Iblis Buta 1
Dewa Arak 79 Iblis Buta Bagian 1
IBLIS BUTA Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Aji Saka
Serial Dewa Arak dalam episode: Iblis Buta
128 hal. ; 12 X 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Seorang pemuda tampan bermuka persegi me-
langkah setengah berlari. Ia menghampiri pondok se-
derhana yang berada belasan tombak di depannya. Pe-
muda itu terlihat gagah. Tubuhnya tinggi besar dan
otot-ototnya bersembulan keluar. Pemuda berwajah
persegi itu hanya mengenakan rompi dari kulit hari-
mau. Pondok yang dituju pemuda berompi kulit hari-
mau tidak dapat dikatakan bagus. Sekelilingnya di pa-gari potongan-potongan
bambu setinggi pinggang. Ru-
mah itu sendiri terletak di tengah-tengah. Kelihatan kecil dan ringkih karena
berada di hamparan tanah luas yang ditumbuhi rumput-rumput liar.
Pemuda berwajah persegi menghentikan lang-
kahnya tepat di ambang pintu pagar bambu. Daun pin-
tunya sendiri sudah tidak menempel lagi, tapi tergolek di bagian dalam.
Pemuda berompi kulit harimau itu memperhati-
kan sekeliling dengan wajah berduka. Sudut demi sudut tempat itu dirayapi dengan
sepasang matanya yang
mencorong tajam. Sorot sepasang mata yang terlindung alis tebal berbentuk golok
itu menyiratkan ketidakper-cayaan. "Ibu...!" desis pemuda berompi kulit harimau.
Suaranya agak tersendat "Apa yang telah terjadi padamu?" Pandangan pemuda itu
berhenti pada tanaman bunga yang berada di sisi kanan dan kiri rumah. Bunga-
bunga itu layu, bahkan beberapa di antaranya mati.
Padahal, ibunya amat sayang pada tanaman-tanaman
itu. Ibunyalah yang menanam dan merawatnya. Menga-
pa sekarang bunga-bunga itu sampai tidak terurus"
Perasaan khawatir terbit di hati pemuda berwa-
jah persegi. Setelah berhasil mengatasi sergapan rasa harunya, pemuda itu
bergegas melangkah memasuki
halaman. Blosss! "Hey!"
Pemuda berwajah persegi menjerit kaget. Tanah
berumput yang diinjaknya amblas ke bawah membawa
tubuhnya. Tanah yang dipijaknya ternyata tidak padat, hanya berupa lapisan saja.
Di bawahnya tampak tombak-tombak berujung runcing siap menyate tubuh pe-
muda itu! Meski kaget, pemuda berwajah persegi tidak ke-
hilangan kepandaian. Sebelum menimpa ujung-ujung
tombak yang runcing, ilmu meringankan tubuhnya se-
gera dikerahkan untuk membuat kecepatan luncuran
tubuhnya melambat. Kedua tangannya digerak-
gerakkan seperti seekor burung yang mengepakkan
sayap. Ringan dan perlahan kedua kaki pemuda berwa-
jah persegi menjejak ujung-ujung tombak. Bahkan, alas kakinya tidak tergores
sedikit pun. Pemuda berompi kulit harimau ini menghela na-
pas lega seraya menghapus keringat yang membasahi
dahinya. Perasaan kaget dan tegangnya sedikit berku-
rang. Kemudian ia mendongakkan kepala untuk melihat
permukaan lubang. Dalam lubang ini tak kurang dari
empat tombak. Jarak yang cukup tinggi. Bahkan, terla-lu jauh untuk dapat di
lompati. Pemuda ini tidak terlalu lama berdiri di atas
ujung-ujung tombak. Seperti orang yang berjalan di
tempat datar, ia mengayunkan kaki mendekati sisi lu-
bang. Sejenak pemuda itu terdiam sebelum menempel-
kan kedua telapak tangannya yang terbuka ke dinding
lubang. Lalu, bagai seekor cecak pemuda berwajah persegi merayap naik ke atas!
Dalam waktu singkat saja pemuda berwajah
persegi telah mencapai mulut lubang dan keluar dari
dalamnya. Tampaknya sedikit peluh membasahi wajah-
nya. "Ha ha ha...!"
Gemuruh suara tawa membuat pemuda berwa-
jah persegi menolehkan kepala ke belakang. Tawa men-
gejek itu pastilah ditujukan padanya.
Di luar pagar bambu berdiri sesosok tubuh yang
membuat mata pemuda berompi kulit harimau itu ter-
belalak lebar. Sosok itu kelihatan aneh. Bertubuh amat pendek seperti anak
berusia sepuluh tahun. Pendek dan gemuk! Kepalanya tidak ditumbuhi rambut
sehelai pun. Wajahnya yang kelimis tampak seperti orang yang sela-lu bergembira. Semua
anggota tubuh sosok ini serba
bulat! Perutnya yang gendut terlihat jelas karena tidak tertutup rompi merah
yang dikenakannya.
"Aku tidak pernah mimpi melihat seekor monyet
cilik yang dungu terjeblos ke dalam sebuah lubang! Lu-cu sekali! Ha ha ha...!"
Wajah pemuda berompi kulit harimau merah
padam. Ia merasa malu dan tersinggung. Pemuda itu
menduga sosok pendek gemuk yang meski bentuk tu-
buhnya kecil, tapi usianya tak kurang dari lima puluh tahun. Pemuda berwajah
persegi ini tidak tahu kalau
sosok pendek gemuk itu telah berusia delapan puluh
tahun lebih! Pemuda berwajah persegi tidak berani lancang
menurutkan perasaan hatinya untuk balas memaki.
Kakek pendek gemuk itu bukan orang sembarangan.
Tawa yang dikeluarkan kakek itu membuat dadanya
bergetar hebat.
Setelah menatap kakek pendek gemuk sekilas,
pemuda berwajah persegi membalikkan tubuh dan
mengayunkan kaki menuju pondok sederhana. Kakek
pendek gemuk tidak menghalangi maksud pemuda be-
rompi kulit harimau. Bahkan, dia mengiringi ayunan
kaki pemuda berwajah persegi dengan tawa mengejek.
"Ibu...!"
Pemuda berompi kulit harimau berteriak me-
manggil ketika telah berada di depan pintu pondok.
"Ibu...! Ini aku anakmu pulang...!"
Tidak terdengar sahutan meski pemuda itu me-
nunggu beberapa saat lamanya. Kesabaran pemuda itu
habis. Dengan kedua tangan didorongnya daun pintu.
Ternyata tidak terkunci. Namun ketika daun pintu ter-kuak sedikit, terdengar
bunyi nyaring di susul dengan desingan tajam. "Ah...!"
Pemuda berwajah persegi berseru kaget melihat
beberapa anak panah meluncur deras ke arahnya. Den-
gan sigap tubuhnya dilempar ke belakang sehingga
anak panah meluncur lewat tanpa mendapat hasil.
"Ha ha ha...!"
Kakek pendek gemuk yang masih berada di luar
pagar kembali tertawa bergelak. Menertawakan pemuda
berompi kulit harimau yang dua kali hampir mati.
"Lucu sekali...! Hampir saja monyet dungu ini
menjadi sate monyet. Ha ha ha...! Lucu...! Lucu seka-li...!" Kali ini pemuda
berompi kulit harimau tidak bi-sa menahan sabar lagi.
"Siapa kau, Kakek" Mengapa memperhatikan
gerak-gerikku" Tinggalkan tempat ini sebelum kesaba-
ranku habis! Aku tidak ingin menghajarmu. Tapi, bila kau terus seperti ini
jangan salahkan kalau aku yang muda bertindak kasar terhadapmu!" tegur pemuda
berwajah persegi.
"Ha ha ha...!"
Sambutan kakek pendek gemuk malah tawa
bergelak. Sepasang matanya sejenak berkilat mengeri-
kan memancarkan hawa maut.
"Seekor monyet muda yang telah dua kali ham-
pir mati berani mengancamku" Ha ha ha...! Dunia be-
nar-benar sudah gila. Rupanya kau memiliki nyali ma-
can, Monyet Dungu! Aku jadi ingin melihat kesabaran
mu habis. Tapi, sebelum itu aku ingin mempertunjuk-
kan sebuah permainan yang menarik untukmu!"
Kakek pendek gemuk meletakkan ujung jari te-
lunjuknya di bawah pagar bambu yang malang. Pagar
itu memang terbuat dari belahan-belahan bambu yang
disusun malang melintang. Ada dua deretan bambu
yang malang. Kakek pendek gemuk meletakkan telun-
juknya pada bagian bambu yang di atas.
Kakek itu menggetarkan tangannya sejenak. Ti-
ba-tiba sebagian pagar bambu tercabut dari dalam ta-
nah. Panjang pagar bambu yang terpisah dari deretan
pagar kira-kira dua tombak. Kakek pendek gemuk lalu
menggerakkan jari telunjuknya ke atas. Pagar bambu
itu pun melayang ke atas bagai dilontarkan tenaga rak-sasa. Di saat pagar bambu
kehabisan daya luncuran,
kakek pendek gemuk menjulurkan tangannya ke arah
pagar bambu itu. Terdengar bunyi berderak ketika ka-
wat yang mengikat batang-batang bambu tercerai-berai dan melayang turun.
Kali ini kakek pendek gemuk menjulurkan tan-
gan kiri seraya memekik pelan. Bagai digerakkan orang, bambu-bambu itu meluncur
ke depan dan menancap
rapi di pinggir lubang tempat pemuda berwajah persegi terperangkap!
Wajah pemuda berompi kulit harimau berubah
hebat. Pertunjukkan kakek pendek gemuk jelas meru-
pakan hal yang luar biasa. Kakek itu mempunyai tenaga dalam yang sangat tinggi
sehingga mampu mempermainkan batang-batang bambu itu sekehendak hatinya.
Tenaga dalam itu jadi bagai tangan tak nampak!
"Kau memang hebat, Kek." Pemuda berwajah
persegi menelan ludah untuk membasahi tenggorokan-
nya yang mendadak kering. "Tapi, bukan berarti kau bi-sa seenaknya saja menghina
diriku. Aku bukan orang
yang takut menghadapi kematian!"
"Bagus. Bagus. Kau menyenangkan hatiku.
Anak Muda. Kau tidak pantas lagi kupanggil monyet
dungu. Aku suka dengan orang-orang yang berjiwa
pemberani! Tidak mau merengek-rengek. Aku jadi lebih ingin mengenalmu lebih
jauh. Apa hubunganmu dengan
pemilik rumah itu?"
"Aku anaknya!" tandas pemuda berwajah perse-gi.
"Ah...! Begitukah?"
Pemuda berwajah persegi diam-diam memperha-
tikan suatu keanehan pada diri kakek pendek gemuk.
Dalam keadaan apa pun wajah kakek itu tetap cerah
dan penuh senyum, seperti orang yang memiliki hati
welas asih. Mungkin dalam keadaan marah sekalipun
wajah kakek itu tetap penuh dengan senyum.
"Menurut berita yang kudengar rumah itu milik
istri Iblis Buta. Apakah kau anak dari tokoh yang terkenal itu?" tanya kakek
pendek gemuk dengan senyum menghias bibir.
"Tak salah!" Pemuda berwajah persegi mengangguk. "Aku adalah anak Iblis Buta.
Namaku Dirgantara!"
"Kalau begitu, sungguh merupakan hal yang
menguntungkan. Tidak mendapatkan ayahnya, anak-
nya pun jadi. Setidak-tidaknya, andaikata Iblis Buta demikian pengecut dan tetap
tidak berani memuncul-kan diri, kau akan menjadi gantinya!"
"Apa maksudmu, Kek?" tanya Dirgantara dengan perasaan tidak enak. Dia melihat
adanya permusuhan
antara kakek pendek gemuk dengan ayahnya, Iblis Bu-
ta. "Masih kurang jelaskah bagimu, Monyet Dungu"
Ayahmu telah melakukan sebuah kesalahan terha-
dapku. Dia telah lancang tangan membunuh muridku.
Jadi, tidak ada pilihan lain bagiku kecuali turun gunung dan membalaskan sakit
hati ini. Karena kau orang yang mempunyai hubungan darah dengan Iblis Buta,
kau harus menanggung akibat perbuatan ayahmu. Ha
ha ha...!"
Dirgantara mengepalkan kedua tinjunya yang
kekar. "Tidak semudah itu kau melakukannya, Kek!"
"Ha Ha ha...! Kau terlalu besar kepala, Monyet
Dungu! Jangankan kau, gurumu sendiri tidak akan
mampu melawanku. Pernahkah gurumu bercerita ten-
tang datuk sesat dunia persilatan yang sekitar tiga puluh tahun lalu
mengasingkan diri?"
Wajah Dirgantara berubah. Gurunya memang
pernah bercerita tentang hal itu. "Jadi..., kau.... Setan Gila"!" "Ha ha ha...!
Benar sekali...!" Kakek pendek gemuk tertawa bergelak. "Mungkin sekarang
kegilaan ku telah jauh berkurang. Sudah hampir empat puluh tahun aku
mengasingkan diri, hingga banyak hal yang
kulupakan. Bahkan, kebiasaan-kebiasaan ku!"
Dirgantara memang telah mendengar mengenai
kakek pendek gemuk ini dari gurunya. Setan Gila yang terkenal karena ketinggian
ilmu dan kekejamannya.
Tanpa membuang-buang waktu, segera Dirgantara
mencabut tongkat bambu yang sejak tadi tersampir di
punggung sebagaimana pedang.
"Ha ha ha...!" Setan Gila tertawa melihat Dirgantara mencabut senjatanya. "Jadi
gurumu si Petani Berambut Putih" Ha ha ha...! Bukankah dugaanku benar,
Monyet Dungu" Sejak kulihat bambu kuning itu di
punggungmu aku sudah bisa menduga siapa gurumu.
Asal kau tahu saja, Monyet Dungu, gurumu apabila
bertemu denganku akan berlutut dan meminta ampu-
nan. Dan...."
"Tutup mulutmu dan lihat senjata...!"
Dirgantara yang tidak senang mendengar gu-
runya dihina segera memutar bambu kuning sepanjang
pedang di tangannya. Bambu kuning itu lenyap menjadi segulungan sinar kekuningan
yang mengeluarkan bunyi
mengaung keras seperti sekelompok lebah murka.
Kakek pendek gemuk hanya tersenyum lebar.
Dia tidak melakukan tindakan apa pun. Baru ketika
Dirgantara telah berada dekat dengannya dan serangan bambu pemuda itu hampir
mengenai tubuhnya, kakek
pendek gemuk bertepuk tangan sekali.
Glarrr! Dirgantara yang tengah melayang di udara dan
siap menusukkan bambu kuningnya merasakan ada
halilintar menyambar dekat telinga. Keras bukan main sehingga tidak hanya
telinganya saja yang mendadak
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuli, tapi juga dadanya bergetar hebat. Tenaga yang ter-kumpul buyar seketika
karena tubuhnya mendadak le-
mas. Bahkan, tubuh pemuda ini sampai terhuyung-
huyung dan hampir jatuh ketika berhasil menjejak ta-
nah. Kakek pendek gemuk membuka mulutnya dan
meniup. Angin luar biasa keras berhembus sehingga
Dirgantara yang masih dalam pengaruh tepukan itu ti-
dak kuat bertahan. Tubuh pemuda itu terjengkang ke
belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Sambil tertawa bergelak, kakek Setan Gila me-
nudingkan jari telunjuknya. Dirgantara menyeringai ketika merasakan sekujur
tubuhnya lemas ketika bahu
kanannya terkena totokan. Setan Gila telah menotoknya dari jauh, Bagi orang yang
memiliki tingkat tenaga da-
lam seperti Setan Gila merupakan sesuatu yang mudah
untuk melakukan hal itu.
Setan Gila terkekeh girang. Kakinya yang pen-
dek dan bulat seperti kaki gajah dihentakkan ke tanah sekali. Tubuh Dirgantara
pun melayang ke arah kakek
pendek gemuk itu.
Setan Gila yang sudah mengembangkan kedua
tangan untuk menangkap tubuh Dirgantara terpaksa
menarik kembali ketika terdengar bunyi berdesing nyaring. Kakek itu melihat
benda-benda halus berwarna putih meluncur ke arahnya. Semula meluncur ke arah
da- da, tapi di tengah jalan berpencar. Masing-masing ben-da halus yang diketahui
Setan Gila sebagai rambut manusia itu meluncur ke berbagai jalan darah mematikan
di tubuhnya. Setan Gila mundur selangkah seraya memper-
dengarkan tawa keras hingga perutnya berguncang.
Rambut-rambut yang semula menegang kaku bagai ja-
rum-jarum panjang itu melemas. Dan, ketika kakek
pendek gemuk meniupnya rambut-rambut itu runtuh
ke tanah. Pada saat yang bersamaan tubuh Dirgantara
pun jatuh ke tanah dengan keras karena tidak ada yang menyambutinya.
"Ha ha ha...! Kiranya kau penyabotnya. Pan
tas...! Apa gerangan yang membuatmu turun dari per-
tapaan, Jerangkong Penjagal Nyawa"!" seru Setan Gila dengan senyum lebar,
kendati hatinya terkejut bukan
main. Kaget dan dongkol karena tahu akan menghadapi
saingan berat. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah salah satu dari dua datuk tua
yang telah puluhan tahun
mengundurkan diri.
Jerangkong Penjagal Nyawa seorang kakek yang
berusia tak kurang dari seratus tahun. Ia mendengus
mendengar ucapan Setan Gila. Wajahnya yang berben-
tuk tirus dan selalu tampak muram bertambah keruh.
Wajah Jerangkong Penjagal Nyawa dan bentuk tubuh-
nya memang merupakan kebalikan dari Setan Gila. Je-
rangkong Penjagal Nyawa bertubuh tinggi kurus. Ting-
ginya hampir satu setengah kali tinggi manusia normal.
Ia kurus bukan main seperti tulang dibungkus kulit.
Pakaian yang dikenakannya putih bersih namun kebe-
saran hingga senantiasa berkibaran ketika tertiup angin.
"Kau sendiri mengapa keluar dari tempat penga-
singanmu, Gendut?" Sambil berkata demikian, Jerangkong Penjagal Nyawa melirik
tubuh Dirgantara yang tergolek di tanah. Tubuh pemuda berompi kulit harimau
itu tergolek tepat di antara kedua kakek ini.
Dirgantara yang mendengarkan adu mulut itu
hanya bisa mengeluh dalam hati. Dia tahu keadaannya
amat berbahaya. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah
saingan berat Setan Gila. Setan Gila saja sudah tidak bisa ditanggulangi. Maka,
kedatangan Jerangkong Penjagal Nyawa semakin memperburuk keadaan. Tubuhnya
yang lemas karena tertotok membuatnya hanya bisa
berdiam diri dan pasrah pada keadaan. Yang dapat di-
lakukan Dirgantara hanya mendengarkan pertengkaran
Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila serta berharap agar di antara mereka
timbul pertarungan yang
akan membuatnya mendapat kesempatan untuk mela-
rikan diri. Sementara, Setan Gila yang mendapat perta-
nyaan dari Jerangkong Penjagal Nyawa malah tertawa
bergelak. "Keluarnya aku dari pertapaan mempunyai tu-
juan yang jelas, Kurus!" Setan Gila tak mau kalah gertak. "Muridku tewas di
tangan Iblis Buta. Mau tidak mau terpaksa aku harus turun tangan untuk
membalaskan kematiannya. Betapapun juga dengan tewasnya
muridku, Iblis Buta telah berani menantangku!"
"Alasan yang dibuat-buat!" tandas Jerangkong Penjagal Nyawa, tajam. "Lalu, apa
hubungannya dengan pemuda ini" Aku tahu murid Petani Berambut Putih ini anak
Iblis Buta. Tapi, mengapa kau mempermainkan-nya dan berusaha menjadikannya
sandera agar Iblis
Buta tidak melakukan perlawanan?"
"Kau keliru, Kurus! Sama sekali tidak kusangka
kepalamu yang kecil itu sejak dulu tetap mempunyai
otak yang kecil pula. Setelah membunuh muridku, Iblis Buta menyembunyikan diri
karena takut pembalasan-ku. Untuk memancing kedatangannya, aku terpaksa
menyandera anaknya!"
Cuhhh! Dengan kasar Jerangkong Penjagal Nyawa melu-
dah ke tanah begitu Setan Gila menyelesaikan ucapan-
nya. "Orang lain bisa kau bohongi, Gendut! Tapi, aku tidak akan bisa kau tipu!
Aku tahu betul maksudmu
menyandera anjing kecil ini untuk memaksa Iblis Buta memberitahukan di mana
benda yang kau idam-idamkan."
"Apa maksudmu, Kurus?" tanya Setan Gila dengan tersenyum.
"Masih juga tidak mengaku. Aku tahu alasan-
mu mencari Iblis Buta untuk mendapatkan Telur Elang
Perak. Kau ingin kembali muda seperti dulu. Itulah se-babnya kau mencari Iblis
Buta. Telur Elang Perak me-
mang mampu membuat orang kembali muda!"
"Jadi kau pun menghendaki benda itu, Kurus"
Kalau begitu, kau yang lebih dulu akan kusingkirkan!"
"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Gen-
dut! Kali ini kau tidak akan seberuntung dulu!" Jerangkong Penjagal Nyawa tidak
mau kalah gertak
Setan Gila maupun Jerangkong Penjagal Nyawa
tidak ada yang mendahului menyerang. Kedua belah
pihak sama-sama tahu lawan yang dihadapi amat berat.
Mereka tidak yakin akan dapat saling mengungguli.
Empat puluh tahun yang lalu ketika mereka bertarung
pun tidak bisa ditentukan siapa yang menang. Kepan-
daian mereka berimbang. Pertarungan baru berakhir
ketika mereka sama-sama terluka parah. Kalau saja
tempat mereka bertarung tidak terpencil dan kebetulan ada musuh mereka yang
lewat, nyawa kedua datuk sesat ini pasti akan melayang.
Luka-luka parah memaksa Jerangkong Penjagal
Nyawa dan Setan Gila menyembunyikan diri untuk me-
nyembuhkan lukanya. Luka yang amat parah itu mem-
butuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengobatinya.
Ketika akhirnya luka-luka itu sembuh, Jerang-
kong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila tidak berminat lagi terjun ke dunia
persilatan. Mereka memusatkan
perhatian untuk menciptakan ilmu-ilmu baru.
Sepuluh tahun setelah luka-luka itu sembuh Se-
tan Gila pergi menyatroni Jerangkong Penjagal Nyawa
untuk menantang pertarungan ulang. Pada saat yang
sama, Jerangkong Penjagal Nyawa juga mendatangi
tempat Setan Gila dengan tujuan yang sama. Jalan
yang mereka tempuh berlainan. Mereka tidak bertemu,
dan pertarungan pun tidak terjadi. Akhirnya, mereka
kembali ke tempat tinggal masing-masing dan terus
memperdalam ilmu.
Usia tua dan tidak adanya lawan yang seimbang
membuat Jerangkong Penjagal Nyawa dan
Setan Gila malas untuk terjun ke dunia persila-
tan lagi. Mereka menghabiskan usia di tempat penga-
singan. Sampai akhirnya mendengar kabar tentang Te-
lur Elang Perak!
Kini Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila
kembali saling berhadapan. Mereka tahu kalau perta-
rungan dilakukan seperti dulu keduanya akan tewas
dengan napas putus. Mereka sudah terlalu tua.
"Aku mempunyai sebuah usul untuk pertarun-
gan kita kali ini, Kurus. Aku bosan bertarung sebagaimana tukang-tukang pukul.
Taruhan dari pertarungan
ini adalah pemuda itu!" Setan Gila menawarkan seraya menuding tubuh Dirgantara
yang tergolek. "Tidak usah banyak bicara, Gendut! Kemukakan
saja usulmu itu. Apa pun pertarungan yang kau ajukan akan kuterima!" tandas
Jerangkong Penjagal Nyawa. Di-am-diam dia merasa gembira mendengar saran Setan
Gila. Kakek jangkung ini pun khawatir apabila perta-
rungan dilakukan dengan bertempur. Tapi, kegembi-
raan itu tidak terlihat pada wajahnya yang muram.
"Kita bermain tarik tambang!" seru Setan Gila lantang. "Pada bagian tengahnya
kita beri tanda.
Siapa yang tertarik terus hingga tanda itu tiba di
garis lawan, dinyatakan kalah. Dan, tentu saja tidak berhak atas diri Monyet
Dungu itu!"
"Setuju!" jawab Jerangkong Penjagal Nyawa tak kalah lantang.
Jawaban Jerangkong Penjagal Nyawa membuat
Setan Gila sibuk membuat garis pada tanah. Sebuah
garis tengah di mana tanda tengah pada tambang bera-
da di atasnya, serta dua buah garis yang berada sejengkal di kanan dan kiri
garis tengah. Garis-garis tambahan ini yang akan menentukan siapa yang akan
keluar sebagai pemenang.
Tanpa banyak cakap Jerangkong Penjagal Nya-
wa segera memberikan rantai baja yang menjadi senjata andalannya untuk dijadikan
tambang. Setan Gila me-lengkungkan sebatang pedang dan di taruh di tengah-
tengah rantai. Pedang yang dilengkungkan dan membe-
lit rantai itu berada tepat di tengah rantai. Kedua kakek itu kemudian mengambil
kedudukan yang menurut me-
reka menguntungkan.
Dada Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila
berdebar tegang ketika mereka mulai menggenggam
ujung-ujung rantai. Rantai tampak menegang. Ketika
Setan Gila memberi aba-aba, kedua kakek ini menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk menarik.
Jerangkong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila
langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya agar
segera dapat memperoleh kemenangan. Kekhawatiran
mereka memang beralasan. Pihak lawan ternyata tetap
tangguh seperti dulu. Kedua belah pihak telah menge-
rahkan seluruh tenaga dalam, tapi tanda pada rantai tetap tidak bergeser.
Setelah beberapa saat lamanya keadaan tidak
berubah, Jerangkong Penjagal Nyawa jadi kehilangan
kesabaran. Tenaga dalam andalannya yang berhawa
panas segera dikerahkan. Hawa panas pun merayap
melalui rantai baja dan tiba di ujung rantai yang di-genggam Setan Gila!
Sepasang mata Setan Gila tampak terkejut ken-
dati senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Kakek pendek gemuk ini sampai
tersentak ketika merasakan hawa panas menyengat telapak tangannya. Kekagetan ini
membuat pengerahan tenaga dalamnya mengendur.
Dan, Jerangkong Penjagal Nyawa yang sudah memper-
hitungkan hal itu segera menariknya dengan keras.
Kedudukan kaki Setan Gila tidak berubah. Tapi,
tubuhnya terseret ke arah Jerangkong Penjagal Nyawa
hampir setengah jengkal. Sebelum keadaan bertambah
buruk, Setan Gila segera mengerahkan tenaga dalam
berhawa dingin yang menjadi andalannya.
Kalau dari Jerangkong Penjagal Nyawa menge-
pul asap tipis saat tenaga berhawa panas dikerahkan.
Pada pengerahan tenaga dalam Setan Gila, muncul uap
tebal. Terdengar bunyi berdesis nyaring seperti besi pa-
nas dicelupkan ke dalam air ketika Setan Gila menge-
rahkan tenaga andalannya.
Seperti juga pertarungan tenaga dalam sebe-
lumnya, pertarungan antara dua tenaga dalam yang saling berlawanan ini pun
seimbang. Kedudukan tetap ti-
dak berubah, kendati Setan Gila telah berada dalam
keadaan kritis. Jerangkong Penjagal Nyawa unggul se-
dikit di atasnya.
Setan Gila pun menyadari hal itu. Diam-diam
dia merasa dongkol karena berhasil dipencundangi Je-
rangkong Penjagal Nyawa. Kalau tidak kaget, lawan belum tentu bisa menariknya.
"Auuumm...!"
Tiba-tiba, bagai seekor singa Setan Gila men-
gaum keras. Akibatnya sungguh luar biasa! Jerangkong Penjagal Nyawa merasakan
tenaganya membuyar karena rasa sakit pada telinga dan dadanya!
Auman Setan Gila memang mengandung tenaga
dalam luar biasa.
Keadaan yang dialami Jerangkong Penjagal
Nyawa sudah dapat diduga Setan Gila. Maka, saat itu
juga kakek pendek gemuk ini menarik rantai dengan
kuat. Jerangkong Penjagal Nyawa tidak mampu berta-
han. Tubuhnya pun tertarik deras ke depan dan me-
layang ke arah Setan Gila.
Jerangkong Penjagal Nyawa tahu Setan Gila te-
lah keluar sebagai pemenang. Namun, dia tidak ingin
kalah mutlak. Maka, di saat tubuhnya melayang kakek
jangkung ini mengirimkan serangan melalui mulutnya.
Jerangkong Penjagal Nyawa meludah berkali-kali.
Ludah yang dikeluarkan tokoh ini bukan semba-
rang ludah. Ludah kental itu mampu melubangi baja
yang paling kuat. Itu diketahui dengan pasti oleh Setan Gila. Kini ludah-ludah
itu meluncur ke kepalanya. Kakek pendek gemuk ini segera merundukkan tubuh.
Saat itu Jerangkong Penjagal Nyawa menghen-
tak rantai dengan keras. Tubuh Setan Gila melayang
keras ke depan seperti menyambuti tubuh kakek jang-
kung itu. Seperti telah disepakati sebelumnya, Jerangkong Penjagal Nyawa maupun
Setan Gila melancarkan
pukulan telapak tangan terbuka ke arah dada. Plak,
plakkk! Kedua telapak tangan itu berbenturan dan saling menempel. Bahkan ketika
tubuh keduanya sudah
melayang turun. Sekarang terjadi pertarungan jarak dekat.
Sesaat kemudian, dari atas kepala kedua kakek
ini mengepul uap putih yang kian lama kian tebal.
Tampaknya mereka sudah mengeluarkan tenaga yang
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melampaui batas. Ini berarti nyawa Jerangkong Penjag-al Nyawa dan Setan Gila
berada di ujung maut. Baik
yang kalah maupun yang menang akan sulit lolos dari
kematian, karena selisih tenaga dalam mereka hanya
sedikit. Sebelum keadaan Jerangkong Penjagal Nyawa
dan Setan Gila semakin gawat keduanya melihat
adanya kejanggalan. Dirgantara yang semula tergolek
tak berapa jauh dari pinggir arena pertarungan kini tidak ada! Padahal, tadi
Setan Gila yang memindahkan-
nya ke sana agar tidak mengganggu jalannya pertarun-
gan. Hilangnya tubuh Dirgantara membuat kedua
kakek ini menarik tenaga dalamnya. Dirgantara jauh lebih penting daripada
pertarungan! Tindakan menarik
tenaga dalam yang bersamaan membuat Jerangkong
Penjagal Nyawa dan Setan Gila tidak mengalami luka
dalam akibat tenaga yang membalik.
"Keparat!"
Jerangkong Penjagal Nyawa memaki. Sepasang
matanya yang sipit dibelalakkan lebar-lebar mencari
Dirgantara. Barangkali saja pemuda berompi kulit ha-
rimau itu masih berada di sekitar itu.
Tindakan serupa pun dilakukan Setan Gila.
Dengan senyum mengembang di bibir, kakek pendek
gemuk itu mencari-cari dengan sepasang matanya yang
bulat besar. "Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...! Dua ekor anjing saling cakar-cakaran
untuk memperebutkan tulang. Tak tahunya tulang itu dibawa kabur anjing lain.
Ha ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Gendut! Kau ingin perutmu ku
beset dan isinya ku sebar di sepanjang jalan"!" sergah Jerangkong Penjagal
Nyawa, dengan suara keras.
Setan Gila yang sebenarnya tak kalah kece-
wanya dengan Jerangkong Penjagal Nyawa, namun
mampu menyembunyikannya dalam sikapnya
yang gembira, semakin tertawa keras.
"Aku sudah bosan melayanimu, Anjing Kurus!
Apa artinya perkelahian denganmu. Nanti kalau uru-
sanku sudah selesai akan kucari kau dan ku patah-
patahkan tulangmu lalu kuberikan pada anjing-anjing
kelaparan untuk disantap!"
Jerangkong Penjagal Nyawa tidak berkata apa-
apa. Dia tahu ucapan Setan Gila benar. Tidak ada gu-
nanya pertarungan dilanjutkan. Dia sendiri pun lelah bukan main. Tantangannya
tadi hanya karena kemarahan hatinya akibat ucapan kakek pendek gemuk. Me-
lanjutkan pertarungan sama saja dengan membunuh
diri. Sambil tertawa lepas, Setan Gila melesat me-
ninggalkan tempat itu. Tidak kelihatan kakek pendek
gemuk ini berlari. Ia seperti menggelinding bagai bola.
Dalam waktu singkat saja tubuhnya telah lenyap di ke-jauhan. Jerangkong Penjagal
Nyawa mendengus. Dia
pun berlari meninggalkan tempat itu. Kakek jangkung
bagai galah ini lebih aneh lagi. Dia berlari dengan mempergunakan kaki-kakinya
yang panjang. Tapi, tak ja-
rang Jerangkong Penjagal Nyawa menggunakan kedua
tangannya sebagai pengganti kaki.
Penggunaan tangan ini tidak memperlambat la-
rinya, malah menambah kecepatannya.
*** "Tolong turunkan aku, Sobat. Aku mampu berla-
ri sendiri. Tidak enak rasanya kau terus-terusan me-
manggul ku seperti itu. Bebaskan totokan pada tubuh-
ku biar aku berlari sendiri."
Ucapan itu keluar dari mulut Dirgantara. Pemu-
da berwajah persegi ini berada di atas bahu seorang
pemuda berpakaian kuning.
Pemuda berpakaian kuning menghentikan la-
rinya. Kemudian, diturunkannya tubuh Dirgantara dari pondongan. Dengan sebuah
tepukan pelan pada tubuh
Dirgantara dia berhasil membebaskan pemuda berompi
kulit harimau itu dari totokan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ujar Dirgantara setelah berdiri tegak
di tanah. Sepasang matanya merayapi pemuda di hadapannya. Dirgantara lalu
merangkapkan kedua tangan di depan dada dan mem-bungkukkan sedikit tubuhnya.
"Pertolongan apa?" pemuda berpakaian kuning yang memiliki wajah tampan dan
berkulit putih tersenyum malu. "Yang kulakukan hanya melarikanmu di saat kedua
kakek itu tengah terlibat pertarungan."
"Itu pun namanya pertolongan, Sobat. Aku tidak
bisa mengharapkan bantuan lebih dari itu. Kedua ka-
kek yang tengah bertarung memperebutkan diriku itu
memiliki kepandaian sangat tinggi. Bahkan, aku yakin
guruku sendiri tidak akan mampu menandingi salah
seorang di antara mereka. Bayangkan saja, hanya da-
lam segebrakan aku dibuat tidak berdaya oleh kakek
pendek gemuk," cerita Dirgantara. Ia langsung akrab dengan pemuda berpakaian
kuning. Dirgantara tidak
segan-segan untuk berterus terang.
"Ah...! Benarkah?" Sepasang mata pemuda berpakaian kuning membelalak. "Siapakah
kedua kakek yang demikian lihai itu" Dan, kau sendiri siapa" Namaku Jumpena."
"Aku Dirgantara, murid seorang kakek yang ber-
juluk Petani Berambut Putih. Sedangkan kedua kakek
itu adalah Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila,"
urai Dirgantara.
Sepasang mata Jumpena yang memang sudah
membelalak semakin melotot lebar.
"Luar biasa! Aku tidak pernah mimpi akan ber-
temu dengan tokoh-tokoh sakti yang sering diceritakan ayahku. Ayah sering
bercerita tentang Petani Berambut Putih, demikian pula dengan dua datuk sesat
itu. Jadi, kau murid Petani Berambut Putih, Dirga?"
Dirgantara mengangguk.
"Kau sendiri, boleh ku tahu siapa ayahmu,
Jumpena?" "Tentu saja," sahut Jumpena, cepat "Ayahku kenal baik dengan gurumu. Beliau
dikenal orang dengan julukan Pendekar Jari Maut!"
"Ah...!"
Kali ini Dirgantara yang terkejut. Menurut cerita
gurunya, Pendekar Jari Maut merupakan tokoh tingkat
tinggi golongan putih. Bahkan, Petani Berambut Putih, kendati belum pernah
bertarung dengan Pendekar Jari
Maut, mengatakan kepada Dirgantara kalau tingkat ke-
pandaian Pendekar Jari Maut berada di atasnya.
"Sungguh tidak disangka aku akan berjumpa
dengan putra seorang tokoh besar kaum putih yang sering diceritakan guruku
dengan penuh kekaguman. Be-
liau pasti akan bangga bila tahu aku berjumpa den-
ganmu, Jumpena. Apalagi bila kuceritakan kalau kau
yang telah menolong nyawaku dari kematian."
Jumpena tersenyum, membuat sebaris kumis
melintang yang cukup lebat di atas bibirnya yang merah bergerak-gerak lucu.
Keadaan tubuh Jumpena memang
bertolak belakang dengan Dirgantara. Jumpena memili-
ki tubuh kecil, tapi tidak kurus. Berkulit putih dan kelihatan lemah lembut.
Wajahnya tampak terlalu tampan.
Sedangkan Dirgantara memiliki tubuh tinggi besar. Ku-litnya hitam kecoklatan.
Sayang, ia tidak mempunyai
kumis. Berbeda dengan Jumpena yang meskipun keli-
hatan lemah lembut tapi berkumis cukup lebat.
"Kau terlalu memuji, Dirgantara," ujar Jumpena dengan tersenyum, membuat
Dirgantara semakin betah
berbincang-bincang dengan pemuda itu. Apalagi se-
nyumannya enak dilihat.
"Kau sebenarnya hendak ke mana, Jumpena?"
"Mengantarkan surat dari ayahku untuk Naga
Sakti Berwajah Hitam," jawab Jumpena. Ia mengambil segulung surat dari balik
bajunya, kemudian mema-sukkannya kembali.
Dirgantara hanya mengangguk-angguk. Pemuda
berwajah persegi ini tidak tertarik untuk bertanya mengenai isi surat.
Dirgantara tahu kalau tidak merupakan rahasia, Jumpena yang memiliki sifat
terbuka pasti akan memberitahukannya. Kemungkinan lain, pemuda
berkumis tebal itu tidak tahu isi surat ayahnya. Bukankah surat itu ditujukan
pada Naga Sakti Berwajah Hi-
tam" "Kau sendiri hendak ke mana, Dirga?"
Dirgantara yang tidak menyangka akan menda-
pat pertanyaan seperti itu hanya membisu. Semula tu-
juannya pulang setelah berguru selama belasan tahun
adalah untuk menemui ibunya. Tapi, ibunya ternyata
tidak ada di rumah. Dia tidak tahu ke mana ibunya per-gi.
"Aku tidak tahu, Jumpena. Tujuanku semula in-
gin menemui ibuku setelah selesai berguru pada Petani Berambut Putih. Tapi,
ternyata beliau tidak ada. Bagaimana kalau aku ikut denganmu sekalian mencari
cerita mengenai ibuku" Apakah kau tidak merasa keberatan?"
tanya Dirgantara penuh harap.
"Tentu saja. Mengapa tidak?" sambut Jumpena setelah tercenung sejenak. "Bukankah
kalau ada kawan perjalanan jadi lebih enak."
Dirgantara menyembunyikan kegembiraan yang
melanda hatinya dengan tersenyum. Entah mengapa,
pemuda berompi kulit harimau itu merasa gembira ber-
sama Jumpena. Ada sesuatu dalam diri pemuda berpa-
kaian kuning itu yang membuat nya tertarik.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Jumpena. Kau
mengajakku menemui Naga Sakti Berwajah Hitam. Gu-
ruku banyak bercerita mengenai tokoh itu. Katanya ia memiliki ilmu silat tangan
kosong yang luar biasa."
Jumpena hanya mengangguk untuk membenar-
kan. "Kurasa percakapan ini bisa kita lakukan dengan melakukan perjalanan,
Dirga. Aku khawatir akan
terlambat tiba di tempat Naga Sakti Berwajah Hitam.
Ayahku berpesan agar surat ini segera tiba di tangan tokoh itu." "Kalau begitu
mari kita bergegas."
"Tunggu dulu, Dirga." Jumpena mencegah keti-ka melihat Dirgantara mengayunkan
kaki. Dirgantara menoleh, heran. Mengapa sekarang
Jumpena malah mencegahnya, bukankah tadi pemuda
berpakaian kuning itu yang mengajaknya bergegas"
"Kau lihat tanda itu. Apakah sejak tadi sudah
berada di sini?" Jumpena menudingkan jari telunjuknya ke sebelah kanan.
Dirgantara mengarahkan pandangan ke sana.
Pemuda berwajah persegi itu kelihatan terkejut. Di
tempat yang ditunjuk Jumpena tertancap seba-
tang tongkat yang pada bagian ujungnya terikat sehelai kain berwarna merah dan
bergambar tengkorak manusia!
"Aku yakin tongkat berbendera itu tadi tidak ada di sana, Jumpena," desis
Dirgantara dengan perasaan tegang. "Berarti tongkat itu ditancapkan saat kita
tengah bercakap-cakap," bisik Jumpena, tak kalah tegang.
Dirgantara dan Jumpena saling berpandangan.
Dalam adu pandang itu keduanya memahami isi hati
masing-masing. Orang yang telah menancapkan tongkat
tanpa sepengetahuan mereka menunjukkan kalau pela-
kunya memiliki kepandaian tinggi!
"Rasanya aku pernah mendengar cerita menge-
nai tokoh yang memiliki tanda seperti ini," Dirgantara mengernyitkan kening. Ia
mencoba mengingat-ingat.
"Aku ingat...!"
Hampir bersamaan perkataan itu keluar dari
mulut Dirgantara dan Jumpena. Sepasang mata itu
memancarkan kekhawatiran. Jumpena dan Dirgantara
saling berpandangan dengan wajah tegang.
"Siapa tokoh yang kau maksudkan itu, Jumpe-
na?" Dirgantara memberi kesempatan pada pemuda
berpakaian kuning untuk memberikan jawaban lebih
dulu. *** 3 "Tengkorak Darah...," Jumpena berbisik seperti khawatir ucapannya terdengar
tokoh yang dimaksud.
"Kak kak kak...!"
Bagai menyambuti ucapan Jumpena, terdengar
suara tawa berkakakan. Nadanya tidak pantas keluar
dari mulut seorang manusia, melainkan burung gagak.
Jumpena dan Dirgantara sampai melangkah
mundur karena terkejut. Dua orang muda yang sama-
sama mendapat gemblengan tokoh golongan putih ini
kebingungan. Mereka mengedarkan pandangan berkelil-
ing mencari-cari pemilik tawa. Suara tawa itu seperti berasal dari segala
penjuru. Kenyataan ini menyadarkan Jumpena dan Dir-
gantara kalau pemilik suara tawa memiliki tenaga da-
lam yang sangat tinggi. Hanya orang bertenaga dalam
tinggi saja serta memiliki ilmu memecah suara yang dapat melakukan hal ini. Baik
Jumpena maupun Dirgan-
tara tidak akan mampu melakukannya.
"Kalian mencari aku...?"
Kali ini ucapan bernada aneh itu dapat diketa-
hui datangnya secara pasti oleh Jumpena dan Dirganta-ra. Sosok yang mereka duga
sebagai Tengkorak Darah
tidak mempergunakan tenaga dalam istimewanya lagi.
Bagai berlomba Jumpena dan Dirgantara mem-
balikkan tubuh. Kemudian, melompat ke belakang un-
tuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan.
Tapi ternyata tindakan mereka tidak beralasan.
Sosok yang mengeluarkan pertanyaan itu sama sekali
tidak melancarkan serangan. Wajahnya tertutup kedok
dari tengkorak manusia asli! Pakaian yang dikenakan-
nya merah dan serba longgar sehingga berkibaran di-
tiup angin. Pada bagian dadanya tersulam gambar
tengkorak manusia dengan benang emas. Terlihat me-
nyolok sekali dengan warna pakaiannya yang merah.
"Tengkorak Darah...?" desis Jumpena dan Dirgantara dengan suara tercekat di
tenggorokan, karena perasaan tegang. Apalagi ketika mereka mencium bau
kemenyan yang keras menusuk hidung. Perasaan te-
gang itu semakin besar.
"Rupanya kalian telah mengenaliku, heh...?"
Kembali suara yang tidak enak didengar berku-
mandang. Tidak terlihat kalau sosok bertopeng tengkorak manusia yang
mengucapkannya. Tapi, cukup untuk
membuat Jumpena tahu kalau Tengkorak Darah itulah
yang berbicara. Dirgantara pun yakin akan hal itu.
"Bukan sesuatu yang aneh." Jumpena mengusik ketegangan dengan suaranya yang
lantang dan keras.
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Julukanmu amat terkenal. Bahkan kabarnya kau telah berani menantang Iblis Buta
untuk bertarung. Setelah itu kabar mengenai dirimu tidak terdengar lagi. Kau
hilang ditelan bumi. Lenyap tanpa ketahuan di mana rim-banya!" "Tutup mulutmu,
Bocah Lancang! Kau ingin aku menelanjangi mu di depan kawanmu...?" "Keparat!"
Jumpena memekik penuh kemarahan.
"Kau kira karena kau berjuluk Tengkorak Darah
aku akan takut terhadapmu" Kali ini kau akan kujadi-
kan tengkorak sungguhan!"
Jumpena yang rupanya jengkel mendengar ma-
kian Tengkorak Darah segera menggerakkan kedua tan-
gannya. Seketika itu pula benda-benda kecil bersinar meluncur ke arah Tengkorak
Darah. "Permainan anak-anak seperti ini dipertunjuk-
kan padaku"!" dengus Tengkorak Darah dengan suara mengejek. Dia tidak mengelak
sedikit pun sehingga
benda-benda kecil yang adalah jarum-jarum itu menan-
cap di sasaran.
Tengkorak Darah mendengus dengan kasar ke-
tika Jumpena menunggu hasil serangan jarumnya. Ja-
rum-jarum itu telah dibaluri racun, yang meskipun tidak mematikan tapi cukup
untuk membuat orang yang
tertusuk pingsan. Bersamaan dengan dengusan itu pa-
kaian Tengkorak Darah bergelombang keras seperti tertiup hembusan angin. Jarum-
jarum beracun itu runtuh
ke tanah. Kiranya, jarum-jarum beracun itu tidak me-
nembus kulit, hanya pakaiannya saja.
Wajah Jumpena berubah. Pemuda berpakaian
kuning ini sadar tidak ada gunanya lagi mengirimkan
serangan susulan. Tengkorak Darah mampu membuat
kulit tubuhnya tidak bisa ditembus benda tajam.
Seakan tidak peduli pada keterkejutan Jumpe-
na, Tengkorak Darah menjulurkan tangannya. Jari-
jarinya tidak terlihat karena terbungkus sarung tangan merah. Sosok berpakaian
merah ini menggerakkan tangan sebentar seperti menyentak. Dan, sebatang ranting
yang tergolek di tanah melayang ke arahnya. Ranting itu panjangnya tak kurang
dari tiga jengkal.
Sebelum ranting itu berada dekat dan masih me-
layang-layang di udara, Tengkorak Darah menjejakkan
kaki. Tubuhnya melayang ke atas menyambut luncuran
ranting. Tapi, ternyata tidak. Tengkorak Darah menjejakkan kaki di atas ranting
yang tengah melayang!
Dengan sekali menggoyangkan kaki, Tengkorak
Darah membuat arah luncuran ranting berbalik menuju
Jumpena! Karena sosok bertopeng tengkorak manusia
ini berada di atasnya, luncuran itu membawa tubuh
Tengkorak Darah meluncur pula.
Jumpena melempar tubuhnya ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara untuk menggagalkan serangan Tengkorak Darah.
Dan, ia berhasil. Sebelum
Tengkorak Darah mengirimkan serangan susulan, Dir-
gantara yang khawatir teman barunya terluka segera
melompat ke atas mengirimkan serangan dengan bam-
bunya yang berputar cepat hingga bentuknya lenyap
menjadi segundukan sinar kehijauan!
Tengkorak Darah menjejakkan kaki. Ranting
yang berada di kakinya tertekan ke bawah. Tubuhnya
melayang ke atas melewati kepala Dirgantara kemudian hinggap pada sebatang bambu
sepanjang tiga kaki yang meluncur ke depan. Ternyata sebelum melompat tokoh
yang memiliki wajah penuh rahasia ini telah melemparkan sebatang kayu untuk
tempat mendarat.
Dirgantara tidak melanjutkan serangannya.
Jumpena pun demikian. Keduanya membiarkan saja
Tengkorak Darah meluncur. Bahkan mereka mendiam-
kan ketika Tengkorak Darah berputar-putar mengelilin-gi kepala mereka dengan
berdiri di atas bambu.
*** Pertunjukan Tengkorak Darah berakhir, dengan
mengarahkan luncuran bambunya pada sebatang po-
hon. Bambu itu menembus batang pohon. Karena bam-
bu tidak panjang ketika menembus pohon, maka ber-
goyang-goyang seperti akan terlepas menahan berat tubuh Tengkorak Darah.
Dirgantara dan Jumpena yang sejak tadi mem-
perhatikan tingkah laku Tengkorak Darah hanya ber-
diam diri memperhatikan tindakan apa yang akan dila-
kukan Tengkorak Darah selanjutnya.
Tengkorak Darah sendiri bersikap tidak peduli.
Dengan tenang dikeluarkannya dua buah bone-
ka yang terbuat dari ranting kecil dan jerami. Kemu-
dian, dengan hati-hati pada bagian kepala yang mem-
punyai muka sekadarnya ditempelkan masing-masing
sehelai rambut. Jumpena maupun Dirgantara tidak ta-
hu kalau rambut yang ditempelkan pada dahi boneka
adalah rambut mereka! Tanpa setahu kedua orang mu-
da itu, Tengkorak Darah dengan mempergunakan keli-
hatannya mengambil rambut mereka.
Karena membuat boneka sederhana itulah
Tengkorak Darah baru muncul setelah Jumpena dan
Dirgantara meributkannya tadi, setelah melihat adanya tanda yang ditancapkan.
Memang, setelah menancapkan tanda keberadaan dirinya Tengkorak Darah per-
gi mencari ranting dan jerami untuk membuat boneka.
Boneka-boneka itu mewakili Jumpena dan Dirgantara.
Sementara itu Dirgantara dan Jumpena saling
berpandangan. Sinar mata mereka tampak bertanya-
tanya. Meskipun demikian, kedua pemuda itu bisa
memperkirakan Tengkorak Darah tengah merencana-
kan sesuatu yang tidak baik! Setidak-tidaknya akan
merugikan mereka. Jumpena maupun Dirgantara men-
getahui Tengkorak Darah ahli bermain sihir!
Keyakinan akan dugaan itu menyebabkan Dir-
gantara dan Jumpena menghunus senjata yang tadi te-
lah disimpan. Kemudian, sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring mereka
melesat ke arah Tengkorak
Darah dengan senjata di tangan.
Dirgantara memutar bambu kuningnya hingga
bentuknya lenyap menjadi segundukan sinar yang mu-
la-mula kecil kemudian melebar. Jumpena mengelua-
rkan sepasang pisau yang putih berkilat. Dengan senja-ta itu ia bersiap untuk
membunuh Tengkorak Darah.
Tengkorak Darah tentu saja melihat tindakan
kedua pemuda itu. Tapi, dia bersikap tidak peduli. Seperti tidak mengetahui
adanya serangan ia tetap memusatkan perhatian pada boneka yang berada di tangan-
nya. Di saat Dirgantara dan Jumpena melalui setengah jarak antara mereka, baru
Tengkorak Darah dengan
mempergunakan jari telunjuknya menotok bagian bahu
kanan boneka-boneka itu.
Pada saat yang bersamaan dengan totokan yang
mengenai bahu kanan boneka-boneka, Jumpena dan
Dirgantara merasakan tubuh mereka tiba-tiba lumpuh.
Tanpa mampu berbuat apa pun lagi, luncuran tubuh
kedua pemuda itu terhenti di tengah jalan. Kemudian, ambruk ke tanah bagaikan
sehelai karung basah.
"Hak hak hak..!"
Tengkorak Darah tertawa berkakakan. Kemu-
dian, dengan gerakan kaki sederhana sosok berpakaian serba merah itu melepaskan
bambu yang menancap di
batang pohon. Dengan sekali sentak bambu itu me-
layang membawa tubuhnya menuju tempat Jumpena
dan Dirgantara berada. Tepat di depan kedua orang
muda itu luncuran bambu terhenti. Kemudian, menda-
rat turun perlahan-lahan seperti diatur oleh tangan tidak nampak.
Tengkorak Darah menatap wajah Jumpena dan
Dirgantara berganti-ganti. Sorot sepasang matanya
memancarkan kesan menyeramkan, membuat kedua
pemuda yang sebenarnya memiliki nyali besar itu mera-sa ngeri. Keduanya sadar
kalau keadaan mereka amat
berbahaya. Kematian telah berada di depan mata. Wa-
laupun Jumpena dan Dirgantara bukan orang-orang
yang takut kematian, tapi tewas secara mengerikan bukan persoalan main-main.
Bagi orang seperti Tengkorak Darah kematian lawan secara mengerikan merupakan
hal menyenangkan! Ini yang membuat kedua orang
muda itu ngeri. Meski demikian, keduanya tidak me-
nunjukkan perasaan gentar. Malah, dengan berani
Jumpena dan Dirgantara membalas tatapan Tengkorak
Darah dengan sorot mata penuh tantangan.
"Aku tahu kalian orang-orang muda yang berani
mati." Tengkorak Darah berkata dengan suara anehnya setelah terlebih dulu
melepas tawa mengerikan. Tawa
yang bukan timbul karena perasaan gembira. Jumpena
maupun Dirgantara merasakan kepedihan dalam tawa
itu. Ini membuat keduanya merasa heran. "Aku yakin kalian tidak akan bertindak
seberani itu, mengajukan tantangan terhadapku dengan sinar mata, kalau tahu
kematian yang akan kalian terima!"
"Kau boleh mengajukan ancaman apa pun. Tapi
jangan harap aku akan gentar! Aku tak akan minta am-
punanmu, Manusia Iblis! Silakan lakukan sekehendak
hatimu!" sambut Jumpena yang ternyata memiliki watak pemberani dan tidak takut
menghadapi ancaman.
"Apa yang dikatakan kawanku memang benar,
Tengkorak Darah!" Dirgantara ikut berbicara untuk me-nyejukkan suasana tegang
yang melanda. Dirgantara
lebih bisa mengendalikan diri untuk tidak memancing
kemarahan Tengkorak Darah. Dilihatnya kilatan kema-
rahan pada sepasang mata Tengkorak Darah begitu
mendengar ucapan Jumpena. Dirgantara memiliki wa-
tak lebih tenang. Yang lebih penting adalah mencari jalan untuk menyelamatkan
diri. "Kami bukan orang-orang yang takut mati. Tapi kalau boleh kami tahu, ada
urusan apa di antara kita hingga kau berniat menjatuhkan tangan jahat terhadap
kami. Sepanjang ingatan kami tidak ada urusan di antara kita."
Tengkorak Darah menatap wajah Dirgantara se-
jenak. "Kau lebih memiliki otak daripada kawanmu.
Memang, di antara kita tidak ada permusuhan. Tapi itu tidak menjadi alasan
bagiku! Kalau kau meminta alasan, sesalilah kenapa kalian berada di sini pada
saat aku berada di sini! Kalau aku ingin membunuh orang,
kubunuh saja, habis perkara. Tanpa perlu alasan apa
pun. Kebetulan saat ini aku tengah ingin menyiksa
orang!" "Mengapa bertele-tele, Tengkorak Darah!" Jumpena tidak senang melihat
sikap Dirgantara, ia mengira
pemuda berompi kulit harimau itu merasa gentar, se-
hingga langsung menyela. Suara dan nadanya lebih ke-
ras dari semula. "Kalau kau ingin bunuh, silakan bunuh! Ingin menyiksa, siksa
saja! Tidak perlu bertele-tele dan berbicara panjang lebar seperti nenek-nenek
ba-wel!" Tidak hanya Tengkorak Darah, Dirgantara pun kaget mendengar perkataan
Jumpena. "Jumpena benar-benar seorang yang nekat!" desis hati Dirgantara. Nekat dan tidak
mengenai gelagat.
Tengkorak Darah menggeram keras. Terasa be-
tul nada kemarahan di dalamnya. Tapi, sebentar kemu-
dian berganti dengan tawa bergelak.
"Kau kelihatannya memiliki hati baja, Bocah Ba-
gus! Aku jadi ingin membuktikan kebenaran ucapanmu.
Apakah kau benar-benar memiliki hati keras dan tahan uji, atau hanya sesumbar
belaka"!"
Tengkorak Darah menutup ucapannya dengan
mengeluarkan sebatang jarum panjang dari balik baju.
Setelah mengerling ke arah Jumpena dari balik topengnya jarum itu diacungkan
tinggi-tinggi. Kemudian, diturunkan perlahan-lahan dengan sikap seperti akan me-
nusuk boneka sederhana yang ditempeli rambut Jum-
pena. "Hentikan! Hentikan tindakan itu, Tengkorak Darah!" Dirgantara yang
meskipun tidak tahu pasti apa yang akan terjadi, namun sedikit banyak ia bisa
memperkirakan. Pemuda itu berseru mencegah dengan nada
menyiratkan kekhawatiran.
Tengkorak Darah memalingkan kepala menatap
Dirgantara. Jumpena pun demikian. Tapi sebelum ke-
dua orang itu membuka mulut, Dirgantara telah lebih
dulu berseru. "Kalau kau masih ingin menyiksa, siksalah aku!
Akulah yang lebih berhak untuk kau siksa. Bebaskan
dia, Tengkorak Darah! Biar aku yang menanggung se-
muanya. Aku rela kau siksa, bahkan kau bunuh sekali-
pun asal kau biarkan dia bebas!"
"Dirga!" Jumpena berseru kaget mendengar ucapan Dirgantara. Suara pemuda
berpakaian kuning ini
agak serak karena rasa haru yang menyeruak menden-
gar pembelaan Dirgantara.
"Kau tenang-tenang saja, Jumpena. Bukankah
kau telah menolongku" Sekarang berikan aku kesempa-
tan untuk menolongmu."
"Tapi...."
"Bagaimana, Tengkorak Darah?" Dirgantara bu-ru-buru memutus ucapan Jumpena. "Kau
mau mene- rima usulku...?"
Tengkorak Darah mendengus setelah tertegun
mendengar usul tidak masuk akalnya itu. Sungguh ti-
dak pernah terpikir olehnya ada orang yang mau meng-
gantikan untuk menerima hukuman. Sepengetahuan-
nya, orang lebih suka mengorbankan orang lain asal dirinya selamat.
"Usulmu gila!" tajam ucapan Tengkorak Darah.
"Aku tidak bisa menerimanya. Sebaliknya, aku malah akan membebaskan mu dan
menyiksa sampai mati
orang yang bermulut lancang itu!"
"Kau mengambil keputusan yang tepat, Tengko-
rak Darah!" Jumpena mempunyai kesempatan untuk
berbicara. "Memang aku seharusnya orang yang kau hukum. Akulah yang bersalah!
Bisa juga kau mengambil keputusan lain. Tapi bila hal itu kau lakukan, berarti
kau tidak memiliki otak yang baik. Otakmu telah rusak!" Dirgantara mengeluh
dalam hati. Harus diakui kalau dalam kepintaran berbicara Jumpena memang
luar biasa. Mungkin tidak kalah dengan perempuan!
Kata-katanya selalu tepat menyinggung perasaan orang yang memojokkannya,
sehingga orang yang diajak bicara tidak bisa mengambil keputusan lain.
"Kau boleh rasakan sendiri keputusan yang te-
lah kau pilih, Bocah Liar!"
Dengan gemas Tengkorak Darah menusukkan
jarumnya pada kepala boneka yang ditempeli rambut
Jumpena. Dan, membiarkan jarum itu di sana.
Dirgantara sampai membelalakkan mata ketika
melihat pemandangan yang mustahil dan sangat men-
gerikan! Begitu Tengkorak Darah menusukkan jarum
pada kepala boneka, tubuh Jumpena kemudian meng-
gelepar-gelepar. Seringai kesakitan tampak jelas pada wajahnya. Pemuda
berpakaian kuning itu sampai mampu memegangi kepalanya. Padahal saat itu
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jumpena, seperti juga dirinya, tengah berada dalam keadaan lemas terkena totokan!
Rangsangan sakit yang demikian
kuat menjadikan Jumpena mampu bergerak tanpa sa-
dar. Tapi hanya sebatas tenaga kasar. Ia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam.
*** 4 Dirgantara merasa bulu tengkuknya meremang.
Rasa sakit yang diderita Jumpena karena kepala bone-
ka yang ditempeli rambut Jumpena ditusuk jarum.
Meski tidak terlampau cerdik, pemuda berompi kulit
harimau itu tahu ada hubungan erat antara boneka
dengan diri Jumpena. Boneka itu merupakan cerminan
tubuh Jumpena. Dirgantara sebelumnya tidak pernah
menyaksikan ilmu keji seperti ini! Dirgantara tidak berani membayangkan betapa
mudahnya Tengkorak Da-
rah membunuh siapa saja yang diinginkannya lewat
boneka buatannya.
"Hentikan! Hentikan itu, Tengkorak Darah!
Kau... keji...!" Dirgantara berteriak-teriak begitu sadar dari keterkejutannya.
Suaranya keras dan lantang karena didorong perasaan khawatir dan ngeri. Ia tak
tega melihat Jumpena menggelepar-gelepar di tanah. Kedua
tangannya didekapkan ke kepala.
"Hak hak hak...!"
Tengkorak Darah malah tertawa terbahak-
bahak. Ia kelihatan gembira sekali melihat pemandan-
gan yang terpampang di depan matanya.
"Sekarang kau buktikan kehebatan ilmu dan
siksaanku, Bocah Lancang! Inilah ilmuku yang terbaru.
Dengan ilmu ini aku dapat membunuh siapa pun yang
ku mau. Hak hak hak...!"
"Hentikan, Tengkorak Darah!" Dirgantara semakin kalap melihat sosok berpakaian
merah itu tidak
mempedulikan teriakannya. "Kalau kau teruskan tinda-kanmu ini, kau akan mendapat
kesulitan besar. Be-
baskan dia, Tengkorak Darah!"
Tengkorak Darah menghentikan tawanya dan
menatap wajah Dirgantara lekat-lekat.
"Kalau tidak mengingat wajahmu yang mengin-
gatkan aku pada seseorang, sudah kuhancurkan mu-
lutmu karena berani mengancamku, Bocah Liar! Kau
kira Tengkorak Darah takut akan ancamanmu! Aku ju-
stru ingin mencari permusuhan dengan guru bocah
lancang itu, agar bisa terjadi pertempuran antara kami dan aku bisa
membunuhnya!"
"Tapi..., ayahnya adalah Pendekar Jari Maut!
Kau akan celaka di tangannya, Tengkorak Darah.
Dan...." "Apa..."!"
Tengkorak Darah tersentak kaget mendengar
ucapan Dirgantara. Kenyataan ini membuat pemuda be-
rompi kulit harimau itu merasa gembira. Ia mengira gerakannya berhasil.
Tengkorak Darah akan merasa se-
gan bermusuhan dengan lawan berat seperti Pendekar
Jari Maut. "Jadi..., bocah lancang itu anak dari Pendekar
Jari Maut" Manusia terkutuk itu" Kalau begitu aku
sangat beruntung. Untuk sementara aku bisa memba-
laskan sakit hatiku sebelum ayahnya sendiri menerima ganjaran atas kekejian yang
dilakukannya terhadapku!"
Dirgantara melongo. Dia tidak menyangka akibat
gertakannya akan begini. Tengkorak Darah ternyata
memiliki dendam pada Pendekar Jari Maut. Keadaan
Jumpena justru semakin gawat!
Sebelum Dirgantara berbuat sesuatu, Tengkorak
Darah telah lebih dulu bertindak. Boneka yang semula dibiarkan dengan jarum
menancap di kepala kini diam-bilnya. Jarum panjang itu dicabut. Dan, dengan
bertu-bi-tubi jarum ditusukkan ke berbagai bagian tubuh boneka! Jumpena semakin
menggelepar-gelepar. Kendati
demikian, tak sedikit pun keluar keluhan dari mulut-
nya. Keringat dingin sebesar-besar biji jagung dan se-ringai kesakitan di wajah
menunjukkan kalau pemuda
berpakaian kuning ini tengah menderita hebat!
"Rasakan wahai Pendekar Jari Maut..,! Lihatlah
anakmu kusiksa...! Datanglah kemari.... Biar kau sendiri yang menerima siksaan
dariku!" seru Tengkorak Darah dengan mengerahkan tenaga dalam. Tangannya
masih terus menusuk-nusuk berbagai bagian tubuh
boneka. "Hentikan...! Hentikan, Keparat! Tengkorak Darah...! Hentikan...!
Keparat kau...! Aku bersumpah akan membuat perhitungan denganmu. Aku akan membu-
nuhmu!" Dirgantara yang tidak menderita apa pun berteriak-teriak bagai cacing
kepanasan. Teriakan Dirgantara ternyata manjur. Tengkorak
Darah menghentikan siksaannya. Kepalanya di toleh-
kan ke arah Dirgantara. Sepasang mata tajam berkilat-kilat menatap Dirgantara
dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Bulu kuduk Dirgantara sampai berdiri. Ta-pi, Dirgantara menguatkan
hati. Dia membalas tatapan itu meski tidak dengan sorot menantang.
Dirgantara tiba-tiba melihat Tengkorak Darah
yang telah memperhatikannya terhuyung ke belakang.
Sepasang mata tajam di balik topeng itu terpejam seperti tengah memusatkan
perhatian pada sesuatu.
Dirgantara tidak tahu tubuh Tengkorak Darah
terhuyung karena ada serangan. Serangan dari jauh
yang hanya didengar Tengkorak Darah. Serangan itu
berupa bunyi dentang nyaring seperti logam kosong dipukul besi! Bunyinya
menyakitkan telinga dan mem-
buat isi dada tergetar hebat
Tengkorak Darah yang mengetahui seseorang te-
lah menyerangnya tidak tinggal diam. Dia mengumpul-
kan hawa murni dan memusatkan perhatian. Sesaat
kemudian dari mulutnya terdengar siulan. Siulan me-
lengking yang tidak tertangkap telinga biasa, tapi langsung melawan pengaruh
bunyi yang menyerangnya!
Dirgantara yang semula keheranan semakin ber-
tambah heran melihat tokoh itu duduk bersila. Dia tidak tahu apa yang tengah
terjadi. Pemuda berompi kulit harimau itu tidak tahu kalau saat ini telah
terjadi pertarungan dahsyat tenaga dalam.
Dirgantara mulai dapat menduga apa yang ten-
gah terjadi ketika melihat uap tipis mengepul dari kepala Tengkorak Darah. Uap
itu hanya akan muncul apabi-
la seseorang mengerahkan tenaga dalam sampai mele-
wati kemampuan. Berarti Tengkorak Darah tengah ter-
libat pertarungan! Tapi, dengan siapa"
Pertanyaan yang bergayut memaksa Dirgantara
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pemuda berwa-
jah persegi ini pun melihatnya. Belasan tombak dari
tempatnya, berdiri seorang pemuda tampan berpakaian
ungu dan berambut putih keperakan. Pemuda berpa-
kaian ungu ini duduk bersandar pada sebatang pohon
besar. Kelihatan santai, tapi tangan kanannya tak hen-ti-hentinya menyentili
badan guci. Begitu cepat jari-jarinya bergerak hingga yang terlihat hanya
bayangan tak jelas. Anehnya, betapapun Dirgantara mengerahkan tenaga dalam untuk
mempertajam pendengaran namun
tidak terdengar bunyi guci yang disentil. Padahal, melihat kecepatan jari itu
bisa diperkirakan kerasnya bunyi yang terdengar.
Dirgantara tidak tahu bunyi itu hanya ditujukan
pada Tengkorak Darah. Hanya orang-orang yang memi-
liki tenaga dalam tinggi saja yang bisa mendengarnya.
Dirgantara mengalihkan perhatian pada Tengkorak Da-
rah. Pemuda berompi kulit harimau ini bisa memperki-
rakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Kea-
daan Tengkorak Darah demikian mengkhawatirkan.
Uap yang mengepul dari atas kepalanya semakin tebal
dan berwarna putih. Pakaiannya yang terlalu besar itu telah melekat dengan tubuh
karena banyaknya peluh.
Bahkan, dari balik topeng mengalir keringat. "Hukh!"
Tubuh Tengkorak Darah terdorong agak ke be-
lakang kemudian tertunduk ke depan. Tengkorak Darah
terluka dalam. Ia memuntahkan darah segar. Topeng
yang menutupi wajah dan mulutnya membuat darah itu
tidak terlihat. Tengkorak Darah telah kalah!
Tengkorak Darah mengerling ke arah pemuda
berambut putih keperakan dari balik lubang topengnya.
Kemudian, ia bangkit dengan terhuyung-huyung dan
melesat meninggalkan tempat itu.
Pemuda berpakaian ungu tidak mengejarnya.
Dia menghela napas berat, lalu menyimpan guci ke
punggungnya dan mengusap peluh yang membasahi
sekujur wajah dengan punggung tangan. Baru setelah
itu ia mengalihkan perhatian pada tubuh Jumpena dan
Dirgantara. Pemuda berpakaian ungu mengambil sebutir
buah ceremai yang banyak berserakan di dekatnya. Po-
hon di mana tubuhnya bersandar memang pohon cere-
mai. Dengan sembarangan disentilnya buah yang terse-
lip di antara jari-jari kanannya.
Dirgantara kagum bukan main merasakan aliran
darahnya kembali lancar ketika buah ceremai yang disentil pemuda berpakaian ungu
mengenai tubuhnya. To-
tokannya telah terbebas. Perbuatan yang dilakukan
pemuda berambut putih keperakan itu cukup sulit.
Membebaskan totokan dari jarak jauh dengan butiran
buah ceremai. Dia sendiri belum tentu mampu melaku-
kannya! Sebelum pemuda berompi kulit harimau bangkit berdiri dan membebaskan
totokan Jumpena, pemuda
berpakaian ungu melakukan gerakan seperti menotok
dengan dua jari. Dirgantara melihat jelas arah yang dituju jari-jari itu ke
tubuh Jumpena. Dirgantara hanya mendengar bunyi bercicitan
pelan. Sesaat kemudian, begitu pemuda berpakaian un-
gu menurunkan tangannya, Jumpena bergerak bangkit.
Dirgantara melongo. Pemuda berambut putih keperakan
itu mampu membebaskan totokan, dari jarak jauh!
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Kalau
tidak ada kau mungkin aku, Dirgantara, dan kawanku
ini, Jumpena, tidak akan berada di dunia ini. Boleh aku mengenai nama atau
julukanmu, Sobat?" tanya Dirgantara setelah berada di depan pemuda berambut
putih keperakan. Dirgantara dengan tergopoh-gopoh berlari
menghampiri karena perasaan kagum.
"Benar, Sobat. Aku pun sangat berterima kasih.
Tengkorak Darah memang ganas dan keji. Benar seperti yang dikabarkan orang!"
Jumpena yang telah berada di sebelah Dirgantara menambahkan.
Pemuda berpakaian ungu menatap wajah Dir-
gantara dan Jumpena berganti-ganti. Senyuman lebar
tersungging di bibirnya.
"Tidak usah banyak berterima kasih, Dirga,
Jumpena, hanya suatu kebetulan aku lewat tempat ini.
Itu pun karena mendengar seruan orang itu yang me-
nyebut-nyebut nama Pendekar Jari Maut. Kalau tidak
karena teriakan itu tak mungkin aku sampai di sini.
Jadi, orang itu yang berjuluk Tengkorak Darah" O ya, namaku Arya. Tapi, dunia
persilatan memberikan julukan Dewa Arak kepadaku."
"Benar, Arya." Jumpena yang pintar berbicara memberikan jawaban. "Orang itu yang
berjuluk Tengkorak Darah."
Pemuda berpakaian ungu yang memang Arya
Buana alias Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala.
Diam-diam ia merasa heran melihat sikap kedua orang
muda di hadapannya. Mereka tidak terkejut mendengar
julukannya. Apakah julukannya belum sampai ke dae-
rah ini" Arya tidak tahu kalau tidak kenalnya Jumpena dan Dirgantara dengan
julukan Dewa Arak karena mereka baru terjun ke dunia persilatan. Jadi, belum
mendengar julukan Dewa Arak yang menggemparkan.
Guru-guru mereka pun tidak menceritakannya karena
terlalu lama menyembunyikan diri sehingga tidak per-
nah mendengar julukan itu.
"Kau hendak ke mana, Arya?" tanya Jumpena.
"Aku tidak punya tujuan. Hanya mengikuti ke
mana kaki ini melangkah, Jumpena," jawab Arya seraya tersenyum.
"Mengapa kalian bisa bentrok dengan Tengkorak
Darah?" "Tidak ada masalah apa-apa sebenarnya, Arya, Tengkorak Darah saja yang
terlalu usilan," jelas Jumpena sekenanya.
Arya sampai tersenyum mendengar jawaban
yang sembarangan itu.
"Tapi, tadi kudengar Tengkorak Darah menye-
but-nyebut Pendekar Jari Maut."
"Beliau adalah ayahku, Arya," jawab Jumpena, cepat. "Ah...! Begitukah..."!" Arya
kelihatan terkejut
"Benar!" Dirgantara yang menyahuti. "Jumpena itu anak Pendekar Jari Maut
Sedangkan aku murid Petani
Berambut Putih."
"Murid tokoh-tokoh terkenal rupanya," sambut Arya yang telah mendengar nama
besar Pendekar Jari
Maut dan Petani Berambut Putih sebagai tokoh-tokoh
besar golongan putih. Julukan Pendekar Jari Maut lebih tenar daripada Petani
Berambut Putih.
"Kami tengah dalam tugas untuk mengunjungi
Naga Sakti Berwajah Hitam," tambah Jumpena untuk menambah kepercayaan Dewa Arak.
"Kalau begitu, silakan kalian berangkat. Mung-
kin kalian sudah ditunggu. Aku pergi dulu...."
Dirgantara dan Jumpena menggeleng-gelengkan
kepala ketika melihat tubuh pemuda berambut putih
keperakan sudah tidak terlihat lagi. Padahal, suaranya masih bergema di sekitar
tempat itu. "Hebat sekali Dewa Arak itu!" Dirgantara membuka percakapan. "Tidak kusangka
seorang tokoh muda telah memiliki kepandaian luar biasa. Dibandingkan
dengannya kepandaian yang kumiliki tidak berarti apa-apa." "Kau tidak perlu
berkecil hati, Dirga," hibur Jumpena yang merasakan nada keluhan dalam ucapan
pemuda berompi kulit harimau itu. "Jangankan kau atau aku, Tengkorak Darah yang
menggiriskan hati itu saja bukan tandingannya. Dewa Arak memang hebat
bukan main. Entah mana yang lebih lihai bila diban-
dingkan dengan ayahku atau gurumu."
Dirgantara tidak memberikan tanggapan. Pemu-
da berompi kulit harimau ini masih terpukul ketika
mengingat berturut-turut dirobohkan orang yang memi-
liki kepandaian di atasnya. Kepandaiannya yang dipela-jari dengan susah payah
selama belasan tahun ternyata tidak berguna!
Jumpena pun tengah digayut persoalan yang
sama. Kedua pemuda itu melakukan perjalanan tanpa
berbincang-bincang lagi.
***
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
5 "Ayo kejar, Putih...! Cepat! Jangan sampai si hitam mengalahkanmu...!"
Seruan-seman lantang bernada gembira itu ke-
luar dari mulut seorang kakek kurus berambut awut-
awutan. Usianya sukar untuk ditaksir. Tapi melihat
rambut yang telah memutih juga jenggot dan kumisnya, kakek kecil kurus ini tentu
sudah sangat tua.
Sambil terus berteriak-teriak dengan penuh se-
mangat, ia mengayun-ayunkan tangan kanannya me-
Pedang Angin Berbisik 20 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Rajawali Emas 9
IBLIS BUTA Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Aji Saka
Serial Dewa Arak dalam episode: Iblis Buta
128 hal. ; 12 X 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Seorang pemuda tampan bermuka persegi me-
langkah setengah berlari. Ia menghampiri pondok se-
derhana yang berada belasan tombak di depannya. Pe-
muda itu terlihat gagah. Tubuhnya tinggi besar dan
otot-ototnya bersembulan keluar. Pemuda berwajah
persegi itu hanya mengenakan rompi dari kulit hari-
mau. Pondok yang dituju pemuda berompi kulit hari-
mau tidak dapat dikatakan bagus. Sekelilingnya di pa-gari potongan-potongan
bambu setinggi pinggang. Ru-
mah itu sendiri terletak di tengah-tengah. Kelihatan kecil dan ringkih karena
berada di hamparan tanah luas yang ditumbuhi rumput-rumput liar.
Pemuda berwajah persegi menghentikan lang-
kahnya tepat di ambang pintu pagar bambu. Daun pin-
tunya sendiri sudah tidak menempel lagi, tapi tergolek di bagian dalam.
Pemuda berompi kulit harimau itu memperhati-
kan sekeliling dengan wajah berduka. Sudut demi sudut tempat itu dirayapi dengan
sepasang matanya yang
mencorong tajam. Sorot sepasang mata yang terlindung alis tebal berbentuk golok
itu menyiratkan ketidakper-cayaan. "Ibu...!" desis pemuda berompi kulit harimau.
Suaranya agak tersendat "Apa yang telah terjadi padamu?" Pandangan pemuda itu
berhenti pada tanaman bunga yang berada di sisi kanan dan kiri rumah. Bunga-
bunga itu layu, bahkan beberapa di antaranya mati.
Padahal, ibunya amat sayang pada tanaman-tanaman
itu. Ibunyalah yang menanam dan merawatnya. Menga-
pa sekarang bunga-bunga itu sampai tidak terurus"
Perasaan khawatir terbit di hati pemuda berwa-
jah persegi. Setelah berhasil mengatasi sergapan rasa harunya, pemuda itu
bergegas melangkah memasuki
halaman. Blosss! "Hey!"
Pemuda berwajah persegi menjerit kaget. Tanah
berumput yang diinjaknya amblas ke bawah membawa
tubuhnya. Tanah yang dipijaknya ternyata tidak padat, hanya berupa lapisan saja.
Di bawahnya tampak tombak-tombak berujung runcing siap menyate tubuh pe-
muda itu! Meski kaget, pemuda berwajah persegi tidak ke-
hilangan kepandaian. Sebelum menimpa ujung-ujung
tombak yang runcing, ilmu meringankan tubuhnya se-
gera dikerahkan untuk membuat kecepatan luncuran
tubuhnya melambat. Kedua tangannya digerak-
gerakkan seperti seekor burung yang mengepakkan
sayap. Ringan dan perlahan kedua kaki pemuda berwa-
jah persegi menjejak ujung-ujung tombak. Bahkan, alas kakinya tidak tergores
sedikit pun. Pemuda berompi kulit harimau ini menghela na-
pas lega seraya menghapus keringat yang membasahi
dahinya. Perasaan kaget dan tegangnya sedikit berku-
rang. Kemudian ia mendongakkan kepala untuk melihat
permukaan lubang. Dalam lubang ini tak kurang dari
empat tombak. Jarak yang cukup tinggi. Bahkan, terla-lu jauh untuk dapat di
lompati. Pemuda ini tidak terlalu lama berdiri di atas
ujung-ujung tombak. Seperti orang yang berjalan di
tempat datar, ia mengayunkan kaki mendekati sisi lu-
bang. Sejenak pemuda itu terdiam sebelum menempel-
kan kedua telapak tangannya yang terbuka ke dinding
lubang. Lalu, bagai seekor cecak pemuda berwajah persegi merayap naik ke atas!
Dalam waktu singkat saja pemuda berwajah
persegi telah mencapai mulut lubang dan keluar dari
dalamnya. Tampaknya sedikit peluh membasahi wajah-
nya. "Ha ha ha...!"
Gemuruh suara tawa membuat pemuda berwa-
jah persegi menolehkan kepala ke belakang. Tawa men-
gejek itu pastilah ditujukan padanya.
Di luar pagar bambu berdiri sesosok tubuh yang
membuat mata pemuda berompi kulit harimau itu ter-
belalak lebar. Sosok itu kelihatan aneh. Bertubuh amat pendek seperti anak
berusia sepuluh tahun. Pendek dan gemuk! Kepalanya tidak ditumbuhi rambut
sehelai pun. Wajahnya yang kelimis tampak seperti orang yang sela-lu bergembira. Semua
anggota tubuh sosok ini serba
bulat! Perutnya yang gendut terlihat jelas karena tidak tertutup rompi merah
yang dikenakannya.
"Aku tidak pernah mimpi melihat seekor monyet
cilik yang dungu terjeblos ke dalam sebuah lubang! Lu-cu sekali! Ha ha ha...!"
Wajah pemuda berompi kulit harimau merah
padam. Ia merasa malu dan tersinggung. Pemuda itu
menduga sosok pendek gemuk yang meski bentuk tu-
buhnya kecil, tapi usianya tak kurang dari lima puluh tahun. Pemuda berwajah
persegi ini tidak tahu kalau
sosok pendek gemuk itu telah berusia delapan puluh
tahun lebih! Pemuda berwajah persegi tidak berani lancang
menurutkan perasaan hatinya untuk balas memaki.
Kakek pendek gemuk itu bukan orang sembarangan.
Tawa yang dikeluarkan kakek itu membuat dadanya
bergetar hebat.
Setelah menatap kakek pendek gemuk sekilas,
pemuda berwajah persegi membalikkan tubuh dan
mengayunkan kaki menuju pondok sederhana. Kakek
pendek gemuk tidak menghalangi maksud pemuda be-
rompi kulit harimau. Bahkan, dia mengiringi ayunan
kaki pemuda berwajah persegi dengan tawa mengejek.
"Ibu...!"
Pemuda berompi kulit harimau berteriak me-
manggil ketika telah berada di depan pintu pondok.
"Ibu...! Ini aku anakmu pulang...!"
Tidak terdengar sahutan meski pemuda itu me-
nunggu beberapa saat lamanya. Kesabaran pemuda itu
habis. Dengan kedua tangan didorongnya daun pintu.
Ternyata tidak terkunci. Namun ketika daun pintu ter-kuak sedikit, terdengar
bunyi nyaring di susul dengan desingan tajam. "Ah...!"
Pemuda berwajah persegi berseru kaget melihat
beberapa anak panah meluncur deras ke arahnya. Den-
gan sigap tubuhnya dilempar ke belakang sehingga
anak panah meluncur lewat tanpa mendapat hasil.
"Ha ha ha...!"
Kakek pendek gemuk yang masih berada di luar
pagar kembali tertawa bergelak. Menertawakan pemuda
berompi kulit harimau yang dua kali hampir mati.
"Lucu sekali...! Hampir saja monyet dungu ini
menjadi sate monyet. Ha ha ha...! Lucu...! Lucu seka-li...!" Kali ini pemuda
berompi kulit harimau tidak bi-sa menahan sabar lagi.
"Siapa kau, Kakek" Mengapa memperhatikan
gerak-gerikku" Tinggalkan tempat ini sebelum kesaba-
ranku habis! Aku tidak ingin menghajarmu. Tapi, bila kau terus seperti ini
jangan salahkan kalau aku yang muda bertindak kasar terhadapmu!" tegur pemuda
berwajah persegi.
"Ha ha ha...!"
Sambutan kakek pendek gemuk malah tawa
bergelak. Sepasang matanya sejenak berkilat mengeri-
kan memancarkan hawa maut.
"Seekor monyet muda yang telah dua kali ham-
pir mati berani mengancamku" Ha ha ha...! Dunia be-
nar-benar sudah gila. Rupanya kau memiliki nyali ma-
can, Monyet Dungu! Aku jadi ingin melihat kesabaran
mu habis. Tapi, sebelum itu aku ingin mempertunjuk-
kan sebuah permainan yang menarik untukmu!"
Kakek pendek gemuk meletakkan ujung jari te-
lunjuknya di bawah pagar bambu yang malang. Pagar
itu memang terbuat dari belahan-belahan bambu yang
disusun malang melintang. Ada dua deretan bambu
yang malang. Kakek pendek gemuk meletakkan telun-
juknya pada bagian bambu yang di atas.
Kakek itu menggetarkan tangannya sejenak. Ti-
ba-tiba sebagian pagar bambu tercabut dari dalam ta-
nah. Panjang pagar bambu yang terpisah dari deretan
pagar kira-kira dua tombak. Kakek pendek gemuk lalu
menggerakkan jari telunjuknya ke atas. Pagar bambu
itu pun melayang ke atas bagai dilontarkan tenaga rak-sasa. Di saat pagar bambu
kehabisan daya luncuran,
kakek pendek gemuk menjulurkan tangannya ke arah
pagar bambu itu. Terdengar bunyi berderak ketika ka-
wat yang mengikat batang-batang bambu tercerai-berai dan melayang turun.
Kali ini kakek pendek gemuk menjulurkan tan-
gan kiri seraya memekik pelan. Bagai digerakkan orang, bambu-bambu itu meluncur
ke depan dan menancap
rapi di pinggir lubang tempat pemuda berwajah persegi terperangkap!
Wajah pemuda berompi kulit harimau berubah
hebat. Pertunjukkan kakek pendek gemuk jelas meru-
pakan hal yang luar biasa. Kakek itu mempunyai tenaga dalam yang sangat tinggi
sehingga mampu mempermainkan batang-batang bambu itu sekehendak hatinya.
Tenaga dalam itu jadi bagai tangan tak nampak!
"Kau memang hebat, Kek." Pemuda berwajah
persegi menelan ludah untuk membasahi tenggorokan-
nya yang mendadak kering. "Tapi, bukan berarti kau bi-sa seenaknya saja menghina
diriku. Aku bukan orang
yang takut menghadapi kematian!"
"Bagus. Bagus. Kau menyenangkan hatiku.
Anak Muda. Kau tidak pantas lagi kupanggil monyet
dungu. Aku suka dengan orang-orang yang berjiwa
pemberani! Tidak mau merengek-rengek. Aku jadi lebih ingin mengenalmu lebih
jauh. Apa hubunganmu dengan
pemilik rumah itu?"
"Aku anaknya!" tandas pemuda berwajah perse-gi.
"Ah...! Begitukah?"
Pemuda berwajah persegi diam-diam memperha-
tikan suatu keanehan pada diri kakek pendek gemuk.
Dalam keadaan apa pun wajah kakek itu tetap cerah
dan penuh senyum, seperti orang yang memiliki hati
welas asih. Mungkin dalam keadaan marah sekalipun
wajah kakek itu tetap penuh dengan senyum.
"Menurut berita yang kudengar rumah itu milik
istri Iblis Buta. Apakah kau anak dari tokoh yang terkenal itu?" tanya kakek
pendek gemuk dengan senyum menghias bibir.
"Tak salah!" Pemuda berwajah persegi mengangguk. "Aku adalah anak Iblis Buta.
Namaku Dirgantara!"
"Kalau begitu, sungguh merupakan hal yang
menguntungkan. Tidak mendapatkan ayahnya, anak-
nya pun jadi. Setidak-tidaknya, andaikata Iblis Buta demikian pengecut dan tetap
tidak berani memuncul-kan diri, kau akan menjadi gantinya!"
"Apa maksudmu, Kek?" tanya Dirgantara dengan perasaan tidak enak. Dia melihat
adanya permusuhan
antara kakek pendek gemuk dengan ayahnya, Iblis Bu-
ta. "Masih kurang jelaskah bagimu, Monyet Dungu"
Ayahmu telah melakukan sebuah kesalahan terha-
dapku. Dia telah lancang tangan membunuh muridku.
Jadi, tidak ada pilihan lain bagiku kecuali turun gunung dan membalaskan sakit
hati ini. Karena kau orang yang mempunyai hubungan darah dengan Iblis Buta,
kau harus menanggung akibat perbuatan ayahmu. Ha
ha ha...!"
Dirgantara mengepalkan kedua tinjunya yang
kekar. "Tidak semudah itu kau melakukannya, Kek!"
"Ha Ha ha...! Kau terlalu besar kepala, Monyet
Dungu! Jangankan kau, gurumu sendiri tidak akan
mampu melawanku. Pernahkah gurumu bercerita ten-
tang datuk sesat dunia persilatan yang sekitar tiga puluh tahun lalu
mengasingkan diri?"
Wajah Dirgantara berubah. Gurunya memang
pernah bercerita tentang hal itu. "Jadi..., kau.... Setan Gila"!" "Ha ha ha...!
Benar sekali...!" Kakek pendek gemuk tertawa bergelak. "Mungkin sekarang
kegilaan ku telah jauh berkurang. Sudah hampir empat puluh tahun aku
mengasingkan diri, hingga banyak hal yang
kulupakan. Bahkan, kebiasaan-kebiasaan ku!"
Dirgantara memang telah mendengar mengenai
kakek pendek gemuk ini dari gurunya. Setan Gila yang terkenal karena ketinggian
ilmu dan kekejamannya.
Tanpa membuang-buang waktu, segera Dirgantara
mencabut tongkat bambu yang sejak tadi tersampir di
punggung sebagaimana pedang.
"Ha ha ha...!" Setan Gila tertawa melihat Dirgantara mencabut senjatanya. "Jadi
gurumu si Petani Berambut Putih" Ha ha ha...! Bukankah dugaanku benar,
Monyet Dungu" Sejak kulihat bambu kuning itu di
punggungmu aku sudah bisa menduga siapa gurumu.
Asal kau tahu saja, Monyet Dungu, gurumu apabila
bertemu denganku akan berlutut dan meminta ampu-
nan. Dan...."
"Tutup mulutmu dan lihat senjata...!"
Dirgantara yang tidak senang mendengar gu-
runya dihina segera memutar bambu kuning sepanjang
pedang di tangannya. Bambu kuning itu lenyap menjadi segulungan sinar kekuningan
yang mengeluarkan bunyi
mengaung keras seperti sekelompok lebah murka.
Kakek pendek gemuk hanya tersenyum lebar.
Dia tidak melakukan tindakan apa pun. Baru ketika
Dirgantara telah berada dekat dengannya dan serangan bambu pemuda itu hampir
mengenai tubuhnya, kakek
pendek gemuk bertepuk tangan sekali.
Glarrr! Dirgantara yang tengah melayang di udara dan
siap menusukkan bambu kuningnya merasakan ada
halilintar menyambar dekat telinga. Keras bukan main sehingga tidak hanya
telinganya saja yang mendadak
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuli, tapi juga dadanya bergetar hebat. Tenaga yang ter-kumpul buyar seketika
karena tubuhnya mendadak le-
mas. Bahkan, tubuh pemuda ini sampai terhuyung-
huyung dan hampir jatuh ketika berhasil menjejak ta-
nah. Kakek pendek gemuk membuka mulutnya dan
meniup. Angin luar biasa keras berhembus sehingga
Dirgantara yang masih dalam pengaruh tepukan itu ti-
dak kuat bertahan. Tubuh pemuda itu terjengkang ke
belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Sambil tertawa bergelak, kakek Setan Gila me-
nudingkan jari telunjuknya. Dirgantara menyeringai ketika merasakan sekujur
tubuhnya lemas ketika bahu
kanannya terkena totokan. Setan Gila telah menotoknya dari jauh, Bagi orang yang
memiliki tingkat tenaga da-
lam seperti Setan Gila merupakan sesuatu yang mudah
untuk melakukan hal itu.
Setan Gila terkekeh girang. Kakinya yang pen-
dek dan bulat seperti kaki gajah dihentakkan ke tanah sekali. Tubuh Dirgantara
pun melayang ke arah kakek
pendek gemuk itu.
Setan Gila yang sudah mengembangkan kedua
tangan untuk menangkap tubuh Dirgantara terpaksa
menarik kembali ketika terdengar bunyi berdesing nyaring. Kakek itu melihat
benda-benda halus berwarna putih meluncur ke arahnya. Semula meluncur ke arah
da- da, tapi di tengah jalan berpencar. Masing-masing ben-da halus yang diketahui
Setan Gila sebagai rambut manusia itu meluncur ke berbagai jalan darah mematikan
di tubuhnya. Setan Gila mundur selangkah seraya memper-
dengarkan tawa keras hingga perutnya berguncang.
Rambut-rambut yang semula menegang kaku bagai ja-
rum-jarum panjang itu melemas. Dan, ketika kakek
pendek gemuk meniupnya rambut-rambut itu runtuh
ke tanah. Pada saat yang bersamaan tubuh Dirgantara
pun jatuh ke tanah dengan keras karena tidak ada yang menyambutinya.
"Ha ha ha...! Kiranya kau penyabotnya. Pan
tas...! Apa gerangan yang membuatmu turun dari per-
tapaan, Jerangkong Penjagal Nyawa"!" seru Setan Gila dengan senyum lebar,
kendati hatinya terkejut bukan
main. Kaget dan dongkol karena tahu akan menghadapi
saingan berat. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah salah satu dari dua datuk tua
yang telah puluhan tahun
mengundurkan diri.
Jerangkong Penjagal Nyawa seorang kakek yang
berusia tak kurang dari seratus tahun. Ia mendengus
mendengar ucapan Setan Gila. Wajahnya yang berben-
tuk tirus dan selalu tampak muram bertambah keruh.
Wajah Jerangkong Penjagal Nyawa dan bentuk tubuh-
nya memang merupakan kebalikan dari Setan Gila. Je-
rangkong Penjagal Nyawa bertubuh tinggi kurus. Ting-
ginya hampir satu setengah kali tinggi manusia normal.
Ia kurus bukan main seperti tulang dibungkus kulit.
Pakaian yang dikenakannya putih bersih namun kebe-
saran hingga senantiasa berkibaran ketika tertiup angin.
"Kau sendiri mengapa keluar dari tempat penga-
singanmu, Gendut?" Sambil berkata demikian, Jerangkong Penjagal Nyawa melirik
tubuh Dirgantara yang tergolek di tanah. Tubuh pemuda berompi kulit harimau
itu tergolek tepat di antara kedua kakek ini.
Dirgantara yang mendengarkan adu mulut itu
hanya bisa mengeluh dalam hati. Dia tahu keadaannya
amat berbahaya. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah
saingan berat Setan Gila. Setan Gila saja sudah tidak bisa ditanggulangi. Maka,
kedatangan Jerangkong Penjagal Nyawa semakin memperburuk keadaan. Tubuhnya
yang lemas karena tertotok membuatnya hanya bisa
berdiam diri dan pasrah pada keadaan. Yang dapat di-
lakukan Dirgantara hanya mendengarkan pertengkaran
Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila serta berharap agar di antara mereka
timbul pertarungan yang
akan membuatnya mendapat kesempatan untuk mela-
rikan diri. Sementara, Setan Gila yang mendapat perta-
nyaan dari Jerangkong Penjagal Nyawa malah tertawa
bergelak. "Keluarnya aku dari pertapaan mempunyai tu-
juan yang jelas, Kurus!" Setan Gila tak mau kalah gertak. "Muridku tewas di
tangan Iblis Buta. Mau tidak mau terpaksa aku harus turun tangan untuk
membalaskan kematiannya. Betapapun juga dengan tewasnya
muridku, Iblis Buta telah berani menantangku!"
"Alasan yang dibuat-buat!" tandas Jerangkong Penjagal Nyawa, tajam. "Lalu, apa
hubungannya dengan pemuda ini" Aku tahu murid Petani Berambut Putih ini anak
Iblis Buta. Tapi, mengapa kau mempermainkan-nya dan berusaha menjadikannya
sandera agar Iblis
Buta tidak melakukan perlawanan?"
"Kau keliru, Kurus! Sama sekali tidak kusangka
kepalamu yang kecil itu sejak dulu tetap mempunyai
otak yang kecil pula. Setelah membunuh muridku, Iblis Buta menyembunyikan diri
karena takut pembalasan-ku. Untuk memancing kedatangannya, aku terpaksa
menyandera anaknya!"
Cuhhh! Dengan kasar Jerangkong Penjagal Nyawa melu-
dah ke tanah begitu Setan Gila menyelesaikan ucapan-
nya. "Orang lain bisa kau bohongi, Gendut! Tapi, aku tidak akan bisa kau tipu!
Aku tahu betul maksudmu
menyandera anjing kecil ini untuk memaksa Iblis Buta memberitahukan di mana
benda yang kau idam-idamkan."
"Apa maksudmu, Kurus?" tanya Setan Gila dengan tersenyum.
"Masih juga tidak mengaku. Aku tahu alasan-
mu mencari Iblis Buta untuk mendapatkan Telur Elang
Perak. Kau ingin kembali muda seperti dulu. Itulah se-babnya kau mencari Iblis
Buta. Telur Elang Perak me-
mang mampu membuat orang kembali muda!"
"Jadi kau pun menghendaki benda itu, Kurus"
Kalau begitu, kau yang lebih dulu akan kusingkirkan!"
"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Gen-
dut! Kali ini kau tidak akan seberuntung dulu!" Jerangkong Penjagal Nyawa tidak
mau kalah gertak
Setan Gila maupun Jerangkong Penjagal Nyawa
tidak ada yang mendahului menyerang. Kedua belah
pihak sama-sama tahu lawan yang dihadapi amat berat.
Mereka tidak yakin akan dapat saling mengungguli.
Empat puluh tahun yang lalu ketika mereka bertarung
pun tidak bisa ditentukan siapa yang menang. Kepan-
daian mereka berimbang. Pertarungan baru berakhir
ketika mereka sama-sama terluka parah. Kalau saja
tempat mereka bertarung tidak terpencil dan kebetulan ada musuh mereka yang
lewat, nyawa kedua datuk sesat ini pasti akan melayang.
Luka-luka parah memaksa Jerangkong Penjagal
Nyawa dan Setan Gila menyembunyikan diri untuk me-
nyembuhkan lukanya. Luka yang amat parah itu mem-
butuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengobatinya.
Ketika akhirnya luka-luka itu sembuh, Jerang-
kong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila tidak berminat lagi terjun ke dunia
persilatan. Mereka memusatkan
perhatian untuk menciptakan ilmu-ilmu baru.
Sepuluh tahun setelah luka-luka itu sembuh Se-
tan Gila pergi menyatroni Jerangkong Penjagal Nyawa
untuk menantang pertarungan ulang. Pada saat yang
sama, Jerangkong Penjagal Nyawa juga mendatangi
tempat Setan Gila dengan tujuan yang sama. Jalan
yang mereka tempuh berlainan. Mereka tidak bertemu,
dan pertarungan pun tidak terjadi. Akhirnya, mereka
kembali ke tempat tinggal masing-masing dan terus
memperdalam ilmu.
Usia tua dan tidak adanya lawan yang seimbang
membuat Jerangkong Penjagal Nyawa dan
Setan Gila malas untuk terjun ke dunia persila-
tan lagi. Mereka menghabiskan usia di tempat penga-
singan. Sampai akhirnya mendengar kabar tentang Te-
lur Elang Perak!
Kini Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila
kembali saling berhadapan. Mereka tahu kalau perta-
rungan dilakukan seperti dulu keduanya akan tewas
dengan napas putus. Mereka sudah terlalu tua.
"Aku mempunyai sebuah usul untuk pertarun-
gan kita kali ini, Kurus. Aku bosan bertarung sebagaimana tukang-tukang pukul.
Taruhan dari pertarungan
ini adalah pemuda itu!" Setan Gila menawarkan seraya menuding tubuh Dirgantara
yang tergolek. "Tidak usah banyak bicara, Gendut! Kemukakan
saja usulmu itu. Apa pun pertarungan yang kau ajukan akan kuterima!" tandas
Jerangkong Penjagal Nyawa. Di-am-diam dia merasa gembira mendengar saran Setan
Gila. Kakek jangkung ini pun khawatir apabila perta-
rungan dilakukan dengan bertempur. Tapi, kegembi-
raan itu tidak terlihat pada wajahnya yang muram.
"Kita bermain tarik tambang!" seru Setan Gila lantang. "Pada bagian tengahnya
kita beri tanda.
Siapa yang tertarik terus hingga tanda itu tiba di
garis lawan, dinyatakan kalah. Dan, tentu saja tidak berhak atas diri Monyet
Dungu itu!"
"Setuju!" jawab Jerangkong Penjagal Nyawa tak kalah lantang.
Jawaban Jerangkong Penjagal Nyawa membuat
Setan Gila sibuk membuat garis pada tanah. Sebuah
garis tengah di mana tanda tengah pada tambang bera-
da di atasnya, serta dua buah garis yang berada sejengkal di kanan dan kiri
garis tengah. Garis-garis tambahan ini yang akan menentukan siapa yang akan
keluar sebagai pemenang.
Tanpa banyak cakap Jerangkong Penjagal Nya-
wa segera memberikan rantai baja yang menjadi senjata andalannya untuk dijadikan
tambang. Setan Gila me-lengkungkan sebatang pedang dan di taruh di tengah-
tengah rantai. Pedang yang dilengkungkan dan membe-
lit rantai itu berada tepat di tengah rantai. Kedua kakek itu kemudian mengambil
kedudukan yang menurut me-
reka menguntungkan.
Dada Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila
berdebar tegang ketika mereka mulai menggenggam
ujung-ujung rantai. Rantai tampak menegang. Ketika
Setan Gila memberi aba-aba, kedua kakek ini menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk menarik.
Jerangkong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila
langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya agar
segera dapat memperoleh kemenangan. Kekhawatiran
mereka memang beralasan. Pihak lawan ternyata tetap
tangguh seperti dulu. Kedua belah pihak telah menge-
rahkan seluruh tenaga dalam, tapi tanda pada rantai tetap tidak bergeser.
Setelah beberapa saat lamanya keadaan tidak
berubah, Jerangkong Penjagal Nyawa jadi kehilangan
kesabaran. Tenaga dalam andalannya yang berhawa
panas segera dikerahkan. Hawa panas pun merayap
melalui rantai baja dan tiba di ujung rantai yang di-genggam Setan Gila!
Sepasang mata Setan Gila tampak terkejut ken-
dati senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Kakek pendek gemuk ini sampai
tersentak ketika merasakan hawa panas menyengat telapak tangannya. Kekagetan ini
membuat pengerahan tenaga dalamnya mengendur.
Dan, Jerangkong Penjagal Nyawa yang sudah memper-
hitungkan hal itu segera menariknya dengan keras.
Kedudukan kaki Setan Gila tidak berubah. Tapi,
tubuhnya terseret ke arah Jerangkong Penjagal Nyawa
hampir setengah jengkal. Sebelum keadaan bertambah
buruk, Setan Gila segera mengerahkan tenaga dalam
berhawa dingin yang menjadi andalannya.
Kalau dari Jerangkong Penjagal Nyawa menge-
pul asap tipis saat tenaga berhawa panas dikerahkan.
Pada pengerahan tenaga dalam Setan Gila, muncul uap
tebal. Terdengar bunyi berdesis nyaring seperti besi pa-
nas dicelupkan ke dalam air ketika Setan Gila menge-
rahkan tenaga andalannya.
Seperti juga pertarungan tenaga dalam sebe-
lumnya, pertarungan antara dua tenaga dalam yang saling berlawanan ini pun
seimbang. Kedudukan tetap ti-
dak berubah, kendati Setan Gila telah berada dalam
keadaan kritis. Jerangkong Penjagal Nyawa unggul se-
dikit di atasnya.
Setan Gila pun menyadari hal itu. Diam-diam
dia merasa dongkol karena berhasil dipencundangi Je-
rangkong Penjagal Nyawa. Kalau tidak kaget, lawan belum tentu bisa menariknya.
"Auuumm...!"
Tiba-tiba, bagai seekor singa Setan Gila men-
gaum keras. Akibatnya sungguh luar biasa! Jerangkong Penjagal Nyawa merasakan
tenaganya membuyar karena rasa sakit pada telinga dan dadanya!
Auman Setan Gila memang mengandung tenaga
dalam luar biasa.
Keadaan yang dialami Jerangkong Penjagal
Nyawa sudah dapat diduga Setan Gila. Maka, saat itu
juga kakek pendek gemuk ini menarik rantai dengan
kuat. Jerangkong Penjagal Nyawa tidak mampu berta-
han. Tubuhnya pun tertarik deras ke depan dan me-
layang ke arah Setan Gila.
Jerangkong Penjagal Nyawa tahu Setan Gila te-
lah keluar sebagai pemenang. Namun, dia tidak ingin
kalah mutlak. Maka, di saat tubuhnya melayang kakek
jangkung ini mengirimkan serangan melalui mulutnya.
Jerangkong Penjagal Nyawa meludah berkali-kali.
Ludah yang dikeluarkan tokoh ini bukan semba-
rang ludah. Ludah kental itu mampu melubangi baja
yang paling kuat. Itu diketahui dengan pasti oleh Setan Gila. Kini ludah-ludah
itu meluncur ke kepalanya. Kakek pendek gemuk ini segera merundukkan tubuh.
Saat itu Jerangkong Penjagal Nyawa menghen-
tak rantai dengan keras. Tubuh Setan Gila melayang
keras ke depan seperti menyambuti tubuh kakek jang-
kung itu. Seperti telah disepakati sebelumnya, Jerangkong Penjagal Nyawa maupun
Setan Gila melancarkan
pukulan telapak tangan terbuka ke arah dada. Plak,
plakkk! Kedua telapak tangan itu berbenturan dan saling menempel. Bahkan ketika
tubuh keduanya sudah
melayang turun. Sekarang terjadi pertarungan jarak dekat.
Sesaat kemudian, dari atas kepala kedua kakek
ini mengepul uap putih yang kian lama kian tebal.
Tampaknya mereka sudah mengeluarkan tenaga yang
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melampaui batas. Ini berarti nyawa Jerangkong Penjag-al Nyawa dan Setan Gila
berada di ujung maut. Baik
yang kalah maupun yang menang akan sulit lolos dari
kematian, karena selisih tenaga dalam mereka hanya
sedikit. Sebelum keadaan Jerangkong Penjagal Nyawa
dan Setan Gila semakin gawat keduanya melihat
adanya kejanggalan. Dirgantara yang semula tergolek
tak berapa jauh dari pinggir arena pertarungan kini tidak ada! Padahal, tadi
Setan Gila yang memindahkan-
nya ke sana agar tidak mengganggu jalannya pertarun-
gan. Hilangnya tubuh Dirgantara membuat kedua
kakek ini menarik tenaga dalamnya. Dirgantara jauh lebih penting daripada
pertarungan! Tindakan menarik
tenaga dalam yang bersamaan membuat Jerangkong
Penjagal Nyawa dan Setan Gila tidak mengalami luka
dalam akibat tenaga yang membalik.
"Keparat!"
Jerangkong Penjagal Nyawa memaki. Sepasang
matanya yang sipit dibelalakkan lebar-lebar mencari
Dirgantara. Barangkali saja pemuda berompi kulit ha-
rimau itu masih berada di sekitar itu.
Tindakan serupa pun dilakukan Setan Gila.
Dengan senyum mengembang di bibir, kakek pendek
gemuk itu mencari-cari dengan sepasang matanya yang
bulat besar. "Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...! Dua ekor anjing saling cakar-cakaran
untuk memperebutkan tulang. Tak tahunya tulang itu dibawa kabur anjing lain.
Ha ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Gendut! Kau ingin perutmu ku
beset dan isinya ku sebar di sepanjang jalan"!" sergah Jerangkong Penjagal
Nyawa, dengan suara keras.
Setan Gila yang sebenarnya tak kalah kece-
wanya dengan Jerangkong Penjagal Nyawa, namun
mampu menyembunyikannya dalam sikapnya
yang gembira, semakin tertawa keras.
"Aku sudah bosan melayanimu, Anjing Kurus!
Apa artinya perkelahian denganmu. Nanti kalau uru-
sanku sudah selesai akan kucari kau dan ku patah-
patahkan tulangmu lalu kuberikan pada anjing-anjing
kelaparan untuk disantap!"
Jerangkong Penjagal Nyawa tidak berkata apa-
apa. Dia tahu ucapan Setan Gila benar. Tidak ada gu-
nanya pertarungan dilanjutkan. Dia sendiri pun lelah bukan main. Tantangannya
tadi hanya karena kemarahan hatinya akibat ucapan kakek pendek gemuk. Me-
lanjutkan pertarungan sama saja dengan membunuh
diri. Sambil tertawa lepas, Setan Gila melesat me-
ninggalkan tempat itu. Tidak kelihatan kakek pendek
gemuk ini berlari. Ia seperti menggelinding bagai bola.
Dalam waktu singkat saja tubuhnya telah lenyap di ke-jauhan. Jerangkong Penjagal
Nyawa mendengus. Dia
pun berlari meninggalkan tempat itu. Kakek jangkung
bagai galah ini lebih aneh lagi. Dia berlari dengan mempergunakan kaki-kakinya
yang panjang. Tapi, tak ja-
rang Jerangkong Penjagal Nyawa menggunakan kedua
tangannya sebagai pengganti kaki.
Penggunaan tangan ini tidak memperlambat la-
rinya, malah menambah kecepatannya.
*** "Tolong turunkan aku, Sobat. Aku mampu berla-
ri sendiri. Tidak enak rasanya kau terus-terusan me-
manggul ku seperti itu. Bebaskan totokan pada tubuh-
ku biar aku berlari sendiri."
Ucapan itu keluar dari mulut Dirgantara. Pemu-
da berwajah persegi ini berada di atas bahu seorang
pemuda berpakaian kuning.
Pemuda berpakaian kuning menghentikan la-
rinya. Kemudian, diturunkannya tubuh Dirgantara dari pondongan. Dengan sebuah
tepukan pelan pada tubuh
Dirgantara dia berhasil membebaskan pemuda berompi
kulit harimau itu dari totokan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ujar Dirgantara setelah berdiri tegak
di tanah. Sepasang matanya merayapi pemuda di hadapannya. Dirgantara lalu
merangkapkan kedua tangan di depan dada dan mem-bungkukkan sedikit tubuhnya.
"Pertolongan apa?" pemuda berpakaian kuning yang memiliki wajah tampan dan
berkulit putih tersenyum malu. "Yang kulakukan hanya melarikanmu di saat kedua
kakek itu tengah terlibat pertarungan."
"Itu pun namanya pertolongan, Sobat. Aku tidak
bisa mengharapkan bantuan lebih dari itu. Kedua ka-
kek yang tengah bertarung memperebutkan diriku itu
memiliki kepandaian sangat tinggi. Bahkan, aku yakin
guruku sendiri tidak akan mampu menandingi salah
seorang di antara mereka. Bayangkan saja, hanya da-
lam segebrakan aku dibuat tidak berdaya oleh kakek
pendek gemuk," cerita Dirgantara. Ia langsung akrab dengan pemuda berpakaian
kuning. Dirgantara tidak
segan-segan untuk berterus terang.
"Ah...! Benarkah?" Sepasang mata pemuda berpakaian kuning membelalak. "Siapakah
kedua kakek yang demikian lihai itu" Dan, kau sendiri siapa" Namaku Jumpena."
"Aku Dirgantara, murid seorang kakek yang ber-
juluk Petani Berambut Putih. Sedangkan kedua kakek
itu adalah Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila,"
urai Dirgantara.
Sepasang mata Jumpena yang memang sudah
membelalak semakin melotot lebar.
"Luar biasa! Aku tidak pernah mimpi akan ber-
temu dengan tokoh-tokoh sakti yang sering diceritakan ayahku. Ayah sering
bercerita tentang Petani Berambut Putih, demikian pula dengan dua datuk sesat
itu. Jadi, kau murid Petani Berambut Putih, Dirga?"
Dirgantara mengangguk.
"Kau sendiri, boleh ku tahu siapa ayahmu,
Jumpena?" "Tentu saja," sahut Jumpena, cepat "Ayahku kenal baik dengan gurumu. Beliau
dikenal orang dengan julukan Pendekar Jari Maut!"
"Ah...!"
Kali ini Dirgantara yang terkejut. Menurut cerita
gurunya, Pendekar Jari Maut merupakan tokoh tingkat
tinggi golongan putih. Bahkan, Petani Berambut Putih, kendati belum pernah
bertarung dengan Pendekar Jari
Maut, mengatakan kepada Dirgantara kalau tingkat ke-
pandaian Pendekar Jari Maut berada di atasnya.
"Sungguh tidak disangka aku akan berjumpa
dengan putra seorang tokoh besar kaum putih yang sering diceritakan guruku
dengan penuh kekaguman. Be-
liau pasti akan bangga bila tahu aku berjumpa den-
ganmu, Jumpena. Apalagi bila kuceritakan kalau kau
yang telah menolong nyawaku dari kematian."
Jumpena tersenyum, membuat sebaris kumis
melintang yang cukup lebat di atas bibirnya yang merah bergerak-gerak lucu.
Keadaan tubuh Jumpena memang
bertolak belakang dengan Dirgantara. Jumpena memili-
ki tubuh kecil, tapi tidak kurus. Berkulit putih dan kelihatan lemah lembut.
Wajahnya tampak terlalu tampan.
Sedangkan Dirgantara memiliki tubuh tinggi besar. Ku-litnya hitam kecoklatan.
Sayang, ia tidak mempunyai
kumis. Berbeda dengan Jumpena yang meskipun keli-
hatan lemah lembut tapi berkumis cukup lebat.
"Kau terlalu memuji, Dirgantara," ujar Jumpena dengan tersenyum, membuat
Dirgantara semakin betah
berbincang-bincang dengan pemuda itu. Apalagi se-
nyumannya enak dilihat.
"Kau sebenarnya hendak ke mana, Jumpena?"
"Mengantarkan surat dari ayahku untuk Naga
Sakti Berwajah Hitam," jawab Jumpena. Ia mengambil segulung surat dari balik
bajunya, kemudian mema-sukkannya kembali.
Dirgantara hanya mengangguk-angguk. Pemuda
berwajah persegi ini tidak tertarik untuk bertanya mengenai isi surat.
Dirgantara tahu kalau tidak merupakan rahasia, Jumpena yang memiliki sifat
terbuka pasti akan memberitahukannya. Kemungkinan lain, pemuda
berkumis tebal itu tidak tahu isi surat ayahnya. Bukankah surat itu ditujukan
pada Naga Sakti Berwajah Hi-
tam" "Kau sendiri hendak ke mana, Dirga?"
Dirgantara yang tidak menyangka akan menda-
pat pertanyaan seperti itu hanya membisu. Semula tu-
juannya pulang setelah berguru selama belasan tahun
adalah untuk menemui ibunya. Tapi, ibunya ternyata
tidak ada di rumah. Dia tidak tahu ke mana ibunya per-gi.
"Aku tidak tahu, Jumpena. Tujuanku semula in-
gin menemui ibuku setelah selesai berguru pada Petani Berambut Putih. Tapi,
ternyata beliau tidak ada. Bagaimana kalau aku ikut denganmu sekalian mencari
cerita mengenai ibuku" Apakah kau tidak merasa keberatan?"
tanya Dirgantara penuh harap.
"Tentu saja. Mengapa tidak?" sambut Jumpena setelah tercenung sejenak. "Bukankah
kalau ada kawan perjalanan jadi lebih enak."
Dirgantara menyembunyikan kegembiraan yang
melanda hatinya dengan tersenyum. Entah mengapa,
pemuda berompi kulit harimau itu merasa gembira ber-
sama Jumpena. Ada sesuatu dalam diri pemuda berpa-
kaian kuning itu yang membuat nya tertarik.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Jumpena. Kau
mengajakku menemui Naga Sakti Berwajah Hitam. Gu-
ruku banyak bercerita mengenai tokoh itu. Katanya ia memiliki ilmu silat tangan
kosong yang luar biasa."
Jumpena hanya mengangguk untuk membenar-
kan. "Kurasa percakapan ini bisa kita lakukan dengan melakukan perjalanan,
Dirga. Aku khawatir akan
terlambat tiba di tempat Naga Sakti Berwajah Hitam.
Ayahku berpesan agar surat ini segera tiba di tangan tokoh itu." "Kalau begitu
mari kita bergegas."
"Tunggu dulu, Dirga." Jumpena mencegah keti-ka melihat Dirgantara mengayunkan
kaki. Dirgantara menoleh, heran. Mengapa sekarang
Jumpena malah mencegahnya, bukankah tadi pemuda
berpakaian kuning itu yang mengajaknya bergegas"
"Kau lihat tanda itu. Apakah sejak tadi sudah
berada di sini?" Jumpena menudingkan jari telunjuknya ke sebelah kanan.
Dirgantara mengarahkan pandangan ke sana.
Pemuda berwajah persegi itu kelihatan terkejut. Di
tempat yang ditunjuk Jumpena tertancap seba-
tang tongkat yang pada bagian ujungnya terikat sehelai kain berwarna merah dan
bergambar tengkorak manusia!
"Aku yakin tongkat berbendera itu tadi tidak ada di sana, Jumpena," desis
Dirgantara dengan perasaan tegang. "Berarti tongkat itu ditancapkan saat kita
tengah bercakap-cakap," bisik Jumpena, tak kalah tegang.
Dirgantara dan Jumpena saling berpandangan.
Dalam adu pandang itu keduanya memahami isi hati
masing-masing. Orang yang telah menancapkan tongkat
tanpa sepengetahuan mereka menunjukkan kalau pela-
kunya memiliki kepandaian tinggi!
"Rasanya aku pernah mendengar cerita menge-
nai tokoh yang memiliki tanda seperti ini," Dirgantara mengernyitkan kening. Ia
mencoba mengingat-ingat.
"Aku ingat...!"
Hampir bersamaan perkataan itu keluar dari
mulut Dirgantara dan Jumpena. Sepasang mata itu
memancarkan kekhawatiran. Jumpena dan Dirgantara
saling berpandangan dengan wajah tegang.
"Siapa tokoh yang kau maksudkan itu, Jumpe-
na?" Dirgantara memberi kesempatan pada pemuda
berpakaian kuning untuk memberikan jawaban lebih
dulu. *** 3 "Tengkorak Darah...," Jumpena berbisik seperti khawatir ucapannya terdengar
tokoh yang dimaksud.
"Kak kak kak...!"
Bagai menyambuti ucapan Jumpena, terdengar
suara tawa berkakakan. Nadanya tidak pantas keluar
dari mulut seorang manusia, melainkan burung gagak.
Jumpena dan Dirgantara sampai melangkah
mundur karena terkejut. Dua orang muda yang sama-
sama mendapat gemblengan tokoh golongan putih ini
kebingungan. Mereka mengedarkan pandangan berkelil-
ing mencari-cari pemilik tawa. Suara tawa itu seperti berasal dari segala
penjuru. Kenyataan ini menyadarkan Jumpena dan Dir-
gantara kalau pemilik suara tawa memiliki tenaga da-
lam yang sangat tinggi. Hanya orang bertenaga dalam
tinggi saja serta memiliki ilmu memecah suara yang dapat melakukan hal ini. Baik
Jumpena maupun Dirgan-
tara tidak akan mampu melakukannya.
"Kalian mencari aku...?"
Kali ini ucapan bernada aneh itu dapat diketa-
hui datangnya secara pasti oleh Jumpena dan Dirganta-ra. Sosok yang mereka duga
sebagai Tengkorak Darah
tidak mempergunakan tenaga dalam istimewanya lagi.
Bagai berlomba Jumpena dan Dirgantara mem-
balikkan tubuh. Kemudian, melompat ke belakang un-
tuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan.
Tapi ternyata tindakan mereka tidak beralasan.
Sosok yang mengeluarkan pertanyaan itu sama sekali
tidak melancarkan serangan. Wajahnya tertutup kedok
dari tengkorak manusia asli! Pakaian yang dikenakan-
nya merah dan serba longgar sehingga berkibaran di-
tiup angin. Pada bagian dadanya tersulam gambar
tengkorak manusia dengan benang emas. Terlihat me-
nyolok sekali dengan warna pakaiannya yang merah.
"Tengkorak Darah...?" desis Jumpena dan Dirgantara dengan suara tercekat di
tenggorokan, karena perasaan tegang. Apalagi ketika mereka mencium bau
kemenyan yang keras menusuk hidung. Perasaan te-
gang itu semakin besar.
"Rupanya kalian telah mengenaliku, heh...?"
Kembali suara yang tidak enak didengar berku-
mandang. Tidak terlihat kalau sosok bertopeng tengkorak manusia yang
mengucapkannya. Tapi, cukup untuk
membuat Jumpena tahu kalau Tengkorak Darah itulah
yang berbicara. Dirgantara pun yakin akan hal itu.
"Bukan sesuatu yang aneh." Jumpena mengusik ketegangan dengan suaranya yang
lantang dan keras.
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Julukanmu amat terkenal. Bahkan kabarnya kau telah berani menantang Iblis Buta
untuk bertarung. Setelah itu kabar mengenai dirimu tidak terdengar lagi. Kau
hilang ditelan bumi. Lenyap tanpa ketahuan di mana rim-banya!" "Tutup mulutmu,
Bocah Lancang! Kau ingin aku menelanjangi mu di depan kawanmu...?" "Keparat!"
Jumpena memekik penuh kemarahan.
"Kau kira karena kau berjuluk Tengkorak Darah
aku akan takut terhadapmu" Kali ini kau akan kujadi-
kan tengkorak sungguhan!"
Jumpena yang rupanya jengkel mendengar ma-
kian Tengkorak Darah segera menggerakkan kedua tan-
gannya. Seketika itu pula benda-benda kecil bersinar meluncur ke arah Tengkorak
Darah. "Permainan anak-anak seperti ini dipertunjuk-
kan padaku"!" dengus Tengkorak Darah dengan suara mengejek. Dia tidak mengelak
sedikit pun sehingga
benda-benda kecil yang adalah jarum-jarum itu menan-
cap di sasaran.
Tengkorak Darah mendengus dengan kasar ke-
tika Jumpena menunggu hasil serangan jarumnya. Ja-
rum-jarum itu telah dibaluri racun, yang meskipun tidak mematikan tapi cukup
untuk membuat orang yang
tertusuk pingsan. Bersamaan dengan dengusan itu pa-
kaian Tengkorak Darah bergelombang keras seperti tertiup hembusan angin. Jarum-
jarum beracun itu runtuh
ke tanah. Kiranya, jarum-jarum beracun itu tidak me-
nembus kulit, hanya pakaiannya saja.
Wajah Jumpena berubah. Pemuda berpakaian
kuning ini sadar tidak ada gunanya lagi mengirimkan
serangan susulan. Tengkorak Darah mampu membuat
kulit tubuhnya tidak bisa ditembus benda tajam.
Seakan tidak peduli pada keterkejutan Jumpe-
na, Tengkorak Darah menjulurkan tangannya. Jari-
jarinya tidak terlihat karena terbungkus sarung tangan merah. Sosok berpakaian
merah ini menggerakkan tangan sebentar seperti menyentak. Dan, sebatang ranting
yang tergolek di tanah melayang ke arahnya. Ranting itu panjangnya tak kurang
dari tiga jengkal.
Sebelum ranting itu berada dekat dan masih me-
layang-layang di udara, Tengkorak Darah menjejakkan
kaki. Tubuhnya melayang ke atas menyambut luncuran
ranting. Tapi, ternyata tidak. Tengkorak Darah menjejakkan kaki di atas ranting
yang tengah melayang!
Dengan sekali menggoyangkan kaki, Tengkorak
Darah membuat arah luncuran ranting berbalik menuju
Jumpena! Karena sosok bertopeng tengkorak manusia
ini berada di atasnya, luncuran itu membawa tubuh
Tengkorak Darah meluncur pula.
Jumpena melempar tubuhnya ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara untuk menggagalkan serangan Tengkorak Darah.
Dan, ia berhasil. Sebelum
Tengkorak Darah mengirimkan serangan susulan, Dir-
gantara yang khawatir teman barunya terluka segera
melompat ke atas mengirimkan serangan dengan bam-
bunya yang berputar cepat hingga bentuknya lenyap
menjadi segundukan sinar kehijauan!
Tengkorak Darah menjejakkan kaki. Ranting
yang berada di kakinya tertekan ke bawah. Tubuhnya
melayang ke atas melewati kepala Dirgantara kemudian hinggap pada sebatang bambu
sepanjang tiga kaki yang meluncur ke depan. Ternyata sebelum melompat tokoh
yang memiliki wajah penuh rahasia ini telah melemparkan sebatang kayu untuk
tempat mendarat.
Dirgantara tidak melanjutkan serangannya.
Jumpena pun demikian. Keduanya membiarkan saja
Tengkorak Darah meluncur. Bahkan mereka mendiam-
kan ketika Tengkorak Darah berputar-putar mengelilin-gi kepala mereka dengan
berdiri di atas bambu.
*** Pertunjukan Tengkorak Darah berakhir, dengan
mengarahkan luncuran bambunya pada sebatang po-
hon. Bambu itu menembus batang pohon. Karena bam-
bu tidak panjang ketika menembus pohon, maka ber-
goyang-goyang seperti akan terlepas menahan berat tubuh Tengkorak Darah.
Dirgantara dan Jumpena yang sejak tadi mem-
perhatikan tingkah laku Tengkorak Darah hanya ber-
diam diri memperhatikan tindakan apa yang akan dila-
kukan Tengkorak Darah selanjutnya.
Tengkorak Darah sendiri bersikap tidak peduli.
Dengan tenang dikeluarkannya dua buah bone-
ka yang terbuat dari ranting kecil dan jerami. Kemu-
dian, dengan hati-hati pada bagian kepala yang mem-
punyai muka sekadarnya ditempelkan masing-masing
sehelai rambut. Jumpena maupun Dirgantara tidak ta-
hu kalau rambut yang ditempelkan pada dahi boneka
adalah rambut mereka! Tanpa setahu kedua orang mu-
da itu, Tengkorak Darah dengan mempergunakan keli-
hatannya mengambil rambut mereka.
Karena membuat boneka sederhana itulah
Tengkorak Darah baru muncul setelah Jumpena dan
Dirgantara meributkannya tadi, setelah melihat adanya tanda yang ditancapkan.
Memang, setelah menancapkan tanda keberadaan dirinya Tengkorak Darah per-
gi mencari ranting dan jerami untuk membuat boneka.
Boneka-boneka itu mewakili Jumpena dan Dirgantara.
Sementara itu Dirgantara dan Jumpena saling
berpandangan. Sinar mata mereka tampak bertanya-
tanya. Meskipun demikian, kedua pemuda itu bisa
memperkirakan Tengkorak Darah tengah merencana-
kan sesuatu yang tidak baik! Setidak-tidaknya akan
merugikan mereka. Jumpena maupun Dirgantara men-
getahui Tengkorak Darah ahli bermain sihir!
Keyakinan akan dugaan itu menyebabkan Dir-
gantara dan Jumpena menghunus senjata yang tadi te-
lah disimpan. Kemudian, sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring mereka
melesat ke arah Tengkorak
Darah dengan senjata di tangan.
Dirgantara memutar bambu kuningnya hingga
bentuknya lenyap menjadi segundukan sinar yang mu-
la-mula kecil kemudian melebar. Jumpena mengelua-
rkan sepasang pisau yang putih berkilat. Dengan senja-ta itu ia bersiap untuk
membunuh Tengkorak Darah.
Tengkorak Darah tentu saja melihat tindakan
kedua pemuda itu. Tapi, dia bersikap tidak peduli. Seperti tidak mengetahui
adanya serangan ia tetap memusatkan perhatian pada boneka yang berada di tangan-
nya. Di saat Dirgantara dan Jumpena melalui setengah jarak antara mereka, baru
Tengkorak Darah dengan
mempergunakan jari telunjuknya menotok bagian bahu
kanan boneka-boneka itu.
Pada saat yang bersamaan dengan totokan yang
mengenai bahu kanan boneka-boneka, Jumpena dan
Dirgantara merasakan tubuh mereka tiba-tiba lumpuh.
Tanpa mampu berbuat apa pun lagi, luncuran tubuh
kedua pemuda itu terhenti di tengah jalan. Kemudian, ambruk ke tanah bagaikan
sehelai karung basah.
"Hak hak hak..!"
Tengkorak Darah tertawa berkakakan. Kemu-
dian, dengan gerakan kaki sederhana sosok berpakaian serba merah itu melepaskan
bambu yang menancap di
batang pohon. Dengan sekali sentak bambu itu me-
layang membawa tubuhnya menuju tempat Jumpena
dan Dirgantara berada. Tepat di depan kedua orang
muda itu luncuran bambu terhenti. Kemudian, menda-
rat turun perlahan-lahan seperti diatur oleh tangan tidak nampak.
Tengkorak Darah menatap wajah Jumpena dan
Dirgantara berganti-ganti. Sorot sepasang matanya
memancarkan kesan menyeramkan, membuat kedua
pemuda yang sebenarnya memiliki nyali besar itu mera-sa ngeri. Keduanya sadar
kalau keadaan mereka amat
berbahaya. Kematian telah berada di depan mata. Wa-
laupun Jumpena dan Dirgantara bukan orang-orang
yang takut kematian, tapi tewas secara mengerikan bukan persoalan main-main.
Bagi orang seperti Tengkorak Darah kematian lawan secara mengerikan merupakan
hal menyenangkan! Ini yang membuat kedua orang
muda itu ngeri. Meski demikian, keduanya tidak me-
nunjukkan perasaan gentar. Malah, dengan berani
Jumpena dan Dirgantara membalas tatapan Tengkorak
Darah dengan sorot mata penuh tantangan.
"Aku tahu kalian orang-orang muda yang berani
mati." Tengkorak Darah berkata dengan suara anehnya setelah terlebih dulu
melepas tawa mengerikan. Tawa
yang bukan timbul karena perasaan gembira. Jumpena
maupun Dirgantara merasakan kepedihan dalam tawa
itu. Ini membuat keduanya merasa heran. "Aku yakin kalian tidak akan bertindak
seberani itu, mengajukan tantangan terhadapku dengan sinar mata, kalau tahu
kematian yang akan kalian terima!"
"Kau boleh mengajukan ancaman apa pun. Tapi
jangan harap aku akan gentar! Aku tak akan minta am-
punanmu, Manusia Iblis! Silakan lakukan sekehendak
hatimu!" sambut Jumpena yang ternyata memiliki watak pemberani dan tidak takut
menghadapi ancaman.
"Apa yang dikatakan kawanku memang benar,
Tengkorak Darah!" Dirgantara ikut berbicara untuk me-nyejukkan suasana tegang
yang melanda. Dirgantara
lebih bisa mengendalikan diri untuk tidak memancing
kemarahan Tengkorak Darah. Dilihatnya kilatan kema-
rahan pada sepasang mata Tengkorak Darah begitu
mendengar ucapan Jumpena. Dirgantara memiliki wa-
tak lebih tenang. Yang lebih penting adalah mencari jalan untuk menyelamatkan
diri. "Kami bukan orang-orang yang takut mati. Tapi kalau boleh kami tahu, ada
urusan apa di antara kita hingga kau berniat menjatuhkan tangan jahat terhadap
kami. Sepanjang ingatan kami tidak ada urusan di antara kita."
Tengkorak Darah menatap wajah Dirgantara se-
jenak. "Kau lebih memiliki otak daripada kawanmu.
Memang, di antara kita tidak ada permusuhan. Tapi itu tidak menjadi alasan
bagiku! Kalau kau meminta alasan, sesalilah kenapa kalian berada di sini pada
saat aku berada di sini! Kalau aku ingin membunuh orang,
kubunuh saja, habis perkara. Tanpa perlu alasan apa
pun. Kebetulan saat ini aku tengah ingin menyiksa
orang!" "Mengapa bertele-tele, Tengkorak Darah!" Jumpena tidak senang melihat
sikap Dirgantara, ia mengira
pemuda berompi kulit harimau itu merasa gentar, se-
hingga langsung menyela. Suara dan nadanya lebih ke-
ras dari semula. "Kalau kau ingin bunuh, silakan bunuh! Ingin menyiksa, siksa
saja! Tidak perlu bertele-tele dan berbicara panjang lebar seperti nenek-nenek
ba-wel!" Tidak hanya Tengkorak Darah, Dirgantara pun kaget mendengar perkataan
Jumpena. "Jumpena benar-benar seorang yang nekat!" desis hati Dirgantara. Nekat dan tidak
mengenai gelagat.
Tengkorak Darah menggeram keras. Terasa be-
tul nada kemarahan di dalamnya. Tapi, sebentar kemu-
dian berganti dengan tawa bergelak.
"Kau kelihatannya memiliki hati baja, Bocah Ba-
gus! Aku jadi ingin membuktikan kebenaran ucapanmu.
Apakah kau benar-benar memiliki hati keras dan tahan uji, atau hanya sesumbar
belaka"!"
Tengkorak Darah menutup ucapannya dengan
mengeluarkan sebatang jarum panjang dari balik baju.
Setelah mengerling ke arah Jumpena dari balik topengnya jarum itu diacungkan
tinggi-tinggi. Kemudian, diturunkan perlahan-lahan dengan sikap seperti akan me-
nusuk boneka sederhana yang ditempeli rambut Jum-
pena. "Hentikan! Hentikan tindakan itu, Tengkorak Darah!" Dirgantara yang
meskipun tidak tahu pasti apa yang akan terjadi, namun sedikit banyak ia bisa
memperkirakan. Pemuda itu berseru mencegah dengan nada
menyiratkan kekhawatiran.
Tengkorak Darah memalingkan kepala menatap
Dirgantara. Jumpena pun demikian. Tapi sebelum ke-
dua orang itu membuka mulut, Dirgantara telah lebih
dulu berseru. "Kalau kau masih ingin menyiksa, siksalah aku!
Akulah yang lebih berhak untuk kau siksa. Bebaskan
dia, Tengkorak Darah! Biar aku yang menanggung se-
muanya. Aku rela kau siksa, bahkan kau bunuh sekali-
pun asal kau biarkan dia bebas!"
"Dirga!" Jumpena berseru kaget mendengar ucapan Dirgantara. Suara pemuda
berpakaian kuning ini
agak serak karena rasa haru yang menyeruak menden-
gar pembelaan Dirgantara.
"Kau tenang-tenang saja, Jumpena. Bukankah
kau telah menolongku" Sekarang berikan aku kesempa-
tan untuk menolongmu."
"Tapi...."
"Bagaimana, Tengkorak Darah?" Dirgantara bu-ru-buru memutus ucapan Jumpena. "Kau
mau mene- rima usulku...?"
Tengkorak Darah mendengus setelah tertegun
mendengar usul tidak masuk akalnya itu. Sungguh ti-
dak pernah terpikir olehnya ada orang yang mau meng-
gantikan untuk menerima hukuman. Sepengetahuan-
nya, orang lebih suka mengorbankan orang lain asal dirinya selamat.
"Usulmu gila!" tajam ucapan Tengkorak Darah.
"Aku tidak bisa menerimanya. Sebaliknya, aku malah akan membebaskan mu dan
menyiksa sampai mati
orang yang bermulut lancang itu!"
"Kau mengambil keputusan yang tepat, Tengko-
rak Darah!" Jumpena mempunyai kesempatan untuk
berbicara. "Memang aku seharusnya orang yang kau hukum. Akulah yang bersalah!
Bisa juga kau mengambil keputusan lain. Tapi bila hal itu kau lakukan, berarti
kau tidak memiliki otak yang baik. Otakmu telah rusak!" Dirgantara mengeluh
dalam hati. Harus diakui kalau dalam kepintaran berbicara Jumpena memang
luar biasa. Mungkin tidak kalah dengan perempuan!
Kata-katanya selalu tepat menyinggung perasaan orang yang memojokkannya,
sehingga orang yang diajak bicara tidak bisa mengambil keputusan lain.
"Kau boleh rasakan sendiri keputusan yang te-
lah kau pilih, Bocah Liar!"
Dengan gemas Tengkorak Darah menusukkan
jarumnya pada kepala boneka yang ditempeli rambut
Jumpena. Dan, membiarkan jarum itu di sana.
Dirgantara sampai membelalakkan mata ketika
melihat pemandangan yang mustahil dan sangat men-
gerikan! Begitu Tengkorak Darah menusukkan jarum
pada kepala boneka, tubuh Jumpena kemudian meng-
gelepar-gelepar. Seringai kesakitan tampak jelas pada wajahnya. Pemuda
berpakaian kuning itu sampai mampu memegangi kepalanya. Padahal saat itu
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jumpena, seperti juga dirinya, tengah berada dalam keadaan lemas terkena totokan!
Rangsangan sakit yang demikian
kuat menjadikan Jumpena mampu bergerak tanpa sa-
dar. Tapi hanya sebatas tenaga kasar. Ia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam.
*** 4 Dirgantara merasa bulu tengkuknya meremang.
Rasa sakit yang diderita Jumpena karena kepala bone-
ka yang ditempeli rambut Jumpena ditusuk jarum.
Meski tidak terlampau cerdik, pemuda berompi kulit
harimau itu tahu ada hubungan erat antara boneka
dengan diri Jumpena. Boneka itu merupakan cerminan
tubuh Jumpena. Dirgantara sebelumnya tidak pernah
menyaksikan ilmu keji seperti ini! Dirgantara tidak berani membayangkan betapa
mudahnya Tengkorak Da-
rah membunuh siapa saja yang diinginkannya lewat
boneka buatannya.
"Hentikan! Hentikan itu, Tengkorak Darah!
Kau... keji...!" Dirgantara berteriak-teriak begitu sadar dari keterkejutannya.
Suaranya keras dan lantang karena didorong perasaan khawatir dan ngeri. Ia tak
tega melihat Jumpena menggelepar-gelepar di tanah. Kedua
tangannya didekapkan ke kepala.
"Hak hak hak...!"
Tengkorak Darah malah tertawa terbahak-
bahak. Ia kelihatan gembira sekali melihat pemandan-
gan yang terpampang di depan matanya.
"Sekarang kau buktikan kehebatan ilmu dan
siksaanku, Bocah Lancang! Inilah ilmuku yang terbaru.
Dengan ilmu ini aku dapat membunuh siapa pun yang
ku mau. Hak hak hak...!"
"Hentikan, Tengkorak Darah!" Dirgantara semakin kalap melihat sosok berpakaian
merah itu tidak
mempedulikan teriakannya. "Kalau kau teruskan tinda-kanmu ini, kau akan mendapat
kesulitan besar. Be-
baskan dia, Tengkorak Darah!"
Tengkorak Darah menghentikan tawanya dan
menatap wajah Dirgantara lekat-lekat.
"Kalau tidak mengingat wajahmu yang mengin-
gatkan aku pada seseorang, sudah kuhancurkan mu-
lutmu karena berani mengancamku, Bocah Liar! Kau
kira Tengkorak Darah takut akan ancamanmu! Aku ju-
stru ingin mencari permusuhan dengan guru bocah
lancang itu, agar bisa terjadi pertempuran antara kami dan aku bisa
membunuhnya!"
"Tapi..., ayahnya adalah Pendekar Jari Maut!
Kau akan celaka di tangannya, Tengkorak Darah.
Dan...." "Apa..."!"
Tengkorak Darah tersentak kaget mendengar
ucapan Dirgantara. Kenyataan ini membuat pemuda be-
rompi kulit harimau itu merasa gembira. Ia mengira gerakannya berhasil.
Tengkorak Darah akan merasa se-
gan bermusuhan dengan lawan berat seperti Pendekar
Jari Maut. "Jadi..., bocah lancang itu anak dari Pendekar
Jari Maut" Manusia terkutuk itu" Kalau begitu aku
sangat beruntung. Untuk sementara aku bisa memba-
laskan sakit hatiku sebelum ayahnya sendiri menerima ganjaran atas kekejian yang
dilakukannya terhadapku!"
Dirgantara melongo. Dia tidak menyangka akibat
gertakannya akan begini. Tengkorak Darah ternyata
memiliki dendam pada Pendekar Jari Maut. Keadaan
Jumpena justru semakin gawat!
Sebelum Dirgantara berbuat sesuatu, Tengkorak
Darah telah lebih dulu bertindak. Boneka yang semula dibiarkan dengan jarum
menancap di kepala kini diam-bilnya. Jarum panjang itu dicabut. Dan, dengan
bertu-bi-tubi jarum ditusukkan ke berbagai bagian tubuh boneka! Jumpena semakin
menggelepar-gelepar. Kendati
demikian, tak sedikit pun keluar keluhan dari mulut-
nya. Keringat dingin sebesar-besar biji jagung dan se-ringai kesakitan di wajah
menunjukkan kalau pemuda
berpakaian kuning ini tengah menderita hebat!
"Rasakan wahai Pendekar Jari Maut..,! Lihatlah
anakmu kusiksa...! Datanglah kemari.... Biar kau sendiri yang menerima siksaan
dariku!" seru Tengkorak Darah dengan mengerahkan tenaga dalam. Tangannya
masih terus menusuk-nusuk berbagai bagian tubuh
boneka. "Hentikan...! Hentikan, Keparat! Tengkorak Darah...! Hentikan...!
Keparat kau...! Aku bersumpah akan membuat perhitungan denganmu. Aku akan membu-
nuhmu!" Dirgantara yang tidak menderita apa pun berteriak-teriak bagai cacing
kepanasan. Teriakan Dirgantara ternyata manjur. Tengkorak
Darah menghentikan siksaannya. Kepalanya di toleh-
kan ke arah Dirgantara. Sepasang mata tajam berkilat-kilat menatap Dirgantara
dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Bulu kuduk Dirgantara sampai berdiri. Ta-pi, Dirgantara menguatkan
hati. Dia membalas tatapan itu meski tidak dengan sorot menantang.
Dirgantara tiba-tiba melihat Tengkorak Darah
yang telah memperhatikannya terhuyung ke belakang.
Sepasang mata tajam di balik topeng itu terpejam seperti tengah memusatkan
perhatian pada sesuatu.
Dirgantara tidak tahu tubuh Tengkorak Darah
terhuyung karena ada serangan. Serangan dari jauh
yang hanya didengar Tengkorak Darah. Serangan itu
berupa bunyi dentang nyaring seperti logam kosong dipukul besi! Bunyinya
menyakitkan telinga dan mem-
buat isi dada tergetar hebat
Tengkorak Darah yang mengetahui seseorang te-
lah menyerangnya tidak tinggal diam. Dia mengumpul-
kan hawa murni dan memusatkan perhatian. Sesaat
kemudian dari mulutnya terdengar siulan. Siulan me-
lengking yang tidak tertangkap telinga biasa, tapi langsung melawan pengaruh
bunyi yang menyerangnya!
Dirgantara yang semula keheranan semakin ber-
tambah heran melihat tokoh itu duduk bersila. Dia tidak tahu apa yang tengah
terjadi. Pemuda berompi kulit harimau itu tidak tahu kalau saat ini telah
terjadi pertarungan dahsyat tenaga dalam.
Dirgantara mulai dapat menduga apa yang ten-
gah terjadi ketika melihat uap tipis mengepul dari kepala Tengkorak Darah. Uap
itu hanya akan muncul apabi-
la seseorang mengerahkan tenaga dalam sampai mele-
wati kemampuan. Berarti Tengkorak Darah tengah ter-
libat pertarungan! Tapi, dengan siapa"
Pertanyaan yang bergayut memaksa Dirgantara
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pemuda berwa-
jah persegi ini pun melihatnya. Belasan tombak dari
tempatnya, berdiri seorang pemuda tampan berpakaian
ungu dan berambut putih keperakan. Pemuda berpa-
kaian ungu ini duduk bersandar pada sebatang pohon
besar. Kelihatan santai, tapi tangan kanannya tak hen-ti-hentinya menyentili
badan guci. Begitu cepat jari-jarinya bergerak hingga yang terlihat hanya
bayangan tak jelas. Anehnya, betapapun Dirgantara mengerahkan tenaga dalam untuk
mempertajam pendengaran namun
tidak terdengar bunyi guci yang disentil. Padahal, melihat kecepatan jari itu
bisa diperkirakan kerasnya bunyi yang terdengar.
Dirgantara tidak tahu bunyi itu hanya ditujukan
pada Tengkorak Darah. Hanya orang-orang yang memi-
liki tenaga dalam tinggi saja yang bisa mendengarnya.
Dirgantara mengalihkan perhatian pada Tengkorak Da-
rah. Pemuda berompi kulit harimau ini bisa memperki-
rakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Kea-
daan Tengkorak Darah demikian mengkhawatirkan.
Uap yang mengepul dari atas kepalanya semakin tebal
dan berwarna putih. Pakaiannya yang terlalu besar itu telah melekat dengan tubuh
karena banyaknya peluh.
Bahkan, dari balik topeng mengalir keringat. "Hukh!"
Tubuh Tengkorak Darah terdorong agak ke be-
lakang kemudian tertunduk ke depan. Tengkorak Darah
terluka dalam. Ia memuntahkan darah segar. Topeng
yang menutupi wajah dan mulutnya membuat darah itu
tidak terlihat. Tengkorak Darah telah kalah!
Tengkorak Darah mengerling ke arah pemuda
berambut putih keperakan dari balik lubang topengnya.
Kemudian, ia bangkit dengan terhuyung-huyung dan
melesat meninggalkan tempat itu.
Pemuda berpakaian ungu tidak mengejarnya.
Dia menghela napas berat, lalu menyimpan guci ke
punggungnya dan mengusap peluh yang membasahi
sekujur wajah dengan punggung tangan. Baru setelah
itu ia mengalihkan perhatian pada tubuh Jumpena dan
Dirgantara. Pemuda berpakaian ungu mengambil sebutir
buah ceremai yang banyak berserakan di dekatnya. Po-
hon di mana tubuhnya bersandar memang pohon cere-
mai. Dengan sembarangan disentilnya buah yang terse-
lip di antara jari-jari kanannya.
Dirgantara kagum bukan main merasakan aliran
darahnya kembali lancar ketika buah ceremai yang disentil pemuda berpakaian ungu
mengenai tubuhnya. To-
tokannya telah terbebas. Perbuatan yang dilakukan
pemuda berambut putih keperakan itu cukup sulit.
Membebaskan totokan dari jarak jauh dengan butiran
buah ceremai. Dia sendiri belum tentu mampu melaku-
kannya! Sebelum pemuda berompi kulit harimau bangkit berdiri dan membebaskan
totokan Jumpena, pemuda
berpakaian ungu melakukan gerakan seperti menotok
dengan dua jari. Dirgantara melihat jelas arah yang dituju jari-jari itu ke
tubuh Jumpena. Dirgantara hanya mendengar bunyi bercicitan
pelan. Sesaat kemudian, begitu pemuda berpakaian un-
gu menurunkan tangannya, Jumpena bergerak bangkit.
Dirgantara melongo. Pemuda berambut putih keperakan
itu mampu membebaskan totokan, dari jarak jauh!
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Kalau
tidak ada kau mungkin aku, Dirgantara, dan kawanku
ini, Jumpena, tidak akan berada di dunia ini. Boleh aku mengenai nama atau
julukanmu, Sobat?" tanya Dirgantara setelah berada di depan pemuda berambut
putih keperakan. Dirgantara dengan tergopoh-gopoh berlari
menghampiri karena perasaan kagum.
"Benar, Sobat. Aku pun sangat berterima kasih.
Tengkorak Darah memang ganas dan keji. Benar seperti yang dikabarkan orang!"
Jumpena yang telah berada di sebelah Dirgantara menambahkan.
Pemuda berpakaian ungu menatap wajah Dir-
gantara dan Jumpena berganti-ganti. Senyuman lebar
tersungging di bibirnya.
"Tidak usah banyak berterima kasih, Dirga,
Jumpena, hanya suatu kebetulan aku lewat tempat ini.
Itu pun karena mendengar seruan orang itu yang me-
nyebut-nyebut nama Pendekar Jari Maut. Kalau tidak
karena teriakan itu tak mungkin aku sampai di sini.
Jadi, orang itu yang berjuluk Tengkorak Darah" O ya, namaku Arya. Tapi, dunia
persilatan memberikan julukan Dewa Arak kepadaku."
"Benar, Arya." Jumpena yang pintar berbicara memberikan jawaban. "Orang itu yang
berjuluk Tengkorak Darah."
Pemuda berpakaian ungu yang memang Arya
Buana alias Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala.
Diam-diam ia merasa heran melihat sikap kedua orang
muda di hadapannya. Mereka tidak terkejut mendengar
julukannya. Apakah julukannya belum sampai ke dae-
rah ini" Arya tidak tahu kalau tidak kenalnya Jumpena dan Dirgantara dengan
julukan Dewa Arak karena mereka baru terjun ke dunia persilatan. Jadi, belum
mendengar julukan Dewa Arak yang menggemparkan.
Guru-guru mereka pun tidak menceritakannya karena
terlalu lama menyembunyikan diri sehingga tidak per-
nah mendengar julukan itu.
"Kau hendak ke mana, Arya?" tanya Jumpena.
"Aku tidak punya tujuan. Hanya mengikuti ke
mana kaki ini melangkah, Jumpena," jawab Arya seraya tersenyum.
"Mengapa kalian bisa bentrok dengan Tengkorak
Darah?" "Tidak ada masalah apa-apa sebenarnya, Arya, Tengkorak Darah saja yang
terlalu usilan," jelas Jumpena sekenanya.
Arya sampai tersenyum mendengar jawaban
yang sembarangan itu.
"Tapi, tadi kudengar Tengkorak Darah menye-
but-nyebut Pendekar Jari Maut."
"Beliau adalah ayahku, Arya," jawab Jumpena, cepat. "Ah...! Begitukah..."!" Arya
kelihatan terkejut
"Benar!" Dirgantara yang menyahuti. "Jumpena itu anak Pendekar Jari Maut
Sedangkan aku murid Petani
Berambut Putih."
"Murid tokoh-tokoh terkenal rupanya," sambut Arya yang telah mendengar nama
besar Pendekar Jari
Maut dan Petani Berambut Putih sebagai tokoh-tokoh
besar golongan putih. Julukan Pendekar Jari Maut lebih tenar daripada Petani
Berambut Putih.
"Kami tengah dalam tugas untuk mengunjungi
Naga Sakti Berwajah Hitam," tambah Jumpena untuk menambah kepercayaan Dewa Arak.
"Kalau begitu, silakan kalian berangkat. Mung-
kin kalian sudah ditunggu. Aku pergi dulu...."
Dirgantara dan Jumpena menggeleng-gelengkan
kepala ketika melihat tubuh pemuda berambut putih
keperakan sudah tidak terlihat lagi. Padahal, suaranya masih bergema di sekitar
tempat itu. "Hebat sekali Dewa Arak itu!" Dirgantara membuka percakapan. "Tidak kusangka
seorang tokoh muda telah memiliki kepandaian luar biasa. Dibandingkan
dengannya kepandaian yang kumiliki tidak berarti apa-apa." "Kau tidak perlu
berkecil hati, Dirga," hibur Jumpena yang merasakan nada keluhan dalam ucapan
pemuda berompi kulit harimau itu. "Jangankan kau atau aku, Tengkorak Darah yang
menggiriskan hati itu saja bukan tandingannya. Dewa Arak memang hebat
bukan main. Entah mana yang lebih lihai bila diban-
dingkan dengan ayahku atau gurumu."
Dirgantara tidak memberikan tanggapan. Pemu-
da berompi kulit harimau ini masih terpukul ketika
mengingat berturut-turut dirobohkan orang yang memi-
liki kepandaian di atasnya. Kepandaiannya yang dipela-jari dengan susah payah
selama belasan tahun ternyata tidak berguna!
Jumpena pun tengah digayut persoalan yang
sama. Kedua pemuda itu melakukan perjalanan tanpa
berbincang-bincang lagi.
***
Dewa Arak 79 Iblis Buta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
5 "Ayo kejar, Putih...! Cepat! Jangan sampai si hitam mengalahkanmu...!"
Seruan-seman lantang bernada gembira itu ke-
luar dari mulut seorang kakek kurus berambut awut-
awutan. Usianya sukar untuk ditaksir. Tapi melihat
rambut yang telah memutih juga jenggot dan kumisnya, kakek kecil kurus ini tentu
sudah sangat tua.
Sambil terus berteriak-teriak dengan penuh se-
mangat, ia mengayun-ayunkan tangan kanannya me-
Pedang Angin Berbisik 20 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Rajawali Emas 9