Pencarian

Biang Biang Iblis 2

Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis Bagian 2


Melati akan lawan dahsyat yang dulu pernah di-
hadapinya. Dulu pun dia pernah bertarung den-
gan lawan yang memiliki kulit tubuh kuat. Tokoh
itu berjuluk Raksasa Kulit Baja. Hanya saja Rak-
sasa Kulit Baja tidak memiliki kepandaian seperti
Raksasa Pemangsa Manusia. Kepandaian Raksasa
Kulit Baja biasa-biasa saja. Kesulitan dalam mem-
bunuh tokoh itu hanya karena kulit tubuhnya
yang kebal. (Untuk jelasnya, silakan baca serial
Dewa Arak dalam episode: "Dewi Penyebar Maut").
Bukan hanya Melati yang terancam bahaya
maut, Prapanca pun tidak berbeda. Begitu Melati
tidak membantunya karena telah menghadapi
Raksasa Pemangsa Manusia, Prapanca langsung
terdesak kembali. Keadaannya tidak jauh berbeda
dengan kekasih Dewa Arak itu.
Prapanca tahu, melawan terus berarti rela
mati konyol. Maka, walau hati berat, diputuskan
untuk kabur saja meninggalkan lawannya. Tidak
ada gunanya lagi tetap berada di sini karena dia
tidak akan dapat menolong Melati. Yang lebih
penting sekarang berusaha menyelamatkan nya-
wanya sendiri. "Lagi pula, siapa tahu Melati bisa menyelamatkan diri pula,"
hibur Prapanca dalam
hati. "Dewi Cabul! Lihat, 'Naga Siluman' milikku akan mencaplok kepalamu!" seru
Prapanca dengan suara bergetar sambil melemparkan salah sa-
tu sumpit gadingnya.
Dewi Cabul tersentak kaget. Tanpa sadar dia
melangkah mundur ketika melihat seekor naga
muncul dan dari udara hendak mencaplok kepa-
lanya. Naga itu membuka mulutnya lebar-lebar,
memperlihatkan gigi-gigi taringnya yang runcing.
Wuttt! Pyarrr! Naga itu kontan lenyap ketika Dewi Cabul
menghentakkan tangan kiri mengirimkan pukulan
dengan telapak tangan terbuka ke arah kepala bi-
natang mengiriskan itu. Dan di tanah tempat naga
tadi berada, tampak sebatang sumpit gading yang
telah hancur berantakan!
"Keparat!"
Dewi Cabul menggertakkan gigi penuh pera-
saan geram karena tahu kalau untuk sejenak tadi,
lawan telah berhasil menipunya dengan ilmu sihir.
Naga itu tercipta karena ilmu sihir Prapanca. Dan
pemuda berpakaian coklat itu sendiri, tidak bera-
da lagi di situ.
Meskipun tidak mengetahui arah yang di-
tempuh Prapanca, Dewi Cabul tetap memaksakan
diri melakukan pengejaran. Rupanya dia tidak in-
gin menyia-nyiakan seorang pemuda sakti seperti
Prapanca. Dengan kepergian Dewi Cabul, tinggal
Melati dan Raksasa Pemangsa Manusia yang ma-
sih tinggal di tempat itu. Kedua tokoh ini masih
sibuk bertarung, dan Melati tetap terdesak dan
kewalahan. Bukkk! Melati mengeluh tertahan ketika sisi tangan
Raksasa Pemangsa Manusia menghantam pangkal
bahu kanannya. Cukup telak, dan sudah pasti ke-
ras karena tokoh yang memiliki taring itu memiliki
tenaga besar. Seketika itu pula tubuh Melati am-
bruk terkulai di tanah. Pingsan! Sambil tertawa
tergelak Raksasa Pemangsa Manusia mengangkat
tubuh Melati dan membawanya pergi dari tempat
itu. *** 4 "Manusia Jelek! Apa yang hendak kau laku-
kan"! Mari kita bertarung sampai salah seorang di
antara kita ada yang mampus!" seru Melati ketika Raksasa Pemangsa Manusia
membawanya lari
meninggalkan tempat itu. Hanya hal ini yang da-
pat dilakukan oleh gadis berpakaian putih itu, ka-
rena sekujur tubuhnya dirasakan lemas. Raksasa
Pemangsa Manusia yang tidak bodoh, telah lebih
dulu menotoknya hingga lumpuh sebelum Melati
sadar dari pingsannya.
"Manusia Jelek! Ternyata hanya tubuhmu
saja yang besar tapi nyalimu kecil. Kalau kau bu-
kan seorang pengecut, bebaskan totokanku mari
kita bertarung!" teriak Melati lagi dengan nada mulai cemas ketika mengetahui
tantangan perta-manya tidak memberikan hasil seperti yang diha-
rapkan. "Ha ha ha...!" Kali ini Raksasa Pemangsa
Manusia tertawa bergelak penuh nada gembira.
"Kau kira aku bodoh, Wanita Liar" Aku tidak bisa dipancing dan ditipu. Apa pun
yang kau katakan,
aku tak akan membebaskan mu. Bukankah telah
terbukti kalau kau bukan tandinganku"! Kau telah
kukalahkan! Dan ketahuilah, setiap orang yang
kalah dengan Raksasa Pemangsa Manusia mem-
punyai dua pilihan. Kalau dia lelaki atau wanita
yang telah tua, kematianlah yang akan di dapat.
Sedangkan wanita yang masih muda, terutama
sekali yang berilmu tinggi, akan menjadi santapan
ku. Aku yakin daging dan tulang-tulang mudamu
pasti nikmat! Ha ha ha...!"
"Apa kau orang yang berjuluk Raksasa Pe-
mangsa Manusia"!" tanya Melati, tanpa menyem-
bunyikan rasa kagetnya.
Ucapan lelaki tinggi dan bertaring itu yang
membuatnya mempunyai dugaan demikian. Melati
telah lama mendengar raja kaum sesat yang berju-
luk Raksasa Pemangsa Manusia. Namun karena
tokoh itu telah lama tidak ketahuan rimbanya lagi,
dia sama sekali tidak menyangka kalau kini ber-
hadapan dengan tokoh yang mengiriskan itu. Se-
karang, Melati baru sempat menyadari kalau ciri-
ciri yang dimiliki tokoh sakti yang mengalahkan-
nya sesuai dengan berita yang didapatkannya. Se-
ketika bulu kuduk Melati meremang membayang-
kan dirinya akan dijadikan santapan tokoh sesat
yang doyan makan daging manusia ini! Melati
hanya bisa berharap kalau dugaannya ini salah.
Melati merasa putus asa ketika melihat lela-
ki tinggi besar itu mengangguk membenarkan du-
gaannya. Sementara, Raksasa Pemangsa Manusia
bersikap tidak peduli dan terus berlari dengan
langkah kakinya yang menimbulkan bunyi berde-
bum-debum menggetarkan tanah.
Tokoh yang mengiriskan ini memperlambat
larinya ketika tiba di sebuah lembah yang diapit
dua bukit kecil. Sebuah lembah yang luas, terdiri
dari tanah kering dan gersang. Raksasa Pemangsa
Manusia menghentikan langkahnya di depan se-
buah goa besar yang terlihat hitam kelam.
Matanya yang besar dan beralis tebal me-
mandangi ke sekeliling tempat itu dengan kening
berkernyit, seperti tengah memperhatikan sesua-
tu. Sesaat kemudian, dengan sembarangan saja,
tubuh Melati dilemparkan ke dekat dinding goa
sedangkan dia sendiri langsung melangkah cepat
masuk ke goa itu.
Jantung Melati berdetak kencang ketika me-
lihat Raksasa Pemangsa Manusia berlari memasu-
ki goa. Gadis berpakaian putih ini menyadari
adanya sebuah kesempatan untuk melarikan diri.
Maka, tanpa membuang-buang waktu dikerahkan
tenaga dalamnya yang berada di bawah pusar, di-
pusatkan untuk membebaskan jalan darahnya
yang tertotok. Namun ternyata totokan Raksasa
Pemangsa Manusia kuat bukan kepalang, sia-sia!
Meski begitu, gadis berpakaian putih ini tidak pu-
tus asa dan terus berusaha keras untuk membe-
baskan diri. Melati menghela napas kesal. Seketika pera-
saan kecewa muncul di dalam hatinya karena ti-
ba-tiba terdengar bunyi langkah berdebum keras.
Sesaat kemudian Raksasa Pemangsa Manusia te-
lah berada kembali di dekatnya.
Setelah melempar pandangan ke arah Melati
untuk meyakinkan kalau tawanannya masih ada,
dengan raut wajah gembira, Raksasa Pemangsa
Manusia meletakkan alat-alat yang diambilnya da-
ri ruang dalam tak jauh dari mulut goa.
Melati semakin merasakan jantungnya ber-
detak lebih cepat lagi. Dengan sorot mata meman-
carkan kengerian, diperhatikannya alat-alat yang
telah tertata rapi di tanah itu. Kayu-kayu bakar,
sebuah bejana besar mirip penggorengan dan guci
besar berisi air! Ini berarti penjagalan atas dirinya tak lama lagi akan segera
dimulai. "Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia
tertawa tergelak ketika bejana besar berisi air itu
telah diletakkan di atas kayu bakar yang menyala
nyala. "Begitu air itu mendidih, kau akan melihat hal-hal yang menarik, Wanita
Liar! Kau mungkin
tahu apa yang akan terjadi. Kau akan ku rebus!?"
Melati hampir tidak kuasa menahan kenge-
riannya melihat semua itu. Apalagi ketika terlihat
olehnya gigi-gigi taring lelaki tinggi besar itu. Namun dengan menenangkan
perasaan gadis itu te-
tap memandangi penggorengan besar yang penuh
air di atas kobaran api. Melati yang telah kenyang
pengalaman tahu, tokoh-tokoh sesat semakin se-
nang apabila calon korban mereka semakin keta-
kutan. Mereka mendapat kepuasan tersendiri dari
rasa takut yang melanda hati mangsa mereka.
Terlihat oleh Melati sinar kekecewaan di ma-
ta Raksasa Pemangsa Manusia melihat korbannya
menampakkan sikap yang berbeda dengan hara-
pan. "Air itu bukan air sembarangan, Wanita Liar!
Tapi, air yang telah ku campur dengan bahan-
bahan milikku. Apabila telah mendidih, panasnya
puluhan bahkan mungkin ratusan kali lipat dari
air biasa. Hhh... menyakitkan sekali! Seluruh tu-
buhmu akan terasa seperti ditusuki pisau-pisau
berkarat yang beracun. Juga, bahan-bahan yang
ku campurkan membuat tubuhmu akan matang
jauh lebih lama! Dengan demikian kau akan ter-
siksa sekali. Ha ha ha...!" lanjut Raksasa Pe-
mangsa Manusia dengan nada dibuat menyeram-
kan untuk menimbulkan ketakutan hati Melati,
agar dia tidak merasa kecewa lagi untuk kedua ka-
linya. Dia ingin melihat korbannya ini merengek-
rengek memohon ampun.
Melati memang merasa ngeri bukan kepa-
lang mendengarnya. Dia tahu, Raksasa Pemangsa
Manusia tidak berdusta. Meski demikian, gadis
berpakaian putih itu pandai menyembunyikan pe-
rasaan takut sehingga tidak terlihat di wajahnya.
Raksasa Pemangsa Manusia merasa kecewa
melihat kegagalan dari usahanya. Sekarang dia
sadar kalau Melati tidak bisa ditakut-takutinya.
Namun rasa gembira yang melanda hati jauh lebih
besar dari perasaan kecewa, sehingga meski kein-
ginannya untuk menakut-nakutkan Melati tidak
berhasil, mulut manusia raksasa itu tetap tertawa.
"Sekarang tinggal menunggu air itu mendi-
dih, Wanita Liar! Dan apabila itu terjadi, nyawamu
telah berada di ambang pintu akherat. Nikmatilah
saat-saat terakhirmu, Wanita Liar!"
*** "Lepaskan dia, Manusia Pemakan Bangkai!"
Raksasa Pemangsa Manusia terperanjat, be-
gitu pula Melati. Seruan yang terdengar itu meski-
pun tidak keras tapi mengandung getaran sampai
ke dalam dada. Yang lebih mengejutkan hati lagi,
seruan itu muncul tanpa ketahuan pemiliknya.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi baik Me-
lati maupun Raksasa Pemangsa Manusia tahu ka-
lau pemilik suara itu berkepandaian tinggi. Geta-
ran suara yang mampu merasuk ke dalam dada
telah menjadi bukti nyata ketinggian tenaga dalam
pemilik suara itu. Namun yang lebih mengejutkan,
dari mana datangnya tidak dapat diketahui, pa-
dahal baik Melati maupun Raksasa Pemangsa Ma-
nusia telah mengerahkan kemampuan untuk
mencari asal suara itu. Seolah-olah suara itu be-
rasal seperti dari delapan penjuru angin.
"Kau mencari siapa, Manusia Pemakan
Bangkai"!" Suara menggetarkan itu kembali ter-
dengar. Nadanya mengejek. "Aku di sini!"
Angin berdesir pelan. Dan tahu-tahu di anta-
ra Raksasa Pemangsa Manusia dan Melati, berdiri
sesosok tubuh kecil kurus. Kumis dan jenggot le-
bat menghias wajahnya yang memiliki sinar mata
mencorong kehijauan. Sebuah topi berbentuk se-
tengah tempurung kelapa berwarna hitam, menu-
tup kepalanya. Pakaiannya pun berwarna hitam
pekat. Wajahnya yang dingin tampak angker, me-
natap Raksasa Pemangsa Manusia.
Raksasa Pemangsa Manusia merupakan seo-
rang datuk kaum sesat yang memiliki wibawa
mengiriskan hati. Namun tak urung, melihat sosok
yang berdiri di hadapannya, dia mundur selang-
kah. Kehadiran sosok kecil kurus yang lebih dulu
menimbulkan ketegangan, telah membuat keang-


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerannya semakin terlihat jelas.
"Siapa kau" Dan apa maksud ucapanmu
itu"! Menyingkirlah kalau tidak ingin nyawamu
kukirim ke neraka!" gertak Raksasa Pemangsa
Manusia yang telah mendapatkan kembali kete-
nangannya. Raksasa Pemangsa Manusia meski tampak
bodoh, ternyata tidak memiliki pikiran sempit. Da-
ri cara kedatangan lelaki kecil kurus ini saja, di-
rinya tahu kalau sosok yang berada di hadapan-
nya memiliki kepandaian tinggi. Dan dalam kea-
daan seperti ini, Raksasa Pemangsa Manusia tidak
ingin terlibat pertarungan. Bukan karena gentar,
melainkan karena khawatir Melati akan lolos dari
tangannya. Dia tahu totokannya tidak dapat ber-
tahan lama bagi seorang gadis seperti Melati.
"Aku hanya mau menyingkir apabila gadis
itu kau serahkan padaku!" tegas sosok kecil ku-
rus, seraya menuding tubuh Melati yang tergolek.
"Itu artinya kau mengajakku bertarung!"
sentak Raksasa Pemangsa Manusia mantap.
Wutt, wutt, wuttt!
Raksasa Pemangsa Manusia yang tahu kalau
sosok kecil kurus di depannya memiliki kepan-
daian tinggi, tanpa ragu-ragu lagi dalam sekali
menyerang langsung mengirimkan pukulan bertu-
bi-tubi dengan kedua tangan dikepal keras. Deru
angin keras mengiringi tibanya setiap serangan.
Sosok kecil kurus menyunggingkan senyum
sinis di bibirnya seakan-akan meremehkan seran-
gan Raksasa Pemangsa Manusia. Kemudian den-
gan berani dipapaknya serangan itu dengan cara
yang sama. Bunyi nyaring seperti ada dua benda
logam berbenturan pun terjadi ketika dua pasang
tangan yang memiliki ukuran berbeda jauh itu
bertemu di tengah jalan.
Melati menatap dengan sorot mata kaget, ta-
pi hatinya segera melihat sosok kecil kurus itu
ternyata memang benar-benar dapat diandalkan.
Setiap kali terjadi benturan tangan, tubuh Raksa-
sa Pemangsa Manusia tergetar hebat dan hampir
terhuyung. Hal seperti itu tidak dialami oleh lelaki kecil kurus. Bahkan pada
benturan yang terakhir,
tubuh Raksasa Pemangsa Manusia sampai ter-
huyung-huyung ke belakang.
"Grrrhhh...!"
Raksasa Pemangsa Manusia menggeram ke-
ras. Benturan keras itu membuktikan kalau tena-
ga dalam lelaki kecil kurus berada di atasnya. Dan
dugaannya ternyata tidak keliru, lelaki kecil kurus
memiliki keunggulan tenaga dalam. Namun dalam
hal kekuatan anggota-anggota tubuh, lelaki kecil
kurus ini bukan tandingan lawannya yang memili-
ki tubuh laksana besi baja. Benturan-benturan
yang terjadi menyebabkan rasa sakit di tangan le-
laki kecil kurus!
Namun masing-masing pihak, tidak mempe-
dulikan hal itu. Hampir pada saat yang bersamaan
keduanya saling terjang. Bertempur untuk mem-
perebutkan Melati.
Lelaki kecil kurus yang menjadi lawan Rak-
sasa Pemangsa Manusia ternyata memiliki kepan-
daian amat tinggi. Tokoh sesat bertaring itu sama
sekali bukan tandingannya. Baik dalam hal tenaga
maupun mutu ilmu silat, lelaki kecil kurus ini be-
rada di atas lawannya. Apalagi dalam hal kecepa-
tan. Hanya berkat kekuatan tubuhnya yang me-
nakjubkan, Raksasa Pemangsa Manusia masih
bertahan dengan tegar. Padahal sudah beberapa
kali-kali baik pukulan maupun tendangan lelaki
kecil kurus mendarat di berbagai bagian tubuh
lawannya. Namun sama sekali tidak mampu me-
lukai manusia bertubuh besar dan tinggi itu. Aki-
bat yang ditimbulkan hanya terlemparnya tubuh
Raksasa Pemangsa Manusia. Bahkan tak jarang
hanya terhuyung-huyung atau tergetar. Setelah
itu, lelaki tinggi besar ini kembali melancarkan se-
rangan dengan kekuatan penuh.
Sepuluh jurus dengan cepat berlalu. Selama
itu telah belasan kali Raksasa Pemangsa Manusia
menerima serangan lawan. Namun hal itu sama
sekali tidak mempengaruhinya. Dia masih tetap
tangguh dan kokoh seperti sebelumnya.
Melati yang menyaksikan jalannya pertarun-
gan diam-diam merasa gembira. Dia tahu perta-
rungan akan berlangsung alot dan lama. Hatinya
semakin berharap semoga saja keadaan seperti ini
akan berlangsung lebih lama. Melati yakin, dia
akan berhasil terbebas dari totokan yang membe-
lenggu sebelum pertarungan usai. Maka dengan
penuh semangat dipusatkan perhatian pada tena-
ga dalamnya untuk membebaskan pengaruh toto-
kan yang membelenggu. Dan dengan hati girang
Melati merasakan kalau perlahan-lahan tenaga da-
lamnya mampu menembus pengaruh totokan
Raksasa Pemangsa Manusia. Dia yakin tak lama
lagi pengaruh totokan itu akan punah semuanya.
Kembali Melati melihat tubuh Raksasa Pe-
mangsa Manusia terpental ke belakang dan tergul-
ing-guling akibat gedoran dua telapak tangan ter-
buka lelaki kecil kurus yang menghantam dadanya
secara telak. Namun, sebelum tokoh sesat yang
memiliki taring itu bangkit, si Lelaki Kecil Kurus
dengan cepat melempar tubuh ke belakang dan...
menyambar tubuh Melati!
Sambil memondong tubuh Melati, lelaki kecil
kurus itu melesat pergi. Melati meronta-ronta be-
rusaha melepaskan diri. Tanpa disadari dirinya te-
lah melakukan kesalahan besar. Tenaganya yang
belum pulih benar dari pengaruh totokan mem-
buat rontaan yang dilakukan tak ubahnya geliatan
seekor cacing. Lemah. Namun hal itu menyebab-
kan lelaki kecil kurus mengetahui kalau Melati
hampir bebas dari pengaruh totokan, Dan sekali
jari-jari tangannya bergerak, Melati kembali lum-
puh! "Keparat Jahanam! Jangan lari kau, Penge-
cut!" seru Raksasa Pemangsa Manusia, kalap keti-ka melihat lawannya melesat
kabur dengan mem-
bawa tubuh Melati. Dia pun melesat mengejar.
*** "Maaf, saudara-saudara yang gagah. Boleh
saya bertemu dengan Malaikat Salju"!" tanya seorang gadis berpakaian merah pada
dua orang pe- muda bertubuh kekar yang berdiri di depan se-
buah pintu gerbang. Di atas pintu gerbang itu ber-
tengger sepotong papan lebar dan tebal bertu-
liskan huruf-huruf indah yang berbunyi "Perkum-
pulan Pengemis Baju Putih".
"Maaf, Nisanak. Mungkin kau salah alamat.
Di sini tidak ada orang yang berjulukan seperti
itu," jawab pemuda yang bertubuh pendek, dengan suara halus.
"Bukankah ini Perkumpulan Pengemis Baju
Putih"!" Kembali gadis berpakaian merah itu mengajukan pertanyaan, meminta
penegasan. Sambil
mengajukan pertanyaan itu, sepasang mata indah
gadis itu melirik ke atas tempat tergantungnya pa-
pan tanda nama perguruan.
' Tidak salah!" sahut pemuda satunya lagi
yang bertubuh tinggi. "Tapi orang yang kau tanyakan tidak berada di sini."
"Mungkinkah ayahku salah memberikan pe-
tunjuk padaku"!" gumam gadis berpakaian merah
seperti berkata pada dirinya sendiri. Wajahnya
tampak bingung, setelah tercenung beberapa saat.
"Ayahku mengatakan kalau aku dapat menemu-
kan Malaikat Salju, kawannya, di Perkumpulan
Pengemis Baju Putih. Bahkan kata ayahku, Malai-
kat Salju menjadi pemimpinnya."
"Mungkin ayahmu keliru, Nisanak. Kami
berkata sebenarnya, pemimpin perkumpulan ini
bukan orang yang mempunyai julukan seperti kau
katakan. Beliau berjuluk Raja Pengemis Tongkat
Sakti," jelas pemuda pendek.
Kali ini gadis berpakaian merah tidak mem-
berikan sambutan. Dia termenung dengan tarikan
wajah bingung. Rupanya kenyataan yang dihada-
pi, tidak sesuai dengan yang diperkirakannya.
"Ayahku tidak mungkin keliru!" tandas gadis berpakaian merah, mantap. "Aku yakin
Malaikat Salju berada di sini! Haaii...! Malaikat Salju, keluar kau! Aku, Lestari ingin
menghadapmu...! Aku
mempunyai sebuah pesan penting dari ayahku,
Malaikat Petir!"
Seruan gadis berpakaian merah yang ternya-
ta Lestari, putri Malaikat Petir, keras sekali karena dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam se-penuhnya.
Tindakan Lestari membuat dua pemuda ke-
kar yang mengenakan pakaian penuh tambalan
sebagai mana layaknya seorang pengemis, menjadi
tidak senang. Sudah baik-baik mereka jawab, ga-
dis itu malah melakukan perbuatan yang mereka
anggap tak sopan. Hal itu menandakan kalau ta-
mu itu menganggap bahwa mereka berdua tidak
bisa dipercaya. Padahal, pantang bagi murid-
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih melaku-
kan dusta. Karena berbohong merupakan tinda-
kan seorang yang pengecut. Dan mereka bukan
pengecut! Perkumpulan Pengemis Baju Putih me-
rupakan perkumpulan para orang gagah!
"Kuharap dengan sangat agar kau bersedia
meninggalkan tempat ini, Nisanak! Jangan paksa
kami untuk melakukan tindakan kekerasan!" te-
gas pemuda pendek kekar yang mengenakan pa-
kaian dari tambal-tambalan kain warna putih se-
bagaimana yang umumnya dikenakan murid-
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih.
"Ah...! Betapa gagahnya...! Ingin kubuktikan
sendiri apakah kepandaianmu sejajar dengan be-
sarnya sesumbar yang keluar dari mulutmu!"
sambut Lestari bernada tantangan.
Kedua murid Perkumpulan Pengemis Baju
Putih ini kecelik mendengar sambutan Lestari. Me-
reka tidak menyangka akan mendapat tanggapan
seperti itu. Tentu saja karena keduanya tak men-
genai siapa gadis yang mereka hadapi. Lestari ada-
lah seorang gadis yang berwatak berubah-ubah. Di
samping juga suka menurutkan kemauan sendiri.
Prinsipnya, sekali hitam akan tetap hitam! Dan
semula, melihat sikap baik dan sopan murid-
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, Lestari
ikut baik. Gadis berpakaian merah ini memang
memiliki tanggapan sesuai dengan yang diteri-
manya. Apabila orang bersikap baik dia akan
membalas lebih baik. Namun apabila orang tidak
baik, dia akan membalas dengan tindakan lebih
kejam! Itulah sebabnya ketika mendapat ancaman
murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, sikap-
nya yang angin-anginan langsung meledak!
"Kau... kau..., Wanita Liar...!" seru pemuda kekar yang akhirnya sanggup berkata
lagi setelah tertegun sebentar karena perasaan bingung.
"Pengemis-Pengemis Bermulut Ceriwis!
Orang seperti kalian harus diberi hajaran agar ti-
dak sembarangan memaki orang!"
Lestari yang sudah kumat watak ugal-
ugalannya, langsung mengirimkan tamparan ke
arah bahu pemuda pendek kekar yang telah me-
makinya. Namun, meskipun tengah terbangkit
emosinya, Lestari masih ingat kalau dua orang
yang berdiri di hadapannya bukan termasuk go-
longan hitam. Bahkan bukan tidak mungkin me-
reka murid Malaikat Salju, kawan akrab ayahnya!
Itulah sebabnya, gadis berpakaian merah ini me-
ngirimkan serangan yang tidak mematikan.
Meskipun kaget melihat cepatnya serangan
Lestari yang meluncur ke arah pelipisnya, pemuda
itu tidak menjadi kehilangan akal. Sekilas tadi di-
rinya memang tampak gugup, tapi tetap tidak ke-
hilangan sikap waspada dan hati-hati. Sungguh-
pun dengan agak menggeragap, pemuda pendek
kekar ini cepat melangkahkan kakinya ke bela-
kang sambil mendoyongkan tubuh mengelakkan
serangan Lestari. Hingga serangan putri Malaikat
Petir itu pun lepas dari sasaran.
Namun, hal seperti ini rupanya sudah diper-
hitungkan oleh Lestari. Pada saat yang bersamaan
dengan tangan kanannya yang menampar angin,
kaki kanannya bergerak ke arah paha lawan.
Dukkk! Secara telak dan keras sekali kaki Lestari
mendarat pada sasaran. Seketika tubuh pemuda
pendek kekar itu terlempar ke samping. Kenyataan
ini membuat rekannya terkejut, dan langsung ber-
gerak menyerang karena khawatir kawannya men-
dapat serangan susulan dari gadis itu.
Namun seperti ketika menghadapi pemuda
pendek kekar, Lestari tidak mengalami kesukaran
untuk merobohkannya. Sekali mengulurkan tan-
gan, gadis berpakaian merah ini telah berhasil
menyarangkan pukulan tangannya yang terbuka
ke perut pemuda tinggi kekar. Murid Perkumpulan


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pengemis Baju Putih yang sial ini pun jatuh ter-
duduk di tanah.
Tanpa mempedulikan kedua lawannya yang
masih menyeringai menahan sakit, Lestari berja-
lan melenggang ke dalam melalui pintu gerbang.
Mulutnya terus berteriak-teriak memanggil Malai-
kat Salju. Seketika itu pula suasana di dalam Perkum-
pulan Pengemis Baju Putin gempar. Kedatangan
Lestari dengan sikapnya yang ugal-ugalan, berte-
riak-teriak memanggil nama Malaikat Salju mem-
buat kaget orang-orang di dalam perguruan itu.
Semua penghuni di dalam markas Perkumpulan
Pengemis Baju Putin tampak berlarian keluar dari
pondok masing-masing.
Di dalam lingkungan benteng ternyata ter-
dapat halaman tanah luas. Dan di sekitar hampa-
ran tanah luas itu berdiri banyak pondok-pondok
sederhana jumlahnya cukup banyak dan bentuk-
nya seragam. Hanya ada satu pondok yang jauh
lebih besar dari yang lainnya. Inilah tempat tinggal sang Ketua Perkumpulan
Pengemis Baju Putih
yang berjuluk Raja Pengemis Tongkat Sakti.
*** 5 Lestari memandang berkeliling, tidak terlihat
gentar sama sekali. Tarikan wajah dan sorot ma-
tanya memancarkan ketenangan. Padahal, gadis
berpakaian merah ini telah terkurung oleh pulu-
han orang berpakaian pengemis. Dan mereka se-
muanya menggenggam sebatang tongkat runcing
dan panjang di tangan.
"Siapa kau, Nisanak" Bagaimana kau bisa
masuk kemari"! Dan, apa arti ucapanmu itu, Ni-
sanak"!" tegur seorang pengemis berwajah kuning yang berdiri di hadapan Lestari.
Lelaki berwajah
kuning ini melangkah tiga tindak agar lebih dekat
dengan gadis berpakaian merah yang berdiri di
tengah halaman.
"Aku sudah perkenalkan diri di luar, tapi
orang-orang yang menjemukan itu tetap tidak
mengizinkan aku masuk. Jadi, terpaksa aku ma-
suk. Sekarang, sebelum kesabaranku hilang, dan
terpaksa aku menyuruh kalian menuruti keingi-
nanku dengan kekerasan, cepat bawa aku mene-
mui Malaikat Salju!!" tandas Lestari.
Wajah lelaki yang menegur Lestari seperti
semakin bertambah kuning karena ucapan keras
dan tajam gadis itu.
"Rupanya kau salah alamat, Nisanak! Di sini
tidak ada orang yang kau cari! Di sini perkumpu-
lan pengemis, bukan tempat malaikat! Cepat ting-
galkan tempat ini!"
"Rupanya kau menginginkan aku bertindak
keras, Manusia Penyakitan!" sambut Lestari, ke-
ras. "Baik kalau itu yang kau inginkan!"
Begitu selesai mengucapkan perkataan itu,
Lestari menjejakkan kaki dan melompat ke atas
melewati kepala rombongan pengemis yang men-
gurungnya. Tindakan Lestari yang tidak terduga-
duga ini membuat rombongan pengemis itu, tak
terkecuali lelaki berwajah kuning tak sempat me-
lakukan tindakan untuk mencegah. Dengan gemi-
lang, Lestari berhasil melewati kepala para murid
Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bahkan men-
darat di luar kepungan. Kemudian dia langsung
melesat ke arah bangunan paling besar. Dengan
kecerdikannya Lestari dapat menduga kalau pon-
dok terbesar itu pasti diperuntukkan bagi sang Ke-
tua. Dan kalau benar, pasti Malaikat Salju! Itulah
sebabnya, gadis berpakaian merah ini langsung
melesat ke sana.
Beberapa langkah lagi mencapai pintu pon-
dok, dari dalam melesat keluar sesosok bayangan
yang tidak jelas bentuknya karena sangat cepat
gerakannya. Kebetulan, pintu pondok itu terbuka
lebar, sehingga sosok yang melesat dari dalam sa-
na, tidak memerlukan gerakan tambahan untuk
membuka daun pintunya.
Lestari yang tidak menduga kalau dari dalam
akan melesat sesosok bayangan dengan kecepatan
mengagumkan, menjadi kaget bukan kepalang.
Apalagi ketika menyadari arah yang dituju sosok
bayangan itu berlawanan dengannya. Kedua sosok
yang tengah berlari ini berada persis dalam satu
jalur, dan kebetulan berlawanan arah. Kalau tidak
dapat dicegah, akan terjadi benturan antara mere-
ka. Lestari langsung menjejakkan kaki untuk
melempar tubuhnya ke belakang. Dia sempat me-
lakukan salto beberapa kali, sebelum kedua ka-
kinya melayang turun dan hinggap di tanah den-
gan ringan. Sosok yang melesat dari dalam pun melaku-
kan tindakan cepat untuk menghindarkan tabra-
kan dengan Lestari. Seperti juga Lestari, sosok itu
menyadari akan kemungkinan terjadinya tumbu-
kan ketika telah berada di luar pintu pondok. Ma-
ka, dengan kecepatan gerak luar biasa, tongkat
yang terpasang melintang di punggung dicabut
dan dipukulkan ke tanah.
Blarrr! Gumpalan-gumpalan tanah langsung ber-
hamburan dan bahkan debu tebal pun mengepul
ke udara. Namun bukan hal itu yang diharapkan
oleh sosok yang melesat dari dalam. Dengan me-
minjam tenaga yang membalik dari pukulan tong-
kat, tubuhnya mencelat ke belakang dan mendarat
dengan mantap, tepat di ambang pintu.
Berbeda dengan sosok itu yang mampu
mendarat dengan aman, Lestari tidak demikian.
Setelah kedua kakinya menjejak tanah, rombon-
gan Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang se-
mula mengejarnya, langsung merubung dan men-
girimkan serangan. Tiga di antara mereka yang
bersikap lebih tanggap, langsung menusukkan
tongkat masing-masing ke arah gadis itu.
Serangan-serangan yang datang secara
mendadak itu ternyata sangat dahsyat. Namun,
Lestari masih mampu membuktikan bahwa di-
rinya tak percuma menjadi putri tunggal tokoh ke-
sohor berjuluk Malaikat Petir. Dengan mudah dia
berhasil mengelakkan satu serangan. Sedangkan
yang dua lagi dipapaknya dengan tangan dan ten-
dangan. Akibatnya, tubuh dua anggota Perkumpu-
lan Pengemis Baju Putih yang sial itu pun terjeng-
kang ke belakang saking kerasnya tenaga tangki-
san Lestari. Melihat keberhasilan Lestari menghadapi se-
rangan mendadak ini, belasan murid Perkumpulan
Pengemis Baju Putih ini pun menjadi penasaran.
Serentak mereka bergerak untuk menyerbu.
' Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras. Be-
lasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih
yang tengah merangsek maju langsung berhenti.
Mereka semua tahu betul siapa pemilik suara itu.
Tanpa banyak membantah, mereka menghentikan
gerakan dan melangkah mundur.
"Kalian jangan membuat malu perkumpulan
kita...!" sambung pemilik seruan mencegah itu,
yang ternyata si Lelaki Berwajah Kuning. "Tindakan kalian, apabila sampai
terdengar oleh dunia
persilatan akan menjadikan perkumpulan kita se-
bagai buah ejekan orang lain. Perlu kalian ingat,
Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bukan serom-
bongan orang berjiwa pengecut yang hanya berani
melakukan pengeroyokan!"
"Gagah nian ucapanmu itu, Muka Penyakit!"
sergah Lestari, lantang dan tidak mempedulikan
lelaki berwajah kuning yang menyibak kerumunan
murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih
untuk mendekatinya. "Apakah kau bermaksud
melawanku sendiri"! Lebih baik urungkan saja
niatmu yang sok-sokan itu. Dan biarkan saja re-
kan-rekanmu membantu untuk melakukan penge-
royokan terhadap diriku!"
"Sombong!" bentak lelaki berwajah kuning
yang semakin bertambah kuning warnanya karena
marah melihat sikap sombong Lestari yang diang-
gapnya keterlaluan "Kau akan melihat buktinya
sendiri, Wanita Liar!"
Lelaki berwajah kuning itu menutup uca-
pannya dengan sebuah pukulan tangan kanan ke
arah dada. Pukulan keras itu diketahui oleh Lesta-
ri didorong tenaga dalam cukup kuat Sebab ti-
banya serangan itu diiringi bunyi berkesiutan dari
udara yang terobek.
Lestari yang memiliki watak sukar ditebak,
kali ini tidak menangkis serangan itu. Padahal, dia
yakin kalau tenaga dalamnya tidak kalah kuat
dengan yang dimiliki lawan. Gadis berpakaian me-
rah ini malah mengelak. Tindakan itu tetap dila-
kukannya kendati lelaki berwajah kuning itu terus
melancarkan serangan susulan. Ternyata tidak
mengecewakan, Lestari berhasil membuat semua
serangan lawannya hanya mengenai angin.
"Mana bukti ucapanmu, Manusia Penyaki-
tan"! Ternyata ucapanmu tak lebih dan kentut!
Bau busuk, dan tidak bisa menyebabkan apa pun
selain orang menutup hidung!" ejek Lestari di sela-sela gerakan tubuhnya yang
berlompatan ke sana
kemari. "Kaulah yang pengecut, Wanita Liar! Kalau
kau memang bermaksud menyaksikan kelihaian
ku, jangan cuma berlompatan seperti kera betina
mencari pejantan untuk dikawini, tapi balaslah
menyerang!" sahut lelaki berwajah kuning, tak tahan untuk tidak berkata keras
karena marah dan
jengkel. Lestari mengeluarkan lengkingan nyaring
karena kaget dan marahnya mendengar ucapan
yang terdengar tak senonoh untuk diperdengarkan
pada seorang gadis sepertinya. Selebar wajahnya
merah padam karena perasaan malu bercampur
marah. Mendadak gerakannya berubah, tidak
hanya bergerak mengelak melainkan juga melaku-
kan tangkisan. Plakkk! Tubuh pengemis berwajah kuning langsung
terjengkang ke belakang dan terguling-guling di
tanah ketika tendangan lurusnya dipapak oleh ka-
ki Lestari. Mulutnya menyeringai menahan sakit
yang melanda. Sementara tubuh gadis itu hanya
tergetar dan agak goyah kedudukannya.
Melihat keadaan lelaki berwajah kuning itu,
tanpa diberi perintah murid-murid Perkumpulan
Pengemis Baju Putin meluruk menerjang.
''Tahan...!"
Lagi-lagi terdengar seruan mencegah. Dan
seperti juga sebelumnya, kali ini pun belasan mu-
rid Perkumpulan Pengemis Baju Putih mematu-
hinya. Mereka semua menghentikan gerakan, pa-
dahal serangan-serangan sudah siap dilancarkan.
Lestari langsung mengarahkan pandangan
ke arah asal bentakan. Pemilik suara itu ternyata
menghampirinya, dan berjalan menyibak kerumu-
nan pengemis-pengemis berbaju putih. Mereka
semua menyingkir untuk memberi jalan.
"Siapa kau, Nisanak"!" tanya pemilik bentakan ketika telah berjarak dua tombak
di depan Lestari. Dia ternyata seorang pemuda berpakaian
biru. Tubuhnya gagah berotot Wajahnya yang ber-
bentuk persegi seperti wajah singa memperli-
hatkan kejantanan. "Mengapa kau mengacau di
tempat ini"!"
Lestari tidak langsung menjawab pertanyaan
itu. Matanya menatap tajam pemuda berpakaian
biru dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Se-
saat kemudian, sambil tersenyum sinis dia men-
gangguk-anggukkan kepala.
"Kelihatannya kau berbeda dengan mereka,"
ucap Lestari seenaknya. "Tapi, ternyata kau sama menjemukannya dengan mereka.
Selalu mau tahu
urusan orang! Tidak cukupkah aku mengatakan
kepentinganku kemari"! Haruskah aku melapor
pada semua orang yang ada di sini satu persatu
untuk kepentingan yang kubawa ini" Aku sudah
bosan mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti ini
terus! Menyingkirlah, biar aku sendiri yang men-
cari di mana adanya Malaikat Salju!"
Dengan sikap tidak peduli, Lestari men-
gayunkan kaki ke depan. Padahal, di depannya
berdiri pemuda berpakaian biru. Andaikata, Lesta-
ri terus melanjutkan tindakannya, dan pemuda itu
tidak menyingkir, antara mereka akan terjadi tu-
brukan. "Tunggu sebentar, Nisanak!" cegah pemuda
berpakaian biru sambil menjulurkan kedua tan-
gan ketika Lestari bam saja melangkah dua tin-
dak. "Percayalah, setelah ini kau tidak akan mendapat pertanyaan itu lagi.


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katakan, apa maksud-
mu mencari Malaikat Salju! Dan siapa dirimu se-
benarnya" Dan dari mana kau bisa menduga ka-
lau Malaikat Salju berada di sini"!"
"Baiklah!" ujar Lestari sambil membanting
kaki seperti melampiaskan kejengkelannya. "Aku
tahu Malaikat Salju berada di sini dari ayahku.
Dan beliau adalah salah seorang sahabat baik Ma-
laikat Salju. Beliau berjuluk Malaikat Petir!"
"Ah...!" seru pemuda berpakaian biru, kaget.
Wajah tampannya yang jantan berubah cerah. "Ki-
ranya kau...! Kau putri Malaikat Petir"! Jadi...
kau... kau... Lestari Mala...!"
Sekarang ganti Lestari yang merasa terkejut.
Baru sekarang ada orang yang menyebut namanya
dengan lengkap. Memang, demikian namanya.
Namun dia sendiri hampir melupakan karena le-
bih sering mempergunakan nama depannya saja.
"Dari mana kau tahu namaku..."!" tanya ga-
dis yang bernama lengkap Lestari Mala ini dengan
suara bergetar karena menahan gejolak perasaan.
"Tentu saja dari guruku. Beliaulah yang
menceritakan tentang diri Malaikat Petir dan pu-
trinya yang katanya bernama Lestari Mala. Dan
guruku ini adalah... Malaikat Salju, orang yang
kau cari...!"
"Pantas kau lihai," puji Lestari sehingga
membuat selebar wajah pemuda berpakaian biru
memerah karena malu. "O ya, mana gurumu" Aku
ingin bertemu dengannya untuk menyampaikan
sebuah kabar penting."
"Sayang sekali, Lestari," jawab pemuda berpakaian biru dengan penuh penyesalan.
Dia tidak bertanya lebih jauh mengenai kabar penting yang
dimaksud. "Baru kemarin beliau pergi karena sela-lu mendapat firasat buruk
mengenai gurunya, Ka-
kek Sobrang. Beliau pergi untuk memastikan ke-
benaran firasatnya."
Raut wajah Lestari berubah. Tampak di wa-
jahnya perasaan kecewa, meski hanya sebentar.
"Bagaimana kau dan gurumu bisa menjadi
ketua perkumpulan orang-orang kurang makan
ini?" Pemuda berpakaian biru tersenyum men-
dengar pertanyaan Lestari yang ceplas-ceplos itu.
Diam-diam dia merasa aneh sendiri. Sebab, bi-
asanya tidak pernah dia tersenyum seperti itu.
Namun, di depan Lestari tiba-tiba dia tersenyum.
Ada saja ucapan atau tingkah gadis itu yang
membuatnya tidak bisa menahan geli.
"Kami tidak menjadi ketua pengemis, Lestari.
Bahkan keberadaan kami di sini, meskipun me-
mang diketahui oleh semua murid perkumpulan
tapi tidak ada seorang pun yang mengenalku dan
guruku. Kecuali, pengemis yang berwajah kuning.
Ada pun penyebabnya adalah karena guruku telah
menyelamatkan nyawa ketua perkumpulan pen-
gemis ini dari pengeroyokan bajak-bajak sungai
yang ingin membunuhnya. Karena guruku hendak
menjauhkan diri dari dunia persilatan, ketua pen-
gemis itu menawarkan tempat tinggal dan guruku
menerimanya. Ketua pengemis itu sendiri kini ten-
gah bersemadi dan tidak bisa diganggu. Jelas, Les-
tari?" "Ah..., begitukah...! Betapa untungnya aku"
Sama sekali tidak kusangka akan dapat menemu-
kan tempat persembunyian Malaikat-Malaikat
Pengecut itu! Hoi...! Malaikat Salju yang penge-
cut..! Keluar kau...!"
Tiba-tiba terdengar suara seruan keras dan
berkumandang. Pemuda berpakaian biru, Lestari,
dan seluruh murid Perkumpulan Pengemis Baju
Putih terkejut bukan kepalang mendengar suara
yang langsung berkumandang di sekitar tempat
itu. Mereka semua menengok ke angkasa karena
memang berasal dari sana. Dan seketika itu pula
mereka semua membelalakkan sepasang mata
seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Tepat di atas mereka, berjarak sekitar dela-
pan tombak tampak sesosok tubuh kurus seorang
kakek berambut awut-awutan tengah duduk di
atas sebatang kayu bulat sebesar ibu jari kaki.
Panjang kayu itu tak lebih dari satu tombak. Pada
bagian belakangnya terikat ijuk. Jadi kakek itu
duduk pada sebatang sapu ijuk, seperti layaknya
menunggang kuda. Kedua tangannya memegang
batang kayu. "Dewa Langit Tak Punya Malu...!" ucap pe-
muda berpakaian biru, tanpa mampu menyembu-
nyikan keterkejutan dan kekhawatiran pada wa-
jahnya. "Kau mengenalnya"!" tanya Lestari dengan
suara berbisik karena masih belum dapat menghi-
langkan perasaan kaget yang melanda hati melihat
pemandangan seperti itu.
"Guruku banyak bercerita tentang tokoh-
tokoh dunia persilatan. Dan menurutnya, ada
gembong-gembong datuk sesat yang sekitar dua
puluh tahun lalu mengasingkan diri, lenyap dari
rimba persilatan. Gembong-gembong itu berjuluk
Biang-Biang Iblis, karena memiliki kepandaian
dan kekejaman luar biasa. Dan Dewa Langit Tak
Punya Malu ini merupakan salah satu di antara
mereka." "Ah...!" Lestari tampak kaget mendengar ke-terangan dari pemuda berpakaian biru
itu. Sebab sebelumnya dia tak pernah mendengar nama to-
koh ini, meskipun Malaikat Petir, ayahnya telah
banyak bercerita tentang tokoh kesohor di dunia
persilatan. Seketika dia teringat akan tokoh-tokoh
dahsyat dan mengerikan yang ditemuinya sebelum
ini. "Jadi selain dia masih ada lagi. Apakah Dewi Cabul juga termasuk di antara
mereka"!"
"Benar," pemuda berpakaian biru mengang-
guk-kan kepala. "Mereka semua, menurut guruku,
memiliki kepandaian tinggi dan aneh-aneh serta
memiliki bentuk kejahatan keji yang berbeda-
beda...." *** "Rupanya kau benar-benar telah menjadi
seorang pengecut, Malaikat Salju"!" seru kakek berambut awut-awutan yang
berjuluk Dewa Langit
Tak Punya Malu, setelah menunggu sejenak tak
juga terdengar adanya sambutan. "Baik, kalau begitu biar aku yang turun dan
mencarimu...!"
Seruan Dewa Langit Tak Punya Malu itu
membuat Lestari dan pemuda berpakaian biru
menghentikan percakapan. Bagai telah disepakati
Lestari dan pemuda berpakaian biru mengelua-
rkan senjata andalan masing-masing.
"Aku tak yakin kalau kita akan mampu ber-
buat banyak terhadapnya, Lestari. Menurut guru-
ku, kepandaian Dewa Langit Tak Punya Malu su-
kar dicari tandingannya. Bahkan mungkin beliau
pun tak mampu menghadapi tokoh-tokoh dari ke-
lompok Biang-Biang Iblis ini."
Pemuda berpakaian biru mengeluarkan per-
kataannya tanpa melepaskan pandangan dari De-
wa Langit Tak Punya Malu. Lestari dan juga bela-
san pasang mata lainnya pun melakukan hal yang
sama. Mereka semua ingin tahu, bagaimanakah
kakek berambut awut-awutan turun dari tempat
yang cukup tinggi itu. Apakah dengan mempergu-
nakan kendaraannya yang bernama 'Sapu Angin'
itu, atau langsung melompat.
Lestari memalingkan wajahnya yang lang-
sung berubah merah ketika melihat mendadak
Dewa Langit Tak Punya Malu memerosotkan cela-
nanya. Bahkan pemuda berpakaian biru dan bela-
san orang murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu-
tih pun merasa heran melihat kelakuan kakek be-
rambut awut-awutan itu. Apakah yang hendak di-
lakukannya" Pertanyaan itu bergayut di benak
mereka. Mereka semua berhamburan menjauhkan
diri dari tempat itu ketika dari atas turun perci-
kan-percikan air. Rupanya gembong datuk sesat
itu memang memiliki watak tidak tahu malu. Dari
atas dia mengencingi orang-orang yang berada di
bawahnya. "Ha ha ha...!"
Di saat belasan orang, tak terkecuali Lestari
dan pemuda berpakaian biru berlompatan dengan
penuh perasaan jijik, takut terkena percikan air
kotor itu, Dewa Langit Tak Punya Malu malah ter-
tawa bergelak penuh kegembiraan.
"Bagaimana"! Enak bukan"!" ujar Dewa Lan-
git Tak Punya Malu, begitu belasan orang-orang
yang berdiri di bawahnya telah berdiri tegak lagi di tanah.
Pertanyaan itu membuat belasan murid Per-
kumpulan Pengemis Baju Putih semakin meluap
amarahnya. Sebagian besar di antara mereka ter-
kena percikan air yang menjijikkan itu, meskipun
telah berusaha untuk mengelak. Yang lebih parah
lagi, air kencing Dewa Langit Tak Punya Malu itu
amat pesing dan bercampur bau busuk. Hampir
saja mereka muntah-muntah. Tak urung, bebera-
pa di antara mereka meludah-ludah penuh rasa ji-
jik. Lucunya, bagian yang terkena percikan air
kencing itu justru mereka cium-cium!
"Keparat..! Jahanam...!"
"Mampus kau, Tua Bangka Gendeng...!"
Dorongan amarah yang menggelora mem-
buat belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju
Putih itu melemparkan pisau-pisau ke arah Dewa
Langit Tak Punya Malu! Sinar-sinar berkilat berba-
rengan dengan bunyi-bunyi berdesing nyaring
yang mengiringi meluncurnya belasan bahkan
mungkin puluhan pisau itu ke arah sasaran.
Dewa Langit Tak Punya Malu malah tertawa
terbahak-bahak sambil memutar-mutarkan kedua
tangannya. Dia tidak kelihatan gugup atau khawa-
tir mendapat serangan seperti itu di saat tubuhnya
tengah berada di udara. Bahkan lelaki tua itu ber-
sikap seolah-olah tidak ada bahaya yang mengan-
camnya. Baru ketika pisau-pisau itu hampir men-
genai sasaran, kedua tangannya bergerak mengi-
bas secara cepat sekali.
Menyaksikan tindakan kakek berambut
gembel itu belasan orang yang menyerangnya ter-
kejut. Tangkisan tangan telanjang Dewa Langit
Tak Punya Malu, membuat sebagian pisau melesat
kembali ke arah pemiliknya. Bahkan kecepatannya
bertambah berlipat ganda. Kepanikan pun timbul
di dalam rombongan Perkumpulan Pengemis Baju
Putih itu. Mereka semua berlompatan dan berlari
untuk menyelamatkan diri. Namun, sebagian di
antara mereka kurang cepat, sehingga pisau-pisau
itu telah lebih dulu memangsa majikannya. Jeri-
tan-jeritan menyayat hati mengiringi robohnya tu-
buh murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu-
tih itu. Mereka tewas oleh senjata mereka sendiri.
Lestari, pemuda berpakaian biru, dan pen-
gemis berwajah kuning menggertakkan gigi penuh
geram ketika melihat banyaknya korban yang ber-
jatuhan tertancap pisau mereka sendiri. Namun
apa yang dapat dilakukan, lawan berada di atas,
jauh dari jangkauan serangan kecuali lemparan
senjata rahasia!
"Sayang sekali..., permainan ini kurang me-
narik! Aku akan mempertunjukkan pada kalian
permainan yang lebih menarik...!"
Pemuda berpakaian biru dan yang lainnya
tahu kalau Dewa Langit Tak Punya Malu akan me-
lakukan serangan. Maka mereka segera bersiap
siaga. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan
mereka telah terhunus siap untuk dipergunakan.
Sementara Dewa Langit Tak Punya Malu ter-
lihat tidak tergesa-gesa dengan permainan yang
akan dipertunjukkannya. Dengan gerakan lambat
diambilnya buntalan yang tersangkut di bahu ka-
nan. Tangan kanannya merogoh buntalan berwar-
na hitam itu. "Silakan berpesta, Anak-Anakku...!" ujar
Dewa Langit Tak Punya Malu seraya melemparkan
benda-benda berwarna hitam mengkilat yang ter-
genggam di tangan.
Para murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu-
tih yang sejak tadi telah bersiap siaga, segera ber-
tindak ketika melihat sinar-sinar hitam meluncur
dari atas. Mata mereka yang rata-rata terlatih
langsung bisa mengetahui kalau benda-benda hi-
tam yang tengah meluncur turun itu ternyata
ular-ular berbisa. Sambil melangkah mundur me-
reka memutar-mutarkan senjata di atas kepala
untuk membabati binatang-binatang melata yang
mencoba memangsa mereka.
Namun, lagi-lagi pemuda berpakaian biru
dan kelompoknya harus menelan kenyataan pahit.
Ular-ular hitam itu ternyata tidak mudah dibu-
nuh. Meskipun sebagian dari binatang-binatang


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melata itu terkena hantaman senjata para murid
Perkumpulan Pengemis Baju Putih tak nampak
terluka atau putus. Ular-ular itu terus meluncur
menuju sasaran sambil mengeluarkan desisan
menyeramkan. Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul
ketika ular-ular hitam itu amblas ke dalam dada
murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih
yang sial. Mereka berkelojotan sebentar sebelum
akhirnya diam tidak bergerak untuk selamanya.
Lestari dan pemuda berpakaian biru serta
pengemis berwajah kuning tampak berhasil me-
nyelamatkan diri dari sergapan maut ular-ular hi-
tam yang ternyata memiliki racun amat memati-
kan itu. Kesempatan di saat pemuda berpakaian biru
dan yang lain-lainnya disibukkan dengan usaha
menyelamatkan diri, Dewa Langit Tak Punya Malu
meluncur ke bawah. Kakek berambut awut-
awutan itu melompat begitu saja dari kendaraan
'Sapu Angin'-nya. Kedua tangannya yang meng-
genggam batang kayu, diletakkan di atas kepala
seperti sebuah payung. Tokoh sesat berwatak
aneh itu memutar-mutarkannya. Dan berkat tin-
dakan ini, laju tubuhnya yang meluncur turun ti-
dak terlalu pesat. Hanya dalam waktu sebentar,
Dewa Langit Tak Punya Malu telah berhasil menje-
jak tanah dengan ringan.
*** 6 Pemuda berpakaian biru bertindak lebih ce-
pat daripada Lestari ataupun pengemis berwajah
kuning. Pemuda berwajah persegi ini mengayun-
kan tongkatnya ke arah kepala Dewa Langit Tak
Punya Malu. "Hebat...!" seru Dewa Langit Tak Punya Malu sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Sayang, kurang
cepat! Tidak kena...!"
Tongkat pemuda berpakaian biru melayang
di atas kepala lawan karena kakek berwatak aneh
itu ternyata telah lebih dulu merendahkan tubuh.
"Eit..! Ini pun melesat...!" sesumbar Dewa Langit Tak Punya Malu lagi sambil
melompat ke belakang ketika kipas baja di tangan Lestari melu-
ruk cepat mengarah kepalanya.
Pengemis berwajah kuning, mendapat giliran
penyerangan terakhir karena memang dia paling
rendah kepandaiannya. Namun seperti juga Lesta-
ri dan murid Malaikat Salju, serangan lelaki ber-
wajah kuning itu pun tak berhasil. Dewa Langit
Tak Punya Malu mengelak sambil melontarkan se-
ruan-seruan yang sepertinya menyayangkan tapi
jelas penuh ejekan.
Tiada henti-hentinya kakek berambut awut-
awutan itu mengeluarkan ejekan-ejekan setiap
berhasil mengelakkan serangan. Dia terus-
menerus mengelak tanpa melancarkan serangan.
Baru ketika menginjak jurus ketiga belas, Dewa
Langit Tak Punya Malu melakukan serangan bala-
san. "Ah...! Maaf, aku tidak bermaksud memu-
kulmu keras-keras!" ucap kakek berambut awut-
awutan itu ketika berhasil menghantam pengemis
berwajah kuning sehingga nyawanya melayang ke
akherat dengan pelipis pecah. "Pasti sakit, ya"!
Maafkan aku...!"
Lestari dan pemuda berpakaian biru sema-
kin geram melihat sikap Dewa Langit Tak Punya
Malu yang demikian. Mereka pun menguras selu-
ruh kemampuan agar dapat mengalahkan lawan-
nya. Namun, kakek berambut awut-awutan itu
benar-benar bukan lawan yang gampang dikalah-
kan. Dapat mengimbanginya saja sudah merupa-
kan hal yang membanggakan.
Sampai dua puluh lima jurus kedua belah
pihak masih belum terlihat ada yang terdesak.
Pertarungan masih berlangsung seru. Namun hal
itu tidak berlangsung lama. Dan pada jurus kedua
puluh tujuh, pihak Lestari dan pemuda berpa-
kaian biru nampak mulai terdesak. Sesaat kemu-
dian keduanya telah berada dalam keadaan gawat.
Hal itu terjadi karena Dewa Langit Tak Punya Ma-
lu benar-benar melakukan perbuatan yang tidak
punya malu. Serangan-serangan yang dilakukan-
nya tidak hanya menggunakan tangan dan kaki,
serta sapunya. Melainkan juga ludah, ingus, dan
angin yang keluar dari lubang duburnya. Tinda-
kan aneh kakek berambut awut-awutan itu me-
nyebabkan gerak penyerangan Lestari maupun
pemuda berpakaian biru tidak leluasa, karena me-
rasa jijik. Pemuda berpakaian biru tahu, lama-
kelamaan mereka berdua akan tewas di tangan
Dewa Langit Tak Punya Malu. Dan hal itu tidak di-
inginkannya. Dia sendiri tidak takut mati, dan
bahkan kematian baginya bukan apa-apa. Namun
hatinya, tidak ingin Lestari Mala ikut mati! Pemu-
da berpakaian biru tidak ingin Lestari tewas per-
cuma. Dia ingin Lestari selamat. Sebuah perasaan
aneh bersemi di hatinya ketika bertemu dengan
putri tunggal Malaikat Petir itu. Dunia seperti be-
rubah. Awan, pohon, dan tanah yang terlihat jadi
lebih indah. Pemuda berpakaian biru merasa me-
naruh hati pada gadis cantik itu. Barangkali pera-
saan inilah yang menyebabkannya tidak rela Les-
tari mati. "Lestari...! Larilah kau, biar aku coba mena-
hannya...!" seru pemuda berpakaian biru sambil
menyerang Dewa Langit Tak Punya Malu secara
membabi buta, untuk memberikan kesempatan
pada Lestari agar melarikan diri.
"Kau kira aku takut mati"! Aku bukan pen-
gecut! Lebih baik kita mati bersama!" sambut Lestari keras sambil ikut
menyerang. "Jangan bertindak nekat, Lestari! Kita tak
akan menang melawannya. Cepat pergi, biar aku
yang menghadapinya!" bujuk pemuda berpakaian
biru sambil memutar tongkatnya laksana baling-
baling untuk membuat pertahanan yang kokoh
kuat. Namun dia langsung terjengkang ketika
tongkatnya berbenturan dengan Sapu Angin Dewa
Langit Tak Punya Malu.
Pemuda berpakaian biru tidak mempeduli-
kannya sama sekali. Tanpa menghiraukan sakit
yang melanda sekujur tubuh akibat benturan itu,
dia memotong serangan Dewa Langit Tak Punya
Malu yang ditujukan pada Lestari.
Trakkk! Tangkisan tangkai sapu Dewa Langit Tak
Punya Malu yang terpaksa membatalkan seran-
gannya terhadap Lestari Mala, membuat tubuh
pemuda berpakaian biru terjengkang ke belakang.
"Cepat lari, Lestari! Jangan sia-siakan pe-
ngorbanan ku! Apakah kau ingin aku mati pena-
saran!" seru pemuda berpakaian biru, sementara
tubuhnya terguling-guling karena kerasnya tang-
kisan Dewa Langit Tak Punya Malu.
Lestari menggigit bibir untuk menguatkan
perasaan hatinya yang terharu melihat tindakan
pemuda berpakaian biru. Apalagi ketika dilihatnya
pemuda itu bergulingan di tanah untuk menyela-
matkan selembar nyawanya dari kejaran Dewa
Langit Tak Punya Malu. Gadis itu sadar kalau se-
mua ucapan pemuda berpakaian biru benar, maka
dengan berat hati dia berlari meninggalkannya.
"Selamat tinggal, Lestari...!"
Sempat didengar oleh Lestari, seruan pemu-
da berpakaian biru. Namun, Lestari tidak berani
menoleh kepala. Dia tidak ingin, pemuda berpa-
kaian biru melihat sepasang matanya yang berka-
ca-kaca. Malah, Lestari semakin mempercepat la-
rinya. *** Lestari berlari terus tanpa memperhatikan
arah. Dia hanya menuruti saja ke mana kakinya
berlari. Kalau tidak mengingat ucapan pemuda
berpakaian biru, dan juga tugas yang diembankan
kepadanya, Lestari lebih suka mati bersama murid
Malaikat Salju itu.
Karena berlari dengan pikiran melayang ke
sana kemari, Lestari kurang waspada. Dia lupa
memperhatikan sekelilingnya. Gadis berpakaian
merah ini baru terperanjat ketika merasakan
bunyi riuh-rendah di depannya. Dan ketika Lestari
mengawasi secara lebih teliti, dia terkejut
Sekitar dua puluh tombak di depan Lestari
yang tengah berlari, tampak sesuatu bergerak-
gerak menuju arahnya. Sesuatu yang ditakuti oleh
sebagian besar kaum perempuan. Tikus! Dan yang
lebih membuat bergidik hati Lestari adalah jum-
lahnya. Seekor tikus saja sudah cukup untuk
membuat bulu tengkuknya meremang. Kini di ha-
dapannya ada ratusan bahkan mungkin ribuan
ekor tikus berwarna hitam mengkilat dan besar.
Tikus-tikus itu hampir sebesar kucing.
Lestari langsung menghentikan langkahnya,
dan memandang dengan sorot mata tidak percaya.
Dari mana datangnya tikus-tikus besar begini ba-
nyaknya" Meskipun tadi tidak melalui jalan ini,
Lestari dapat menduga kalau keberadaan kawa-
nan tikus hitam itu di tempat ini merupakan sua-
tu yang aneh. Tidak wajar!
Lestari semakin yakin akan dugaannya keti-
ka melihat sesosok manusia bertubuh tinggi sekali
berada di belakang kawanan tikus itu. Sosok ber-
telanjang dada dan hanya mengenakan sepotong
celana panjang merah. Jarak yang masih jauh
menyulitkan Lestari untuk bisa melihat lebih jelas.
Namun dia yakin kalau sosok tinggi laksana galah
itu seorang lelaki! Di mulut lelaki tinggi itu me-
nempel sebatang suling bambu yang dipegang
dengan kedua tangan.
Suara melengking tinggi dan bernada aneh
terdengar dari suling itu. Sesaat kemudian tiba-
tiba Lestari merasakan kedua lututnya lemas! Ti-
kus-tikus besar itu mendadak berlarian menyer-
bunya sambil memperdengarkan suara mencicit
yang ramai memecah bergemuruhnya langkah me-
reka yang seperti saling berlomba. Seakan bina-
tang-binatang menjijikkan itu mengancam penuh
kemarahan. Lestari sama sekali tidak menyangka kalau
tikus-tikus itu akan melakukan penyerangan den-
gan demikian ganasnya. Namun, otaknya yang
cerdas langsung dapat menduga bahwa perilaku
binatang-binatang yang terkenal dengan ketaja-
man giginya itu, berhubungan dengan bunyi sul-
ing yang ditiup oleh sosok tinggi kurus di belakang
mereka. Lestari tak sempat banyak memikirkan ten-
tang hal itu, karena tikus-tikus berbulu hitam itu
telah semakin dekat. Keadaan itu membuat ha-
tinya kian dicekam kengerian. Perasaan takut dan
ngeri yang hebat, karena Lestari amat takut terha-
dap tikus, membuat kedua kakinya kian lemas.
Untung saja ilmu silat yang dimilikinya, sudah
mendarah daging, sehingga dia dapat juga memu-
lihkan keadaan yang tidak menguntungkan itu.
Lestari langsung membalikkan tubuh, dan berlari
cepat meninggalkan tempat itu.
Namun, baru beberapa kali lesatan, Lestari
langsung terhenti dengan mata membelalak kaget.
Sekitar empat tombak di depannya, berdiri sosok
yang baru saja dilihatnya. Sosok tinggi kurus lak-
sana galah yang tadi berdiri di belakang kawanan
tikus hitam mengkilat. Dalam hati gadis itu mera-
sa heran. Tidak salahkah penglihatannya"
Rasa penasaran membuat Lestari mengalih-
kan pandangan ke belakang, dan hatinya langsung
tercekat. Di belakang rombongan tikus yang ten-
gah berlarian memburunya ternyata sudah tak
tampak lelaki tadi. Berarti jelas, sosok bertelan-
jang dada di depannya adalah sosok tinggi kurus
yang tadi berdiri di belakang kawanan tikus. Tan-
pa sadar, bulu kuduk Lestari berdiri karena pera-
saan ngerinya, Bagaimana sosok tinggi kurus itu
bisa berada di depannya tanpa diketahui. Apakah
lelaki peniup suling itu bisa menghilang dan pin-
dah ke lain tempat"!
Perbuatan sosok tinggi kurus itu membuat
Lestari gentar, tapi masih tidak mampu menga-
lahkan rasa takut dan ngeri yang bersemayam
akibat tikus-tikus pengejarnya. Jangankan hanya
sosok tinggi kurus yang belum diketahui tingkat
kepandaiannya, biar ada raja iblis di depannya,
Lestari tidak akan mundur setapak pun! Dia lebih
suka berhadapan dengan raja iblis dari pada den-
gan gerombolan tikus yang mengiriskan itu.
Maka, Lestari segera meneruskan tindakan-
nya yang semula terhenti karena perasaan kaget
yang mencuat.

Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menyingkir kau...!" seru Lestari sambil menusukkan kipasnya yang berujung baja-
baja runc- ing ke dada sosok tinggi kurus yang berdiri meng-
hadang jalan dengan kepala tertunduk dan suling
menempel di bibir.
Trakkk! Lestari terpekik kaget ketika kipasnya lang-
sung berbenturan dengan suling di tangan sosok
tinggi kurus. Kemudian, sosok itu memutar-
mutarkan tangannya, sehingga membuat kipas ba-
ja Lestari ikut terbawa berputar bersama dengan
tangannya. Lestari berusaha keras untuk mena-
hannya, tapi sia-sia!
Kreppp! Sebelum Lestari sempat melakukan tindakan
penyelamatan, tangan kanan sosok tinggi kurus
telah berhasil mencekal leher bajunya dan men-
gangkatnya ke atas. Karena tinggi tubuh Lestari
berada jauh di bawah sosok tinggi kurus, tubuh
putri Malaikat Petir itu tergantung di atas tanah.
Lestari tidak tinggal diam. Gadis yang memi-
liki watak keras ini menggerakkan kedua kaki un-
tuk menendang bagian-bagian tubuh lawan yang
berbahaya agar dapat membebaskan diri. Namun
usahanya kandas karena tubuh lawan berada le-
bih jauh dari jangkauan kakinya. Tendangan-
tendangan Lestari hanya mengenai angin.
Di saat Lestari masih memikirkan cara lain
untuk menyelamatkan diri, sosok tinggi kurus itu
mengibaskan tangannya. Seketika tubuh Lestari
terlontar ke belakang.
Hampir pingsan Lestari ketika mengetahui
kalau tubuhnya melayang menuju kerumunan ti-
kus-tikus besar yang tengah beringas. Namun, te-
kad untuk menyelamatkan nyawa, membuatnya
mampu untuk tetap sadar. Malah, dia masih
mampu mengatur kedudukan hingga ketika men-
darat di tanah dengan keadaan menguntungkan.
Tikus-tikus yang tengah sibuk, ramai, dan
riuh rendah menunggu jatuhnya tubuh mangsa,
langsung mencicit-cicit keras ketika tubuh mereka
terlempar karena kebutan kipas Lestari. Gadis
berpakaian merah itu mampu mengebutkan kipas
yang disertai pengerahan tenaga dalam kuat, sebe-
lum kakinya menjejak tanah. Sehingga ketika ber-
hasil mendarat, tanah sudah bersih dari kawanan
tikus yang ganas dan mengerikan itu.
Binatang-binatang bergigi runcing yang tam-
pak sangat buas itu, tidak tinggal diam. Sambil
mengeluarkan bunyi mencicit yang ramai sekali
mereka menyerbu Lestari. Pertarungan aneh anta-
ra manusia dengan binatang-binatang haus darah
pun terjadi. Lestari benar-benar menguras seluruh
kemampuan karena perasaan ngeri yang menyer-
gap hatinya. Kipas di tangan dan pukulan-
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 18 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Penakluk Iblis 8
^