduanya!
"Hm.... Yang sempat main tahi kucing dengan Dewa Kutukan sewaktu di Kampung
Blumbang pasti gadis yang baru datang!
Sedangkan yang pernah bertemu denganku di hutan dahulu..., akh! Aku tak bisa
mengenali...!"
Gadis yang baru datang, tak lain
memang guru Putri Tunjung Kuning yakni Dewi Kuning. Dia tersenyum dengan mata
tak memandang Aji.
"Putri Tunjung Kuning! Jangan
terburu-buru menerima tawaran! Bukan tak mungkin, barang yang sekarang dibawanya
palsu! Karena sekarang banyak barang palsu beredar!" ujar Dewi Kuning.
"Benar, Guru! Sekarang lebih baik Guru saja yang melihat barang itu!" kata Putri
Tunjung Kuning, lalu melompat ke arah Aji dan menyodorkan tangannya.
"Tidak semudah itu kalian dapat melihat barang ini! Tunjukkan dahulu Eyang
Selaksa dan Ajeng Roro! Setelah itu, baru kalian dapat melihat lembaran
ini...!" Cepat mata Putri Tunjung Kuning
menatap Aji, mulai dari ujung rambut hingga mata kaki.
"Kau cerdik juga rupanya...," batin Putri Tunjung Kuning.
Gadis itu kemudian menoleh ke arah
Dewi Kuning, seakan minta jawaban. Lama tak ada jawaban.
"Sudahlah! Mungkin kalian tak
menginginkan lembaran kulit ini! Aku juga tak begitu membutuhkan gadis serta
orang tua yang ada di bawah penguasaanmu...!"
ucap Aji perlahan.
Habis berkata Aji memutar tubuhnya
siap bergerak untuk pergi.
"Tunggu!" tahan Dewi Kuning.
Aji meneruskan langkahnya, seakan
tak mendengar seruan Dewi Kuning.
Melihat gelagat ini, Dewi Kuning
cepat menghambur ke depan. Dan tahu-tahu ia telah tegak menghadang Aji.
"Orang tampan! Kuturuti
permintaanmu! Tunggu di sini sebentar!"
tahan Dewi Kuning sambil mengerling ke arah Putri Tunjung Kuning.
Mendapat kerlingan sang guru, Putri
Tunjung Kuning seakan tahu isyarat itu.
Maka cepat tubuhnya berkelebat, menukik menuju jurang yang tak jauh di bawahnya.
Sementara itu, Dewi Kuning yang
melihat Aji tak mengangguk dan juga tak menggeleng, bergerak mendekati. Mulutnya
sedikit dibuka. Bibirnya yang basah
tampak ranum dan merah. Lidahnya
senantiasa menjilat bibir ranum itu.
Bahkan Dewi Kuning lantas menggoyangkan sedikit pinggulnya disertai desahan
tertahan. "Sambil menunggu, bagaimana jika kita bersenang-senang sebentar, Orang tampan"
Khusus untukmu, akan kuperagakan gaya yang bagus. Sehingga, tak ada niatan lagi
di hatimu untuk pulang...."
Hati Aji sebentar terombang-ambing.
Apalagi Dewi Kuning telah membuat
gerakan-gerakan yang membuat tubuh Aji terasa terpanggang bara. Degup jantungnya
kontan berdetak kencang. Bahkan ketika Dewi Kuning telah menempelkan tubuhnya ke
dada bidang Aji, pemuda itu seakan
terkesima dan diam saja.
Begitu wajah Dewi Kuning menengadah
dan hidung mancungnya menyentuh dagu Aji, dari belakang berkelebat sesosok tubuh
yang menggapit dua tubuh terikat.
"Guru!" panggil sosok yang menggapit dua tubuh terikat. Dia ternyata Putri
Tunjung Kuning.
Serentak Aji dan Dewi Kuning
berpaling. Dewi Kuning sedikit terkejut. Namun
sebentar kemudian bibirnya yang ranum tersenyum, meski di wajahnya semburat
warna semu merah.
Sementara, raut muka Aji tampak merah padam.
Apalagi tatkala mata bulat Anjeng
Roro menatapnya dengan sedikit melotot.
Bahkan gadis itu membuang muka.
Sementara, Eyang Selaksa memandangnya dengan mata sayu tanpa gairah.
"Bagaimana, orang tampan" Sekarang serahkan lembaran kulit itu! Dan, kau bisa
bawa pulang mereka berdua. Atau kalau ingin meneruskan permainan yang terpotong
tadi, kau bisa tinggal beberapa malam di sini!" tanya Dewi Kuning mengajukan
penawaran seraya melirik ke arah Aji dan mengulurkan tangannya.
Sebentar mata pemuda itu memandang
ke arah Eyang Selaksa dan Ajeng Roro.
Keduanya tampak kusut dan terikat tali.
Perlahan Pendekar Mata Keranjang 108
memasukkan tangannya ke balik bajunya, dan mengeluarkan gulungan kulit.
Melihat gulungan kulit, tangan
lentik Dewi Kuning cepat menyambar.
Wuttt! Namun, pemuda tampan dan perlente ini telah waspada. Sebelum tangan itu sempat
menyambar gulungan, dia meloncat ke
samping Eyang Selaksa.
"Aji! Jika itu dari Ageng
Panangkaran, cepat tinggalkan tempat ini.
Aku dan Roro bisa mengurus diri!
Selamatkan gulungan kulit itu, yang lebih berharga daripada segalanya. Demi
keselamatan dunia persilatan dan
kedamaian umat manusia, jangan hiraukan keselamatanku dan Roro! Cepat
menyingkirkan...! Jangan sampai gulungan itu jatuh ke tangan mereka!" bisik
Eyang Selaksa sambil melirik ke arah Aji dan menatap ke gulungan kulit itu.
"Jangan khawatir, Eyang! Meski ini gulungan asli, namun aku telah
mengubahnya...," gumam Aji pelan, tanpa memandang ke arah Eyang Selaksa.
"Buka ikatan mereka...!" perintah Aji.
Putri Tunjung Kuning dan Dewi Kuning sejenak saling berpandangan. Lalu, mata
Dewi Kuning menatap Aji dalam-dalam.
"Muridku, buka ikatan mereka...!"
ujar Dewi Kuning tanpa menoleh.
Putri Tunjung Kuning segera meloncat ke arah Eyang Selaksa dan Ajeng Roro. Lalu
tanpa bicara lagi, tangan gadis itu
bergerak ke sana kemari, seakan
merobek-robek tubuh Eyang Selaksa dan Ajeng Roro.
Namun, begitu tangan Putri Tunjung
Kuning berhenti bergerak, tali pengikat di tubuh Eyang Selaksa dan Ajeng Roro
telah luruh ke tanah. Putus kecil-kecil!
"Ambillah!" ujar Aji sambil melemparkan gulungan kulit ke depan Dewi Kuning.
Dengan wajah kesal dan mendengus,
Dewi Kuning membungkuk. Diambilnya
gulungan kulit di dekat kakinya. Dan saat itu juga, Putri Tunjung Kuning
meloncat mendekati Dewi Kuning.
Dengan tangan sedikit gemetar, Dewi
Kuning mulai membuka gulungan kulit.
Sebentar matanya menatap ke arah Aji, lalu beralih pada Eyang Selaksa. Dan
akhirnya berujung pada Ajeng Roro dengan tatapan
galak. Lantas kembali diamatinya kulit yang kini telah terpentang.
Dengan sedikit melotot, Dewi Kuning
mengawasi lembaran kulit pertama.
Bibirnya lantas tersenyum. Lalu,
kepalanya mengangguk. Demikian juga waktu membuka lembaran pertama dan mengawasi
lembaran kedua. Dan tiba-tiba, Dewi
Kuning tertawa terkekeh waktu membuka lembaran kedua, dan melihat lembaran
ketiga. Belum habis kekehan tawanya, Dewi
Kuning mengalihkan pandangan ke arah Aji.
"Kau boleh bawa orang tua serta gadismu!" kata Dewi Kuning sambil tersenyum dan
menoleh ke arah Putri
Tunjung Kuning. "Muridku! Sekarang saatnya kau menjadi ratu dalam rimba
persilatan! Urusan kita telah selesai.
Mari kita pergi sekarang...!"
Sebelum beranjak melangkah, Dewi
Kuning melihat Aji masih tegak termangu.
"Kau mendengar ucapanku tadi, bukan"
Kau boleh membawa mereka berdua!
Sekarang, tiinggu apa lagi" Ataukah kau menerima tawaranku untuk tinggal di sini
beberapa malam..." Aduh..., bahagianya hatiku...," kata Dewi Kuning sambil
mengerdipkan sebelah matanya.
Selesai berkata Dewi Kuning
mendekat. Namun, kali ini Pendekar Mata Keranjang buru-buru bergerak menghindar.
"Eyang, Roro, kita tinggalkan tempat busuk ini!" ujar Aji, seraya mengangguk
ke arah Eyang Selaksa dan tersenyum ke arah Ajeng Roro.
Eyang Selaksa mengangguk. Sementara, Ajeng Roro tak memandang pada Aji yang
tersenyum ke arahnya.
"Jangkrik! Apa dikira aku telah bermain gila dengan Dewi Kuning?" umpat Aji
dalam hati seraya melangkah di
belakang Eyang Selaksa dan Ajeng Roro yang telah melangkah mendahului.
Tapi belum jauh ketiganya beranjak,
terdengar tawa menggemuruh disertai deru angin dahsyat. Sehingga daun-daun pohon
di tanah hitam itu berguguran.
Begitu menoleh, serentak ketiganya
terkejut. Di depan Dewi Kuning dan Putri Tunjung Kuning tampak berkelebat
sesosok tubuh yang masih tertawa menggemuruh.
Kemudian sosok itu berdiri tegak dengan kedua kaki dipentangkan, serta kedua
tangan di atas pinggang di depan guru dan murid itu.
Seakan tak dapat dipercaya, ternyata sosok itu seorang laki-laki yang sekujur
tubuhnya telah melipat-lipat. Jubahnya besar warna merah. Di kedua telinganya
menggantung anting-anting besar. Kedua jari telunjuknya tampak mencuat dan kaku!
Sepasang matanya yang berwarna putih kini menatap tak kesiap ke arah Dewi
Kuning. "Dewa Kutukan!" seru Aji tertahan sambil menoleh ke samping.
Pemuda itu kaget begitu melihat Eyang Selaksa serta Ajeng Roro tak ada lagi di
sampingnya. Sepasang matanya nyalang mencari. Dan begitu matanya tertumbuk pada


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah pohon besar yang di sekitarnya terdapat semak belukar lebat bergoyang,
dia cepat menyusul.
Kini dari balik semak belukar tampak, tiga pasang mata tak berkedip mengawasi ke
arah utara. Di sana, tampak Dewi Kuning dan Putri Tunjung Kuning sedang
berhadapan dengan tatapan tak berkedip dengan sosok yang baru datang. Sosok yang
tak lain Dewa Kutukan!
* * * 7 Mendapat firasat ada orang yang
datang, Dewi Kuning segera memberikan lembaran kulit yang di tangannya pada
Putri Tunjung Kuning.
"Putri Tunjung Kuning! Simpan yang ini. Dan, keluarkan yang palsu...! Ingat!
Bila nanti terjadi hal yang di luar
rencana, cepat tinggalkan tempat ini.
Lalu bawa lembaran kulit yang asli...!"
bisik Dewi Kuning sambil menatap tajam Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning segera mengeluarkan lembaran kulit dari balik bajunya. Kemudian dia menukarnya dengan
yang ada di tangan Dewi Kuning.
Secepat kilat Dewi Kuning menyambut
lembaran dari Putri Tunjung Kuning, dan memasukkannya ke balik bajunya.
Sejenak, keduanya salingberpandangan. Lalu, tampak Dewi Kuning tersenyum sambil mengangguk.
Sementara Putri Tunjung Kuning maju
setindak, menyongsong orang yang baru datang.
"Siapa kau" Berani bertingkah kurang ajar, kukubur hidup-hidup di tanah hitam
ini!" bentak Putri Tunjung Kuning, setelah yakin kalau Dewa Kutukan
memperlihatkan gelagat tak baik.
Dibentak begitu, Dewa Kutukan tak
peduli. Malah sepasang mata putihnya menyengat tajam, beralih satu persatu pada
Putri Tunjung Kuning dan Dewi Kuning.
Senyum sinisnya
menyeruak menghias bibir.
Dan tatkala matanya berujung pada Putri Tunjung Kuning, ia berlama-lama
memandangi. "Perempuan sundal! Gadis ayu ini parasnya kulihat tidak palsu seperti parasmu.
Siapakah gerangan bocah ayu ini..."!" kata Dewa Kutukan menatap Dewi Kuning.
Kemudian tatapannya beranjak ke Putri Tunjung Kuning tepat ke arah
dadanya. Mendengar ada orang yang menyebut
gurunya sebagai perempuan sundal, raut Putri Tunjung Kuning merah padam.
Bibirnya yang bagus seketika menyungging
senyum yang mengisyaratkan jijik dan muak.
"Dewa Kutukan! Sekali lagi kau
menyebutku dengan sebutan tadi, akan kurobek mulutmu yang bau itu!" bentak Dewi
Kuning. Matanya menusuk bola mata putih Dewa Kutukan.
Putri Tunjung Kuning sontak tercengang mendengar Dewi Kuning menyebut gelar orang yang baru datang.
"Hm.... Urusan akan jadi panjang, jika dia juga menginginkan lembaran kulit itu!
Menurut cerita yang pernah kudengar dari guru, Dewa Kutukan adalah seorang tokoh
berilmu tinggi yang sukar
dijajaki...," kata hati Putri Tunjung Kuning.
Mendengar bentakan Dewi Kuning,
lipatan kulit wajah Dewa Kutukan serentak bergerak-gerak. Dagunya terangkat
mengeras. Namun, cuma sekejap. Karena, Dewa Kutukan lantas tertawa ngakak dengan
menggemuruh. Begitu gema suara tawanya terhenti, kepalanya mendongak memandang
langit. Lalu cepat dia berpaling pada Dewi Kuning.
"Kalau kau tak mau disebut perempuan sundal, lantas sebutan apa yang pantas
untukmu..." Perempuan jalang..." Atau, perempuan jalanan..."!" leceh Dewa
Kutukan. "Guru! Biar aku saja yang mengurus tua bangka ini! Mulutnya memang pantas
untuk dilumat!" sergah Putri Tunjung Kuning.
"Ah!" seru Dewa Kutukan setengah terkejut. Bibirnya menyungging senyum seraya
menengadah. "Jadi, perempuan jalang ini gurumu"
Ck... ck... ck.... Tak disangka! Ternyata perempuan jalang macam dia punya
seorang murid yang secantik ini...!"
Dewa Kutukan mengernyit sambil
menggeleng-geleng.
"Putri Tunjung Kuning! Mundur! Ini urusanku...!" ujar Dewi Kuning, seraya
melangkah ke depan.
Tiga tombak di hadapan Dewa Kutukan, Dewi Kuning menghentikan langkahnya.
"Apa gerangan yang membuat Dewa Kutukan jauh-jauh datang ke tempatku..."
Apakah masih penasaran dengan kejadian tempo hari" Harap maafkan jika waktu itu
aku meninggalkanmu. Aku memang ada urusan penting yang harus diselesaikan!
Sebagai gantinya, jika kau masih menginginkan dengan senang hati sekarang juga
akan kulayani! Bahkan beberapa malam
sesukamu...! Bagaimana..."!"
Mendengar ucapan Dewi Kuning, karuan saja Dewa Kutukan kembali tertawa
tergelak-gelak. Namun,
tiba-tiba berhenti. "Jika kata-kata tadi keluar dari mulut muridmu, mungkin aku tak akan
berpikir dua kali. Bahkan akan segera menghambur. Dan dia akan kubuat mainan
lima hari lima malam. Sejenak pun tak akan kubiarkan lepas dari pelukanku...!"
kata Dewa Kutukan.
Wajah Putri Tunjung Kuning kontan
berubah merah padam. Jari-jari tangannya yang lentik serentak mengepal. Kemudian
kakinya melangkah, menjajari Dewi Kuning.
"Guru! Mulut tua bangka ini jika dibiarkan akan terus mengumbar suara sember!
Beri kesempatan padaku untuk membuat mulutnya tak bisa terbuka lagi!"
dengus Putri Tunjung Kuning.
"Ha... ha... ha.... Tidak bisa
terbuka lagi" Apa karena tertutup bibirmu yang ranum dan merah itu" O..., la...
la.... Betapa senangnya.... Apakah akan kau tutup sekarang" Atau...."
Dewa Kutukan tak meneruskan
kata-katanya. Hanya sepasang matanya kini tak berkedip, menatap tajam ke arah
dada dan pinggul Putri Tunjung Kuning.
Dan batas kesabaran Putri Tunjung
Kuning pun pupus sudah. Segera kakinya melangkah maju dua tindak. Bersamaan
dengan itu, kedua tangannya ditarik ke belakang. Namun begitu tangannya akan
bergerak ke depan.
"Putri Tunjung Kuning! Tunggu!"
cegah Dewi Kuning. Biar kita bicara
baik-baik dahulu! Urusan besar kita belum selesai hingga di sini...."
Dewi Kuning lantas melangkah
menjajari Putri Tunjung Kuning. Sementara matanya tajam menyorot.
"Dewa Kutukan! Aku masih belum tahu, apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini!
Katakan saja!" tanya Dewi Kuning, mulai galak.
"Baik! Urusan perempuan memang nomor dua. Yang lebih penting dan lebih besar
adalah, urusan lembaran kulit itu! Dengar baik-baik! Aku akan mengampuni
tingkahmu tempo hari. Bahkan kita akan bersahabat lebih akrab lagi jika lembaran
kulit diserahkan padaku!"
Putri Tunjung Kuning terkejut.
Mulutnya sedikit ternganga mendengar ucapan Dewa Kutukan.
Sementara Dewi Kuning meski agak
gemetar, namun tetap tegar. Memang
sebelumnya telah diduga kalau kedatangan Dewa Kutukan tak lain hanyalah demi
lembaran kulit dan keterangan Eyang
Selaksa. Mengenai kejadian di Kampung Blumbang, mungkin hanya persoalan sepele
yang bisa ditunda.
Berpikir begitu, Dewi Kuning
tersenyum. "Tua Bangka! Sungguh amat disayangkan, kedatanganmu terlambat. Sebab orang yang
kau cari telah meninggalkan tempat ini!" kata Dewi Kuning, berusaha menjelaskan.
"Aku tahu! Bahkan aku tahu, di mana dia sekarang berada!" sambut Dewa Kutukan.
Pandangan matanya langsung
beralih ke arah pohon besar yang di
sekitarnya banyak semak belukar lebat yang meranggas.
Aji, Eyang Selaksa, dan Ajeng Roro
yang memang berada di situ, serentak saling berpandangan.
"Jangkrik! Dia telah tahu kita berada di sini!" gumam Aji perlahan.
Sementara Eyang Selaksa dan Ajeng
Roro hanya mengangguk. Sejenak kemudian, pandangan mereka telah kembali terarah
pada Dewa Kutukan dan Dewi Kuning.
"Jika sudah tahu, kenapa tidak segera minggat dari hadapanku"!" hardik Dewi
Kuning, berkacak pinggang.
"Jika aku tahu di mana dia sekarang berada, tentunya tidak pasti tahu di mana
sekarang lembaran kulit itu berada!
Perempuan jalang! Waktuku bukan hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul tanpa ada
juntrungnya! Lekas serahkan lembaran kulit itu padaku...! Jika kau masih
berpanjang-panjang...."
Dewa Kutukan tak meneruskan
kata-katanya. Hanya sepasang matanya menghujam ke arah dada Dewi Kuning, di mana
lembaran kulit itu berada.
Namun sekejap itu, mendadak sebuah
bayangan berkelebat cepat ke arah Dewa Kutukan. Tapi laki-laki itu hanya
mengibaskan tangannya.
Bret! Sementara, bayangan terjajar mundur
dan kini telah berada di samping Dewi Kuning,Dan yang membuat heran Dewa
Kutukan mendadak tertawa terbahak-bahak.
Sepasang matanya tak berkedip menyorot tajam ke arah bayangan tadi yang ternyata
Putri Tunjung Kuning. Tapi pandangannya kali ini disertai naik turunnya jakun.
"Ah, tak kusangka! Kulitmu yang tampak halus dan lembut, kenyataannya lebih dari
itu. Bahkan juga kenyal,
kencang, dan..., putih! Ingin rasanya aku menyentuhnya sekali lagi...."
Mendengar kata-kata Dewa Kutukan,
tentu saja Dewi Kuning dan Putri Tunjung Kuning terkejut. Mereka saling
berpandangan. Begitu Dewi Kuning menatap Putri Tunjung Kuning, wajahnya
mengisyaratkan kekagetan, dengan mata mendelik.
Melihat perubahan pada paras
gurunya, serta-merta Putri Tunjung Kuning mencari tahu apa yang membuat
perubahan pada wajah gurunya!
Astaga! Wajah Putri Tunjung Kuning
seketika bagai dipanggang bara. Darahnya naik keubun-ubun. Ternyata kain bagian
dadanya robek persegi tiga. Sehingga, tak ampun lagi buah dadanya yang putih dan
kencang menantang terpentang cukup besar.
Melihat keadaan itu buru-buru Putri
Tunjung Kuning memutar tubuh membelakangi Dewa Kutukan. Sementara dari balik
semak belukar, mata Pendekar Mata Keranjang 108
juga tak berkedip menikmati pemandangan yang hanya sekilas itu. Namun begitu
Ajeng Roro melirik, buru-buru pandangannya
beralih. Dan kini melirik ke arah Ajeng Roro.
Tapi, pemuda itu lantas mengutuk diri sendiri saat Ajeng Roro segera
mengalihkan pandangan dengan cemberut.
"Sial! Jika tak ada Eyang Selaksa, rasanya ingin segera kukatakan tentang
kejadian bersama Dewi Kuning tadi. Ah, Roro! Tahukah kau, bahwa aku sangat
mengharap...,"
Aji tak meneruskan kata hatinya, saat terdengar batuk-batuk kecil Eyang
Selaksa, seakan-akan tahu bahwa saat itu matanya sedang lekat-lekat menikmati
wajah Ajeng Roro dari arah samping.
Buru-buru pemuda ini mengalihkan
pandangan ke arah Dewa Kutukan dan Dewi Kuning.
"Perempuan jalang! Sudah kukatakan, waktuku tak banyak! Cepat serahkan
lembaran kulit itu!" bentak Dewa Kutukan.
"Tua bangka! Aku memang telah membawa Selaksa kemari. Namun ternyata dia juga
tak membawa lembaran kulit itu! Dan
tentunya, kau paham kata-kataku
selanjutnya!" tukas Dewi Kuning dengan suara menghentak pula.
"Mataku tidak bisa kau dustai,
Perempuan Jalang!" lanjut Dewa Kutukan dengan mata memandang dada Dewi Kuning,
di mana lembaran kulit itu disirnpan.
Setelah agak lama ditunggu namun tak ada tanda-tanda Dewi Kuning akan
menyerahkan lembaran kulit, Dewa Kutukan segera menyentakkan tangannya ke depan.
Wesss! Seketika selarik gelombang angin
panas bergulung-gulung dan menggemuruh meluruk ke arah Dewi Kuning.
"Muridku, cepat menyingkir!"
Sambil memberi perintah pada Putri
Tunjung Kuning yang masih membelakangi, Dewi Kuning menghindar ke samping dengan
menjatuhkan diri ke atas tanah. Dan dengan gerakan cepat, dari arah samping
tangannya mendorong ke depan disertai teriakan membahana.
"Hiaaa...!"
Wusss! Namun tak kalah cepatnya, Dewa
Kutukan bergerak menghindar. Tubuhnya cepat dimiringkan ke samping. Sehingga,
dua serangan pembuka itu sama-sama
menerpa tempat kosong. Namun tak lama kemudian, mereka kembali saling gebrak
menimbulkan suara berdebum yang terdengar beberapa kali. Itu pun masih
ditingkahi gemeretak batu-batu pecah terkena pukulan nyasar dari kedua orang
ini. Mendapati serangan sama-sama luput,
mereka sama-sama terbeliak. Tapi hanya sekejap. Sebab saat itu juga, tangan
kanan dan kiri Dewa Kutukan yang bertelunjuk kaku, disentakkan ke arah Dewi
Kuning yang masih menggeloso di atas tanah.
Wesss! Wesss! Tampak dua larik gelombang angin
disertai hawa panas dan dingin berderak cepat dan dari samping kanan dan kiri
dengan sigap meladeni serangan. Cepat kedua tangannya ditarik ke belakang.
Begitu larik gelombang angin panas
datang dari samping kanan, perempuan itu menyentakkan tangan kirinya.
Blarrr! Belum sirna gema ledakan yang
terdengar dahsyat barusan, dari arah kiri Dewi Kuning meluruk angin dahsyat
berhawa dingin. Kali ini disertai bentakan
melengking. Sedangkan Dewi Kuning menjejakkan
tumitnya. Tubuhnya melambung ke atas.
Dari atas, tangan kanannya disentakkan ke arah Dewa Kutukan. Sedangkan tangan
kirinya disentakkan untuk memapak
gelombang angin berhawa dingin.
Blarrr! Prakkk! Satu dentuman menggelegar terdengar, saat gelombang angin berhawa dingin dari
sentakan tangan Dewa Kutukan, terpapak pukulan tangan kiri Dewi Kuning.
Sedangkan sekejap lain, terdengar
benturan keras saat tangan kanan wanita itu berpapasan dengan tangkisan laki-
laki bermata putih ini.
Dewi Kuning melengking keras.
Tubuhnya yang melancarkan serangan dari udara terpental, sebelum akhirnya
membentur pohon besar dan luruh ke atas tanah.
Sementara tubuh Dewa Kutukan yang
menangkis serangan Dewi Kuning
terjengkang tujuh langkah ke belakang, lalu bergulingan di atas tanah.
Wajah Dewi Kuning tampak pucat. Dan
dari sela bibirnya keluar tetesan darah segar.


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan Dewa Kutukan tak jauh
berbeda. Bahkan sambil merambat bangkit, dia memegangi dadanya yang tertutup
jubah merah besar. Saat tangannya dipentangkan, tampak jubah bagian dadanya
berubah, menjadi hitam.
Dewi Kuning tampak bangkit. Kemudian matanya melirik tangan yang terasa ngilu
luar biasa. Seketika, perempuan itu
terkejut. Ternyata tangan kanannya telah berubah menjadi kebiru-biruan.
Dengan sedikit tergontai, Dewi
Kuning berdiri tegak sambil memandang Dewa Kutukan.
Demikian halnya dengan Dewa Kutukan.
Dua pasang mata kini saling bertatapan dengan kilatan yang berbau maut!
Tak berselang lama, Dewa Kutukan
berpaling. Lantas sambil meludah ke atas tanah, kedua tangannya ditarik dan
bersatu di depan dada. Sehingga, kedua jari telunjuknya bersatu.
Nampaknya kini Dewa Kutukan tengah
mengerahkan jurus andalannya yang telah terkenal 'Dewa Membelah Langit'. Dan
begitu dua jari telunjuknya bertemu lurus di depan dada, sepasang matanya
menatap telunjuknya. Saat itu juga Dewa Kutukan bergerak meloncat ke arah Dewi
Kuning. Menyadari Dewa Kutukan telah
mengerahkan jurus andalan, Dewi Kuning tak tinggal diam. Kedua tangannya
serentak disilangkan menutup wajahnya.
Sedangkan kedua kakinya direntangkan.
Inilah jurus 'Bunga Kembar Menebar
Maut'yang di rimba persilatan juga telah terkenal kehandalannya.
Begitu tubuh Dewa Kutukan bergerak
dengan tangan lurus ke depan, Dewi Kuning hanya diam termangu. Kala tangan lurus laki-laki itu sejengkal mencapai dada, tangannya cepat membuka dan
menyentakkannya ke bawah.
Bres! Saat itu juga terdengar benturan
keras menggema. Tanah hitam di tempat terjadi benturan tampak terbongkar,
hingga membentuk kubangan sedalam
setengah tombak.
Tubuh, Dewi Kuning kembali
terjengkang. Tapi kali ini keluar
lenguhan dari mulutnya. Sebelum suara lenguhan hilang, tubuh Dewi Kuning telah
menyuruk tanah.
Sementara itu, di lain pihak tubuh
Dewa Kutukan mental balik dan melayang ringan bagai kapas. Dan akhirnya tubuh
itu membentur pohon, lalu jatuh di atas tanah.
Hening sejenak. Tubuh Dewi Kuning
sebentar tampak bergerak-gerak dart
membalik telentang. Lantas tubuhnya
digeser bersandar ke pohon. Sekujur
tubuhnya telah kebiru-biruan. Dan
mendadak, wajah Dewi Kuning yang putih dan berparas cantik, berubah kecoklatan.
Bahkan kulit wajahnya mengeriput, seperti seorang nenek-nenek!
Begitu bersandar, Dewi Kuning
melambaikan tangannya ke arah Putri
Tunjung Kuning yang dari tadi mengawasi pertarungan dengan hati was-was.
"Guru...!"
Melihat keadaan ini Putri Tunjung
Kuning loncat menghambur ke arah Dewi Kuning. Langsung dipeluknya tubuh wanita
yang telah berubah menjadi nenek-nenek itu.
"Putri Tunjung Kuning! Sekarang saatnya lembaran palsu itu berguna! Cepat pergi
dari sini. Pelajari baik-baik apa yang tertera dalam lembaran asli yang ada pada
mu. Kau tak usah mengkhawatirkan keadaanku! Aku masih bisa menjaga diri!"
bisik Dewi Kuning perlahan, sambil
menatap sayu ke arah Putri Tunjung Kuning.
"Tidak, Guru! Aku akan tetap di sini dan membuat pembalasan!" seru Putri Tunjung
Kuning berapi-api. Kemudian
kepalanya menoleh ke arah Dewa Kutukan yang telah bangkit dan berdiri berkacak
pinggang. Matanya memandang sinis dengan senyum mengejek.
"Jangan berlaku bodoh, Putri Tunjung Kuning! Dia saat ini, dia bukan
tandinganmu! Masa depanmu masih panjang, Muridku! Kau bisa membalas semua ini
kelak, jika telah berhasil mendapatkan kitab dan kipas itu!"
"Tidak, Guru!"
Putri Tunjung Kuning langsung
bangkit dan menjejak tanah. Tubuhnya mengudara. Setelah membuat gerakan
berputaran dua kali, kakinya mendarat dua tombak di depan Dewa Kutukan.
Begitu mendarat, Putri Tunjung
Kuning membuat gerakan berputar-putaran.
Dan mendadak tubuhnya lenyap.
Dewa Kutukan sejenak nampak kebingungan. Namun bagi tokoh yang pernah mengguncangkan dunia persilatan, ia
tahu bagaimana menghadapi serangan demikian.
Saat itu juga dia diam terpaku tak
bergerak. Hanya kedua telinganya tampak bergerak meninggi. Dan tak lama kemudian
tangannya mengibas ke belakang, saat tiba-tiba sebuah terjangan kaki putih
menghantam dari arah belakang.
Prak! Seketika benturan keras disertai
jeritan lengking menyentak suasana.
Sebelum jeritan lenyap, terdengar sesosok tubuh terpuruk ke tanah.
Begitu menoleh Dewa Kutukan
tersenyum sinis dengan mata terbeliak.
Ternyata, Putri Tunjung Kuning telah terjajar dan terduduk di atas tanahdengan
kain bagian bawahnya robek, hingga hampir pangkal paha.
"Bajingan!" umpat Putri Tunjung Kuning seraya bangkit.
Namun belum sampai tubuh gadis itu
tegak sempurna, Dewa Kutukan telah
menyatukan tangannya, membuat gerakan jurus 'Dewa Membelah Langit'.
Perlahan-lahan sekali sambil menarik napas dalam-dalam, Dewa Kutukan
mendorongkan tangannya ke arah Putri Tunjung Kuning yang belum menguasai diri
sepenuhnya. Namun pada saat gawat itu, sebuah
bayangan berkelebat memapak gerakan
tangan Dewa Kutukan. Angin deras seketika menderu bersama berkelebatnya
bayangan. Saat berpaling, Dewa Kutukan segera
menyentakkan tangannya ke arah bayangan yang meluruk ke arahnya.
Bresss! "Aaa...!"
Tak ampun lagi, bayangan itu
terhempas disertai lengkingan menyayat.
Dan akhirnya bayangan itu terbanting ke tanah di samping Putri Tunjung Kuning.
"Guru!" seru tertahan Putri Tunjung Kuning.
"Cepat menyingkir, Muridku!
Selamatkan lembaran yang ada padamu! Tua bangka itu akan mendapat yang palsu
ini...." Begiiu habis kata-katanya, tubuh
Dewi Kuning menggeliat. Lalu. diam tak bergerak!
"Guru! Oh.., Guru...."
Sambil berseru, Putri Tunjung Kuning mengguncang tubuh Dewi Kuning. Namun tubuh
gurunya itu tak bergerak lagi. Mati!
Dengan guliran air bening yang
merembes dari kedua kelopak matanya, Putri Tunjung Kuning bangkit. Tubuhnya
lantas berbalik, dan berkelebat.
"Dewa Kutukan! Ingat! Kau berhutang darah padaku. Suatu saat nanti aku pasti
akan menagihnya!" ancam Putri Tunjung Kuning, ketika tubuhnya telah berkelebat
jauh. Dewa Kutukan hanya memandangi
kepergian Putri Tunjung Kuning dengan acuh dan sinis. Bahkan seakan-akan tak
mendengar nada ancaman Putri Tunjung Kuning. Kakinya lantas melangkah mendekati
Tubuh Dewi Kuning yang telah membujur kaku dengan mulut dan dada tergenangi
darah kehitaman.
Begitu dekat, Dewa Kutukan jongkok.
Tangannya yang bertelunjuk kaku cepat bergerak ke sana kemari. Begitu terhenti,
astaga! Pakaian Dewi Kuning telah jadi mayat itu terkoyak-koyak. Dan tatkala
melihat gulungan kulit di perut Dewi Kuning, tangan Dewa Kutukan cepat
menyambarnya. *** 8 Kali ini agak lama Dewa Kutukan
memandangi gulungan kulit di tangannya.
Namun baru saja tangan kanannya akan membuka....
Plok, plok, plok...!"
Mendadak dari arah belakang
terdengar suara tepuk tangan. Tepuk
tangan yang hanya beberapa kali, seakan tak dapat dipercaya. Mampu menggugurkan
daun-daun pohon yang ada di sekitarnya!
Begitu memalingkan wajah, Dewa
Kutukan sedikit terkejut. Namun cepat menguasai keadaan, walau kakinya bergeser
ke belakang. Ternyata di samping sebuah pohon,
tampak berdiri dua sosok tubuh. Salah satunya, yang berada di sebelah kanan
pohon, adalah seorang laki-laki berpakaian putih. Rambutnya panjang
sepinggang. Kumisnya hitam lebat, menutup seluruh bibirnya. Dan dia hanya
memiliki satu mata! Sedangkan mata satunya hanya berupa rongga yang menjorok ke
dalam. Sementara yang seorang lagi adalah
perempuan berwajah tak kelihatan, karena tertutup sepotong kain. Tubuhnya
berbentuk bagus dengan dada membusung menantang. Pinggulnya besar menggemas-kan,
ditingkahi warna kulitnya yang putih mulus.
Kedua sosok itu sejenak saling
pandangan, lalu melangkah mendekat. Dan
mereka berhenti tiga tombak di hadapan Dewa Kutukan. Memang, mereka tak lain
Sepasang Iblis Pendulang Sukma!
Namun, begitu Dewa Kutukan memandang agak jauh, tampak sesosok lain, bertubuh
tinggi. Jubahnya warna hitam dan besar.
Namun yang membikin sosok ini menakutkan, ternyata raut wajahnya tak tertutup
daging sama sekali! Sementara kedua
matanya yang berwarna agak merah
berputar-putar di dalam rongga yang
menjorok ke dalam.
Jika melihat kedatangan kedua orang
itu, Dewa Kutukan bersikap tenang meski sedikit terkejut. Karena memang baru
kali bertemu. Namun tidak demikian halnya ketika melihat sosok yang memilih
tempat agak jauh dari Sepasang Iblis Pendulang Sukma. Dia terpana, dan hampir
tak percaya! Demi melihat siapa adanya sosok yang berdiri agak jauh, buru-buru Dewa Kutukan
tersenyum ramah.
"Ah! Rupanya sobat lamaku, Tengkorak Berjubah! Sudah lama kita tak jumpa....
Hingga aku hampir lupa...! Maafkanlah aku yang tak menyambut kedatanganmu...."
Sementara Tengkorak Berjubah hanya
diam saja mendapat sapaan Dewa Kutukan.
Bahkan wajahnya dipalingkan ke samping disertai dengusan sengau.
Di lain tempat, dari semak belukar
tiga pasang mata yang tak lain Aji, Eyang Selaksa, dan Ajeng Roro tampak
terbeliak. Bahkan dahi pemuda berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam warna kuning itu
mengernyit. Pelipisnya bergerak-gerak dengan mata menyipit, kemudian melotot.
"Busyet! Tubuh perempuan itu...,"
gumam Aji tak sadar.
Wajah Ajeng Roro dengan mata bulatnya sontak menoleh ke arah Aji. Namun wajah
itu berubah cemberut. Sepasang matanya membesar memandang tak berkedip,
tepat-tepat ke dalam mata pemuda di
sebelahnya. Aji menangkap adanya hawa amarah yang menyambar dari mata bulat Ajeng Roro. Dan
dia jadi salah tingkah. Dengan jantung berdetak tak karuan, dipandangnya Ajeng
Roro. "Sial! Apa yang telah terjadi pada diriku" Mengapa bila aku menampakkan sifat
keras, namun hati kecilku tak bicara begitu" Ah! Mata itu.... Aku tak sanggup
berlama-lama memandangnya...," rutuk Ajeng Roro dalam hati.
Perlahan gadis itu mengalihkan
pandangan ke arah dada Aji. Namun bibirnya tetap tak tersenyum, meski Aji telah
tersenyum padanya.
"Gila! Kenapa mulutku tadi bisa keceplosan..."! Dan aku sekarang harus bilang
bagaimana..." Apakah.., ah...!
Sebel!" maki Pendekar Mata Keranjang dalam hati seraya tetap memandang Ajeng
Roro. Pemuda itu menarik napas panjang.
"Roro! Kau jangan salah duga. Aku tadi mau bilang kalau perempuan itu...."
"Mana aku percaya..."!" potong Ajeng Roro Langsung mendelik.
"Aku memang tidak menyuruhmu untuk percaya. Tapi, hanya untuk mendengarkan
ucapanku..," kilah pemuda itu.
. Mendengar kata-kata Aji, Ajeng Roro tidak memberi tanggapan. Sementara pemuda
itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Roro! Aku memang suka melihat yang indah-indah. Dan secara tak sadar mulutku
mengatakan apa yang kulihat. Tapi,
percayalah. Mataku mungkin jelalatan, namun perasaanku tidak...! Perasaanku tak
dapat ditipu, bahwa...."
"Ah! Dasar laki-laki! Pintar cari alasan. Apa kau kira aku tak tahu,
bagaimana pandanganmu ketika melihat perempuan itu sejak kedatangannya...?"
"Berarti kau sejak tadi terus
memandangiku! Dan berarti...."
Aji tak meneruskan kalimatnya. Dan
dia tersenyum ketika melihat wajah Ajeng Roro menjadi merah.
"Dasar...!" rutuk Ajeng Roro seraya berpaling.
"Dasar apa...?" kejar Aji, sambil berusaha menahan tawa.
"Dasar sinting! Kau memang pantas jika dipanggil Aji Sinting! Habis kau pintar
omong, pintar cari alasan. Tak bisa melihat tubuh sedikit bagus. Dan...."
"Dan hatiku hanya tertambat
padamu...!" sambung Aji cepat.
Paras Ajeng Roro kembali memerah. Ia terkejut, dan buru-buru menundukkan
kepala. "Manusia satu ini memang sableng!
tapi, aku senang mendengar ucapannya tadi. Apakah dia benar-benar.... Atau,
hanya menggoda...?" batin Ajeng Roro seraya melirik.
"Roro! Kau boleh tak percaya
ucapanku! Namun itulah perasaan yang selama ini...."
Belum selesai Aji meneruskan ucapannya, Ajeng Roro telah mendongak.
Sambil menatap tajam, jari-jari tangannya ditempelkan ke mulut. Lalu
pandangannya dialihkan pada Eyang Selaksa.
Namun Aji seakan tak mempedulikan
isyarat Ajeng Roro.
"Hanya kaulah yang selama ini ada dalam benakku! Kau tahu, selama kita berpisah
aku selalu merindukan dirimu...!
Apakah tidak ada perasaan demikian di hatimu...?" lanjut pemuda itu.
"Tidak...!" sahut Ajeng Roro sambil tersenyum menahan tawa.
"Ah! Jadi selama ini aku hanya
bertepuk sebelah pantat!" keluh Aji.
"Tidak juga...!" potong Ajeng Roro.
"Maksudmu...?" tanya Aji, tak mengerti.
"Sebenarnya aku juga merasakan, apa yang kau rasakan selama ini.... Tapi...?"
"Tapi apa..,?" kejar Aji, agak keras.


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi..., masalah itu jangan kita bicarakan
di sini! Apakah kau tak malu pada
Eyang?" kata Ajeng Roro seraya memandang Eyang Selaksa.
"Malu..." Kenapa mesti malu" Bahkan jika perlu, aku akan mengatakannya pada
Eyang Selaksa kalau aku men...."
"Jangan bertindak gila, Aji!"
"Tak usah marah.... Bukankah kau tadi menjuluki aku sebagai Aji Sinting" Jika
kau telah menjuluki begitu, kenapa harus merasa malu bila hanya mengatakan pada
Eyang, bahwa aku mencintaimu...?"
Mendengar kata Aji, paras muka Ajeng Roro berubah. Hatinya seperti khawatir,
jika Aji benar-benar melaksanakan
niatnya. Ditatapnya pemuda itu seakan minta dikasihani.
Namun tatkala terdengar batuk-batuk
kecil dari Eyang Selaksa, buru-buru
kepala Aji dan Ajeng Roro segera berpaling ke depan. Wajah gadis itu bersemu
merah. Sementara pemuda ini tersenyum kecil menahan tawa, sampai-sampai bahunya
sedikit berguncang.
"Aji Sinting...," ucap Ajeng Roro perlahan disertai gelengan kepala.
Tatkala ketiganya kembali memandang
ke arah depan, Aji membatin. "Hm.... Siapa lagi mereka" Tampaknya banyak tokoh
yang berdatangan ke sini. Ada apa sebenarnya ini" Apa hanya demi lembaran kulit
itu..." Sebenarnya, aku ingin segera bertanya
tentang semua ini pada Eyang Selaksa.
Namun dalam keadaan demikian, apa pantas bertanya...?"
Beium sempat Aji berpikir jauh
lagi.... "Siapa kalian" Berani meneruskan langkah maju, kalian akan kubuat seperti dia!"
Dari arah depan terdengar bentakan
Dewa Kutukan pada Sepasang Iblis
Pendulang Sukma, sambil mengarahkan
pandangannya pada mayat Dewi Kuning yang terbujur kaku.
Kalau terhadap Tengkorak Berjubah,
Dewa Kutukan menyapa dengan berbasa-basi.
Namun tidak demikian halnya pada Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
Mendengar bentakan barusan, Sepasang Iblis Pendulang Sukma hampak
tenang-tenang saja. Bahkan Sunti sambil menggoyang-goyang pinggulnya mendekati
laki-laki bermata satu di sampingnya yang tak lain Sangsang.
"Kakang! Si tua bangka ini ingin berkenalan dulu, sebelum masuk liang lahat!
Biar arwahnya tidak penasaran dan tidak gentayangan bertanya tentang nama kita,
katakan saja siapa kita adanya, Kakang...," ujar Sunti.
"Bangsat! Kecoak-kecoak kemarin sore berani bertingkah kurang ajar...!
Kuperingatkan sekali lagi, sebelum habis kesabaranku! Katakan, siapa kalian"!
Tapi perlu kau ketahui, setelah itu bukan
berarti kalian bisa pergi begitu saja.
Sekali bertemu denganku, salah satu harus terbujur seperti dia!" bentak Dewa
Kutukan, lalu dengan telunjuk menukik ke arah Dewi Kuning.
"Kau terlalu banyak khotbah, Orang Tua! Pasang telingamu baik-baik! Kami adalah
Sepasang Iblis Pendulang Sukma!
Dan, juga perlu kau camkan! Setelah kau tahu siapa kami, kau boleh pergi dari
hadapan kami. Tapi, tinggalkan gulungan kulit itu di sini!" kata Sangsang dengan
suara menggeledek. Sementara mata satunya menyengat tajam ke bola mata Dewa
Kutukan, Mendengar kata-kata Sangsang, Aji
terlonjak kaget. Sambil mengepalkan
tangan dengan dagu mengembang, pemuda itu beranjak bangkit.
"Aji Sinting, ada apa...?" tanya Ajeng Roro dengan senyum menggoda.
Namun kali ini Aji tak menghiraukan
kata-kata gadis itu. Ajeng Roro terkejut dan terheran-heran melihat tingkah Aji.
"Aku akan membuat perhitungan dengan dua orang itu! Aku tadi masih ragu-ragu,
apakah mereka yang pernah kulihat di kotapraja Lemah Ajang dahulu. Tapi begitu
mendengar mereka menyebut julukannya, aku yakin merekalah biang keladi
malapetaka di Perguruan Samudera Putih. Dan mereka pula yang berbuat keji
terhadap Wong Agung...!" sahut Aji, seraya hendak melangkah.
"Tahan dulu, Aji! Belum saatnya bagimu untuk melakukan hal itu..," cegah Eyang
Selaksa berusaha menenangkan amarah Aji.
Ajeng Roro yang melihat gelagat tak
baik, segera meraih tangan Aji. Tanpa sadar, digenggamnya tangan pemuda itu
erat-erat. Gadis itu berusaha menenangkan kecamuk amarah Aji.
"Jangan bertindak sembrono, Aji!
Turuti kata Eyang..," bisik Ajeng Roro sambil menatap mata Aji, seakan memberi
keyakinan. "Tidak! Bagaimanapun juga, aku harus menghadapinya sekarang! Ini sebagai
tanggung jawabku atas kematian Aki
Lempungan dan penderitaan Wong Agung...!"
Selesai berkata, Aji berkelebat
keluar dari semak belukar.
"Aji...!" tahan Ajeng Roro dengan raut wajah khawatir. Tapi, terlambat.
Sementara Eyang Selaksa memandangi
kepergian pemuda tampan dan perlente itu dengan gelengan kepala.
"Biarkan saja, jika itu kehendaknya.
Karena jika tidak menahannya, perasaan itu akan menggumpal dan menjadi dendam
kesumat!" ujar Eyang Selaksa saat wajah Ajeng Roro menampakkan rasa was-was.
Tak lama kemudian, sepasang mata
mereka telah memandang ke arah Aji yang kini telah tegak di depan Sepasang Iblis
Pendulang Sukma.
Sementara itu, Sangsang seperti tak
mengacuhkan kehadiran Aji. Namun hatinya terkejut juga dihadang oleh pemuda yang
dianggapnya kemarin sore.
"Siapa kau bocah"! Jangan coba-coba turut campur persoalan ini!" bentak
Sangsang, tanpa memandang. Alis mata Aji serta merta saling bertautan.
"Persoalan lembaran itu memang bukan urusanku. Tapi di antara kita ada persoalan
yang harus diselesaikan sekarang!" jawab Aji, lantang.
"Ha... ha... ha.... Bagus! Kalian memang pantas berhadapan dengan yang macam
begini-begini ini!" timpal Dewa Kutukan menyela, seraya mengarahkan
pandangannya pada Aji.
"Benar! Dan kau pantas berhadapan denganku!" Mendadak sebuah suara sengau dan
sember menyahut, bersamaan dengan tegaknya sosok Tengkorak Berjubah di hadapan
Dewa Kutukan. Aji seakan-akan tak mendengar nada
ejekan Dewa Kutukan. Hawa amarahnya
seperti telah menutup telinga dan
hatinya. Tak ada lagi yang terlintas dalam benaknya, kecuali membuat orang yang
telah merampas kebahagiaannya, merasakan bagaimana pahitnya bila kebahagiaan
yang selama ini dikenyam terampas.
Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar
Mata Keranjang 108 telah membuka kedua tangannya. Lalu dengan cepat pula diputar
ke depan. Sepasang Iblis Pendulang Sukma yang
masih tak acuh tampak diam saja. Mereka masih menganggap remeh gerakan pembuka
pemuda ini. "Heaaa...!"
Bahkan ketika Aji telah membentak
dengan membuka tangannya kembali,
Sepasang Iblis Pendulang Sukma tetap diam.
Baru setelah gema bentakan itu
hilang, sebuah angin deras menggebrak dari arah belakang Sepasang Iblis
Pendulang Sukma.
Sepasang tokoh sesat ini sedikit
terkejut, lantas buru-buru menjejak
tanah. Tubuh mereka langsung mengudara.
Tapi sebelum sempat membuat gerakan
berputar di udara, Aji telah kembali menyentakkan tangannya ke arah tubuh
Sepasang Iblis Pendulang Sukma yang masih melayang di udara.
Wesss! Wesss! Dua rangkum angin keras langsung
meluruk ke arah Sepasang Iblis Pendulang Sukma yang mengapung di udara. Sedikit
mereka terkejut, kemudian langsung
me-mapak dengan jurus kelima dari Dua Belas Titisan Iblis yakni jurus 'Iblis
Menyapu Bumi'. Dua angin pusaran melesat memapak
angin pukulan tangan Aji. Dan....
Blarrr! Seketika terdengar suara mengge-
legar, saat dua pukulan itu bertemu. Aji
terjajar empat langkah ke belakang.
Sedangkan Sepasang Iblis Pendulang Sukma kehilangan keseimbangan tubuh. Sehingga
tubuh mereka berdua langsung terpental.
Namun hanya sedikit tergontai-gontai, mereka mendarat berjajar di tanah.
"Bangsat! Rupanya bocah ini tak bisa dibuat main-main! Setelah merasakan
sendiri sepak terjangnya, aku yakin bocab ini masih ada hubungannya dengan Wong
Agung. Apa dia muridnya...?" bisik Sangsang, saat melirik ke arah Sunti yang
juga hampir tak percaya.
"Benar, Kakang! Gerakannya mirip si bangsat Wong Agung. Apakah dia orang yang
berjuluk Pendekar Mata Keranjang dan mengaku sebagai murid Wong Agung, yang
akhir-akhir ini santer terdengar" Tapi, aku belum yakin benar apakah dia,
Pendekar Mata Keranjang itu! Kudengar, Wong Agung tak mempunyai seorang murid.
Tapi siapapun adanya, dia cukup berbahaya!
Jurus 'Iblis Menyapu Bumi' saja tak
sanggup membelah pukulannya. Berarti dia tak bisa dipandang enteng! Semuda itu
sudah demikian hebat...! Dia harus segera disingkirkan, sebelum kelak menjadi
batu sandungan!" sambut Sunti berapi-api.
"Hm..., betul! Kita harus menyudahi kunyuk penghalang ini! Pakai jurus
kedelapan...!" bisik Sangsang bernada memerintah.
"Tunggu, Kakang...! Meski tampak hebat, namun aku punya firasat kalau dia
bocah yang gampang terg-da! Lihat!
Matanya dari tadi tak berkedip memandang ke arahku! Melihat tingkahnya aku
curiga jangan-jangan memang dia, si Pendekar Mata Keranjang itu...! Bagaimana
kalau kucoba melumpuhkannya dengan
senjataku...?"
Saat tak ada tanggapan dari Sangsang, Sunti segera beranjak melangkah maju
mendekati Aji yang tegak mengawasi. Saat melangkah, sengaja pinggulnya sedikit
digoyang. Sementara dadanya pun
dibusungkan. Sehingga Aji untuk beberapa saat tercengang dan terkesima.
"Pendekar! Di antara kita tak ada silang sengketa. Kenapa harus melakukan
pertarungan begini..." Bukankah kita lebih baik saling bersahabat" Dan...,
ngg.... Kalau Pendekar tak keberatan, boleh kami tahu siapa kau
sebenarnya..."!" kata Sunti, sambil maju lebih dekat.
Aji merasakan ada perasaan aneh yang menyeruak dari suara perempuan di
depannya, merasuk ke relung hatinya.
Bahkan mampu membuat getaran aneh di kalbunya. Semakin lama Aji mengawasi
gerakan Sunti, semakin kencang degup jantungnya.
"Jangkrik! Kenapa aku ini" Kok malah seperti sapi ompong yang mengunyah batu!
Gerakan perempuan serta tubuhnya memang benar-benar aduhai...."
Melihat pemuda di depannya tak
menjawab, malah bagai terkesima
memandangi dirinya, Sunti merasa kalau jeratnya telah mengena.
"Pendekar..., eh! Bagaimana aku harus memanggilmu" Kau boleh menyebutku nama.
Ngg.... Apakah kau yang dijuluki Pendekar Mata Keranjang..." Melihat
sikapmu, aku jadi yakin kaulah Pendekar Mata Keranjang itu"!"
Aji tak memberi tanggapan.
"Pendekar Mata Keranjang 108, kau pasti pendatang baru dalam rimba
persilatan. Aku yakin itu. Sekarang, bagaimana tentang tawaranku tadi..." Jika
kita telah bersahabat, kau tidak hanya melongo memandangku seperti itu. Bahkan,
kau boleh menyentuhnya. Dan mata nakalmu, juga boleh menelusuri hingga yang
tersembunyi sekalipun...," kata Sunti sambil terus melangkah mendekat. Suaranya
dibuat selembut dan semesra mungkin.
Begitu wanita itu berada tiga langkah lagi, mendadak Aji tersadar. Segera
kakinya mundur.
"Kau sudah jawab pertanyaanmu
sendiri! Dan, jangan coba-coba
mengalihkan persoalan! Terimalah hukuman atas perbuatan keji kalian...!" kata
Aji dengan nada tinggi.
"Pendekar Mata Keranjang! Persoalan apa sebenarnya yang kau maksudkan..."
Kita baru kali ini berjumpa. Dan...."
"Baik!" potong Aji. "Jika kau perlu diingatkan, dengar! Kau tentunya masih ingat
dengan sebuah Perguruan Samudera Putih yang telah kalian buat berantakan.
Dan tentunya masih segar dalam ingatanmu, bagaimana kau bersama pasanganmu
secara licik melukai Wong Agung dari Karang Langit!" langkahnya tersurut
ke belakang. Sementara Sangsang yang mendengar
percakapan, matanya kontan mendelik.
"Hm.... Jadi, tak salah dugaanku. Kau ternyata murid bangsat tua Wong Agung!
Jika demikian halnya, kau juga pantas segera menyusulnya ke alam kubur!" kata
Sunti, seraya kembali melangkah maju.
"Kau terlalu banyak omong, Sunti!
Waktu kita tak hanya untuk meladeni kunyuk macam begini! Cepat sudahi bocah
keparat ini!" bentak Sangsang mendadak. Seketika tubuhnya berkelebat, menjajari
Sunti. Tanpa bicara lagi, Sepasang Iblis
Pendulang Sukma menekuk kedua kaki.
Sehingga, tubuh keduanya hampir terduduk.
Bersamaan dengan itu, kaki mereka
menjejak tanah. Maka, tubuh mereka
membumbung satu tombak ke udara. Begitu luruh ke bawah, kembali keduanya
menjejak tanah. Dan saat itulah tiba-tiba tubuhnya keduanya melesat cepat ke
depan. "Heaaat...!"
Mendapat serangan ini, Aji lantas
menyiapkan serangan penangkis. Segera diperagakannya jurus pada sap ketiga.
Kakinya cepat terpentang. Kedua tangan di
atas kepala, sedangkan tubuh berpaling setengah putaran.
Begitu lesatan tubuh Sepasang Iblis
Pendulang Sukma hampir tiba, Aji segera hendak memapak. Cepat tubuhnya diputar
dan tangannya disentakkan.
Bakk! Blakk! Saat itu juga dua suara benturan
terdengar menggemuruh saat tangan
Pendekar Mata Keranjang dua kali
membentur tubuh Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
Tubuh Sangsang dan Sunti
terpelanting. Begitu jatuh berdebam di tanah, tubuh mereka bergulingan di atas
tanah. Sementara Aji sendiri terkapar dengan tangan memerah seperti kulit
terpanggang api.
Mendengar kata-kata Aji, Sunti
terkejut. Seketika Begitu sama-sama
bangkit, mereka kembali saling gebrak.
*** Sementara pertarungan antara Aji dan Sepasang Iblis Pendulang Sukma berlangsung,
agak jauh dari situ Dewa Kutukan dan Tengkorak Berjubah telah saling
berhadapan. Dan sepertinya mereka tak terpengaruh sama sekali dengan keadaan di
sekitarnya. "Sobat lamaku yang kuhormati, apakah kau juga menginginkan lembaran butut ini"!"
Dewa Kutukan membuka suasana tegang, demi melihat Tengkorak Berjubah masih tak
bicara dan hanya mengawasi lembaran kulit yang ada di tangannya. Bahkan laki-
laki berwajah tengkorak itu mulai membuka kedua tangannya, siap menyerang.
"Ha... ha... ha.... Kau terlalu berbasa-basi, Tua Bangka! Seharusnya kau telah
tahu, Tengkorak Berjubah tak akan unjuk diri bila tanpa sesuatu yang sangat


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penting!" jawab Tengkorak Berjubah ringkas, namun terdengar sengau.
"Ah...!"
Dewa Kutukan seolah-olah terkejut
mendengar jawaban Tengkorak Berjubah.
Sampai-sampai kepalanya mendongak
memandang langit. Namun, itu cuma
sekejap. Ia lantas memandang sinis pada Tengkorak Berjubah.
"Dunia persilatan memang telah
mengenal, siapa Tengkorak Berjubah.
Seorang tokoh berkedigdayaan tinggiyang sulit dijajaki. Namun jika kau
mengharapkan lembaran kulit ini, akulah orang yang akan menjajaki kedig-
dayaanmu..! Kau tentu juga tahu. Siapa yang berani berurusan dengan Dewa
Kutukan..., maka dia harus mengukur
kedigdayaan sampai ada yang membujur jadi bangkai!" kata Dewa Kutukan disertai
senyum mengejek.
Tengkorak Berjubah terdiam. Namun
tak lama kemudian tertawa ngakak. Suara tawanya gemeretak, bagai tetabuhan seng.
"Bagus! Kesaktian memang tak ada gunanya tanpa diukur!" sambut Tengkorak
Berjubah setelah tawanya berhenti.
Begitu selesai kata-katanya, tangan
Tengkorak Berjubah yang hanya tampak sebatas pergelangan tangan, berkelebat
cepat ke arah Dewa Kutukan.
Dewa Kutukan yang sejak tadi telah
waspada, cepat menjejak tanah menghindar dengan melompat ke belakang. Tapi
bersamaan dengan itu, kedua tangannya yang telah bersatu dihantamkan ke depan.
Inilah untuk yang ketiga kalinya, Dewa Kutukan yang mengerahkan jurus 'Dewa
Membelah Langit'.
"Ha... ha.... Jurus 'Dewa Membelah Langit' tak ada apa-apanya bagi Tengkorak
Berjubah...."
"Tak usah banyak omong, Bangsat Tua!"
bentak Dewa Kutukan sambil meloncat ke depan dengan tangan lurus.
Mendapat serangan ini, Tengkorak
Berjubah hanya diam terpaku. Namun begitu tangan lurus Dewa Kutukan hampir
melabrak kepala, tubuhnya melesat keatas.
Sehingga, hantaman Dewa Kutukan hanya menerpa hamparan angin.
Ketika tubuh Tengkorak Berjubah
turun ke bawah, Dewa Kutukan cepat
berbalik. Lalu dia kembali meluruk ke arah dada Tengkorak Berjubah.
Di lain pihak, Tengkorak Berjubah
segera meng-angkat kedua tangan dan
diputar-putar cepat di atas kepala. Maka saat itu juga terdengar suara angin
men-deru berputar-putar.
Tubuh Dewa Kutukan yang tengah
bergerak melabrak, bagai tertahan oleh angin pusaran yang keluar dari tangan
Tengkorak Berjubah. Sehingga, tubuh Dewa Kutukan mengapung di udara, tak kuasa
menembus pertahanan angin pusaran
Tengkorak Berjubah.
Sementara itu sepasang mata putih
Dewa Kutukan tampak melotot. Mulutnya mengeluarkan bentakan-bentakan keras.
Sedangkan rambut panjang serta jubah besarnya melambai-lambai dan
menggelepar. Belum sempat Dewa Kutukan berbuat
apa-apa, Tengkorak Berjubah menambah tenaga putarannya. Sementara kakinya
sesekali menghantam.
Di lain pihak, meski tubuhnya
mengapung di udara dan belum berhasil menembus pertahanan angin Tengkorak
Berjubah, Dewa Kutukan masih bisa
menghindari tendangan dengan memiringkan tubuhnya.
Keringat mulai membanjiri tubuh Dewa Kutukan. Sementara kuda-kuda Tengkorak
Berjubah mulai goyah. Setelah sekian lama berusaha menembus pertahanan Tengkorak
Berjubah, akhirnya pada suatu kesempatan, kaki Dewa Kutukan menjuntai ke bawah.
Dan bersamaan dengan itu, tangannya diangkat dan disentakkan dari atas.
Wut! Tiba-tiba selarik gelombang angin
sentakan tangan Dewa Kutukan lolos,
menerobos benteng pertahanan Tengkorak Berjubah dari atas. Tapi tanpa diduga
sama sekali, sambil menghindar, laki-laki berwajah tengkorak itu menyentakkan
tangannya ke bawah.
Besss! Tubuh Dewa Kutukan yang masih di Udara dan baru saja melancarkan serangan, bagai
tersedot ke bawah. Kemudian dia berdebam jatuh terduduk.
Sementara Tengkorak Berjubah
terjajar, namun tetap tegak tiga tombak ke belakang.
Diiringi seringai ganas, Dewa
Kutukan segera bangkit. Kemudian tubuhnya melesat cepat ke depan. Sementara
Tengkorak Berjubah cepat bagai kilat memapak dengan tangan ditekuk ke depan.
Tiga depa sebelum tubuh Dewa Kutukan sampai, manusia berwajah tengkorak itu
meluruskan tangannya dengan telapak
terbuka. Maka selarik gelombang berwarna hitam keluar, menghadang tubuh Dewa
Kutukan. Dewa Kutukan hampir terlambat
menghindar. Namun, tak urung jubah
besarnya tercabik-cabik. Bahkan tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga
tombak. Melihat tubuh lawannya terpental,
Tengkorak Berjubah cepat menyusuli.
Seketika dia melompat ke arah Dewa Kutukan disertai bentakan keras dan sengau.
Kali ini Dewa Kutukan tak menyangka.
Laki-laki ini kaget bukan main, dan
terlambat menghindar. Maka sambil memutar tubuhnya, tangannya dipalangkan
menutup dadanya seraya menangkis serangan.
Brakkk! "Aaakh...!"
Dua tangan yang sama-sama dialiri
tenaga dalam saling berbenturan,
menimbulkan suara mengerikan.
Akibat buat Dewa Kutukan ternyata
sangat mengenaskan. Tubuhnya kontan
terbanting amat keras ke tanah dan
bergulingan. Akhirnya dia terkapar dengan sekujur tubuh agak hangus. Sementara
jubah merahnya telah menjadi hitam.
Sejenak mata putih Dewa Kutukan menatap sayu ke atas. Namun tak lama kemudian,
meredup sebelum akhirnya terpejam tepat ketika lejangan kakinya berhenti.
Di pihak lain, Tengkorak Berjubah
terpelanting ke samping sejauh delapan tombak. Meski tubuhnya sempat membentur
sebuah batu, dan jatuh menghempas tanah.
Namun dengan mengibaskan tangannya,
tubuhnya melesat ringan, lalu mendarat dengan bersila di atas sebuah batu.
Sejenak Tengkorak Berjubah menarik
napas dalam-dalam. Matanya berputar-
putar mengatup dan bibirnya bergerak-gerak.
Tak lama kemudian, mata yang mengatup di dalam rongga itu membuka. Dan masih
tetap bersila, tangan Tengkorak Berjubah menyentakbatu tempatnya duduk.
Saat itu juga tubuhnya melayang ke
arah Dewa Kutukan yang telah diam tak bergerak. Begitu hampir sampai, tubuhnya
sedikit turun ke bawah. Lalu langsung disambarnya gulungan kulit yang masih
tergenggam di tangan Dewa Kutukan.
Begitu gulungan kulit berpindah
tangan, Tengkorak Berjubah melesat ke arah utara. Sebentar saja, tubuhnya telah
menghilang di balik pohon-pohon besar dan semak belukar yang merangas
tinggi-tinggi. * * * Sementara itu, Sepasang Iblis Pendulang Sukma yang tengah menghadapi Aji tampaknya sudah tak sabar lagi.
"Sunti! Gunakan jurus pamungkas
'Iblis Pencabut Nyawa' untuk menyudahi perlawanan kunyuk ini! Waktu kita telah
banyak tersita karena ulahnya!" teriak Sangsang saat berdiri berjajar bersama
Sunti. Perempuan itu hanya mengangguk
mendengar kata-kata Sangsang. Dan
bersamaan dengan itu, mereka lantas
melangkah ke belakang dengan kedua tangan
saling mengatup sejajar dada. Tak lama berselang asap tipis mengepul dari kedua
tangan Sepasang Iblis Pendulang Sukma, diiringi terciumnya bau aroma bunga
melati. Aji yang masih berdiri tegak lima
tombak di depan Sepasang Iblis Pendulang Sukma memandang tajam. Matanya terus
mengawasi gerakan dua orang itu. Namun begitu hidungnya mengendus aroma bunga
melati, matanya mengerdip-ngerdipkan.
Dan mendadak, tubuh pemuda itu agak goyah.
"Jangkrik! Ilmu apa ini" Napasku tiba-tiba
serasa sesak. Tenggorokan bagai
dijilati api. Dan..., sial! Mataku
berkunang-kunang!"
Melihat keadaan pemuda itu tiba-tiba Sangsang dan Sunti menyentakkan tangan ke
depan disertai bentakan menggeledek. Saat itu juga, angin kencang menderu
serentak meluruk ke arah Aji dari arah bawah dan atas.
Aji yang tak bisa melihat serangan,
hanya bisa menghindar dengan melesatkan tubuhnya ke atas. Angin pukulan yang
datang dari bawah memang dapat
dihindarinya. Tapi dengan angin pukulan yang dari atas, dia tak dapat berbuat
apa-apa. Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Aji yang masih membumbung,
kontan terpental jauh disertai lenguhan keras. Dan begitu tubuhnya terpuruk di
atas tanah, darah segar sudah tampak mengalir dari lobang hidungnya. Namun,
begitu meram-bat bangkit, pemuda itu kembali ambruk. Bahkan dari mulutnya
menyembur darah merah kehitam-hitaman.
Di lain tempat juga terdengar jeritan tertahan, saat angin pukulan deras
melabrak tubuh Aji tadi.
"Aku harus menolongnya, Eyang!"
sambut Ajeng Roro yang tadi menjerit tertahan.
Eyang Selaksa menggelengkan kepala.
"Jangan berlaku ceroboh, Roro!
Mereka bukan tandinganmu. Dan Aji pun masih bisa bertahan...."
Tepat ketika kata-katanya berakhir,
Eyang Selaksa bangkit. Kemudian laki-laki tua itu keluar dari tempatnya
mendekam, diikuti Ajeng Roro dari belakang.
Sementara itu, Sepasang Iblis
Pendulang Sukma kini melangkah maju
mendekati Aji yang masih terduduk. Sunti tampak melepas ikat pinggangnya.
Sementara, Sangsang menakupkan kedua tangannya sejajar dada.
Belum sampai tangan Sangsang dan
Sunti bergerak....
"Keluarkan kipas! Buka menghadap terbalik! Peragakan sap keempat!" eriak Eyang
Selaksa, lantang.
Sepasang Iblis Pendulang Sukma
terkejut. Demikian juga Ajeng Roro yang memandang dengan terheran-heran.
Namun, tak demikian Aji. Langsung
disadari kalau seruan itu ditujukan
padanya. Maka tanpa menunggu lama,
Pendekar Mata Keranjang 108 mengeluarkan kipas warna ungu dari balik bajunya
dalam keadaan tetap duduk.
Sementara Sangsang hanya melirik
sekilas. "Jangan hiraukan mereka! Lekas kita sudahi bangsat kecil ini!" kata Sangsang
pelan. "Tapi, Kang.... Kipas...."
"Brengsek! Jangan banyak omong!"
sentak laki-laki bermata satu itu sambil mendorongkan tangannya ke depan.
Dan Sunti pun ikut menyabetkan ikat
pinggangnya. Serangkum angin keras dan angin
sabetan ikat pinggang datang bersamaan meluruk ke arah Aji. Namun dengan seluruh
sisa-sisa tenaganya, pemuda itu segera memperagakan perintah Eyang Selaksa.
Biang! Dan sungguh! Bahkan Sepasang Iblis
Pendulang Sukma seakan tak percaya.
Ternyata serangan mereka bagai membentur dindingyang tak nampak. Bahkan memantul
balik! Sangsang dan Sunti terkejut. Namun,
untungnya masih sigap. Mereka serentak menghindar dengan merebahkan tubuh ke
samping kanan dan kiri. Namun tak urung, kaki Sunti ter ambar pantulan
serangannya sendiri.
Plak! "Aaakh!"
Saat itu juga terdengar jeritan
melengking dari bibir Sunti.
Namun tak lama kemudian Sangsang dan Sunti telah bangkit. Sebentar mereka saling
berhadapan. Tapi tiba-tiba
laki-laki bermata satu melirik tempat Dewa Kutukan dan Tengkorak Berjubah
bertarung. Dia jadi curiga, karena tak terdengar lagi suara pertarungan dua
orang tadi. Dan mendadak Sangsang tercengang,
tak kala mata satunya melihat tubuh Dewa Kutukan telah terbujur hangus. Lantas
matanya memandang berkeliling. Ia tambah terkejut, karena Tengkorak Berjubah
juga tak kelihatan batang hidungnya.
"Sunti! Kita harus cepat tinggalkan tempat ini! Kita harus segera menyusul
Tengkorak Berjubah! Rupanya, dia telah berhasil membawa gulungan kulit itu dan
pergi diam-diam!"
"Benar, Kakang! Tua sinting itu rupanya telah mengelabui kita. Dia pergi tanpa
permisi!" Belum sampai habis kata-kata Sunti,
Sangsang telah berkelebat. Baru kemudian Sunti mengikuti dari arah belakang.
Begitu Sepasang Iblis Pendulang
Sukma berkelebat pergi, Ajeng Roro cepat menghambur ke arah Aji.
"Aji...!" pekik Ajeng Roro tertahan dengan mengguncang bahu Pendekar Mata
Keranjang 108. Pemuda tampan dan perlente itu hanya diam. Bibirnya mengeluarkan suara yang tak
terdengar. Lalu tubuhnya ambruk ke atas tanah.
"Dia terluka dalam...."
Begitu gadis ini menoleh, Eyang
Selaksa telah berdiri di samping Ajeng Roro.
* * * Di sebuah pohon besar yang ada di
sebelah jalan setapak masuk kawasan
hutan, tampak sesosok tinggi berjubah hitam besar tengah duduk di atas sebuah
batu dalam gelap bebayangan pohon.
Tangan sosok yang hanya terlihat
sebatas pergelangan dan tampak tanpa daging, dimasukkannya ke dalam jubah.
Saat tangan itu keluar, tampak telah menggenggam segulung kulit berwarna
coklat. Raut wajahnya yang tanpa tertutup kulit sedikit pun bergerak-gerak.
Sepasang matanya yang
berputar-putar liar
dalam rongga yang menjorok ke dalam, nampak nyalang. Sesaat kemudian,
telinganya tertarik ke atas.


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cukup lama sosok yang tak lain
Tengkorak Berjubah itu diam terpaku.
Ketika suasana tetap hening, gulungan di tangannya segera dibuka.
"Hm.... Aku akan jadi raja di atas raja dalam rimba persilatan! Kitab serta
kipas itu akhirnya akan jatuh ke
tanganku!" gumam Tengkorak Berjubah sendirian, dengan suara sengau. "Aku harus
cepat mempelajari isi lembaran kulit ini! Karena menurut cerita
yangberedar, lembaran ini hanya berisi peta dan keterangan tentang kitab serta
kipas itu! Semoga sebelum fajar besok, aku sudah bisa menentukan letak tempat
itu!" Dengan tangan agak gemetar,
Tengkorak Berjubah membuka gulungan kulit di tangannya. Sesaat gulungan yang
telah terbuka diletakkannya di atas
pangkuannya. Kepalanya berputar dengan mata nyalang membeliak, memandang ke
sekeliling. "Aku akan genggam tampuk tertinggi dunia persilatan! Hm.... Siapa kelak yang
bisa menandingi diriku?"
Sambil bergumam, Tengkorak Berjubah
mengawasi lembaran kulit pertama.
Kepalanya tampak mengangguk-angguk.
Tengkorak Berjubah berlama-lama
memandangi lembaran kulit pertama. Itulah pelipisnya bergerak-gerak, sedangkan
matanya yang membeliak jadi menyipit.
Sesaat kemudian, Tengkorak Berjubah
membuka lembaran pertama dan mengawasi lembaran kulit kedua. Kembali agak lama
lembaran itu dipandangi. Dan Tengkorak Berjubah melakukan hal yang sama, seperti
saat melihat pada lembaran kulit pertama.
Bahkan kini tulang dagunya sedikit
terangkat ke atas. Begitu membuka
lembaran kulit kedua dan terlihat
lembaran kulit yang ketiga, tulang-tulang di wajah Tengkorak Berjubah bagai
terkena benturan. Jubah besarnya tampak bergetar seiring getaran tubuhnya.
"Bangsat bedebah!" mendadak keluar umpatan dari bibir Tengkorak Berjubah.
"Lembaran ini palsu!"
Saat itu juga lembaran kulit itu
disentakkan ke atas tanah di bawahnya.
Cukup lama Tengkorak Berjubah masih duduk terpaku, dengan mulut bergerak-gerak
menggumam tak karuan.
Dan mendadak telinga Tengkorak
Berjubah kembali tertarik ke atas.
"Hm.... Kecoa-kecoa itu lewat sini!"
Sambil bergumam, perlahan-lahan
Tengkorak Berjubah turun dari atas batu.
Dipungutinya lembaran-lembaran kulit yang berserakan. Kemudian, kepalanya
mendongak. "Hm.... Meski palsu, namun masih bisa ditukar dengan tubuh perempuan itu...!"
Dan sekali jejak, tubuh Tengkorak
Berjubah telah kembali di atas batu dengan tubuh membelakangi jalan setapak yang
masuk kawasan hutan ini.
"Sepasang Iblis Pendulang Sukma!
Apakah kalian yang lewat?" seru Tengkorak Berjubah, ketika dua sosok tubuh itu
berkelebat. Dua sosok yang berkelebat serentak
berhenti dan menoleh ke arah datangnya suara. Dua sosok yang memang Sepasang
Iblis Pendulang Sukma tampak terkejut tak percaya.
Tapi begitu yakin, Sunti cepat
berkelebat ke arah Tengkorak Berjubah.
Sementara Sangsang hanya melangkah
perlahan mendekati.
"Orang gagah Tengkorak Berjubah yang kuhormati, sungguh tak disangka kau
berada di sini! Rupanya kau tokoh yang tak mau ingkar janji!" kata Sunti.
Tengkorak Berjubah memutar tubuhnya.
"Dengar! Sebagai orang tua, aku tak mau menelan ludah yang telah kusemburkan!
Janji tetap janji. Aku memang sengaja menunggu kalian di sini! Aku hanya ingin
mengatakan, bahwa lembaran kulit itu sekarang berada di tanganku! Kuharap kalian
bersabar menunggu barang tujuh hari. Setelah itu, kalian bisa memiliki lembaran
ini!" "Terima kasih, terima kasih,
Tengkorak Berjubah yang kusegani, jika kau masih ingat dengan janji itu!
Tapi..., bagaimana...."
Sunti tak meneruskan kata-katanya.
Malah kepalanya menoleh ke arah Sangsang yang telah berdiri di belakangnya.
"Bagaimana apa" Katakanlah!" tukas Tengkorak Berjubah.
"Bagaimana jika kami yang
meminjamnya barang tiga hari. Setelah itu kau yang berhak memilikinya?"
"Ah...!" seru Tengkorak Berjubah, seakan-akan mengeluh tampak menganga.
Tulang pelipisnya bergerak-gerak,
pertanda berpikir keras.
"Hm.... Saatnyalah yang tepat aku harus menukar lembaran ini dengan tubuh montok
ini! Hm.... Udara dingin begini sungguh nikmat jika berada dalam dekapan tubuh
montok begini...!" batin Tengkorak Berjubah.
"Orang gagah yang kuhormati!
Bagaimana" Kau setuju dengan usulku tadi"
Atau...." "Hm.... Dengar! Sebenarnya aku sudah tak begitu bernafsu dengan lembaran kulit
ini, karena usiaku memang sudah tua! Namun karena sudah bertahun-tahun
menyiapkan semua ini. Lagi pula sebagai seorang yang berkecimpung dalam dunia
persilatan, aku tak akan membuang kesempatan bagus ini!
Jadi, kalian harap mengerti jika aku meminjamkan lembaran ini dalam waktu
dekat!" Sunti menarik napas dalam-dalam,
lalu melangkah lebih dekat.
"Orang gagah, bagaimana jika kau meminjamkan sehari saja?"
"Wah! Kukira aku tak bisa menuruti permintaanmu itu! Karena, berarti aku harus
menunggu. Padahal, menunggu adalah sesuatu yang sangat menyebalkan! Apalagi,
sendirian. Ah.., sungguh suatu yang tak mengenakkan!"
Mendengar ucapan Tengkorak Berjubah, Sunti pun tahu arah tujuan kata-kata itu.
"Hm.... Biar tidak menyebalkan, bagaimana jika saat menunggu kau akan
kutemani...?" tanya Sunti menawarkan dengan suara mendesah.
"Kalau hanya perlu teman, aku dapat mencari beberapa orang!"
"Jangan salah sangka, Orang Gagah!
Aku tidak hanya menemanimu! Tapi.., juga bersedia melayani apa yang kau pinta!
Kau tinggal bilang saja!"
Bibir laki-laki itu yang hanya berupa tulang-tulang menyeringai. Sejenak mata
Tengkorak Berjubah memandangi dada Sunti, lalu beranjak ke pinggulnya.
Merasa ditatap demikian, Sunti
sedikit menggoyang pinggulnya.
"Bagaimana, Orang Gagah" Cepat
serahkan lembaran kulit itu! Setelah itu, kau berhak memilikiku!"
Selesai berkata, Sunti mengangkat
bagian bawah kainnya. Sehingga, kakinya yang putih tampak jelas hingga paha.
Sepasang mata Tengkorak Berjubah
kontan terbeliak menyaksikan kaki putih itu. Sementara, Sangsang mengalihkan
pandangan. "Bagaimana, Orang Gagah" Apakah bentuk tubuhku kurang menarik di matamu?"
Selesai berkata, Sunti kembali
mengangkat pakaian bagian bawahnya,
sehingga seluruh kaki dari tumit sampai pangkal paha, tampak terpampang
menantang. Sementara tangannya yang
lentik merapikan rambut panjangnya.
Gejolak mulai merambah sekujur tubuh Tengkorak Berjubah. Sepasang matanya seakan
sayang untuk berkedip barang
sejenak. Tenggorokannya yang hanya tampak jakunnya mulai turun naik.
"Baiklah! Ambil lembaran ini! Namun, aku menginginkan kau sekarang juga...! Di
sini!" Sunti menoleh ke arah Sangsang.
Sedangkan laki-laki bermata satu hanya mengawasi dengan tatapan sinis. Namun tak
lama kemudian, Sangsang melangkah
mendekat sambil menyorongkan tangan.
"Baik!" kata Sangsang seraya menyambar gulungan kulit.
Namun secepat itu pula Tengkorak
Bejubah menyentakkan tangannya.
Sehingga, sambaran tangan Sangsang
tertahan. "Aku tak bertanya padamu! Dia yang harus menjawab!" sergah Tengkorak Berjubah,
dengan nada tinggi.
"Baiklah, Orang Gagah! Kuturuti permintaanmu! Serahkan lembaran kulit itu
padanya!" desah Sunti sambil mengarahkan kepala ke arah Sangsang yang wajahnya
tampak merah padam.
Disertai seringai menggiriskan,
Tengkorak Berjubah melemparkan gulungan kulit pada Sangsang. Dan sebelum
gulungan kulit bertebaran, tangan Sangsang cepat menyambar.
Begitu gulungan kulit berpindah
tangan, laki-laki bermata satu itu cepat memutar tubuhnya. Lalu dia berkelebat
menghilang ditelan rimbunan pohon-pohon besar.
Bersamaan dengan menghilangnya
Sangsang, tangan Tengkorak Berjubah cepat pula merengkuh tubuh Sunti. Dan dengan
tangkas, direbahkannya perempuan itu di atas pangkuannya.
* * * 9 "Di manakah aku?"
Itu ucapan pertama yang meluncur dari bibir Aji, ketika kelopak matanya
bergerak membuka. Penglihatannya masih berkunang-kunang. Setelah matanya mulai
jelas, Aji memandang berkeliling. Tampak ruangan di sekitarnya berupa bangunan
dari kayu yang dinding-dindingnya dari pelepah daun kelapa. Tak jauh dari
tempat-nya terbaring, tampak perabotan meja dan kursi juga dari bambu. Tempat
Aji terbaring pun hanya sebuah tempat tidur lapuk yang berlapis jerami kering.
Ruangan tempat Aji terbaring terasa
hangat. Karena, sebuah jendela agak besar yang ada di atasnya terbaring,
memberikan jalan bagi sang matahari untuk menerobos masuk ke dalam ruangan.
Dan ketika mata Aji terbuka
seluruhnya dan nyalang berkeliling, dia tak menemukannya kipas miliknya. Saat
itu juga, dia mencoba bangkit.
"Akh...!"
Terdengar keluhan dari bibir pemuda
itu. "Busyet! Badanku terasa seperti tertusuk jarum jika digerakkan. Dan dadaku
panasnya bagai terpanggang api...!
Di manakah aku...?" gumam Aji dengan mata terus nyalang.
"Kau sudah bangun, Aji...."
Mendadak terdengar suara dari balik
pintu yang ada di samping belakang Aji.
Dengan menahan rasa sakit dan susah payah, kepalanya dipalingkan ke arah suara
yang seperti telah dikenalinya. Tegak di
ambang pintu sambil tersenyum ke arahnya.
"Ajeng Roro..," panggil Aji perlahan.
Sesaat Ajeng Roro masih tersenyum,
lalu melangkah mendekat.
"Eyang bilang, kau tak boleh banyak bergerak dahulu. Karena bias pukulan itu
baru akan lenyap, dalam beberapa hari lagi..," jelas Ajeng Roro.
"Di mana kita sekarang berada...?"
tanya Aji perlahan seraya menahan
dadanya. "Di sebuah gubuk yang tak jauh dari Lembah Pring Sewu. Eyang sengaja memilih
tempat sunyi ini, agar dapat lebih
tenang..," tutur Ajeng Roro.
Suasana hening sejenak ketika Ajeng
Roro tak meneruskan kata-katanya.
Keduanya hanya saling berpandangan dan saling tersenyum.
"Ngg.... Boleh aku tanya sesuatu?"
tanya Ajeng Roro dengan sepasang mata bulat menatap ke arah Aji.
Pemuda itu hanya mengangguk.
"Ada silang sengketa apa sebenarnya yang membuatmu tiba-tiba menyerang
Sepasang Iblis Pendulang Sukma?"
Sebentar Aji hanya diam. Matanya
beralih memandang ke arah samping.
"Dua orang itu adalah biang keladi malapetaka yang menimpa Perguruan
Samudera Putih. Sekaligus, orang yang telah merenggut seseorang yang telah
kuanggap sebagai orangtuaku sendiri.
Yaitu Ki Lempungan! Dan mereka jugalah orang yang telah mencederai Eyang di batu
karang!" jelas Aji, tanpa menatap gadis itu.
Selesai berkata, Aji masih juga tak
mengalihkan pandangan. Dan tanpa sadar, ingatannya melayang kembali pada
peristiwa beberapa puluh purnama yang silam. Waktu itu tubuh murid-murid
Perguruan Samudera Putih bergelimpangan mandi darah. Juga, tubuh Aki Lempungan
yang terkapar mengenaskan (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar
Mata Keranjang 108 dalam episode perdananya: "Istana Karang Langit").
Mengingat begitu, napas Aji memburu
kencang dan wajahnya merah padam.
"Suatu saat kelak, aku akan
meneruskan perhitungan yang belum tuntas itu...!" tekad Aji, menggeram.
Menyaksikan hal demikian, Ajeng Roro cepat m-raih tangan Aji. Digenggamnya
tangan yang telah mengepal itu erat-erat.
Gadis itu berusaha menenangkan hawa
amarah Aji. "Maafkan aku, jika pertanyaanku tadi telah membawamu teringat kembali akan
peristiwa yang menyedihkan...," bisik Ajeng Roro, seakan menyesali
pertanyaannya. Dan ini membuat dada Aji bergetar.
"Orang macam mereka memang tak layak untuk hidup berlama-lama di dunia.
Apalagi, mereka telah membentangkan
kekuasaannya dari pesisir Laut Utara hingga Laut Selatan...."
"Benar katamu! Namun, mereka
bukanlah orang yang bisa dianggap remeh.
Kau telah tahu itu, bukan" Apalagi kini muncul pula tokoh-tokoh berkepandaian
tinggi yang telah beberapa puluh tahun tak unjuk diri. Kau harus mempersiapkan
diri baik-baik!" ujar Ajeng Roro menenangkan Aji yang tampak berapi-api.
"Ajeng Roro! Kau tahu, di mana
kipasku...?"
"Aku simpan...."
Mendadak sebuah suara agak berat
terdengar, menyela pembicaraan mereka.
Serentak Ajeng Roro dan Aji menoleh.
Wajah gadis itu sontak berubah merah. Dan buru-buru genggaman tangannya
dilepaskan. Mata bulatnya serentak
menunduk kala mengetahui siapa gerangan yang menyeia.
Sementara Aji sendiri berusaha
tersenyum, meski amat dipaksakan.
"Eyang...," panggil Aji dengan sedikit tersenyum, menutupi rasa
keterkejutannya.
Eyang Selaksa mengangguk. Lantas
kakinya melangkah mendekat. Sementara Ajeng Roro menggeser kakinya ke arah
samping, di dekat kaki Aji.
"Bagaimana keadaanmu, Aji" Sudah agak baikan...?" tanya Eyang Selaksa, begitu
sampai di samping Aji berbaring.
Pemuda itu berusaha bangkit. Namun
tangan Eyang Selaksa segera menahannya.
"Tetap berbaringlah, Aji. Luka
dalammu belum sembuh benar. Biar kita berbincang-bincang dengan begini saja".


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujar Eyang Selaksa seraya duduk di
pinggiran tempat tidur yang beralas
jerami. Kembali Aji melemaskan otot-ototnya
dengan berbaring santai di balai-balai itu.
"Aji.... Kau tentunya telah
melakukan perjalanan panjang. Bagaimana jika kau menceritakan perjalananmu...?"
tanya Eyang Selaksa, membuka percakapan saat telah duduk.
Mendengar ucapan Eyang Selaksa, dari mulut Aji lantas meluncur kata-kata
mengenai perjalanannya, semenjak
berangkat dari Kampung Blumbang yang diakhiri dengan pertemuannya di Jurang
Guringring. "Namun, masih banyak hal yang belum kumengerti...," kata Aji mengakhiri
keterangannya. Sementara, sesekali
matanya melirik ke arah Ajeng Roro.
Eyang Selaksa mengangkat kepalanya.
Lantas matanya memandang ke arah jendela.
"Coba katakan hal yang belum kau mengerti...!" desak Eyang Selaksa.
Aji sejenak memandang Eyang Selaksa.
"Meski telah dapat menduga, tapi aku ingin meyakinkan apakah dugaanku benar
adanya. Dan aku ingin keyakinan itu dari Eyang!"
Mendengar kata-kata Aji, Eyang
Selaksa hanya mengangguk.
"Siapa sebenarnya orang tua berjubah yang duduk bersila di atas batu dengan
kedua mata tertutup potongan kulit,
akibat dicederai Sepasang Iblis Pendulang Sukma" Juga, siapakah sosok tak
berdaging yang tangannya menggenggam kipas yang kini kumiliki?" tanya Aji.
Eyang Selaksa tersenyum.
"Orang tua berjubah yang duduk di atas batu bernama Jayeng Parama. Dia adalah
adik seperguruanku. Namun setelah turun
gunung dan bertempat tinggal di batu karang di tengah Laut Utara, orang-orang
persilatan menjuluki Wong Agung dari Karang Langit."
Sebentar Eyang Selaksa menghentikan
penuturannya. Lalu ditarik napas
dalam-dalam. "Sedangkan tengkorak manusia yang kau temui di ruang bawah, adalah mendiang
guruku. Yakni, Panembahan Gede Laksana.
Memang tempat tinggalku dengan Jayeng Parama terpisah. Dia ada di sebuah
bangunan batu karang di tengah laut, sedangkan aku di sebuah gubuk di Kampung
Blumbang. Namun meski demikian, setiap purnama sekali aku dan dia pasti
mengadakan pertemuan. Hal ini kami
lakukan, karena memang pesan mendiang Panembahan Gede Laksana."
"Tapi, apakah benar Panembahan Gede Laksana mempunyai seorang murid
perempuan...?"
"Kau tahu dari mana...?" tanya Eyang Selaksa, seraya mengalihkan pandangannya ke
arah pemuda itu.
Aji sedikit terkejut mendengar
pertanyaan Eyang Selaksa. Dia memang sengaja tidak menceritakan pertemuannya
dengan seorang gadis berpakaian kuning di kawasan hutan. Karena, Aji merasa
risih jika menceritakan kejadian itu. Apalagi ada Ajeng Roro. Tak enak rasanya
menceritakan tentang seorang gadis
cantik, bertubuh menantang di hadapan
Ajeng Roro. Aji khawatir, gadis itu akan menduga yang tidak-tidak.
"Ngg.... Kalau tak salah dari Putri Tunjung Kuning atau dari Dewi Kuning.
Karena aku bingung menentukan mana yang Putri Tunjung Kuning dan mana yang Dewi
Kuning..," jawab Aji, setelah lama terdiam.
"Jadi kau sebenarnya telah bertemu mereka?"
Aji mengangguk.
"Salah satu dari mereka entah yang mana, pernah menghadang perjalananku di
sebuah kawasan hutan."
Mendengar ucapan Aji, Ajeng Roro
tampak terkejut. Matanya yang bulat
menyorot tajam, seakan ingin tahu apa saja yang terjadi selain penghadangan.
"Apa saja yang dikatakan padamu...?"
kejar Eyang Selaksa.
"Dia mengatakan bahwa Panembahan Gede Laksana mempunyai tiga orang murid.
Dan salah satunya adalah seorang
perempuan. Juga dikatakan bahwa murid perempuan itu adalah gurunya."
"Hm.... Apakah dia tahu, jika kau memegang kipas itu...?"
"Ya. Dia tahu, namun kurasa tidak menginginkannya. Buktinya, dia tak
berusaha merebut dari tanganku. Dia hanya ingin aku menunjukkan padanya! Setelah
itu, pergi...."
"Tidak salah dugaanku!" sela Eyang Selaksa.
"Panembahan Gede Laksana memang mempunyai tiga orang murid. Salah seorang di
antaranya perempuan. Namanya,
Larasati. Namun setelah turun gunung, aku tak tahu lagi di mana Larasati berada.
Ia adalah seorang perempuan keras kepala dan serakah. Hingga saat guru
mengatakan kalau masih menyimpan satu kitab dan sebuah kipas, yang tak mungkin
diturunkan pada kami bertiga, Larasati berusaha dengan segala cara untuk mencari
tahu. Namun, rupanya Larasati mengalami
kegagalan. Karena menurut penuturan guru, orang yang kelak berhak memiliki kitab
dan kipas itu seorang yang mempunyai
tanda-tanda tertentu, selain juga
mempunyai sebuah logam.
"Jadi?"
"Kau lah orang yang mempunyai tanda-tanda itu!"
"Ngg.... Maksudku, orang yang
menghadangku di kawasan hutan itu!"
"Aku sendiri tak bisa menentukan.
Tapi yang pasti dia tahu seluk-beluk tentang kitab dan kipas itu. Bisa
dimengerti, mengapa dia tak berusaha merebut kipas itu dari tanganmu. Karena
benda itu tak akan ada gunanya jika tidak disertai jurus-jurus yang ada dalam
kitab. Demikian juga sebaliknya.
Jurus-jurus dalam kitab, tak akan jalan tanpa adanya kipas itu!"
"Tapi aku yakin, penghadang itu adalah salah satu dari Putri Tunjung Kuning atau
Dewi Kuning!"
Eyang Selaksa tertawa.
"Jika memang benar begitu, aku tak heran. Karena, sejak semula di antara
keduanya telah menelusuri tentang kitab dan kipas itu. Bahkan, aku dan Roro
sempat terkecoh hingga bisa dibawa Dewi Kuning ke Jurang Guringring. Tapi,
itulah. Kau tahu sendiri, bagaimana akibatsebuah tipu muslihat! Dia termakan
ulahnya sendiri!"
"Ngg.... Lantas, apa hubungannya dengan lembaran kulit yang ada di tangan Ageng
Panangkaran?" tanya Aji kembali setelah agak lama hanya saling
berpandangan, seakan-akan berjalan
dengan pikiran sendiri-sendiri.
"Di dalam rimba persilatan memang tersiar kabar, bahwa Empu Jaladara,
seorang Empu Maha Sakti yang masih
keturunan Empu Gandring, pernah
menciptakan dua buah kitab dan dua buah kipas. Benda-benda itu diciptakan,
karena Empu Jaladara memang mempunyai dua orang anak. Yang sulung perempuan,
sedangkan yang satu lagi laki-laki," tutur Eyang Selaksa. Sebentar laki-laki tua
itu menghentikan ceritanya, seperti hendak mengumpulkan ingatannya.
"Pembuatan kitab dan kipas yang diperuntukkan bagi anak sulungnya, dapat selesai
dengan sempurna. Namun sewaktu Empu Jaladara dalam tahap menciptakan
kitab yang kedua dan menyelesaikan kipas yang kedua yang kelak diperuntukkan
bagi anak laki-lakinya, terjadilah peristiwa yang menimpa keluarganya. Istri
sang empu, tertangkap basah sedang berbuat serong dengan seorang Hulubalang
kerajaan. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaannya waktu itu. Namun sebagai
seorang empu, dia tak mau bertindak ceroboh!
Sakit hatinya tidak mau dibalaskan pada sang Hulubalang. Disimpannya dalam
pembuatan kitab serta kipas yang kedua.
Hingga, barang siapa yang memegang dan mempejalari kitab serta kipas yang kedua
itu, maka orang tersebut
selain berkepandaian tinggi, juga akan menjadi bengis! Dia tak akan segan-segan
menurunkan tangan kejam untuk membunuh.
Selain itu, jika si pemegang seorang laki-laki, maka tak akan bisa melihat
perempuan cantik. Karena dia akan segera menyergap dan mempermainkannya hingga
tewas! Demikian juga sebaliknya."
Kembali Eyang Selaksa menghentikan
ceritanya. Dan suasana pun jadi hening sejenak.
"Soal bagaimana hingga kitab dan kipas yang pertama bisa jatuh ke tangan
Panembahan Gede Laksana, aku sendiri tidak pernah tahu. Hanya saja, ketika aku
mendapat tugas dari guru untuk menemui seorang sahabatnya yang bernama Junjung
Balaga, aku hanya me jumpai muridnya.
Yaitu, Ageng Panangkaran. Dari Ageng
Panangkaran pula, aku mendapat keterangan bahwa pemegang kipas serta kitab yang
kedua adalah Junjung Balaga telah
melemparkan kitab dan kipas itu ke sebuah gua. Tapi sebelumnya, dia juga membuat
peta berikut keterangan tentang tempat kitab dan kipas yang kedua itu
dilemparkan. Gulungan kulit itulah yang memuat peta serta keterangannya!"
Kembali Eyang Selaksa menghentikan
keterangannya. Dan sejenak dipandangi Ajeng Roro yang berada di belakangnya.
Lalu kembali mengalihkan pandangan ke tempat lain.
"Bisa dimaklumi, kenapa Junjung Balaga berbuat seperti itu. Mungkin dia merasa,
bahwa kitab serta kipas itu sangat berbahaya jika sampai jatuh pada orang yang
tidak bertanggung j awab!"
"Jadi antara Eyang dan Ageng
Panangkaran, secara tak langsung ada hubungan..," simpul Aji, seakan tak
percaya. "Benar! Dan aku serta Wong Agung memang diberi tugas oleh guru, untuk menuntun
sang pewaris. Karena hanya
pewaris itulah yang kelak dapat
menyelamatkan dua kitab, serta dua kipas itu dari tangan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab! Sekaligus, sebagai penyelamat dunia persilatan dari tangan
orang-orang lalim dan sesat."
"Eyang tahu, siapa orang itu...?"
"Kau!" tukas Eyang Selaksa singkat, seraya menatap tajam ke arah Aji.
Sejenak pemuda itu terkejut, tak
percaya. Sementara, Ajeng Roro hanya tersenyum sambil melirik sekilas.
"Aku..." Kenapa aku?" tanya Aji, seakan masih tak percaya.
"Aku tidak bisa menjawab, jika yang kau tanyakan kenapa harus kau! Hanya, karena
kaulah orang yang mempunyai
tanda-tanda tertentu itu, maka kau
pulalah si pewaris itu!"
"Aku tahu itu!" potong Eyang Selaksa.
"Kau hanyalah seorang anak yang lahir dari pasangan seorang petani bernama
Rajaman dan Muna. Ayahmu telah meninggal dunia, saat mengandungmu dua bulan.
Tapi mungkin kau tak tahu, bahwa sejak ibumu mengandung dirimu, telah terjadi
beberapa keanehan.
Di perut ibumu, tertera seperti guratan angka 108."
"Dari mana Eyang tahu?"
Mendengar pertanyaan Aji, Eyang
Selaksa tak segera menjawab. Ia seperti mengingat-ingat.
"Mungkin aku lebih tahu tentang kau, daripada dirimu sendiri. Kau tahu"
Sewaktu kelahiranmu, telah didatangkan beberapa dukun bayi. Namun, kau tak mau
keluar juga. Demi mendengar kabar itu, aku segera datang ke tempatmu. Di sanalah
aku tahu, bahwa kelak sang jabang bayi adalah sang pewaris. Dan aku lebih yakin
lagi, setelah ibumu bercerita bahwa menjelang
kelahiranmu, ibumu bermimpi didatangi seorang kakek berjubah putih. Dan sebelum
pergi, sang kakek memberi sebuah logam.
Anehnya, keesokan harinya di samping tempat tidur ibumu terdapat sebuah logam.
Dan setelah kejadian itu, malam harinya kau lahir. Namun, ibumu rupanya juga tak
berumur panjang. Ia hanya sempat
mengasuhinu selama lima tahun. Setelah ibumu meninggal, kau diambil pamanmu yang
menjadi Ketua Perguruan Silat Samudera Putih. Sejak saat itulah, aku selalu
mengawasi sepak terjangmu. Kau ingat waktu bertemu denganku di sebuah kedai?"
Aji mengangguk.
"Hm.... Sekarang, ceritakan
bagaimana hingga kau mendapat lembaran kulit itu dari Ageng Panangkaran...."
Aji masih diam agak lama. Setelah
menarik napas dalam-dalam seraya
memegangi dadanya, Aji menceritakan
pertemuannya dengan Ageng Panangkaran.
"Tapi.., aku hanyalah...."
"Karena lembaran kulit itu sangat berharga, akhirnya aku menyalinnya. Dan di
lembaran itu, sengaja ada yang kurubah.
Jadi, meski lembaran kulit yang jatuh ke tangan Putri Tunjung Kuning asli, namun
isinya telah kurubah. Peta dan
keterangannya yang asli, sekarang
kusimpan di suatu tempat...," jelas Aji, mengakhiri ceritanya.
"Bagus! Kau memang cerdik. Tapi kau juga harus hati-hati. Karena, tokoh-tokoh
yang muncul saat ini masih belum seberapa.
Tokoh lainnya, yang tingkat
kedigdayaannya mumpuni, masih banyak yang belum menampakkan diri. Namun aku
yakin, sebentar lagi mereka akan segera
bermunculan. Apalagi, jika kejadian di Jurang Guringring sempat beredar. Bukan
tak mungkin mereka akan segera unjuk diri dan memburu lembaran kulit itu. Maka
dari itu, setelah kau sehat nanti, kuharap segera mencari tahu tentang
beradaannya kitab serta kipas yang kedua itu. Jangan sampai ada orang lain yang
mendahului. Karena, kitab dan kipas yang kedua itu sangat berbahaya. Bahkan akan menjadi
petaka bagi dunia persilatan, jika jatuh ke tangan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab! Tugasmu memang berat, Aji! Seandainya saja aku tidak serenta
ini, ingin rasanya aku mengantarmu!"
papar Eyang Selaksa dengan nada menyesal.
Tapi sebentar kemudian bibirnya telah tersenyum.
"Eyang, hingga sekarang, aku belum bisa menjabarkan sap-sap jurus yang ada di
dinding batu karang itu, dengan kipas yang sekarang ada pada diriku! Aku memang
telah bisa memperagakan jurus-jurus itu.
Namun, cara penggunaannya masih
bingung...."
"Hm.... Itu bisa kau sempurnakan di sini, setelah kau sehat nanti! Selain itu,
kau juga harus tahu jurus-jurus andalan beberapa tokoh dan kelemahannya. Itu
penting bagimu. Karena, tak mustahil kelak kau akan bertemu mereka...!
Dan...." Keterangan Eyang Selaksa mendadak
terpotong. Bibir orang tua itu tiba-tiba mengatup rapat dan telinganya
bergerak-gerak.
"Hm.... Ada orang di luar gubuk yang mencuri dengar pembicaraan kita!" gumam
Eyang Selaksa, perlahan. Lantas matanya memandang ke arah Ajeng Roro dan
mengangguk. Bersamaan dengan anggukan kepala
Eyang Selaksa, Ajeng Roro berkelebat ke arah pintu.
"Pengecut! Siapa kau yang berani mencuri dengar, he..."!"
Terdengar bentakan gadis itu.
Tak ada sosok yang terlihat. Apalagi, jawaban.
Namun begitu mata Ajeng Roro
tertumbukpada sebuah pohon besar, tampak satu bayangan seseorang di baliknya.
Maka secepat kilat gadis itu berkelebat.
"Brengsek!" umpat Ajeng Roro setelah sampai di balik pohon.
Ternyata bayangan itu memang telah
lenyap. Begitu memandang ke samping, Ajeng Roro hanya dapat melihat sesosok
tubuh berpakaian hitam berkelebat cepat dan menghilang.
"Eyang! Dia berhasil melarikan diri!
Namun, aku dapat sedikit melihat
bentuknya. Pakaiannya hitam dan rambutnya


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang. Aku yakin, ia seorang
perempuan!" lapor Ajeng Roro, seraya berkelebat kembali ke dalam gubuk.
Eyang Selaksa bangkit, lalu
mendongak keluar gubuk lewat jendela yang ada di atas tempat pembaringan Aji.
"Hm.... Tempat ini pun rupanya telah diendus orang! Kita harus lebih
berhati-hati! Melihat kedatangannya yang sulit ditangkap mata dan telinga, serta
mencuri-curi dengar, kurasa ia mempunyai kepandaian tinggi dan berniat tidak
baik! Dan jika melihat ciri-cirinya, hm.... apa mungkin dia?" gumam Eyang Selaksa,
sedikit terheran-heran.
"Siapa, Eyang...?" tanya Aji dengan rasa heran pula.
"Bila benar ciri-ciri yang dilihat Ajeng Roro, orang itu perempuan sakti
berjuluk Selir Iblis! Dan dia adalah bekas istri Ageng Panangkaran!"
Sekali lagi Aji terperanjat.
Demikian juga Ajeng Roro yang telah berada di dalam gubuk.
"Aji! Tubuhmu mungkin masih terasa sakit. Maka, istirahatlah dahulu! Luka
dalammu mungkin segera sembuh dalam tiga atau empat hari lagi...," ujar Eyang
Selaksa. Selesai berkata, Eyang Selaksa
melangkah ke arah pintu. Sejenak Aji menatapi langkah-langkah laki-laki tua ini.
* * * 10 Di dalam kedai yang hanya terbuat dari iratan-iratan bambu serta meja yang tak
terawat, Aji alias Pendekar Mata
Keranjang 108 duduk dengan pandangan menyapu sekitarnya. Sebenarnya pemuda itu
ingin segera meninggalkan tempat ini.
Namun seorang gadis yang mungkin membuat mata
setiap laki-laki tidak akan
mengerdipkan mata, membuat Aji enggan pergi dari sini. Apalagi udara di luar
kedai sangat dingin dan hujan masih juga turun meski sudah agak reda.
Seperti tak merasa ditatap oleh
sepasang mata Aji sejak tadi, gadis itu tenang saja menyantap hidangannya dengan
lahap. Gadis ini mengenakan pakaian hijau berbunga-bunga merah. Rambutnya
panjang tergerai sebahu. Kulitnya putih, membuat penampilannya mengundang orang
berlama-lama memandangnya.
Dan memang, tanpa disadari gadis itu, dua pasang mata tampak menatap tanpa
kesiap dari balik sebuah pohon yang tak jauh di depan kedai. Dua pasang mata ini
ternyata milik dua orang laki-laki yang duduk di atas dua ekor kuda, di balik
gelap bayangan pohon besar.
"Seharusnya kita telah menyergapnya sewaktu, dia berada di dekat kawasan hutan
tadi. Kalau sudah begini, kita masih harus
menunggu lagi. Entah sampai berapa
lama...," kata salah seorang penunggang kuda yang ada di balik pohon.
"Kau sepertinya terlalu tak sabar, Pikatan!" timpal laki-laki satunya dengan
sedikit keras. "Kau tahu" Jika bertindak ceroboh, kita akan mendapat ganjaran
yang aku sendiri tak mau membayangkan...!"
Orang yang dipanggil Pikatan
serentak diam mendengar kata-kata orang di sampingnya.
"Kau tak perlu terlalu memikirkan hal yang sepele begini! Bukankah setelah dapat
membawanya ke hadapan Rangga Geni, kita akan mendapatkan imbalan yang bisa
digunakan untuk bersenang-senang tujuh hari tujuh malam"!"
"Apakah kau tahu, siapa sebenarnya gadis itu?" tanya Pikatan pada laki-laki di
sampingnya. "Soal siapa adanya gadis itu, tak perlu dipersoalkan!" jawab lelaki di samping
Pikatan, membentak.
Sejenak kemudian, tak ada ucapan yang terdengar dari dua laki-laki ini. Hanya
mata mereka kini tak beranjak memandang ke arah kedai.
Tak lama kemudian dari dalam kedai
tampak seseorang melangkah keluar.
"Kakang Riwung, lihat! Gadis itu keluar!" tunjuk Pikatan, tiba-tiba....
Mendengar hal itu, laki-laki yang
dipanggil Riwung cepat mengarahkan
pandangan ke arah pintu kedai.
"Saat yang kita tunggu-tunggu telah tiba! Kita tunggu sampai dia pergi agak jauh
dari sini! Dan, ingat! Jangan
sekali-kali bertindak ceroboh!" ujar Riwung, memperingatkan. Sementara
matanya memandangi gadis yang kini mulai keluar dari kedai dan melangkah
mendekati kuda yang tertambat di luar.
Begitu gadis itu telah loncat ke atas kuda dan berlalu, segera saja Riwung
memberi aba-aba isyarat pada Pikatan untuk mengikutinya.
Sementara itu, Aji yang melihat
berkelebatnya dua penunggang kuda
membuntuti arah berlalunya gadis cantik tadi, hatinya merasa curiga. Sejenak
pemuda itu memandang berkeliling. Begitu matanya tertuju pada seekor kuda yang
masih tertambat di luar kedai, tanpa pikir dua kali segera dilepasnya tali kuda.
Begitu berada di atas punggung kuda, Aji segera menghelanya ke arah
berkelebatnya dua orang berkuda yang membuntuti gadis tadi.
Gadis berbaju hijau kembang-kembang
merah tampak memacu kudanya dengan
tenang. Dia seakan tak merasa, ada dua penunggang kuda yang kini telah
mengikutinya dari belakang.
Tak lama berselang, di sebuah kawasan yang agak sepi, dua orang berkuda yang tak lain Riwung dan Pikatan serentak menghela
tunggangannya. Kuda-kuda itu kontan kaget dan meringkik keras. Namun bersamaan
dengan itu, kuda-kuda ini melesat deras ke depan.
Begitu Riwung dan Pikatan hampir
menjajari buruannya, mendadak gadis di depannya menghentakkan tali kekang
kudanya. Sehingga kuda gadis itu kini melesat kencang.
"Hm.... Rupanya dia mengajak kita untuk kejar-kejaran! Kita berpencar. Kau lewat
barat, sedangkan aku akan lewat sebelah utara! Kita nanti akan bertemu di
perempatan jalan yang menuju Kampung Blumbang!" perintah Riwung.
Maka sebentar kemudian, tampak kuda
Pikatan berbelok ke arah barat. Sedangkan kuda Riwung membelok ke sebelah utara.
* * * Dan dalam waktu singkat, mereka telah tiba di perempatan. Namun Riwung dan
Pikatan sama-sama terkejut, karena tak menemukan gadis yang diburunya.
"Bangsat! Ke mana dia pergi" Tak mungkin dia lolos, karena jalan yang menuju
perempatan ini hanya di sebelah barat dan utara!" gerutu Riwung, dengan mata
nyalang berkeliling.
Ketika lamat-lamat terdengar
hentakan ladam kuda, kedua laki-laki itu saling berpandangan tak percaya.
Karena, ternyata kuda yang terdengar mendekati arah mereka, dari arah belakang!
Terkejut berbaur heran, Riwung dan
Pikatan menoleh ke belakang. Dan ternyata yang datang adalah gadis yang
diikutinya. "Astaga! Kenapa aku tak melihatnya jika mendahuluinya?" gumam Riwung sambil
berlama-lama memandangi gadis yang kini mendekat ke arahnya.
"Melihat tingkah kalian, aku menduga kalau kalian perlu bicara denganku!
Katakan, apa perlu kalian"!" bentak gadis itu begitu dekat dengan Riwung dan
Pikatan. Riwung sebentar memandang ke arah
Pikatan. "Benar! Aku bukan hanya perlu bicara denganmu! Tapi, perlu membawamu!" sahut
Riwung, tegas. Mendengar ucapan Riwung, gadis itu
tersenyum, lalu mengangkat tangannya. Di depan dada, tangannya dibuka.
"Manusia dan hewan memang tak
berbeda. Yang membedakannya hanya, sejauh mana manusia menggunakan akalnya!"
kata gadis itu sambil melihat telapak
tangannya. Riwung dan Pikatan saling
berpandangan tak mengerti.
"Hm.... Jika kau masih tak mengerti maksudku, coba kalian dengarkan sekali
lagi!" ujar gadis ini.
"Ah...! Kau terlalu banyak
omong...!" bentak Riwung sambil menyentakkan tali kekang kudanya.
Kuda itu kaget, dan langsung melompat mendekat ke arah gadis ini. Bersamaan
dengan itu, tangan Riwung cepat menggapai tubuh si gadis.
Namun anehnya, gadis itu hanya diam
saja, tidak berusaha menghindar atau meloncat untuk menyelamatkan diri. Dia
tetap tegakdi atas kuda tunggangannya.
Bahkan sepasang matanya menatap tajam ke arah Riwung.
Mendadak, begitu tangan Riwung
bergerak, gadis itu menggerakkan sedikit kakinya, seperti membuat gerakan
berputar. Maka terjadilah suatu yang hampir tak dapat dipercaya. Riwung dan
kudanya kontan tersungkur berjumpalitan di atas tanah.
Sambil berusaha bangkit dan
memegangi kepalanya, Riwung memandang ke arah gadis itu dengan tatapan kecut.
Perasaan khawatir tersemburat dari
wajahnya yang tampak pucat.
Sementara itu, Pikatan tak berani
lagi memandang.
"Siapa kau sebenarnya...?" tanya Riwung bergetar.
Mendengar pertanyaan Riwung, gadis
ini malah tertawa panjang.
"Apalah arti sebuah nama...," jawab gadis ini. Namun sepasang matanya tetap tak
beranjak dari wajah Riwung. "Lekas pergi dari hadapanku jika kalian masih sayang
nyawa!" "Jangan kau kira aku takut
ancamanmu!" bentak Riwung seraya melangkah mendekat.
"Kau memang manusia tolol yang tak bisa menggunakan akal!"
Sambil berkata demikian, gadis itu
mengibaskan tangannya.
Wesss! Seketika serangkum angin deras
melarik ke arah tubuh Riwung. Dan
laki-laki ini terlambat menghindar.
Akibatnya.... Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Riwung kontan terpental, dan
menumbuk kudanya yang merumput. Terdengar lenguhan keras dari mulut laki-laki
itu sebelum akhirnya merambat bangkit sambil memegangi dadanya.
Mendapati siapa yang kini dihadapi,
Riwung segera sadar. Segera kakinya
melangkah mendekati kudanya. Dan tanpa menoleh lagi, tali kekang kudanya
disentakkan. Sebentar kemudian, ia telah menghilang di belokan.
"He...! Kenapa kau tak lekas pergi dari sini" Apa yang kau tunggu?" bentak gadis
itu pada Pikatan yang nampak masih terkesima melihat kejadian yang baru saja
dialami Riwung.
Mendengar bentakan, buru-buru
Pikatan memutar kudanya dan berlalu ke arah selatan.
"Manusia macam mereka memang pantas mendapat hajaran...!"
Mendadak terdengar sebuah suara,
setelah Pikatan tak terlihat.
Sementara gadis itu hanya diam saja.
Menoleh pun tidak.
Aji, yang ternyata telah berada di
belakang gadis ini sedikit heran
mendapati kata-katanya yang tak mendapat sambutan dari gadis itu. Pemuda tampan
dan perlente ini berlama-lama memandangi dari belakang. Dan mendadak dia
tergagap tatkala gadis ini memutar tubuhnya
menghadap ke arahnya.
Belum sempat Aji berkata, gadis itu
telah mengangkat tangannya sejajar dada.
Lalu telapak tangannya dibuka. Tanpa mempedulikan pandangan Aji yang
terheran-heran, gadis ini melihat telapak tangannya.
"Anak manusia bernama Aji dan
berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108, ketahuilah! Kipas dan jurus yang telah kau
peroleh dari Karang Langit, adalah sebuah amanat! Sebagai pengemban amanat, kau
harus dapat mempergunakannya
sebaik-baiknya. Berbuatlah seperti apa yang dikatakan Wong Agung terhadapmu!
Tugasmu berat, yakni menyelamatkan dunia persilatan dari genggaman tangan orang
yang tidak bertanggung jawab dan
orang-orang sesat. Namun, ketahuilah.
Walau berat, tapi tugas itu amat mulia!
Bersyukurlah bahwa kau orang yang telah
ditakdirkan sebagai pengemban tugas mulia itu! Teruskan pengembaraanmu hingga
dapat melaksanakan amanat dengan baik!"
Seakan tak percaya, Aji diam terpaku.
Tapi begitu gadis itu selesai bicara, pemuda ini seperti tersadar.
"Kalau boleh aku tahu, siapakah kau...?" tanya Aji.
Gadis ini berpaling. Senyumnya yang
sejuk menyeruak di bibirnya.
"Aku adalah pemilik kitab dan kipas yang sekarang ada di tanganmu!" sahut gadis
itu. "Jadi...?" Aji tercengang. "Kau adalah...."
"Ya.... Aku adalah anak sulung Empu Jaladara!"
"He..."!"
Aji kali ini benar-benar tak percaya.
Tatapan matanya dihujamkan dalam-dalam pada gadis di depannya.
"Bukankah Empu Jaladara hidup
beberapa ratus tahun yang lalu...?"'
"Tak salah! Dan sebenarnya aku telah meninggal dunia beberapa ratus tahun yang
lalu. Tapi walau demikian, aku masih punya tanggung jawab atas kitab dan kipas
itu. Sekarang, tanggung jawab itu kulimpahkan padamu...! Namun, ingat! Jika kau salah
mempergunakan tanggung jawab yang
kuberikan, aku tak segan-segan
mengambilnya dari tanganmu...!"
Sebelum Aji sempat bertanya iebih
jauh, mendadak sebongkah kabut putih
menggulung dan menyaput tempat gadis tadi berdiri. Tak lama kemudian, kabut yang
membungkus perlahan sirna bersama
lenyapnya gadis yang mengaku sebagai anak Empu Jaladara.
Untuk beberapa lama Aji duduk di atas kudanya dengan mulut ternganga. Dan tak
lama, ia segera sadar bahwa masih ada tugas yang harus diselesaikan.
Berpikir begitu, Pendekar Mata
Keranjang 108 lantas menghentak tali kekang kuda tunggangannya, lalu bergerak
cepat ke arah selatan.
SELESAI Ikuti Serial Pendekar Mata Keranjang 108
selanjutnya: "MALAIKAT BERDARAH BIRU"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Panji Wulung 13 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 21
^