Pencarian

Pembalasan Dari Liang Lahat 2

Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat Bagian 2


wanita tak tahu malu itu, mudah
sekali! Tapi, aku tidak mau melakukannya. Terlalu enak bagimu, kalau mati secara
demikian. Terlalu nikmat! Pembalasan seperti itu tidak sebanding
dengan penderitaan yang ku alami. Kita harus se-timpal, Setiaji!"
Berbareng dengan usainya ucapan Ambar,
terdengar bunyi berderak keras ketika tulang pergelangan kaki Setiaji remuk
akibat belitan rambut tadi. Baru setelah dara yang telah bangkit dari
kematiannya ini melepaskan belitan, rambut itu
meluncur ke arah bahu kanan Setiaji.
Tuk! Tuk! Bak sehelai karung basah, tubuh Setiaji
terkulai jatuh ke tanah tertotok rambut Ambar.
Lelaki ini tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Sekujur tubuh lemas. Dia hanya
mampu melihat dan
mendengar tapi tidak kuasa bertindak apa pun.
"Kak Setiaji.,.!" seru Marni lemah.
Setiaji hanya bisa menatap dengan sorot
mata sedih. Dia tahu, dirinya dan juga istrinya te-
rancam bahaya besar. Tapi, yang dipikirkan hanya keselamatan Marni.
"Pergilah, Marni. Tinggalkan aku! Cepat se-lagi ada kesempatan!" seru Setiaji,
bernada khawatir.
Perintah itu lebih mudah diucapkan dari-
pada dilaksanakan. Jangankan berlari cepat me-
ninggalkan tempat itu, berdiri saja Marni belum mampu. Dia tertatih-tatih ketika
berusaha untuk bangkit. Luka yang dideritanya memang cukup
parah. "Tidak, Kak Setiaji. Apa pun yang akan terjadi, aku akan berada di
sampingmu," sahut Marni lemah. Setiaji merasa terharu mendengar ucapan
istrinya. Dadanya terasa sesak oleh rasa haru
yang menyeruak. Kalau menuruti perasaan, ingin
rasanya menangis meraung-raung. Tapi rasa ma-
lunya sebagai seorang laki-laki, membuatnya bersikeras untuk bertahan.
"Kalau begitu, biarlah kita mati bersama,
Marni. Tidak hanya di alam dunia saja kita bersa-ma. Tapi, di akherat pun kita
akan berkumpul kembali." tandas Setiaji.
"Jangan kalian kira mimpi itu bisa terlak-
sana!" Ambar yang merasa kesal mendengar percakapan Setiaji dan Marni membentak
keras. "Aku tidak begitu bodoh untuk membunuh
kalian berdua! Salah satu di antara kalian, harus mati secara mengerikan!
Sedangkan yang lainnya akan hidup. Tapi, dengan keadaan menyedihkan!"
ujar Ambar. Setiaji dan Marni hampir berbareng meno-
leh ke arah Ambar yang tertawa-tawa mengerikan.
"Wanita Iblis!" maki Marni, geram.
"Kejam!" Setiaji juga ikut memaki.
Tapi makian sepasang suami-istri itu
hanya ditimpali tawa bergelak dari mulut Ambar
sebuah tawa yang mengerikan.
"Kalian boleh memaki apa saja. Yang jelas, keputusanku akan tetap kulaksanakan!
Kau, Marni! Akan menerima kematian di tanganku se-
cara menyedihkan. Sedangkan kau, Setiaji! Kau
akan kujadikan budak pemuas nafsuku, mau atau
tidak mau. Setelah itu, hukuman mengerikan lain akan kau terima! Hi hi hi...!"
5 Ambar yang sudah sangat dirasuk dendam,
segera menggerakkan rambutnya disertai tawa
terkikik tanpa putus. Kali ini rambutnya yang sudah di jadikan satu gumpalan
lebar segera dike-
butkan ke arah Marni.
Angin yang luar biasa keras seketika ber-
hembus ke arah Marni. Istri Setiaji yang masih dalam keadaan lemah, tidak mampu
bertahan. Tu- buhnya terlempar ke belakang, langsung tergulingguling. Padahal, dia tadi telah
bisa bangkit berdiri, walaupun masih sempoyongan.
Marni baru berhenti bergulingan ketika
menghantam sebuah pepohonan dalam kerimbu-
nan semak-semak.
Raakkk! "Marni..!" jerit Setiaji penuh kekhawatiran melihat keadaan istrinya. "Jahanam
kau, Ambar! Kau bukan manusia! Tapi iblis! Lepaskan dia! Bunuh saja aku! Akulah yang
bersalah atas semua
kejadian pada dirimu. Bukan dia!"
Tapi Ambar tidak mempedulikan teriakan-
teriakan Setiap. Bahkan malah tertawa terkekeh-
kekeh, begitu gembira.
"Kau lihatlah kejadian yang akan menimpa
perempuan tak tahu malu itu, Setiaji!"
Saat itu juga, Ambar menatap ke arah
Marni yang masih tergolek.
"Marni...!"
Setiaji tak tahan untuk tidak berteriak ke-
ras, begitu melihat dua larik sinar kehijauan memancar dari sepasang mata Ambar
menuju ke arah Marni. Lelaki ini telah tahu, bagaimana kedahsyatan sinar-sinar hijau itu.
Golok baja pilihan saja bisa luluh. Apalagi, Marni!
Ternyata Ambar tidak ingin menghancur-
kan tubuh Marni dengan sinar maut dari sepasang matanya. Dua larik sinar yang
melesat ternyata ditujukan pada kerimbunan semak-semak yang
menghalangi istri Setiaji berada.
Kerimbunan semak langsung terbakar ke-
tika dua larik sinar dari mata Ambar menerpa.
Angin yang saat itu cukup keras berhembus,
membuat api yang timbul dalam sekejap saja ber-
kobar besar. Setiaji menjerit-jerit meneriakkan nama is-
trinya diseling makian-makian terhadap Ambar.
Sekarang bisa diketahui malapetaka apa yang
akan mengancam Marni.
Berbeda dengan Setiaji, Marni tidak menge-
luarkan teriakan sama sekali. Dia memang paling menderita. Tapi keinginan kuat
untuk tidak membuat Ambar semakin gembira, membuat Marni
mampu bertahan untuk tidak mengeluh.
Teriakan-teriakan Setiaji dan tawa Ambar
mengiringi gemeretaknya api memakan kerimbu-
nan semak-semak. Hanya dalam waktu singkat,
kumpulan semak-semak tempat Marni berada te-
lah terbakar habis. Di antara kepulan asap yang
masih mengepul, tercium bau hangus daging ter-
bakar. Kini tinggal Setiaji yang menatap sisa-sisa kebakaran dengan wajah pucat
pasi bagai tidak
dialiri darah. Lelaki yang hampir saja menjadi seorang ayah ini merasa terpukul
bukan main, meli-
hat kematian istrinya di depan mata tanpa mampu memberi pertolongan sama sekali.
"Hik hik hik...! Bagaimana rasanya kehi-
langan orang yang sangat dicintai, Setiaji"! Menyakitkan bukan"!" ejek Ambar,
penuh kepuasan.
"Dan, sekarang kau akan menerima bagiannya!"
Setiaji tidak memberi tanggapan. Pera-
saannya terlampau terpukul. Pikirannya bagaikan buntu. Jiwanya terasa telah mati
terbawa pergi Marni. Setiaji tidak teringat sama sekali akan keadaan dirinya. Bahkan tidak merasa
peduli akan apa yang hendak dialami. Tubuhnya diam tidak bergeming,
ketika Ambar dengan langkah satu-satu meng-
hampirinya dengan sikap terlihat penuh ancaman.
Alis Arya berkernyit ketika melihat sesuatu
di depan yang jaraknya tak kurang dari lima puluh tombak. Pemuda berjuluk Dewa
Arak ini tengah
dalam perjalanan untuk melacak mayat Tuan Mu-
da Gautama yang bangkit dari kuburnya. Karena
dikhawatirkan, mayat itu akan menyebar keka-
cauan di dunia persilatan.
Di perjalanannya ini, Arya bertemu keane-
han. Sesuatu yang sudah pasti adalah seorang
manusia, namun tetap saja membuat hatinya agak
heran. Ternyata sosok itu terlalu pendek untuk
ukuran seorang manusia. Tambahan lagi gera-
kannya terlihat janggal. Maka sambil terus melanjutkan perjalanan, Arya terus
memperhatikan so-
sok di hadapannya.
Semakin lama jarak antara Arya dengan
sosok itu semakin dekat Pandangan yang tertang-
kap pun kian jelas. Dan seiring itu, timbul perasaan kasihan di hati Dewa Arak
Sosok di depan Arya sebenarnya juga me-
lakukan perjalanan searah. Tapi karena kalah cepat, Dewa Arak bisa menyusulnya.
Sosok yang memang manusia itu ternyata tidak memiliki se-
pasang kaki! Buntung sampai ke pangkal paha.
Dan hebatnya, dia berlari mempergunakan kedua
tangan. Tapi melihat gerakannya, Arya tahu kalau sosok itu belum lama mengalami
cacat demikian.
Penggunaan tangannya tampak masih kaku. Bah-
kan beberapa kali terguling ke tanah ketika berlari.
Sambil terus berlari mengejar, benak Dewa
Arak berputar keras. Pandangan matanya meneliti sosok di depannya penuh
perhatian. Dan Arya
yang telah kenyang pengalaman ini, langsung tahu kalau sosok di depannya
ternyata masih berusia muda. Tubuhnya kelihatan kekar, dan terlihat pas dengan
pakaian kuningnya. Yang masih menjadi
pertanyaan di kepala Arya adalah, mengapa sosok yang buntung kedua kakinya ini
kelihatan demikian tergesa-gesa. Adakah sesuatu yang amat
mendesak sehingga membuatnya tersiksa"
Ketika untuk yang kesekian kalinya sosok
berpakaian kuning itu tersungkur, Dewa Arak me-
lesat mendahului dan berdiri menghadang di de-
pannya. "Mengapa demikian terburu-buru, Sobat"!"
tanya Arya. Pelan dan tenang.
Sosok berpakaian kuning yang tidak memi-
liki kaki, ternyata adalah seorang lelaki berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Kini matanya menatap wajah Arya penuh selidik
"Kau siapa"! Dan, apa maksudmu meng-
hadang perjalananku"!" lelaki berpakaian kuning ini malah balas bertanya.
Arya tersenyum tenang. Hatinya tidak me-
rasa tersinggung kendati pertanyaannya tidak terjawab, Dia maklum lelaki berkaki
buntung ini masih menaruh curiga.
"Aku Arya, Sobat. Aku seorang pengelana
yang tidak sengaja menghadang perjalananmu.
Kebetulan, aku melihatmu. Karena merasa aneh
melihat kau demikian terburu-buru, aku menyu-
sulmu. Barangkali saja ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu," jelas Dewa
Arak, hati-hati.
"Maafkan atas sikapku yang terlalu curiga, Arya. Namaku, Setiaji. Dan seperti
yang kau duga, aku memang tengah terburu-buru. Ada sebuah
urusan penting yang harus secepatnya kuselesai-
kan. Itulah sebabnya aku bertindak seperti ini,"
sahut lelaki berkaki buntung yang ternyata Setiaji.
"Begitu pentingkah hingga kau memaksa-
kan diri untuk melakukannya" Tidakkah kau me-
nunggu, hingga luka-luka yang kau derita sem-
buh! Maaf, bukannya aku bermaksud mencampu-
ri. Tapi, aku yakin lukamu itu belum lama."
Setiaji menghela napas berat. Kembali se-
pasang matanya menelusuri sekujur tubuh Arya
penuh selidik. Seakan-akan, lelaki yang baru
mendapat kemalangan ini tengah menilai Arya
dengan pandangan matanya.
"Mungkin aku harus menceritakannya pa-
damu, Arya. Seperti yang kau katakan tadi, aku
mungkin butuh bantuan. Masalah penting yang
harus segera kuurus ini tak akan mungkin bisa
diselesaikan, dengan keadaan tubuh seperti ini.
Dengan bantuanmu, aku yakin masalah ini akan
lebih cepat terurus. Tapi, aku ingin kepastian da-
rimu, Arya. Benarkah kau ingin membantuku"!"
tanya Setiaji. "Dengan catatan, urusan yang kau maksud
ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran," jawab Arya mantap.
Setiaji tersenyum lebar.
"Kau kira aku orang macam apa, Arya"! Je-
lek-jelek begini, dulu aku bekas seorang pendekar.
Jadi jangan khawatir kalau urusan yang ku mak-
sud akan menjerumuskanmu ke jalan hitam. Ti-
dak, Arya. Bahkan urusan ini akan membuat na-
mamu terkenal di dunia persilatan."
"Terima kasih, Setiaji. Tapi sayang sekali, aku tidak butuh nama besar. Aku
hanya ingin membantumu. Lain tidak. Nah, sekarang katakan-
lah." Setiaji tercenung sebentar. Kelihatan kalau lelaki ini tampak ragu untuk
berbicara. "Sebenarnya aku tidak ingin mencerita-
kannya pada siapa pun. Tapi karena aku tidak
mungkin bisa menyelesaikannya, dan kebetulan
kau bersedia membantu, mau tidak mau cerita ini terpaksa kututurkan padamu. Agar
kau menjadi jelas dengar jalannya kejadian," Setiaji mulai dengan ceritanya.
"Puluhan tahun lalu, ayahku adalah seo-
rang pendekar. Telah banyak tokoh hitam yang di-kalahkan, bahkan ditewaskan
dalam upayanya menumpas angkara murka yang bersemayam di
dunia ini. Pada suatu hari, ayahku bertemu beberapa tokoh sesat yang menjadi
kawan baik dari
orang-orang yang telah tewas di tangannya. Sebenarnya, ayahku tidak akan kalah
kalau saja mere-ka bertarung secara jantan. Tapi, mereka berta-
rung secara keroyokan. Ayahku terdesak, dan
mungkin akan tewas kalau tidak muncul seorang
tokoh golongan putih lain. Berdua, mereka bahu-
membahu mengusir penjahat-penjahat hingga
tuntas. Dari situ terjalinlah persahabatan di antara mereka. Bahkan lalu saling
berjanji untuk men-geratkan persahabatan ini dengan menjodohkan
anak-anak mereka, apabila mempunyai anak yang
berlainan jenis."
Arya diam meski pada saat itu Setiaji
menghentikan ceritanya. Dewa Arak merasakan
adanya nada penyesalan dalam ucapan lelaki ber-
pakaian kuning ini ketika bercerita tentang perjodohan. Arya yang memiliki otak


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cerdas langsung
bisa memperkirakan kalau masalah yang dimak-
sud Setiaji, sedikit banyak berpangkal dari ikatan jodoh itu.
"Keinginan ayah dan kawannya terkabul.
Ayah mendapatkanku, seorang anak lelaki. Se-
dangkan kawannya mendapat seorang anak pe-
rempuan. Ketika berumur sepuluh tahun, anak
yang bernama Ambar itu dibawa ayahnya men-
gunjungi kami. Selama beberapa lama, Ambar
menjadi kawan bermain ku. Namun akhirnya kami
berpisah kembali."
Sampai di sini, Setiaji menghentikan ceri-
tanya. Dia termenung agak lama. Raut wajahnya
menyiratkan gambaran berbagai macam perasaan.
Kecewa, gembira, marah, dan sedih. Semuanya
tercampur menjadi satu.
"Ketika aku dewasa, Ayah menyuruhku tu-
run gunung sekaligus memerintahkan pergi ke
tempat Ambar dan ayahnya. Saat itu pula aku di-
beritahukan mengenai jodohku. Namun diam-
diam aku tidak puas, walau tidak ingin menentang ayahku. Dan sama sekali tidak
kusangka kalau dalam perjalanan aku bertemu seorang gadis can-
tik yang berhasil mencuri hatiku. Namanya, Mar-
ni. Rasa cinta padanya, menyebabkan perjodohan
itu kutolak mentah-mentah. Akibatnya seperti
yang kuperkirakan. Ayah marah dan mengusirku.
Dia tidak menganggapku sebagai anak lagi, karena merasa malu pada sahabatnya."
"Sahabat ayah tidak bertindak apa-apa, se-
lain membiarkan semua yang telah terjadi. Tapi, Ambar tidak demikian. Rupanya,
dia memang telah mencintai ku. Mengetahui hal yang sebenar-
nya, dia kabur dari rumahnya dan pergi mencari-
ku. Berbulan-bulan dia mencari tanpa hasil, kare-na aku saat itu tengah sibuk
bertualang bersama Marni. Tapi, akhirnya kami berhasil diketemukan.
Ambar marah bukan main pada Marni. Sehingga
pertarungan antara mereka pun terjadi. Mereka
sama-sama lihai. Aku yang tidak ingin Marni terluka, ikut campur dan mengusir
Ambar. Sejak saat itu, kabar tentang Ambar tidak terdengar lagi.
Dia bagai lenyap ditelan bumi. Sedangkan kami,
beberapa minggu kemudian menikah. Ayahku ti-
dak menghadiri pernikahanku. Yang ada hanya
pamannya Marni. Beliau pun pergi ke alam baka,
tak lama setelah kami menikah. Aku dan Marni
mencari nafkah dengan menyediakan jasa penga-
walan bagi orang-orang yang ingin bepergian jauh, atau menyuruh mengantarkan
barang. Kami selalu bernasib baik. Sampai akhirnya, tanpa kami
duga-duga dia datang lagi...."
"Ambar..."!" terka Arya, tanpa ragu-ragu.
Setiaji mengangguk pelan.
"Tapi, Ambar kali itu sangat berbeda den-
gan sebelumnya. Dia telah memiliki kemampuan
mengerikan. Dengan mudah, aku dan Marni dika-
lahkan. Kemudian dengan kejam, Marni dibunuh
bahkan aku dibuat cacat seperti ini dengan sabetan rambutnya. Tapi, dasar wanita
iblis! Kendati telah menghancurkan hatiku dengan siksaan, dia
masih belum puas. Sengaja hatiku disiksa lagi
dengan mengatakan akan menghabisi nyawa
ayahku." Arya mengangguk-angguk. Sekarang baru
dimengerti, mengapa Setiaji berusaha keras untuk melaksanakan urusannya.
Ternyata memang sebuah tugas penting. Lelaki yang telah buntung sepasang kakinya
ini harus berlomba dengan waktu, agar nyawa ayahnya bisa diselamatkan.
"Meski ayah tidak menganggapku sebagai
anak lagi, tapi aku masih tetap menghormatinya.
Kuakui, aku memang bertindak salah. Untuk me-
nebus rasa salahku ini, aku bermaksud memberi-
tahukan adanya ancaman bahaya yang akan da-
tang dari Ambar! Orang yang sama sekali tidak
disangka-sangka, tapi kini telah memiliki kepandaian menakjubkan!"
Arya menatap Setiaji dengan sinar mata
kagum. Dia setuju sekali pada pendirian lelaki ini yang tetap menghormati ayah
kandungnya. Bahkan menyiksa diri untuk memberitahukan adanya
bahaya mengancam.
"Seperti yang kukatakan semula, aku ber-
sedia menolongmu, Setiaji. Dalam keadaan biasa, mungkin kau akan dapat cepat
memberitahukan adanya bahaya terhadap ayahmu. Tapi sekarang"
Mau tidak mau kau membutuhkan bantuan. Ku-
rasa, kau lebih baik naik di leherku. Dan aku berlari cepat untuk segera tiba di
sana! Bagaimana"!"
"Terserah kau saja, Arya. Aku menurut sa-
ja. Aku percaya kau akan memberi usulan yang
baik!" sahut Setiaji, memberi pilihan pada Arya untuk menentukan cara.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Cepat naik ke pundakku, dengan segera."
Setiaji tersenyum. Kedua tangannya segera
menekan tanah. Lalu tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di tengkuk
Arya. Tanpa membuang waktu, Dewa Arak melesat meninggalkan
tempat itu, berlari menuju arah yang ditunjuk Setiaji.
*** Satu sosok ramping berpakaian hitam ten-
gah berlari cepat, melalui dataran beralas padang rumput pendek. Medan itu tidak
rata, bergelombang seperti permukaan air laut.
Mendadak sosok ramping itu menghenti-
kan langkahnya. Ketika di depannya telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar.
Kepalanya botak dengan cambang bauk lebat. Pada punggungnya tam-
pak menyembul dua buah kecer berbentuk bulat
tipis. "Orang hutan! Cepat menyingkir dari ha-dapanku sebelum amarahku timbul!"
desis sosok ramping berpakaian hitam yang ternyata seorang
gadis berwajah pucat seperti tak berdarah, dengan mata mengerikan. Siapa lagi
sosok itu kalau bukan Ambar.
"Kau kira aku bisa kau bunuh, sesudah
membunuh kakek-kakek jompo yang dulunya me-
rupakan seorang pendekar yang cukup terkenal
itu?" sahut kakek yang mirip orang hutan itu sambil tertawa gembira. "Aku Buluk
Pitu tak akan semudah itu dapat ditaklukkan. Bahkan kau yang
akan menjadi hamba sahayaku, Tuan Muda. Ken-
dati demikian, biarlah. Sebelum kau kujadikan
budak, tidak ada salahnya kalau kita bermain-
main sebentar. Aku ingin tahu, sampai di mana
kesaktianmu!"
Tanpa mempedulikan kemarahan Ambar,
laki-laki yang ternyata bernama Buluk Pitu segera mengambil sepasang kecer yang
tergantung di punggung. Biasanya, setiap tokoh yang mendengar bunyi kecernya, akan kehilangan
tenaga dalamnya meski untuk sementara. Kaki lemas, karena jantung bergetar hebat
Blammm! Bunyi berdentam nyaring terdengar, ketika
Buluk Pitu mengadu sepasang kecernya. Bumi ba-
gaikan tergetar hebat. Bahkan batang-batang po-
hon yang ada di sekitar tempat itu bergetar, seakan gemetar mendengar bunyi
kecer itu. Tapi ternyata bunyi itu sama sekali tidak
mempengaruhi Ambar. Padahal, dara ini hanya
mengebut-ngebutkan rambutnya, ketika kecer itu
dibenturkan! Bahkan dari kebutan rambutnya
timbul angin menderu keras. Tidak keras bila di-bandingkan bunyi kecer. Tapi,
bunyi sudah cukup untuk meredam pengaruh dahsyat yang timbul
dari bunyi kecer!
Buluk Pitu yang merasa penasaran, segera
mengulangi serangannya. Tapi, hasilnya tetap sa-ma. Bunyi kecernya tidak
berpengaruh apa pun
bagi Ambar. Dan ini membuatnya penasaran bu-
kan main. Maka sambil membentak nyaring, sepa-
sang senjata andalannya dilemparkan! Seketika
bunyi berdesing nyaring terdengar, ketika dua
benda itu melesat, menyambar dari arah kanan
dan kiri dara berpakaian hitam itu.
Kali ini, Ambar cepat menjulurkan kedua
tangannya ke depan. Maka dua buah kecer berpu-
tar kembali ke pemiliknya sebelum bertemu sepa-
sang tangan yang jari-jarinya terbuka. Malah kecepatan luncurannya jauh lebih
cepat dari semula!
Buluk Pitu terperanjat. Kalau bertindak
ayal sedikit saja, senjata akan menghirup darah tuannya sendiri. Maka luncuran
sepasang kecernya disambut dengan kedua tangan terbuka. Se-
bagai pemilik senjata, tentu saja Buluk Pitu dengan mudah bisa menaklukkannya.
Tap! Tapp! Buluk Pitu terhuyung mundur dua lang-
kah, ketika berhasil menangkap sepasang kecer-
nya. Kedua tangannya bergetar hebat. Dari sini
kakek berkepala botak ini benar-benar membuat
gentar bukan main. Buluk Pitu sadar, Ambar me-
miliki kemampuan di atasnya. Melakukan perla-
wanan sama dengan mencari mati! Maka dia mulai
bersiap melaksanakan rencananya.
"Tuan Muda Gautama! Lihat, apa yang ada
di tanganku. Kau harus tunduk!" seru Buluk Pitu dengan suara penuh pengaruh,
sambil mengeluarkan sebuah keris kecil bergagang dan berbatang kuning mengkilat.
Benda ini didapatkan Buluk Pi-tu dari peti mati Tuan Besar Wiraraja.
Tubuh Ambar yang dipanggil sebagai Tuan
Muda Gautama tampak tergetar. Ucapan Buluk Pi-
tu terlihat mempunyai pengaruh terhadap dirinya.
Sepasang matanya yang tadi liar dan penuh hawa
pembunuhan, perlahan melembut. Tapi hal itu
hanya berlangsung sebentar saja. Tak lama dia
menggeram keras. Dan dari sepasang matanya
meluncur cepat dua larik sinar kehijauan ke arah Buluk Pitu.
6 Buluk Pitu memang belum pernah me-
nyaksikan kedahsyatan sinar hijau yang meluncur dari kedua bola mata sosok yang
dipanggilnya Tuan Muda Gautama. Tapi sebagai seorang yang
telah kenyang makan asam garam, dia tidak bera-
ni bertindak gegabah. Maka sebelum sinar-sinar
itu menghantam, tubuhnya melompat ke samping
dan bergulingan menjauh.
Benar saja. Dua buah gundukan batu be-
rukuran sedang yang kebetulan berada di bela-
kang Buluk Pitu hancur lebur menjadi sasaran
seiring terdengarnya bunyi ledakan keras. Mata Buluk Pitu sampai terbelalak
saking kagetnya melihat kedahsyatan sinar-sinar hijau itu.
Tapi, Ambar tidak berhenti sampai di situ
saja. Serangan-serangan sinar kehijauan terus di-lanjutkan. Kini dua larik sinar
itu bagaikan tidak pernah berhenti, terus-menerus mencecar tubuh
Buluk Pitu. Sehingga memaksa kakek itu untuk
bermain kucing-kucingan, melompat ke sana ke-
mari untuk menyelamatkan selembar nyawa.
Tindakan Buluk Pitu menyebabkan sekitar
tempat itu porak-poranda. Rerumputan banyak
yang hangus terbakar, tersambar angin serangan
Ambar. Tanah terbongkar di sana-sini. Asap men-
gepul ke angkasa. Dan pada beberapa tempat, api berkobar meski hanya kecil saja.
Sambil tetap berlompatan mengelakkan
tangan-tangan maut dari sinar-sinar hijau, Buluk Pitu memeras otaknya. Dia
merasa heran, ketika
sosok yang dipanggilnya Tuan Muda Gautama ti-
dak terpengaruh sama sekali dengan keris dan perintahnya. Padahal, demikianlah
cara yang harus dilakukan, untuk menguasai roh Tuan Besar Gautama yang telah
bangkit lagi Buluk Pitu tahu, keadaan seperti ini tidak
bisa dibiarkan. Bahkan bukan tidak mungkin ka-
lau nyawanya akan melayang ke alam baka. Pa-
dahal, dia belum ingin melihat alam akherat ken-
dati usianya telah amat tua.
Itulah sebabnya, ketika untuk kesekian
kali serangan sinar-sinar hijau meluncur, sambil melompat mengelak Buluk Pitu
melemparkan sepasang kecernya. Sengaja kecer itu dilepas satu persatu, agar
lawannya menyediakan waktu lebih
banyak untuk mematahkan serangan-
serangannya. Buluk Pitu masih sempat melihat ketika
kecer yang pertama kali dilepaskan terhantam sinar hijau dari mata Ambar.
Hebatnya, senjata
yang terbuat dari baja pilihan itu leleh! Dan kecer kedua tidak sempat dilihat
karena Buluk Pitu telah melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan kecepatan
menakjubkan! Ambar alias Tuan Muda Gautama hanya
bisa memaki kalang kabut ketika calon korbannya telah lenyap begitu sepasang
kecer itu berhasil di-hancurkannya. Amarahnya yang telah bangkit
membuatnya tidak mau berhenti bertindak sebe-
lum Buluk Pitu binasa. Maka tubuhnya juga mele-
sat mengejar ke arah kepergian Buluk Pitu tadi.
Tapi baru saja beberapa kali lesatan, Am-
bar mendengar bentakan nyaring dari belakang-
nya. "Berhenti...! Wahai orang yang berlari di depan, berhenti! Berhenti kau,
Pengecut...!"
Kata-kata terakhir membuat Ambar yang
semula tidak ambil peduli jadi menghentikan
langkahnya. Meski telah bukan manusia sewajar-
nya lagi, Ambar tetap memiliki keangkuhan yang
pantang dianggap pengecut. Dengan cepat tubuh-
nya berbalik. Sikapnya terlihat mengancam.
Hanya dalam sekejap, orang yang menegur
itu telah berada di depan Ambar berjarak empat tombak. Dia ternyata seorang
kakek berpakaian
coklat. Kedua kakinya buntung sampai pangkal
paha, digantikan oleh dua batang tongkat. Seperti juga Ambar, dia terperanjat
atas pertemuan ini.
Kini masing-masing pihak saling pandang dengan
alis berkerut seakan saling mengenal,
"Kau..., kau siapa..."! Rasanya aku pernah melihat wajahmu..."!"
Kakek berpakaian coklat terlebih dulu
membuka percakapan dengan suara bergetar. Se-
pasang matanya terbelalak lebar penuh rasa kaget ketika melihat wajah Ambar.
"Aku pun rasanya mengenalmu, Kakek!
Hanya saja aku lupa, kapan dan di mana perte-
muan itu berakhir."
Dua pasang mata saling pandang, sebelum


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya berisikan nada-nada kecurigaan.
"Tua Bangka tidak tahu diri! Hentikan uca-
pan tololmu. Aku bukan apa-apamu. Cepat kau
pergi dari sini, sebelum kesabaranku habis!"
Ambar yang lebih dulu sadar dari kesi-
manya, membentak keras setelah yakin kalau ka-
kek berpakaian coklat ini tidak mempunyai hu-
bungan dengannya.
Kakek berpakaian coklat tersenyum getir.
"Pergi itu urusan mudah, apabila semua
urusan telah bisa diselesaikan. Tapi sayang, urusan antara kita belum selesai.
Aku punya satu pertanyaan padamu, Nona," balas kakek berkaki buntung itu.
Sepasang mata Ambar mulai berkilat te-
rang. Sinar kehijauan semakin jelas terlihat. Kakek berpakaian coklat itu
tersentak, begitu melihat adanya sesuatu yang aneh. Namun kakek ini pu-ra-pura
bersikap tidak peduli.
"Beberapa puluh tombak dari tempat ini,
aku menemukan mayat seorang kakek gagah per-
kasa. Aku tahu betul kalau dia dulunya seorang
pendekar besar. Menilik dari keadaan mayatnya,
aku yakin orang yang membunuhnya belum lari
jauh. Dan ternyata, hanya kau yang berada dekat dengan tempat mayat kakek itu.
Jelas, kau mempunyai hubungan yang erat dengan tewasnya ka-
kek pendekar itu, Nona."
"Kau memang cerdik, Tua Bangka bau ta-
nah! Akulah yang telah membunuhnya. Tapi,
orang itu memang pantas dibunuh. Aku punya
semboyan hidup. Tidak ada tempat bagi orang
yang mengkhianati janji. Dan kakek jompo itu telah mengingkari janji yang telah
dibuatnya sendiri.
Maka, aku pun membunuhnya! Kalau kau tidak
senang, silakan maju. Biar kuhabisi sekalian
orang-orang yang berani menentangku!"
Kakek berpakaian coklat menghela napas
berat. Kepalanya menggeleng-geleng seperti layaknya orang yang merasa prihatin.
"Sayang sekali, Nona. Kau sebenarnya ma-
sih muda. Jalan hidupmu masih panjang. Menga-
pa memilih jalan sesat dan bukan jalan lurus"!
Sadarlah! Jangan kau jerumuskan dirimu ke da-
lam jurang kehancuran!"
"Tutup mulutmu!"
Ambar yang merasa tidak senang diberi
nasihat, segera melancarkan serangan mempergu-
nakan sepasang matanya. Dua sinar yang memili-
ki kekuatan daya hancur luar biasa seketika meluruk ke arah sang kakek.
"Uts...!"
Kakek berpakaian coklat melompat meng-
hindari serangan. Dia tahu, sinar hijau itu memiliki kekuatan dahsyat Rasanya
tidak akan ada senjata apa pun yang mampu menahannya!
Serangan-serangan gencar sinar hijau yang
keluar dari sepasang mata Ambar benar-benar
membuat kakek berpakaian coklat yang tak lain
Wara Kuri untuk berlompatan ke sana kemari.
Tindakannya membuat keadaan sekitar itu menja-
di porak-poranda.
"Ih...!"
Wara Kuri terperanjat ketika merasakan
adanya tarikan kuat ketika baru saja melompat
untuk mengelakkan serangan sinar hijau dari ma-
ta Ambar. Sementara, dara berpakaian hitam itu
terus menjulurkan tangan dengan kedua telapak
terkembang, melakukan gerak menarik.
Wara Kuri yang tengah berada di udara, ti-
dak mampu berbuat sesuatu untuk bertahan.
Apalagi tidak ada pijakan.
Pada saat yang merugikan bagi Wara Kuri,
Ambar mengirimkan serangan maut dengan sinar
matanya! Wesss...! Dua larik sinar hijau meluncur, menghan-
tam luncuran tubuh Wara Kuri yang tertarik ke
arah Ambar. Wara Kuri benar-benar berada dalam pili-
han sulit. Keadaannya tidak memungkinkan un-
tuk mengelak. Jalan satu-satunya untuk menye-
lamatkan diri, hanya menangkis. Tapi bila me-
nangkis sinar maut dalam jarak yang demikian
dekat, memiliki kemungkinan untuk menerima
akibat yang sangat parah.
Di saat yang amat gawat bagi keselamatan
nyawa Wara Kuri, terdengar bunyi hembusan ke-
ras diiringi hawa panas menyengat. Datangnya,
dari belakang Wara Kuri terus meluncur memapak
dua larik sinar hijau!
*** Bresss! Blarrr...!
Bumi bagaikan tergetar begitu dua larik si-
nar hijau dari mata Ambar berbenturan dengan
hembusan angin panas yang keras. Sekitar tempat itu bagaikan digoyang tangan
raksasa. Sedang
akibatnya bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kejadian itu, lebih hebat lagi.
Tubuh Ambar terhuyung-huyung dua
langkah ke belakang. Tapi, tubuh sosok bayangan ungu yang melancarkan pukulan
jarak jauh ber-hawa panas dari belakang Wara Kuri, melayang
deras ke belakang bagai daun kering dipermain-
kan angin! Wara Kuri yang berada dalam kancah per-
tarungan ketika dua kekuatan dahsyat bertemu
sekujur tubuhnya terasa seperti dimasuki ribuan semut. Saat itu, Ambar
menggerakkan tangan menyerang perut Wara Kuri. Jarak antara mereka sebenarnya
tidak memungkinkan bagi Ambar untuk
mengirimkan serangan. Apalagi Ambar melancar-
kan serangan tanpa bergeming dan tempatnya.
Tapi, Ambar ternyata sudah memperhi-
tungkan. Tangannya ternyata dapat memanjang
seperti karet. Jarak yang seharusnya tidak ter-
jangkau berhasil dilompati. Dan....
Bresss...! "Aaaa...!"
Tak pelak lagi, jari-jari tangan gadis berpa-
kaian hitam ini menembus perut Wara Kuri hingga tembus ke punggung. Darah
berhamburan dari
bagian yang robek lebar.
Kakek itu kontan menjerit memilukan. Ta-
pi, Ambar sama sekali tidak peduli. Tanpa ada perubahan sedikit pun pada
wajahnya yang pucat
pasi, tangannya ditarik kembali dengan gerakan
mengoyak. Sehingga, membuat luka Wara Kuri
semakin parah. Kemudian, sambil tertawa terkikih tubuhnya melesat meninggalkan
tempat itu. Ambar sama sekali tidak ingat pada orang yang telah memapak sinar
hijau dari matanya.
Tak lama sepeninggalnya, dari balik kerim-
bunan semak-semak tempat terlemparnya sosok
yang tadi memapak serangan, melangkah ter-
huyung-huyung dua sosok yang bertumpuk men-
jadi satu. Sosok yang satu berada di atas sosok yang lain. Mereka adalah Dewa
Arak dan Setiaji
yang berada diatas pundaknya.
Dengan langkah terhuyung-huyung karena
rasa pusing amat sangat yang masih melanda,
Arya memaksakan diri menghampiri Wara Kuri
tergolek. Pemuda berambut putih keperakan ini
tahu, keadaan kakek itu telah amat mengkhawa-
tirkan. Kalau tidak bertindak cepat, nyawanya ke-buru melayang ke alam baka.
Kendati Arya tahu,
Wara Kuri tak bakal bisa diselamatkan mengingat keadaannya yang terlalu
mengkhawatirkan. Tapi
setidak-tidaknya, kakek itu mungkin akan me-
ninggalkan pesan.
Sebelum Arya berada di dekat Wara Kuri,
dari arah yang berlawanan melesat sesosok
bayangan serba merah. Gerakannya cepat bukan
main. Hanya dalam sekejapan, sosok itu telah berada di dekat tubuh Wara Kuri
Bahkan dia berjongkok, memperhatikan
luka kakek berpakaian coklat itu penuh selidik.
Helaan napas berat keluar dari mulut so-
sok ini. Kepalanya pun menggeleng. Kemudian
tangan kanannya diulurkan. Dan dengan kecepa-
tan menakjubkan, tangannya bergerak menotok
sekitar luka untuk menghentikan aliran darah
agar Wara Kuri tidak mati lemas.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat.
Sayang, aku tidak akan bisa membalasnya. Tapi
aku, Wara Kuri, bukan orang yang tidak kenal bu-di. Bila di dunia ini aku tidak
mampu membalas, maka di penghidupan yang lain, akan kucoba untuk membalas budimu
ini," ujar Wara Kuri terpa-tah-patah.
"Tidak usah memikirkan masalah itu, Wara
Kuri. Aku tidak membutuhkan balas budi. Kehadi-
ranku di tempat ini pun, hanya sebuah kebetulan.
Aku sebenarnya sudah tidak berhasrat untuk ter-
jun dalam dunia persilatan. Tapi karena sesuatu hal, dan karena keteledoran dua
orang muridku, terpaksa aku turun gunung meninggalkan tempat
pengasinganku yang nikmat. Dan aku terjun kem-
bali ke dalam kerasnya kancah dunia persilatan
yang menjijikkan," sahut laki-laki berbaju merah ini.
Wara Kuri tertawa terkekeh walau dengan
susah payah. "Kita ternyata mempunyai nasib yang sa-
ma, Sobat. Kita tidak termasuk orang-orang yang beruntung. Aku pun sebenarnya
sudah tidak ingin terjun dalam dunia persilatan. Tapi sebuah kejadian yang
mengerikan dan amanat dari majikan-
ku, membuat aku tidak bisa mengelak. Akhirnya
aku harus mengalah pada nasib. Aku harus me-
ninggalkan dunia ini, tanpa bisa menyelesaikan
amanat majikanku. Nasib memang mempermain-
kan manusia, Sobat"
Sosok berpakaian merah ternyata seorang
lelaki berjenggot panjang sampai ke dada. Usianya sekitar enam puluhan tahun,
tapi masih tampak
gagah. Kumisnya yang masih hitam dan melintang
menambah kegagahannya. Di waktu mudanya, dia
pasti seorang pemuda yang amat tampan dan ga-
gah. "Ternyata kita mempunyai masalah yang sama, Wara Kuri. Hanya saja kau harus
pergi sebelum masalahmu berhasil diselesaikan. Sedang-
kan aku masih terus mencari. Entah sampai ka-
pan hal ini baru bisa terungkap. Atau mungkin
aku akan mengalami kejadian sepertimu. Mening-
galkan dunia ini tanpa berhasil mengupas masa-
lah yang menggayuti benakku," kata laki-laki berpakaian merah.
"Boleh kutahu, apa yang mendorongmu
terjun ke dalam dunia persilatan, Sobat"!" tanya Wara Kuri ingin tahu.
"Bangkitnya mayat dari kematiannya," jawab lelaki berpakaian merah, langsung
pada sasaran. Wara Kuri mengeluarkan keluhan tertahan.
"Mengapa"!" tanya lelaki berpakaian merah ini heran.
"Masalah yang tengah kita hadapi ternyata
sama," jelas Wara Kuri cepat
"Jadi..., kau pun...."
"Benar," Wara Kuri mengangguk. Kemu-
dian secara singkat tapi jelas, kakek berpakaian coklat ini menceritakan
semuanya. Sampai lawan
bicaranya mengerti dengan masalah yang tengah
dihadapinya. "Kau sendiri bagaimana"!" tanya Wara Ku-ri.
"Hampir sama," jawab lelaki berpakaian merah. Dahinya tampak berkerut dalam
seperti tengah berpikir keras. "Aku mempunyai dua orang murid. Yang pertama, bernama
Gempita. Dan yang
satu lagi, bernama Marong. Pada suatu hari, me-
reka datang membawa seorang wanita yang ham-
pir mati. Keadaannya tidak terurus. Bahkan boleh
dibilang tak ubahnya gembel. Ingatannya hampir
hilang. Aku yakin wanita ini telah mendapatkan
guncangan batin yang berat, sehingga membuat-
nya seperti gila. Menilik dari gerak-geriknya, aku tahu wanita ini bukan orang
sembarangan. Setidak-tidaknya murid seorang sakti. Terbukti meski dalam keadaan
kurang ingatan, ilmunya masih
cukup hebat. Wanita itu bernama Ambar."
Arya dan terutama sekali Setiaji yang juga
mendengarkan percakapan itu, merasa kaget bu-
kan main. Jantung Setiaji bahkan seperti berhenti berdetak mendengar cerita itu.
Jadi, Ambar benar-benar menderita!
"Karena perawatan kami yang tak kenal le-
lah, Ambar berhasil disembuhkan. Tapi sayang seribu kali sayang, Ambar terjatuh
dalam tangan seorang ahli ilmu hitam yang berhati keji. Ambar menuntut ilmu hitam yang aneh-
aneh. Bahkan sampai akhirnya, Ambar tewas dalam mempelajari
ilmu itu. Syarat yang terlalu berat, membuat nyawanya melayang. Tapi justru itu
sebenarnya yang diinginkan gurunya yang memang berhati keji. Dia ingin
menciptakan budak yang mau melakukan
semua perintahnya, tanpa membantah sedikit
pun. Dan itu hanya dapat diperoleh, bila Ambar
telah menjadi mayat kemudian bangkit lagi. Tentu saja begitu telah menjadi mayat
hidup, kesaktian Ambar akan berlipat ganda. Dengan demikian, pe-nyihir jahat itu
jadi memiliki seorang budak yang amat taat, sekaligus luar biasa sakti."
Wara Kuri diam. Dia merasa takjub men-
dengar cerita itu. Sedangkan Arya dan terutama
sekali Setiaji baru menyadari mengapa Ambar jadi demikian sakti. Rupanya, Ambar
telah mati. Ambar telah menjadi semacam budak yang hanya ta-
hu melaksanakan perintah. Tanpa sadar, sepa-
sang mata Setiaji berkaca-kaca, karena rasa haru.
Betapapun juga, lelaki ini merasa bertanggung jawab atas malapetaka yang menimpa
Ambar. "Dengan sebuah siasat, aku berhasil men-
curi mayat Ambar. Aku tidak ingin, dia dijadikan budak. Setelah berhasil, aku
mencari tahu bagaimana caranya untuk menghentikan semua kegi-
laan itu. Akhirnya, aku pun mendapatkannya.


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ambar harus dikubur, sebelum hujan lebat ber-
henti. Bahkan sebelum sinar bulan berwarna me-
rah. Karena bila itu terjadi, malapetaka akan
muncul. Dari tempat tinggalku kupantau keadaan
muridku. Sebenarnya, aku yakin mereka akan
berhasil. Tapi ternyata gagal. Dari tempatku, aku tahu kalau dua muridku itu
telah tewas."
"Apakah orang yang dimaksud muridmu
itu seorang lelaki tinggi besar bertelanjang dada, dan seorang lelaki kecil
kurus" Dan mereka pun
naik kereta"!" tanya Wara Kuri, untuk memastikan ketika teringat akan hal mayat
yang ditemukan-nya. "Benar," sahut lelaki berpakaian merah itu mengangguk.
"Mereka memang telah tewas. Dan tempat
terjadinya adalah di makam milik keluarga maji-
kanku. Asal tahu saja, tempat itu sebenarnya ter-larang bagi orang luar.
Pemakaman itu adalah
pemakaman keluarga. Dan, tidak untuk orang
lain. Tapi, murid-muridmu telah lancang mengu-
bur mayat Ambar di sana. Dan aku bisa memper-
kirakan apa yang terjadi, " papar Wara Kuri, mengeluh panjang pendek.
"Apa?" lelaki berpakaian merah jadi ingin tahu. "Wanita muda itu berhasil hidup,
karena adanya roh milik Tuan Muda Gautama yang diku-
bur di situ. Pada saat-saat tertentu, roh itu memang muncul ke permukaan.
Biasanya, itu terjadi setiap sebulan sekali. Dan aku yakin, roh itulah yang
membuat mayat Ambar hidup kembali."
"Mungkin kau benar, Wara Kuri. Tapi,
mungkin kau mau mendengar penjelasanku.
Mayat Ambar itu tidak untuk dikuburkan di tem-
pat makam majikanmu. Aku tidak tahu. Bahkan
muridku juga tak tahu kalau di sana ada makam.
Mereka dan aku telah sepakat untuk mengubur-
kannya di sebuah tempat. Tapi, entah mengapa
mereka memilih makam milik majikanmu. Aku ti-
dak mengerti maksud mereka. Tapi yang jelas, apa yang ku takuti telah terjadi.
Mereka menanam mayat setelah hujan berhenti dan juga sinar bulan merah telah muncul. Padahal,
aku telah berpesan berkali-kali agar jangan sampai itu terjadi. Karena jika
sampai demikian, nyawa mereka tak akan selamat" "Lalu..., apa yang akan kau
lakukan"!"
tanya Wara Kuri, ingin tahu.
"Aku belum tahu," desah lelaki berpakaian merah menggeleng. "Entah nanti."
"Sayang sekali, Sobat," desah Wara Kuri dengan suara penuh sesal. "Kalau saja
aku tidak ceroboh, aku mungkin akan dapat melenyapkan
angkara murka Ambar dengan mudah. Majikan
tuanku telah meninggalkan pusaka untuk melum-
puhkan kekuatan roh anaknya. Pusaka itu berupa
keris bergagang kuning. Demikian juga batangnya.
Sayang, senjata itu telah diambil Buluk Pitu. Aku khawatir dengan senjata itu,
Buluk Pitu akan berhasil mengendalikan Ambar."
Lelaki berpakaian merah tersenyum lebar.
"Jangan khawatir, Wara Kuri. Apa yang
kau khawatirkan tidak akan terjadi. Senjata yang
kau sebutkan, tidak mempan terhadap Ambar. Di
perjalanan aku melihat Buluk Pitu sampai memaki kalang kabut dan membuang sebuah
benda yang ternyata bernama Keris Emas. Bahkan sempat
kudengar dia memaki-maki Ambar. Berarti, keris
itu tidak bisa digunakan untuk mempengaru-
hinya." Wajah Wara Kuri berubah, membesi. Biasan wajah dan sinar matanya
memancarkan rasa
tersinggung yang besar.
7 "Kau terlalu merendahkan pusaka keluarga
Wiraraja, Sobat. Apakah pusaka kau yang lebih
ampuh daripada pusaka itu" Kau tahu, Tuan Be-
sarku yang bernama Tuan Wiraraja memiliki pen-
getahuan luas. Dan keris yang kau rendahkan itulah yang dikatakan Tuan Wiraraja,
akan berhasil membuat mayat hidup itu tidak bangkit lagi untuk selamanya," kata
Wara Kuri, berapi-api.
Rasa tersinggung membuat ucapan Wara
Kuri kelihatan menggebu-gebu. Dan itu terlalu
memaksakan keadaan diri. Padahal, keadaannya
telah sangat payah, sehingga membuatnya batuk-
batuk darah. "Maaf, maaf. Bukannya aku bermaksud
demikian, Wara Kuri. Aku yakin pusaka itu am-
puh. Bahkan aku percaya, Tuan Wiraraja berkata
benar. Mayat Gautama akan roboh untuk selama-
lamanya, apabila terhunjam Keris Emas. Tapi per-lu kau ketahui, mayat yang
bangkit itu bukan
mayat Gautama. Tapi, mayat orang lain. Ambar
namanya." "Sama saja!" cela Wara Kuri "Bukankah
bangkitnya mayat itu, karena roh Tuan Muda
Gautama"!"
"Ucapanmu hanya benar sedikit, Wara Ku-
ri. Mayat Ambar tidak bangkit karena roh Tuan
Muda Gautama. Mayat itu bangkit karena ulah to-
koh seperti yang kuceritakan. Roh Gautama hanya mempercepat bangkitnya mayat
itu. Seharusnya,
sehari setelah dikuburkan, baru Ambar akan
bangkit. Tapi keberadaan roh Gautama, memper-
cepat kebangkitannya. Aku mempunyai alasan
kuat untuk hal ini. Buktinya, yang dicari mayat Ambar adalah orang-orang yang
telah membuatnya sakit hati. Kalau roh Gautama yang berada
dalam diri Ambar, pasti yang didahulukan adalah kepentingan Gautama!" jelas
lelaki berpakaian merah dengan sabar!
Wara Kuri diam.
"Mungkin kau benar, Sobat," kata kakek ini setelah terdiam sejenak. "Maafkan
atas sikapku yang tidak patut."
"Lupakanlah, Wara Kuri. Aku memaklumi
perasaanmu. Pergilah dengan tenang. Percayalah.
Kau tidak mempunyai beban batin lagi. Karena,
roh Gautama belum keluar. Dan mudah-mudahan
tidak keluar. Ada pun mengenai peti mati Wirara-ja, biar aku yang mengurusnya,"
janji lelaki berpakaian merah.
"Terima kasih, Sobat"
Dan kepala Wara Kuri pun terkulai. Kakek
ini meninggalkan dunia dengan hati belum tenang.
Sambil menghembuskan napas berat, lelaki ber-
pakaian merah itu bangkit. Kemudian kepalanya
menoleh ke belakang, pada Arya dan Setiaji yang sejak tadi menyaksikan
perdebatan. "Siapa kalian"! Apakah mempunyai hu-
bungan dengan urusan yang tengah kami hada-
pi"!" tanya lelaki berpakaian merah, penuh selidik.
"Aku Arya, dan kawanku ini Setiaji," jawab Arya, cepat
"Gadis yang kau sebut sebagai Ambar, ada-
lah bekas tunanganku. Sebelumnya, aku tidak terlibat dalam urusan ini. Tapi,
karena dia telah
membunuh istriku dan melakukan kekejian den-
gan membuntungi kakiku maka aku harus terlibat
dalam urusan ini. Bahkan dia mengancam akan
membinasakan ayahku. Hal inilah yang memba-
waku kemari. Mudah-mudahan saja beliau belum
mengalami kejadian yang ku khawatirkan."
Lelaki berpakaian merah menghela napas
berat "Lebih baik kalian urungkan niat kalau ingin selamat. Mayat hidup itu
tidak akan bisa di-tandingi. Dia memiliki kemampuan tak masuk ak-
al. Bahkan aku pun tak yakin akan bisa menga-
lahkannya. Meskipun demikian, tetap akan ku
usahakan untuk melenyapkannya selama-
lamanya." "Demikian pula denganku, Kek," timpal Arya, tenang. "Memang kuakui, Ambar
memiliki kemampuan luar biasa. Tapi, kewajiban untuk
mencegah terjadinya angkara murka di dunia per-
silatan, membuatku tidak mempunyai alasan lain.
Aku rela kehilangan nyawa untuk menegakkan
keadilan," tandas Dewa Arak.
"Begitu pula denganku!" sambut Setiaji mantap dan tegas.
Lelaki berpakaian merah tersenyum lebar.
Matanya menatap Arya dan Setiaji dengan sorot
mata kagum. Dia tahu, tengah berhadapan dengan
orang-orang muda berjiwa gagah dan tidak takut
menghadapi kematian.
"Kalian pemuda hebat! Pendekar-pendekar
yang tidak mementingkan diri sendiri. Aku senang berkenalan dengan kalian.
Namaku, Kerta Bumi.
Nama yang tidak terkenal karena aku hanya seo-
rang yang tinggal di gunung dan tidak pernah ber-kiprah dalam dunia persilatan.
Sayang, karena keadaan yang tidak memungkinkan, aku tidak bi-
sa berlama-lama bercakap-cakap dengan kalian.
Aku harus pergi untuk mencegah terjadinya hal
yang lebih mengerikan!"
"Apa yang hendak kau lakukan, Kek"!"
tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Mencegah ahli ilmu hitam yang kejam itu
dalam memperbudak Ambar demi kepentingannya
sendiri! Nah! Selamat tinggal!"
Tanpa menunggu tanggapan Arya dan Se-
tiap, Kerta Bumi melesat. Hanya dalam beberapa
kali lesatan, tubuhnya telah berubah menjadi titik hitam yang semakin lama
semakin kecil. Dan akhirnya, lenyap di kejauhan.
"Mari, Arya. Kita harus bergegas. Aku kha-
watir, Ambar akan tiba lebih dulu menjumpai
ayahku." "Mudah-mudahan saja tidak, Setiaji. Bu-
kankah dia tidak tahu tempat tinggal ayahmu se-
karang" Akan makan banyak waktu baginya un-
tuk menemukan ayahmu. Aku yakin, kita akan ti-
ba lebih dulu darinya."
Mulutnya berkata demikian, tapi Dewa
Arak mengayunkan kaki juga meninggalkan tem-
pat itu. Pemuda berambut putih keperakan ini melesat cepat, mengerahkan seluruh
kemampuan- nya. *** "Ayah...!"
Begitu melihat pondok kecil yang diketahui
sebagai tempat tinggal ayahnya, Setiaji telah berteriak keras. Meski Dewa Arak
saat itu tengah melesat menuju ke tempat itu, lelaki yang sudah tidak sabar lagi
langsung melompat dari atas pundak
Arya. "Ayah...!"
Setiaji kembali berseru tanpa menyembu-
nyikan perasaan khawatirnya, begitu telah tiba di ambang pintu. Sementara Arya
yang menyusul sekejap kemudian, mengerutkan kening ketika meli-
hat bagian dalam pondok yang porak-poranda ba-
gai dilanda angin besar. Pemuda ini tahu, ada
orang yang telah datang ke tempat ini dan menimbulkan kerusakan. Mungkinkah
Ambar"! Sedangkan Setiaji segera masuk ke dalam
pondok, memeriksa setiap ruangan yang ada sam-
bil berseru-seru memanggil ayahnya. Tapi sampai semua tempat dijelajahi, yang
dicari tetap tidak ditemukan.
"Ayahku tidak ada Arya," desah lelaki berpakaian kuning ini pada Arya yang
menatap ke arahnya dengan sinar mata penuh pertanyaan.
"Syukurlah. Itu berarti ayahmu selamat,"
sahut Arya, kalem.
"Hm..., Atas dasar apa kau berani menga-
takan demikian, Arya" Ketidakberadaan mayat
ayahku di sini"! Tidakkah kau lihat keadaan yang berantakan"! Dari sini saja
bisa diketahui ada
orang yang telah datang ke tempat ini, dan mem-
porak-porandakannya. Siapa lagi kalau bukan
Ambar"! Aku yakin, ketidakberadaan mayat ayah-
ku di sini, karena telah dibawa gadis liar itu untuk disiksa sebelum mati!"
tandas Setiaji berapi-api.
"Aku tidak yakin dengan tanggapanmu itu,
Setiaji," Arya bersikeras dengan pendapatnya. "Ka-
lau benar Ambar hendak menyiksanya untuk apa
ayahmu dibawanya. Dan itu hanya menyusahkan
diri. Aku lebih condong kalau dia menyiksa dan
membunuhnya di tempat ini. Tapi, itu bila benar seperti yang kau duga."
Arya dan Setiaji berbareng mengalihkan
perhatian ke luar pondok, begitu terdengar bunyi langkah kaki berat yang
mendekati tempat mereka berada. Dari sini bisa diduga kalau orang itu tidak
memiliki ilmu meringankan tubuh. Andaikata
punya paling hanya sekadarnya saja.
Sungguh pun demikian, Setiaji dan Arya ti-
dak kehilangan semangat untuk memeriksanya.
Mereka cepat melesat ke depan. Dan hanya den-
gan sekali lesatan, telah berada di depan pintu.
Orang yang melangkah sampai terjingkat
ke belakang bagai disengat binatang berbisa, ketika tahu-tahu dua sosok tubuh
berada di depan-
nya. "Paman Nanggal!" seru Setiaji gembira.
Sapaan itu membuat seorang lelaki berusia
sekitar empat puluh lima tahun wajahnya hitam
kecoklatan tak mampu menutupi pucat pasinya.
Yang semula kelihatan terkejut bukan main, jadi memperhatikan dua sosok di
depannya. Dia menatap tak percaya pada sosok Setiaji yang mengeluarkan teguran.
"Kau...,kau..., Aden Setiaji..."!" tanya Nanggal setengah tidak percaya.
Terutama sekali, ketika pandangannya ter-
tumbuk pada sepasang kaki lelaki itu yang telah buntung.
"Benar, Paman. Aku Setiaji. Bagaimana ka-
barmu, Paman. Apakah baik-baik saja"! Di mana,
Ayah"! Mengapa rumah ini demikian beranta-
kan"!" tanya Setiaji bertubi-tubi.
Wajah Nanggal berubah. Kelihatan bingung
sekali. "Aku baik-baik saja, Den. Tapi, tidak demikian ayahmu. Beliau mempunyai
nasib buruk se-
perti juga kau. Ah, Den Setiaji. Apa yang telah terjadi atas dirimu"! Mengapa
kedua kakimu bisa
demikian, Den"!"
"Nanti akan kuceritakan, apabila aku telah mempunyai kesempatan, Paman. Saat ini
aku tengah tergesa-gesa. Aku tidak ingin sesuatu terjadi atas diri Ayah.
Katakan, apa yang telah terjadi terhadap ayahku, Paman Nanggal"!"


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kejadiannya belum lama terjadi, Den.
Hanya berbeda waktu setengah hari denganmu.
Iblis itu datang dan mencari ayahmu. Aku tidak
tahu, apa yang terjadi sebelumnya. Karena aku tidak mau mencampuri urusan antara
mereka. Tapi sesaat kemudian, kudengar bunyi ribut-ribut. Ternyata, ayahmu telah bertarung
melawan iblis itu yang berkepandaian hebat sekali. Sebentar saja, ayahmu
terdesak hebat Dan akhirnya, dia roboh.
Kemudian, iblis itu membawanya. Aku takut seka-
li, Den. Maka, aku bersembunyi. Aku baru keluar, ketika kudengar bunyi gaduh
dari tempat ini lagi.
Kukira, iblis itu datang lagi untuk membunuhku.
Aku menjadi nekat, mendekati tempat ini. Dan
aku telah siap menyabung nyawa. Tak tahunya,
malah kau dan kawanmu ini yang datang. Ah! Be-
tapa leganya hatiku, Den. Hanya saja...."
"Bisa kau beritahukan padaku, bagaimana
ciri-ciri iblis itu, Paman"!" selak Setiap tak sabaran. "Apakah dia seorang
wanita"!"
"Benar, Den," Nanggal mengangguk. "Masih muda lagi...! Pakaiannya serba hitam.
Tetapi sepasang matanya yang mengerikan membuatku ta-
kut!" Setiaji dan Arya saling berpandangan. Da-
lam adu tatap yang hanya sebentar, mereka sama-
sama bisa menduga siapa orang yang membawa
mayat ayahnya Setiaji. Iblis yang dimaksud Nanggal itu adalah Ambar!
"Kau tahu ke arah mana iblis itu memba-
wanya lari, Paman"!" tanya Arya, tak sungkan-sungkan lagi menyapa seperti halnya
Setiaji. Arya tahu, kalau Nanggal ini sebenarnya
bukan Pamannya Setiaji. Melainkan, pembantu se-
jak Setiaji kecil.
Nanggal menggeleng. Setiaji dan Arya men-
geluh dalam hati. Tanpa adanya petunjuk yang jelas, mereka akan kehilangan jejak
Ambar. "Tapi, aku sempat mendengar ucapannya
setelah iblis itu berhasil membunuh dan memba-
wa ayahnya Den Setiaji. Di antara derai tawanya, iblis itu mengatakan kalau akan
membawa ayahmu pada ayahnya untuk mempertanggungjawab-
kan tindakannya."
Wajah Setiaji kontan berseri-seri.
"Terima kasih, Paman."
"Kau tahu, di mana tempat tinggal dua
orang tua Ambar, Setiaji"!" tanya Arya.
"Tentu saja! Mari kita ke sana!"
*** Brukkk! Bunyi berdebuk nyaring yang menjadi per-
tanda jatuhnya benda berat ke tanah, membuat
seorang lelaki tinggi tegap berkumis melintang
yang tengah bersemadi membuka matanya dengan
sikap kaget. Lelaki yang telah berusia sekitar lima puluh lima tahun ini
langsung melompat ke belakang, bersiap menghadapi sesuatu yang tidak di-
inginkan. "Kaget, Ayah"!"
Seruan melengking nyaring membuat lelaki
berkumis melintang ini semakin kaget. Suara itu amat akrab di telinganya, sejak
belasan tahun yang lalu. Suara yang selama ini dirindukannya.
Pandangannya di arahkan pada sosok yang men-
geluarkan seruan, setelah terlebih dulu menatap benda. yang menimbulkan bunyi
gaduh tadi. Benda itu ternyata sosok manusia yang te-
lah cukup dimakan usia. Bahkan ternyata dikenal baik oleh lelaki berkumis
melintang ini. Maka untuk ketiga kalinya lelaki ini terperanjat.
"Kau..., kau..., Ambar..."!" tanya lelaki berkumis melintang itu. Suaranya
menyiratkan keti-
dak-percayaan yang mendalam. Sepasang ma-
tanya menelusuri sekujur tubuh gadis berpakaian hitam yang berdiri di
hadapannya. "Ayah kira siapa"! Apakah Ayah mempu-
nyai anak lagi selain aku..."!
Sepasang mata lelaki berkumis melintang
berkaca-kaca. Bibirnya pun bergetar keras.
"Anakku..., Ambar.... Ah! Akhirnya kau
kembali juga, Nak..."!"
Lelaki ini bergerak menghampiri. Sementa-
ra Ambar menghambur menubruk tubuh ayahnya
dan membenamkan diri di pelukannya. Ayah dan
anak ini saling rangkul. Hanya saja, bila lelaki berkumis melintang tampak
terharu bukan main,
Ambar biasa-biasa saja. Tetap dingin.
Gadis ini diam saja ketika ayahnya sibuk
memelukinya. Bahkan beberapa saat kemudian,
tubuh lelaki tua itu didorongnya. Pelan tapi terasa.
"Ah...! Apa yang terjadi denganmu Ambar"!
Kau pergi demikian lama. Ayah berusaha menca-
rimu ke mana-mana, tapi selalu gagal. Karena pu-
tus asa, Ayah kembali kemari. Ayah pikir, apabila kau suatu saat merasa rindu
pasti akan datang ke tempat ini. Kau tahu, hanya ini tempat tinggal ki-ta."
"Aku datang kemari untuk memberi orang
yang telah ingkar janji pada ayah. Barangkali saja Ayah ingin menghukumnya,"
Ambar mengalihkan persoalan.
Lelaki berkumis melintang yang ternyata
ayahnya Ambar menautkan alis. Sekarang dia ba-
ru merasakan adanya kejanggalan ini. Tapi, dia tidak terlalu larut oleh perasaan
kaget dan tidak percaya. Sehingga, tidak melihat adanya keanehan. Sekarang
setelah perasaan-perasaan itu me-
reda, baru terlihat jelas.
"Apa maksudmu, Ambar"!" tanya lelaki
berkumis melintang, belum mengerti permasala-
han. Lelaki ini mengajukan pertanyaan sambil
menatap wajah anaknya penuh selidik. Perasaan
heran, takut, dan ngeri pun timbul. Ambar jauh
berbeda dengan yang dulu. Kendati wajahnya ma-
sih tetap cantik, tapi biasan wajah menyiratkan kebengisan. Bahkan sepasang
matanya memancarkan sorot mengerikan. Lelaki tegap ini bergidik.
Apa yang telah terjadi dengan putrinya"
8 "Kurasa lebih baik Ayah periksa bangsat
itu!" tuding Ambar pada sosok yang tadi dijatuh-kannya di depan ayahnya.
Lelaki berkumis melintang semakin heran.
Nada ucapan Ambar berbeda dengan yang dulu.
Demikian kasar! Kendati demikian, keinginan agar
tidak menimbulkan masalah di saat pertemuan
yang seharusnya dirayakan dengan gembira,
membuat dia mengikuti perintah putrinya.
Tambah lagi, lelaki ini belum sempat mem-
perhatikan lebih seksama sosok yang tadi mem-
buat semadinya buyar. Lelaki ini merasakan jan-
tungnya berdetak jauh lebih cepat ketika baru disadari kalau telinganya tadi
tidak mampu menden-
gar bunyi langkah Ambar. Bahkan kedatangannya
pun sama sekali tidak diketahuinya, sampai gadis itu sendiri yang memberitahukan
kedatangannya. Ini berarti, Ambar memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa dahsyatnya! Sampai
sedemikian tinggikah kemajuan yang didapat Ambar dalam
waktu singkat"
Dan pertanyaan dalam hatinya kontan
membuyar ketika lelaki berkumis melintang ini
mulai memperhatikan sosok yang berada di de-
pannya dalam keadaan menelungkup. Bentuk tu-
buh itu serasa dikenalnya.
Perasaan itu, membuat lelaki ini mengge-
rakkan kaki kanan ke tanah satu kali. Maka tu-
buh yang tertelungkup segera terguling hingga
menelentang. "Garuda Mata Emas..."!" desis lelaki berkumis melintang kaget, ketika mengenali
sosok yang telentang. Seorang kakek kecil kurus, ber-
muka merah dan bermata kuning.
"Benar, Ayah," Ambar mengangguk. "Dia Garuda Mata Emas. Kawan Ayah yang telah
berani-beranian menghina keluarga kita, dengan men-
gingkari janji yang telah dibuatnya sendiri."
Lelaki berkumis melintang ini tertegun se-
bentar. Pandangannya berganti-ganti menatap
Ambar dan Garuda Mata Emas. Dia masih bin-
gung, membayangkan mengapa Ambar bisa mem-
bawa Garuda Mata Emas sebagai tawanan. Pa-
dahal lelaki ini tahu betul, siapa Garuda Mata
Emas. Seorang tokoh golongan putih yang memili-
ki kepandaian tinggi. Bahkan hatinya tidak yakin mampu mengalahkan kakek bermata
kuning itu. Lalu, bagaimana caranya Ambar bisa menjadikan-
nya sebagai tawanan"! Mungkinkah Ambar telah
memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Garuda Mata Emas"! Tapi, mungkinkah
itu"! Rasanya
mustahil! "Bagaimana, Ayah" Mengapa Ayah malah
tercenung" Tidak senangkah Ayah akan tindakan-
ku ini" Aku sengaja membawa si keparat ini ke-
mari agar Ayah sendiri yang memberi hukuman
padanya," tegur Ambar membuat pertanyaan di hati laki-laki itu buyar.
Lelaki berkumis melintang bergidik. Dira-
sakannya ada nada dingin dalam kata-kata Am-
bar. Sebagai orang yang telah lama berkecimpung dalam dunia persilatan, dia tahu
kalau nada seperti itu biasa keluar dari mulut orang-orang golongan hitam.
Orang-orang yang telah kehilangan perasaannya. Hal ini membuatnya semakin heran.
Apa yang telah terjadi dengan putrinya hingga
sampai seperti ini"
Lelaki berkumis melintang mulai memper-
hatikan lebih jauh. Dan dia pun mulai menemu-
kan keanehan lain. Wajah Ambar tampak pucat
dan dingin, sehingga kelihatan menyeramkan.
Apalagi, jika ditambah sepasang mata yang memi-
liki sorot aneh mengerikan. Seketika bulu kuduknya meremang berdiri.
"Berilah keputusan, Ayah. Atau, Ayah me-
nyerahkan hukuman itu padaku"! Jangan khawa-
tir, Ayah. Aku akan memberi siksaan yang akan
membuat tua bangka itu menyesal!" kata Ambar
lagi dengan nada tidak sabar melihat ayahnya belum juga memberi tanggapan.
"Omongan macam apa itu, Ambar"!"
Kemarahan lelaki berkumis melintang ini
akhirnya meledak.
"Kau terlalu buta oleh dendam dan sakit
hati! Itulah sebabnya, kau tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah! Dendam membuatmu kurang ajar dan lancang! Justru kau-
lah yang akan ku hukum atas hinaan-hinaan yang
kau lontarkan pada Garuda Mata Emas!" dengus laki-laki ini.
Sepasang mata Ambar kontan berkilat-
kilat. Sinarnya mulai bersemu kehijauan. Ayahnya sampai tercekat melihat hal
ini. "Keanehan apa lagi yang akan kulihat?" batin lelaki ini berbicara.
Namun dengan cepat, lelaki ini menghi-
langkan rasa aneh yang dialami.
"Kau tahu, Ambar. Garuda Mata Emas ti-
dak bersalah! Dia telah berusaha semampunya
agar janjinya bisa terwujud. Tapi, Setiaji, calon jo-dohmu itu tetap berkeras
dengan penolakannya.
Bahkan dia rela diancam untuk tidak diakui sebagai anak! Garuda Mata Emas tak
kalah menderita
daripada kita, Ambar. Dia malu karena tak bisa
memenuhi janji. Bahkan sampai kehilangan seo-
rang anak. Penderitaan batinnya berat. Dan sekarang, kau masih hendak
menghukumnya"! Kau
pun telah dengan lancang memaki-makinya! Be-
baskan dia, Ambar. Dan kau pun harus minta
maaf padanya."
Tanpa menyahuti, Ambar segera berbalik.
Pandangannya ditujukan pada sebuah batu di luar rumah. Lalu...
Blarrr! Sebongkah batu sebesar gajah yang berada
empat tombak di sebelah kiri depan Ambar hancur lebur. Ternyata sinar hijau dari
mata gadis itu menerpanya. Ambar yang tidak bisa lagi menahan
amarahnya, menujukan sinar hijau itu pada batu
untuk melampiaskan amarahnya.
Lelaki berkumis melintang sampai terjing-
kat kaget melihat hal ini. Apa yang dilihat, baru pertama kali dalam hidupnya.
Belum pernah ada
tokoh persilatan yang sakti bagaimanapun, mam-
pu menghancurkan batu besar dengan sinar dari
mata! Tapi, kenyataannya Ambar mampu melaku-
kannya! "Mungkin perlu kuberitahukan padamu,
Ayah. Kedatanganku kemari bukan meminta nasi-
hat. Apalagi, ceramahmu. Aku datang untuk me-
nyerahkan keparat yang telah ingkar janji ini pada Ayah. Dan kau harus
menghukumnya. Kalau kau
tidak bersedia, biar aku yang akan melakukan-
nya." "Tidak, Ambar!" cegah lelaki berkumis melintang tegas, seraya berdiri di
antara Ambar dan tubuh Garuda Mata Emas. "Tak akan kubiarkan kau melakukan
tindakan tersesat itu! Sebelum
kau membunuh Garuda Mata Emas, kau harus
melangkahi mayatku dulu!"
Ambar mundur selangkah. Tanggapan
ayahnya benar-benar di luar dugaannya. Semula
dikiranya, ayahnya akan dengan senang melaku-
kan tindakan untuk membalas sakit hati. Nya-
tanya, Ambar kecele!
Ambar memang telah menjadi mayat hi-
dup. Tapi rasa hormat terhadap ayahnya di saat
masih hidup, ternyata tidak sirna. Oleh karena itu, tantangan lelaki berkumis
melintang membuatnya
bingung. "Mengapa mundur"! Bukankah sekarang
kau telah menjadi orang sakti"! Mengapa takut"!
Ayo maju! Bunuh aku!"
Lelaki berkumis melintang malah mende-


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sak-desak. Dia terus melangkah maju. Tindakan
ini memaksa Ambar untuk mundur terus.
"Ha ha ha...!"
Terdengar bunyi tawa bergelak. Mendadak
di saat Ambar terus mundur. Sementara, ayahnya
terus maju mendesak.
Ambar dan ayahnya terkejut. Hampir ber-
bareng, keduanya menoleh ke arah asal suara. Di sana telah berdiri seorang kakek
kecil kurus berjenggot panjang. Tangan kanannya buntung mulai
dari pergelangan.
"Diam kau...!" Lelaki berkumis melintang membentak. "Segera tinggalkan tempat
ini, Sobat. Tidak pantas mencampuri urusan antara seorang
ayah dan anaknya!"
Kakek berjenggot panjang tertawa bergelak.
"Sudah mau mampus masih banyak lagak!
Ambar! Bunuh dia...!"
Ambar yang sejak kedatangan kakek ber-
jenggot panjang itu menatap dengan sinar mata
penuh dendam, tubuhnya langsung tersentak ke-
tika mendengar kata-kata si kakek. Perhatiannya terkesima bagai patung batu.
Tapi, hanya sebentar saja. Kini Ambar menatap ayahnya.
"Ayah, cepat tinggalkan tempat ini! Cepat, sebelum terlambat!" seru Ambar. Tiba-
tiba timbul rasa kekhawatiran di hatinya.
Lelaki berkumis melintang membaui
adanya bahaya. Dia tahu, pasti ada hubungannya
dengan kedatangan kakek berjenggot panjang ini.
Maka setelah menatap kakek itu dan Ambar ber-
ganti-ganti "Heaaa...!"
Ayah Ambar berteriak keras laksana bina-
tang buas terluka. Kemudian dia melompat mener-
jang. "Ambar...! Cegah dia! Bunuh..,!"
Kakek berjenggot panjang berteriak dengan
suara mengandung getaran kuat.
Ambar yang sejak tadi merasa khawatir,
sekujur tubuhnya tiba-tiba menjadi bergetar. Lalu dengan geraman keras, tangan
kanannya dijulur-kan seperti karet hingga panjangnya dua kali lipat.
Arah yang dituju adalah ayahnya.
Tappp! Lelaki berkumis melintang tercekat hatinya
ketika pergelangan kakinya yang sebelah kiri terasa ada yang menangkap. Hal ini
membuat lompa- tannya terhenti di tengah jalan.
Bresss! Tanpa memberi kesempatan lagi, Ambar
langsung membanting tubuh ayahnya
Bantingan yang keras, membuat sekujur
tulang-belulang lelaki berkumis melintang itu terasa bagai rontok. Saat itu,
Ambar yang telah berada dalam pengaruh kakek berjenggot panjang
mengirimkan serangan maut dengan mempergu-
nakan matanya. Namun belum sempat sinar itu menghan-
tam, tubuh ayahnya Ambar tahu-tahu bergerak
bagai ditarik sesuatu yang tak nampak.
Blarrr! Tanah tempat kakek berkumis melintang
tadi ambrol ketika sinar hijau itu menghantam.
"Ambar...! Kau benar-benar anak durha-
ka...!" seru sesosok bayangan.
Ambar menggeram keras penuh kemara-
han melihat campur tangan dua sosok yang telah
menolong ayahnya. Yang seorang duduk di pun-
dak seorang pemuda berambut putih keperakan.
Dan mereka tak lain dari Dewa Arak dan Setiaji!
Baru saja Setiaji membentak, kembali
membersit sinar hijau dari mata Ambar. Sasaran-
nya, jelas dia dan Dewa Arak.
"Awas, Arya...!" seru Setiaji memperin-gatkan. Dewa Arak yang telah mengetahui
kedah- syatan dua larik sinar itu tidak berani bertindak gegabah. Maka cepat dia
melompat menghinda-rinya. Ambar merasa geram bukan kepalang keti-
ka melihat serangannya gagal menemui sasaran.
Segera disusulinya dengan serangan berikut seca-ra bertubi-tubi. Maka, Dewa Arak
pun dibuat si- buk bukan main. Tubuhnya berlompatan ke sana
kemari untuk menyelamatkan diri.
Cukup menarik gerakan-gerakan Dewa
Arak. Dia seperti bermain-main dalam menghinda-
ri sinar-sinar hijau yang berasal dari sepasang ma-ta Ambar. Terlambat sedikit
untuk mengelak, be-
rarti maut "Gautama...!"
Di antara sibuknya pertarungan yang ter-
jadi antara Dewa Arak dengan Ambar, terdengar
panggilan. Tidak keras, tapi mampu mengatasi ke-riuh-rendahan yang ada.
Aneh! Ambar tiba-tiba menghentikan se-
rangannya. Kepalanya cepat menoleh ke arah asal suara sapaan.
Arya dan Setiaji yang ikut menoleh juga,
tercekat hatinya ketika melihat ke arah asal suara.
Mereka melihat satu sosok dengan sekujur tubuh-
nya telah rusak dan tidak bisa dikenali. Bau bu-
suk yang menyengat hidung menjadi pertanda ka-
lau sosok ini adalah mayat hidup. Bahkan sempat, beberapa ekor belatung
menggeliat-geliat di beberapa bagian tubuh sosok yang telah rusak itu
"Ayah...."
Terdengar suara serak dan parau, yang
ternyata berasal dari mulut Ambar. Sebuah suara yang pantas dikeluarkan seorang
lelaki. Sementara itu kakek berwajah kuning yang
memiliki jenggot panjang kelihatan gelisah bukan main. Dia mulai membaui adanya
hal-hal yang tidak beres. Menurutnya mayat hidup yang baru da-
tang ini, bisa membuat segalanya menjadi kacau.
Di lain pihak, Setiaji dan Arya memperha-
tikan penuh rasa tertarik. Mereka agak heran dan bingung melihat perkembangan
yang tidak disangka-sangka. Mengapa Ambar disapa dengan
nama Gautama" Dan anehnya, mengapa gadis itu
menyapa mayat hidup yang baru datang ini seba-
gai ayah" Arya yang cerdik langsung teringat cerita
Wara Kuri. Gautama yang dimaksud mayat hidup
yang sekujur tubuhnya telah hancur ini, pasti
Tuan Muda Gautama. Dan berarti mayat hidup ini
yang tiba-tiba muncul adalah Tuan Besar Wirara-
ja" Yang menjadi pertanyaan, mengapa Ambar ta-
hu-tahu bertindak sebagai Gautama"
Sementara itu, kakek berjenggot panjang
yang melihat adanya ancaman terhadap keberha-
silan usahanya, tidak membuang-buang waktu la-
gi. Sambil mengeluarkan teriakan keras menggelegar, diterkamnya mayat hidup yang
diduga Tuan Besar Wiraraja.
"Gautama, cepat bertindak. Tunggu apa
lag!"! Cepat! Ini kesempatan terakhir! Atau..., kau ingin rohmu menderita
selamanya"!" ujar mayat
hidup yang telah membusuk itu lagi.
Ambar yang dipanggil Gautama, bergetar
sekujur tubuhnya seperti terkena demam tinggi.
Jelas, kata-kata mayat yang telah membusuk itu
mempunyai pengaruh besar terhadapnya.
Beberapa saat sebelum serangan kakek
berjenggot panjang yang berupa babatan golok besar ke arah leher mencapai
sasaran, Ambar ber-
tindak cepat menggiriskan. Langsung dikirimnya
serangan berupa dua larik sinar hijau ke arah kakek berjenggot panjang.
Keberadaan tubuhnya di
udara, dan tidak adanya tempat berpijak, yang
membuat serangan Ambar tidak bisa dielakkan-
nya. Wesss...! Crasss!
"Aaaa...!"
Terdengar jeritan menyayat ketika tubuh
kakek berjenggot panjang hancur lebur terterpa
sinar hijau. Kepingan tubuhnya yang berceceran
jatuh di muka bumi. Mati.
"Sekarang, kembalilah ke tempatmu semu-
la berada, Gautama," ujar mayat hidup itu lagi.
"Baik, Ayah," sahut roh Gautama yang tidak mempunyai pilihan lain lagi, karena
takut dengan ancaman hukuman yang dijatuhkan pa-
danya. Sekejap kemudian, dari atas kepala Ambar melesat cepat sinar berwarna
terang kekuningan
ke udara kemudian lenyap.
Saat yang tepat, mayat hidup yang dikenal
sebagai Tuan Besar Wiraraja bertindak cepat. Di-ambilnya sebatang pisau dari
selipan pinggangnya.
Kemudian, senjata tajam itu dilemparkan ke arah Ambar yang masih berdiam diri.
Settt! Dewa Arak dan Setiaji kaget bukan main.
Mereka ingin berbuat sesuatu untuk mencegah,
tapi tidak sempat yang dapat dilakukan hanya
menatap dengan mata terbelalak lebar. Dan....
Crapp! "Aaakh...!"
Ambar yang masih berdiri di tempatnya ba-
gai patung, menjerit tertahan ketika pisau me-
nembus dada kirinya, tepat menusuk jantung. Se-
telah menggigil sejenak, tubuhnya roboh ke tanah seperti sehelai karung basah
dengan mata melolot.
Tewas untuk yang kedua kalinya.
"Ambar...!"
Lelaki berkumis melintang yang juga ayah-
nya Ambar menghambur sambil menjerit memilu-
kan. "Ayah...!"
Setiaji juga ikut menghambur. Hanya saja
tujuannya ke arah Garuda Mata Emas.
Sedangkan Arya menatap mayat hidup
pembunuh Ambar. Sikapnya siap tarung.
"Masalah sudah selesai, Arya. Ingat! Aku
adalah lelaki berpakaian merah. Terpaksa rohku
kulepas dan masuk ke dalam mayat Tuan Wiraraja
untuk membereskan keangkaramurkaan ini," jelas mayat hidup yang telah membusuk
itu. "Bukankah katamu yang merajalela me-
nyebar maut adalah Ambar yang akan dijadikan
budak oleh seorang ahli ilmu hitam"!" desak Arya, ingin tahu.
"Benar. Dan orang yang mati hancur itu
adalah ahli ilmu hitam yang ku maksud. Dia ber-
juluk Iblis Pemuja Setan. Niat jahatnya iblis itu tidak berhasil baik. Bahkan
menjadi bumerang buat dirinya sendiri. Itu karena kelalaiannya. Dia tidak tahu
kalau di samping roh Ambar, masih ada roh
Gautama. Dan roh Gautamalah yang menyebab-
kan Ambar bangkit kembali lebih cepat dari seharusnya. Meski demikian, roh Ambar
tetap berkua- sa. Apalagi, Gautama juga tidak ingin menyeraka-hi tempat yang bukan miliknya."
"Sekarang aku mengerti," kata Arya sambil mengangguk. "Ambar yang memang sudah
dipatok oleh Iblis Pemuja Setan untuk menjadi budaknya, tidak bisa menolak.
Maka, kau tadi mengancam
roh Gautama yang tidak berada di bawah penga-
ruh ahli ilmu hitam itu. Dan juga, kekuatan roh Gautama cukup dahsyat. Sewaktu
roh Gautama pergi, roh Ambar masih belum pulih kesadaran-
nya. Saat itulah kau bertindak. Luar biasa! Kau memang hebat, Sobat"
"Terima kasih atas pujiannya. Meski demi-
kian, tanpa bantuanmu mana mungkin aku bisa
berhasil"!"
Usai berkata demikian, mayat hidup Tuan
Wiraraja mengalihkan perhatian ke arah lain.
Tampak Setiaji dan lelaki berkumis melintang tengah sibuk dengan urusan masing-
masing. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Badai Awan Angin 5 Siluman Goa Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Pedang Bengis Sutra Merah 1
^