Malaikat Berdarah Biru 1
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru Bagian 1
MALAIKAT BERDARAH BIRU Oleh Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
Dalam episode : Malaikat Berdarah Biru 128 hal.
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Pesisir Pantai Sendang Biru yang merupakan
bagian Teluk Gonggong
agaknya kali ini tak bersahabat. Curah hujan masih belum juga beranjak dari
langit yang menghitam. Itu pun masih ditingkahi deru ombak mengganas.
Sementara petir sesekali menyibak curahan hujan dari langit yang
demikian pekat, membuat suasana yang seharusnya baru beranjak dari tengah hari
menjadi gelap. Ketika kilat
menyinari bumi, sekilas terlihat satu sosok
bayangan berkelebat menuju
sebuah bangunan yang terdapat di Teluk Gonggong ini.
Begitu cepat bayangan itu
bergerak sehingga sebentar saja sudah tiba di depan bangunan yang ternyata
terbuat dan iratan-iratan pelepah pohon kelapa. Empat tiang bambu yang
ditancapkan sedemikian rupa ke dalam batu padas menjadi penopang bangunan itu,
hingga berada satu tombak di atas batu padas di sekitarnya.
Splash...! Jderrr...! Ketika kilat sekali lagi menjilat angkasa dengan sinarnya yang cukup terang
tampak jelas kalau bayangan itu adalah seorang pemuda berjubah toga warna merah
menyala. Tubuhnya kekar.
Kedua kaki dan tangannya tampak kokoh.
Alis mata dan kumisnya hitam lebat.
Rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda. Di telinga sebelah kiri
menggantung anting-anting kecil dari tembaga.
Sambil berdiri tegak, mata pemuda ini nyalang memandang ke arah bangunan tak
jauh di depannya. "Anak Agung!
Apakah kau itu yang di luar"!"
Baru saja bayangan itu hendak
melangkah, mendadak ia dengar suara bertanya dari dalam bangunan. Terdengar
berat dan menggema. Sehingga suara gempuran ombak yang berderak keras menghantam
batu karang di bawahnya, bagai tertelan.
Pemuda berjubah toga merah ini
melangkah mendekati bangunan.
"Benar, Guru! Aku telah selesai menjalankan perintahmu!" jawab pemuda berjubah
toga merah yang dipanggil Anak Agung.
Begitu selesai kata-katanya,
sepasang mata Anak Agung beranjak memandang ke arah pintu bangunan.
Hingga beberapa lama, tak juga ada suara atau sosok yang keluar. Kini mata
pemuda itu beralih ke tempat lain.
Tapi begitu berpaling, dari pintu bangunan yang terbuka mendadak melesat sebuah
bayangan. Setelah membuat
putaran sekali di udara, sosok
bayangan ini melayang turun. Namun di luar dugaan kaki kanannya meluncur cepat
ke arah Anak Agung yang masih tegak berdiri.
Mendapati serangan tak terduga,
Anak Agung membuang tubuhnya hingga rata dengan batu padas di bawahnya.
Wesss! Terjangan kaki sosok bayangan
yang disertai angin menggemuruh, lewat sedepa di atas tubuh Anak Agung.
Namun bayangan itu cepat pula
berputar. Tubuhnya kembali melesat dalam keadaan duduk dan kedua kaki lurus ke
depan. "Hiaaa...!"
Disertai bentakan membahana, kini bayangan itu tampak melayang deras bagai
terbang, satu tombak di atas batu padas.
Namun dengan sedikit mendongak,
Anak Agung cepat menjejakkan tumit kakinya ke batu cadas. Dan ketika sejengkal
lagi terjangan kaki lurus itu menggebrak, tubuhnya melesat ke atas melewati
lesatan sosok bayangan.
Setelah berputaran beberapa kali, Anak Agung mendarat manis dan kokoh di atas
batu padas. Sementara bayangan tadi sudah
pula mendarat dan langsung berbalik.
Telapak tangannya cepat dikatupkan dan diangkat ke atas kepala. Kemudian tiba-
tiba kedua tangannya, disentakkan
kedepan. Wesss...! Saat itu juga serangkum angin
dahsyat menderu disertai hawa panas.
Udara mendadak terang. Sedangkan
curahan hujan menyibak. Saat itu, gelombang warna hitam melarik cepat laksana
kilat menyambar ke arah Anak Agung!
Menyaksikan serangan dahsyat ini, Anak Agung menarik tangannya sejajar dada.
Lalu perlahan telapaknya dibuka, dan dihantamkan ke depan.
"Heaaa...!"
Wesss...! Angin sembab seketika menggebrak
keluar dari telapak tangan Anak Agung, memapaki serangan yang datang.
Blarrr! Beberapa gundukan batu padas yang banyak berserakan di sekitarnya pecah
berderak-derak. Bahkan berpentalan ke segala arah.
"Hi hi hi...!"
Baru saja suasana senyap mendadak terdengar suara tawa berderai. Suara tawa yang
datangnya dari sosok di depan Anak Agung.
"Bagus! Aku sangat gembira
melihat pukulan 'Serat Jiwa'-mu
sempurna tanpa cela!" susul bayangan itu, setelah tawanya berhenti.
Anak Agung menggerakkan kepalanya menunduk. Sepasang matanya menyorot ke
bawah, menekuri padas.
Sosok bayangan di depan Anak Agung ternyata seorang perempuan tua.
Pakaiannya merah panjang dengan
kembang-kembang putih. Sepasang matanya sayu, menjorok ke dalam rongga yang
kulit di sekitarnya telah menge-riput. Meski raut wajahnya telah
tersaput kerutan-kerutan, namun nampak cerah. Nenek ini memiliki rambut
panjang hitam lebat, disanggul ke atas kepala.
"Guru!" sebut Anak Agung begitu mengarahkan pandangannya ke depan, segera
didatangi perempuan tua itu.
Sampai di hadapan sang nenek, anak muda ini segera menjura.
Sang nenek mendongakkan kepala
memandang langit yang masih mencurah-kan hujan. Namun, tak setitik pun air hujan
membasahinya. Curahan hujan menyibak ke samping, bagai ada dinding pembatas di
atas kepalanya.
"Terima kasih, Guru! Ini semua karena kebaikanmu yang telah mewaris-kan seluruh
ilmumu padaku!" ucap Anak Agung.
Perempuan tua itu tertawa pan-
jang. Sehingga gigi-giginya yang masih utuh dan berwarna kemerahan kelihatan
berkilat-kilat.
Dalam rimba persilatan, nenek ini memang sudah tak asing lagi. Ia
dikenal dengan julukannya yang angker
Bidadari Telapak Setan! Orang rimba persilatan menjuluki demikian, karena selain
berkemampuan tinggi, nenek ini juga dikenal mempunyai sebuah pukulan andalan
yang bertumpu pada telapak tangan. Yaitu, pukulan 'Serat Jiwa'
Orang yang terkena pukulan ini tubuh luarnya memang tak menampakkan cedera.
Tapi bagian dalamnya akan mengalami kehancuran! Kalaupun dapat bertahan hidup,
maka jiwanya akan terguncang, alias gila.
Selama malang melintang dalam
rimba persilatan, tingkah Bidadari Telapak Setan memang ugal-ugalan.
Tak pandang dari golongan hitam
atau golongan putih, tokoh-tokoh
berkepandaian rendah atau tokoh-tokoh tingkat tinggi, pokoknya yang berani
berurusan dengannya akan dihabisi secara kejam! Hingga tak mustahil jika dirinya
digolongkan sebagai salah satu momok rimba persilatan.
Untuk melestarikan ilmunya, Bida-
dari Telapak Setan mengangkat seorang murid. Dan menurut kabar, muridnya itu
adalah salah seorang putra mahkota sebuah kerajaan di Pulau Bali yang
tersingkir. Ia terlahir dengan nama Anak Agung Gede Mantra.
Dan kini, Anak Agung yang diberi
julukan oleh nenek itu sebagai
Malaikat Berdarah Biru, telah pula menapak jejaknya. Bahkan sang murid
kini telah melangkah untuk menjejak puncak rimba persilatan.
Setelah menyelesaikan perintah
Bidadari Telapak Setan dalam menyem-purnakan pukulan jurus 'Serat Jiwa' di laut
selatan, Anak Agung alias
Malaikat Berdarah Biru kini telah kembali dengan segala kemampuannya.
"Hm.... Tak sia-sia aku membawamu dari seberang laut! Aku yakin, tak lama lagi
kau akan menjadi dambaanku selama ini. Mempunyai seorang murid yang
kedigdayaannya tanpa tanding.
Dan, seorang murid yang menjadi penguasa rimba persilatan!" oceh Bidadari
Telapak Setan seraya merapikan
sanggulnya. "Hal itu tak usah merisaukanmu, Guru. Dan aku pun tak akan mengecewakanmu! Saat
ini, siapa yang berani berurusan dengan Malaikat Berdarah Biru murid Bidadari
Telapak Setan"
Rimba persilatan tinggal selangkah lagi akan berada dalam genggamanku!
Bahkan, aku sudah tak sabar lagi untuk meraih mahkota kerajaan yang lepas dari
tanganku...!" sambut Malaikat Berdarah Biru dengan nada meletup-letup. Matanya
menatap tak kedip
kearah Bidadari Telapak Setan.
"Tak salah, Muridku! Aku juga begitu senang mendengar kata-katamu yang
membesarkan hati! Kini siapa yang sanggup menandingi Malaikat Berdarah
Biru"! Namun, kurasa saat ini masih ada sedikit ganjalan. Dan jika tak lekas
disingkirkan, tidak mustahil akan menjadi batu sandungan bagi
jalanmu menggapai singgasana raja rimba persilatan! Kau tentunya sudah tahu,
muridku!" tandas Bidadari Telapak Setan.
Sejenak Malaikat Berdarah Biru
diam beberapa lama.
"Apakah yang Guru maksud adalah seorang yang baru muncul di kawasan timur" Aku
memang sudah mendengarnya!
Apakah Guru masih menyangsikan
kehebatanku..."!" tanya Malaikat Berdarah Biru, berapi-api.
Bidadari Telapak Setan tak segera menjawab. Bahkan tubuhnya berbalik dan
berkelebat masuk bangunan gubuk.
Sementara Malaikat Berdarah Biru
menyusul. "Muridku...!" panggil Bidadari Telapak Setan setelah berada dalam gubuk dan
duduk berhadap-hadapan
dengan Malaikat Berdarah Biru. "Aku tidak menyangsikan kehebatanmu. Namun kabar
yang santer terdengar, manusia yang berjuluk Pendekar Mata Keranjang itu telah
membuat Sepasang Iblis
Pendulang Sukma pontang-panting.
Padahal kita tahu, dengan Kitab Dua Belas Titisan Iblis, Sepasang Iblis
Pendulang Sukma termasuk orang yang sulit dicari tandingnya. Kau harus
pikirkan itu!"
Sejenak Malaikat Berdarah Biru
tercengang. Namun raut wajahnya berubah cerah menutupi rasa ketercengangannya.
"Aku telah memiliki jurus 'Serat Jiwa'. Lantas siapa yang bisa mengalahkan
aku...?" kata Malaikat Berdarah Biru sambil mengepalkan tangannya.
"Itu betul. Tapi, apakah kau telah tahu kalau pendekar itu mempunyai sebuah
kipas sakti ciptaan Empu Jaladara"!"
"Aku tahu itu! Bahkan aku akan merebutnya!" jawab Malaikat Berdarah Biru mantap.
"Akan kucari dia!"
"Ha.... Hik.... Hik...!"
Bidadari Telapak Setan menyam-
butinya dengan tawa aneh.
"Itu perjalanan panjang yang belum tentu hasilnya!" lanjut perempuan tua itu.
"Hmm.... Lantas, apakah Guru punya gagasan lain..."!" tanya Anak Agung.
Bidadari Telapak Setan kembali
tertawa. "Kau tak usah mencari Pendekar Mata Keranjang! Dialah yang akan
datang sendiri!"
"Ha... Rupanya Guru mempunyai gagasan bagus!" gumam Malaikat Berdarah Biru, saat
Bidadari Telapak Setan menghentikan kata-katanya.
"Akan kusebar fitnah, baik di antara golongan putih atau golongan hitam.
Lalu, akan kuatur sebuah
pertemuan di Teluk Gonggong! Aku
yakin, manusia itu akan muncul di sini!" lanjut Bidadari Telapak Setan lagi,
tanpa memandang pada Malaikat Berdarah Biru.
Mendengar kata-kata gurunya,
Malaikat Berdarah Biru menarik napas dalam-dalam. Lantas bibirnya tersenyum
dingin. "Gagasan menarik. Lantas, apa Guru telah menentukan saat bersejarah itu..."!"
tanya Anak Agung, semakin penasaran.
"Malam purnama bulan ketiga!"
jawab Bidadari Telapak Setan. "Dan jika golongan putih telah tersungkur, orang-
orang golongan hitam saat itu juga kita habisi! Kita akan buat Teluk Gonggong
sebagai arena bangkai tokoh-tokoh persilatan! Dengan demikian, jalanmu menuju
penguasa tunggal rimba persilatan akan terpentang tanpa
penghalang!"
"Ah! Guru masih juga mengutamakan kepentinganku. Terima kasih, Guru!
Bila rencana ini berlangsung tanpa hambatan, aku tak akan mengecewakanmu!
Segala kehendakmu akan kupenuhi...!
Kau tinggal bilang...!" tekad Anak Agung.
Selesai berkata, Malaikat Berda-
rah Biru menjura. Namun wajahnya
tampak rasa keterpaksaan. Sementara Bidadari Telapak Setan senyum-senyum.
"Kau memang murid yang tahu balas budi. Dan tentunya, kau tahu apa yang menjadi
kesukaanku!" puji Bidadari Telapak Setan.
Malaikat Berdarah Biru mengangguk perlahan.
"Guru tak perlu khawatir kalau hanya untuk mencari pemuda-pemuda. Aku akan
carikan untukmu yang bertubuh kekar, berkumis lebat, dan berbulu dada...," ujar
Anak Agung. "Ah...!" desah Bidadari Telapak Setan sambil sedikit melengos. "Kalau yang macam
begitu, aku sudah sering mencicipi. Sesekali, aku ingin
merasakan yang masih hijau dan masih bau kencur! Selain bisa berbasah-basah
keringat, kata orang..., yang hijau-hijau bisa jadi obat awet muda...."
Selesai berkata Bidadari Telapak
Setan tertawa ngikik.
"Sekarang harap
Guru memberi tahu, apa yang harus kulakukan untuk mempercepat rencana besar itu...!"
pinta Anak Agung.
Bidadari Telapak Setan serentak
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghentikan tawanya. Lalu matanya memandang tajam ke arah Malaikat
Berdarah Biru. "Kau.... Pergilah ke Pucang Anom.
Temuilah Selir Iblis. Undang dia ke
sini untuk bergabung bersama kita.
Sebagai bekas istri seorang pendekar dari golongan putih, mungkin banyak
keterangan yang bisa dikorek dari mulutnya!" ujar perempuan tua itu.
Beberapa lama Malaikat Berdarah
Biru terdiam. Wajahnya menampakkan rasa bim-
bang. Bahkan kepalanya tampak
menggeleng pelan.
"Menurut cerita yang pernah
kudengar, Selir Iblis adalah seorang tokoh keras kepala yang tak mudah
dipengaruhi. Apakah..."
"Satu hal mungkin
yang kau lupakan, Muridku!" potong Bidadari Telapak Setan. "Selain watak yang telah kau
sebutkan tadi, kesukaannya mungkin bisa mengalahkan segalanya.
Dia paling suka bocah-bocah muda yang berbadan kekar dan berotot! Gunakanlah
kelemahannya. Mengenai hal yang
demikian itu, kukira kau lebih
mengerti caranya! Ingat, Anak Agung!
Perjuangan apa pun pasti membutuhkan pengorbanan...!"
Mendengar pemaparan Bidadari
Telapak Setan, Malaikat Berdarah Biru menarik napas dalam-dalam. Pandangannya
dibuang jauh keluar gubuk.
Sedangkan Bidadari Telapak Setan
pun juga berpaling. Dirapikannya
sanggul rambutnya sambil tersenyum.
"Aku tak ingin melihat seorang
murid yang mengatasi persoalan sepele saja sudah kalang kabut! Betapa
tololnya! Namun aku yakin, kelak jika kau telah bertemu Selir Iblis,
segalanya akan berubah!" kata Bidadari Telapak Setan, dengan sedikit meng-goda.
Sejenak Bidadari Telapak Setan
menghentikan bicaranya. Kepalanya tetap tak bergeming, memandang ke arah lain.
"Hujan telah reda. Saatnya bagimu memulai perjalanan. Ingat, Anak Agung!
Setiap langkah, harus diperhitungkan matang-matang. Gunakan segala cara untuk
menyelamatkan selembar nyawa.
Jika tidak, singgasana sang penguasa tunggal rimba persilatan akan lepas dari
cengkeramanmu! Dan, satu lagi.
Bila kau kembali, bawakan oleh-oleh untuk sekadar menepis dinginnya malam dan
pelepas dahaga...."
Selesai berkata, Bidadari Telapak Setan kembali
tertawa. Sementara,
sepasang mata Malaikat Berdarah Biru berkilat membeliak. Mulutnya mengatup.
"Sudah tua bangka masih juga doyan daun muda! Seandainya tak ada rencana besar
ini, aku tak sudi
menuruti permintaan gila ini!" umpat Anak Agung dalam hati.
Tak menunggu lama lagi, Malaikat
Berdarah Biru berkelebat keluar dari gubuk. Lantas tubuhnya melesat
diiringi senyum dan anggukan kepala Bidadari Telapak Setan.
*** Setelah menempuh perjalanan dua
hari dua malam, Malaikat Berdarah Biru tiba di kawasan Hutan Pucang Anom.
Ketika mulai memasuki hutan belantara yang masih jarang dirambah manusia ini,
langkahnya terlihat pelan-pelan.
Dan ketika sampai di tengah hutan, tepatnya di depan sebuah pohon besar dan
tinggi, langkahnya berhenti.
Untuk beberapa saat, Malaikat
Berdarah Biru mengawasi pohon besar dan tinggi. Ia seakan tak percaya dengan
penglihatannya. Bukan karena besar dan tingginya pohon yang membuat hatinya
bertanya-tanya heran. Tapi, ternyata pohon itu tumbuh tanpa
dedaunan...! Pohon itu hanya ditumbuhi dua dahan yang tidak begitu besar, malah
sudah tampak mengering! Namun yang membikin mata terbeliak, di dahan yang tampak
mengering menggandul
sebuah rumah gubuk dari jerami yang hanya diikat begitu saja dengan seutas tali!
"Hm..... Rumah yang aneh! Apakah penghuninya juga aneh?" gumam Malaikat Berdarah
Biru. Sepasang matanya terus berputar liar, dan berujung pada rumah gubuk jerami
yang pintu dan jendelanya
tampak tertutup.
Selagi diam sambil mengawasi,
mendadak pemuda itu diam terpaku. Ekor matanya melirik tajam. Dan telinganya
tampak tertarik ke belakang.
"Hm.... Ada orang yang mengawa-siku! Tapi..., tidak di rumah itu. Aku yakin, dia
memiliki kepandaian tinggi.
Karena, aku tidak bisa menentukan di mana dia berada! Aku harus waspada...!"
batin Malaikat Berdarah Biru ini.
Namun hingga agak lama ditunggu,
tak ada tanda-tanda sang pengintai menampakkan diri.
"Siapa pun adanya kau! Tak usah berlaku pengecut! Tampakkan dirimu!
Aku tahu, kau ada di sekitar sini!"
teriak Anak Agung.
Suara Pemuda berjuluk Malaikat
Berdarah Biru ini membahana, seakan menggugah sunyi belantara. Sejenak senyap.
Tinggal gema suara Anak Agung yang menyeruak dan menerabas pohon-pohon seantero
belantara. Namun keheningan itu hanya
berjalan sesaat. Sejenak kemudian....
"Hi.. hi... hi...!"
Terdengar suara tawa merdu. Dan
sebelum suara tawa itu lenyap, semak belukar lima tombak di depan Malaikat
Berdarah Biru terkuak.
Anak Agung terkejut. Namun
secepat itu pula perasaannya terkua-
sai. Matanya segera nyalang mempe-hatikan sesosok bayangan melesat dari semak
belukar. Dan tahu-tahu di depan Malaikat Berdarah Biru telah berdiri tegak
sesosok tubuh sejauh lima
langkah. Sosok bayangan itu ternyata
seorang gadis cantik berpakaian warna hitam panjang dan ketat. Pakaian
bagian atas tepatnya di bagian dada dibuat sedemikian rupa, sehingga
belahan dadanya membuat celah sempit dari dua bukit yang membusung meng-giurkan.
Sementara pakaian bagian bawah, di bagian depan dibelah hingga lutut. Sehingga
membuat sepasang
kakinya yang berkulit putih mulus tersembul jelas. Pinggulnya yang besar dan
tampak menjanjikan, mata digoyang sedikit. Sementara bibirnya yang merah
setengah terbuka.
Setengah memejam, mata gadis ini berkilatan menatap Malaikat Berdarah Biru.
Sejenak Anak Agung terkesima.
Belum habis rasa terpesonanya tiba-tiba....
"Cepat katakan, siapa dirimu!
Dan, apa tujuanmu!" bentak gadis itu, ketus.
Malaikat Berdarah Biru tergagap.
Tapi, cepat mampu menguasai diri.
"Harap kau tak salah paham. Aku ke sini dengan niat baik! Mengenai
aku, aku dikenal dengan julukan
Malaikat Berdarah Biru. Dan jika kau masih tak mengenalku, kau tentunya mengenai
Bidadari Telapak Setan!
Dialah guruku!"
Sambil berkata Malaikat Berdarah
Biru memandang tak berkedip. Napasnya berhembus panjang-panjang. Sementara
jakunnya bergerak turun naik.
"Uhhh! Jika aku tahu begini
keadaannya...," batin Anak Agung.
"Hemm.... Gelar bagus...," puji gadis itu sambil tersenyum dan
anggukan kepala. "Sekarang katakan, apa tujuanmu datang ke tempatku!"
Sambil berkata, gadis ini membu-
sungkan dadanya, membuat mata Malaikat Berdarah Biru mendelik. Pandangannya
terus menjilati dada dan pinggul gadis itu berganti-ganti.
"Kedatanganku dengan salam dan pesan dari Bidadari Telapak Setan!"
jawab Anak Agung.
"Katakan saja, apa pesannya...!"
sahut gadis ini cepat.
"Kau tentunya telah mendengar tentang seseorang yang baru muncul di kawasan
timur. Dan dia mengaku sebagai murid Wong Agung...," jelas Anak Agung lagi.
"Hm.... Aku telah dengar itu!
Bahkan aku mungkin lebih tahu daripada kau dan gurumu!" tukas sang gadis dengan
mata menyorot tajam.
Malaikat Berdarah Biru mengangguk perlahan sambil tersenyum.
"Jahanam keparat! Seandainya aku telah mereguk kenikmatan tubuhmu dan tak ada
urusan menyangkut masa depan-ku, sudah kusumpal mulutmu!"
Benak kotor Malaikat Berdarah
Biru dirasuki sebuah kenikmatan dan keinginan. Dan anak muda ini jadi merutuk
dalam hati. "Aku mengerti, ngg...," kata Anak Agung, terputus.
"Orang menjuluki aku Selir
Iblis!" potong sang gadis tatkala melihat pemuda ini kebingungan dan canggung
memanggilnya. "Aku mengerti, Selir Iblis!
Kedatanganku hanya menyampaikan pesan.
Mengenai kau nanti memenuhi atau
tidak, itu persoalan lain. Dan itu bisa diatur!"
Gadis yang bergelar sebagai Selir Iblis melengos, hingga tubuhnya berputar
sedikit. Hal ini membikin mata dan napas Malaikat Berdarah Biru
tambah bekerja tak beraturan. Karena dari arah samping, dada Selir Iblis tampak
begitu menggemaskan.
"Malaikat Berdarah Biru! Katakan saja! Tapi jangan coba-coba mempenga-ruhiku!
Aku tak sudi diperalat orang!"
ujar Selir Iblis bernada agak ketus.
"Kau jangan terburu-buru menduga!" tukas Malaikat Berdarah Biru.
"Guru mengundangmu datang ke Teluk Gonggong. Ia mempunyai rencana besar.
Dan bila rencananya berhasil, tentunya kau akan mendapatkan imbalan besar!"
Sejenak bola mata Selir Iblis
liar menatap Malaikat Berdarah Biru.
"Rencana apa"!"
"Menumpas tokoh-tokoh silat golongan putih!"
"Apakah didalamnya juga termasuk seorang pemuda bergelar Pendekar Mata
Keranjang..."!"
Mendengar pertanyaan Selir Iblis, sejenak Malaikat Berdarah Biru terdiam.
"Rupanya dia juga menginginkan kipas itu!" kata batin Malaikat Berdarah Biru.
Anak Agung menatap tajam-tajam
Selir Iblis. "Apakah kau mengenal Pendekar Mata Keranjang..."!" tanya pemuda ini.
"Tidak hanya mengenal. Tapi, aku punya urusan dengannya!" sahut Selir Iblis
mantap. "Urusan...?" ulang Malaikat Berdarah Biru. "Urusan apa...?"
"Ageng Panangkaran, bekas suami ku, dengan sembrono telah memberikan lembaran-
lembaran kulit pada pendekar itu! Padahal, aku rela diambil istri karena memang
mengincar lembaran kulit itu!" jelas Selir Iblis.
Anak Agung manggut-manggut dengan
benak dipenuhi dugaan-dugaan.
"Apakah lembaran kulit yang saat ini menjadi rebutan tokoh rimba
persilatan itu" Ah, tapi aku tak
tertarik dengan lembaran kulit itu.
Aku hanya menginginkan kipasnya!
Dan..., hhhmmm.... Jadi perempuan ini mempunyai persoalan tersendiri dengan
pendekar itu. Ini bisa kugunakan untuk mempercepat kematiannya! Perempuan ini
tak diragukan lagi ketangguhannya. Dan bukan tak mungkin dia dapat menewaskan
pendekar itu!" kata hati Malaikat Berdarah Biru.
Kembali Anak Agung menatap Selir
Iblis dengan senyum manis.
"Ketahuilah, rencana ini dibuat justru untuk menarik pendekar itu datang ke
Teluk Gonggong...!" kata Malaikat Berdarah Biru.
Selir Iblis mengangguk.
"Hm.... Jika demikian halnya, baiklah! Aku akan datang ke Teluk Gonggong!
Tapi..., aku punya permintaan sebelum berangkat!"
"Katakan permintaanmu!" ujar Malaikat Berdarah Biru.
"Hi... hi... hi...!"
Mendadak Selir Iblis tertawa,
membuat kening Malaikat Berdarah Biru berkerut heran. Walaupun, sudah bisa
menduga apa yang bakal dimintanya.
"Kau tahu, bertahun lamanya aku tinggal di tengah belantara yang
sunyi. Bisa dibayangkan, bagaimana rasanya malam-malam dingin sendirian di
tengah hutan. Sebelum aku berangkat memenuhi undangan gurumu, hm.... Aku ingin
malam ini merasakan sedikit kehangatan. Ah, tentunya kau mengerti yang kumaksud
bukan...?" jelas Selir Iblis.
Sepasang mata Malaikat Berdarah
Biru berkilat-kilat membeliak. Bibirnya menyungging seulas senyum, lalu
melangkah mendekati Selir Iblis.
"Jika itu permintaanmu, jangankan hanya satu malam. Sepuluh hari pun akan
kupenuhi...!" sahut Anak Agung, mantap.
Selir Iblis menggeliatkan tubuh-
nya saat mendengar kata-kata Malaikat Berdarah Biru. Sehingga membuat dadanya
lebih membusung kencang. Sementara pakaian bagian bawahnya tertarik ke atas,
membuat kulit pahanya terlihat jelas.
Beberapa saat Malaikat Berdarah
Biru tegak dengan pandangan terkesima.
"Berarti kau setuju dengan
tawaranku. Tunggu apa lagi...?" Selir Iblis menegur seraya tersenyum.
Malaikat Berdarah Biru segera
gerakkan tangannya. Dan tahu-tahu, Selir Iblis telah terbopong. Lalu dengan
sekali jejak, tubuhnya bersama tubuh Selir Iblis melayang ke rumah yang
menggantung. Disertai derai tawa, Malaikat
Berdarah Biru menyentilkan kaki
kirinya ke pintu rumah gubuk membuat pintu itu terbuka. Begitu masuk, dari balik
pintu kaki kanannya menyapu ke belakang. Dan..., bleppp! Pintu rumah gubuk
bergerak menutup.
Namun Malaikat Berdarah Biru tak
melihat kalau wajah gadis jelita yang dibopongnya saat ini telah berubah menjadi
seorang nenek tua dengan pipi kempot dan dagu kendor. Sementara, kedua matanya
sayu dan bibirnya
kehitaman. Dalam satu kejapan, nenek itu
tampak tersenyum dengan mata sayunya yang terpejam-pejam.
* * * 2 Di padang rumput
luas yang dikelilingi semak belukar, Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108
duduk bersandarkan sebuah pohon,
melindungi dirinya dari sengatan
matahari yang panas menyengat.
"Meski menentukan tempat serta mendapatkan kitab dan kipas yang kedua merupakan
perjalanan berat, aku tidak boleh lengah. Apalagi, putus asa.
Namun..., sebenarnya aku masih ingin
berlama-lama tinggal di Lem-bah Pring Sewu bersama Ajeng Roro. Hm..., gadis itu
hampir setiap kali tak bisa lenyap dari setiap langkahku. Tapi..., apa boleh
buat" Tugaslah yang mengharuskan untuk sementara waktu aku harus
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memendam rasa rindu...," gumam Aji pada diri sendiri. Hatinya sejenak bergulat
dengan kegelisahan.
Namun belum tuntas batinnya
berucap, dari ujung jalan tempat Aji muncul, lamat-lamat terdengar derap kaki
kuda menghentak ditingkahi
gemeretak roda kereta.
"Ada orang lewat! Lebih baik aku menyelinap...."
Aji segera berkelebat, menyelinap masuk di balik rimbunan semak belukar yang
merangas dan lebat di sekitar hamparan rumput.
Tak lama, dari ujung jalan muncul sebuah kereta tertutup yang ditarik dua ekor
kuda. Kusirnya adalah seorang laki-laki bertubuh telah melengkung ke depan.
Wajahnya telah tersaput kerutan, menandakan kalau usianya telah lanjut.
Rambutnya panjang dan sudah memutih. Demikian pula jenggotnya.
Tangan kanannya memegang sebuah
tongkat kayu yang ujungnya bercabang dua.
Memasuki hamparan rumput, menda-
dak kusir kereta menarik tali kekang kudanya. Maka seketika sepasang kuda
itu serentak menghentikan langkahnya.
Cukup lama juga kusir tua ini tak menggerakkan kembali tangannya untuk menghela
kudanya. Sepasang mata kela-bunya malah memandang tajam ke depan.
Melihat gerak-geriknya, tampaknya dia menunggu.
Memang, Tak lama berselang, dari arah berlawanan muncul seorang penunggang kuda.
Tepat sepuluh tombak lurus di depan kereta kuda, penunggang kuda itu
menghentikan tunggangannya.
Ternyata penunggang kuda itu
adalah pemuda berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala juga berwarna
hitam. Tubuhnya kekar dan berotot.
Raut wajahnya hanya tampak sebagian, karena tertutup brewok dan kumis yang
tampak terawat rapi. Namun, tampangnya tidak menampakkan garis keramahan.
"Tak ada hujan tak ada angin, kenapa kau menghadang perjalananku, Tua Bangka"!"
bentak pemuda itu dengan sepasang mata tak berkedip memandang lurus ke depan.
Sang kusir kereta tak menjawab.
Bahkan malah menggerakkan tongkat kayu di tangannya ke depan.
Wuuut! Seketika gelombang angin deras
meluruk ke depan, membuat pemuda itu mendelik. Sambil berseru keras, ia meloncat
menghindar. Namun, tak demikian dengan kuda tunggangannya
yang tak bisa menghindar.
Splash! "Hieeekh...!"
Disertai ringkikan keras,
binatang itu kontan terlempar dan terbanting ke tanah tak bergerak lagi.
Keheningan segera menyambut. Dua pasang mata saling bertatap. Namun mata pemuda
yang kini berdiri tegak lima tombak di depan kusir kereta tampak menyengal.
Mulutnya menyeringai buas membawa maut. Sementara kusir tua itu memandang dengan
seulas senyum mengejek. Bahkan tak lama kemudian tawa kekehnya meledak.
"Dajal Ireng! Akhirnya kau
kutemui di sini...!" kata kusir tua itu dengan suara berat, setelah
tawanya berhenti.
Pemuda yang dipanggil Dajal Ireng sedikit terkejut, mendengar namanya disebut.
"Phuih! Jahanam tua! Siapa kau"!"
bentak Dajal Ireng setelah meludah untuk menuangkan kegeramannya. Matanya
menyorot tajam disertai dagu mengembang.
Tak juga ada jawaban. Sedangkan
Dajal Ireng segera menarik kedua
tangannya, lalu memutarnya kebelakang.
Kumisnya bergerak-gerak, tanda mulut dibaliknya komat-kamit. Sesaat kemudian,
tangannya telah lurus di atas kepala dan siap disentakkan ke depan.
Kusir tua itu rupanya tahu, apa
yang akan diperbuat Dajal Ireng.
Segera telapak tangannya didorong tepat ketika pemuda itu juga
menyentakkan tangannya ke depan.
Wesss! Blap! Seakan tak dapat dipercaya, tiba-
tiba gelombang angin yang keluar dari tangan Dajal Ireng memantul balik bagai
membentur dinding kasatmata.
Karena tak menduga, pemuda itu
terlambat menghindar. Akibatnya....
Derrr...! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh
pemuda itu terjungkal disertai pekik kesakitan. Dan keras sekali pantatnya
mencium tanah, begitu jatuh terduduk.
Disertai dengusan keras Dajal
Ireng berusaha bangkit. Matanya
berkilatan, memancarkan kemarahan.
Namun belum lagi dia melancarkan
serangan kembali....
"Ki Buyut! Waktu kita terbatas.
Cepat katakan padanya, siapa kita!
Agar bangsat itu tahu adat!"
Mendadak terdengar suara dari
dalam kereta yang tertutup. Dan
sepertinya suara seorang perempuan.
Kakek kusir itu membusungkan
dadanya. Sehingga tubuhnya yang
bungkuk nampak dipaksa lurus tegak.
Tongkatnya diputar-putar, seperti
hendak memamerkan kelihaiannya.
"Dengar, Dajal Ireng! Aku Buyut Linggar Dipa. Dan tentunya kau telah tahu, siapa
yang ada di dalam kereta!"
ujar kusir tua yang mengaku bernama Buyut Linggar Dipa.
Mendengar penjelasan orang tua di depannya, Dajal Ireng kontan terkejut.
Raut wajahnya berubah pucat pasi.
Sekejap itu juga, tubuhnya melesat ke depan dengan sekali jejak. Satu tombak di
samping bawah Buyut Linggar Dipa, Dajal
Ireng menjatuhkan diri dan
menjura. "Mohon ampun, Ki Buyut. Selama ini aku yang muda ini hanya mendengar namamu.
Namun, belum pernah menge-nalimu! Sekali lagi harap maafkan tingkahku tadi yang
tidak tahu adat...," ucap Dajal Ireng.
Buyut Linggar Dipa diam sesaat.
Sepasang matanya menatap dengan
sedikit membulat. Lalu, kepalanya mengangguk. Namun mendadak terdengar
kekehannya menyeruak, dengan kepala menengadah memandang langit.
"Dajal Ireng! Seperti tadi kau dengar, waktu kami terbatas. Katakan saja, akan
ke mana kau sebenarnya"!"
susul Buyut Linggar Dipa.
Dajal Ireng mengangkat kepalanya.
Namun tetap saja matanya tak berani memandang laki-laki tua itu.
"Aku mendapat undangan dari
Bidadari Telapak Setan untuk ber-
kunjung ke tempatnya...," sahut Dajal Ireng, datar.
"Hm.... Bila benar demikian, berarti kabar yang tersiar bahwa
Bidadari Telapak Setan punya perhelatan besar itu tidak omongan kosong belaka.
Dapatkah kau jelaskan, apa maksud sebenarnya undangan itu"!"
tanya Buyut Linggar
Dipa dengan wajahnya kembali menatap Dajal Ireng.
"Bidadari Telapak Setan merenca-nakan suatu peristiwa besar yang akan membuat
dunia persilatan guncang...!"
jelas Dajal Ireng.
"Rencana apa"!"
Kali ini terdengar suara bernada
pertanyaan itu berasal dari dalam kereta. Sangat merdu, namun nadanya ketus.
Dajal Ireng menyeringai seraya
menggeser tubuhnya ke belakang.
"Bidadari Telapak Setan ingin menjadikan Teluk Gonggong sebagai kubangan darah
dan bangkai tokoh-tokoh persilatan golongan putih! Dan jika hal itu terjadi,
secara tak langsung siapa pun yang akan tampil menjadi penguasa rimba
persilatan, yang pasti dari golongan kita!" jawab pemuda ini seraya bangkit.
"Hm.... Rencana besar dan bagus!"
Terdengar suara pujian dari dalam kereta.
Sementara Aji dalam persembunyian nya kontan terbelalak. Mulutnya
menganga, menciptakan gua besar bagi seekor lalat.
"Gila! Rencana ugal-ugalan dan edan! Rimba persilatan akan geger jika hal itu
benar-benar berlangsung. Ini tidak boleh terjadi! Hm.... Siapa gerangan Bidadari
Telapak Setan si pembuat ulah gila ini" Rupanya makin banyak tokoh yang belum
kukenal dalam arena persilatan, telah bermunculan.
Bahkan membuat tingkah aneh-aneh yang condong berbahaya...! Aku akan
mengorek keterangan dari mereka!
Tapi...." *** Belum habis Aji membatin, men-
dadak sebuah bayangan berkelebat
menerabas semak belukar tempat
persembunyian Aji. Dan tahu-tahu empat langkah di tengah semak belukar tepat di
depan murid Wong Agung, sosok itu mengeram!
Aji kontan tercekat, tatkala
mendapati kakek bungkuk alias Buyut Linggar Dipa telah berdiri tegak
dengan mata menyorot tajam. Cepat pemuda itu hendak bergerak bangkit.
Namun.... "Bangsat kecil! Apa kerjamu di sini"! Beraninya kau memata-matai
kami"! Siapa kau..."!" bentak Buyut Linggar Dipa sambil membaling-balingkan
tongkatnya. Wesss...! Saat itu juga, serangkum angin
deras berputar-putar dengan pusaran tak putus-putus menggebrak mengancam
keselamatan Aji. Seketika semak
belukar di sekitarnya terbabat pupus sampai ke akar-akarnya.
Melihat hal ini pemuda berjuluk
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melesat ke atas. Setelah membuat
putaran beberapa kali tubuhnya telah kembali luruh, lalu menyelinap hilang di
balik semak belukar.
Mata kelabu Buyut Linggar Dipa
mencari-cari, namun sosok Pendekar Mata Keranjang tak juga ditemukannya.
Padahal hatinya sudah amat geram, melihat serangannya gagal. Dan kini, pemuda
itu mempermainkannya. Maka segera laki-laki tua ini meloncat sambil mengeluarkan
seruan keras. Tongkatnya langsung ditusukkan ke semak belukar, tempat Aji tadi
menghilang. Tap! Namun mendadak tusukan tongkat
Buyut Linggar Dipa bagai tertahan.
Seketika, terjadi adu kekuatan saling menahan hingga beberapa saat. Tapi, tiba-
tiba tanpa diduga Buyut Linggar Dipa menjejakkan kakinya. Begitu
tubuhnya melayang dengan tongkat masih menusuk ke bawah, tangannya pun cepat
disentakkan ke bawah.
Bret! Brettt! Namun serangan itu hanya
menyambar tempat kosong, karena sosok Pendekar Mata Keranjang telah melesat ke
udara. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang turun mendarat di atas tanah.
"Keparat!" dengus Buyut Linggar Dipa sambil loncat balik. Lalu,
kakinya mendarat empuk satu tombak di depan sosok Pendekar Mata Keranjang yang
baru saja mendarat.
Tanpa bicara lagi, Buyut Linggar
Dipa segera mengatupkan tangannya.
Tongkatnya yang terjepit diantara katupan kedua tangannya, siap disentakkan
lurus ke depan. Namun belum sampai gerakan tangannya menyentak, Aji sudah
membentangkan kedua tangannya.
"Tahan!" seru Aji sambil mundur dua tindak ke belakang.
Senyum dikulum tampak menghias
wajahnya. Buyut Linggar Dipa cepat menghentikan gerakan. Namun tangan kanannya,
tetap memutar-mutar tongkat, kemudian berhenti dalam keadaan
menjurus ke depan.
"Ki.... Mari kita bicara baik-baik!" ajak Aji, tenang.
"Buyut! Tak perlu berlama-lama meladeni bocah yang berani memata-
matai kita. Bunuh!"
Mendadak terdengar suara perem-
puan bernada memerintah dari dalam kereta.
Untuk beberapa saat, Buyut
Linggar Dipa tegak mengawasi tak
berkedip. Sementara Dajal Ireng
memandang sebentar, lantas berpaling dan meludah ke tanah.
"Bocah! Kau dengar perintah tadi, bukan"! Hem.... Aku masih akan
mengampuni nyawamu. Tapi, jawab dengan jujur pertanyaanku! Siapa kau! Dan apa
perlumu mendekam memata-matai
kami..."!" tanya Dajal Ireng, membentak.
"Namaku Aji. Aji Saputra!" kata Aji sambil tersenyum. "Dan kuharap, Ki Buyut
tidak terburu-buru salah sangka.
Sungguh, aku tidak memata-matai
kalian! Aku hanyalah seorang pengelana jalanan yang tak ada juntrungan-nya...!"
Ketika Aji bicara, mendadak diam-
diam Dajal Ireng menarik tangannya ke belakang. Sebentar tangannya diputar, lalu
disentakkan ke arah Aji.
"Hih!"
Wesss...! Seketika selarik gelombang warna
hitam melesat bergulung-gulung ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Pengecut licik!" desis Aji.
"Hup!"
Saat itu juga Pendekar Mata
Keranjang meloncat ke samping, menghindari serangan. Lalu secepat itu pula,
tangannya dipentangkan hendak membuat gerakan pukulan 'Ombak Menggulung Badai'.
Namun.... "Bocah! Melihat gerakanmu, aku yakin perkataanmu dusta!" bentak Buyut Linggar
Dipa, mencegah gerakan
Pendekar Mata Keranjang.
"Buyut! Terserah kau mau berkata apa. Tapi satu hal, aku bicara apa adanya! Lagi
pula, apa untungnya aku bicara dusta..."!" jawab Aji meyakinkan. Suaranya masih
bergetar menahan marah, ketika dirinya mendapat serangan secara pengecut dari
Dajal Ireng. "Begitu" Baik! Kau telah bicara dusta padaku, Berarti hukuman yang pantas...."
"Bunuh!" potong suara dari dalam kereta. Begitu suara tadi lenyap, pintu kereta
terbuka. Kini, tampaklah sesosok perempuan muda berusia kira-kira delapan belas
tahun. Tubuhnya terbungkus pakaian putih ketat, hingga lekukannya membayang
jelas. Di lehernya melingkar untaian kalung dari bunga-bunga berwarna hitam.
Parasnya yang cantik diperindah dengan sepasang mata bulat dan berbinar. Alis
matanya tebal dan hitam, ditingkahi bulu mata lentik. Di atas kedua telinganya
menyelip sekuntum bunga yang juga
berwarna hitam.
Begitu menginjak tanah, gadis
berpakaian putih ini segera melangkah perlahan ke arah Buyut Linggar Dipa.
Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak memandang dengan mata membesar.
"Busyet! Gadis ini cantiknya mungkin lebih dari bidadari!" desis Aji.
"Ratu Sekar Langit!" sebut Dajal Ireng. Wajahnya segera dipalingkan, memandang
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan lirikan tajam.
"Buyut! Ada yang tak beres dengan orang sinting ini! Aku curiga, jangan-jangan
dia kaki tangan orang golongan putih yang menguntit perjalanan kita.
Meski tampak bodoh, firasatku mengatakan di balik itu dia berbahaya!" bisik
gadis berbaju putih yang tadi di
panggil Ratu Sekar Langit oleh Dajal Ireng. Sepasang matanya sebentar
melirik pada Aji.
Buyut Linggar Dipa mengangguk
pelan. "Benar, Ratu! Aku juga berfirasat begitu. Pemuda ini tidak bisa dianggap
sembarangan, walau
wajahnya tampak kekanak-kanakan dan tolol...!" kata Buyut Linggar Dipa,
membenarkan. Bisa dimengerti, jika dua orang
ini bisa segera menebak. Memang,
kepandaian dua orang ini tak diragukan lagi. Gadis yang bergelar Ratu Sekar
Langit adalah tokoh yang sangat
disegani. Selain berkepandaian tinggi, wajahnya pun membuat mata yang melihat
seolah sayang untuk berkedip. Konon, Ratu Sekar Langit tinggal di sebuah kaki
bukit yang telah dirombak menjadi sebuah bangunan megah. Dia juga
mempunyai beberapa murid yang seluruh-nya wanita. Karena begitu megah dan dihuni
beberapa orang yang punya tugas sendiri-sendiri, maka tempat tinggal-nya mirip
sebuah istana. Hingga orang-orang luar menyebutnya Istana Padalarang, karena
tempatnya memang di kaki Bukit Padalarang.
Menurut kabar yang tersiar, Ratu Sekar Langit adalah putri pembesar istana
sebuah kerajaan di daerah Sumbawa. Karena waktu itu dalam
keadaan perang saudara, maka Ratu Sekar Langit diungsikan ke tanah Jawa bersama
seorang pengasuhnya, yang juga merangkap sebagai gurunya. Dia tak lain Buyut
Linggar Dipa. Dalam kancah rimba persilatan di
tanah Jawa, sebenarnya Ratu Sekar Langit tidak berada di pihak mana-mana. Tidak
ada golongan putih, maupun golongan hitam. Namun karena terseret nafsu serakah
Buyut Linggar Dipa yang ingin mendirikan sebuah perguruan silat terpandang, Ratu
Sekar Langit lantas menghabisi siapa saja yang tidak bersedia berada di bawah
partainya. Dan ketika mendapat
undangan Bidadari Telapak Setan, maka segera saja disambutnya dengan maksud
ingin mengetahui tingkat kepandaian tokoh-tokoh yang diundang. Sekaligus,
mengajak mereka dalam partainya.
Namun dalam perjalanan ke Teluk
Gonggong, tanpa sengaja mereka bertemu Dajal Ireng. Bahkan kini muncul pula
pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108.
Kepandaian Dajal Ireng, rupanya
masih jauh bila dibanding Buyut
Linggar Dipa atau Ratu Sekar Langit.
Ini terbukti dalam beberapa gebrakan saja, dia telah bertekuk lutut. Namun tidak
demikian Pendekar Mata Keranjang 108. Begitu Buyut Linggar Dipa
menguji, kepandaian mereka ternyata seimbang. Bahkan Ratu Sekar Langit
berfirasat di balik sifat ketolol-tololannya, pemuda itu menyimpan
kepandaian, Hingga untuk beberapa saat lamanya Ratu Sekar Langit dan Buyut
Linggar Dipa bicara saling berbisik.
"Sudahlah!" ucap Aji seakan menghentikan bisik-bisik antara Ratu Sekar Langit
dan Buyut Linggar Dipa. "Aku harus meneruskan perjalananku yang tak berujung
ini! Suatu saat jika bertemu lagi, mungkin kita akan ngobrol lebih lama...."
Ratu Sekar Langit dan Buyut
Linggar Dipa langsung menghentikan
bisik-bisik. Serentak mereka memandang pada Aji.
Pendekar Mata Keranjang balas
menatap. Namun, matanya hanya tertuju pada Ratu Sekar Langit. Sebenarnya, Aji
masih ingin lama-lama di situ, melihat paras cantik gadis itu. Tapi karena ingin
mengikuti perjalanan mereka tanpa diketahui, maka dia
berlagak mau pergi.
"Tunggu! Tidak semudah itu kau bisa ngeloyor pergi!" tahan Buyut Linggar Dipa.
Aji seperti tidak mendengar kata-
kata Buyut Linggar Dipa. Kakinya terus melangkah. Bahkan sambil jalan,
didendangkannya satu nyanyian perlahan.
"Orang edan! Tapi wajahnya
menarik. Dan matanya...," kata Ratu Sekar Langit dalam hati.
Mendapati seruannya tak digubris, Buyut Linggar Dipa segera berkelebat.
Dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan Aji dengan tongkat berputaran.
Aji masih tak acuh. Kakinya
melangkah ke samping, akan melewati orang tua itu. Namun saat itu, Buyut Linggar
Dipa segera menusukkan
tongkatnya ke arah dada Aji.
Wuttt! Bet! Sambil terus mendendangkan
nyanyian tak karuan, Pendekar Mata
Keranjang 108 mengeluarkan kipasnya, langsung dikebutkan di depan dadanya.
Sementara, matanya tak memandang pada Buyut Linggar Dipa. Dan ternyata, gerakan
tongkat orang tua itu
tertahan. "Heh"!"
Buyut Linggar Dipa tersentak
kaget. Cepat tongkatnya ditarik
pulang. Sementara Aji terus melangkah dan memasukkan kembali kipasnya.
"Buyut! Aku sudah mengatakan yang kau minta. Dan sekarang aku akan
pergi!" tandas Pendekar Mata Keranjang 108.
"Kau tak bisa pergi sebelum
mendapat hukuman!" dengus Buyut Linggar Dipa.
"Aneh! Aku sudah mengatakan
sejujurnya, tapi kau tak mau menerima.
Lantas, apa yang harus kukatakan..."!"
Buyut Linggar Dipa tak menjawab.
Namun tongkatnya langsung ditusukkan ke arah dada Aji.
"Hm.... Orang tua ini tak main-main. Ia ingin mengambil nyawaku!"
Sambil membatin, Aji menghindar.
Tubuhnya melesat ke samping, lalu dengan gerakan kilat dikirimnya
serangan dari samping.
Wuttt! Buyut Linggar Dipa terkejut,
untung masih sigap. Secepat itu pula tangannya segera ditarik, lalu
menghindar dengan lompat ke udara.
Sehingga, tubuhnya terhindar dari sambaran angin yang keluar dari tangan Aji,
yang mungkin saja bisa membuatnya terpental.
Belum sampai kaki Buyut Linggar
Dipa mendarat di tanah, Pendekar Mata Keranjang telah berbalik dan akan
melangkah meninggalkan tempat. Namun belum sempat kakinya melangkah.
Wusss...! Mendadak serangkum angin menderu
keras dari arah belakang.
Merasakan ada satu sambaran, Aji
terkejut. Cepat kepalanya menoleh.
Ternyata Dajal Ireng telah melepaskan pukulan sambil meloncat mendekat. Maka
secepat kilat Pendekar Mata Keranjang menjejakkan kakinya. Tubuhnya seketika
mengudara dan berputar membalik.
Begitu mendarat, tubuhnya diputar menghadap Buyut Linggar Dipa dan Dajal Ireng.
"Sebenarnya aku tak ingin membuat urusan dengan kalian! Namun, rupanya kalian
tidak bisa diajak bicara baik-baik. Baiklah akan kuturuti kehendak kalian!" kata
Aji, dingin. Pendekar Mata Keranjang cepat
menarik tangannya, melepaskan pukulan
'Ombak Menggulung Badai' ke arah Dajal Ireng.
Wesss! Di lain kejap, secepat itu pula
Aji menakupkan tangan. Setelah diputar di atas kepala, tangannya dihentakkan ke
arah Buyut Linggar Dipa. Inilah pukulan sap kedua 'Ombak Membelah Karang'.
Wesss! Maka, serentak dua angin deras
bagai ombak saling susul bergulung ke depan. Satu mengarah pada Dajal Ireng, dan
satunya ke arah Buyut Linggar Dipa.
Walaupun cukup terkejut, Buyut
Linggar Dipa segera memapaki serangan dengan sentakan tangan kedepan.
"Hih!"
Sementara Dajal Ireng menakupkan
tangannya sejajar dada, lalu
mendorongkannya ke depan.
"Heaaah!"
Blem! Blem! Tempat bertemunya dua serangan
mendadak tampak berkilat benderang, disusul dua ledakan menggelegar.
Tampak tubuh Buyut Linggar Dipa
langsung terjengkang tiga tombak ke belakang, dan jatuh terkapar. Sedangkan
Dajal Ireng lebih parah. Tubuhnya mencelat enam tombak ke belakang, lalu
bergulingan di atas tanah. Sementara Aji sendiri terjajar lima langkah ke
belakang terhuyung-huyung.
Serentak Buyut Linggar Dipa dan
Dajal Ireng merambat bangkit. Dengan mata menghujam tajam, mereka memandang
seakan tak percaya.
"Pukulan 'Ombak Menggulung Badai'
serta 'Ombak Membelah Karang' belum membuat mereka jera. Akan kucoba
dengan pukulan sap ketiga 'Gelombang Prahara'!" kata batin Aji sambil
mengepalkan kedua tangan dan menyilangkannya di depan dada.
Tapi belum sampai Aji membuka
tangannya untuk melancarkan serangan, tiba-tiba sebuah bayangan putih
berkelebat. "Minggir! Biar kuselesaikan bangsat ini!" Aji segera berpaling, seraya
mengurungkan serangan.
Pada saat itulah tubuh Ratu Sekar Langit berputar dan lenyap. Namun di lain
kejap tiba-tiba tangannya telah berkelebat ke arah kepala Aji.
Wuttt! "Uts!"
Walaupun sempat terkejut, murid
Wong Agung ini segera merundukkan kepalanya. Kakinya cepat disurutkan ke
belakang. Hampir terlambat, namun tak urung rambut gondrongnya tersambar pukulan
tangan Ratu Sekar Langit, hingga terbabat bagai terkena pisau tajam. Bahkan
seketika tercium bau sangit, seperti ada rambut terbakar.
Melihat serangannya hanya bisa
memangkas sedikit rambut pemuda itu, Ratu Sekar Langit tampak geram bukan main.
"Jahanam!" bentak Ratu Sekar Langit, segera melesat ke udara.
Di atas, gadis itu bergulung-
gulung. Dan tahu-tahu, tubuhnya kaku dan lurus menukik dengan cepat ke arah Aji.
"Sontoloyo! Gerakannya tak terlihat dan tak terduga!" rutuk Aji dalam hati.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat mendoyongkan
tubuhnya ke samping
kanan. Sehingga, kepalan tangan Ratu Sekar Langit hanya menggebrak tempat kosong
di samping bahunya.
"Hiaaat...!"
Wet! Tapi, mendadak kaki wanita itu
bergerak lurus, ke arah tengkuk Aji.
Sementara pemuda itu salah duga,
sehingga terlambat menghindar. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108
kontan terjengkang ke samping begitu tendangan itu tepat menghantam tengkuk. Dan
deras sekali Aji jatuh
telentang. Sambil bangkit pemuda itu menatap tajam Ratu Sekar Langit.
Begitu tegak, Ratu Sekar Langit
telah lima langkah di depan pemuda itu dengan kaki kokoh dan terpentang.
Sepasang matanya yang bulat dan
berbulu lentik menukik tajam tak berkedip ke arah Pendekar Mata Keranjang
108. "Terimalah hukuman matimu
sekarang, Bocah!" desis Ratu Sekar Langit, seraya menarik tiga kuntum bunga
berwarna hitam dari untaian kalungnya. Dan secepat itu pula, tiga kuntum bunga
hitam ini dilemparkan ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
Set! Settt! Tiga kuntum bunga melayang cepat
disertai suara berdesing ke arah
kepala, perut, dan leher Aji. Sedangkan Pendekar Mata Keranjang 108 hanya
menyipitkan matanya. Namun mendadak tubuhnya segera direbahkan, sejajar dengan
tanah. Dihindarinya serangan yang menuju bagian atas tubuhnya. Dan dalam keadaan
demikian, Aji melepaskan pukulan 'Ombak Membelah Karang'.
Wesss! Seketika serangan angin bergulung melesat, memapak desingan kuntum
bunga. Pas! Passs! Dua kuntum bunga hitam kontan
ambyar terkena gulungan angin yang keluar dari telapak Pendekar Mata Keranjang
108. Namun sekuntum bunga masih lolos, bahkan kini melabrak ke arah Aji yang
masih di atas tanah.
Maka.... "Hiaaa...!"
Disertai bentakan keras Aji
segera menjejak tanah. Tubuhnya segera
melengos ke samping. Dan....
Crep! Seketika tanah tempat tadi Aji
bergulingan terbongkar mengeluarkan asap! Begitu menoleh, mata Aji
terbelalak. Kuntum bunga hitam itu menancap di atas tanah yang masih keluarkan
asap. "Sementara harus menghindar, aku akan menguntit perjalanan mereka!
Inilah satu-satunya jalan. Karena, tak mungkin lagi aku mengorek keterangan dari
mulut mereka...," kata batin murid Wong Agung ini, sambil melirik nyalang dengan
ekor matanya. Menyadari keadaan ini, Aji cepat
bangkit. Segera tangannya dikepalkan, lalu disilangkan ke depan dada. Dan belum
sempat Ratu Sekar Langit membuat gerakan, Pendekar Mata Keranjang 108
telah membuka silangan tangan dan mendorongnya ke depan.
Wesss...! Saat itu juga gelombang angin
dahsyat disertai suara menggemuruh, bergulung cepat dan menghantam ke arah Ratu
Sekar Langit. Sementara itu, Buyut Linggar Dipa dan Dajal Ireng segera maju. Namun, belum juga
tiga langkah, Aji segera pula menghentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan
'Ombak Membelah Karang'.
Tepat ketika tiga orang lawannya
bergerak memapak, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera mengerahkan
tenaganya. Secepat kilat tubuhnya berkelebat, lalu menghilang di balik rimbunan
semak belukar. Glarrr...! Tatkala tubuh Aji telah meng-
hilang, terdengar suara gelegar.
Memang, saat itu serangan pukulan Pendekar Mata Keranjang 108 terpapaki pukulan
tangan Ratu Sekar Langit dan Buyut Linggar Dipa.
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu suara gelegar sirna, tiga
pasang mata liar beredar ke seke-
liling. Namun mereka tak lagi melihat sosok Pendekar Mata Keranjang 108.
"Jahanam busuk! Kali ini kau bisa lolos. Tapi suatu ketika, kau akan kucincang
dan kugantung!" maki Ratu Sekar Langit seraya berkelebat ke arah kereta dan
masuk. Sejenak Buyut Linggar Dipa dan
Dajal Ireng saling berpandangan.
"Ki Buyut! Kita teruskan perjalanan saja!" kata Ratu Sekar Langit dari dalam
kereta. Buyut Linggar Dipa segera
berkelebat, loncat ke atas bangku kusir. Sementara Dajal Ireng masih tegak
termangu. "Dajal Ireng! Apa lagi yang kau tunggu" Kita searah! Lekas naik!"
Belum habis kata-kata Buyut
Linggar Dipa, Dajal Ireng telah
berbalik dan meloncat di samping Buyut Linggar Dipa.
Ketika kereta itu kembali
bergerak, diam-diam Aji mengikuti sambil sesekali menyelinap dari arah belakang.
Ternyata Pendekar Mata
Keranjang 108 tidak benar-benar pergi, dan hanya bersembunyi saja
*** 3 "Gila! Hampir empat hari aku
menguntitnya terus menerus. Namun, perjalanan mereka tampaknya belum juga
berujung. Teluk Gonggong jauh juga rupanya."
Sambil melontarkan makian, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 memacu
larinya seiring cepatnya kereta yang ditumpangi Buyut Linggar Dipa, Ratu Sekar
Langit, dan Dajal Ireng. Bahkan sesekali ia mendahului dengan mengan-dalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang tinggi. Setelah berada di depan, Aji sengaja menunggu
sambil bersembunyi di balik semak belukar. Atau terkadang di atas sebuah pohon
yang berdaun rimbun, hingga dapat melindungi tubuhnya.
"Hm.... Tapi aku
lamat-lamat mendengar debur ombak. Dan sepertinya laju kereta mulai melambat. Berarti
mereka hampir sampai tujuan," gumam Aji, setelah berada sepuluh tombak di
belakang kereta.
Sampai ujung sebuah desa kecil,
Buyut Linggar Dipa makin memperlambat langkah kudanya. Dan tepat di depan sebuah
kedai kereta dihentikan.
"Kita mampir dulu untuk mengisi perut sambil istirahat. Perjalanan kita sudah
hampir sampai...," kata Buyut Linggar Dipa, tanpa menoleh.
"Benar, Buyut! Aku sejak tadi sebenarnya mau mengatakannya...."
Belum selesai Dajal Ireng
meneruskan kata-katanya, orang tua itu telah meloncat turun dan berjalan
kesamping. Baru dua langkah, pintu kereta terbuka, menjulurkan sebentuk kaki
mulus milik Ratu Sekar Langit yang hendak turun dari kereta. Begitu keluar
wanita iri menebar pandangannya ke sekeliling.
"Ratu. Kita istirahat sebentar di kedai. Teluk Gonggong sudah dekat,"
kata Buyut Linggar Dipa.
Ratu Sekar Langit hanya mengang-
guk perlahan, lalu melangkah ringan menuju kedai diikuti Buyut Linggar Dipa dan
Dajal Ireng. Seorang laki-laki tua pemilik
kedai tergopoh-gopoh menyambut, ketika mereka tiba di pintu kedai. Sambil
tersenyum ramah, dipersilakannya para tamu untuk memilih tempat duduk.
Mendapat sambutan ramah, Ratu
Sekar Langit tak begitu acuh. Bahkan sepasang matanya yang bulat dan
berbulu lentik tampak liar menyapu seluruh ruangan kedai. Demikian juga Buyut
Linggar Dipa. Dia hanya memandang sekilas ke arah pemilik kedai.
Sedangkan Dajal Ireng malah melengos-kan wajahnya ke samping. Dan hampir saja ia
meludah jika....
"Dajal Ireng! Sejelek-jelek
tingkahmu, kau harus hormat pada Ratu Sekar Langit. Ia sekarang ada
bersamamu! Jika kau masih berlaku demikian, jangan menyesal jika mulutmu akan
kulumat dengan ujung tongkat ini!" bentak Buyut Linggar Dipa menyo-rongkan
tongkat bututnya ke arah muka Dajal Ireng.
Mendapat teguran, buru-buru Dajal Ireng memasukkan kembali air ludah yang telah
tampak merambah di bibirnya. Raut mukanya tampak merah padam.
Kepalanya sedikit tertarik ke
belakang, saat air ludah itu kembali masuk ke tenggorokannya.
"Sediakan makan dan minum untuk kami!" perintah Buyut Linggar Dipa pada pemilik
kedai sambil menarik bangku dan mempersilakan Ratu Sekar Langit duduk.
"Buyut! Kulihat daerah ini
tenang-tenang saja. Sepertinya, mereka tidak mengerti akan terjadi sebuah
peristiwa besar. Aku curiga, jangan-jangan undangan Bidadari Telapak Setan hanya
untuk memancing agar kita keluar dari Istana Padalarang!" duga Ratu Sekar Langit
sambil menyantap
hidangan. "Kurasa hal itu tak mungkin, Ratu. Menurut undangan, hari yang ditentukan malam
purnama bulan ketiga.
Berarti, hari penentuan itu masih kurang empat hari lagi. Jadi, bisa dimaklumi
jika sekarang keadaannya masih tenang-tenang. Bahkan tak tampak ketegangan
sedikit pun. Namun bila nantinya ternyata undangan palsu, akan kurobek mulut
betina itu! Sejak semula aku memang berkeinginan menjajal
kedigdayaan betina itu. Apalagi
menurut kabar yang santer terdengar, pukulan 'Serat Jiwa'-nya telah banyak
merontokkan tokoh tingkat tinggi! Aku ingin membuktikan, pukulan macam apa
'Serat Jiwa' itu!" ungkap Buyut Linggar Dipa seraya memandang Ratu Sekar
Langit, setelah menghentikan
makannya. "Selain itu, aku mendengar kabar bahwa Bidadari Telapak Setan adalah tokoh yang
sukar ditandingi dan licit Menurut kabar itu, aku menangkap
isyarat bahwa di balik rencana
besarnya dalam menumpas tokoh-tokoh golongan putih, dia menyimpan rencana yang
lebih besar lagi.... Dan
kudengar, dia juga telah mendidik seorang murid yang kemampuannya telah menyamai
gurunya!" papar Ratu Sekar Langit.
"Tak salah penuturanmu, Ratu! Aku pun sudah berpikir ke arah sana. Dia pasti
mempunyai rencana lain, di balik rencana sekarang ini. Bahkan aku sudah
menyimpulkan, Bidadari Telapak Setan ingin melambungkan anak didiknya dalam
rimba persilatan...."
"Benar! Malah beberapa minggu terakhir ini, murid Bidadari Telapak Setan yang
bergelar Malaikat Berdarah Biru, telah berhasil mengobrak-abrik beberapa
perguruan silat dari golongan putih. Bahkan dalam sepak terjangnya, dia dibantu
seorang perempuan cantik!"
timpal Dajal Ireng.
"Hm...."
Ratu Sekar Langit menggumam
seraya mengangkat tangannya yang
memegang cangkir bambu. Setelah
meneguk minumannya, dia memandang keluar kedai.
"Dajal Ireng! Dapatkah kau
sebutkan sedikit tentang pendamping Malaikat Berdarah Biru yang katamu seorang
perempuan cantik itu?" tanya Ratu Sekar Langit tanpa menoleh.
"Dia mengenakan pakaian hitam dan ketat, sehingga...."
Dari sini Dajal Ireng tak
melanjutkan kata-katanya saat melihat
mata Ratu Sekar Langit mendelik tajam.
"Kau tak usah menceritakan bentuk tubuhnya! Aku ingin dengar ciri-cirinya!"
bentak Ratu Sekar Langit.
"Rambutnya panjang tergerai. Dan, masih muda...," lanjut Dajal Ireng.
"Mengenakan pakaian hitam, rambut panjang dan masih muda...."
Ratu Sekar Langit mengulangi
kata-kata Dajal Ireng dengan kening berkernyit, membentuk tiga kerutan kecil.
"Kau tak salah sebutkan ciri-ciri itu, Dajal Ireng"!" tanya Buyut Linggar Dipa,
seraya memandang keluar kedai juga.
"Tidak, Buyut! Karena aku sempat melihat sepak terjangnya, sewaktu mereka berdua
melabrak habis Perguruan Teratai Putih beberapa hari lalu!
Tidak sampai seperempat hari, mereka berdua telah membumi hanguskan perguruan
itu, sampai tak seorang pun tersisa!"
Mendengar keterangan Dajal Ireng, Buyut Linggar Dipa memalingkan wajahnya ke
arah Ratu Sekar Langit, seakan minta jawaban.
"Aku tidak bisa menduga, siapa gerangan perempuan itu, Buyut!" kata Ratu Sekar
Langit, seperti mengetahui arti tatapan Buyut Linggar Dipa.
Buyut Linggar Dipa tersenyum.
"Aku heran. Dan, hampir tak
percaya...!" gumam Buyut Linggar Dipa.
"Tentang apa, Buyut"!" tanya Ratu Sekar Langit cepat.
"Jika ciri-ciri yang disebutkan Dajal Ireng bisa dipercaya kebenaran-nya, maka
perempuan itu adalah seorang perempuan berkepandaian sangat tinggi.
Gelarnya, Selir Iblis! Namun aku tak habis pikir. Kalau memang dia, kenapa mesti
berbuat begitu" Padahal, dia adalah istri seorang tokoh yang
disegani dari jajaran tokoh golongan putih, bernama Ageng Panangkaran...!
Ada apa sebenarnya di balik semua ini"!" tanya Buyut Linggar Dipa, seperti untuk
dirinya sendiri.
"Kau tak usah terlalu memikirkan hal yang demikian itu, Buyut! Bukankah kau
pernah mengatakan, pikiran manusia adalah sesuatu yang tak bisa dijajaki.
Tidak sampai satu kejapan mata,
pikiran itu bisa berubah. Mungkin saja hati Selir Iblis terpaut pada Malaikat
Berdarah Biru. Lalu, mereka saling jatuh cinta. Kalau sudah soal cinta yang
bicara, kekuatan apa yang bisa membendungnya...?"
Sejenak Ratu Sekar Langit
menghentikan ucapannya.
"Bila demikian halnya, kita harus lebih waspada, Buyut! Jelas di balik rencana
besar Bidadari Telapak Setan, ada tujuan pribadi yang lebih besar!"
lanjut wanita itu, meletup-letup.
"Betul, Ratu! Dan merujuk pada hal itu, aku jadi teringat pada pemuda yang
sempat berhadapan dengan kita tempo hari. Aku memang baru pertama kali itu
bertemu dengannya. Namun, ada sesuatu yang membuatku sempat terkejut dan hampir
tak percaya. Sayang, waktu itu hanya kudiamkan saja...."
"Apa itu, Buyut"!" tanya Ratu Sekar Langit cepat.
"Tak bisa kupungkiri. Sebenarnya, pemuda itu mempunyai kepandaian
tinggi. Hanya saja, waktu itu dia tidak mengeluarkannya. Aku yakin itu!
Tapi, bukan hal itu yang membuatku terkejut, bahkan hampir tak mempercayai
penglihatanku sendiri. Setiap jurus pembukanya aku hampir bisa
mengenalinya. Karena jurus awalnya sama dengan jurus milik seorang tokoh yang
beberapa puluh tahun lalu aku pernah beberapa kali bertarung dengannya!" papar
orang tua itu. "Siapa orang itu...?" sela Dajal Ireng.
"Wong Agung dari Karang Langit!"
jawab Buyut Linggar Dipa singkat.
Mendengar nama Wong Agung disebut Buyut Linggar Dipa, mata Ratu Sekar Langit dan
Dajal Ireng terbeliak.
"Ratu! Dan kau, Dajal Ireng.
Mungkin kalian hanya dengar tentang Wong Agung dari Karang Langit itu.
Namun sebagai orang yang pernah
menjajal ketinggian ilmunya, tak dapat kuingkari kalau kedigdayaannya belum bisa
kujajari. Hanya saja, menurut kabar yang sekarang beredar di dunia persilatan,
Wong Agung telah binasa di tangan dua tokoh yang saat ini juga sudah tersohor.
Mereka adalah dua orang murid 'Manusia Titisan Iblis'
yang berjuluk Sepasang Iblis Pendulang Sukma. Jadi, aku sendiri sekarang masih
dibuat tak mengerti, mana yang benar tentang berita itu! Hanya saja satu hal.
Siapa pun pemuda itu, dia sangat berbahaya jika memang mulai menjejak dunia
persilatan. Barisan golongan putih akan memiliki seorang pandega yang mungkin
sukar dicari tandingnya! Namun, aku bicara begini bukannya takut! Siapa pun
orang itu, gerak langkah majunya akan kutahan dengan segenap kekuatan, sebelum
rencanaku mendirikan sebuah partai yang disegani dan tak tersaingi
terwujud. Bukankah begitu, Ratu...?"
Ratu Sekar Langit mengangguk
perlahan. "Bahkan Bidadari Telapak Setan, Malaikat Berdarah Biru, serta Selir Iblis,
akan kita singkirkan jika
mereka nanti tak bisa diajak bicara baik-baik untuk mendukung berdirinya partai
kita! Biarlah, sekarang
undangan Bidadari Telapak Setan kita sambut. Karena, tenaganya benar-benar
diperlukan jika partai kita telah berdiri kelak. Setelah rencana
Bidadari Telapak Setan berlangsung, kita akan ajak mereka bicara baik-baik. Jika
menolak, kita libas mereka sekalian biar tak jadi duri di
kemudian hari!" kata Ratu Sekar Langit, berapi-api.
Tak lama kemudian, wanita itu
berdiri. "Kita teruskan perjalanan. Waktu sisa kita, bisa dipakai untuk
berunding dengan Bidadari Telapak Setan...," ajak Ratu Sekar Langit.
Sesaat wanita cantik ini menga-
wasi seluruh ruangan, lalu melangkah menuju pintu. Sementara Buyut Linggar Dipa
bergerak mengikuti. Sedangkan Dajal Ireng agak belakangan, karena masih
melangkah mendekati orang tua pemilik kedai. Dilemparkannya beberapa keping uang
perak. "Sombong! Mentang-mentang dari
kaum persilatan, menganggap remeh orang lain!" umpat orang tua pemilik kedai
habis-habisan dalam hati, seraya membungkuk memunguti
kepingan uang perak yang tercecer.
*** Pendekar Mata Keranjang 108 yang
saat ini berada di samping sebelah rumah penduduk sambil mengintip
mengawasi Ratu Sekar Langit, Buyut Linggar Dipa, dan Dajal Ireng,
sebenarnya sudah mulai tak sabar
menunggu mereka keluar kedai. Namun, kini wajahnya kembali berseri, begitu
melihat kemunculan Ratu Sekar Langit.
Wanita itu tampak menebar pan-
dangan kesekeliling halaman kedai, lalu bergerak melangkah menuju kereta.
Sebelum bergerak masuk kereta, kembali pandangannya menyapu. Lantas, dengan
ringan tubuhnya melesat masuk ke dalam kereta.
Sepasang mata Aji terus mengawasi tanpa berkedip.
"Sontoloyo! Wajahnya benar-benar mengagumkan! Ditambah bentuk tubuhnya yang
aduhai. Hem..., betul-betul suatu keindahan tersendiri yang tak bisa dilewatkan
begitu saja...," kata batin pemuda itu sambil cengar-cengir dan usap-usap
janggutnya. Sepasang mata Pendekar Mata
Keranjang 108 lantas memperhatikan Buyut Linggar Dipa dan Dajal Ireng yang baru
keluar dari kedai dan
melangkah menuju kereta. Dengan
gerakan indah, kedua orang itu
meloncat ke bangku kusir dan duduk berdampingan. Sekali tangan orang tua ini
menyentak tali kekang, maka dua binatang itu bergerak dan melangkah menuju
pantai. Sesaat setelah kereta berderak,
Aji menarik napas dalam-dalam.
"Melihat arah kereta yang menuju pantai, berarti tak salah dugaanku.
Teluk Gonggong sudah tak jauh dari sini. Sekarang,
aku sudah dapat
menentukan tempatnya. Dan sebaiknya, aku menuju kedai itu sambil mengisi perut.
Siapa tahu, di sana aku dapat sedikit gambaran...."
Sambil bicara sendiri, Aji keluar dari tempat intaiannya. Sebentar
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipandangnya ke arah kereta. Sesaat setelah kereta itu tertelan belokan jalan
dan tak tampak lagi, baru
Pendekar Mata Keranjang 108 ini
bergegas menuju kedai.
Begitu masuk, pemuda yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang 108
ini langsung memilih dipojok paling samping. Sehingga dengan leluasa dari
tempatnya, ia dapat melihat halaman kedai.
"Ki, sediakan makan dan minum untukku...," ujar Aji disertai senyum tersungging
pada laki-laki pemilik kedai.
Dengan sedikit membungkuk sopan,
orang tua itu mengangguk dan berlalu membuat pesanan.
Pendekar Mata Keranjang 108
kembali mengedarkan pandangannya. Tak ada yang menarik perhatiannya. Lalu
tatapannya beralih pada pemilik kedai yang membawa pesanannya.
"Terima kasih, Ki...," ucap Aji setelah orang tua pemilik kedai meletakkan
pesanan di meja.
Orang tua itu menganggukkan
kepala dan tersenyum. Bukannya kembali, dia malah agak lama berdiri di samping
Aji. Bahkan seakan mengawasi dengan tatapan penuh selidik.
"Apa ada yang lucu dengan diriku, Ki...?" tanya Aji, heran saat pemilik kedai
memperhatikan dirinya.
Orang tua yang ditanya meng-
geleng. "Tidak! Tidak ada yang lucu pada dirimu, Den...," jawab pemilik kedai tergagap
dan terputus. "Namaku Aji...," sebut Aji, memperkenalkan diri saat pemilik kedai tampak
canggung. "Ya! Tidak ada yang lucu pada diri, Den Aji. Hanya saja, aku kadang-kadang
dibuat tak habis pikir tentang tingkah orang-orang yang datang ke sini. Ada yang
ramah dan sopan
sepertimu, tapi tak jarang pula ada yang berlaku urakan...."
"Aki tak usah panjang-panjang berpikir. Itulah kehidupan. Kalau tak ada yang
begitu-begitu, mana mungkin kita dapat membedakan yang baik dan buruk...?" ujar
Pendekar Mata Keranjang 108, sok menasihati.
Mendengar kata-kata Aji, sejenak
pemilik kedai itu diam termangu.
"Sial! Kenapa mulutku lancang menggurui orang tua...?" rutuk batin Aji ketika
melihat si pemilik kedai termangu. Pendekar Mata Keranjang 108
langsung menatap si pemilik kedai, dengan sinar mata penuh penyesalan.
"Ngg.... Maaf atas ucapanku yang sepertinya menggurui Aki...," ucap Aji hati-
hati. "Ah...!" seru pemilik kedai, seolah-olah terkejut. "Tidak apa, Den Aji. Justru
aku merasa dapat sedikit pelajaran dari seorang muda. Ng....
Kalau boleh tahu, hendak ke manakah tujuanmu...?"
Menuntut Balas 28 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Bara Diatas Singgasana 23
MALAIKAT BERDARAH BIRU Oleh Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
Dalam episode : Malaikat Berdarah Biru 128 hal.
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Pesisir Pantai Sendang Biru yang merupakan
bagian Teluk Gonggong
agaknya kali ini tak bersahabat. Curah hujan masih belum juga beranjak dari
langit yang menghitam. Itu pun masih ditingkahi deru ombak mengganas.
Sementara petir sesekali menyibak curahan hujan dari langit yang
demikian pekat, membuat suasana yang seharusnya baru beranjak dari tengah hari
menjadi gelap. Ketika kilat
menyinari bumi, sekilas terlihat satu sosok
bayangan berkelebat menuju
sebuah bangunan yang terdapat di Teluk Gonggong ini.
Begitu cepat bayangan itu
bergerak sehingga sebentar saja sudah tiba di depan bangunan yang ternyata
terbuat dan iratan-iratan pelepah pohon kelapa. Empat tiang bambu yang
ditancapkan sedemikian rupa ke dalam batu padas menjadi penopang bangunan itu,
hingga berada satu tombak di atas batu padas di sekitarnya.
Splash...! Jderrr...! Ketika kilat sekali lagi menjilat angkasa dengan sinarnya yang cukup terang
tampak jelas kalau bayangan itu adalah seorang pemuda berjubah toga warna merah
menyala. Tubuhnya kekar.
Kedua kaki dan tangannya tampak kokoh.
Alis mata dan kumisnya hitam lebat.
Rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda. Di telinga sebelah kiri
menggantung anting-anting kecil dari tembaga.
Sambil berdiri tegak, mata pemuda ini nyalang memandang ke arah bangunan tak
jauh di depannya. "Anak Agung!
Apakah kau itu yang di luar"!"
Baru saja bayangan itu hendak
melangkah, mendadak ia dengar suara bertanya dari dalam bangunan. Terdengar
berat dan menggema. Sehingga suara gempuran ombak yang berderak keras menghantam
batu karang di bawahnya, bagai tertelan.
Pemuda berjubah toga merah ini
melangkah mendekati bangunan.
"Benar, Guru! Aku telah selesai menjalankan perintahmu!" jawab pemuda berjubah
toga merah yang dipanggil Anak Agung.
Begitu selesai kata-katanya,
sepasang mata Anak Agung beranjak memandang ke arah pintu bangunan.
Hingga beberapa lama, tak juga ada suara atau sosok yang keluar. Kini mata
pemuda itu beralih ke tempat lain.
Tapi begitu berpaling, dari pintu bangunan yang terbuka mendadak melesat sebuah
bayangan. Setelah membuat
putaran sekali di udara, sosok
bayangan ini melayang turun. Namun di luar dugaan kaki kanannya meluncur cepat
ke arah Anak Agung yang masih tegak berdiri.
Mendapati serangan tak terduga,
Anak Agung membuang tubuhnya hingga rata dengan batu padas di bawahnya.
Wesss! Terjangan kaki sosok bayangan
yang disertai angin menggemuruh, lewat sedepa di atas tubuh Anak Agung.
Namun bayangan itu cepat pula
berputar. Tubuhnya kembali melesat dalam keadaan duduk dan kedua kaki lurus ke
depan. "Hiaaa...!"
Disertai bentakan membahana, kini bayangan itu tampak melayang deras bagai
terbang, satu tombak di atas batu padas.
Namun dengan sedikit mendongak,
Anak Agung cepat menjejakkan tumit kakinya ke batu cadas. Dan ketika sejengkal
lagi terjangan kaki lurus itu menggebrak, tubuhnya melesat ke atas melewati
lesatan sosok bayangan.
Setelah berputaran beberapa kali, Anak Agung mendarat manis dan kokoh di atas
batu padas. Sementara bayangan tadi sudah
pula mendarat dan langsung berbalik.
Telapak tangannya cepat dikatupkan dan diangkat ke atas kepala. Kemudian tiba-
tiba kedua tangannya, disentakkan
kedepan. Wesss...! Saat itu juga serangkum angin
dahsyat menderu disertai hawa panas.
Udara mendadak terang. Sedangkan
curahan hujan menyibak. Saat itu, gelombang warna hitam melarik cepat laksana
kilat menyambar ke arah Anak Agung!
Menyaksikan serangan dahsyat ini, Anak Agung menarik tangannya sejajar dada.
Lalu perlahan telapaknya dibuka, dan dihantamkan ke depan.
"Heaaa...!"
Wesss...! Angin sembab seketika menggebrak
keluar dari telapak tangan Anak Agung, memapaki serangan yang datang.
Blarrr! Beberapa gundukan batu padas yang banyak berserakan di sekitarnya pecah
berderak-derak. Bahkan berpentalan ke segala arah.
"Hi hi hi...!"
Baru saja suasana senyap mendadak terdengar suara tawa berderai. Suara tawa yang
datangnya dari sosok di depan Anak Agung.
"Bagus! Aku sangat gembira
melihat pukulan 'Serat Jiwa'-mu
sempurna tanpa cela!" susul bayangan itu, setelah tawanya berhenti.
Anak Agung menggerakkan kepalanya menunduk. Sepasang matanya menyorot ke
bawah, menekuri padas.
Sosok bayangan di depan Anak Agung ternyata seorang perempuan tua.
Pakaiannya merah panjang dengan
kembang-kembang putih. Sepasang matanya sayu, menjorok ke dalam rongga yang
kulit di sekitarnya telah menge-riput. Meski raut wajahnya telah
tersaput kerutan-kerutan, namun nampak cerah. Nenek ini memiliki rambut
panjang hitam lebat, disanggul ke atas kepala.
"Guru!" sebut Anak Agung begitu mengarahkan pandangannya ke depan, segera
didatangi perempuan tua itu.
Sampai di hadapan sang nenek, anak muda ini segera menjura.
Sang nenek mendongakkan kepala
memandang langit yang masih mencurah-kan hujan. Namun, tak setitik pun air hujan
membasahinya. Curahan hujan menyibak ke samping, bagai ada dinding pembatas di
atas kepalanya.
"Terima kasih, Guru! Ini semua karena kebaikanmu yang telah mewaris-kan seluruh
ilmumu padaku!" ucap Anak Agung.
Perempuan tua itu tertawa pan-
jang. Sehingga gigi-giginya yang masih utuh dan berwarna kemerahan kelihatan
berkilat-kilat.
Dalam rimba persilatan, nenek ini memang sudah tak asing lagi. Ia
dikenal dengan julukannya yang angker
Bidadari Telapak Setan! Orang rimba persilatan menjuluki demikian, karena selain
berkemampuan tinggi, nenek ini juga dikenal mempunyai sebuah pukulan andalan
yang bertumpu pada telapak tangan. Yaitu, pukulan 'Serat Jiwa'
Orang yang terkena pukulan ini tubuh luarnya memang tak menampakkan cedera.
Tapi bagian dalamnya akan mengalami kehancuran! Kalaupun dapat bertahan hidup,
maka jiwanya akan terguncang, alias gila.
Selama malang melintang dalam
rimba persilatan, tingkah Bidadari Telapak Setan memang ugal-ugalan.
Tak pandang dari golongan hitam
atau golongan putih, tokoh-tokoh
berkepandaian rendah atau tokoh-tokoh tingkat tinggi, pokoknya yang berani
berurusan dengannya akan dihabisi secara kejam! Hingga tak mustahil jika dirinya
digolongkan sebagai salah satu momok rimba persilatan.
Untuk melestarikan ilmunya, Bida-
dari Telapak Setan mengangkat seorang murid. Dan menurut kabar, muridnya itu
adalah salah seorang putra mahkota sebuah kerajaan di Pulau Bali yang
tersingkir. Ia terlahir dengan nama Anak Agung Gede Mantra.
Dan kini, Anak Agung yang diberi
julukan oleh nenek itu sebagai
Malaikat Berdarah Biru, telah pula menapak jejaknya. Bahkan sang murid
kini telah melangkah untuk menjejak puncak rimba persilatan.
Setelah menyelesaikan perintah
Bidadari Telapak Setan dalam menyem-purnakan pukulan jurus 'Serat Jiwa' di laut
selatan, Anak Agung alias
Malaikat Berdarah Biru kini telah kembali dengan segala kemampuannya.
"Hm.... Tak sia-sia aku membawamu dari seberang laut! Aku yakin, tak lama lagi
kau akan menjadi dambaanku selama ini. Mempunyai seorang murid yang
kedigdayaannya tanpa tanding.
Dan, seorang murid yang menjadi penguasa rimba persilatan!" oceh Bidadari
Telapak Setan seraya merapikan
sanggulnya. "Hal itu tak usah merisaukanmu, Guru. Dan aku pun tak akan mengecewakanmu! Saat
ini, siapa yang berani berurusan dengan Malaikat Berdarah Biru murid Bidadari
Telapak Setan"
Rimba persilatan tinggal selangkah lagi akan berada dalam genggamanku!
Bahkan, aku sudah tak sabar lagi untuk meraih mahkota kerajaan yang lepas dari
tanganku...!" sambut Malaikat Berdarah Biru dengan nada meletup-letup. Matanya
menatap tak kedip
kearah Bidadari Telapak Setan.
"Tak salah, Muridku! Aku juga begitu senang mendengar kata-katamu yang
membesarkan hati! Kini siapa yang sanggup menandingi Malaikat Berdarah
Biru"! Namun, kurasa saat ini masih ada sedikit ganjalan. Dan jika tak lekas
disingkirkan, tidak mustahil akan menjadi batu sandungan bagi
jalanmu menggapai singgasana raja rimba persilatan! Kau tentunya sudah tahu,
muridku!" tandas Bidadari Telapak Setan.
Sejenak Malaikat Berdarah Biru
diam beberapa lama.
"Apakah yang Guru maksud adalah seorang yang baru muncul di kawasan timur" Aku
memang sudah mendengarnya!
Apakah Guru masih menyangsikan
kehebatanku..."!" tanya Malaikat Berdarah Biru, berapi-api.
Bidadari Telapak Setan tak segera menjawab. Bahkan tubuhnya berbalik dan
berkelebat masuk bangunan gubuk.
Sementara Malaikat Berdarah Biru
menyusul. "Muridku...!" panggil Bidadari Telapak Setan setelah berada dalam gubuk dan
duduk berhadap-hadapan
dengan Malaikat Berdarah Biru. "Aku tidak menyangsikan kehebatanmu. Namun kabar
yang santer terdengar, manusia yang berjuluk Pendekar Mata Keranjang itu telah
membuat Sepasang Iblis
Pendulang Sukma pontang-panting.
Padahal kita tahu, dengan Kitab Dua Belas Titisan Iblis, Sepasang Iblis
Pendulang Sukma termasuk orang yang sulit dicari tandingnya. Kau harus
pikirkan itu!"
Sejenak Malaikat Berdarah Biru
tercengang. Namun raut wajahnya berubah cerah menutupi rasa ketercengangannya.
"Aku telah memiliki jurus 'Serat Jiwa'. Lantas siapa yang bisa mengalahkan
aku...?" kata Malaikat Berdarah Biru sambil mengepalkan tangannya.
"Itu betul. Tapi, apakah kau telah tahu kalau pendekar itu mempunyai sebuah
kipas sakti ciptaan Empu Jaladara"!"
"Aku tahu itu! Bahkan aku akan merebutnya!" jawab Malaikat Berdarah Biru mantap.
"Akan kucari dia!"
"Ha.... Hik.... Hik...!"
Bidadari Telapak Setan menyam-
butinya dengan tawa aneh.
"Itu perjalanan panjang yang belum tentu hasilnya!" lanjut perempuan tua itu.
"Hmm.... Lantas, apakah Guru punya gagasan lain..."!" tanya Anak Agung.
Bidadari Telapak Setan kembali
tertawa. "Kau tak usah mencari Pendekar Mata Keranjang! Dialah yang akan
datang sendiri!"
"Ha... Rupanya Guru mempunyai gagasan bagus!" gumam Malaikat Berdarah Biru, saat
Bidadari Telapak Setan menghentikan kata-katanya.
"Akan kusebar fitnah, baik di antara golongan putih atau golongan hitam.
Lalu, akan kuatur sebuah
pertemuan di Teluk Gonggong! Aku
yakin, manusia itu akan muncul di sini!" lanjut Bidadari Telapak Setan lagi,
tanpa memandang pada Malaikat Berdarah Biru.
Mendengar kata-kata gurunya,
Malaikat Berdarah Biru menarik napas dalam-dalam. Lantas bibirnya tersenyum
dingin. "Gagasan menarik. Lantas, apa Guru telah menentukan saat bersejarah itu..."!"
tanya Anak Agung, semakin penasaran.
"Malam purnama bulan ketiga!"
jawab Bidadari Telapak Setan. "Dan jika golongan putih telah tersungkur, orang-
orang golongan hitam saat itu juga kita habisi! Kita akan buat Teluk Gonggong
sebagai arena bangkai tokoh-tokoh persilatan! Dengan demikian, jalanmu menuju
penguasa tunggal rimba persilatan akan terpentang tanpa
penghalang!"
"Ah! Guru masih juga mengutamakan kepentinganku. Terima kasih, Guru!
Bila rencana ini berlangsung tanpa hambatan, aku tak akan mengecewakanmu!
Segala kehendakmu akan kupenuhi...!
Kau tinggal bilang...!" tekad Anak Agung.
Selesai berkata, Malaikat Berda-
rah Biru menjura. Namun wajahnya
tampak rasa keterpaksaan. Sementara Bidadari Telapak Setan senyum-senyum.
"Kau memang murid yang tahu balas budi. Dan tentunya, kau tahu apa yang menjadi
kesukaanku!" puji Bidadari Telapak Setan.
Malaikat Berdarah Biru mengangguk perlahan.
"Guru tak perlu khawatir kalau hanya untuk mencari pemuda-pemuda. Aku akan
carikan untukmu yang bertubuh kekar, berkumis lebat, dan berbulu dada...," ujar
Anak Agung. "Ah...!" desah Bidadari Telapak Setan sambil sedikit melengos. "Kalau yang macam
begitu, aku sudah sering mencicipi. Sesekali, aku ingin
merasakan yang masih hijau dan masih bau kencur! Selain bisa berbasah-basah
keringat, kata orang..., yang hijau-hijau bisa jadi obat awet muda...."
Selesai berkata Bidadari Telapak
Setan tertawa ngikik.
"Sekarang harap
Guru memberi tahu, apa yang harus kulakukan untuk mempercepat rencana besar itu...!"
pinta Anak Agung.
Bidadari Telapak Setan serentak
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghentikan tawanya. Lalu matanya memandang tajam ke arah Malaikat
Berdarah Biru. "Kau.... Pergilah ke Pucang Anom.
Temuilah Selir Iblis. Undang dia ke
sini untuk bergabung bersama kita.
Sebagai bekas istri seorang pendekar dari golongan putih, mungkin banyak
keterangan yang bisa dikorek dari mulutnya!" ujar perempuan tua itu.
Beberapa lama Malaikat Berdarah
Biru terdiam. Wajahnya menampakkan rasa bim-
bang. Bahkan kepalanya tampak
menggeleng pelan.
"Menurut cerita yang pernah
kudengar, Selir Iblis adalah seorang tokoh keras kepala yang tak mudah
dipengaruhi. Apakah..."
"Satu hal mungkin
yang kau lupakan, Muridku!" potong Bidadari Telapak Setan. "Selain watak yang telah kau
sebutkan tadi, kesukaannya mungkin bisa mengalahkan segalanya.
Dia paling suka bocah-bocah muda yang berbadan kekar dan berotot! Gunakanlah
kelemahannya. Mengenai hal yang
demikian itu, kukira kau lebih
mengerti caranya! Ingat, Anak Agung!
Perjuangan apa pun pasti membutuhkan pengorbanan...!"
Mendengar pemaparan Bidadari
Telapak Setan, Malaikat Berdarah Biru menarik napas dalam-dalam. Pandangannya
dibuang jauh keluar gubuk.
Sedangkan Bidadari Telapak Setan
pun juga berpaling. Dirapikannya
sanggul rambutnya sambil tersenyum.
"Aku tak ingin melihat seorang
murid yang mengatasi persoalan sepele saja sudah kalang kabut! Betapa
tololnya! Namun aku yakin, kelak jika kau telah bertemu Selir Iblis,
segalanya akan berubah!" kata Bidadari Telapak Setan, dengan sedikit meng-goda.
Sejenak Bidadari Telapak Setan
menghentikan bicaranya. Kepalanya tetap tak bergeming, memandang ke arah lain.
"Hujan telah reda. Saatnya bagimu memulai perjalanan. Ingat, Anak Agung!
Setiap langkah, harus diperhitungkan matang-matang. Gunakan segala cara untuk
menyelamatkan selembar nyawa.
Jika tidak, singgasana sang penguasa tunggal rimba persilatan akan lepas dari
cengkeramanmu! Dan, satu lagi.
Bila kau kembali, bawakan oleh-oleh untuk sekadar menepis dinginnya malam dan
pelepas dahaga...."
Selesai berkata, Bidadari Telapak Setan kembali
tertawa. Sementara,
sepasang mata Malaikat Berdarah Biru berkilat membeliak. Mulutnya mengatup.
"Sudah tua bangka masih juga doyan daun muda! Seandainya tak ada rencana besar
ini, aku tak sudi
menuruti permintaan gila ini!" umpat Anak Agung dalam hati.
Tak menunggu lama lagi, Malaikat
Berdarah Biru berkelebat keluar dari gubuk. Lantas tubuhnya melesat
diiringi senyum dan anggukan kepala Bidadari Telapak Setan.
*** Setelah menempuh perjalanan dua
hari dua malam, Malaikat Berdarah Biru tiba di kawasan Hutan Pucang Anom.
Ketika mulai memasuki hutan belantara yang masih jarang dirambah manusia ini,
langkahnya terlihat pelan-pelan.
Dan ketika sampai di tengah hutan, tepatnya di depan sebuah pohon besar dan
tinggi, langkahnya berhenti.
Untuk beberapa saat, Malaikat
Berdarah Biru mengawasi pohon besar dan tinggi. Ia seakan tak percaya dengan
penglihatannya. Bukan karena besar dan tingginya pohon yang membuat hatinya
bertanya-tanya heran. Tapi, ternyata pohon itu tumbuh tanpa
dedaunan...! Pohon itu hanya ditumbuhi dua dahan yang tidak begitu besar, malah
sudah tampak mengering! Namun yang membikin mata terbeliak, di dahan yang tampak
mengering menggandul
sebuah rumah gubuk dari jerami yang hanya diikat begitu saja dengan seutas tali!
"Hm..... Rumah yang aneh! Apakah penghuninya juga aneh?" gumam Malaikat Berdarah
Biru. Sepasang matanya terus berputar liar, dan berujung pada rumah gubuk jerami
yang pintu dan jendelanya
tampak tertutup.
Selagi diam sambil mengawasi,
mendadak pemuda itu diam terpaku. Ekor matanya melirik tajam. Dan telinganya
tampak tertarik ke belakang.
"Hm.... Ada orang yang mengawa-siku! Tapi..., tidak di rumah itu. Aku yakin, dia
memiliki kepandaian tinggi.
Karena, aku tidak bisa menentukan di mana dia berada! Aku harus waspada...!"
batin Malaikat Berdarah Biru ini.
Namun hingga agak lama ditunggu,
tak ada tanda-tanda sang pengintai menampakkan diri.
"Siapa pun adanya kau! Tak usah berlaku pengecut! Tampakkan dirimu!
Aku tahu, kau ada di sekitar sini!"
teriak Anak Agung.
Suara Pemuda berjuluk Malaikat
Berdarah Biru ini membahana, seakan menggugah sunyi belantara. Sejenak senyap.
Tinggal gema suara Anak Agung yang menyeruak dan menerabas pohon-pohon seantero
belantara. Namun keheningan itu hanya
berjalan sesaat. Sejenak kemudian....
"Hi.. hi... hi...!"
Terdengar suara tawa merdu. Dan
sebelum suara tawa itu lenyap, semak belukar lima tombak di depan Malaikat
Berdarah Biru terkuak.
Anak Agung terkejut. Namun
secepat itu pula perasaannya terkua-
sai. Matanya segera nyalang mempe-hatikan sesosok bayangan melesat dari semak
belukar. Dan tahu-tahu di depan Malaikat Berdarah Biru telah berdiri tegak
sesosok tubuh sejauh lima
langkah. Sosok bayangan itu ternyata
seorang gadis cantik berpakaian warna hitam panjang dan ketat. Pakaian
bagian atas tepatnya di bagian dada dibuat sedemikian rupa, sehingga
belahan dadanya membuat celah sempit dari dua bukit yang membusung meng-giurkan.
Sementara pakaian bagian bawah, di bagian depan dibelah hingga lutut. Sehingga
membuat sepasang
kakinya yang berkulit putih mulus tersembul jelas. Pinggulnya yang besar dan
tampak menjanjikan, mata digoyang sedikit. Sementara bibirnya yang merah
setengah terbuka.
Setengah memejam, mata gadis ini berkilatan menatap Malaikat Berdarah Biru.
Sejenak Anak Agung terkesima.
Belum habis rasa terpesonanya tiba-tiba....
"Cepat katakan, siapa dirimu!
Dan, apa tujuanmu!" bentak gadis itu, ketus.
Malaikat Berdarah Biru tergagap.
Tapi, cepat mampu menguasai diri.
"Harap kau tak salah paham. Aku ke sini dengan niat baik! Mengenai
aku, aku dikenal dengan julukan
Malaikat Berdarah Biru. Dan jika kau masih tak mengenalku, kau tentunya mengenai
Bidadari Telapak Setan!
Dialah guruku!"
Sambil berkata Malaikat Berdarah
Biru memandang tak berkedip. Napasnya berhembus panjang-panjang. Sementara
jakunnya bergerak turun naik.
"Uhhh! Jika aku tahu begini
keadaannya...," batin Anak Agung.
"Hemm.... Gelar bagus...," puji gadis itu sambil tersenyum dan
anggukan kepala. "Sekarang katakan, apa tujuanmu datang ke tempatku!"
Sambil berkata, gadis ini membu-
sungkan dadanya, membuat mata Malaikat Berdarah Biru mendelik. Pandangannya
terus menjilati dada dan pinggul gadis itu berganti-ganti.
"Kedatanganku dengan salam dan pesan dari Bidadari Telapak Setan!"
jawab Anak Agung.
"Katakan saja, apa pesannya...!"
sahut gadis ini cepat.
"Kau tentunya telah mendengar tentang seseorang yang baru muncul di kawasan
timur. Dan dia mengaku sebagai murid Wong Agung...," jelas Anak Agung lagi.
"Hm.... Aku telah dengar itu!
Bahkan aku mungkin lebih tahu daripada kau dan gurumu!" tukas sang gadis dengan
mata menyorot tajam.
Malaikat Berdarah Biru mengangguk perlahan sambil tersenyum.
"Jahanam keparat! Seandainya aku telah mereguk kenikmatan tubuhmu dan tak ada
urusan menyangkut masa depan-ku, sudah kusumpal mulutmu!"
Benak kotor Malaikat Berdarah
Biru dirasuki sebuah kenikmatan dan keinginan. Dan anak muda ini jadi merutuk
dalam hati. "Aku mengerti, ngg...," kata Anak Agung, terputus.
"Orang menjuluki aku Selir
Iblis!" potong sang gadis tatkala melihat pemuda ini kebingungan dan canggung
memanggilnya. "Aku mengerti, Selir Iblis!
Kedatanganku hanya menyampaikan pesan.
Mengenai kau nanti memenuhi atau
tidak, itu persoalan lain. Dan itu bisa diatur!"
Gadis yang bergelar sebagai Selir Iblis melengos, hingga tubuhnya berputar
sedikit. Hal ini membikin mata dan napas Malaikat Berdarah Biru
tambah bekerja tak beraturan. Karena dari arah samping, dada Selir Iblis tampak
begitu menggemaskan.
"Malaikat Berdarah Biru! Katakan saja! Tapi jangan coba-coba mempenga-ruhiku!
Aku tak sudi diperalat orang!"
ujar Selir Iblis bernada agak ketus.
"Kau jangan terburu-buru menduga!" tukas Malaikat Berdarah Biru.
"Guru mengundangmu datang ke Teluk Gonggong. Ia mempunyai rencana besar.
Dan bila rencananya berhasil, tentunya kau akan mendapatkan imbalan besar!"
Sejenak bola mata Selir Iblis
liar menatap Malaikat Berdarah Biru.
"Rencana apa"!"
"Menumpas tokoh-tokoh silat golongan putih!"
"Apakah didalamnya juga termasuk seorang pemuda bergelar Pendekar Mata
Keranjang..."!"
Mendengar pertanyaan Selir Iblis, sejenak Malaikat Berdarah Biru terdiam.
"Rupanya dia juga menginginkan kipas itu!" kata batin Malaikat Berdarah Biru.
Anak Agung menatap tajam-tajam
Selir Iblis. "Apakah kau mengenal Pendekar Mata Keranjang..."!" tanya pemuda ini.
"Tidak hanya mengenal. Tapi, aku punya urusan dengannya!" sahut Selir Iblis
mantap. "Urusan...?" ulang Malaikat Berdarah Biru. "Urusan apa...?"
"Ageng Panangkaran, bekas suami ku, dengan sembrono telah memberikan lembaran-
lembaran kulit pada pendekar itu! Padahal, aku rela diambil istri karena memang
mengincar lembaran kulit itu!" jelas Selir Iblis.
Anak Agung manggut-manggut dengan
benak dipenuhi dugaan-dugaan.
"Apakah lembaran kulit yang saat ini menjadi rebutan tokoh rimba
persilatan itu" Ah, tapi aku tak
tertarik dengan lembaran kulit itu.
Aku hanya menginginkan kipasnya!
Dan..., hhhmmm.... Jadi perempuan ini mempunyai persoalan tersendiri dengan
pendekar itu. Ini bisa kugunakan untuk mempercepat kematiannya! Perempuan ini
tak diragukan lagi ketangguhannya. Dan bukan tak mungkin dia dapat menewaskan
pendekar itu!" kata hati Malaikat Berdarah Biru.
Kembali Anak Agung menatap Selir
Iblis dengan senyum manis.
"Ketahuilah, rencana ini dibuat justru untuk menarik pendekar itu datang ke
Teluk Gonggong...!" kata Malaikat Berdarah Biru.
Selir Iblis mengangguk.
"Hm.... Jika demikian halnya, baiklah! Aku akan datang ke Teluk Gonggong!
Tapi..., aku punya permintaan sebelum berangkat!"
"Katakan permintaanmu!" ujar Malaikat Berdarah Biru.
"Hi... hi... hi...!"
Mendadak Selir Iblis tertawa,
membuat kening Malaikat Berdarah Biru berkerut heran. Walaupun, sudah bisa
menduga apa yang bakal dimintanya.
"Kau tahu, bertahun lamanya aku tinggal di tengah belantara yang
sunyi. Bisa dibayangkan, bagaimana rasanya malam-malam dingin sendirian di
tengah hutan. Sebelum aku berangkat memenuhi undangan gurumu, hm.... Aku ingin
malam ini merasakan sedikit kehangatan. Ah, tentunya kau mengerti yang kumaksud
bukan...?" jelas Selir Iblis.
Sepasang mata Malaikat Berdarah
Biru berkilat-kilat membeliak. Bibirnya menyungging seulas senyum, lalu
melangkah mendekati Selir Iblis.
"Jika itu permintaanmu, jangankan hanya satu malam. Sepuluh hari pun akan
kupenuhi...!" sahut Anak Agung, mantap.
Selir Iblis menggeliatkan tubuh-
nya saat mendengar kata-kata Malaikat Berdarah Biru. Sehingga membuat dadanya
lebih membusung kencang. Sementara pakaian bagian bawahnya tertarik ke atas,
membuat kulit pahanya terlihat jelas.
Beberapa saat Malaikat Berdarah
Biru tegak dengan pandangan terkesima.
"Berarti kau setuju dengan
tawaranku. Tunggu apa lagi...?" Selir Iblis menegur seraya tersenyum.
Malaikat Berdarah Biru segera
gerakkan tangannya. Dan tahu-tahu, Selir Iblis telah terbopong. Lalu dengan
sekali jejak, tubuhnya bersama tubuh Selir Iblis melayang ke rumah yang
menggantung. Disertai derai tawa, Malaikat
Berdarah Biru menyentilkan kaki
kirinya ke pintu rumah gubuk membuat pintu itu terbuka. Begitu masuk, dari balik
pintu kaki kanannya menyapu ke belakang. Dan..., bleppp! Pintu rumah gubuk
bergerak menutup.
Namun Malaikat Berdarah Biru tak
melihat kalau wajah gadis jelita yang dibopongnya saat ini telah berubah menjadi
seorang nenek tua dengan pipi kempot dan dagu kendor. Sementara, kedua matanya
sayu dan bibirnya
kehitaman. Dalam satu kejapan, nenek itu
tampak tersenyum dengan mata sayunya yang terpejam-pejam.
* * * 2 Di padang rumput
luas yang dikelilingi semak belukar, Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108
duduk bersandarkan sebuah pohon,
melindungi dirinya dari sengatan
matahari yang panas menyengat.
"Meski menentukan tempat serta mendapatkan kitab dan kipas yang kedua merupakan
perjalanan berat, aku tidak boleh lengah. Apalagi, putus asa.
Namun..., sebenarnya aku masih ingin
berlama-lama tinggal di Lem-bah Pring Sewu bersama Ajeng Roro. Hm..., gadis itu
hampir setiap kali tak bisa lenyap dari setiap langkahku. Tapi..., apa boleh
buat" Tugaslah yang mengharuskan untuk sementara waktu aku harus
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memendam rasa rindu...," gumam Aji pada diri sendiri. Hatinya sejenak bergulat
dengan kegelisahan.
Namun belum tuntas batinnya
berucap, dari ujung jalan tempat Aji muncul, lamat-lamat terdengar derap kaki
kuda menghentak ditingkahi
gemeretak roda kereta.
"Ada orang lewat! Lebih baik aku menyelinap...."
Aji segera berkelebat, menyelinap masuk di balik rimbunan semak belukar yang
merangas dan lebat di sekitar hamparan rumput.
Tak lama, dari ujung jalan muncul sebuah kereta tertutup yang ditarik dua ekor
kuda. Kusirnya adalah seorang laki-laki bertubuh telah melengkung ke depan.
Wajahnya telah tersaput kerutan, menandakan kalau usianya telah lanjut.
Rambutnya panjang dan sudah memutih. Demikian pula jenggotnya.
Tangan kanannya memegang sebuah
tongkat kayu yang ujungnya bercabang dua.
Memasuki hamparan rumput, menda-
dak kusir kereta menarik tali kekang kudanya. Maka seketika sepasang kuda
itu serentak menghentikan langkahnya.
Cukup lama juga kusir tua ini tak menggerakkan kembali tangannya untuk menghela
kudanya. Sepasang mata kela-bunya malah memandang tajam ke depan.
Melihat gerak-geriknya, tampaknya dia menunggu.
Memang, Tak lama berselang, dari arah berlawanan muncul seorang penunggang kuda.
Tepat sepuluh tombak lurus di depan kereta kuda, penunggang kuda itu
menghentikan tunggangannya.
Ternyata penunggang kuda itu
adalah pemuda berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala juga berwarna
hitam. Tubuhnya kekar dan berotot.
Raut wajahnya hanya tampak sebagian, karena tertutup brewok dan kumis yang
tampak terawat rapi. Namun, tampangnya tidak menampakkan garis keramahan.
"Tak ada hujan tak ada angin, kenapa kau menghadang perjalananku, Tua Bangka"!"
bentak pemuda itu dengan sepasang mata tak berkedip memandang lurus ke depan.
Sang kusir kereta tak menjawab.
Bahkan malah menggerakkan tongkat kayu di tangannya ke depan.
Wuuut! Seketika gelombang angin deras
meluruk ke depan, membuat pemuda itu mendelik. Sambil berseru keras, ia meloncat
menghindar. Namun, tak demikian dengan kuda tunggangannya
yang tak bisa menghindar.
Splash! "Hieeekh...!"
Disertai ringkikan keras,
binatang itu kontan terlempar dan terbanting ke tanah tak bergerak lagi.
Keheningan segera menyambut. Dua pasang mata saling bertatap. Namun mata pemuda
yang kini berdiri tegak lima tombak di depan kusir kereta tampak menyengal.
Mulutnya menyeringai buas membawa maut. Sementara kusir tua itu memandang dengan
seulas senyum mengejek. Bahkan tak lama kemudian tawa kekehnya meledak.
"Dajal Ireng! Akhirnya kau
kutemui di sini...!" kata kusir tua itu dengan suara berat, setelah
tawanya berhenti.
Pemuda yang dipanggil Dajal Ireng sedikit terkejut, mendengar namanya disebut.
"Phuih! Jahanam tua! Siapa kau"!"
bentak Dajal Ireng setelah meludah untuk menuangkan kegeramannya. Matanya
menyorot tajam disertai dagu mengembang.
Tak juga ada jawaban. Sedangkan
Dajal Ireng segera menarik kedua
tangannya, lalu memutarnya kebelakang.
Kumisnya bergerak-gerak, tanda mulut dibaliknya komat-kamit. Sesaat kemudian,
tangannya telah lurus di atas kepala dan siap disentakkan ke depan.
Kusir tua itu rupanya tahu, apa
yang akan diperbuat Dajal Ireng.
Segera telapak tangannya didorong tepat ketika pemuda itu juga
menyentakkan tangannya ke depan.
Wesss! Blap! Seakan tak dapat dipercaya, tiba-
tiba gelombang angin yang keluar dari tangan Dajal Ireng memantul balik bagai
membentur dinding kasatmata.
Karena tak menduga, pemuda itu
terlambat menghindar. Akibatnya....
Derrr...! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh
pemuda itu terjungkal disertai pekik kesakitan. Dan keras sekali pantatnya
mencium tanah, begitu jatuh terduduk.
Disertai dengusan keras Dajal
Ireng berusaha bangkit. Matanya
berkilatan, memancarkan kemarahan.
Namun belum lagi dia melancarkan
serangan kembali....
"Ki Buyut! Waktu kita terbatas.
Cepat katakan padanya, siapa kita!
Agar bangsat itu tahu adat!"
Mendadak terdengar suara dari
dalam kereta yang tertutup. Dan
sepertinya suara seorang perempuan.
Kakek kusir itu membusungkan
dadanya. Sehingga tubuhnya yang
bungkuk nampak dipaksa lurus tegak.
Tongkatnya diputar-putar, seperti
hendak memamerkan kelihaiannya.
"Dengar, Dajal Ireng! Aku Buyut Linggar Dipa. Dan tentunya kau telah tahu, siapa
yang ada di dalam kereta!"
ujar kusir tua yang mengaku bernama Buyut Linggar Dipa.
Mendengar penjelasan orang tua di depannya, Dajal Ireng kontan terkejut.
Raut wajahnya berubah pucat pasi.
Sekejap itu juga, tubuhnya melesat ke depan dengan sekali jejak. Satu tombak di
samping bawah Buyut Linggar Dipa, Dajal
Ireng menjatuhkan diri dan
menjura. "Mohon ampun, Ki Buyut. Selama ini aku yang muda ini hanya mendengar namamu.
Namun, belum pernah menge-nalimu! Sekali lagi harap maafkan tingkahku tadi yang
tidak tahu adat...," ucap Dajal Ireng.
Buyut Linggar Dipa diam sesaat.
Sepasang matanya menatap dengan
sedikit membulat. Lalu, kepalanya mengangguk. Namun mendadak terdengar
kekehannya menyeruak, dengan kepala menengadah memandang langit.
"Dajal Ireng! Seperti tadi kau dengar, waktu kami terbatas. Katakan saja, akan
ke mana kau sebenarnya"!"
susul Buyut Linggar Dipa.
Dajal Ireng mengangkat kepalanya.
Namun tetap saja matanya tak berani memandang laki-laki tua itu.
"Aku mendapat undangan dari
Bidadari Telapak Setan untuk ber-
kunjung ke tempatnya...," sahut Dajal Ireng, datar.
"Hm.... Bila benar demikian, berarti kabar yang tersiar bahwa
Bidadari Telapak Setan punya perhelatan besar itu tidak omongan kosong belaka.
Dapatkah kau jelaskan, apa maksud sebenarnya undangan itu"!"
tanya Buyut Linggar
Dipa dengan wajahnya kembali menatap Dajal Ireng.
"Bidadari Telapak Setan merenca-nakan suatu peristiwa besar yang akan membuat
dunia persilatan guncang...!"
jelas Dajal Ireng.
"Rencana apa"!"
Kali ini terdengar suara bernada
pertanyaan itu berasal dari dalam kereta. Sangat merdu, namun nadanya ketus.
Dajal Ireng menyeringai seraya
menggeser tubuhnya ke belakang.
"Bidadari Telapak Setan ingin menjadikan Teluk Gonggong sebagai kubangan darah
dan bangkai tokoh-tokoh persilatan golongan putih! Dan jika hal itu terjadi,
secara tak langsung siapa pun yang akan tampil menjadi penguasa rimba
persilatan, yang pasti dari golongan kita!" jawab pemuda ini seraya bangkit.
"Hm.... Rencana besar dan bagus!"
Terdengar suara pujian dari dalam kereta.
Sementara Aji dalam persembunyian nya kontan terbelalak. Mulutnya
menganga, menciptakan gua besar bagi seekor lalat.
"Gila! Rencana ugal-ugalan dan edan! Rimba persilatan akan geger jika hal itu
benar-benar berlangsung. Ini tidak boleh terjadi! Hm.... Siapa gerangan Bidadari
Telapak Setan si pembuat ulah gila ini" Rupanya makin banyak tokoh yang belum
kukenal dalam arena persilatan, telah bermunculan.
Bahkan membuat tingkah aneh-aneh yang condong berbahaya...! Aku akan
mengorek keterangan dari mereka!
Tapi...." *** Belum habis Aji membatin, men-
dadak sebuah bayangan berkelebat
menerabas semak belukar tempat
persembunyian Aji. Dan tahu-tahu empat langkah di tengah semak belukar tepat di
depan murid Wong Agung, sosok itu mengeram!
Aji kontan tercekat, tatkala
mendapati kakek bungkuk alias Buyut Linggar Dipa telah berdiri tegak
dengan mata menyorot tajam. Cepat pemuda itu hendak bergerak bangkit.
Namun.... "Bangsat kecil! Apa kerjamu di sini"! Beraninya kau memata-matai
kami"! Siapa kau..."!" bentak Buyut Linggar Dipa sambil membaling-balingkan
tongkatnya. Wesss...! Saat itu juga, serangkum angin
deras berputar-putar dengan pusaran tak putus-putus menggebrak mengancam
keselamatan Aji. Seketika semak
belukar di sekitarnya terbabat pupus sampai ke akar-akarnya.
Melihat hal ini pemuda berjuluk
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melesat ke atas. Setelah membuat
putaran beberapa kali tubuhnya telah kembali luruh, lalu menyelinap hilang di
balik semak belukar.
Mata kelabu Buyut Linggar Dipa
mencari-cari, namun sosok Pendekar Mata Keranjang tak juga ditemukannya.
Padahal hatinya sudah amat geram, melihat serangannya gagal. Dan kini, pemuda
itu mempermainkannya. Maka segera laki-laki tua ini meloncat sambil mengeluarkan
seruan keras. Tongkatnya langsung ditusukkan ke semak belukar, tempat Aji tadi
menghilang. Tap! Namun mendadak tusukan tongkat
Buyut Linggar Dipa bagai tertahan.
Seketika, terjadi adu kekuatan saling menahan hingga beberapa saat. Tapi, tiba-
tiba tanpa diduga Buyut Linggar Dipa menjejakkan kakinya. Begitu
tubuhnya melayang dengan tongkat masih menusuk ke bawah, tangannya pun cepat
disentakkan ke bawah.
Bret! Brettt! Namun serangan itu hanya
menyambar tempat kosong, karena sosok Pendekar Mata Keranjang telah melesat ke
udara. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang turun mendarat di atas tanah.
"Keparat!" dengus Buyut Linggar Dipa sambil loncat balik. Lalu,
kakinya mendarat empuk satu tombak di depan sosok Pendekar Mata Keranjang yang
baru saja mendarat.
Tanpa bicara lagi, Buyut Linggar
Dipa segera mengatupkan tangannya.
Tongkatnya yang terjepit diantara katupan kedua tangannya, siap disentakkan
lurus ke depan. Namun belum sampai gerakan tangannya menyentak, Aji sudah
membentangkan kedua tangannya.
"Tahan!" seru Aji sambil mundur dua tindak ke belakang.
Senyum dikulum tampak menghias
wajahnya. Buyut Linggar Dipa cepat menghentikan gerakan. Namun tangan kanannya,
tetap memutar-mutar tongkat, kemudian berhenti dalam keadaan
menjurus ke depan.
"Ki.... Mari kita bicara baik-baik!" ajak Aji, tenang.
"Buyut! Tak perlu berlama-lama meladeni bocah yang berani memata-
matai kita. Bunuh!"
Mendadak terdengar suara perem-
puan bernada memerintah dari dalam kereta.
Untuk beberapa saat, Buyut
Linggar Dipa tegak mengawasi tak
berkedip. Sementara Dajal Ireng
memandang sebentar, lantas berpaling dan meludah ke tanah.
"Bocah! Kau dengar perintah tadi, bukan"! Hem.... Aku masih akan
mengampuni nyawamu. Tapi, jawab dengan jujur pertanyaanku! Siapa kau! Dan apa
perlumu mendekam memata-matai
kami..."!" tanya Dajal Ireng, membentak.
"Namaku Aji. Aji Saputra!" kata Aji sambil tersenyum. "Dan kuharap, Ki Buyut
tidak terburu-buru salah sangka.
Sungguh, aku tidak memata-matai
kalian! Aku hanyalah seorang pengelana jalanan yang tak ada juntrungan-nya...!"
Ketika Aji bicara, mendadak diam-
diam Dajal Ireng menarik tangannya ke belakang. Sebentar tangannya diputar, lalu
disentakkan ke arah Aji.
"Hih!"
Wesss...! Seketika selarik gelombang warna
hitam melesat bergulung-gulung ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Pengecut licik!" desis Aji.
"Hup!"
Saat itu juga Pendekar Mata
Keranjang meloncat ke samping, menghindari serangan. Lalu secepat itu pula,
tangannya dipentangkan hendak membuat gerakan pukulan 'Ombak Menggulung Badai'.
Namun.... "Bocah! Melihat gerakanmu, aku yakin perkataanmu dusta!" bentak Buyut Linggar
Dipa, mencegah gerakan
Pendekar Mata Keranjang.
"Buyut! Terserah kau mau berkata apa. Tapi satu hal, aku bicara apa adanya! Lagi
pula, apa untungnya aku bicara dusta..."!" jawab Aji meyakinkan. Suaranya masih
bergetar menahan marah, ketika dirinya mendapat serangan secara pengecut dari
Dajal Ireng. "Begitu" Baik! Kau telah bicara dusta padaku, Berarti hukuman yang pantas...."
"Bunuh!" potong suara dari dalam kereta. Begitu suara tadi lenyap, pintu kereta
terbuka. Kini, tampaklah sesosok perempuan muda berusia kira-kira delapan belas
tahun. Tubuhnya terbungkus pakaian putih ketat, hingga lekukannya membayang
jelas. Di lehernya melingkar untaian kalung dari bunga-bunga berwarna hitam.
Parasnya yang cantik diperindah dengan sepasang mata bulat dan berbinar. Alis
matanya tebal dan hitam, ditingkahi bulu mata lentik. Di atas kedua telinganya
menyelip sekuntum bunga yang juga
berwarna hitam.
Begitu menginjak tanah, gadis
berpakaian putih ini segera melangkah perlahan ke arah Buyut Linggar Dipa.
Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak memandang dengan mata membesar.
"Busyet! Gadis ini cantiknya mungkin lebih dari bidadari!" desis Aji.
"Ratu Sekar Langit!" sebut Dajal Ireng. Wajahnya segera dipalingkan, memandang
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan lirikan tajam.
"Buyut! Ada yang tak beres dengan orang sinting ini! Aku curiga, jangan-jangan
dia kaki tangan orang golongan putih yang menguntit perjalanan kita.
Meski tampak bodoh, firasatku mengatakan di balik itu dia berbahaya!" bisik
gadis berbaju putih yang tadi di
panggil Ratu Sekar Langit oleh Dajal Ireng. Sepasang matanya sebentar
melirik pada Aji.
Buyut Linggar Dipa mengangguk
pelan. "Benar, Ratu! Aku juga berfirasat begitu. Pemuda ini tidak bisa dianggap
sembarangan, walau
wajahnya tampak kekanak-kanakan dan tolol...!" kata Buyut Linggar Dipa,
membenarkan. Bisa dimengerti, jika dua orang
ini bisa segera menebak. Memang,
kepandaian dua orang ini tak diragukan lagi. Gadis yang bergelar Ratu Sekar
Langit adalah tokoh yang sangat
disegani. Selain berkepandaian tinggi, wajahnya pun membuat mata yang melihat
seolah sayang untuk berkedip. Konon, Ratu Sekar Langit tinggal di sebuah kaki
bukit yang telah dirombak menjadi sebuah bangunan megah. Dia juga
mempunyai beberapa murid yang seluruh-nya wanita. Karena begitu megah dan dihuni
beberapa orang yang punya tugas sendiri-sendiri, maka tempat tinggal-nya mirip
sebuah istana. Hingga orang-orang luar menyebutnya Istana Padalarang, karena
tempatnya memang di kaki Bukit Padalarang.
Menurut kabar yang tersiar, Ratu Sekar Langit adalah putri pembesar istana
sebuah kerajaan di daerah Sumbawa. Karena waktu itu dalam
keadaan perang saudara, maka Ratu Sekar Langit diungsikan ke tanah Jawa bersama
seorang pengasuhnya, yang juga merangkap sebagai gurunya. Dia tak lain Buyut
Linggar Dipa. Dalam kancah rimba persilatan di
tanah Jawa, sebenarnya Ratu Sekar Langit tidak berada di pihak mana-mana. Tidak
ada golongan putih, maupun golongan hitam. Namun karena terseret nafsu serakah
Buyut Linggar Dipa yang ingin mendirikan sebuah perguruan silat terpandang, Ratu
Sekar Langit lantas menghabisi siapa saja yang tidak bersedia berada di bawah
partainya. Dan ketika mendapat
undangan Bidadari Telapak Setan, maka segera saja disambutnya dengan maksud
ingin mengetahui tingkat kepandaian tokoh-tokoh yang diundang. Sekaligus,
mengajak mereka dalam partainya.
Namun dalam perjalanan ke Teluk
Gonggong, tanpa sengaja mereka bertemu Dajal Ireng. Bahkan kini muncul pula
pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108.
Kepandaian Dajal Ireng, rupanya
masih jauh bila dibanding Buyut
Linggar Dipa atau Ratu Sekar Langit.
Ini terbukti dalam beberapa gebrakan saja, dia telah bertekuk lutut. Namun tidak
demikian Pendekar Mata Keranjang 108. Begitu Buyut Linggar Dipa
menguji, kepandaian mereka ternyata seimbang. Bahkan Ratu Sekar Langit
berfirasat di balik sifat ketolol-tololannya, pemuda itu menyimpan
kepandaian, Hingga untuk beberapa saat lamanya Ratu Sekar Langit dan Buyut
Linggar Dipa bicara saling berbisik.
"Sudahlah!" ucap Aji seakan menghentikan bisik-bisik antara Ratu Sekar Langit
dan Buyut Linggar Dipa. "Aku harus meneruskan perjalananku yang tak berujung
ini! Suatu saat jika bertemu lagi, mungkin kita akan ngobrol lebih lama...."
Ratu Sekar Langit dan Buyut
Linggar Dipa langsung menghentikan
bisik-bisik. Serentak mereka memandang pada Aji.
Pendekar Mata Keranjang balas
menatap. Namun, matanya hanya tertuju pada Ratu Sekar Langit. Sebenarnya, Aji
masih ingin lama-lama di situ, melihat paras cantik gadis itu. Tapi karena ingin
mengikuti perjalanan mereka tanpa diketahui, maka dia
berlagak mau pergi.
"Tunggu! Tidak semudah itu kau bisa ngeloyor pergi!" tahan Buyut Linggar Dipa.
Aji seperti tidak mendengar kata-
kata Buyut Linggar Dipa. Kakinya terus melangkah. Bahkan sambil jalan,
didendangkannya satu nyanyian perlahan.
"Orang edan! Tapi wajahnya
menarik. Dan matanya...," kata Ratu Sekar Langit dalam hati.
Mendapati seruannya tak digubris, Buyut Linggar Dipa segera berkelebat.
Dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan Aji dengan tongkat berputaran.
Aji masih tak acuh. Kakinya
melangkah ke samping, akan melewati orang tua itu. Namun saat itu, Buyut Linggar
Dipa segera menusukkan
tongkatnya ke arah dada Aji.
Wuttt! Bet! Sambil terus mendendangkan
nyanyian tak karuan, Pendekar Mata
Keranjang 108 mengeluarkan kipasnya, langsung dikebutkan di depan dadanya.
Sementara, matanya tak memandang pada Buyut Linggar Dipa. Dan ternyata, gerakan
tongkat orang tua itu
tertahan. "Heh"!"
Buyut Linggar Dipa tersentak
kaget. Cepat tongkatnya ditarik
pulang. Sementara Aji terus melangkah dan memasukkan kembali kipasnya.
"Buyut! Aku sudah mengatakan yang kau minta. Dan sekarang aku akan
pergi!" tandas Pendekar Mata Keranjang 108.
"Kau tak bisa pergi sebelum
mendapat hukuman!" dengus Buyut Linggar Dipa.
"Aneh! Aku sudah mengatakan
sejujurnya, tapi kau tak mau menerima.
Lantas, apa yang harus kukatakan..."!"
Buyut Linggar Dipa tak menjawab.
Namun tongkatnya langsung ditusukkan ke arah dada Aji.
"Hm.... Orang tua ini tak main-main. Ia ingin mengambil nyawaku!"
Sambil membatin, Aji menghindar.
Tubuhnya melesat ke samping, lalu dengan gerakan kilat dikirimnya
serangan dari samping.
Wuttt! Buyut Linggar Dipa terkejut,
untung masih sigap. Secepat itu pula tangannya segera ditarik, lalu
menghindar dengan lompat ke udara.
Sehingga, tubuhnya terhindar dari sambaran angin yang keluar dari tangan Aji,
yang mungkin saja bisa membuatnya terpental.
Belum sampai kaki Buyut Linggar
Dipa mendarat di tanah, Pendekar Mata Keranjang telah berbalik dan akan
melangkah meninggalkan tempat. Namun belum sempat kakinya melangkah.
Wusss...! Mendadak serangkum angin menderu
keras dari arah belakang.
Merasakan ada satu sambaran, Aji
terkejut. Cepat kepalanya menoleh.
Ternyata Dajal Ireng telah melepaskan pukulan sambil meloncat mendekat. Maka
secepat kilat Pendekar Mata Keranjang menjejakkan kakinya. Tubuhnya seketika
mengudara dan berputar membalik.
Begitu mendarat, tubuhnya diputar menghadap Buyut Linggar Dipa dan Dajal Ireng.
"Sebenarnya aku tak ingin membuat urusan dengan kalian! Namun, rupanya kalian
tidak bisa diajak bicara baik-baik. Baiklah akan kuturuti kehendak kalian!" kata
Aji, dingin. Pendekar Mata Keranjang cepat
menarik tangannya, melepaskan pukulan
'Ombak Menggulung Badai' ke arah Dajal Ireng.
Wesss! Di lain kejap, secepat itu pula
Aji menakupkan tangan. Setelah diputar di atas kepala, tangannya dihentakkan ke
arah Buyut Linggar Dipa. Inilah pukulan sap kedua 'Ombak Membelah Karang'.
Wesss! Maka, serentak dua angin deras
bagai ombak saling susul bergulung ke depan. Satu mengarah pada Dajal Ireng, dan
satunya ke arah Buyut Linggar Dipa.
Walaupun cukup terkejut, Buyut
Linggar Dipa segera memapaki serangan dengan sentakan tangan kedepan.
"Hih!"
Sementara Dajal Ireng menakupkan
tangannya sejajar dada, lalu
mendorongkannya ke depan.
"Heaaah!"
Blem! Blem! Tempat bertemunya dua serangan
mendadak tampak berkilat benderang, disusul dua ledakan menggelegar.
Tampak tubuh Buyut Linggar Dipa
langsung terjengkang tiga tombak ke belakang, dan jatuh terkapar. Sedangkan
Dajal Ireng lebih parah. Tubuhnya mencelat enam tombak ke belakang, lalu
bergulingan di atas tanah. Sementara Aji sendiri terjajar lima langkah ke
belakang terhuyung-huyung.
Serentak Buyut Linggar Dipa dan
Dajal Ireng merambat bangkit. Dengan mata menghujam tajam, mereka memandang
seakan tak percaya.
"Pukulan 'Ombak Menggulung Badai'
serta 'Ombak Membelah Karang' belum membuat mereka jera. Akan kucoba
dengan pukulan sap ketiga 'Gelombang Prahara'!" kata batin Aji sambil
mengepalkan kedua tangan dan menyilangkannya di depan dada.
Tapi belum sampai Aji membuka
tangannya untuk melancarkan serangan, tiba-tiba sebuah bayangan putih
berkelebat. "Minggir! Biar kuselesaikan bangsat ini!" Aji segera berpaling, seraya
mengurungkan serangan.
Pada saat itulah tubuh Ratu Sekar Langit berputar dan lenyap. Namun di lain
kejap tiba-tiba tangannya telah berkelebat ke arah kepala Aji.
Wuttt! "Uts!"
Walaupun sempat terkejut, murid
Wong Agung ini segera merundukkan kepalanya. Kakinya cepat disurutkan ke
belakang. Hampir terlambat, namun tak urung rambut gondrongnya tersambar pukulan
tangan Ratu Sekar Langit, hingga terbabat bagai terkena pisau tajam. Bahkan
seketika tercium bau sangit, seperti ada rambut terbakar.
Melihat serangannya hanya bisa
memangkas sedikit rambut pemuda itu, Ratu Sekar Langit tampak geram bukan main.
"Jahanam!" bentak Ratu Sekar Langit, segera melesat ke udara.
Di atas, gadis itu bergulung-
gulung. Dan tahu-tahu, tubuhnya kaku dan lurus menukik dengan cepat ke arah Aji.
"Sontoloyo! Gerakannya tak terlihat dan tak terduga!" rutuk Aji dalam hati.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat mendoyongkan
tubuhnya ke samping
kanan. Sehingga, kepalan tangan Ratu Sekar Langit hanya menggebrak tempat kosong
di samping bahunya.
"Hiaaat...!"
Wet! Tapi, mendadak kaki wanita itu
bergerak lurus, ke arah tengkuk Aji.
Sementara pemuda itu salah duga,
sehingga terlambat menghindar. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108
kontan terjengkang ke samping begitu tendangan itu tepat menghantam tengkuk. Dan
deras sekali Aji jatuh
telentang. Sambil bangkit pemuda itu menatap tajam Ratu Sekar Langit.
Begitu tegak, Ratu Sekar Langit
telah lima langkah di depan pemuda itu dengan kaki kokoh dan terpentang.
Sepasang matanya yang bulat dan
berbulu lentik menukik tajam tak berkedip ke arah Pendekar Mata Keranjang
108. "Terimalah hukuman matimu
sekarang, Bocah!" desis Ratu Sekar Langit, seraya menarik tiga kuntum bunga
berwarna hitam dari untaian kalungnya. Dan secepat itu pula, tiga kuntum bunga
hitam ini dilemparkan ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
Set! Settt! Tiga kuntum bunga melayang cepat
disertai suara berdesing ke arah
kepala, perut, dan leher Aji. Sedangkan Pendekar Mata Keranjang 108 hanya
menyipitkan matanya. Namun mendadak tubuhnya segera direbahkan, sejajar dengan
tanah. Dihindarinya serangan yang menuju bagian atas tubuhnya. Dan dalam keadaan
demikian, Aji melepaskan pukulan 'Ombak Membelah Karang'.
Wesss! Seketika serangan angin bergulung melesat, memapak desingan kuntum
bunga. Pas! Passs! Dua kuntum bunga hitam kontan
ambyar terkena gulungan angin yang keluar dari telapak Pendekar Mata Keranjang
108. Namun sekuntum bunga masih lolos, bahkan kini melabrak ke arah Aji yang
masih di atas tanah.
Maka.... "Hiaaa...!"
Disertai bentakan keras Aji
segera menjejak tanah. Tubuhnya segera
melengos ke samping. Dan....
Crep! Seketika tanah tempat tadi Aji
bergulingan terbongkar mengeluarkan asap! Begitu menoleh, mata Aji
terbelalak. Kuntum bunga hitam itu menancap di atas tanah yang masih keluarkan
asap. "Sementara harus menghindar, aku akan menguntit perjalanan mereka!
Inilah satu-satunya jalan. Karena, tak mungkin lagi aku mengorek keterangan dari
mulut mereka...," kata batin murid Wong Agung ini, sambil melirik nyalang dengan
ekor matanya. Menyadari keadaan ini, Aji cepat
bangkit. Segera tangannya dikepalkan, lalu disilangkan ke depan dada. Dan belum
sempat Ratu Sekar Langit membuat gerakan, Pendekar Mata Keranjang 108
telah membuka silangan tangan dan mendorongnya ke depan.
Wesss...! Saat itu juga gelombang angin
dahsyat disertai suara menggemuruh, bergulung cepat dan menghantam ke arah Ratu
Sekar Langit. Sementara itu, Buyut Linggar Dipa dan Dajal Ireng segera maju. Namun, belum juga
tiga langkah, Aji segera pula menghentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan
'Ombak Membelah Karang'.
Tepat ketika tiga orang lawannya
bergerak memapak, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera mengerahkan
tenaganya. Secepat kilat tubuhnya berkelebat, lalu menghilang di balik rimbunan
semak belukar. Glarrr...! Tatkala tubuh Aji telah meng-
hilang, terdengar suara gelegar.
Memang, saat itu serangan pukulan Pendekar Mata Keranjang 108 terpapaki pukulan
tangan Ratu Sekar Langit dan Buyut Linggar Dipa.
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu suara gelegar sirna, tiga
pasang mata liar beredar ke seke-
liling. Namun mereka tak lagi melihat sosok Pendekar Mata Keranjang 108.
"Jahanam busuk! Kali ini kau bisa lolos. Tapi suatu ketika, kau akan kucincang
dan kugantung!" maki Ratu Sekar Langit seraya berkelebat ke arah kereta dan
masuk. Sejenak Buyut Linggar Dipa dan
Dajal Ireng saling berpandangan.
"Ki Buyut! Kita teruskan perjalanan saja!" kata Ratu Sekar Langit dari dalam
kereta. Buyut Linggar Dipa segera
berkelebat, loncat ke atas bangku kusir. Sementara Dajal Ireng masih tegak
termangu. "Dajal Ireng! Apa lagi yang kau tunggu" Kita searah! Lekas naik!"
Belum habis kata-kata Buyut
Linggar Dipa, Dajal Ireng telah
berbalik dan meloncat di samping Buyut Linggar Dipa.
Ketika kereta itu kembali
bergerak, diam-diam Aji mengikuti sambil sesekali menyelinap dari arah belakang.
Ternyata Pendekar Mata
Keranjang 108 tidak benar-benar pergi, dan hanya bersembunyi saja
*** 3 "Gila! Hampir empat hari aku
menguntitnya terus menerus. Namun, perjalanan mereka tampaknya belum juga
berujung. Teluk Gonggong jauh juga rupanya."
Sambil melontarkan makian, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 memacu
larinya seiring cepatnya kereta yang ditumpangi Buyut Linggar Dipa, Ratu Sekar
Langit, dan Dajal Ireng. Bahkan sesekali ia mendahului dengan mengan-dalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang tinggi. Setelah berada di depan, Aji sengaja menunggu
sambil bersembunyi di balik semak belukar. Atau terkadang di atas sebuah pohon
yang berdaun rimbun, hingga dapat melindungi tubuhnya.
"Hm.... Tapi aku
lamat-lamat mendengar debur ombak. Dan sepertinya laju kereta mulai melambat. Berarti
mereka hampir sampai tujuan," gumam Aji, setelah berada sepuluh tombak di
belakang kereta.
Sampai ujung sebuah desa kecil,
Buyut Linggar Dipa makin memperlambat langkah kudanya. Dan tepat di depan sebuah
kedai kereta dihentikan.
"Kita mampir dulu untuk mengisi perut sambil istirahat. Perjalanan kita sudah
hampir sampai...," kata Buyut Linggar Dipa, tanpa menoleh.
"Benar, Buyut! Aku sejak tadi sebenarnya mau mengatakannya...."
Belum selesai Dajal Ireng
meneruskan kata-katanya, orang tua itu telah meloncat turun dan berjalan
kesamping. Baru dua langkah, pintu kereta terbuka, menjulurkan sebentuk kaki
mulus milik Ratu Sekar Langit yang hendak turun dari kereta. Begitu keluar
wanita iri menebar pandangannya ke sekeliling.
"Ratu. Kita istirahat sebentar di kedai. Teluk Gonggong sudah dekat,"
kata Buyut Linggar Dipa.
Ratu Sekar Langit hanya mengang-
guk perlahan, lalu melangkah ringan menuju kedai diikuti Buyut Linggar Dipa dan
Dajal Ireng. Seorang laki-laki tua pemilik
kedai tergopoh-gopoh menyambut, ketika mereka tiba di pintu kedai. Sambil
tersenyum ramah, dipersilakannya para tamu untuk memilih tempat duduk.
Mendapat sambutan ramah, Ratu
Sekar Langit tak begitu acuh. Bahkan sepasang matanya yang bulat dan
berbulu lentik tampak liar menyapu seluruh ruangan kedai. Demikian juga Buyut
Linggar Dipa. Dia hanya memandang sekilas ke arah pemilik kedai.
Sedangkan Dajal Ireng malah melengos-kan wajahnya ke samping. Dan hampir saja ia
meludah jika....
"Dajal Ireng! Sejelek-jelek
tingkahmu, kau harus hormat pada Ratu Sekar Langit. Ia sekarang ada
bersamamu! Jika kau masih berlaku demikian, jangan menyesal jika mulutmu akan
kulumat dengan ujung tongkat ini!" bentak Buyut Linggar Dipa menyo-rongkan
tongkat bututnya ke arah muka Dajal Ireng.
Mendapat teguran, buru-buru Dajal Ireng memasukkan kembali air ludah yang telah
tampak merambah di bibirnya. Raut mukanya tampak merah padam.
Kepalanya sedikit tertarik ke
belakang, saat air ludah itu kembali masuk ke tenggorokannya.
"Sediakan makan dan minum untuk kami!" perintah Buyut Linggar Dipa pada pemilik
kedai sambil menarik bangku dan mempersilakan Ratu Sekar Langit duduk.
"Buyut! Kulihat daerah ini
tenang-tenang saja. Sepertinya, mereka tidak mengerti akan terjadi sebuah
peristiwa besar. Aku curiga, jangan-jangan undangan Bidadari Telapak Setan hanya
untuk memancing agar kita keluar dari Istana Padalarang!" duga Ratu Sekar Langit
sambil menyantap
hidangan. "Kurasa hal itu tak mungkin, Ratu. Menurut undangan, hari yang ditentukan malam
purnama bulan ketiga.
Berarti, hari penentuan itu masih kurang empat hari lagi. Jadi, bisa dimaklumi
jika sekarang keadaannya masih tenang-tenang. Bahkan tak tampak ketegangan
sedikit pun. Namun bila nantinya ternyata undangan palsu, akan kurobek mulut
betina itu! Sejak semula aku memang berkeinginan menjajal
kedigdayaan betina itu. Apalagi
menurut kabar yang santer terdengar, pukulan 'Serat Jiwa'-nya telah banyak
merontokkan tokoh tingkat tinggi! Aku ingin membuktikan, pukulan macam apa
'Serat Jiwa' itu!" ungkap Buyut Linggar Dipa seraya memandang Ratu Sekar
Langit, setelah menghentikan
makannya. "Selain itu, aku mendengar kabar bahwa Bidadari Telapak Setan adalah tokoh yang
sukar ditandingi dan licit Menurut kabar itu, aku menangkap
isyarat bahwa di balik rencana
besarnya dalam menumpas tokoh-tokoh golongan putih, dia menyimpan rencana yang
lebih besar lagi.... Dan
kudengar, dia juga telah mendidik seorang murid yang kemampuannya telah menyamai
gurunya!" papar Ratu Sekar Langit.
"Tak salah penuturanmu, Ratu! Aku pun sudah berpikir ke arah sana. Dia pasti
mempunyai rencana lain, di balik rencana sekarang ini. Bahkan aku sudah
menyimpulkan, Bidadari Telapak Setan ingin melambungkan anak didiknya dalam
rimba persilatan...."
"Benar! Malah beberapa minggu terakhir ini, murid Bidadari Telapak Setan yang
bergelar Malaikat Berdarah Biru, telah berhasil mengobrak-abrik beberapa
perguruan silat dari golongan putih. Bahkan dalam sepak terjangnya, dia dibantu
seorang perempuan cantik!"
timpal Dajal Ireng.
"Hm...."
Ratu Sekar Langit menggumam
seraya mengangkat tangannya yang
memegang cangkir bambu. Setelah
meneguk minumannya, dia memandang keluar kedai.
"Dajal Ireng! Dapatkah kau
sebutkan sedikit tentang pendamping Malaikat Berdarah Biru yang katamu seorang
perempuan cantik itu?" tanya Ratu Sekar Langit tanpa menoleh.
"Dia mengenakan pakaian hitam dan ketat, sehingga...."
Dari sini Dajal Ireng tak
melanjutkan kata-katanya saat melihat
mata Ratu Sekar Langit mendelik tajam.
"Kau tak usah menceritakan bentuk tubuhnya! Aku ingin dengar ciri-cirinya!"
bentak Ratu Sekar Langit.
"Rambutnya panjang tergerai. Dan, masih muda...," lanjut Dajal Ireng.
"Mengenakan pakaian hitam, rambut panjang dan masih muda...."
Ratu Sekar Langit mengulangi
kata-kata Dajal Ireng dengan kening berkernyit, membentuk tiga kerutan kecil.
"Kau tak salah sebutkan ciri-ciri itu, Dajal Ireng"!" tanya Buyut Linggar Dipa,
seraya memandang keluar kedai juga.
"Tidak, Buyut! Karena aku sempat melihat sepak terjangnya, sewaktu mereka berdua
melabrak habis Perguruan Teratai Putih beberapa hari lalu!
Tidak sampai seperempat hari, mereka berdua telah membumi hanguskan perguruan
itu, sampai tak seorang pun tersisa!"
Mendengar keterangan Dajal Ireng, Buyut Linggar Dipa memalingkan wajahnya ke
arah Ratu Sekar Langit, seakan minta jawaban.
"Aku tidak bisa menduga, siapa gerangan perempuan itu, Buyut!" kata Ratu Sekar
Langit, seperti mengetahui arti tatapan Buyut Linggar Dipa.
Buyut Linggar Dipa tersenyum.
"Aku heran. Dan, hampir tak
percaya...!" gumam Buyut Linggar Dipa.
"Tentang apa, Buyut"!" tanya Ratu Sekar Langit cepat.
"Jika ciri-ciri yang disebutkan Dajal Ireng bisa dipercaya kebenaran-nya, maka
perempuan itu adalah seorang perempuan berkepandaian sangat tinggi.
Gelarnya, Selir Iblis! Namun aku tak habis pikir. Kalau memang dia, kenapa mesti
berbuat begitu" Padahal, dia adalah istri seorang tokoh yang
disegani dari jajaran tokoh golongan putih, bernama Ageng Panangkaran...!
Ada apa sebenarnya di balik semua ini"!" tanya Buyut Linggar Dipa, seperti untuk
dirinya sendiri.
"Kau tak usah terlalu memikirkan hal yang demikian itu, Buyut! Bukankah kau
pernah mengatakan, pikiran manusia adalah sesuatu yang tak bisa dijajaki.
Tidak sampai satu kejapan mata,
pikiran itu bisa berubah. Mungkin saja hati Selir Iblis terpaut pada Malaikat
Berdarah Biru. Lalu, mereka saling jatuh cinta. Kalau sudah soal cinta yang
bicara, kekuatan apa yang bisa membendungnya...?"
Sejenak Ratu Sekar Langit
menghentikan ucapannya.
"Bila demikian halnya, kita harus lebih waspada, Buyut! Jelas di balik rencana
besar Bidadari Telapak Setan, ada tujuan pribadi yang lebih besar!"
lanjut wanita itu, meletup-letup.
"Betul, Ratu! Dan merujuk pada hal itu, aku jadi teringat pada pemuda yang
sempat berhadapan dengan kita tempo hari. Aku memang baru pertama kali itu
bertemu dengannya. Namun, ada sesuatu yang membuatku sempat terkejut dan hampir
tak percaya. Sayang, waktu itu hanya kudiamkan saja...."
"Apa itu, Buyut"!" tanya Ratu Sekar Langit cepat.
"Tak bisa kupungkiri. Sebenarnya, pemuda itu mempunyai kepandaian
tinggi. Hanya saja, waktu itu dia tidak mengeluarkannya. Aku yakin itu!
Tapi, bukan hal itu yang membuatku terkejut, bahkan hampir tak mempercayai
penglihatanku sendiri. Setiap jurus pembukanya aku hampir bisa
mengenalinya. Karena jurus awalnya sama dengan jurus milik seorang tokoh yang
beberapa puluh tahun lalu aku pernah beberapa kali bertarung dengannya!" papar
orang tua itu. "Siapa orang itu...?" sela Dajal Ireng.
"Wong Agung dari Karang Langit!"
jawab Buyut Linggar Dipa singkat.
Mendengar nama Wong Agung disebut Buyut Linggar Dipa, mata Ratu Sekar Langit dan
Dajal Ireng terbeliak.
"Ratu! Dan kau, Dajal Ireng.
Mungkin kalian hanya dengar tentang Wong Agung dari Karang Langit itu.
Namun sebagai orang yang pernah
menjajal ketinggian ilmunya, tak dapat kuingkari kalau kedigdayaannya belum bisa
kujajari. Hanya saja, menurut kabar yang sekarang beredar di dunia persilatan,
Wong Agung telah binasa di tangan dua tokoh yang saat ini juga sudah tersohor.
Mereka adalah dua orang murid 'Manusia Titisan Iblis'
yang berjuluk Sepasang Iblis Pendulang Sukma. Jadi, aku sendiri sekarang masih
dibuat tak mengerti, mana yang benar tentang berita itu! Hanya saja satu hal.
Siapa pun pemuda itu, dia sangat berbahaya jika memang mulai menjejak dunia
persilatan. Barisan golongan putih akan memiliki seorang pandega yang mungkin
sukar dicari tandingnya! Namun, aku bicara begini bukannya takut! Siapa pun
orang itu, gerak langkah majunya akan kutahan dengan segenap kekuatan, sebelum
rencanaku mendirikan sebuah partai yang disegani dan tak tersaingi
terwujud. Bukankah begitu, Ratu...?"
Ratu Sekar Langit mengangguk
perlahan. "Bahkan Bidadari Telapak Setan, Malaikat Berdarah Biru, serta Selir Iblis,
akan kita singkirkan jika
mereka nanti tak bisa diajak bicara baik-baik untuk mendukung berdirinya partai
kita! Biarlah, sekarang
undangan Bidadari Telapak Setan kita sambut. Karena, tenaganya benar-benar
diperlukan jika partai kita telah berdiri kelak. Setelah rencana
Bidadari Telapak Setan berlangsung, kita akan ajak mereka bicara baik-baik. Jika
menolak, kita libas mereka sekalian biar tak jadi duri di
kemudian hari!" kata Ratu Sekar Langit, berapi-api.
Tak lama kemudian, wanita itu
berdiri. "Kita teruskan perjalanan. Waktu sisa kita, bisa dipakai untuk
berunding dengan Bidadari Telapak Setan...," ajak Ratu Sekar Langit.
Sesaat wanita cantik ini menga-
wasi seluruh ruangan, lalu melangkah menuju pintu. Sementara Buyut Linggar Dipa
bergerak mengikuti. Sedangkan Dajal Ireng agak belakangan, karena masih
melangkah mendekati orang tua pemilik kedai. Dilemparkannya beberapa keping uang
perak. "Sombong! Mentang-mentang dari
kaum persilatan, menganggap remeh orang lain!" umpat orang tua pemilik kedai
habis-habisan dalam hati, seraya membungkuk memunguti
kepingan uang perak yang tercecer.
*** Pendekar Mata Keranjang 108 yang
saat ini berada di samping sebelah rumah penduduk sambil mengintip
mengawasi Ratu Sekar Langit, Buyut Linggar Dipa, dan Dajal Ireng,
sebenarnya sudah mulai tak sabar
menunggu mereka keluar kedai. Namun, kini wajahnya kembali berseri, begitu
melihat kemunculan Ratu Sekar Langit.
Wanita itu tampak menebar pan-
dangan kesekeliling halaman kedai, lalu bergerak melangkah menuju kereta.
Sebelum bergerak masuk kereta, kembali pandangannya menyapu. Lantas, dengan
ringan tubuhnya melesat masuk ke dalam kereta.
Sepasang mata Aji terus mengawasi tanpa berkedip.
"Sontoloyo! Wajahnya benar-benar mengagumkan! Ditambah bentuk tubuhnya yang
aduhai. Hem..., betul-betul suatu keindahan tersendiri yang tak bisa dilewatkan
begitu saja...," kata batin pemuda itu sambil cengar-cengir dan usap-usap
janggutnya. Sepasang mata Pendekar Mata
Keranjang 108 lantas memperhatikan Buyut Linggar Dipa dan Dajal Ireng yang baru
keluar dari kedai dan
melangkah menuju kereta. Dengan
gerakan indah, kedua orang itu
meloncat ke bangku kusir dan duduk berdampingan. Sekali tangan orang tua ini
menyentak tali kekang, maka dua binatang itu bergerak dan melangkah menuju
pantai. Sesaat setelah kereta berderak,
Aji menarik napas dalam-dalam.
"Melihat arah kereta yang menuju pantai, berarti tak salah dugaanku.
Teluk Gonggong sudah tak jauh dari sini. Sekarang,
aku sudah dapat
menentukan tempatnya. Dan sebaiknya, aku menuju kedai itu sambil mengisi perut.
Siapa tahu, di sana aku dapat sedikit gambaran...."
Sambil bicara sendiri, Aji keluar dari tempat intaiannya. Sebentar
Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipandangnya ke arah kereta. Sesaat setelah kereta itu tertelan belokan jalan
dan tak tampak lagi, baru
Pendekar Mata Keranjang 108 ini
bergegas menuju kedai.
Begitu masuk, pemuda yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang 108
ini langsung memilih dipojok paling samping. Sehingga dengan leluasa dari
tempatnya, ia dapat melihat halaman kedai.
"Ki, sediakan makan dan minum untukku...," ujar Aji disertai senyum tersungging
pada laki-laki pemilik kedai.
Dengan sedikit membungkuk sopan,
orang tua itu mengangguk dan berlalu membuat pesanan.
Pendekar Mata Keranjang 108
kembali mengedarkan pandangannya. Tak ada yang menarik perhatiannya. Lalu
tatapannya beralih pada pemilik kedai yang membawa pesanannya.
"Terima kasih, Ki...," ucap Aji setelah orang tua pemilik kedai meletakkan
pesanan di meja.
Orang tua itu menganggukkan
kepala dan tersenyum. Bukannya kembali, dia malah agak lama berdiri di samping
Aji. Bahkan seakan mengawasi dengan tatapan penuh selidik.
"Apa ada yang lucu dengan diriku, Ki...?" tanya Aji, heran saat pemilik kedai
memperhatikan dirinya.
Orang tua yang ditanya meng-
geleng. "Tidak! Tidak ada yang lucu pada dirimu, Den...," jawab pemilik kedai tergagap
dan terputus. "Namaku Aji...," sebut Aji, memperkenalkan diri saat pemilik kedai tampak
canggung. "Ya! Tidak ada yang lucu pada diri, Den Aji. Hanya saja, aku kadang-kadang
dibuat tak habis pikir tentang tingkah orang-orang yang datang ke sini. Ada yang
ramah dan sopan
sepertimu, tapi tak jarang pula ada yang berlaku urakan...."
"Aki tak usah panjang-panjang berpikir. Itulah kehidupan. Kalau tak ada yang
begitu-begitu, mana mungkin kita dapat membedakan yang baik dan buruk...?" ujar
Pendekar Mata Keranjang 108, sok menasihati.
Mendengar kata-kata Aji, sejenak
pemilik kedai itu diam termangu.
"Sial! Kenapa mulutku lancang menggurui orang tua...?" rutuk batin Aji ketika
melihat si pemilik kedai termangu. Pendekar Mata Keranjang 108
langsung menatap si pemilik kedai, dengan sinar mata penuh penyesalan.
"Ngg.... Maaf atas ucapanku yang sepertinya menggurui Aki...," ucap Aji hati-
hati. "Ah...!" seru pemilik kedai, seolah-olah terkejut. "Tidak apa, Den Aji. Justru
aku merasa dapat sedikit pelajaran dari seorang muda. Ng....
Kalau boleh tahu, hendak ke manakah tujuanmu...?"
Menuntut Balas 28 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Bara Diatas Singgasana 23