Pencarian

Istana Karang Langit 1

Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit Bagian 1


ISTANA KARANG LANGIT Oleh Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
Dalam episode 001 :
Istana Karang Langit
128 hal. Http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Sang surya merambat pelan, untuk
kemudian tenggelam di ujung laut sebelah barat. Bersamaan dengan itu, di
bentangan kaki langit sebelah timur,
samar-samar sang rembulan berwarna merah jingga mengintip dari lintasan awan.
Sinarnya yang kemerahan mulai semarak
mengusap permukaan bumi.
Pada saat yang demikian, di pinggir
pantai Laut Utara yang bergelombang
dahsyat terlihat dua sosok tubuh berdiri dengan sikap tegang menghadap ke laut.
Ternyata mereka adalah seorang laki-laki dan perempuan.
Yang laki-laki berbaju putih agak
kusam. Wajahnya kuning pucat. Kulit
mukanya tampak dipenuhi kerutan pertanda usianya tak muda lagi. Kumisnya hitam
legam, lebat, dan panjang. Sehingga dia nampak seperti tak ber-bibir. Rambutnya
yang panjang melambai-lambai
dipermainkan angin laut. Namun yang
membuatnya kelihatan angker adalah,
wajah yang kuning pucat itu hanya
memiliki mata di sebelah kiri! Sedangkan sebelah kanan hanya merupakan rongga
yang menjorok ke dalam.
Sedangkan yang perempuan berwajah
tak beda dengan laki-laki di sampingnya.
Kuning pucat. Kulit wajahnya juga telah dihiasi garis-garis ketuaan. Anehnya
kulit wajahnya bertolak belakang dengan kulit dan bentuk tubuhnya. Kulit
tubuhnya tampak putih mulus dan kencang.
Bentuk tubuhnya padat. Pinggulnya besar dan dada membusung menantang. Tubuh
perempuan yang terbungkus pakaian putih tipis serta ketat ini tampak begitu
menggiurkan. Di alas lobang hidung
sebelah kanan, tampak melingkar
anting-anting warna hitam dari akar
laut. Bibirnya tipis, berwarna merah
saga. Meski tak muda lagi, tubuh mereka
tampak kokoh. Tak ada suara yang keluar dari keduanya seolah tak menghiraukan
air laut yang telah membasahi kaki dan pakaian bagian bawah. Pandangan mereka
lurus ke laut. Tampak di sana seorang
nelayan sedang mendayung sampan merapat ke pinggir pantai.
Begitu sampan telah merapat,
laki-laki bermata satu itu melangkah
mendekat. "Hei! Aku ingin pinjam sampanmu!"
teriak laki-laki bermata satu pada sang nelayan yang akan beranjak turun dari
sampan. Begitu menoleh sang nelayan sedikit
terkejut. Bibirnya coba tersenyum, namun terlihat kecut.
"Meminjam bagaimana, Den?" tanya sang nelayan dengan sedikit membungkuk hormat.
"Bawa aku dan temanku ke tengah
laut! Kami ingin menikmati indahnya
bulan purnama di sana...!"
"Wah! Maaf, Den. Aku telah dua hari melaut! Istri dan anakku tentu telah
cemas menunggu! Jadi, aku harus
cepat-cepat sampai rumah! Lagi pula...."
"Hm.... Aku tahu. Tapi, jasamu tidak cuma-cuma," potong laki-laki bermata satu.
"Yang Aden maksud...?"
Dari balik baju putihnya, laki-laki
bermata satu mengeluarkan sebuah logam berwarna kuning. Di bawah jilatan cahaya
rembulan, logam itu tampak berkilauan.
Kemudian kakinya melangkah dua tindak, seraya menyodorkan logam kuning yang
ternyata uang emas pada sang nelayan.
Begitu melihat uang emas, mata sang
nelayan kontan terbeliak seolah tak
percaya. Kemudian matanya beralih
memandang lekat-lekat ke arah laki-laki bermata satu di depannya, seakan minta
jawaban. Melihat sang nelayan masih
termangu, laki-laki bermata satu
meloncat menarik tangan sang nelayan.
Lalu ditaruhnya uang logam di telapak
tangan laki-laki setengah baya itu.
Sebentar kemudian laki-laki bermata satu telah meloncat ke atas sampan dengan
gerakan indah sekali. Sang Nelayan yang tangannya ditarik, mau tak mau ikut
meloncat dengan gerakan seadanya. Tanpa berkata pula, perempuan berpakaian putih
dan tipis itu ikut loncat ke atas sampan.
Tak lama kemudian, sampan telah
bergerak pelan menuju tengah laut.
"Sunti! Jika tak mendayung sendiri, aku khawatir kita akan terlambat...!"
kata laki-laki bermata satu, sambil
menoleh ke arah perempuan di sampingnya.
Perempuan bernama Sunti ini hanya
memandang dan mengangguk.
Bersamaan dengan anggukan kepala
Sunti, laki-laki bermata satu beranjak ke depan, mendatangi sang nelayan yang
tengah mendayung dengan perlahan.
"Huh! Kulihat kau lelah! Biar aku saja yang mendayung! Kau
istirahatlah...!" ujar laki-laki
bermata satu. Lagi-lagi tanpa menunggu jawaban,
laki-laki bermata satu mengambil dayung dari tangan sang nelayan. Sementara
Sunti tak tinggal diam. Begitu sang
nelayan melangkah dan duduk, perempuan itu beranjak mendekati laki-laki bermata
satu. Segera diambilnya salah satu dayung dari tangan kiri sang laki-laki.
Saat itu juga, sampan meluncur cepat
begitu dua orang ini menghujam-hujamkan dayung yang terbuat dari kayu ke arah
gelombang laut yang mengganas. Sampan
pun lerus membedah kedahsyatan ombak,
membanting-banting para penumpangnya.
"Hm.... Di batu karang yang
menjulang paling tinggi itulah bajingan itu mendekam!" tunjuk laki-laki bermata
satu seraya memandang tak berkedip ke
arah batu karang menjulang di tengah laut dengan satu matanya.
"Semoga tidak salah alamat, Kakang Sangsang. Agar perjalanan kitayang jauh ini
tak sia-sia!" sahut Sunti sambil menoleh ke arah laki-laki bermata satu yang
dipanggil Sangsang.
"Hm.... Jika kita sampai di ternpat lebih cepat dari perkiraan, berarti
harus menunggu sesaat. Dan kesempatan
itu bisa digunakan untuk menyelidik!"
gumam Sangsang masih tak mengalihkan
pandangan. Sunti tak menyahuti.
"Hm.... Aku melihat tanda-tanda
keganjilan di puncak batu karang itu!
Lihat...!" sambung laki-laki bermata satu, sambil mengarahkan telunjuk tangan
kiri ke batu karang tinggi yang diapit beberapa batu karang.
Beberapa batu karang yang bagai
berputar mengelilingi batu karang yang menjulang tinggi itu tampak hitam
kemerahan disaput cahaya bulan purnama.
Namun pada bagian tengahnya bagai luput dari terpaan cahaya sang rembulan,
karena tersaput kabut dan terbuntal asap putih. Sehingga bentuknya menyerupai
bongkahan awan besar yang mengapung diatas lautan.
"Meskipun Kakang melihat dengan
hanya satu mata, namun aku tak ragu. Aku yakin, pandangan Kakang lebih tajam
dari pada pandangan orang bermata dua!"
sahut Sunti yang bertubuh sintal seraya mengerling nakal.
Sangsang mengalihkan pandangan ke
arah Sunti. Matanya yang hanya satu
menusuk tajam ke arah dada perempuan itu. Kumisnya yang lebat bergerak-gerak
sedikit, mengikuti sunggingan bibir yang tersenyum di baliknya.
Sementara itu, meski matanya lurus
ke depan, Sunti sepertinya tahu jika
sedang dipandang. Dadanya yang kencang dan berbentuk bagus tampak sengaja
dibusungkan. Apalagi, kain putih
tipisnya melekat tertiup angin laut yang kencang. Namun, mendadak Sunti
memberengut. Kala menoleh, ternyata
laki-laki di sampingnya telah kembali
memandang ke depan. Sementara tangannya sibuk menghujamkan dayung ke gelombang
laut di bawahnya.
Sambil mendengus kesal, perempuan
itu kembali mengarahkan pandangan ke
depan sambil mengayunkan dayung. Sampan ini lebih deras melaju ke depan, menuju
batu-batu karang yang mengurung batu
karang tinggi menjulang dan berkabut.
Tak lama, sampan itu mencapai salah
satu batu karang. Namun belum sampai
merapat, Sangsang dan Sunti telah
melompat ringan. Begitu mendarat, tubuh ke-duanya telah tegak di atas sebuah
batu karang. "Pulanglah, Ki. Anak dan istrimu
pasti telah cemas menunggu!" teriak laki-laki bermata satu dari atas batu
karang pada sang nelayan yang ternyata telah tertidur!
Sang nelayan terkejut, lantas
buru-buru bangkit. Namun belum juga
tubuhnya tegak, Sangsang telah
mendorongkan telapak tangannya ke depan.
Saat itu juga serangkum angin deras
melesat ke arah sang nelayan yang hanya terkesiap dengan mata mendelik.
Brasss! "Aaakh...!"
Angin deras pukulan laki-laki
bermata satu telah menghajar dada sang nelayan.
Disertai jeritan tertahan, tubuh
sang nelayan terbanting keras mengantuk sampan. Kembali terdengar lenguhan
keluar dari mulutnya. Matanya sayu
menatap, dan perlahan-lahan memejam. Dan bersamaan
itu, tubuhnya tak
bergerak-gerak lagi. Mati!
"Kita harus waspada, Nyai!" gumam Sangsang tanpa menoleh. "Di tempat seperti
ini, tak mustahil si bangsat Wong Agung memasang jebakan-jebakan
mematikan!"
Sunti sepertinya tak mengindahkan
kata-kata laki-laki bermata satu. Ia
malah mendekat dan dengan mulut
mendesah. "Di sini udara begitu dingin.
Bagaimana kalau kita menghangatkan tubuh sejenak" Lagi pula...," kata Sunti,
lirih. "Nyai!"
Belum selesai Sunti meneruskan
kata-katanya, laki-laki bermata satu
telah menyela tanpa menoleh.
"Tiga dasawarsa aku menyiapkan
segalanya! Tiga dasa warsa kita memendam bara! Dan..., saat ini adalah akhir
dari masa penantian panjang! Aku sudah tak
sabar ingin menjajal ilmu yang
kuperdalam selama ini! Dan aku ingin
orang pertama yang merasakan ilmuku,
adalah penghuni batu karang itu! Wong
Agung...!"
Terdengar ada kegeraman dalam nada
suara Sangsang yang berat. Kulit mukanya yang mengeriput sedikit mengencang.
Mata satu-satunya berkilat membeliak,
"Simpan dahulu amarahmu, Kakang!
Kita masih harus menunggu hingga tiba
saatnya!" sahut perempuan tua bertubuh sintal itu, meredakan amukan amarah
Sangsang. Sunti lantas melangkah ke depan
Jaki-laki itu. Lidahnya dikeluarkan
sedikit, lantas dijilatkan ke bibirnya yang tipis dan merah saga.
Melihat Sangsang seperti tak
peduli, perempuan tua bertubuh sintal
itu segera melingkarkan tangannya. Dan dadanya yang tampak mulai turun naik
ditempelkan ke dada Sangsang.
Laki-laki bermata satu sedikit
kaget. Raut mukanya berubah seketika.
Darahnya menggelegak, jantungnya
berpacu lebih kencang. Sehingga tubuhnya panas bagai dipanggang bara. Dan
pandangannya segera dialihkan ke arah
wanita di depan hidungnya.
Perlahan-lahan pula tangannya bergerak, menakup punggung perempuan di depannya.
"Batu karang masih terendam
gelombang pasang. Malam pun belum
beranjak. Sebaiknya kita tunggu hingga gelombang surut. Dan waktu menunggu bisa
dipergunakan untuk...."
Tak sampai ucapan Sunti selesai,
Sangsang telah menundukkan wajahnya yang telah tampak memerah dan hangat.
Dilumatnya bibir tipis Sunti dengan
bibirnya. Dan tangannya digeser ke arah dada yang membukit indah.
Di antara tingkah deru ombak, kini
tampak tubuh basah keduanya menyatu.
Sesekali terdengar desahan napas panjang dan memburu.
Malam merambat makin jauh. Dan
perlahan-lahan di ujung laut sebelah
timur, langit tampak berubah warna.
Cahaya kuning kemerahan sang mentari
mulai merebak, menyibak gulita malam.
Bersamaan dengan itu, batu karang
tempat laki-laki bermata satu dan
perempuan tua bertubuh sintal berada,
tampak terang. Ke arah mana mata melihat, kini jelas tampak sedikit membuka
satu-satunya mata yang dimiliki,
Sangsang mendadak mcncekal bahu Sunti di pelukannya.


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kila harus bergerak sekarang,
Nyai!" ujar Sangsang, parau.
Tapi perempuan tua bertubuh sintal
itu rupanya tak mendengar kata-kata
Sangsang. Bahkan dadanya yang kini
tampak terbuka dan masih
berguncang-guncang dirapatkan kembali.
"Kakang! Tiga puluh tahun kita
mendekam dalam jurang Lebak Weden!
Selama itu pula, siang dan malam waktu kita hanya tersita untuk berlatih dan
memperdalam ilmu. Sekarang ada
kesempatan. Kuharap Kakang tak
menyia-nyiakan kesempatan ini!
Teruskanlah, Kakang...!" desah Sunti dengan tengadah memandang dagu Sangsang.
Laki-laki bermata satu menunduk.
Kumisnya yang lebat bergerak-gerak.
Sementara Sunti memejamkan matanya.
Namun karena lama tak juga ada gerakan yang diharapkan, matanya membuka. Dan
kali ini sang perempuan terkejut.
Mata satu milik Sangsang tampak
merah dan memandang tanpa nafsu. Bahkan raut mukanya merah padam. Rahangnya
mengembang. Dari bibirnya yang tertutup kumis terdengar dengusan.
"Ingat, Sunti! Kita akan menghadapi pertempuran! Dan kini saat itu telah
tiba! Simpan dulu gejolak nafsumu! Jika tidak, kau akan tahu akibatnya!"
Mendengar ancaman itu buru-buru
Sunti melepaskan rangkulannya.
Kepalanya ditarik dari dada bidang
Sangsang. Dan tanpa menutup dadanya yang masih turun naik dan terbuka, kakinya
mundur dua langkah dengan kepala
menunduk. "Sunti! Kita tunda dulu permainan ini! Kurasa untuk mencapai puncak batu karang,
kita masih harus mengeluarkan
tenaga!" ujar laki-laki itu agak pelan saat Sunti beringsut dengan sedikit
ketakutan. "Ngg..., mengapa Kakang berkata
begitu?" tanya perempuan tua bertubuh sintal itu, memandang agak heran.
Laki-laki bermata satu ini tak
menjawab. Hanya pandangannya diarahkan ke batu karang yang mulai terlihat,
seiring menghilangnya kabut dan asap
putih yang menyelimuti.
Batu karang itu tinggi menjulang.
Dan sisi-sisinya hanya merupakan batu
karang lurus ke atas, tanpa tanjakan dan gundukan. Sehingga sisi-sisi itu
menyerupai dinding tembok sebuah
bangunan. Sunti sejenak terbelalak. Lantas
ditutupnya kembali kain bajunya yang
terbuka dan berumbai-rumbai tertiup
angin. "Jika demikian halnya, sebelum
kabut dan asap putih membungkus kembali, kita memang harus bergerak sekarang!"
kata Sunti, akhirnya.
Belum selesai perempuan itu
menyelesaikan kata-katanya, Sangsang
telah berkelebat melangkahi beberapa
selat kecil di antara batu-batu karang.
Dan Sunti segera mengikuti.
Melihat gerakan ringan bagai bulu
tertiup angin, bisa dibayangkan tingkat ilmu meringankan tubuh mereka.
Hanya beberapa kali lesatan,
Sangsang dan Sunti telah tiba pada sebuah batu karang yang berseberangan dengan
batu karang yang menjulang tinggi.
"Kita harus, bergabung untuk
melewati batu karang lurus itu, Sunti!
Kerahkan ilmu 'Iblis Pencakar Langit'!"
perintah laki-laki bermata satu. Tanpa pikir panjang, perempuan tua bertubuh
sintal itu melepas ikat pinggang warna kuning yang melilit pinggangnya.
Sekali kebut, ujung ikat pinggang
telah tergenggam di tangan kiri
Sangsang. Bersamaan dengan itu tapak tangan kanan Sangsang dan tapak tangan kiri
Sunti yang terbuka telah terangkat ke
atas. Lalu hanya sekali jejak yang
disertai bentakan menggemuruh, tubuh
mereka melayang melewati pinggiran batu karang yang lurus bagai tembok.
Begitu keduanya telah berdiri tegak
di pelataran batu karang yang menjulang, matahari telah berada satu tombak dari
permukaan laut.
"Wong Agung keparat! Keluarlah dari selimut hangatmu! Hari telah siang!
Sambutlah kedatangan kami yang akan
mengantarmu ke akherat...!" teriak Sangsang lantang dengan pandangan mata
satunya ke arah sebuah bangunan batu yang berada tiga puluh tombak di depan.
Teriakan lantang yang disertai
tenaga dalam tinggi itu terdengar
menggelegar. Sehingga batu karang men-
julang itu terasa bergetar bagai terkena hempasan ombak teramat dahsyat! Bahkan
ombak yang datang meng-gulung ke arah
batu karang di bawah, terhenti barang
sesaat. Tak ada sahutan. Hanya debur ombak
terdengar bergemuruh menyelingi.
"Keluarlah, Tua Bangka! Terimalah takdir kematianmu hari ini...!"
Kembali laki-laki bermata satu itu
berteriak lantang, manakala tetap tak
ada sahutan dari dalam bangunan batu di depannya. Sementara masih juga belum ada
tanda-tanda kalau orang di dalam
bangunan batu akan keluar.
"Hm.... Rupanya kau telah berubah menjadi pendekar ayam sayur, Wong Agung!
Tak heran kalau kau takut menghadapi
kedatangan kami...!" teriak Sunti tak kalah menggelegarnya.
Agaknya teriakan mereka kali ini tak
sia-sia. Karena....
"Sangsang...! Sunti...! Ada perlu apa kalian datang ke Karang Langit
mengusik ketenanganku..."!"
Mendadak terdengar sahutan dari
bangunan batu di depan mereka. Suara itu menggema dan begitu dekat. Sehingga
Sangsang dan Sunti sedikit terlonjak
kaget. Tak dapat dipungkiri, kalau si
empunya suara pastilah orang yang
berilmu tinggi.
"Bajingan tua! Harap panggil kami Sepasang Iblis Pendulang Sukma! Kau tahu itu,
bukan..."!"dengus laki-laki
bermata satu itu dengan menahan marah.
"Hm.... Sangsang! Sunti! Kalian
masih gila gelar rupanya! Boleh...,
boleh...! Tapi harus ingat! Kalian
berdua adalah juga sepasang manusia yang berbuat mesum sesama saudara
seperguruan...! Kalian tahu itu,
bukan..."!"
Terdengar kembali suara dari dalam
bangunan tanpa terlihat sosok yang
keluar. "Jahanam bedebah! He..., Tua
Bangka! Keluarlah kau! Jangan bisanya
hanya main sembunyi!" bentak Sangsang sambil membaka tangannya. Lalu seketika
itu pula disentakkannya ke depan.
Blarrr...! Sebongkah batu besar yang teronggok
di depan bangunan batu, hancur
berantakan terkena hembusan angin
pukulan jarak jauh Sangsang.
"Ha... ha... ha...! Kau tak perlu menggasak batu itu, jika hanya
menginginkan aku keluar menemui kalian!"
Entah dari mana keluarnya,
tahu-tahu di depan bangunan batu itu
telah berdiri seorang laki-laki tua
berjubah ungu dengan tatapan dingin ke arah Sangsang dan Sunti yang berjuluk
Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
Rambutnya yang putih disanggul. Kumis
dan jenggotnya yang panjang berwarna
kemerahan. Meski kulit wajahnya telah
tersaput kerutan, namun sisa-sisa
ketampanan jelas nampak. Dialah sosok
yang dipanggil Wong Agung.
"Kalian belum jawab pertanyaanku!
Apa keperluan kalian datang ke
tempatku?" tanya Wong Agung tenang sambil tersenyum.
"Hm.... Usia telah memakan
ingatanmu rupanya, hingga kau pikun, Tua Keparat!" gumam laki-laki bermata satu
itu, disertai seringai dingin.
"O, jadi kalian akan memperpanjang kisah tiga puluh tahun silam"!" tanya Wong
Agung sambil tertawa terkekeh
sehingga gigi-giginya yang masih utuh
dan putih nampak mengkilat terjilat
sinar matahari.
"Hm.... Kau semakin cerdas, Jahanam Tua!" sela Sunti sambil memutar-mutar ikat
pinggangnya. "Hm... Kalau itu yang kalian
inginkan, sungguh sayang! Aku tak bisa melayani kalian! Aku telah mengundurkan
diri dari gelanggang persilatan. Aku
ingin mengisi hari-hari tuaku, dengan
ketenangan tanpa kekuasaan. Jadi,
silakan meninggalkan tempat ini!" ujar Wong Agung.
"Ha... ha... ha.... Sia-sia kami
melakukan perjalanan panjang. Apalagi
telah menanti sekian lama. Dan kini kami hanya kau sambut dengan ucapan sok
sucimu itu, Tua Keparat!" geram Sangsang dengan siap menyerang.
"Hari-hari tuaku malah tak tenang sebelum bisa mengirimmu ke sangkar
kematian, Tua Bangka..!" Sunti ikut angkat bicara. Matanya tak beralih nanar
menatap bola mata Wong Agung.
Suasana hening sejenak. Tak ada
suara terdengar dari tiga sosokyang kini hanya saling pandang. Nyanyian burung
laut yang biasa menyambut sang mentari pun seakan tak terdengar. Mereka seperti
sadar akan ada tanding ulang seperti tiga puluh tahun silam yang menggegerkan
dunia persilatan, antara seorang tokoh pembela kebenaran dari Karang Langit
bernama Wong Agung melawan sepasang
tokoh sesat yang berjuluk Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
"Bersiaplah, Tua Bangka! Hiaaa...!"
Terdengar suara menggemuruh
membangunkan keheningan dari mulut
Sangsang. Salah satu dari Sepasang Iblis Pendulang Sukma itu telah memulai
serangan dengan mendorongkan telapak
tangan yang dialiri tenaga dalam dahsyat ke arah Wong Agung.
Namun Wong Agung cepat memiringkan
tubuhnya ke samping kiri, menghindari sambaran angin deras dan panas yang
meluruk ke arahnya. Sayangnya, tak luput bias angin pukulan tadi sempat
memerahkan matanya, sehingga sejenak
matanya dikerdip-kerdipkan.
Mendapati serangannya begitu mudah
dielakkan, Sangsang menyambung dengan
membuat lompatan tiga kali. Sehingga, tubuhnya berada satu tombak di hadapan
Wong Agung. Dan begitu menginjak batu
karang, kaki kanannya ditebaskan ke
leher Wong Agung.
Wong Agung menghindari tebasan itu
dengan menekuk sedikit kakinya.
Sehingga, tubuhnya sedikit melorot ke bawah. Hasilnya serangan Sangsang hanya
menerpa angin, sejengkal di atas kepala.
Sangsang makin geram. Wajahnya
merah padam. Giginya terdengar
bergemeletak. "Kau ternyata masih gesit, Tua
Bangka! Tapi, terimalah ini...!"
Bersama hilangnya bentakan,
Sangsang merangsek kepalan tangan ke
arah dada. Kembali Wong Agung hanya menghindar
dengan mendoyongkan tubuhnya ke samping, hampir menyentuh batu karang. Namun
sungguh janggal terlihat mata. Tubuh
Wong Agung yang doyong hampir menyentuh batu karang, tetap lurus bagai disangga!
Tapi tiba-tiba Sangsang membuat
gerakan berputar. Dan kakinya deras
menyapu ke arah kaki Wong Agung.
Wut! Sayang, terlambat! Sebelum kaki
Sangsang sempat menghantam, Wong Agung telah menyentakkan tangannya ke batu
karang. Sehingga tubuhnya yang doyong
melenting ke udara. Lalu dengan ringan kakinya mendarat di samping bongkahan
batu yang telah hancur.
Tiga serangan yang ganas dan
mematikan telah dilancarkan Sangsang.
Namun sejauh ini Wong Agung hanya
berkelit menghindar, dan belum ada
tanda-tanda untuk balas menyerang:
Dalam hati, Wong Agung pun tak luput
sedikit tertegun. Sungguh tak disangka ketika mendapati serangan Sangsang
demikian hebat yang dibarengi tenaga dalam begitu kuat. Sungguh tak diduga, jika
kepandaian salah satu dari Sepasang
Iblis Pendulang Sukma yang pernah
dipecundangi tiga puluh tahun silam,
kini telah maju.
*** Tiga puluh tahun silam, waktu itu
Sepasang Iblis Pendulang Sukma termasuk tokoh sesat jajaran atas. Namun, tingkat
kepandaian serta kedigdayaan mereka
masih di bawah Wong Agung. Sehingga sepak terjang mereka masih bisa diatasi.
Memang, waktu itu tokoh-tokoh sesat
memegang kendali gelanggang persilatan.
Sementara tokoh-tokoh golongan putih
yang berusaha menghadang gerak laju
keangkaramurkaan, satu persatu rontok di tangan orang-orang golongan hitam.
Dan kalaupun berhasil selamat, lantas
menghilang tak tentu rimbanya.
Pada saat yang sudah keruh itulah
muncul seorang tokoh golongan putih yang tingkat kepandaiannya sulit ditandingi.
Sepak terjangnya membuat tokoh-tokoh
hitam jajaran atas satu demi satu
terguling. Sejak itu dunia persilatan kontan
tersentak dan geger oleh kemunculan


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tokoh muda golongan putih yang segera
menjadi buah bibir. Di mana ada
ketidakadilan, kelaliman, dan
kesewenang-wenangan, tokoh muda itu
pasti muncul dan segera dapat
menguburnya. Tapi sejauh itu orang-orang dunia
persilatan hanya tahu asal tokoh muda
itu. Yakni, sebuah batu karang menjulang yang diapit beberapa batu karang di
tengah Laut Utara. Akan halnya, siapa
nama tokoh muda itu, hingga saat itu
belum ada yang tahu. Sampai akhirnya,
dunia persilatan menjulukinya Wong Agung dari Karang Langit.
Karena merasa terdesak
kedudukannya, tokoh-tokoh golongan
hitam lantas mengadakan Gelar Pandega, untuk memilih tokoh yang pantas
dijadikan pemimpin dalam menghadapi Wong Agung dart Karang Langit. Daluk-datuk
sesat dari seluruh penjuru angin
diundang. Setelah terjadi pertarungan
panjang selama satu purnama penuh, maka muncullah nama Sepasang Iblis Pendulang
Sukma sebagai Pandega. Dan seperti telah disepakati bersama, akhirnya pasangan
tersebut resmi diangkat sebagai pemimpin tokoh golongan hitam.
Demi mengangkat kembali kekuasaan
golongan hitam, mereka pun lantas
mengundang berlaga tokoh-tokoh golongan putih untuk menentukan siapa yang layak
memegang kendali dunia persilatan. Dan Jurang Gladak Perak adalah tempat yang
ditentukan untuk berlaga.
Merasa terpanggil untuk
menyelamatkan dunia persilatan dari
genggaman tangan orang-orang sesat, Wong Agung turun gelanggang. Pada akhirnya,
di Jurang Gladak Perak Wong Agung harus bertarung melawan Sepasang Iblis
Pendulang Sukma yang waktu itu sebagai pentolan golongan hitam.
Setelah pertarungan panjang dan
melelahkan, akhirnya Sepasang Iblis
Pendulang Sukma dapat dipecundangi Wong Agung. Malah mata kanan Sangsang, salah
satu dari Sepasang Iblis Pendulang
Sukma, terkena pukulan Wong Agung hingga mengakibatkan kebutaan. Sementara.
Sunti terluka dalam.
Sebagai seorang pendekar, Wong
Agung tak hendak menghabisi musuh yang sudah tak berdaya. Dibiarkannya Sepasang
Iblis Pendulang Sukma mengundurkan diri dari gelanggang.
Maka, sejak itulah tokoh-tokoh
hitam lainnya perlahan-lahan mulai surut dan tenggelam. Dunia kembali damai dan
tenteram. Namun sejak itu pula, Wong
Agung menghilang tak tentu rimbanya.
Hilang bagai tenggelam ditelan bumi.
Bahkan hingga ketika tokoh-tokoh sesat muncul kembali pengusik kedamaian, Wong
Agung yang selalu dirindukan tak juga
kunjung datang.
Sementara itu, latar belakang
kehidupan Sepasang Iblis Pendulang Sukma bermula dari dua orang saudara
seperguruan. Yang laki-laki bernama
Sangsang. Wajahnya tampan. Tubuhnya
kekar dan berotot. Matanya tajam. Cerdik namun juga licik. Sedangkan yang
perempuan bernama Sunti. Parasnya
cantik. Kulitnya putih. Pinggulnya besar dan bagus, dengan dada membusung
menantang. Namun sifatnya cepat jatuh
cinta, dan tak bisa mengekang hawa nafsu.
Hingga suatu ketika kedua saudara
seperguruan ini terlibat perbuatan mesum yang menjijikkan.
Setelah turun gunung dan bergabung
dengan tokoh-tokoh golongan hitam, dua orang ini menamakan diri Sepasang Iblis
Pendulang Sukma. Kemudian begitu
terpilih sebagai Pandega kaum hitam,
mereka terlibat pertarungan di Jurang
Gladak Perak dengan Wong Agung. Setelah kalah, akhirnya keduanya kembali ke
tempat sang guru di Lebak Weden.
Sang guru adalah juga termasuk tokoh
sesat pada zamannya. Julukannya, Manusia Titisan Iblis. Karena, ia memiliki
sebuah kitab bernama Kitab Dua Belas
Titisan Iblis yang jadi rebutan beberapa tokoh silat waktu itu.
Setelah sembuh dari luka-lukanya,
Sepasang Iblis Pendulang Nyawa memaksa agar sang guru segera menurunkan Kitab
Dua Belas Titisan Iblis. Namun, Manusia Titisan Iblis selalu mengulurkan
waktu. Sehingga, kedua murid ini
menghabisinya secara licik. Yakni,
memberikan racun pada minumannya. Si
Manusia Titisan Iblis akhirnya tewas di tangan kedua murid murtad ini.
Sejak saat itulah Sepasang Iblis
Pendulang Nyawa menghabiskan
hari-harinya di jurang Lebak Weden,
mempelajari Kitab Dua Belas Titisan
Iblis. *** Kini setelah tiga puluh tahun
mendekam, Sepasang Iblis Pendulang Sukma muncul kembali. Selain ingin membalas
kekalahannya atas Wong Agung, sekaligus bertekad mengendalikan dunia
persilatan. Meski mereka telah mempelajari
Kitab Dua Belas Titisan Iblis, namun
untuk menggulung Wong Agung bukanlah hal mudah. Ini dapat dilihat dan dibuktikan
ketika tiga serangan mematikanyang
dilancarkan Sangsang terhadap Wong
Agung, dapat dielakkan. Bahkan ketika
Wong Agung mulai membalas serangan,
Sangsang tampak terteter dan terdesak.
Pada satu kesempatan, Wong Agung
menyilangkan kedua tangan sejajar dada.
Lalu seketika mendorongnya kuat ke
depan. Saat itu juga dari kedua tangan Wong Agung meluruk dua kekuatan disertai
angin menderu tajam. Begitu cepat
serangan itu meluncur, sehingga....
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Sangsang kontan terjengkang
sepuluh tombak ke belakang disertai
keluhan tertahan. Darah langsung
merembes dari bibir melalui kumisnya
yang lebat. Ia mengerang sebentar sambil memegangi bahunya yang terkena pukulan
Wong Agung. Tapi, tubuhnya segera
bangkit. Matanya yang cuma satu menusuk tajam.
Untuk pertama kalinya Wong Agung
sedikit terkejut, mendapati Sangsang
bangkit dan hanya mengerang sebentar. Ia hampir tak percaya. Karena pukulan yang
dilancarkannya dan telak mengenai bahu laki-laki bermata satu itu adalah
pukulan Topan Menerjang Badai tingkat enam yang dimilikinya.
"Keluarkan semua pukulanmu, Wong
Agung! Ha... ha... ha...!"
Cepat Wong Agung membuka telapak
tangannya dan memutar-mutarnya di atas kepala. Itulah pukulan tingkat tujuh
Topan Menggulung Bumi. Begitu tapaknya berputar, terdengar desingan angin
kencang ber-gulung-gulung. Saat itu juga Wong Agung menyorongkan tangan kirinya.
"Heaaah...!"
Seketika angin bergulung cepat
melesat ke arah Sangsang. Tapi kali ini laki-laki bermata satu itu telah siap.
Ketika gulungan itu hampir tiba, kedua tangannya dihantamkan dari samping
pinggang ke depan.
"Heaaa.."
Blarrr! Batu karang tinggi menjulang itu
bagai dilanda gempa manakala hantaman
terjadi benturan dahsyat.
"Sunti! Tiba waktunya...!"
Tiba-tiba Sangsang berseru kepada
perempuan yang dari tadi masih berdiri mematung. Usai memberi perintah, kakinya
mundur selangkah sambil bersedekap.
Bret! Bret! Tanpa disangka, tiba-tiba perempuan
tua bertubuh sintal itu merobek
pakaiannya tepat di dada. Maka tak ayal, dua buah bukit yang masih bagus dan
membusung itu terlihat jelas. Sambil
tersenyum dan memutar ikat pinggang,
Sunti melenggang maju.
Wong Agung kontan menutup kedua mata
dengan tapak tangannya sambil mundur
beberapa langkah. Pada saat itulah
Sangsang merangsek disertai
bentakan-bentakan menggemuruh.
Wong Agung kaget dan membuka telapak
tangannya. Tapi, hantaman tangan
Sangsang lebih cepat melanda dadanya
yang terbuka. Bres! Tubuh Wong Agung langsung
terbanting menyuruk batu karang. Bajunya bagian dada robek dan kulitnya tampak
membiru. "Kau tak akan tahan lama jika
terkena pukulan 'Iblis Merenggut Sukma'
yang baru kulancarkan tadi, Wong Agung!"
ejek Sangsang sambil berkacak pinggang ketika Wong Agung mulai merambat
bangkit. Benar yang dikatakan Sangsang.
Ketika tubuh Wong Agung belum sepenuhnya tegak, darah kehitam-hitaman tersembur
dari mulutnya. "Hooaaik!"
Byuarrr! Begitu berhasil berdiri, Wong Agung
menatap Sangsang dengan pandangan dingin seraya memegangi dadanya.
"Iblis licik! Kalian telah berhasil menguasai kitab curian itu rupanya...!"
membatin Wong Agung. "Dan..., benar apa yang dikatakan Paman Selaksa! Dua orang
ini telah mencuri Kitab Dua Belas Titisan Iblis, setelah menewaskan si Manusia
Iblis...."
"Bagaimana, Wong Agung..." Benar
bukan kata-kataku..."!"
"Licik! Kalian tak akan pernah
memperoleh kemenangan tanpa berbuat
licik!" dengus Wong Agung terdengar sengau dan sember.
"Nyawamu telah di tenggorokan, Wong Agung! Tak sudah banyak bicara...!
Terimalah saat kematianmu...!" sergah Sangsang seraya menoleh dan mengangguk
pada Sunti. Bet! Bet! Saat itu juga, hembusan angin panas
segera menyapu, tatkala perempuan yang dadanya terbuka mulai menyabetkan ikat
pinggang sambil mendekati Wong Agung.
Meski terluka dalam, Wong Agung
tetap tenang. Bahkan ia menanti serangan dengan memasang kuda-kuda.
Wuk! Manakala sabetan ikat pinggang
melesat ke arah lehernya, sambil tetap memegang dada Wong Agung melentingkan
tubuhnya ke udara. Tapi Sunti rupanya tak memberi kesempatan sedikit pun.
Begitu tubuh Wong Agung akan
menjejak batu karang perempuan itu
segera saja menyabetkan ikat
pinggangnya. Hingga untuk beberapa saat, tubuh Wong Agung kembali berputar-putar
di udara. Menyaksikan hal itu, Sangsang
menangkupkan kedua tangannya sejajar
dada. Dari telapak tangannya yang
menakup tampak mengepulkan asap tipis.
Aroma bunga melati mulai merebak,
mengiringi kepulan asap.
Begitu mencium aroma bunga melati,
mendadak Sunti menarik ikat pinggangnya ke belakang, menghentikan serangan.
Sementara itu Wong Agung yang sedari
tadi berjumpalitan di udara, segera
mendaratkan kakinya di atas batu karang.
Bersamaan dengan itulah, tapak tangan
Sangsang membuka dan menghantamkannya ke arah Wong Agung yang baru mendarat.
Desss! Tubuh Wong Agung yang baru menginjak
batu karang, dan belum bisa menguasai
keadaan sepenuhnya, kontan terhempas ke belakang. Luncuran tubuhnya baru
berhenti setelah mengantuk tiang batu
penyangga bangunan. Tiang dari batu
karang yang juga berperan sebagai tiang penyangga bangunan kontan hancur
berderak. Tubuh Wong Agung yang berada di bawahnya, tak ampun tertimbun
reruntuhan batu karang.
Kini dengan langkah panjang,
Sepasang Iblis Pendulang Sukma maju
mendekat. Dan ketika kepala Wong Agung tampak menyembul dari bawah reruntuhan,
Surti menyabetkan ikat pinggangnya ke
arah mata kiri. Sementara Sangsang
menghantamkan tangannya ke arah mata
kanan Wong Agung.
Wong Agung yang sudah tak berdaya,
hanya bisa menerima pasrah. Hingga....
Bet! Des! "Akh...! Akh...!"
Dua pekikan tertahan terdengar dari
mulut Wong Agung yang langsung lunglai di atas reruntuhan batu karang sambil
memegangi kedua matanya yang berdarah.
"Ha... ha... ha...Persoalan kita
telah selesai, Sunti!
Tutup auratmu! Kita tinggalkan
tempat ini sebelum air laut pasang!" seru Sangsang sambil menatap dingin Wong
Agung yang menggeletak.
Laki-laki bermata satu itu lantas
berbalik dan melangkah membelakangi.
"Tapi, Kakang..."!" tukas Sunti menjajari Sangsang.
"Jangan khawatir! Dia tak akan tahan sampai malam hari kata laki-laki itu
lirih. Matanya langsung membelalak ke
arah dada perempuan itu yang belum juga tertutup.
Ketika matahari satu jengkal di
ujung laut sebelah barat, dua sosok
bayangan tampak melayang turun dan batu karang yang tinggi menjulang dan mulai
berkabut. 2 Senja baru saja menyusup di balik
punggung Gunung Semeru! Gelap mulai


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang, menggapai puncak gunung dan
sekitarnya. Di lereng gunung, tepatnya di perbatasan sebuah hutan kecil yang
hanya ditumbuhi pohon-pohon karet dan
pinus, tampak sebuah bangunan besar yang kelihatan sudah tua.
Ditilik dari bentuk bangunan serta
papan nama di depan yang sudah lapuk dan keropos serta menggantung tak terawat,
dapat diduga kalau bangunan tua ini
adalah sebuah Perguruan Silat. Nama yang tertera di papan, Perguruan Samudera
Putih. Di kalangan persilatan perguruan ini dikenal berkiblat pada golongan
putih. Meski malam baru saja menjelang,
ternyata di sekitar perguruan itu tak
terdengar suara orang-orang yang sedang berlatih kanuragan.
Bangunan itu dari luar nampak sepi,
bagai tak berpenghuni. Namun jika
melihat lebih ke dalam, maka suasana akan menjadi lain. Karena meski hanya
diterangi bintang-bintang tanpa
munculnya sang rembulan sepotong pun, di halaman tengah perguruan tampak
beberapa orang sedang bersila. Tangan mereka
bersedekap sejajar dada yang tegak lurus dengan kepala tertunduk.
Mereka membentuk tiga barisan.
Salah seorang yang berjubah putih
terlihat duduk di depan berhadapan
dengan beberapa orang berpakaian
putih-putih yang membentuk sap-sap.
Orang yang duduk paling depan dengan
jubah putih, berumur setengah baya.
Wajah yang dihiasi jenggot selalu
tersenyum, berkesan wibawa. Memang, dia adalah Ketua Perguruan Samudera Putih.
Orang persilatan memanggilnya Aki
Lempungan. "Kita cukupkan latihan pernapasan malam ini!" terdengar suara berat dan
berwibawa dari Aki Lempungan.
Maka serentak beberapa pemuda
berpakaian putih-putih menegakkan
kepala dan menjura hormat.
"Gatra...! Mana Aji...'"!" tanya Aki Lempungan pada salah seorang pemuda yang
masih duduk bersila tepat
dihadapannya. "Ada di biliknya, Guru...," jawab pemuda yang dipanggil Gatra dengan
sedikit mengangguk.
Dari tempatnya bersila Aki
Lempungan bangkit. Raut mukanya tampak sedikit berubah, ketika mendengar
jawaban Gatra. Matanya sejenak menyapu ke seluruh halaman, tempat beberapa
pemuda berpakaian putih duduk bersila.
Ditariknya napas panjang, hingga bahunya sedikit terangkat.
"Baik...! Kalian istirahatlah...!"
desah Aki Lempungan sambil berbalik
membelakangi halaman dan bergegas masuk ke ruangan.
Sementara, para pemuda yang tadi
duduk bersila, kini segera bangkit.
Mereka lantas berjalan memasuki kamar
masing-masing di perguruan ini.
"Anak bengal! Aku tak habis pikir, kenapa hati anak itu tak juga tergerak untuk
belajar ilmu silat...."
Aki Lempungan bicara sendiiri
sambil membelok-kan langkahnya ke arah lorong yang menuju beberapa bilik di
bagian belakang bangunan perguruan. Di depan sebuah bilik, laki-laki setengah
baya itu menghentikan langkah. Kembali ditariknya napas panjang.
"Aji...! Apa kau ada di dalam...?"
panggil laki-laki berjubah putih ini.
Tak terdengar sahutan dari dalam
bilik. "Aji...! Apa kau ada di dalam...?"
ulang Aki Lempungan dengan sedikit
mengeraskan suara.
Karena belum juga ada jawaban, Aki
Lempungan mengangkat tangannya.
Langsung didorongnya pintu bilik.
Matanya sedikit menyipit manakala pintu bilik terbuka, karena seberkas sinar
lampu teplok menerpa wajahnya.
Aki Lempungan lantas melangkah
masuk, begitu pintu bilik terbuka.
Pandangannya segera menebar ke seluruh ruangan bilik, yang hanya terbuat dari
pelepah nyiur kelapa.
Disinari warna merah lampu teplok,
di atas sebuah bangku panjang terbuat
dari bambu, tampak seorang anak muda
berusia belasan tahun tidur telentang
dengan dengkur keras dan teratur. Tubuh pemuda ini tak begitu kekar. Rambutnya
yang panjang melewati tengkuk
awut-awutan tak teratur. Tapi, wajahnya tampak tampan.
"Aji...!" panggil Aki Lempungan sambil mendekati bangku panjang.
Pemuda yang tidur di bangku panjang
menggeliat Lalu dua matanya
diusap-usapnya sebelum bangkit duduk dan melonjorkan kakinya.
"Ng.... Paman Guru..."!"
Agak terkejut pemyda itu manakala
matanya melihat orang berjubah putih
yang tegak di hadapannya. Buru-buru
kakinya diturunkan, lantas menjura
hormat. Aki Lempungan tersenyum sedikit.
Matanya memandangi lekat-lekat pemuda
tanggung yang sedikit menunduk.
"Hm.... Bagaimana, Aji..." Apa kau masih juga belum tertarik dengan ilmu
silat..."!" tanya Aki Lempungan, membuka suara.
Pemuda yang dipanggil Aji
mendongakkan kepala. Matanya menyorot
tajam, menusuk bola mata Aki Lempungan di hadapannya.
"Ng.... Anu, Paman.... Maafkan
aku.... Sampai sekarang ini aku belum
tertarik ilmu silat...," jawab Aji pelan.
"Hm.... Sungguh amat disayangkan
jika kau masih belum berubah pikiran,
Aji...!" gumam laki-laki berjubah putih ini dengan geleng-geleng kepala.
"Maalkan aku, Paman Guru...."
"Aku bisa saja memaafkanmu...!
Karena, belajar ilmu silat memang tidak diharuskan. Tapi..., jika teringat pesan
mendiang ibumu yang menitipkan kau
padaku, aku kadang-kadang merasa
bersalah. Mendiang ibumu berpesan, agar aku mendidikmu menjadi orang baik.
Sekaligus, mengerti ilmu silat.
Yahhh..., paling tidak agar kau dapat
menjaga diri...!"
"Tapi, Paman...."
"Aku tahu..., kau pasti akan
mengatakan bahwa belajar ilmu silat akan membawa orang takabur memandang rendah
orang lain, serta biang keladi
pertumpahan darah. Itu yang sering kau ucapkan, bukan?" tukas Aki Lempungan.
Aji hanya menunduk dan menyisir
rambutnya dengan jari-jari tangannya.
"Apa yang kau anggap tak semuanya benar, Aji.... Semuanya berpulang pada orang
yang memilikinya! Bahkan orang tak punya kepandaian ilmu silat, bisa
menumpahkan darah. Malah, juga bisa
sombong! Pikirkan itu! Aku tak akan gigih menuntutmu belajar ilmu silat jika
mendiang ibumu tak berpesan padaku...!
Ini demi kebaikanmu, Nak..,!"
Setelah berkata begitu, Aki
Lempungan bergegas melangkah
meninggalkan bilik, diiringitatapansayu mata Aji.
*** Waktu terus bergulir seiring muncul
dan tenggelamnya sang matahari.
Perguruan Samudera Putih yang terletak di lereng bukit, pagi itu tampakseperti
biasa. Beberapa pemuda tanggung terlihat mencangkul. Sebagian ada yang membelah
kayu, dan sebagian lagi tampak sedang
membawa lesung untuk mengambil air dari pancuran di dekat lembah.
Memang, Ketua Perguruan Samudera
Putih tak hendak mengajari
murid-muridnya untuk hidup
bermalas-malasan. Semua murid
dibebaninya tugas. Begitu matahari tepat di atas kepala dan setelah
menyelesaikan tugas masing-masing, barulah mereka bisa istirahat melepas
kepenatan. Begitu
hari-hari yang dilalui Aji, walaupun
sampai saat ini belum ikut belajar ilmu silat.
Siang ini, tepatnya setelah tadi
malam didatangi Aki Lempungan, pikiran Aji diselimuti perasaan gundah dan
gelisah. Tak dapat disangkal. Sejak Aji
menetap dan masuk sebagai keluarga besar Perguruan Samudera Putih, ia adalah
satu-satunya murid yang enggan bahkan
tak pernah ikut belajar ilmu silat.
Berkali-kali saudara-saudara
seperguruan, bahkan Aki Lempungan
sendiri telah mendorongnya agar mau
belajar ilmu silat. Namun sejauh ini, ia masih berpaku pada pendiriannya. Bahwa,
ilmu silat hanya akan membawa malapetaka dan kehancuran.
"Aji...."
Mendadak sebuah panggilan
membuyarkan lamunannya. Dengan mata sayu tak bergairah dan wajah kusut masai,
kepalanya menoleh ke arah datangnya sua-ra panggilan. Dan begitu tahu siapa yang
memanggil, buru-buru tubuhnya cepat
berbalik dan mengangguk hormat.
"Oh..., Paman Guru...," desah Aji sambil tersenyum yang dipaksa-paksakan,
menutupi kegelisahannya.
"Jangan terlalu kau pikirkan
ucapanku tadi malam, Aji...! Aku bicara begitu, karena merasa sudah kehabisan
cara untuk merubah pendirianmu...!" ujar Aki Lempungan, kala melihat Aji tak
bergairah, dan tercenung sendirian.
"Aku mengerti, Paman...."
"Hm.... Bagus! Sekarang kau tak
perlu gelisah lagi! Dan aku menyerahkan semua keputusan padamu. Mau belajar ilmu
silat boleh, tidak juga boleh.
Terserahlah...! Mungkin kau punya cara tersendiri untuk mempertahankan diri,
jika suatu saat dihadapkan pada masalah demi mempertahankan hidup!" sambung Aki
Lempungan dengan sedikit tersenyum.
"Ng..., Paman Guru..., bolehkah aku tanya sesuatu?" susul Aji seraya
mengangkat kepala dan menatap laki-laki berjubah putih itu.
"Tanya...?"
Aki Lempungan tertawa. "Kenapa
tidak..." Kau mau tanya apa..."!"
"Ng..., Paman! Pernahkah Paman Guru bertarung?"
"Ha... ha... ha.... Pertanyaanmu aneh, Aji! Kau menanyakan pertarungan.
Tapi, kau sendiri tak mengerti ilmu
silat. Apa perlunya..."!"
"Hanya ingin tahu saja, Paman
Guru...," sela Aji saat Aki Lempungan masih terkekeh-kekeh.
Ketika tawanya berhenti, tiba-tiba
kening laki-laki setengah baya itu
berkerut. Sehingga alis matanya yang
sebagian sudah memutih beradu.
"Hm.... Di sinilah kesalahanmu,
Aji! Kau menyebut pertarungan...!
Padahal, bagi seseorang yang berwatak
pendekar dan ksatria, tak ada istilah
pertarungan. Jadi..., jika seorang
pendekar yang berilmu tinggi terlihat
dalam suatu bentrokan, maka yang ada
hanyalah perjuangan mempertahankan
hidup atau perjuangan membela kebenaran.
Lain itu, tidak! Dan itu adalah suatu
yang mulia, Aji! Lagi pula perjuangan
seperti itu akan selalu dikenang, walau sudah berpuluh tahun berlalu...! Kau
pernah dengar nama Wong Agung dari Karang Langit" Itulah salah satu misal.
Meskipun sudah berpuluh tahun, namun
namanya hingga kini masih dikenang
orang. Bahkan semua orang kini
merindukan kemunculannya kembali, demi menegakkan kebenaran dan memberantas
keangkara murkaan yang sudah merasuk
seluruh pelosok bumi. Sekarang, tidak
adakah dalam benakmu suatu keinginan
untuk menjadi seorang pendekar yang
selalu dikenang karena keluhuran
budinya, serta selalu dirindukan
kemunculannya untuk memberantas
keangkara murkaan.."!" papar Aki
Lempungan panjang lebar. Aji hanya
termangu. "Hm.... Sudahlah, Aji. Kau tak
tertarik ilmu silat. Kau juga mungkin tak akan terusik omonganku tadi...!"
"Tapi...."
"Ah..., sudahlah!" potong Aki Lempungan. "Aku tadi mencarimu, karena akan
kusuruh menemani Gatra ke kotapraja menjual hasil kebun kita. Sekalian
mencari 34 kebutuhan perguruan kita.
Kuharap kau bersedia, Aji...!" jelas Aki Lempungan seraya tersenyum. Lalu
tubuhnya berbalik dan melangkah menuju
halaman tengah.
"Baik, Paman...," jawab Aji sambil bangkit, meski raut mukanya menyimpan
suatu yang sulit dimerjgerti.
Dengan langkah berat, Aji melangkah
menuju halaman tengah. Di sana terlihat Gatra telah siap dengan sebuah gerobak
berisi macam-macam hasil kebun.
Ketika matahari baru menggelincir
dari titik tengah, gerobak yang
ditumpangi Aji bersama Gatra tampak
keluar dari halaman tengah Perguruan
Samudera Putih.
*** Lemah Ajang. Sebuah kotapraja yang
dipimpin seorang Tumenggung. Karena
terletak di tengah-tengah beberapa
perkampungan yang bertanah subur dengan hasil bumi melimpah, maka jadilah Lemah
Ajang kota yang ramai. Setiap hari
beberapa orang dari kampung sekitarnya datang ke sana. Selain untuk menjual
hasil bumi, membeli keperluan
sehari-hari, ada juga yang datang hanya ingin melihat keramaian kota, serta
menikmati keindahan bangunan kediaman


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumenggung yang begitu megah.
Demikian halnya Aji serta Gatra.
Sebelum, menjual hasil bumi membeli
beberapa keperluan perguruan, mereka
singgah di sebuah kedai minum untuk
sejenak melepas lelah dan membasahi
kerongkongan yang baru saja terpanggang matahari.
Tak lama berselang, sewaktu
keduanya sedang menikmati minuman, dari arah utara jalan yang menuju kediaman
Tumenggung, terlihat rombongan orang
berkuda. Hentakan ladam rombongan
berkuda di siang yang menjilat itu,
seketika menarik perhatian orang-orang yang berada di kotapraja.
"Ada apa ya, Kang...?" tanya Aji ketika rombongan berkuda hampir melewati kedai
tempat Aji dan Gatra berada.
"Mana aku tahu..."!" jawab Gatra sambil mengang-kat bahu. Lalu minumannya
diseruput. Ketika rombongan berkuda lewat
depan kedai, baru Aji dapat melihat jelas wajah-wajah penunggang kuda itu.
Rombongan itu ternyata terdiri dari
delapan orang. Dua orang yang paling
depan, berpakaian hitam-hitam. Tangan
kanan masing-masing membawa sebuah
bendera berwarna hitam, bergambar
tengkorak. Di belakang dua orang pembawa
bendera, tampak seorang laki-laki dan
perempuan. Yang laki-laki berpakaian
putih bersih. Wajahnya sudah tampak
mengeriput. Kumisnya amat lebat, hingga bibirnya tak terlihat. Rambutnya yang
panjang sebahu diikat kain warna hitam.
Sorot matanya dingin. Namun yang membuat orang bergidik dan tak berani lama-lama
memandangi, ketika melihat matanya yang buta di sebelah kanan. Mata itu hanya
berupa rongga yang mencekung ke dalam!
Sedangkan wajah perempuan di
samping laki-laki bermata satu, tertutup sepotong kain berbentuk segi tiga yang
berlobang kecil-kecil. Sehingga wajah di balik-nya tak begitu jelas. Meski
demikian, orang akan
berlama-lama memandangi perempuan ini. Karena
kulitnya putih. Pinggulnya pun besar
dengan buah dada tampak membusung dan
kencang. Dengan dibalut kain warna putih ketat, perempuan ini nampak mempesona.
Dua orang di belakang laki-laki
bermata satu dan perempuan bertubuh
sintal adalah dua orang berpakaian biru gelap dan agak kebesaran. Raut muka
mereka yang hampir mirip tampak kasar dan beringas. Rambut keduanya jabrik. Di
punggung masing-masing tersembul
senjata kapak berwarna merah.
Sedangkan dua orang yang paling
belakang adalah dua orang berpakaian
sama dengan dua orang yang paling depan.
"Kang...! Berani bertaruh, pasti
perempuan yang wajahnya tertutup
orangnya cantik...!" tebak Aji sambil memandang tak berkedip ke arah rombongan
yang lewat. "Ah, kau...! Kalau bicara soal
perempuan, semangatmu minta ampun!"
sahut Gatra sambil mengibaskan tangannya di depan mata Aji.
"Ya..., namanya saja laki-laki.
Wajar kan, Kang..."!" sergah Aji sambil menepiskan tangan Gatra yang menghalangi
pandangannya. "Tapi..., siapa mereka itu ya,
Kang..."!"
"Sudah kukatakan, mana aku tahu!
Lagi pula, apa pedulimu"!"
"Lho" Siapa tahu aku bisa menggaet perempuan itu, Kang..." Kan, untung
aku...!" jawab Aji seenaknya, sembari cengengesan.
"Mau menggaet perempuan itu..."
Hm.... Berat bocah...!"
Tiba-tiba terdengar sahutan dari
samping kanan Aji. Begitu Aji dan Gatra menoleh, tampak seorang kakek bercaping
lebar yang tengah memandang lurus ke arah rombongan berkuda.
"Kakek tahu..."!" tanya Aji, sedikit penasaran.
"O, pasti! Pasti aku tahu...!" jawab kakek itu tanpa menoleh ke arah Aji.
Kepalanya mengangguk-angguk hingga
capingnya yang lebar turun naik menutupi sebagian wajahnya.
"Siapa mereka, Kek..."!" tanya Aji sambil menunjuk ke arah rombongan.
"Bocah! Simpan telunjukmu! Jika
mereka tahu, kau akan dibuatnya lumat
jadi bubur!" damprat kakek itu dengan mata melotot ke arah Aji.
"Kakek kenal mereka..."!"
"Pasti! Pasti aku kenal mereka...!"
sahut kakek bercaping
mengangguk-angguk.
Kemudian, kakek bercaping itu
kembali mengalihkan perhatian ke arah
rombongan berkuda.
"Jika kau ingin tahu, dengarkan
baik-baik, Bocah...! Dua orang yang
paling depan dan paling belakang, adalah para pengawal. Bendera hitam bcrgambar
tengkorak adalah lambang kalau
orang-orang dari golongan sesat.
Sedangkan laki-laki bermata satu dan
perempuan yang ingin kau gaet, adalah dua tokoh hitam jajaran atas yang berjuluk
Sepasang Iblis Pendulang Sukma. Mereka baru muncul lagi, setelah berpuluh tahun
tak ada kabar beritanya. Mereka sekarang menyusun kekuatan kembali, setelah tiga
puluh tahun yang silam dapat
dipecundangi Wong Agung dari Karang
Langit. Sedangkan dua orang yang
berambut jabrik, adalah kakak beradik
dari Lembah Prangas. Mereka juga
termasuk tokoh golongan sesat yang
berjuluk Kapak Kembar Berdarah!" papar kakek bercaping.
"Mereka menuju ke mana, Kek...?"
sela Aji kala kakek bercaping berhenti bicara.
"Hm..Kekediaman Tumenggung! Mereka sedang
melebarkan sayap...! Daerah
pesisir Pantai Utara dan Selatan telah dikuasainya. Mereka mengajak siapa saja
untuk bergabung. Siapa yang menolak,
pasti dihancurkan. Hm.... Seandainya
Wong Agung hadir, pasti kekejaman dan
kekuasaan mereka dapat diatasi...!"
desah kakek bercaping itu.
"Apakah Wong Agung telah
meninggal"!" kini Gatra yang
ikut-ikutari bertanya.
"Yah..., itulah yang sekarang
menjadi tanda tanya.
Sejak dapat mengalahkan tokoh-tokoh sesat, termasuk Sepasang Iblis Pendulang Sukma di Jurang
Gladak Perak tiga puluh tahun silam, Wong Agung menghilang begitu saja tanpa
jejak. Padahal, kehadirannya sekarang
ini amat dibutuhkan! Ng..., atau
bagaimana kalau kalian saja yang
coba-coba menghadapi mereka..."!" kata kakek bercaping itu, mengakhiri
bicaranya. "Kalau boleh kami tahu, Kakek
siapa..."!" "Ah! Pertanyaanmu sudah terlalu banyak, Bocah!" jawab kakek
bercaping cepat, seraya bangkit dari
tempat duduknya. Setelah membayar
minuman ia keluar tanpa menoleh.
"Bagaimana, Kakang..."!"
Tiba-tiba Aji mengejutkan Gatra
yang masih memandangi kepergian kakek
bercaping lebar.
"Apanya yang bagaimana..."!"
"Perempuan yang tadi itu...!"
"Ah! Kau memang mata perempuan...!"
dengus Gatra sambil bangkit.
*** Ketika matahari telah berubah warna
kuning, dan sinarnya hanya menyaput awan yang menggantung dilangit sebelah
barat, gerobak yang ditumpangi Aji bersama
Gatra terlihat keluar dari kotapraja
menuju utara lereng bukit. Mereka memang baru saja menyelesaikan tugas yang
diberikan Aki Lempungan.
"Kali ini kita pulang terlambat,
Aji...!" kata Gatra.
"Soal itu" Biarlah aku yang nanti akan bicara pada Paman Guru...!" jawab Aji
seraya menekuk jari telunjuknya
sampai menyentuh ibu jari, hingga
membentuk bulatan.
"Kang..., bagaimana kira-kira rupa Wong Agung itu, ya..."!" tanya Aji, mengusik
Gatra. "Hush...! Jangan ngaco omonganmu, Aji! Tapi..., menurut ibu dan ayahku
sewaktu aku masih anak-anak, beliau
adalah seorang pendekar berilmu sangat tinggi. Budi pekertinya agung. Namun
sungguh, hingga sebelum kakek tadi
bercerita, aku masih menganggap kalau
cerita tentang Wong Agung hanyalah
khayalan belaka, seperti cerita untuk
meninabobokkan si Upik...!"
"Memang! Sebelum kakek tadi
bercerita, aku pernah mendengar cerita tetang Wong Agung dari Paman Guru
Lempungan. Tapi waktu itu, aku tidak
begitu tertarik. Kupikir, itu hanya
cerita buatan untuk menggugah semangatku agar mau belajar ilmu silat. Namun
kini...," timpal Aji namun terputus.
Gerobak terus berjalan menuju
lereng bukit. Aji dan Gatra kini
sama-sama diam. Keduanya tampak terbuai pikiran masing-masing.
Ketika gelap telah mengurung bumi,
barulah gerobak yang ditumpangi Aji dan Gatra
berbelokke arah jalan
satu-satunya, yang menuju bangunan
Perguruan Samudera Putih.
"Kang...! Tempat kita tampak gelap.
Apakah mereka lupa menyulut obor..."!"
kata Aji, mendadak hatinya merasa tak enak.
Sementara yang diajak bicara diam
saja. Mata Gatra hanya memandangi
bangunan Perguruan Samudera Putih yang tampak sepi dan gelap.
"Aku sendiri heran...!" sahut Gatra tanpa menoleh, setelah sekian lama
terdiam. Belum sampai gerobak mencapai pintu
masuk, keduanya telah loncat turun dan berlari. Dan mereka mendadak berhenti
dan langsung tercekat kala mata keduanya tertumbuk pada papan nama yang
tergantung di depan. Papan nama
yangbertuliskan
Perguruan Samudera
Putih itu telah tertutup oleh leleran
warna merah. Agak dekat baru keduanya
sadar, bahwa leleran warna merah di atas tulisan adalah darah!
Sejenak Aji dan Gatra
salingpandang. Namun sekejap itu pula, keduanya langsung lari menerobos masuk.
Dan keduanya terasa tak percaya akan
pemandangan di depan. Beberapa tubuh
bergelimpangan!
"Kang! Sulut obor!" teriak Aji keras ketika tak bisa mengenali satu persatu
tubuh yang bergelimpangan di halaman,
karena gelap. Begitu obor menyala, mereka hampir
saja melolong. Betapa tidak" Ternyata
tak satu pun dari penghuni Perguruan
Samudera Putih yang bergerak. Semuanya tak bergeming, meski Aji mencoba
menggoyang-goyang sambil memanggil
keras-keras. "Kang! Cari Paman Guru...!" teriak Aji kembali. Gatra tak menoleh. Namun, ia
cepat membalikkan tubuh-tubuh telungkup yang bergelimpangan.
"Aji...! Guru di sini!"
Belum juga Gatra menyelesaikan
kata-katanya, Aji telah meloncat ke
arahnya. Tubuh Aki Lempungan mereka temukan
begitu mengenaskan. Beberapa bacokan
hampir merata di sekujur tubuhnya. Tapi, orang tua itu masih bertahan. Cepat Aji
mengangkat kepala Aki Lempungan dan
menaruh di atas pahanya.
"Aji...!" panggil Aki Lempungan dengan suara pelan.
"Siapa yang berbuat keji ini, Paman Guru..."!"
"Tak perlu kau tanyakan itu! Tak
perlu...! Mereka berilmu tinggi!"
"Tapi..., aku sekarang ingin
belajar ilmu silat, Paman Guru...."
"Terlambat, Nak. Kau berubah
pikiran setelah semua ini terjadi...!
Tapi, aku gembira mendengarnya...!
Aji..., kurasa aku sudah tak tahan
lagi...." "Paman jangan berkata begitu...!
Kuatkanlah, Paman! Mari kuangkat ke
dalam ruangan...."
"Tak usah, Nak! Waktuku tinggal
sedikit...."
Sejenak mata sayu Aki Lempungan
merayapi wajah Aji.
"Aji..., mendiang ibumu menitipkan sesuatu padaku. Benda itu kusimpan di
bawah almari. Ambillah...!" kata Aki Lempungan, lirih.
"Hanya...."
Suara Aki Lempungan tersendat di
tenggorokan. Aji segera mendekatkan
telinga ke mulut laki-laki yang tengah sekarat ini.
"Pergilah kau ke.... Kam....
Kampung Blumbang...."
Begitu selesai berkata, kepala Aki
Lempungan lunglai. Tubuhnya dingin,
dengan mata terpejam.
Aji masih menggoyang-goyang tubuh
Aki Lempungan. Namun, tubuh Ketua


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perguruan Samudera Putih itu tetap diam tak bergerak.
Dengan mata berkaca-kaca dan tubuh
gemetar Aji mengangkat tubuh Paman
Gurunya ke ruangan dalam. Sementara
Gatra berusaha mengumpulkan mayat-mayat murid Perguruan Samudera Putih yang
berserakan di mana-mana, setelah
memastikan kematian Aki Lempungan.
Setelah menaruh tubuh Aki Lempungan
di atas dipan dan menutup dengan
selendang, Aji melangkah ke sebuah
almari. Ia jongkok dan mengambil
bungkusan di bawahnya.
Dengan tangan gemetar dan mata masih
berkaca-kaca, pemuda itu membuka
bungkusan kecil berwarna putih yang
diambilnya dari bawah almari. Ternyata, bungkusan kecil itu hanya berisi sebuah
benda bulat berwarna putih. Besar dan
bentuknya mirip kepingan uang emas. Pada muka lempengan benda itu, terdapat
sebuah gambar tempat mandi agak besar yang dikelilingi tembok agak tinggi.
Sedangkan lempengan bagian belakang
terdapat gambar bangunan tinggi di
tengah lautan. Aji hanya termangu memandangi benda
itu. Lantas dimasukkannya ke dalam
bajunya. "Kampung Blumbang...," gumam Aji sambil melangkah mendekati tubuh Aki
Lempungan di atas dipan.
*** 3 Matahari baru saja mengintip
malu-malu, menyinari Puncak Gunung
Semeru. Sementara bangunan tua Perguruan Samudera Putih yang berada di
lerengnya, masih tak berubah. Tapi kali ini tak lagi terlihat beberapa pemuda
tanggung yang lalu lalang. Tak ada lagi suara kapak
membelah batang pinus. Tak terdengar
lagi gelak riuh pemuda yang menuruni
lereng gunung menuju lembah, sambil
membawa lesung tempat air.
Suasana bangunan tampak sepi. Pagi
ini hanya tampak dua pemuda tengah
memandangi bangunan. Tak terdengar suara terucap dari keduanya. Masing-masing
bagai larut dalam alunan pikiran
masing-masing. "Kang! Tak kusangka segalanya
begitu cepat terjadi...,"
Mendadak pemuda yang memakai baju
hijau ketat lengan pendek dengan pakaian dalam warna kuning, serta rambut
dikuncir ekor kuda buka suara tanpa
menoleh ke pemuda di sampingnya.
Yang diajak bicara seakan tak
mendengar. Diam saja.
"Kang Gatra! Aku harus segera pergi.
Ada urusan yang harus kuselesaikan!"
lanjut pemuda berpakain hijau ketat
lengan pendek dengan pakaian dalam warna kuning. Kali ini matanya melirik pemuda
di sampingnya. "Sekarang..., itu memang jalan yang terbaik
yang harus kita ambil!
Pergilah.... Aji. Semoga kita kelak akan dipertemukan lagi...!" jawab pemuda
yang tak lain Gatra, di samping pemuda yang dipanggil Aji.
"Aku pun akan ke tempat Paman. Aku akan mulai lagi kehidupan baru di
sana...," lanjut Gatra kepalanya menoleh dengan senyum dipaksakan.
Dengan langkah berat, Aji dan Gatra
berbalik. Lalu, mereka melangkah
meninggalkan bangunan Perguruan
Samudera Putih yang telah sepi.
Sampai di sebuah belokan, keduanya
menghentikan langkah. Lalu berbalik. Dan mata mereka kembali menyipit memandangi
bangunan perguruan.
"Aku akan lewat jalan sebelah barat itu, Aji...," kata Gatra seraya berbalik
menghadap Aji. "Selamat jalan, Kakang Gatra...,"
sahut Aji juga menghadap Gatra.
Aji mengulurkan tangan yang lantas
disambut Gatra. Sejenak Gatra tersenyum, lalu melangkah mengambil jalan arah
barat. Tak lama, setelah tubuh Gatra
menghifang di balik pohon-pohon karet, Aji melangkah menuju arah berlawanan.
Memang, setelah menguburkan korban
pembunuhan terhadap hampir semua
penghuni Perguruan Samudera Putih, Aji memutuskan untuk pergi ke Kampung
Blumbang. Namun karena masih tak tahu
letak kampung itu, maka pemuda ini
berjalan menuju ke kotapraja Lemah
Ajang. Siapa tahu, di sana ada yang bisa memberikan petunjuk.
Kali ini, Aji memakai baju warna
hijau ketat lengan pendek dengan pakaian dalam warna kuning lengan panjang.
Rambutnya dikuncir ekor kuda diikat
sobekan kain celana Aki Lempungan.
Dengan mengenakan pakaian itu tampangnya tampak tampan dan perlente.
*** Aji kembali berada di kedai tempat
ia kemarin singgah bersama Gatra. Selagi menikmati minuman, seorang gadis cantik
dengan tubuh semampai dan pinggul
menggoda terbungkus pakaian ketat warna kuning, memasuki kedai. Bibir bagian
bawahnya sedikit tebal dipadu hidung
yang mancung serta dada menantang. Gadis ini berusia kira-kira dua puluh enam
tahun. Dan penampilannya begitu
menggemaskan. Malah, Aji yang baru saja mengangkat
bambu berisi air minum, segera
mengurungkan niatnya. Matanya kontan
agak menyipit memandangi gadis yang
melintas di sampingnya dan duduk di
pojok. "Mau bepergian jauh, ya...?" sapa pemilik kedai mengejutkan Aji.
"Ng..., iya, Pak...," jawab Aji setengah gelagapan.
"Hendak ke mana, Nak...?" lanjut pemilik kedai.
Aji tak segera menjawab. Matanya
yang sayu memandang jauh ke lereng bukit, yang kini terpanggang matahari.
Dadanya bergetar hingga terasa sesak.
"Kampung Blumbang, Pak...!" sahut Aji dengan suara berat.
Paras pemilik kedai sedikit berubah
ketika mendengar jawaban Aji.
"Ada apa, Pak..."!" tanya Aji, manakala melihat perubahan raut wajah
pemilik kedai. Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 18 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Perjodohan Busur Kumala 24
^