Pencarian

Biang Biang Iblis 3

Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis Bagian 3


pukulan jarak jauh yang dilakukan dengan tangan
kirinya terus-menerus dilakukan untuk membuat
binatang-binatang menjijikkan itu tidak bisa men-
dekatinya. Akibat amukan Lestari memang mengiriskan
hati. Kebutan kipasnya selain mampu melempar-
kan tubuh tikus-tikus besar itu, juga menewaskan
sebagian di antara mereka. Namun tidak sedah-
syat pukulan-pukulan jarak jauh tangan kirinya.
Setiap kali tangan kirinya dihentakkan, beberapa
ekor tikus terlempar tewas dengan tubuh remuk
dan terbakar! Hentakan tangan gadis berpakaian
merah itu selalu disertai dengan bunyi meledak-
ledak seperti kilat atau petir menyambar. Inilah
ilmu 'Tapak Petir' andalan ayahnya, Malaikat Petir.
Hembusan angin panas melingkupi tempat itu
akibat ilmu 'Tapak Petir'!
Sudah tak terhitung tikus-tikus yang tewas
dan bergeletakan tanpa nyawa. Namun jumlah
yang masih terus melakukan penyerangan, bagai-
kan tidak pernah berkurang. Seakan-akan mati
satu, muncul seratus. Dan hal ini membuat Lesta-
ri kewalahan! Pukulan-pukulan jarak jauh yang
dilancarkan, dan senantiasa membutuhkan tenaga
penuh itu, membuatnya cepat lelah. Apalagi gadis
ini memang baru saja menguras kemampuan da-
lam menghadapi Dewa Langit Tak Punya Malu.
Dan yang lebih berbahaya lagi, tikus-tikus itu ter-
nyata bukan binatang sembarangan karena men-
gandung racun ganas. Dengus napas dan gemu-
ruh suara dari ribuan binatang itu membuat Les-
tari pusing. Beberapa kali tubuh gadis ini agak
terhuyung. Kenyataan ini membuat Lestari sadar kalau
serbuan tikus-tikus itu tidak mungkin bisa diben-
dungnya. Dia tahu, tak lama lagi tenaganya akan
habis, padahal jumlah tikus-tikus itu sepertinya
tidak berkurang. Lestari yang biasanya tidak per-
nah putus asa, kini mulai patah semangat. Apalagi
ketika dirasakan pusing yang melandanya sema-
kin menjadi-jadi dan sepasang matanya sudah
mulai samar-samar untuk melihat
*** "Biadab...!"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras
menggelegar dari kejauhan. Dalam cekaman rasa
pusing yang semakin parah, Lestari masih dapat
menangkap bentakan penuh kegeraman itu. Se-
saat kemudian, tikus-tikus yang tengah merang-
sek kian mendekat mendadak berpentalan ke be-
lakang seperti dilanda angin topan. Hembusan an-
gin kencang berasal dari belakang Lestari yang
membuat binatang-binatang itu berpentalan.
' Tidak ada gunanya melawan binatang-
binatang tidak bersalah itu, Nisanak," ujar sebuah suara yang berasal dari
sebelah kanan Lestari, seraya menghentakkan tangan mengirimkan serang-
kaian pukulan jarak jauh pada tikus-tikus itu.
"Lebih baik kita tinggalkan mereka!"
Sebelum Lestari memberikan persetujuan,
pemilik suara itu telah menggamit lengan kirinya.
Gadis berpakaian merah itu terkejut ketika tahu-
tahu dirinya sudah dibawa melesat kabur. Dia tak
mampu membantah atau menolaknya. Sekilas ma-
tanya sempat memperhatikan sosok yang telah
menyelamatkannya. Namun pandangannya yang
sudah tidak awas lagi hanya menangkap sosok
berpakaian ungu dan berambut putih panjang ter-
gerai dipermainkan angin.
Namun, seperti juga yang dihadapi Lestari,
sosok ungu itu mendapat hadangan dari sosok
tinggi kurus. Tadi, sosok tinggi kurus ini terlalu
sibuk meniup suling untuk memaksa tikus-tikus
besarnya menyerang Lestari tanpa mengenal ta-
kut, maka tidak sempat mencegah masuknya so-
sok ungu ke dalam kancah pertarungan. Baru ke-
tika sosok ungu itu akan melesat kabur, sosok
tinggi kurus turun tangan menghadang. Sosok
ungu menghentikan langkah, dan menatap sosok
tinggi kurus yang berdiri menghadang jalan. De-
ngan penuh kewibawaan sosok ungu yang ternya-
ta seorang pemuda tampan itu berdiri dengan te-
nang sambil memegangi lengan Lestari.
"Manusia Biadab! Orang sepertimu tak layak
untuk tinggal di dalam dunia. Sampai hati kau
bermaksud menjadikan gadis tak berdosa ini se-
bagai santapan tikus-tikus kelaparan!" ujar sosok ungu itu dengan suara bergetar
karena dikuasai
amarah. Sosok tinggi kurus yang sejak tadi tertun-
duk, hingga raut mukanya tidak kelihatan, men-
gangkat wajah. Dia ternyata seorang lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun, berwajah tirus dengan
kumis dan jenggot jarang-jarang menghias wajah-
nya yang selalu cemberut
"Sungguh berani kau mengeluarkan perka-
taan seperti ini padaku, Kadal Buntung! Apa diri-
mu tidak mengenal siapa yang kau hadapi"! Aku,
Raja Tikus Dasar Bumi! Hhh... apa yang kau an-
dalkan hingga berani menantangku..."!" geram lelaki tinggi bertelanjang dada itu
dengan suara pa-
rau sambil menatap tajam sosok ungu yang berdiri
di depannya. Sementara pemuda tampan berambut kepe-
rakan dan berpakaian ungu itu hanya tersenyum
sinis, membalas tatapan lelaki tinggi kurus yang
mengaku berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi.
"Aku Arya, tapi orang-orang persilatan men-
genalku sebagai Dewa Arak," jawab pemuda ber-
pakaian putih keperakan yang bukan lain adalah
Arya Buana alias Dewa Arak, tak mau kalah ger-
tak. "Hmh...! Jadi rupanya kau tokoh sombong
yang menganggap diri sendiri tokoh nomor satu
dunia persilatan.... Aku telah mendengar kabar
tentang kesulitanmu, Dewa Arak. Dan sudah lama
aku berkeinginan untuk menemuimu dan mele-
nyapkan kau dari muka bumi atas kesombongan-
mu! Sama sekali tidak pernah mimpi aku bisa
jumpa denganmu di sini!" tandas lelaki tinggi yang berjuluk Raja Tikus Dasar
Bumi. "Kau terlalu berlebihan, Raja Tikus Dasar
Bumi. Mana bisa aku dibandingkan dengan diri-
mu. Telah lama kudengar nama besarmu. Bukan-
kah kau salah seorang di antara Biang-Biang Iblis,
datuk kaum sesat yang telah menjauhkan diri dari
dunia ramai sejak hampir dua puluh tahun lalu"
Tapi, meskipun demikian aku tidak gentar, Raja
Tikus! Mari kita buktikan siapa di antara kita yang
lebih patut untuk menghirup udara di dunia ini
lebih lama!"
Baru saja Dewa Arak menyelesaikan kata-
katanya, Raja Tikus Dasar Bumi telah melancar-
kan serangan dengan sebuah sabetan suling ke
arah pelipis Dewa Arak. Ada suara seperti tiupan
suling ketika senjata yang merupakan teman
penghibur hati manusia, melayang ke arah sasa-
ran Wuing...! Serangan dahsyat itu mengenai angin ketika
Dewa Arak mendoyongkan tubuh ke belakang. Be-
gitu serangan lewat, pemuda berambut putih ke-
perakan ini mengirimkan tendangan ke arah dada
lawannya. Tappp! Dewa Arak mengeluh tertahan ketika perge-
langan kakinya berhasil ditangkap oleh tangan
kanan Raja Tikus Dasar Bumi. Dewa Arak sampai
terkejut melihat kenyataan ini. Namun dia segera
dapat menyadari keadaannya yang kurang men-
guntungkan, maka bertindak cepat. Dengan kaki
yang satunya lagi Dewa Arak mengirimkan seran-
gan ke arah leher dengan bertumpu pada kaki
yang tercekal lawan.
"Hebat juga kau...!" puji Raja Tikus Dasar Bumi sambil melompat ke belakang.
Cekalan tangannya terhadap kaki lawan dilepaskan, karena
tidak ingin nyawanya melayang akibat tendangan
Dewa Arak yang mampu menghancurkan batu ka-
rang yang paling keras sekalipun itu
Pertarungan antara dua tokoh berbeda usia
itu berkobar. Masing-masing pihak mengerahkan
seluruh kemampuan karena telah dapat memper-
kirakan ketangguhan lawan dari gebrakan-
gebrakan yang terjadi. Gerakan-gerakan cepat ke-
duanya membuat tubuh mereka lenyap, hingga
yang tampak hanya bayangan coklat dan bayan-
gan ungu saling berkelebat
Dewa Arak mengeluh dalam hati. Baru ber-
tarung dalam lima jurus saja pemuda berambut
putih keperakan yang telah kenyang pengalaman
ini tahu kalau Raja Tikus Dasar Bumi merupakan
tokoh tangguh, bahkan belum tentu kalah den-
gannya. Hal itu membuat hatinya gelisah. Kalau
saja tidak teringat akan nasib Lestari, pemuda be-
rambut putih keperakan ini tidak akan demikian
pusing. Dia tahu, Lestari telah keracunan, dan
apabila bertindak lambat nyawa gadis berpakaian
merah itu mungkin akan lebih dulu melayang.
Dewa Arak pun mengambil keputusan cepat.
Dengan perhitungan matang, dilancarkan seran-
gan bertubi-tubi. Dan seperti yang telah didu-
ganya, Raja Tikus Dasar Bumi mengelak dengan
cara melempar tubuh ke tanah. Ini merupakan sa-
tu-satunya cara terbaik. Diam-diam dia harus
memuji kejelian mata lawannya. Memang, seran-
gan-serangan Arya lebih baik apabila dihadapi
dengan elakan, karena apabila menangkis banyak
kemungkinan yang tidak terduga. Tindakan ini te-
lah diperhitungkannya baik-baik. Maka begitu Ra-
ja Tikus Dasar Bumi membanting tubuh ke tanah,
dia pun segera menyambar tubuh Lestari yang
semakin terhuyung karena pusingnya. Setelah itu
melesat cepat meninggalkan lawannya.
Raja Tikus Dasar Bumi hanya dapat mema-
ki-maki penuh perasaan geram melihat tubuh la-
wannya yang semakin mengecil di kejauhan. Dia
tahu tidak ada gunanya lagi melakukan pengeja-
ran. Masih ada urusan yang lebih penting dan ha-
rus diselesaikan. Maka setelah melempar pandang
sekali lagi ke arah tempat lenyapnya Dewa Arak,
Raja Tikus Dasar Bumi meniup sulingnya, meme-
rintahkan tikus-tikus peliharaannya untuk me-
ninggalkan tempat itu. Tadi ketika tokoh sesat ini
terlibat pertarungan, tikus-tikus itu tidak melan-
carkan serangan lagi, karena sibuk memakan dag-
ing-daging kawannya yang tewas. Semangat bina-
tang-binatang itu untuk menyerang langsung pu-
pus ketika majikan mereka tidak meniup suling-
nya lagi. *** 7 "Sekarang kau sudah selamat dari bahaya
maut, Nisanak," ujar Dewa Arak pada Lestari yang duduk bersila di depannya.
Keduanya duduk bersila dan berhadap-hadapan. Lestari sudah tampak
segar kembali seperti sedia kala karena Arya telah
mengobatinya. ' Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa
Arak. Kau Dewa Arak bukan" Kudengar kau tadi
memperkenalkan diri dengan julukan itu. Sayang,
aku telah lama tinggal di tempat terpencil hingga
tidak sempat mendengar kebesaran namamu. Aku
yakin kau tokoh yang menggemparkan, Dewa
Arak. Terbukti, Raja Tikus Dasar Bumi mengagu-
mimu." Dewa Arak tersenyum sambil mengangguk-
kan kepala. "O ya, mengapa kau bisa bentrok dengan to-
koh seperti itu, Nisanak" Kau tahu siapa dia"!"
tanya Arya mencoba untuk mengalihkan pembica-
raan. 'Tentu saja!" Lestari mengangguk. "Ng.. aku usul kau memanggil namaku
saja, Dewa Arak.
Namaku Lestari Mala, biasa disebut Lestari."
"Aku Arya," timpal Arya masih dengan tersenyum. "Aku tahu siapa orang yang
menjadi lawan- ku, Arya. Dia berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi, sa-
lah seorang datuk sesat dari Biang-Biang Iblis. Ta-
pi aku tidak tahu mengapa tokoh-tokoh itu seperti
memusuhi ku. Padahal, yang menjalin permusu-
han adalah ayahku. Malaikat Petir. Bahkan tokoh-
tokoh Biang Iblis lainnya seperti Raksasa Pemang-
sa Manusia memusuhi anggota Tiga Malaikat
Bayangan!" Kemudian secara singkat tapi jelas,
Lestari menceritakan semua kejadian yang diala-
minya sampai bertemu Dewa Arak.
"Kau bilang seorang gadis muda berpakaian
putih berambut panjang, Lestari"!" tanya Arya
dengan suara bergetar ketika gadis berpakaian
merah itu menyelesaikan cerita. "Apakah dia ber-senjata pedang" Dan, apakah
setiap pergerakan
pedangnya menimbulkan bunyi mengaung seperti
ada sekumpulan lebah tengah mengamuk"!"
"Benar! Kau mengenalnya, Arya"!" tanya Lestari, kaget dan dengan hati terasa


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak nyaman. Gadis berpakaian merah itu sendiri tidak tahu
mengapa. Yang dirasakan hanya perasaan tidak
enak melanda hati ketika mengetahui Arya seper-
tinya mengenal gadis berpakaian putih.
"Benar, Lestari," jawab Arya. Karena pera-
saan gembiranya dia tidak melihat tarikan wajah
Lestari yang kurang enak ketika Arya menanyakan
tentang gadis berpakaian putih. "Dia adalah... eh kawan baikku. Karena suatu
sebab kami harus
terpisah. Eh... di mana kau bertemu dengannya,
Lestari?" "Kurasa lebih baik kalau kita mencarinya
bersama-sama, Arya. Siapa tahu aku dapat mem-
bantu melakukan pencarian...," Lestari mengaju-
kan usul. "Kurasa tidak perlu, Lestari," tolak Arya, halus. "Aku yakin dapat mencari
jejaknya apabila
kau memberitahukan tempatnya dengan jelas. La-
gi pula, bukankah kau hendak mencari Malaikat
Salju dan Malaikat Aneh"! Aku tidak ingin tugas-
mu terganggu karenanya."
Lestari menelan kekecewaan yang melanda
hatinya. Kemudian dengan suara berat diberita-
hukan tempat Melati dan Prapanca ditinggalkan-
nya pergi. ' Terima kasih, Lestari. O ya, jaga dirimu
baik-baik dan selamat tinggal!"
Belum lenyap gema ucapan Dewa Arak, tu-
buhnya telah tidak berada di situ. Lestari hanya
sempat melihat sekelebatan bayangan ungu yang
melesat cepat ke depan, dan tahu-tahu tubuh pe-
muda berambut putih keperakan itu telah berada
di kejauhan Lestari menghela napas berat. Ada perasaan
sakit bersemayam di hatinya melihat tingkah Arya
yang demikian bersemangat untuk bertemu den-
gan Melati. Lestari yakin akan adanya sesuatu di
antara mereka. Dan keyakinan ini membuat sakit
di hatinya semakin bertambah. Lestari menjadi
heran karenanya. Apa yang telah terjadi dengan
dirinya" Mengapa dapat timbul perasaan ini" Dan
mengapa ada rasa hilang mendera hatinya seiring
dengan perginya Dewa Arak" Lestari merasakan
ada sesuatu dalam dadanya yang lenyap ketika
Dewa Arak telah tidak nampak lagi bayangannya.
Ada sesuatu yang tidak diketahui, bergejolak da-
lam hati Lestari, tapi begitu saja lenyap seperti
terbawa oleh kepergian Dewa Arak.
Arya menyusuri sekitar tempat yang dikata-
kan oleh Lestari. Sepasang matanya yang tajam
mencorong laksana mata seekor harimau dalam
gelap itu merayapi setiap jengkal tanah di sekitar
tempatnya berada. Meskipun sepi, Arya tahu bebe-
rapa waktu sebelumnya tempat ini menjadi ajang
pertarungan tokoh-tokoh berilmu tinggi. Keadaan
di sekitar tempat itu masih porak-poranda. Bah-
kan beberapa bagian tanah terbongkar. Semua pe-
tunjuk ini membuktikan kalau cerita Lestari tidak
dusta. Pemuda berambut putih keperakan itu terus
memperhatikan sekeliling untuk melihat-lihat ba-
rangkali ada petunjuk yang ditemukannya. Dia
merasa khawatir sekali akan nasib gadis berpa-
kaian putih penolong Lestari yang diyakini Arya
sebagai Melati, kekasihnya. Karena menurut cerita
Lestari, lawan yang dihadapi amat tangguh, Dewi
Cabul. Malah, sebelum Lestari pergi, Raksasa Pe-
mangsa Manusia telah hampir tiba di tempat itu.
Berarti lawan kuat telah bertambah lagi.
"Apa yang tengah kau cari, Anak Muda"!
Dewa Arak"! Arya Buana"! Murid Manusia Sakti Ki
Gering Langit"!"
Arya hampir terjingkat kaget mendengar sa-
paan itu. Bukan hanya karena pemilik suara itu
mengetahui semua hal tentang dirinya terutama
sekali karena keberadaan kakek sosok pemilik su-
ara itu. Arya yakin betul kalau tadi di tempat ini
tidak ada seorang pun. Jadi, kalau sekarang ada
suara menyapa, berarti pemilik suara itu baru saja
tiba. Yang lebih mengherankannya suara itu da-
tang dari tempat yang dekat sekali. Dari sini saja
Dewa Arak tahu kalau pemilik suara itu memiliki
kepandaian terutama sekali ilmu meringankan tu-
buh yang amat tinggi.
"Ah...! Kiranya kau, Ki Jaran Sangkar...!" se-ru Arya merasa lega ketika melihat
pemilik suara itu. Seorang kakek berpakaian abu-abu yang telah
berusia amat tua, sehingga semua bulu yang ada
di kepala dan wajahnya memutih semua.
"He he he...!" Kakek berpakaian abu-abu
yang dikenal dengan nama Jaran Sangkar itu ter-
tawa terkekeh. "Rupanya aku membuatmu kaget,
Dewa Arak"! Syukurlah kalau demikian!"
Arya hanya tersenyum lebar mendengar
sambutan Jaran Sangkar. Dia tahu betul siapa
kakek ini karena telah beberapa kali bertemu. Se-
tiap dalam pertemuan, kakek berpakaian abu-abu
ini menimbulkan keterkejutan di dalam hatinya.
Arya tahu, Jaran Sangkar merupakan seorang to-
koh sakti tingkat tinggi. Meskipun di antara mere-
ka berdua belum pernah terjadi pertarungan, Arya
berani bertaruh kalau tingkat kepandaian Jaran
Sangkar berada cukup jauh di atasnya. Apalagi ji-
ka yang diperbandingkan ilmu gaib yang mereka
miliki. Arya tahu, Jaran Sangkar memiliki banyak
ilmu gaib yang luar biasa dan aneh-aneh. Namun
kakek itu selalu merendahkan diri dengan menga-
takan kalau ilmu-ilmu gaibnya tidak bisa disama-
kan dengan yang dimiliki Ki Gering Langit, guru
Arya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang ber-
nama Jaran Sangkar ini, silakan baca serial Dewa
Arak dalam episode: "Kembalinya Raja Tengkorak."
Dan "Petaka Anak Naga").
"Apakah ada sesuatu yang hendak kau sam-
paikan padaku, Ki" Sehingga kau sampai bersu-
sah payah menemuiku"!" tanya Arya, langsung
menerka karena biasanya memang demikian.
"Kau memang cerdik, Dewa Arak," puji Jaran Sangkar sambil melemparkan senyum
lebar. "Aku
datang kemari karena keadaan yang mendesak.
Kalau tidak demikian, orang setua dan tidak ber-
guna seperti aku, tak akan mungkin keluar ke du-
nia yang keras. Ini berhubungan dengan keluar-
nya tokoh-tokoh hitam yang pernah menjadi datuk
puluhan tahun lalu. Tokoh-tokoh hitam itu berju-
luk Biang-Biang Iblis. Kau telah bentrok dengan
salah seorang di antara mereka?"
"Maksudmu..., Raja Tikus Dasar Bumi, Ki"!"
terka Arya setelah tercenung sebentar.
Jaran Sangkar menganggukkan kepala "Se-
dangkan tokoh-tokoh lainnya adalah Raksasa Pe-
mangsa Manusia, Dewi Cabul, dan Dewa Langit
Tak Punya Malu. Kau telah mendengar tentang
mereka kan, Dewa Arak"!"
Dewa Arak mengangguk. "Sebagian kuden-
gar dari berita di dunia persilatan. Tapi, lebih jelasnya lagi dari mulut
seorang gadis. Dia telah
mengalami kejadian hebat, bertemu dengan empat
datuk Biang-Biang Iblis. Karena gadis itulah aku
bisa berada di sini."
"Bukan gadis yang kau maksudkan adalah
Lestari Mala putri Malaikat Petir"!" terka Jaran Sangkar. Arya tidak merasa
kaget sedikit pun
mendengar ketepatan terkaan itu. Dia telah men-
getahui kalau Jaran Sangkar banyak memiliki il-
mu gaib. "Kita kembali pada permasalahan, Dewa
Arak," lanjut Jaran Sangkar setelah membiarkan
suasana hening sebentar. "Puluhan tahun lalu...
dunia persilatan kacau-balau karena adanya to-
koh-tokoh sesat yang amat sakti dan memiliki ke-
kejaman sukar digambarkan, sehingga mendapat
julukan Biang-Biang Iblis. Tak terhitung sudah
korban jatuh, baik yang tewas karena keganasan
sepak terjang mereka maupun karena sengaja
mempertaruhkan diri untuk membasmi kejahatan
mereka. Golongan terakhir ini adalah para pende-
kar yang ingin melenyapkan Biang-Biang Iblis itu."
Jaran Sangkar menghentikan ceritanya seje-
nak. Dia menatap wajah Arya, untuk melihat
tanggapannya, sambil menelan air liur membasahi
tenggorokannya.
"Masing-masing pentolan sesat ini mengua-
sai wilayah berbeda. Tiap seorang dari mereka
menguasai satu mata angin. Namun, itu tidak
membuat mereka puas. Masing-masing datuk se-
sat itu ingin menjadi tokoh nomor satu di delapan
penjuru mata angin. Maka melalui satu kesepaka-
tan, mereka mengadakan pertemuan di suatu
tempat yang ditentukan. Mereka pun bertarung,
saling berganti lawan agar lebih akurat dalam
mengambil kesimpulan untuk menentukan tokoh
terpandai. Tapi, ternyata kepandaian mereka se-
mua berimbang. Masing-masing tokoh mempunyai
kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Akhir-
nya, mereka pun mengambil keputusan untuk
bertemu kembali tiga tahun kemudian. Untuk se-
mentara gelar jago nomor satu mereka kesam-
pingkan. Namun, di saat keempat Biang Iblis itu
hendak meninggalkan tempat pertemuan, mereka
mendengar bunyi orang bersyair. Maksud untuk
meninggalkan tempat itu pun berubah. Mereka
memutuskan untuk mencari asal syair yang ter-
dengar dekat itu."
Jaran Sangkar menghentikan cerita. Pan-
dangannya diedarkan ke angkasa seperti tengah
memikirkan lanjutan ceritanya. Arya diam saja
menunggu kelanjutannya.
' Tak jauh dari tempat mereka mengadakan
pertemuan, tampak seorang kakek bersama seo-
rang pemuda tengah asyik memancing di tepi kali.
Keberadaan keduanya membuat keempat datuk
sesat menjadi jengkel. Saat itu mereka memang
tengah kesal karena tidak berhasil mempere-
butkan gelar jago terkuat dalam pertemuan itu.
Maka keberadaan kakek dan pemuda di situ
membuat mereka memutuskan untuk menjadikan
dua orang sial itu sebagai pelampiasan kekesalan.
Dan niat itu semakin kuat ketika mereka melihat
kakek dan pemuda itu ternyata bukan pemancing
sembarangan. Keduanya memancing hanya den-
gan mempergunakan sepotong bambu, tanpa tali,
pelampung, bahkan mata kail pun tidak! Anehnya,
berkali-kali keduanya berhasil menarik ikan-ikan
dari sungai itu. Tapi, tetap saja hal itu tidak di-
pandang sebelah mata pun oleh datuk-datuk sesat
yang tengah kalap itu. Bagi mereka, permainan
yang ditunjukkan oleh kakek dan pemuda itu
hanya permainan kanak-kanak."
"Hm...," tanpa sadar Arya bergumam sehing-
ga membuat Jaran Sangkar menghentikan cerita.
Gumaman itu keluar karena mengetahui kesom-
bongan Biang-Biang Iblis yang menganggap kedua
pemancing itu seperti anak-anak. Arya tahu tin-
dakan yang dilakukan kakek dan pemuda itu ti-
dak dapat dilakukan oleh sembarangan orang ke-
cuali yang memiliki tenaga dalam kuat
"Empat datuk kaum sesat itu memang tidak
percuma berjuluk Biang-Biang Iblis. Meski saat itu
tengah berada dalam puncak kekesalan, sifat ke-
jam mereka membuat putusan mati tidak lang-
sung dijatuhkan. Seperti biasa mereka akan mem-
permainkan calon korban sedemikian rupa sebe-
lum dibunuh. Tapi kali ini mereka kecelik. Kakek
itu bukan orang sembarangan. Demikian juga si
Pemuda. Empat datuk golongan hitam yang ten-
gah panas hati itu terpancing untuk mengucapkan
sumpah, akan mengundurkan diri dari dunia per-
silatan selama-lamanya, apabila kakek itu mampu
mengalahkan mereka satu persatu, Dan celakanya
lagi, empat datuk kaum sesat itu berhasil dikalah-
kan. Mereka pun memenuhi janji. Itulah sebabnya
julukan mereka kemudian lenyap."
"Lalu, mengapa sekarang mereka muncul
kembali ke dunia persilatan, Ki"! Apakah perjan-
jian itu telah usai" Apakah masa berlakunya per-
janjian itu hanya dua puluh tahun"!" tanya Dewa Arak tanpa menyembunyikan
keheranannya ketika melihat Jaran Sangkar tidak melanjutkan ceri-
tanya lagi. Mungkin sudah selesai.
"Tidak demikian, Dewa Arak," jawab Jaran
Sangkar. "Perjanjian itu tidak punya batas waktu.
Namun, datuk-datuk kaum sesat yang teguh jan-
jinya itu akhirnya termakan pendapat orang ketiga
yang bermaksud mendapat keuntungan. Orang
ketiga ini mengirimkan surat pada empat datuk
yang masih mengasingkan diri. Isi surat itu men-
cela keempat datuk sesat yang dikatakan bodoh
karena termakan sumpah yang sudah tidak men-
gikat lagi. Bukankah kakek yang menyebabkan
mereka bersumpah telah tewas, untuk apa dipa-


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuhi lagi" Bahkan agar empat datuk itu tidak di-
anggap melanggar sumpah, pemilik surat itu telah
membunuh pemuda yang bersama kakek yang
pernah mengalahkan keempat datuk itu. Pemuda
itu ternyata, keturunan si Kakek Sakti yang selalu
menyertainya. Dengan matinya pemuda itu, ketu-
runan kakek sakti putus. Kalau kakek itu dan ke-
turunannya sudah tidak ada lagi, bukankah sum-
pah mereka berarti telah selesai" Pendapat ini
memang tidak dapat dibantah kebenarannya, ma-
ka empat datuk sesat pun turun gunung dan mu-
lai menyebar maut! Sebelum semuanya semakin
berlarut-larut segera kutemui kau, Dewa Arak.
Bukan karena aku tidak yakin kalau kau mampu
bertindak cepat. Aku hanya merasa cemas korban
yang jatuh akan semakin bertambah apabila ma-
salah ini dibiarkan berlama-lama. Padahal, semua
ini terjadi akibat salah paham saja. Pihak ketiga-
lah penyebab semua ini!" papar Jaran Sangkar.
"Jadi... sebenarnya kakek sakti dan keturu-
nannya masih hidup, Ki"!" tanya Arya ingin tahu.
"Kakek sakti sudah mati karena usia tua.
Sedangkan pemuda yang ternyata anaknya tewas
dibunuh oleh tokoh yang mengirimkan surat.
Meskipun demikian, kakek sakti itu masih mem-
punyai keturunan karena pemuda putra si Kakek
telah menikah dengan seorang gadis. Tapi itu dila-
kukan secara diam-diam karena orangtua si Gadis
tidak setuju. Sayang, di waktu melahirkan
bayinya, gadis itu meninggal. Kenyataan ini mem-
buat hati putra kakek sakti terguncang. Dia kabur
meninggalkan mayat istri dan bayinya. Tangisan
bayi itu didengar oleh Malaikat Petir yang kebetu-
lan lewat. Malaikat Petir mengambil bayi itu dan
mengasuhnya. Bayi perempuan itu tumbuh men-
jadi seorang gadis yang cantik sampai sekarang.
Dan gadis itu adalah... yang kau tolong dari an-
caman Raja Tikus Dasar Bumi."
"Ah...!" desah Arya, kaget. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Lestari
merupakan keturunan terakhir kakek sakti penakluk Biang-Biang
Iblis. "Dan tugasmu, Dewa Arak, memberitahukan
pada empat datuk sesat itu kalau kakek sakti yang
mengalahkan mereka masih mempunyai keturu-
nan. Dengan demikian, sumpah atas diri mereka
masih berlaku. Sebab atas sumpah keempat datuk
sesat, dua puluh tahun lalu, kakek sakti itu per-
nah menyambutinya dengan mengatakan kalau
keturunannya akan menjadi pengawas untuk me-
lihat sendiri kebenaran janji Biang-Biang Iblis. Je-
las, Dewa Arak"!"
"Jelas, Ki," jawab Arya cepat ' Tapi... masa-lahnya bagaimana kalau keempat
Biang Ibis tidak
percaya bahwa Lestari merupakan keturunan ka-
kek sakti itu" Bukankah, tidak diketahui kalau
putra kakek sakti itu berkeluarga" Bisa saja mere-
ka mengatakan kalau Lestari adalah keturunan
palsu." "Kekhawatiranmu masuk akal, Dewa Arak.
Tapi, kau tidak perlu cemas. Karena setiap ketu-
runan kakek sakti itu mempunyai tanda khas
yang tidak akan pernah ditemukan pada orang
lain. Sayangnya, Lestari tidak tahu kalau Malaikat
Petir hanya ayah angkatnya. Jadi, kewajibanmu,
harus dapat menjelaskan hal ini sebelum memba-
wanya menghadap empat datuk kaum sesat itu.
Kau tidak usah khawatir, Dewa Arak! Tidak akan
sukar untuk meyakinkannya karena putra kakek
sakti telah meninggalkan warisan untuk putrinya.
Kau laksanakan saja tugas ini. Sesegera mungkin,
Dewa Arak, agar korban yang jatuh tidak semakin
banyak!" ujar Jaran Sangkar, mengingatkan.
"Akan kuingat pesanmu itu, Ki," Dewa Arak
mengangguk. ' Tapi..., ada satu hal yang perlu ku-
sampaikan padamu. Saat ini aku tengah terlibat
persoalan tidak ringan. Dan karena masalah itulah
aku berada di sini. Dan...."
"Aku tahu, Dewa Arak," potong Jaran Sang-
kar bernada tidak sabar tapi dengan mulut me-
nyunggingkan senyum. "Kau urus saja Lestari, bi-ar Melati aku yang urus!
Percayalah, tidak akan
terjadi apa-apa terhadapnya! Aku jamin itu, Dewa
Arak. Dan sebagai tambahan agar kau tidak ber-
tanya-tanya dalam hati, kakek sakti itu bernama
Rawung. Dia tidak terkenal di dunia persilatan
meskipun berilmu tinggi. Karena tidak pernah
muncul di dunia ramai. Ilmu-ilmu itu dimilikinya
dari hasil berguru dari para pertapa yang dite-
muinya di gunung-gunung ditambah hasil cip-
taannya sendiri. Asal kau tahu saja, Dewa Arak,
tidak ada orang yang tahu nama kakek itu."
"Terima kasih, Ki," Arya merasa hatinya lega sekarang. Dia percaya penuh akan
jaminan seorang tokoh seperti Jaran Sangkar, maka tidak di-
ucapkan bantahan sedikit pun. Tidak juga ber-
tanya mengapa kakek berpakaian abu-abu itu bisa
mengetahui mengenai Melati. Arya tahu, Jaran
Sangkar dengan kemampuannya dalam menge-
rahkan ilmu gaib dapat mengetahui banyak per-
soalan yang tidak diketahui orang lain.
Setelah menganggukkan kepala pada Jaran
Sangkar, Arya segera melesat meninggalkan tem-
pat itu untuk mencari Lestari.
*** "Apa..."! Kau... kau bohong...! Penipu...! Ka-
takan kalau ucapanmu itu tidak benar, Arya"!"
ucap Lestari terbata-bata dengan wajah menyi-
ratkan campuran bermacam-macam perasaan.
Kecewa, gembira, sedih, bingung, dan cemas, serta
ketidak percayaan.
"Aku tidak bohong, Lestari. Aku mengatakan
hal yang sebenarnya. Kau bukan putri Malaikat
Petir, bahkan aku dapat memberikan mu bukti
lainnya," lanjut Arya, masih tetap lembut tapi tegar. 'Tidak...! Tidak...! Kau
bohong! Penipu...!
Aku benci kau...!" maki Lestari sambil menudingkan jari telunjuk kanannya pada
wajah Arya. Tari-
kan wajah gadis berpakaian merah itu sukar un-
tuk ditebak karena di sana bercampur macam-
macam perasaan yang bergolak di hatinya. Dan
sambil mengeluarkan perkataan-perkataan seperti
itu, Lestari melangkah mundur terus tanpa mem-
balikkan tubuh. Seakan-akan Arya merupakan se-
suatu yang menjijikkan.
Di lain pihak, Arya tidak melakukan tinda-
kan apa pun. Dia hanya berdiri diam di tempat-
nya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu,
hanya hal inilah yang dapat dilakukannya. Berita
yang disampaikannya memang terlalu menge-
jutkan bagi gadis itu. Jadi, bisa dimaklumi tinda-
kan Lestari sekarang. Namun hal itu sudah diduga
sebelumnya oleh Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu tetap
berdiri diam, meski akhirnya Lestari membalikkan
tubuh dan berlari meninggalkannya sambil terus
meneriakkan kata-kata yang menyatakan ketidak-
percayaan. Tak lama kemudian gadis itu telah le-
nyap dari pandangannya.
"Hhh...!"
Dewa Arak hanya menghela napas berat.
Sengaja dibiarkannya Lestari pergi. Dia tahu Les-
tari menderita guncangan batin yang cukup berat
akibat penjelasannya. Biarlah, nanti apabila gun-
cangan hatinya sudah mereda, akan dikemukakan
siapa sebenarnya Lestari!
Dengan pikiran melayang-layang, Dewa Arak
mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Piki-
ran dan hatinya masih diliputi oleh permasalahan
Lestari. Bagaimana nanti mengutarakan persoalan
itu kepadanya, masih membingungkan, mengingat
sikap Lestari yang berubah-ubah dan sulit diterka.
Sementara itu Lestari ternyata tidak pergi
jauh dari tempat pertemuannya dengan Arya. Ga-
dis itu tengah termenung seperti memikirkan se-
suatu ketika Arya melihatnya. Dan ketika men-
dengar suara panggilan wajahnya berseri-seri.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Begitu
pemuda berpakaian ungu itu mengutarakan sebab
kedatangannya, Lestari menunjukkan tanggapan
yang sudah diperkirakan oleh Arya. Bagaimana-
pun pengalamannya yang luas telah membuat
pendekar muda mampu membaca sikap dan prila-
ku seseorang....
*** 8 "Lestari...!"
Sebuah seruan keras yang telah pernah di-
kenal telinga, membuat gadis berpakaian merah
itu menghentikan lari, dan membalikkan tubuh.
Saat itu, Lestari telah berlari jauh meninggalkan
Dewa Arak. "Prapanca...!" balas Lestari, tak kalah keras ketika melihat sesosok tubuh kekar
seorang pemuda berpakaian coklat melesat cepat menuju ke
arahnya. Hanya sekejap saja, sosok coklat yang
memang Prapanca itu, telah berjarak beberapa
tombak dari Lestari.
"Apa yang terjadi denganmu, Lestari"! Kata-
kan padaku, apakah ada orang yang menyakiti-
mu"!" tanya Prapanca, kaget ketika melihat men-
dung di wajah Lestari. Sepasang matanya yang ta-
jam segera melihat pipi Lestari yang masih basah.
Apalagi kalau bukan air mata"!
"Aku... aku tidak apa-apa, Prapanca.
Hanya... ada berita yang telah menyakitkan hati-
ku." Secara singkat tapi jelas, Lestari menceritakan semua kejadian yang
dialaminya bersama
Dewa Arak. "Ah...! Jadi... kau bukan putri Malaikat Pe-
tir"! Kau berarti cucu kakek sakti penakluk empat
datuk kaum sesat itu"! Ah, luar biasa! Kalau begi-
tu keadaanmu berbahaya, Lestari. Kau tahu, ba-
nyak tokoh yang hendak melenyapkan keturunan
kakek sakti itu. Waspadalah kau! Sekarang, lebih
baik kau ikut pergi bersamaku."
' Tapi, Prapanca...," Lestari mencoba untuk
menolak. "Tidak ada tapi-tapian lagi, Lestari! Aku ha-
rus memaksamu, ini semata-mata demi keselama-
tanmu!" tandas Prapanca, mantap.
Lestari menjadi bingung. Dan kesempatan
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Prapanca
untuk menggamit lengan kiri Lestari dan memba-
wanya lari. Mau tidak mau, Lestari mengerahkan
ilmu lari cepatnya kalau tidak ingin mengalami ke-
jadian yang kurang menyenangkan, seperti seo-
rang tawanan dibawa kabur.
Namun belum berapa lama berlari, Prapanca
menggumam tak senang karena beberapa tombak
di depannya berdiri sesosok tubuh kekar berpa-
kaian biru, menghadang jalan. Prapanca mencium
adanya gelagat tidak baik. Dia menyadari untuk
kembali sudah tidak memungkinkan lagi karena
sosok berpakaian biru di depan pasti sudah meli-
hatnya. Karena Prapanca yakin akan kemampuan
dirinya, dia tetap berlari dan baru dihentikan keti-
ka berada sekitar lima tombak di depan sosok ber-
pakaian biru. "Kau...!" seru Lestari tertahan, memanggil sosok berpakaian biru, yang
dikenalnya, tapi tidak
diketahui namanya.
"Lestari...!" sapa pemuda berpakaian biru, yang tak lain penolong Lestari ketika
di Perkumpulan Pengemis Baju Putih.
"Jadi... kau selamat..."!" tanya Lestari lagi, masih terharu ketika teringat
akan pembelaan pemuda berpakaian biru. Tanpa sadar dia me-
langkah ke depan. "Bagaimana caranya kau bisa
lolos dari tangan Dewa Langit Tak Punya Malu?"
"Aku ditolong oleh guruku. Beliau datang di
saat yang gawat sekali." Pemuda berpakaian biru juga melangkah menghampiri.
Namun maksud Lestari untuk menghampiri
pemuda berbaju biru itu tidak tercapai. Sebab ba-
ru dua langkah Lestari maju, Prapanca telah me-
nyerobot maju ke depan sambil merentangkan
tangan kiri ke samping untuk mencegah gadis itu.
"Kau jangan sembarangan bertindak, Lestari!
Kau harus hati-hati. Bukan tidak mungkin dia
merupakan salah seorang yang akan mencabut
nyawamu!" tuding Prapanca ke wajah pemuda
berpakaian biru.
"Fitnah!" tangkis pemuda berpakaian biru.
Matanya menatap tajam dengan wajah merah pa-
dam. "Kau jangan percaya mulut kotor itu, Lestari!
Lebih baik kau menyingkir darinya! Aku malah
yakin kalau dia yang akan mencelakaimu!"
Suara pemuda berpakaian biru terdengar
bergetar karena perasaan marahnya. Memang, su-
dah sejak tadi, ketika melihat Lestari bersama seo-
rang pemuda, hati pemuda berpakaian biru sudah
panas. Perasaannya yang membuat hati murid
Malaikat Salju ini merasa heran. "Apa yang terjadi dengan dirinya?" tanyanya
dalam hati. "Menyingkirlah dari sini, Kutu Busuk!"


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prapanca yang menjadi kalap mendengar
makian pemuda berpakaian biru langsung menu-
bruk maju, mengirimkan serangan dengan gedo-
ran kedua tangannya yang terbuka ke arah dada.
Karena kemarahannya, Prapanca ingin mene-
waskan murid Malaikat Salju itu dalam segebra-
kan. Seperti juga lawannya, Prapanca merasakan
hatinya tidak nyaman melihat Lestari bermanis-
manis sikap dengan pemuda berpakaian biru itu.
"Kaulah yang akan menggeletak mampus di
sini, Anjing Kudisan!" bentak pemuda berpakaian biru seraya menyambut serangan
Prapanca dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Glarrr! Bunyi keras yang terdengar mengiringi ter-
pentalnya tubuh dua tokoh muda itu ke belakang.
Namun, pemuda berpakaian biru terlempar se-
langkah lebih jauh daripada Prapanca yang hanya
terhuyung-huyung tiga langkah.
Benturan ini membuat pemuda berpakaian
biru penasaran. Sebaliknya Prapanca semakin
bersemangat untuk segera mengalahkan lawan-
nya. Pertarungan pun kembali berlanjut.
"Hei...! Kalian berdua gila! Hentikan perta-
rungan ini...! Kalau tidak aku akan pergi dari si-
ni...!" Karena merasa serba salah lalu Lestari berteriak-teriak untuk
menghentikan pertarungan
yang tidak diinginkannya itu.
Maksud baik Lestari tidak membuahkan ha-
sil sama sekali. Dua pemuda yang tengah kalap itu
tidak mempedulikan seruannya sama sekali. Ke-
duanya terus melanjutkan kesibukan mereka, sal-
ing serang dengan hebatnya untuk dapat segera
mengalahkan satu sama lain.
Kenyataan ini membuat Lestari yang memili-
ki watak keras kian kehilangan kesabaran. Dia
merasa di tantang untuk membuktikan kebenaran
ucapannya. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, gadis itu melesat cepat meninggalkan mereka.
Prapanca dan lawannya yang tengah sibuk, tidak
mengetahuinya sama sekali.
*** "Ha ha ha...! Jadi... inikah orang yang berju-
luk Dewa Arak itu, Raja Tikus"! Masih muda seka-
li! Benar-benar mengagumkan! Semuda ini sudah
menjagoi dunia persilatan"! Hebat...! Hebat...!"
Arya menghentikan ayunan kakinya men-
dengar seruan yang datang dari arah samping ka-
nan itu. Seketika dia menoleh sambil menghenti-
kan langkahnya. Berjarak sekitar empat tombak
tampak dua sosok berdiri menatapnya. Salah satu
dari mereka dikenal sebagai Raja Tikus Dasar
Bumi. Sedangkan sosok yang satunya lagi, belum
pernah dilihatnya. Namun melihat ciri-cirinya bisa
diterka kalau dia pasti Raksasa Pemangsa Manu-
sia. Dugaan pemuda berambut putih keperakan
itu tidak salah. Sosok yang bersama Raja Tikus
Dasar Bumi tak lain Raksasa Pemangsa Manusia.
Tokoh sesat yang memiliki bala pasukan be-
rupa kawanan tikus itu sehabis bertarung dengan
Dewa Arak, dalam perjalanannya bertemu dengan
Raksasa Pemangsa Manusia yang tengah mencari-
cari penculik Melati. Dalam pertemuan itu, Raja
Tikus Dasar Bumi menceritakan tentang Dewa
Arak yang mengakibatkan Raksasa Pemangsa Ma-
nusia penasaran. Akhirnya kedua tokoh sesat itu
bersama-sama mencari Dewa Arak, hingga berte-
mu di situ "Benar, Raksasa Jelek...!" jawab Raja Tikus Dasar Bumi ketika bersama rekannya
telah berada di dekat Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu ber-
diri di tempatnya, tidak melakukan tindakan apa
pun kecuali bersikap waspada.
"Ha ha ha...! Kalau cuma seperti ini orang-
nya jangan-jangan berita yang tersebar hanya ka-
bar burung belaka...," timpal Raksasa Pemangsa
Manusia lagi, sambil tersenyum mengejek. "Hei...!
Dewa Arak...! Aku ingin merasakan sendiri keli-
haian mu yang selama ini digembar-gemborkan
orang! Bersiaplah...!"
Wuttt! Raksasa Pemangsa Manusia mengawali se-
rangannya dengan sebuah tamparan tangan ka-
nan keras ke arah pelipis pemuda itu. Dewa Arak
yang merasa tersinggung mendengar tantangan
Raksasa Pemangsa Manusia, tanpa merasa gentar
sedikit pun, memapaknya dengan tamparan pula.
Plakkk! Tubuh Raksasa Pemangsa Manusia terputar
dan terhuyung, jauh lebih parah dibanding Dewa
Arak yang hanya terputar tubuhnya. Kenyataan
ini membuat datuk sesat pemakan manusia itu
menjadi murka, lalu menerjang lebih ganas. Dewa
Arak pun menyambuti sehingga pertarungan sen-
git pun terjadi di antara mereka.
Baru beberapa gebrakan saja mereka berta-
rung, Raksasa Pemangsa Manusia telah merasa-
kan sendiri kehebatan pemuda berambut putih
keperakan. Hal itu karena Dewa Arak yang sudah
tak sabar karena teringat akan Lestari, langsung
mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Tekanan-tekanan serangannya atas Raksasa Pe-
mangsa Manusia semakin menjadi-jadi. Sebalik-
nya setiap serangan lawan, tanpa kesulitan lang-
sung dipapakinya dengan pengerahan tenaga da-
lam penuh. "Jangan khawatir, Raksasa! Aku datang
membantu...!"
Wuing...! Wuing!
Belum lenyap gema ucapannya, Raja Tikus
Dasar Bumi telah terjun ke dalam kancah perta-
rungan. Dengan senjatanya yang berupa suling
kakek bertelanjang dada itu mencecar berbagai
bagian yang berbahaya di tubuh Dewa Arak. Bunyi
melengking indah mengiringi setiap gerakan suling
datuk sesat pemimpin pasukan tikus ini
Masuknya kakek berwajah tirus yang hanya
mengenakan celana panjang merah itu langsung
mempengaruhi keadaan. Raksasa Pemangsa Ma-
nusia mendapat kesempatan bergerak lebih lelua-
sa. Sekarang ganti Dewa Arak yang kelabakan. Te-
rasa oleh pemuda berambut putih keperakan be-
tapa beratnya menghadapi dua orang lawan tokoh
Biang-Biang Iblis ini. Untung saja dia memiliki il-
mu 'Belalang Sakti' yang aneh itu. Dengan ilmu itu
dia mampu menghadapi setiap gempuran dahsyat
kedua lawannya.
Perhatian yang dipusatkan penuh terhadap
lawan tarung, membuat Dewa Arak dan dua la-
wannya sama sekali tidak mengetahui adanya be-
berapa sosok yang tengah melesat ke arah mereka.
Sosok yang melesat paling depan adalah seorang
gadis berpakaian merah.
"Mampus kau, Wanita Liar...!"
Sosok kurus memakai topi berbentuk seten-
gah tempurung kepala memaki sambil menghen-
takkan tangan kanan ke depan. Segundukan an-
gin keras menyambar diiringi bunyi mengaung,
memburu punggung gadis berpakaian merah yang
tak lain Lestari.
"Guru...! Jangan bunuh dia...!"
Teriakan itu terdengar dari mulut sosok yang
berlari ke belakang kakek bertopi hitam itu. Sosok
berpakaian coklat itu ternyata Prapanca. Namun
permintaannya terlambat, pukulan jarak jauh ka-
kek berpakaian hitam telah lebih dulu melesat dan
tidak mungkin ditahan lagi. Untung saja, sebelum
menghantam sasaran, Lestari yang menyadari
akan adanya ancaman maut itu membanting tu-
buh ke tanah, kemudian bergulingan untuk men-
jauhkan diri. "Keparat...!"
Tanpa mengenal kasihan sama sekali, kakek
berpakaian hitam itu meluruk ke arah Lestari
yang tengah bergulingan. Sikapnya mengisya-
ratkan maut bagi putri Malaikat Petir itu. Kakek
bertopi aneh ini tidak mempedulikan teriakan-
teriakan permohonan Prapanca.
"Hentikan, Brangsang...! Tanganmu telah ba-
nyak berlumuran darah orang-orang tidak berdo-
sa...!" Kakek berpakaian hitam yang ternyata bernama Brangsang, menghentikan
gerakannya. Dan
sebelum dia sempat menoleh, ke samping kanan-
nya telah berdiri seorang kakek berkulit putih dan
pucat. Jenggot kumis, cambang, dan bahkan alis-
nya pun putih semua! Kakek berkulit putih ini
berdiri dengan sikap angker.
"Kiranya kau, Sobrang!" seru Brangsang
agak kaget "Sama sekali tidak kusangka kalau kau akan keluar dari tempat
pertapaanmu. Apa yang
hendak kau lakukan, heh..."! Ingat kau telah ber-
sumpah untuk tidak mempergunakan kepan-
daianmu lagi! Apalagi untuk menentang ku...!"
"Aku memang tidak ingin menjatuhkan tan-
gan keras padamu, Brangsang! Tapi, sebagai ka-
kak seperguruanmu aku mempunyai hak untuk
mengingatkan mu akan kesalahan tindakan yang
kau lakukan ini. Bertobatlah, Brangsang!"
"Kalau aku tidak mau, kau mau apa, So-
brang"!" tantang Brangsang yang ternyata adik seperguruan Sobrang, dengan
berani. "Ataukah ingin menjilat ludahmu sendiri"!"
Sobrang tersenyum getir.
"Aku bukan orang yang suka menjilat ludah
yang sudah ku keluarkan sendiri, Brangsang! Tapi
aku tahu kaulah yang telah membunuh Malaikat
Aneh. Kau pula yang menyebabkan Malaikat Petir
dan Perkumpulan Pengemis Baju Putih hancur be-
rantakan akibat fitnah dan pembunuhan yang kau
lakukan terhadap keturunan kakek sakti. Kaulah
yang mengeluarkan Biang-Biang Iblis dengan ga-
gasan-gagasan licikmu! Aku tahu, sebabnya, ka-
rena kau ingin mengambil harta karun milik bajak
laut ratusan tahun lalu yang konon tersimpan di
sana. Bukankah kau telah menemukan petanya"!"
'Tutup mulutmu, Tua Bangka...!"
Brangsang langsung murka karena semua
rahasianya dibeberkan oleh Sobrang. Tanpa peduli
siapa yang dihadapi dia langsung menerjang den-
gan tepakan-tepakan maut Sobrang hanya terse-
nyum getir melihatnya. Tak tampak kalau kakek
berjenggot putih itu akan melakukan tangkisan
atau mengelak. Mungkinkah, kakek ini bermaksud
mendiamkan saja serangan itu karena takut di-
anggap melanggar sumpah"
' Pengecut Licik!"
Bersamaan terdengarnya teriakan itu, seso-
sok bayangan putih melesat cepat memapaki se-
rangan Brangsang. Benturan pun tidak dapat di-
cegah. Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-
sama terjengkang ke belakang. Namun, tubuh so-
sok bayangan putih terlontar lebih jauh. Dan keti-
ka akhirnya berhasil bangkit wajahnya tampak
pucat. Sosok bayangan putih ini memiliki kulit tu-
buh putih seperti Sobrang hanya saja jauh lebih
muda. "Malaikat Salju...!" seru Sobrang dan Brangsang hampir berbarengan.
"Guru...!" Malaikat Salju, sosok yang baru saja tiba, langsung saja memberi
hormat pada Sobrang. Terlihat agak menggelikan, seorang guru
memanggil muridnya dengan julukan. Maklumlah,
Sobrang tidak ingat lagi nama muridnya.
Namun Malaikat Salju tidak bisa berlama-
lama bertegur sapa dengan Sobrang karena
Brangsang dengan penuh nafsu membunuh, lang-
sung mengirimkan serangan-serangan berbahaya.
Malaikat Salju menyambutinya hingga perang
tanding pun terjadi.
Di tempat yang semula hening itu tercipta
dua kancah pertarungan hebat. Sementara tiga
pasang mata, Lestari, Prapanca, dan Sobrang
hanya menyaksikan. Di antara ketiga orang itu,
tampak Prapanca yang paling kebingungan. Ru-
panya dia tak habis pikir melihat perkembangan
yang terjadi. Dia suka pada Lestari, tapi hatinya
pun tidak ingin bertentangan dengan Brangsang,
gurunya. Memang diakui oleh Prapanca kalau
sang Guru bukan orang baik-baik, tapi biar ba-
gaimanapun dia menghormatinya. Kenyataan
membuatnya harus berada di tempat yang tidak
menyenangkan. Dengan wajah bingung dipandan-
ginya Lestari, tapi gadis berpakaian merah itu ma-
lah melengos, tidak mau melihatnya lagi. Hal ini
membuat Prapanca semakin kebingungan.
Lestari memang merasakan hatinya terbakar
oleh kemarahan ketika mengetahui Prapanca
mempunyai guru yang demikian jahat. Bahkan
guru Prapanca yang telah menyebabkan ayah
angkatnya, Malaikat Petir, tewas. Demikian pula
dengan ayah kandungnya. Melihat Prapanca de-
mikian membela gurunya, Lestari menjadi benci
pada pemuda berpakaian coklat itu. Dalam pera-
saan seperti itu Lestari pun teringat akan pemuda


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian biru. Apa yang terjadi dengan murid
Malaikat Salju itu" Apakah dia tewas di tangan
Prapanca" Pemuda berpakaian biru itu sebenarnya ti-
dak tewas! Dia hanya pingsan akibat terkena ten-
dangan Prapanca. Prapanca tidak sempat mengi-
rimkan serangan terakhir karena telah keburu
cemas ketika melihat Lestari tidak di situ. Prapan-
ca mengejar Lestari.
Namun, di tengah jalan pemuda berpakaian
coklat ini bertemu dengan gurunya. Kakek berpa-
kaian hitam itu tengah dilanda kecewa dan marah
karena tawanannya, Melati, telah dirampas oleh
Jaran Sangkar, tanpa dia mampu berbuat sesuatu
untuk mencegahnya. Melihat, muridnya tengah
mengejar seorang gadis, Brangsang menanyakan-
nya, dan Prapanca tidak berdaya untuk berbo-
hong. Dikatakan hal yang sebenarnya. Dan, hal
yang ditakutkannya pun terjadi, Brangsang ber-
maksud membunuh Lestari!
Lestari merasa cemas ketika melihat Malai-
kat Salju tidak mampu menandingi Brangsang
yang lihai. Sahabat Malaikat Petir ini terus-
menerus terdesak. Bahkan beberapa kali hampir
saja serangan Brangsang bersarang di tubuhnya.
Hanya di saat-saat terakhir, Malaikat Salju berha-
sil mengelak. "Mengapa kau diam saja, Kakek Sobrang"!"
tanya Lestari penuh perasaan gemas pada Sobrang
yang dilihatnya berdiri diam, dan tidak berusaha
untuk bertindak. Padahal, Lestari yakin Sobrang
memiliki kepandaian tinggi. Bukankah Sobrang
kakak seperguruan Brangsang" "Apakah kau ingin
muridmu mampus"! Cepatlah bertindak...!"
Sobrang hanya tersenyum getir. Dia tidak
melakukan tindakan apa pun selain hanya mem-
perhatikan jalannya pertarungan itu. Meski Lestari
yang semakin cemas akan keselamatan Malaikat
Salju telah mengguncang-guncang tubuhnya, dia
tetap tidak bergerak.
"Baik! Karena kau seorang kakek pengecut
yang takut mati, aku yang akan turun tangan...!"
seru Lestari, habis daya untuk membujuk So-
brang. Akibat ucapan Lestari yang tajam itu, wajah
Sobrang yang sejak tadi tenang, langsung berubah
pucat. Makian Lestari memang terlalu menusuk
perasaan. Namun, Lestari tidak mempedulikan-
nya. Karena kekalapan dan ketidaksabarannya
Lestari mencabut kipas yang terselip di pinggang
dan siap untuk menerjang maju dalam kancah
pertarungan. "He he he...! Ternyata sudah ramai...! Aku
ketinggalan...! Ah, dengan siapa aku harus ber-
tempur...!"
"Hik hik hik...! Aku pun terlalu lambat da-
tang...!" Belum lenyap gema ucapan yang saling
susul ini, dari kejauhan melesat dua sosok bayan-
gan yang ternyata Dewa Langit Tak Punya Malu
dan Dewi Cabul! Hanya dalam sekejapan dua da-
tuk sesat ini telah berada di dekat pertarungan.
Namun, sebelum dua datuk sesat yang ber-
watak aneh ini berbuat sesuatu, Arya yang men-
dengar seruan mereka, dan menyadari adanya ke-
gawatan segera melesat meninggalkan kancah per-
tarungan. Dengan ilmu meringankan tubuhnya
yang tinggi, memang tidak sulit untuk melakukan
tindakan demikian. "Hentikan..."!"
Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga da-
lam untuk berteriak sekeras-kerasnya. Bagai ker-
bau dicocok hidungnya, semua orang yang berada
di situ, menghentikan gerakan. Tak terkecuali to-
koh-tokoh yang tengah terlibat pertarungan. Ada
kekuatan luar biasa dalam seruan Arya yang
membuat mereka semua terpaksa patuh.
"Wahai datuk-datuk sesat yang terkenal
dengan julukan Biang-Biang Iblis, aku ingin men-
gajukan pertanyaan! Apakah kalian semua ini
pengecut-pengecut hina yang mudah mengingkari
janji kalian sendiri"! Begitu rendah harga diri ka-
lian, menjilat ludah yang tertumpah keluar...!" se-ru Dewa Arak lantang.
"Apa maksudmu, Dewa Arak"! Jelaskan ce-
pat, atau kuhancurkan mulutmu!" sahut Raksasa
Pemangsa Manusia sambil mengepalkan tinjunya
yang besar. "Jangan dengarkan dia...!" sela Brangsang
yang khawatir Dewa Arak akan membuka raha-
sianya. Bergegas dia mengayunkan kaki mendeka-
ti Dewa Arak dan menyerangnya. Namun langsung
diurungkan ketika melihat empat datuk kaum se-
sat menatap ke arahnya dengan sorot mengancam.
Arya yang melihat hal ini merasa lega.
"Bukankah kalian telah terlibat perjanjian
dengan kakek sakti yang telah mengalahkan ka-
lian puluhan tahun lalu"! Mengapa sekarang ka-
lian melanggarnya"!"
"Kakek itu telah mati. Demikian pula ketu-
runannya! Jadi, janji kami sudah tidak berlaku la-
gi!" bantah Raja Tikus Dasar Bumi, lantang. Ketiga rekannya menganggukkan
kepala, mendukung
bantahannya. "Siapa bilang keturunan kakek sakti itu su-
dah tidak ada lagi. Di hadapan kalian berdiri ketu-
runan terakhir kakek sakti itu!" tandas Dewa Arak sambil menuding Lestari!
Seruan-seruan kaget langsung keluar dari
mulut Biang-Biang Iblis mendengar ucapan Dewa
Arak. "Kau dusta, Dewa Arak!" Kali ini Dewi Cabul yang berbicara. "Kau hanya
mengada-ada! Gadis
itu anak Malaikat Petir, dan kami tahu itu! Lagi
pula kalau dia keturunan kakek sakti, mengapa
tidak memiliki ilmu-ilmu leluhurnya"!"
Lagi-lagi tiga datuk sesat lainnya mengang-
gukkan kepala menyetujui ucapan Dewi Cabul.
"Dengarkan baik-baik," ujar Arya masih te-
tap tenang. "Malaikat Petir hanya ayah angkat Lestari. Kemudian, mengapa Lestari
tidak bisa memi-
liki ilmu leluhurnya, karena sejak bayi telah di-
asuh oleh Malaikat Petir. Jelas"! Ataukah, perlu
kuberikan bukti yang lebih kuat"! Asal kalian tahu
saja, aku menjamin ucapanku ini dengan kehor-
matanku sebagai seorang pendekar!"
"Dia berkata benar," Sobrang berkata pelan,
"Muridku tidak pernah menikah, bagaimana
mungkin dia bisa punya anak"!"
Empat datuk kaum sesat itu saling pandang
sebentar. Mereka tahu tokoh-tokoh seperti Dewa
Arak dan Sobrang, tak akan berkata bohong.
"Kalau begitu, kami akan kembali ke penga-
singan," ujar Raja Tikus Dasar Bumi mewakili kawan-kawannya. ' Tapi, pertarungan
antara kami denganmu belum selesai, Dewa Arak. Aku ingin
merasakan kelihaian mu sendiri!"
"Jangan khawatir," ucap Arya sambil terse-
nyum. "Aku akan mengunjungi tempat pengasin-
gan kalian!"
Empat datuk kaum sesat itu tidak memberi-
kan jawaban sama sekali. Mereka melesat cepat
meninggalkan tempat itu untuk menuju tempat
pengasingan yang belum lama mereka tinggalkan.
"Lain waktu aku akan membuat perhitungan
denganmu, Dewa Arak!" ancam Brangsang, sebe-
lum membalikkan tubuh dan melesat meninggal-
kan tempat itu.
"Biarkan dia pergi, Dewa Arak!" pinta So-
brang cepat sebelum Dewa Arak melesat mengejar.
"Apabila aku tidak berada di sini, dan jika kau menemukannya lagi setelah ini,
hukumlah dia! Aku rela."
Dewa Arak tidak tega untuk mengabaikan
permohonan itu. Dia menganggukkan kepala, se-
belum melangkah meninggalkan tempat itu. Dia
tahu, Melati pasti sudah dibebaskan oleh Jaran
Sangkar. Maka, dia berangkat ke tempat perte-
muannya dengan kakek itu.
Lestari memandangi kepergian Dewa Arak
dengan perasaan sedih. Tidak disangka kalau pe-
muda berambut putih keperakan itu sama sekali
tidak menaruh perhatian padanya. Rasa sukanya
bertepuk sebelah tangan. Dengan pandangan se-
dih, diperhatikannya Arya, yang terus menjauh.
"Lestari...!"
Lestari mengalihkan pandangan ke arah
panggilan. Dilihatnya murid Malaikat Salju tengah
berlari cepat ke arahnya. Lestari tersenyum. Dia
tahu pemuda berpakaian biru ini menyukainya.
Namun hatinya telah ikut pergi bersama dengan
kepergian Arya. Maka setengah melempar senyum
sekali lagi, dia berbalik. Dan....
"Selamat tinggal...!"
Pemuda berpakaian biru hanya bisa melongo
melihat kenyataan yang tidak pernah disangka-
sangka ini. Di sebelah sana, Prapanca pun me-
nundukkan kepala dengan hati kecewa karena ta-
hu kalau Lestari tidak mencintainya dan hanya
mencintai Dewa Arak. Dengan kepala tertunduk,
Prapanca meninggalkan tempat itu.
Sementara, pemuda berpakaian biru masih
menatap punggung Lestari dengan berbagai perta-
nyaan bergayut di benak. Mengapa Lestari bersi-
kap seperti itu" Namun, pemuda berpakaian biru
tidak berani mengejar, apalagi menanyakannya.
Dia hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Di-
rasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam da-
danya seiring kepergian Lestari.
Mendadak sesosok bayangan putih berkele-
bat dan berhenti di tempat itu. Ternyata seorang
gadis cantik berpakaian putih yang tak lain Melati.
"Di mana adanya Dewa Arak"!" tanya Melati
tanpa basa-basi. Entahlah kepada siapa perta-
nyaan itu diajukan.
"Dia sudah pergi," Sobrang yang memberikan jawaban dengan suara lesu. Karena
seperti juga Malaikat Salju, dia tengah merasa kasihan pada
pemuda berpakaian biru yang tengah patah hati
karena cintanya tak ditanggapi oleh Lestari.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati
segera melesat meninggalkan tempat itu untuk
menyusul Dewa Arak.
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Kuda Putih 1 Dewi Ular 58 Manusia Meteor Pendekar Panji Sakti 3
^