Golok Kilat 3
Dewa Arak 85 Golok Kilat Bagian 3
tidak membutuhkan mu lagi. Toh, masih banyak ahli
senjata lain yang bisa kuminta pendapatnya mengenai
pusakaku. Ini peringatan terakhir, Empu. Mau menga-
takan apa pendapatmu..., atau..., semuanya berakhir
di sini"!" desak Lingga.
Empu Lahang Samedi yang sejak tadi hanya me-
nunduk, menatap Lingga dengan sinar mata tajam.
Penuh tantangan!
"Kau boleh bunuh aku, Pemuda Gila! Siksa aku sepuas hatimu! Tapi, Ingat! Kau
tidak bisa memaksakan
untuk melakukan perintahmu! Nah! Tunggu apa lagi"!
Cepat lakukan hal yang kau inginkan!"
Sepasang mata Lingga kontan mengeluarkan sinar
berkilatan yang sarat ancaman. Pemuda ini memang
memiliki watak aneh, tidak suka kalau keinginannya
dibantah. Apabila menginginkan sesuatu, orang harus
melakukannya Tapi, kali ini Empu Lahang Samedi ternyata sudah
nekat. Dibalasnya tatapan pemuda itu dengan berani.
Kakek ini ternyata lebih suka mati secara mengerikan daripada memberi pendapat
mengenai Golok Kilat.
*** "Ayah...!"
Sebuah panggilan nyaring melengking membuat
suasana tegang antara Empu Lahang Samedi dan
Lingga yang tengah saling tatap sedikit terpecahkan.
Wajah kedua tokoh itu berubah. Bila Lingga kelihatan gembira dengan sepasang
mata berbinar-binar, tapi
Empu Lahang Samedi sebaliknya.
"Priyani...! Pergi dari sini...! Cepat..!" seru Empu Lahang Samedi yang membaui
adanya bahaya atas diri
gadis bernama Priyani yang ternyata putrinya. Na-
danya menyiratkan kekhawatiran yang besar.
Kalau menuruti keinginan, ingin rasanya pandai
besi ini melesat ke tempat putrinya berada, dan mem-
bawanya kabur meninggalkan tempat itu. Paling tidak
menjauhi Lingga yang ganas dan keji.
Sayangnya, niat itu lebih mudah dipikirkan dari-
pada dilaksanakan. Untuk menuju ke tempat Priyani,
harus melalui Lingga lebih dulu. Karena pemuda itu
lebih dekat pintu daripada dirinya.
Sementara di luar sana gadis berpakaian kuning,
melangkah memasuki rumah Empu Lahang Samedi
ini. Rambutnya sebahu, dengan tahi lalat kecil di pipi sebelah kiri.
Priyani tadi memang mendengar seruan Empu La-
hang Samedi, dan sempat membuat langkahnya ter-
henti. Bisa dirasakan adanya kekhawatiran yang besar dalam seruan tadi. Dia
tahu, Empu Lahang Samedi tidak akan mengeluarkan peringatan seperti itu, kalau
memang tidak ada sesuatu yang tidak berbahaya.
Sungguhpun demikian, gadis ini tidak segera me-
nuruti anjuran ayahnya untuk meninggalkan tempat
itu selekasnya. Rasa ingin tahu sampai ayahnya demi-
kian khawatir, membuatnya masih tetap ingin mema-
suki ruangan tempat pembuatan senjata milik ayah-
nya. Dan lagi, Priyani memang tidak ingin pergi. An-
daikata benar ada bahaya yang mengancam, mana
mungkin ayahnya ditinggal sendirian menghadapinya.
"Ayah..." Apa yang terjadi..."! Apakah Ayah baik-baik saja"!"
Priyani tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Dia
langsung bertanya, sebelum memasuki ruangan ayah-
nya. "Aku baik-baik saja, Priyani.,.! Kau masuklah...!
Tadi, Ayah hanya bergurau. Ayah hanya ingin melihat
bagaimana kalau ada bahaya mengancam. Apakah kau
akan meninggalkan Ayah. Atau, bersama-sama mela-
wan bahaya itu?"
Seruan ini membuat keragu-raguan Priyani pupus.
Dengan langkah-langkah lebar, maksudnya diteruskan
untuk masuk ke dalam ruangan khusus ayahnya,
Begitu masuk, seketika itu juga wajah Priyani yang
berseri-seri berubah. Dia melihat Empu Lahang Same-
di menempel di dinding dengan kedua tangan dan kaki
terentang. Semula, disangka ayahnya bergurau lagi.
Tapi ketika melihat wajah dan sinar matanya, Priyani bisa menduga akan adanya
hal-hal yang tidak beres.
Tanpa menyadari adanya kehadiran sosok lain di
ruangan ayahnya ini, Priyani mendekati Empu Lahang
Samedi. "Ayah...! Apa yang terjadi..."!" tanya Priyani kaget, sambil menghampiri.
Namun mendadak langkah Priyani terhenti satu
tombak di depan Empu Lahang Samedi, yang berarti
telah melewati sosok Lingga yang berdiri di belakangnya. Pemuda itu hanya
tersenyum dengan tangan ber-
sedekap. Dan berhentinya Priyani bukan karena ke-
mauannya, tapi karena kedua kakinya tidak bisa dige-
rakkan. Sepasang kakinya tidak mampu diangkat,
seakan-akan digayuti batu sebesar gajah. Amat berat!
"Aku tidak apa-apa, Priyani. Aku hanya bergurau saja."
Priyani yang terkejut bukan main, makin terperan-
gah ketika mendengar ucapan terhadapnya. Jelas ter-
dengar bahwa suara itu milik ayahnya. Tapi, mulut
Empu Lahang Samedi tidak berkemik sama sekali.
Priyani memang gadis gemblengan dengan kepan-
daian cukup tinggi. Dan dia tahu, ayahnya juga berkepandaian tinggi. Dia pun
telah mendengar tentang il-
mu yang membuat orang berbicara tanpa menggerak-
kan bibir. Tapi, disadari betul kalau ayahnya tidak
memiliki ilmu ini karena tingkat kepandaiannya tidak setinggi itu. Ini berarti
bukan ayahnya yang berbicara.
Yang lebih mengejutkan suara itu ternyata berasal
dari belakang Priyani. Dengan gerakan perlahan-lahan, gadis ini berbalik. Kalau
saja gadis ini mampu menggerakkan kaki, tentu sudah terlompat ke belakang. Tapi
karena tidak, tubuhnya saja yang terlonjak.
Di depan Priyani, tampak Lingga berdiri dengan
wajah dingin sambil menyeringai keji.
Priyani sekarang mengerti, dua ucapan terakhir ta-
di keluar dari mulut Lingga. Sedangkan Ayahnya
hanya bicara sekali. Setelah itu, Lingga yang bicara.
Tentu saja setelah lebih dulu membuat Empu Lahang
Samedi tidak berkutik.
Kakek kurus kering itu tak mampu berbuat apa-
apa, karena kaki, tangan, maupun mulutnya seperti
lumpuh. Entah dengan cara bagaimana, Priyani tidak
tahu. Yang jelas, gadis ini tahu kalau Lingga memiliki kepandaian tinggi.
Ayahnya yang dilumpuhkan oleh
pemuda itu, menjadi bukti nyata kebenaran dugaan-
nya. Kendati demikian, Priyani tidak menjadi gentar.
Dengan sorot mata penuh kebencian, ditatapnya Ling-
ga. Namun yang ditatap malah tenang-tenang saja,
membuat kemarahan gadis itu berkobar hebat.
*** 8 "Manusia jahat! Apa salah ayahku, sehingga kau
berlaku kejam terhadapnya"! Kalau memang jantan,
bebaskan dia! Lepaskan juga aku dari pengaruh sihir-
mu ini! Kita bertarung sampai salah satu ada yang
menggeletak tak bernyawa!" desis Priyani, kalap.
Lingga tidak menunjukkan gambaran perasaan
apa-apa mendengar kata-kata gadis itu yang lantang
dan keras berisi jiwa ksatria! Kalau menuruti keinginan, Lingga malas
meladeninya. Yang penting baginya
adalah Golok Kilat harus segera mampu mengeluarkan
kedahsyatannya lagi. Sesegera mungkin! Agar dia da-
pat pula melenyapkan Dewa Arak, orang yang paling
dibencinya. Tapi, Lingga memang berwatak keji. Tantangan
yang diberikan Priyani, membuat benaknya berputar.
Dicarinya cara mengenai tindakan yang akan dilaku-
kan terhadap gadis berpakaian kuning itu.
"Kalau itu yang kau mau, ku penuhi permintaan-mu, Nona Manis," sambut Lingga,
tenang dan datar.
Pemuda itu kemudian mengepretkan jari-jari kedua
tangannya, Seperti orang yang membuat tetesan air
yang menempel. Tes! Tes! Baik Empu Lahang Samedi, maupun Priyani seke-
tika merasakan beberapa bagian tubuh mereka seperti
tersentuh jari-jari tangan. Kini mereka pun mampu
bergerak kembali seperti sediakala.
"Priyani! Cepat pergi dan selamatkan dirimu! Biar Ayah yang mencoba menahannya!"
ujar Empu Lahang Samedi, keras sarat kekhawatiran.
Berbareng keluarnya ucapan itu, Empu Lahang
Samedi melompat ke depan. Dia berdiri di depan pu-
trinya. Sikapnya terlihat melindungi sekali.
"Tapi, Ayah...," Priyani mencoba untuk memban-tah. "Aku telah berjanji bertarung
dengannya sampai mati. Tidak mungkin aku mengingkari janji yang telah kubuat
sendiri." "Jangan bodoh, Priyani! Bagi orang jahat seperti pemuda itu, janji tak ubahnya
kotoran! Tak ada harga lagi! Cepatlah pergi tinggalkan tempat ini!" sergah Em-pu
Lahang Semadi, tak sabar.
Priyani bimbang. Hatinya berperang antara meme-
gang janji dengan memenuhi perintah ayahnya..!
Sementara Lingga yang melihat dan mendengar
pertengkaran ayah dan anak itu menatap wajah dan
sinar mata dingin, bagaikan patung batu. Dia tidak
khawatir kalau Priyani kabur dari situ. Karena Lingga yakin, akan dapat
mencegahnya. Empu Lahang Samedi semakin merasa khawatir
akan nasib putrinya. Maka kesabarannya jadi hilang
melihat gadis itu malah berdiam diri. Dan....
"Heaaat...!"
Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, kakek ini
melompat menerjang Lingga, setelah menyambar seba-
tang tombak pendek.
Namun Lingga tidak mengelak sedikit pun. Maka....
Tak! Telak sekali ujung tombak baja hitam yang kuat
milik Empu Lahang Samedi mendarat telak di dada
pemuda itu. Empu Lahang Samedi dan Priyani yang semula
gembira melihat keberhasilan serangan itu, berganti
kaget ketika melihat serangan tidak berpengaruh apa-
apa terhadap Lingga. Ujung tombak yang tajam itu ti-
dak mampu menembus kulit tubuhnya, kecuali hanya
menempel saja! "Heh"!"
Empu Lahang Samedi cepat sadar dari kagetnya.
Dia tahu, pemuda ini memiliki kekebalan. Entah kare-
na kuatnya tenaga dalam yang dimiliki, atau karena
memang mempunyai ilmu aneh!
Maka tanpa menunggu lebih lama, kakek kurus
kering ini menggerakkan tangan.
Empu Lahang Samedi bermaksud menyerang ba-
gian pelipis kiri melalui sebuah babatan. Namun, maksudnya tidak kesampaian.
Tombaknya bagai menyatu
dengan dada Lingga. Jangankan bisa dibabatkan. Un-
tuk digerakkan pun tidak dapat!
"Heaaat...!"
Empu Lahang Samedi masih nekat. Dipaksakannya
juga untuk meneruskan maksudnya. Tapi, kegagalan
pula yang didapatkan.
Lingga menyeringai kejam. Empu Lahang Samedi
jadi gentar bukan main. Pegangannya terhadap gagang
tombak segera dilepaskan untuk dapat menyela-
matkan diri. Tapi....
"Heh"!"
Empu Lahang Samedi kebingungan ketika telapak
tangannya tidak bisa dilepaskan dengan batang tom-
bak. Maka hatinya, mulai merasakan adanya bahaya
besar. Tampak perut pemuda itu mulai bergolak. Naik
turun bergelombang. Karena tangannya menempel
dengan tombak, Empu Lahang Samedi mulai meneri-
ma akibatnya. Tubuhnya kontan berguncang-guncang.
"Huk! Uhugkh!"
Guncangan itu ternyata membuat Empu Lahang
Samedi terbatuk-batuk. Dan pada setiap batuk yang
keluar, memercikkan darah segar. Jelas, dia telah terluka dalam.
Priyani kaget, melihat betapa mudahnya Lingga
melumpuhkan ayahnya. Dia terkesima di tempatnya
tak tahu harus bertindak bagaimana.
Sementara guncangan pada Empu Lahang Samedi
semakin keras. "Ohhh...!"
Dan bertepatan dengan terdengarnya keluhan ter-
tahan dari mulut Priyani, tubuh Empu Lahang Samedi
terlempar deras ke belakang, langsung menghantam
dinding dengan keras.
"Ayah...!"
Priyani berseru kaget, berniat menghambur menu-
ju ayahnya. Tapi maksudnya kandas, ketika Lingga
mengembangkan kedua tangan. Tindakannya seperti
orang tengah menarik. Maka seketika tubuh gadis ber-
pakaian kuning itu tertarik ke arah Lingga.
"Auuu www.,.!"
Priyani meronta-ronta ketika tubuhnya tahu-tahu
telah berada dalam rangkulan Lingga. Tapi tindakan-
nya langsung berhenti, ketika Lingga menekan ba-
hunya. Tubuhnya langsung lunglai.
"Lepaskan dia, Pemuda Telengas! Dia tidak ada
sangkut pautnya dengan urusan kita!" teriak Empu Lahang Samedi berusaha bangkit
dengan limbung.
Langkahnya gontai ketika berusaha berjalan.
"Bagiku tidak demikian, Empu Lahang!" ejek Lingga penuh kemenangan. "Mungkin
menurutmu, gadis ini tidak ada urusannya dengan kita. Tapi bila aku menganggap
sebaliknya, kau mau apa Tua Bangka"!"
"Biadab!" desis Empu Lahang Samedi penuh kegeraman. Hanya sampai sebatas
demikian tindakan yang
dilakukannya. "Kau boleh bicara apa saja, Empu Lahang! Tapi, ingat! Keselamatan putrimu ini
berada di tanganmu.
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apabila kau mau memenuhi permintaanku, mengata-
kan apa yang kau ketahui tentang golok di tanganmu,
aku akan membebaskannya. Kubiarkan dia pergi dari
sini dalam keadaan hidup!" ancam Lingga.
Lingga menutup ucapannya dengan mengeratkan
pelukan tangan kiri. Wajahnya disusupkan di leher
Priyani, menciumi leher mulus berkulit putih halus itu.
Empu Lahang Samedi menggertakkan gerahamnya
melihat pemandangan ini. Dia tahu Priyani terancam
bahaya mengerikan. Gadis itu sendiri tidak mampu
berbuat apa-apa untuk mencegah selain keluhan-
keluhan lirih. Tingkah Lingga semakin menggila. Hanya sekali
renggut. Brettt! Pakaian Priyani di bagian dada sampai ke perut
koyak lebar. Seketika bukit kembar yang berbentuk
indah menggiurkan dengan puting susu merah segar
segera menyembul keluar.
Lingga semakin buas dalam cekaman nafsunya.
Wajahnya disusupkan di antara dua bukit kembar
yang berbentuk indah menggiurkan itu.
"Hentikan...!" teriak Empu Lahang Samedi, tak kuat lagi bertahan.
Maksud hati kakek ini hendak berteriak keras. Tapi
karena keadaannya memang tengah payah, teriakan-
nya tak ubahnya keluhan lirih orang menjelang ajal.
Meski demikian, Lingga mendengar. Dan tindakan-
nya pun dihentikan. Sepasang matanya yang memerah
dan napasnya yang memburu, menjadi pertanda kalau
nafsunya tengah bergolak. Tapi keinginannya yang le-
bih besar untuk mengetahui pendapat Empu Lahang
Samedi mengenai Golok Kilat, membuatnya mampu
meredamnya. "Bagaimana, Empu"! Kau masih bersikeras meno-
lak"!" tanya Lingga, mengambang.
"Kau memang licik, Pemuda Telengas!" Empu Lahang Samedi malah memaki. Tidak
mempedulikan ucapan Lingga. "Kau tidak memberi ku pilihan lain!
Tapi, apakah kau bisa memegang janji?"
"Tentu saja!" tandas Lingga, mantap. "Aku berjanji akan membebaskan Priyani jika
kau mau memberi
pendapat mengenai Golok Kilat!"
Empu Lahang Samedi tercenung setelah menden-
gar janji Lingga. Dia tahu betul, orang macam apa
Lingga ini. Tindakannya harus sangat hati-hati kalau tidak ingin tertipu mentah-
mentah! "Masih kurang, Manusia Keji! Ucapkan juga sang-
sinya, apabila kau melanggar!"
Sepasang mata Lingga berkilat penuh hawa maut
Pemuda ini memang paling tidak senang diatur. Tapi
perasaan ingin tahu atas pendapat Empu Lahang Sa-
medi tentang Golok Kilat, membuatnya mampu mene-
lan perasaan marah.
"Baik!" geram Lingga. "Apabila aku melanggar janji dengan tidak membebaskan
Priyani, maka leherku
akan kugorok sendiri. Janjiku ini kubuat berdasarkan kehormatanku!"
Empu Lahang Samedi tersenyum puas. Dia tahu,
betapapun bejatnya Lingga, tidak akan mungkin me-
langgar janjinya yang bersangsi mengerikan!
Dan memang, Lingga langsung membuktikannya.
Pemuda ini langsung mendorong tubuh Priyani ke arah
orang tuanya, setelah membebaskan totokan yang
membuat gadis itu lemas.
Empu Lahang Samedi buru-buru mengulurkan
tangan, menangkap tubuh putrinya.
Priyani yang telah berhasil bebas dari totokan,
hanya membiarkan tubuhnya dipeluk ayahnya seben-
tar. Namun dengan halus tapi penuh tekanan gadis ini meronta.
Empu Lahang Samedi tidak menghalangi sama se-
kali. Dibiarkan saja ulah putrinya. Tapi tindakan
Priyani ternyata tidak berhenti hanya sampai di situ.
Pisau putih berkilat yang terselip di pinggangnya langsung dicabut. Kemudian dia
hendak bergerak ke arah
Lingga. "Hih...!" .
Keinginan Priyani ternyata tidak sesuai perkiraan
nya. Sebelum maksudnya terlaksana, Empu Lahang
Samedi yang meskipun telah melepaskan putrinya dari
pelukan, tapi tidak mengendurkan kewaspadaan. Begi-
tu melihat Priyani bergerak, lebih dulu tangannya cepat mencekal pergelangan
tangan putrinya ini.
"Lepaskan, Ayah...! Lepaskan...! Biar kubunuh pemuda jahanam itu...!" jerit
Priyani sambil meronta-ronta.
"Tidak akan kulepaskan kau, Priyani. Kecuali kalau menginginkan ayahmu menjadi
seorang pengecut hina
yang menjilat ludahnya sendiri. Apabila kau suka,
dengan senang hati maksudmu ku penuhi," sahut Em-pu Lahang Samedi, tenang.
Kendati demikian di dalam
ketenangan itu terkandung ketegasan.
Mendengar ucapan ayahnya, Priyani pun lemas.
Urat-urat dan otot-ototnya yang tadi menegang kaku
melemas kembali. Tentu saja dia tidak ingin ayahnya
jadi seorang pengecut. Maka meski dengan hati berat, maksudnya diurungkan.
"Ayah tidak memberi ku pilihan lain," keluh Priyani, bernada menyalahkan.
"Lebih baik kau segera tinggalkan tempat ini,
Priyani. Aku masih mempunyai urusan lain dengan-
nya," perintah Empu Lahang Samedi, meski diusahakan tidak kentara. Maksudnya
tentu saja untuk me-
nyelamatkan Priyani. Karena, meski percaya kesung-
guhan janji Lingga, kakek kurus kering ini tidak berani mengambil bahaya terlalu
besar. "Apakah Ayah tidak suka aku berada di sini..."!
Ayah lebih suka aku pergi dari sini"!"
Priyani menatap wajah ayahnya lekat-lekat sambil
mengucapkan perkataan demikian. Sengaja diguna-
kannya kalimat demikian, untuk membuat ayahnya
mati kutu. Priyani ingin menemani ayahnya. Dia ingin tahu, urusan apa yang
menyebabkan Lingga begitu
bersemangat memaksa ayahnya berbicara.
"Mengapa kau bisa menarik kesimpulan seperti itu,
Priyani"!" tanya Empu Lahang Samedi sambil mengerutkan kening. Heran atas dugaan
putrinya terhadap-
nya. "Kalau tidak, tentu Ayah akan membiarkanku di sini. Ayah, seharusnya merasa
senang ku temani," sahut Priyani, cepat.
Empu Lahang Samedi tidak bisa memberi banta-
han lagi, kecuali mengangkat kedua bahunya. Dia ka-
lah pandai bicara.
Memang, Priyani bukan jenis gadis yang pandai
berbicara. Tapi bila dibandingkan Empu Lahang Sa-
medi, tentu saja gadis itu lebih unggul.
Lingga tidak memberi gambaran perasaan apa-apa
melihat akhir silang pendapat antara Empu Lahang
Samedi dengan putrinya. Sejak tadi dia malah me-
nunggu berakhirnya adu pendapat itu dengan pera-
saan sabar. "Sudah selesai urusan kalian"!" tanya Lingga setelah Priyani dan ayahnya tidak
bersuara lagi. Nadanya datar dan dingin. "Kalau memang sudah selesai, sekarang
penuhi janjimu, Lahang!"
Sambil menghela napas berat beberapa kali, Empu
Lahang Samedi mulai memperhatikan Golok Kilat di
tangannya. Hanya sebentar saja, kemudian pandan-
gannya dialihkan pada Lingga.
Lingga sendiri sejak tadi memang memperhatikan
semua gerak-gerik Empu Lahang Samedi. Terlihat jelas adanya sorot keingintahuan
dalam pandang mata pemuda berpakaian merah itu.
"Golok Kilat ini telah kehilangan keistimewaannya.
Hal seperti ini terjadi, karena telah lama tidak dipergunakan," jelas Empu
Lahang Samedi, satu-satu.
"Aku telah mengetahui hal itu, Empu Lahang," sahut Lingga, dingin. "Lalu, yang
lainnya...?"
Empu Lahang Samedi kelihatan bingung.
"Katakan cepat, Empu! Atau..., kau lebih suka melihat kesabaranku hilang"
Begitu"!"
"Untuk memulihkan kembali keistimewaannya, di-
butuhkan polesan yang mempergunakan campuran
otak bayi dan darah perawan. Polesan terus dilakukan sampai khasiatnya muncul.
Dan itu bisa diketahui
dengan adanya bunyi guntur di langit!"
Lingga mengangguk-angguk, merasa puas dengan
keterangan yang diberikan. Sekali tangannya diulur-
kan, golok yang berada di tangan Empu Lahang Same-
di melayang ke arahnya. Dan dengan enaknya pemuda
ini menangkapnya.
"Apakah keterangan yang kuberikan cukup"!"
tanya Empu Lahang Samedi sambil tersenyum pahit.
Di dalam hati, kakek kurus kering ini merasa me-
nyesal telah memberi keterangan itu. Hal ini berarti ancaman maut bagi bayi-bayi
dan perawan-perawan,
mengingat Lingga memang berwatak keji!
Lingga hanya mengangguk kaku.
"Berarti urusan antara kita sudah selesai bukan?"
tanya Empu Lahang Samedi, meminta kepastian.
"Siapa bilang"!" kilah Lingga, membuat Empu Lahang Samedi terlonjak kaget bagai
disengat kalajengking. "Urusan kita tetap ada! Bahkan terhadap nona cantik itu."
Wajah Empu Lahang Samedi berubah. Gigi-giginya
bergemelutuk, menahan geram karena merasa diper-
mainkan. Di lain pihak, Priyani mendelik! Sekujur otot-otot dan urat tubuhnya
menegang kembali.
"Kau hendak mengingkari janjimu, Anak Muda"!
Apakah sangsi yang kau tujukan atas dirimu sendiri
hanya omong kosong belaka"! Haruskah aku men-
ganggap ucapanmu tak ubahnya salakan seekor anjing
buduk"!"
Lingga mendengus.
"Rupanya kau tidak menyimak ucapanku, Tua
Bangka! Ingat-ingatlah semua ucapanku!"
"Aku bukan bocah kemarin sore yang tidak men-
gerti perkataan orang, Pemuda Sombong! Jelas terden-
gar dan tertangkap telingaku, kau mengatakan akan
membebaskan putriku apabila bersedia menuruti pe-
rintahmu!"
"Itu memang benar!" sambung Lingga, cepat
"Lalu, mengapa kau sekarang hendak melanggar
janjimu sendiri"!" desak Empu Lahang Samedi, tanpa menyembunyikan rasa
penasarannya. "Aku tidak melanggar janjiku, dan tidak akan pernah! Putrimu sesuai perjanjian,
akan kubebaskan!
Hanya saja waktunya tidak sekarang! Nanti setelah
urusanku dengannya selesai, baru dia kulepaskan!
Apakah itu artinya aku melanggar janji"! Tidak bu-
kan"! Kau saja yang tidak teliti!"
"Keparat licik! Aku akan mengadu nyawa dengan-
mu! Hiaaat..!"
Empu Lahang Samedi melompat menerjang, dis-
usul Priyani di belakangnya.
"Hih!"
Tapi hanya dua kibasan tangan, Lingga mampu
membuat tubuh Empu Lahang Samedi terjengkang ke
belakang. Sedangkan tubuh Priyani tertarik ke depan.
Tepat ketika tubuh Empu Lahang Samedi memben-
tur dinding, tubuh Priyani terjatuh ke dalam pelukan Lingga. Gadis berpakaian
kuning ini meronta-ronta,
namun hasilnya sia-sia belaka.
Rontaan Priyani berhenti ketika tangan Lingga me-
nekan bahunya. "Chuh!"
Sambil membuang ludah, pemuda berpakaian me-
rah itu melesat meninggalkan tempat ini.
"Penjahat keji! Hendak lari ke mana kau..."! Jangan harap aku akan membiarkanmu
bertindak seme-
na-mena...!" teriak Empu Lahang Samedi, terhuyung-huyung ketika bangkit
Empu Lahang Samedi tak mempedulikan kepa-
lanya yang masih pening dan pandangannya yang ma-
sih berkunang-kunang. Segera, dikejarnya pemuda
yang menculik putrinya.
Empu Lahang Samedi tak menghentikan pengeja-
rannya, kendati tubuh Lingga semakin mengecil di ke-
jauhan. Sambil mengejar, dia memaki-maki tak ka-
ruan. *** 9 "Itulah Gua Iblis, Dewa Arak!"
Seruan bernada pemberitahuan yang diikuti tudin-
gan jari keluar dari mulut Setan Kepala Besi. Saat itu, lelaki berkepala botak
itu bersama Dewa Arak berada
berjarak sepuluh tombak dari sebuah tebing berbentuk tengkorak yang mempunyai
sebuah gua yang kelihatan
gelap pekat. Arya harus mengakui kalau nama Gua Iblis tidak
terlalu berlebihan. Sesuai sekali nama dengan kenya-
taannya. Di sinikah tempat tinggal dua kakek penculik Nuri" Begitu batin pemuda
ini. "Apa yang akan kau lakukan, Kek"!" tanya Arya, ingin tahu.
"Aku akan masuk ke dalam sana. Kau tunggu saja
dulu di sini. Aku ingin mencoba membujuk mereka un-
tuk tidak membawa-bawa Nuri dalam masalah ini. Kau
tidak keberatan, Dewa Arak"!" sahut Setan Kepala Be-si. Arya tersenyum dan
menggeleng. Dalam hati, pe-
muda berambut putih keperakan ini merasa kagum
bukan main dengan kemajuan Setan Kepala Besi! Le-
laki ini benar-benar telah berpaling dari jalan sesatnya.
Sampai-sampai, sifatnya demikian berubah. Hanya un-
tuk menyuruhnya menunggu, lelaki ini menanyakan
lebih dulu! "Terima kasih, Dewa Arak! Percayalah, aku tidak akan lama...!"
Gema suaranya masih terdengar, tapi tubuh Setan
Kepala Besi telah melesat cepat mendekati mulut gua!
Arya memperhatikan hingga Setan Kepala Besi le-
nyap di dalam gua. Ketajaman sepasang telinganya di-
kerahkan, agar bisa mendengar bunyi-bunyi tak wajar
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari dalam gua. Apabila itu terjadi, Dewa Arak tidak bisa tinggal diam lagi.
Terpaksa kesepakatan yang dibuatnya bersama Setan Kepala Besi tadi dilanggar.
Kening Arya berkerut. Keheranan melingkupi ha-
tinya, ketika melihat Setan Kepala Besi keluar dari dalam gua. Padahal, dia baru
saja masuk. Meski merasa ingin tahu, pemuda berambut putih
keperakan ini tetap diam. Bahkan ketika akhirnya Se-
tan Kepala Besi berhenti didekatnya, Arya tidak men-
gajukan pertanyaan sama sekali.
"Benarkah mereka mengatakan tempat ini, Dewa
Arak" Apakah bukan tempat lain"!" tanya Setan Kepala Besi sambil menatap wajah
Arya penuh selidik.
"Aku tidak keliru, Kek. Jelas sekali kutangkap perkataannya. Gua Iblis! Apakah
saya yang salah"!" Arya ganti bertanya, meski telah bisa memperkirakan akan
apa yang telah terjadi.
"Gua itu kosong, Dewa Arak! Tidak ada siapa pun di dalamnya!" sahut Setan Kepala
Besi tandas dengan suara kering.
Wajah Arya tidak berubah sungguhpun perasaan
kaget yang luar biasa menyergapnya. Pemuda ini me-
mang pandai menguasai perasaan. Sehingga apa yang
bergejolak di hati, tidak terlihat pada wajahnya.
"Mungkinkah mereka sengaja berbohong"!" duga Arya.
Setan Kepala Besi menggeleng lemah.
"Mereka bukan sejenis orang-orang berwatak se-
perti itu."
Suasana hening. Masing-masing tenggelam dalam
alun pikirannya. Pada wajah Setan Kepala Besi terlihat jelas adanya gambaran
kecemasan. "Hanya ada dua kemungkinan, Kek," ujar Arya memecah keheningan. "Pertama, mereka
berubah pikiran. Sedangkan yang kedua, ada halangan yang meng-
hadang mereka. Memang, kedua kemungkinan itu pun
rasanya mustahil. Tapi, tidak ada jawaban lainnya."
Setan Kepala Besi diam. Di lubuk hatinya, harus
diakui kalau kemungkinan yang diberikan Dewa Arak
bisa saja terjadi.
"Kurasa rencana mereka berubah, Dewa Arak. Aku
tidak bisa berdiam diri menunggu di sini tanpa adanya kepastian mengenai keadaan
muridku. Aku akan mencari tahu keadaannya sekarang juga!"
"Boleh aku menyumbang tenaga, Kek"!" tanya Arya, karena melihat lelaki berkepala
botak itu seperti tidak memerlukannya.
"Tentu saja, Dewa Arak! Tapi kurasa, lebih baik ki-ta berpencar agar kemungkinan
untuk menemukannya
menjadi lebih besar. Kau boleh melakukan tindakan
apa saja. Yang penting, Nuri selamat! Aku pergi dulu, Dewa Arak!"
Arya hanya bisa mengangguk. Namun Setan Kepala
Besi tidak bisa melihatnya, karena telah berada beberapa tombak di depan.
Arya memandangi hingga tubuh Setan Kepala Besi
sudah tidak terlihat lagi. Kemudian, setelah menghela napas berat, tubuhnya
berbalik dan melesat ke arah
yang berbeda. *** Aduhai dunia Dari dulu sampai sekarang
Kau tidak pernah berubah
Selalu bergolak tak pernah tenang
Angkara murka merajalela
Hawa maut melingkupi bumi
Akankah sang Pendekar Perkasa
Mampu mempertunjukkan gigi
Nyanyian yang didendangkan berirama dengan na-da enak didengar menyelusup masuk
ke dalam telinga
Dewa Arak. Tidak keras bunyinya, tapi pemuda be-
rambut putih keperakan ini terkejut bukan main.
Keterkejutan Arya karena bunyi yang tidak keras
itu mampu membuat dadanya bergetar. Setiap kata
dalam nyanyian, menimbulkan getaran pada dada se-
bagaimana layaknya jika orang mendengar bunyi be-
duk! Kalau bunyi pelan saja dapat menimbulkan pen-
garuh seperti ini, apa pula akibatnya bila bunyi itu keras"!
Arya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat
dari biasanya. Pemuda ini yakin pasti pemilik nyanyian
itu memiliki tenaga dalam amat kuat. Dan seketika
pendengarannya dipusatkan untuk bisa mengetahui
asal bunyi itu. Tapi walau telah seluruh kemampuan-
nya dikerahkan, yang dapat ditangkap benar-benar ti-
dak masuk akal! Bunyi itu berasal dari atas!
Dewa Arak sadar, pemilik nyanyian itu sengaja
mengecoh. Dan kenyataan ini semakin menambah ke-
terkejutannya. Pemuda ini semakin yakin, pemilik
nyanyian itu memiliki tenaga dalam luar biasa kuat.
Karena hanya tokoh yang memiliki kekuatan tenaga
dalam sukar diukurlah yang dapat memindahkan te-
naga dalam. "Mengapa harus menujukan pandangan ke tempat
yang tidak mungkin" Teruskan langkahmu. Dan, tuju-
kan pandanganmu ke arah langkah kakimu. Maka kau
akan menemukan apa yang kau cari, Pendekar Muda."
Wajah Arya memerah karena malu mendengar te-
guran itu. Kepalanya memang menengadah untuk me-
lihat ke langit. Dia menduga barangkali pemilik nya-
nyian itu menaiki burung. Namun sama sekali tidak
disangka kalau tingkahnya diketahui. Secara membuta
Arya mengikuti petunjuk itu yang diyakini berasal dari mulut yang sama dengan
suara nyanyian itu.
Seraya mengayunkan kaki, benak Dewa Arak men-
duga-duga siapa pemilik nyanyian itu. Dia memang
merasa telah mengenai Atau, setidak-tidaknya telah
pernah mendengar suara seperti itu. Bukan dalam
bentuk nyanyian, tapi dalam percakapan biasa, seperti teguran yang berisi
petunjuk tadi. Mendadak saja Arya sampai terjingkat ke belakang,
tanpa sadar ketika menatap lurus ke depan dengan
mata terbelalak. Sorot keterkejutan tampak jelas pada sinar matanya.
Sekitar empat tombak di depan Arya, tampak seso-
sok tubuh kurus terbaring membelakangi. Dan yang
membuatnya kaget bukan main, sosok yang terbung-
kus pakaian abu-abu itu berbaring di atas selembar
daun pisang yang kebetulan pohonnya tidak terlalu
tinggi. Untuk kedua kalinya Arya terkejut. Dan dia yakin,
sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang de-
mikian tinggi, sampai-sampai daun pisang yang ditidurinya tidak melengkung sama
sekali! Seakan-akan
yang berada di atasnya hanyalah sehelai daun kering
Dan Arya semakin yakin kalau pernah bertemu,
ketika memperhatikan lebih seksama sosok di atas
daun pisang itu. Hanya saja kapan dan di mana, dia
lupa. Dengan pandang mata tak lepas dari sosok abu-
abu itu, Arya terus melangkah mendekat. Dan ketika
jaraknya tinggal tiga tombak lagi...
Tas! Pelepah daun pisang tempat tubuh sosok abu-abu
berada putus seperti terbabat benda tajam.
Arya terpaksa menghentikan langkahnya ketika
melihat pelepah daun pisang itu melayang membawa
sosok abu-abu, ke arahnya.
Seperti memiliki nyawa, daun pisang itu mendarat
di tanah dalam keadaan berdiri mempergunakan ujung
pelepahnya. Hal ini membuat sosok abu-abu yang rebah miring,
jadi ikut berdiri.
"Ki Jaran Sangkar...!" seru Arya gembira, begitu melihat wajah sosok abu-abu
itu. Arya bisa mengenali setelah sosok itu menghadap-
nya. Sosok abu-abu yang ternyata seorang kakek yang
selama ini dikenal Dewa Arak sebagai Jaran Sangkar,
tersenyum getir.
"Selamat berjumpa lagi, Dewa Arak. Mudah-
mudahan saja kau tidak jemu bertemu denganku,"
sambut kakek berpakaian abu-abu ini sambil terse-
nyum. Senyum khasnya yang telah amat dikenal Dewa
Arak. "Kau pandai bergurau, Ki. Pantas dalam usia setua ini kau tetap kelihatan
sehat," balas Arya berbasa-basi.
"O, ya. Aku hampir tidak pernah menyangka-nyangka kalau kau pandai bersyair...."
"Sayangnya suaraku jelek. Bukan begitu, Dewa
Arak"!"
"Sama sekali tidak, Ki!" sergah Arya menggeleng.
"Bahkan sebaliknya. Indah. Kalau saja aku tidak men-genalmu lebih dulu, mungkin
kau yang kuanggap se-
bagai si Penyair Cengeng...."
"Aku memang orang yang kau maksudkan itu, De-
wa Arak" Wajah Arya berubah hebat.
"Apakah aku tidak salah dengar, Ki"! Kau.... Maksudku..., kau tokoh yang
berjuluk si Penyair Cengeng itu"!"
Pemuda berambut putih keperakan ini memang
pernah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Pe-
nyair Cengeng. Seorang tokoh sakti yang julukannya
lima puluh tahun menjulang tinggi di dunia persilatan.
Tokoh berkepandaian tinggi itu senantiasa menden-
dangkan syair-syair sedih, sehingga dijuluki Penyair Cengeng. Tapi julukannya
langsung lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Tidak ada seorang pun yang tahu,
ke mana perginya tokoh aneh itu. Dan sekarang Jaran
Sangkar mengaku kalau dirinya yang berjuluk Penyair
Cengeng! "Benar, Dewa Arak," sahut Jaran Sangkar men-
gangguk. "Akulah tokoh yang kau maksudkan. Karena merasa tua dan jemu dengan
dunia persilatan yang selalu berbau darah, aku mengundurkan diri ke Gunung
Jawul. Dan aku menamakan diri sebagai Jaran Sang-
kar yang kau kenal. Masalahnya, aku telah lupa den-
gan nama asliku sendiri...."
Arya diam, karena terlalu kaget mendengar kete-
rangan yang sama sekali tidak disangka-sangka.
"Lalu.... Maksud kedatanganmu ke tempat ini..."
Dan, keberadaanmu yang aneh itu, Ki.... Eh! Bagaima-
na aku harus menyebutmu"! Jaran Sangkar atau Pe-
nyair Cengeng"!" tanya Dewa Arak, agak terpatah-patah.
"Aku sebenarnya tidak terlalu mementingkan masalah sebutan, Dewa Arak. Apa pun
jadi," jawab si Penyair Cengeng sambil menghela napas berat "Tapi untuk
menghilangkan kesan pengecut karena selama ini
aku menyembunyikan julukan, dan juga karena aku
mencoba jujur, tidak hanya padamu, tapi lebih khusus pada diriku sendiri...,
lebih baik kau sapa aku dengan panggilan Penyair Cengeng."
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda
mengerti. "Kedatanganku kemari hanya untuk memberitahu-
kan mu, Dewa Arak," tambah Penyair Cengeng. "Sebuah pusaka yang dulu dibuat
seorang pandai besi
yang sesat, dan selama ini berada di tangan seorang
pendekar golongan putih, telah jatuh ke tangan seo-
rang yang berwatak keji. Banjir darah kembali akan
berlangsung, Dewa Arak. Kau harus mencegahnya!"
"Tentu saja, Penyair Cengeng. Itu sudah merupa-
kan kewajibanku selaku seorang pendekar. Aku akan
berusaha mencegah terjadinya angkara murka di du-
nia persilatan. Hanya saja, aku belum jelas dengan
pernyataan yang kau berikan. Bisa lebih diperjelas"!"
tandas Dewa Arak, mantap.
"Begini. Puluhan tahun lalu, seorang pandai besi membuat sebuah pusaka yang
diberinya nama Golok
Kilat. Sesuai namanya, golok itu benar-benar mengerikan. Bahan dasar pusaka itu
sebenarnya biasa saja.
Namun campurannya, membuat golok itu menjadi sen-
jata pusaka yang ampuh! Kau tahu apa campurannya,
Dewa Arak?"
Arya menggeleng.
"Darah wanita yang masih perawan dan otak bayi!"
tandas Penyair Cengeng, setengah mengutuk.
Arya kontan menahan rasa mual mendengarnya.
"Golok Kilat itu," sambung Penyair Cengeng, tak sabar. "Selama beberapa belas
tahun terakhir, berada di tangan Raja Golok Bertangan Baja. Tapi beberapa
waktu yang lalu, seorang pemuda berpakaian merah
dan ikat kepala merah telah merampasnya."
Wajah Arya berubah hebat. Ciri-ciri seperti yang
disebutkan Penyair Cengeng, tidak asing baginya.
Penyair Cengeng melihat perubahan muka pende-
kar muda itu. Dan bibirnya tersenyum dikulum.
"Aku yakin kau mengenal pemuda itu, Dewa Arak.
Bukankah demikian"!" tebak Penyair Cengeng.
"Benar, Penyair Cengeng. Bahkan dia menjadi mu-
suh besarku. Lingga namanya. Kepandaiannya luar bi-
asa! Ah! Aku ingat, Lingga membawa sebuah golok
yang kelihatannya ampuh. Tapi..., seingatku tidak ada pengaruh seperti yang kau
maksudkan itu, Penyair
Cengeng." "Itu hanya sementara saja, Dewa Arak," tukas Penyair Cengeng. "Tak akan lama
lagi, Lingga akan mampu membuat golok itu memiliki keistimewaan seperti dulu.
Dan caranya, adalah dengan campuran se-
perti yang dulu dibuat penciptanya?"
"Maksudmu..."!" tanya Dewa Arak, merasakan tenggorokannya tercekat.
"Benar," Penyair Cengeng yang bisa menduga arah jawaban Arya, segera mengangguk.
"Golok itu sebentar lagi akan kembali kedahsyatannya! Dan hingga saat ini tengah
memburu bayi-bayi dan perawan-perawan!"
"Biadab...!" desis Arya penuh perasaan geram. Terdengar bunyi berkerotokan
nyaring ketika tenaga da-
lam pemuda ini bergerak dengan sendirinya. "Tak akan kubiarkan dia melakukan
kekejian seperti itu."
"Sudah kuduga, kau akan mengucapkan kata-kata
seperti itu. Selamat bertugas, Dewa Arak!"
Penyair Cengeng mengedipkan sebelah matanya.
Kepalanya digerakkan sedikit. Maka pelepah daun pi-
sang itu bergerak naik membawa tubuh Penyair Cen-
geng yang punggungnya seperti menempel dengan
daun. Setelah mencapai ketinggian setengah tombak,
pelepah daun itu berbalik sampai mendatar. Dan den-
gan cara yang luar biasa, tubuhnya berhasil dibuat dalam keadaan duduk bersila
di atas pelepah daun pi-
sang.
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meski kagum, Arya tidak merasa kaget lagi. Telah
diketahuinya sendiri kepandaian Penyair Cengeng yang sangat tinggi. Dan dia
tetap tidak kelihatan terkejut, ketika Penyair Cengeng mampu membuat pelepah
daun pisang itu meluncur terbang ke depan setelah
mengibaskan tangannya.
"Penyair Cengeng...," gumam Arya pelan sambil terus menatap tubuh kakek yang
mengagumkan itu
sampai tidak terlihat.
Seperti memberi tanggapan terhadap ucapan Dewa
Arak, di sekitar tempat itu terdengar nyanyian lantang.
Tapi, tetap saja tidak mampu menyembunyikan nada
sedih. Cengeng!
Arya menggeleng-geleng tanpa sadar. Penyair Cen-
geng itu sendiri sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Tapi, nyanyiannya
malah terdengar demikian
lantang. Pemuda ini mendengarkannya dengan seksa-
ma, karena merasa tertarik.
Ribuan tempat kujelajahi
Ribuan syair ikut menemani
Ribuan penjahat telah kubunuhi
Ribuan mulut si tertindas mensyukuri
*** "Oaa...!"
Tangis bayi berkepanjangan menguak dari sebuah
rumah sederhana yang letaknya agak terpencil dari pe-rumahan penduduk di Desa
Sangiran. Demikian nyar-
ing melengking, tanpa terputus-putus.
Seorang wanita muda berusia dua puluh lima ta-
hun, sambil menggendong berusaha sekuat tenaga
menghentikan tangisan bayinya. Tapi hasilnya sia-sia.
"Barangkali dia ingin tidur, Lastri," kata seorang lelaki berumur tiga puluh
tahun. Wajahnya persegi. Ka-
ta-katanya ditujukan pada wanita yang menggendong
bayi. Lelaki ini duduk di dekat wanita yang tak lain istrinya, di sebuah bangku
panjang. Di depan kedua orang yang sebenarnya sepasang
suami istri itu, hanya dipisahkan sebuah meja, duduk sepasang muda belia.
Seorang pemuda berkumis tipis,
dan seorang gadis bertahi lalat di ujung hidungnya.
Wanita yang menggendong bayi dan bernama Lastri
rupanya bisa menerima saran suaminya. Setelah lebih
dulu mengangguk dan memberi senyuman sebagai
permintaan maaf, dia bangkit dari duduknya dan ber-
jalan ke dalam.
"Ada-ada saja...," ujar lelaki wajah persegi sambil mengalihkan perhatian pada
dua orang muda di depannya. "Percakapan kita jadi tertahan..."
"Hanya tertahan sebentar, Kak Wiryadi. Bukan masalah. Lagi pula, menurut
pendapatku, wajar saja bila seorang bayi sering-sering menangis. Bukankah
menurut kata orang tua tangisan bayi berarti ada sesuatu yang diminta?"
Laki-laki berwajah persegi yang dipanggil Wiryadi
tertawa ganda. "Rupanya kau telah siap untuk menjadi seorang
ayah, Gurit" Kapan hubunganmu dengan Linasih ini
diresmikan"!" sambut Wiryadi sambil tersenyum
menggoda. Wajah pemuda berkumis tipis bernama Gurit, dan
gadis bertahi lalat yang bernama Linasih tampak me-
nyemburat merah. Kelihatan jelas kalau mereka masih
risih. "Kak Wiryadi memang pintar menggoda orang. Lagi pula, siapa orangnya yang sudi
menikah denganku"!"
kata Gurit, seraya melirik Linasih.
Wiryadi batuk-batuk untuk menghilangkan ke-
canggungan akibat gurauannya.
"O, ya. Hampir aku lupa, Gurit."
Wiryadi buru-buru bersuara begitu sebuah bahan
pembicaraan melintas di benaknya. Dia ingin secepat-
nya menepis suasana yang tidak nikmat.
"Perlu kau ketahui, anakku itu bukan tergolong
bayi cengeng. Dan andaikata menangis karena ingin
tidur, lapar, ataupun buang air, tangisnya tidak keras.
Hm.... Aku menduga ada sesuatu yang aneh di sini,"
sambung Wiryadi, menduga.
Linasih saling berpandangan dengan Gurit. Wajah
mereka mulai cerah kembali. Sebuah pertanda kalau
kata-kata Wiryadi, berhasil mengusir kecanggungan.
Malah wajah Linasih kelihatan amat sungguh-
sungguh. "Kalau benar demikian..., berarti ada hal aneh di sini, Kak Wiryadi...," kata
Linasih agak ragu-ragu men-gutarakannya.
*** 10 Wiryadi terdiam. Tapi nyata kalau perkataan Lina-
sih sangat dipikirkannya. Dia mengerti maksud gadis
itu. Tangis anaknya merupakan firasat akan adanya
sesuatu yang akan terjadi. Bayi memang memiliki ba-
tin yang masih bersih, sehingga mempunyai perasaan
tajam. Bukan tidak mungkin kalau bayi akan mampu
membaui adanya bahaya yang mengancam.
Sementara Gurit merasakan jantungnya berdetak
lebih cepat. Ucapan Linasih dan sikap Wiryadi, mem-
buatnya merasa tegang. Semua itu ditambah masih
terdengarnya tangisan bayi. Tangis yang melengking
keras dan panjang. Sedangkan suara-suara Lastri yang berusaha meredakan tangis
si jabang bayi jadi tenggelam.
Suasana jadi terasa menyeramkan, penuh ketegan-
gan. "Ha ha ha...!"
Tawa Wiryadi yang dikeluarkan secara tiba-tiba,
membuat Linasih dan Gurit terlonjak kaget bukan
main. Tapi hanya sebentar, karena mereka segera bisa
menekan perasaan itu. Dengan pandangan heran, ke-
duanya menatap Wiryadi.
"Mengapa kita jadi seperti sekumpulan bocah pengecut"! Andaikata firasat bayi
itu benar, apa yang harus ditakuti"!" kata Wiryadi mantap.
Linasih dan Gurit saling berpandangan, lantas ter-
senyum. Ucapan Wiryadi membuat mereka ingat kalau
ketakutan itu hampir tidak beralasan. Karena mereka
bukan orang-orang lemah! Masing-masing memiliki
kepandaian tinggi. Jika benar ada bahaya mengancam,
mungkinkah mereka bertiga tidak mampu mengha-
launya"! "Apa yang kau katakan itu benar, Kak Wiryadi. Kita di sini bertiga. Belum
terhitung Lastri, istrimu. Siapa yang akan berani mati mengacau"!" sahut Gurit.
Wajah Gurit yang penuh ketegangan dan pucat te-
lah mengendur. Keberaniannya telah muncul kembali.
Di akhir ucapan, kepalan tangan kanannya kontan se-
cara keras. Dan baru saja salah seorang hendak bicara lagi,
mendadak.... "Omongan kosong tanpa bukti sama sekali...!"
Tiba-tiba terdengar suara melecehkan, membuat
Wiryadi, Gurit, dan Linasih terkejut bukan main.
Serentak ketiga orang itu menengok berbareng,
dengan arah berlainan. Suara yang terdengar dan sea-
kan berasal dari delapan penjuru mata angin, mem-
buat mereka semuanya kebingungan.
"Siapa kau..."! Kalau bukan pengecut, cepat mun-culkan wujud mu! Hadapilah kami
secara jantan. Dan,
jangan bermain gelap-gelapan Seperti itu!" seru Wiryadi keras, seraya bangkit
dari kursinya. Gurit dan Linasih segera menyadari kalau orang
yang tadi menyahuti percakapan mereka memiliki ke-
mampuan tinggi. Tanpa pikir panjang lagi mereka telah siap mencabut golok yang
terselip di pinggang.
"Hmh...!"
Suara tanpa wujud itu memberi sambutan berupa
dengusan bernada mengejek.
Tapi, ternyata dengusan itu membuat Wiryadi dan
kedua tamunya terhuyung-huyung ke belakang. Seke-
tika tangan kanan masing-masing mendekap dada
yang terasa seperti ditumbuk kerbau liar. Sakit bukan main.
Terdengar suara Wiryadi dan kedua tamunya lang-
sung merasa gentar. Dengan dengusan saja, sudah
mampu membuat mereka terjajar. Bagaimana pula ka-
lau serangan yang dilancarkan"!
"Kalian ingin aku menampakkan diri"! Baik! Keinginan kalian ku penuhi!"
Kali ini tidak ada sedikit pun pengaruh atas Wirya-
di, Gurit, dan Linasih. Rupanya pemilik suara tanpa
wujud itu, tidak lagi melancarkan serangan dengan
mempergunakan suara.
Krittt...! Bunyi bergerit pintu, membuat pandangan Wiryadi
dan kedua tamunya diarahkan ke sana. Dan mata me-
reka pun terbelalak ketika melihat pintu tidak terbuka ke samping, tapi terbuka
ke atas. Seakan-akan engsel daun pintu ada di atas.
Begitu pintu bergerak membuka perlahan-lahan,
meluncur sesosok tubuh kekar milik seorang pemuda
berpakaian merah dalam keadaan duduk bersila. Wa-
jahnya dingin, menyiratkan kebengisan. Siapa lagi kalau bukan Lingga!
Kembali Wiryadi dan dua tamunya terkejut! Tubuh
Lingga dalam keadaan duduk bersila, meluncur berja-
rak satu tombak dari lantai dengan kedua tangan dili-
pat di depan dada.
Begitu tubuh Lingga melewati ambang pintu, baru
daun pintu itu bergerak menutup. Pelan-pelan seperti digerakkan tangan
kasatmata. "Sekarang aku telah berada di depan kalian. Nah!
Lakukanlah apa yang kalian kehendaki!" tantang Lingga, setelah berdiri tegak di
lantai. "Kami bukan orang-orang yang gemar mencari
urusan, Sobat!" sambut Wiryadi, tenang. Walaupun jantungnya berdetak jauh lebih
cepat dari sebelumnya.
Malah, dia khawatir kalau-kalau Lingga mendengar-
nya. "Hm..., jadi bagaimana maksudmu..."!" desis Lingga, dingin. Nadanya
memandang remeh sekali.
Sikap Lingga membuat wajah Gurit dan Linasih
merah padam. Mereka merasa marah bukan main. Ka-
lau saja tidak ingat Wiryadi yang lebih berhak bersikap terhadap tamunya yang
tidak diundang, mungkin mereka telah menerjangnya.
Wiryadi pun terbangkit amarahnya, tapi tetap men-
coba menahan diri. Disadari, tidak ada gunanya menu-
ruti kemarahan semata. Selama jalan kekerasan belum
terlalu mendesak, tak akan digunakannya.
"Maksudku begini, Sobat! Kalau kau tidak bermaksud menimbulkan keributan di
sini, tentu saja kami tidak akan bertindak aneh. Sebaliknya dengan kedua
tangan terbuka, kau kuterima sebagai tamu istimewa,"
jelas Wiryadi sambil mengembangkan senyum di akhir
ucapannya. Cuhhh! Jleb! Lingga meludah dengan sikap kasar, membuat lan-
tai langsung amblas. Gurit, Linasih, dan terutama Wiryadi, melihat. Tapi
kemarahan yang hebat membuat
pamer kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi itu tidak sempat diperhatikan.
Wiryadi menggertakkan gigi.
"Rupanya kedatanganmu kemari hanya untuk
mencari keributan, Sobat! Kalau itu maumu, dengan
senang hati akan ku penuhi. Aku, Wiryadi, tidak akan sudi dihina demikian.
Majulah kau...!"
Lingga tersenyum dingin, tidak kelihatan marah
atau tersinggung. Hanya saja sepasang matanya seper-
ti mengeluarkan sinar berapi.
"Aku tidak ingin membuat keributan di sini, Wiryadi. Bahkan kedatanganku dengan
niat baik. Kalau saja kau mau memenuhi permintaanku, dengan tenang aku
akan pergi, setelah memberi tanda mata pada kau dan
dia!" tuding Lingga pada Gurit.
Gurit sampai melangkah maju karena geram meli-
hat tudingan terhadapnya yang jelas merendahkannya!
Tapi langkahnya terhenti, ketika Wiryadi memberi isyarat padanya untuk menahan
sabar. "Katakan permintaanmu, Sobat. Kalau saja bisa,
pasti akan kuberikan," ujar Wiryadi yang lebih suka tidak terjadi keributan.
Suaranya lebih lunak dari sebelumnya.
"Tidak banyak," jawab Lingga dengan senyum dingin, menyiratkan kekejian. "Aku
hanya minta otak anakmu. Dan, gadis itu ikut denganku. Aku yakin, tubuhnya yang
hangat akan membuat malam-malam
yang dingin tidak terlalu menyiksaku lagi."
"Keparat!" bentak Wiryadi keras.
Amarah lelaki ini langsung meluap. Disadari kalau
Lingga memang memperhatikannya. Berbareng benta-
kannya, dia melompat menerjang dengan pukulan ka-
nan kiri bertubi-tubi.
Buk! Buk! "Aaakh...!"
Bunyi keras terdengar dua kali, ketika kepalan Wi-
ryadi tepat mendarat di sasarannya, karena Lingga tidak mengelak sama sekali.
Akibatnya, justru Wiryadi
yang memekik. Pekikan kaget dan ngeri.
*** Gurit Dan Linasih menatap terbelalak, antara he-
ran dan ngeri. Semula sepasang kekasih ini mengira
Lingga yang mengeluarkan jeritan. Tapi sama sekali tidak disangka kalau1
Wiryadilah yang menjerit-jerit.
Tampak Wiryadi meronta-ronta seperti hendak me-
lepaskan diri. Tapi, kedua tangannya seakan telah melekat dengan tubuh Lingga.
Wiryadi tampak terkesiap bukan main. Lelaki ini
merasakan tenaga dalamnya membanjir ke arah Lingga
tanpa bisa dicegahnya sama sekali.
Hanya dalam waktu sebentar saja, Wiryadi merasa
lemas. Dan kalau dibiarkan terus, dia akan mati lemas kehabisan tenaga.
Gurit dan Linasih bisa memperkirakan, apa yang
tengah terjadi terhadap Wiryadi yang semakin lemas.
Kedua kakinya telah menggigil hebat. Dan mereka ti-
dak mau membiarkan Wiryadi mati lemas.
Hampir berbareng, Gurit dan Linasih mencabut
pedang yang tersampir di punggung.
Sring! Sring! Mereka langsung melompat dan mengayunkan sen-
jata ke arah Lingga. Dalam kecemasan melihat kesela-
matan Wiryadi terancam sampai terlupakan kalau tin-
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dakan mereka tidak layak sebagaimana orang-orang
golongan putih.
Tak, takkk! Pedang Gurit tepat menghantam batang leher Ling-
ga. Sedangkan ujung pedang Linasih menghujam ulu
hati. Tapi kedua senjata pusaka itu tidak mampu me-
lukai Lingga sedikit pun. Seakan-akan tubuh Lingga
terdiri dari batu karang!
Tidak hanya itu saja. Kejadian yang menimpa Wi-
ryadi pun terjadi pula pada Gurit dan Linasih. Pedang mereka menempel di tubuh
Lingga. Betapapun seluruh
tenaga dalam dikerahkan, usaha mereka tidak berhasil untuk melepaskan pedang.
Sementara, Lingga tenang-tenang saja. Tidak terli-
hat sedikit pun tanda-tanda kalau mengerahkan tena-
ga dalam. Wajahnya pun dihiasi senyum ejekan penuh
hawa maut , "Menyingkirlah kalian...!"
Lingga menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa,
seperti ayam membersihkan tubuh sehabis bermandi
abu. Akibatnya, tubuh Wiryadi, Linasih, dan Gurit,
terpental ke belakang seperti daun-daun kering diter-bangkan angin.
Brak! Brak! Brak!
Luncuran tubuh mereka baru berhenti ketika me-
nabrak dinding ruangan. Linasih, Gurit, dan Wiryadi
menyeringai kesakitan. Tidak hanya nyeri dan linu
yang dirasakan, tapi juga lemas yang amat. Seluruh
urat-urat mereka seakan dilolosi.
Lingga tidak mempedulikan tiga pengeroyoknya
sama sekali. Kini kakinya terayun menuju sebuah
ruangan lain yang digunakan Lastri untuk mendiam-
kan bayinya. Sementara tangis bayi itu tetap terdengar semakin
keras. Apalagi ketika Lingga mengayunkan kaki menu-
ju ke sana. Rupanya naluri sang jabang bayi yang ma-
sih suci membisikkan adanya ancaman.
Wiryadi bukannya hendak mendiamkan saja. Tapi
dia sudah tidak berdaya lagi. Seluruh tenaganya telah lenyap. Memang dialah yang
paling parah menderita
serangan Lingga.
Meskipun demikian, kekhawatiran yang amat san-
gat akan keselamatan bayinya, membuat Wiryadi men-
dapat tenaga bantuan entah dari mana. Dia yang tadi
tidak mampu berkutik sedikit pun, sekarang mampu
berdiri. Bahkan, mampu menerjang Lingga.
"Lastri...! Cepat tinggalkan tempat ini...! Pergi...!"
seru Wiryadi ketika tubuhnya melayang menerjang
Lingga. Lingga yang mengetahui akan adanya serangan da-
ri belakang, tidak mempedulikannya sama sekali. Baru ketika serangan telah
menyambar dekat, tanpa membalikkan tubuh sedikit pun tangan kirinya mengibas!
Plak! Brak! Untuk yang kedua kalinya, tubuh Wiryadi terhem-
pas ke belakang. Kali ini lebih keras dari sebelumnya dan menabrak dinding!
Tapi, Wiryadi benar-benar tidak mempedulikan
keadaan dirinya. Begitu tubuhnya menyentuh lantai,
dia berusaha menghalangi Lingga. Keadaannya yang
tidak memungkinkan, membuatnya merayap seperti
ular. Gurit dan Linasih hanya bisa menatap tingkah Wi-
ryadi dengan hati trenyuh. Mereka tidak mempunyai
daya sedikit pun untuk memberikan pertolongan.
Keadaan mereka sendiri pun, belum tentu aman
dari bahaya. Terutama sekali Linasih!
Sementara itu, teriakan Wiryadi memang terdengar
Lastri di dalam kamar. Sejak tadi pun, wanita itu mendengar akan adanya
keributan. Bahkan sejak terja-
dinya ribut-ribut mulut. Hanya saja, dia tidak mempedulikannya. Pikirnya,
suaminya ada. Itu pun ditambah Linasih dan Gurit. Dan mereka juga tak kalah
lihai. Jadi apa lagi yang dikhawatirkan" Lastri pun meneng-
gelamkan diri dengan urusan pada bayinya.
Ibu muda ini baru terkejut ketika mendengar se-
ruan suaminya yang sarat kekhawatiran. Sambil
menggendong tubuh bayinya yang masih menangis ke-
ras, Lastri berlari keluar kamar.
"Ohhh..."!"
Tapi langkah Lastri langsung terhenti di ambang
pintu, ketika di depannya telah berdiri Lingga yang penuh ancaman. Lastri
berdiri terpaku dengan wajah pu-
cat. Apalagi ketika melihat suaminya, Gurit, dan Linasih tergolek tanpa daya.
Lastri tahu ketiga orang itu telah dikalahkan pemuda di depannya.
"Berikan bayi itu padaku," perintah Lingga, beringas sambil mengulurkan tangan
seperti orang memin-
ta. Bukannya memenuhi permintaan itu, Lastri malah
mundur-mundur dengan wajah pucat sambil tetap
memegangi bayinya. Melihat ini, Lingga jadi kehabisan sabar. Wajahnya berubah,
bengis penuh hawa maut.
Tangan Lingga yang terjulur, digerakkan secara. ti-
ba-tiba dengan gerakan menarik.
"Auuuw...!"
Lastri menjerit ketika bayi di tangannya seperti di-
tarik tangan raksasa kasatmata. Bayi itu kontan terlepas dari pelukannya dan
melayang ke arah Lingga!
"Kembalikan, Anakku...!" jerit Lastri kalap sambil menghambur ke arah Lingga
dengan kedua tangan
terkembang, siap menerima bayinya kembali.
"Hih...!"
Lingga mendengus sambil mengibaskan tangan ki-
rinya. Buk! Tubuh Lastri melayang ke atas dan menempel lan-
git-langit kamar. Dan sekali lagi tangan pemuda keji ini bergerak. Maka tiga
batang pedang yang tergeletak di lantai melayang ke arah tangan kiri Lingga.
Dengan tangan kanan telah memegang bayi secara
sembarangan, Lingga meniup tiga batang pedang itu.
"Phuh...!"
Bagai dilemparkan tangan terlatih, pedang-pedang
itu melayang ke atas dan menancap di tubuh Lastri.
Crap! Crap! Crap!
"Aaakh...!"
Lastri memekik tertahan. Sedangkan Wiryadi me-
maki-maki Lingga dengan keras, setelah terlebih dulu meratap-ratap memanggil
istrinya yang malang itu.
Lastri menggelepar sejenak, kemudian diam untuk
selamanya. Darah pun mengucur ke bawah dengan de-
ras. Lingga tidak mempedulikan Lastri lagi. Dia malah masuk ke ruangan dalam.
Namun baru beberapa langkah...
Ribuan tempat telah kujelajahi
Ribuan syair ikut menemani
Ribuan penjahat telah kubunuhi
Ribuan mulut si tertindas mensyukuri
Tiba-tiba terdengar bunyi syair yang dikeluarkan
dengan penuh perasaan sedih dan meratap-ratap itu.
Seketika suasana terobek. Semua kepala menoleh ke
arah daun pintu, karena asal suara dari sana.
"Penyair Cengeng...!" desis Wiryadi. Ada harapan membayang pada sepasang matanya
yang berselaput
duka tebal. Benarkah Penyair Cengeng yang datang" Benarkah
Linasih akan lolos dari kekejian Lingga"
SELESAI Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
PENYAIR CENGENG
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 4 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Suling Emas 13
tidak membutuhkan mu lagi. Toh, masih banyak ahli
senjata lain yang bisa kuminta pendapatnya mengenai
pusakaku. Ini peringatan terakhir, Empu. Mau menga-
takan apa pendapatmu..., atau..., semuanya berakhir
di sini"!" desak Lingga.
Empu Lahang Samedi yang sejak tadi hanya me-
nunduk, menatap Lingga dengan sinar mata tajam.
Penuh tantangan!
"Kau boleh bunuh aku, Pemuda Gila! Siksa aku sepuas hatimu! Tapi, Ingat! Kau
tidak bisa memaksakan
untuk melakukan perintahmu! Nah! Tunggu apa lagi"!
Cepat lakukan hal yang kau inginkan!"
Sepasang mata Lingga kontan mengeluarkan sinar
berkilatan yang sarat ancaman. Pemuda ini memang
memiliki watak aneh, tidak suka kalau keinginannya
dibantah. Apabila menginginkan sesuatu, orang harus
melakukannya Tapi, kali ini Empu Lahang Samedi ternyata sudah
nekat. Dibalasnya tatapan pemuda itu dengan berani.
Kakek ini ternyata lebih suka mati secara mengerikan daripada memberi pendapat
mengenai Golok Kilat.
*** "Ayah...!"
Sebuah panggilan nyaring melengking membuat
suasana tegang antara Empu Lahang Samedi dan
Lingga yang tengah saling tatap sedikit terpecahkan.
Wajah kedua tokoh itu berubah. Bila Lingga kelihatan gembira dengan sepasang
mata berbinar-binar, tapi
Empu Lahang Samedi sebaliknya.
"Priyani...! Pergi dari sini...! Cepat..!" seru Empu Lahang Samedi yang membaui
adanya bahaya atas diri
gadis bernama Priyani yang ternyata putrinya. Na-
danya menyiratkan kekhawatiran yang besar.
Kalau menuruti keinginan, ingin rasanya pandai
besi ini melesat ke tempat putrinya berada, dan mem-
bawanya kabur meninggalkan tempat itu. Paling tidak
menjauhi Lingga yang ganas dan keji.
Sayangnya, niat itu lebih mudah dipikirkan dari-
pada dilaksanakan. Untuk menuju ke tempat Priyani,
harus melalui Lingga lebih dulu. Karena pemuda itu
lebih dekat pintu daripada dirinya.
Sementara di luar sana gadis berpakaian kuning,
melangkah memasuki rumah Empu Lahang Samedi
ini. Rambutnya sebahu, dengan tahi lalat kecil di pipi sebelah kiri.
Priyani tadi memang mendengar seruan Empu La-
hang Samedi, dan sempat membuat langkahnya ter-
henti. Bisa dirasakan adanya kekhawatiran yang besar dalam seruan tadi. Dia
tahu, Empu Lahang Samedi tidak akan mengeluarkan peringatan seperti itu, kalau
memang tidak ada sesuatu yang tidak berbahaya.
Sungguhpun demikian, gadis ini tidak segera me-
nuruti anjuran ayahnya untuk meninggalkan tempat
itu selekasnya. Rasa ingin tahu sampai ayahnya demi-
kian khawatir, membuatnya masih tetap ingin mema-
suki ruangan tempat pembuatan senjata milik ayah-
nya. Dan lagi, Priyani memang tidak ingin pergi. An-
daikata benar ada bahaya yang mengancam, mana
mungkin ayahnya ditinggal sendirian menghadapinya.
"Ayah..." Apa yang terjadi..."! Apakah Ayah baik-baik saja"!"
Priyani tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Dia
langsung bertanya, sebelum memasuki ruangan ayah-
nya. "Aku baik-baik saja, Priyani.,.! Kau masuklah...!
Tadi, Ayah hanya bergurau. Ayah hanya ingin melihat
bagaimana kalau ada bahaya mengancam. Apakah kau
akan meninggalkan Ayah. Atau, bersama-sama mela-
wan bahaya itu?"
Seruan ini membuat keragu-raguan Priyani pupus.
Dengan langkah-langkah lebar, maksudnya diteruskan
untuk masuk ke dalam ruangan khusus ayahnya,
Begitu masuk, seketika itu juga wajah Priyani yang
berseri-seri berubah. Dia melihat Empu Lahang Same-
di menempel di dinding dengan kedua tangan dan kaki
terentang. Semula, disangka ayahnya bergurau lagi.
Tapi ketika melihat wajah dan sinar matanya, Priyani bisa menduga akan adanya
hal-hal yang tidak beres.
Tanpa menyadari adanya kehadiran sosok lain di
ruangan ayahnya ini, Priyani mendekati Empu Lahang
Samedi. "Ayah...! Apa yang terjadi..."!" tanya Priyani kaget, sambil menghampiri.
Namun mendadak langkah Priyani terhenti satu
tombak di depan Empu Lahang Samedi, yang berarti
telah melewati sosok Lingga yang berdiri di belakangnya. Pemuda itu hanya
tersenyum dengan tangan ber-
sedekap. Dan berhentinya Priyani bukan karena ke-
mauannya, tapi karena kedua kakinya tidak bisa dige-
rakkan. Sepasang kakinya tidak mampu diangkat,
seakan-akan digayuti batu sebesar gajah. Amat berat!
"Aku tidak apa-apa, Priyani. Aku hanya bergurau saja."
Priyani yang terkejut bukan main, makin terperan-
gah ketika mendengar ucapan terhadapnya. Jelas ter-
dengar bahwa suara itu milik ayahnya. Tapi, mulut
Empu Lahang Samedi tidak berkemik sama sekali.
Priyani memang gadis gemblengan dengan kepan-
daian cukup tinggi. Dan dia tahu, ayahnya juga berkepandaian tinggi. Dia pun
telah mendengar tentang il-
mu yang membuat orang berbicara tanpa menggerak-
kan bibir. Tapi, disadari betul kalau ayahnya tidak
memiliki ilmu ini karena tingkat kepandaiannya tidak setinggi itu. Ini berarti
bukan ayahnya yang berbicara.
Yang lebih mengejutkan suara itu ternyata berasal
dari belakang Priyani. Dengan gerakan perlahan-lahan, gadis ini berbalik. Kalau
saja gadis ini mampu menggerakkan kaki, tentu sudah terlompat ke belakang. Tapi
karena tidak, tubuhnya saja yang terlonjak.
Di depan Priyani, tampak Lingga berdiri dengan
wajah dingin sambil menyeringai keji.
Priyani sekarang mengerti, dua ucapan terakhir ta-
di keluar dari mulut Lingga. Sedangkan Ayahnya
hanya bicara sekali. Setelah itu, Lingga yang bicara.
Tentu saja setelah lebih dulu membuat Empu Lahang
Samedi tidak berkutik.
Kakek kurus kering itu tak mampu berbuat apa-
apa, karena kaki, tangan, maupun mulutnya seperti
lumpuh. Entah dengan cara bagaimana, Priyani tidak
tahu. Yang jelas, gadis ini tahu kalau Lingga memiliki kepandaian tinggi.
Ayahnya yang dilumpuhkan oleh
pemuda itu, menjadi bukti nyata kebenaran dugaan-
nya. Kendati demikian, Priyani tidak menjadi gentar.
Dengan sorot mata penuh kebencian, ditatapnya Ling-
ga. Namun yang ditatap malah tenang-tenang saja,
membuat kemarahan gadis itu berkobar hebat.
*** 8 "Manusia jahat! Apa salah ayahku, sehingga kau
berlaku kejam terhadapnya"! Kalau memang jantan,
bebaskan dia! Lepaskan juga aku dari pengaruh sihir-
mu ini! Kita bertarung sampai salah satu ada yang
menggeletak tak bernyawa!" desis Priyani, kalap.
Lingga tidak menunjukkan gambaran perasaan
apa-apa mendengar kata-kata gadis itu yang lantang
dan keras berisi jiwa ksatria! Kalau menuruti keinginan, Lingga malas
meladeninya. Yang penting baginya
adalah Golok Kilat harus segera mampu mengeluarkan
kedahsyatannya lagi. Sesegera mungkin! Agar dia da-
pat pula melenyapkan Dewa Arak, orang yang paling
dibencinya. Tapi, Lingga memang berwatak keji. Tantangan
yang diberikan Priyani, membuat benaknya berputar.
Dicarinya cara mengenai tindakan yang akan dilaku-
kan terhadap gadis berpakaian kuning itu.
"Kalau itu yang kau mau, ku penuhi permintaan-mu, Nona Manis," sambut Lingga,
tenang dan datar.
Pemuda itu kemudian mengepretkan jari-jari kedua
tangannya, Seperti orang yang membuat tetesan air
yang menempel. Tes! Tes! Baik Empu Lahang Samedi, maupun Priyani seke-
tika merasakan beberapa bagian tubuh mereka seperti
tersentuh jari-jari tangan. Kini mereka pun mampu
bergerak kembali seperti sediakala.
"Priyani! Cepat pergi dan selamatkan dirimu! Biar Ayah yang mencoba menahannya!"
ujar Empu Lahang Samedi, keras sarat kekhawatiran.
Berbareng keluarnya ucapan itu, Empu Lahang
Samedi melompat ke depan. Dia berdiri di depan pu-
trinya. Sikapnya terlihat melindungi sekali.
"Tapi, Ayah...," Priyani mencoba untuk memban-tah. "Aku telah berjanji bertarung
dengannya sampai mati. Tidak mungkin aku mengingkari janji yang telah kubuat
sendiri." "Jangan bodoh, Priyani! Bagi orang jahat seperti pemuda itu, janji tak ubahnya
kotoran! Tak ada harga lagi! Cepatlah pergi tinggalkan tempat ini!" sergah Em-pu
Lahang Semadi, tak sabar.
Priyani bimbang. Hatinya berperang antara meme-
gang janji dengan memenuhi perintah ayahnya..!
Sementara Lingga yang melihat dan mendengar
pertengkaran ayah dan anak itu menatap wajah dan
sinar mata dingin, bagaikan patung batu. Dia tidak
khawatir kalau Priyani kabur dari situ. Karena Lingga yakin, akan dapat
mencegahnya. Empu Lahang Samedi semakin merasa khawatir
akan nasib putrinya. Maka kesabarannya jadi hilang
melihat gadis itu malah berdiam diri. Dan....
"Heaaat...!"
Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, kakek ini
melompat menerjang Lingga, setelah menyambar seba-
tang tombak pendek.
Namun Lingga tidak mengelak sedikit pun. Maka....
Tak! Telak sekali ujung tombak baja hitam yang kuat
milik Empu Lahang Samedi mendarat telak di dada
pemuda itu. Empu Lahang Samedi dan Priyani yang semula
gembira melihat keberhasilan serangan itu, berganti
kaget ketika melihat serangan tidak berpengaruh apa-
apa terhadap Lingga. Ujung tombak yang tajam itu ti-
dak mampu menembus kulit tubuhnya, kecuali hanya
menempel saja! "Heh"!"
Empu Lahang Samedi cepat sadar dari kagetnya.
Dia tahu, pemuda ini memiliki kekebalan. Entah kare-
na kuatnya tenaga dalam yang dimiliki, atau karena
memang mempunyai ilmu aneh!
Maka tanpa menunggu lebih lama, kakek kurus
kering ini menggerakkan tangan.
Empu Lahang Samedi bermaksud menyerang ba-
gian pelipis kiri melalui sebuah babatan. Namun, maksudnya tidak kesampaian.
Tombaknya bagai menyatu
dengan dada Lingga. Jangankan bisa dibabatkan. Un-
tuk digerakkan pun tidak dapat!
"Heaaat...!"
Empu Lahang Samedi masih nekat. Dipaksakannya
juga untuk meneruskan maksudnya. Tapi, kegagalan
pula yang didapatkan.
Lingga menyeringai kejam. Empu Lahang Samedi
jadi gentar bukan main. Pegangannya terhadap gagang
tombak segera dilepaskan untuk dapat menyela-
matkan diri. Tapi....
"Heh"!"
Empu Lahang Samedi kebingungan ketika telapak
tangannya tidak bisa dilepaskan dengan batang tom-
bak. Maka hatinya, mulai merasakan adanya bahaya
besar. Tampak perut pemuda itu mulai bergolak. Naik
turun bergelombang. Karena tangannya menempel
dengan tombak, Empu Lahang Samedi mulai meneri-
ma akibatnya. Tubuhnya kontan berguncang-guncang.
"Huk! Uhugkh!"
Guncangan itu ternyata membuat Empu Lahang
Samedi terbatuk-batuk. Dan pada setiap batuk yang
keluar, memercikkan darah segar. Jelas, dia telah terluka dalam.
Priyani kaget, melihat betapa mudahnya Lingga
melumpuhkan ayahnya. Dia terkesima di tempatnya
tak tahu harus bertindak bagaimana.
Sementara guncangan pada Empu Lahang Samedi
semakin keras. "Ohhh...!"
Dan bertepatan dengan terdengarnya keluhan ter-
tahan dari mulut Priyani, tubuh Empu Lahang Samedi
terlempar deras ke belakang, langsung menghantam
dinding dengan keras.
"Ayah...!"
Priyani berseru kaget, berniat menghambur menu-
ju ayahnya. Tapi maksudnya kandas, ketika Lingga
mengembangkan kedua tangan. Tindakannya seperti
orang tengah menarik. Maka seketika tubuh gadis ber-
pakaian kuning itu tertarik ke arah Lingga.
"Auuu www.,.!"
Priyani meronta-ronta ketika tubuhnya tahu-tahu
telah berada dalam rangkulan Lingga. Tapi tindakan-
nya langsung berhenti, ketika Lingga menekan ba-
hunya. Tubuhnya langsung lunglai.
"Lepaskan dia, Pemuda Telengas! Dia tidak ada
sangkut pautnya dengan urusan kita!" teriak Empu Lahang Samedi berusaha bangkit
dengan limbung.
Langkahnya gontai ketika berusaha berjalan.
"Bagiku tidak demikian, Empu Lahang!" ejek Lingga penuh kemenangan. "Mungkin
menurutmu, gadis ini tidak ada urusannya dengan kita. Tapi bila aku menganggap
sebaliknya, kau mau apa Tua Bangka"!"
"Biadab!" desis Empu Lahang Samedi penuh kegeraman. Hanya sampai sebatas
demikian tindakan yang
dilakukannya. "Kau boleh bicara apa saja, Empu Lahang! Tapi, ingat! Keselamatan putrimu ini
berada di tanganmu.
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apabila kau mau memenuhi permintaanku, mengata-
kan apa yang kau ketahui tentang golok di tanganmu,
aku akan membebaskannya. Kubiarkan dia pergi dari
sini dalam keadaan hidup!" ancam Lingga.
Lingga menutup ucapannya dengan mengeratkan
pelukan tangan kiri. Wajahnya disusupkan di leher
Priyani, menciumi leher mulus berkulit putih halus itu.
Empu Lahang Samedi menggertakkan gerahamnya
melihat pemandangan ini. Dia tahu Priyani terancam
bahaya mengerikan. Gadis itu sendiri tidak mampu
berbuat apa-apa untuk mencegah selain keluhan-
keluhan lirih. Tingkah Lingga semakin menggila. Hanya sekali
renggut. Brettt! Pakaian Priyani di bagian dada sampai ke perut
koyak lebar. Seketika bukit kembar yang berbentuk
indah menggiurkan dengan puting susu merah segar
segera menyembul keluar.
Lingga semakin buas dalam cekaman nafsunya.
Wajahnya disusupkan di antara dua bukit kembar
yang berbentuk indah menggiurkan itu.
"Hentikan...!" teriak Empu Lahang Samedi, tak kuat lagi bertahan.
Maksud hati kakek ini hendak berteriak keras. Tapi
karena keadaannya memang tengah payah, teriakan-
nya tak ubahnya keluhan lirih orang menjelang ajal.
Meski demikian, Lingga mendengar. Dan tindakan-
nya pun dihentikan. Sepasang matanya yang memerah
dan napasnya yang memburu, menjadi pertanda kalau
nafsunya tengah bergolak. Tapi keinginannya yang le-
bih besar untuk mengetahui pendapat Empu Lahang
Samedi mengenai Golok Kilat, membuatnya mampu
meredamnya. "Bagaimana, Empu"! Kau masih bersikeras meno-
lak"!" tanya Lingga, mengambang.
"Kau memang licik, Pemuda Telengas!" Empu Lahang Samedi malah memaki. Tidak
mempedulikan ucapan Lingga. "Kau tidak memberi ku pilihan lain!
Tapi, apakah kau bisa memegang janji?"
"Tentu saja!" tandas Lingga, mantap. "Aku berjanji akan membebaskan Priyani jika
kau mau memberi
pendapat mengenai Golok Kilat!"
Empu Lahang Samedi tercenung setelah menden-
gar janji Lingga. Dia tahu betul, orang macam apa
Lingga ini. Tindakannya harus sangat hati-hati kalau tidak ingin tertipu mentah-
mentah! "Masih kurang, Manusia Keji! Ucapkan juga sang-
sinya, apabila kau melanggar!"
Sepasang mata Lingga berkilat penuh hawa maut
Pemuda ini memang paling tidak senang diatur. Tapi
perasaan ingin tahu atas pendapat Empu Lahang Sa-
medi tentang Golok Kilat, membuatnya mampu mene-
lan perasaan marah.
"Baik!" geram Lingga. "Apabila aku melanggar janji dengan tidak membebaskan
Priyani, maka leherku
akan kugorok sendiri. Janjiku ini kubuat berdasarkan kehormatanku!"
Empu Lahang Samedi tersenyum puas. Dia tahu,
betapapun bejatnya Lingga, tidak akan mungkin me-
langgar janjinya yang bersangsi mengerikan!
Dan memang, Lingga langsung membuktikannya.
Pemuda ini langsung mendorong tubuh Priyani ke arah
orang tuanya, setelah membebaskan totokan yang
membuat gadis itu lemas.
Empu Lahang Samedi buru-buru mengulurkan
tangan, menangkap tubuh putrinya.
Priyani yang telah berhasil bebas dari totokan,
hanya membiarkan tubuhnya dipeluk ayahnya seben-
tar. Namun dengan halus tapi penuh tekanan gadis ini meronta.
Empu Lahang Samedi tidak menghalangi sama se-
kali. Dibiarkan saja ulah putrinya. Tapi tindakan
Priyani ternyata tidak berhenti hanya sampai di situ.
Pisau putih berkilat yang terselip di pinggangnya langsung dicabut. Kemudian dia
hendak bergerak ke arah
Lingga. "Hih...!" .
Keinginan Priyani ternyata tidak sesuai perkiraan
nya. Sebelum maksudnya terlaksana, Empu Lahang
Samedi yang meskipun telah melepaskan putrinya dari
pelukan, tapi tidak mengendurkan kewaspadaan. Begi-
tu melihat Priyani bergerak, lebih dulu tangannya cepat mencekal pergelangan
tangan putrinya ini.
"Lepaskan, Ayah...! Lepaskan...! Biar kubunuh pemuda jahanam itu...!" jerit
Priyani sambil meronta-ronta.
"Tidak akan kulepaskan kau, Priyani. Kecuali kalau menginginkan ayahmu menjadi
seorang pengecut hina
yang menjilat ludahnya sendiri. Apabila kau suka,
dengan senang hati maksudmu ku penuhi," sahut Em-pu Lahang Samedi, tenang.
Kendati demikian di dalam
ketenangan itu terkandung ketegasan.
Mendengar ucapan ayahnya, Priyani pun lemas.
Urat-urat dan otot-ototnya yang tadi menegang kaku
melemas kembali. Tentu saja dia tidak ingin ayahnya
jadi seorang pengecut. Maka meski dengan hati berat, maksudnya diurungkan.
"Ayah tidak memberi ku pilihan lain," keluh Priyani, bernada menyalahkan.
"Lebih baik kau segera tinggalkan tempat ini,
Priyani. Aku masih mempunyai urusan lain dengan-
nya," perintah Empu Lahang Samedi, meski diusahakan tidak kentara. Maksudnya
tentu saja untuk me-
nyelamatkan Priyani. Karena, meski percaya kesung-
guhan janji Lingga, kakek kurus kering ini tidak berani mengambil bahaya terlalu
besar. "Apakah Ayah tidak suka aku berada di sini..."!
Ayah lebih suka aku pergi dari sini"!"
Priyani menatap wajah ayahnya lekat-lekat sambil
mengucapkan perkataan demikian. Sengaja diguna-
kannya kalimat demikian, untuk membuat ayahnya
mati kutu. Priyani ingin menemani ayahnya. Dia ingin tahu, urusan apa yang
menyebabkan Lingga begitu
bersemangat memaksa ayahnya berbicara.
"Mengapa kau bisa menarik kesimpulan seperti itu,
Priyani"!" tanya Empu Lahang Samedi sambil mengerutkan kening. Heran atas dugaan
putrinya terhadap-
nya. "Kalau tidak, tentu Ayah akan membiarkanku di sini. Ayah, seharusnya merasa
senang ku temani," sahut Priyani, cepat.
Empu Lahang Samedi tidak bisa memberi banta-
han lagi, kecuali mengangkat kedua bahunya. Dia ka-
lah pandai bicara.
Memang, Priyani bukan jenis gadis yang pandai
berbicara. Tapi bila dibandingkan Empu Lahang Sa-
medi, tentu saja gadis itu lebih unggul.
Lingga tidak memberi gambaran perasaan apa-apa
melihat akhir silang pendapat antara Empu Lahang
Samedi dengan putrinya. Sejak tadi dia malah me-
nunggu berakhirnya adu pendapat itu dengan pera-
saan sabar. "Sudah selesai urusan kalian"!" tanya Lingga setelah Priyani dan ayahnya tidak
bersuara lagi. Nadanya datar dan dingin. "Kalau memang sudah selesai, sekarang
penuhi janjimu, Lahang!"
Sambil menghela napas berat beberapa kali, Empu
Lahang Samedi mulai memperhatikan Golok Kilat di
tangannya. Hanya sebentar saja, kemudian pandan-
gannya dialihkan pada Lingga.
Lingga sendiri sejak tadi memang memperhatikan
semua gerak-gerik Empu Lahang Samedi. Terlihat jelas adanya sorot keingintahuan
dalam pandang mata pemuda berpakaian merah itu.
"Golok Kilat ini telah kehilangan keistimewaannya.
Hal seperti ini terjadi, karena telah lama tidak dipergunakan," jelas Empu
Lahang Samedi, satu-satu.
"Aku telah mengetahui hal itu, Empu Lahang," sahut Lingga, dingin. "Lalu, yang
lainnya...?"
Empu Lahang Samedi kelihatan bingung.
"Katakan cepat, Empu! Atau..., kau lebih suka melihat kesabaranku hilang"
Begitu"!"
"Untuk memulihkan kembali keistimewaannya, di-
butuhkan polesan yang mempergunakan campuran
otak bayi dan darah perawan. Polesan terus dilakukan sampai khasiatnya muncul.
Dan itu bisa diketahui
dengan adanya bunyi guntur di langit!"
Lingga mengangguk-angguk, merasa puas dengan
keterangan yang diberikan. Sekali tangannya diulur-
kan, golok yang berada di tangan Empu Lahang Same-
di melayang ke arahnya. Dan dengan enaknya pemuda
ini menangkapnya.
"Apakah keterangan yang kuberikan cukup"!"
tanya Empu Lahang Samedi sambil tersenyum pahit.
Di dalam hati, kakek kurus kering ini merasa me-
nyesal telah memberi keterangan itu. Hal ini berarti ancaman maut bagi bayi-bayi
dan perawan-perawan,
mengingat Lingga memang berwatak keji!
Lingga hanya mengangguk kaku.
"Berarti urusan antara kita sudah selesai bukan?"
tanya Empu Lahang Samedi, meminta kepastian.
"Siapa bilang"!" kilah Lingga, membuat Empu Lahang Samedi terlonjak kaget bagai
disengat kalajengking. "Urusan kita tetap ada! Bahkan terhadap nona cantik itu."
Wajah Empu Lahang Samedi berubah. Gigi-giginya
bergemelutuk, menahan geram karena merasa diper-
mainkan. Di lain pihak, Priyani mendelik! Sekujur otot-otot dan urat tubuhnya
menegang kembali.
"Kau hendak mengingkari janjimu, Anak Muda"!
Apakah sangsi yang kau tujukan atas dirimu sendiri
hanya omong kosong belaka"! Haruskah aku men-
ganggap ucapanmu tak ubahnya salakan seekor anjing
buduk"!"
Lingga mendengus.
"Rupanya kau tidak menyimak ucapanku, Tua
Bangka! Ingat-ingatlah semua ucapanku!"
"Aku bukan bocah kemarin sore yang tidak men-
gerti perkataan orang, Pemuda Sombong! Jelas terden-
gar dan tertangkap telingaku, kau mengatakan akan
membebaskan putriku apabila bersedia menuruti pe-
rintahmu!"
"Itu memang benar!" sambung Lingga, cepat
"Lalu, mengapa kau sekarang hendak melanggar
janjimu sendiri"!" desak Empu Lahang Samedi, tanpa menyembunyikan rasa
penasarannya. "Aku tidak melanggar janjiku, dan tidak akan pernah! Putrimu sesuai perjanjian,
akan kubebaskan!
Hanya saja waktunya tidak sekarang! Nanti setelah
urusanku dengannya selesai, baru dia kulepaskan!
Apakah itu artinya aku melanggar janji"! Tidak bu-
kan"! Kau saja yang tidak teliti!"
"Keparat licik! Aku akan mengadu nyawa dengan-
mu! Hiaaat..!"
Empu Lahang Samedi melompat menerjang, dis-
usul Priyani di belakangnya.
"Hih!"
Tapi hanya dua kibasan tangan, Lingga mampu
membuat tubuh Empu Lahang Samedi terjengkang ke
belakang. Sedangkan tubuh Priyani tertarik ke depan.
Tepat ketika tubuh Empu Lahang Samedi memben-
tur dinding, tubuh Priyani terjatuh ke dalam pelukan Lingga. Gadis berpakaian
kuning ini meronta-ronta,
namun hasilnya sia-sia belaka.
Rontaan Priyani berhenti ketika tangan Lingga me-
nekan bahunya. "Chuh!"
Sambil membuang ludah, pemuda berpakaian me-
rah itu melesat meninggalkan tempat ini.
"Penjahat keji! Hendak lari ke mana kau..."! Jangan harap aku akan membiarkanmu
bertindak seme-
na-mena...!" teriak Empu Lahang Samedi, terhuyung-huyung ketika bangkit
Empu Lahang Samedi tak mempedulikan kepa-
lanya yang masih pening dan pandangannya yang ma-
sih berkunang-kunang. Segera, dikejarnya pemuda
yang menculik putrinya.
Empu Lahang Samedi tak menghentikan pengeja-
rannya, kendati tubuh Lingga semakin mengecil di ke-
jauhan. Sambil mengejar, dia memaki-maki tak ka-
ruan. *** 9 "Itulah Gua Iblis, Dewa Arak!"
Seruan bernada pemberitahuan yang diikuti tudin-
gan jari keluar dari mulut Setan Kepala Besi. Saat itu, lelaki berkepala botak
itu bersama Dewa Arak berada
berjarak sepuluh tombak dari sebuah tebing berbentuk tengkorak yang mempunyai
sebuah gua yang kelihatan
gelap pekat. Arya harus mengakui kalau nama Gua Iblis tidak
terlalu berlebihan. Sesuai sekali nama dengan kenya-
taannya. Di sinikah tempat tinggal dua kakek penculik Nuri" Begitu batin pemuda
ini. "Apa yang akan kau lakukan, Kek"!" tanya Arya, ingin tahu.
"Aku akan masuk ke dalam sana. Kau tunggu saja
dulu di sini. Aku ingin mencoba membujuk mereka un-
tuk tidak membawa-bawa Nuri dalam masalah ini. Kau
tidak keberatan, Dewa Arak"!" sahut Setan Kepala Be-si. Arya tersenyum dan
menggeleng. Dalam hati, pe-
muda berambut putih keperakan ini merasa kagum
bukan main dengan kemajuan Setan Kepala Besi! Le-
laki ini benar-benar telah berpaling dari jalan sesatnya.
Sampai-sampai, sifatnya demikian berubah. Hanya un-
tuk menyuruhnya menunggu, lelaki ini menanyakan
lebih dulu! "Terima kasih, Dewa Arak! Percayalah, aku tidak akan lama...!"
Gema suaranya masih terdengar, tapi tubuh Setan
Kepala Besi telah melesat cepat mendekati mulut gua!
Arya memperhatikan hingga Setan Kepala Besi le-
nyap di dalam gua. Ketajaman sepasang telinganya di-
kerahkan, agar bisa mendengar bunyi-bunyi tak wajar
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari dalam gua. Apabila itu terjadi, Dewa Arak tidak bisa tinggal diam lagi.
Terpaksa kesepakatan yang dibuatnya bersama Setan Kepala Besi tadi dilanggar.
Kening Arya berkerut. Keheranan melingkupi ha-
tinya, ketika melihat Setan Kepala Besi keluar dari dalam gua. Padahal, dia baru
saja masuk. Meski merasa ingin tahu, pemuda berambut putih
keperakan ini tetap diam. Bahkan ketika akhirnya Se-
tan Kepala Besi berhenti didekatnya, Arya tidak men-
gajukan pertanyaan sama sekali.
"Benarkah mereka mengatakan tempat ini, Dewa
Arak" Apakah bukan tempat lain"!" tanya Setan Kepala Besi sambil menatap wajah
Arya penuh selidik.
"Aku tidak keliru, Kek. Jelas sekali kutangkap perkataannya. Gua Iblis! Apakah
saya yang salah"!" Arya ganti bertanya, meski telah bisa memperkirakan akan
apa yang telah terjadi.
"Gua itu kosong, Dewa Arak! Tidak ada siapa pun di dalamnya!" sahut Setan Kepala
Besi tandas dengan suara kering.
Wajah Arya tidak berubah sungguhpun perasaan
kaget yang luar biasa menyergapnya. Pemuda ini me-
mang pandai menguasai perasaan. Sehingga apa yang
bergejolak di hati, tidak terlihat pada wajahnya.
"Mungkinkah mereka sengaja berbohong"!" duga Arya.
Setan Kepala Besi menggeleng lemah.
"Mereka bukan sejenis orang-orang berwatak se-
perti itu."
Suasana hening. Masing-masing tenggelam dalam
alun pikirannya. Pada wajah Setan Kepala Besi terlihat jelas adanya gambaran
kecemasan. "Hanya ada dua kemungkinan, Kek," ujar Arya memecah keheningan. "Pertama, mereka
berubah pikiran. Sedangkan yang kedua, ada halangan yang meng-
hadang mereka. Memang, kedua kemungkinan itu pun
rasanya mustahil. Tapi, tidak ada jawaban lainnya."
Setan Kepala Besi diam. Di lubuk hatinya, harus
diakui kalau kemungkinan yang diberikan Dewa Arak
bisa saja terjadi.
"Kurasa rencana mereka berubah, Dewa Arak. Aku
tidak bisa berdiam diri menunggu di sini tanpa adanya kepastian mengenai keadaan
muridku. Aku akan mencari tahu keadaannya sekarang juga!"
"Boleh aku menyumbang tenaga, Kek"!" tanya Arya, karena melihat lelaki berkepala
botak itu seperti tidak memerlukannya.
"Tentu saja, Dewa Arak! Tapi kurasa, lebih baik ki-ta berpencar agar kemungkinan
untuk menemukannya
menjadi lebih besar. Kau boleh melakukan tindakan
apa saja. Yang penting, Nuri selamat! Aku pergi dulu, Dewa Arak!"
Arya hanya bisa mengangguk. Namun Setan Kepala
Besi tidak bisa melihatnya, karena telah berada beberapa tombak di depan.
Arya memandangi hingga tubuh Setan Kepala Besi
sudah tidak terlihat lagi. Kemudian, setelah menghela napas berat, tubuhnya
berbalik dan melesat ke arah
yang berbeda. *** Aduhai dunia Dari dulu sampai sekarang
Kau tidak pernah berubah
Selalu bergolak tak pernah tenang
Angkara murka merajalela
Hawa maut melingkupi bumi
Akankah sang Pendekar Perkasa
Mampu mempertunjukkan gigi
Nyanyian yang didendangkan berirama dengan na-da enak didengar menyelusup masuk
ke dalam telinga
Dewa Arak. Tidak keras bunyinya, tapi pemuda be-
rambut putih keperakan ini terkejut bukan main.
Keterkejutan Arya karena bunyi yang tidak keras
itu mampu membuat dadanya bergetar. Setiap kata
dalam nyanyian, menimbulkan getaran pada dada se-
bagaimana layaknya jika orang mendengar bunyi be-
duk! Kalau bunyi pelan saja dapat menimbulkan pen-
garuh seperti ini, apa pula akibatnya bila bunyi itu keras"!
Arya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat
dari biasanya. Pemuda ini yakin pasti pemilik nyanyian
itu memiliki tenaga dalam amat kuat. Dan seketika
pendengarannya dipusatkan untuk bisa mengetahui
asal bunyi itu. Tapi walau telah seluruh kemampuan-
nya dikerahkan, yang dapat ditangkap benar-benar ti-
dak masuk akal! Bunyi itu berasal dari atas!
Dewa Arak sadar, pemilik nyanyian itu sengaja
mengecoh. Dan kenyataan ini semakin menambah ke-
terkejutannya. Pemuda ini semakin yakin, pemilik
nyanyian itu memiliki tenaga dalam luar biasa kuat.
Karena hanya tokoh yang memiliki kekuatan tenaga
dalam sukar diukurlah yang dapat memindahkan te-
naga dalam. "Mengapa harus menujukan pandangan ke tempat
yang tidak mungkin" Teruskan langkahmu. Dan, tuju-
kan pandanganmu ke arah langkah kakimu. Maka kau
akan menemukan apa yang kau cari, Pendekar Muda."
Wajah Arya memerah karena malu mendengar te-
guran itu. Kepalanya memang menengadah untuk me-
lihat ke langit. Dia menduga barangkali pemilik nya-
nyian itu menaiki burung. Namun sama sekali tidak
disangka kalau tingkahnya diketahui. Secara membuta
Arya mengikuti petunjuk itu yang diyakini berasal dari mulut yang sama dengan
suara nyanyian itu.
Seraya mengayunkan kaki, benak Dewa Arak men-
duga-duga siapa pemilik nyanyian itu. Dia memang
merasa telah mengenai Atau, setidak-tidaknya telah
pernah mendengar suara seperti itu. Bukan dalam
bentuk nyanyian, tapi dalam percakapan biasa, seperti teguran yang berisi
petunjuk tadi. Mendadak saja Arya sampai terjingkat ke belakang,
tanpa sadar ketika menatap lurus ke depan dengan
mata terbelalak. Sorot keterkejutan tampak jelas pada sinar matanya.
Sekitar empat tombak di depan Arya, tampak seso-
sok tubuh kurus terbaring membelakangi. Dan yang
membuatnya kaget bukan main, sosok yang terbung-
kus pakaian abu-abu itu berbaring di atas selembar
daun pisang yang kebetulan pohonnya tidak terlalu
tinggi. Untuk kedua kalinya Arya terkejut. Dan dia yakin,
sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang de-
mikian tinggi, sampai-sampai daun pisang yang ditidurinya tidak melengkung sama
sekali! Seakan-akan
yang berada di atasnya hanyalah sehelai daun kering
Dan Arya semakin yakin kalau pernah bertemu,
ketika memperhatikan lebih seksama sosok di atas
daun pisang itu. Hanya saja kapan dan di mana, dia
lupa. Dengan pandang mata tak lepas dari sosok abu-
abu itu, Arya terus melangkah mendekat. Dan ketika
jaraknya tinggal tiga tombak lagi...
Tas! Pelepah daun pisang tempat tubuh sosok abu-abu
berada putus seperti terbabat benda tajam.
Arya terpaksa menghentikan langkahnya ketika
melihat pelepah daun pisang itu melayang membawa
sosok abu-abu, ke arahnya.
Seperti memiliki nyawa, daun pisang itu mendarat
di tanah dalam keadaan berdiri mempergunakan ujung
pelepahnya. Hal ini membuat sosok abu-abu yang rebah miring,
jadi ikut berdiri.
"Ki Jaran Sangkar...!" seru Arya gembira, begitu melihat wajah sosok abu-abu
itu. Arya bisa mengenali setelah sosok itu menghadap-
nya. Sosok abu-abu yang ternyata seorang kakek yang
selama ini dikenal Dewa Arak sebagai Jaran Sangkar,
tersenyum getir.
"Selamat berjumpa lagi, Dewa Arak. Mudah-
mudahan saja kau tidak jemu bertemu denganku,"
sambut kakek berpakaian abu-abu ini sambil terse-
nyum. Senyum khasnya yang telah amat dikenal Dewa
Arak. "Kau pandai bergurau, Ki. Pantas dalam usia setua ini kau tetap kelihatan
sehat," balas Arya berbasa-basi.
"O, ya. Aku hampir tidak pernah menyangka-nyangka kalau kau pandai bersyair...."
"Sayangnya suaraku jelek. Bukan begitu, Dewa
Arak"!"
"Sama sekali tidak, Ki!" sergah Arya menggeleng.
"Bahkan sebaliknya. Indah. Kalau saja aku tidak men-genalmu lebih dulu, mungkin
kau yang kuanggap se-
bagai si Penyair Cengeng...."
"Aku memang orang yang kau maksudkan itu, De-
wa Arak" Wajah Arya berubah hebat.
"Apakah aku tidak salah dengar, Ki"! Kau.... Maksudku..., kau tokoh yang
berjuluk si Penyair Cengeng itu"!"
Pemuda berambut putih keperakan ini memang
pernah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Pe-
nyair Cengeng. Seorang tokoh sakti yang julukannya
lima puluh tahun menjulang tinggi di dunia persilatan.
Tokoh berkepandaian tinggi itu senantiasa menden-
dangkan syair-syair sedih, sehingga dijuluki Penyair Cengeng. Tapi julukannya
langsung lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Tidak ada seorang pun yang tahu,
ke mana perginya tokoh aneh itu. Dan sekarang Jaran
Sangkar mengaku kalau dirinya yang berjuluk Penyair
Cengeng! "Benar, Dewa Arak," sahut Jaran Sangkar men-
gangguk. "Akulah tokoh yang kau maksudkan. Karena merasa tua dan jemu dengan
dunia persilatan yang selalu berbau darah, aku mengundurkan diri ke Gunung
Jawul. Dan aku menamakan diri sebagai Jaran Sang-
kar yang kau kenal. Masalahnya, aku telah lupa den-
gan nama asliku sendiri...."
Arya diam, karena terlalu kaget mendengar kete-
rangan yang sama sekali tidak disangka-sangka.
"Lalu.... Maksud kedatanganmu ke tempat ini..."
Dan, keberadaanmu yang aneh itu, Ki.... Eh! Bagaima-
na aku harus menyebutmu"! Jaran Sangkar atau Pe-
nyair Cengeng"!" tanya Dewa Arak, agak terpatah-patah.
"Aku sebenarnya tidak terlalu mementingkan masalah sebutan, Dewa Arak. Apa pun
jadi," jawab si Penyair Cengeng sambil menghela napas berat "Tapi untuk
menghilangkan kesan pengecut karena selama ini
aku menyembunyikan julukan, dan juga karena aku
mencoba jujur, tidak hanya padamu, tapi lebih khusus pada diriku sendiri...,
lebih baik kau sapa aku dengan panggilan Penyair Cengeng."
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda
mengerti. "Kedatanganku kemari hanya untuk memberitahu-
kan mu, Dewa Arak," tambah Penyair Cengeng. "Sebuah pusaka yang dulu dibuat
seorang pandai besi
yang sesat, dan selama ini berada di tangan seorang
pendekar golongan putih, telah jatuh ke tangan seo-
rang yang berwatak keji. Banjir darah kembali akan
berlangsung, Dewa Arak. Kau harus mencegahnya!"
"Tentu saja, Penyair Cengeng. Itu sudah merupa-
kan kewajibanku selaku seorang pendekar. Aku akan
berusaha mencegah terjadinya angkara murka di du-
nia persilatan. Hanya saja, aku belum jelas dengan
pernyataan yang kau berikan. Bisa lebih diperjelas"!"
tandas Dewa Arak, mantap.
"Begini. Puluhan tahun lalu, seorang pandai besi membuat sebuah pusaka yang
diberinya nama Golok
Kilat. Sesuai namanya, golok itu benar-benar mengerikan. Bahan dasar pusaka itu
sebenarnya biasa saja.
Namun campurannya, membuat golok itu menjadi sen-
jata pusaka yang ampuh! Kau tahu apa campurannya,
Dewa Arak?"
Arya menggeleng.
"Darah wanita yang masih perawan dan otak bayi!"
tandas Penyair Cengeng, setengah mengutuk.
Arya kontan menahan rasa mual mendengarnya.
"Golok Kilat itu," sambung Penyair Cengeng, tak sabar. "Selama beberapa belas
tahun terakhir, berada di tangan Raja Golok Bertangan Baja. Tapi beberapa
waktu yang lalu, seorang pemuda berpakaian merah
dan ikat kepala merah telah merampasnya."
Wajah Arya berubah hebat. Ciri-ciri seperti yang
disebutkan Penyair Cengeng, tidak asing baginya.
Penyair Cengeng melihat perubahan muka pende-
kar muda itu. Dan bibirnya tersenyum dikulum.
"Aku yakin kau mengenal pemuda itu, Dewa Arak.
Bukankah demikian"!" tebak Penyair Cengeng.
"Benar, Penyair Cengeng. Bahkan dia menjadi mu-
suh besarku. Lingga namanya. Kepandaiannya luar bi-
asa! Ah! Aku ingat, Lingga membawa sebuah golok
yang kelihatannya ampuh. Tapi..., seingatku tidak ada pengaruh seperti yang kau
maksudkan itu, Penyair
Cengeng." "Itu hanya sementara saja, Dewa Arak," tukas Penyair Cengeng. "Tak akan lama
lagi, Lingga akan mampu membuat golok itu memiliki keistimewaan seperti dulu.
Dan caranya, adalah dengan campuran se-
perti yang dulu dibuat penciptanya?"
"Maksudmu..."!" tanya Dewa Arak, merasakan tenggorokannya tercekat.
"Benar," Penyair Cengeng yang bisa menduga arah jawaban Arya, segera mengangguk.
"Golok itu sebentar lagi akan kembali kedahsyatannya! Dan hingga saat ini tengah
memburu bayi-bayi dan perawan-perawan!"
"Biadab...!" desis Arya penuh perasaan geram. Terdengar bunyi berkerotokan
nyaring ketika tenaga da-
lam pemuda ini bergerak dengan sendirinya. "Tak akan kubiarkan dia melakukan
kekejian seperti itu."
"Sudah kuduga, kau akan mengucapkan kata-kata
seperti itu. Selamat bertugas, Dewa Arak!"
Penyair Cengeng mengedipkan sebelah matanya.
Kepalanya digerakkan sedikit. Maka pelepah daun pi-
sang itu bergerak naik membawa tubuh Penyair Cen-
geng yang punggungnya seperti menempel dengan
daun. Setelah mencapai ketinggian setengah tombak,
pelepah daun itu berbalik sampai mendatar. Dan den-
gan cara yang luar biasa, tubuhnya berhasil dibuat dalam keadaan duduk bersila
di atas pelepah daun pi-
sang.
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meski kagum, Arya tidak merasa kaget lagi. Telah
diketahuinya sendiri kepandaian Penyair Cengeng yang sangat tinggi. Dan dia
tetap tidak kelihatan terkejut, ketika Penyair Cengeng mampu membuat pelepah
daun pisang itu meluncur terbang ke depan setelah
mengibaskan tangannya.
"Penyair Cengeng...," gumam Arya pelan sambil terus menatap tubuh kakek yang
mengagumkan itu
sampai tidak terlihat.
Seperti memberi tanggapan terhadap ucapan Dewa
Arak, di sekitar tempat itu terdengar nyanyian lantang.
Tapi, tetap saja tidak mampu menyembunyikan nada
sedih. Cengeng!
Arya menggeleng-geleng tanpa sadar. Penyair Cen-
geng itu sendiri sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Tapi, nyanyiannya
malah terdengar demikian
lantang. Pemuda ini mendengarkannya dengan seksa-
ma, karena merasa tertarik.
Ribuan tempat kujelajahi
Ribuan syair ikut menemani
Ribuan penjahat telah kubunuhi
Ribuan mulut si tertindas mensyukuri
*** "Oaa...!"
Tangis bayi berkepanjangan menguak dari sebuah
rumah sederhana yang letaknya agak terpencil dari pe-rumahan penduduk di Desa
Sangiran. Demikian nyar-
ing melengking, tanpa terputus-putus.
Seorang wanita muda berusia dua puluh lima ta-
hun, sambil menggendong berusaha sekuat tenaga
menghentikan tangisan bayinya. Tapi hasilnya sia-sia.
"Barangkali dia ingin tidur, Lastri," kata seorang lelaki berumur tiga puluh
tahun. Wajahnya persegi. Ka-
ta-katanya ditujukan pada wanita yang menggendong
bayi. Lelaki ini duduk di dekat wanita yang tak lain istrinya, di sebuah bangku
panjang. Di depan kedua orang yang sebenarnya sepasang
suami istri itu, hanya dipisahkan sebuah meja, duduk sepasang muda belia.
Seorang pemuda berkumis tipis,
dan seorang gadis bertahi lalat di ujung hidungnya.
Wanita yang menggendong bayi dan bernama Lastri
rupanya bisa menerima saran suaminya. Setelah lebih
dulu mengangguk dan memberi senyuman sebagai
permintaan maaf, dia bangkit dari duduknya dan ber-
jalan ke dalam.
"Ada-ada saja...," ujar lelaki wajah persegi sambil mengalihkan perhatian pada
dua orang muda di depannya. "Percakapan kita jadi tertahan..."
"Hanya tertahan sebentar, Kak Wiryadi. Bukan masalah. Lagi pula, menurut
pendapatku, wajar saja bila seorang bayi sering-sering menangis. Bukankah
menurut kata orang tua tangisan bayi berarti ada sesuatu yang diminta?"
Laki-laki berwajah persegi yang dipanggil Wiryadi
tertawa ganda. "Rupanya kau telah siap untuk menjadi seorang
ayah, Gurit" Kapan hubunganmu dengan Linasih ini
diresmikan"!" sambut Wiryadi sambil tersenyum
menggoda. Wajah pemuda berkumis tipis bernama Gurit, dan
gadis bertahi lalat yang bernama Linasih tampak me-
nyemburat merah. Kelihatan jelas kalau mereka masih
risih. "Kak Wiryadi memang pintar menggoda orang. Lagi pula, siapa orangnya yang sudi
menikah denganku"!"
kata Gurit, seraya melirik Linasih.
Wiryadi batuk-batuk untuk menghilangkan ke-
canggungan akibat gurauannya.
"O, ya. Hampir aku lupa, Gurit."
Wiryadi buru-buru bersuara begitu sebuah bahan
pembicaraan melintas di benaknya. Dia ingin secepat-
nya menepis suasana yang tidak nikmat.
"Perlu kau ketahui, anakku itu bukan tergolong
bayi cengeng. Dan andaikata menangis karena ingin
tidur, lapar, ataupun buang air, tangisnya tidak keras.
Hm.... Aku menduga ada sesuatu yang aneh di sini,"
sambung Wiryadi, menduga.
Linasih saling berpandangan dengan Gurit. Wajah
mereka mulai cerah kembali. Sebuah pertanda kalau
kata-kata Wiryadi, berhasil mengusir kecanggungan.
Malah wajah Linasih kelihatan amat sungguh-
sungguh. "Kalau benar demikian..., berarti ada hal aneh di sini, Kak Wiryadi...," kata
Linasih agak ragu-ragu men-gutarakannya.
*** 10 Wiryadi terdiam. Tapi nyata kalau perkataan Lina-
sih sangat dipikirkannya. Dia mengerti maksud gadis
itu. Tangis anaknya merupakan firasat akan adanya
sesuatu yang akan terjadi. Bayi memang memiliki ba-
tin yang masih bersih, sehingga mempunyai perasaan
tajam. Bukan tidak mungkin kalau bayi akan mampu
membaui adanya bahaya yang mengancam.
Sementara Gurit merasakan jantungnya berdetak
lebih cepat. Ucapan Linasih dan sikap Wiryadi, mem-
buatnya merasa tegang. Semua itu ditambah masih
terdengarnya tangisan bayi. Tangis yang melengking
keras dan panjang. Sedangkan suara-suara Lastri yang berusaha meredakan tangis
si jabang bayi jadi tenggelam.
Suasana jadi terasa menyeramkan, penuh ketegan-
gan. "Ha ha ha...!"
Tawa Wiryadi yang dikeluarkan secara tiba-tiba,
membuat Linasih dan Gurit terlonjak kaget bukan
main. Tapi hanya sebentar, karena mereka segera bisa
menekan perasaan itu. Dengan pandangan heran, ke-
duanya menatap Wiryadi.
"Mengapa kita jadi seperti sekumpulan bocah pengecut"! Andaikata firasat bayi
itu benar, apa yang harus ditakuti"!" kata Wiryadi mantap.
Linasih dan Gurit saling berpandangan, lantas ter-
senyum. Ucapan Wiryadi membuat mereka ingat kalau
ketakutan itu hampir tidak beralasan. Karena mereka
bukan orang-orang lemah! Masing-masing memiliki
kepandaian tinggi. Jika benar ada bahaya mengancam,
mungkinkah mereka bertiga tidak mampu mengha-
launya"! "Apa yang kau katakan itu benar, Kak Wiryadi. Kita di sini bertiga. Belum
terhitung Lastri, istrimu. Siapa yang akan berani mati mengacau"!" sahut Gurit.
Wajah Gurit yang penuh ketegangan dan pucat te-
lah mengendur. Keberaniannya telah muncul kembali.
Di akhir ucapan, kepalan tangan kanannya kontan se-
cara keras. Dan baru saja salah seorang hendak bicara lagi,
mendadak.... "Omongan kosong tanpa bukti sama sekali...!"
Tiba-tiba terdengar suara melecehkan, membuat
Wiryadi, Gurit, dan Linasih terkejut bukan main.
Serentak ketiga orang itu menengok berbareng,
dengan arah berlainan. Suara yang terdengar dan sea-
kan berasal dari delapan penjuru mata angin, mem-
buat mereka semuanya kebingungan.
"Siapa kau..."! Kalau bukan pengecut, cepat mun-culkan wujud mu! Hadapilah kami
secara jantan. Dan,
jangan bermain gelap-gelapan Seperti itu!" seru Wiryadi keras, seraya bangkit
dari kursinya. Gurit dan Linasih segera menyadari kalau orang
yang tadi menyahuti percakapan mereka memiliki ke-
mampuan tinggi. Tanpa pikir panjang lagi mereka telah siap mencabut golok yang
terselip di pinggang.
"Hmh...!"
Suara tanpa wujud itu memberi sambutan berupa
dengusan bernada mengejek.
Tapi, ternyata dengusan itu membuat Wiryadi dan
kedua tamunya terhuyung-huyung ke belakang. Seke-
tika tangan kanan masing-masing mendekap dada
yang terasa seperti ditumbuk kerbau liar. Sakit bukan main.
Terdengar suara Wiryadi dan kedua tamunya lang-
sung merasa gentar. Dengan dengusan saja, sudah
mampu membuat mereka terjajar. Bagaimana pula ka-
lau serangan yang dilancarkan"!
"Kalian ingin aku menampakkan diri"! Baik! Keinginan kalian ku penuhi!"
Kali ini tidak ada sedikit pun pengaruh atas Wirya-
di, Gurit, dan Linasih. Rupanya pemilik suara tanpa
wujud itu, tidak lagi melancarkan serangan dengan
mempergunakan suara.
Krittt...! Bunyi bergerit pintu, membuat pandangan Wiryadi
dan kedua tamunya diarahkan ke sana. Dan mata me-
reka pun terbelalak ketika melihat pintu tidak terbuka ke samping, tapi terbuka
ke atas. Seakan-akan engsel daun pintu ada di atas.
Begitu pintu bergerak membuka perlahan-lahan,
meluncur sesosok tubuh kekar milik seorang pemuda
berpakaian merah dalam keadaan duduk bersila. Wa-
jahnya dingin, menyiratkan kebengisan. Siapa lagi kalau bukan Lingga!
Kembali Wiryadi dan dua tamunya terkejut! Tubuh
Lingga dalam keadaan duduk bersila, meluncur berja-
rak satu tombak dari lantai dengan kedua tangan dili-
pat di depan dada.
Begitu tubuh Lingga melewati ambang pintu, baru
daun pintu itu bergerak menutup. Pelan-pelan seperti digerakkan tangan
kasatmata. "Sekarang aku telah berada di depan kalian. Nah!
Lakukanlah apa yang kalian kehendaki!" tantang Lingga, setelah berdiri tegak di
lantai. "Kami bukan orang-orang yang gemar mencari
urusan, Sobat!" sambut Wiryadi, tenang. Walaupun jantungnya berdetak jauh lebih
cepat dari sebelumnya.
Malah, dia khawatir kalau-kalau Lingga mendengar-
nya. "Hm..., jadi bagaimana maksudmu..."!" desis Lingga, dingin. Nadanya
memandang remeh sekali.
Sikap Lingga membuat wajah Gurit dan Linasih
merah padam. Mereka merasa marah bukan main. Ka-
lau saja tidak ingat Wiryadi yang lebih berhak bersikap terhadap tamunya yang
tidak diundang, mungkin mereka telah menerjangnya.
Wiryadi pun terbangkit amarahnya, tapi tetap men-
coba menahan diri. Disadari, tidak ada gunanya menu-
ruti kemarahan semata. Selama jalan kekerasan belum
terlalu mendesak, tak akan digunakannya.
"Maksudku begini, Sobat! Kalau kau tidak bermaksud menimbulkan keributan di
sini, tentu saja kami tidak akan bertindak aneh. Sebaliknya dengan kedua
tangan terbuka, kau kuterima sebagai tamu istimewa,"
jelas Wiryadi sambil mengembangkan senyum di akhir
ucapannya. Cuhhh! Jleb! Lingga meludah dengan sikap kasar, membuat lan-
tai langsung amblas. Gurit, Linasih, dan terutama Wiryadi, melihat. Tapi
kemarahan yang hebat membuat
pamer kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi itu tidak sempat diperhatikan.
Wiryadi menggertakkan gigi.
"Rupanya kedatanganmu kemari hanya untuk
mencari keributan, Sobat! Kalau itu maumu, dengan
senang hati akan ku penuhi. Aku, Wiryadi, tidak akan sudi dihina demikian.
Majulah kau...!"
Lingga tersenyum dingin, tidak kelihatan marah
atau tersinggung. Hanya saja sepasang matanya seper-
ti mengeluarkan sinar berapi.
"Aku tidak ingin membuat keributan di sini, Wiryadi. Bahkan kedatanganku dengan
niat baik. Kalau saja kau mau memenuhi permintaanku, dengan tenang aku
akan pergi, setelah memberi tanda mata pada kau dan
dia!" tuding Lingga pada Gurit.
Gurit sampai melangkah maju karena geram meli-
hat tudingan terhadapnya yang jelas merendahkannya!
Tapi langkahnya terhenti, ketika Wiryadi memberi isyarat padanya untuk menahan
sabar. "Katakan permintaanmu, Sobat. Kalau saja bisa,
pasti akan kuberikan," ujar Wiryadi yang lebih suka tidak terjadi keributan.
Suaranya lebih lunak dari sebelumnya.
"Tidak banyak," jawab Lingga dengan senyum dingin, menyiratkan kekejian. "Aku
hanya minta otak anakmu. Dan, gadis itu ikut denganku. Aku yakin, tubuhnya yang
hangat akan membuat malam-malam
yang dingin tidak terlalu menyiksaku lagi."
"Keparat!" bentak Wiryadi keras.
Amarah lelaki ini langsung meluap. Disadari kalau
Lingga memang memperhatikannya. Berbareng benta-
kannya, dia melompat menerjang dengan pukulan ka-
nan kiri bertubi-tubi.
Buk! Buk! "Aaakh...!"
Bunyi keras terdengar dua kali, ketika kepalan Wi-
ryadi tepat mendarat di sasarannya, karena Lingga tidak mengelak sama sekali.
Akibatnya, justru Wiryadi
yang memekik. Pekikan kaget dan ngeri.
*** Gurit Dan Linasih menatap terbelalak, antara he-
ran dan ngeri. Semula sepasang kekasih ini mengira
Lingga yang mengeluarkan jeritan. Tapi sama sekali tidak disangka kalau1
Wiryadilah yang menjerit-jerit.
Tampak Wiryadi meronta-ronta seperti hendak me-
lepaskan diri. Tapi, kedua tangannya seakan telah melekat dengan tubuh Lingga.
Wiryadi tampak terkesiap bukan main. Lelaki ini
merasakan tenaga dalamnya membanjir ke arah Lingga
tanpa bisa dicegahnya sama sekali.
Hanya dalam waktu sebentar saja, Wiryadi merasa
lemas. Dan kalau dibiarkan terus, dia akan mati lemas kehabisan tenaga.
Gurit dan Linasih bisa memperkirakan, apa yang
tengah terjadi terhadap Wiryadi yang semakin lemas.
Kedua kakinya telah menggigil hebat. Dan mereka ti-
dak mau membiarkan Wiryadi mati lemas.
Hampir berbareng, Gurit dan Linasih mencabut
pedang yang tersampir di punggung.
Sring! Sring! Mereka langsung melompat dan mengayunkan sen-
jata ke arah Lingga. Dalam kecemasan melihat kesela-
matan Wiryadi terancam sampai terlupakan kalau tin-
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dakan mereka tidak layak sebagaimana orang-orang
golongan putih.
Tak, takkk! Pedang Gurit tepat menghantam batang leher Ling-
ga. Sedangkan ujung pedang Linasih menghujam ulu
hati. Tapi kedua senjata pusaka itu tidak mampu me-
lukai Lingga sedikit pun. Seakan-akan tubuh Lingga
terdiri dari batu karang!
Tidak hanya itu saja. Kejadian yang menimpa Wi-
ryadi pun terjadi pula pada Gurit dan Linasih. Pedang mereka menempel di tubuh
Lingga. Betapapun seluruh
tenaga dalam dikerahkan, usaha mereka tidak berhasil untuk melepaskan pedang.
Sementara, Lingga tenang-tenang saja. Tidak terli-
hat sedikit pun tanda-tanda kalau mengerahkan tena-
ga dalam. Wajahnya pun dihiasi senyum ejekan penuh
hawa maut , "Menyingkirlah kalian...!"
Lingga menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa,
seperti ayam membersihkan tubuh sehabis bermandi
abu. Akibatnya, tubuh Wiryadi, Linasih, dan Gurit,
terpental ke belakang seperti daun-daun kering diter-bangkan angin.
Brak! Brak! Brak!
Luncuran tubuh mereka baru berhenti ketika me-
nabrak dinding ruangan. Linasih, Gurit, dan Wiryadi
menyeringai kesakitan. Tidak hanya nyeri dan linu
yang dirasakan, tapi juga lemas yang amat. Seluruh
urat-urat mereka seakan dilolosi.
Lingga tidak mempedulikan tiga pengeroyoknya
sama sekali. Kini kakinya terayun menuju sebuah
ruangan lain yang digunakan Lastri untuk mendiam-
kan bayinya. Sementara tangis bayi itu tetap terdengar semakin
keras. Apalagi ketika Lingga mengayunkan kaki menu-
ju ke sana. Rupanya naluri sang jabang bayi yang ma-
sih suci membisikkan adanya ancaman.
Wiryadi bukannya hendak mendiamkan saja. Tapi
dia sudah tidak berdaya lagi. Seluruh tenaganya telah lenyap. Memang dialah yang
paling parah menderita
serangan Lingga.
Meskipun demikian, kekhawatiran yang amat san-
gat akan keselamatan bayinya, membuat Wiryadi men-
dapat tenaga bantuan entah dari mana. Dia yang tadi
tidak mampu berkutik sedikit pun, sekarang mampu
berdiri. Bahkan, mampu menerjang Lingga.
"Lastri...! Cepat tinggalkan tempat ini...! Pergi...!"
seru Wiryadi ketika tubuhnya melayang menerjang
Lingga. Lingga yang mengetahui akan adanya serangan da-
ri belakang, tidak mempedulikannya sama sekali. Baru ketika serangan telah
menyambar dekat, tanpa membalikkan tubuh sedikit pun tangan kirinya mengibas!
Plak! Brak! Untuk yang kedua kalinya, tubuh Wiryadi terhem-
pas ke belakang. Kali ini lebih keras dari sebelumnya dan menabrak dinding!
Tapi, Wiryadi benar-benar tidak mempedulikan
keadaan dirinya. Begitu tubuhnya menyentuh lantai,
dia berusaha menghalangi Lingga. Keadaannya yang
tidak memungkinkan, membuatnya merayap seperti
ular. Gurit dan Linasih hanya bisa menatap tingkah Wi-
ryadi dengan hati trenyuh. Mereka tidak mempunyai
daya sedikit pun untuk memberikan pertolongan.
Keadaan mereka sendiri pun, belum tentu aman
dari bahaya. Terutama sekali Linasih!
Sementara itu, teriakan Wiryadi memang terdengar
Lastri di dalam kamar. Sejak tadi pun, wanita itu mendengar akan adanya
keributan. Bahkan sejak terja-
dinya ribut-ribut mulut. Hanya saja, dia tidak mempedulikannya. Pikirnya,
suaminya ada. Itu pun ditambah Linasih dan Gurit. Dan mereka juga tak kalah
lihai. Jadi apa lagi yang dikhawatirkan" Lastri pun meneng-
gelamkan diri dengan urusan pada bayinya.
Ibu muda ini baru terkejut ketika mendengar se-
ruan suaminya yang sarat kekhawatiran. Sambil
menggendong tubuh bayinya yang masih menangis ke-
ras, Lastri berlari keluar kamar.
"Ohhh..."!"
Tapi langkah Lastri langsung terhenti di ambang
pintu, ketika di depannya telah berdiri Lingga yang penuh ancaman. Lastri
berdiri terpaku dengan wajah pu-
cat. Apalagi ketika melihat suaminya, Gurit, dan Linasih tergolek tanpa daya.
Lastri tahu ketiga orang itu telah dikalahkan pemuda di depannya.
"Berikan bayi itu padaku," perintah Lingga, beringas sambil mengulurkan tangan
seperti orang memin-
ta. Bukannya memenuhi permintaan itu, Lastri malah
mundur-mundur dengan wajah pucat sambil tetap
memegangi bayinya. Melihat ini, Lingga jadi kehabisan sabar. Wajahnya berubah,
bengis penuh hawa maut.
Tangan Lingga yang terjulur, digerakkan secara. ti-
ba-tiba dengan gerakan menarik.
"Auuuw...!"
Lastri menjerit ketika bayi di tangannya seperti di-
tarik tangan raksasa kasatmata. Bayi itu kontan terlepas dari pelukannya dan
melayang ke arah Lingga!
"Kembalikan, Anakku...!" jerit Lastri kalap sambil menghambur ke arah Lingga
dengan kedua tangan
terkembang, siap menerima bayinya kembali.
"Hih...!"
Lingga mendengus sambil mengibaskan tangan ki-
rinya. Buk! Tubuh Lastri melayang ke atas dan menempel lan-
git-langit kamar. Dan sekali lagi tangan pemuda keji ini bergerak. Maka tiga
batang pedang yang tergeletak di lantai melayang ke arah tangan kiri Lingga.
Dengan tangan kanan telah memegang bayi secara
sembarangan, Lingga meniup tiga batang pedang itu.
"Phuh...!"
Bagai dilemparkan tangan terlatih, pedang-pedang
itu melayang ke atas dan menancap di tubuh Lastri.
Crap! Crap! Crap!
"Aaakh...!"
Lastri memekik tertahan. Sedangkan Wiryadi me-
maki-maki Lingga dengan keras, setelah terlebih dulu meratap-ratap memanggil
istrinya yang malang itu.
Lastri menggelepar sejenak, kemudian diam untuk
selamanya. Darah pun mengucur ke bawah dengan de-
ras. Lingga tidak mempedulikan Lastri lagi. Dia malah masuk ke ruangan dalam.
Namun baru beberapa langkah...
Ribuan tempat telah kujelajahi
Ribuan syair ikut menemani
Ribuan penjahat telah kubunuhi
Ribuan mulut si tertindas mensyukuri
Tiba-tiba terdengar bunyi syair yang dikeluarkan
dengan penuh perasaan sedih dan meratap-ratap itu.
Seketika suasana terobek. Semua kepala menoleh ke
arah daun pintu, karena asal suara dari sana.
"Penyair Cengeng...!" desis Wiryadi. Ada harapan membayang pada sepasang matanya
yang berselaput
duka tebal. Benarkah Penyair Cengeng yang datang" Benarkah
Linasih akan lolos dari kekejian Lingga"
SELESAI Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
PENYAIR CENGENG
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 4 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Suling Emas 13