Pencarian

Golok Kilat 2

Dewa Arak 85 Golok Kilat Bagian 2


turun ke mulut Arya yang
terbuka dengan kepala menengadah.
Plok, plok, plok...!
Nuri tak kuasa untuk tidak bertepuk tangan, keti-
ka Dewa Arak menyelesaikan pertunjukannya dengan
cara luar biasa. Sorot kekaguman yang memancar dari
sepasang matanya pada Dewa Arak semakin bertam-
bah besar. "Kau benar-benar hebat, De, eh, aa...," puji Nuri sambil menggeleng-geleng
kepala. Arya hanya tersenyum, tapi langsung dihentikan.
Kini ganti sepasang alisnya yang dikerutkan. Nuri
menjadi heran melihatnya. Tapi sebelum gadis itu
sempat berkata, Dewa Arak telah lebih dulu memberi
isyarat untuk diam.
"Waspadalah, Nuri. Aku mendengar adanya lang-
kah-langkah kaki yang mendekati tempat ini. Gerakan
mereka hampir tidak tertangkap telingaku. Jelas, me-
reka orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi."
Penjelasan Arya terdengar Nuri di pinggir telin-
ganya. Gadis ini tahu kalau Arya memberitahukannya
lewat ilmu mengirim suara. Karena pemuda itu tidak
terlihat menggerakkan bibir sama sekali.
Sedangkan Arya sendiri, sudah langsung menga-
lihkan perhatian pada daun pintu yang tertutup. De-
mikian pula Nuri, hati gadis ini tegang bercampur
gembira. Ingin disaksikannya Dewa Arak yang sakti itu bertempur.
*** "Setan Kepala Besi...! Keluarlah kau, Pengecut..!
Tidak ada gunanya lagi bersembunyi! Kami telah men-
getahui kalau kau berada di dalam...! Keluar...! Jangan tunggu sampai kesabaran
kami habis...!"
Seketika terdengar suara keras bagai halilintar.
Bahkan Nuri yang telah bangkit berdiri kontan ter-
huyung dan jatuh terduduk kembali di atas kursinya.
Teriakan yang berasal dari luar itu menyelusup ke dalam telinga, menimbulkan
rasa sakit dan nyeri.
Bahkan di kursinya pun, gadis itu masih mende-
kapkan kedua tangannya pada telinga. Pengaruh teria-
kan itu memang hebat bukan main. Bahkan, rumah
tempat Arya dan Nuri berada bergetar hebat seperti di-guncang gempa!
"Cepat keluar, Setan Kepala Besi...! Turuti perintah kawanku...! Atau... kami
bertindak kasar dengan men-gobrak-abrik rumahmu...!"
Kali ini suara lain menyambung. Namun tak kalah
keras dan dahsyat akibatnya dari sebelumnya. Nuri
yang telah mendekapkan kedua telinga masih mengge-
liat pertanda terkena pengaruh suara yang benar-
benar menggetarkan.
Tentu saja pengaruh teriakan itu tidak menimpa
Dewa Arak yang telah memiliki tenaga dalam sukar di-
ukur, saking kuatnya. Hanya dengan mengerahkan te-
naga dalamnya, pengaruh itu pupus.
Meski perhatiannya ditujukan pada pemilik suara
di depan rumah, Arya tidak lupa membagi perhatian
terhadap Nuri. Maka begitu melihat kejadian yang me-
nimpa gadis ini, tanpa membuang-buang waktu. Tan-
gan kanannya dijulurkan ke depan ke arah Nuri.
Nuri yang melihat tindakan Arya, mendadak mera-
sakan adanya sesuatu yang kasat mata merayap di se-
kujur tubuhnya. Sekejap kemudian, telah dirasakan
adanya kenyamanan di dalam dirinya. Lenyap sudah
siksaan yang tadi menyergap dada dan telinganya.
"Kau menghabiskan kesabaran kami, Setan Kepala
Besi...." Kembali terdengar suara, lebih lantang dari sebelumnya. Tapi sekarang,
Nuri tidak merasa tersiksa sama sekali. Perasaan nyaman tetap melindunginya.
Di dalam hatinya, Nuri berterima kasih sekali pada
Arya. Karena dia tahu, lenyapnya siksaan dan timbul-
nya rasa nyaman, adalah dari tangan Dewa Arak yang
dijulurkan padanya. Kekagumannya terhadap pemuda
berambut putih keperakan itu semakin menggebu-
gebu. Sementara di luar rumah, kesabaran sosok-sosok
yang menyatroni rumah Setan Kepala Besi agaknya
sudah habis. Maka....
Blarrr, blarrr!
Saat itu juga terdengar bunyi menggelegar, mirip
bunyi geledek. Kendati demikian, baik Arya maupun Nuri bisa ta-
hu kalau bunyi itu berasal dari benturan telapak tan-
gan sosok-sosok yang berada di luar. Nuri sampai me-
rinding bulu kuduknya ketika melihat meja dan kursi
yang tidak diduduki terguncang-guncang turun naik.
Rumah itu semakin bergetar. Gadis ini sadar betul, bi-la Dewa Arak tidak
menolongnya, pasti telah pingsan!
Memang pengaruh kali ini lebih dahsyat daripada sebelumnya.
Blarrr! Daun pintu hancur berantakan bagai ditabrak ga-
jah liar ketika berbenturan telapak tangan itu berlangsung tiga kali. Nuri
sampai terlonjak dari duduknya
Karena rasa kaget melihat kejadian yang mengiriskan
hatinya. "Sobat-sobat di luar... Harap hentikan permainan tidak lucu itu...!" teriak Dewa
Arak. Dewa Arak sadar kalau keadaan ini terus dibiarkan
akan semakin tidak karuan. Belum lagi gema ucapan-
nya lenyap, tubuhnya telah berada di luar. Arya berdiri berhadapan dengan dua
sosok yang berdiri berjarak
empat tombak dari pintu rumah Setan Kepala Besi.
Dua sosok yang ternyata dua lelaki tua berpakaian
hitam bergambar bola-bola merah itu agak terperanjat ketika melihat kehadiran
Dewa Arak. Tadi mereka
hanya melihat kelebatan bayangan ungu yang tak je-
las. Dan kini tahu-tahu telah berdiri seorang pemuda berpakaian ungu di depan
mereka dalam jarak dua
tombak Dewa Arak dan dua kakek berpakaian hitam saling
pandang penuh selidik. Namun Arya agak heran meli-
hat pakaian aneh yang dikenakan dua sosok itu. Teru-
tama sekali coraknya. Bahkan ciri-ciri mereka pun
aneh, saling berlawanan.
Yang seorang bertubuh pendek gemuk dengar kulit
merah. Mirip seekor babi. Jenggotnya panjang sampai
melewati pusar, juga berwarna merah. Sementara ka-
kek yang satunya lagi bertubuh tinggi kurus dengan
kulit putih. Jenggotnya pendek dan putih warnanya.
"Siapa kau, Anak Muda"! Aku yakin kau bukan
orang yang kami maksud," tegur kakek cebol berkata tenang. Suaranya yang parau
bernada dingin.
Arya tersenyum, seraya menganggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan itu memang tidak salah
Kek. Namaku Arya. Aku hanya sekadar mampir di sini
dan memang bukan orang yang kau cari," jawab Arya, sopan. "Oh, ya. Kakek berdua
sendiri siapa?"
"Kuharap, setelah mendengar julukan kami, pergilah secepatnya dari sini. Aku
Kumbayan. Sedangkan
temanku Sembada. Kami berdua berjuluk Sepasang
Malaikat Maut. Nah, sekarang menyingkirlah, Arya,"
ujar kakek kurus berkulit putih yang mengaku Kum-
bayan. Suaranya kering dan melengking seperti suara
kuda meringkik "Kami tidak ingin kesalahan tangan dan membu-
nuhmu!" "Benar!" sambung kakek pendek gemuk yang bernama Sembada. "Kami hanya mencari
Setan Kepala Besi. Kami mempunyai urusan dengannya. Menying-
kirlah. Kami akan lewat."
Arya tersenyum dan mengangguk sekali lagi. "Maaf, Kek. Bukannya aku bermaksud
mencampuri urusan
kalian. Tapi, percayalah. Orang yang kalian cari tidak berada di sini. Setan
Kepala Besi sedang pergi. Dan sebelum itu, dia berpesan padaku untuk tunggu di
tem- patnya. Jadi, aku memiliki kekuasaan atas rumah itu.
Dengan demikian, sebelum ada perkenan dari Setan
Kepala Besi siapa pun tidak akan kubiarkan masuk!"
tandas Arya, mantap.
Dua kakek berpakaian hitam berjuluk. Sepasang
Malaikat Maut menatap Arya. Sepasang mata mereka
seperti hendak mencari kebenaran dalam ucapan pe-
muda berambut putih keperakan itu.
"Jadi..., benar Setan Kepala Besi tidak berada di sini..."!" tanya Sembada.
Arya mengangguk mantap. Sepasang Malaikat
Maut saling berpandangan sebentar.
"Kau sendiri..., apa hubunganmu dengan Setan
Kepala Besi"! Sepertinya kau dipercaya sekali"!" tanya kakek pendek gemuk yang
rupanya lebih cerdik daripada kawannya.
"Hanya sekadar kenalan," jawab Arya sambi mengangkat kedua bahunya. "Beberapa
waktu yang lalu, kami pernah terlibat pertarungan. Dan Setan Kepala
Besi akhirnya merasa senang padaku. Pertarungan
terhenti. Dan kami menjadi sahabat."
"Boleh ku tahu, masalah apa yang menyebabkan
hal itu terjadi!" desak Sembada.
"Dia hendak mencelakai kawanku," jawab Arya setengah benar.
Kakek pendek gemuk itu terdiam. Jawaban bagi
pertanyaannya rupanya telah cukup memuaskan ha-
tinya. "Dan..., setelah kau menjadi kawannya..., apakah dia tidak bercerita sesuatu
padamu..."!"
Kali ini Kumbayan yang mengajukan pertanyaan.
Nadanya penuh selidik.
Arya mengernyitkan kening.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek...."
"Kalau begitu..., lupakan saja, Arya. Dan, ketahuilah. Kami akan pergi dari
sini. Tapi syaratnya, kau harus menahan dari serangan kami. Bagaimana" Kalau
kau tidak mau menerimanya, menyingkirlah dari situ.
Apabila kau pernah berhadapan dengan Seta Kepala
Besi tanpa kehilangan nyawa, berarti kau telah cukup berharga untuk kami. Kau
menerimanya bukan"!"
Arya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengang-
gukkan kepala. Kaku dan pelan-pelan. Karena me-
mang pemuda berambut putih keperakan itu merasa
berat menerimanya.
"Bagus!" sambut Sembada, gembira. "Biarlah sekarang giliranku sebagai penyerang
pertama. Bersiap-
siaplah, Arya. Buktikan kalau kau berhasil lolos dari tangan maut Setan Kepala
Besi." "Aku siap!"
Kakek pendek gemuk itu berjongkok, seperti seekor
katak. Tenggorokannya menggembung.
"Kok! Kok!"
Terdengar bunyi berkokokan seperti ayam betina
tengah bertelur.
Melihat hal ini, Arya bersikap waspada. Pengala-
mannya yang segudang, membuatnya langsung men-
getahui kalau kakek pendek gemuk itu hendak menge-
luarkan ilmu andalan. Maka sikapnya hati-hati.
Sembada segera mendorongkan kedua tangannya,
secara bergantian. Maka dari kedua tangannya melun-
cur angin berciutan.
Wesss! Wesss! Dewa Arak bersikap tenang. Kemudian, kedua tan-
gannya dihentakkan untuk memapak.
Prat! "Uh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengeluh
tertahan, ketika merasakan hawa pukulan jarak jauh
kakek pendek gemuk tidak meluncur secara lurus, tapi berputaran. Hal itu membuat
papakan pukulannya lenyap bagai ditelan sesuatu yang tidak tampak. Puku-
lan jarak jauh yang meluncur secara berputar itulah
yang menyebabkan pukulan jarak jauh Dewa Arak se-
perti lenyap. Arya terkejut bukan main. Apalagi ketika pukulan
jarak jauh kakek bernama Sembada terus meluncur ke
arahnya, tetap dalam keadaan berputaran seperti an-
gin puting beliung.
Lebih terkejut lagi ketika Arya merasakan, sekujur
tubuh otot-ototnya terasa ngilu sebelum serangan la-
wannya tiba. Tenaga dalamnya sendiri seperti lenyap!
Tapi, Dewa Arak adalah pendekar yang telah ke-
nyang pengalaman. Maka menghadapi keadaan seperti
ini, dia tidak menjadi gugup. Dan dia cepat sadar kalau serangan kakek pendek
gemuk itu tidak berba-
haya. Paling tidak hanya untuk melempar tubuhnya
saja. Dari sini bisa ditebak kalau kakek bernama Sembada bukan tokoh jahat.
*** 5 Dewa Arak segera bertindak cepat. Dengan sebuah
sentakan, tenaganya yang telah lenyap jadi timbul
kembali. Kemudian dikeluarkan ilmu 'Pasak Bumi'nya
yang membuat kedua kakinya seakan-akan bersatu
dengan bumi. Tepat pada saat yang bersamaan, serangan kakek
Sembada tiba dan menghantamnya dengan telak
Wesss...! Arya merasa seakan tubuhnya dihantam pusaran
angin puting beliung yang kemudian membelit dan
membawa tubuhnya berputar.
Ilmu 'Pasak Bumi' memang hebat Namun, sergapan
yang menyelubungi Dewa Arak pun dahsyat bukan
main! Arya memang tidak sampai terpental. Tapi tanah tempatnya berpijak tidak
mampu menahan dua kekuatan dahsyat yang bertemu. Dan ini membuat Dewa
Arak berputar, meski dengan kedudukan seperti semu-
la. Dan putarannya baru terhenti, ketika kedua ka-
kinya terbenam sampai mata kaki!
"Luar biasa...!"
Kakek Sembada berseru penuh kagum, sambil ber-
diri tegak kembali. Pandang matanya memancarkan
kekaguman. Sementara sorot yang sama memancar
dari mata Kumbayan,
"Kau benar-benar luar biasa, Arya. Tidak banyak orang yang mampu berdiam di


Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempatnya terhadap se-ranganku ini. Pantas kau mampu mempertahankan
nyawamu, meski telah berhadapan dengan Setan Ke-
pala Besi. Aku mengaku kalah," kata Sembada.
Arya hanya mengangguk.
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Kek. Kalau kau bertindak sungguh-sungguh,
mana mungkin saat
ini aku masih bisa hidup?" kata Dewa Arak, merendah.
"Tidak usah banyak bicara, Anak Muda," potong Kumbayan. "Kau boleh berbangga
hati atas keberhasi-lanmu bertahan dari serangan rekan ku. Tapi, bukan
berarti akan menang pula terhadapku!"
"Silakan, Kek. Aku sudah siap!" jawab Arya. Kata-katanya mantap, sambil
berpindah dari tempatnya se-
mula. Karena dia sudah tidak mungkin lagi berdiri tenang, akibat lubang yang
tercipta. Dewa Arak kali ini bersikap lebih waspada. Dia ta-
hu, kakek tinggi kurus ini tidak kalah lihai dibanding rekannya. Dan yang lebih
mengkhawatirkan, kakek
tinggi kurus ini memiliki watak kasar. Mungkin tidak kejam, tapi yang jelas
tidak akan bertindak lunak se-
perti rekannya.
Kumbayan menatap tajam Arya. Pada saat yang
sama, pemuda itu pun menatapnya. Dua pasang mata
bertemu. Kakek tinggi kurus menyeringai bersiap me-
nyerang. Sedangkan Arya bersiap menghadapinya.
"Siapa itu"!"
Pertanyaan yang dikeluarkan Sembada secara pe-
lan, membuat Kumbayan mengurungkan maksudnya.
Pandangannya seketika diarahkan ke rumah Setan
Kepala Besi. Arya pun ikut memandang ke sana. Dia tidak kha-
watir bila kakek tinggi kurus akan membokong. Dewa
Arak tahu, sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi tidak akan mungkin
melakukan tindakan rendah. Apalagi terhadap seorang tokoh muda yang belum
diketa- hui secara pasti tingkat kepandaiannya.
Arya merutuk dalam hati ketika melihat Nuri berdi-
ri di ambang pintu yang sudah tidak berdaun lagi. De-wa Arak tidak menyalahkan
gadis itu. Dialah yang sa-
lah, karena tidak melarangnya. Walaupun Arya tidak
yakin kalau Nuri akan mematuhinya.
"Siapa gadis itu, Anak Muda"!" tanya kakek Kumbayan penuh tuntutan. Sepasang
matanya yang sipit
menatap wajah Arya seperti hendak mengupas kulit
wajah dan menguaknya.
Arya menghela napas berat. Pantang baginya un-
tuk berbohong. Maka meskipun berate dia harus men-
gatakannya. "Dia murid Setan Kepala Besi," jelas Arya, pelan dan tidak bersemangat.
Sepasang Malaikat Maut saling berpandangan. Wa-
jah mereka mendadak berubah. Arya jadi tidak enak
melihatnya. "Perjanjian batal, Anak Muda. Ada hal-hal yang ti-
dak terduga. Aku tidak perlu lagi berurusan dengan-
mu," ujar Kumbayan dengan nada dingin.
"Begitu mudahnya, Kek"!" kata Arya, seperti ingin ketegasan.
"Benar!" sahut Sembada menambahkan. "Karena, ada orang lain yang mempunyai
hubungan dengan Setan Kepala Besi. Kami yakin, apabila tahu muridnya
ada pada kami, Setan Kepala Besi akan mencari. Tidak seperti sebelumnya, kami
yang pontang-panting men-carinya."Sementara Kumbayan tidak mempedulikan Arya
sama sekali. Di saat pemuda berambut putih kepera-
kan itu tengah mendengarkan ucapan rekannya, dia
menghampiri Nuri. Hanya dengan sekali ayunan kaki,
dia telah mencapai jarak tiga tombak di depan Nuri.
Dari sini bisa dilihat betapa tingginya ilmu meringankan tubuh Kumbayan.
Arya bertindak cepat. Dia tahu maksud kakek ting-
gi kurus itu. Apalagi kalau bukan ingin menjadikan
Nuri sebagai sandera" Dan Dewa Arak tidak akan
membiarkan hal itu terjadi. Sekali menggerakkan kaki, maka Arya telah berada di
depan kakek tinggi kurus
itu lagi. Sembada menggeram, tak menyukai hadangan
yang dilakukan terhadapnya. Keberadaan Dewa Arak
di depannya, membuat langkahnya terhalang.
"Apa maksudmu, Anak Muda"!" tanya kakek ini keras, penuh ancaman.
Arya tahu kakek inilah yang memiliki suara paling
menggelegar. Berarti dialah yang telah menghancurkan daun pintu, mengingat
wataknya yang tidak sabaran.
"Apakah kau hendak menghalangi kami" Kau hen-
dak ikut campur dalam urusan ini"!" lanjut Kum-
bayan. "Maafkan kalau aku bertindak lancang, Kek. Sebenarnya aku tidak bermaksud ikut
campur. Tapi apabi-
la kau dan rekanmu ini bermaksud menyandera gadis
itu, terpaksa aku tidak tinggal diam. Sebelum pergi, Setan Kepala Besi telah
menitipkan muridnya padaku.
Jadi, aku berkewajiban menjaganya. Apapun yang ter-
jadi, aku tidak akan membiarkan satu orang pun men-
celakainya. Nyawaku adalah taruhannya!" tandas Arya, tenang dan mantap.
"Kalau begitu..., kaulah yang lebih dulu harus ku-singkirkan! Hih!"
Kakek Kumbayan menutup ucapannya dengan se-
buah cengkeraman tangan kanan ke arah ubun-ubun.
Arya cepat melompat ke belakang.
"Hih"!"
Betapa kaget Dewa Arak melihat serangan itu terus
mengejarnya. Padahal, kakek itu tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Arya
langsung menyadari kalau
tangan kakek ini bisa mulur! Sebuah ilmu aneh! Mau
tak mau Dewa Arak cepat menggerakkan tangannya,
menangkis. Plak! Tangkisan Dewa Arak ternyata membuat kakek
tinggi kurus mengkerut kembali. Namun tak urung
Arya merasakan tangannya bergetar hebat.
Arya semakin terkejut ketika bermaksud balas me-
nyerang. Mendadak, tangannya yang berbenturan tadi
tidak bisa digerakkan sama sekali. Lumpuh! Segera tenaga dalamnya dikerahkan
untuk memulihkan. Tapi,
bagian yang lumpuh malah bertambah. Malah, kini ra-
sa pusing pun menyerangnya. Demikian hebatnya, se-
hingga pemuda berambut putih keperakan ini tidak bi-
sa berdiri tegak lagi.
Tubuh Arya terhuyung-huyung ke sana kemari
sambil memegangi kepala. Semua yang terlihat seperti berputar. Pemuda ini tidak
kuasa bertahan, lalu ambruk di tanah.
Meski pandangannya berkunang-kunang dan tu-
buhnya terasa lemas bukan main, Arya masih sempat
melihat kakek Kumbayan yang menjadi lawannya me-
langkah menghampiri. Arya yakin, kakek itu hendak
melancarkan pukulan terakhir tanpa bisa dicegahnya.
Dan dia akan mati konyol di tangannya.
"Kurasa tidak ada gunanya membunuh pemuda
itu. Dia memiliki kepandaian tinggi. Berarti, gurunya pun mempunyai kesaktian
luar biasa. Matinya pemuda
ini, hanya akan membuat kita terlibat dalam permu-
suhan dengan tokoh tingkat tinggi. Bukankah kita
hanya berurusan dengan Setan Kepala Besi"! Dan se-
karang, muridnya akan berhasil kita dapatkan."
Meski samar-samar, Arya dapat menangkap uca-
pan-ucapan kakek Sembada yang ditujukan pada re-
kannya. Tampak, kakek Kumbayan yang tadi seperti
banyak menoleh ke arah kakek Sembada. Sepasang
Malaikat Maut ini saling tatap sebelum akhirnya, ka-
kek Kumbayan membantingkan kaki ke tanah karena
kesal. "Sebenarnya..., sikap usilnya saja sudah cukup beralasan untuk membunuhnya!
Tapi, biarlah, sekarang
kuampuni. Dan apabila kelak kujumpai dan masih
menentangku, aku tidak mempunyai pilihan lain lagi!"
desis Kumbayan.
Kakek Sembada hanya mengangkat bahu. Sikap-
nya tidak peduli.
"Nuri...! Cepat pergi...!Tinggalkan tempat ini...!"
Arya bermaksud berteriak. Bahkan seluruh tena-
ganya dikerahkan untuk berteriak. Tapi karena saat
itu keadaannya lemah, sehingga yang terdengar hanya
seruan tak ubahnya keluhan. Meski demikian, Nuri
yang memiliki kepandaian tinggi mendengarnya.
Nuri yang sejak tadi terpaku kontan tersadar begitu
mendengar teriakan Dewa Arak yang lirih. Sesaat ditatapnya Arya dan dua kakek
sakti yang memiliki ciri-ciri aneh itu. Disadari betul kalau dirinya bukan
tandingan dua kakek yang memiliki maksud tidak baik. Dewa
Arak saja tidak berdaya. Apalagi dirinya. Maka Nuri
segera berbalik dan berlari masuk ke dalam rumah.
Gadis ini bermaksud untuk kabur melalui pintu bela-
kang. Tapi, Nuri jadi terperanjat ketika mengetahui dirinya hanya berlari-lari
di tempatnya. Betapapun seluruh kemampuannya telah dikerahkan, tetap saja ke-
nyataan itu tidak bisa dirubah.
Murid Setan Kepala Besi ini menjadi heran ber-
campur ngeri. Kepalanya cepat ke belakang. Dan ma-
tanya jadi terbelalak, ketika melihat kakek pendek gemuk itu mengulurkan kedua
tangan ke arahnya. Sea-
kan ada kekuatan menarik yang amat kuat muncul
dari kedua tangan yang terjulur, membuat Nuri tak
mampu meninggalkan tempat.
"Mau lari ke mana, Cah Ayu" Jangan harap kau bi-sa meninggalkan tempat ini,"
ejek Sembada. Nuri tidak putus asa. Seluruh kemampuannya di-
kerahkan, tapi keadaan tidak berubah. Bahkan ketika
kakek pendek gemuk itu menggerakkan tangan me-
lambai, tubuhnya kontan tertarik ke belakang tanpa
mampu dicegah. "Aaauuu....'"
Nuri menjerit tertahan begitu tubuhnya melayang
keras ke arah kakek Sembada. Sementara Arya yang
melihat hanya bisa mengeluh dalam hati. Saat ini dia memang tidak mampu berbuat
apa-apa, karena pengaruh yang menimpa masih mengungkungi.
Nuri memaki-maki sambil meronta-ronta. Bahkan
sambil memanggil-manggil gurunya. Tapi sekali tangan kakek pendek gemuk
menyentuhnya, semua tinda-kannya terhenti. Gadis ini tertotok, sampai pingsan.
Sembada menyerahkan Nuri pada rekannya. Ke-
mudian kepalanya menoleh pada Arya.
"Dengar, Arya. Kalau Setan Kepala Besi kembali, katakan kalau muridnya berada di
tangan kami. Muridnya tidak akan kami celakai. Tapi kalau muridnya
ingin dikembalikan, dia harus menyerahkan benda
yang diambilnya. Katakan, agar dia pergi ke Gua
Ayam. Kami menunggu di sana. Selamat tinggal, Arya."
Kakek Sembada berbalik, lalu melesat meninggal-
kan tempat itu. Di belakangnya, kakek Kumbayara
berkelebat menyusul.
Sementara Arya hanya menghela napas berat. Di-
ingatnya baik-baik semua perkataan kakek Sembada
untuk disampaikan pada Setan Kepala Besi.
Arya berdiam diri di tempatnya, tanpa berani ber-
gerak atau mengeluarkan tenaga dalam. Dia tahu se-
mua ini akan membuat pengaruh ilmu kakek tinggi
kurus itu semakin menjadi-jadi. Kalau dibiarkan saja pengaruhnya akan lenyap
sendiri. Meskipun memang
harus diakui membutuhkan waktu lama. Tapi, me-
mang tidak ada pilihan lain baginya.
*** Arya berdiri penuh perasaan tidak sabar. Sebentar-
sebentar, kakinya melangkah mondar-mandir di tem-
patnya. Sepasang matanya sudah tidak terhitung lagi, diarahkan ke tempat
lenyapnya Setan Kepala Besi.
Dewa Arak memang sudah sejak tadi berhasil be-
bas dari pengaruh ilmu kakek Kumbayan. Dan seka-
rang dia tengah menanti kembalinya Setan Kepala besi untuk mengabarkan peristiwa
yang menimpa Nuri.
Arya yakin Setan Kepala Besi tahu letak Gua Ayam itu.
Wajah Arya berseri, ketika melihat adanya sesosok
tubuh di kejauhan yang tengah meluncur ke arahnya.
Siapa lagi kalau bukan Setan Kepala Besi. Demikian
dugaan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi sesaat kemudian, dugaan itu pupus dari be-
nak Arya. Sosok yang bergerak cepat mendatangi itu
ternyata mengenakan pakaian merah! Padahal, Arya
yakin kalau Setan Kepala Besi tadi tidak mengenakan
pakaian berwarna demikian.
Semakin dekat sosok itu, Dewa Arak semakin yakin
kalau dia bukan Setan Kepala Besi. Sosok itu adalah
seorang pemuda yang cukup dikenal Arya. Ternyata
sosok itu memang seorang berpakaian merah dengan
ikat kepala juga berwarna merah.
Jantung Arya berdetak jauh lebih cepat, ketika lari
pemuda berpakaian merah itu berhenti berjarak lima
tombak di depannya. Seperti juga dirinya, pemuda itu tampak kaget. Kendati
demikian tidak terlihat perasaan itu pada bias wajah maupun sorot matanya. Wa-
jah dan sorot mata pemuda itu kelihatan dingin, me-
mancarkan sesuatu yang mengerikan!
"Dewa Arak...!"
Pemuda berpakaian merah mendesis, setelah ber-
hasil menguasai perasaannya. Terasa benar adanya
kebencian dalam nada ucapannya.
"Sama sekali tidak kusangka akan jumpa dengan-
mu di sini, Orang Usil! Aku memang tengah mencari-
carimu. Kelancanganmu mencampuri urusanku akan
kau tebus mahal, Pemuda Sombong!" lanjut pemuda berpakaian merah itu.
"Atau kau yang akan menggeletak tak bernyawa di
sini, Manusia Biadab! Orang bejat sepertimu, seharusnya menyusul gurumu ke
neraka, Lingga! Dan kali ini, kau tak akan seberuntung dulu. Sekarang kau tidak
akan bisa meloloskan diri sambil terkaing-kaing seperti dulu!" desis Dewa Arak,
tak kalah tajam.
Pemuda berpakaian merah itu ternyata memang
Lingga. Dan Arya memang mengenalnya karena pernah
bertarung dengan pemuda kejam dan berhati keji ini,
Sayangnya, waktu itu Lingga lolos dari tangannya.
Waktu itu Lingga sempat digagalkan Dewa Arak ketika
hampir menggarap kegadisan putri Pendekar Tangan
Sepuluh, Sri Kunti (Untuk jelasnya, silakan baca episode: "Petualang-petualang
dari Nepal").


Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bermimpi, Dewa Usil. Kaulah yang akan bina-sa di tanganku!"
Lingga menjejakkan kaki kanannya ke tanah seka-
li. Sementara Arya heran melihatnya. Apa maksud tin-
dakan pemuda berhati keji itu" Apalagi ketika melihat tidak adanya akibat apa-
apa pada tanah yang di jejak Lingga. Tapi....
"Ukh!"
Mendadak Arya mengeluarkan keluhan tertahan
ketika merasakan dadanya sakit bukan main seperti
ditumbuk sebatang tongkat besi. Seketika pemuda ini
tahu kalau Lingga telah menyerang mempergunakan
ilmu gaib! Seringnya Arya menemukan hal-hal aneh
dalam petualangan, membuatnya segera bisa menduga
demikian. Arya bertindak cepat. Tenaga dalamnya segera di-
kerahkan untuk melenyapkan rasa sakitnya. Namun
dia menjadi kaget bukan kepalang, ketika merasakan
sakit yang menyerang dadanya jadi menyebar! Keja-
diannya hampir mirip yang dialaminya ketika bertemu
dengan kakek tinggi kurus.
"Ha ha ha..!"
Lingga tertawa terbahak-bahak, ketika melihat De-
wa Arak menyeringai dan kelihatan kaget. Pemuda ini
yakin, sekarang Dewa Arak telah tidak berdaya. Serangan gaibnya diketahui betul
keampuhannya. Maka dia
tidak buru-buru melancarkan serangan.
"Bagaimana, Dewa Sombong"! Masih yakinkah kau
akan kemenanganmu kali ini"!" ejek Lingga penuh kemenangan.
Arya tidak menanggapi. Perhatiannya dipusatkan
pada luka aneh yang dideritanya. Pemuda itu teringat akan kejadian yang dulu
dialami ketika menghadapi
Setan Merah. Gurunya, Ki Gering Langit, memberi cik-
al bakal ilmu gaib. Dan dengan diiringi beberapa kali masuknya belalang raksasa
ke dalam dirinya, membuat pemberian itu semakin menampakkan kegu-
naannya. Jauh lebih berarti dibanding ketika pertama kali diberikan gurunya
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Penganut Ilmu
Hitam"). Sewaktu pertama kali diberikan Ki Gering Langit,
kegunaan yang dapat dilakukan Arya hanya menang-
kal serangan gaib lawan. Memang pemberian ilmu itu
tidak membuat Arya jadi mampu menghilangkan pen-
garuh serangan gaib lawan.
Dan di saat Lingga tengah tertawa-tawa penuh
gembira, Arya tengah menumbuhkan cikal bakal ilmu
gaib yang diberikan gurunya. Perhatiannya segera di-
pusatkan untuk menyembuhkannya.
Lingga yang masih tertawa-tawa kontan terdiam
ketika melihat Arya tersenyum. Perasaan curiganya
timbul. Matanya menyiratkan tanda tanya besar ketika menatap musuh bebuyutannya.
Arya sekarang ganti yang tersenyum mengejek.
Pemuda berambut putih keperakan ini telah bisa men-
getahui, mengapa Lingga kelihatan menatapnya lekat-
lekat. "Kau kelihatan kaget bukan main, Lingga. Apakah ada perubahan pada diriku"
Wajahku yang menjadi lebih tampan, barangkali"!" seloroh Arya untuk mema-nas-
manasi. *** 6 Lingga menggeram bak seekor harimau luka. Sepa-
sang matanya memancarkan sinar kebencian, ketika
menatap Dewa Arak.
"Rupanya kau memiliki kemampuan untuk bebas
dari pengaruh ilmuku, Orang Usil. Tapi jangan ber-
bangga hati dulu! Masih banyak ilmuku yang dapat di-
pergunakan untuk mengirim nyawamu ke akherat!"
desis Lingga. "Hiaaa...!"
Disertai teriakan menggelegar, Lingga membuka se-
rangan dengan sebuah tendangan terbang.
Namun Arya tidak mau kalah dengan orang yang
dibencinya. Begitu Lingga melompat dan menerjang ke
arahnya, disambutnya dengan tendangan terbang pu-
la. Blarrr...! Benturan dua kaki yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. Bunyi keras menggelegar
terdengar. Tubuh masing-masing
terjengkang ke belakang. Namun dengan manis, kedua
pemuda perkasa itu mampu mematahkan daya luncu-
ran lalu menjejak tanah secara manis.
Arya terkejut bukan main. Dalam benturan yang
terjadi dirasakan betapa kuat tenaga dalam Lingga.
Kakinya sampai bergetar hebat begitu menjejak tanah.
Padahal, dalam bentrokan kaki, seluruh tenaga da-
lamnya telah dikerahkan. Tidak salahkah yang dirasa-
kannya" Dewa Arak benar-benar tidak yakin akan hasil
yang didapat, karena telah pernah bertarung melawan
Lingga sebelumnya. Dan telah bisa diketahui, sampai
di mana kemampuan pemuda bengis ini. Dan kenya-
taan kalau Arya sendiri yang terlempar lebih jauh, benar-benar membuatnya kaget
bukan kepalang. Mung-
kinkah Lingga mendapatkan kemajuan tenaga dalam
waktu yang demikian singkat" Rasanya mustahil!
"Heaaat..!"
Arya benar-benar tidak diberi kesempatan untuk
berpikir lebih lama. Lingga yang juga merasa penasa-
ran, telah meluruk maju melepaskan serangan-
serangan mematikan!
Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi, kecuali
mengelak dan balas menyerang. Pertarungan sengit
antara kedua pemuda sakti itu pun terulang. Dan ka-
rena sama-sama tahu kelihaian satu sama lain, ilmu-
ilmu andalan pun langsung dikeluarkan.
Dewa Arak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Sedangkan Lingga mengeluarkan ilmu 'Dewa Ma-
buk'nya. Kedua ilmu itu boleh dibilang mirip, membuat pertarungan terlihat aneh.
Sepertinya bukan dua
orang sakti yang tengah bertempur, tapi dua orang
mabuk yang tengah berjoget!
Sebenarnya, ilmu Dewa Arak jauh lebih sempurna,
karena selaras dengan senjata gucinya. Bahkan juga
karenanya adanya semburan arak di sela-sela perta-
rungan. Tapi kesempurnaan ilmu Dewa Arak tertutupi oleh
keunggulan tenaga dalam dan ilmu meringankan tu-
buh Lingga. Arya sendiri masih bingung memikirkan,
mengapa pemuda kejam ini dapat meningkatkan ke-
mampuan demikian cepat"
Desss! Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak berhasil
menghantamkan gucinya ke dada Lingga. Begitu keras
dan telaknya, sehingga tubuh pemuda itu terlempar
jauh ke belakang.
Arya menghela napas lega. Sudah terbayang di be-
naknya kalau Lingga akan tergolek tanpa daya di ta-
nah dengan luka parah yang tidak bisa membuatnya
bangun lagi. Tapi kelegaan pemuda berambut putih keperakan
itu langsung sirna, ketika melihat Lingga tidak mengalami kejadian seperti yang
dibayangkan. Tubuh pemu-
da berpakaian merah itu memang terbanting di tanah,
tapi langsung bergulingan menjauh. Kemudian, dia
bangkit dan siap bertarung lagi.
Arya menatap Lingga dengan sepasang mata terbe-
lalak lebar. Ilmu apa lagi yang dimiliki pemuda berhati keji ini" Bulu tengkuk
Dewa Arak langsung meremang.
Begitu banyak kemajuan yang diperoleh pemuda telen-
gas itu dalam waktu singkat.
"Ha ha ha...!"
Lingga malah tertawa terbahak-bahak melihat De-
wa Arak kebingungan
"Heran, Dewa Sombong"! Kau kira akan begitu
mudah membunuhku"! Jangan mimpi! Kau tahu, se-
ranganmu tak ubahnya belaian tangan seorang nenek
yang tidak kuat lagi menyirih!" ejek Lingga
Gluk! Gluk! Gluk!
Arya menenggak araknya untuk meredakan kega-
lauan hatinya. Benaknya digayuti pertanyaan menge-
nai kekuatan tubuh Lingga yang menakjubkan. Na-
mun Dewa Arak yakin, kekebalan Lingga tidak berhu-
bungan dengan tenaga dalam. Dengan kata lain, tidak
dari hasil latihan. Arya merasakan, kalau kekebalan
itu ada unsur gaibnya.
Dan ketika kedua tokoh itu hendak saling gebrak,
mendadak... "Hey...!"
*** Sebuah teriakan melengking keras terdengar jelas
oleh Dewa Arak dan Lingga. Seketika kedua tokoh sak-
ti yang masih muda itu mengurungkan niat, dan me-
noleh ke arah teriakan tadi
Lingga tersentak. Disadari kalau orang yang berte-
riak memiliki kepandaian tinggi. Ini dibuktikan dengan kekuatan suaranya.
Seakan-akan, orang yang berteriak berada dekat, padahal masih berada amat jauh.
Karena jauhnya, sehingga sulit dikenali.
Sementara Arya tidak merasa terkejut. Dari suara
tadi, dia yakin kalau yang datang adalah Setan Kepala Besi.
"Arya...! Dewa Arak...! Apa yang terjadi..."!"
Seruan yang kedua, kali ini tidak bisa disangsikan
Dewa Arak, kalau yang datang adalah Setan Kepala
Besi. Arya merasa gembira. Bukan karena akan men-
dapatkan bantuan, tapi karena akan segera memberi-
tahukan tentang kejadian yang menimpa Nuri.
Tapi Arya tahu, penjelasannya hanya akan dapat
diberitahukan apabila telah berhasil mengalahkan
Lingga. Pikiran ini membuat Dewa Arak bermaksud mener-
jang pemuda berpakaian merah itu. Namun maksud-
nya tertunda, karena Lingga telah lebih dulu melesat meninggalkan tempat ini.
Pemuda yang memiliki watak
cerdik ini tahu kalau keberadaannya di tempat ini sudah tidak menguntungkan. Ada
seorang lawan kuat
yang berdiri di pihak Dewa Arak. Jadi bila terus berada di situ, hanya akan
mencelakakan diri sendiri.
"Lagi-lagi kau bernasib baik, Dewa Arak. Tapi, Ingat. Keberuntungan tidak akan
sampai tiga kali. Apabi-la kita bertemu lagi, berarti akhir ajalmu telah tiba!
Kau akan menghadap malaikat maut! Selamat tinggal,
Dewa Arak! Kutitipkan dulu nyawa itu padamu!" kata Lingga sambil berlari.
"Hey! Mau lari ke mana kau..."!" Sosok yang memang Setan Kepala Besi langsung
berseru keras dan
mengejar Lingga. Tapi....
"Kek...!"
Baru beberapa tombak, terdengar seruan Dewa
Arak. Seketika langkahnya berhenti dan langsung ber-
balik. "Tidak usah dikejar, Kek! Ada masalah lain yang lebih penting!" ujar Arya.
Setan Kepala Besi menatap Arya dan menghampi-
rinya. Pandang matanya penuh pertanyaan.
"Apa artinya, Dewa Arak"! Apa yang terjadi"! Siapa orang itu"! Dan apa yang
terjadi pada pintu rumahku"!
Bagaimana dengan Nuri" Mana dia, Dewa Arak" Mana
Nuri"!" berondong Setan Kepala Besi.
Arya menghela napas berat. Kemudian secara sing-
kat dan jelas diceritakan semuanya. Setan Kepala Besi mendengarkan penuh
perhatian. Beberapa kali dia
berseru kaget dengan wajah berubah. Ada kemarahan,
kegeraman, tapi juga penyesalan.
Setan Kepala Besi menundukkan kepala sambil
mengepal tinju, ketika Arya menyelesaikan ceritanya.
Dia tampak bingung bukan kepalang. Berulang-ulang
ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskan per-
lahan-lahan. "Apakah kau tahu, di mana tempat yang dimak-
sudkan mereka, Kek"!"
Arya tidak tahan untuk berdiam diri melihat Setan
Kepala Besi tidak segera melakukan sebuah tindakan.
Sedang lelaki botak itu mengangguk lemah. Bahkan
tanpa mengangkat wajah sama sekali.
"Tampaknya Sepasang Malaikat Maut mengenali-
mu, Kek. Apakah kau mempunyai urusan dengan me-
reka"!" tanya Arya lebih jauh.
Lagi-lagi Setan Kepala Besi hanya mengangguk
sambil mengepal-ngepalkan kedua tangannya. Arya ja-
di tidak sabar melihatnya. Meski disadari kakek itu tidak kalah khawatir dengan
dirinya. Tapi kenyataannya tindakan lelaki berkepala botak itu membuatnya
penasaran dan kecewa bukan main.
"Apakah ada hal lain yang kau lakukan, Kek" Terutama yang lebih baik dan berarti
daripada hanya ber-
diam diri?"
Setan Kepala Besi sampai terlonjak dan mengang-
kat kepala mendengar kata-kata Dewa Arak yang tajam
bukan main. Apalagi keluar dari hati yang penasaran
dan dicekam kekhawatiran. Hanya sebentar Setan Ke-
pala Besi menatap, lalu kembali menunduk. Dia meli-
hat sepasang mata pemuda itu begitu tajam menusuk,
penuh teguran. "Tentu saja ada, Dewa Arak," desah Setan Kepala Besi, lirih seperti orang yang
merasa bersalah. "Tapi, itu berarti aku akan melibatkan diri dalam kancah dunia
persilatan lagi...."
"Aku rasa tidak sampai demikian, Kek," sergah Arya mengajukan keberatan
pendapatnya setelah termenung sejenak.
"Dua orang kakek itu sepertinya tidak menyukai
kekerasan. Aku yakin tindakan mereka karena terpak-
sa. Kalau aku tidak salah dengar, mereka bertindak
demikian untuk meminta padamu agar menyerahkan
sesuatu benda. Sayangnya, ketika kutanyakan mereka
tidak mau memberitahukannya...."
"Itulah, Dewa Arak. Peristiwa ini mau tidak mau akan menyeretku ke dalam kancah
persilatan lagi,"
timpal Setan Kepala Besi bernada pahit. "Benda yang mereka maksudkan, sudah
tidak ada di tanganku. Padahal, mereka amat bernafsu untuk mendapatkannya.


Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keterangan yang kuberikan tak akan dipercaya. Mere-
ka pasti akan menganggapku berdusta."
Arya kontan terdiam. Sama sekali tidak disangka
kalau persoalan akan menjadi pelik begini. Semula dikira akan mudah saja. Maka
sekarang ganti Dewa Arak
yang tercenung bingung.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Kek"!" tanya Arya memecahkan kebisuan yang
mencekam. "Aku belum tahu, Dewa Arak," jawab Setan Kepala Besi, ragu. "Mungkin akan
kusatroni tempat mereka dan meminta membebaskan muridku. Toh, Nuri tidak
ada sangkut pautnya dengan urusan kami."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Memang bisa
diterima usul Setan Kepala Besi. Agaknya ini jalan
yang paling baik.
"Maaf, Kek.... Bukannya hendak ikut campuri urusan atau ingin mau tahu. Hanya
saja mungkin aku bi-
sa membantu. Maksudku..., benda apakah yang di-
maksud Sepasang Malaikat Maut" Dan sebenarnya
siapakah pemiliknya"!"
Setan Kepala Besi tidak segera memberi jawaban.
Dia malah menghela napas berulang-ulang sambil
mengepal-ngepalkan tangan.
"Sebenarnya aku malu menceritakannya, Dewa
Arak. Karena ini menyangkut masa laluku. Masa yang
tidak menyenangkan untuk diingat..."
"Maaf, Kek. Bukannya aku bermaksud menggurui.
Tapi kurasa, saat ini yang paling penting adalah keselamatan muridmu. Tidak ada
salahnya kalau kau
buang dulu rasa malumu. Sementara ini saja, demi
muridmu! Bagaimana, Kek"!" usul Arya.
Setan Kepala Besi mengangguk-angguk setelah ter-
lebih dulu tercenung seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan.
"Kurasa kau benar, Dewa Arak. Barangkali saja
kau bisa menolongku untuk menemukan kembali ben-
da yang dimaksudkan dua kakek itu," kata Setan Kepala Besi.
Arya diam. Ditunggunya kelanjutan ucapan Setan
Kepala Besi yang hendak menceritakan masa lalunya
"Puluhan tahun yang lalu, aku terkenal sebagai datuk kaum sesat yang ditakuti
lawan dan disegani ka-
wan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persilatan yang tewas di tanganku. Aku
memang gemar mengadu kesaktian."
Setan Kepala Besi memulai ceritanya. Sementara,
Arya mendengarkannya tanpa memberi tanggapan. Dia
tidak heran mendengar awal cerita lelaki berkepala botak ini, karena memang
telah mengetahui sebelumnya.
"Tapi aku menelan kenyataan pahit, ketika mengacau di Perguruan Pedang Ular. Aku
yang sudah merasa
sebagai tokoh tak terkalahkan, telah dikalahkan seo-
rang pentolan dunia hitam. Kami, aku dan tokoh itu,
memang berasal dari tempat yang jauh berbeda. Aku di
barat, dan tokoh itu di timur. Antara kami tak pernah ada silang sengketa
sebelumnya, sehingga tak pernah
terjadi bentrokan. Baru di Perguruan Pedang Ular aku dan tokoh itu bentrok. Dan
aku dikalahkan. Itu untuk pertama kalinya aku menderita kekalahan. Beruntung,
aku berhasil menyelamatkan diri sehingga tidak tewas percuma."
"Apakah tokoh yang kau maksudkan itu Kalapati,
Kek"!" tanya Arya, setengah menduga. Dia memang telah mendengar cerita seperti
itu sebelumnya, dari putri Kalapati sendiri. Karmila, namanya (Untuk jelasnya,
silakan baca episode: "Memburu Putri Datuk").
"Rupanya kau telah mendengar cerita itu, Dewa
Arak"!" Setan Kepala Besi tersenyum pahit. "Apakah Karmila yang menceritakannya
padamu"!" Arya tersenyum dan mengangguk. "Kekalahan untuk pertama
kalinya itu, membuatku penasaran bukan main," lanjut Setan Kepala Besi. "Aku
bertekad menebusnya.
Maka aku segera mengundurkan diri dari dunia persi-
latan untuk menambah kepandaian. Bertahun-tahun
aku merambah ke seluruh tempat. Sampai akhirnya,
ku pilih Gunung..., sayang sekali aku lupa namanya.
Di sana aku menggembleng diri dan mempertinggi ke-
pandaian."
Sampai di sini, Setan Kepala Besi menghentikan
ceritanya. Sedangkan Arya tidak memberi tanggapan,
tetap seperti semula. Diam dan mendengarkan.
"Aku sama sekali tidak tahu kalau di tempat itu ada tokoh-tokoh lain yang
menyepi. Hanya bedanya,
mereka berada di situ memang untuk menjauhi keras-
nya kancah dunia persilatan. Mereka mengira kalau
aku bermaksud demikian. Maka dengan tangan terbu-
ka, aku diperlakukan sebagai kawan. Dua di antara
mereka, adalah orang-orang yang memiliki ciri-ciri se-
perti yang kau sebutkan, Dewa Arak. Sedangkan yang
satunya lagi, seorang ahli nujum. Tokoh yang terakhir ini ternyata memiliki
pengetahuan luas. Terutama, di bidang pusaka-pusaka persilatan ampuh yang jarang
tandingannya dan masih beredar di dunia persilatan.
Salah satu di antaranya adalah Golok Kilat. Hanya saja menurut ahli nujum itu,
golok ini mempunyai sebuah
kelemahan. Yaitu apabila lama tidak dipergunakan,
meski kekuatannya tidak berkurang, tapi keistime-
waannya akan lenyap. Ahli nujum itu menuliskan di
dalam lembaran-lembaran daun lontar, mengenai keis-
timewaan pusaka ini. Kau tahu keistimewaan Golok
Kilat itu, Dewa Arak"!"
Arya menggeleng.
"Tidak bisa memperkirakan sama sekali"!" desak Setan Kepala Besi, ingin tahu.
"Sedikit," jawab Arya, setelah terlebih dulu berpikir.
"Mungkin dari ujung golok itu keluar cahaya kilat yang menghanguskan seperti
halnya kilat."
"Itu hanya salah satunya, Dewa Arak," sambung Setan Kepala Besi penuh semangat.
"Keistimewaan lainnya, mampu menyedot tenaga dalam lawan. Sehingga, lawan akan
cepat lelah. Bisa juga untuk me-
nangkal sihir. Dapat pula untuk menarik keluar racun dari dalam tubuh. Dan yang
lebih mengerikan lagi, golok itu konon dapat berubah menjadi lidah kilat yang
dapat terbang sendiri menyerang lawan."
Jantung Arya seperti berhenti berdetak. Sungguh
sebuah pusaka yang amat berbahaya. Apalagi, bila ja-
tuh ke tangan orang yang berwatak telengas. Jelas,
akan membuat dunia persilatan kacau!
"Aku merasa tertarik mendengar penuturan ahli
nujum itu. Maka ku putuskan untuk mendapat cata-
tan ahli nujum itu mengenai Golok Kilat. Jika memin-
ta, jelas tidak mungkin. Maka jalan satu-satunya adalah mencuri. Dan itulah yang
kulakukan. Di tengah jalan catatan itu ku baca. Tapi, malang. Sebelum tuntas,
aku terlibat pertarungan dengan seorang tokoh persilatan yang memiliki watak
aneh. Tokoh itu memiliki tangan amat kuat, mungkin lebih kuat daripada baja. Se-
tiap kali berbenturan, tulang-tulangku terasa ngilu."
Setan Kepala Besi menyeringai. Seakan-akan rasa
ngilu yang melanda itu terasa kembali,
"Pertarungan dengan tokoh aneh itu membuatku
menyesal bukan kepalang. Catatan di daun lontar yang kubawa terjatuh ke dalam
laut. Memang, waktu itu
aku bertemu di tengah laut. Asal mulanya, perahu
yang ku kemudikan patah layarnya akibat angin keras.
Sehingga laju perahu ku tak terkendalikan lagi, lalu menabrak perahunya. Saat
itu, badai memang baru
saja reda. Pertarungan kami mungkin akan berlang-
sung lama. Namun ketika mendengar tangisan bayi,
perhatian tokoh aneh itu jadi beralih. Dan dia lebih mementingkan sang bayi.
Pertarungan pun terhenti.
Dia sibuk mengurus bayi itu. Sedangkan aku sibuk
mencari-cari kitab daun lontar yang hanya beberapa
lembar itu. Sialnya, tak pernah kutemukan."
Arya tersenyum kecut. Sekarang, bisa mengerti
mengapa Setan Kepala Besi kebingungan. Bagaimana
mungkin catatan daun lontar itu dikembalikan, kalau
sudah tidak berada di tangan lelaki berkepala botak
itu"! "Hilangnya catatan itu, membuat kesadaranku se-
dikit timbul. Aku membatin dalam hati. Mungkin ini
hukuman atas tindakanku. Maka, aku kembali memu-
tuskan untuk menjauhkan diri dari kancah persilatan.
Segera ku pilih tempat ini, sebagai tempat tinggalku.
Dan aku hidup tenang sebagai pencari kayu bakar.
Tapi seperti sudah merupakan hukum alam, sebagai
seorang ahli silat duniaku tidak bisa ditinggalkan. Ada saja penyebab yang
membuatku menggunakan kekerasan. Di waktu aku mencari kayu bakar, kudengar sua-
ra ribut-ribut. Ternyata, rombongan bangsawan tengah terlihat keributan dengan
rombongan perampok yang
mengingini hartanya. Pertarungan antara para prajurit dengan kelompok perampok
ku saksikan tanpa ada
maksud mencampuri. Bahkan ketika semua pengawal
dan suami istri keturunan bangsawan itu terbunuh,
aku tidak bertindak apa-apa. Tapi, ketika seorang
anak perempuan berusia sekitar tiga tahun hendak di-
bantai pula, aku tidak bisa tinggal diam. Aku turun tangan dan langsung
mengamuk. Semua perampok
kubunuh. Anak itu langsung kubawa dan kuangkat
sebagai muridku sendiri. Nuri, nama yang kuberikan
padanya." Arya melongo. Pengalaman Setan Kepala Besi ini
benar-benar menakjubkan.
"Aku hidup tenang bersama Nuri sampai dua puluh tahun lebih. Hanya sampai di
situ, karena aku tertarik lagi untuk terjun ke dunia persilatan begitu mendengar
adanya benda mukjizat yang bernama Jamur Sisik Na-ga. Sebelumnya, sekitar tiga
tahun sebelumnya, hatiku telah goncang karena berkelana dengan seorang tokoh
hitam wanita setengah tua yang berjuluk Dewi Penca-
but Nyawa. Hanya saja, aku masih mempunyai per-
timbangan. Baru ketika mendengar tentang Jamur Si-
sik Naga, aku tidak tahan lagi untuk terjun ke dunia persilatan. Ku tinggalkan
Nuri. Apalagi Dewi Pencabut Nyawa juga punya andil besar dalam menarik aku ke
dunia persilatan setelah jadi istriku. Dia sering membujuk ku. Dan karena aku
suaminya, aku berhasil di-
bujuk. Maksudku bercabang, ketika mengetahui Ja-
mur Sisik Naga itu berada di tempat kediaman Kalapa-
ti. Aku ingin membalas dendam. Maka kufitnahlah dia
melalui perantara Waji. Kurasa sampai di sini kau telah tahu kelanjutannya, Dewa
Arak" Arya mengangguk.
"Sekarang, apa yang hendak kau lakukan, Kek"!"
tanya Arya, ingin tahu. "Mungkin tenagaku bisa dis-ambungkan."
Setan Kepala Besi diam. Lelaki ini berpikir keras
untuk menemukan cara paling baik
"Bagaimana kalau kita satroni dulu tempat penculik-penculik Nuri itu, Kek," usul
Arya. "Kurasa tidak ada salahnya. Toh, di sana bisa kita pikirkan cara selanjutnya
untuk menolong Nuri," sambut Setan Kepala Besi, menyatakan persetujuannya.
*** 7 Tang, ting, tang...!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika seorang
kakek berkain lusuh yang dilibat-libatkan ke sekujur tubuh, menghantamkan
penggada pada sebatang besi
yang telah berbentuk golok. Batang besi itu tampak
merah membara. "Uh...!"
Namun, pandai besi bertubuh kurus kering berku-
lit coklat kemerahan itu mendadak mengeluh tertahan, sarat keterkejutan dan
kesakitan. Pergelangan tangan kanannya terasa sakit bukan main, ketika ada
sesuatu yang menghantam secara keras. Bahkan penggadanya
terlepas dari pegangan dan terlempar jauh.
Pandai besi itu melayangkan pandangannya ke ta-
nah, mencari-cari sesuatu yang mungkin telah meng-
hantam pergelangan tangannya. Tapi dia tidak mene-
mukan apa-apa, sehingga membuatnya heran. Bagai-
mana mungkin tangannya terbentur sesuatu, tapi ti-
dak terlihat yang membenturnya"
"Apa yang kau cari, Tua Bangka"! Aku tidak mem-
butuhkan apa-apa untuk membuat gada milikmu, ter-
lempar. Bahkan untuk mematahkan tanganmu sekali-
pun!" Tiba-tiba terdengar suara bernada dingin dan
berkesan menyeramkan. Seketika kakek pandai besi
ini mengalihkan pandangan ke pintu tempat suara itu
berasal. Dua tombak di depan pintu, tampak berdiri
angkuh sesosok tubuh kekar seorang pemuda berpa-
kaian merah dengan ikat kepala berwarna merah juga.
Siapa lagi kalau bukan Lingga.
"Siapa kau, Anak Muda" Apa maksud kedatan-
ganmu kemari dengan cara sedemikian lancang"! Kau
kira bisa menggertak ku dengan permainan konyol
itu"!" sambut kakek pandai besi berani, tanpa bergeming dari sikapnya. Tangan
kirinya masih menggenggam
golok yang belum selesai dibuat. Wajah Lingga yang
dingin tidak bergeming sama sekali. Tapi pada sepa-
sang matanya tampak kilatan hawa maut.
"Rupanya kau membutuhkan bukti kalau tindakan
yang kulakukan sesuai yang kuucapkan"!" desis Lingga. Seketika pemuda berbaju
merah ini menjentikkan
jari telunjuknya.
Sing...! "Aaakh...!"
Bunyi mendesing seperti ada benda meluncur ter-
dengar, lalu disusul pekikan si pandai besi. Saat itu
juga, kakek ini merasakan pergelangan tangannya
seakan terhantam sesuatu seperti batu kecil. Karena
kali ini yang terkena tangan kiri, maka golok dalam
genggaman yang belum selesai kontan terlepas.
"Sudah percaya, Tua Bangka Sombong"!" dengus Lingga, dingin.
"Pemuda telengas!" maki kakek ini tajam dan lantang. Tidak terlihat adanya
kegentaran sedikit pun.
Baik pada wajah maupun sorot matanya
"Kau kira permainan konyol mu ini membuatku ta-
kut"! Kau mimpi, Anak Muda! Jangan dikira aku takut
mati! Apalagi di tangan orang konyol sepertimu! Mau
bunuh, silakan bunuh!"
Lingga menyeringai kejam.
"Kau keliru, Tua Bangka! Kau tahu, aku memang
haus darah! Aku gemar membunuh! Tapi, tidak den-
gan cara mudah! Jangan dikira aku akan menewaskan
mu begitu saja! Mungkin kau akan mati di tanganku,
tapi setelah mengalami siksaan yang mengerikan.


Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan siksaan yang akan membuatmu menyesal ber-
temu denganku!"
Kakek kurus kering ini kontan merasakan bulu
kuduknya berdiri. Dirasakan adanya nada kesunggu-
han dalam ucapan pemuda itu. Sebagai orang yang te-
lah banyak makan garam kehidupan, pandai besi ini
tahu kalau pemuda di hadapannya tidak main-main.
Sorot mata pemuda itu yang memancarkan sinar men-
gerikan, semakin memperjelas dugaan si pandai besi
akan kesungguhan ancaman yang diterimanya.
"Tapi, aku mungkin akan mencabut ancaman itu
apabila kau bersedia memenuhi permintaanku," tambah Lingga lagi, tetap dingin
dan datar. Si kakek diam, tidak memberi jawaban apa-apa.
Lingga mengambil sebatang golok sekaligus sa-
rungnya dari belakang punggung. Bagian bawah sa-
rung golok itu dipegang dengan tangan kanan, agak
jauh dari wajah.
"Aku hanya menginginkan agar kau menerima pu-
sakaku ini. Dan, katakan pendapatmu!" ujar Lingga,
"Bagaimana"!"
Si Kakek diam sebentar, kemudian perlahan-lahan
kepalanya mengangguk. Usul yang dikemukakan Ling-
ga disetujui, kendati dengan perasaan terpaksa. Ang-
gukannya saja terlihat kaku. Malah tidak berseri di wajahnya.
Tapi, pemuda itu rupanya tidak peduli. Yang pent-
ing adalah keinginannya terlaksana. Masalah si pandai besi rela atau tidak,
bukan jadi masalahnya.
Dengan raut wajah masih dingin, Lingga meniup
golok yang masih diacungkan sejajar wajahnya.
"Phuih!"
Srang! Seketika golok itu melesat keluar dari sarung, me-
luncur ke arah kakek kurus kering dalam keadaan
berputaran. Mata kakek pandai besi terbelalak ketika melihat
golok itu hinggap dalam keadaan tegak di atas tonggak besi yang menancap di
tanah. Tonggak yang besarnya
tak lebih dari jari kelingking! Golok itu berdiri dengan ujungnya, tapi hanya
menempel saja, tidak jatuh ke
tanah. "Periksalah, Tua Bangka! Dan katakan pendapat-
mu mengenai pusakaku. Tapi, ingat! Jangan coba-coba
mempermainkan! Kau tahu, akibatnya. Aku tidak mau
dipermainkan orang! Mengerti"!" ujar Lingga, sarat ancaman.
Si kakek tidak memberi jawaban sama sekali. Den-
gan sikap masih angkuh, dihampirinya tempat golok
Lingga bertengger. Dicekalnya gagang golok dan dita-
riknya. Tapi, lagi-lagi keterkejutan dialami si kakek pandai besi. Golok yang kelihatan
jelas hanya menempel bagian ujungnya pada tongkat, ternyata tidak mampu di-
tariknya. Seakan-akan senjata tajam itu telah bersatu dengan tonggak besi!
Kakek kurus kering tidak putus asa. Tenaga da-
lamnya dikerahkan untuk menarik. Tapi sampai sele-
bar wajahnya merah padam, golok itu tetap tidak ber-
geming. Dan dia pun menyerah.
Lingga mendengus, terlihat penuh nada meremeh-
kan. Tangan kanannya yang masih menggenggam sa-
rung golok digerakkan ke samping, sehingga sarung
golok memalangi,
"Hih!"
Kakek pandai besi yang masih bersikeras menarik
kontan terjengkang ke belakang terbawa tenaga tari-
kannya sendiri. Karena golok yang semula seperti me-
nyatu dengan tonggak besi, dapat dicabutnya dengan
mudah! Namun, kakek ini ternyata bukan orang sembaran-
gan. Kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang
dan hampir menabrak tembok mampu dipatahkan
dengan sebuah gerakan kaki sederhana.
Kakek pandai besi menatap Lingga dengan sorot
mata menyiratkan kebencian. Tapi yang ditatap malah
menatap dengan sinar mata penuh ejekan.
Kemarahan kakek tinggi kurus tidak bisa ditahan
lagi. Tindakan pemuda ini telah melampaui batas. Ma-
ka dengan penuh kegeraman yang tidak bisa disembu-
nyikan, golok milik Lingga dibantingkan keras ke lantai. Jleb!
Golok itu kontan amblas ke lantai sampai hampir
setengahnya! Padahal, lantai itu tersusun dari batu
padas yang amat kuat!
Sementara sepasang mata Lingga seperti meman-
carkan api ketika menatap kakek pandai besi. Kema-
rahan yang amat sangat memancar jelas di sana.
"Pungut kembali golok itu. Periksa dan berikan
pendapatmu. Atau kau akan menyesal karena melaku-
kan tindakan seperti itu terhadapku!" perintah Lingga dalam kemarahannya.
Cuhhh! Si kakek pandai besi yang telah dikuasai marah
karena perasaan tersinggung, memberi tanggapan
dengan meludah ke tanah. Sebuah tantangan telah di-
lakukan! Maka dengan wajah dingin, Lingga menudingkan
dua jari tengahnya.
Kakek kurus kering itu mencoba mengelak atau
menangkis. Tapi sayangnya, dia tidak tahu bagian
yang diserang. Walaupun demikian dia tetap berusaha
mengelak, meski secara sembarangan. Namun
Tuk! "Aaakh...!"
Kakek kurus kering menyeringai ketika merasakan
ada rasa sakit sesaat, seperti kena totok. Rasa nyeri yang amat sangat langsung
mendera. Tubuhnya yang
terjatuh di tanah menggeliat-geliat bagaikan ayam dis-embelih.
Lingga tertawa bergelak. Suaranya sarat kegembi-
raan. Sepasang matanya pun berbinar-binar, seakan-
akan tengah melihat pemandangan yang menarik dan
menyenangkan. Tubuh kakek pandai besi ini terus menggelepar-
gelepar ke sana kemari. Tak peduli keadaan sekitar-
nya. Bahkan ketika beberapa kali tubuhnya berbentu-
ran dengan dinding, sama sekali tidak dirasakan! Wa-
jahnya menyiratkan kenyerian hebat
Lingga memang mulai membuktikan ancamannya.
Kakek kurus kering itu ditotok dari jarak jauh pada
bagian yang membuat sekujur tubuh sakit dan nyeri
tak tertahan, bagaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum
berkarat! "Bagaimana, Tua Bangka Sombong"!" tanya Lingga dengan nada dingin tanpa gambaran
perasaan apa-apa. "Apakah kau masih bersikeras untuk menentangku"! Syarat yang
ku ajukan mudah saja. Dan perlu
kau ingat, Kakek Dungu! Ini tawaran terakhir! Bila kau masih tidak mau
mendengarnya, aku akan pergi. Tapi
kau akan tewas dengan cara menyedihkan dan sangat
tersiksa. Bagaimana"!"
"Kau memang bukan manusia! Kau iblis yang ber-
hati keji! Kau tidak memberi ku pilihan lain!" desis kakek kurus kering dengan
susah-payah karena rasa sa-
kit masih menderanya.
Lingga tidak memberi tanggapan apa-apa. Tapi so-
rot sepasang matanya terlihat jelas memancarkan si-
nar kemenangan. Meski, kakek ini belum memberi ja-
waban pasti, tapi perkataannya telah menunjukkan
kalau tawarannya diterima.
Tik! Lingga menjentikkan jari telunjuknya. Maka rasa
nyeri yang mendera tubuh kakek pandai itu pun le-
nyap. Geleparnya pun terhenti. Meski demikian, tu-
buhnya terlihat lunglai ketika bangkit. Peluh sebesar biji-biji jagung tampak
membasahi wajahnya, akibat
rasa nyeri yang hebat.
"Kudengar kau seorang pembuat senjata yang ter-
pandai. Kau mengenal banyak senjata pusaka dan bisa
tahu dengan memperhatikannya. Kau orang yang di-
kenal dengan nama Empu Lahang Samedi, bukan"!"
Lingga membuka suara.
Kakek kurus kering mengangguk tanpa menoleh.
Masih dengan langkah limbung, kakinya terayun
menghampiri tempat golok Lingga yang tertancap di
lantai. Dengan kedua tangan, karena masih lemah
akibat siksaan tadi, golok itu berusaha dicabut. Tapi ternyata, si pandai besi
yang bernama Empu Lahang
Samedi ini tidak mampu! Tenaganya telah terkuras
habis. Bahkan golok itu tidak bergeming sama sekali.
Melihat hal ini, Lingga menjadi tidak sabar. Maka
tangan kanannya cepat dikibaskan.
Werrr...! Seketika angin keras menderu. Sehingga tidak
hanya golok yang tertancap, tubuh Empu Lahang Sa-
medi pun terlempar. Sedangkan golok yang tercekal
erat dengan kedua tangannya tetap tergenggam, sam-
pai tubuh kakek itu menubruk dinding.
Empu Lahang Samedi merayap lemah. Kendati la-
hir dan batinnya sakit akibat perlakuan Lingga, na-
mun dia tidak berani lagi membangkang. Golok yang
berada di tangan diperhatikannya penuh selidik.
Sepasang mata Empu Lahang Samedi berbinar-
binar. Wajahnya menyiratkan keterkejutan dan keti-
dakpercayaan. Kedua tangannya tampak menggigil ke-
ras, ketika berbicara.
"Tidak salahkah penglihatanku..."! bukankah ini Golok Kilat yang ajaib itu"!"
gumam Empu Lahang Samedi sarat keterkejutan. Bahkan suaranya terdengar bergerak.
"Kau memang tidak salah, Empu Lahang!"
Untuk pertama kalinya, Lingga menyapa kakek ku-
rus kering itu dengan namanya. Tidak dengan panggi-
lan penuh hinaan.
"Golok itu memang golok keramat yang tadi kau
sebutkan. Sekarang katakan, apa lagi pendapatmu
mengenai Golok Kilat itu"!" sambung Lingga.
Empu Lahang Samedi kelihatan bingung untuk
mengutarakan pendapatnya. Sementara Lingga yang
memang berwatak pemarah, kesabarannya habis.
"Apakah aku perlu melakukan kekerasan seperti
tadi, Empu"!"
Empu Lahang Samedi menghela napas berat
"Golok Kilat ini telah kehilangan keistimewaannya.
Telah kehilangan kedahsyatannya, kendati kekuatan-
nya tidak lenyap..."
"Aku juga telah mengalaminya sendiri, Empu, Dan bagaimana caranya untuk membuat
pusaka itu kembali seperti semula"! Maksudku..., keampuhan dan
kedahsyatannya."
Kembali Empu Lahang Samedi terdiam. Kali ini
Lingga tidak memberi ancaman dan hanya menunggu.
Tapi, ternyata diamnya Empu Lahang Samedi kali ini
lebih lama daripada sebelumnya.
"Kau jangan mencoba mempermainkan ku, Empu.
Ingat! Aku bukan sejenis orang yang mudah diper-
mainkan. Apabila kesabaranku hilang, aku bisa-bisa
Cinta Pembawa Maut 1 Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long Kisah Sepasang Bayangan Dewa 6
^