Pencarian

Macan Macan Betina 1

Dewa Arak 41 Macan-macan Betina Bagian 1


http://hanaoki.wordpress.com
1 "Uh! Panas sekali udara di sini, Kang," keluh salah seorang dan dua sosok yang
tengah melintasi lapangan berumput.
Dia adalah seorang gadis berwajah cantik. Rambutnya hitam dan panjang terurai.
Pakaian ketat berwarna putih pembungkus tubuhnya yang montok dan menggiurkan,
semakin menambah kecantikannya.
Sementara yang seorang lagi adalah pemuda tampan berwajah jantan. Rambutnya
putih keperakan. Kini pandangannya dialihkan ke arah gadis berpakaian putih itu.
Keluhan tadi tidak langsung disambutnya kecuali seulas senyum yang terkembang di
bibir. Kemudian napasnya dihembuskan. Sehingga, dadanya yang tegap dan bidang
terbungkus pakaian ungu, mengempis beberapa saat lamanya.
Hari ini, matahari memang tepat berada di tengah-tengah. Sinarnya memancar
garang ke persada. Semua makhluk di bawahnya bagaikan terpanggang saja layaknya.
"Benar, Melati," sahut pemuda berambut putih keperakan sambil mengangguk.
Gadis berpakaian putih itu memang Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Dulu,
julukan yang terkenal buat gadis itu adalah Dewi Penyebar Maut.
"Bagaimana kalau kita beristirahat sejenak, Kang," usul Melati.
"Sebuah usul yang baik sekali, Melati."
Pemuda berpakaian ungu yang sudah pasti Arya atau lebih dikenal berjuluk Dewa
Arak, cepat menyambut gembira. Sebuah guci yang tergantung di punggung, semakin
memperjelas kalau pemuda itu benar-benar Dewa Arak.
"Tak jauh di depan kita ada sebuah hutan yang cukup besar. Hutan Kawi, namanya.
Bagaimana kalau kita beristirahat di sana saja, Melati" Sambil beristirahat,
kita bisa menikmati santapan di sana. Bagaimana"!"
"Aku setuju sekali. Kang," jawab Melati sambil tersenyum manis. "Ayo kita ke
sana!" Tanpa menunggu tanggapan Arya, Melati segera
melesat ke depan. Dan sekali langkah, seluruh
kemampuan ilmu lari cepatnya telah dikeluarkan. Tak heran kalau dalam sekali
lesatan saja, tubuhnya telah berjarak sepuluh tombak di depan.
Arya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tindakan kekasihnya. Itu pun
hanya dilakukan sebentar saja, karena harus buru-buru menyusul. Kalau tidak, dia
tentu akan tertinggal jauh. Sesaat kemudian, tubuh sepasang pendekar muda itu
telah lenyap. Yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan putih dan ungu. Bentuk
bayangan mereka tidak kelihatan jelas, namun tampak saling berkejaran menuju
Hutan Kawi. *** "Uh, segarnya...!" desah Melati penuh rasa gembira, begitu wajahnya telah
dibasuhi air sungai yang jemih.
Usai membasuh wajah, Melati menggulung lengan baju-nya hingga melewati siku.
Maka, tampakiah tangan yang berkulit putih, halus, dan mulus. Tampak indah dan
menggiurkan. Kali ini, Melati memasukkan kedua tangannya sampai hampir sebatas siku ke dalam
sungai, lalu dibasuhnya.
Gadis itu sama sekali tidak merasa kesulitan melakukannya. Dia berjongkok di
antara batu-batu di pinggir sungai yang tanahnya lebih rendah dan yang lain.
"Hehhh..."!"
Melati kontan menghentikan gerakan membasuhnya.
Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara mendesing nyaring. Seketika itu
pula, sekujur urat syaraf-nya langsung menegang waspada. Secepat kilat kepalanya
ditoleh ke arah suara itu.
Tampak beberapa buah batu kecil yang diambil dari sekitar tempat itu tengah
meluncur ke arahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dijumputnya
beberapa buah batu kecil yang berserakan di dekatnya, lalu disambitnya ke arah
batu yang meluncur itu.
Siut, siut..! Pyarrr...! Patut diacungi jempol ketepatan timpukan Melati. Lima buah batu yang meluncur ke
arahnya berhasil dipapak lima buah batu yang dilemparnya. Seketika, batu-batu
itu telah hancur di tengah perjalanan sebelum mengenai sasaran.
"Kepandaianmu rupanya tidak sejelek kelakuanmu, Wanita Rendah!"
Sebuah suara melengking tinggi bernada ejekan terdengar, ketika hancuran batu-
batu yang berbenturan itu berguguran di tengah jalan. Pedas dan tajam bukan main
ejekan itu. Sehingga membuat Melati yang memang
memiliki watak keras dan mudah tersinggung, menjadi kalap. Wajahnya langsung
merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat penuh kemarahan, ketika menatap ke
arah si pemilik suara.
Pemilik suara itu ternyata bertubuh ramping. Pakaian-nya berwarna biru. Hanya
saja, wajahnya tidak tampak jelas karena tertutup sapu tangan dan caping bambu.
Menilik suara dan potongan tubuhnya, dia adalah seorang wanita.
Karena wanita itu berdiri di tebing pinggir sungai, tentu membuat Melati
terpaksa mendongakkan kepalanya.
Kendati berusaha untuk melihat tetap saja Melati tidak bisa melihat jelas wajah
wanita berpakaian biru itu. Sapu tangan penutup wajah itulah yang menyulitkan
Melati. "Siapa kau, Wanita liar"! Ada urusan apa kau menyerangku secara pengecut seperti
itu"!" sambut Melati, tak kalah keras.
"Cuhhh...!"
Wanita berpakaian biru menyemburkan ludahnya,
walau tidak ditujukan pada Melati. Tapi, tetap saja percikan-percikannya ada
yang mengenai tubuh Melati.
"Aku tidak sudi mengenalkan diri pada seorang perempuan rendah dan tidak tahu
malu sepertimu, Wanita Sundal!" sambut wanita berpakaian biru itu, kasar.
Melati menggertakkan gigi mendengar sambutan bernada penghinaan itu. Sepasang
matanya mencorong
kehijauan, seperti mata seekor harimau dalam gelap.
Dadanya nampak bergerak cepat naik turun Tandanya, Melati tengah dilanda amarah
yang amat sangat.
Tapi, rupanya bukan hanya Melati saja yang dilanda kemarahan. Wanita berpakaian
biru itu pun demikian pula.
Terbukti dialah yang lebih dulu menghampiri Melati, dengan melompati tebing yang
tak begitu tinggi, yang menjorok ke pinggir sungai. Hati Melati agak tercekat
ketika melihat gerakan wanita berpakaian biru itu. Betapa tidak" Gerakannya
demikian ringan, tak ubahnya seekor burung garuda yang hendak menerkam mangsa.
"Hih...!"
Dan selagi berada di udara, wanita berpakaian biru itu berputaran beberapa kali.
Dan tahu-tahu, kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar melayang ke arah
ubun-ubun Melati. Serangannya tak ubahnya serangan seekor garuda yang menyambar
mangsa! Suara angin mencicit nyaring terdengar mengiringi tibanya serangan wanita
berpakaian biru. Dari sini saja sudah terlihat, betapa kuatnya tenaga dalam yang
terkandung di dalamnya.
Melati adalah seorang pendekar yang telah cukup
kenyang merambah kerasnya rimba persilatan. Dan tentu saja gadis itu tahu,
betapa berbahayanya serangan yang dilancarkan lawan. Apabila serangan itu
ditangkis, serangan kaki akan menyusul. Itulah sebabnya, diputus-kannya untuk
mengelak. Wuttt..! Serangan wanita berpakaian biru itu hanya mengenai tempat kosong ketika Melati
melompat jauh ke belakang.
Jleg! Begitu kedua kaki Melati mendarat di tanah, wanita berpakaian biru itu juga
telah mendaratkan kedua kakinya di tanah pula. Tapi itu hanya berlangsung
sekejap saja, karena wanita berpakaian biru itu melompat menerjang Melati.
Tampaknya serangan susulan yang akan dilancarkannya adalah serangan kaki.
Di saat wanita berpakaian biru itu berada di udara, tubuhnya segera berbalik
seraya melancarkan kibasan tangan kanan ke arah kepala.
Kali ini, Melati tidak tinggal diam. Seketika dia pun melompat pula untuk
memapak. Rupanya Melati bermaksud menangkis serangan susulan lawan. Hebatnya,
gerakannya ternyata sama dengan lawannya. Dia menangkis dengan kibasan kaki yang
dilakukan sambil membalikkan tubuh ketika berada di udara.
Prattt! Benturan dua kaki yang sama-sama mengibas seketika terjadi! Keras bukan kepalang
seperti benturan dua buah logam keras. Akibatnya tubuh dua orang wanita
berkepandaian tinggi itu sama-sama terputar balik, lalu hinggap di tanah.
Masing-masing agak terhuyung sedikit tapi cepat dapat memperbaiki keseimbangan
kembali. Sebentar kemudian mereka kembali saling menerjang. Kini pertarungan sengit pun
tidak bisa dielakkan lagi.
Melati tidak berani bertindak setengah-setengah lagi.
Disadari kalau lawannya memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kecepatan gerak
maupun tenaga dalam wanita berpakaian biru itu ternyata tidak di bawahnya. Maka
buru-buru ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya dikeluarkan.
Kedua tangan Melati disusun mengembang mem-
bentuk cakar naga. Bahkan mulai dari ujung-ujung jari sampai pergelangan sudah
tampak berwarna merah
seperti darah. Dan dalam penggunaan ilmunya, gadis berpakaian putih itu berusaha
menanggulangi serangan lawan. Malah kalau bisa melumpuhkannya.
Tapi hal itu hanya mudah direncanakan saja. Pe-
laksanaannya ternyata sulit bukan kepalang. Wanita berpakaian biru itu ternyata
memiliki kepandaian amat tinggi. Tambahan lagi, seluruh kemampuannya juga
dikerahkan untuk mengalahkan Melati. Serangan-serangan yang dilancarkannya
selalu mengarah pada bagtan bagian yang mematikan! Jelas, maksudnya adalah
menewaskan Melati.
Hebat bukan kepalang pertarungan antara kedua
wanita yang sama-sama berkepandaian tinggi ini. Suara menderu, mencicit, dan
mengaung, mengiringi setiap gerakan tangan atau kaki. Tampaknya setiap gerakan
mereka ditunjang tenaga dalam tinggi.
Enam puluh jurus telah lewat. Tapi selama itu tidak nampak ada tanda-tanda yang
akan terdesak. Pertarungan berjalan masih seimbang. Kedua belah pihak masih
sama-sama mampu melancarkan serangan. Dan rupanya, hal ini membuat wanita
berpakaian biru itu jadi kehilangan kesabaran.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, wanita ber-
pakaian biru itu memperhebat serangan. Kedua tangannya dipukulkan bertubi-tubi
ke arah dada dan ulu hati lawannya. Melati terperanjat juga melihat perubahan
serangan yang begitu mendadak. Tapi, bukan berarti dia jadi gentar.
Kekerasan hatinya memaksanya untuk memapak serangan itu. Plak, plak, plak...!
Semua serangan yang dikirimkan wanita berpakaian biru itu bisa dikandaskan
ketika Melati berhasil menangkis-nya. Akibatnya tubuh satu sama lain sama-sama
terhuyung mundur tiga langkah. Dari sini sudah bisa dinilai kalau tenaga dalam
yang mereka miliki berimbang.
Tapi begitu tubuh wanita berpakaian biru itu terhuyung mundur, segera
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dalam keadaan terhuyung-huyung, tangan kanannya
cepat bergerak ke arah pinggang, tempat pedangnya tergantung.
Dan.... Srattt...! Sinar terang menyilaukan kontan berkeredep ketika pedang itu keluar dan
sarungnya. "Cabut pedangmu kalau tidak ingin mati percuma, Wanita Tak Tahu Malu...!" teriak
wanita berpakaian biru itu keras, di saat tubuhnya masih terhuyung-huyung.
Melati sama sekali tidak membantah ajakan lawannya.
Kembali sinar terang memancar, namun kali ini dari pedang Melati.
Kini kedua wanita sakti ini sama-sama saling menatap dalam jarak sekitar dua
tombak. Pedang telanjang mereka sama-sama tergenggam di tangan. Tidak ada yang
lebih dulu memulai menyerang. Satu sama lain saling memperhatikan gerak gerik
dengan sepasang mata hampir tidak berkedip, itu dilakukan sambil melangkah
mendekati lawan.
"Haaat..!"
Wanita berpakaian biru itu rupanya tidak sabar lagi menunggu. Diiringi pekikan
keras melengking, dia menyerang lebih dahulu. Hal itu dilakukan karena Melati
belum menunjukkan tanda-tanda menyerang. Sebagai ahli silat tingkat tinggi,
mereka sama-sama tahu, menyerang lebih dulu merupakan tindakan yang merugikan.
Dalam persilatan, setiap serangan selalu terdapat celah-celah yang dapat
dijadikan sasaran lawan.
Singg! Pedang di tangan wanita berpakaian biru itu meluncur lurus ke arah leher. Lagi-
lagi bagian mematikan yang jadi sasaran.
Wuttt! Ujung pedang wanita berpakaian biru itu meluncur, lewat beberapa jengkal di alas
kepala, begitu Melati merendahkan tubuhnya sebelum serangan tiba. Dan
tindakannya tidak hanya sampai di situ saja. Sambil mengelak, pedangnya
diluncurkan ke arah ulu hati lawan.
Singgg! Wanita berpakaian biru itu tidak gugup melihat
serangan balasan Melati. Buru-buru kakinya dijejakkan, sehingga tubuhnya
melayang ke atas. Langsung
dilewatinya kepala Melati. Dan dari sana, dilancarkannya tusukan ke arah kuduk
Melati. Kali ini, Melati tidak memiliki kesempatan mengelak.
Sambil membalikkan tubuh, pedangnya diayunkan ke belakang untuk mencegah agar
tengkuknya tidak ditembus senjata lawan.
Tranggg...! Benturan dua pasang senjata terjadi. Suaranya keras bukan kepalang, disertai
percikan bunga-bunga api ke sana kemari.
"Hup!"
Wanita berpakaian biru itu segera hinggap di tanah.
Sementara Melati telah bersiap siaga. Dan malah, Melati yang sekarang lebih dulu
melancarkan serangan.
Pertarungan yang jauh lebih seru dan menarik dari sebelumnya kembali terjadi.
Melati kini mengamuk bagai singa betina terluka. Ilmu 'Pedang Seribu Naga'
andalannya dikerahkan, sampai menimbulkan suara menggerung
keras, setiap kali pedangnya berkelebat.
Tapi ternyata ilmu pedang wanita berpakaian biru itu ternyata tidak kalah hebat.
Terbukti, setiap serangan Melati mampu dipatahkan. Bahkan serangan balasan tak
kalah hebat mampu dilancarkan. Setiap gerakan pedangnya menimbulkan suara
mencicit dan mendesing nyaring.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, tubuh kedua
wanita sakti itu sudah tidak terlihat lagi. Yang tampak hanya bayangan putih dan
biru yang tidak jelas bentuknya.
Saling belit, tapi terkadang saling pisah. Bahkan semakin lama, bayangan tubuh
yang tidak jelas itu mulai jarang terlihat karena tertutup gerakan pedang
masing-masing. Karena ilmu meringankan tubuh mereka telah sama-
sama mencapai tingkat tinggi, maka pertarungan tampak berlangsung cepat. Hanya
dalam waktu yang tak berapa lama, empat puluh jurus telah berlalu. Dan selama
itu, belum terlihat tanda-tanda yang lebih unggul. Tampaknya, pertarungan masih
berlangsung imbang.
Mendadak.... "Melati...! Masih lamakah kau...! Cepat..! Nanti makanan ini keburu dingin...!"
Kontan kedua orang yang tengah bertarung, memisahkan diri. Seketika pertarungan
terhenti Masing-masing menatap tajam, dengan dada turun naik.
"Hmh...!"
Wanita berpakaian biru mendengus jengkel, karena merasa terganggu oleh suara
tadi. Sambil memutar pedangnya di depan dada laksana baling-baling, dia melompat
mundur. "Kali ini kau bemasib baik, Wanita Liar! Tapi lain kali, jangan harap...!"
Sambil berkata demikian, wanita berpakaian biru itu melesat kabur meninggalkan
Melati. Tentu saja Melati yang merasa penasaran sekali tidak membiarkannya.
Langsung tubuhnya melesat, mengejar lawannya yang telah berada di tebing pinggir
sungai. Tapi selagi tubuh Melati tengah melayang di udara, wanita berpakaian biru itu
mengibaskan tangannya. Dan....
Sing, sing, sing...!
Beberapa bilah pisau berkilat meluncur ke arah Melati.
Tanpa ragu-ragu lagi, gadis berpakaian putih ini pun mem-babatkan pedang untuk
menangkis. Trang, trang, trang...!


Dewa Arak 41 Macan-macan Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pisau-pisau itu pun berpentalan tak tentu arah, karena tertangkis oleh Melati.
Tapi, akibatnya lesatan tubuh Melati pun terhambat. Maka, tubuhnya pun meluncur
turun kembali. Dan ketika Melati kembali melakukan pengejaran
hingga sampai di atas tebing sungai, wanita berpakaian biru sudah tidak berada
di situ lagi. "Hhh...!"
Melati hanya bisa menghembuskan napas berat. Dia merasa penasaran dan jengkel
bukan kepalang. Betapa tidak" Tanpa ada angin dan tak ada hujan, wanita
berpakaian biru itu mati-matian menyerangnya. Dan sialnya, dia tidak mampu
mengalahkan. Maka, tindakan wanita berpakaian biru itu tetap menjadi teka-teki
baginya. "Melati...! Masih lamakah kau..."!"
Panggilan dan pemilik suara yang sama kembali terdengar. Dan panggilan itu
seketika menyadarkan Melati dari lamunannya. Maka masih dengan perasaan dongkol,
kakinya melangkah ke arah asal suara. Memang, Aryalah yang telah memanggilnya.
"Tidak, Kang! Aku sudah selesai...!" sahut Melati, sedikit mengerahkan tenaga
dalam. Memang, tempat Melati
membasuh muka cukup jauh dari Dewa Arak. Jadi, tak heran kalau suara pertarungan
tadi tidak terdengar Arya.
*** 2 Arya mengembangkan senyumnya ketika melihat Melati menuju ke arahnya. Sekitar
satu tombak di sebelah kiri pemuda berambut putih keperakan itu, tampak gundukan
ranting yang sebagian telah menjadi arang. Asap tipis tampak masih mengepul,
pertanda onggokan kayu itu belum lama dimatikan.
Beberapa jari di sebelah kanan Arya berdiri kokoh sebatang pohon yang cukup
besar. Pada batangnya, tertancap dua batang ranting yang pada ujungnya terdapat
ayam panggang. Sesaat kemudian, Melati telah berada di dekat Arya.
Tanpa berkata apa-apa, gadis berpakaian putih itu meng-hempaskan pantatnya dan
duduk di sebelah kekasihnya.
Arya merasa heran melihat keadaan Melati. Tampak selebar wajah gadis itu
berkeringat. Terutama sekali, bagian leher dan dahi. Padahal, bukankah tadi
Melati meminta ujin untuk membersihka diri di sungai" Tapi, mengapa malah
berpeluh seperti itu. Bahkan napasnya pun terdengar masih memburu. Meskipun
demikian, dengan pandainya Arya mampu menyembunyikan
perasaan heran yang berkecamuk di hati.
"Makanlah, Melati," kata Arya, pelan. "Nanti keburu dingin."
Seiring keluarnya ucapan itu, Dewa Arak mengulurkan tangannya ke arah ranting
yang tertancap di batang pohon.
Melati pun mengikuti perbuatannya.
"Enak, Kang," puji Melati setelah mencicipinya sedikit.
"Sama sekali tak kusangka kalau kau pandai memasak."
"Tentu saja enak, Melati. Karena kau tengah lapar,"
sambut Arya cepat, setengah merendah. Padahal, dia juga merasakan sendiri kalau
ayam panggang buatannya
memang lezat. "Kau tidak jadi ke sungai, Melati?"
Sambil terus mengunyah ayam panggang, Arya mulai mengeluarkan pertanyaan yang
sejak tadi berkecamuk di hati. Ditatapnya wajah Melati penuh selidik.
Melati tidak langsung menjawab pertanyaan Arya.
Dijauhkannya lebih dulu ayam panggang dan mulutnya.
Dikunyahnya potongan daging yang baru digigit, lalu ditelannya.
"Jadi, Kang. Memangnya kenapa?" Melati malah balas bertanya.
"Tidak apa-apa. Hanya saja, peluhmu kulihat jauh lebih banyak daripada
sebelumnya," sahut Arya kalem.
"Wanita gila itulah yang menjadi penyebabnya, Kang,"
dengus Melati, penuh kedongkolan.
"Wanita gila?" ulang Arya dengan alis berkerut dalam.
Tanpa sadar, dijauhkannya ayam panggang dari mulut.
Sepasang mata Dewa Arak diarahkan ke arah Melati. Ada sorot keingin tahuan yang
besar di dalamnya.
"Benar, Kang. Seorang wanita gila yang tiba-tiba menyerangku." tegas Melati
menguatkan ucapan sebelumnya. Kemudian secara ringkas tapi jelas, gadis
berpakaian putih itu menceritakan semua kejadian yang dialami.
Sementara, Arya mendengarkan penuh keingin tahuan.
Sama sekali tidak diselaknya cerita Melati sampai selesai.
"Jadi, kau tetap tidak tahu mengapa dia menyerangmu mati-matian begitu'" tanya
Arya, heran. Melati terpaksa menjawab pertanyaan Arya dengan
anggukan kepala saja, karena mulutnya tengah penuh dengan potongan ayam
panggang. "Aneh...," desah Arya. "Apakah dia tidak mengatakan alasannya kepadamu, Melati?"
"Tidak, Kang," jawab Melati sambil menggelengkan kepala.
"Apakah bisa kau tebak, dari aliran mana ilmunya.
Barangkali saja gerakan-gerakannya mempunyai kemiripan dengan..., misalnya
dengan orang-orang yang dulu pernah kau hadapi, Arya mencoba membantu menyingkap
masalah itu. Melati tercenung sejenak untuk mengingat-ingat. Tapi sesaat kemudian, secara
mantap dan pasti kepalanya menggeleng.
"Aku tidak pernah berhadapan dengan orang yang memiliki gerakan mirip dengannya,
Kang," tegas gadis berpakaian putih itu.
Arya pun terdiam. Tapi menilik dari kerutan dahinya, bisa diketahui kalau dia
tengah berptkir keras.
"Apakah wajahnya sempat kau lihat?"
"Tidak. Wajahnya ditutup saputangan. Dan lagi, ada caping yang menutupinya Aku
telah berusaha mengenali-nya, tapi tetap saja tidak bisa. Dia terlalu lihai!"
jelas Melati panjang lebar.
"Jadi kesimpulannya, kau hanya bisa mengetahui kalau orang itu adalah wanita?"
tanya Arya lagi.
"Benar, Kang!" mantap dan tegas jawaban gadis berpakaian putih itu.
"Apakah kau tidak pernah mengenai atau paling tidak bertemu sebelumnya, Melati"
Cobalah ingat-ingat. Barangkali saja potongan tubuhnya kau kenali. Atau...,
barangkali suaranya."
Mendengar adanya kesungguhan dalam ucapan Arya,
Melati tidak tega membantahnya. Dicobanya mengingat-ingat setiap wanita yang
pernah ditemui dalam
petualangannya. Kemudian, dicocokkannya dengan wanita berpakaian biru itu. Tapi,
tetap saja tidak ada satu pun yang cocok.
"Tidak, Kang." desah Melati bernada mengeluh, setelah menguras ingatan beberapa
saat lamanya. "Aneh," desah Arya.
"Apanya yang aneh?" Melati tak tahan menyimpan pertanyaan.
"Tindakan orang itu!" Jawab Arya cepat. "Mengapa harus menyembunyikan wajah
kalau dia tahu kau tidak mengenalnya?"
Melati mengangkat bahu.
"Mungkin tidak ingin dikenali," duga Melati sekenanya.
"Mungkin," sambut Arya tanpa gairah. "Tapi, aku yakin masalah ini akan bisa
terungkap. Tunggu saja kedatangannya kembali."
Lalu pemuda berambut putih keperakan itu kembali menggigit potongan ayam
panggang yang masih bercokol di rantingnya. Melati juga melakukannya.
Kini Arya dan Melati tidak melanjutkan percakapan.
Mereka menenggelamkan diri dalam menikmati ayam
panggang. Percakapan telah ditutup tanpa adanya titik terang mengenai wanita
berpakaian biru yang berusaha mati-matian membunuh Melati.
*** Matahari sudah agak beranjak dari tempat terbitnya.
Sinarnya yang hangat, memancar ke seluruh persada ketika Arya dan Melati melihat
sebuah kedai di kejauhan.
Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering, membuat sepasang muda-mudi itu
mengarahkan langkahnya ke sana.
Arya mendahului Melati memasuki pintu sebuah kedai.
Dan tepat di ambang pintu kedai, pemuda berambut putih keperakan ini
menghentikan langkahnya. Pandangannya beredar ke sekeliling untuk melihat meja-
meja yang masih kosong.
Ternyata, ada beberapa buah meja yang masih kosong.
Arya segera melangkah menuju ke arah sana. Sikapnya masa bodoh, sehingga sama
sekali tidak tahu kalau wajah para pengunjung kedai mendadak berubah hebat
ketika melihat kehadirannya bersama Melati. Tarikan napas mereka tampak
memancarkan kebencian bercampur
takut. Seorang lelaki setengah tua dan bertubuh pendek
gemuk seperti gentong, menghampiri Arya dan Melati yang telah duduk di sebuah
meja kosong yang mempunyai dua bangku saling berhadapan.
Sepasang alis Arya agak berkerut ketika melihat sikap laki-laki pendek gemuk
yang terlihat begitu ketakutan.
Wajahnya terlihat pucat pasi. Bahkan sepasang mata Arya yang tajam dapat melihat
kalau tubuh orang itu menggigil keras.
Meskipun telah melihat adanya kejanggalan, Arya berpura- pura tidak tahu.
"Mau pesan apa, Den?" tanya laki-laki pendek gemuk yang rupanya pemilik kedai,
dengan suara bergetar.
Rupanya perasaan takut yang melanda hatinya tidak bisa disembunyikan
Melati yang mendengar adanya kelainan dalam nada suara si pemilik kedai, jadi
heran. Dicobanya untuk melihat wajahnya, tapi pemilik kedai itu seperti
menyembunyikan diri dari Melati. Yang bisa terlihat hanya punggung pemilik kedai
itu. "Empat batang jagung bakar, seguci kecil teh hangat, dan seguci besar arak."
Arya menyebutkan pesanannya.
"Akan kusediakan, Den," kata pemilik kedai cepat, sambil melangkah tergopoh-
gopoh meninggalkan tempat Arya.
Arya dan Melati jadi saling berpandangan melihat sikap pemilik kedai itu. Sikap
mereka menggambarkan perasaan heran yang mendalam.
"Ki...!"
Laki-laki pemilik kedai itu menghentikan langkah ketika mendengar panggilan
terhadapnya. Tanpa menoleh pun sudah dapat dikenali kalau orang yang
memanggilnya adalah pemuda berambut putih keperakan.
"Ada yang bisa kubantu. Den?" tanya pemilik kedai itu sambil membalikkan tubuh,
tanpa berani menghampiri.
"Boleh kutahu namamu, Ki?" tanya Arya, agak keras.
"Gibar," jawab pemilik kedai itu, singkat.
"Terima kasih, Ki," kata Arya.
Pemilik kedai yang ternyata bernama Ki Gibar itu membalikkan tubuh kembali, dan
langsung melanjutkan langkahnya yang tertunda. Disiapkannya pesanan untuk dua
orang tamunya itu.
"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat. "Aku melihat keanehan di sini, Melati.
Ki Gibar sepertinya amat ketakutan."
"Bukan hanya dia saja, Kang. Tapi juga semua orang yang berada di sini," kata
Melati, setengah memperbaiki kata-kata kekasihnya.
Perkataan Melati membuat Arya mengedarkan
pandangannya. Seketika dahinya berkerut saat menyaksikan kebenaran ucapan
Melati. Para pengunjung kedai, satu persatu meninggalkan meja masing-masing.
Padahal, banyak di antaranya yang belum menghabiskan hidangan-nya. Tarikan wajah
mereka menampakkan ketakutan.
"Sepertinya mereka takut pada kita ," desah Arya.
"Lebih tepatnya lagi, takut padaku" tegas Melati memperbaiki ucapan Dewa Arak.
Arya terdiam seketika. Sama sekali tidak dibantahnya ucapan Melati.
"Ada sebuah teka-teki yang membingungkan mengenai dirimu Melati. Bukan tidak
mungkin, serangan wanita berpakaian biru yang kau ceritakan padaku, ada
hubungannya dengan hal ini." duga Arya.
"Mungkin kau benar, Kang," desah Melati. "Kurasa ada sebuah masalah yang tengah
terjadi di sini. Dan tanpa kuketahui, ada orang yang melibatkan diriku."
"Kita harus menyingkap rahasia ini, Melati," ucap Arya memutuskan.
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu,
keputusan yang diambil Arya pasti sangat tepat.
Percakapan mereka terhenti ketika Ki Gibar datang sambil mengantarkan makanan
yang dipesan. Tampak tangan laki-laki pendek gemuk itu gemetar ketika meletak-
kan pesanan Arya dan Melati.
Tapi, Arya dan Melati berpura-pura tidak mengetahuinya. Sikap mereka seakan akan
tidak peduli. Justru pandangan mereka beralih ke hidangan yang tersedia di atas
meja. Melati menuangkan guci berisi teh hangat ke dalam sebuah gelas bambu yang
tersedia di depannya, kemudian dengan tenang diminumnya. Arya pun melakukan hal
yang sama. Hanya saja, yang diminum pemuda berambut putih keperakan itu adalah
arak. Setelah membasahi kerongkongan yang kering, Arya dan Melati mulai mengambil
jagung bakar, dan mulai menggeragotinya.
Dan hanya dalam waktu sebentar saja, Arya telah
menghabiskan sebatang jagung. Diletakkannya bonggol jagung itu ke tempat semula
kemudian disambarnya jagung lain. Tapi baru didekatkan ke mulutnya....
"Melati. Siluman Keji...! Keluar kau...! Terimalah pem-balasan kami...!"
Wajah Arya dan Melati kontan berubah hebat dan
langsung menghentikan gerakan. Tarikan wajah mereka menyiratkan keterkejutan.
Hampir bersamaan, mereka mengalihkan pandangan ke luar. Memang, dari sanalah
suara itu berasal.
"Cepat keluar, Melati...! Atau.... kami bakar kedai ini...!"
Kembali seruan keras dan luar terdengar. Kali ini, lebih keras dari sebelumnya,
dan bahkan mengandung
ancaman. Tapi Arya dan Melati tetap bersikap tenang. Dan yang kebingungan justru Ki
Gibar. Dengan agak tergopoh-gopoh, pemilik kedai itu berlari keluar untuk
meminta agar orang yang berada di luar tidak melaksanakan ancamannya. Dan kalau
hal itu terjadi, ke mana dia dan keluarganya akan tinggal. Memang, kedai itu
merangkap sebagai tempat tinggal baginya.
Tapi, langkah Ki Gibar kontan terhenti ketika Arya mengulurkan tangan menggamit
pergelangan tangannya.
"Kau tidak usah keluar, Ki. Kami yang akan keluar.
Percayalah. Apabila aku dan kawanku ini keluar, orang itu akan membatalkan
maksudnya membakar kedaimu," ujar Arya, lembut.
Ki Gibar sama sekali tidak berkata apa-apa. Kepalanya hanya mengangguk-angguk
pertanda menyetujui usul tamunya. Sementara Arya melepaskan cekalan ketika
melihat Ki Gibar telah berhasil ditenangkan.
"Mari, Melati. Kita jumpai mereka." ajak Dewa Arak seraya bangkit dari kursinya.
Melati tidak menyahut, tapi bangkit dari kursinya.
Diletakkannya uang pembayaran makanan yang dipesan di atas meja. Lalu, kakinya
melangkah mengikuti Arya yang telah berjalan lebih dulu.
Kepergian Arya dan Melati diikuti Ki Gibar dengan sorot mata keheranan.
"Aneh! Mengapa sikapnya begitu jauh berubah" Apakah karena ada kawannya?" desis
hati Ki Gibar. *** "Ah!"
"Heh..."!"
Seruan-seruan keterkejutan terdengar di sana-sini.
Beberapa pasang mata dari belasan sosok tubuh yang berdiri beberapa tombak di
depan pintu kedai dengan senjata terhunus di tangan, tampak terbelalak lebar.
Jelas, mereka tengah dilanda perasaan kaget.
"Bukankah dia Dewa Arak?"
Salah satu dari beiasan orang yang tadi berteriak kaget, menudingkan jari
telunjuknya ke arah Arya yang telah berdiri di samping Melati, di ambang pintu
kedai. "Benar! Aku yakin, dia pasti Dewa Arak! Lihat saja ciri-cirinya. Semua ciri-ciri
Dewa Arak ada padanya!" sambung seorang laki-laki yang berkumis tebal.
"Tidak mungkin!" bantah seorang yang bertubuh kekar.
"Mana mungkin Dewa Arak bersahabat dengan siluman betina seperti Melati!"
Sesaat kemudian, suasana di sekitar tempat itu jadi riuh. Masing-masing orang
mengajukan pendapat. Dan itu diucapkan keras-keras agar terdengar semua orang
yang berada di situ. Sementara, Arya dan Melati hanya diam memperhatikan.
Dengan sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau belasan orang itu berasal dari
satu perkumpulan. Pakaian yang dikenakan juga sama. Penuh tambalan. Dandanan


Dewa Arak 41 Macan-macan Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka pun awut-awutan. Dari sini bisa diterka kalau mereka berasal dari
perkumpulan pengemis.
Tiba-tiba.... "Diam!"
Suaru bentakan keras terdengar menggeledek per-
tanda dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Saking kerasnya, hingga
mengatasi semua keriuhan yang terjadi.
Rupanya pemilik bentakan itu adalah tokoh yang disegani.
Buktinya, kegaduhan itu kontan lenyap.
Arya dan Melati mengalihkan perhatian ke arah asal suara. Tampak seorang
pengemis bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit. Potongan tubuhnya sama sekali
tidak sesuai dengan suaranya yang keras menggelegar laksana guntur.
"Apakah sepasang mataku tidak salah lihat" Benarkah Dewa Arak yang berdiri di
hadapanku?" pengemis tinggi kurus kembali membuka suara.
Tapi, sekarang ditujukan pada Dewa Arak.
"Tidak salah, Kisanak. Kaum rimba persilatan menjulukiku Dewa Arak. Tapi, aku
lebih suka di panggil Arya,"
jawab Arya, kalem. "Kalau boleh kutahu, siapakah kalian?"
Pengemis tinggi kurus tersenyum pahit.
"Rupanya dunia sudah terbalik. Dewa Arak yang digembar-gemborkan sebagai
pendekar sakti dan selalu memberantas keangkaramurkaan, kini malah bergaul rapat
dengan siluman betina yang haus darah! Sayang sekali!"
Sampai di sini laki-laki bermata sipit iru menghentikan ucapannya. Ditatapnya
wajah Dewa Arak dalam-dalam, seperti menuntut jawaban.
"Memang kami semua tidak terkenal sepertimu, Dewa Arak! Meskipun begitu, pantang
bagi kami untuk bergaul rapat dengan siluman haus darah seperti orang di
sebelahmu! Kami dari Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Dan aku sendiri
bernama Tombala."
Arya menarik napas dalam-dalam dan menghembus-
kannya kuat-kuat, untuk meredakan kemarahan yang ber-golak dalam dada. Makian
pengemis tinggi kurus yang bernama Tombala memang cukup pedas. Tak heran bila
kemarahannya muncul. Disadari kalau Tombala dan
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang kemungkinan
besar salah paham. Tapi meskipun demikian, Dewa Arak tetap merasa tak senang
atas penghinaan itu.
Kalau Arya saja yang mempunyai sifat sabar hampir tak kuat menahan amarah,
apalagi Melati! Gadis berpakaian putih itu menggertakkan gjgi sambil melangkah
maju. Tapi Arya sudah bisa menduga perasaan yang berkecamuk di hati Melati,
bertindak lebih cepat. Ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu.
"Sabar, Melati," bujuk Arya untuk menenangkan hati kekasihnya. "Mereka salah
paham." "Tapi mereka telah keterlaluan menghinaku, Kang!
Terlalu enak kalau dibiarkan begitu saja!" bantah Melati, keras.
"Percayakanlah padaku untuk menyelesaikannya,"
bujuk Dewa Arak, tetap kalem suaranya.
Melati menatap wajah kekasihnya. Ada sorot keberatan dalam sinar matanya. Tapi
ketika Arya terus menatap lembut, Melati tak kuasa memaksakan kehendaknya.
Sampai akhirnya, dihembuskannya napas berat seraya melangkah mundur ke tempat
semula. "Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan padaku, Melati."
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu mengalihkan perhatian ke arah orang-orang dari Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang. Mereka sejak tadi hanya memperhatikan saja, ketika Dewa
Arak berbeda pendapat dengan Melati.
"Kalau saja tidak memandang nama besarmu, mungkin kami sudah menerjang wanita
iblis itu untuk mengadu nyawa, Dewa Arak." Tombala telah lebih dulu berkata,
sebelum Arya sempat membuka suara. "Oleh karena itu, kumohon kau bersedia
menyingkir dari tempatmu. Kami tidak ingin bentrok denganmu. Dan kau bukanlah
orang yang kami inginkan."
"Kuucapkan terima kasih atas penghormatan yang kau berikan padaku, Kang Tombala.
Tapi, kumohon bersikap sabarlah dalam menghadapi persoalan ini. Mungkin perlu
kuberitahukan padaku, kawanku ini bukan orang yang kau tuduhkan. Dan...."
"Dewa Arak!" potong Tombala keras. "Kami bersikap mengalah padamu bukan karena
gentar. Perasaan seperti itu tidak ada dalam hatiku! Dan juga dalam hati semua
anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Kami tidak ingin bentrok denganmu,
karena kau adalah seorang pendekar yang berdiri di jalan kebenaran. Tapi kalau
peringatanku tetap tidak diindahkan, terpaksa aku harus bertarung denganmu!"
Keras dan berapi-api ucapan Tombala. Sementara,
rombongan Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang yang rupanya sejak tadi sudah
dilanda kemarahan hebat, menyambut gembira ucapan Tombala yang rupanya menjadi
pemimpin mereka.
"Hidup, Kakang Tombala...!" teriak seorang pengemis yang berkumis tebal sambil
mengacungkan tangannya yang terkepal tinggi-tinggi ke atas.
"Hidup...!" sambut pengemis yang berwajah hitam.
"Basmi si Siluman Pencabut Nyawa...!"
"Gantung...!"
"Bakar...!"
Hanya dalam sekejap saja, suasana di sekitar tempat itu kontan gaduh. Semua
anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang saling berebutan mengutarakan
kebencian terhadap Melati.
"Diam...!"
Untuk yang kedua kaiinya, terdengar teriakan keras yang dimaksudkan untuk
menghentikan kegaduhan. Tapi, kali ini bukan keluar dari mulul Tombala,
melainkan dari mulut Dewa Arak! Wajah pemuda berambut putih
keperakan itu tampak merah padam. Sepasang matanya tampak mencorong kehijauan,
seperti mata seekor
harimau dalam gelap! Jelas, amarah Dewa Arak telah sampai ke ubun-ubun.
*** 3 Bentakan yang dikeluarkan Dewa Arak menimbulkan
akibat luar biasa! Orang-orang dari Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang
merasakan seperti ada halilintar menggelegar di dekat telinga, hingga sampai
berdengung keras.
Dada pun kontan berg-tar hebat. Kecuali Tombala, semua anggota Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang segera mendekapkan kedua tangan ke telinga. Padahal,
Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kedi tenaga dalamnya.
Memang, meskipun hatinya panas terlanda amarah, Dewa Arak masih menghormati
keselamatan orang-orang
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.
"Tombala! Bisa kau jelaskan padaku, apa alasanmu dan seluruh gerombolanmu
sehingga melemparkan
tuduhan sekeji itu pada kawanku"!" pinta Dewa Arak bernada mendesak, ketika
melihat kegaduhan telah berhasil diredakan.
"Baiklah, Dewa Arak." kata Tombala mengalah. "Akan kujelaskan persoalan
sebenarnya, agar kau tidak menuduh Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang sebagai
orang-orang yang suka melempar fitnah."
Tombala menghentikan ucapannya sejenak untuk
meredakan keterkejutan yang melanda hatinya. Bentakan Dewa Arak tadi memang
membuatnya terkejut, walaupun hanya sesaat.
Dewa Arak sama sekali tidak menyelak ucapan
Tombala. Ditunggunya pengemis tinggi kurus itu melanjutkan penjelasannya. Hal
yang sama pun dilakukan Melati.
Dibiarkannya saja Arya menyelesaikan persoalan itu.
"Kawanmu ini telah membunuh beberapa orang
anggota perkumpulan kami. Lebih tepatnya lagi, beberapa orang murid kepala, dan
tiga orang murid tingkat tiga,"
jelas Tombala, dengan suara bergetar pertanda
kemarahannya tengah menggelegak. "Dan bukan hanya itu saja. Dia pun telah
membunuh banyak penduduk Desa Gondang. Tidak hanya orang dewasa saja yang
dibantai-nya, tapi juga anak-anak. Bukankah hal itu telah cukup menjadi alasan
untuk melenyapkannya?"
Arya menolehkan kepalanya kepada Melati.
"Benar semua yang dikatakan Tombala, Melati?" tanya Arya berbasa-basi. Dan Dewa
Arak yakin benar kalau Melati tidak akan mungkin melakukan tindakan sekeji itu.
"Semua yang dituduhkannya fitnah belaka, Kakang.
Jangankan membunuh. Menginjakkan kaki di tempat ini pun baru sekali ini!" bantah
Melati, berapi-api.
"Mana ada maling mengaku"!" sergah Tombala, sinis.
"Keparat! Mulutmu kelihatannya terlalu kurang ajar!
Kalau tidak kuhajar, akan semakin kurang ajar!"
Setelah berkata demikian. Melati melompat menerjang Tombala. Tangan kanannya
yang berjari lentik dikibaskan ke arah mulut pengemis bertubuh tinggi kurus Itu.
Wuttt..! Deru angin keras mengiringi tibanya tangan Melati.
Tapi, Tombala bertindak lebih cepat. Meskipun sempat terkejut melihat cepatnya
sambaran tangan Melati, namun dia masih sempat melempar tubuh ke belakang.
Hasilnya, serangan Melati menyambar tempat kosong!
Melati yang sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi, tidak membiarkan lawan
lolos begitu saja. Dia pun melesat mengejar lawan yang mendarat berjarak tiga
tombak dari tempat semula.
Namun sebelum maksud gadis berpakaian putih itu
tersampaikan, anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang tidak tinggal
diam. Begitu melihat Melati meluruk ke arah Tombala, bagai diberi pcrintah
tangan-tangan mereka bergegas bergerak mengibas. Dan....
Sing, sing, sing...!
Entah bagaimana caranya, gelang-gelang berwarna
putih yang semula berada di tangan masing-masing anggota Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang tahu-tahu melayang ke arah Melati. Anehnya lagi, hanya satu
gelang saja yang meluncur dari masing-masing tangan mereka.
Hal ini menjadi pertanda kalau mereka sudah terlatih menggunakannya.
Melati tidak berani memandang ringan. Terpaksa
serangan terhadap Tombala dibatalkan. Dan kini perhatiannya dipusatkan untuk
menghadapi serangan-serangan yang tengah meluncur ke berbagai bagian tubuhnya.
Hanya sekali lihat saja. Melati Iangsung bisa
mengetahui gelang-gelang yang meluncur lebih dulu. Ada dua buah gelang yang
berada beberapa jari di depan yang lain. Cepat Melati mengulurkan kedua
tangannya. Tap, tap! "Hih!"
Trang, tring, trang...!
Suara berdentang nyaring terdengar, diselingi ber-pijarnya bunga-bunga api ke
udara. Hal itu terjadi ketika Melati berhasil menangkap dua gelang baja, dan
langsung membenturkannya pada gelang-gelang yang meluncur belakangan.
Seketika itu juga, gelang-gelang baja terpental balik.
Bahkan beberapa di antaranya meluncur balik ke arah pemiliknya semula. Karuan
saja hal itu membuat orang-orang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang kelabakan!
Sedapat-dapatnya, mereka melakukan tindakan me-
nyelamatkan diri. Ada yang melempar tubuh ke belakang, dan sebagian lagi
menundukkan tubuh. Sisanya membanting tubuh ke tanah.
Tidak sia-sia tindakan yang dilakukan. Meskipun secara agak tergesa-gesa, tapi
nyawa berhasil diselamatkan.
Tapi, Melati tidak tinggal diam. Begitu lawan-lawannya berhasil menyelamatkan
diri, dua buah gelang baja yang berada di tangannya segera di luncurkan.
Wung, wung...! Diiringi suara mengaung yang jauh lebih keras dari luncuran gelang-gelang baja
lawan-lawannya, dua buah gelang itu melesat ke arah dua di antara belasan orang
anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Hebatnya luncurannya disertai
putaran yang begiru cepat.
Kontan wajah dua orang anggota Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang yang mendapat serangan itu pucat pasi. Luncuran gelang-
gelang baja itu terlalu cepat.
Tambahan lagi, pada saat itu mereka baru saja mengelakkan serangan senjata yang
berbalik. Itu pun dilakukan dengan susah payah.
Tapi sebelum gelang-gelang baja itu mengenai mereka, dari arah yang berlawanan
meluncur pula dua buah gelang baja. Dan gelang-gelang baja yang meluncur
belakangan ini, tampaknya akan memapak gelang-gelang baja yang dilemparkan
Melati. Trang, trang! Benturan antara dua buah gelang yang sama bentuk dan ukurannya tak bisa
dielakkan lagi. Bunga-bunga api seketika memercik ke udara. Sedangkan gelang-
gelang baja yang meluncur belakangan langsung terpental balik ke belakang.
Sementara gelang-gelang baja yang dlayangkan Melati hanya terpukul jatuh dan
sama sekali tidak terpental ke belakang. Hal ini menjadi pertanda kalau tenaga
orang yang memapak, di bawah tenaga Melati.
Melati mengalihkan pandangan ke arah si pengirim gelang-gelang baja itu.
Ternyata, orang itu adalah Tombala.
"Hampir saja kau menyebarkan maut kembali. Wanita Sesat!" seru Tombala, penuh
geram. Usai berkata demikian. Tombala memberi isyarat
menyerang pada anak buahnya. Maka tanpa menunggu perintah dua kali, belasan
anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang bergerak mengurung Melati. Di tangan
mereka tergenggam sebatang tongkat pendek terbuat dari baja, dan memiliki ujung
runcing. Melati bersikap waspada, dan sama sekali tidak
melakukan tindakan apa-apa. Gadis berpakaian putih ini tetap berdiri di tempat
semula, seperti tidak peduli atas kejadian yang berlangsung di sekelilingnya.
Tapi menilik dari sepasang biji matanya yang berputaran liar, bisa diketahui
kalau Melati telah bersiap menghadap segala kemungkinan yang akan terjadi.
Sementara itu di belakangnya. Dewa Arak sama sekali tidak menunjukkan tanda-
tanda membantu Melati. Rupanya, pemuda berambut putih keperakan itu merasa yakin
kalau tanpa bantuannya Melati akan mampu memberes-kan lawan-lawannya.
*** "Serbu...!"
Teriakan keras Tombala menyebabkan anak buahnya
yang telah mengurung Melati langsung melancarkan serangan. Tongkat-tongkat baja
di tangan mereka diluncurkan ke berbagai bagian tubuh yang mematikan.
Pada saat yang bersamaan, Tombala pun melancarkan serangan pula. Bahkan
serangannya langsung dibuka dengan melemparkan gelang-gelang baja, lalu baru
melompat menerjang disertai tusukan-tusukan tongkat.
Meskipun serangan meluncur ke berbagai penjuru,
Melati tidak gugup. Ditunggunya hingga semua serangan itu mendekat, lalu
tangannya bergerak ke punggung.
Srattt! Sinar terang membersit ketika Melati mencabut
pedangnya. Dan secepat pedang itu terhunus, secepat itu pula diputar-putar
dengan kecepatan dahsyat. Seketika itu pula tubuhnya lenyap, terbungkus gulungan
sinar pedang yang diputarkannya. Dan....
Trang, tring, trang...!
Benturan keras terdengar berulang-ulang ketika senjata para anggota Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang berbenturan dengan pedang Melati. Termasuk di antaranya
serangan gelang baja Tombala. Semuanya kandas!
Bahkan juga terdengar pekik-pekik kesakitan begitu tangan yang menggenggam
tongkat terasa sakit-sakit dan lumpuh. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi,
senjata-senjata itu terlepas dari pegangan.
Hanya Tombala seorang yang tidak melepaskan
senjatanya walau tangannya juga tergetar hebat. Memang, Melati langsung
mengerahkan seluruh tenaga dalam pada putaran pedangnya untuk membentengi
dirinya. Maka tentu saja anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu
tidak mampu menahan.
Tapi sebelum Melati sempat melancarkan serangan
susulan.... "Cukup, Melati...!"
Melati langsung menghentikan gerakan. Tanpa mem-
balikkan badan sudah bisa diketahui kalau orang yang telah mengeluarkan cegahan
itu adalah Arya.
"Ada apa, Kang. ."!"
"Nanti kuberi tahu. Sekarang, mari kita pergi!"
Tanpa memberi kesempatan pada Melati untuk meng-
ajukan pertanyaan lagi, Dewa Arak segera melesat meninggalkan tempat itu.
Terpaksa, gadis berpakaian putih itu mengikutinya dengan melesat cepat bagai


Dewa Arak 41 Macan-macan Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kilat. Tombala dan seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang tidak berdaya
mencegah kepergian
mereka. Disadari kalau Dewa Arak tidak mengeluarkan cegahan, akan banyak jatuh
korban di antara mereka. Kini yang bisa dilakukan hanya menatap tubuh Melati
yang semakin mengecil di kejauhan dengan sorot mata geram.
"Hhh...!" Tombala menghembuskan napas berat.
"Siluman itu terlalu kuat untuk kita. Sekalipun kita bersama- sama, tetap saja
dia tidak bisa dilumpuhkan."
Ucapan Tombala terdengar tidak bersemangat. Lesu.
Selesu tarikan wajahnya. Rupanya, dia merasa terpukul.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang, Kang?"
tanya pengemis yang berkumis tebal.
"Tidak ada jalan lain lagi. Kita kembali ke markas dan menceritakan semuanya
pada ketua. Hanya ketualah yang bisa membalaskan sakit hati ini," jelas Tombala.
"Wanita siluman itu ternyata memang lihai, Kang.
Serangan gabungan kita mudah sekali dipatahkannya.
Entah bagaimana jadinya kalau Dewa Arak tidak mencegahnya...?" desah anggota
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang yang berwajah hitam.
"Mungkin kau sudah mampus!" tukas Tombala, bernada tidak senang.
Pengemis berwajah hitam terperanjat. Dirasakan adanya nada ketidaksenangan dalam
ucapan Tombala. Dan hal itulah yang membuatnya heran. Mengapa Tombala marah-
marah" Ternyata bukan hanya pengemis berwajah hitam itu saja yang merasa heran. Yang
Iain pun juga terkejut.
Dengan raut wajah dan sorot mata kebingungan, mereka menatap Tombala.
"Dewa Arak tidak kalah jahatnya dengan wanita siluman itu! Kalian dengar"!"
tegas Tombala yang rupanya mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di hati
anak buahnya. "Kalian tahu, mengapa kukatakan demikian"!"
Tombala menatap satu persatu wajah-wajah di
hadapannya. Tanpa sadar, setiap yang dipandang menggelengkan kepala.
"Sebenarnya Dewa Arak memiliki kemampuan untuk melenyapkan wanita siluman itu.
Tapi, entah kenapa tidak dilakukannya. Sebagai akibatnya, korban akan terus ber-
jatuhan! Bukankah itu berarti Dewa Arak tidak kalah jahatnya dengan wanita
siluman itu"! Buktinya, wanita siluman itu dibiarkannya saja mengganas!"
Sekarang, baru orang-orang Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang itu mengerti maksud ucapan Tombala.
Mereka pun mengangguk-anggukkan kepala Sungguh pun tidak terlalu benar, memang.
Melihat anggukan yang mempunyai arti kalau mereka membenarkan kesimpulan yang
didapat, Tombala Jadi semakin bersemangat.
"Kehadiran Dewa Arak malah menyulitkan kita dalam membasmi wanita siluman itu.
Jelas-jelas terlihat kalau Dewa Arak berada di pihaknya. Aku yakin, dia tidak
akan tinggal diam apabila wanita siluman itu berada dalam bahaya!"
Untuk kedua kalinya kepala semua anggota
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang terangguk-angguk pertanda membenarkan ucapan
Tombala. Buat mereka, alasan Tombala memang masuk akal. Telah disaksikan sendiri
pembelaan Dewa Arak terhadap gadis berpakaian putih itu.
"Sekarang, lebih baik kita kembali ke markas. Tidak ada gunanya lagi mengejar-
ngejar wanita siluman itu. Dia terlalu sakti Apalagi dengan adanya Dewa Arak di
samping-nya."
Begitu ucapannya selesai, Tombala melangkah
meninggalkan tempat itu. Terlihat lesu sekali langkahnya.
Dan langkah-langkah yang tak kalah lesu dari anggota Perkumpulan Pengemis Gelang
Terbang tampak mengikuti di belakang.
Tombala dan anak buahnya meninggalkan tempat itu tanpa memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Sama sekali tidak dipedulikan keberadaan penduduk desa yang
sebagian besar mengintai dari tempat yang tersembunyi.
Dari balik pintu, jendela, semak-semak dan pepohonan yang berada di sekitar
tempat itu. *** "Mengapa kau mencegahku Kang?"
Begitu telah berada sejajar dengan langkah Dewa Arak, Melati langsung mengajukan
pertanyaan bernada penuh tuntutan.
"Kau tidak bisa menduganya, Melati?" Arya malah balas bertanya tanpa
menghentikan ayunan kakinya.
"Aku tidak mau memikirkan alasannya, Kang," sahut Melati, penasaran. "Yang
kutahu, mereka telah terlalu menghinaku. Dan aku tidak sudi membiarkannya!"
Arya tersenyum pahit. Bisa dimaklumi perasaan yang berkecamuk di hati Melati,
dan sama sekali tidak bisa disalahkan. Tapi, orang-orang Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang itu pun tidak bisa disalahkan! Mereka hanya keliru mengenali
orang! Demikian kesimpulan yang didapat Arya.
"Aku tahu perasaan hatimu, Melati. Karena, aku pun mengalaminya. Itulah
sebabnya, aku tidak bisa menahan kemarahanku. Dengan kekerasan, kusuruh mereka
menghentikan ucapan. Tapi, percayalah. Dalam memecahkan masalah ini, yang
dibutuhkan hanyalah ketenangan. Jika tidak masalah yang timbul akan semakin
berlarut-larut,"
ujar Arya panjang lebar.
Melati kontan terdiam, tidak bicara lagi. Dia tahu, ucapan Arya belum selesai.
Maka, ditunggunya kelanjutan ucapan itu sambil terus berlari.
"Aku percaya, kau bukan pelaku semua kekejian itu.
Tapi aku pun yakin, orang-orang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu tidak
menyebarkan tuduhan secara membabi buta. Mereka pasti mempunyai alasan kuat!"
"Maksudmu..., ada orang yang menyamar sebagai diriku dan menyebar kejahatan di
sini, Kang"!" duga Melati.
"Tepat!"
Melati kontan terdiam. Disadari kalau hal seperti itu bukan tidak mungkin. Baik
dirinya maupun Dewa Arak telah terlalu banyak menumpas keangkaramurkaan. Dan
sudah pasti, banyak menebarkan bibit permusuhan dan dendam. Dan tindakan seperti
itu merupakan buktinya.
"Kita berhenti di sini, Melati."
Arya menghentikan larinya, diikuti Melati. Kini, mereka berada di bagian desa
yang penuh ditumbuhi semak-semak dan pepohonan yang cukup lebat. Dewa Arak
segera mengedarkan pandangan berkeliling. Jelas, ada sesuatu yang tengah
dicarinya. Hal ini membuat Melati mengedarkan pandangannya pula. Padahal, dia
tidak tahu apa yang tengah dicari Arya.
Sesaat kemudian, Dewa Arak berjalan menghampiri
sebatang pohon yang tumbuh, lalu duduk di atasnya. Kini, Melati tahu apa yang
tengah dicari kekasihnya. Tanpa berkata apa-apa, dia juga duduk di sebelah
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Itulah sebabnya, aku mencegahmu menurunkan tangan jahat pada orang-orang
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Bahkan kalau bisa, sedapat mungkin harus
menjauhi bentrokan. Yang harus dicari adalah orang-orang yang telah melakukan
kekejian terhadap
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang dan penduduk Desa Gondang." jelas Arya lagi.
"Jadi, kita harus menyingkap rahasia itu, Kang"!"
"Benar." jawab Arya, singkat.
"Kapan penyelidikan itu akan dilakukan, Kang"!" tanya Melati lagi. "Aku sudah
tidak sabar lagi menghancurkan kepala orang yang telah begitu berani menyamar
sebagai diriku'"
"Nanti malam."
Melati tidak mengajukan pertanyaan lagi. Rupanya, sudah tidak ada lagi yang
ingin ditanyakannya Dewa Arak pun diam. Maka, suasana jadi hening. Yang
terdengar hanyalah suara desau angin menyibakkan daun-daun pepohonan dan semak
semak. "Kang...!"
Sapaan Melati yang bernada sentakan membuat Arya menoleh. Dia tahu, ada hal
penting yang akan disampaikan Melati. Sesuatu yang mungkin saja terlintas di
benaknya. Maka, ditatapnya gadis itu penuh perhatian.
"Jangan-jangan....., pelaku kekejian itu orang yang menghadangku di tepi sungai.
Kelihatannya dia benci sekali padaku. Dan... kepandaiannya cukup tinggi," urai
Melati mengajukan dugaan.
Arya tercenung dengan dahi berkernyit. Rupanya,
dugaan gadis berpakaian putih itu tengah dipikirkannya.
"Tapi, bukankah orang itu mengenakan pakaian biru"!"
bantah Arya. "Ah! Apa susahnya mengganti pakaian, Kang," sergah Melati.
"Tapi, bukankah orang itu berada ditempa yang jauh dari sini"!"
Melati diam. Memang, wanita berpakaian biru berada di tempat yang cukup jauh
dari sini. Masih dipisahkan hamparan padang pasir yang luas.
"Meskipun begitu, orang itu tetap mencurigakan.
Sambil mencari keterangan tentang orang yang telah menyamar sebagai dirimu, kita
selidiki pula dia."
Arya yang tidak ingin mengecewakan Melati, buru-buru menyambung ucapannya. Dan
Melati yang tahu maksudnya jadi tersenyum pula. Kemudian, kepalanya disandar-kan
di bahu Arya. *** 4 Sang surya belum lama tenggelam di ufuk Barat,
meninggalkan bias-bias berwarna kemerahan di kaki langit tempat terbenamnya.
Tugasnya pun digantikan sang dewi malam, sehingga persada tidak selalu
terkungkung dalam kegelapan.
Namun meskipun hari belum terhitung malam, suasana di Desa Gondang sudah sepi.
Tidak terlihat seorang penduduk pun yang berada di luar rumah. Bahkan rumah-
rumah pun telah tertutup rapat, baik pintu maupun jendela-nya. Tampaknya mereka
tengah dicekam perasaan takut yang hebat.
Dalam suasana seperti itu, dua sosok bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Yang
terlihat hanyalah dua sosok bayangan ungu dan putih tanpa bentuk yang jelas.
Kalau ada penduduk yang melihatnya, tentu akan menyangka dua hantu yang tengah
be canda di bawah siraman lembut rembulan.
Dua sosok bayangan itu berkelebatan cepat melalui tempat-tempat tersembunyi.
Terkadang melalui semak-semak atau pepohonan. Dan kadang pula melalui atap rumah
penduduk. Enak saja dua sosok bayangan itu melompat dari satu atap ke atap yang
lain. Menilik dari tindakannya bisa diketahui kalau dua sosok bayangan itu,
tidak ingin diketahui orang.
Cukup lama juga sosok bayangan ungu dan putih itu berkelebat, sebelum akhirnya
berhenti. Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang letaknya agak menyendiri.
Dua sosok bayangan itu mengedarkan pandangan berkeliling. Dalam siraman sinar
rembulan yang cukup terang, terlihat cukup jelas wajah dan perawakan dua sosok
tubuh itu. Mereka tak lain Dewa Arak dan Melati!
Setelah yakin kalau tidak ada orang yang melihat keberadaan mereka. Dewa Arak
menghampiri pintu. Lalu didorongnya tanpa mengerahkan dalam. Tapi ternyata pintu
itu sama sekali tidak bergeming! Jelas, pintu itu ter-kunci.
"Dobrak saja, Kang " bisik Melati, mengajukan usul.
"Akan terlalu banyak menimbulkan keributan, Melati. Ki Gibar dan keluarganya
pasti akan terkejut. Bukankah kau tidak menginginkan hal itu terjadi?" sahut
Arya, memberi alasan.
Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mem-
benarkan. Tapi Arya hanya sempat melihat sekilas anggukan itu saja, karena
sesaat kemudian perhatiannya sudah beralih pada daun pintu rumah milik Ki Gibar.
Arya menempelkan kedua telapak tangannya ke daun pintu. Sesaat kemudian, dari
sekujur tangannya mengepul asap tipis. Kalau saja Melati tidak terlalu
memperhatikan, mungkin tidak akan terlihat. Tanpa bertanya pun Melati tahu, Arya
tengah mengerahkan tenaga dalam andalannya,
'Tenaga Sakti Inti Matahari' Hal itu dilakukannya agar tidak menimbulkan
keributan saat membuka pintu.
Beberapa saat kemudian, Dewa Arak melepaskan
kedua telapak tangannya di daun pintu.
"Mari kita masuk, Melati," ajak Arya sambil menoleh ke arah Melati.
Setelah berkata demikian, Arya menggerakkan tangan mendorong daun pintu. Dan....
Krakkk! Terdengar suara berderak pelan seperti ada sesuatu yang patah. Maka, daun pintu
itu pun bergerak membuka.
Seketika itu juga, mata sepasang pendekar muda itu ter-tumbuk pada deretan kursi
dan meja. Memang, rumah yang dimasuki adalah kedai Ki Gibar.
Tapi, Arya dan Melati sama sekali tidak memperhatikan semua itu. Mereka langsung
saja melangkah masuk.
Suasana di dalam ruangan itu tampak cukup terang oleh obor kecil di salah satu
dindingnya. Begitu berada di dalam, Arya dan Melati langsung menutup daun pintu kembali.
Tapi berbeda dengan Arya yang terus melangkah, Melati masih menyempatkan diri
melihat akibat 'Tenaga Sakti Inti Matahari'. Tampak potongan palang pintu dalam
keadaan hangus di lantai.
Kekaguman Melati terhadap Arya semakin besar. Dia tahu, kekasihnya memang
bermaksud menghanguskan
palang pintu dengan penggunaan tenaga dalam yang istimewa. Dengan tingkat
kepandaian yang dimiliki Dewa Arak, memang bukan hal yang sulit. Padahal, palang
pintu itu berada di bagian dalam. Dari sini saja bisa diperkirakan ketinggian
tingkat kepandaian Dewa Arak.
Sementara itu, Arya tanpa peduli langsung duduk di kursi. Melati juga duduk di
kursi yang terletak di depan Arya, dan hanya dipisahkan sebuah meja bulat.
Meskipun merasa heran melihat tindakan Arya, Melati tidak mengajukan pertanyaan.
Dia tahu, Dewa Arak selalu memikirkan matang-matang sebelum melakukan sesuatu
hal. Mendadak....
Cit, cit, cit...!
Melati terjingkat kaget ketika mendengar suara bercicitan nyaring dan riuh.
Seakan-akan, di sekitar tempat itu kedatangan beberapa ekor tikus. Tanpa sadar,
kakinya yang tadi berada di lantai diangkat, karena memang merasa jijik terhadap
tikus. Dengan kedua telapak kaki tergantung di atas lantai, Melati mengedarkan
pandangan berkeiiling untuk mencari asal suara. Tapi, tetap saja belum ditemukan
keberadaan binatang binatang yang menjijikkan itu.
Sementara, Arya terlihat tenang-tenang saja. Tidak mempertihatkan tanda-tanda
kalau merasa terganggu oleh suara suara berisik itu. Bahkan tangannya dikibas-
kibaskan secara sembarangan ke arah deretan meja dan kursi di sekitarnya,
seiring semakin riuhnya cicit tikus-tikus yang tidak ketahuan jelas asalnya.
Suara riuh kontan terdengar. Bunyi yang timbul seakan-akan terjadi akibat tikus-
tikus yang tengah berkejaran satu sama lain, dan menabrak nabrak meja dan kursi.
Kini Melati mengerti. Tikus-tikus yang ditakutinya sama sekali memang tidak ada.
Dan suara-suara mencicit yang terdengar ternyata berasal dari mulut Arya.
Perasaan kagum kembali menyeruak dalam hati Melati. Sama sekali tidak disangka
kalau Arya pandai menirukan suara binatang demikian miripnya.
*** Melati tahu alasan Arya menimbulkan keributan-
keributan seperti itu. ApalagI kalau bukan untuk memancing kemunculan Ki Gibar
dari dalam. Kini dengan perasaan tenang, kakinya diletakkan kembali di lantai.
Sedangkan Arya semakin menjadi-jadi menimbulkan
keributan. Suara bercicitan nyaring dan kegaduhan meja serta kursi terdengar
semakin keras. Sepertinya, di tempat itu ada beberapa ekor tikus yang tengah
tertibat per-kelahian.
Rupanya, membuat keributan seperti itu cukup me-
lelahkan juga. Terbukti, pada kening dan leher Dewa Arak tampak butir-butir
keringat. Tapi hal itu tidak dipedulikan dan tetap saja tindakannya diteruskan.
Meskipun demikian. Arya memasang pendengarannya
setajam mungkin untuk mengetahui apakah pancingannya telah menarik perhatian.
Namun, bukan hanya Arya saja yang memasang pendengarannya. Melati yang sudah
mengetahui maksud kekasihnya, melakukan tindakan yang sama.
Wajah mereka kontan berseri ketika mendengar adanya suara langkah-langkah kaki
dari dalam. Menilik dari suara yang berat, bisa diketahui kalau langkah itu
tidak disertai ilmu meringankan tubuh.
Semakin lama, suara langkah kaki itu terdengar
semakin jelas. Hal ini menandakan sang pemilik tengah menuju tempat mereka.
Arya bersiap-siap. Disadari kalau pemilik langkah yang pasti Ki Gibar melihat
mereka, pasti akan lari pontang-panting kembali ke dalam. Maka, dia harus
bertindak cepat. Seketika dengan ibu jari dan telunjuknya, dipatahkannya daun
meja bagian pinggir.
Seperti yang sudah diduga Arya, begitu membuka pintu penghubung antara ruangan
dalam dengan tempat duduk pengunjung. Ki Gibar Iangsung terperanjat melihat
keberadaan Arya dan Melati. Langkah Ki Gibar terhenti seketika. Buru- buru
tubuhnya berbalik. Jelas, laki-laki pendek gemuk ini bermaksud secepat mungkin


Dewa Arak 41 Macan-macan Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan tempat itu.
Namun tentu saja Arya tidak tinggal diam. Dia tidak mau usahanya sia-sia. Maka,
buru-buru tangannya dikibaskan. Wuttt! Tukkk!
Tubuh Ki Gibar terkulai lemas ketika potongan papan sebesar jari yang
dilemparkan Arya, mendarat di jalan darah lehernya. Dan sebelum tubuh Ki Gibar
ambruk di tanah. Arya telah lebih dulu bertindak. Sabuk yang melilit pinggangnya
segera diloloskan, dan Iangsung dikibaskan.
Wuttt...! Tanpa menimbulkan suara yang berarti, sabuk itu
meluncur cepat ke arah Ki Gibar. Dan sebelum tubuhnya jatuh, sabuk telah mebiit
pinggangnya. Rrrt..! Secepat sabuk itu melilit pinggang, secepat itu pula Arya menghentakkannya. Tak
pelak lagi, tubuh Ki Gibar melayang ke arah Arya. Deras bukan kepalang. Kalau
saja bisa, tentu Ki Gibar akan menjerit ketika menyadari tubuhnya melayang.
Apalagi, ketika tahu kalau tubuhnya meluncur ke arah meja dan kursi. Tapi, hal
itu tidak mampu dilakukannya. Hanya tarikan wajahnya saja yang menunjukkan kalau
dia tengah dilanda perasaan takut yang amat sangat. Wajah Ki Gibar jadi tampak
pucat seperti mayat.
Tentu saja Arya tidak membiarkan tubuh Ki Gibar yang siap menghempas. Kembali
tangannya yang menggenggam sabuk, bergerak. Maka, luncuran tubuh Ki Gibar pun
tertahan, dan langsung meluncur turun.
Hal itu sudah diperhitungkan Arya. Maka, Dewa Arak cepat bangkit dari kursinya.
Dan sekali tangannya diulur, tubuh Ki Gibar berhasil ditangkapnya. Kemudian Arya
menepuk pelan. Maka, seketika itu pula laki-laki pendek gemuk itu bisa bergerak
kembali. Rupanya, tepukan Dewa Arak sekaligus untuk membebaskan totokan di tubuh
Ki Gibar. "Ampun.... Jangan bunuh aku...! Anakku masih kecil.
Den." rintih Ki Gibar ketika totokannya telah bebas.
Laki-laki pendek gemuk ini lalu menjatuhkan diri, ber-kirut di depan Arya dan
Melati. Memang, Melati ikut pula bangkit dari kursinya ketika Arya bangkit.
Arya dan Melati saling berpandangan.
"Bangkitlah, Ki. Tidak pantas orang setua dirimu ber-lutut di hadapan kami.
Percayalah, kami bukan orang jahat.
Bahkan kami sengaja datang kemari untuk mengetahui lebih jelas semuanya."
Sambil berkata demikian, Arya memegang kedua
pangkal lengan Ki Gibar, lalu mengangkatnya bangun. Di-kerahkannya sedikit
tenaga dalam untuk memaksa laki-laki tua itu bangun.
Ki Gibar menengadahkan wajah Ditatapnya wajah Arya dan Melati. Ada sorot harapan
memancar di sana. Harapan untuk hidup. Kemudian, perlahan-lahan tubuhnya
bergerak bangkit, karena tahu kalau lama kelamaan tidak akan kuat bertahan dari
cekalan kedua tangan yang berusaha keras mengangkatnya.
"Benarkah apa yang kau katakan itu, Den?" tanya Ki Gibar, setelah berdiri tegak.
Masih terasa adanya nada ketidakpercayaan dalam suaranya.
Arya menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar.
"Aku dan kawanku ini bukan orang jahat, Ki. Bukan!
Namaku Arya, dan kawanku Melati. Semula, kami bemiat sekadar lewat saja di desa
ini. Kemudian kami singgah di kedai ini untuk sekadar mengisi perut. Tapi,
sambutan yang diterima terlalu mengejutkan! Kami, atau lebih tepatnya kawanku
ini, malah dituduh sebagai pembunuh keji!"
Arya menghentikan ucapannya. Sementara, Melati dan Ki Gibar mendengarkannya
penuh minat. "Itulah sebabnya, kami sengaja datang kemari, Ki,"
sambung Arya "Untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai pembunuh itu."
"Benar, Ki," timpal Melati. "Aku sama sekali tidak pernah melakukan semua
kekejian seperti yang dituduhkan. Bagaimana mungkin kulakukan berbagai macam
kejahatan. Padahal, aku baru saja tiba di desa ini"!"
Ki Gibar menatap wajah Arya dan Melati berganti-ganti.
Disadari ada kesungguhan, baik dalam ucapan maupun tarikan wajah sepasang muda
mudi di hadapannya. Kini mulai timbul adanya rasa percaya di hatinya terhadap
Arya dan Melati.
"Pikirkanlah baik-baik, Ki." kata Dewa Arak lagi. "Kalau memang kami berdua
orang jahat, mungkin sudah banyak orang yang kami bunuh! Baik yang berada di
kedai ini, maupun anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.
Tapi buktinya, kau lihat sendiri 'kan, Ki" Tak seorang pun yang kami bunuh.
Padahal, itu hanya sebuah tindakan yang amat mudah!"
Ki Gibar tetap diam. Meskipun demikian, hati kecilnya menyadari adanya kebenaran
dalam ucapan Arya dan Melati. Telah disaksikannya sendiri bukti-bukti ucapan
Arya dan Melati.
"Rasanya sulit dipercaya kalau kau bukan pelaku semua kekejian itu, Nisanak,"
kata Ki Gibar, setengah berdesah. "Wajah, potongan rambut, dan pakaian yang kau
kenakan sama persis dengan pembunuh keji itu. Bahkan namanya pun sama. Dia
memperkenalkan diri sebagai Melati."
Arya dan Melati saling berpandangan sebentar.
"Apakah kau pernah menyaksikan pembunuh keji itu, Ki?" tanya Melati.
"Tentu saja. Nisanak! Kalau tidak, bagaimana mungkin kukatakan kalau kau sangat
mirip dengan si pembunuh"!"
sahut Ki Gibar cepat, sambil menganggukkan kepala. "Aku melihat sendiri ketika
kau.... ah! Maksudku pembunuh itu membantai orang-orang desa! Dia mengamuk
membabi buta. Bahkan anak kecil pun menjadi korbannya!"
"Bisa kau ceritakan sedikit kejadiannya, Ki?" pinta Arya, pelan.
"Baiklah, Arya." sahut Ki Gibar. "Tapi, sebaiknya kita duduk dulu. Mari, mari
silakan duduk "
Laki-laki pendek gemuk ini mendahului duduk, diikuti Arya dan Melati. Mereka
duduk mengelilingi sebuah meja berbentuk persegi panjang.
"Peristiwanya terjadi kira-kira sebulan yang lalu.
Seorang wanita cantik jelita, berpakaian putih, dan berambut panjang datang. Dan
seperti juga kedatangannya yang sama sekali tidak disangka-sangka, gadis itu pun
mengamuk tanpa terduga. Setiap orang yang berpapasan dengannya, dibunuh dengan
pedangnya yang berukir kepala seekor naga. Seketika seisi Desa Gondang geger!"
Sampai di sini Ki Gibar menghentikan cerita untuk mencari kata-kata yang tepat
sebagai penyambung cerita.
"Penduduk yang tidak tinggal diam melihat kekejaman itu, lantas mengadakan
perlawanan. Tapi, mereka dengan mudah berhasil ditumpas wanita siluman itu.
Bahkan Karaeng, guru silat desa ini tewas di tangannya. Hal ini menyadarkan
penduduk desa kalau wanita siluman itu tidak mungkin dilawan. Dengan terpaksa
mereka mundur. Sementara, wanita berpakaian putih itu tertawa penuh kemenangan sambil
mengucapkan kata-kata bernada
penuh kesombongan."
"Apa yang dikatakannya, Ki?" selak Melati tak sabar.
Wajah Melati tampak merah padam. Memang, gadis
berpakaian putih ini tengah dilanda amarah oleh tindakan orang yang menyamar
sebagai dirinya. Setiap kali Ki Gibar menyebut wanita siluman, Melati merasakan
seperti makian itu ditujukan ke arahnya.
Bukannya menjawab, Ki Gibar malah menundukkan
kepala. Karuan saja, hal ini membuat Melati semakin tidak sabar. Tapi, Dewa Arak
segera menyentuh tangannya untuk menyabarkan. Arya yang tahu kalau Ki Gibar
tidak enak untuk mengatakannya, segera membujuk.
"Katakanlah, Ki. Percayalah. Kami telah siap mendengarnya," pinta Arya pelan.
"Hi hi hi...! Orang seperti kalian hendak membunuhku"!
Kalian tahu siapa aku"! Namaku Melati, Dewi Penyebar Maut! Akan kubunuh kalian
semua!" tutur Ki Gibar, menirukan ucapan Melati palsu.
"Jadi, itu yang dikatakannya?" tanya Arya. Sementara Melati sudah menundukkan
kepala. Ki Gibar menganggukkan kepala.
"Terima kasih atas petunjukmu, Ki. Kau telah banyak membantu kami. Sekarang,
kami mohon diri untuk mencari orang yang telah bertindak demikian keji!"
Kedele Maut 1 Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Raja Naga 7 Bintang 6
^