Pencarian

Empat Dedengkot Pulau Karang 1

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang Bagian 1


EMPAT DEDENGKOT PULAU KARANG
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ian tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Empat Dedengkot Pulau Karang
128 hal. ; 12 x 18 cm.
l "Auuung...!"
Lolong anjing hutan terdengar membelah kesunyian malam. Begitu menyayat hati, seakan-akan mengisyaratkan
akan terjadi sesuatu. Lolongan itu terus terbawa angin, sehingga sampai ke telinga empat sosok yang tengah bersila
di dalam ruangan sebuah bangunan tua di kaki bukit.
Bagai diperintah, empat sosok tubuh yang semuanya laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, saling berpandangan. Tampak
ada sorot keheranan, baik pada tarikan wajah maupun sorot mata mereka.
"Aneh! Aku seperti merasakan adanya keanehan dalam lolongan anjing hutan kali
ini. Atau..., aku yang terlalu berprasangka...," desis kakek pendek kekar
bertelanjang dada, pelan.
"Lho"! Mengapa dugaan kita bisa sama, Malaikat Pisau?" sambut kakek yang
bertubuh kurus terbalut
pakaian kuning, sambil menatap
wajah kakek pendek
kekar, penuh rasa heran.
Kakek pendek kekar yang ternyata berjuluk Malai-
kat Pisau menatap wajah kakek kecil kurus itu lekat-lekat. Tidak aneh kalau kakek itu berjuluk Malaikat Pisau. Karena di bagian dadanya tampak bertengger jajaran pisau-pisau mengkilat Dan sepak terjangnya juga bagaikan
malaikat maut. "Suatu hal yang aneh kalau kita bisa mempunyai dugaan sama, Pendekar Tangan
Sakti," desah Malaikat Pisau pada kakek kecil kurus yang berjuluk Pendekar
Tangan Sakti. "Mungkinkah ini pertanda buruk?"
"Bagaimana dengan kau, Lodra" Petani Maut"!"
tanya Pendekar Tangan Sakti seraya menoleh ke arah dua sosok lainnya.
Kakek yang berpakaian lusuh berwarna abu-abu dan
berkulit hitam kecoklatan, serta mengenakan sebuah caping bambu, hanya
mengangkat bahu.
"Rasanya sulit untuk memberikan tanggapan, karena aku tidak merasakan seperti yang kalian rasakan," jawab kakek berkulit hitam, kalem. Menilik ciri-cirinya, dialah yang
berjuluk Petani Maut
"Kalau menurut pendapatku, untuk apa memperasalahkan hal itu" Pertemuan kita di tempat ini hanyalah
untuk mempererat persahabatan yang telah dibina sejak belasan tahun lalu, dan untuk melihat kemajuan masing-masing,"
sergah kakek yang terakhir, yang dipanggil Lodra.
Kakek yang nama panjangnya Sima Lodra itu mempunyai ciri-ciri paling angker dibanding ketiga orang kawannya. Tubuhnya
tinggi besar dan kelihatan kokoh
kuat. Rambutnya hitam, panjang, dan bergelombang. Cambang bauk lebat yang menghias wajah, semakin menambah
keangkerannya. "Misalkan saja, dugaan kalian berdua benar,"
lanjut Sima Lodra, sambil menatap berganti-ganti wajah Malaikat
Pisau dan Pendekar Tangan Sakti. "Lalu, mengapa perlu dipusingkan"
Toh, kita bukan tokoh sembarangan. Andaikata benar itu suatu bahaya, mengapa mesti takut
menghadapinya?"
Malaikat Pisau dan Pendekar Tangan Sakti saling
berpandangan sejenak sebelum menganggukkan kepala.
Sedangkan Petani Maut sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa-apa pada
wajahnya. "Terima kasih atas nasihatmu, Lodra. Kau benar.
Tidak selayaknya bersikap seperti itu. Aku terbawa perasaan...," ucap Malaikat
Pisau malu-malu.
Sima Lodra hanya mengangkat bahu.
"Bagaimana" Bisakah acara ini dilanjutkan"!"
desak Petani Maut tak sabar.
"Ha ha ha...!"
Tawa ketiga orang rekannya seketika meledak.
"Kau benar, Petani Maut! Kami pun sudah tidak sabar lagi untuk melihat kemajuan
ilmu yang kau miliki!
Ingin kulihat kehebatan permainan tudung dan cangkulmu!" sambut Sima Lodra, keras.
"Ah! Mana bisa dibandingkan dengan jurus 'Harimau' yang kau miliki, Lodra"!" sahut Petani Maut, merendah.
"Tapi sehebat-hebatnya jurus 'Harimau'ku, tak akan
berarti apa-apa bila menghadapi ilmu 'Tinju Angin' Pendekar Tangan Sakti," kelit Sima Lodra sambil mengerling ke arah kakek
kecil kurus. Pendekar Tangan Sakti mengarahkan pandangan ke
arah Sima Lodra dan Petani Maut berganti-ganti.
"Tidakkah kalian mendengar kehebatan permainan pisau
dari Malaikat Pisau"! Dengan pisau-pisaunya jangankan aku, nyamuk pun tidak akan lolos dari kematian!"
Malaikat Pisau menggelengkan-gelengkan kepala.
"Kau keliru, Pendekar Tangan Sakti! Apa sih, artinya sebuah pisauku jika dipakai
untuk menghadapi tudung dan cangkul Petani Maut"! Tidak akan berarti apa-apa!"
kakek pendek kekar ini tidak kalah merendah.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras menggelegar dari mulut Sima Lodra. Rupanya, kakek tinggi besar ini gemar tertawa. Tawanya pun
terdengar menggiriskan, mirip auman harimau!
Semula suara tawa keempat tokoh persilatan aliran putih itu terdengar begitu keras, bagai hendak meruntuhkan
bangunan yang mereka tempati. Apalagi dalam suara tawa itu terkandung tenaga dalam.
Dan semakin lama, suara tawa itu semakin mengecil. Sampai akhirnya, lenyap sama sekali. Dan kini suasana sekitar tempat
itu pun sunyi sepi seperti mati.
Tapi sebelum keempat orang kakek sakti itu berbuat sesuatu, terdengar sebuah tawa keras menggelegar, namun bukan dari salah
seorang di antara mereka.
"Ha ha ha...!"
Keras bukan kepalang tawa itu, sehingga membuat
dinding-dinding dan atap bangunan bergetar hebat bagai terjadi gempa. Jelas,
tawa itu dikeluarkan dari mulut orang-orang bertenaga dalam tinggi.
Bagai diberi perintah, Pendekar Tangan Sakti,
Petani Maut, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra serentak melesat
keluar. Memang, dari sanalah suara itu berasal. Cepat laksana kilat gerakan mereka, sehingga yang terlihat hanyalah
kelebat bayangan yang tak jelas bentuknya.


Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu menginjakkan kaki di luar bangunan, keempat kakek sakti itu segera melihat pemilik suara tawa keras menggelegar
tadi. Sekitar tiga tombak di depan Pendekar Tangan
Sakti, Petani Maut, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra, berdiri
empat sosok tinggi besar berkulit hitam. Pakaian yang dikenakan sama dengan warna kulit. Bahkan rambut mereka keriting
semuanya. Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, Petani
Maut, dan Sima Lodra
saling berpandangan sejenak.
Meskipun demikian, langsung bisa diketahui kalau ada sebuah
pertanyaan yang bergayut di dalam hati masing-masing. Salah satu di antara mereka ternyata tidak ada yang mengenal
empat sosok berpakaian hitam itu.
"Siapakah di antara kalian yang berjuluk Pendekar Tangan Sakti?" tanya salah seorang yang dahinya terdapat sebuah codet. Suaranya keras mengguntur, tak kalah dengan suara Sima Lodra.
"Aku!" jawab Pendekar Tangan Sakti mantap sambil melangkah setindak.
Laki-laki bercodet itu menatap wajah Pendekar
Tangan Sakti penuh selidik. Seakan-akan, dia tengah menilai dengan sinar
matanya. "Kalau begitu..., tiga orang yang berada bersamamu ini pasti Sima Lodra, Malaikat Pisau, dan Petani Maut," tebak laki-
laki berhidung gerumpung.
"Dugaanmu tidak salah, Kisanak! Sekarang kami yang ganti bertanya. Siapakah
Kisanak semua?" Sima Lodra yang menyambuti pertanyaan itu.
Lantang dan mantap suara Sima Lodra. Sikapnya
terlihat gagah. Apalagi sambil berkata demikian, kakinya melangkah maju dengan dada dibusungkan.
"Kami memang tidak tersohor seperti kalian berempat. Karena, kami memang tidak suka nama. Kami berasal dari sebuah
perguruan yang terletak di sebuah pulau yang jauh dari sini. Kedatangan kami
sengaja untuk meluaskan pengalaman. Maka kami ingin mengadakan pertarungan
melawan tokoh-tokoh persilatan yang mempunyai kepandaian tinggi. Dan kami dengar di pulau ini banyak tokoh sakti.
Salah satu tokoh yang kami kenal ciri-cirinya adalah Pendekar Tangan Sakti. Dan
menurut kabar, Pendekar Tangan Sakti selalu mengadakan pertemuan dengan tiga
orang temannya yang bernama Sima Lodra, Malaikat Pisau, dan Petani Maut.
Untunglah pada saat yang tepat, kami bisa bertemu kalian berempat.
Maka, kalian berempatlah pilihan pertama kami. Berilah kami pelajaran!" jelas
salah seorang yang berwajah bopeng.
"Tapi sebelum pertarungan berlangsung, kami akan mengenalkan diri," sambung lainnya yang berbibir tebal. "Aku Bandawasa!"
"Namaku Janaka," sebut laki-laki berwajah bopeng. "Aku Mahesa," sambung laki-laki berhidung gerumpung.
"Mahadewa,"
sebut laki-laki bercodet, tak ketinggalan. Pendekar Tangan Sakti, Petani Maut, Malaikat Pi-
sau, dan Sima Lodra tersenyum lebar. Lega rasanya hati mereka ketika mengetahui
tidak ada persoalan dengan keempat orang berpakaian hitam itu.
"Tapi perlu kalian ketahui," sambung Mahadewa.
"Meskipun pertarungan nanti tanpa persoalan, tapi kami akan
mengerahkan seluruh kemampuan. Jadi, keluarkanlah kemampuan kalian. Jangan sungkan-sungkan, karena bukan tidak mungkin di antara kita ada yang tewas!"
Petani Maut, Pendekar Tangan Sakti, Malaikat
Pisau, dan Sima Lodra
saling berpandangan. Mereka
tahu, Mahadewa bermaksud baik. Tapi meskipun demikian, tetap saja keempat tokoh
persilatan aliran putih ini tersinggung, karena merasa diremehkan.
"Kami tidak butuh nasihatmu, Mahadewa! Kami tahu apa yang harus dilakukan!"
tandas Sima Lodra keras.
Memang, dialah yang paling berangasan dibanding ketiga orang kawannya.
"Kalau begitu, bersiaplah kalian!" Bandawasa memberi peringatan.
Serentak keempat orang berpakaian hitam itu berpencar. Dan kelihatannya pertarungan tidak bisa dielakkan
lagi. Maka Pendekar Tangan Sakti dan rekan-rekannya pun bergerak menyebar pula.
"Haaat...!"
Diiringi teriakan keras menggelegar, Mahadewa,
Janaka, Mahesa, dan Bandawasa meluruk ke arah lawan masing-masing. Maka Pendekar
Tangan Sakti dan ketiga orang kawannya langsung menyambut. Sesaat kemudian,
pertarungan pun berlangsung.
Janaka ternyata tidak berbohong sewaktu mengatakan kalau dia dan rekan-rekannya berasal dari satu perguruan. Jelas kalau
dari gerakan menunjukkan bahwa mereka berasal dari satu aliran. Dasar-dasar,
gerakan, dan kuda-kuda menunjukkan kemiripan satu sama lain.
Yang menyebabkan adanya perbedaan pada gerakan-gerakan
mereka hanya terlihat dari bakat masing-masing saja.
"Hiyaaat..!"
Bandawasa membuka serangan dengan sebuah pukulan lurus ke arah dada kiri Pendekar Tangan Sakti.
Deru angin keras mengiringi tibanya serangannya. Namun Pendekar
Tangan Sakti tak gugup melihat serangan lawan. Maka, buru-buru kakinya
melangkah ke kanan
sambil mendoyongkan tubuh. Dan ternyata serangan itu mengenai tempat kosong,
beberapa jari di sebelah kiri Pendekar Tangan Sakti.
Tapi tindakan kakek kecil kurus ini tidak hanya
sampai di situ saja. Cepat laksana bayangan, tangan kirinya meluncur cepat ke
arah rusuk. Gerakannya sama sekali
tidak terduga. Meluncur, setelah terlebih dahulu berputar mempergunakan pangkal lengan. Sungguh tidak percuma, kakek kecil
kurus ini berjuluk Pendekar Tangan Sakti. Gerakan tangannya sangat cepat dan
tidak terduga-duga.
Bandawasa agak terkejut juga, ketika melihat
serangan yang meluncur tidak terduga-duga itu. Meskipun demikian, kelihaiannya
masih mampu ditunjukkan.
Buru-buru kakinya melangkah ke belakang, seraya mendoyongkan tubuh. Dan nyatanya, serangan itu tidak mencapai sasaran, beberapa
jengkal di depan Bandawasa.
Tindakan laki-laki berbibir tebal tidak hanya
sampai di situ saja. Begitu kakinya ditarik mundur, tangan
kanannya pun digerakkan untuk menangkis serangan Pendekar Tangan Sakti. Rupanya, Bandawasa tidak mau kalah gertak.
Maka.... Plakkk! Suara berderak keras seperti dua logam keras
berbenturan terdengar ketika dua
buah tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam kuat beradu. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur dua tindak. Hal ini menandakan kedua belah pihak mempunyai tenaga dalam
berimbang. Pendekar Tangan Sakti dan Bandawasa sama-sama
menghentikan gerakan. Keduanya saling tatap sejenak, seperti mengukur kekuatan
masing-masing. Dan mereka juga sama-sama tidak menyangka, kalau satu sama lain
memiliki tenaga dalam sekuat itu.
Tapi hanya sesaat saja hal itu dilakukan, karena
sebentar kemudian keduanya tdah kembali saling gebrak disertai pengerahan
seluruh kemampuan.
Bukan hanya Bandawasa dan Pendekar Tangan Sakti
saja yang

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlibat dalam pertarungan sengit. Masing-masing pihak juga terlibat pertarungan yang tak kalah
serunya. Mahesa menghadapi Malaikat Pisau, Mahadewa melawan Petani Maut, dan Janaka dengan Sima Lodra.
Bagai telah berjanji sebelumnya, masing-masing
tokoh bertarung tanpa senjata. Bagi Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra, ini
merupakan sebuah keuntungan.
Karena keduanya merupakan tokoh persilatan yang mempunyai ilmu andalan tangan kosong. Sementara, kedua orang rekan mereka yang
lain lebih menonjol dalam penggunaan
senjata. Malaikat Pisau dengan pisau-pisaunya, sedangkan Petani Maut dengan tudung dan cangkulnya.
Dan kedahsyatan ilmu tangan kosong Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra bisa dirasakan sendiri oleh lawan masing-masing.
Bandawasa dan Janaka yang berasal dari satu perguruan itu berkali-kali
terperanjat dan tanpa sadar terpekik, kendati bercampur kagum. Tapi hal itu
bukan berarti Bandawasa dan Janaka terdesak.
Mereka sampai saat ini buktinya masih mampu melayani lawan-lawannya.
Di jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung
imbang. Masing-masing pihak saling berganti-ganti melancarkan serangan maupun
mengelak. Tapi menginjak jurus kelima puluh, mulai
tampak adanya perubahan dalam kancah pertarungan.
Empat orang laki-laki berpakaian hitam itu ter-
nyata memiliki kepandaian lebih tinggi. Buktinya, Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, Sima Lodra, dan Petani Maut yang terkenal
itu mengalami kerepotan untuk menundukkan lawan-lawannya. Bahkan sebaliknya, Petani
Maut dan Malaikat Pisau kelihatan lebih terdesak. Semakin lama, kedudukan Petani Maut dan Malaikat
Pisau semakin mengkhawatirkan.
Kedua orang lawan mereka ternyata memiliki ilmu tangan kosong yang hebat luar biasa.
Meskipun demikian, mereka berusaha melakukan
perlawanan sekuatnya. Tapi, usaha mereka sama sekali tidak berarti banyak.
Begitu pertarungan menginjak jurus kedelapan
puluh.... "Hih!"
Bukkk, desss! "Akh! Hugh!"
Pada saat yang hampir bersamaan, tubuh Petani
Maut dan Malaikat Pisau terlempar ke belakang. Petani Maut terkena tendangan
pada paha kanannya, sedangkan Malaikat Pisau menerima sebuah pukulan telak di
perut. Seketika itu pula, kedua pentolan golongan putih
rimba persilatan itu pun menyeringai kesakitan. Bahkan tampaknya
Malaikat Pisau terluka dalam, ketika terlihat adanya tetesan darah segar di sudut mulutnya.
Meskipun demikian, Malaikat Pisau dan Petani
Maut bukan jenis orang yang gampang menyerah. Sambil menggertakkan
gigi, mereka kembali menerjang. Malaikat Pisau menubruk Mahesa dan Petani Maut menerjang Mahadewa. Hasilnya, pertarungan pun kembali berlangsung sengit.
Malaikat Pisau dan Petani Maut rupanya sudah
nekat. Serangan yang dilancarkan kelihatan bertubi-tubi pada lawan masing-masing. Padahal keadaan mereka saat itu tidak menguntungkan, karena telah sama-sama terluka.
Hasil kenekatan Petani Maut dan Malaikat Pisau
sudah bisa ditebak. Hanya
dalam beberapa gebrakan
saja, tubuh kedua orang itu telah kembali dibuat terjengkang ke belakang. Masing-masing terkena pukulan pada bahu kanannya.
Brukkk! Belum sempat Petani Maut
dan Malaikat Pisau berbuat sesuatu, tubuh Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra
juga terjengkang ke belakang, lalu jatuh berdebuk di tanah. Anehnya, kedua orang itu terkapar jatuh di dekat mereka.
Berbeda dengan kedua rekannya yang masih mampu bangkit, Pendekar Tangan Sakti
dan Sima Lodra justru seperti tak berdaya. Luka-luka yang diderita
kelihatannya memang cukup parah, begitu menerima hajaran yang cukup keras pada bagian dada.
Sementara itu, Petani Maut dan Malaikat Pisau
yang masih berusaha bangkit, kembali harus menelan pil pahit.
Ternyata, Mahesa dan Mahadewa kini sudah mengirimkan serangan disertai pengerahan tenaga lebih kuat daripada sebelumnya.
Akibatnya, kini mereka tidak mampu bangkit lagi.
"Hhh...!"
Bandawasa menghela napas berat. Ditatapnya sosok-sosok yang bergeletakan di tanah. Dia kelihatan tidak ingin melancarkan
serangan susulan. Demikian pula ketiga rekannya.
"Sama sekali tidak kusangka pertarungan akan berlangsung sesingkat ini," desah
Bandawasa bernada keluhan. "Aku kecewa sekali! Apa hanya sampai di sini saja
tingkat kepandaian jago-jago di pulau ini"!"
Pendekar Tangan Sakti dan ketiga orang rekannya
saling berpandangan satu sama lain. Ucapan Bandawasa membuat mereka merasa
tersinggung bukan kepalang. Dan dalam pertemuan pandang itu,
mereka seperti sudah
sepakat. "Jangan berbangga hati dulu, Bandawasa! Kemenanganmu terhadap kami bukan jaminan kalau kepandaian kalian melebihi jago-
jago persilatan di pulau ini," kata Pendekar Tangan Sakti yang merupakan orang
tertua bila dibandingkan ketiga rekannya.
"Lho"!
Mengapa demikian" Bukankah kalian pentolan-pentolan persilatan aliran putih di pulau ini" Dan kalian telah kami
kalahkan! Bahkan sedemikian rendah! Bukankah itu berarti tingkat kepandaian kami
jauh di atas jago-jago di pulau ini"!"
bantah Bandawasa, tak mau kalah.
"Ha ha ha...! Kau keliru, Bandawasa!" Kali ini Sima Lodra yang menanggapi dengan
suara parau dan keras.
"Keliru"!"
ulang Janaka dengan kening berkernyit dalam.
"Benar!"
sambut Petani Maut, tidak mau ketinggalan. "Mengapa kalian berkata demikian?"
tanya Mahadewa penasaran.
"Kami memang pentolan aliran putih di pulau ini.
Tapi, bukan berarti memiliki tingkat kepandaian tertinggi. Masih banyak tokoh yang memiliki kepandaian jauh di atas kami! Salah
satunya, adalah seorang pendekar
yang amat terkenal. Apabila dia berhasil dikalahkan, kau boleh bersikap takabur seperti tadi,"
sergah Pendekar Tangan Sakti, panjang lebar.
"Katakan siapa orang itu"!" desak Bandawasa, penuh rasa ingin tahu.
Laki-laki berbibir tebal ini melangkah mendekat. "Katakan siapa dia"!"
Pendekar Tangan

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sakti menengadahkan kepala. Tanpa rasa gentar sedikit pun, ditatapnya wajah Bandawasa. Kemudian secara lambat-lambat tapi penuh tekanan, digumamkan sebuah
julukan. "Dewa Arak...!"
2 "Dewa Arak..."!"
Hampir berbarengan, Bandawasa dan ketiga re-
kannya mengulang julukan yang diucapkan Pendekar Tangan Sakti. "Benar! Dewa Arak!" tegas Pendekar Tangan Sakti.
"Kalau mampu mengalahkannya,
baru kalian boleh sesumbar dengan mengalahkan seluruh jago persilatan di pulau ini!"
"Dewa Arak...," Mahesa mengulang julukan itu seperti khawatir akan terlupa.
"Sebuah julukan aneh.
Nggg..., apakah dia jago minum arak"!"
"Ha ha ha...! Jago minum arak"! Semua
tokoh persilatan tahu kalau ketahanannya dalam minum arak tidak mungkin ditandingi
jago-jago minum manapun juga.
Dialah yang telah memenangkan pertandingan dalam adu kekuatan minum arak dengan
jago-jago minum!" sambut Sima Lodra membanggakan (Untuk jelasnya, silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode "Pertarungan Raja-Raja Arak").
"Bukan hanya itu saja,"
sambut Petani Maut. "Apabila dia telah meminum araknya, jangan harap ada seorang pun yang mampu
mengalahkannya. Ilmu 'Belalang Sakti'nya belum pernah terkalahkan sampai
sekarang!"
"Aku jadi ingin menjajaki, sampai di mana tingkat kepandaian Dewa Arak," kata Janaka, bergetar.
"Jangan-jangan
berita yang kami dengar sama dengan apa yang kami dapatkan! Orang-orang persilatan mengatakan kalau kalian
adalah pentolan aliran putih di empat penjuru angin. Tapi nyatanya...?"
Bandawasa ikut angkat bicara.
"Benar! Apa yang kami dapati dari kalian ternyata benar-benar membuat kecewa!" sambung Mahesa.
"Tidak kami pungkiri, julukan kami cukup terkenal dalam dunia persilatan. Aku di Timur, Pendekar Tangan Sakti di Selatan, Petani Maut di Barat, dan Sima Lodra di Utara.
Tapi, kami tidak termasuk datuk-datuk persilatan. Kami terkenal karena banyak
terlibat pertarungan melawan tokoh-tokoh aliran hitam!" jelas Malaikat Pisau, panjang lebar.
Bandawasa, Janaka, Mahadewa, dan Mahesa tercenung. Beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, tanpa bersuara sepatah
kata pun. "Di mana kami bisa menemukan Dewa Arak?" tanya Bandawasa,
tanpa menyembunyikan perasaan ingin tahunya. "Bagaimana kalian bisa menemukan tempat kami?"
Pendekar Tangan Sakti malah balas bertanya.
"Kami menyatroni perguruan silatmu. Dan dari mulut salah seorang murid utama,
kami bisa tahu tempat berkumpulnya kalian! Kalian berempat bersahabat baik sejak
belasan tahun lalu. Dan setiap dua tahun sekali mengadakan pertemuan untuk
menguji kemampuan ilmu,"
urai Mahesa, panjang lebar.
"Apa yang kalian perbuat terhadap murid-muridku"!" sentak Pendekar Tangan Sakti, kalap.
Kakek kurus berbaju kuning ini khawatir, jangan-jangan telah terjadi malapetaka hebat terhadap perguruan silat yang
dipimpinnya. "Tidak usah khawatir, Pendekar Tangan Sakti.
Perguruan yang kau pimpin sama sekali tidak terobrak-abrik. Kami hanya memberi luka ringan pada beberapa muridmu yang
membandel," jawab Mahesa, kalem.
Mendengar jawaban yang mengandung kesungguhan
besar itu, hati Pendekar Tangan Sakti sedikit tenang.
Dirasakan ada kesungguhan pada nada ucapan maupun raut wajah Mahesa.
"Kita kembali pada pokok persoalan, Pendekar Tangan Sakti," selak Bandawasa,
cepat. Pendekar Tangan Sakti mengalihkan tatapan ke
arah Bandawasa.
"Katakan, di mana kami bisa menemukan Dewa Arak"!"
Pendekar Tangan Sakti saling berpandangan de-
ngan ketiga orang rekannya.
Dari adu pandang sebentar itu, bisa diketahuinya
kalau ketiga orang rekannya tidak tahu Dewa Arak berada. "Sayang sekali, Bandawasa. Kami tidak tahu, di mana Dewa Arak dan...."
"Bohong! Kau bohong, Pendekar Tangan Sakti!"
potong Mahadewa capat. Keras bukan kepalang ucapan Mahadewa, sehingga membuat
seluruh tempat ini seperti tergetar
hebat. Jelas, laki-laki bercodet ini mengerahkan tenaga dalam sewaktu mengeluarkan bentakan tadi. Pendekar Tangan Sakti mengalihkan pandangan ke
arah Mahadewa. Tampak jelas adanya sinar kemarahan di matanya. Kelihatannya,
kakek berpakaian kuning ini merasa tersinggung mendengar ucapan Mahadewa.
"Kami bukan orang semacam itu, Mahadewa! Bagi kami, lebih baik mati daripada
berbohong! Sekali kami berkata hijau, tak akan berubah menjadi merah!"
Terdengar berapi-api dan penuh semangat ucapan
Pendekar Tangan Sakti. Hatinya benar-benar tersinggung mendengar ucapan
Mahadewa. Bahkan bukan hanya Pendekar Tangan Sakti saja. Ketiga orang rekannya
pun demikian pula. Tapi yang mereka lakukan hanyalah memandang Mahadewa dengan sorot mata berapi-api.
Melihat hal ini, Bandawasa buru-buru menjulurkan kedua tangannya ke depan.
"Tenang, Pendekar Tangan Sakti. Bukannya kami menuduh kau berbohong. Tapi
rasanya ucapanmu itu sama sekali tidak masuk akal. Kau mengarakan, Dewa Arak itu
seorang tokoh yang amat terkenal. Jadi, mana mungkin kalian tidak tahu tempat
tinggalnya!"
"Dia tidak mempunyai tempat tinggal, Bandawasa!
Dewa Arak seorang pengelana. Tempat tinggalnya tidak tetap.
Nah! Bagaimana mungkin aku bisa menunjukkannya?"
Ucapan Pendekar Tangan Sakti membuat Bandawasa
dan ketiga orang rekannya saling berpandangan.
"Luar biasa! Sama sekali tidak disangka kalau Dewa Arak masih mempunyai semangat
sedemikian besar, tidak
kalah dengan anak muda! Patut dipuji pengabdiannya pada sesama manusia!" puji Bandawasa, bernada kagum.
Pendekar Tangan Sakti dan ketiga rekannya saling
berpandangan. Tarikan wajah mereka memancarkan kebingungan dan keheranan, mendengar ucapan Ban- dawasa. "Mengapa kalian tampaknya kebingungan?" bentak Mahadewa, keras.
Sebenarnya, bukan hanya Mahadewa saja yang melihat wajah bingung Pendekar Tangan Sakti dan tiga orang rekannya. Tapi,
Mahadewalah yang lebih dulu mengajukan pertanyaan.
"Jadi, kalian kira Dewa Arak itu seorang yang sudah


Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jompo"!"
Sima Lodra yang mempunyai sifat berangasan langsung angkat bicara.
"Jadi..., Dewa Arak bukan seorang kakek-kakek"
Maksudku..., dia seorang pemuda?" tebak Bandawasa mulai mengerti.
"Tepat! Dewa Arak adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluhan," Malaikat
Pisau buru-buru menjelaskan. Ada nada kebanggaan dalam ucapannya.
"Seorang pemuda"! Bahkan sudah menjadi jago nomor satu di pulau ini"! Gila!" seru Bandawasa, kaget bercampur kagum.
"Benar," Pendekar Tangan Sakti menganggukkan kepala.
Bandawasa dan ketiga rekannya saling berpan-
dangan. Tarikan wajah mereka menyiratkan keterkejutan. Sungguh tidak disangka kalau Dewa Arak yang begitu dikagumi
Pendekar Tangan Sakti dan ketiga rekannya, ternyata seorang pemuda belia.
"Kalau kalian ingin menemukannya, bukan hal yang sulit. Ciri-ciri yang
dimilikinya amat menyolok," kata Pendekar Tangan Sakti.
"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Bandawasa penuh gairah.
Pendekar Tangan Sakti tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Dia termenung, seperti tengah mencari kata-kata yang tepat untuk
memulai menjelaskan.
"Nama aslinya Arya Buana. Wajahnya tampan dan gagah. Pakaiannya berwarna ungu.
Dan di punggungnya tergantung sebuah guci arak dari perak."
"Jadi itu ciri-cirinya?" desak Bandawasa ketika Pendekar Tangan Sakti
menghentikan ucapannya.
Dahi laki-laki berbibir tebal itu tampak berkernyit. Sikapnya memberi petunjuk kalau tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Belum semua ciri-cirinya kusebutkan. Masih ada satu ciri lagi yang lebih
menyolok. Dewa Arak mempunyai rambut panjang sampai melewati bahu. Dan
warnanya..., putih keperakan!" sambung Pendekar Tangan Sakti.
"Hahhh...!"
Bandawasa dan ketiga rekannya kaget mendengar
ucapan terakhir Pendekar Tangan Sakti.
"Rambutnya putih?" desis Mahesa setengah tidak percaya.
Pendekar Tangan Sakti menganggukkan kepala. "Benar."
Untuk yang kesekian kalinya Bandawasa dan ketiga
rekannya termenung. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena....
"Kurasa sudah cukup banyak keterangan yang kami dapat mengenai Dewa Arak.
Sekarang, kami pergi untuk mencarinya."
Usai berkata demikian, Bandawasa segera menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke aras dan mendarat beberapa tombak di depan.
Melihat Bandawasa telah melesat, Janaka, Mahesa, dan Mahadewa segera bergerak mengikuti. Hanya dalam waktu sebentar saja,
tubuh mereka semua telah lenyap ditelan kejauhan dan kegelapan malam.
*** "Hhh...! Orang-orang yang amat berbahaya,"
desis Pendekar Tangan Sakti sambil menghembuskan napas berat.
Kemudian, kakek berpakaian kuning ini bangkit
berdiri, diikuti yang lainnya. Kini luka dalam mereka tidak terlalu mengganggu
lagi, karena telah diobati dengan bersemadi.
"Benar! Mudah-mudahan saja Dewa Arak berhasil menanggulangi
mereka," sambung Malaikat Pisau, berharap. "Mudah-mudahan," sambut Petani Maut, berharap pula.
"Tapi..., sepertinya mereka bukan termasuk orang jahat," ucap Pendekar Tangan Sakti lagi.
"Aku masih belum yakin, Pendekar Tangan Sakti,"
Sima Lodra angkat bicara.
"Heh"!
Mengapa kau berkata demikian, Lodra" Kalau mereka berniat jahat, kita tidak akan dibiarkan hidup!
Mereka tentu akan membunuh kita," bantah Pendekar Tangan Sakti.
"Apa yang dikatakan Pendekar Tangan Sakti tidak salah, Lodra," kata Malaikat
Pisau, memberi dukungan pada Pendekar Tangan Sakti.
"Mungkin kau benar, Malaikat Pisau. Tapi, bagaimana
ya.... Rasanya aku tidak percaya kalau kita dibiarkan hidup..."
"Ha ha ha...! Kau
memang mempunyai
perasaan tajam, Sima Lodra! Ha ha ha...!"
Sebuah ucapan kasar dan parau memotong ucapan
Sima Lodra yang belum selesai. Hampir berbarengan, keempat orang itu menoleh ke
arah asal suara, yang ternyata dari atas genteng.
"Mahadewa...," desis Pendekar Tangan Sakti dan ketiga rekannya berbarengan.
Memang, orang yang berdiri sambil bersedakap di
atas genteng itu ternyata Mahadewa. Entah kapan, tahu-tahu laki-laki berpakaian hitam dan berambut keriting serta mempunyai sebuah codet di dahinya itu telah berada di situ.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Kalian masih mengingat namaku rupanya! Ha ha ha...! Bagus! Ingat-ingatlah,
sebelum kukirim ke neraka! Ha ha ha...!" Masih dalam keadaan tertawa-tawa, Mahadewa melompat turun. Laksana seekor burung garuda, tubuhnya melayang ringan.
Jliggg! Ringan laksana sehelai daun, kedua kaki Mahadewa
hinggap di tanah.
"Bersiaplah menerima kematian!"
Usai berkata demikian, Mahadewa melompat menerjang Pendekar Tangan Sakti yang berjarak paling dekat.
Jari-jari kedua tangannya dikembangkan membentuk cakar. Lalu, tiba-tiba tangan kanannya disampokkan ke arah pelipis. Sedangkan tangan kiri yang terletak di sisi
pinggang, belum bergerak.
Pendekar Tangan Sakti terkejut bukan kepalang
melihat serangan mendadak itu,
namun tidak gugup.
Buru-buru kepalanya ditarik ke belakang sambil melangkah mundur.
Wuttt! Sampokan Mahadewa ternyata hanya lewat beberapa
jari di depan wajah Pendekar Tangan Sakti. Rambut dan pakaian kakek kurus yang
berkibaran keras membuktikan betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam
serangan lawan.
Tapi tindakan Mahadewa tidak hanya sampai di
situ saja. Begitu serangan pertamanya luput, serangan lainnya segera menyusul.
Kaki kanannya meluncur cepat, melepaskan sebuah tendangan lurus ke arah dada.
Maka, tidak ada pilihan bagi Pendekar Tangan
Sakti, kecuali mengelak. Disadari kalau keadaannya sekarang
ini tidak memungkinkan untuk menangkis. Apalagi kekuatan tenaga dalamnya telah merosot jauh.
Jadi, merupakan sebuah tindakan bodoh kalau memaksakan diri untuk mengadu tenaga
dalam. Mendapat pikiran demikian, Pendekar Tangan Sakti segera melempar tubuhnya ke belakang. Hasilnya, tendangan Mahadewa hanya
mengenai tempat kosong.
Kegagalan serangan yang kedua kalinya, membuat
Mahadewa geram bukan kepalang. Maka begitu kedua kakinya hinggap di tanah, langsung

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Tangan Sakti.
Tapi, laki-laki bercodet ini terpaksa menghentikan maksudnya, karena Malaikat Pisau, Petani Maut,
dan Sima Lodra telah melesat menghadang. Mahadewa segera merayapi wajah-wajah penghadangnya.
Lalu.... "Ha ha ha...!"
Bukan hanya Petani Maut dan Malaikat Pisau saja
yang merasa geram melihat sikap Mahadewa. Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra
pun dilanda perasaan sama.
Maka keempat orang ini segera men-cabut senjata
andalan masing-masing.
Kini dengan senjata andalan di tangan, empat
orang pentolan aliran putih ini menyerbu Mahadewa.
Dalam sekejap saja, senjata di tangan mereka
berkelebat mengancam berbagai bagian tubuh tokoh yang ternyata berasal dari
Pulau Karang itu.
Hebat dan menggiriskan serangan-serangan empat
tokoh aliran putih itu. Tapi, masih lebih hebat lagi tindakan Mahadewa. Ruyung
berbatang dua di tangannya berkelebat cepat di sekeliling tubuhnya. Dan hasilnya
luar biasa! Setiap serangan yang dilancarkan empat orang
lawan selalu membentur batang ruyungnya. Kelebatan ruyung di sekujur tubuhnya laksana benteng yang melindungi diri dari
berbagai serangan.
Padahal, serangan yang datang tidak hanya berupa
tusukan, babatan, atau tetakan, tapi juga lemparan.
Dan itu bukan sembarang lemparan, karena yang melakukannya Malaikat Pisau dan Petani Maut. Masing-masing dengan pisau dan caping bambu.
Tapi yang lebih menggiriskan hati adalah lemparan caping Petani Maut Senjata berbentuk caping dari
bambu itu, mampu meluncur kembali pada pemiliknya, apabila berhasil dielakkan atau ditangkis lawan! Ini memang suatu
kelebihan senjata milik Petani Maut.
Meskipun demikian, toh semua serangan itu berhasil dimentahkan Mahadewa! Walaupun, bukan berarti mudah saja bagi Mahadewa
untuk menaklukkan lawan.
Empat orang lawan itu masih cukup tangguh meskipun kemampuan mereka telah
menurun jauh. Sejak dari pertama menggebrak hingga berlang-
sung dua puluh jurus, Mahadewa masih tetap bertahan dan belum
melancarkan serangan sama sekali. Ruyungnya digunakan hanya untuk menangkis setiap serangan lawan.
Tapi menginjak jurus ketiga puluh lima, Mahadewa
mulai melancarkan serangan balasan. Ruyungnya mulai meluncur ke arah lawan.
Mula-mula hanya sesekali saja, tapi semakin lama porsi serangannya semakin
bertambah. "Hiyaaa...!"
Diiringi pekik melengking nyaring, Mahadewa memutar ruyungnya di sekeliling tubuhnya. Kedahsyatan putaran
ruyungnya masih pula diiringi putaran tubuhnya. Wuttt! Melihat hal ini, Petani Maut, Malaikat Pisau,
Sima Lodra, dan Pendekar Tangan Sakti tidak berani menangkis. Bahkan tangan
mereka telah sejak tadi terasa pedas-pedas dan sakit-sakit, karena terlalu
sering menangkis ruyung lawan. Maka bagai diberi perintah, keempat orang itu
segera melompat mundur. Sehingga, serangan itu lewat beberapa jengkal di depan
mereka. Tapi tindakan Mahadewa tidak hanya sampai di
situ saja. Kini, tubuhnya segera melompat menerjang Petani Maut yang ada di
hadapannya. Dan....
Wukkk! Ruyung baja Mahadewa meluncur ke arah kepala
kakek berpakaian abu-abu lusuh itu. Apabila mengenai sasaran, sudah bisa ditebak
akibat yang akan terjadi pada kepala itu.
Tranggg! Bunga api berpercikan ke
sana kemari begitu Petani Maut menangkis dengan cangkulnya. Seketika itu pula,
tubuh kakek berpakaian lusuh ini terhuyung-huyung ke belakang.
Dan saat itulah Mahadewa menggunakan kesempatan
baik di depan matanya. Langsung dilancarkannya serangan susulan. Kakinya meluncur cepat ke arah perut, melepaskan sebuah tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Desss! "Aaakh...!"
Petani Maut menjerit memilukan. Seketika itu
pula, tubuhnya terlempar ke
belakang. Darah segar
seketika keluar dari mulutnya, mengiringi luncuran tubuhnya.
Pada saat tubuh Petani Maut tengah terlempar,
Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra segera melancarkan
serangan dari tiga jurusan.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
"Haaat...!"
Namun Mahadesa tidak gugup karenanya. Dan masih
dalam keadaan di udara, ruyung di tangannya diayunkan ke belakang.
Wuttt! Prak, prak, prakkk!
Sungguh mengagumkan tindakan Mahadewa! Permainan ruyungnya benar-benar elok! Meskipun tanpa melihat, dia mampu
mengirimkan serangan ke bagian yang mematikan.
Berturut-turut kepala ketiga lawannya terhantam batang ruyungnya, hingga hancur berantakan.
Tampaknya, Mahadewa mengerahkan seluruh tenaga dalamnya saat melepaskan pukulan keras ke kepala lawan-lawannya.
Brukkk! Tubuh Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, dan
Sima Lodra roboh di tanah. Sebentar mereka kelojotan, lalu
diam tak bergerak lagi. Mati, dengan darah membanjiri tanah.
Jliggg! Ringan laksana sehelai daun jatuh, kedua kaki
Mahadewa hinggap di tanah. Sebentar sepasang mata-nya beredar ke arah sosok-
sosok tubuh lawan yang sudah tidak bergerak lagi di tanah.
"Ha ha ha...!"
Mahadewa tertawa bergelak bernada kemenangan
dan kegembiraan. Masih dengan suara tawa yang belum putus,
tubuhnya segera melesat cepat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main gerakannya. Hanya beberapa kali lesatan saja, tubuhnya telah tidak terlihat lagi. Yang terlihat kini hanya sebuah titik hitam di kejauhan. Semakin
lama, titik itu semakin kecil, hingga akhirnya lenyap sama sekali!
23 Sang surya sudah hampir di tengah-tengah langit.
Tapi suasana di persada tidak terasa panas. Banyaknya awan yang menggantung di
langit, membuat matahari
terhalang dalam memancarkan sinarnya. Dan, dalam suasana seperti itu, dua sosok tubuh tampak melangkah memasuki Desa Ceger.
"Hey! Apa yang tengah terjadi di sana, Kang"
Mengapa banyak orang berkerumun?" tanya seorang gadis cantik sambil menudingkan
jari telunjuknya ke depan, tanpa menghentikan langkahnya.
Pemuda tampan berpakaian ungu yang berjalan di
sebelah gadis berpakaian putih berambut panjang itu tidak langsung menjawab.
Namun pandangannya dialihkan ke arah yang ditunjuk gadis itu.
"Entahlah, Melati."
Hanya itu jawaban yang diberikan pemuda berpakaian ungu itu.
Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati dan


Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekaligus putri angkat Raja Bojong Gading itu terdiam.
Tapi sesaat kemudian, sepasang bola mata gadis yang berjuluk Dewi Penyebar Maut
itu berputar merayapi
sekujur wajah pemuda di sebelahnya.
Sepasang bola mata bening dan indah itu berhenti
agak lama ketika tertumbuk pada guci perak yang tergantung di punggung pemuda berpakaian ungu itu.
Sebagian badan guci tidak terlihat, karena tertutup rambut berwarna putih
keperakan milik pemuda itu.
Memang, rambut itu panjang dan terurai melewati punggung. Melihat dari ciri-cirinya, bisa diketahui kalau
pemuda berpakaian ungu itu adalah Arya Buana, yang berjuluk Dewa Arak.
"Man kita lihat keramaian di depan itu dulu, Melati," putus Arya.
Melati sama sekali tidak menyambuti. Yang dilakukannya hanya mengangkat bahu pertanda menyetujui usul Arya.
Kini Arya dan Melati melangkah menuju tempat
keramaian terjadi. Dan saat melangkah, kini mereka mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Hasilnya, tubuh mereka
telah berada beberapa tombak dari tempat semula. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Arya dan
Melati telah tiba di dekat kerumunan orang-orang yang memang adalah para
penduduk desa. Arya dan Melati menghentikan langkah. Mereka
saling berpandangan sejenak, lalu kembali menatap ke arah kerumunan orang-orang
yang membentuk lingkaran.
Memang, kerumunan itu menyulitkan mereka untuk mengetahui, apa yang ada di tengah-tengahnya.
Sesaat sepasang pendekar muda ini berdiam diri,
namun telah memasang pendengaran setajam mungkin. Mereka mencoba mendengarkan, namun hasilnya nihil.
Ternyata yang tertangkap hanyalah gumaman-gumaman
tidak jelas, mirip sekumpulan lebah yang sarangnya diobrak-abrik!
Dan tentu saja berasal dari mulut kerumunan orang-orang yang berbicara semaunya.
Karena yakin tidak akan mengetahui apa pun, Arya
segera menekuk kedua lututnya.
Dan sekali kakinya
bergerak menekan, tubuhnya melayang ke atas, dan langsung hinggap pada sebuah dahan pohon yang rumbuh tak jauh dari kerumunan.
Dari atas pohon, pemuda berambut putih keperakan
itu mengarahkan pandangan pada sesuatu di tengah-tengah kerumunan orang-orang di bawahnya. Ternyata, di situ tergeletak seorang kakek yang bersimbah darah pada mulutnya.
Jliggg! "Ada apa, Kang?" tanya Melati begitu Dewa Arak telah mendarat kembali di tanah.
Gadis berpakaian putih ini rupanya sudah tidak
dapat menahan kesabarannya lagi, sehingga langsung menyodorkan pertanyaan.
Padahal, Dewa Arak baru saja ingin membuka mulutnya.
"Ada seorang kakek tergeletak di dalam kerumunan orang-orang itu. Aku yakin, dia
terluka. Tadi sempat kulihat adanya noda-noda darah di sekitar mulutnya,"
jawab Arya. "Kita harus cepat bertindak sebelum terlambat, Melati."
Usai berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu menghampiri kerumunan para penduduk dengan langkah-langkah panjang.
"Permisi, Kisanak semua. Biarkah kami menolongnya."
Kontan hampir semua kepala orang yang tengah
berkerumun, menoleh. Seketika itu pula, para penduduk itu menggeser memberi
jalan pada Dewa Arak dan Melati.
"Terima kasih."
Arya mengucapkan perkataan itu sambil meng- anggukkan kepala. Kemudian, kakinya melangkah cepat menuju ke arah sosok tubuh
yang tergolek lemas.
Hanya dalam beberapa kali langkah, Dewa Arak dan
Melati telah berada di dekatnya. Lalu, sepasang pendekar muda ini berjongkok dan memeriksa keadaan si kakek. Sementara, para
penduduk desa terus mengamati setiap gerak-gerik Arya dan Melati.
Dewa Arak dan Melati kontan saling berpandangan
ketika telah memeriksa keadaan sosok tubuh yang tergolek tak berdaya. Dan sebentar kemudian, pandangan mereka kembali beralih ke
arah sosok tubuh itu. Namun, kali ini lebih bersifat memperhatikan.
Memang tampaknya keadaan kakek berpakaian abu-abu lusuh itu amat mengkhawatirkan. Lukanya sangat parah. Arya dan Melati
tahu, kakek ini telah mendapat serangan dari orang yang memiliki tenaga dalam
tinggi. Di lain hal, kakek berpakaian abu-abu lusuh dan
memiliki kulit hitam kecoklatan itu kelihatannya memang memiliki kepandaian cukup tinggi. Buktinya, Arya dan Melati merasakan
adanya putaran hawa yang cukup kuat di bawah pusar. Dan kelihatannya, dia juga
bukan seorang penduduk biasa.
Setelah memperhatikan kakek berpakaian abu-abu
lusuh itu, Arya mengedarkan pandangan ke arah para penduduk yang masih
berkerumun di sekitarnya.
"Apakah di antara kalian ada yang mengenal kakek ini?" tanya Dewa Arak keras,
agar terdengar jelas sampai kerumunan paling belakang.
Namun, ternyata para penduduk hanya menggelengkan kepala. Dan Dewa Arak sudah mengerti maksudnya.
"Berarti dia bukan penduduk desa ini, Kang,"
kata Melati. Kepala Arya mengangguk, menyetujui ucapan Melati. "Mengapa tidak ada seorang pun di antara kalian yang tergerak untuk menolongnya"
Bukankah dia tengah terluka parah" Setidak-tidaknya, membawanya ke tempat yang
lebih nyaman," kata Arya.
Ada nada penasaran dalam perkataan Dewa Arak.
Apalagi diucapkannya sambil bangkit berdiri, dengan sepasang
mata beredar merayapi orang-orang di sekelilingnya. Luar biasa! Setiap kepala
yang ditatap Dewa Arak, langsung tertunduk. Beberapa di antaranya mencoba untuk balas menatap, tapi hanya berlangsung sekejap saja. Sinar mata
Aryalah yang membuat mereka tidak kuasa bertahan lama-lama. Betapa tidak"
Sepasang mata itu mencorong tajam dan berwarna kehijauan, mirip sorot mata
harimau dalam gelap!
"Kami tidak berani bertindak apa-apa, Den," kata salah seorang penduduk yang
bertubuh kecil kurus, dan berjenggot panjang
"Mengapa, Ki?" tanya Arya, ingin tahu.
"Dulu, hal seperti ini pernah terjadi. Ada seseorang terluka, lalu

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan perasaan kasihan penduduk desa menolongnya. Dan orang itu pun dirawat di rumahku. Lalu kejadian
selanjutnya...."
Kakek kecil kurus itu menghentikan ceritanya,
seperti tengah mengenang suatu peristiwa yang menggores hatinya. Ditatapnya wajah pemuda berambut putih keperakan itu penuh
selidik. "Teruskan, Ki," pinta Arya.
Sebenarnya Arya sudah bisa menebak kejadian yang
diterima kakek itu. Akibat
kebaikan hatinya, yang
diterimanya adalah peristiwa tidak enak. Wajah tua yang semula berseri-seri dan
langsung berubah mendung itulah yang menguatkan dugaan Dewa Arak.
"Ketika telah sembuh, orang itu malah berusaha memperkosa anak perempuanku. Dan
akibatnya, anakku bunuh diri setelah kejadian itu. Kau bayangkan saja, Den. Dia
anakku satu-satunya. Dan hidupku juga hanya berdua saja dengannya. Ah! Sayang,
si keparat itu tidak ikut membunuhku pula!"
Melati seperti tidak kuasa menahan kegeramannya. Sedangkan, Dewa Arak tampak bersikap tetap tenang. Tapi, raut
wajah dan sinar matanya menunjukkan perasaan ikut prihatin
atas peristiwa yang
menimpa kakek kecil kurus itu.
"Aku turut prihatin atas
peristiwa yang kau alami, Ki," hanya itu yang keluar dari mulut Arya.
"Terima kasih, Den." "Hal itu bukan kejadian satu-satunya di tempat kami, Den,"
sambung seorang laki-laki bertubuh kekar.
"Jadi, masih ada peristiwa lainnya?" tanya Arya.
Laki-laki kekar itu menganggukkan kepala.
"Tapi, pelaku kejahatan itu bukan orang yang ka-mi tolong, melainkan tokoh yang
menjadi musuh orang itu. Tokoh itu mengamuk, sehingga banyak penduduk desa yang
dibantai. Akibat kejadian-kejadian
itu, kami tidak berani sembarangan lagi
menolong orang yang tengah terluka. Kecuali, bila telah diketahui kepala desa."
Arya dan Melati menganggukkan kepala. Kini baru
disadari, mereka tidak bisa menyalahkan sikap para penduduk Desa Ceger.
"Lalu kalau tidak ingin menolong, mengapa berkerumun di sini?" tanya Arya lagi.
"Kami tengah menunggu kedatangan kepala desa.
Salah seorang dari kami telah pergi memberitahunya.
Biarlah kepala desa yang
akan mengurusnya," jawab
laki-laki kekar itu.
Kembali Arya dan Melati mengangguk-anggukkan
kepala. Kagum juga sepasang pendekar muda ini melihat sikap penduduk Desa Ceger.
Meskipun beberapa kali
mengalami kejadian buruk, tapi tetap saja tidak kapok memberi pertolongan pada
orang yang tengah terluka.
"Kalian benar-benar memiliki hati mulia. Dan sambil
menunggu kedatangan kepala desa, aku akan mencoba meringankan luka-lukanya."
Setelah berkata demikian, kembali Dewa Arak mengalihkan perhatian ke arah kakek berpakaian abu-abu lusuh. Lalu, tangannya
bergerak menotok dan mengurut sana-sini. Sesaat kemudian....
"Huakh...!"
Segumpal darah kental berwarna merah kehitaman
kontan keluar dari mulut kakek berpakaian abu-abu itu.
Darah mati! "Hey!"
Para penduduk Desa Ceger berseru kaget ketika
melihat keadaan kakek berpakaian abu-abu lusuh itu.
Mereka kira, Dewa Arak bukan hendak mengobati, melainkan menyiksa. Maka bagai diberi perintah, mereka bergerak ke depan.
Tangan-tangan mereka pun mulai meraba sisi pinggang, siap mencabut senjata. Tapi....
"Tahan...!"
Bentakan keras tlba-tiba terdengar. Ternyata,
berasal dari mulut Melati. Maka, mau tak mau langkah para penduduk Desa Ceger
berhenti. "Apa yang hendak kalian lakukan"!" tanya Melati keras, sambil mengedarkan
pandangan berkeliling.
Tahu akan keadaan yang agak gawat, Melati menggerakkan tenaga dalam pada teriakannya. Hasilnya, suara yang keluar
terdengar penuh wibawa. Sehingga, membuat penduduk Desa Ceger jadi ciut
nyalinya. "Kawanmu hendak membunuh kakek itu. Dan kami tidak bisa membiarkannya," kata
kakek kecil kurus, mantap.
"Siapa yang ingin membunuhnya"
Kawanku itu hendak mengobatinya. Bukankah telah kalian lihat sendiri, kalau kakek itu kini telah sadarkan diri"!"
sergah Melati, masih penuh wibawa.
"Tapi.... Tapi..., darah itu...."
Kakek kecil kurus itu terbata-bata mengajukan
tuduhannya. "Benar!" sambut laki-laki kekar.
"Betul!" seru yang lain tak mau kalah.
"Diam...!"
Melati mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Hebat bukan kepalang akibatnya! Para penduduk Desa Ceger seperti
kena sirep. Mereka semua tercenung dengan raut wajah bingung. Tentu saja bukan
karena acungan tangan Melati, melainkan karena pengerahan tenaga dalam yang dikeluarkan bersama seruannya. 4 "Kalian dengar baik-baik. Darah yang dikeluarkan kakek itu adalah darah mati! Darah yang sudah
tidak berguna lagi, dan justru malah akan membahayakan apabila tidak dibuang! Dan kawanku tadi berusaha
mengeluarkannya.
Kalian mengerti"!"
kata Melati. "Ooo..."
Sambil mengangguk-angguk
pertanda mengerti, para penduduk Desa Ceger membulatkan bibirnya.
"Sekarang kami mengerti. Maafkan atas kebodohan kami," ucap kakek kecil kurus.
"Terima kasih atas pengertian kalian. Dan kumohon, kalian bersedia mundur sedikit. Berikan ruangan yang agak longgar agar kawanku dapat melanjutkan pengobatannya,"
lanjut Melati dengan suara lebih lunak.
Tanpa menunggu perintah dua kali, para penduduk
Desa Ceger itu segera melangkah mundur.
"Terima kasih," ucap Melati.
Lalu, gadis berpakaian putih itu kembali mengalihkan pandangan ke arah Dewa Arak. Tampak kekasihnya itu tengah duduk bersila dengan telapak tangan menempel ke punggung
kakek yang juga tengah duduk bersila. Rupanya, Dewa Arak tengah mengobati luka
dalam kakek itu dengan pengerahan hawa murni.
Melihat hal ini, Melati pun bersikap waspada.
Matanya menatap sekitarnya dengan sorot penuh selidik.
Gadis berpakaian putih ini tahu, sekarang Dewa Arak tengah tidak berdaya.
Apabila ada lawan yang datang menyerang, pasti akan celaka.
Itu sebabnya Melati
perlu menjaga dari segala kemungkinan yang akan terjadi. Melati kini kembali

Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengedarkan pandangan berkeliling. Dan sesekali, sepasang matanya tertuju ke arah Arya yang masih
sibuk mengobati kakek berpakaian abu-abu.
Berbeda dengan Melati, para penduduk Desa Ceger
sama sekali tidak mempedulikan keadaan sekitarnya.
Pandangan mereka semua tertuju pada Arya yang masih sibuk mengobati kakek
berpakaian abu-abu itu. Dan Arya baru melepaskan tempelan tangannya dari
punggung kakek berpakaian
abu-abu, ketika bantuan-nya dirasakan telah cukup. "Terima kasih atas bantuanmu, Anak Muda," ucap kakek berpakaian abu-abu itu
ketika telah berdiri
tegak. "Lupakanlah, Ki. Tolong-menolong merupakan hal biasa. Bukan tidak mungkin, lain
waktu kau yang akan ganti menolongku," sahut Arya buru-buru.
"Memang sudah kuduga jawaban yang kuterima akan seperti ini. Berita yang
kudengar mengenai dirimu, ternyata sama sekali tidak menyimpang, Dewa Arak!"
Karuan saja wajah Arya berubah ketika mendengar
ucapan kakek berpakaian abu-abu. Sama sekali tidak terduga kalau kakek itu
mengenal julukannya.
"Aku sama sekali tidak menyangka bisa bertemu tokoh
yang menggemparkan dunia persilatan seperti dirimu! Kalau saja masih ingat namaku yang sebenarnya, tentu akan kusebutkan,
Dewa Arak. Sayang sekali, aku telah
lupa, Hanya julukan tak berguna saja yang kumiliki. Aku berjuluk Petani Maut. Sebuah julukan yang terlalu berlebihan,"
sambung kakek berpakaian abu-abu yang ternyata berjuluk Petani Maut, sebelum
Arya sempat berkata.
"Kau terlalu berlebihan. Dari julukan yang kau sandang saja, kemampuanmu sudah
bisa kuperkirakan, Ki," Arya balas memuji.
Petani Maut tersenyum pahit.
"Hanya sebuah julukan kosong, Dewa Arak. Menghadapi seorang tokoh yang sama sekali tidak terkenal saja, dengan mudah aku dapat dikalahkan."
"Kalah dan menang dalam sebuah pertempuran adalah soal biasa, Ki. Sekali waktu kita menang. Tapi bukan
tidak mungkin kalau di lain hari kita akan dikalahkan. Tidak ada orang yang paling sakti," ujar Arya tanpa bernada
menggurui. Petani Maut semakin bertambah kagum mendengar
ucapan Arya. Perkataan pemuda berambut putih keperakan itu diketahuinya
mengandung kebenaran, yang tidak bisa diganggu gugat lagi kebenarannya.
Petani Maut benar-benar dibuat terkagum-kagum
oleh perkataan Dewa Arak. Sama sekali tidak disangka orang semuda Dewa Arak
mempunyai wawasan demikian
luas. Walaupun kepandaiannya amat tinggi, namun tidak nampak
adanya kesombongan sedikit pun di dalam ucapannya. Inilah yang membuat Petani Maut kagum bukan kepalang.
"Apa yang kau katakan itu sama sekali
tidak salah, Dewa Arak. Tapi...."
Petani Maut menghentikan ucapannya di tengah
jalan, karena mendengar suara ribut-ribut.
"Ki Manda datang. Beri jalan...! Ki Manda telah tiba...!"
Kerumunan penduduk Desa Ceger pun menyibak, memberi jalan pada orang yang bernama Ki Manda. Arya, Melati, dan Petani Maut
pun mengalihkan pandangan ke arah kerumunan penduduk yang menyibak.
Tampak seorang laki-laki setengah baya ber- pakaian putih tengah berjalan menghampiri. Meskipun rambut di kedua pelipisnya
sebagian telah memutih, tapi masih terlihat angker. Potongan tubuhnya kekar.
Keberadaan kumis serta jenggot lebat yang menghias wajah,
semakin menambah keangkerannya. Apalagi ditambah sebatang golok pendek yang terselip di pinggang. Lengkap sudah keangkeran itu. Inilah orang yang
disebut-sebut sebagai Ki Manda, Kepala Desa Ceger. Di belakang Ki Manda, berjalan dua orang yang
bertubuh tinggi kekar dan dipenuhi otot melingkar-lingkar.
Rompi berwarna hitam yang membungkus tubuh, tak mampu menyembunyikan otot-otot yang me-nyelimuti tubuh
mereka. Semua penduduk Desa Ceger
tahu, siapa kedua orang berompi hitam ini Mereka adalah pengawal kepercayaan Ki Manda. Namanya, Ragola dan Paroga.
Ki Manda menghentikan langkahnya ketika telah
berjarak tiga tombak di hadapan Arya, Melati, dan Petani Maut.
"Kudengar di tempat ini ada seorang kakek yang tengah terluka...."
Orang nomor satu di Desa Ceger itu sengaja tidak
meneruskan ucapan. Ditatapnya satu persatu wajah-wajah di hadapannya. Sekali lihat saja telah bisa diduga kalau orang yang
dimaksud adalah kakek berpakaian abu-abu.
"Akulah orang yang terluka itu, Ki," kata Petani Maut, cepat "Tapi, kini telah
sembuh karena telah ditolong Dewa Arak."
"Dewa Arak"!"
Bukan hanya Ki Manda saja yang terkejut bukan
kepalang, tapi juga dua orang pengawal kepercayaannya.
Bagai diberi aba-aba, kedua orang itu sama-sama mengalihkan pandangan ke arah Arya. Memang, pemuda itulah yang mempunyai ciri-
ciri sebagai pendekar yang menggemparkan dunia persilatan.
"Jadi..., dia Dewa Arak"!"
tanya Ki Manda, memastikan. Kepala Desa Ceger itu menudingkan telunjuk kanannya ke arah Arya. Tapi, tatapan sepasang matanya tertuju
pada Petani Maut. Sepertinya ada nada ketidakpercayaan dalam ucapan Ki Manda.
"Ada kalanya, berita yang
tersebar di dunia persilatan bertentangan dengan kenyataan sebenarnya,"
selak salah seorang pengawal Ki Manda yang bercambang bauk lebat sebelum Dewa
Arak dan yang lain menyahuti.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ragola?" Ki Manda mengalihkan pandangan ke arah
pengawalnya. Pengawal bercambang bauk lebat yang bemama Ragola itu tidak langsung menjawab. Dia berdehem sebentar. "Begini, Ki. Ada kalanya berita yang tersebar di dunia persilatan tidak sesuai
kenyataannya. Dan tentu saja karena perlu diuji kebenarannya!" kata Ragola,
seraya menatap Arya dengan nada menantang.
Sementara orang yang bernama Paroga mengangguk-anggukkan
kepala, pertanda mendukung ucapan rekannya. Bahkan dia pun ikut menatap Dewa Arak pula.
Suasana langsung hening. Semua pasang mata kontan tertuju pada Dewa Arak. Mereka semuanya ingin melihat tanggapan pemuda
berambut putih keperakan itu terhadap perkataan bernada tantangan dari Pragola.
Tapi ternyata Arya tidak terpancing oleh ucapan
itu. Bahkan tetap bersikap
tenang. Disadari kalau


Dewa Arak 42 Empat Dedengkot Pulau Karang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ragola dan Paroga adalah jagoan-jagoan tanggung Desa Ceger. Dan mungkin, selama
ini belum pernah dikalahkan orang. Jadi begitu mendengar Dewa Arak mendapat
Tiga Dara Pendekar 7 Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Misteri Kapal Layar Pancawarna 2
^