Gerombolan Singa Gurun 2
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun Bagian 2
Sementara itu, laki-laki pendek kekar ini memang bukan orang bodoh. Dia tahu,
Melati mengejarnya. Dan sudah bisa diperkirakan kalau akan terkejar, Melati
memang sungguh-sungguh ingin membunuhnya.
Meskipun demikian, laki-laki pendek kekar itu tidak mau menyerah begitu saja.
Tetap seluruh ilmu lari cepatnya
dikerahkan. Maka adu kejar-mengejar pun segera terjadi.
Suara berisik kaki-kaki yang menginjak rerumputan dan melanggar semak-semak pun
langsung terdengar. Memang, kedua orang itu sama sekali tidak mempedulikan
rintangan di depan. Sekalipun rintangan itu semak-semak berduri, tetap saja
diterabas. Dengan pengerahan tenaga dalam yang dimiliki, bukan hal yang sulit
untuk membuat kulit dan daging mereka tidak terluka oleh tajamnya duri.
*** Sang pemimpin gerombolan itu bukan orang bodoh. Ketika adu kejar-mengejar telah
berlangsung cukup lama, tapi jarak antara mereka sama sekali tidak berubah,
seketika timbul perasaan curiganya. Maka benaknya langsung diputar.
Hanya dalam sekejapan saja, laki-laki pendek kekar itu telah menemukan dugaan
yang menjadi penyebab tindakan lawannya.
Gadis berpakaian putih itu pasti sengaja menguntitnya, dan berarti ingin
mengetahui sarangnya.
Dugaan yang muncul, membuat laki-laki pendek kekar itu mengurungkan maksudnya
semula. Memang, dia tidak ingin sarang gerombolannya diketahui oleh siapa pun.
Karena bila hal itu terjadi, hukuman berat akan didapatnya, maka buru-buru arah
larinya dialihkan.
Namun, Melati sama sekali tidak tahu kalau buruannya telah menyelewengkan arah.
Dan dia tetap saja meneruskan pengejaran. Gadis berpakaian putih ini sama sekali
tidak sadar kalau laki-laki pendek kekar itu telah mempunyai rencana lain.
Pandangan mata Melati terus mengikuti tubuh pemimpin Gerombolan Singa Gurun yang
terus melesat di depan, menyeruak semak-semak dan pepohonan. Tak sedikit di
antara tanaman-tanaman berduri tajam itu yang menyayat kulit dan daging.
Takkk! Sing, sing, sing...!
"Hey!"
Melati terpekik kaget ketika
mendengar desingan tajam yang disusul berkelebatnya beberapa batang tombak dari
kanan kirinya. Gadis berpakaian putih ini tahu kalau kakinya telah menyentuh
sesuatu yang diyakininya sebagai pelatuk yang menyebabkan tombak-tombak itu
melesat ke arahnya.
Meskipun kejadiannya demikian
mendadak, Melati tidak gugup. Segera dipapaknya kedatangan tombak-tombak itu
dengan kedua tangannya.
Takkk, takkk, takkk!
Suara berdetak keras terdengar ketika
tombak-tombak itu runtuh ke tanah dalam keadaan patah-patah.
"Hehhh"!"
Seruan keterkejutan keluar dan mulut laki-laki pendek kekar ketika melihat
tombak-tombak itu gagal mencapai sasaran.
Memang, Melati sengaja diajak ke tempat-tempat yang banyak mengandung jebakan.
Tentu saja agar gadis itu celaka.
Sementara bagi gadis itu, jebakan-jebakan tadi sama sekali tidak membahayakan.
Apalagi, telah diketahuinya betul letak tempat-tempat yang berbahaya.
Tapi laki-laki pendek kekar itu tidak larut dalam keterkejutan. Seiring
keluarnya teriakan keterkejutan, dia terus melesat kabur. Sedangkan Melati tentu
saja tidak membiarkan buruannya lolos. Kembali dia melesat mengejar.
Tapi.... Takkk! Wukkk! "Hih!"
Pyarrr! Kejadiannya berlangsung demikian
cepat. Untuk yang kedua kalinya, kakinya menghantam sesuatu. Dan tahu-tahu,
sebatang pohon yang masih lengkap dengan daun-daun dan ranting-ranting menyabet
ke arah dada. Agak bergegas, Melati memapaknya dengan kedua tangan hingga pohon
itu hancur berkeping-keping.
Melati langsung melompat mundur.
Tarikan wajahnya masih menyiratkan keterkejutan. Memang, kejadian yang baru saja
dialami membuatnya kaget.
Dalam hati, dia memuji kerajinan orang yang telah membuat perangkap seperti itu.
Karena, hal itu membutuhkan perhitungan yang cukup matang.
Namun Melati tidak sudi membiarkan dirinya berlama-lama hanyut dalam
kekagetan. Kembali kakinya melangkah untuk mengejar buruannya yang kembali
melesat kabur, ketika Melati berhasil mematahkan penghalang. Maka kejar-mengejar
pun kembali terjadi.
Tapi, kali ini Melati tidak berani bertindak sembarangan. Diperhatikannya betul-
betul setiap tempat yang diinjak pimpinan Gerombolan Singa Gurun
Dan memang, setelah mempergunakan cara seperti ini, jebakan seperti sebelumnya tidak
lagi ditemui. Melati mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk indah ketika melihat
buruannya masih terus saja berlari.
Begitu jauhkah sarang Gerombolan Singa Gurun itu" Jangan-jangan laki-laki pendek
kekar itu sengaja menipunya! Kini
perasaan curiga mulai bersemayam di hati Melati.
Sementara itu, adu kejar-mengejar
kini telah berpindah tempat. Melati dan pemimpin Gerombolan Singa Gurun telah
berada di sebuah lapangan terbuka yang luas membentang. Tidak terlihat lagi
adanya pohon-pohon besar dan tinggi yang menjulang. Yang terlihat hanyalah
hamparan rumput kering yang pendek-pendek.
Mendadak, laki-laki pendek kekar itu menghentikan larinya dan membalikkan tubuh.
Kemudian, tangan kanannya bergerak mengibas.
Siut, siut! Beberapa buah benda bulat sebesar
telur bebek melesat ke arah Melati. Maka Melati kontan menghentikan larinya.
Diperhatikannya sejenak benda-benda bulat yang meluncur ke arahnya, lalu cepat-
cepat melempar tubuhnya ke samping kanan dan bergulingan menjauh. Melati tidak
berani memapak luncuran benda-benda itu, karena telah mengetahui
keistimewaannya.
Apalagi, keistimewaan benda itu telah beberapa kali disaksikannya sendiri.
Dar, dar, darrr!
Ledakan riuh kontan terdengar ketika benda-benda bulat itu berbenturan dengan
tanah. Seketika itu pula, muncul asap tebal berwarna putih di tempat Melati
berdiri tadi. Melati berhasil menyelamatkan diri dari sasaran benda-benda bulat sebesar telur
bebek itu. Tapi, hal itu bukan merupakan jaminan kalau berhasil menye-
lamatkan diri dari bahaya. Karena
ternyata.... Blosss! Tubuh Melati langsung masuk ke dalam lubang ketika tanah berumput, tempat
tubuhnya berguling tiba-tiba amblas.
Karuan saja hal ini membuatnya terkejut bukan kepalang. Sedapat mungkin ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan untuk berjaga-jaga agar tidak mengalami cedera
yang berarti, apabila jatuh ke dasar lubang nanti.
Tapi di saat tubuh Melati melayang ke lubang, pimpinan Gerombolan Singa Gurun
tidak tinggal diam. Cepat bagai kilat tangannya kembali dikibaskan. Maka, benda
bulat sebesar telur bebek itu kembali meluncur, dan kali ini diarahkan ke dalam
lubang. Darrr! Baru saja Melati berhasil mendarat di lubang dengan kedua kakinya, benda bulat
sebesar telur bebek itu meledak. Asap putih tebal pun menyeruak keluar dan
mengungkungi sekitar dalam lubang.
Melati tahu, asap putih tebal itu
mengandung racun. Maka, sedapat-dapatnya dia menahan napas untuk mencegah asap
itu terhisap ke dalam perut. Masih dalam keadaan seperti
itu, kakinya segera
dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke atas.
Melati belum bisa memperkirakan
tingginya lubang itu dari permukaan tanah. Tapi yang jelas, lubang itu tidak
seberapa dalam. Hal ini bisa diketahui dari kecepatan jatuhnya ke dasar lubang.
Karena tidak tahu pasti tingginya
bagian atas lubang, tambahan lagi dalam keadaan agak kalap, Melati mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk melompat ke atas.
Hasilnya sudah bisa diduga. Tubuh
Melati melesat laju ke atas. Tapi baru saja melewati permukaan atas lubang,
pimpinan Gerombolan Singa Gurun telah meluncurkan benda-benda bulat sebesar
telur bebek ke arah Melati.
Melati terkejut bukan kepalang.
Serangan lawan meluncur di saat tubuhnya tengah berada di udara. Jadi, merupakan
yang mustahil untuk bisa mengelak.
Apalagi tidak ada landasan yang dapat dijadikan tempatnya berpijak. Untuk
menggeliatkan tubuhnya, dia tidak berani.
Dia tahu, tindakan seperti itu amat berbahaya, karena benda-benda bulat yang
dilemparkan laki-laki pendek kekar tampak berjajar. Jadi, tetap saja akan ada
yang mengenai sasaran kalau dipaksakan
menggeliatkan tubuh.
Melati tidak punya pilihan lain lagi, kecuali memapak serangan-serangan itu.
Dan hal itulah yang akan dilakukannya.
Sambil menggertakan gigi, luncuran benda-benda bulat itu dipapaknya dengan
pukulan kedua tangan.
Dar, dar, darrr!
Seperti yang sudah diduga Melati,
benda-benda bulat itu langsung meledak ketika berbenturan dengan tinju kedua
tangannya. Ledakannya ternyata cukup dahsyat. Terbukti, gadis berpakaian putih
itu sampai memekik, meskipun hanya pelan dan singkat.
Jliggg! Meskipun agak terhuyung, Melati
berhasil mendaratkan kedua kakinya di pinggir lubang. Asap tebal yang keluar
dari ledakan benda-benda bulat itu segera menyebar, menyelubungi tempat itu.
Kali ini, Melati tidak bisa menahan napas lagi untuk mencegah terhisapnya asap.
Pekikan kecil dan pendek yang tadi keluar dari mulutnya, membuat asap itu
terhisap masuk.
Rupanya, asap itu mengandung racun yang mempunyai daya kerja cepat. Buktinya
Melati langsung merasakan kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang
ketika asap itu terhisap. Meskipun demikian, dia masih sempat melihat kalau
akibat tindakannya cukup mengerikan.
Darah telah membasahi kedua tangannya.
Bahkan bajunya sampai hampir sebatas siku telah compang-camping. Jelas, akibat
le- dakan benda bulat itu amat dahsyat.
Tapi, Melati tidak bisa berpikir
lebih jauh lagi. Pandangannya mendadak gelap, lalu tubuhnya limbung. Kalau saja
laki-laki pendek kekar tidak bertindak cepat dengan menangkap tubuhnya, Melati
telah terjatuh ke dalam lubang semula.
"Ha ha ha...!" Laki-laki pendek kekar tertawa bergelak. "Jangan mimpi untuk bisa
meruntuhkan Gerombolan Singa Gurun, Cah Ayu! Ha ha ha...!"
Setelah berkata demikian, pimpinan Gerombolan Singa Gurun ini melesat cepat
meninggalkan tempat itu seraya
memperdengarkan tawanya yang penuh kegembiraan dan kemenangan.
*** "Ah! Aku terlambat!"
Ucapan bernada penyesalan keluar dari mulut seorang kakek berpakaian putih
berkepala botak. Pandangan mata kakek berpakaian putih itu tertuju ke arah
lubang yang terletak di sebuah tanah lapang luas yang ditumbuhi rumput-rumput
pendek. Kakek berpakaian putih
ini mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Sesaat, edaran sepasang matanya terhenti ketika melihat sebuah benda yang
tergolek tak jauh dari lubang. Perasaan ingin tahu
tampak jelas pada sorot mata dan raut wajahnya.
Kakek berpakaian putih itu mengayunkan langkahnya. Luar biasa! Kelihatannya
kakinya hanya di-ayunkan selangkah. Tapi anehnya, tubuhnya telah berjarak tak
kurang dari sebelas tombak dari tempat semula. Jelas, ilmu meringankan tubuh
kakek ini amat tinggi.
Sesaat kemudian, kakek berpakaian
putih itu telah berada di dekat benda yang menjadi pusat perhatiannya. Sepasang
alisnya berkerut ketika mengetahui kalau benda yang menarik perhatiannya
ternyata sebilah pedang telanjang.
Perlahan-lahan kakek berpakaian putih itu membungkukkan tubuhnya dan memungut
pedang itu. Lalu diperhatikannya pedang itu penuh minat
Pedang itu ternyata bukan sebatang pedang pusaka. Meskipun demikian,
bilahnya terbuat dari logam yang cukup baik. Jelas, jauh lebih kuat daripada
pedang umumnya.
"Sebuah senjata yang cukup baik,"
puji kakek itu sambil mengangguk-
anggukkan kepala.
Usai berkata demikian, kakek berpakaian putih itu mengalihkan perhatian ke arah
gagang pedang. Bentuk gagangnya memang gagah sekali. Berukir, membentuk kepala
seekor naga. Tapi anehnya, pada
ujung gagangnya terikat sulaman gambar bunga melati.
"Dari mana kau dapatkan pedang itu, Ki"!"
Tiba-tiba sebuah pertanyaan bernada penuh tuntutan membuat kakek berpakaian
putih itu terjingkat kaget bagai disengat ular berbisa. Raut wajahnya jelas
menampakkan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan. Raut kekagetan yang
nampak di wajah kakek itu semakin terlihat jelas. Bahkan ada nada
ketidakpercayaan ketika melihat si pemilik suara.
"Siapa kau?" tanya kakek berpakaian putih sambil menatap sekujur tubuh si
pemilik suara penuh selidik. Sama sekali tidak dipedulikan pertanyaan yang
tertuju kepadanya.
Si pemilik suara ternyata seorang
pemuda tampan. Usianya paling banyak dua puluh dua tahun. Tampak alis pemuda itu
berkernyit. Bahkan sepasang matanya di raut wajah yang jantan tampak mencorong,
menyiratkan sinar kehijauan laksana sorot mata seekor harimau dalam gelap.
Jelas, pemuda bertubuh tegap kekar dan
terbungkus pakaian berwarna ungu ini bukan orang sembarangan. Karena, sorot mata
seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah memiliki tenaga dalam
amat kuat. "Jawab pertanyaanku, Anak Muda!
Cepat! Sebelum kesabaranku hilang!"
sambung kakek berpakaian putih lebih keras.
Sambil berkata demikian, pandangannya dialihkan ke arah rambut pemuda berpakaian
ungu itu. Bukan karena panjangnya yang membuatnya agak heran, tapi warna
rambutnya yang putih keperakan! Warna yang seharusnya dimiliki orang-orang yang
telah berusia cukup lanjut. Sudah bisa diduga, siapa adanya pemuda ini. Ya!
Dialah Arya Buana alias Dewa Arak.
Sorot mata Arya yang semula lembut, langsung mengeras mendengar ucapan kakek
berpakaian putih itu.
"Bukan hanya kau saja yang bermaksud seperti itu, Ki! Aku juga demikian! Jawab
dulu pertanyaanku, dari mana pedang itu kau dapatkan!" tandas Arya sambil
menudingkan jari telujuknya ke arah pedang yang tergenggam di tangan kakek
berpakaian putih.
6 Kakek berpakaian putih itu mengamati pedang di tangannya sejenak, kemudian
perhatiannya dialihkan pada Arya.
"Kalau aku tidak mau"!" sahut kakek berpakaian putih itu, bernada tantangan.
"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" tegas dan mantap kata-kata
yang keluar dari mulut Arya.
Kakek berpakaian putih tersenyum
lebar. "Aku ingin tahu, apakah kemampuan yang kau miliki sedahsyat ucapanmu."
Darah muda Arya meluap mendengar
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambutan bernada tantangan ini. Meskipun demikian, masih dicobanya untuk menahan
diri. Padahal, perasaannya hampir tidak terkendalikan. Pedang yang berada di
tangan kakek itulah yang membuat
perasaannya hampir tidak bisa terkendalikan. Memang pedang itu dikenalinya
betul, sebagai milik Melati! Bentuk gagang, dan hiasan berbentuk bunga melati,
amat dikenalinya. Tidak ada lagi orang yang memiliki pedang seperti itu kecuali
tunangannya. Arya tahu betul, pedang itu tidak
pernah terpisah dari tunangannya. Itulah sebabnya, harinya merasa khawatir
melihat keberadaan pedang di tangan kakek itu.
Apalagi dalam keadaan tanpa warangka.
Jelas, telah terjadi sesuatu atas diri Melati. Itulah sebabnya, Arya hampir
tidak sabar mendapatkan jawaban dari kakek berpakaian putih,
"Aku tidak ingin bertarung denganmu, Ki," jawab Arya setelah menghela napas
berat untuk menenangkan hati. "Aku hanya minta, beritahukanlah padaku dari mana
pedang itu didapat."
Kakek berpakaian putih tersenyum
mengejek. "Rupanya kau termasuk orang yang mudah menjilat ludahmu yang telah
jatuh ke tanah, Anak Muda. Sebelumnya, kau mengatakan ingin tahu, dari mana
pedang ini kudapatkan. Sekalipun, untuk itu harus dengan jalan kekerasan.
Sekarang kau mengatakan tidak ingin bertarung denganku. Lucu! Lucu sekali!
Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan, ternyata hanya seorang yang tidak
mempunyai pendirian!"
Wajah Dewa Arak kontan merah padam.
Kemarahan yang sejak tadi timbul semakin bernyala-nyala. Ucapan kakek berpakaian
putih tadi membuat kemarahannya semakin berkobar-kobar. Belum pernah dia
dilecehkan seperti itu. Padahal, Dewa Arak sendiri paling benci pada orang yang
tidak mempunyai pendirian
"Jaga mulutmu, Ki. Aku bukan orang seperti yang kau tuduhkan!" dengus Dewa Arak,
keras. "Kalau begitu, mengapa maksudmu dibatalkan untuk menempurku"!" sergah kakek
berpakaian putih, cepat. "Atau kau merasa gentar"!"
"Tidak ada kata takut dalam kamus hidupku, Ki!" sambut Dewa Arak tak kalah
keras. "Kalau begitu..., tunggu apa lagi"!
Dengar, Dewa Arak! Aku bersedia
memberitahukan padamu, apabila kau mampu mengalahkanku!"
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat untuk
menenangkan hati. Disadari kalau
kemarahan hanya akan merugikan dirinya sendiri. "Itu tidak menjadi alasan kuat
untuk bertarung, Ki."
Kakek berpakaian putih tercenung
sejenak. Jelas, ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Baiklah, Dewa Arak. Aku tidak akan memaksamu bertarung. Aku akan pergi, dan
silakan cari sendiri pemilik pedang ini.
Hanya satu yang perlu kau ketahui, pemilik pedang ini tengah dalam bahaya besar.
Kalau kau tidak segera
menolongnya, mungkin akan tewas! Selamat tinggal!"
Usai berkata demikian, kakek
berpakaian putih itu segera membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan Dewa
Arak. Kelihatan enak saja saat melangkah, tapi hebatnya telah berada dalam jarak
sebelas tombak di depan!
Arya kontan terkejut bukan kepalang.
Tapi bukan karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek berpakaian putih
itu, melainkan karena ucapannya. Melati dalam bahaya! Dan dugaannya ternyata
tidak meleset! "Jangan harap bisa lolos dari sini sebelum menjawab pertanyaanku!"
Seiring keluar ucapannya, Dewa Arak segera menjejakkan kaki. Tubuhnya melesat
cepat ke atas, melewati kepala kakek berpakaian putih di depannya. Beberapa kali
tubuhnya bersalto di udara, sebelum mendaratkan di tanah.
Jliggg! Ringan laksana jatuhnya sehelai daun di tanah, Dewa Arak mendaratkan kedua
kakinya di depan kakek berpakaian putih.
Karuan saja, kakek itu menghentikan langkahnya. Kini, mereka berdua berdiri
berhadapan dalam jarak empat tombak
"Menyingkirlah, Dewa Arak!
Jangan halangi jalanku! Atau..., terpaksa kita harus bertempur!" dengus kakek
berpakaian putih memperingatkan Arya.
"Aku tidak akan bergeser sedikit pun dari tempat ini, Ki! Kecuali, bila kau
beritahukan padaku kejadian yang menimpa pemilik pedang itu!" keras dan mantap
kata-kata yang keluar dari mulut Dewa Arak.
"Kalau begitu, mampuslah kau!"
Kakek berpakaian putih itu langsung melepaskan pedang bergagang kepala naga ke
tanah, hingga amblas setengahnya lebih. Kemudian, dia melompat menerjang Dewa
Arak. Serangannya diawali dengan pukulan tangan bertubi-tubi ke arah dada.
Wut, wut, wut! Deru angin keras terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Hal ini menandakan
betapa kuatnya tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan itu.
Tapi, Dewa Arak tidak gugup melihat hal ini. Ditunggunya hingga serangan-
serangan kakek berpakaian putih itu dekat. Kemudian dengan tetakan kedua
tangannya, serangan-serangan yang meluncur dipapaknya.
Tak, tak, tak! Suara berdetak keras seperti benturan logam keras terdengar berkali-kali ketika
dua pasang tangan beradu. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung
mundur ke belakang. Dewa Arak terhuyung dua langkah ke belakang, sedangkan kakek
berpakaian putih terhuyung tiga langkah.
Dari sini bisa diduga, tenaga dalam Dewa Arak lebih kuat daripada lawannya.
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji kakek berpakaian putih itu, disertai seringai di
mulutnya. Jelas, dia merasa kesakitan akibat benturan itu. "Tapi jangan bangga
dulu. Aku belum kalah! Hih!"
Kakek berpakaian putih itu kembali menyerang Dewa Arak. Kali ini, dengan
serangan-serangan yang jauh lebih dahsyat daripada sebelumnya. Lebih-lebih
kelihaian Arya telah diketahuinya.
Dewa Arak yang telah mengetahui
kelihaian kakek berpakaian putih itu tidak tinggal diam, dan segera melakukan
perlawanan sengit. Pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan seluruh
kemampuannya, karena merasa cemas akan keselamatan Melati. Arya ingin buru-buru
menolong tunangannya. Dan sumber
keterangan itu adalah kakek berpakaian putih ini!
Hebat bukan kepalang pertarungan
antara kedua orang sakti itu. Setiap gerakan mereka menimbulkan deru angin
keras, pertanda didukung pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara angin mencicit,
mengaung, dan menderu menyemaraki
jalannya pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Debu pun
mengepul tinggi ke udara. Rumput-rumput kering dan pendek terpijak-pijak di sana
sini. Tanaman-tanaman lain bergoyang-
goyang ke sana kemari, setiap kali kedua tokoh yang tengah bertarung itu
menggerakkan tangan atau kaki.
Dewa Arak mengerahkan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan
Cara Menaklukkan Harimau' sampai ke puncaknya, untuk dapat merobohkan lawan
secepatnya. Meskipun demikian, tetap saja menemui kesulitan. Ternyata, kakek
berpakaian putih itu amat tangguh!
Sejak jurus-jurus awal, masing-masing pihak telah menguras seluruh kemampuan
yang dimiliki. Meskipun memang, belum mengeluarkan ilmu andalan.
Kini, tubuh Dewa Arak dan kakek
berpakaian putih itu lenyap bentuknya.
Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan putih dan ungu. Terkadang kedua
bayangan itu saling belit, tapi tak jarang saling pisah. Beberapa kali bayangan
putih terlempar keluar kancah pertarungan, tapi hal itu hanya berlangsung
sekejap saja. Sesaat kemudian, kedua bayangan itu kembali saling belit.
*** Mula-mula pertarungan antara dua
tokoh sakti itu berlangsung seimbang.
Masing-masing pihak tampak saling ganti-berganti melancarkan serangan. Tapi
menginjak jurus keseratus, keunggulan Dewa Arak mulai tampak.
Serangan-serangan kakek berpakaian putih itu mulai berkurang. Dan sekarang lebih
banyak mengelak. Bahkan menangkis pun hanya sekali-sekali saja karena hanya
mendatangkan kerugian baginya.
Masalahnya, tenaga dalamnya berada di bawah Dewa Arak.
Semakin lama, keadaan kakek berpa-
kaian putih itu semakin terdesak.
Robohnya kakek itu hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Haaat..!"
Pada jurus keseratus dua betas, Dewa Arak melancarkan sapuan kaki tanah. Namun
kakek berpakaian putih berhasil menge-lakkannya dengan melompat ke atas.
Dan ternyata, tindakan Dewa Arak
tidak hanya sampai di situ saja. Tangan kanannya diluncurkan cepat ke arah bahu
kanan lawannya. Arya memang tidak ingin membunuh kakek berpakaian putih itu.
Tidak heran bila serangan-serangan yang dilancarkannya ditujukan pada bagian-
bagian yang tidak mematikan.
Kakek berpakaian putih itu terkejut bukan kepalang. Keadaannya saat ini benar-
benar tidak menguntungkan. Tubuhnya yang tengah berada di udara, menyulitkan
untuk berkelit dari serangan itu.
Terpaksa serangan itu dipapaknya dengan tangan kiri.
Prattt! Tubuh kakek berpakaian putih itu
terlempar ke belakang, kemudian jatuh bergulingan di tanah. Pada saat yang
bersamaan Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya secara mantap di tanah. Lalu,
tubuhnya langsung meluruk ke arah kakek berpakaian putih.
Maksudnya, hendak melumpuhkan lawan tangguhnya.
Tapi.... "Tahan, Kang Arya...!"
Arya terkejut bukan kepalang. Nada suara itu serasa pernah dikenalnya. Tapi
sayang, dia lupa. Kapan dan di mana pernah mendengar suara itu. Maka, cepat-
cepat serangannya dibatalkan. Tangannya cepat dipergunakan sebagai tumpuan kaki
untuk membatalkan serangannya.
Jliggg! Begitu kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, sesosok bayangan merah berkelebat
mendekati tempat kakek berpakaian putih, lalu berdiri membelakanginya. Kini
sosok berpakaian merah itu berdiri di antara Dewa Arak dan kakek berpakaian
putih. "Ah!"
Arya menjerit kaget ketika melihat jelas sosok berpakaian merah yang berdiri di
hadapannya. Dikenalinya betul sosok itu.
"Kau... kau..., Mawar...! Ya, Tuhan.... Mengapa kau ada di sini, Mawar..."!"
seru Arya setengah tak percaya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghampiri sosok berpakaian merah yang
ternyata seorang gadis berwajah cantik jelita. Rambutnya yang berwarna hitam
mengkilap digelung ke atas. Dia memang Mawar, saudara kembar Melati [Untuk
jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit
Gantar"]. "Ceritanya panjang sekali, Kang Arya," sahut Mawar, sambil berdiri diam
menunggu. "Tapi yang jelas dan perlu kau ketahui, kakek yang menjadi lawanmu
bertarung bukan musuh."
"Ooo...."
Arya hanya bisa membulatkan mulutnya pertanda mengerti. Namun langkahnya tetap
tak dihentikan. Meskipun demikian, bola matanya sempat dilayangkan ke arah kakek
berpakaian putih yang kini sudah berdiri tegak.
"Kalau dia bukan musuh, mengapa menunjukkan sikap yang tidak bersahabat padaku,
Mawar?" ada nada penasaran dalam pertanyaan Arya. Mawar mengangkat bahu.
"Kalau begitu..., kupersilakan kau untuk menanyakan sendiri."
Usai berkata demikian, Mawar bergeser untuk memberi kesempatan pada kakek
berpakaian putih memberikan jawaban atas pertanyaan Dewa Arak.
Kakek berpakaian putih melangkah maju dengan pandangan diarahkan pada Dewa Arak.
Ditatapnya pemuda berambut putih keperakan itu tajam-tajam, tepat pada bola
matanya. Sementara itu, Arya telah menghen-
tikan langkahnya. Kakek berpakaian putih juga berhenti, ketika telah melangkah
sebanyak tiga tindak. Sekarang, kedua
tokoh yang baru saja bertarung sengit itu saling menatap tajam.
"Apa yang dikatakan Mawar benar belaka, Arya," ucap kakek berpakaian putih itu
membuka pembicaraan.
Arya sama sekali tidak memberi
tanggapan, sekalipun kakek berpakaian putih itu kembali merubah panggilan
terhadapnya. "Tapi sebelum kukatakan alasan sebenarnya yang membuatku menunjukkan sikap tidak
bersahabat padamu, aku ingin memperkenalkan namaku padamu," lanjut kakek
berpakaian putih. "Namaku Palungga."
"Palungga"!"
Arya mengulang nama itu dalam hati disertai kernyitan pada dahi.
Betapa tidak" Rasanya nama itu pernah
didengarnya. Hanya saja dia lupa, kapan dan di mana nama itu pernah didengarnya.
Kakek berpakaian putih yang mengaku bernama Palungga tersenyum simpul melihat
kernyitan di dahi Dewa Arak. Sepertinya, dia tahu mengapa pemuda berambut putih
keperakan itu bersikap demikian.
"Aku sengaja menunjukkan sikap bermu-suhan karena ingin menguji kepandaianmu.
Kudengar, julukanmu amat menggeparkan dunia persilatan. Bahkan salah satu dari
dua anakku yang berhasil kutemukan, banyak memuji-mujimu. Baik kepandaian
maupun sikapmu. Sehingga, aku merasa penasaran sekali. Aku ingin menjumpaimu
secara langsung untuk membuktikan
kebenaran semua cerita itu."
"Dan kenyataannya sama sekali tidak benar kan, Ki?" potong Arya buru-buru.
"Kau keliru, Arya. Semua cerita yang kudengar tentang dirimu benar belaka,"
bantah Palungga sambil tersenyum.
"Kesakitan, kerendahan hati, dan tindakanmu benar-benar sesuai kenyataan yang
selama ini kulihat. Aku tahu, kau tidak melancarkan serangan-serangan yang
mematikan terhadapku."
Arya kontan terdiam. Diam-diam,
dipujinya kejelian sepasang mata
Palungga. "Kalau boleh kutahu, siapakah salah seorang anakmu yang terlalu berlebihan
memujiku itu, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
Semakin lebar senyum yang tersungging di bibir Palungga.
"Kau ingin tahu, Arya" Nah! Baiklah akan kuberitahukan. Inilah salah seorang
anakku yang amat memujamu," kata Palungga sambil menudingkan telunjuk
tangan kanannya ke arah Mawar.
"Hah..."! Jadi.., jadi.... Ah!
Mengapa aku begini pelupa"! Kau..., ayah Mawar dan Melati...," ucap Arya agak
tergagap. Sekarang pemuda berambut putih
keperakan itu baru teringat nama yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Pantas,
perasaan nama itu pernah didengarnya.
Dulu, sewaktu bertemu Mawar nama itu pernah didengarnya. Mawar memperkenalkan-
nya sebagai ayahnya, sekaligus ayah Melati [Untuk jelasnya, silakan baca serial
Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar].
Palungga menganggukkan kepala
pertanda membenarkan ucapan Arya.
"Aku tidak kecewa. Kau lebih dari pantas untuk menjadi jodoh anakku."
Arya mengangguk-anggukkan kepala.
Kini dia mengerti, ternyata Palungga tadi bermaksud mengujinya. Tapi bukankah
menurut pengakuan Kami, Palungga telah tewas dikeroyok tokoh-tokoh golongan
hitam yang bersatu padu" Kalau benar kakek ini adalah ayah Melati, kenapa
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan anaknya tertimpa bahaya seperti yang tadi dikatakannya" Berbagai
macam pertanyaan bergayut dalam benak Arya.
7 "Aku tahu, kau akan mengajukan keheranan yang sama dengan Mawar," kata Palungga
bernada yakin. "Kau pasti menduga kalau aku telah tewas di tangan para tokoh
persilatan aliran hitam?"
Arya menganggukkan kepala, karena
memang itu yang akan dikatakannya. Dan seperti itulah yang diceritakan Karina,
istri Palungga. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
"Aku berhasil melarikan diri dari mereka," jelas Palungga. "Ahhh! Kalau saja
tidak mengingat nasib anakku, mungkin aku lebih rela mati daripada hidup sebagai
pengecut" Palungga menghentikan ucapannya.
Sepasang matanya menerawang ke atas,
seakan-akan ada yang tengah dicarinya di atas sana.
"Setelah berhasil menyelamatkan diri, aku mulai mencari berita beradanya istri
dan anakku. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi. Tapi nyatanya mereka lenyap
seperti ditelan bumi. Usaha-usahaku sia-sia saja rupanya, sehingga membuatku
hampir putus asa. Namun, betapa gembiranya hatiku ketika pencarianku ternyata menemukan titik terang. Aku
berhasil menemukan Mawar ketika tengah melarikan diri dari sesuatu yang tengah
ditakutinya. Sekarang, kau yang ganti bercerita, Mawar."
Mawar menganggukkan kepala. "Beberapa hari yang lalu, muncul belasan orang
berpakaian coklat. Mereka mengaku sebagai Gerombolan Singa Gurun. Dengan cara
kasar, mereka berusaha membawaku dan ibu.
Dan tentu saja kami tidak menyerah begitu saja. Tapi, karena kepandaian mereka
rata-rata lumayan dan jumlahnya cukup banyak, jadi terdesak hebat."
Mawar menghentikan cerita. Untuk
membasahi tenggorokannya yang kering karena kebanyakan berbicara dia menelan
ludah. "Ibu tahu, keadaan kami tidak menguntungkan. Maka disuruhnya aku melarikan diri,
dan dia berusaha mencegah lawan-lawan mengejarku," sambung Mawar.
"Semula, aku tidak mau. Tapi karena ibu terlalu memaksa, apa boleh buat. Dengan
perasaan sedih, dia kutinggalkan. Dan ketika akhirnya aku bertemu ayah, kami
segera kembali memeriksa ke sana. Tapi, keadaan telah kembali sepi. Tidak ada
Gerombolan Singa Gurun maupun ibu. Entah bagaimana nasib ibu..."
Arya hanya bisa menghela napas berat pertanda
ikut prihatin ketika Mawar
menyelesaikan cerita.
"O ya, Ki. Masih ada hal yang ingin kutanyakan padamu," kata Arya ketika
teringat kembali.
Palungga tersenyum simpul. Rupanya pertanyaan yang akan diajukan Arya sudah bisa
diduga. "Silakan, Arya. Kalau aku bisa menjawabnya, tentu akan kujawab," kalem
ucapan kakek berpakaian putih itu.
"Mengenai pedang itu, Ki. Kalau tidak salah, pedang itu milik Melati. Kalau
boleh kutahu, mengapa berada di tanganmu, Ki?"
"Hhh...!"
Palungga menghela napas berat. Raut wajahnya tersaput kesedihan yang
mendalam. "Hal ini terjadi karena kecerobo-hanku, Arya. Kalau saja aku bertindak cepat,
mungkin Melati tidak mengalami kejadian apa-apa," jawab Palungga setengah
mengeluh. "Awalnya dari rasa tertarikku ketika mendengar suara ribut-ribut.
Ketika kuselidiki, ternyata ada seorang gadis terkurung di dalam sebuah jaring
Gerombolan Singa Gurun. Melihat dari raut wajahnya yang mirip Mawar, bisa kuduga
kalau dia adalah anakku juga.
Memang, Mawar telah bercerita banyak mengenai saudara kembarnya, berikut kau,
Arya." Palungga menghentikan ucapannya
sebentar untuk menarik napas.
"Dia segera kubebaskan dari kurungan.
Tapi, rupanya Gerombolan Singa Gurun tahu, ada orang yang menolong Melati.
Maka, mereka meluruk ke tempatku. Serbuan mereka membuat perhatian teralih dari
Melati. Memang hanya sebentar, karena dengan mudah mereka semua kubereskan.
Tapi, hal itu cukup membuatku kehilangan jejak Melati. Dan inilah yang kutemui.
Tapi jangan khawatir, Arya. Sekarang aku telah tahu letak sarang Gerombolan
Singa Gurun."
Palungga menutup ceritanya sambil
mengangsurkan pedang milik Melati. Dewa Arak menatap senjata milik kekasihnya
disertai perasaan yang semrawut. Ada rasa rindu yang menyeruak di hatinya ketika
melihat pedang Melati. Masalahnya, sudah cukup lama dia tidak bertemu kekasihnya
itu. Namun, di samping rasa rindu, ada
pula rasa cemas yang melanda. Mengingat, Melati sekarang tengah berada dalam
bahaya besar. "Hm..., bagaimana kalau sekarang juga kita satroni sarang mereka, Ki?"
"Sebuah usul yang amat baik, Arya,"
sambut Palungga, cepat. "Ayo, Mawar. Kita serbu sarang Gerombolan Singa Gurun.
Barangkali saja, ibu dan saudara angkatmu masih bisa diselamatkan!"
Gadis berpakaian merah itu
menganggukkan kepala.
"Silakan, Ki," ucap Arya pada Palungga, karena memang kakek itulah yang tahu
jalan menuju ke sarang Gerombolan Singa Gurun.
Tanpa berkata apa-apa, Palungga
segera melesat lebih dulu, disusul oleh
Mawar dan Arya. Tentu saja kakek
berpakaian putih itu hanya mengerahkan sebagian kecil ilmu meringankan tubuhnya,
karena tidak mungkin Mawar dibiarkan tertinggal.
Sesaat kemudian, Palungga, Arya, dan Mawar telah berlari cepat meninggalkan
tempat itu. "Ada dua hal yang membuatku merasa heran, Ki," kata Arya di sela-sela langkah
kakinya. Suaranya terdengar biasa saja. Tidak terdengar tersengal-sengal seperti
lainnya orang yang tengah
berlari. "Apa itu, Arya?" tanya Palungga tanpa mengalih-kan wajah. Langkah kakinya pun
tidak dihentikan.
"Pertama, mengapa Gerombolan Singa Gurun menculik seluruh penduduk setiap kali
menyerbu sebuah desa?" ujar Arya.
"Sayang sekali, aku juga tidak tahu Arya," jawab Palungga bernada penyesalan.
"Lalu yang lainnya?"
Arya tidak langsung menyahut dengan sebuah pertanyaan lagi. Sementara kakinya
terus melangkah beberapa saat. Sedangkan Mawar yang berada di sebelahnya diam
membisu, tapi telinganya terpasang tajam.
Memang, dia pun ingin tahu hal-hal yang ditanyakan Dewa Arak.
"Mengapa kau tidak menyerbu
Gerombolan Singa Gurun sejak dulu, Ki.
Maaf, kalau pertanyaan ini menyinggung hatimu."
"Sama sekali aku tidak tersinggung, Arya. Hanya saja yang perlu kau ketahui, aku
pun baru mengetahui sarang gerombolan itu dari salah seorang anggotanya yang
tidak kuat menahan siksaanku, dan tidak sempat bunuh diri karena keburu kucegah"
jelas Palungga.
Arya mengangguk-anggukkan kepala
pertanda mengerti. Sama sekali tidak disangka kalau kakek berpakaian putih itu
pun baru mengetahui sarang Gerombolan Singa Gurun pula.
Suasana pun menjadi hening ketika
Palungga menghentikan ucapannya. Apalagi, Arya tidak mengajukan pertanyaan lagi.
Kini yang terdengar hanyalah suara langkah kaki menyibak semak-semak dan
rerumputan. *** "Itu pintu masuk sarang mereka, Arya," jelas Palungga.
Sambil berkata demikian, kakek
berpakaian putih itu menudingkan jari telunjuknya ke arah sebatang pohon besar
yang bagian tengahnya ada lubang, mirip pintu.
Batang pohon itu memang besar sekali.
Paling tidak, diperlukan enam pelukan
tangan orang dewasa
untuk mengukur keliling pohon itu. Sedangkan garis tengah lubang yang mirip pintu itu hampir
setengah tombak. Sedangkan tingginya, tak kurang dari satu tombak. Bagian
atasnya, berbentuk setengah lingkaran.
Arya dan Mawar diam-diam memuji
kecerdikan Gerombolan Singa Gurun. Pintu masuk sarang ini letaknya demikian
tersembunyi, terlindung pohon-pohon tinggi dan semak-semak yang lebat. Bahkan
beberapa kali mereka harus berhadapan dengan aneka macam jebakan. Kalau saja
bukan Dewa Arak dan Palungga, mungkin akan mengalami kerepotan yang tidak
sedikit. Mawar pun berhasil selamat dari berbagai jebakan berkat adanya Dewa
Arak dan ayahnya di sampingnya.
Palungga, Arya, dan Mawar tidak
berani bersikap main-main lagi. Sekujur urat syaraf dan otot mereka menegang
penuh kewaspadaan. Jebakan demi jebakan yang sejak tadi bertubi-tubi menghadang,
membuat mereka tidak berani bertindak gegabah.
Dengan langkah hati-hati, Palungga mendekati pohon yang mempunyai lubang di
tengahnya itu. Setindak demi setindak, kakek berpakaian putih itu melangkah,
diikuti Arya dan Mawar di belakangnya.
Sikap mereka tampak waspada penuh.
Mendadak... Blosss! "Akh...!"
Palungga menjerit tertahan ketika
tahu-tahu kaki kanannya yang menjejak tanah di depan amblas. Tanah ditumbuhi
rumput-rumput pendek itu ternyata lunak!
Dan kekagetannya semakin bertambah ketika terasa ada tarikan kuat pada kakinya.
"Lumpur hidup...," desis Palungga, kaget.
Arya yang melihat hal ini tak kalah kagetnya.
"Diam di situ, Mawar," kata pemuda berambut putih keperakan itu pada Mawar.
Sambil berkata demikian, Arya segera melangkah menghampiri Palungga.
Maksudnya, hendak menolong kakek
berpakaian putih itu. Tapi sebelum maksudnya terlaksana, Palungga telah lebih
dulu berhasil membebaskan diri dari cengkeraman lumpur dengan sekali betot.
"Berbahaya sekali," desah Palungga.
Arya dan Mawar menganggukkan kepala.
Mereka sadar ucapan Palungga benar. Kalau saja Palungga tidak berhati-hati dan
tidak melangkah satu-satu, tubuhnya sudah terjerumus ke dalam lumpur hidup itu.
Apalagi kedua kaki telah masuk ke dalam lumpur hidup, sudah bisa diperkirakan
nasib yang akan menimpa. Betapapun tinggi kepandaian seseorang, rasanya amat
sulit menyelamatkan diri dari tempat itu.
"Lalu, bagaimana kita bisa masuk ke sana, Ayah?" tanya Mawar, bingung.
"Kurasa, tetap melalui tempat ini, Mawar," Arya yang menyahuti. "Hanya saja,
kita perlu mengetahui tempat-tempat yang aman."
Pemuda berambut putih keperakan ini lalu mengedarkan pandangan berkeliling.
Jelas, ada sesuatu yang tengah dicarinya.
Palungga dan Mawar tidak tahu tindakan Dewa Arak selanjutnya. Dan mereka hanya
bisa membiarkannya saja.
Setelah mengedarkan pandangan
beberapa saat lamanya, Arya berjalan meninggalkan Palungga dan Mawar. Ayah dan
anak itu hanya bisa menatap arah yang dituju Arya. Mereka juga ingin tahu, apa
yang akan dilakukan Arya.
Mawar mengerutkan alisnya yang
berbentuk indah ketika melihat Arya memunguti beberapa buah batu sebesar
kepalan. Gadis itu tidak mengerti, apa yang akan dilakukan Dewa Arak. Matanya
kemudian melirik ayahnya. Maka kontan kerutan alisnya semakin bertambah ketika
melihat kakek berpakaian putih itu mengangguk-anggukkan kepala disertai sorot
mata kagum. "Apa yang akan dilakukannya dengan batu-batu itu, Ayah?" Mawar tak tahan lagi
memendam rasa ingin tahunya.
Palungga menolehkan kepala.
"Perhatikan saja tindakannya, Mawar, Kalau tidak melihat sendiri, aku tidak akan
percaya. Dalam usia semuda ini, wawasannya sudah demikian luas. Jelas, dia telah
banyak mendapatkan pengalaman yang berharga dalam perantauannya."
Mawar tidak bertanya lagi. Terpaksa rasa ingin tahu yang menggelegak
ditahannya. Diperhatikannya semua tindakan Dewa Arak Dan kini, tampak Arya
menghampiri tempat mereka kembali.
"Mudah-mudahan saja, batu-batu ini dapat membantu kita masuk ke sarang
Gerombolan Singa Gurun," kata Arya.
Dewa Arak lalu melemparkan batu itu ke atas.
Siuuut! Plukkk!
Setelah melayang ke atas beberapa
saat lamanya, batu sebesar kepalan itu jatuh di hamparan tanah yang berumput
pendek. Maka, batu itu langsung amblas ke dalam tanah sampai setengahnya lebih.
Perlahan-lahan batu itu semakin tenggelam sampai akhirnya lenyap.
Sekarang Mawar baru mengerti kegunaan batu-batu yang diambil Dewa Arak.
Kepalanya jadi terangguk-angguk sambil menatap Arya penuh kagum.
Sementara itu, orang yang dikagumi Mawar sama sekali tidak tahu-menahu. Dia
tengah sibuk melakukan hal yang serupa ke arah kanan dan kiri tempat itu.
Kakinya melangkah ke kanan sejauh lima tombak, dan lima tombak pula ke kiri. Kemudian
dia melakukan usahanya kembali, tapi hasilnya sama saja.
Arya kembali ke tempat semula.
Kemudian, hal yang sama dilakukannya kembali. Tapi kali ini batu-batu itu
dijatuhkan di tempat yang lebih jauh dari tempat semula.
Tukkk! Batu itu ternyata tidak mengalami
nasib seperti tiga sebelumnya. Jelas, tempat mendarat benda itu bukan lumpur
hidup. Melihat hal ini, Arya tersenyum
lebar. Demikian pula Palungga dan Mawar.
Mereka tahu, tempat mendaratnya batu yang keempat adalah tempat yang aman.
"Dugaanmu tidak salah, Arya. Jalan masuk ke sarang Gerombolan Singa Gurun tetap
dari tempat ini. Daerah lumpur hidup ini tidak begitu luas, dan hanya panjang ke
samping saja. Sedangkan ke depan, tak lebih dari tiga tombak!"
Palungga membuka suara.
Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan kakek berpakaian putih
itu. "Silakan, Ki."
Palungga menganggukkan kepala,
kemudian menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke atas
melompati daerah lumpur hidup.
Tapi... Sing, sing, sing...!
Siut, siut, siut...!
Belasan senjata yang terdiri dari
pedang, golok, tombak, pisau, dan benda bulat sebesar telur bebek meluncur ke
arah tubuh Palungga yang tengah melayang.
Untungnya, Palungga sudah menduga
kejadian seperti itu. Tanpa ragu-ragu lagi, segera tangannya dimasukkan ke balik
baju. Dan ketika dikeluarkan kembali, tangannya telah menggenggam sebatang
pedang di sana.
Dan secepat pedang itu tergenggam, secepat itu pula dikibaskan ke arah beraneka
ragam senjata yang meluncur ke arahnya.
Trang, trang, trang...!
Bunga-bunga api berpercikan ke sana kemari ketika pedang di tangan Palungga
berbenturan dengan beraneka ragam senjata yang meluncur ke arahnya. Meskipun
demikian, tidak satu pun benda-benda bulat sebesar telur
bebek yang dipapaknya. Rupanya, Palungga telah mengetahui keistimewaan benda-benda bulat
itu
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehingga tidak mau sembarangan
memapaknya. Hebatnya, begitu pedang di tangannya membentur senjata-senjata yang meluncur ke
arahnya, tenaga benturan itu
dipergunakan untuk melompat ke atas.
Hasilnya, luncuran benda-benda bulat itu lewat di bawah kakinya.
Jliggg! Begitu kaki Palungga mendarat di
tanah seberang daerah lumpur hidup, bermunculan belasan orang berompi coklat.
Di tangan mereka tampak tergenggam beraneka ragam senjata. Tampak laki-laki
pendek kekar yang telah menawan Melati ada di antara mereka.
Palungga tidak bertindak setengah-
setengah lagi. Segera serangan-serangan anggota Gerombolan Singa Gurun
disambutnya. Trang, trang, trang...!
Untuk kedua kalinya, bunga-bunga api berpercikan ketika senjata-senjata itu
berbenturan disertai suara berdentang nyaring.
Pekik-pekik kesakitan kontan ter-
dengar dari mulut-mulut anggota
Gerombolan Singa Gurun begitu senjata mereka berbenturan dengan senjata
Palungga. Bahkan tangan-tangan mereka terasa lumpuh. Tanpa dapat dicegah lagi,
senjata-senjata yang tergenggam pun terlepas dari pegangan. Jelas, Palungga
telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam tangkisan itu. Akibatnya,
anggota Gerombolan Singa Gurun tidak mampu bertahan.
Dan di saat tubuh mereka tengah
terhuyung-huyung itu, Palungga kembali membabatkan pedangnya. Dan....
Crasss! Lolong kematian terdengar berkali-
kali begitu ujung pedang Palungga merobek perut beberapa anggota Gerombolan
Singa Gurun. Seketika itu pula, darah segar menyembur dari perut yang terobek
lebar. Sesaat lamanya anggota-anggota Gerombolan Singa Gurun itu berdiri dengan kedua
kaki menggigil, menjelang ajal. Baru kemudian, mereka roboh di tanah dan diam
tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Kejadian itu berlangsung demikian
cepat. Tahu-tahu, beberapa sosok tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun telah
bergeletakan tanpa nyawa di tanah. Karuan saja hal ini membuat sisa anggota
Gerombolan Singa Gurun terkejut bukan kepalang, termasuk laki-laki yang
bertubuh pendek kekar.
Keterkejutan hati laki-laki pendek kekar semakin bertambah ketika melihat Arya
dan Mawar pun telah berhasil
menyeberangi daerah lumpur hidup.
Apalagi, ketika Mawar dan Arya pun ikut terjun dalam kancah pertarungan.
Maka, pertarungan yang berlangsung semakin tidak berimbang. Anggota
Gerombolan Singa Gurun yang kini
berjumlah sekitar sembilan orang sama
sekali bukan tandingan Palungga, Arya, dan Mawar. Jeritan-jeritan kematian pun
kembali terdengar saling susul.
Tubuh-tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun berjatuhan di tanah dalam keadaan
tidak bernyawa lagi. Nasib mereka
tampaknya sial, karena lawan-lawan yang dihadapi sama sekali tidak berminat
memberi ampun. Palungga maupun Mawar enak saja menewaskan mereka satu persatu.
Dewa Arak pun, walau dengan hati berat, memutuskan untuk membinasakan lawan-
lawannya. Ketentraman penduduklah yang menjadi pertimbangannya.
Hanya dalam beberapa gebrakan, sudah tidak ada lagi anggota Gerombolan Singa
Gurun yang berdiri tegak. Semuanya telah bergeletakan di tanah, dalam keadaan
tidak bernyawa lagi.
Palungga, Arya, dan Mawar sama sekali tidak mempedulikan keadaan lawan-lawan
lagi. Cepat ketiganya melesat ke arah pohon yang mempunyai rongga di tengah-
tengahnya. Hanya beberapa kali lesatan saja,
tubuh Dewa Arak, Palungga, dan Mawar telah berada di pintu masuk sarang
Gerombolan Singa Gurun.
8 Dengan kewaspadaan yang semakin
dilipatgandakan, Dewa Arak dan Palungga melangkah melewati ambang pintu. Suasana
tampak remang-remang, karena di pinggir kiri kanannya terpancang sebatang obor.
Memang, begitu memasuki pintu di batang pohon itu, mereka harus menuruni tangga
yang langsung berhubungan dengan ruang bawah tanah.
Dewa Arak, Palungga, dan Mawar sempat mengernyitkan dahi ketika melihat dinding
di kanan kiri yang tidak melengkung seperti sebuah goa, tapi datar seperti
dinding rumah umumnya.
Dewa Arak, Palungga, dan Mawar
kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, Dewa Arak yang berada di depan. Mawar
di tengah, dan Palungga berjalan paling belakang.
Seperti juga sebelumnya, ketiga orang ini bersikap penuh waspada. Mereka
khawatir akan adanya jebakan-jebakan lainnya. Tapi sampai beberapa kali
melangkah mereka tidak mendapatkan adanya jebakan lagi. Tak lama kemudian, Dewa
Arak menghentikan langkah. Mau tidak mau, Mawar dan Palungga pun berhenti pula.
"Mengapa berhenti, Arya?" tanya Palungga, berbisik.
"Jalan kita harus menurun kembali,"
jelas Arya. Palungga pun diam tidak bertanya
lagi. Sedangkan Arya mulai menuruni anak tangga setelah memberi jawaban. Satu
demi satu dan berhati-hati, kakinya melangkah menuruni anak-anak tangga itu.
Tak lama kemudian, tidak ada lagi
anak tangga yang harus dituruni. Di hadapan Dewa Arak, kini membentang dinding.
Tidak ada jalan lain lagi, kecuali di sebelah kanan dan kirinya.
Arya tercenung. Sama sekali tidak
dikira kalau jalan ini terpecah menjadi dua. Jalan mana yang hams dipilih"
Sesaat kemudian, Mawar dan Palungga riba pula di anak tangga terakhir.
Seperti juga Dewa Arak, Palungga pun kebingungan sebentar.
"Begini saja, Arya. Lebih baik, kita berpencar. Kau pilihlah satu jalan. Biar
aku memilih yang lainnya," usul Palungga yang bisa menebak perasaan yang
berkecamuk di hati Arya.
"Usul yang baik, Ki," sambut Arya, gembira.
"Lalu aku bagaimana, Ayah?" tanya Mawar, agak bingung
"Kau ikut aku, Mawar," jawab Palungga, cepat "Nah! Sekarang, pilihlah satu
jalan, Arya. Biar aku memilih yang lainnya." Arya tercenung sejenak.
"Kupilih jalan yang sebelah kanan,
Ki," kata Arya.
"Kalau begitu, kupilih jalan yang sebelah kiri," sambut Palungga, cepat Kakek
berpakaian putih ini lalu
melangkah menempuh jalan sebelah kiri.
Mawar mengikut di belakangnya. Sementara, Dewa Arak menempuh jalan sebelah
kanan. Meskipun sejak tadi tidak menemukan jebakan, Dewa Arak tetap tidak meninggalkan
kewaspadaannya. Sepasang mata, kaki, dan sekujur urat syaraf di tubuhnya
menegang waspada.
Arya diam-diam merasa bingung juga melihat keadaan di bagian dalam ruangan ini
Luar biasa! Tak ubahnya sebuah bangunan besar.
Entah, telah berapa jauh kakinya
melangkah, jalan yang dipilih Dewa Arak membelok ke kiri. Karena memang tidak
ada jalan lain, pemuda berambut putih
keperakan itu pun membelok, kemudian terus melangkah. Dan baru
beberapa tindak, Dewa Arak melihat pintu sebuah ruangan. Atau tepatnya, pintu sebuah
penjara. Jantung Arya berdebar tegang melihat hal ini. Kalau menuruti perasaan hati,
ingin rasanya bergegas melangkah ke arah sana. Tapi hal itu segera ditahan,
karena teringat akan jebakan demi jebakan yang menghampar di sepanjang
perjalanan. Beberapa langkah kemudian, Dewa Arak
telah berada di depan pintu yang ternyata lebih tepat disebut sebagai terali
besi. Seketika, sepasang matanya terbelalak.
Betapa tidak" Di dalam ruangan yang berukuran tak kurang dari enam kali lima
tombak itu berdiri belasan sosok tubuh.
Menilik dari pakaiannya, bisa diketahui kalau sebagian besar dari mereka adalah
penduduk desa. Bukan hanya Arya yang terkejut, tapi juga orang-orang yang berada dalam
kurungan. Tapi sebelum mereka sempat mengeluarkan suara gaduh, pemuda berambut
putih keperakan ini telah lebih dulu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir,
memberi isyarat agar tidak
berisik. Beruntung! Mereka rupanya mengerti isyarat yang diberikan Arya. Buktinya tidak
ada-seorang pun yang membuka suara.
Kepala-kepala mereka terangguk pelan.
Padahal, di dalam ruangan itu tidak hanya orang dewasa saja. Anak kecil dan
orang-orang tua pun ada pula di sana.
Setelah yakin kalau orang-orang yang berada di dalam kurungan itu tidak akan
menimbulkan kegaduhan, Dewa Arak segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Diputuskannya untuk melihat-lihat sekitar tempat ini, sebelum memutuskan untuk
menolong para tahanan itu.
Baru lima tindak melangkah, Dewa Arak
mendengar suara tawa bergelak.
"Hi hi hik...! Tak lama lagi aku akan keluar dari tempat ini dan menjagoi dunia
persilatan! Kalian tahu, mengapa" Karena ilmu 'Jari Darah Beracun' milikku telah
hampir sempurna. Kalian mendapat untung, karena bisa merasakan sendiri kedah-
syatannya. Kalian mati terhormat! Tidak seperti yang lain yang mati seperti
hewan! Kalian tahu mengapa"! Karena mereka mati disembelih!"
Arya mengernyitkan dahi. "Ilmu 'Jari Darah Beracun'" Ilmu macam apa itu?"
tanya Dewa Arak dalam hati.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan, Dewa Arak mendekati asal suara. Hati-hati sekali
kakinya melangkah. Jelas,
kedatangannya tidak ingin diketahui lawan.
Ternyata, suara itu berasal dari
ruangan yang mempunyai bentuk sama dengan sebelumnya. Hanya saja, letaknya agak
berjauhan. Arya pun mengintai dengan menyembulkan sedikit kepala di balik terali
besi. Sebuah keuntungan bagi Arya, pemilik suara tawa itu berdiri membelakangi terali
besi. Namun kerugian-nya, Arya tidak bisa melihat jelas wajahnya. Tapi menilik
dari potongan tubuh dan suaranya, bisa diperkirakan kalau pemilik suara itu
seorang wanita. Tubuhnya tampak kurus
kering, terbungkus pakaian berupa rompi berwarna coklat. Sehingga, kulit
tubuhnya yang penuh keriput di sana-sini terlihat.
Tampaknya, sosok tubuh itu adalah seorang nenek.
Yang terlihat Dewa Arak adalah orang-orang yang diajak bicara oleh nenek berompi
coklat. Mereka berjumlah tiga orang, dan dalam keadaan terbelenggu.
Rantai baja yang dihubungkan ke dinding membuat tubuh mereka terikat secara
terentang. "Sebelum menerima kehormatan men-cicipi kedahsyatan ilmu 'Jari Darah Beracun',
kalian kuperkenankan menyebut-kan nama. Ini merupakan kehormatan besar bagi
kalian! Tentu saja, kalau kalian tidak takut menyebut nama!"
"Kami bukan pengecut-pengecut yang takut mati,
Keparat! Namaku Tiraga?"
sahut laki-laki berpakaian putih berusia empat puluhan. Raut wajahnya
menyiratkan kewibawaan.
"Dan aku, Wagul," sambung laki-laki kekar berkumis melintang dan berpakaian
hitam. "Aku Gulata," laki-laki yang satunya lagi tak mau ketinggalan.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus...!" kata nenek
berompi coklat itu penuh
kegembiraan ketika mendengar tiga orang itu menyebut namanya masing-masing.
Tanggapan nenek berompi coklat
berbeda dengan Dewa Arak yang kaget bukan kepalang. Namun ada juga rasa gembira
dalam hati Dewa Arak. Dan hal ini terjadi ketika mendengar laki-laki terakhir
menyebut namanya. Gulata! Dialah orang yang tengah dicarinya! Sama sekali tidak
disangka akan semudah itu berhasil menemukan orang yang tengah dicarinya.
Tapi, Dewa Arak tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alunan kekagetannya.
Karena, nenek berompi coklat itu kini telah kembali membuka suara.
"Kini terimalah penghormatan yang kuberikan."
Usai berkata demikian, nenek berompi coklat itu menjulurkan tangannya ke arah
Tariga yang tak lain Kepala Desa Watu.
Tappp! Keempat jari tangan kanan yang tahu-tahu berwarna merah membara ditempelkan oleh
nenek itu pada dada Ki Tariga. Arya yang sama sekali belum menduga hal yang akan
terjadi, tidak sempat berbuat apa pun. Yang dapat dilakukannya hanya menatap,
untuk mengetahui kelanjutan akibat tempelan tangan nenek berompi coklat itu.
"Aaa...!"
Sepasang mata Dewa Arak, Wagul, dan Gulata terbelalak ketika melihat bagian dada
yang tersentuh tangan nenek berompi
coklat. Pakaian itu kontan hangus
terbakar, bertanda empat jari. Dan yang lebih mengerikan, kulit yang berada di
baliknya ikut hangus terbakar.
Kulit dada Ki Tariga mula-mula
berwarna merah bertanda empat jari tangan. Kemudian, tanda itu berubah warna
menjadi hitam seperti hangus, disertai kepulan asap dan suara mendesis seperti
besi panas direndam dalam air es.
Kejadian yang mengerikan itu ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ saja.
Noda berwarna hitam itu menyebar cepat ke seluruh bagian tubuh Ki Tariga. Lalu,
kulit tubuh itu mulai mencair.
Ki Tariga melolong-lolong kesakitan dijemput ajal.
"Hi hi hik...!"
Nenek berompi coklat itu tertawa
bergelak-gelak melihat kejadian di hadapannya. Tarikan wajahnya yang tidak
terlihat oleh Arya, tampak menyiratkan kegembiraan yang amat sangat.
Jerit kesakitan itu, bagi nenek berompi coklat tak ubahnya nyanyian bidadari.
"Sekarang giliranmu," kata nenek berompi coklat itu sambil menoleh ke arah
Wagul. Tak dipedulikannya lagi Ki Tariga yang tengah melolong-lolong sambil
menggeliat-geliat ke sana kemari menerima siksaan.
Nenek berompi coklat itu mulai
menjulurkan tangannya ke arah Wagul.
Melihat hal ini, guru silat Desa Watu itu kontan pucat wajahnya. Raut kengerian
tampak jelas pada wajahnya. Kejadian yang dialami Ki Tariga itulah yang
menimbulkan kengerian di hatinya.
Tapi sebelum tangan nenek berompi
coklat itu menyentuhnya.
"Manusia biadab! Hentikan...!"
Brakkk! Terali besi yang memisahkan ruangan penyiksaan dengan Dewa Arak hancur
berantakan, ketika pendekar muda yang menggemparkan itu menghajarnya.
*** Nenek berompi coklat itu terkejut
bukan kepalang mendengar teriakan Arya.
Apalagi ketika juga mendengar terali besi kurungannya hancur berantakan. Cepat
laksana kilat, tubuhnya berbalik.
"Siapa kau"!" bentak nenek berompi coklat itu keras bernada kemarahan.
"Namaku Arya! Dan kedatanganku untuk menghentikan semua kekejianmu!" lantang dan
mantap sambutan Dewa Arak. Bahkan terkesan adanya kemarahan dalam
ucapannya. "Keparat! Kau hanya mencari mati saja! Mampuslah kau! Hih!"
Nenek berompi coklat yang ternyata
berwajah persegi, melancarkan serangan.
Jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya, diluruskan. Sedangkan jari-jari
lainnya ditekuk. Dan dengan keadaan jari-jari tangan seperti itu,
dilancarkannya tusukan-tusukan bertubi-tubi ke arah dada Arya.
Dewa Arak tidak berani bertindak
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gegabah terhadap serangan nenek bertubuh kurus kering itu. Apalagi ketika
sekujur tangan lawannya tampak merah membara seperti besi terbakar. Dari
ucapannya bisa diketahuinya kalau lawannya ini telah menggunakan ilmu 'Jari
Darah Beracun'.
Dewa Arak segera melompat jauh ke
belakang. Disadari kalau serangan lawan mengandung racun yang mematikan. Asap
yang keluar dari tangan nenek bertubuh kurus kering dan sempat tercium
hidungnya, membuat kepalanya pusing.
Itulah sebabnya, sambil melompat ke belakang dan dalam keadaan berada di udara,
Dewa Arak mengambil guci araknya.
Lalu, isinya dituangkan ke mulut
Gluk... gluk... gluk....
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak.
Jliggg! Bertepatan dengan kedua kaki Dewa
Arak menginjak tanah, tubuhnya pun langsung oleng. Jelas, pemuda berpakaian
ungu ini telah siap menggunakan ilmu
'Belalang Sakti' andalannya.
Nenek bertubuh kurus kering yang
tengah dilanda kemarahan hebat itu sama sekali tidak memberi kesempatan bagi
Dewa Arak. Begitu serangannya berhasil
dielakkan, serangan lanjutannya segera dikirimkan.
Tapi, kali ini Dewa Arak telah
menggunakan ilmu andalannya. Dalam
penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', asap beracun dari ilmu 'Jari Darah Beracun'
seperti kehilangan keampuhannya. Bahkan enak saja Dewa Arak menghisap asap
beracun itu tanpa terkena pengaruh sedikit pun.
Nenek bertubuh kurus kering
menggerutkan gigi karena geram ketika melihat asap beracunnya sama sekali tidak
menimbulkan pengaruh sedikit pun pada lawan. Dan sebagai akibatnya, serangan-
serangan yang dilancarkannya semakin menjadi-jadi. Jari-jari kedua tangannya
meluncur ke sana kemari mencari sasaran di sekujur tubuh Dewa Arak.
Dapat dibayangkan, betapa geramnya hati nenek bertubuh kurus kering ketika
melihat semua serangannya berhasil dikandaskan Dewa Arak. Padahal, lawannya
seperti orang mabuk dalam mengelakkan setiap serangannya. Gerakan-gerakannya
Dewa Arak hampir-hampir tidak masuk akal.
Terkadang seperti orang akan jatuh, dan tak jarang malah seperti menyambut
tibanya serangan. Tapi anehnya dengan gerakan-gerakan seperti itu, serangan-
serangan yang dilancarkan nenek itu malah tidak mengenai sasaran.
Tak terasa, tiga puluh lima jurus
telah berlalu. Dan selama itu Dewa Arak tidak berani membenturkan tangannya
dengan tangan lawannya. Jadi, dia hanya mengelak dengan menggunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Sesekali, dilancarkannya serangan dengan jurus
'Belalang Mabuk'nya. Tapi itu langsung dibatalkan ketika lawan tampak akan
menangkisnya. Tidak heran bila dalam pandangan Wagul dan Gulata, Dewa Arak
tampak terdesak.
Kedua orang warga Desa Watu itu sama sekali tidak tahu kalau Dewa Arak sama
sekali tidak terdesak. Sebaliknya, pemuda berambut putih keperakan itu
sebenarnya tengah menunggu saat yang tepat untuk merobohkan lawan.
Nenek bertubuh kurus kering itu
semakin bertambah geram ketika melihat Dewa Arak berkali-kali malah menenggak
araknya. Padahal, pertarungan tengah berlangsung sengit. Hal yang dilakukan Dewa
Arak dianggap memandang rendah dirinya. Sama sekali tidak diketahuinya kalau hal
itu wajar-wajar saja dilakukan
Dewa Arak. Menginjak jurus kedelapan puluh tiga, Dewa Arak memberanikan diri untuk
menangkis langsung serangan lawan.
Prattt! Seketika itu pula, tubuh nenek
bertubuh kurus kering terhuyung-huyung empat langkah ke belakang. Sedangkan Dewa
Arak terhuyung-huyung dua langkah.
Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Dewa Arak dan nenek bertubuh kurus kering
menyempatkan diri melihat ke satu
sasaran, tangan Arya. Ternyata tangan Dewa Arak yang berbenturan langsung tadi
sama sekali tidak apa-apa! Hanya baju di bagian pergelangannya saja yang hancur
berkeping-keping.
"Hhh...! Dewa Arak menghela napas lega melihat keadaan tangannya. Sedangkan nenek
bertubuh kurus kering malah terkejut bercampur geram. Sama sekali tidak pernah
dibayangkan kalau ilmu 'Jari Darah Beracun' nya tidak menimbulkan akibat seperti
yang diharapkannya. Ataukah ilmu itu telah kehilangan kegunaannya" Ataukah...,
lawan yang dihadapinya bukan manusia"
Nenek bertubuh kurus kering sama
sekali tidak tahu, Dewa Arak dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', jelas akan
jadi kebal terhadap segala macam racun.
Setelah yakin tidak terjadi sesuatu atas dirinya, Dewa Arak meluruk menerjang
nenek bertubuh kurus kering kembali, maka pertarungan sengit pun kembali
terjadi. Kali ini, pertarungan yang terjadi berlangsung lebih sengit karena Dewa Arak
tidak ragu-ragu lagi melancarkan serangan balasan dan memapak serangan.
Nenek bertubuh kurus kering mengeluh dalam
hati. Kini setelah Dewa Arak
melancarkan serangan balasan, baru terasa akibatnya. Setiap serangan-serangan
Dewa Arak mengandung tekanan-tekanan berat.
Hingga tak sampai dua puluh lima jurus, nenek itu sudah terdesak hebat.
"Haaat...!"
Di jurus keseratus tiga puluh, Dewa Arak melakukan sapuan kaki kanan ke arah
nenek bertubuh kering. Tapi, serangannya berhasil dielakkan nenek itu dengan
melompat ke atas.
Tapi sungguh di luar dugaan, mendadak Dewa Arak mengayunkan gucinya. Dan....
Bukkk! "Akh!"
Nenek bertubuh kurus kering memekik tertahan ketika guci Dewa Arak menghantam
pinggangnya. Beruntung, tenaga dalamnya sempat dikerahkan untuk bertahan.
Sehingga, akibatnya tidak terlalu parah.
Hanya rasa sakit saja yang mendera, disertai luncuran tubuhnya yang terpental
ke belakang. Brukkk! Nenek bertubuh kurus kering itu tidak sempat memperbaiki kedudukannya. Tubuhnya
langsung terbanting keras di tanah.
Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada lawannya. Cepat laksana kilat, tubuh
yang tergolek di tanah diburunya. Pemuda berambut putih keperakan itu
melancarkan tendangan terbang ke arah dada nenek bertubuh kurus kering. Dan....
Bukkk! "Huakh...!"
Nenek bertubuh kurus kering kontan memuntahkan darah segar dari mulutnya,
seiring terdengarnya suara berderak keras tulang yang patah begitu tendangan
Dewa Arak mengenai sasaran. Sesaat tubuh nenek berompi coklat ini menggelepar,
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Dewa Arak memperhatikan wajah
lawannya sejenak, lalu perhatiannya beralih ke arah Wagul dan Gulata. Kontan
wajahnya memucat ketika melihat kedua orang warga Desa Watu itu terkulai dalam
belenggunya. Keadaan mereka menimbulkan kekhawatiran di hati Dewa Arak.
Semula Dewa Arak kebingungan. Tapi sesaat kemudian, telah diketahui hal yang
menjadi menyebab Wagul dan Gulata
terkulai. Pasti asap yang keluar dari penggunaan ilmu 'Jari Darah Beracun' yang
menjadi penyebabnya.
Dugaan itu membuat Dewa Arak melesat menghampiri tubuh dua warga Dewa Watu itu.
Hanya sekali hentak, rantai-rantai baja yang membelenggu tubuh mereka telah
berhasil diputuskan. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh-tubuh itu dibawa
keluar. Sesampainya di luar, tubuh Wagul dan Gulata segera diperiksa. Tercekat hati Dewa
Arak ketika ternyata Wagul telah tewas. Ajaibnya, Gulata malah belum tewas.
Dengan segala macam cara, nyawa Gulata berusaha diselamatkan.
"Uuuhhh...!"
Keluhan perlahan dari Gulata membuat Arya menghentikan usaha pertolongannya.
"Ahhh...! Terima kasih atas
pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Gulata ketika telah sadar sepenuhnya. Dia tahu,
tentang Dewa Arak memang dari Wagul.
"Lupakanlah," sahut Arya buru-buru.
"Sekarang yang penting, bebaskan semua teman-temanmu. Dan jangan lupa, temui
istrimu. Dia menunggumu di rumah
kerabatnya di dalam hutan. Kau tahu"!"
Dengan agak lemah, Gulata
menganggukkan kepala. Tapi Arya sama sekali tidak melihatnya. Pemuda berambut
putih keperakan itu telah melesat cepat dari situ. Dia bermaksud menyusul
Palungga dan Mawar. Apalagi jalan yang
ditempuhnya saat ini sudah tidak
mempunyai tembusan lagi.
Tapi baru beberapa kali lesatan, di depan sana tampak empat sosok tubuh tengah
menuju ke arahnya. Dan semuanya dikenalinya betul. Mereka adalah Mawar,
Palungga, Karina, dan Melati!
"Kang Arya...!"
Melati yang juga melihat kedatangan Arya, segera berseru keras sambil berlari
cepat mendekati. Kedua
tangannya terkembang. Sedangkan Arya juga mengembangkan
tangannya, menunggu kedatangan tunangannya. Sesaat kemudian, tubuh sepasang
pendekar muda itu telah berpelukan erat.
"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya Arya tanpa melepaskan pelukannya.
"Tidak, Kang. Nyi Kati menempatkan kami dalam sel yang terpisah dengan orang
lain. Dia bermaksud menyembelih kami di saat bulan purnama nanti. Kau sudah
menjumpainya, Kang"!"
"Maksudmu..., nenek tua bertubuh kurus kering yang menguasai tempat itu?"
tanya Dewa Arak menegaskan.
"Benar! Dia adalah tokoh sesat pemimpin gerombolan yang menamakan diri
Gerombolan Singa Gurun, yang selama ini kucari-cari. Nenek itu memang tengah
menuntut suatu ilmu sesat, untuk
menguasai rimba persilatan! Dan untuk
menuntut ilmu itu, diperlukan darah manusia agar sempurna. Itulah sebabnya, agar
tidak terganggu, dia sengaja
menyembunyikan diri di tempat ini. Bahkan merahasiakan pimpinan gerombolannya,
yang padahal dia sendiri yang jadi
pimpinannya," jelas Melati, yang rupanya telah berhasil mendapat keterangan
tentang Gerombolan Singa Gurun.
"Lalu, apa maksudnya ingin menguasai rimba persilatan?" desak Dewa Arak.
"Waktu aku tertangkap, dia mengatakan kalau suaminya tewas di tangan seorang
penduduk. Sejak itu, dia dendam pada tokoh golongan putih, dan berusaha
memperdalam ilmu-ilmu hitam. Hingga akhirnya, dia berhasil menguasai
Gerombolan Singa Gurun, dan mengangkat diri menjadi pemimpin. Karena merasa
belum puas dengan ilmunya, maka dia kembali memperdalam ilmu sesat yang lebih
dahsyat, dengan tumbal darah penduduk."
tutur Melati lagi.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Kini rasa penasarannya
cair sudah. Ilmu sesat itu memang
dahsyat. Pantas, tubuh Ki Tariga bisa seperti mencair dengan hanya sekali
sentuhan Nyi Kati.
Sementara itu, Melati sudah
membenamkan wajahnya di dada Dewa Arak yang bidang.
Palungga, Karina, dan Mawar tersenyum gembira melihat pertemuan sepasang
pendekar muda yang sama-sama sakti itu.
SELESAI Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hong Lui Bun 20 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Pedang Medali Naga 8
Sementara itu, laki-laki pendek kekar ini memang bukan orang bodoh. Dia tahu,
Melati mengejarnya. Dan sudah bisa diperkirakan kalau akan terkejar, Melati
memang sungguh-sungguh ingin membunuhnya.
Meskipun demikian, laki-laki pendek kekar itu tidak mau menyerah begitu saja.
Tetap seluruh ilmu lari cepatnya
dikerahkan. Maka adu kejar-mengejar pun segera terjadi.
Suara berisik kaki-kaki yang menginjak rerumputan dan melanggar semak-semak pun
langsung terdengar. Memang, kedua orang itu sama sekali tidak mempedulikan
rintangan di depan. Sekalipun rintangan itu semak-semak berduri, tetap saja
diterabas. Dengan pengerahan tenaga dalam yang dimiliki, bukan hal yang sulit
untuk membuat kulit dan daging mereka tidak terluka oleh tajamnya duri.
*** Sang pemimpin gerombolan itu bukan orang bodoh. Ketika adu kejar-mengejar telah
berlangsung cukup lama, tapi jarak antara mereka sama sekali tidak berubah,
seketika timbul perasaan curiganya. Maka benaknya langsung diputar.
Hanya dalam sekejapan saja, laki-laki pendek kekar itu telah menemukan dugaan
yang menjadi penyebab tindakan lawannya.
Gadis berpakaian putih itu pasti sengaja menguntitnya, dan berarti ingin
mengetahui sarangnya.
Dugaan yang muncul, membuat laki-laki pendek kekar itu mengurungkan maksudnya
semula. Memang, dia tidak ingin sarang gerombolannya diketahui oleh siapa pun.
Karena bila hal itu terjadi, hukuman berat akan didapatnya, maka buru-buru arah
larinya dialihkan.
Namun, Melati sama sekali tidak tahu kalau buruannya telah menyelewengkan arah.
Dan dia tetap saja meneruskan pengejaran. Gadis berpakaian putih ini sama sekali
tidak sadar kalau laki-laki pendek kekar itu telah mempunyai rencana lain.
Pandangan mata Melati terus mengikuti tubuh pemimpin Gerombolan Singa Gurun yang
terus melesat di depan, menyeruak semak-semak dan pepohonan. Tak sedikit di
antara tanaman-tanaman berduri tajam itu yang menyayat kulit dan daging.
Takkk! Sing, sing, sing...!
"Hey!"
Melati terpekik kaget ketika
mendengar desingan tajam yang disusul berkelebatnya beberapa batang tombak dari
kanan kirinya. Gadis berpakaian putih ini tahu kalau kakinya telah menyentuh
sesuatu yang diyakininya sebagai pelatuk yang menyebabkan tombak-tombak itu
melesat ke arahnya.
Meskipun kejadiannya demikian
mendadak, Melati tidak gugup. Segera dipapaknya kedatangan tombak-tombak itu
dengan kedua tangannya.
Takkk, takkk, takkk!
Suara berdetak keras terdengar ketika
tombak-tombak itu runtuh ke tanah dalam keadaan patah-patah.
"Hehhh"!"
Seruan keterkejutan keluar dan mulut laki-laki pendek kekar ketika melihat
tombak-tombak itu gagal mencapai sasaran.
Memang, Melati sengaja diajak ke tempat-tempat yang banyak mengandung jebakan.
Tentu saja agar gadis itu celaka.
Sementara bagi gadis itu, jebakan-jebakan tadi sama sekali tidak membahayakan.
Apalagi, telah diketahuinya betul letak tempat-tempat yang berbahaya.
Tapi laki-laki pendek kekar itu tidak larut dalam keterkejutan. Seiring
keluarnya teriakan keterkejutan, dia terus melesat kabur. Sedangkan Melati tentu
saja tidak membiarkan buruannya lolos. Kembali dia melesat mengejar.
Tapi.... Takkk! Wukkk! "Hih!"
Pyarrr! Kejadiannya berlangsung demikian
cepat. Untuk yang kedua kalinya, kakinya menghantam sesuatu. Dan tahu-tahu,
sebatang pohon yang masih lengkap dengan daun-daun dan ranting-ranting menyabet
ke arah dada. Agak bergegas, Melati memapaknya dengan kedua tangan hingga pohon
itu hancur berkeping-keping.
Melati langsung melompat mundur.
Tarikan wajahnya masih menyiratkan keterkejutan. Memang, kejadian yang baru saja
dialami membuatnya kaget.
Dalam hati, dia memuji kerajinan orang yang telah membuat perangkap seperti itu.
Karena, hal itu membutuhkan perhitungan yang cukup matang.
Namun Melati tidak sudi membiarkan dirinya berlama-lama hanyut dalam
kekagetan. Kembali kakinya melangkah untuk mengejar buruannya yang kembali
melesat kabur, ketika Melati berhasil mematahkan penghalang. Maka kejar-mengejar
pun kembali terjadi.
Tapi, kali ini Melati tidak berani bertindak sembarangan. Diperhatikannya betul-
betul setiap tempat yang diinjak pimpinan Gerombolan Singa Gurun
Dan memang, setelah mempergunakan cara seperti ini, jebakan seperti sebelumnya tidak
lagi ditemui. Melati mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk indah ketika melihat
buruannya masih terus saja berlari.
Begitu jauhkah sarang Gerombolan Singa Gurun itu" Jangan-jangan laki-laki pendek
kekar itu sengaja menipunya! Kini
perasaan curiga mulai bersemayam di hati Melati.
Sementara itu, adu kejar-mengejar
kini telah berpindah tempat. Melati dan pemimpin Gerombolan Singa Gurun telah
berada di sebuah lapangan terbuka yang luas membentang. Tidak terlihat lagi
adanya pohon-pohon besar dan tinggi yang menjulang. Yang terlihat hanyalah
hamparan rumput kering yang pendek-pendek.
Mendadak, laki-laki pendek kekar itu menghentikan larinya dan membalikkan tubuh.
Kemudian, tangan kanannya bergerak mengibas.
Siut, siut! Beberapa buah benda bulat sebesar
telur bebek melesat ke arah Melati. Maka Melati kontan menghentikan larinya.
Diperhatikannya sejenak benda-benda bulat yang meluncur ke arahnya, lalu cepat-
cepat melempar tubuhnya ke samping kanan dan bergulingan menjauh. Melati tidak
berani memapak luncuran benda-benda itu, karena telah mengetahui
keistimewaannya.
Apalagi, keistimewaan benda itu telah beberapa kali disaksikannya sendiri.
Dar, dar, darrr!
Ledakan riuh kontan terdengar ketika benda-benda bulat itu berbenturan dengan
tanah. Seketika itu pula, muncul asap tebal berwarna putih di tempat Melati
berdiri tadi. Melati berhasil menyelamatkan diri dari sasaran benda-benda bulat sebesar telur
bebek itu. Tapi, hal itu bukan merupakan jaminan kalau berhasil menye-
lamatkan diri dari bahaya. Karena
ternyata.... Blosss! Tubuh Melati langsung masuk ke dalam lubang ketika tanah berumput, tempat
tubuhnya berguling tiba-tiba amblas.
Karuan saja hal ini membuatnya terkejut bukan kepalang. Sedapat mungkin ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan untuk berjaga-jaga agar tidak mengalami cedera
yang berarti, apabila jatuh ke dasar lubang nanti.
Tapi di saat tubuh Melati melayang ke lubang, pimpinan Gerombolan Singa Gurun
tidak tinggal diam. Cepat bagai kilat tangannya kembali dikibaskan. Maka, benda
bulat sebesar telur bebek itu kembali meluncur, dan kali ini diarahkan ke dalam
lubang. Darrr! Baru saja Melati berhasil mendarat di lubang dengan kedua kakinya, benda bulat
sebesar telur bebek itu meledak. Asap putih tebal pun menyeruak keluar dan
mengungkungi sekitar dalam lubang.
Melati tahu, asap putih tebal itu
mengandung racun. Maka, sedapat-dapatnya dia menahan napas untuk mencegah asap
itu terhisap ke dalam perut. Masih dalam keadaan seperti
itu, kakinya segera
dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke atas.
Melati belum bisa memperkirakan
tingginya lubang itu dari permukaan tanah. Tapi yang jelas, lubang itu tidak
seberapa dalam. Hal ini bisa diketahui dari kecepatan jatuhnya ke dasar lubang.
Karena tidak tahu pasti tingginya
bagian atas lubang, tambahan lagi dalam keadaan agak kalap, Melati mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk melompat ke atas.
Hasilnya sudah bisa diduga. Tubuh
Melati melesat laju ke atas. Tapi baru saja melewati permukaan atas lubang,
pimpinan Gerombolan Singa Gurun telah meluncurkan benda-benda bulat sebesar
telur bebek ke arah Melati.
Melati terkejut bukan kepalang.
Serangan lawan meluncur di saat tubuhnya tengah berada di udara. Jadi, merupakan
yang mustahil untuk bisa mengelak.
Apalagi tidak ada landasan yang dapat dijadikan tempatnya berpijak. Untuk
menggeliatkan tubuhnya, dia tidak berani.
Dia tahu, tindakan seperti itu amat berbahaya, karena benda-benda bulat yang
dilemparkan laki-laki pendek kekar tampak berjajar. Jadi, tetap saja akan ada
yang mengenai sasaran kalau dipaksakan
menggeliatkan tubuh.
Melati tidak punya pilihan lain lagi, kecuali memapak serangan-serangan itu.
Dan hal itulah yang akan dilakukannya.
Sambil menggertakan gigi, luncuran benda-benda bulat itu dipapaknya dengan
pukulan kedua tangan.
Dar, dar, darrr!
Seperti yang sudah diduga Melati,
benda-benda bulat itu langsung meledak ketika berbenturan dengan tinju kedua
tangannya. Ledakannya ternyata cukup dahsyat. Terbukti, gadis berpakaian putih
itu sampai memekik, meskipun hanya pelan dan singkat.
Jliggg! Meskipun agak terhuyung, Melati
berhasil mendaratkan kedua kakinya di pinggir lubang. Asap tebal yang keluar
dari ledakan benda-benda bulat itu segera menyebar, menyelubungi tempat itu.
Kali ini, Melati tidak bisa menahan napas lagi untuk mencegah terhisapnya asap.
Pekikan kecil dan pendek yang tadi keluar dari mulutnya, membuat asap itu
terhisap masuk.
Rupanya, asap itu mengandung racun yang mempunyai daya kerja cepat. Buktinya
Melati langsung merasakan kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang
ketika asap itu terhisap. Meskipun demikian, dia masih sempat melihat kalau
akibat tindakannya cukup mengerikan.
Darah telah membasahi kedua tangannya.
Bahkan bajunya sampai hampir sebatas siku telah compang-camping. Jelas, akibat
le- dakan benda bulat itu amat dahsyat.
Tapi, Melati tidak bisa berpikir
lebih jauh lagi. Pandangannya mendadak gelap, lalu tubuhnya limbung. Kalau saja
laki-laki pendek kekar tidak bertindak cepat dengan menangkap tubuhnya, Melati
telah terjatuh ke dalam lubang semula.
"Ha ha ha...!" Laki-laki pendek kekar tertawa bergelak. "Jangan mimpi untuk bisa
meruntuhkan Gerombolan Singa Gurun, Cah Ayu! Ha ha ha...!"
Setelah berkata demikian, pimpinan Gerombolan Singa Gurun ini melesat cepat
meninggalkan tempat itu seraya
memperdengarkan tawanya yang penuh kegembiraan dan kemenangan.
*** "Ah! Aku terlambat!"
Ucapan bernada penyesalan keluar dari mulut seorang kakek berpakaian putih
berkepala botak. Pandangan mata kakek berpakaian putih itu tertuju ke arah
lubang yang terletak di sebuah tanah lapang luas yang ditumbuhi rumput-rumput
pendek. Kakek berpakaian putih
ini mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Sesaat, edaran sepasang matanya terhenti ketika melihat sebuah benda yang
tergolek tak jauh dari lubang. Perasaan ingin tahu
tampak jelas pada sorot mata dan raut wajahnya.
Kakek berpakaian putih itu mengayunkan langkahnya. Luar biasa! Kelihatannya
kakinya hanya di-ayunkan selangkah. Tapi anehnya, tubuhnya telah berjarak tak
kurang dari sebelas tombak dari tempat semula. Jelas, ilmu meringankan tubuh
kakek ini amat tinggi.
Sesaat kemudian, kakek berpakaian
putih itu telah berada di dekat benda yang menjadi pusat perhatiannya. Sepasang
alisnya berkerut ketika mengetahui kalau benda yang menarik perhatiannya
ternyata sebilah pedang telanjang.
Perlahan-lahan kakek berpakaian putih itu membungkukkan tubuhnya dan memungut
pedang itu. Lalu diperhatikannya pedang itu penuh minat
Pedang itu ternyata bukan sebatang pedang pusaka. Meskipun demikian,
bilahnya terbuat dari logam yang cukup baik. Jelas, jauh lebih kuat daripada
pedang umumnya.
"Sebuah senjata yang cukup baik,"
puji kakek itu sambil mengangguk-
anggukkan kepala.
Usai berkata demikian, kakek berpakaian putih itu mengalihkan perhatian ke arah
gagang pedang. Bentuk gagangnya memang gagah sekali. Berukir, membentuk kepala
seekor naga. Tapi anehnya, pada
ujung gagangnya terikat sulaman gambar bunga melati.
"Dari mana kau dapatkan pedang itu, Ki"!"
Tiba-tiba sebuah pertanyaan bernada penuh tuntutan membuat kakek berpakaian
putih itu terjingkat kaget bagai disengat ular berbisa. Raut wajahnya jelas
menampakkan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan. Raut kekagetan yang
nampak di wajah kakek itu semakin terlihat jelas. Bahkan ada nada
ketidakpercayaan ketika melihat si pemilik suara.
"Siapa kau?" tanya kakek berpakaian putih sambil menatap sekujur tubuh si
pemilik suara penuh selidik. Sama sekali tidak dipedulikan pertanyaan yang
tertuju kepadanya.
Si pemilik suara ternyata seorang
pemuda tampan. Usianya paling banyak dua puluh dua tahun. Tampak alis pemuda itu
berkernyit. Bahkan sepasang matanya di raut wajah yang jantan tampak mencorong,
menyiratkan sinar kehijauan laksana sorot mata seekor harimau dalam gelap.
Jelas, pemuda bertubuh tegap kekar dan
terbungkus pakaian berwarna ungu ini bukan orang sembarangan. Karena, sorot mata
seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah memiliki tenaga dalam
amat kuat. "Jawab pertanyaanku, Anak Muda!
Cepat! Sebelum kesabaranku hilang!"
sambung kakek berpakaian putih lebih keras.
Sambil berkata demikian, pandangannya dialihkan ke arah rambut pemuda berpakaian
ungu itu. Bukan karena panjangnya yang membuatnya agak heran, tapi warna
rambutnya yang putih keperakan! Warna yang seharusnya dimiliki orang-orang yang
telah berusia cukup lanjut. Sudah bisa diduga, siapa adanya pemuda ini. Ya!
Dialah Arya Buana alias Dewa Arak.
Sorot mata Arya yang semula lembut, langsung mengeras mendengar ucapan kakek
berpakaian putih itu.
"Bukan hanya kau saja yang bermaksud seperti itu, Ki! Aku juga demikian! Jawab
dulu pertanyaanku, dari mana pedang itu kau dapatkan!" tandas Arya sambil
menudingkan jari telujuknya ke arah pedang yang tergenggam di tangan kakek
berpakaian putih.
6 Kakek berpakaian putih itu mengamati pedang di tangannya sejenak, kemudian
perhatiannya dialihkan pada Arya.
"Kalau aku tidak mau"!" sahut kakek berpakaian putih itu, bernada tantangan.
"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" tegas dan mantap kata-kata
yang keluar dari mulut Arya.
Kakek berpakaian putih tersenyum
lebar. "Aku ingin tahu, apakah kemampuan yang kau miliki sedahsyat ucapanmu."
Darah muda Arya meluap mendengar
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambutan bernada tantangan ini. Meskipun demikian, masih dicobanya untuk menahan
diri. Padahal, perasaannya hampir tidak terkendalikan. Pedang yang berada di
tangan kakek itulah yang membuat
perasaannya hampir tidak bisa terkendalikan. Memang pedang itu dikenalinya
betul, sebagai milik Melati! Bentuk gagang, dan hiasan berbentuk bunga melati,
amat dikenalinya. Tidak ada lagi orang yang memiliki pedang seperti itu kecuali
tunangannya. Arya tahu betul, pedang itu tidak
pernah terpisah dari tunangannya. Itulah sebabnya, harinya merasa khawatir
melihat keberadaan pedang di tangan kakek itu.
Apalagi dalam keadaan tanpa warangka.
Jelas, telah terjadi sesuatu atas diri Melati. Itulah sebabnya, Arya hampir
tidak sabar mendapatkan jawaban dari kakek berpakaian putih,
"Aku tidak ingin bertarung denganmu, Ki," jawab Arya setelah menghela napas
berat untuk menenangkan hati. "Aku hanya minta, beritahukanlah padaku dari mana
pedang itu didapat."
Kakek berpakaian putih tersenyum
mengejek. "Rupanya kau termasuk orang yang mudah menjilat ludahmu yang telah
jatuh ke tanah, Anak Muda. Sebelumnya, kau mengatakan ingin tahu, dari mana
pedang ini kudapatkan. Sekalipun, untuk itu harus dengan jalan kekerasan.
Sekarang kau mengatakan tidak ingin bertarung denganku. Lucu! Lucu sekali!
Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan, ternyata hanya seorang yang tidak
mempunyai pendirian!"
Wajah Dewa Arak kontan merah padam.
Kemarahan yang sejak tadi timbul semakin bernyala-nyala. Ucapan kakek berpakaian
putih tadi membuat kemarahannya semakin berkobar-kobar. Belum pernah dia
dilecehkan seperti itu. Padahal, Dewa Arak sendiri paling benci pada orang yang
tidak mempunyai pendirian
"Jaga mulutmu, Ki. Aku bukan orang seperti yang kau tuduhkan!" dengus Dewa Arak,
keras. "Kalau begitu, mengapa maksudmu dibatalkan untuk menempurku"!" sergah kakek
berpakaian putih, cepat. "Atau kau merasa gentar"!"
"Tidak ada kata takut dalam kamus hidupku, Ki!" sambut Dewa Arak tak kalah
keras. "Kalau begitu..., tunggu apa lagi"!
Dengar, Dewa Arak! Aku bersedia
memberitahukan padamu, apabila kau mampu mengalahkanku!"
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat untuk
menenangkan hati. Disadari kalau
kemarahan hanya akan merugikan dirinya sendiri. "Itu tidak menjadi alasan kuat
untuk bertarung, Ki."
Kakek berpakaian putih tercenung
sejenak. Jelas, ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Baiklah, Dewa Arak. Aku tidak akan memaksamu bertarung. Aku akan pergi, dan
silakan cari sendiri pemilik pedang ini.
Hanya satu yang perlu kau ketahui, pemilik pedang ini tengah dalam bahaya besar.
Kalau kau tidak segera
menolongnya, mungkin akan tewas! Selamat tinggal!"
Usai berkata demikian, kakek
berpakaian putih itu segera membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan Dewa
Arak. Kelihatan enak saja saat melangkah, tapi hebatnya telah berada dalam jarak
sebelas tombak di depan!
Arya kontan terkejut bukan kepalang.
Tapi bukan karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek berpakaian putih
itu, melainkan karena ucapannya. Melati dalam bahaya! Dan dugaannya ternyata
tidak meleset! "Jangan harap bisa lolos dari sini sebelum menjawab pertanyaanku!"
Seiring keluar ucapannya, Dewa Arak segera menjejakkan kaki. Tubuhnya melesat
cepat ke atas, melewati kepala kakek berpakaian putih di depannya. Beberapa kali
tubuhnya bersalto di udara, sebelum mendaratkan di tanah.
Jliggg! Ringan laksana jatuhnya sehelai daun di tanah, Dewa Arak mendaratkan kedua
kakinya di depan kakek berpakaian putih.
Karuan saja, kakek itu menghentikan langkahnya. Kini, mereka berdua berdiri
berhadapan dalam jarak empat tombak
"Menyingkirlah, Dewa Arak!
Jangan halangi jalanku! Atau..., terpaksa kita harus bertempur!" dengus kakek
berpakaian putih memperingatkan Arya.
"Aku tidak akan bergeser sedikit pun dari tempat ini, Ki! Kecuali, bila kau
beritahukan padaku kejadian yang menimpa pemilik pedang itu!" keras dan mantap
kata-kata yang keluar dari mulut Dewa Arak.
"Kalau begitu, mampuslah kau!"
Kakek berpakaian putih itu langsung melepaskan pedang bergagang kepala naga ke
tanah, hingga amblas setengahnya lebih. Kemudian, dia melompat menerjang Dewa
Arak. Serangannya diawali dengan pukulan tangan bertubi-tubi ke arah dada.
Wut, wut, wut! Deru angin keras terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Hal ini menandakan
betapa kuatnya tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan itu.
Tapi, Dewa Arak tidak gugup melihat hal ini. Ditunggunya hingga serangan-
serangan kakek berpakaian putih itu dekat. Kemudian dengan tetakan kedua
tangannya, serangan-serangan yang meluncur dipapaknya.
Tak, tak, tak! Suara berdetak keras seperti benturan logam keras terdengar berkali-kali ketika
dua pasang tangan beradu. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung
mundur ke belakang. Dewa Arak terhuyung dua langkah ke belakang, sedangkan kakek
berpakaian putih terhuyung tiga langkah.
Dari sini bisa diduga, tenaga dalam Dewa Arak lebih kuat daripada lawannya.
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji kakek berpakaian putih itu, disertai seringai di
mulutnya. Jelas, dia merasa kesakitan akibat benturan itu. "Tapi jangan bangga
dulu. Aku belum kalah! Hih!"
Kakek berpakaian putih itu kembali menyerang Dewa Arak. Kali ini, dengan
serangan-serangan yang jauh lebih dahsyat daripada sebelumnya. Lebih-lebih
kelihaian Arya telah diketahuinya.
Dewa Arak yang telah mengetahui
kelihaian kakek berpakaian putih itu tidak tinggal diam, dan segera melakukan
perlawanan sengit. Pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan seluruh
kemampuannya, karena merasa cemas akan keselamatan Melati. Arya ingin buru-buru
menolong tunangannya. Dan sumber
keterangan itu adalah kakek berpakaian putih ini!
Hebat bukan kepalang pertarungan
antara kedua orang sakti itu. Setiap gerakan mereka menimbulkan deru angin
keras, pertanda didukung pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara angin mencicit,
mengaung, dan menderu menyemaraki
jalannya pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Debu pun
mengepul tinggi ke udara. Rumput-rumput kering dan pendek terpijak-pijak di sana
sini. Tanaman-tanaman lain bergoyang-
goyang ke sana kemari, setiap kali kedua tokoh yang tengah bertarung itu
menggerakkan tangan atau kaki.
Dewa Arak mengerahkan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan
Cara Menaklukkan Harimau' sampai ke puncaknya, untuk dapat merobohkan lawan
secepatnya. Meskipun demikian, tetap saja menemui kesulitan. Ternyata, kakek
berpakaian putih itu amat tangguh!
Sejak jurus-jurus awal, masing-masing pihak telah menguras seluruh kemampuan
yang dimiliki. Meskipun memang, belum mengeluarkan ilmu andalan.
Kini, tubuh Dewa Arak dan kakek
berpakaian putih itu lenyap bentuknya.
Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan putih dan ungu. Terkadang kedua
bayangan itu saling belit, tapi tak jarang saling pisah. Beberapa kali bayangan
putih terlempar keluar kancah pertarungan, tapi hal itu hanya berlangsung
sekejap saja. Sesaat kemudian, kedua bayangan itu kembali saling belit.
*** Mula-mula pertarungan antara dua
tokoh sakti itu berlangsung seimbang.
Masing-masing pihak tampak saling ganti-berganti melancarkan serangan. Tapi
menginjak jurus keseratus, keunggulan Dewa Arak mulai tampak.
Serangan-serangan kakek berpakaian putih itu mulai berkurang. Dan sekarang lebih
banyak mengelak. Bahkan menangkis pun hanya sekali-sekali saja karena hanya
mendatangkan kerugian baginya.
Masalahnya, tenaga dalamnya berada di bawah Dewa Arak.
Semakin lama, keadaan kakek berpa-
kaian putih itu semakin terdesak.
Robohnya kakek itu hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Haaat..!"
Pada jurus keseratus dua betas, Dewa Arak melancarkan sapuan kaki tanah. Namun
kakek berpakaian putih berhasil menge-lakkannya dengan melompat ke atas.
Dan ternyata, tindakan Dewa Arak
tidak hanya sampai di situ saja. Tangan kanannya diluncurkan cepat ke arah bahu
kanan lawannya. Arya memang tidak ingin membunuh kakek berpakaian putih itu.
Tidak heran bila serangan-serangan yang dilancarkannya ditujukan pada bagian-
bagian yang tidak mematikan.
Kakek berpakaian putih itu terkejut bukan kepalang. Keadaannya saat ini benar-
benar tidak menguntungkan. Tubuhnya yang tengah berada di udara, menyulitkan
untuk berkelit dari serangan itu.
Terpaksa serangan itu dipapaknya dengan tangan kiri.
Prattt! Tubuh kakek berpakaian putih itu
terlempar ke belakang, kemudian jatuh bergulingan di tanah. Pada saat yang
bersamaan Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya secara mantap di tanah. Lalu,
tubuhnya langsung meluruk ke arah kakek berpakaian putih.
Maksudnya, hendak melumpuhkan lawan tangguhnya.
Tapi.... "Tahan, Kang Arya...!"
Arya terkejut bukan kepalang. Nada suara itu serasa pernah dikenalnya. Tapi
sayang, dia lupa. Kapan dan di mana pernah mendengar suara itu. Maka, cepat-
cepat serangannya dibatalkan. Tangannya cepat dipergunakan sebagai tumpuan kaki
untuk membatalkan serangannya.
Jliggg! Begitu kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, sesosok bayangan merah berkelebat
mendekati tempat kakek berpakaian putih, lalu berdiri membelakanginya. Kini
sosok berpakaian merah itu berdiri di antara Dewa Arak dan kakek berpakaian
putih. "Ah!"
Arya menjerit kaget ketika melihat jelas sosok berpakaian merah yang berdiri di
hadapannya. Dikenalinya betul sosok itu.
"Kau... kau..., Mawar...! Ya, Tuhan.... Mengapa kau ada di sini, Mawar..."!"
seru Arya setengah tak percaya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghampiri sosok berpakaian merah yang
ternyata seorang gadis berwajah cantik jelita. Rambutnya yang berwarna hitam
mengkilap digelung ke atas. Dia memang Mawar, saudara kembar Melati [Untuk
jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit
Gantar"]. "Ceritanya panjang sekali, Kang Arya," sahut Mawar, sambil berdiri diam
menunggu. "Tapi yang jelas dan perlu kau ketahui, kakek yang menjadi lawanmu
bertarung bukan musuh."
"Ooo...."
Arya hanya bisa membulatkan mulutnya pertanda mengerti. Namun langkahnya tetap
tak dihentikan. Meskipun demikian, bola matanya sempat dilayangkan ke arah kakek
berpakaian putih yang kini sudah berdiri tegak.
"Kalau dia bukan musuh, mengapa menunjukkan sikap yang tidak bersahabat padaku,
Mawar?" ada nada penasaran dalam pertanyaan Arya. Mawar mengangkat bahu.
"Kalau begitu..., kupersilakan kau untuk menanyakan sendiri."
Usai berkata demikian, Mawar bergeser untuk memberi kesempatan pada kakek
berpakaian putih memberikan jawaban atas pertanyaan Dewa Arak.
Kakek berpakaian putih melangkah maju dengan pandangan diarahkan pada Dewa Arak.
Ditatapnya pemuda berambut putih keperakan itu tajam-tajam, tepat pada bola
matanya. Sementara itu, Arya telah menghen-
tikan langkahnya. Kakek berpakaian putih juga berhenti, ketika telah melangkah
sebanyak tiga tindak. Sekarang, kedua
tokoh yang baru saja bertarung sengit itu saling menatap tajam.
"Apa yang dikatakan Mawar benar belaka, Arya," ucap kakek berpakaian putih itu
membuka pembicaraan.
Arya sama sekali tidak memberi
tanggapan, sekalipun kakek berpakaian putih itu kembali merubah panggilan
terhadapnya. "Tapi sebelum kukatakan alasan sebenarnya yang membuatku menunjukkan sikap tidak
bersahabat padamu, aku ingin memperkenalkan namaku padamu," lanjut kakek
berpakaian putih. "Namaku Palungga."
"Palungga"!"
Arya mengulang nama itu dalam hati disertai kernyitan pada dahi.
Betapa tidak" Rasanya nama itu pernah
didengarnya. Hanya saja dia lupa, kapan dan di mana nama itu pernah didengarnya.
Kakek berpakaian putih yang mengaku bernama Palungga tersenyum simpul melihat
kernyitan di dahi Dewa Arak. Sepertinya, dia tahu mengapa pemuda berambut putih
keperakan itu bersikap demikian.
"Aku sengaja menunjukkan sikap bermu-suhan karena ingin menguji kepandaianmu.
Kudengar, julukanmu amat menggeparkan dunia persilatan. Bahkan salah satu dari
dua anakku yang berhasil kutemukan, banyak memuji-mujimu. Baik kepandaian
maupun sikapmu. Sehingga, aku merasa penasaran sekali. Aku ingin menjumpaimu
secara langsung untuk membuktikan
kebenaran semua cerita itu."
"Dan kenyataannya sama sekali tidak benar kan, Ki?" potong Arya buru-buru.
"Kau keliru, Arya. Semua cerita yang kudengar tentang dirimu benar belaka,"
bantah Palungga sambil tersenyum.
"Kesakitan, kerendahan hati, dan tindakanmu benar-benar sesuai kenyataan yang
selama ini kulihat. Aku tahu, kau tidak melancarkan serangan-serangan yang
mematikan terhadapku."
Arya kontan terdiam. Diam-diam,
dipujinya kejelian sepasang mata
Palungga. "Kalau boleh kutahu, siapakah salah seorang anakmu yang terlalu berlebihan
memujiku itu, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
Semakin lebar senyum yang tersungging di bibir Palungga.
"Kau ingin tahu, Arya" Nah! Baiklah akan kuberitahukan. Inilah salah seorang
anakku yang amat memujamu," kata Palungga sambil menudingkan telunjuk
tangan kanannya ke arah Mawar.
"Hah..."! Jadi.., jadi.... Ah!
Mengapa aku begini pelupa"! Kau..., ayah Mawar dan Melati...," ucap Arya agak
tergagap. Sekarang pemuda berambut putih
keperakan itu baru teringat nama yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Pantas,
perasaan nama itu pernah didengarnya.
Dulu, sewaktu bertemu Mawar nama itu pernah didengarnya. Mawar memperkenalkan-
nya sebagai ayahnya, sekaligus ayah Melati [Untuk jelasnya, silakan baca serial
Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar].
Palungga menganggukkan kepala
pertanda membenarkan ucapan Arya.
"Aku tidak kecewa. Kau lebih dari pantas untuk menjadi jodoh anakku."
Arya mengangguk-anggukkan kepala.
Kini dia mengerti, ternyata Palungga tadi bermaksud mengujinya. Tapi bukankah
menurut pengakuan Kami, Palungga telah tewas dikeroyok tokoh-tokoh golongan
hitam yang bersatu padu" Kalau benar kakek ini adalah ayah Melati, kenapa
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan anaknya tertimpa bahaya seperti yang tadi dikatakannya" Berbagai
macam pertanyaan bergayut dalam benak Arya.
7 "Aku tahu, kau akan mengajukan keheranan yang sama dengan Mawar," kata Palungga
bernada yakin. "Kau pasti menduga kalau aku telah tewas di tangan para tokoh
persilatan aliran hitam?"
Arya menganggukkan kepala, karena
memang itu yang akan dikatakannya. Dan seperti itulah yang diceritakan Karina,
istri Palungga. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
"Aku berhasil melarikan diri dari mereka," jelas Palungga. "Ahhh! Kalau saja
tidak mengingat nasib anakku, mungkin aku lebih rela mati daripada hidup sebagai
pengecut" Palungga menghentikan ucapannya.
Sepasang matanya menerawang ke atas,
seakan-akan ada yang tengah dicarinya di atas sana.
"Setelah berhasil menyelamatkan diri, aku mulai mencari berita beradanya istri
dan anakku. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi. Tapi nyatanya mereka lenyap
seperti ditelan bumi. Usaha-usahaku sia-sia saja rupanya, sehingga membuatku
hampir putus asa. Namun, betapa gembiranya hatiku ketika pencarianku ternyata menemukan titik terang. Aku
berhasil menemukan Mawar ketika tengah melarikan diri dari sesuatu yang tengah
ditakutinya. Sekarang, kau yang ganti bercerita, Mawar."
Mawar menganggukkan kepala. "Beberapa hari yang lalu, muncul belasan orang
berpakaian coklat. Mereka mengaku sebagai Gerombolan Singa Gurun. Dengan cara
kasar, mereka berusaha membawaku dan ibu.
Dan tentu saja kami tidak menyerah begitu saja. Tapi, karena kepandaian mereka
rata-rata lumayan dan jumlahnya cukup banyak, jadi terdesak hebat."
Mawar menghentikan cerita. Untuk
membasahi tenggorokannya yang kering karena kebanyakan berbicara dia menelan
ludah. "Ibu tahu, keadaan kami tidak menguntungkan. Maka disuruhnya aku melarikan diri,
dan dia berusaha mencegah lawan-lawan mengejarku," sambung Mawar.
"Semula, aku tidak mau. Tapi karena ibu terlalu memaksa, apa boleh buat. Dengan
perasaan sedih, dia kutinggalkan. Dan ketika akhirnya aku bertemu ayah, kami
segera kembali memeriksa ke sana. Tapi, keadaan telah kembali sepi. Tidak ada
Gerombolan Singa Gurun maupun ibu. Entah bagaimana nasib ibu..."
Arya hanya bisa menghela napas berat pertanda
ikut prihatin ketika Mawar
menyelesaikan cerita.
"O ya, Ki. Masih ada hal yang ingin kutanyakan padamu," kata Arya ketika
teringat kembali.
Palungga tersenyum simpul. Rupanya pertanyaan yang akan diajukan Arya sudah bisa
diduga. "Silakan, Arya. Kalau aku bisa menjawabnya, tentu akan kujawab," kalem
ucapan kakek berpakaian putih itu.
"Mengenai pedang itu, Ki. Kalau tidak salah, pedang itu milik Melati. Kalau
boleh kutahu, mengapa berada di tanganmu, Ki?"
"Hhh...!"
Palungga menghela napas berat. Raut wajahnya tersaput kesedihan yang
mendalam. "Hal ini terjadi karena kecerobo-hanku, Arya. Kalau saja aku bertindak cepat,
mungkin Melati tidak mengalami kejadian apa-apa," jawab Palungga setengah
mengeluh. "Awalnya dari rasa tertarikku ketika mendengar suara ribut-ribut.
Ketika kuselidiki, ternyata ada seorang gadis terkurung di dalam sebuah jaring
Gerombolan Singa Gurun. Melihat dari raut wajahnya yang mirip Mawar, bisa kuduga
kalau dia adalah anakku juga.
Memang, Mawar telah bercerita banyak mengenai saudara kembarnya, berikut kau,
Arya." Palungga menghentikan ucapannya
sebentar untuk menarik napas.
"Dia segera kubebaskan dari kurungan.
Tapi, rupanya Gerombolan Singa Gurun tahu, ada orang yang menolong Melati.
Maka, mereka meluruk ke tempatku. Serbuan mereka membuat perhatian teralih dari
Melati. Memang hanya sebentar, karena dengan mudah mereka semua kubereskan.
Tapi, hal itu cukup membuatku kehilangan jejak Melati. Dan inilah yang kutemui.
Tapi jangan khawatir, Arya. Sekarang aku telah tahu letak sarang Gerombolan
Singa Gurun."
Palungga menutup ceritanya sambil
mengangsurkan pedang milik Melati. Dewa Arak menatap senjata milik kekasihnya
disertai perasaan yang semrawut. Ada rasa rindu yang menyeruak di hatinya ketika
melihat pedang Melati. Masalahnya, sudah cukup lama dia tidak bertemu kekasihnya
itu. Namun, di samping rasa rindu, ada
pula rasa cemas yang melanda. Mengingat, Melati sekarang tengah berada dalam
bahaya besar. "Hm..., bagaimana kalau sekarang juga kita satroni sarang mereka, Ki?"
"Sebuah usul yang amat baik, Arya,"
sambut Palungga, cepat. "Ayo, Mawar. Kita serbu sarang Gerombolan Singa Gurun.
Barangkali saja, ibu dan saudara angkatmu masih bisa diselamatkan!"
Gadis berpakaian merah itu
menganggukkan kepala.
"Silakan, Ki," ucap Arya pada Palungga, karena memang kakek itulah yang tahu
jalan menuju ke sarang Gerombolan Singa Gurun.
Tanpa berkata apa-apa, Palungga
segera melesat lebih dulu, disusul oleh
Mawar dan Arya. Tentu saja kakek
berpakaian putih itu hanya mengerahkan sebagian kecil ilmu meringankan tubuhnya,
karena tidak mungkin Mawar dibiarkan tertinggal.
Sesaat kemudian, Palungga, Arya, dan Mawar telah berlari cepat meninggalkan
tempat itu. "Ada dua hal yang membuatku merasa heran, Ki," kata Arya di sela-sela langkah
kakinya. Suaranya terdengar biasa saja. Tidak terdengar tersengal-sengal seperti
lainnya orang yang tengah
berlari. "Apa itu, Arya?" tanya Palungga tanpa mengalih-kan wajah. Langkah kakinya pun
tidak dihentikan.
"Pertama, mengapa Gerombolan Singa Gurun menculik seluruh penduduk setiap kali
menyerbu sebuah desa?" ujar Arya.
"Sayang sekali, aku juga tidak tahu Arya," jawab Palungga bernada penyesalan.
"Lalu yang lainnya?"
Arya tidak langsung menyahut dengan sebuah pertanyaan lagi. Sementara kakinya
terus melangkah beberapa saat. Sedangkan Mawar yang berada di sebelahnya diam
membisu, tapi telinganya terpasang tajam.
Memang, dia pun ingin tahu hal-hal yang ditanyakan Dewa Arak.
"Mengapa kau tidak menyerbu
Gerombolan Singa Gurun sejak dulu, Ki.
Maaf, kalau pertanyaan ini menyinggung hatimu."
"Sama sekali aku tidak tersinggung, Arya. Hanya saja yang perlu kau ketahui, aku
pun baru mengetahui sarang gerombolan itu dari salah seorang anggotanya yang
tidak kuat menahan siksaanku, dan tidak sempat bunuh diri karena keburu kucegah"
jelas Palungga.
Arya mengangguk-anggukkan kepala
pertanda mengerti. Sama sekali tidak disangka kalau kakek berpakaian putih itu
pun baru mengetahui sarang Gerombolan Singa Gurun pula.
Suasana pun menjadi hening ketika
Palungga menghentikan ucapannya. Apalagi, Arya tidak mengajukan pertanyaan lagi.
Kini yang terdengar hanyalah suara langkah kaki menyibak semak-semak dan
rerumputan. *** "Itu pintu masuk sarang mereka, Arya," jelas Palungga.
Sambil berkata demikian, kakek
berpakaian putih itu menudingkan jari telunjuknya ke arah sebatang pohon besar
yang bagian tengahnya ada lubang, mirip pintu.
Batang pohon itu memang besar sekali.
Paling tidak, diperlukan enam pelukan
tangan orang dewasa
untuk mengukur keliling pohon itu. Sedangkan garis tengah lubang yang mirip pintu itu hampir
setengah tombak. Sedangkan tingginya, tak kurang dari satu tombak. Bagian
atasnya, berbentuk setengah lingkaran.
Arya dan Mawar diam-diam memuji
kecerdikan Gerombolan Singa Gurun. Pintu masuk sarang ini letaknya demikian
tersembunyi, terlindung pohon-pohon tinggi dan semak-semak yang lebat. Bahkan
beberapa kali mereka harus berhadapan dengan aneka macam jebakan. Kalau saja
bukan Dewa Arak dan Palungga, mungkin akan mengalami kerepotan yang tidak
sedikit. Mawar pun berhasil selamat dari berbagai jebakan berkat adanya Dewa
Arak dan ayahnya di sampingnya.
Palungga, Arya, dan Mawar tidak
berani bersikap main-main lagi. Sekujur urat syaraf dan otot mereka menegang
penuh kewaspadaan. Jebakan demi jebakan yang sejak tadi bertubi-tubi menghadang,
membuat mereka tidak berani bertindak gegabah.
Dengan langkah hati-hati, Palungga mendekati pohon yang mempunyai lubang di
tengahnya itu. Setindak demi setindak, kakek berpakaian putih itu melangkah,
diikuti Arya dan Mawar di belakangnya.
Sikap mereka tampak waspada penuh.
Mendadak... Blosss! "Akh...!"
Palungga menjerit tertahan ketika
tahu-tahu kaki kanannya yang menjejak tanah di depan amblas. Tanah ditumbuhi
rumput-rumput pendek itu ternyata lunak!
Dan kekagetannya semakin bertambah ketika terasa ada tarikan kuat pada kakinya.
"Lumpur hidup...," desis Palungga, kaget.
Arya yang melihat hal ini tak kalah kagetnya.
"Diam di situ, Mawar," kata pemuda berambut putih keperakan itu pada Mawar.
Sambil berkata demikian, Arya segera melangkah menghampiri Palungga.
Maksudnya, hendak menolong kakek
berpakaian putih itu. Tapi sebelum maksudnya terlaksana, Palungga telah lebih
dulu berhasil membebaskan diri dari cengkeraman lumpur dengan sekali betot.
"Berbahaya sekali," desah Palungga.
Arya dan Mawar menganggukkan kepala.
Mereka sadar ucapan Palungga benar. Kalau saja Palungga tidak berhati-hati dan
tidak melangkah satu-satu, tubuhnya sudah terjerumus ke dalam lumpur hidup itu.
Apalagi kedua kaki telah masuk ke dalam lumpur hidup, sudah bisa diperkirakan
nasib yang akan menimpa. Betapapun tinggi kepandaian seseorang, rasanya amat
sulit menyelamatkan diri dari tempat itu.
"Lalu, bagaimana kita bisa masuk ke sana, Ayah?" tanya Mawar, bingung.
"Kurasa, tetap melalui tempat ini, Mawar," Arya yang menyahuti. "Hanya saja,
kita perlu mengetahui tempat-tempat yang aman."
Pemuda berambut putih keperakan ini lalu mengedarkan pandangan berkeliling.
Jelas, ada sesuatu yang tengah dicarinya.
Palungga dan Mawar tidak tahu tindakan Dewa Arak selanjutnya. Dan mereka hanya
bisa membiarkannya saja.
Setelah mengedarkan pandangan
beberapa saat lamanya, Arya berjalan meninggalkan Palungga dan Mawar. Ayah dan
anak itu hanya bisa menatap arah yang dituju Arya. Mereka juga ingin tahu, apa
yang akan dilakukan Arya.
Mawar mengerutkan alisnya yang
berbentuk indah ketika melihat Arya memunguti beberapa buah batu sebesar
kepalan. Gadis itu tidak mengerti, apa yang akan dilakukan Dewa Arak. Matanya
kemudian melirik ayahnya. Maka kontan kerutan alisnya semakin bertambah ketika
melihat kakek berpakaian putih itu mengangguk-anggukkan kepala disertai sorot
mata kagum. "Apa yang akan dilakukannya dengan batu-batu itu, Ayah?" Mawar tak tahan lagi
memendam rasa ingin tahunya.
Palungga menolehkan kepala.
"Perhatikan saja tindakannya, Mawar, Kalau tidak melihat sendiri, aku tidak akan
percaya. Dalam usia semuda ini, wawasannya sudah demikian luas. Jelas, dia telah
banyak mendapatkan pengalaman yang berharga dalam perantauannya."
Mawar tidak bertanya lagi. Terpaksa rasa ingin tahu yang menggelegak
ditahannya. Diperhatikannya semua tindakan Dewa Arak Dan kini, tampak Arya
menghampiri tempat mereka kembali.
"Mudah-mudahan saja, batu-batu ini dapat membantu kita masuk ke sarang
Gerombolan Singa Gurun," kata Arya.
Dewa Arak lalu melemparkan batu itu ke atas.
Siuuut! Plukkk!
Setelah melayang ke atas beberapa
saat lamanya, batu sebesar kepalan itu jatuh di hamparan tanah yang berumput
pendek. Maka, batu itu langsung amblas ke dalam tanah sampai setengahnya lebih.
Perlahan-lahan batu itu semakin tenggelam sampai akhirnya lenyap.
Sekarang Mawar baru mengerti kegunaan batu-batu yang diambil Dewa Arak.
Kepalanya jadi terangguk-angguk sambil menatap Arya penuh kagum.
Sementara itu, orang yang dikagumi Mawar sama sekali tidak tahu-menahu. Dia
tengah sibuk melakukan hal yang serupa ke arah kanan dan kiri tempat itu.
Kakinya melangkah ke kanan sejauh lima tombak, dan lima tombak pula ke kiri. Kemudian
dia melakukan usahanya kembali, tapi hasilnya sama saja.
Arya kembali ke tempat semula.
Kemudian, hal yang sama dilakukannya kembali. Tapi kali ini batu-batu itu
dijatuhkan di tempat yang lebih jauh dari tempat semula.
Tukkk! Batu itu ternyata tidak mengalami
nasib seperti tiga sebelumnya. Jelas, tempat mendarat benda itu bukan lumpur
hidup. Melihat hal ini, Arya tersenyum
lebar. Demikian pula Palungga dan Mawar.
Mereka tahu, tempat mendaratnya batu yang keempat adalah tempat yang aman.
"Dugaanmu tidak salah, Arya. Jalan masuk ke sarang Gerombolan Singa Gurun tetap
dari tempat ini. Daerah lumpur hidup ini tidak begitu luas, dan hanya panjang ke
samping saja. Sedangkan ke depan, tak lebih dari tiga tombak!"
Palungga membuka suara.
Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan ucapan kakek berpakaian putih
itu. "Silakan, Ki."
Palungga menganggukkan kepala,
kemudian menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke atas
melompati daerah lumpur hidup.
Tapi... Sing, sing, sing...!
Siut, siut, siut...!
Belasan senjata yang terdiri dari
pedang, golok, tombak, pisau, dan benda bulat sebesar telur bebek meluncur ke
arah tubuh Palungga yang tengah melayang.
Untungnya, Palungga sudah menduga
kejadian seperti itu. Tanpa ragu-ragu lagi, segera tangannya dimasukkan ke balik
baju. Dan ketika dikeluarkan kembali, tangannya telah menggenggam sebatang
pedang di sana.
Dan secepat pedang itu tergenggam, secepat itu pula dikibaskan ke arah beraneka
ragam senjata yang meluncur ke arahnya.
Trang, trang, trang...!
Bunga-bunga api berpercikan ke sana kemari ketika pedang di tangan Palungga
berbenturan dengan beraneka ragam senjata yang meluncur ke arahnya. Meskipun
demikian, tidak satu pun benda-benda bulat sebesar telur
bebek yang dipapaknya. Rupanya, Palungga telah mengetahui keistimewaan benda-benda bulat
itu
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehingga tidak mau sembarangan
memapaknya. Hebatnya, begitu pedang di tangannya membentur senjata-senjata yang meluncur ke
arahnya, tenaga benturan itu
dipergunakan untuk melompat ke atas.
Hasilnya, luncuran benda-benda bulat itu lewat di bawah kakinya.
Jliggg! Begitu kaki Palungga mendarat di
tanah seberang daerah lumpur hidup, bermunculan belasan orang berompi coklat.
Di tangan mereka tampak tergenggam beraneka ragam senjata. Tampak laki-laki
pendek kekar yang telah menawan Melati ada di antara mereka.
Palungga tidak bertindak setengah-
setengah lagi. Segera serangan-serangan anggota Gerombolan Singa Gurun
disambutnya. Trang, trang, trang...!
Untuk kedua kalinya, bunga-bunga api berpercikan ketika senjata-senjata itu
berbenturan disertai suara berdentang nyaring.
Pekik-pekik kesakitan kontan ter-
dengar dari mulut-mulut anggota
Gerombolan Singa Gurun begitu senjata mereka berbenturan dengan senjata
Palungga. Bahkan tangan-tangan mereka terasa lumpuh. Tanpa dapat dicegah lagi,
senjata-senjata yang tergenggam pun terlepas dari pegangan. Jelas, Palungga
telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam tangkisan itu. Akibatnya,
anggota Gerombolan Singa Gurun tidak mampu bertahan.
Dan di saat tubuh mereka tengah
terhuyung-huyung itu, Palungga kembali membabatkan pedangnya. Dan....
Crasss! Lolong kematian terdengar berkali-
kali begitu ujung pedang Palungga merobek perut beberapa anggota Gerombolan
Singa Gurun. Seketika itu pula, darah segar menyembur dari perut yang terobek
lebar. Sesaat lamanya anggota-anggota Gerombolan Singa Gurun itu berdiri dengan kedua
kaki menggigil, menjelang ajal. Baru kemudian, mereka roboh di tanah dan diam
tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Kejadian itu berlangsung demikian
cepat. Tahu-tahu, beberapa sosok tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun telah
bergeletakan tanpa nyawa di tanah. Karuan saja hal ini membuat sisa anggota
Gerombolan Singa Gurun terkejut bukan kepalang, termasuk laki-laki yang
bertubuh pendek kekar.
Keterkejutan hati laki-laki pendek kekar semakin bertambah ketika melihat Arya
dan Mawar pun telah berhasil
menyeberangi daerah lumpur hidup.
Apalagi, ketika Mawar dan Arya pun ikut terjun dalam kancah pertarungan.
Maka, pertarungan yang berlangsung semakin tidak berimbang. Anggota
Gerombolan Singa Gurun yang kini
berjumlah sekitar sembilan orang sama
sekali bukan tandingan Palungga, Arya, dan Mawar. Jeritan-jeritan kematian pun
kembali terdengar saling susul.
Tubuh-tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun berjatuhan di tanah dalam keadaan
tidak bernyawa lagi. Nasib mereka
tampaknya sial, karena lawan-lawan yang dihadapi sama sekali tidak berminat
memberi ampun. Palungga maupun Mawar enak saja menewaskan mereka satu persatu.
Dewa Arak pun, walau dengan hati berat, memutuskan untuk membinasakan lawan-
lawannya. Ketentraman penduduklah yang menjadi pertimbangannya.
Hanya dalam beberapa gebrakan, sudah tidak ada lagi anggota Gerombolan Singa
Gurun yang berdiri tegak. Semuanya telah bergeletakan di tanah, dalam keadaan
tidak bernyawa lagi.
Palungga, Arya, dan Mawar sama sekali tidak mempedulikan keadaan lawan-lawan
lagi. Cepat ketiganya melesat ke arah pohon yang mempunyai rongga di tengah-
tengahnya. Hanya beberapa kali lesatan saja,
tubuh Dewa Arak, Palungga, dan Mawar telah berada di pintu masuk sarang
Gerombolan Singa Gurun.
8 Dengan kewaspadaan yang semakin
dilipatgandakan, Dewa Arak dan Palungga melangkah melewati ambang pintu. Suasana
tampak remang-remang, karena di pinggir kiri kanannya terpancang sebatang obor.
Memang, begitu memasuki pintu di batang pohon itu, mereka harus menuruni tangga
yang langsung berhubungan dengan ruang bawah tanah.
Dewa Arak, Palungga, dan Mawar sempat mengernyitkan dahi ketika melihat dinding
di kanan kiri yang tidak melengkung seperti sebuah goa, tapi datar seperti
dinding rumah umumnya.
Dewa Arak, Palungga, dan Mawar
kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, Dewa Arak yang berada di depan. Mawar
di tengah, dan Palungga berjalan paling belakang.
Seperti juga sebelumnya, ketiga orang ini bersikap penuh waspada. Mereka
khawatir akan adanya jebakan-jebakan lainnya. Tapi sampai beberapa kali
melangkah mereka tidak mendapatkan adanya jebakan lagi. Tak lama kemudian, Dewa
Arak menghentikan langkah. Mau tidak mau, Mawar dan Palungga pun berhenti pula.
"Mengapa berhenti, Arya?" tanya Palungga, berbisik.
"Jalan kita harus menurun kembali,"
jelas Arya. Palungga pun diam tidak bertanya
lagi. Sedangkan Arya mulai menuruni anak tangga setelah memberi jawaban. Satu
demi satu dan berhati-hati, kakinya melangkah menuruni anak-anak tangga itu.
Tak lama kemudian, tidak ada lagi
anak tangga yang harus dituruni. Di hadapan Dewa Arak, kini membentang dinding.
Tidak ada jalan lain lagi, kecuali di sebelah kanan dan kirinya.
Arya tercenung. Sama sekali tidak
dikira kalau jalan ini terpecah menjadi dua. Jalan mana yang hams dipilih"
Sesaat kemudian, Mawar dan Palungga riba pula di anak tangga terakhir.
Seperti juga Dewa Arak, Palungga pun kebingungan sebentar.
"Begini saja, Arya. Lebih baik, kita berpencar. Kau pilihlah satu jalan. Biar
aku memilih yang lainnya," usul Palungga yang bisa menebak perasaan yang
berkecamuk di hati Arya.
"Usul yang baik, Ki," sambut Arya, gembira.
"Lalu aku bagaimana, Ayah?" tanya Mawar, agak bingung
"Kau ikut aku, Mawar," jawab Palungga, cepat "Nah! Sekarang, pilihlah satu
jalan, Arya. Biar aku memilih yang lainnya." Arya tercenung sejenak.
"Kupilih jalan yang sebelah kanan,
Ki," kata Arya.
"Kalau begitu, kupilih jalan yang sebelah kiri," sambut Palungga, cepat Kakek
berpakaian putih ini lalu
melangkah menempuh jalan sebelah kiri.
Mawar mengikut di belakangnya. Sementara, Dewa Arak menempuh jalan sebelah
kanan. Meskipun sejak tadi tidak menemukan jebakan, Dewa Arak tetap tidak meninggalkan
kewaspadaannya. Sepasang mata, kaki, dan sekujur urat syaraf di tubuhnya
menegang waspada.
Arya diam-diam merasa bingung juga melihat keadaan di bagian dalam ruangan ini
Luar biasa! Tak ubahnya sebuah bangunan besar.
Entah, telah berapa jauh kakinya
melangkah, jalan yang dipilih Dewa Arak membelok ke kiri. Karena memang tidak
ada jalan lain, pemuda berambut putih
keperakan itu pun membelok, kemudian terus melangkah. Dan baru
beberapa tindak, Dewa Arak melihat pintu sebuah ruangan. Atau tepatnya, pintu sebuah
penjara. Jantung Arya berdebar tegang melihat hal ini. Kalau menuruti perasaan hati,
ingin rasanya bergegas melangkah ke arah sana. Tapi hal itu segera ditahan,
karena teringat akan jebakan demi jebakan yang menghampar di sepanjang
perjalanan. Beberapa langkah kemudian, Dewa Arak
telah berada di depan pintu yang ternyata lebih tepat disebut sebagai terali
besi. Seketika, sepasang matanya terbelalak.
Betapa tidak" Di dalam ruangan yang berukuran tak kurang dari enam kali lima
tombak itu berdiri belasan sosok tubuh.
Menilik dari pakaiannya, bisa diketahui kalau sebagian besar dari mereka adalah
penduduk desa. Bukan hanya Arya yang terkejut, tapi juga orang-orang yang berada dalam
kurungan. Tapi sebelum mereka sempat mengeluarkan suara gaduh, pemuda berambut
putih keperakan ini telah lebih dulu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir,
memberi isyarat agar tidak
berisik. Beruntung! Mereka rupanya mengerti isyarat yang diberikan Arya. Buktinya tidak
ada-seorang pun yang membuka suara.
Kepala-kepala mereka terangguk pelan.
Padahal, di dalam ruangan itu tidak hanya orang dewasa saja. Anak kecil dan
orang-orang tua pun ada pula di sana.
Setelah yakin kalau orang-orang yang berada di dalam kurungan itu tidak akan
menimbulkan kegaduhan, Dewa Arak segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Diputuskannya untuk melihat-lihat sekitar tempat ini, sebelum memutuskan untuk
menolong para tahanan itu.
Baru lima tindak melangkah, Dewa Arak
mendengar suara tawa bergelak.
"Hi hi hik...! Tak lama lagi aku akan keluar dari tempat ini dan menjagoi dunia
persilatan! Kalian tahu, mengapa" Karena ilmu 'Jari Darah Beracun' milikku telah
hampir sempurna. Kalian mendapat untung, karena bisa merasakan sendiri kedah-
syatannya. Kalian mati terhormat! Tidak seperti yang lain yang mati seperti
hewan! Kalian tahu mengapa"! Karena mereka mati disembelih!"
Arya mengernyitkan dahi. "Ilmu 'Jari Darah Beracun'" Ilmu macam apa itu?"
tanya Dewa Arak dalam hati.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan, Dewa Arak mendekati asal suara. Hati-hati sekali
kakinya melangkah. Jelas,
kedatangannya tidak ingin diketahui lawan.
Ternyata, suara itu berasal dari
ruangan yang mempunyai bentuk sama dengan sebelumnya. Hanya saja, letaknya agak
berjauhan. Arya pun mengintai dengan menyembulkan sedikit kepala di balik terali
besi. Sebuah keuntungan bagi Arya, pemilik suara tawa itu berdiri membelakangi terali
besi. Namun kerugian-nya, Arya tidak bisa melihat jelas wajahnya. Tapi menilik
dari potongan tubuh dan suaranya, bisa diperkirakan kalau pemilik suara itu
seorang wanita. Tubuhnya tampak kurus
kering, terbungkus pakaian berupa rompi berwarna coklat. Sehingga, kulit
tubuhnya yang penuh keriput di sana-sini terlihat.
Tampaknya, sosok tubuh itu adalah seorang nenek.
Yang terlihat Dewa Arak adalah orang-orang yang diajak bicara oleh nenek berompi
coklat. Mereka berjumlah tiga orang, dan dalam keadaan terbelenggu.
Rantai baja yang dihubungkan ke dinding membuat tubuh mereka terikat secara
terentang. "Sebelum menerima kehormatan men-cicipi kedahsyatan ilmu 'Jari Darah Beracun',
kalian kuperkenankan menyebut-kan nama. Ini merupakan kehormatan besar bagi
kalian! Tentu saja, kalau kalian tidak takut menyebut nama!"
"Kami bukan pengecut-pengecut yang takut mati,
Keparat! Namaku Tiraga?"
sahut laki-laki berpakaian putih berusia empat puluhan. Raut wajahnya
menyiratkan kewibawaan.
"Dan aku, Wagul," sambung laki-laki kekar berkumis melintang dan berpakaian
hitam. "Aku Gulata," laki-laki yang satunya lagi tak mau ketinggalan.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus...!" kata nenek
berompi coklat itu penuh
kegembiraan ketika mendengar tiga orang itu menyebut namanya masing-masing.
Tanggapan nenek berompi coklat
berbeda dengan Dewa Arak yang kaget bukan kepalang. Namun ada juga rasa gembira
dalam hati Dewa Arak. Dan hal ini terjadi ketika mendengar laki-laki terakhir
menyebut namanya. Gulata! Dialah orang yang tengah dicarinya! Sama sekali tidak
disangka akan semudah itu berhasil menemukan orang yang tengah dicarinya.
Tapi, Dewa Arak tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alunan kekagetannya.
Karena, nenek berompi coklat itu kini telah kembali membuka suara.
"Kini terimalah penghormatan yang kuberikan."
Usai berkata demikian, nenek berompi coklat itu menjulurkan tangannya ke arah
Tariga yang tak lain Kepala Desa Watu.
Tappp! Keempat jari tangan kanan yang tahu-tahu berwarna merah membara ditempelkan oleh
nenek itu pada dada Ki Tariga. Arya yang sama sekali belum menduga hal yang akan
terjadi, tidak sempat berbuat apa pun. Yang dapat dilakukannya hanya menatap,
untuk mengetahui kelanjutan akibat tempelan tangan nenek berompi coklat itu.
"Aaa...!"
Sepasang mata Dewa Arak, Wagul, dan Gulata terbelalak ketika melihat bagian dada
yang tersentuh tangan nenek berompi
coklat. Pakaian itu kontan hangus
terbakar, bertanda empat jari. Dan yang lebih mengerikan, kulit yang berada di
baliknya ikut hangus terbakar.
Kulit dada Ki Tariga mula-mula
berwarna merah bertanda empat jari tangan. Kemudian, tanda itu berubah warna
menjadi hitam seperti hangus, disertai kepulan asap dan suara mendesis seperti
besi panas direndam dalam air es.
Kejadian yang mengerikan itu ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ saja.
Noda berwarna hitam itu menyebar cepat ke seluruh bagian tubuh Ki Tariga. Lalu,
kulit tubuh itu mulai mencair.
Ki Tariga melolong-lolong kesakitan dijemput ajal.
"Hi hi hik...!"
Nenek berompi coklat itu tertawa
bergelak-gelak melihat kejadian di hadapannya. Tarikan wajahnya yang tidak
terlihat oleh Arya, tampak menyiratkan kegembiraan yang amat sangat.
Jerit kesakitan itu, bagi nenek berompi coklat tak ubahnya nyanyian bidadari.
"Sekarang giliranmu," kata nenek berompi coklat itu sambil menoleh ke arah
Wagul. Tak dipedulikannya lagi Ki Tariga yang tengah melolong-lolong sambil
menggeliat-geliat ke sana kemari menerima siksaan.
Nenek berompi coklat itu mulai
menjulurkan tangannya ke arah Wagul.
Melihat hal ini, guru silat Desa Watu itu kontan pucat wajahnya. Raut kengerian
tampak jelas pada wajahnya. Kejadian yang dialami Ki Tariga itulah yang
menimbulkan kengerian di hatinya.
Tapi sebelum tangan nenek berompi
coklat itu menyentuhnya.
"Manusia biadab! Hentikan...!"
Brakkk! Terali besi yang memisahkan ruangan penyiksaan dengan Dewa Arak hancur
berantakan, ketika pendekar muda yang menggemparkan itu menghajarnya.
*** Nenek berompi coklat itu terkejut
bukan kepalang mendengar teriakan Arya.
Apalagi ketika juga mendengar terali besi kurungannya hancur berantakan. Cepat
laksana kilat, tubuhnya berbalik.
"Siapa kau"!" bentak nenek berompi coklat itu keras bernada kemarahan.
"Namaku Arya! Dan kedatanganku untuk menghentikan semua kekejianmu!" lantang dan
mantap sambutan Dewa Arak. Bahkan terkesan adanya kemarahan dalam
ucapannya. "Keparat! Kau hanya mencari mati saja! Mampuslah kau! Hih!"
Nenek berompi coklat yang ternyata
berwajah persegi, melancarkan serangan.
Jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya, diluruskan. Sedangkan jari-jari
lainnya ditekuk. Dan dengan keadaan jari-jari tangan seperti itu,
dilancarkannya tusukan-tusukan bertubi-tubi ke arah dada Arya.
Dewa Arak tidak berani bertindak
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gegabah terhadap serangan nenek bertubuh kurus kering itu. Apalagi ketika
sekujur tangan lawannya tampak merah membara seperti besi terbakar. Dari
ucapannya bisa diketahuinya kalau lawannya ini telah menggunakan ilmu 'Jari
Darah Beracun'.
Dewa Arak segera melompat jauh ke
belakang. Disadari kalau serangan lawan mengandung racun yang mematikan. Asap
yang keluar dari tangan nenek bertubuh kurus kering dan sempat tercium
hidungnya, membuat kepalanya pusing.
Itulah sebabnya, sambil melompat ke belakang dan dalam keadaan berada di udara,
Dewa Arak mengambil guci araknya.
Lalu, isinya dituangkan ke mulut
Gluk... gluk... gluk....
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak.
Jliggg! Bertepatan dengan kedua kaki Dewa
Arak menginjak tanah, tubuhnya pun langsung oleng. Jelas, pemuda berpakaian
ungu ini telah siap menggunakan ilmu
'Belalang Sakti' andalannya.
Nenek bertubuh kurus kering yang
tengah dilanda kemarahan hebat itu sama sekali tidak memberi kesempatan bagi
Dewa Arak. Begitu serangannya berhasil
dielakkan, serangan lanjutannya segera dikirimkan.
Tapi, kali ini Dewa Arak telah
menggunakan ilmu andalannya. Dalam
penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', asap beracun dari ilmu 'Jari Darah Beracun'
seperti kehilangan keampuhannya. Bahkan enak saja Dewa Arak menghisap asap
beracun itu tanpa terkena pengaruh sedikit pun.
Nenek bertubuh kurus kering
menggerutkan gigi karena geram ketika melihat asap beracunnya sama sekali tidak
menimbulkan pengaruh sedikit pun pada lawan. Dan sebagai akibatnya, serangan-
serangan yang dilancarkannya semakin menjadi-jadi. Jari-jari kedua tangannya
meluncur ke sana kemari mencari sasaran di sekujur tubuh Dewa Arak.
Dapat dibayangkan, betapa geramnya hati nenek bertubuh kurus kering ketika
melihat semua serangannya berhasil dikandaskan Dewa Arak. Padahal, lawannya
seperti orang mabuk dalam mengelakkan setiap serangannya. Gerakan-gerakannya
Dewa Arak hampir-hampir tidak masuk akal.
Terkadang seperti orang akan jatuh, dan tak jarang malah seperti menyambut
tibanya serangan. Tapi anehnya dengan gerakan-gerakan seperti itu, serangan-
serangan yang dilancarkan nenek itu malah tidak mengenai sasaran.
Tak terasa, tiga puluh lima jurus
telah berlalu. Dan selama itu Dewa Arak tidak berani membenturkan tangannya
dengan tangan lawannya. Jadi, dia hanya mengelak dengan menggunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Sesekali, dilancarkannya serangan dengan jurus
'Belalang Mabuk'nya. Tapi itu langsung dibatalkan ketika lawan tampak akan
menangkisnya. Tidak heran bila dalam pandangan Wagul dan Gulata, Dewa Arak
tampak terdesak.
Kedua orang warga Desa Watu itu sama sekali tidak tahu kalau Dewa Arak sama
sekali tidak terdesak. Sebaliknya, pemuda berambut putih keperakan itu
sebenarnya tengah menunggu saat yang tepat untuk merobohkan lawan.
Nenek bertubuh kurus kering itu
semakin bertambah geram ketika melihat Dewa Arak berkali-kali malah menenggak
araknya. Padahal, pertarungan tengah berlangsung sengit. Hal yang dilakukan Dewa
Arak dianggap memandang rendah dirinya. Sama sekali tidak diketahuinya kalau hal
itu wajar-wajar saja dilakukan
Dewa Arak. Menginjak jurus kedelapan puluh tiga, Dewa Arak memberanikan diri untuk
menangkis langsung serangan lawan.
Prattt! Seketika itu pula, tubuh nenek
bertubuh kurus kering terhuyung-huyung empat langkah ke belakang. Sedangkan Dewa
Arak terhuyung-huyung dua langkah.
Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Dewa Arak dan nenek bertubuh kurus kering
menyempatkan diri melihat ke satu
sasaran, tangan Arya. Ternyata tangan Dewa Arak yang berbenturan langsung tadi
sama sekali tidak apa-apa! Hanya baju di bagian pergelangannya saja yang hancur
berkeping-keping.
"Hhh...! Dewa Arak menghela napas lega melihat keadaan tangannya. Sedangkan nenek
bertubuh kurus kering malah terkejut bercampur geram. Sama sekali tidak pernah
dibayangkan kalau ilmu 'Jari Darah Beracun' nya tidak menimbulkan akibat seperti
yang diharapkannya. Ataukah ilmu itu telah kehilangan kegunaannya" Ataukah...,
lawan yang dihadapinya bukan manusia"
Nenek bertubuh kurus kering sama
sekali tidak tahu, Dewa Arak dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', jelas akan
jadi kebal terhadap segala macam racun.
Setelah yakin tidak terjadi sesuatu atas dirinya, Dewa Arak meluruk menerjang
nenek bertubuh kurus kering kembali, maka pertarungan sengit pun kembali
terjadi. Kali ini, pertarungan yang terjadi berlangsung lebih sengit karena Dewa Arak
tidak ragu-ragu lagi melancarkan serangan balasan dan memapak serangan.
Nenek bertubuh kurus kering mengeluh dalam
hati. Kini setelah Dewa Arak
melancarkan serangan balasan, baru terasa akibatnya. Setiap serangan-serangan
Dewa Arak mengandung tekanan-tekanan berat.
Hingga tak sampai dua puluh lima jurus, nenek itu sudah terdesak hebat.
"Haaat...!"
Di jurus keseratus tiga puluh, Dewa Arak melakukan sapuan kaki kanan ke arah
nenek bertubuh kering. Tapi, serangannya berhasil dielakkan nenek itu dengan
melompat ke atas.
Tapi sungguh di luar dugaan, mendadak Dewa Arak mengayunkan gucinya. Dan....
Bukkk! "Akh!"
Nenek bertubuh kurus kering memekik tertahan ketika guci Dewa Arak menghantam
pinggangnya. Beruntung, tenaga dalamnya sempat dikerahkan untuk bertahan.
Sehingga, akibatnya tidak terlalu parah.
Hanya rasa sakit saja yang mendera, disertai luncuran tubuhnya yang terpental
ke belakang. Brukkk! Nenek bertubuh kurus kering itu tidak sempat memperbaiki kedudukannya. Tubuhnya
langsung terbanting keras di tanah.
Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada lawannya. Cepat laksana kilat, tubuh
yang tergolek di tanah diburunya. Pemuda berambut putih keperakan itu
melancarkan tendangan terbang ke arah dada nenek bertubuh kurus kering. Dan....
Bukkk! "Huakh...!"
Nenek bertubuh kurus kering kontan memuntahkan darah segar dari mulutnya,
seiring terdengarnya suara berderak keras tulang yang patah begitu tendangan
Dewa Arak mengenai sasaran. Sesaat tubuh nenek berompi coklat ini menggelepar,
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Dewa Arak memperhatikan wajah
lawannya sejenak, lalu perhatiannya beralih ke arah Wagul dan Gulata. Kontan
wajahnya memucat ketika melihat kedua orang warga Desa Watu itu terkulai dalam
belenggunya. Keadaan mereka menimbulkan kekhawatiran di hati Dewa Arak.
Semula Dewa Arak kebingungan. Tapi sesaat kemudian, telah diketahui hal yang
menjadi menyebab Wagul dan Gulata
terkulai. Pasti asap yang keluar dari penggunaan ilmu 'Jari Darah Beracun' yang
menjadi penyebabnya.
Dugaan itu membuat Dewa Arak melesat menghampiri tubuh dua warga Dewa Watu itu.
Hanya sekali hentak, rantai-rantai baja yang membelenggu tubuh mereka telah
berhasil diputuskan. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh-tubuh itu dibawa
keluar. Sesampainya di luar, tubuh Wagul dan Gulata segera diperiksa. Tercekat hati Dewa
Arak ketika ternyata Wagul telah tewas. Ajaibnya, Gulata malah belum tewas.
Dengan segala macam cara, nyawa Gulata berusaha diselamatkan.
"Uuuhhh...!"
Keluhan perlahan dari Gulata membuat Arya menghentikan usaha pertolongannya.
"Ahhh...! Terima kasih atas
pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Gulata ketika telah sadar sepenuhnya. Dia tahu,
tentang Dewa Arak memang dari Wagul.
"Lupakanlah," sahut Arya buru-buru.
"Sekarang yang penting, bebaskan semua teman-temanmu. Dan jangan lupa, temui
istrimu. Dia menunggumu di rumah
kerabatnya di dalam hutan. Kau tahu"!"
Dengan agak lemah, Gulata
menganggukkan kepala. Tapi Arya sama sekali tidak melihatnya. Pemuda berambut
putih keperakan itu telah melesat cepat dari situ. Dia bermaksud menyusul
Palungga dan Mawar. Apalagi jalan yang
ditempuhnya saat ini sudah tidak
mempunyai tembusan lagi.
Tapi baru beberapa kali lesatan, di depan sana tampak empat sosok tubuh tengah
menuju ke arahnya. Dan semuanya dikenalinya betul. Mereka adalah Mawar,
Palungga, Karina, dan Melati!
"Kang Arya...!"
Melati yang juga melihat kedatangan Arya, segera berseru keras sambil berlari
cepat mendekati. Kedua
tangannya terkembang. Sedangkan Arya juga mengembangkan
tangannya, menunggu kedatangan tunangannya. Sesaat kemudian, tubuh sepasang
pendekar muda itu telah berpelukan erat.
"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya Arya tanpa melepaskan pelukannya.
"Tidak, Kang. Nyi Kati menempatkan kami dalam sel yang terpisah dengan orang
lain. Dia bermaksud menyembelih kami di saat bulan purnama nanti. Kau sudah
menjumpainya, Kang"!"
"Maksudmu..., nenek tua bertubuh kurus kering yang menguasai tempat itu?"
tanya Dewa Arak menegaskan.
"Benar! Dia adalah tokoh sesat pemimpin gerombolan yang menamakan diri
Gerombolan Singa Gurun, yang selama ini kucari-cari. Nenek itu memang tengah
menuntut suatu ilmu sesat, untuk
menguasai rimba persilatan! Dan untuk
menuntut ilmu itu, diperlukan darah manusia agar sempurna. Itulah sebabnya, agar
tidak terganggu, dia sengaja
menyembunyikan diri di tempat ini. Bahkan merahasiakan pimpinan gerombolannya,
yang padahal dia sendiri yang jadi
pimpinannya," jelas Melati, yang rupanya telah berhasil mendapat keterangan
tentang Gerombolan Singa Gurun.
"Lalu, apa maksudnya ingin menguasai rimba persilatan?" desak Dewa Arak.
"Waktu aku tertangkap, dia mengatakan kalau suaminya tewas di tangan seorang
penduduk. Sejak itu, dia dendam pada tokoh golongan putih, dan berusaha
memperdalam ilmu-ilmu hitam. Hingga akhirnya, dia berhasil menguasai
Gerombolan Singa Gurun, dan mengangkat diri menjadi pemimpin. Karena merasa
belum puas dengan ilmunya, maka dia kembali memperdalam ilmu sesat yang lebih
dahsyat, dengan tumbal darah penduduk."
tutur Melati lagi.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Kini rasa penasarannya
cair sudah. Ilmu sesat itu memang
dahsyat. Pantas, tubuh Ki Tariga bisa seperti mencair dengan hanya sekali
sentuhan Nyi Kati.
Sementara itu, Melati sudah
membenamkan wajahnya di dada Dewa Arak yang bidang.
Palungga, Karina, dan Mawar tersenyum gembira melihat pertemuan sepasang
pendekar muda yang sama-sama sakti itu.
SELESAI Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hong Lui Bun 20 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Pedang Medali Naga 8