Pencarian

Tiga Dara Pendekar 7

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 7


menasihatkan Tay-kok-su agar jangan ikut campur urusan
Siau-lim-si kami. Apabila Tay-kok-su tetap ingin ikut campur,
maka silakan saja Tay-kok-su mengundang orang-orang
gagah dari seluruh jagat dan berkunjung ke Ko-san!"
Liau-in naik darah, tongkatnya yang besar mendadak mengemplang.
Namun dengan sekali mengayun kebut, Pun-bu
Taysu melilit tongkat orang dengan ujung kebut yang panjang
lemas. Te-naga Liau-in yang besar dan kuat itu ternyata sama
sekali tak bisa berkutik.
Selagi Liau-in hendak mengubah serangannya, tiba-tiba ia
de-ngar Ong Cun-it membuka suara, "Begitu datang Susiok
marah-marah dengan mengemukakan peraturan rumahtangga
perguruan kita, coba katakan apa yang disebut pasal
13 dalam Siau-lim-keh-hoat (anggaran rumah tangga Siau-limsi)?"
Seketika Pun-bu Taysu tertegun.
Kiranya bunyi pasal 13 itu adalah "Apabila anak murid Siaulim
ada yang didakwa melanggar larangan suci, maka tertuduh
di-perbolehkan membela diri dengan dalil yang kuat. Terhadap
kepu-tusan yang dijatuhkan oleh Kam-si, kalau tidak bisa
diterima dengan baik, tertuduh boleh mengajukan saksi dan
datang ke Ko-san untuk mengemukakan alasannya. Dalam hal
demikian paling lama diberi waktu satu bulan".
Pasal dalam anggaran rumah tangga Siau-lim-si tujuannya
ia-lah untuk menghindarkan anak muridnya ada yang didakwa
tanpa dasar dan Kam-si salah menjatuhkan hukuman sehingga
fitnahan akhirnya sukar dibikin terang.
Perlu diketahui bahwa anak murid Siau-lim-si terlalu banyak
dan tersebar di Kangouw, kadang tidak terhindar dari fitnah
orang. Kam-si memegang teguh tata-tertib, tempo-tempo pun
sukar untuk menyelidiki" kebenarannya, oleh karena itu dalam
peraturan diberi ketentuan yang memberi hak dan
kelonggaran kepada tertuduh untuk
membela diri, tidak seperti cabang persilatan golongan lain, Ciangbunjin
mempunyai kekuasaan mutlak dan boleh memutuskan apa
saja yang dianggapnya betul.
Dengan menonjolkan pasal anggaran rumah tangga Siaulim
oleh Ong Cun-it, Pun-bu Siansu terpaksa mengendorkan
tangan dan menarik kembali kebutnya.
"Dengan mata kepala sendiri aku melihat begundalmu
mencu-lik wanita muda dan dipersembahkan padamu, kau
adalah terdakwa utama dalam perkara Jay-hoa ini, apa aku
memfitnahmu?" dengan mata mendelik Pun-bu berkata.
Namun Ong Cun-it ternyata tidak mengunjuk rasa khawatir
atau takut, sebaliknya ia malah tersenyum.
Melihat Sutitnya bersikap acuh tak acuh dan tidak memberi
jawaban, Pun-bu Taysu menjadi gusar.
"Jika kau ingin membela diri, baiklah aku beri tempo
sebulan padamu," katanya kemudian. "Dalam tempo itu,
sesukamu mencari saksi dan boleh naik ke Ko-san buat
membandingkan siapa yang betul.
Tetapi kalau kau mengira sekarang sudah punya sandaran orang kuat dan bermimpi
buat lari dari perbuatan jahatmu, hal itu jangan kau harap!"
Ong Cun-it ternyata tak gentar, sebaliknya tetap bersikap
ban-del. "Untuk apa aku haras lari" Sebulan kemudian aku
pasti akan menghadap ke Ko-san!" sahutnya dengan tertawa.
Melihat sikapnya yang begitu wajar dan sedikitpun tak
mengunjuk rasa takut, mau tak mau Pun-bu Taysu menjadi
ragu-ragu dan sangsi. Dalam hati ia berpikir, "Kalau bukan aku
sendiri yang me nyaksikan perbuatannya, surigguh tidak
menyangka dia menjadi bi-ang keladi perbuatan jahat Jay-hoa
itu, apalagi kalau melihat keha-lusan perilakunya yang
berwibawa, paras mukanya sedikitpun tidak ada tanda-tanda
menjurus sesat, siapa menduga dia melakukan perbuatan
yang paling dikutuk kaum Kangouw."
Begitulah, Pun-bu Taysu lalu berkata terhadap Ie Lan-cu,
"Se-tiba waktunya nanti, harap Lihiap berkunjung juga ke Kosan
buat jadi saksi, begitu pula beberapa kawan inipun
dipersilakan hadir!"
"Yang dua ini adalah Sute dan Sumoay Liau-in, Pek Thaykoan
dan Lu Si-nio!" dengan tertawa Ie Lan-cu
memperkenalkan. "Baik sekali kalau begitu, sekarang marilah kita berlalu!"
ajak Pun-bu Taysu. Dan selagi mereka hendak angkat kaki, di luar pintu
ternyata terang benderang oleh api obor, Soatang Sunbu Jan
Bun-kia telah memimpin pasukan mengepung rapat sekeliling
gedung itu. Dalam pada itu terlihat Ong Cun-it memberi tanda dengan
me-lambaikan tangan, lalu Haptoh berjalan keluar sejenak.
"Susiok, maafkan Siautit tidak mengantar!" terdengar Ong
Cun-it berkata. Ketika Pun-bu berpaling keluar gedung, terlihat olehnya
praju-rit yang tadi mengepung rapat di luar dalam sekejap
sudah mundur dan pergi semua.
"Hm, tidak nyana kau bersekongkol juga dengan budak
Boan dan menjadi tamu agung Khim-che Tayjin!" dengan nada
dingin Pun-bu mengejek. "Hal itu boleh Susiok catat sekalian atas perhitungan
Siautit, cara bagaimana haras dihukum, biarlah kalau sudah
tiba waktunya silakan Cu-ji (Ketua pengurus) dan para Bu-lim
Cianpw e untuk me-mutuskannya!" dengan suara lantang Ong
Cun-it menjawab, nyata ia tetap tak keder.
Karena kebandelan Sutitnya itu, tidak kepalang gusar Punbu
Siansu, saking murkanya hingga tak sanggup berkata pula,
ia hanya mengayun kebutnya terus berjalan keluar.
Bagi pihak le Lan-cu, karena kini Ong-Cun-it diketahui
adalah anak murid Siau-lim-pay dan sudah ada Pun-bu Siansu
yang tampil ke muka, terpaksa ia pun haras lepas tangan.
Begitulah sesudah mereka berlima kembali di Hian-biaukoan,
berulang kali Pun-bu Taysu memohon maaf kepada Ie
Lan-cu. Selama dua hari mereka berkumpul, telah saling tukar
pikiran tentang ilmu silat masing-masing dan tentu saja saling
mengagumi. Sesudah dua hari, Pun-bu lantas pulang ke Ko-san, sedang
Pek Thay-koan mengajak Lu Si-nio pergi mencar-i Kam Hongti,
lalu mereka bermaksud menuju ke Ko-san buat menjadi
saksi dalam per-kara Ong Cun-it.
Menurut perhitungan Ie Lan-cu, propinsi Soatang dan
Holam hanya berbatasan saja, dari Jing-to (di Holam) menuju
ke Ko-san (di propinsi Soatang) dengan kecepatan berjalan
bersama Teng Hiau--Ian, paling lama setengah bulan sudah
bisa sampai. Oleh karena itu, ia lantas menyuruh Teng Hiaulan
tinggal saja di Hian-biau-koan, ia hendak mengajarkan
kepadanya ilmu Lwekang dan dasar-dasar cara mengatur jalan
pernapasan. Teng Hiau-lan sudah berguru selama lima tahun kepada
Nyo Tiong-eng, yang dipelajari memang adalah kepandaian
dari cabang atas, maka sedikit banyak ia sudah mempunyai
dasar yang kuat, kini ditambah petunjuk dari Ie Lan-cu, sudah
tentu dengan gampang saja ia dapat memahaminya dengan
cepat. Setengah bulan kemudian, Ie Lan-cu dan Teng Hiau-lan berangkat
dari Jing-to menuju ke selatan, dari Lim-kin menjurus
ke barat, kemudian dari Kiok-hu terus menuju Celing dan
akhirnya memasuki Siang-kiu di daerah propinsi Holam,
sesudah itu, tidak seberapa hari mereka sudah sampai di Kosan.
Terlihat kompleks bangunan Siau-lim-si yang berderet-deret
tinggi dengan megah, memang pantas orang menyebutnya
sebagai tempat suci pusat pengajaran Buddha.
Ketika mereka memasuki pintu rumah biara itu, segera
padri penjaga menyambutnya ke kamar tamu, lalu mereka
diantar melalui pendopo besar Tay-hiong-po-tian terus masuk
ke ruangan Lo-han-tong, di situ Pun-bu Taysu menyambut
sendiri. Waktu ditanya kapan jatuh temponya, ternyata dengan
tepat jatuh besok. Kemudian Pun-bu memperkenalkan Ie Lancu
kepada Cu-ji (Ketua pengurus) baru dari Siau-lim-si, yaitu
Bu-cu Siansu. Bu-cu Siansu beroman welas-asih, begitu bertemu, orang
pasti akan menarik kesimpulan bahwa dia seorang padri
berilmu. Meski Bu-cu Siansu masih terhitung Sute Pun-bu, tapi
terha-dap kitab ajaran Buddha ia lebih banyak memperdalam
dan lebih tinggi ilmunya, walaupun soal ilmu silat sedikit kalah
dengan Su-hengnya, tapi dalam hal kebajikan dan bertapa, ia
terhitung nomor satu di seluruh rumah biara itu, oleh sebab
itulah dia yang meng-gantikan jabatan Cu-ji.
Tetapi justru kebaikan Bu-cu Siansu itu merupakan
kelemah-annya, ia mencurahkan seluruh perhatiannya dalam
agama dan tidak banyak mengurusi soal-soal umum, meski dia
melarang anak murid-nya bergaul dengan kaum pembesar
negeri, namun juga tidak meng-anjurkan supaya mereka
melawan kaum pembesar itu. Yang dia ha-rap hanya hidup
aman tenteram dalam pergaulan khalayak ramai dan
menyebarkan ajaran Buddha, hal mana sudah dianggap cukup
untuk menuju ke dunia kebahagiaan.
Begitulah, setelah Teng Hiau-lan berada di rumah biara itu,
dengan sendirinya ada Hwesio yang melayaninya mengaso ke
ka-mar suci. Kamar dimana Hiau-lan tinggal justru berada di samping
ru-angan Lo-han-tong, yakni ruangan yang penuh dengan
patung Lo-han. Di tengah ruangan besar itu tergantung sebuah lampu
minyak yang terbuat dari gelas berukuran raksasa, sumbunya
saja sebesar jari hingga cahayanya sangat terang, di atas
meja pemujaan terdapat pula lilin raksasa sebesar lengan
anak-anak, api sumbunya pun menganga hingga setinggi
setengah kaki. Dengan duduk bersila di atas kasuran peranti bersemadi,
entah sudah berapa lama telah Hiau-lan lewatkan, ia merasa
segalanya ser-ba sunyi, hanya api lilin yang berada dalam
ruangan itu kadang me-ngeluarkan suara letikan karena
terbakar. Siau-lim-si, nama biara ini memang betul-betul
mengagumkan dan bukan omong kosong seperti dibuat cerita
orang. Menurut cerita Pek Thay-koan, biara ini terbangun dengan tiga puluh
enam istana, penghuninya lebih dari lima rams Hwesio, tetapi
begitu menjelang malam hari, keadaan lantas sepi, sungguh
tata-tertib dalam biara ini harus dipuji. Demikian pikir Hiaulan.
Tengah Hiau-lan melamun sendirian, tiba-tiba terdengar di
luar kamar ada suara perlahan sekali, diam-diam Hiau-lan
turun dari balai-balai dan mengintip keluar melalui sela-sela
pintu. Terlihat olehnya di pendopo besar di luar itu ada seorang
anak laki-laki berusia antara tiga empat belas tahun, kedua
kakinya telan-jang, rambut terikal dengan gelang emas, kedua
lengannya yang kecil tetapi putih bersih itupun mengenakan
dua gelang emas, bocah ini mirip Ang-hay-ji dalam dongeng
"Se Yu". Sementara itu tertampak si bocah sedang menggeraki
tangan dan kakinya di ruangan luar itu, kadang-kadang
terlihat ia menjotos sebuah patung Lo-han dan saat lain
menendang ke Lo-han lainnya, tiba-tiba mulutnya berkemakkemik,
sekonyong-konyong ia mendo-ngak tertawa lebar,
kelakuannya sangat aneh dan penuh rahasia.
Heran sekali Teng Hiau-lan menyaksikan itu, ia tidak
mengerti mengapa di dalam Siau-lim-si yang begitu megah
dan agung bisa mendadak muncul seorang anak kecil.
Apalagi Lo-han-tong adalah ruangan penting yang hanya di
bawah pendopo besar Tay-hiong-po-tian, mengapa padri Siaulim-
si bisa membiarkan seorang anak kecil sembarangan
berkeliaran di da-lamnya"
Teng Hiau-lan sangat heran dan timbul berbagai
pertanyaan dalam benaknya.
Lewat agak lama kemudian, masih tetap tidak tampak ada
seorang padri pun yang keluar untuk mengurus bocah itu.
Tertarik oleh rasa herannya itu, Teng Hiau-lan segera
bermaksud membuka pintu kamarnya.
Selagi ia hendak keluar, tiba-tiba pandangannya menjadi
ka-cau, karena dari atas emperan Lo-han-tong itu mendadak
melompat turun pula seseorang.
Bocah tadi ternyata tidak terkaget oleh melayang turunnya
orang yang mendadak itu, bahkan terlihat ia tersenyum
padanya. Kemudian tertampak orang itu memberi tanda dengan
tangan, lalu si bocah mengeluarkan sebungkus barang dari
sakunya terus di-lemparkan kepadanya, waktu orang itu
mengulur tangan menyambut dan berpaling, maka terlihatlah
dengan jelas oleh Teng Hiau-lan bahwa orang ini ternyata
Thian-yap Sanjin adanya! Saking terkejutnya, lekas Teng Hiau-lan menutup pintu dan
dipalang kembali. Rupanya tindakan Teng Hiau-lan kepergok oleh Thian-yap
Sanjin, maka segera terdengar orang ini bersuit aneh.
Menyusul ter-dengar juga si bocah tadi berteriak, "Ada orang
datang!" Dalam pada itu, dari jauh Thian-yap Sanjin telah
menghantam dengan tangannya, seketika itu juga pintu kamar
dimana Teng Hiau-lan berada seperti kena dipalu dan
mendadak terpentang, sedang Teng Hiau-lan yang tak pernah
menduga akan kejadian itu kontan tergetarjatuh.
Tetapi dengan cepat Teng Hiau-lan dapat melompat
bangun kembali, dan pada saat itu juga, dilihatnya di empat
penjuru ruangan Lo-han-tong itu sudah berdiri empat orang
Hwesio. Di antara empat Hwesio itu, Teng Hiau-lan hanya kenal seorang
di antaranya, ialah Hwesio yang melayani waktu ia
datang, Ngo-hi Siansu. "He, orang darimanakah kau ini" Lo-han-tong Siau-lim-si
ma-na boleh dibuat terobosan sesukamu?" terdengar Ngo-hi
Siansu membentak. Thian-yap Sanjin tidak lantas menjawab, sebaliknya ia


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berge-lak tertawa. "Baiknya silakan ketua kalian Bu-cu Taysu
saja yang tampil bicara!" sahutnya kemudian.
Melihat kecongkakan orang, keempat Hwesio itu menjadi
gu-sar. "Cu-ji kami tidak sembarang menemui kaum keroco
sebangsa kau ini," berbareng mereka mendamprat.
Namun kembali Thian-yap Sanjin tertawa besar. "Ha, aku
saja kalian tidak kenal, sungguh memalukan sekali bual nama
baik Siau-lim-si!" balasnya dengan suara lantang. Habis itu ia
enjot tubuh sambil menyambung dengan sombongnya, "Kalian
tidak mau meng-. undang Cu-ji kalian, apa aku tidak dapat
pergi mencarinya sendiri?"
Keempat padri itu tidak nampak banyak bergerak, tapi
tahu-tahu mereka sudah merubung maju dan mengepung
Thian-yap Sanjin di tengah. Tapi kembali Thian-yap Sanjin
memperlihatkan tawa dinginnya, berbareng kedua tangannya
bekerja secepat kilat, dengan mementang kedua tangan, dua
dari empat Hwesio itu tahu-tahu telah dilempar pergi, sedang
dua lainnya pun sempoyongan mundur bebe-rapa tindak.
Tenaga pukulan Thian-yap Sanjin memang luar biasa
lihainya, untung keempat Hwesio itu terhitung jago kelas
wahid di antara anak murid Siau-lim-si angkatan dua, kalau
tidak, lebih-lebih tidak mampu menahannya.
Karena keunggulannya itu, selagi Thian-yap Sanjin merasa
se-nang dan hendak menerjang maju lagi, tak terduga dari
sebelah ti-mur ruangan besar itu mendadak sesosok bayangan
orang berkele-bat, baru Thian-yap Sanjin berniat membalik
tubuh, namun sudah didahului orang, tahu-tahu pundaknya
dengan perlahan kena ditepuk orang itu.
"O-mi-tp-hud!" terdengar suara antap berat mendenging di
te-pi telinganya. Thian-yap Sanjin menjadi kaget oleh kesebatan orang itu,
un-tuk menjaga segala kemungkinan, lekas ia melompat ke
samping, sesudah itu dengan sebelah tangan melindungi dada
barulah ia berpaling. Maka tertampak olehnya seorang Hwesio beroman welasasih
dengan merangkap tangan di dada sedang mengucapkan,
"O-mi-to-hud! Thian-yap Sanjin jauh-jauh datang ke daerah
tengah, entah hendak memberi petunjuk apa?"
"Tolong tanya gelar suci Taysu?" tanya Thian-yap Sanjin.
"Lolap (sebutan pada diri sendiri bagi Hwesio) bukan lain
ialah orang yang Sanjin hendak cari!" jawab padri tua itu.
"O, kiranya Bu-cu Siansu sendiri, sungguh mengagumkan,
ternyata betul-betul padri agung berilmu," sahut Thian-yap
Sanjin. "Cuma keempat anak muridmu inilah yang agak
kurang sopan!" Bu-cu Siansu tertawa, katanya, "Mereka berempat mana
tahu yang datang adalah Sanjin, tentu mereka mengira yang
datang ada lah sebangsa orang sombong dari Kangouw saja!
Sedang Lolap saja kalau tidak menyaksikan Ling-san-cio-hoat
tadi, tentu juga tidak ta-hu bahwa Sanjin yang datang malammalam
begini! Biarlah Pin-ceng (padri miskin, sebutan diri
sendiri) meminta maaf, harap Sanjin
jangan gusar!" Dengan ucapannya itu, Bu-cu Siansu telah unjuk
kepintaran-nya berbicara, ada lemasnya juga ada kerasnya,
kelihatannya ia meminta maaf, tetapi sebenarnya ia menuduh
Thian-yap Sanjin tidak seharusnya melanggar peraturan Bulim
dan sembarangan terobosan di tempat orang.
Kalau diurut, Ling-san-pay dan Siau-lim-pay walaupun
berja-rak puluhan ribu li dan tiada sesuatu hubungan, tetapi
pada lima pu-luhan tahun yang lalu, guru Thian-yap Sanjin,
yaitu Ling-san Sian-jin pernah datang ke Siau-lim-si untuk
mendengar guru Bu-cu Siansu
berkhotbah dan menghormatinya bagai "setengah guru", oleh ka-rena itu, bila
harus diurut secara sungguh-sungguh, Thian-yap Sanjin
masih setengah tingkatan di bawah Bu-cu Siansu.
Dengan sembarangan terobosan di tempat orang yang
berting-katan lebih tua, jelas dirinya yang bersalah lebih
dahulu, lebih-lebih karena Bu-cu Siansu sedemikian rendah
diri, mau tak mau Thian-yap harus mengubah lagaknya yang
jumawa tadi. Katanya kemudi-an, "Lingsutit (murid
keponakanmu) Ong Cun-it memiliki ilmu silat dan nana baik
yang dijunjung tinggi di kalangan Kangouw. tetapi Pun-bu
Taysu sebagai pengawas biara kurang tahu jelas perkaranya
sudah lantas menjatuhkan dakwaan, meski aku selamanya
suka ke-bebasan dan tak biasa ikut campur urusan orang lain,
kali ini rasa-nya aku tak bisa membiarkan hal itu berlangsung
terus. Lingsutit dalam beberapa hari ini akan minta keadilan ke
Ko-san sini, aku dan beberapa Bu-lim Cianpwe lainnya
bersedia pula mendengarkan pe-meriksaan perkara itu sebagai
saksi dan ikut menentukan siapa yang betul dan siapa yang
salah!" Menurut peraturan Bu-lim, jika suatu golongan persilatan
sedang bikin pembersihan di dalam perguruan, golongan lain
tidak bo-leh ikut campur tangan. Tetapi bila persoalannya lain
daripada yang lain dan anak murid yang bakal menerima
pembersihan itu secara terang-terangan tidak mau tunduk atas dakwaan yang
dituduhkan kepadanya, maka ia boleh juga mengundang
ketua atau pendiri ca-bang silat lain untuk ikut memberi
penilaian dan keadilan. Hanya saja peristiwa semacam itu jarang sekali terjadi,
seum-pama terjadi juga murid yang bersangkutan akhirnya
yang benar, namun hubungan baik dengan golongan lebih tua
dari perguruan sendiri juga akan retak dan akhirnya akan
berpisah dengan perguruan
sendiri atau lantas ,iiendirikan
cabang silat tersendiri. Begitulah, maka Bu-cu Siansu kemudian berkata, "Siau-limsi
kami, sedari dulu hingga kini harus bangga dengan disiplin
yang se-lalu kami pegang, selama ini kami tak melindungi
anak murid yang bersalah, sebaliknya juga tidak sembarang
menghukum murid yang tidak bersalah. Kata peribahasa kuno,
adalah bijaksana kalau suka mendengarkan pendapat orang
lain, tetapi salah sekali kalau hanya kukuh pada pendapat
sendiri. Thian-yap Sanjin bersama tokoh cabang
silat lain kini sudi hadir buat ikut menimbang siapa yang bersalah
dan siapa benar, hal ini sungguh di luar harapan Pinceng!"
Setelah mendengar uraian Bu-cu Siansu itu, segera Thianyap
Sanjin membalik tubuh hendak berlalu. Namun sebelum
bertindak, tiba-tiba pintu samping terbuka, sekonyongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
konyong dari pintu itu menerobos keluar seorang terus
merangkap kedua tangan di dada sembari memberi hormat
dengan membungkuk. "Dari jauh Thian-yap Sanjin sudi datang, maafkan kami bersaudara
tidak mengantar lebih jauh!" terdengar seruan orang
itu." Berbareng mendadak Thian-yap Sanjin merasa angin kuat
me-nyambar tiba, lekas ia pun merangkap tangan balas
menghormat, namun tetap tak mampu menguasai diri, ia
terdorong mundur keluar pintu ruangan itu.
Biasanya Thian-yap Sanjin bangga sekali atas tenaga
telapak tangan sendiri, tak terduga sekali ini tak sanggup
melawan orang ini. Ketika ia pandang siapa gerangan orangnya, maka tahulah
bahwa orang itu bukan lain ialah Pun-bu Taysu.
"Terima kasih atas pengajaran tadi!" katanya kemudian.
Sesu-dah itu ia tak berani banyak cingcong lagi, dengan cepat
mengeluyur pergi. Dalam pada itu, bocah yang rambutnya terikal gelang emas
tadi, selama Bu-cu Siansu bertanya-jawab dengan Thian-yap
Sanjin, ia pun ikut mendengarkan di pinggir.
Sesudah Bu-cu Siansu mengantar kepergian Thian-yap
Sanjin, kemudian ia mengelus kepala anak itu. "Kau tidak
dilukai olehnya bukan?" tanyanya dengan penuh kasih sayang.
"Tidak!" bocah itu menjawab.
"Tak mungkin ia berani," ujar Pun-bu Taysu. Habis itu katanya
pula terhadap bocah itu, "Baiklah, kini kau boleh pergi
me-ngaso, malam ini tak usah berlatih lagi, gurumu sedang
menantikan kau di sana!"
Bocah itu mengiakan dan berlalulah dia ke ruangan
belakang. Melihat pintu kamar tergetar rusak, lekas Bu-cu Siansu
perin-tahkan orang membikin betul dan menghibur Teng Hiaulan.
Sebenamya Hiau-lan ingin bertanya mengenai asal-usul si
bocah yang dilihatnya tadi, tetapi mengingat dirinya baru
untuk perta-ma kalinya mengunjungi Siau-Iim-si, sedang
tingkatan dirinya jauh lebih rendah, maka ia tak berani
sembarang bertanya, terpaksa dengan
penuh tanda tanya pergi tidur. Dalam pada itu, sayup-sayup ia mendengar di luar sana
ada suara Pun-bu Siansu yang keras dan bersemangat,
rupanya sedang berdebat dengan Bu-cu Siansu.
Memang begitulah, sesudah Thian-yap Sanjin pergi, Bu-cu
Siansu dan Pun-bu Siansu dengan bergandengan tangan lalu
masuk ke ruangan pemujaan mereka yang disebut "Cho-coam".
Cho-co-am atau kelenteng bapak pendiri (cikal-bakal) untuk
memperingati Tat-mo Siansu sebagai pendiri "Sian-cong" (salah
saru cabang sekte agama Buddha) yang bersemadi selama
sep"iluh tahun di Siau-lim-si di atas Ko-san, propinsi Holam.
Oleh karena itu, bila Siau-lim-si mempunyai sesuaru urusan
yang maha besar, semua to-koh terkemuka dan pemimpinnya
akan masuk ke dalam Cho-co-am itu untuk berunding.
Begitulah sesudah dua saudara seperguruan itu masuk ke
dalam kelenteng dan masing-masing mengambil tempat
duduk, berka-talah Bu-cu Siansu dengan tertawa, "Suheng
ternyata masih belum hilang berangasannya, buat apa mesti mempersulit orang
tadi!" Pun-bu Taysu ikut tertawa. "Aku sudah tak berpikir menjadi
Buddha, mana bisa mempunyai kesabaran seperti kau, Sute,"
sahut-nya kemudian. "Secara terang-terangan, Thian-yap
Sanjin tahu bah-wa Siau-lim-si kita adalah pusat dunia ilmu
silat, tapi dia berani sembarangan terobosan di tempat kita ini,
kalau tidak diberi sedikit rasa padanya, mungkin ia akan
mengira Hwesio Siau-lim-si boleh sembarangan diuina!"
"Dia sudah menurut cara Bu-lim dan menyatakan
mendukung Ong Cun-it, besok sudah waktunya, maka ia
memberitahu satu malam di muka, meski caranya kurang
sopan, namun tak usah terlalu menyalahkan dia!?" ujar Bu-cu
Siansu. "Pada waktu aku hendak menangkap Ong Cun-it di Jingto,"
demikian Pun-bu Taysu menutur, "aku sudah mengetahui
banyak di antara tokoh Bu-lim yang membantu kejahatannya,
cuma tidak per-nah kuduga bahwa Thian-yap Sanjin pun
termasuk seorang di anta-ranya. Kalau Ong Cun-it nyata-nyata
sudah tak mau tunduk dengan peraturan, ditambah
perbuatannya yang cabul dan rendah itu, bila bertemu besok,
cacatkan saja dia!" Karena ucapan Suhengnya yang terakhir itu, Bu-cu Siansu
me-mejamkan mata, ia sedang berpikir. "Suheng, urusan ini
terlalu luar biasa!" selang agak lama baru terdengar ia
membuka suara dengan perlahan.
"Sungguh tidak terduga bahwa murid kesayangan
Toasuheng kita, kini bisa berubah semacam ini!" dengan
menghela napas Pun-bu Siansu berkata dengan penuh rasa
menyesal. Toasuheng yang disebut Pun-bu itu bernama Pun-khong,
ialah Cu-ji yang terdahulu sebelum Bu-cu Siansu.
Nama baik dan wibawa Pun-khong di dunia persilatan
umum-nya jauh di atas kedua Sutenya itu. Oleh sebab itulah
orang-orang kalangan Kangouw kalau membicarakan Siau-limsi,
sembilan di" antara sepuluh hanya kenal diri Pun-khong,
sebaliknya tak tahu akan diri Bu-cu.
Waktu Ong Cun-it berguru di Siau-lim-si, perantaranya
bukan lain adalah Liau-in Hwesio. Ketika itu sebenarnya Punbu
Siansu sudah menyangsikan asal-usul Ong Cun-it yang tak
beres, maka ia memberi nasihat kepada Suhengnya agar
jangan menerimanya. Namun Pun-khong ternyata berpendapat lain, ia lihat paras
Ong Cun-it yang berlainan dengan orang biasa, ditambah
otaknya yang tajam dan pintar, bukan saja nasihat Sutenya
tak diperhatikan, malah ia turunkan seluruh kepandaiannya
kepada Ong Cun-it. "Aku katakan luar biasa urusan ini, bukan melulu
disebabkan Ong Cun-it adalah murid kesayangan Suheng kita,
yang aku mak-sudkan adalah mengapa ada sekian banyak
tokoh ternama Bu-lim yang berdiri di belakangnya?" ujar Bucu
kemudian. Pun-bu Siansu terdiam, rupanya ia tertarik juga oleh
pertanya-an Sutenya itu. "Coba pikirkan," Bu-cu Siansu meneruskan pula,
"seumpama Ong Cun-it adalah tokoh muda pilihan yang baru
muncul di Kang-ouw, baru berapa tahun ia keluar dari
perguuuan" Kemampuan dan kebajikan apa yang ia miliki
hingga seorang bapak pendiri cabang persilatan seperti Thianyap
Sanjin pun mau menurut pada perintah-nya" Ada lagi,
Liau-in, si Hwesio jahat itu, biasanya ia sangat cong-kak dan
anggap dirinya sebagai kepala dari Kanglam-pat-hiap, siapa
saja tidak ia pandang sebelah mata, tapi mengapa dia juga
sudi men-jadi pelindung Ong Cun-it?"
Dengan serentetan ucapan Bu-cu Siansu itu, Pun-bu Siansu
seperti ingat kepada sesuatu, mendadak ia menggebrak meja,
dengan menarik suara panjang ia berkata, "Jangan-jangan
dia "." Belum selesai kata-kata Suhengnya itu, tiba-tiba air muka


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu-cu Siansu berubah pucat dan lantas memotong, "Janganlah
kita me-nerka sekenanya, lebih baik kita lihat saja selanjutnya!
Hanya saja aku ingin menasihati Suheng, watakmu agak
keras, boleh jadi urusan besok akan banyak sangkut-pautnya
dengan nasib hari depan Siau-lim-si kita, harap Suheng suka
sedikit bersabar!" "Sute, kau adalah Cu-ji kita, apa yang kau katakan tentu
aku menurut saja!" sahut Pun-bu dengan rada kurang senang.
"Kita adalah saudara seperguruan, buat apa berkata begitu,
Suheng, harap kau tidak salah mengerti!" kata Bu-cu dengan
tertawa sambil berbangkit.
Mereka berdua kemudian bergandeng tangan keluar dari
ke-lenteng itu, sampai di luar, ketika memandang ketiga puluh
enam is-tana biara mereka yang terbenam di bawah sinar
sang dewi malam, tak tertahan Bu-cu Siansu menghela napas.
"Harap Hudeo (Buddha) yang welas-asih memberi berkah agar
tempat sebagus ini jangan ter-musnah di tanganku!" ia
berdoa. Dalam hati Pun-bu Siansu diam-diam menertawai Sutenya
yang terlalu perasa, menghukum seorang murid murtad
adalah urusan yang lumrah, seumpama dia didukung tokoh
cabang lain, paling banyak ia mendirikan cabang persilatan
sendiri. Begitulah, maka pada besok paginya, pendopo besar "Tayhiong-
po-tian" Siau-lim-si penuh dengan asap dupa dan api
lilin yang bergulung-gulung, patung pemujaan Tat-mo Siansu
terpajang di tengah sedang menanti upacara yang luar biasa.
Sebagai salah seorang saksi, Teng Hiau-lan dengan
sendirinya juga diundang hadir, cuma ia tergolong Wanpwe
(angkatan muda), maka berbeda dengan Ie Lan-cu, Pek Thaykoan
dan kawan-kawan yang disambut padri tingkatan tinggi
dari biara kenamaan itu, tempat
duduk yang disediakan untuknya juga berlainan. Hwesio yang melayani dia tetap Ngohi
Hwesio yang kemarin menyambut keda-tangannya. Pagipagi
sekali Ngo-hi sudah mempersilakan dia mandi dan
keramas untuk menunggu. Menjelang lohor, Ngo-hi baru membawanya keluar dari
kamar menuju Tay-hiong-po-tian, sepanjang jalan Hwesio
yang bertugas menjaga keamanan sudah berbaris di kedua
samping dengan rapi. Setelah masuk ke dalam pendopo besar itu, lima ratus
padri sudah berdiri di tempatnya masing-masing, tetapi dalam
ruangan itu tetap sunyi senyap penuh disiplin, sampai-sampai
suara orang ber-napas seakan terdengar jelas.
Di atas panggung di ruangan pendopo itu berbaris padripadri
penghormat, tangan mereka menabuh kecer, suaranya
ulem sayup-sayup berkumandang jauh. Teng Hiau-lan sendiri
duduk di tempat tamu ketiga belas di sebelah barat.
Lewat tak lama, tiba-tiba terdengar genderang berbunyi
dan genta ditabuh, sesudah itu terlihat pintu tengah yang
berbentuk bulat terpentang lebar, didahului asap dupa wangi
yang terbakar ber-gulung-gulung, masuklah dengan berjajar
tiga orang yang bukan lain
daripada Cu-ji Siau-lim-si, Bu-cu
Siansu, Pengawas biara Pun-bu Siansu dan tamu agung Siaulim-
si le Lan-cu, menyusul terlihat Pek Thay-koan dan Lu Sinio
berjalan di belakang mereka.
Setelah sampai di hadapan patung Buddha Tat-mo Siansu,
Bu-cu duduk pada sebuah bantal bersarung kuning di depan
meja pemu-jaan, Pun-bu Taysu pun duduk pada kasuran lain
di sebelah kanan, sedang le Lan-cu, Pek Thay-koan dan Lu Sinio
bertiga duduk di tempat tetamu sebelah kanan yang telah
disediakan. Sementara itu, para padri dari Tat-mo-tong, Lo-han-tong
dan Ciang-king-tong, semuanya dengan rajin mengenakan
jubah sera-gam, secara hormat sekali mereka merangkap
kedua tangan membe-ri hormat kepada "Ciang-kau Hongtiang"
(pejabat ketua agama) mereka,
yaitu Cu-ji Siau-lim-si, Bu-cu
Siansu. Dengan roman keren dan agung, Bu-cu Siansu
menjalankan upacara sembahyang kepada Tat-mo Cosu,
kemudian barulah ia mu-lai angkat bicara, "Ko-san Siau-lim-si
kita hingga kini sudah berdiri lebih seribu tiga ratus tahun,
peraturan kita baik dan disiplin juga keras, hal ini sudah
terkenal di seluruh jagat. Lolap kurang bijaksa"na, baru saja
memegang jabatan ketua, tahu-tahu ada murid biara kita,
Ong Cun-it, tanpa menghiraukan larangan suci telah
melanggar pantangan besar kita dan kepergok oleh Kam-si
(pengawas biara) Pun-bu Taysu, Ong Cun-it ternyata
melakukan kejahatan Jay-hoa di Jing-to. Mestinya yang
bersangkutan harus segera dibekuk dan diba-wa kembali ke
gunung, tapi Ong Cun-it menyatakan tidak menerima tuduhan
itu dan ingin minta keadilan dari Kam-si, bahkan dia telah
mengundang tokoh golongan lain untuk memberi
pertiribangan keadilan. Hal ini bersangkutan dengan nama
baik Siau-lim-si kita, se-bentar lagi tentu urusan akan menjadi
terang, semua padri yang ha-dir hendaklah mengambil
kejadian ini sebagai pelajaran."
Banyak di antara Hwesio-hwesio itu belum mengetahui
akan perkara Ong Cun-it, seketika ramailah suara bisik-bisik di
antara mereka, sebab hal itu sungguh merupakan kejadian
yang luar biasa bagi mereka, karena di antara anak murid
Siau-lim-si ternyata ada yang menjadi Jay-hoa-cat.
"Ciang-kau Hongtiang," terdengar Pun-bu Taysu membuka
suara dengan mengangguk, "bila nanti diputuskan Ong Cun-it
ternyata berdosa, tapi ada tokoh dari golongan lain yang
membela dia, bagaimana kita harus bertindak?"
"Bila terjadi begitu, seluruh keluarga biara harus minta
tamu luar itu agar mau sadar, kemudian murid murtad itu
harus dihu-kum!" sahut Bu-cu Siansu tegas,
"Tetapi kalau tamu luar itu" tetap tak mau tunduk, lalu
bagaimana?" tanya pula Pun-bu. "Tak mungkin terjadi begitu!" sahut Bu-cu Siansu dengan
rada mendongkol. "Perbuatan Jay-hoa yang cabul itu, dosanya tak bisa
diampuni, kalau betul-betul ada pihak luar berani
membelanya, maka semua padri biara kita punya kewajiban
mempertahankan hukum biara!" tiba-tiba Hong-hoat Taysu
sebagai ketua pengurus ruang Ciang-king-tong ikut
mengutarakan pendapatnya. "Seumpama murid dur-haka itu
hendak masuk ke perguruan lain, hal itu juga tidak diperbolehkan!"
Ketua pengurus ruangan Ciang-king-tong adalah pejabat
yang memegang teguh semua ajaran agama dan menentukan
larangan biara mereka yang sudah turun-temurun, oleh
sebab itu Pun-bu Taysu mendesak Hong-hoat Taysu untuk
mengutarakan perkataannya tadi.
Mendengar itu, terpaksa Bu-cu Siansu bungkam dengan alis
terkerut dan wajah mengunjuk rasa khawatir.
Saat itu tepat tengah hari, namun orang yang dinantikan
masih belum datang. "Mengapa Ong Cun-it masih belum nampak, jangan-jangan
dia takut akan dosanya sendiri hingga tak berani datang?"
demikian pikir Teng Hiau-lan.
Akan tetapi baru saja timbul dugaannya itu, tiba-tiba
terdengar suara musik berbunyi nyaring di luar pintu biara,
ketika pintu terbu-ka, dengan muka berseri-seri muncullah
Ong Cun-it di bawah iring-an serombongan orang ke dalam
pendopo Tay-hiong-po-tian.
Rombongan pengiring itu bukan lain ialah Liau-in Hwesio,
Thian-yap Sanjin, Haptoh dan Sin-rao-siang-lo, kecuali itu
masih ada dua orang yang tak dikenal Teng Hiau-lan.
Ketika secara diam-diam ia bertanya pada Ngo-hi, baru ia
tahu bahwa kedua orang ini yang seorang adalah begal
ternama di daerah barat-laut, Kara Thian-liong, sedang yang
lain ialah angkatan tua dari Ih-hing-pay, Tang Ki-joan
namanya. Keduanya terkenal seba-gai tokoh yang disegani di
kalangan Kangouw. Waktu Ong Cun-it masuk ke dalam ruangan besar itu,
segera ia memberi hormat kepada Bu-cu Siansu.
"Kau ingin duduk pada tempat "Day-coi-sik" (tempat duduk
menantikan hukuman) atau "Sun-pian-sik" (tempat duduk yang
me-nyatakan hendak mendebat), kau boleh lekas pilih!" kata
Bu-cu Siansu kemudian. Menurut peraturan dunia persilatan umumnya, bila terjadi
hal yang luar biasa seperti itu, anak murid yang terkena, kalau
berduduk pada tempat Day-coi-sik, maka itu berarti ia tetap
setia pada cabang perguruan sendiri untuk menanti hukuman
yang bakal dijatuhkan padanya dan berbareng memohon
kemurahan hati perguruannya.
Tetapi jika memilih tempat Sun-pian-sik, maka anak murid
itu tak mau menerima tuduhan yang dilontarkan padanya,
sebaliknya ia berdiri di pihak berlawanan dengan perguruan
sendiri. Dengan de-mikian, tidak peduli bagaimana akhir
keputusannya nanti, dia akan memisahkan diri dari perguruan.
Ketika Ong Cun-it memandang, ia lihat tempat Sun-pian-sik
berjajar rapat dengan tempat duduk bagi tamu luar, maka
tanpa pikir lagi segera ia menuju ke tempat itu dan
mendudukinya. Sesudah itu, Liau-in, Thian-yap dan lainnya pun berturutturut
menduduki tempat yang telah disediakan di sebelah kiri.
Setelah semua mengambil tempat duduk masing-masing,
baru-lah Bu-cu Siansu mulai menguraikan semua larangan
Siau-lim-si. "Kam-si Suheng! Kau adalah penuduh, maka silakan kau terangkan
cara bagaimana Ong Cun-it melanggar larangan, agar
para padri di dalam biara ini tahu duduknya perkara!" katanya
kemudian dengan suara lantang.
Maka berdirilah Pun-bu Taysu sebagai penuduh untuk
mengucapkan tuntutannya. "Bulan yang lalu aku ditugaskan oleh Hongtiang ke Soatang
untuk menyelidiki tingkah-laku anak murid Siau-lim di tempat
itu," demikian ia mulai dengan tuduhannya. "Tatkala sampai di
Jing-to, kebetulan di sana sedang terjadi kejahatan urusan
Jay-hoa, berturut-turut sudah dua belas gadis muda yang
diculik oleh Jay-hoa-cat itu tanpa meninggalkan bekas,
sesudah aku melakukan penyelidikan dan pengintaian secara
leliti, cukup bukti menunjukkan bahwa yang melakukan
perbuatan itu ialah Ong Cun-it!"
Atas tuduhan orang itu, sedikitpun Ong Cun-it tak gentar,
sebaliknya ia tertawa dingin. "Kalau betul aku berbuat Jayhoa,
me-ngapa tidak lantas menangkap diriku?"" debatnya
kemudian. Pun-bu Taysu pelototkan mata dan menjawab, "Meski kau
tidak melakukan Jay-hoa sendiri, tapi kaulah biang
keladinya!" Habis itu, setelah merandek sejenak, lalu ia
katakan pula terhadap padri-padri sebiaranya, "Bukan saja
Ong Cun-it telah berdosa karena perbuatan
Jay-hoa, bahkan ia menjilat kaum pembesar Boan. Ia tinggal di kediaman
Khim-che, beberapa malam berturut-turut ia perintah-kan
orang menculik gadis, justru ia gunakan kediaman utusan raja
itu sebagai sarang!"
"Apa tinggal dalam rumah utusan raja terhitung dosa
juga?" bantah Ong Cun-it pula dengan senyum mengejek.
Mendengar itu, Hong-hoat Taysu dari Ciang-king-tong
lantas berdiri menyela, "Menurut ajaran Siau-lim kita yang
sudah turun temurun selama berabad-abad, yang hams ditaati
ialah larangan suci agama, dilarang ikut campur soal
pemerintahan. Tinggal dalam rumah
utusan raja tidak termasuk sebagai dosa, tapi menculik gadis dan melakukan
Jay-hoa adalah dosa besar, hendaklah jangan di-campuradukkan,
yang penting ialah, apakah Ong Cun-it betul tidak
memerintahkan begundalnya menculik gadis-gadis untuk dia!"
Dengan perkataan Hong-hoat Taysu itu, Pun-bu menjadi
serba salah. Sebab menurut ajaran Siau-lim-si yang sudah
berabad-abad, walaupun tak boleh ikut campur urusan
pemerintah (politik), tetapi sesudah dinasti Bing jatuh dan
bangsa Boan menjajah, semua padri biara itu selalu
berpedoman pada ajaran yang tidak termaktub dalam
anggaran dasar mereka untuk tidak mengekor pada bangsa
Boan, sebaliknya wajib membantu kaum pejuang dari dinasti
yang terda-hulu. Bahkan Pun-bu Taysu pernah mengusulkan
memasukkan ke-tentuan Hoan-jing-hok-bing (melawan Boan
dan membangun Bing kembali) ke dalam anggaran dasar,
namun Bu-cu Siansu mengang-gap akibatnya terlalu luas dan
berkeras tak mau terima. Dalam anggapan Pun-bu Taysu, bekerja sama dengan Boan
ja-uh lebih berdosa dan tak dapat diampuni daripada Jay-hoa,
oleh sebab itu, ia telah keluarkan isi hatinya mendamprat anak
murid mereka yang berkhianat, ia lupa bahwa dalam tatatertib
rumah tangga yang ditinggalkan Cosu mereka tidak
termaktub pasal demikian itu.
Ketika itu Ong Cun-it masih mendebat terus. "Kau bilang
aku perintahkan orang melakukan Jay-hoa, mana buktinya?"
katanya. Mendadak Ie Lan-cu berdiri. "Aku yang menjadi saksi!"
seru-nya. Sesudah itu ia menuding Haptoh dan Kam Thianliong,
lalu menyambung lagi, "dengan jelas aku melihat kedua
orang ini men-culik gadis dan dipersembahkan kepada Ong
Cun-it!" Kemudian ia paparkan pengalamannya pada malam itu. Karenanya,
seluruh padri biara menjadi terkejut dan gempar.
"le-lihiap adalah ahli-waris Thian-san-kiam satu-satunya
yang kini masih hidup, tingkatannya di kalangan Bu-lim
terhitung paling atas dan dihormati, tidak mungkin beliau


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendakwa semena-mena pada kaum Siaupwe. Nah, Ong Cunit,
apa yang bisa kau katakan lagi?" kata Bu-cu dengan
sungguh-sungguh dan keren.
Ong Cun-it lantas berdiri. "Tadi Hong-hoat Taysu dari
Ciang-king-tong bilang bahwa biara kita selamanya tidak
berurasan dengan pemerintahan, bukankah begitu?"
tanyanya. "Urusan Jay-hoa ada sangkut-paut apa dengan
pemerintahan?" ujar Bu-cu. "Aku hanya ingin tanya, apa yang
le-lihiap katakan tadi, betul atau tidak?"
"Memang betul!" jawab Ong Cun-it dengan berani.
"Menurut larangan yang ditentukan Cosu, siapa yang
melakukan dosa Jay-hoa harus dihukum dengan bakar
badan!" seru Hong-hoat menerangkan akibat hukumnya.
Segera Bu-cu Siansu menjura tiga kali pada patung Tat-mo,
lalu berbangkit kembali dan membentak dengan suara
tertahan, "Murid murtad Siau-lim, Ong Cun-it, sebagai biang
keladi yang melakukan Jay-hoa dan menculik anak gadis,
bukti dosanya sudah nya-ta. Sesudah Hongtiang dari Ciangking-
tong mempelajari larangan itu, hukumnya adalah
hukuman mati, maka hari ini juga hukuman tersebut
dilaksanakan. Hendaklah setiap anak murid Siau-lim kita
selanjutnya patuh pada larangan besar itu!"
Habis itu ia melambaikan tangan, segera empat padri yang
bertugas menjalankan hukuman dari Tat-mo-tong, semuanya
dengan jubah merah, tampil ke muka dari tempat duduk
mereka. Ie Lan-cu dan Pun-bu Taysu dengan penuh perhatian
menga-wasi Liau-in Hwesio dan Thian-yap Sanjin untuk
berjaga-jaga bila mereka membantu Ong Cun-it melakukan
perlawanan. Tak terduga, tujuh jagoan yang Ong Cun-it bawa, tiada
seorang pvn yang bergerak, mereka tetap duduk di tempat
masing-masing dengan tenang.
Sementara itu perlahan-lahan keempat padri yang bertugas
menjalankan hukuman tadi mendekati Ong Cun-it, suasana
dalam Tay-hiong-po-tian seketika menjadi sangat tegang, lima
ratus padri dengan menahan napas menantikan apa yang
bakal terjadi. Sebelum keadaan memuncak, mendadak Ong Cun-it berdiri
kembali dengan cepat. "Siapa berani menangkap aku?"
bentaknya mengejek. Habis itu ia tanggalkan baju luarnya,
maka tertampak ba-ju sebelah dalamnya yang sepan ringkas,
di atasnya tersulam gam-bar naga emas berkuku lima,
sekelilingnya bertabur mutiara mestika sebesar mata kucing
yang memancarkan sinar beraneka warna hing-ga
menyilaukan mata. Tanpa kehendaknya, keempat padri tadi seketika merandek
berhenti di tempat. "Inilah Si-hongcu (pangeran keempat), mengapa kalian
tidak lekas berlutut menyambut?" tiba-tiba terdengar Haptoh
berteriak. Ternyata Ong Cun-it ialah nama samaran Si-hongcu In
Ceng. Putra pangeran yang berkeras hati hendak merebut takhta
itu sudah tidak sayang buat menyamar sebagai rakyat biasa
dan keluar dari istana untuk mengikat persahabatan dengan
orang-orang gagah dunia Kangouw. Bahkan ia sendiri berguru
ke Siau-lim-si selama ti-ga tahun hingga mendapat ajaran ilmu
silat yang tinggi. Tahun lalu ketika In Ceng pulang ke Pakkhia, atas titah
ayah bagindanya, ia hams menikah dengan putri bangsawan
keluarga Nikolas. Istrinya ternyata tidak memperoleh cinta In
Ceng, oleh sebab itu kembali In Ceng raenyamar sebagai
rakyat biasa dan mening-galkan ibukota, kemudian timbul
pikirannya yang aneh, ia pikir wa-laupun kerajaan tiap tiga
atau lima tahun sekali melakukan pemi-lihan gadis-gadis ayu
untuk dijadikan dayang istana, tapi bagi keluarga
yang mampu, untuk kebenmtungan selama hidup anak gadis-nya,
seringkali tidak sayang menggunakan harta benda menyuap
pe-tugas yang bersangkutan, agar anak gadis mereka
diluputkan dari pemilihan itu, sekalipun anak gadis dari
keluarga miskin, bila men-dengar bakal ada pemilihan gadis
ayu untuk istana, segera juga mereka
berusaha mengawinkan gadisnya atau menyingkirkan anak gadis
mereka ke tempat jauh untuk sementara. Oleh sebab itulah,
maka pada zaman feodal, apabila tiba masa pemilihan gadisgadis
ayu untuk istana, masyarakat tatkala itu sama seperti
tertimpa bencana. Oleh karenanya, tiap kali ada pemilihan gadis, meski
jumlah-nya lebih seribu orang, namun di antara gadis
sebanyak itu yang boleh dikatakan ayu hakikatnya sedikit
sekali, ditambah putra Kai-sar Khong-hi banyak pula, maka
pembagian gadis-gadis itu setiba di istana pangeran menjadi
jauh daripada cukup dan memuaskan.
Begitulah maka In Ceng berpikir, orang pandai di bawahku
banyak sekali, mengapa aku tidak menyuruh mereka mencari
gadis yang cantik molek daripada susah-susah mengadakan
pemilihan se-gala. Karena itulah, maka berjangkitlah peristiwa Jay-hoa yang
aneh di kota Jing-to. Maka atas ucapan Haptoh tadi, semua menjadi terkejut,
sung-guh di luar dugaan bahwa Ong Cun-it adalah putra
pangeran dari kaisar yang bertakhta sekarang ini, ditambah
lagi Hongcu atau pangeran
sengaja melakukan perbuatan
Jay-hoa, hal ini lebih-lebih tidak mereka duga.
Keruan saja seketika itu dalam Tay-hiong-po-tian kembali
terdengar suara bisik-bisik yang ramai, nyata para padri itu
saling me-nyatakan keheranan mereka satu sama lain.
Pun-bu Taysu tak sabar lagi, mukanya merah padam
hingga otot-ototnya tertampak jelas, sinar matanya menyorot
tajam. "Biar-pun Hongcu, kalau bersalah juga haras dihukum
sama seperti rakyat biasa!" bentaknya tiba-tiba.
Namun In Ceng tidak gampang menyerah.
"Negeri yang begini luas tidak lebih adalah tanah kerajaan,
putra-putri dan harta benda di atas bumi ini semua adalah
kepunya-anku, kalau aku mengambil beberapa gadis dari
kalangan rakyat, malah akan mengurangi banyak kerepotan di
waktu pemilihan, hal ini justru perbuatan mulia, mengapa
kalian bilang aku bersalah?" sahutnya dengan lantang. "Lagi
pula, seandainya aku bersalah, tentu pihak kerajaan yang
akan mengurusnya, Siau-lim-si tidak berhak ikut campur!"
Pun-bu Taysu ternyata kalah debat terhadap perkataan In
Ceng yang lancar dan beralasan itu.
Seluruh padri Siau-lim-si menjadi gusar dan mendongkol
sekali atas jawaban In Ceng tadi.
"Aku cuma kenal kau sebagai anak murid Siau-lim-si yang
bernama Ong Cun-it dan tidak kenal kau sebagai Si-hongcu
segala," tiba-tiba Hong-hoat Taysu dari Ciang-king-tong
menyela dengan suara lantang. "Kita di sini bukan keluarga
kerajaan, kita hanya kenal pada hukum Siau-lim-si!"
Karena perkataan Hong-hoat Taysu itu, Pun-bu Taysu telah
disadarkan, segera dengan mengayun kebut ia menuding dan
mem-buka suara pula. "Pemerintah punya hukum negara dan dunia persilatan pun
ada peraturan sendiri, kau adalah orang Siau-lim-si, sekalipun
kau adalah kaisar yang bertakhta sekarang juga haras
menurat peraturan Kangouw dan terima hukuman yang
dijatuhkan oleh Ciangbunjin!"
"Berontak, sudah berontak!" teriak Liau-in atas ucapan
Pun-bu tadi yang nyata berani melawan kerajaan.
Sementara itu Thian-yap Sanjin telah berdiri buat
mengutara-kan pendapatnya.
"Betul, raasing-masing golongan dalam Bu-lira ada
peraturan sendiri, namun urusan sekarang ini adalah luar
biasa, hendaklah di-putuskan secara bijaksana juga," ujarnya.
"Si-hongcu memilih sendiri
gadis cantik dari kalangan rakyat,
bagaimana bisa dianggap se-bagai Jay-hoa" Sekalipun Siaulim-
si punya peraturan yang keras, haras juga taat pada
hukura negara!" Atas pembelaan itu, Bu-cu Siansu terdiara, tetapi tidak
demiki-an dengan Pun-bu Taysu, ia menjadi makin murka
hingga kedua raatanya melotot.
"Jika Siau-lim-si takut kepada kekuasaan dan menuruti kemauan
yang melanggar hukum, kelak cara bagaimana
menjagoi Bu-lim?" tiba-tiba ia membentak. "Pendek kata,
urusan hari ini justru adalah suatu ujian bagi Siau-lim-si kita!
Siau-lim-si punya anak mu-rid yang berbuat kotor seperti itu
adalah suatu noda besar buat biara kita, padri pelaksana
hukuman, silakan tetap menurut perintah Cu-ji tadi, tangkap
saja murid murtad Ong Cun-it itu dan hukum menurut
peraturan!" Sebelum terjadi lebih jauh, Thian-yap Sanjin telah
melompat maju dari tempatnya.
"Siau-lim-si dapat mencapai kedudukan seperti hari ini, cara
memperolehnya sungguh tak mudah," katanya dengan dingin.
"Pun-bu Taysu tidak suka mendengar nasihat, yang diharap
hanya kepu-asan diri sendiri, apa sudah tidak menghiraukan
darah kerihgat Cosu Siau-lim-si yang telah turun-temurun dan
rela membiarkan dasar yang sudah bersejarah ribuan tahun ini
hancur dalam sekejap saja?"
Kata-kata yang bersifat ancaman agar jangan bermusuhan
dengan pihak pemerintah itu membikin Bu-cu Siansu dan
para tetua dari Tat-mo-tong menjadi ragu-ragu, sebaliknya
padri-padri yang berdarah muda, bertambah gusar dan
penasaran, lima ratus padri itu berbisik-bisik saling
merundingkan ha] itu, nyata mereka terbagi dalam
dua golongan. Yang pertama, walaupun merasa gusar, tetapi guna
menjaga keutuhan Siau-lim-si, mereka berpendapat boleh
membikin ringan urusan Ong Cun-it itu dan tidak usah
menjatuhkan hukuman. Sebaliknya golongan yang lain tetap merasa penasaran,
mereka lebih suka biara hancur lebur dan mengorbankan diri,
tapi nama baik Siau-lim-si haras dipertahankan.
Dalam pada itu, setelah berpikir, terdengar Bu-cu Siansu
me-ngucap Buddha, matanya bersinar tajam dan kemudian
membuka suara dengan sabar. "Para Bu-lim Cianpwe dan para
padri seluruh biara hendaklah tenang sebentar," katanya.
"Persoalan yang diha-dapi hari ini memang luar biasa, maka
Lolap pun tak berani memu-tuskan sendiri dengan regitu saja.
Para tetua dari tiga "long" dan tetua
dari Tat-mo-ih dipersilakan ikut Lolap kembali ke Cho-co-am untuk melapor
kepada Cosu, setelah berunding lagi baru nanti di-umumkan
hasil keputusannya. Para tetamu yang terhormat harap suka
menanti sebentar!" Sesudah itu, dengan mengebas jubah sucinya, segera ia
pimpin kedua belas padri agung dari Siau-lim-si itu masuk ke
ruangan be-lakang buat berunding secara tertutup.
Sementara itu lima ratus padri tetap berjaga-jaga dengan
rapat sekali memenuhi pendopo besar itu, sekalipun In Ceng
bernyali besar, tak urung merasa kebat-kebit juga.
Sehabis Bu-cu Siansu masuk ke belakang, lama dan lama
sekali masih belum juga tertampak ia keluar kembali.
Ketika secara kebetulan Teng Hiau-lan memandang keluar
ruangan besar itu, tiba-tiba ia lihat sesosok bayangan orang
yang tam-paknya ragu-ragu, seperti akan masuk tetapi urung.
Sementara itu terlihat Sin-mo-siang-lo yang duduk di bagian
tetamu tiba-tiba ber-diri dan melongok keluar, cepat juga
bayangan orang tadi lantas menghilang, rupanya seperti orang
yang sudah dikenal Hiau-lan.
Karena nampak Sin-mo-siang-lo tiba-tiba berdiri, para padri
secara beramai lantas merubung padanya, karena itu, dengan
lesu Sin-mo-siang-lo lantas duduk kembali.
Dalam keadaan ramai itu, sekonyong-konyong dari dalam
ber-jalan keluar seorang bocah cilik dengan.rambut terikal
gelang emas, terus mencampurkan diri di antara para padri,
bocah ini bukan lain adalah bocah aneh yang dilihat Teng
Hiau-lan semalam. Tanpa te-rasa Teng Hiau-lan menggeser
diri lebih dekat pada bocah itu.
"Khing-hiau, apa kau juga ingin menonton keramaian ini"
Mengapa gurumu tidak datang?" terdengar seorang Hwesio
mena-nyai anak itu dengan tertawa.
Mendengar itu, tiba-tiba Hiau-lan tergerak hatinya. "Khinghiau"
He, nama ini seperti sudah pernah kudengar entah
dimana?" begitu ia merabatin.
"Bagaimana aku bisa tahu?" terdengar bocah tadi
menjawab dengan tersenyum.
Selagi Teng Hiau-lan berniat menggeser lebih dekat lagi,
tiba-tiba Bu-cu Siansu bersama kedua belas padri agung SiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lim-si tadi sudah keluar kembali. Bu-cu Siansu yang sudah tua
dan dapat ber-pikir panjang sebenarnya tidak ingin terkena
akibat peristiwa itu, maka dalam penmdingan yang agak lama
di dalam Cho-co-am, Bu-cu Siansu berkata, "Perkataan Thianyap
Sanjin tadi walaupun lebih mirip ancaman, tetapi kalau
sampai Siau-lim yang bersejarah ini termusnah di tangan kita,
cara bagaimana kita harus bertanggung jawab terhadap Cosu
kita yang sudah turun-temurun itu?"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cu-ji, tolong tanya, sejak berdirinya Siau-lim-si hingga kini
sudah berapa lama?" tiba-tiba Hong-hoat Taysu buka suara.
"Mengapa kau malah bertanya padaku?" sahut Bu-cu
Siansu dengan heran. "Kita punya Ko-san Siau-lim-si ini sejak
berdiri hingga kini sudah berumur lebih seribu tiga ratus
tahun, semua padri dalam biara kita, siapa yang tidak
mengetahui?" "Itulah, maka aku ingin tanya pula, selama lebih seribu tiga
ratus tahun itu sudah berapa dinasti silih berganti!" kata pula
Hong-hoat Taysu dengan keren. "Keagungan kaisar dan raja
boleh terpuja pada satu waktu, tapi tak mungkin bertahan
selama ratusan turunan. Zaman boleh berganti, tetapi tatatertib
biara Siau-lim kita tidak boleh
berubah, apakah dengan nama agung Siau-lim-si kita yang bersejarah
ribuan tahun ini ternyata tidak bisa membandingi seorang pangeran?"
"Betul apa yang Hong-hoat katakan," kata Pun-bu Taysu
te-gas. "Hari ini kalau kita tidak melaksanakan larangan yang
diwa-riskan Cosu, maka selanjutnya walaupun Siau-lim-si
masih berdiri, namun nama baiknya pasti akan rantuh, karena
sudah tidak sesuai lagi dengan Siau-lim-si yang sebenarnya.
Jikalau kita membikin pembersihan secara apa mestinya untuk mempertahankan
kehormat-an Siau-lim-si, walaupun biara harus musnah, tapi
nama baik tetap tinggal dan terjunjung tinggi selamanya oleh
dunia persilatan, hen-daklah pandangan kita diarahkan ke
masa depan. Sute, kau adalah Cu-ji biara kita, kau memiliki
kekuatan yang tak terpatahkan. Hcn-daklah diketahui,
memang betul, susah mendirikan dasar yang sudah kuat ini,
tapi biara hancur dapat dibangun kembali, orang mati kepandaian
dapat diturunkan. Sebaliknya, kalau nama baik dan
kewi-bawaan yang sudah kita pupuk selama ribuan tahun ini
dengan se-mangat yang tak kunjung padam terusak
karenanya, maka hal ini sulitlah untuk memperolehnya
kembali." Mendengar uraian Suhengnya yang panjang lebar itu, Bucu
Siansu memejamkan mata dan berpikir, setelah lewat agak
lama, ia menghela napas dan bangkit berdiri, ia pimpin orangorangnya
keluar dari Cho-co-am dan masuk kembali ke Tayhiong-
po-tian. Melihat air muka Bu-cu Siansu yang sukar diraba apa yang
ba-kal diputuskan, tiada seorang pun yang berani bertanya.
Setelah Bu-cu Siansu tiba kembali di tempatnya, para padri
kembali membunyikan genta dan kecer, sedang seluruh
ruangan menjadi sunyi sepi. Hong-hoat Taysu dari Ciang-kingtong
lantas tampil ke muka. "Ong Cun-it berdosa atau tidak?" tanyanya dengan
membung-kuk dan merangkap tangannya memberi hormat.
"Berdosa!" jawab Bu-cu Siansu dengan suara berat.
Karena keputusannya itu, keruan orang-orang yang
mengiringi kedatangan In Ceng berubah air muka mereka.
"Harap Cu-ji suka mengemukakan alasannya!" kata Thianyap
Sanjin dengan bandel. "Meski Ong Cun-it adalah putra pangeran, tetapi sewaktu ia
memasuki pintu biara Siau-lim, ia anggap dirinya sebagai
orang pre-man biasa, Pun-khong Taysu adalah gurunya dalam
Bu-lim dan bu-kan pelatih dalam istana," sahut Bu-cu Siansu.
"Siau-lim-si adalah suatu aliran suci di kalangan Bu-lim, anak
muridnya melakukan pantangan Jay-hoa, ia harus dihukum
menurut peraturan yang telah ditetapkan!"
Karena perkataan Bu-cu Siansu yang terakhir itu, empat
padri yang bertugas menjalankan hukuman tadi berseru,
"Terima perin-tah!"
Sesudah itu dengan perlahan-lahan mereka maju
mendekati In Ceng. Liau-in dan Haptoh berdua raengapit di kanan-kiri In Ceng,
namun empat padri itu tak pedulikan mereka, paras mereka
tetap ke-ren dan tak berubah, mereka tetap maju terus.
Tiba-tiba terlihat In Ceng menggoyang tangan memberi
tanda pada Liau-in, sesudah itu mendadak ia membentak,
"Nanti dulu!" "Apalagi yang hendak kau katakan?" tanya Bu-cu
Siansu. In Ceng tidak lantas menjawab, sebaliknya ia
keluarkan satu bungkusan kertas dari sakunya.
"Ketika masuk perguruan, aku sudah menjelaskan asal-usul
diriku kepada Pun-khong Suhu," teriaknya. "Sewaktu aku
keluar dari sini, ia sendiri pun memberi surat keterangan
padaku, Ciangbun Hongtiang, surat keterangan itu berada di
sini, boleh kau memba-canya, nanti akan menjadi jelas
duduknya perkara." Haptoh lantas menyambut bungkusan kertas itu terus
diang-surkan kepada Bu-cu Siansu.
Setelah membaca apa yang tertulis dalam surat, itu, tibatiba
wajah Bu-cu Siansu mengunjuk rasa heran dan menunduk
dengan lesu tanpa berkata.
Lekas Pun-bu dan Hong-hoat Taysu pun mendekatinya
untuk membaca. "Pun-khong Suheng pasti bukan manusia semacam ini,"
ujar Pun-bu dengan gusar sehabis membaca surat keterangan
itu. "Surat-mu ini palsu belaka!"
Kiranya dalam surat keterangan itu tertulis:
Yang bertanda tangan di bawah ini, Pun-khong, ketua Siaulim-
si yang keempat puluh tujuh, dengan ini mempermaklumkan
kepada Ketua yang akan datang bahwa anak murid
biara kita keturunan keempat puluh delapan, Ong Cun-it,
asalnya adalah Si-hongcu In Ceng, ia mengagumi nama be-sar
Siau-lim, maka tanpa menghiraukan kesulitan, dengan
sungguh-sungguh ia masuk sebagai anggota keluarga biara
kita dengan niat mengembangkan ilmu silat Siau-lim, bahkan
bersedia pula melindunginya dengan hukum untuk mempertahankan
keagungannya. Siau-lim beruntung sekali dengan masuknya Hongcu
sebagai anggota keluarga, sesuai dengan hubungan antara
hamba dengan tuannya serta peraturan-peraturan dalam Bulim,
In Ceng tetap terhitung anak murid Siau-lim, tetapi
sebutan guru dan murid dihapuskan, kalau In Ceng datang ke
biara dibebaskan dari tata tertib Siau-lim-si.
Surat ini diberikan kepada In Ceng untuk disimpan dan
guna disampaikan kepada Ketua pengganti sesudah aku
wafat. Pun-khong. Melihat isi surat wasiat itu, Pun-bu pikir Pun-khong Suheng
adalah seorang berwatak jujur, walaupun bertirakat dalam
biara su-ci, namun cita-citanya tetap condong pada bangsa
Han, kalau ia me-ngetahui bahwa muridnya adalah putra
pangeran, ia pasti tak mau menerima. Seumpama mau
menerimanya sebagai murid, ketika hendak
wafat, pasti juga beliau akan memberitahukan kepa"da kami. Maka surat wasiat
ini pasti palsu adanya. Sebaliknya Bu-cu Siansu berpikir lain, ia berpendapat, guna
mempertahankan Siau-lim-si, mungkin Suheng terpaksa
menerima sang pangeran sebagai murid. Soal ini adalah rahasia yang maha penting, oleh karena itu semasa hidupnya ia tak berani memberitahukan kepada kami. Begitulah dua orang dua pendapat, oleh sebab itu,
kalau Pun-bu jadi makin murka, adalah Bu-cu Siansu
sebaliknya diam saja. "Kam-si tadi bilang surat wasiat ini adalah palsu, numpang
tanya Cu-ji, tulisan tangan Pun-khong Taysu apa betul seperti
ini atau tidak?" dengan tersenyum dingin In Ceng mendesak.
"Bukti tulisan masih tidak cukup, apa kau ada pula saksi
atau bukti barang lain?" Pun-bu mendahului menyahut, ia
masih tetap tidak percaya. Belum lenyap suara perkataannya, tiba-tiba terdengar
seruan seorang anak kecil yang nyaring, "Aku yang menjadi
saksi!" Menyusul liba-tiba bocah yang rambutnya terikal dengan
ge-lang cmas tadi melompat naik ke atas meja sembahyang di
sebelah kanan sana. "Lian Khing-hiau, kau bocah ini tahu apa" Ilayo, tak bolch
mengacau di sini!" bentak Hong-hoal Taysu.
Mendengar nama itu, tiba-tiba Teng Hiau-lan teringat
kepada sahabat Ciu Jing, yaitu Ciong Ban-tong, yang pemah
mengatakan bahwa dia mencrima sprang anak yang paling
nakal di jagat ini sebagai murid, namanya Lian Khing-hiau,
bukankah bocah ini yang dimaksudkan" Tetapi mengapa
bocah ini bisa muncul di Siau-lim-si sini" Dan mengapa Ciong
Ban-tong tidak tertampak datang juga"
Teng Hiau-lan tidak tahu bahwa saat itu sebenamya Ciong
Ban-tong juga berada dalam biara maha sohor ini.
Ciong Ban-tong adalah cucu murid Pho Jing-cu, sedang Pho
Jing-cu dengan guru Pun-khong. yakni ketua Siau-lim-si
kecmpat puluh cnam. Thong-sian Siangjin. ada hubungan
persahabatan yang kekal, olch sebab itulah di antara anak
murid mercka pun tetap ada hubungan baik.
Satu atau dua tahun sekali tentu Ciong Ban-tong menyambangi
Siau-lim-si dan tinggal untuk beberapa bulan lamanya.
Rumah tinggal Lian Khing-hiau berada di Tan-liu, propinsi
Holam, letaknya tidak jauh dari Ko-san, karcna sayang kepada
mu ridnya itu, maka seringkali Ciong Ban-tong mengajaknya
ke Siau-lim-si. "Siau-lim-sam-lo" (tiga tetua Siau-lim-si), yakni Pun-khong,
Pun-bu dan Bu-cu, sangat suka pada Lian Khing-hiau karcna
pintar-nya luar biasa, diajar satu mengerti sepuluh Olch karcna
itu, ketiga padri tua itu sangat sayang padanya, Icbih-lcbih
Ketua Siau-lim-si itu, Pun-khong Taysu, begitu sayangnya
hingga sering menyuruh bocah itu agar tinggal sekamar dan
mengajarkan padanya macam-macam ilmu silat.
Apa yang dilihat Teng Hiau-lan semalam ketika bocah itu
ber-gerak gerak di ruangan Lo-han-tong itu bukan lain adalah
sedang belajar ilmu pukulan sakti dari Siau-lim-si, yaitu Lohan
hok-hou kun" (ilmu pukulan penakluk harimau).
Sesudah Pun-khong wafat, Lian Khing-hiau masih sering
naik ke Ko-san, sekali ini ia datang lagi bersama Suhunya,
Ciong Ban-tong dan lebih setengah bulan mereka tinggal di
sini. Dalam pada itu, pemah ia pulang ke rumah sekali Ialu
terjadilah peristiwa ini. Ciong Ban-tong bukan saksi dan tidak
berkepentingan, oleh sebab itu Bu-cu Siansu tidak
mengundang dia hadir. Ketika dalam ruangan besar Tay-hiong-po-tian terjadi keramaian,
Lian Khing-hiau tak tahan, ia minta Ciong Ban-tong
mem-bawanya keluar melihat keramaian itu. Tidak terduga,
mendadak Ciong Ban-tong mengetahui bahwa dua musuh
besarnya, yaitu Sin-mo-siang-Io juga hadir dalam ruangan itu.
Sebab itulah Sat Thian-ji lantas berdiri dan melongok keluar
sebagaimana dilihat Teng Hiau-lan tadi.
Hendaklah diketahui bahwa sebabnya Ciong Ban-tong
menga-singkan diri dan berganti nama serta buron selama
belasan tahun, yang dia takuti tidak lain ialah Sin-mo-siang-Io
ini. Maka begitu kepergok, sebelum berhadapan ia lantas menyingkir
dan kabur, sedang Lian Khing-hiau lantas
mencampurkan diri di antara padri yang banyak jumlahnya itu.
Kembali tadi, setelah dibentak Hong-hoat Taysu, Lian
Khing-hiau tak menjadi takut, sebaliknya ia malah tertawa
cekikikan. "Ma-sakah aku tidak tahu apa-apa, aku justru tahu
dengan jelas bahwa Ong Cun-it ini adalah Si-hongcu. Punkhong
Taysu sendiri yang mengatakan padaku, waktu beliau
menulis surat wasiat itu malah aku juga ada di sampingnya.
Berulang kali beliau berpesan padaku agar jangan menyiarkan
hal ini, maka aku simpan rahasia ini selama beberapa tahun.
Waktu itu karena tertarik, aku menyaksikan di sam-ping dan
ingat dengan baik isi surat wasiat itu!"
Apa yang ia pernah lihat satu kali, maka tak mungkin terlupakan,
Pun-bu dan Bu-cu sendiri mengetahui bahwa Lian
Khing-hiau memang punya kepandaian itu.
"Bocah cilik tak boleh sembarang omong, coba kau apalkan
isi surat wasiat yang kau katakan pernah melihatnya!" kata
Bu-cu Siansu kemudian. Tanpa ayal lagi Lian Khing-hiau lantas membacakan isi
surat wasiat itu dengan suara nyaring di atas meja, dan betul
juga, sehuruf saja ternyata tidak keliru.
Sehabis mendengar itu, mau tak mau Pun-bu Taysu mati
kutu. "Dua hari sebelum Pun-khong Taysu meninggal," terdengar
Lian Khing-hiau berkata pula, "beliau bahkan meninggalkan
surat padaku, katanya bila kelak aku ada urusan besar, boleh
pergi men-cari Hongcu Suheng ini. Cu-ji, silakan baca surat
ini!" Lalu ia pun mengeluarkan surat yang dimaksudkan dan
diserahkan kepada Bu-cu Siansu.
Tanpa diminta Pun-bu ikut mendekat dan membaca, nyata
ga-ya tulisan surat ini betul juga tulisan tangan Pun-khong
sendiri. "Sudahlah, sudahlah!" ujar Pun-bu dengan menghela
napas. Dengan lemas ia duduk kembali, sedang padri lain
kembali menjadi riuh ramai.
Dengan angkuh Ong Cun-it lantas berbangkit, ia
mengangguk terhadap Bu-cu Siansu, sesudah itu hendak
berlalu. "Apa begitu gampang kau akan pergi begitu saja?" Pun-bu
Taysu membentak. "Ada apa lagi?" tanya In Ceng dengan congkak.
"Setelah kau mengajak orang-orang dari golongan lain buat
ikut campur, selanjutnya bagaimana, apa kau masih terhitung
anak murid Siau-lim atau tidak?" tanya Pun-bu dengan bengis.
Menurut peraturan Bu-lim, dengan terjadinya peristiwa itu,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang bersangkutan kebanyakan pasti memisahkan diri
dari perguruan dan masuk ke aliran lain. Oleh karenanya Punbu
sengaja bertanya padanya.
"Kalau masih, bagaimana" Dan kalau tidak, lalu mengapa?"
sahut In Ceng tetap angkuh.
"Kalau kau sudah bukan Siau-lim-tecu (anak murid Siaulim),
maka silakan sedikit kepandaianmu yang diperoleh dari
Siau-lim itu dibayar kembali!" dengan tertawa dingin Pun-bu
menerangkan. Habis itu jarinya laksana belati segera menusuk ke pundak
In Ceng dengan cepat sekali.
Gerakannya itu disebut "Tiat-ci-sian" (tenaga jari baja),
sema-cam kepandaian hebat dari Siau-lim-pay, bila kena
ditutuk, maka tak usah disangsikan lagi, badan akan cacat
selamanya dan seluruh ilmu silat yang sudah dimilikinya akan
punah. Atas serangan itu, sudah tentu Kam Thian-Iiong dan Tang
Ki-joan yang berdiri di samping kanan-kiri In Ceng tidak
tinggal diam, berbareng mereka turun tangan.
Maka segera tertampak di antara sambaran angin pukulan
dan melayangnya bayangan orang, Kam Thian-liong dan Tang
Ki-joan tergetar mundur beberapa langkah ke belakang.
In Ceng tahu bahwa Pun-bu Taysu, Susioknya, berwatak
ke-ras, kalau ia sudah murka, maka bisa berbuat apa saja
menurut ke-hendaknya. "Sudah tentu aku masih terhitung Siau-lim-tecu," lekas In
Ceng berseru, "surat wasiat Suhu bukankah tertulis cukup
jelas bahwa aku hanya dihapuskan sebutan guru dan murid,
tetapi aku masih tetap dianggap sebagai anak murid Siaulim?"
Dalam pada itu terlihat Bu-cu Siansu pun sudah menyusul
keluar. "Suheng, biarkan saja ia pergi," katanya pada Pun-bu
Taysu. Namun Pun-bu tetap tidak rela melepas anak murid murtad
itu begitu saja. "Kalau memang Siau-lim-tecu, mengapa tak
tahu aturan dan tak sopan terhadap kaum Cianpwe (tingkatan
tua)?" bentaknya lagi.
Karena itu, lekas In Ceng membungkuk memberi hormat,
akan tetapi demi melihat kedua mata Pun-bu Taysu yang
mendelik itu, tanpa kuasa kedua kaki In Ceng menjadi lemas
terus berlutut, bah-kan hendak menjura.
Nampak itu, Liau-in dan Haptoh menjadi kerepotan, lekas
ma-ju ke depan memayang majikan mereka. Maklumlah,
setelah In Ceng memperkenalkan siapa dia sebenarnya, sudah
tentu seorang pangeran tidak pantas pay-kui (menyembah)
terhadap rakyat biasa. Dalam pada itu kebut Bu-cu Siansu telah mengebas ke
pundak In Ceng, diam-diam ia gunakan tenaga Lwekang untuk
menariknya bangun. "Kalau memang Cianpwe-hongtiang sudah membebaskan
kau dari penghormatan secara pay-kui, maka bolehlah
memakai cara sesukamu, tak usah menjura lagi," ujar Bu-cu
dengan tersenyum. Di bawah iringan Liau-in dan kawan-kawan, lekas In Ceng
mundur teratur dari biara itu, terus kabur.
Sehabis terjadi ramai-ramai itu, tiba-tiba Lu Si-nio teringat
se-suatu. "He, dimana Teng Hiau-lan?" serunya.
Ketika Ie Lan-cu memandang sekelilingnya, betul juga
pemu-da itu sudah tak tertampak bayangannya. "Bocah itu
mengeluyur kemana?" ia pun merasa heran.
"Dan kemana Ciong-suheng?" tiba-tiba Bu-cu Siansu pun
ber-tanya. Karena pertanyaan sang ketua, para padri lantas pergi
mencari, namun hasilnya nihil.
"Ciong-suheng siapakah itu?" tanya Lu Si-nio dengan
heran. "Siapa lagi, ialah ahli waris Bu-kek-kiam yang bernama
Ciong Ban-tong itu!" sahut Pun-bu Taysu.
"O, kalau begitu dia adalah Sutitku," ujar Ie Lan-cu. "Aku
dan gurunya, Pho Jing-cu, dulu pernah bersama-sama pergi ke
Sinkiang, apa kini dia berada di sini juga?"
"Ia jadi guru di Tan-liu," Bu-cu menerangkan. "Bocah yang
berbicara tadi ialah muridnya!"
"Hebat sekali anak itu, siapa namanya?" tanya Ie Lan-cu, ia
tertarik juga oleh kehebatan anak itu.
"Namanya Lian Khing-hiau," sahut Pun-bu. Tiba-tiba ia mengerut
kening dan bertanya juga, "Dan kemana Lian Khinghiau
si bocah itu?" "Khing-hiau pun sudah mengeluyur pergi!" jawab seorang
padri. "Aneh, mengapa mereka guru dan murid berlalu semua
tanpa" pamit?" ujar Pun-bu dengan heran.
Mendengar itu, pikiran Lan-cu tergerak, namun ia tak
mengu-tarakan pikirannya.
Bercerita tentang diri Ciong Ban-tong, setelah mendadak ia
memergoki Sin-mo-siang-lo hadir di Siau-lim-si, karena
bersangkut-an dengan keselamatannya, lekas ia melarikan
diri, malam-malam ia " mengeluyur pulang ke Tan-liu.
Ayah Lian Khing-hiau, Lian Toan-ling adalah seorang hartawan
kaya-raya di kota itu, taman bunganya besar dan luas
sekali; dikitari pagar tembok yang tinggi.
Ketika Ciong Ban-tong melompat masuk ke dalam taman, ia
lihat sekelilingnya tiada seorang manusia pun, dengan berjinjit
ia kembali ke kamar. Ting Hok, pelayannya yang sudah tua, masih tertidur
nyenyak dan tidak tahu tuannya sudah pulang.
Di dalam kamar itu terdapat pula seorang dara cilik berusia
se-kira tujuh delapan tahun, bocah ini cukup cerdik dan awas
sekali, begitu mendengar sedikit suara keresekan, segera ia
terjaga, sepa-sang matanya yang kecil bundar jeli laksana
batu permata di malam gelap memancarkan sinar
kegembiraan, ia melompat bangun terus merangkul Ciong
Ban-tong sambil berseru, "Ciong-pepek, kau sudah
pulang" Mana kakak Khing-hiau, aku sudah kangen sekali pada kalian!"
"Sssst! Lin-ji, jangan keras-keras! Lekas sembunyi di kamar
sebelah sana!" dengan suara mendesis Ciong Ban-tong
mencegah-dara cilik itu berbicara lebih jauh.
Anak perempuan ini bukan lain ialah Pang Lin, seorang di
an-tara kedua anak kembar keluarga Pang yang pada malam
ulang ta-hunnya telah diselamatkan dan dibawa pergi oleh
Ciong Ban-tong {lihatpermulaan cerita ini).
Setelah Pang Lin dibawa ke tempat keluarga Lian sini,
tanpa terasa sudah lebih enam tahun, kini ia sudah berupa
dara cilik lincah yang berusia harripir delapan tahun.
Ciong Ban-tong mahir ilmu pertabiban, tiap hari ia
memandi-kan anak itu dengan air obat dan mengajarkan ilmu
silat padanya, oleh sebab itu Pang Lin memiliki tulang yang
kuat, telinganya tajam dan matanya awas, gerakannya gesit
dan lincah, bocah ini telah memperoleh latihan Tong-cu-kang"
asli, ilmu silat yang dilatihnya sejak kecil.
Kini demi dilihatnya Ciong Ban-tong dalam keadaan sangat
khawatir, dalam hati kecilnya ia pun merasa takut. "Ciongpepek,
ada urusan apakah?" tanyanya dengan mata terbuka
lebar. "Ada orang jahat akan datang," sahut Ciong Ban-tong.
"Nanti kalau aku berkelahi dengan orang jahat itu, tak peduli
menang atau kalah, sebelum orang jahat itu pergi, jangan
sekali-kali kau keluar!"
Namun dara cilik ternyata tidak jeri, malah mengambil
keluar dua belatinya yang kecil sepanjang tiga dim dari bawah
bantal, dengan melembungkan pipi ia berkata, "Kalau orang
jahat itu berani datang, aku hantam dia dengan ini!"
Melihat Si" bocah yang bernyali besar itu, air muka Ciong
Ban-tong berubah. "Kau tidak menurut kata-kata Pepek,
selanjutnya Pe-pek tak sayang lagi padamu," katanya
kemudian dengan suara berat.
Belum pernah Pang Lin melihat sang paman begitu
sungguh-sungguh, karena itu ia ketakutan dan hampir
menangis. "Anak baik, menurutlah, jangan bersuara lagi!" Ciong Bantong
berbisik di pinggir telinga Pang Lin, lalu ia dorong bocah
ini masuk ke sebelah dalam.
Dengan sinar mata mengunjuk rasa takut tetapi penuh
kehe-ranan, mata Pang Lin yang hitam bundar memandangi
Ciong Ban-tong terus. Waktu Ciong Ban-tong mendengarkan
dengan cermat, tiba-tiba ia menghela napas dan kemudian
menarik Pang Lin keluar. "Nak, sebenarnya aku tidak ingin memberitahu asal-usulmu
pada saat ini, tapi keadaan kini sudah mendesak, tak mungkin
ku-tunda lagi," katanya dengan suara rendah. "Nak, kau
bukan she Lian, tetapi she Pang. Ayahmu sudah lama
meninggal, ia tewas se-cara menyedihkan, keselamatan ibumu
hingga kinipun belum dike-tahui dengan pasti, kau masih
mempunyai seorang "."
Belum habis uraiannya, dalam malam gelap gulita itu tibatiba
berkumandang suara suitan aneh. Begitu ketakutan
hingga Ciong Ban-tong menelan kembali kata-kata yang belum
selesai ia ucapkan tadi, segera juga ia surung Pang Lin masuk
ke dalam kamar. Sementara itu suara aneh tadi menggema di angkasa dari
jauh perlahan-lahan mulai mendekat.
Selagi Ciong Ban-tong bebenah meringkasi pakaiannya,
sudah terdengar suara teguran di luar bernada seram.
"Ciong Ban-tong, niengapa tidak lekas keluar" Apa perlu
kami yang masuk dengan mendobrak pintu?" kata suara itu.
Ciong Ban-tong tak menjawab, tapi sebagai balasan ia
tertawa dingin, menyusul mendadak ia menarik pintu, dua
pisau terbang se-gera ditimpukkan, sedang orangnya
menyelinap ke belakang pintu.
Atas serangan itu, terdengar suara tertawa aneh di luar,
habis itu, sekonyong-kony"ong Hui-to atau pisau terbang yang
ditimpukkan tadi terbang kembali dan menancap di atas
dinding. Berbareng Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji dan Tay-lik-sinmo
Sat Thian-toh me-nyerbu masuk.
"Haha! Sudan hampir dua puluh tahun tidak berjumpa,
tidak nyana hari ini bertemu lagi di sini!" terdengar Sat Thianji
bergelak tertawa. "Aku orang she Ciong sudah lama menanti, di sini
tempatnya kurang luas, silakan keluar di taman sana saja!"
sahut Ciong Ban-tong dengan tenang.
Akan tetapi kembali Sat Thian-ji tertawa aneh. "Apa kau
ingin memilih tempat kuburanmu?" jengeknya mendadak.
Berbareng itu kedua tangannya terpentang, sepuluh kuku
jarinya yang panjang mendadak menjulur keluar laksana
sepuluh belati yang lancip tajam terus menikam ke dada Ciong
Ban-tong. Namun Ciong Ban-tong cukup waspada, dengan cepat
meng-geser tubuh, pedangnya menangkis ke atas, menyusul
terus memba-bat ke pinggang musuh.
Dengan sekali meloncat, Sat Thian-ji melayang keluar dan
berdiri tegak menanti di tengah pelataran taman itu. "Tidak
jelekju-ga serangan tadi! Baik, mari kita coba lagi!" serunya.
Ia pikir malam ini pasti sukar terhindar dari bahaya, maka
pikirannya sudah ikhlas andaikan harus mati, namun ia
pantang menyerah sebelum ajal, dengan
mengayun pedang, ia pun melayang keluar melalui jendela.
Belum sampai lawan menginjak tanah, mendadak Sat
Thian-toh merangsek maju, dengan suara gerungan keras ia
memukulkan kedua tangannya ke muka musuh, begitu keras
pukulannya hingga membawa angin yang kuat sekali.
Ciong Ban-tong pun cukup tangkas, dengan pedangnya ia
menangkis, tangan kiri bergerak, dengan dua jari segera ia
menutuk "Koan-goan-hiat" Sat Thian-toh.
Namun Sat Thian-toh ternyata tak gentar atas tutukan itu,
se-baliknya ia tertawa lebar. "Haha! Apa kau kira aku takut
tutukan-mu?" ejeknya. Telapak tangannya yang ia pukulkan
tadi tiba-tiba ia ubah menjadi kepalan dan tetap dihantamkan.
Di luar dugaan, Ciong Ban-tong yang sudah melatih diri
sela-ma dua puluhan tahun dengan giat tanpa kenal lelah,
kepandaiannya kini sudah banyak maju, ditambah "Koan-goanhiat"
memang adalah satu di antaia tiga puluh enam jalan
darah besar manusia, kena ditu-tuk, keruan saja Sat Thian-toh
merasa sakit dan linu, belum sampai kepalannya kena
sasaran, tiba-tiba ia merasa tak bertenaga lagi.
Begitu cepat gerak serangan Ciong Ban-tong, begitu
tutukan-nya berhasil, pedangnya berkelebat, tiba-tiba ujung
senjata menuju ke muka Sat Thian-toh.
Tapi Sat Thian-ji cukup cepat, begitu nampak adiknya
teran-cam bahaya maut, segera ia melompat maju, secepat
anak panah terus menyambar, dengan sebelah tangan ia
menarik pergi Sat Thian-toh, sedang tangan lain dengan
jarinya coba menggores urat nadi tangan Ciong Ban-tong yang
mencekal pedang. Gerak kedua orang sama cepat, maka tak sempat lagi
Ciong Ban-tong melukai lawan, terpaksa ia harus menarik
kembali pedangnya untuk melindungi diri sendiri, menyusul ia
pun melompat ke samping beberapa tindak.
Kesempatan itu segera digunakan Sat Thian-ji untuk
menepuk Hiat-to di pundak Sat Thian-toh.
"Adik Ji, kau mengaso saja sebentar, nanti kau boleh
bertem-pur lagi, tapi jangan sembrono seperti ini!" pesannya
pada saudara mudanya itu.
Sat Thian-toh telah kena ditutuk secara berat oleh Ciong
Ban-tong, untung ia sudah melatih diri sedemikian rupa
laksana "Tang-bwe-thi-kut" (kulit tembaga dan tulang besi),
kalau tidak, seketika ia pasti mampus.
Maka ia tak berani sembrono lagi, dengan menyandar pada
tembok pagar, ia atur pernapasannya menjalankan aliran
darah buat memunahkan bahaya tutukan tadi.
Setelah berhasil menghantam seorang musuh, rasa jeri
Ciong Ban-tong sudah agak berkurang, kini pedangnya jadi
makin gencar diputar, beruntun ia lancarkan serangan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa kali pada musuh.
Mendadak Sat Thian-ji melompat ke atas begitu tinggi
hingga tubuhnya menyenggol pucuk pohon, lalu dengan
sedikit mengenjot tubuh lagi, ia melayang pergi sejauh
beberapa meter jauhnya. "Lari kemana!" bentak Ciong Ban-tong. Sekali melompat,
se-gesit kera ia pun menubruk maju dan pedangnya segera
menusuk. Tapi Sat Thian-ji yang sudah berlatih dengan gaya
menubruk seperti elang kucing, tubuhnya bisa mulur
mengerut di udara, tiba-tiba dengan sekali membalik, tahutahu
ia malah menubruk dari atas ke bawah, sepuluh kukunya
yang panjang tajam lantas menikam.
Segera juga terdengar suara "bret", lengan baju Sat Thianji
terobek oleh pedang Ciong Ban-tong, sedang pundak Ciong
Ban-tong pun kena dicakar sekali oleh kuku tajam Sat Thian-ji,
masih beruntung baginya karena sempat berkelit dengan
cepat hingga otot tulangnya tidak sampai tercakar putus.
"Haha! Satu tusukan tukar sekali cakaran, kita sama kuat!"
se-ru Sat Thian-ji dengan bergelak tertawa.
"Tapi aku untung secabik lengan baju!" sahut Ciong Bantong.
"Baik, kalau begitu biar aku minta rentenya!" kata Sat
Thian-ji pula dengan tertawa aneh. Habis itu, tubuhnya
mencelat ke atas lagi, ia keluarkan kepandaian cara menubruk
ala elang kucing untuk me-rangsek Ciong Ban-tong.
Perlu diterangkan, bahwa kira-kira dua puluh tahun yang
lalu, ketika Ciong Ban-tong kembali dari perantauan di Tibet,
di Jing-hay ia berjumpa dengan Sat Thian-ji. Tatkala itu Ciong
Ban-tong sedang kuatnya dan tak mengenal takut, waktu tahu
Sat Thian-ji adalah iblis yang paling dibenci kalangan Kangouw
karena perbuatan jahat, ma-ka segera juga ia melolos senjata
bertempur dengannya. Setelah se-tengah hari mereka
bergebrak, Sat Thian-ji merasakan sekali tusukan
pedangnya dan lari kabur terbirit-birit, karena itulah tadi ia ber-kata
tentang "sekali tusukan tukar sekali cakaran".
Kini setelah berjumpa kembali dan saling bergebrak lagi,
ke-adaan ternyata sudah lain, Sat Thian-ji telah berhasil
menciptakan Niau-eng-jiau yang khas, hantaman dan
tubrukannya lihai dan cepat
sekali, setelah hampir lima puluh jurus Ciong Ban-tong
melawan, dengan cepat melawan cepat, lambat-laun ia
merasa agak payah dan mulai tak tahan lagi.
Sebaliknya Sat Thian-ji jadi semakin kuat, ia senang melihat
lawannya sudah kewalahan, serangannya semakin gencar dan
ganas, ia mencakar, menghantam, membelah, merobek dan
macam-macam gaya serangan dengan hebat.
Namun Ciong Ban-tong dengan tenang melayaninya,
mendadak ia rubah permainan pedangnya, senjatanya
menuding ke timur dan kemudian menggores ke barat,
tangannya seakan memegang benda seberat ribuan kati,
kelihatan payah sekali, tipu serangannya pun lebih lambat
daripada tadi, tapi sinar pedangnya ternyata ber-gulunggulung
laksana memagari tubuhnya dengan tembok baja yang
tak tertembuskan. Harus diketahui bahwa Ciong Ban-tong adalah ahli waris
Bu-kek-kiam, ilmu pedangnya ini adalah Kiam-hoat
kebanggaan Pho Jing-cu yang pernah malang-melintang di
kalangan Kangouw, dise-but "Kun-goan-bu-kek-kiam".
Kiam-hoat ini baik sekali untuk menjaga diri maupun
menye-rang. Kalau buat membela diri, maka seluruh tubuh
seperti terlin-dung oleh lapisan tembok baja, kalau
menyerang, tampaknya seperti setiap tempat musuh dapat
dicapai. Meski Sat Thian-ji punya Niau-eng-jiau terkenal lihai
luar biasa, namun tetap tak mampu menem-bus penjagaan
yang rapat itu. Begitulah kedua orang makin bertempur makin sengit, kirakira
lewat lagi setengah jam, keadaan masih tetap sama kuat.
Selagi pertempuran semakin seru, mendadak Ciong Bantong
merasa pundaknya rada gatal-gatal pegal. Ia terkejut
sekali, insaf itu pasti akibat bekerjanya racun cakaran Sat
Thian-ji tadi. Namun ia tak menjadi gugup, secara tenang ia kerahkan
Lwe-kangnya yang kuat sekali, ia kumpulkan tenaga dalamnya
untuk me-nahan meluasnya serangan racun, berbareng tipu
serangannya dari menjaga diri diubah menjadi balas
merangsek, ia ingin lekas meng-gempur mundur Pat-pi-sinTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mo, lalu dengan ilmu tabibnya yang ma-hir sekali ia yakin
dapat menolong diri sendiri.
Tak tersangka, meski Sat Thian-ji kena didesak mundur sementara,
namun segera ia balas menerjang maju lagi. "Ciong
Ban-tong, kau sudah terkena racun cakaranku, apa kau
mengira bisa hi-dup lebih lama lagi?" bentaknya tiba-tiba
dengan garang. Ciong Ban-tong menjadi murka, sedapat mungkin ia tahan
meluapnya kegusaran, pedangnya cepat bergerak, ia
keluarkan Kiam-hoat yang luar biasa, seketika sinar perak
memenuhi angkasa seperti sambaran kilat, seluruh penjuru
hanya tertampak sinar pedang dan bayangan orang.
Sat Thian-ji tahu lawannya telah kalap dan hendak
mengadu jiwa, maka lekas ia mundur beberapa tindak.
Namun Ciong Ban-tong merangsek maju terus,
serangannya seperti menyambar dari kiri, tahu-tahu
datangnya dari sebelah ka-nan, ujung senjata berputar
dengan cepat, karena sedikit terlambal, kembali pergelangan
tangan Sat Thian-ji kena digorcs luka lagi.
Dengan hasil itu, Ciong Ban-tong mendesak terus, Tay-liksin-
mo Sat Thian-toh yang bersandar di tembok pagar untuk
mengum-pulkan tenaga tadi. mendadak melompat bangun
dengan gcrtakan menggeledek hingga pasir kerikil tergetar
beterbangan. Kiranya setelah ia mengaso setengah jam, tenaga sudah
pulih, dengan sekali lompat dan gertak tadi, gayanya sungguh
menakutkan orang, Ciong Ban-tong sendiri sampai merandek
karena kaget. Dilihatnya Sat Thian-toh telah melepas baju luamya hingga
tertampak jelas simbar dadanya yang hitam lebat. ia
melompat ke lengah pelataran, dengan kedua tangannya terus
merangkul sebatang pohon besar yang ada di situ sambil
membentak, "Naik!"
Pohon yang cukup besar itu kena dibetot keluar berikut
akar nya, menyusul segera ia menyerampang kaki Ciong Bantong
dengan batang pohon itu. Lekas Ciong Ban-tong melompat ke atas. kakinya menutul ke batang pohon yang menyambar tiba, pedangnya dengan cepat me-nusuk Tay-lik-sin-mo, namun belum lagi senjatanya mengenai sasaran,
tahu-tahu di belakangnya angin berkesiur lagi. Sat Thianji
mengambil kesempatan itu untuk membokong padanya. Pohon yang dibetot Sat Thian-toh tadi panjang seluruhnya
ada tiga meter lebih, kalau ia sabetkan dari tengah pelataran
bisa men-capai pojok di sebelah sana.
Walau gerak tubuh Ciong Ban-tong cepat dan gesit, dapat
me-lompat tinggi atau berkelit dengan baik, namun tak urung
ia men-dapat tekanan yang berat juga, untung batang pohon
itu cukup besar hingga tidak begitu bebas untuk digerakkan,
kalau tidak, tentu sukar sekali baginya untuk menghadapi.
Dengan demikian maka keadaan berubah lagi, Ciong Bantong
kini berada di pihak terserang, sedang Sat Thian-ji yang
menubruk kian kemari dengan ganas sekali terus mengikuti
jejak Ciong Ban-tong dengan kencang, sedetik pun ia tidak
mau melepaskan lawan. Selang tak lama, kembali Ciong Ban-tong harus merasakan
sekali cakaran lawan di lengan, darah yang berwarna hitam
mengalir keluar, berbareng pula ia merasa pundaknya makin
gatal pegal. "Ciong Ban-tong, tidak lekas kau letakkan senjata dan
menye-rah!" seru Sat Thian-ji.
Ciong Ban-tong mengertak gigi, mendadak ia masukkan
pedang ke sarungnya. Waktu Sat Thian-toh menyabetkan
batang pohon, kedua kakinya menginjak pucuk pohon,
sedang tubuhnya men-celat ke belakang dan turun kembali di
atas undak-undakan rumah.
"Lari kemana!" bentak Sat Thian-ji. Secepat kilat ia
menubruk maju lagi. "Kena!" tiba-tiba Ciong Ban-tong berpaling ke belakang
sam-bil membentak. Berbareng kedua tangannya mengayun berulang-ulang,
enam buah Hui-to di tangan kanannya ditimpukkan, sedang
enam pisau terbang lain di tangan kiri diarahkan ke Sat Thiantoh.
Pisau terbangnya itu mengandung racun dan termasuk
salah satu kepandaian tunggal Ciong Ban-tong yang
dibanggakan selama hidup, kalau tidak, sampai pada saat
yang paling berbahaya tidak sembarang ia gunakan.
Karena itu, Sat Thian-ji melompat ke atas dan berkelit di
uda-ra, kedua pisau menyambar lewat di bawah kakinya, yang
dua me-nerobos melalui bawah bahu kanan-kirinya, sedang
yang dua lagi menuju ke mukanya, tetapi sekali kibas dengan
lengan bajunya, ia sampuk jatuh kedua Hui-to itu.
Dengan segenap kemahirannya barulah Sat Thian-ji dapat
lo-los dari lubang jarum, bukan main terkejutnya hingga ia
mandi ke-ringat dingin. Setelah menekuk tubuh di atas dan
menegak lagi, ia melompat balik ke belakang.
Di sebelah lain Sat Thian-toh masih terus memutar
pohonnya, empat buah Hui-to menancap semua di batang
pohon itu, tapi yang dua seperti bisa menikung saja, setelah
menembus kulit batang pohon, tiba-tiba menyambar keluar
dari kedua samping. Sat Thian-toh memegang batang pohon besar itu, gerakgerik
tak leluasa, keruan kedua bahunya kena tertancap pisau
terbang itu. Sekalipun ia bergelar kulit tembaga dan tulang
besi, tidak urung merasa kesakitan hingga menjerit, ia lempar
batang pohon besar yang dipegang tadi ke arah Ciong Bantong.
Lekas Ciong Ban-tong mengelak, terdengarlah suara
gemuruh yang keras, bumi seakan terguncang, batang pohon
itu menyelonong masuk ke dalam rumah, mungkin menumbuk
meja dan perabot lain-nya hingga menerbitkan suara gemuruh
berantakan. Di antara suara gemuruh itu, tiba-tiba berkumandang suara
je-ritan seorang anak perempuan yang terkaget.
Tidak kepalang kejut Ciong Ban-tong, ia berniat memburu
ke dalam rumah, tapi lengan kanan yang kena dicakar, karena
terlalu banyak mengeluarkan tenaga, ditambah terkejut
mendadak hingga tenaga aslinya menjadi buyar, kini lengan
itu tak kuat diangkat lagi.
Sementara itu Sat Thian-toh yang terkena dua Hui-to
menjadi makin kalap, secara paksa ia cabut kedua pisau yang
menancap di bahunya itu, lalu dengan sekali melompat maju,
ia rangkul Ciong Ban-tong hingga keduanya saling bergumul
dan menggelundung ja-tuh ke bawah undak-undakan rumah.
Sebaliknya Sat Thian-ji hanya tertawa terkekeh-kekeh terus
melompat masuk ke dalam rumah.
Sesudah berada di dalam, tiba-tiba pandangannya
terbeliak, ia lihat seorang dara cilik sedang duduk di lantai,
mukanya putih lak-sana batu kemala dan menyenangkan
sekali. "He, Yan-ji, kiranya kau berada di sini," tiba-tiba Sat Thianji
berseru. "Para ayah angkat sudah kangen padamu, kau
diculik orang jahat, kau tidak ketakutan bukan?"
Akan tetapi Pang Lin hanya membelalak kedua matanya, ia
merasa kesal dan tidak paham apa yang dimaksud orang.
Dalam pada itu Ciong Ban-tong juga mendengar kata-kata
itu di sebelah luar, ia pun merasa sangat heran.
"Sungguh kasihan! Kau tersiksa sedemikian rupa, belum
ada setahun, kau sudah lupa semuanya, sampai aku pun
sudah tidak kau kenal lagi!" terdengar Sat Thian-ji berkata.
Habis itu, segera ia hen-dak membopong Pang Lin.
Tak terduga, mendadak Pang Lin ayun kedua tangannya
yang kecil, kontan dua pisau kecil ditimpukkan.
Sudah tentu Sat Thian-ji tidak pernah menduga bakal
terjadi hal seperti itu, sedang jaraknya terlalu dekat untuk bisa
berkelit, ma-ka tanpa ampun lagi kedua pisau kecil itu dengan
tepat menancap di dadanya, beruntung tenaga Pang Lin tidak
seberapa besar, kalau tidak,
pisau itu pasti akan menancap
masuk ke hulu hatinya. Lekas Sat Thian-ji kumpulkan tenaga dalamnya hingga
kedua pisau itu tersendal keluar, sedang lengannya yang
panjang terus me-nyambar, ia pegang tubuh Pang Lin terus
dinaikkan ke atas pung-gung dan digendong.
Pang Lin berteriak-teriak, ia meronta sekuat tenaga, namun
tak dapat berkutik lagi. Di pihak lain, Ciong Ban-tong sedang bergumul dengan Sat
Thian-toh dan saling jotos, Sat Thian-toh bertenaga sebesar
kerbau, tetapi soal Lwekang ia kalah dari Ciong Ban-tong.
Semula Sat Thian-toh berada di atas angin, ia lebih unggul,
dengan menindih di atas tubuh Ciong Ban-tong, ia ayun
bogemnya menggebuk, tetapi baru berhasil menghantam dua
kali, kekuatan ra-cun Hui-to yang mengenai dirinya tadi sudah
menyebar di dalam tubuh, ia merasakan mulutnya kering dan
haus, kepala puyeng, baru saja sempat berseru minta tolong
saudaranya, mendadak ia sudah tak tahan lagi, segera juga
jatuh pingsan.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya racun yang meresap ke dalam tubuh Ciong
Ban-tong pun tidak enteng, cuma berkat Lwekangnya yang
tinggi, ia dapat paksakan diri bertahan sampai sekian lama.
Akan tetapi kini ia seperti pelita kehabisan minyak, badan
le-mas tak bertenaga. Dalam pada itu dengan menggendong Pang Lin, Sat Thianji
melangkah lebar berjalan keluar.
"Celaka aku!" demikian Ciong Ban-tong mengeluh dalam
hati. Lekas ia gelundungkan diri sejauh lebih dua tombak.
Ketika Sat Thian-ji melihat muka saudaranya hitam legam,
ia tahu tentu kena racun jahat, sedang dalam tubuh sendiri, ia
pun merasa rada sakit pegal juga, ia menjadi kalap, dengan
mata mendelik, selangkah demi selangkah mendekati Ciong
Ban-tong. "Jika kau maju lagi tiga langkah, segera aku pakai pisau
bera-cun buat ambil nyawamu!" bentak Ciong Ban-tong
dengan meng-genggam kencang kedua kepalannya.
Dalam keadaan sadar tak sadar Sat Thian-toh mendengar
suara tindakan kakaknya, maka ia lantas meronta sebisa
mungkin. "Aku ingin minum, air, air"." teriaknya dengan
suara serak. Sat Thian-ji sendiri dadanya sudah terluka, lebih-lebih ia
takut pada Hui-to Ciong Ban4ong, oleh sebab itu dengan
mengertak gigi, ia kumpulkan tenaga dalamnya buat menahan
serangan hawa berbi-sa agar tidak meluas, sesudah itu
dengan sekali kempit, Sat Thian-toh dibawa melompat ke atas
pagar tembok dan keluar dari taman bunga itu.
Melihat musuh sudah pergi, Ciong Ban-tong menghela
napas lega. Apa yang ia gunakan tadi tidak lebih hanya tipu
"Khang-sia-khe" atau gertak sambal, padahal darimana lagi ia
mempunyai sim-panan Hui-to" Umpama ia masih punya
senjata rahasia, tenaga pun sudah habis, mana sanggup
menyambit lagi" Kini setelah Siang-mo pergi, ia merasa makin
tak tahan, dengan siku menyangga tanah, selangkah
demi selangkah ia merangkak masuk ke rumah, ia tarik se-buah
selimut terus digelar di lantai buat memisahkan hawa lembab
tanah, kemudian rebah di atasnya.
"Ting Hok!" demikian ia memanggil pelayannya dengan
suara lemah. Namun keadaan taman sunyi senyap tiada jawaban, yang
ada hanya suara serangga sejenis jangkrik yang ramai saling
bersahutan. Dalam keadaan demikian, ahli pedang dari daerah
Kanglam, ahli waris lurus Bu-kek-pay, tak tertahan
meneteskan air mata. "Lin-ji! Lin-ji!" serunya dengan suara perlahan, lewat
sebentar ia memanggil lagi, "Khing-hiau, Khing-hiau! Apa kau
pun tak dapat pulang pada saat ajalku?"
Ia meronta berusaha hendak membuang sedikit darah
sendiri yang berbisa, akan tetapi keinginan ada, tenaga
ternyata kurang, se-mentara itu hawa racun telah menerjang
naik hingga ia merasa ma-kin puyeng dan hampir jatuh
pingsan. Tiba-tiba sekilas teringat olehnya, "Aku punya Kung-keng
(ki-tab pelajaran pukulan), Kiam-koat (rahasia ilmu pedang),
Ping-su (kitab ilmu siasat militer) dan Ih-su (kitab pelajaran
ilmu tabib) ma-sih belum kuturunkan kepada Khing-hiau.
Tidak, bagaimanapun aku harus bertahan sebisanya sampai ia
pulang." Demikianlah, maka ia lantas mengumpulkan seluruh tenaga
yang masih ada, ia gigit pundak sendiri, beberapa kali ia sedot
darah berbisa dalam tubuh, karena itu pikirannya menjadi
agak jernih. "O, Khing-hiau! Pulanglah kau! Mengapa kau masih belum
pulang!" tiba-tiba ia berseru sedih.
Namun taman seluas itu tetap sunyi senyap, yang ada
hanya suara mendesirnya hawa udara. Kembali Ciong Bantong
menghela napas, ia putus asa.
Tiba-tiba bayangan Lian Khing-hiau terpampang di antara
air matanya yang berkaca. "Ai, betapa nakal tetapi menariknya
bocah ini!" Teringat olehnya cara bagaimana dirinya berusaha dengan
su-sah payah tanpa menghiraukan nasihat para sahabat untuk
menjerat "kuda liar" dengan tali kendalinya, tujuannya bukan
lain ialah hendak memupuk seorang besar dan mendidiknya
hingga memiliki ke-pandaian "Bun-bu-coan-cay" (serba pandai
baik sipil maupun mi-liter), taman yang luas ini juga dibangun
atas karyanya, tetapi kini ia sendiri terkena racun jahat,
sebaliknya tiada seorang manusia pun yang datang menolong,
hal ini sungguh tidak pernah terpikir olehnya
sejak mula. Dalam keadaan berduka dan kekosongan jiwa itu, tanpa
terasa ia teringat kepada kejadian-kejadian yang telah lalu ".
Ketika itu ia menyamar sebagai tabib perantauan, sampai di
rumah keluarga Lian, dilihatnya Lian Khing-hiau memiliki tabiat
mengherankan dan*kecerdasan yang lebih daripada orang
biasa, maka ia lantas ambil keputusan hendak menerimanya
sebagai murid. Keputusan ini bukan saja karena ia ingin Bukek-
kiam mendapat ke-turunan atau ahli waris, bahkan ia
ingin memupuk seorang pahlawan besar bagi bangsa Han
yang kelak dapat memimpin pergerakan untuk
merobohkan penjajah Boan. Ayah Lian Khing-hiau, Lian Toan-Iing memang sedang
sedih karena putranya yang nakal itu, sudah banyak Kau-su
atau guru silat yang ia undang, tapi semuanya dihantam lari
oleh putranya itu. Ciong Ban-tong sendiri telah unjuk sedikit kemahiran dan
ber-bicara dengan Lian Toan-ling sepanjang malam. Lian
Toan-ling ter-hitung seorang bijaksana, segera ia terima
tawaran orang dan me-nyerahkan putranya kepada Ban-tong,
bahkan ia sanggup menuruti segala syarat dan menyediakan
ongkos secukupnya. Malam itu juga Ban-tong lantas membikin dua perjanjian
dengan Lian Toan-ling. Pertama, ia ingin Lian Toan-ling
mengeluar-kan uang perak sebanyak lima puluh ribu tahil,
sedang syarat lain adalah harus menunggu sampai Lian Khinghiau
tamat belajar baru mereka ayah dan anak boleh
berjumpa kembali. Terhadap syarat pertama itu, seketika Lian Toan-ling
meneri-ma dengan baik, bahkan segera ia menulis lengkap
satu buku bon pengambilan uang sebanyak lima puluh ribu
tahil untuk diperguna-kan seperlunya. Akan tetapi terhadap
syarat kedua ia menjadi ragu-ragu
"Kalau begitu, kira-kira perlu berapa tahun lamanya?"
demikian ia bertanya. Ban-tong pikir ini adalah satu titik terpenting, tidak peduli
bagaimana orang tua Khing-hiau sayang kepada putranya.
yang pen-ting aku harus tetap mempertahankan pendirianku.
Begitulah, maka aku lantas menjawab, "Mungkin sepuluh
tahun atau mungkin hanya delapan tahun, kalau kau tidak
tega berpisah, maka terpaksa aku tak sanggup mendidiknya
hingga jadi seorang yang berguna!" "
Karena ketegasanku itu, setelah Lian Toan-ling berpikir
seje-nak, akhimya ia menerima juga.
Berpikir sampai di sini, wajah Ciong Ban-tong mengunjuk
rasa puas, demi bocah ini, entah sudah berapa banyak dirinya
mem-buang tenaga dan pikiran.
Setelah menerima uang yang disediakan, segera ia
membeli sebidang tanah kosong di belakang kediaman
keluarga Lian, ia gu-nakan banyak tukang batu dan
mendirikan taman yang luas ini, di dalamnya penuh dengan
tumbuhan, di tengah taman dibangun pula sebuah paviliun
yang indah, taman itu seluruhnya memakan waktu hampir
setahun baru jadi, sekeliling taman dipagari tembok yang
tinggi tebal, hanya sebelah barat-daya saja dibuat sebuah
lubang. Taman seluas itu, melulu dirinya bersama pelayan rua dari
keluarga Lian, Ting Hok dan Lian Khin-hiau bertiga yang
tinggal di situ. Masih teringat olehnya dengan jelas, hari itu adalah Ciagwe
caplak (tanggal 16 bulan 1), yaitu hari Lian Khing-hiau masuk
seko-lah secara resmi. Lian Toan-ling mengadakan perjamuan
dan meng-undang banyak sanak famili yang datang menemani
aku makan mi-num. Sehabis perjamuan, Lian Toan-ling sendiri
mengantar putra-nya masuk sekolah, ia memberi hormat tiga
kali padaku dan mem-beri pesan agar aku mendidik baik-baik
putranya itu. Sesudah aku mengantar dia keluar dari lubang pagar
tembok, segera aku perintahkan tukang batu menambal rapat
lubang tembok itu, akhirnya hanya tinggal satu lubang kecil
saja peranti mengirim bahan makanan. Sejak itulah, kami
bertiga berpisah dengan "dunia luar".
Sepanjang hari aku hanya membaca dalam kamar dan
berlatih Lwekang serta Kiam-hoat. Terhadap Lian Khing-hiau,
aku tidak pe-duli, juga tidak pernah menegur padanya.
Bocah ini ternyata senang juga, secara bebas ia bermain
se-maunya di dalam taman bunga, selama itu juga tak pernah
ia meng-injak ke kamar baca, juga tidak pernah bercakap
sepatah kata pun denganku.
Di waktu suka, ia mencopot pakaiannya terus terjun ke
dalam empang buat berenang. Lain waktu ia memanjat pohon
buat me-nangkap burung. Di musim semi ia suka main
layangan, kalau mu-sim panas mengail ikan, musim gugur
menangkap jangkrik dan bila musim dingin ia bermain bola
salju. Kadang-kadang kalau ia sudah bosan semuanya, ia lantas
me-ngerak tanah dan mencabuti tumbuhan. Genap setahun ia
bermain sesukanya, taman yang indah itu telah ia obrak-abrik
hingga tak ke-ruan, tembok pagar rusak, bunga dan
tetumbuhan kering, bahkan batu
pada pojok pagar tembok pun ia gali dan dibikin remuk, hanya kamar baca saja,
selangkah pun tetap belum pernah ia menginjak-nya.
"Kapankah baru ia pulang?" demikian Ciong Ban-tong tenggelam
dalam lamunannya. Sekonyong-konyong ia seperti
melihat Lian Khing-hiau mengangkat sebatang pentung terus
mengemplang-nya dengan ganas, hati sanubarinya
terguncang mendadak. "Ini hanya khayal" Tapi juga bukan khayal!" Peristiwa itu
ter-jadi setahun setelah mereka tinggal di dalam taman bunga
itu. Mungkin waktu itu Lian Khing-hiau sudah terlalu bosan dan
pelayan tua Ting Hok pun tidak bersemangat bermain dengan
dia lagi, tampaknya meskipun ia telah mengobrak-abrik
semuanya, selama itupun tak pernah mengeluarkan sepatah
kata pun, namun akhirnya ia datang juga mencariku.
Ia datang ke kamar baca terus berkata padaku, "Dari
sekian banyak Siansing (guru) yang pernah di sini, kaulah
yang paling baik, selamanya tak pernah kau mengurus diriku.
Tetapi kini aku sudah bosan, maka hendak keluar taman ini,
lekas kau bukakan sebuah pintu."
"Taman ini memang tiada pintu," sahutku tak acuh. "Jika
kau ingin keluar, boleh kau melompat keluar dari atas pagar
tembok!" Aku sengaja tonjolkan pagar tembok, karena dinding pagar
itu tingginya ada tiga tombak, kalau bukan orang yang
memiliki Gin-kang yang baik tak mungkin sanggup melompat
keluar. Karena aku tidak mau membukakan pintu, ia tertawa
dingin, mendadak dengan sebatang pentung ia kemplangkan
ke mukaku, ta pi sekali tanganku menangkis, segera juga
pentungnya patah menja-di dua, berbareng aku lantas
memegang tangannya, tak tertahan lagi ia lantas menjerit
kesakitan, aku bentak dia agar lekas berlutut, sa-king sakitnya
terpaksa ia menurut, tetapi begitu aku lepas tangan, seketika
ia berlari keluar kamar. Sejak itu selama dua tiga bulan, selangkah pun ia tak
berani menginjak lagi ke kamar baca.
Keadaan itu lewat dengan cepat, dari musim panas telah
tiba pula musim rontok, keadaan musim yang sunyi sepi
membikin bo-cah itu merasa tiada sesuatu yang baru lagi
baginya di dalam taman, akhirnya secara diam-diam ia
merayap masuk lagi ke kamarku.
Waktu itu aku sedang asyik membaca kitab "Sun-cu-penghoat"
(ilmu siasat militer karangan Sun-cu di zaman Liat-kok),
secara diam-diam ia berdiri di samping dan melihat aku
membaca hingga lama sekali.
"Taman bunga yang sekian besarnya, akhirnya aku pun
merasa bosan, tapi bukumu sekecil ini, dari pagi kau
membacanya sam-pai malam dan dari malam hingga pagi,
apanya yang menarik bagi-mu?" demikian tiba-tiba ia
bersuara. "Hahaha! Anak kecil tahu apa?" dengan gelak tertawa aku
menggoda padanya. "Di dalam buku ini terdapat dunia yang
beribu kali lebih luas daripada taman bunga ini, selama
hidupmu pun tak dapat selesai menjelajahnya."
Mendengar perkataanku itu, rupanya rada tertarik, ia
miring-kan kepalanya dan berkata, "Aku tidak percaya. Coba
kau jelaskan, apanya yang begitu menarik?"
Aku menggeleng kepala, habis itu baru aku berkata lagi.
"Kau menyembah dan mengangkat guru padaku saja belum,
lantas kau menyuruh aku menjelaskan sesuatu padamu, hm,
tiada aturan sema-cam ini!"
Tak tahunya mendadak kedua alisnya menegak, berbareng
pula ia menggebrak meja. "Angkat guru apa segala" Aku tak


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudi, juga tak kepingin!" jawabnya bandel.
Ketika aku melototkan mata, takut aku hajar lagi, seketika
juga ia kabur pergi. Begitulah kembali lewat belasan hari, mungkin ia sudah tak
ta-han, lalu datang pula padaku di kamar baca.
"Sekali tangkis dengan tanganmu, segera pentung kayu
kau bi-kin patah, apakah kepandaian itu juga dipelajari dari
dalam buku?" tanyanya heran.
Aku menjawab, "Buku pun banyak macamnya,
mematahkan pentung kayu hanya soal remeh, yang paling
berguna adalah buku yang bisa mengajarkan padamu
kepandaian memerintah suatu nege-ri dan mengamankan
negara!" Mendengar penuturanku itu, ia meleletkan lidah, tetapi
segera menggeleng kepala lagi. "Aku tak percaya, setelah
belajar baca pun tak akan mampu keluar dari taman ini,"
ujarnya. Aku tertawa atas perkataannya itu. "Mengapa tidak bisa,"
sa-hutku, "setelah kepandaian diperoleh, kapan saja kau ingin
keluar, setiap saat juga kau bisa keluar."
Habis itu aku lantas menarik tangannya dan mengajaknya
ke tengah taman, dari situ dengan perlahan aku melompat
naik ke atas dinding pagar, kemudian aku melompat turun
pula tanpa susah. "Coba lihat," kataku kemudian, "bukankah setiap saat aku
da-pat masuk keluar seperti tadi" Setelah sekolah dan belajar
baik-baik kepandaian, jangankan hanya pagar tembok ini,
sekalipun ratusan ri-bu bala tentara juga tak akan sanggup
melawanmu." Rupanya usahaku berhasil, sebab segera juga ia lantas
berlutut menjura padaku. "Siangsing, baiklah aku menyerah, harap Siansing
mengajarkan semua kepandaian itu padaku!" katanya.
Girang sekali rasa hatiku karena usahaku tidak sia-sia,
untuk pertama kalinya aku tuturkan padanya cerita roman "Cui
Hou", tertarik sekali dia hingga merasa sangat gembira,
menyusul itu aku bercerita pula "Sam Kok", "Gak-thoan" dan
banyak cerita pahlawan dan sejarah kaum patriot zaman
dahulu, sesudah itu aku bacakan pula
"Peng-si" (kitab ilmu
siasat militer), "Su-ki" (kitab himpunan sejarah),
di waktu senggang lantas aku mengajarkan padanya ilmu si-lat dan
cara menggunakan Am-gi (senjata rahasia). Bocah ini memang
pintar sekali, bila membaca, sekali melihat saja ia sudah
sang gup mengapalkan, kalau berlatih silat, satu kali pun
sudah paham. Begitulah, tatkala musim rontok tahun ketiga, waktu aku
harus berangkat memenuhi janji pertemuan dengan Ciu Jing,
aku menyu-rah dia belajar sendiri dan diam-diam aku
berangkat melintasi pagar tembok taman itu ke Luciu. Tak
terduga di sana bentrok dengan ka-um Hiat-ti-cu, akibatnya
Ciu-tayhiap tewas, dengan membawa Pang Lin aku lantas
kembali ke Tan-liu sini. Tatkala itu Pang Lin bam berusia setahun, perlahan-lahan
ia mulai bisa mengoceh dan belajar berjalan, kalau senggang
Lian Khing-hiau suka mengajak bermain padanya, mereka
begifu rukun hingga melebihi kakak dan adik sekandung. Aku
mendustai Khing-hian bahwa Pang Lin adalah adik sepupunya
yang agak jauh, ia per-caya penuh. Nyata ia tidak tahu bahwa
pada benakku sedang timbul semacam pikiran yang aneh ".
Melamun sampai di sini, wajah Ciong Ban-tong mengunjuk
senyuman, ia merasa girang dan bersemangat hingga rasa
sakit lu-kanya perlahan-lahan terlupa.
Lalu ia berpikir lagi, "Pang Lin pun termasuk anak yang
pintar luar biasa, soal berlatih silat, ia malah sudah terpupuk
kuat dasarnya semenjak berumur setahun, jauh lebih kuat
daripada Lian Khing-hiau. Kedua bocah ini sungguh
merupakan satu jodoh yang sudah ditakdirkan, kelak bila
sudah sama-sama dewasa dan terikat menjadi suami istri, di
hari tuaku rasanya pun boleh merasa lega dan gem-bira. Tapi
kini harus mengalami malapetaka lagi, Lin-ji telah direbut oleh
iblis itu. Sedang aku, percuma saja mahir ilmu pertabiban.
Dengan membangun taman bunga seperti ini, orang dari
keluarga Lian tiada yang sanggup masuk kemari, siapa lagi
yang bisa mengobati dan menyembuhkan lukaku ini. Ai Khinghiau!
Dimanakah kau, mengapa masih belum pulang?"
Melalui pintu kamar yang sudah jebol dirusak Tay-lik-sinmo
tadi, Ciong Ban-tong coba memandang keluar, ia lihat
pagar tembok begitu tinggi, pohon Gui yang ia tanam delapan
tahun yang lalu bah-kan belum setinggi pagar tembok itu,
maka pikirnya pula, "Seum-pama Khing-hiau pulang, ia pun
belum sanggup melompat pagar tembok ini."
"Ai! Urusan Siau-lim-si entah bagaimana jadinya" Khinghiau
biasanya sangat cerdik, bila tidak nampak aku,
seharusnya ia dapat minta Hwesio Siau-lim-si mengantarnya
pulang." Teringat pada Siau-lim-si, hatinya merasa agak lega lagi.
Terkenang dalam hatinya, "Khing-hiau si bocah ini sungguh
beruntung juga, Siau-lim-sam-lo (tiga tetua Siau-lim-si, Punkhong,
Pun-bu dan Bu-cu) semuanya begitu sayang padanya
laksana biji mestika mereka. Waktu itu adalah tiga tahun
setelah ia mulai belajar silat, aku membawanya ke Siau-lim-si.
Waktu berangkat, Pang Lin kuserahkan kepada Ting Hok. Oya,
Ting Hok pun menghilang, ke-manakah perginya dia"
Pertarungan yang mengguncangkan bumi tadi apa tidak
membikin dia mendusin" Sampai pada tahun yang lalu,
kadang kala aku masih suka mengantar Khing-hiau keluar
taman dan membiarkan dia pergi bermain sendiri. Bulan tiga
tahun ini, pada suatu hari setelah ia pergi sendiri dan
setengah bulan kemudian ia pulang padaku, aneh sekali apa
yang dia ucapkan itu" " Eh, mengapa
aku berpikir sampai ke sana?" Ciong Ban-tong coba tenangkan diri, tapi tiba-tiba ia jadi
rada gemetar, teringat olehnya apa yang dikatakan
Wanita Gagah Perkasa 4 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bangau Sakti 37
^